Sabtu, 23 Oktober 2021

Hikayat Datu Sulaiman Padang Basar


Pada sekitar abad ke 18 ada sepasang suami istri dari Padang Basar Amuntai Hulu Sungai Utara yang hidup rukun, tidak tercatat secara pasti nama mereka, pada suatu hari mereka pergi ke Martapura yang pada saat itu merupakan ibukota kerajaan Banjar,mereka berkunjung kepada sanak keluarganya yang berada di Martapura melalui sungai dengan membawa perahu atau jukung besar khas Banjar,setelah saling melepas rindu dengan sanak keluarganya mereka pamit pulang,tapi alangkah terkejutnya mereka ketika sampai
keperahu,ternyata didalam perahu sudah ada seorang bayi mungil,sadar bahwa bayi tersebut bukan anak mereka,mereka lalu melaporkannya kepada masyarakat sekitarnya,tak lama kemudian datanglah seluruh masyarakat Martapura untuk melihat bayi tersebut,ternyata dari semua masyarakat itu tak ada satupun yang mengaku bahwa bayi tersebut bayi mereka, akhirnya setelah dibicarakan dengan warga setempat,akhirnya bayi tersebut mereka bawa pulang kekampung halamannya untuk di didik dan dipelihara seperti anak kandung mereka sendiri,dan diberi nama Sulaiman.

Ternyata anak tersebut bukan sembarangan, banyak keganjilan keganjilan yang terjadi sejak ia masih bayi,pada saat bayi anak tersebut tidak pernah mau minum susu,ia cuma mau minum air putih,dan setiap waktu sholat anak tersebut pasti bangun dan tidak mau tidur,keanehan lain pada saat bulan Ramadhan tiba dan orang orang melaksanakan puasa,pada siang hari bayi tersebut tidak mau minum,kecuali saat tibanya berbuka puasa baru bayi tersebut baru mau minum,hal tersebut terus terjadi hingga iya semakin besar,makin besar iya makin banyaklah keanehan keanehan yang terjadi dengan dirinya,selain dipanggil dengan Datuk Sulaiman beliau juga dipanggil oleh masyarakat dengan nama Datu Burung, kenapa jadi dipanggil Datu Burung hal ini ada kejadiannya,pada suatu hari beliau yang pada saat itu masih kanak kanak disuruh oleh orang tuanya untuk menunggu padi yang pada saat itu tengah dijemur,padi tersebut dijaga supaya jangan sampai dimakan ayam dan binatang lainnya, sebagai anak yang patuh dan berbakti dengan orang tuanya beliau tidak menolak,tapi apa yang terjadi... apa yang dilakukannya membuat orang tuanya dan seluruh masyarakat kampung menjadi gempar, ternyata untuk melaksanakan tugas yang diberikan orang tuanya beliau naik keatas pohon pisang yang dekat dengan jemuran tersebut,lalu duduk diatas daun pisang tersebut...anehnya jangankan patah daun pisang tersebut, lenturpun tidak dan sejak beliau menunggui jemuran tersebut tak seekor ayam pun yang berani mendekat.

Tidak tercatat apakah setelah beliau dewasa,beliau menyebarkan ilmu ilmunya atau diketahui siapa guru guru beliau,yang ada cuma kesaktian kesaktian beliau yang masih disimpan masyarakat sampai kini,pada suatu ketika belanda mau menyerang desa Padang Basar amuntai dan sekitarnya,karena desa Padang Basar terletak ditepi sungai Tabalong maka Belanda melakukan penyerangan melalui sungai dengan kapal laut,mengetahui hal tersebut masyarakat segera melaporkan hal tersebut kepada Datu Sulaiman
"Datu !!..Belanda mau menyerang kampung kita,mereka sedang dalam perjalanan menuju ke sini" kata salah seorang warga melapor.
"Tenang ..mereka takkan sampai kesini" sahut Datu Sulaiman. "mereka sudah dekat Datu,mari kita siapkan segalanya"....
"baik..panggil semua kawan kawan kumpul semua.."
setelah semua pejuang berkumpul beliau lalu mengajak mereka semua ketepi sungai Tabalong,beliau mencari
tali lalu dibentangkan melintang keseberang sungai. "untuk apa tali itu dibentangkan menyeberang sungai .. Datu" tanya seorang warga.
"untuk menghalangi kedatangan Belanda ke daerah kita..."sahut Datu Sulaiman.
benar saja ketika Belanda mendekati kampung Padang Basar mereka melihat bahwa sungai yang mereka arungi buntu,dan akhirnya merekapun berbalik arah tidak jadi menyerang daerah Padang Basar dan sekitarnya.

Konon kabarnya apabila Datu Sulaiman ingin makan ikan, ikan yang sedang berkeliaran bebas disungai beliau ambil begitu saja,tanpa menggunakan alat yang lazim dipakai orang,dan juga bila beliau ingin (mengurung ( bahasa banjar) menangkap ikan yang berkeliaran disungai,beliau pancangkan empat buah bilah atau tongkat berbentuk segi empat maka ikan yang berada didalam keempat bilah tersebut tidak bisa lepas. 

Pada suatu hari beliau menanam pohon Kutapi dimuka rumah beliau,kepada keluarganya beliau berpesan agar tanaman tersebut dipelihara,kalau pohon Kutapi ini sudah besar seperti pohon Kapuk atau Randu maka ajalnya akan tiba,ternyata apa yang dikatakan beliau benar adanya,pada saat pohon Kutapi tersebut sudah besar seperti pohon Kapuk atau Randu maka wafatlah
beliau.

Sebelum beliau wafat beliau sempat berwasiat agar supaya beliau dimakamkan di Kampung Padang Basar yang merupakan kampung beliau,tapi ketika wafatnya oleh pemerintah setempat beliau dimakamkan di kampung Pangacangan,karena tidak sesuai dengan wasiat maka pada malam harinya salah seorang sanak keluarganya bermimpi bahwa Datu Sulaiman kembali berkubur ketempat yang sudah diwasiatkannya yaitu dikampung Padang Basar,siang harinya kemudian dia ceritakan kepada keluarga lainnya,oleh keluarga akhirnya disepakati untuk membongkar makam di kampung Pangacangan dengan disaksikan seluruh warga, anehnya mayat Datu Sulaiman benar benar tidak ada dan mereka hanya menemukan buluh barencong (bambu yang dibikin runcing), sedangkan dikampung padang Basar muncul onggokan tanah dan onggokan tanah tersebutlah yang diyakini oleh seluruh masyarakat sebagai makam Datu Sulaiman dan diziarahi sampai sekarang.

Satu Badan Dua Kubur

Syeikh Sayid Sulaiman adalah seorang tokoh agama dari kampung Padang Basar, tepatnya di Kecamatan Amuntai Utara Kabupaten Hulu Sungai Utara. Selain sebagai tokoh agama beliau juga dikenal sebagai pejuang yang sangat gigih dalam mengusir para penjajah Belanda. Karena ketakwaan kepadan Allah SWT, maka beliau diberi banyak sekali kelebihan-kelebihan (kesaktian) yang tidak dipunyai orang awam lainnya, diantaranya :

Ketika beliau masih berusia 6 tahun beliau pernah shalat di atas daun jagung dan daun jagung itu jangankan patah, lentur saja pun tidak.

Di usia yang sama beliau suka bermain-bermain dengan teman-teman seusia beliau, permainan yang disukai pada saat itu adalah permainan petak umpet, pada saat beliau yang “jadi”, teman-teman beliau bersembunyi. Beliau hanya cukup memejamkan mata dan berteriak menyebut masing-masing nama teman dan tempat lokasi masing-masing bersembunyi. Semua menyerah keluar (betampai) dari tempat persembunyian masing-masing, padahal tempat mereka bersembunyi cukup jauh dari beliau. Namun, disaat teman-teman beliau giliran yang “jadi” maka sangat sulit sekali menemukan persembunyian beliau. Akhirnya setelah lama tidak menemukan di mana keberadaan beliau (Sulaiman) bersembunyi, maka semua teman-teman beliau sepakat menyerah dengan serentak berkata “Hai Sulaiman…kami menyerah…keluar dari persembunyianmu”. Pada saat itu juga terdengarlah jelas suara beliau, “ nih…aku dekat kalian”…mereka menoleh ke arah suara tersebut tetapi tidak menemukan beliau, yang ada hanyalah tanaman-tanaman jagung di sekitar mereka. Mereka kembali berteriak “di mana kamu Sulaiman!?...”. Maka beliau keluar dari persembunyian, dan ternyata beliau bersembunyi di dalam kembang jagung di tempat mereka bermain.

Masih di usia yang serupa, keanehan pun juga terjadi di dalam permainan “Bakukudaan”. Permainan di mana siapa yang kalah suit (pingsut) maka dia yang mengusung (mehambin) kawan yang menang suit. Saat beliau yang menang, maka teman beliau mengusung beliau dengan senang dan riang karena mereka tidak merasakan adanya beban berat di punggung mereka (sangat ringan) padahal badan beliau yang paling besar di antara mereka. Tetapi disaat Sulaiman yang kalah, mereka yang menaiki pumggung beliau. Secara aneh tidak diketahui penyebabnya dari hidung dan mulut beliau keluar darah. Setelah kejadian itu mereka tidak berani lagi untuk menaiki punggung beliau.

Apabila beliau ingin makan ikan, beliau pergi ke sungai. Ikan-ikan menghampiri sehingga beliau tinggal memilih ikan mana yang beliau sukai.

Setelah  beliau dewasa di saat kompeni Belanda menyerang kampung Padang Basar, Syeikh Sayid Sulaiman dibantu kawan-kawan beliau membentangkan tali ke seberang sungai Tabalong. Ketika kapal kompeni mendekati dan bersiap menyerang kampung Padang Basar, buru-buru membatalkan penyerangan karena yang mereka lihat adalah sungai Tabalong tertutup dengan hutan belukar yang sangat angker dan menakutkan.

Menurut cerita dari salah seorang keturunan Datu Burung (ayah angkat) dari Syeikh Sayid Sulaiman. nama keturunan Datu Burung tesebut adalah tuan guru (Mualim) Haji Asmuri dari Desa Cakru. Orang tua beliau konon masih menyimpan peninggalan dari Syeikh Sayid Sulaiman berupa rambut beliau yang disimpan dalam bumbung yang terbuat dari tanaman buluh atau bambu.

Dahulu pada zaman revolusi banyak para pejuang-pejuang kita dari Hulu Sungai (Amuntai) yang bermarkas di Danau Terate desa Padang Basar meminta rambut dari Syeikh Sayid Sulaiman tersebut untuk dijadikan babasal (ajimat) dengan niat untuk mengusir para penjajah dari muka bumi tercinta ini. Konon orang-orang yang memakai babasal dari rambut Syeikh Sulaiman itu tidak mempan oleh senjata tajam maupun mortar. Saking banyaknya pejuang yang meminta rambut tersebut, sehingga rambut tersebut tidak tersisa lagi.

Setelah beliau dewasa, beliau sangat suka bersilaturrahmi dan bermuzakarah masalah ilmu-ilmu agama. Termasuk mengenai Allah (Ma`rifat). Konon suatu ketika saat beliau bermuzakarah, beliau memberikan hidangan kepada mereka semua yang hadir. Dan hidangan tersebut mengawali cerita satu badan dua kubur ini.

Hidangan yang dihidangkan beliau adalah suatu masakan khas kota Amuntai khususnya Padang Basar, masakan tersebut diberi nama Gangan Asam. Hemmm Saya suka ^^

Masakan ini sampai sekarang masih disukai, adapun masakan ikannya (iwaknya) biasanya kepala Baung, kepala Tauman, atau kepala Patin dan asamnya mestinya adalah buah Katapi. Di saat beliau menyantap makanan tersebut ternyata di piring atau mangkok beliau mendapati biji katapi sehingga beliau ambil dan beliau taruh dahulu di samping beliau duduk, setelah semua selesai makan maka beliau mengambil biji katapi  tersebut dan berkata “ ini biji katapi nanti dia akan aku tanam dan akan tumbuh. Apabila pohon itu nanti besarnya seperti batang pohon kapuk, maka azalku akan sampai dan tanam aku (kubur) di situ juga. Juga buatkan aku peti mati dari poho katapi tersebut.

Maka wasiat ini sangatlah diperhatikan sekali oleh teman-teman juriat, saudara-saudara angkat beliau, sehingga pada suatu ketika beliau wafat dalam usia kurang lebih 31 tahun. Beliau meninggal malam senin tanggal 13 Rajab, dan seluruh keluarga segera melaksanakan wasiat tersebut. Pohon katapi ditebang dan dibuat peti mati (tabala), lalu digali lobang di samping pohon katapi yang ditebang tersebut.

Di saat itulah tersiar kabar sampai ka banua (kota Amuntai sekarang), bahwa Syeikh Sayid Sulaiman telah meninggal dunia dan kabar berita ini juga sampai kepada para petinggi Negeri (pejabat) pada waktu itu masih bermufakat bahwa Syeikh Sayid Sulaiman harus dikubur di Banua, karena mereka semua berpendapat tidak pantas rasanya seorang yang sangat dihormati dan disegani bahkan dengan banyaknya keramat-keramat beliau dari kecil hingga dewasa. Orang menganggap beliau tidak lagi seperti orang awam biasa melainkan mereka menganggap beliau Waliyullah dan seorang pejuang yang gigih dalam mengusir penjajah Belanda.

Maka diutuslah beberapa utusan untuk menjemput jenazah Syeikh Sayid Sulaiman tersebut dengan menggunakan kendaraan perahu putih, utusan pertama langsung ditolak oleh seluruh keluarga (juriat) beliau. Sehingga utusan ini pulang dan melaporkan kepada petinggi Negeri bahwa mereka ditolak. Mereka mengutus lagi utusan yang kedua dan hasilnya pun tetap sama.

Para petinggi tetap bersikeras agar jenazah Syeikh Sayid Sulaiman dikubur di Banua, maka diutus lagi utusan yang ke tiga. Di tengah perjalanan mereka (para utusan) dikejutkan oleh suara gemuruh angin yang sangat kencang seakan –akan pohon-pohon di sekitar mau tumbang dan kilat menyambar-nyambar disertai hujan turun dengan derasnya sehingga mengakibatkan sungai Tabalong meluap seketika. Perahu Putih yang ditumpangi oleh para utusan kandas menimpa tabur atau batu kali dan bocor sehingga mereka tidak bisa meneruskan perjalanan dan merekapun pulang dengan laporan tersebut.

Para petinggi pada waktu itu tidak putus harapan, dengan alasan-alasan yang kuat mereka mengirim lagi utusan yang ke empat. Konon dalam utusan ini ditambah lagi dengan orang-orang yang berpengaruh dan perahu pun dicari yang lebih baik dan besar dengan harapan mudah-mudahan utusan yang ke empat ini bisa membuat para keluarga (juriat) luluh hatinya dan mengizinkan membawa jenazah. Sesampainya mereka di tempat jenazah (desa Padang Basar) dengan membawa berbagai macam alasan yang masuk akal, akhirnya keluarga mufakat bahwa mungkin ini sudah menjadi takdir Yang Maha Kuasa. “Cukup sudah tiga kali kita mempertahankan wasiat Syeikh Sayid Sulaiman. atas izin itu jenazah Syeikh Sayid Sulaiman dibawa dan dikuburkan (dimakam) di Banua tepatnya di Desa Pakacangan.

Setelah beberapa waktu, warga kampung desa Pakacangan di saat makam ketika mereka sedang tertidur, mereka dikejutkan oleh adanya suara orang bertahlil dan bertakbir serta adanya sinar (cahaya) yang sangat terang seperti lampu strongkeng (petromak) sebesar boyong (tempat orang membawa hasil sawah). Ukuran setinggi orang dewasa yang ditaruh di belakang (hambinan). Dan setelah diselidiki suara beserta cahaya tersebut berasal dari makam makam Syeikh Sayid sulaiman. Setelah beberapa waktu cahaya yang disertai suara takbir itu berjalan dan terbang ke hulu, sehingga orang-orang yang menyaksikan menjadi bingung dan penasaran. Mereka mengikuti kemana arah cahaya dan suara itu pergi. Ternyata cahaya dan suara itu pergi menuju kampung Padang Basar dan jatuh di tempat lobang kubur yang pernah beliau wasiatkan. Konon lobang kubur itu karena adanya beberapa kali perundingan (utusan) maka lubang tersebut tidak sempat ditutupi. Setelah kejadian malam tersebut lobang itu tertutup dengan sendirinya layaknya sebuah kuburan baru.

Dengan kejadian tersebut penduduk sekitar dan warga yakin bahwa itu adalah kuburnya Syekh Sayid Sulaiman. berita ini pun sangat cepat beredar di kalangan masyarakat, bahwa Syekh Sayid Sulaiman kembali berkubur di desa Padang Basar. Orang-orang yang dekat dengan beliau setelah mendengar kabar tersebut yakin itu adalah memang benar kubur Syekh Sayid Sulaiman,  karena itu tidaklah aneh menurut mereka. Karena kata mereka lebih banyak hal yang lebih aneh yang dilakukan beliau sejak kecil hingga dewasa. Tetapi bagi mereka yang tidak terlalu kenal dengan beliau dan kurang yakin hal ini akan menjadi buah bibir, mereka tidak yakin dan tidak percaya, yang mana juga kubur beliau yang sebenarnya. Jasad Beliau di kubur Pakacangan sedangkan kejadian malam itu orang-orang mengatakan bahwa kubur Syekh Sayid Sulaiman itu ialah yang ada di kampung Padang Basar yang baru muncul. Dengan adanya perbedaan keyakinan di antara masyarakat tentang kubur Syekh Sayid Sulaiman itu, maka dengan izin Allah SWT. Dan mungkin ini adalah salah satu keramatnya Syekh Sayid Sulaiman yakni ketika orang-orang yang kurang percaya, kurang yakin, dan keluarga serta teman-teman beliau ada yang saat tidur, ada yang sedang berkhalawat (zikrullah)dan yang lebih aneh lagi orang yang sedang sadar, tidak tidur didatangi oleh beliau secara jahir(Nampak). Beliau berkata “kalau kamu dangsanakku, keluarga-keluargaku beserta cucu-cucu nanti handak bailang (ziarah kepadaku). ya…di sini (Padang Basar)aku, Di situ (Pakacangan) aku jua”

Menurut penuturan tujuh ulama pada saat itu mengatakan bahwa orang yang memiliki hajat (Nazar) terhadap makam syekh Sayid Sulaiman), seumpama ziarah di Pakacangan ke Padang Basar, ataupun sebaliknya ziarah ke Padang basar tetapi ke Pakacangan tidak, menurut para ulama disaat itu hajat (nazar) tersebut sudah dilunasi, tetapi menurut mereka lagilebih afdal ziarah ke Makam beliau yakni kubur beliau yang jahir di Pakacangan dan kubur beliau pada batin (nur) di Padang Basar diziarahi keduanya.

Mudah-mudahan kita mendapatkan berkah dari Allah SWT dengan berkat beliau seorang Waliyullah.
Amin Ya Rabbal A`lamin

Penyebaran Islam Oleh Tokoh Minang Di Sulawesi


‎Walaupun banyak yang sudah tahu, bahwasanya ada tiga orang datuk yang berasal dari Minangkabau itu – paling tidak berasal dari tanah Sumatera, yang mengislamkan wilayah-wilayah kerajaan di Sulawesi Selatan pada abad 16, yaitu :
1. Khatib Tunggal Datuk Makmur, atau populer di kalangan masyarakat Sulsel dengan nama Datuk Ribandang.

2. Khatib Sulung Datuk Sulaiman dikenal Datuk Patimang.

3. Syekh Nurdin Ariyani dikenal dengan nama Datuk RiTiro. 

Akan tetapi penulis yakin masih banyak generasi muda minang yang belum mendapat informasi seputar jasa tiga orang datuk dari Minangkabau, yang menyebarkan agama islam di Sulawesi Selatan.
Dari berbagai sumber, penulis berhasrat menyampaikan perihal tiga orang datuk yang disebut-sebut dari Minangkabau serta sebelumnya penulis tertegun didalam hati – adakah tiga orang datuk ini – masuk dalam bagian sejarah di Minangkabau ? Apa dan bagaimana perjuangan dan kiprah mereka dalam penyebaran agama islam di Sulawesi Selatan ini ? Berikut ini saya mencoba menyimpulkan sebagai berikut :

1. Wilayah Tallo dan Goa :

Sekitar awal abad ka 17, ketiga orang datuk ini mengislamkan Raja Tallo, pada hari Jumat 14 Jumadil Awal atau 22 September 1605, kemudian menyusul Raja Gowa XIV, yang akhirnya bernama Sultan Alauddin.” Kerajaan Tallo dan kerajaan Gowa merupakan kerajaan kembar yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Bahkan Mangkubumi (Perdana Menteri) kerajaan Gowa adalah juga Raja Tallo. Raja Tallo XV, Malingkaan Daeng Manynyonri merupakan orang pertama di Sulsel yang memeluk agama Islam melalui seorang ulama dari pantai Barat Sumatera, Khatib Tunggal Datuk Makmur, atau populer di kalangan masyarakat Sulsel dengan nama Datuk Ribandang. Oleh karena itu pulalah kerajaan Tallo sering disebut-sebut atau diistilahkan sebagai pintu pertama Islam di daerah ini atau dalam bahasa Makassar ” Timunganga Ri Tallo”.

Kemudian Raja Gowa secara resmi mengumumkan bahwa agama resmi kerajaan Gowa dan seluruh daerah bawahannya adalah agama Islam. Sebelum masuknya agama Islam di Sulsel, masyarakat masih menganut kepercayaan animisme. Dalam riwayat dikisahkan bahwa awalnya Datuk Ribandang sendiri bersama kawannya dilihat oleh rakyat kerajaan Tallo sedang melakukan shalat Asyar di tepi pantai Tallo. Karena baru pertama kalinya itu rakyat melihat orang shalat, mereka spontan beramai-ramai menuju istana kerajaan Tallo untuk menyampaikan kepada Raja tentang apa yang mereka saksikan. Raja Tallo kemudian diiringi rakyat dan pengawal kerajaan menuju tempat Datuk Ribandang dan kawan-kawannya melakukan shalat itu.

Begitu melihat Datuk Ribandang sedang shalat, Raja Tallo dan rakyatnya secara serempak berteriak-teriak menyebutkan ”Makkasaraki nabi sallalahu” artinya berwujud nyata nabi sallallahu. Inilah salah satu versi tentang penamaan Makassar, itu berasal dari ucapan ‘Makkasaraki’ tersebut yang berarti kasar/nyata.

Ada beberapa versi tentang asal mula dinamakannya Makassar selain versi tersebut. Datuk Ribandang sendiri menetap di Makassar dan menyebarkan agama Islam di Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, dan wafat di Tallo. Sementara itu dua temannya, masing-masing Datuk Patimang yang nama aslinya Khatib Sulung Datuk Sulaiman, menyebarkan agama Islam di daerah Suppa, Soppeng, Wajo dan Luwu, dan wafat dan dikebumikan di Luwu. Sedang Datuk RiTiro atau nama aslinya Syekh Nurdin Ariyani berkarya di sejumlah tempat meliputi Bantaeng, Tanete, Bulukumba. Dia wafat dan di makamkan di Tiro atau Bontotiro sekarang.

Dengan kedatangan kolonial Belanda , seluruh benteng-benteng pertahanan kerajaan Gowa di hancurkan kecuali benteng Somba Opu yang diperuntukkan bagi kerajaan Gowa dan benteng Ujungpandang (Fort Rotterdam) untuk pemerintahan kolonial Belanda, benteng pertahanan kerajaan Tallo juga dihancurkan. Penghancuran benteng-benteng pertahanan kerajaan Gowa-Tallo itu sesuai perjanjian Bungaya, 18 Nopember 1667, yang merupakan pula tahun kemunduran kejayaan kerajaan Gowa-Tallo waktu itu.

2. Makassar – Bulukumba – Luwu ;

Sentuhan ajaran agama islam yang dibawa oleh ulama besar dari Sumatera itu, juga terdapat di Bagian selatan Sulawesi Selatan yang lain, yaitu Kabupaten Bulukumba, yang bertumpu pada kekuatan lokal dan bernafaskan keagamaan”. masing-masing dibawa oleh 3 orang Datuk ; bergelar Dato’ Tiro (Bulukumba), Dato Ribandang (Makassar), dan Dato Patimang (Luwu),

3. Sementara dalam itu sejarah Islam Kabupaten Luwu dan Palopo, menerangkan bahwa kira-kira pada akhir abad XV M dan kira-kira pada tahun 1013 H, Agama Islam masuk didaerah Luwu yang dibawah oleh seorang alim Ulama yang arief ketatanegaraannya yaitu Datuk Sulaeman asal Minangkabau.

Pada waktu itu Luwu diperintah oleh seorang Raja yang bernama Etenrieawe. Ketika Datuk Sulaeman mengembangkan ajaran agama Islam di wilayah ini, hampir seluruh masyarakat Luwu menerima agama itu. Ketika itu kerajaan dibawah naungan Pemerintahan Raja Patiarase yang diberi gelar dengan Sultan Abdullah ( saudara kandungnya bernama Patiaraja dengan gelar Somba Opu) sebagai pengganti dari Raja Etenriawe, kemudian Datuk tersebut dalam mengembangkan Misi Islam, dibantu oleh dua ulama ahli fiqih yaitu Datuk Ribandang yang wafat di Gowa, dan Datuk Tiro yang wafat di Kajang Bulukumba .dan Datuk Sulaeman wafat di Pattimang Kecamatan Malangke, _+ 60 Km jurusan utara Kota Palopo melalui laut .

Datuk Sulaeman yang berasal dari Minangkabau ini kemudian dikenal dengan nama Datuk Patimang, karena beliau wafat dan dimakamkan di Pattiman.

4. Tak kurang ada sebuah hikayat yang mengkisahkan bahwa Al Maulana Khatib Bungsu (Dato Tiro) beserta kedua sahabatnya (Datuk Patimang dan Datuk Ribandang) mendarat di pelabuhan Para-para. Setibanya di darat, ia langsung menuju perkampungan terdekat untuk memberitahukan kedatangannya kepada kepala negeri. Namun dalam perjalanan menuju rumah kepala negeri, Dato Tiro merasa haus, dan beliau pun bermaksud untuk mencari air minum namun disepanjang pantai tersebut tidak terdapat sumur yang berair tawar. Dato Tiro menghujamkan tongkatnya di salah satu batu di tepi pantai Limbua sambil mengucap kalimat syahadat “Asyhadu Ala Ilahaillallah wa Ashadu Anna Muhammadarrasulullah”, anehnya setelah tongkatnya dicabut, keluarlah air yang memancar dari lubang di bibir batu tersebut. Pancaran air sangat besar dan tidak henti-hentinya mengalir sehingga akhirnya membentuk sebuah genangan air.Penduduk dan para pelaut kemudian memanfaatkan mata air ini untuk keperluan hidup sehari-hari. Hingga saat ini mata air tersebut tidak pernah kering dan ramai dikunjungi masyarakat.

5. Penulis belum menemukan Informasi di Ranah Minang mengenai siapakah gerangan jati diri tiga orang datuk ini yang diduga berasal dari Minangkabau.? Apakah ia berasal dari didikan dan santri dari Ranah Minang ?.

Diperoleh informasi bahwa para santri pesantren Sunan Giri – selain – dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih di Pulau Jawa dan ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara, ternyata para santri Sunan Giri ini – juga menyebarkan agama Islam hingga Sulawesi Selatan. Mereka itu adalah Datuk Ribandang dan dua sahabatnya. Mereka adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.

6. Sesungguhnya sebelum kedatangan tiga orang datuk ke tanah Bugis ini, telah ada beberapa penganjur Islam selain tiga orang datuk dari minangkabau, yaitu Sayyid Jamaluddin al-husayni al akbari yang merupakan kakek dari Walisongo. Ini berarti Islam sudah datang ke tanah Bugis, pada saat kedatangan para datuk’ (Datuk riBandang, Datuk riTiro dan Datuk riPatimang). Namun diterimanya agama Islam di kerajaan-kerajaan Bugis Makassar pada tahun 1598 (Gowa dan Luwu), menyusulAjatappareng (Sidenreng, Rappang, Sawitto) pada tahun 1605, Soppeng (1607), Wajo (1609), dan Bone (1611) adalah berkat usaha ketiga para Datuk riBandang ini. Ia mengislamkan Karaeng Matoayayang merupakan Mangkubumi kerajaan Makassar. Datuk Patimang (Datuk Sulaiman) mengislamkan Daeng Parabbung Datu Luwu dan Datuk riTiro memilih berdomisili di Bulukumba yang merupakan daerah perbatasan Bone dan Gowa untuk syiar Islam.

Islamnya Gowa adalah simbolitas kekuatan militer dan Luwu adalah pusat mitos Bugis Makassar. Dengan pengislaman dua kerajaan besar ini maka tidak ada alasan untuk menolak Islam bagi rakyatnya .

Islamisasi secara struktur adalah menjadikan syariat sebagai dasar negara. Sebelumnya telah ada ADE’, RAPANG, WARI, BICARA. Diterimanya Islam sebagai agama resmi kerajaan menjadikan syariat sebagai landasan kelima yaitu SARA’ akibatnya adalah dibuatkan jabatan struktural kerajaan yang baru yaitu QADHI, BILAL, KATTE’, DOJA sebagai perangkat syiar Islam kerakyat. 7. Pertanyaan kita sekarang. Apa yang menyebabkan tiga orang datuk ini berkunjung ke kerajaan-kerajaan di Sulsel itu untuk menyebarkan agama islam ?

a. Dugaan pertama karena masyarakat di wilayah itu masih menganut animisme sebagai mana yang telah diuraikan pada butir 1 diatas, sehingga raja Tallo dan Goa adalah raja yang pertama kali menganut agama islam.

b. Adanya persaingan antara Kristian dan Islam semakin sengit di Sulawesi Selatan pada awal abad ke 16 itu. Persaingan diantara Islam dan Kristian di Makassar disebabkan oleh raja Makassar sendiri yang tidak dapat memilih antara dua agama ini. Mereka meminta Abdul Makmur (Dato’ ri Bandang) datang melawat ke Makassar bersama dua orang temannya iaitu Sulaiman (Dato’ ri Pa’timang) dan Abdul Jawad (Dato’ ri Tiro). Kemudiannya Islam tersebar di seluruh Sulawesi Selatan atas jasa ketiga-tiga pendakwah ini. Dunia Bugis Pada Abad Ke 16 telah di ramaikan oleh berbagai komoditi perdagangan. Ekspor Sulawesi Selatan ketika itu ialah padi, yang diekspor ke Melaka, yang sudah dikuasai Portugal.

Pada tahun 1607, Sultan Johor yang bermusuhan dengan Portugis mencoba menghambat ekspor ini. Produk-produk pertanian lain adalah kelapa, buah-buahan dan sayur-sayuran. Jenis peternakan adalah kerbau, kambing, ayam dan itik. Sedangkan hasil-hasil alam yang dibawa dari kawasan Sulawesi dan sekitar nya yang diekspor antara lain ialah kayu cendana (dari Kaili dan Palu),kayu sapan (dari Sumba), kayu aguila, resin, dll Tidak ketinggalan bahan tekstil yang dibuat di Sulawesi Selatan yang cukup popular pada abad ke 16 itu. Pada tahun 1544 – kain putih – dikenal dengan sebutan “kain katun “, dijual pada harga 200 rial. Hal ini membuktikan bahwa Sulawesi Selatan sudah pun memasuki sistem perdagangan antar bangsa dan menggunakan mata uang asing (Portugis). Rial menjadi salah satu mata uang utama, dimana sebelumnya sistem penukaran uang belum dilakukan dengan cara ini.

Tahukah Anda ?, pada masa itu sebelum mengenal sistem pertukaran uang, kerbau adalah satuan penukaran dan mungkin dijadikan sebagai petunjuk utama. Yang menyedihkan kala itu, terdapat juga komoditi ekspor baru yaitu budak. Kebanyakan para budak itu adalah para tawanan perang yang yang entah siapa saja, meliputi kanak-kanak dan wanita yang berasal dari ditawan Bugis. Harga seorang hamba boleh mencapai 1000 rial..!! yang ketika itu merupakan suatu tawaran yang cukup menarik bagi Portugis. Perdagangan budak semula mendapat tempat pada abad 15 itu, disebabkan oleh permintaan dari luar. Sejalan dengan dengan dihapuskannya perdagangan budak didunia, bangsa asing yang masuk kewilayah Sulawesi mengalihkan perhatiannya pada Emas. Pertambangan Emas berada di pergunungan Toraja dan Luwu’. Selain itu Mineral-mineral lain yang diekspor ialah besi (dari Luwu’ dan Banggai), kuprum dan plumbum. Apa jadinya wilayah Sulawesi pada kondisi dikuasai oleh pengaruh asing – Portugis, Spanyol, jika sekiranya tidak ada tiga orang datuk yang berasal dari Minangkabau di tanah Sumatera berkunjung ke Sulawesi Selatan pada akhir abad 16 itu.

Bangsa Portugis dan Spanyol adalah bangsa yang sangat berkepentingan untuk meraup hasil bumi di pulau Celebes dan Maluku. Langkah lebih lanjut adalah adakah intitusi di Ranah Minang yang melakukan penelitian tentang kiprah Tiga Orang Datuk ini bagi penyebaran agama Islam. Pada empat abad sebelum sekarang, mereka telah berjihad bagi agama islam yang merupakan fondasi dasar bagi ciri orang Minangkabau. Bagaimana sikap kita dalam memposisi tiga orang datuk ini dalam sejarah Minangkabau ?

Mereka menyebarkan agama Islam dengan cara membagi wilayah syiar mereka berdasarkan keahlian yang mereka miliki dan kondisi serta budaya masyarakat Sulawesi Selatan atau Bugis/Makassar k‎etika itu. Datuk Patimang yang ahli tentang tauhid melakukan syiar Islam di Kerajaan Luwu, sedangkan Datuk ri Bandang yang ahli fikih di Kerajaan Gowadan Tallo sementara Datuk ri Tiro yang ahli ‎tasawuf di daerah Tiro dan Bulukumba.‎

Pada awalnya Datuk Patimang dan Datuk ri Bandang melaksanakan syiar Islam di wilayah Kerajaan Luwu, sehingga menjadikan kerajaan itu sebagai kerajaan pertama di Sulawesi Selatan, Tengah danTenggara yang menganut agama Islam. Kerajaan Luwu merupakan kerajaan tertua di Sulawesi Selatan dengan wilayah yang meliputi Luwu, Luwu Utara, Luwu Timurserta Kota Palopo, Tana Toraja, Kolaka(Sulawesi Tenggara) hingga Poso(Sulawesi Tengah).

Seperti umumnya budaya dan tradisi masyarakat nusantara pada masa itu, masyarakat Luwu juga masih menganut kepercayaan animisme/dinamisme yang banyak diwarnai hal-hal mistik dan menyembah dewa-dewa. Namun dengan pendekatan dan metode yang sesuai, syiar Islam yang dilakukan Datuk Patimang dan Datuk ri Bandang dapat diterima Raja Luwu dan masyarakatnya. Bermula dari masuk Islam-nya seorang petinggi kerajaan yang bernama Tandi Pau, lalu berlanjut dengan masuk Islam-nya raja Luwu yang bernama Datu' La Pattiware Daeng Parabung pada 4-5 Februari 1605, beserta seluruh pejabat istananya setelah melalui dialog yang panjang antara sang ulama dan raja tentang segala aspek agama baru yang dibawa itu. Setelah itu agama Islam-pun dijadikan agama kerajaan dan hukum-hukum yang ada dalam Islam-pun dijadikan sumber hukum bagi kerajaan.

Dialog Datuk Sulaiman dengan Arung Matowa La Sangkuru tentang Tuhan
Di awal penyebaran Islam, terjadi dialog antara Datuk Sulaiman atau Datuk Pattimang dengan Arung Matowa Wajo saat itu yaitu La Sangkuru Patau Mulajaji tentang Tuhan. Dialog itu terekam dalam Lontara Sukkuna Wajo, yang menggambarkan bagaimana kepercayaan dimasa lalu. Adapun kutipan dialognya sebagai berikut

Alqissah naiya riwettu engkanana Dato Sulaiman ri Wajo sitani Arung Matowae La Sangkuru nakkutanani Arung Matowae tampu'na asellengengnge. Makkedai Dato, iko pauwanga riolo aga akkasioremmu. Ri poadanni ri Arung Matowae bicaranna Dewata Seuwae Puang Seuwae. Iyami mappakangka, mappade'. Patuo Pauno, Puweng memengngi tekepammula tekkepaccappureng. De nakkeonrong sangadinna akkelo, na agi agi apoelo iyatoni nangoloi ati sibawa watakkale. Makkoniro akkatenningeng ri pomanae ri Arung Matowae La Mungkace To Uddamang Matinroe ri Kananna napomana massossoreng

Alkisah diwaktu kedatangan Datuk Sulaiman di Wajo, bertemu dengan Arung Matowa La Sangkuru. (Maka) Bertanyalah Arung Matowa (tentang) kandungan (ajaran) Islam. Berkata Datuk Sulaiman, anda (sebaiknya) mengatakan terlebih dahulu apa pegangan anda. Dikatakanlah oleh Arung Matowa perihal Dewata Seuwae Puang Seuwae. Dialah yang menciptakan dan menghancurkan. Menghidupkan (dan) Mematikan. Tuhan tak berawal (dan) tak berakhir (abadi). Tidak bertempat kecuali kehendakNYA. Apapun kehendaki itu juga yang dihadapkan hati dan tubuh. Demikianlah pegangan (kami) yang diwarisi dari Arung Matowa La Mungkace To Uddamang Matinroe ri Kannana diwarisi turun temurun.

Makkedai Dato, madecengnisatu usedding tampu'mu Arung Matowa iyatu muasenge Dewata Seuwae Puang Seuwa iyanaritu Allah Taala majeppu de'duanna tenrijajiang teppajajiang de'to sikupu seuwa, de to risompa sangadinae. De' patuo pauno sangadinae, nae madecengngi muwalai anunappesangkangnge naharange nabitta Muhamma, nakado Arung Matowae

Berkata Datuk Sulaiman, saya rasa keyakinanmu Arung Matowa yang anda maksud Dewata Seuwae Puang Seuwae adalah Allah Ta ala yang sesungguhnya tidak ada duanya tak dilahirkan (dan) tak melahirkan dan tidak ada yang menyamainya, tidak ada disembah kecuali DIA. Tidak ada yang menghidupkan dan mematikan kecuali DIA. Maka baiklah anda meninggalkan apa yang dilarang (dan) diharamkan nabi kita Muhammad SAW. (dan) Mengangguklah (tanda setuju) Arung Matowa

Dari dialog diatas dapat disimpulkan bahwa Datuk Sulaiman tidak mengajarkan tentang konsepsi Ketuhanan kecuali menegaskan kembali. Datuk Sulaiman menyamakan makna kata "Dewata Seuwae Puang Seuwae" dengan "Allah Ta ala" setelah dijelaskan oleh Arung Matowa. Sehingga konsekwensi dari menyembah Tuhan adalah meninggalkan segala larangannya dan yang diharamkan oleh Nabi Muhammad SAW. 

Menyesuaikan dengan tradisi Bugis, Arung Matowa beserta perangkat adat dan rakyatnya mengadakan "mandi suci" kemudian bersumpah. Setelah itu tanggal 15 Shafar 1019 barulah beliau bersyahadat bersama Timurung, Pammana (La Mappapoli to Pasajoi Datu Pammana), Gilireng, Belawa dan Pitu riawa

Wafatnya Sang Ulama
Setelah Raja Luwu dan keluarganya beserta seluruh pejabat istana masuk Islam, Datuk Patimang tetap tinggal di Kerajaan Luwu dan meneruskan syiar Islamnya ke rakyat Luwu, Suppa, Soppeng,Wajo dan lain-lain yang masih banyak belum masuk Islam. Dikemudian hari sang penyebar Islam itu-pun akhirnya wafat dan dimakamkan di Desa Patimang, Luwu.

Sementara itu Datuk ri Bandang pergi dari kerajaan Luwu menuju wilayah lain di Sulawesi Selatan dan kemudian menetap di Makassar sambil melakukan syiar Islam di Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, lalu dikemudian hari sang ulama itu-pun akhirnya wafat di wilayah Tallo. Sedangkan Datuk ri Tiro yang ahli tasawuf melakukan syiar Islam di wilayah selatan, yaitu Tiro,Bulukumba, Bantaeng dan Tanete, yang masyarakatnya masih kuat memegang budaya sihir dan mantera-mantera. Khatib Bungsu atau Datuk ri Tiro yang kemudian berhasil mengajak raja Karaeng Tiro masuk Islam dikemudian hari juga wafat dan dimakamkan di Tiro atau sekarang Bontotiro.

Masyarakat Sulawesi Selatan pada zaman dahululu memiliki keyakinan yang beragam. Untuk etnis Bugis dan Makassar serta Mandar, telah memahami konsepsi ketunggalan Tuhan. Mereka menyebut dengan nama “Dewata SeuwaE” yang berarti Tuhan yang tunggal.

Kata “Dewata” menurut Mattulada berasal dari kata “De” dan “Watang” yang bermakna tiada yang mampu mengalahkan kekuatannya. Ada juga yang mengatakan bahwa “De” dan “Watang” berarti tidak memiliki jasmani. Bukan juga tidak mungkin, kata “Dewata” adalah istilah yang diserap dari kebudayaan lain. Tapi terlepas dari berbagai anggapan di atas, masyarakat Sulawesi Selatan umumnya di zaman dahulu telah meyakini ketunggalan Tuhan.

Meski demikian, kepercayaan dahulu juga menempatkan kekuatan-kekuatan magis dalam sistem keyakinannya. Sehingga, hingga hari ini kita masih menemukan praktek ritual kuno yang ditujukan terhadap kekuatan magis tersebut. Ini berarti bahwa Islamisasi di Sulawesi Selatan mengalami akulturasi dengan kebudayaan lokal.

Proses Islamisasi

Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan sebenarnya telah berjalan sebelum awal abad ke-17. Atau sebelum kerajaan-kerajaan mengakui Islam sebagai agama resmi. Hal ini diindikasikan dengan adanya makam wali di Sulawesi Selatan, atau cerita rakyat maupun naskah kuno sebelumnya yang berkisar abad ke-13 dan 14. Meski demikian masih membutuhkan penelitian kesejarahan yang lebih mendalam.

Pada akhir abad 16 kerajaan Makassar adalah kerajaan yang terkuat di timur nusantara yang telah berinteraksi dengan kerajaan luar seperti Portugis, Denmark, Inggris dan Spanyol. Hal ini membuat kaum jesuit tertarik untuk menyebarkan misi kristen di Sulawesi. Maka datanglah misionaris dari Portugis yang menawarkan kristen kepada Raja Makassar. Bahkan misionaris Portugis sempat mengkristenkan Datu Suppa (Pinrang) dan Raja Siang (Pangkep). Namun pada saat yang hampir bersamaan, kerajaan Ternate dan Aceh juga menawarkan Islam.

Sejarah mencatat, Sultan Iskandar Muda Raja Aceh mengirim Dato’ ri Bandang, Dato’ ri Tiro dan Dato’ Sulaiman untuk menyebarkan Islam. Di tempatain, La Mungkace to Udamang, Raja Wajo pernah bermimpi melihat orang shalat dan tertarik. Namun merasa ajalnya sudah dekat, beliau mewasiatkan bahwa akan ada agama baru dan hendaknya rakyatnya mengikuti agama tersebut.Sebelum Dato’ ri Bandang menemui Karaeng Tallo (mangkubumi kerajaan makassar), I Malingkaan daeng Nyori Karaeng Tallo bertemu dengan seorang yang berjubah warna keemasan dan menganjurkan agar menerima Islam. Padahal sebelumnya, putranya hendak membunuh Dato’ ri Bandang.

Ketika Dato’ ri Bandang mengunjungi Karaeng Tallo, beliau mengucapkan salam dan dijawab juga dengan salam. Proses selanjutnya Karaeng Tallo beserta anaknya mengucap dua kalimat syahadat. Memang kisah pengislaman terkadang berbau mistis, sehubungan dengan paradigma masyarakat pada saat itu. Tapi bukan berarti pembenaran terhadap rasionalitas empiris yang serta merta menolak pandangan seperti itu.

Di Luwu, Dato’ ri Sulaiman (Dato’ Patimang) bertemu dengan Datu Luwu yaitu Daeng Parabbang dan berdiskusi tentang ketuhanan. Ternyata konsep Dewata Seuwae yang dipahami Datu Luwu dan rakyatnya kemudian disebut Dato’ Patimang sebagai Allah Subhanahu Wataala dan konsekuensinya adalah mengakui kerasulan Muhammad. Dengan mudah Raja Luwu mengucapkan dua kalimat syahadat.

Gowa Tallo (Makassar) adalah simbol kekuatan politik dan militer kerajaan pada saat itu. Dan Luwu adalah simbol tradisi mistik. Islamnya kerajaan Makassar dengan Luwu adalah kemenangan besar dalam Islamisasi. Saat Dato’ Patimang meminta Datu Luwu untuk menyebarkan Islam, Datu Luwu dengan rendah hati mengatakan bahwa di Gowalah kekuatan dan menganjurkan agar Islamisasi dilaksanakan oleh Gowa karena kekuatan politik dan militer yang dimilikinya.

Gowa menyerang Siang dan Suppa yang sempat dikristenkan lalu diIslamkan. Kemudian kerajaan-kerajaan Ajatappareng (Sidenreng, Rappang) dan Mandar pada tahun 1605. Selanjutnya kerajaan Soppeng di Islamkan pada tahun 1607. Pasukan gabungan Soppeng dan Gowa menyerang Wajo dan Wajo pun diIslamkan pada tahun 1609. Selanjutnya, pasukan Gowa, Soppeng dan Wajo menyerang Bone pada tahun 1611. Takluknya Bone adalah dalam musu selleng “Perang Islamisasi” adalah pertanda masyarakat jazirah Sulawesi Selatantelah menerima Islam.

Diakuinya Islam menjadi agama resmi kerajaan, berimbas pada berubahnya konstitusi dan struktur kerajaan. Pangadareng adalah konstitusi kerajaan yang terdiri dari

1.Ade’ yang berarti undang-undang atau ketetapan permanen.
2.Rapang yang kurang lebih berarti yurisprudensi.
3.Wari’ yang bermakna aturan-aturan termasuk keprotokoleran
4.Bicara yang berarti kesepakatan dewan kerajaan.

Setelah masuknya Islam, maka faktor ke-5 adalah syara’ atau syariat. Dari sinilah perlahan syariat Islam ditegakkan. Kebiasaan pra Islam misalnya makan babi, minum lawar dan ballo’ dihilangkan untuk mengikuti syariat Islam. Disamping itu, peran Bissu pendeta Bugis diminimalisir.

La Maddaremmeng Arungpone adalah Raja Bone yang tegas dalam Islamisasi. Beliau bermaksud memerdekakan strata “Ata” atau budak, namun ditentang oleh petinggi kerajaan. Sementara di kerajaaan Makassar, Syeh Yusuf berbeda pendapat dengan Karaeng Patingallong tentang Ballo’ dan Botoro’ (minuman keras dan judi). Akibatnya, Syeh Yusuf memilih meninggalkan Makassar dan bermukim di Banten.

Tokoh-tokoh Islam Sulawesi Selatan seperti 3 Dato’ dari Minangkabau, Syeh Samman dan Syeh Yusuf adalah penganjur tradisi Khalwatiah. Mungkin karena hal ini maka sampai hari ini masih banyak penganut tradisi ini. Pengaruh Wahabi juga sempat masuk pada abad ke-19, namun paradigma mistik masyarakat tidak memberi ruang yang luas terhadap ajaran ini. Untuk menerapkan syariat, dibentuk Institusi yaitu Qadhi (Hakim), Khatib, Imam, Bilal dan Doja. Merekalah yang mengajarkan masyarakat tentang Islam, mulai dari mengaji, fikih sampai pada pengetahuan sufistik.

Berkembangnya Muhammadiyah di Sulawesi Selatan berperan signifikan dalam pola keberislaman masyarakat. Namun satu hal yang perlu diakui adalah Islamisasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah di sebagian Toraja yang masih menganut kepercayaan lokal dan Kristen.

Terbentuknya pesantren pada zaman kemerdekaan oleh ulama lokal seperti KH. Muh. As’ad, KH. Ambo Dalle dan Imam Lapeo berperan penting dalam memperluas syiar Islam.

Akulturasi Islam dan Budaya Lokal

Begitu kentalnya akulturasi Islam dan budaya sehingga ketika kita membahas hal-hal metafisis maka akan sulit dibedakan antara sufistik Islam dengan tradisi lokal. Namun pada tataran ritual, maka akulturasi itu akan nyata terlihat. Misalnya, ritual naik rumah baru pra Islam digantikan dengan pembacaan Barzanji. Dalam tradisi lokal, telur memiliki maknatelur. Akan tetapi, untuk mengajak masyarakat agar lebih mengenal Nabinya melalui Maulid, maka ditengah Mesjid dipasang telur yang dihias yang kemudian diperebutkan dengan harapan mendapatkan berkah dari Nabi.

Pengajaran agama secara tradisional dimulai dengan mengaji dengan metode pengkhidmatan. Dimana anak yang belajar mengaji disuruh untuk mengangkat air oleh guru mengajinya. Ketika beranjak dewasa dan bermaksud mendalami hal-hal batiniah, maka dituntut melakukan tazkiyatun nafs. Saat ia dianggap sudah mampu, maka diajarkan ilmu sufistik secara rahasia. Yaitu di dalam kelambu dan menggigit potongan emas.

Dalam tradisi tutur masyarakat ditemui kisah tentang dikalahkannya Sawerigading sang tokoh legendaris oleh Muhammad kecil pada pertandingan adu kesaktian. Kisah ini diyakini banyak orang, tapi menurut hemat penulis, ini tidak lebih sebagai sebuah pola dakwah untuk mengikis ketokohan Sawerigading. Hal ini mirip dengan ketundukannya para Pandawa oleh Semar dalam kebudayaan Jawa. Kita tidak akan menemui Semar yang memiliki Jimat Kalimasada (kalimat syahadat) pada Mahabarata yang aslinya yaitu di India.

Tradisi tutur lain adalah cerita Indra Patara yang berkisah perjalanan seorang pangeran Persia yang lebih memilih ketinggian akhlak ketimbang kekuasaan. Indra Patara dikisahkan kepada pangeran-pangeran kecil sebelum tidur. Hingga hari ini, walau terancam punah, kita masih mendapatkan hiburan gambusu’ yang merupakan budaya serapan dari timur tengah yang ditampilkan saat walimah pernikahan.Pada naskah Lontara, Stempel Kerajaan, dan Bendera Kerajaan, tak jarang kita temui penggunaan huruf hijaiyah selain aksara lontara maupun latin.

Dari sekelumit hal di atas dapat dipahami bahwa budaya lokal terbuka terhadap perubahan dan pengaruh luar selama sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Namun kita masih temukan ritual kuno di pelosok yang dipadukan dengan ajaran Islam, atau bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan Islam. Sementara kondisi masyarakat di Sulawesi Selatan hari ini berada di zaman modern dan global. Sehingga berbagai varian-varian Islam seperti gerakan Wahabiyah dan Ikhwanul Muslimin ikut mewarnai Islamisasi. Di pihak lain, intervensi budaya asing sedang gencar-gencarnya. Menjadi tanda tanya dan tantangan generasi hari ini untuk melanjutkan proses Islamisasi yang masih terus berproses mencari bentuknya : Islam Sulawesi.

Ini kejadian di thn 1605 , abad 17.

Tandipau menguji kesaktian ilmu Datuk Sulaiman. Seorang tamu terhormat Raja Luwu dari Tanah Minangkabau.

Berkata Tandipau kepada Sulaiman,”Selaku muslim, Ilmu apa yang dapat kamu perlihatkan kepada kami  yang bukan muslim?”.
“Tadak banyak”, jawab Sulaiman.”Namun Saya mohon kepada tuan,jika tak keberatan,  membawakan sebuah gentong kosong dan air seukuran gentong kehadapan Saya?”, pinta Sulaiman dengan nada merendah. Selang  lima menit kemudian, gentong permintaan Datuk sudah ada dihadapannya.”Tapi, kalau boleh Saya tahu Datuk, gentong ini untuk apa,yah?” .Sambil menumpahkan air ke dalam gentong Datuk berucap,”Lihat saja nanti.Apa yang Tuan  inginkan akan Tuan lihat sendiri”.

Gentong yang telah sesak dengan air puti tadi kemudian diletakkan di atas tanahdatar.Tandipau dan para petinggi kerjaan Luwu yang hadir  memperhtikan dengan seksama.‎
“Tandipau”, tanya Datuk Sulaiman,”Saya persilahkan Tuan mengangkat gentong itu, lalu mulutnya di balik menghadap ke tanah. Dan tahan sampai 5 menit.Boleh tuan?”

Tandipau memenuhi permintaan Datuk Sulaiman.Gentong penuh air diangkat ke atas lalu mulutnya di balik menghadap tanah.Apa yang terjadi? Tak setetespun air jatuh dari perut gentong yang sesak.Ini berlangsung selama 5 menit.

“Anda benar-benar  hebat”, kata Tandipau pada Tamunya.

Tapi Tandipau lebih kagum pada yang satu ini. Enam butir telur disusun vertikal di atas lantai. Tiga menit kemudian satu butir diambil yang menyebabkan ada ruang kosong antara dua telur bagian atas dan tiga telur bagian bawah.

Logika  Tandipau bekata,”Dua telur bagian atas pasti jautuh karena tak adalagi telur yang mengganjal”.Kenyataannya tidak demikian.Kelima telur ayam itu tetap tersusun vertikal seperti semula.Tak satupun dari telur itu jatuh berantakan.
“Itulah yang Saya miliki Tuan”, ucap Datuk Sulaiman mengakhiri dmonstrasinya.

Cerita selanjutnya. Raja Luwu akhirnya  mempersilahkan Datu Sulaiman berdagang dan melakukan syiar islam.Dan Tandipau menjadi orang pertama dari kerajaan  Luwu saat itu memeluk Islam.Namanya kemudian dijadikan nama jalan di salah satu jalan poros Kota Palopo Sul-Sel.‎

Fakta sejarah dari kerjaan luwuk itu merupakan counter attack dari anggapan bahwa Islam disebarkan dengan pedang. Tidak, Islam tidak disebarkan dengan pedang, melainkan disebarkan dengan cara lembut dan santun  yang berdiri di atas hati yang suci.‎

Hikayat Datu Suban Tapin


Datu suban sering disebut juga datu sya'iban ibnu zakaria zulkifli dgn ibunda bernama maisyarah, beliau hidup dikampung muning tatakan kabupaten tapin rantau kalimantan selatan, beliau semasa hidupnya mempunyai martabat tinggi dan mulia, peramah dan paling disegani yg patut diteladani oleh kita sebagai penerus dan pewaris yg hidup diabad modern ini.
Datu Suban atau Datu Sumiran atau Datu Syaiban adalah penduduk asli kampung Tatakan. Beliau Hidup bersama seorang istri, tinggal di Pantai Munggu Karikil, Rantau. Karena sangat miskinnya setiap harinya beliau hanya makan ubi kayu. Namun kemiskinan bukanlah penghalang bagi beliau untuk mengajarkan ilmu-ilmu yg beliau miliki.

Selain ahli ilmu Tasawuf, Datu Suban Juga ahli dalam ilmu Taguh (kebal), ilmu Kabariat, ilmu dpat berjalan di ats air, ilmu Maalih Rupa, ilmu Pandangan Jauh, ilmu Pengobatan, ilmu Kecantikan, ilmu Falakiah, ilmu Tauhid dan ilmu Firasat. Dengan ilmu yg dimiliki. Selain ilmu Tasawuf, Datu Suban jga ahli dlm ilmu Taguh(kebal),ilmu Kabirat,ilmu dpat berjalan di ats air,ilmu Maalih Rupa,ilmu Pandangan Jauh,ilmu Pengobatan,ilmu kecantikan,ilmu Falalakih,ilmu Tauhid dan ilmu Firasat. Dengan ilmu yg dimiliki beliau itulah banyak orang brdatangan dari berbgai daerah untk menuntut ilmu2 trsebut kpada beliau.
Murid Beliau Yang Terkenal Ada 13.
1.  Datu Murkat
2.  Datu Taming Karsa
3.  Datu Niang thalib
4.  Datu Karipis
5.  Datu Ganun
6.  Datu Argih
7.  Datu ungku
8.  Datu Labai Duliman
9.  Datu Harun
10.Datu Arsanaya
11.Datu Rangga
12.Datu Galuh Diang Bulan‎
13.Datu Sanggul
Datu Suban mulai mengajarkan dan menerangkan isinya dan masing2 Datu mengambil Pak ilmu yang cocok untuk diri mereka. Menurut riwayatnya :

DATU MURAKAT yang merupakan murid tertua dan pertama mengambil ilmu andalan yaitu ilmu Kepahlawanan agar disegani orang. Sebagaimana diceritakan, apabila ada orang yang berniat jahat terhadapnya, maksud jahat orang tersebut tidak akan mengenainya, tubuhnya kebal, tidak mempan senjata yang terbuat dari besi.
DATU TAMING KARSA murid yang kedua mengambil ilmu Panglima Kelasykaran yang tiada lawan kehebatannya. bergelar Singa Jaya. Mempunyai andalan ilmu pangkima kelasykaran, supaya gagah perkasa di medan perang. Ia diangkat menjadi panglima dalam beberapa peperangan saat melawan penjajah Belanda.
DATU NIANG THALIB murid yang ketiga mengambil ilmu Kabariat Dunia. Jika beliau menghentakkan kaki maka orang akan terkulai lemah tak berdaya dan sampai sekarang beliau masih hidup yaitu sebagai penguasa alam ghaib hutan Pulau Kadap.
DATU KARIPIS murid yang keempat mengambil ilmu Kuat dan dapat berjalan diatas air, juga memiliki ilmu tahan dibakar dan kebal terhadap berbagai macam senjata.
DATU GANUN murid yang kelima mengambil ilmu Kesempurnaan dan Kejayaan, dapat mengCloning diri hingga empat. mempelajari ilmu kesempurnaan dan kejayaan, dapat merubah diri menjadi empat tubuh sekaligus yang rupa dan bentuknya sama dan sulit diketahui mana tubuh yang asli.
DATU ARGIH murid yang keenam mengambil ilmu Kesempurnaan dunia-akhirat.
DATU UNGKU murid yang ketujuh mengambil ilmu Kabariat dunia. Dengan sekali tepuk tangan saja semua orang akan roboh tak berdaya.
DATU LABAI DULIMAN murid yang kedelapan mengambil ilmu Ahli Huruf ( Ilmu Falakiyah ) perterjemah dan dapat mengetahui isi alam. punya kelebihan khusus di antara murid-murid lainnya di bidang ilmu Falakiyah (ilmu membaca dan menafsirkan huruf), ahli di bidang perbintangan dan pengetahui isi alam. Konon, ia dapat mengetahui kapan turunnya hujan, kapan jatuhnya dedaunan dari dahannya dan sebagainya.
DATU HARUN murid yang kesembilan mengambil ilmu kebal.lebih cenderung mengambil ilmu dunia, seperti ilmu kebal, kuat perkasa dan badannya keras bagai besi.
DATU ARSANAYA murid yang kesepuluh, mulanya suka menzalim kemudian dengan kebijakan dan didikan Datu Suban ia bertobat, dapat ilmu yang sempurna, akhirnya dia menjadi orang yang Shaleh.
DATU ANGGA mengambil ilmu Kabariat Dunia semata2.mempelajari ilmu kewibawaan dan ilmu dunia, seperti kepanglimaan, kekebalan dan lainnya.
DATU GALUH DIANG BULAN mengambil ilmu kecantikan atau awet muda. Beliau mempunyai keahlian untuk bamandi-mandi supaya awet muda dan cantik.
DATU SANGGUL merupakan murid yang paling akhir dan terkemudian menerima ilmu. Tetapi, ilmu yang beliau dapat adalah ilmu yang paling sempurna yaitu ilmu Makrifatnya kepada Allah SWT.‎

Diantara ilmu-ilmu yg selalu diajarkan dlm setiap kesempatan beliau selau mengajarkan ilmu mengenal diri (ilmu ma'rifat) dgn tarekat memusyahadahkan Nur Muhammad, hal ini tdklah mengherankan karena sebelum datu suban mengajarkan ajaran makrifat melalui tarekat Nur Muhammad ini, seorang ulama banjar yaitu syekh Ahmad Syamsuddin Al-Banjari telah menulis asal kejadian Nur Muhammad itu, yg naskahnya ditemukan oleh seorang orientalis bangsa Belanda R.O.Winested.

Di antra ilmu2 yg selalu beliau ajarkan atau tak pernah ditinggal dlm setiap pemberian pelajaran adlh ilmu mengenal disi(Ilmu Ma'rifat) dgn tarekat memusyahadahkan Nur Muhammad menurut beliau,untk mengenal diri itu trlebih dahulu harus tahu arti diri, yaitu: 1.apa arti Diri Tajalli. 2.apa arti Diri Terpari. 3.apa arti Diri Dipari-pari. 4.apa arti Diri Yang Berdiri.
Apabila seseorang telah mengenal ini dgn baik maka pd thap brikutnya ia akan mengenal Allah SWT. Dri sni akan timbul kyakinan bhwa Allah itu Esa,Esa Sifat,Esa Asma, dan Esa pula Af'al-Nya.
Datu suban dikenal sbgai slah seorang wali Allah, beliau memiliki karamah kasyaf,yaitu trbukanya tabir rahasia bgi beliau,sehingga dapat mengetahui pristiwa yg akan terjadi,seperti beliau sdh tahu bhwa akan kdatangan tamu manusia raksasa,Datu Nuraya.‎

Dpat pula mengetahui smpai dimana kmampuan murid2nya dlm menrima ilmu yg diberikannya,seperti akan menyerahkan kitaa pusaka. Kitab trsebut beliau serahkan kpada Abdus Samad(datu sanggul)murid paling akhr yg ikt blajar kpada beliau. Menurut pndangan khasaf bliau hnya Abdus Samad lah yg dpt menerima,mengamalkan, serta mengajarkannya,sdang murid2 yg lain tdk mampu. Karamah atau ksaktian lain yg beliau miliki adlah beliau dpat mengetahui akan tibanya ajal beliau. Ktika dri mata beliau keluar sbuah sosok yg rupanya sangat bagus,brcahaya,dan brpakaian hijau. Ini brarti tujuh hari lagi beliau akan berpindah alam. Empat hari kmudian dari tubuh datu Suban keluar chaya yg sangat cemerlang brwarna putih,bsarnya sm dgn tubuh beliau dan brbau harum semerbak. Ini brarti 3hari lg beliau akan meninggalkan dunia fana ini. Oleh karna itu,segera Datu Suban memanggil para murid2nya. Stelah smuanya brkumpul,beliau brkata, "murid-muridku yg kucintai,kalian jgn trkejut ats panggilan yg mendadak ini,karna pertemuan kita hanya hri ini sja lgi, nanti mlam jam satu tengah malam aku akan meninggalkan dunia yg fana ini. Hal ini tdak bisa ditunda-tunda lgi,karena ketentuan Allah telah berlaku"

Datu suban dikenal sebagai wali Allah beliau memiliki karamah kasyaf yaitu terbukanya tabir rahasia bagi beliau sehingga dapat mengetahui sampai dimana kemampuan murid muridnya dlm menerima ilmu-ilmu yg diberikannya, seperti akan menyerahkan kitab pusaka yg kemudian hari dinamakan kitab barencong, kitab tsb beliau serahkan kepada Datu Sanggul (abdussamad), murid terakhir yg belajar kepada beliau, menurut pandangan kasyaf beliau hanya abdussamad lah yg dapat menerima, mengamalkan dan mengajarkannya,karamah beliau yg lain beliau mengetahui ketika akan tiba ajalnya, ketika dari mata beliau keluar sebuah sosok yg rupanya sangat bagus, bercahaya dan berpakaian hijau, ini berarti tujuh hari lagi beliau akan berpindah alam, empat hari kemudian dari tubuh datu suban keluar lagi cahaya berwarna putih amat cemerlang, besarnya sama dgn tubuh beliau dan berbau harum semerbak, ini berarti tiga hari lagi beliau akan meninggalkan dunia fana ini, oleh karena itu beliau segera mengumpulkan semua murid muridnya, setelah semua muridnya berkumpul beliau berkata, "Murid murid yg aku cintai, kalian jangan terkejut dengan panggilan mendadak ini, karena pertemuan kita hanya hari ini saja lagi, nanti malam sekitar jam satu tengah malam aku akan meninggalkan dunia yg fana ini, hal ini sudah tidak bisa ditunda tunda lagi, karena ketentuan ALLAH telah berlaku". Kemudian beliau membacakan firman ALLAH surat An-Nahal ayat 61 yang berbunyi: ‎

"Apabila sudah tiba waktu yang ditentukan maka tidak seorang pun yang dapat mengundurkannya dan juga tidak ada yang dapat mendahulukannya." mendengar ucapan beliau itu semua yg hadir diam membisu seribu bahasa.
"Nah,waktuku hampir tiba"kata Datu suban memecah kesunyian itu.

"Mari kita berzikir bersama sama untuk mengantarkan kepergianku"kata Datu Suban lagi. Semua murid dipimpin oleh beliau serentak mengucapkan zikir "Hu Allah...Hu Allah...Hu Allah..."

"Perhatikanlah ..apabila aku turun kurang lebih 40 hasta sampai pada batu berwarna merah sebelah dan hitam sebelah, aku berdiri disana nanti, maka pandanglah aku dengan sebenar benarnya, yang ada ini atau yang tiada nanti, lihatlah akau ada atau tiada, kalau ada masih diriku ini tidak menjadi tiada, berarti ilmu yang kuajarkan kepada kalian belum sejati, tetapi bila aku menjadi tiada berarti ilmu yang kuajarkan kepada kalian adalah ilmu sejati dan sempurna".

Setelah berkata demikian beliau diam, kemudian meletuslah badan Datu Suban dan timbul asap putih, hilang asap putih timbul cahaya (nur) yang memancar mancar sampai keatas ufuk yang tinggi,kemudian lenyap ditelan kemunculn cahaya rembulan. Semua yang hadir takjub menyaksikan kejadian itu,kemudian terdengar gemuruh ucapan murid murid beliau...Inna lillahi wainna ilaihi raaji'uun

Kisah Datu Nur Raya Dan Datu Suban 

Tak banyak yg mengenal Datu Nuraya yang punya nama Syekh Abdul Mu’in ( sebagian ada yang menyebut Syekh Abdul Jabbar dan ada juga yang menyebut Syekh Abdur Ra’uf ).
Di Pantai Jati Munggu Karikil dekat Liang Macan,tetangga Desa Tatakan tinggal seorang guru miskin namun sangat dalam dan tinggi ilmu tasawufnya,beliau adalah Datu Suban,karena kemiskinan beliau,beliau dan istri hanya makan singkong setiap harinya.
Pada saat lebaran/Hari Raya,Datu Suban kedatangan 12 orang murid-muridnya,yaitu : Datu Murkat,Datu Taming Karsa,Datu Niang Thalib,Datu Karipis,Datu Ganun,Datu Argih,Datu Ungku,Datu Labai Duliman,Datu Harun,Datu Arsanaya,Datu Rangga,dan Datu Galuh Diang Bulan.
Ketika sedang menikmati hidangan yang disediakan tuan rumah,tiba-tiba datang seorang yang bertubuh sangat besar.Serta merta mereka terkejut dan segera mengambil tombak dan parang untuk menghadang orang tsb.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” kata orang besar tsb sambil mendekat.
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.” jawab para Datu.
Lalu Datu Suban berkata kepada murid-muridnya bahwa orang yang membari salam itu insya Allah akan berniat baik dan tidak membahayakan.
“Maaf,siapa saudara yang datang dan darimana asalmu serta apa maksud saudara ?” tanya Datu Suban.
Si Raksasa hanya menjawab dengan ucapan “LA ILAHA ILLALLAH”.
Setiap Datu Suban bertanya selalu dijawabnya dengan kalimat tauhid “LA ILAHA ILLALLAH”.hingga 7 kali ditanya dan dijawab dengan 7 kali dzikir tauhid itu.Setelah 7 kali dzikir tsb,tiba-tiba raksasa ituambruk.Lalu para Datu menghampiri dan memeriksanya,ternyata orang besar itu telah meninggal dunia,serempak mereka berujar “inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun”‎

Melihat keadaan yang demikian,para Datu yang berjumlah 13 orang tadi bingung,bagaimana cara memandikan dan menguburkannya? jangankan untuk memandikan dan menguburkannya,mengangkat saja sudah susah,apalagi saat itu musim kemarau panjang,biasanya tanah sangat keras,sedang lubang untuk penguburan harus lebar dan panjang,dan untuk memandikannya juga diperlukan air yang sangat banyak.‎

Konon ditengah kebingungan para datu,tiba-tiba hujan lebat turun dan ketika mereka mengangkat jenazah dengan mengerahkan tenaga penuh,ternyata tubuh orang besar itu sangat ringan,hanya seperti segumpal kapas.Serentak mereka berseru “Subhanallah.”
Sebelum mereka mewaradunya ( membersihkan ) mayat itu,Datu Suban menemukan sebuah tas selempang dari dalam pakaiannnya,setelah membukanya ternyata terdapat sebuah kitab yang akhirnya terkenal dengan sebutan “KITAB BARENCONG ”
Para Datu mulai membagi tugas,membersihkan mayat ialah Datu Argih,Datu Niang Thalib,Datu Ganun,Datu Labai Duliman,Datu Ungku,Sedangkan Datu Karipis bertugas mencari batu nisan dari batu alam.Sedang yang lain membuat lubang kubur di gunung Munggu Karikil dekat Munggu tayuh.
Konon lubang yang digali tidak cukup untuk mengubur jenazah itu,terpaksa kakinya harus dilipat sehingga tubuhnya seperti huruf hamzah.
Pada hari ketujuh setelah meninggalnya raksasa itu Datu Suban membuka kitab yang ditemukan pada jenazah tsb dihadapan 12 muridnya sambil mengucap “Bismillahirrahmanirrahiim”
ternyata berisi bermacam-macam khasiat ilmu dunia dan akhirat.
Akhirnya orang besar/raksasa tsb diberi nama NURAYA karena dia datang pada hari raya dan wafat pada hari itu juga dan sesuai dengan badannya yang besar seperti RAYA .
Nur Raya berarti pembawa cahaya yang sangat luas seperti Raya dengan panjang kuburnya kurang lebih 60 meter ( dengan kaki dilipat,kalau tidak dilipat mungkin bisa sampa 100 meter ) dan lebar kurang lebih 6 meter.
Semua adalah kekuasaan Allah semata,semoga selalu bisa berziarah kemakam beliau dan makam Datu-Datu yang lain,Amin.‎

Hikayat Datu Abulung Al-Banjari


Syekh Abdul Hamid Abulung al-Banjari atau lebih dikenal dengan Datu Abulung adalah salah satu ulama Banjar yang berpengaruh pada masanya. Ia adalah ulama yang pernah menggemparkan Kalimantan dengan paham Wahdatul Wujud. Ia dihukum mati oleh keputusan Sultan Tahmidillah, atas pertimbangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang waktu itu menjabat sebagai mufti besar.

Riwayat singkat Syaikh Abdul Hamid Abulung 

Dalam sejarah pemikiran keagamaan di kalimantan Selatan, pada abad ke 18 tersebutlah tiga tokoh yang ternama dan masyhur di tengah-tengah masyarakat waktu itu yaitu: 
1. Syekh Abdul Hamid, dikenal dengan Datu Abulung 
2. Syekh Muhammmad Arsad Al-Banjari, dikenal dengan Datu Kalampayan. 
3. Syekh Muhammad Nafis bin Idris binAl- Husayn, dikenal dengan Datu Nafis. 

Pada masa pemerintahan Sultan Tahilullah Syekh Abdul Hamid muda dan Syekh Muhammmad Arsyad Al-Banjari keduanya sama-sama diberangkatkan ke Makkah Al- Mukarramah untuk menuntut ilmu agama. Tidak diketahui dengan jelas berapa lama, kepada siapa saja dan ilmu apa saja yang beliau pelajari di tanah suci Makkah Al- Mukarramah. Saat kepulangan dari menuntut ilmu pun tidak diketahui pula kapan waktunya. Sepulang dari menuntut ilmu di Tanah Suci Makkah, Syekh Abdul Hamid Ablung mulai mengajarkan ilmu-ilmu yang sudah didapatnya dari guru-guru beliau di Tanah Suci Makkah Mukarramah . Sampai sekarang belum ditemukan ahli sejarah yang menulis atau mencatat dengan jelas tentang riwayat hidup syekh Abdul Hamid Abulung atau yang dikenal juga dengan sebutan Datu Abulung. Diberi gelar dengan Datu Abulung karena ia tinggal dan dimakamkan di desa Abulung Martapura. Namun, cerita yang didapatkan tentang hal ihwal beliau ini hanya melalui penuturan atau cerita dari beberapa tokoh masyarakat yang di dengar dari guru-guru atu orang- orang tua yang menceritakannya kembali secara turun temurun. 

Tidak ada catatan atau pun cerita yang jelas tentang asal usul Syekh Abdul Hamid, baik tentang tempat maupun tahun kelahiran. Silsilah keturunan , baik dari pihak bapak maupun ibu, keturunan, tempatnya dibesarkan, tempat tinggal dan tempat mejelis pengajiannya, guru-guru dalam menuntut ilmu, kitab-kitab yang dipelajari maupaun yang di ajarkan serta murid- murid yang pernah menimba ilmu kepadanya. Menurut salah satu hikayat yang diperoleh bahwa Abdul Hamid Abulung adalah urang buana (seorang keturunan asli banjar), namun tidak diketahui dengan jelas berasal dari kampung mana dan keturunan siapa. 

Hal ini disebabkan karena ia adalah orang yang berkelana. Konon dari kecil ia sudah meninggalkan kampung halaman dan orang tuanya untuk berkelana. Terhadap cerita masyhur dan tersebar di masyarakat sekarang sekarang bahwa Seykh Abdul Hamid Abulung adalah seorang yang mempunyai ilmu yang sangat tinggi di bidang ilmu tasawuf dan ilmu hakikat, sampai-sampai bagi orang awam yang belum menguasai tingkatan-tingkatan ilmu tauhid dan tasawuf akan kebingungan mendengar penuturan-penuturan yang disampaikan dan dikeluarkannya. Bahlkan sampai ada yang mengatakan bahwa ia mengajarkan sekaligus menyebarkan satu paham yang menyesatkan. 

Padahal waktu itu masyarakat di sekitarnya masih lebih banyak yang awam daripada yang sudah banyak belajar tentang ilmu tasawuf dan ilmu hakikat . Di antara ilmu-ilmu yang diajarkan oleh beliau adalah ilmu Tasawuf. Namun ilmu tasawuf yang diajarkan beliau kepada orang awam sangat berlainan fahamnya dari pelajaran ilmu tasawuf yang telah dikenal dan dipelajari masyarakat sebelumnya. 

Datu Abulung mengajarkan bahwa: Tiada yang maujud hanya dia Tiada yang maujud selain-Nya Tiada aku melainkan Dia Dia adalah aku dan aku adalah dia. Dalam pelajaran Syekh abbdul Hamid Abulung juga diajarkan bahwa; Syariat yang diajarkan selama inin adalah “kulit”belum sampai kepada “isi” (hakikat). Sedangkan pelajaran yang selama ini diyakini dan dipahami oleh masyarakat umum, yaitu: Tiada yang berhak dan patut disembah hanya Allah Allah adalah Khalik dan selainya adalah makhluk, tiada sekutu bagi-Nya Ajaran inilah yang dikatakan Datu Abulung hanya kulit, belum sampai kepada isi dan hakikat. 

Ajaran Datu Abulung itu merupakan hasil pengaruh dari ajaran Abu Yazid Al-bustami (M.874),Husein bin Mansur Al-Hallaj (858-922), yang kemudian memasuki Indonesi melalui Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin di Sumatera dan Syekh Siti Jenar di pulau Jawa . 

B. Menuntut Ilmu ke Tanah Haram 

Menurut cerita, Abdul Hamid setibanya di Tanah Haram tidak berkumpul bersama para Thalabah atau penuntut ilmu lainnya untuk menuntut ilmu kepada para sekh yang menetep atau yang sesekali berziarah dan berhaji di negeri itu, na,mun ia berjalan dan terus berkelana serta mengembara untuk menemui pengajian- pengajian agama, majelis muzakarah serta perkumpulan-perkempulan orang. 

Dalam perjalanan itu apabila bertemu dengan orang di suatu pengajian dan perkumpulan ia akan bertanya kepada orang –orang tersebut: Siapakah tuhan Alllah itu ? Di manakah Tuhan Alllah itu ? Apa bedanya manusia dengan Tuhan Alllah ? pertanyaan inilah yang selalu ditanyakan oleh Abdul hamid kepada siapa saja yang ditemukannya di manapun ia berada. 

Tidak ada catatan tentang guru-guru atau orang-orang yang pernah Abdul Hamid temui untuk belajar atau bertanya tentang berbagai masalah agama, terutama tentang ilmu tasawuf dan ilmu tauhid, berbeda dengan Muhammmad Arsyad dan Muhammmad Nafis yang dalam berbagai catatan atau pun riwayat yang menyatakan bahwa mereka pernah belajar kepada beberapa ulama yang terkenal pada masa itu, antara lain: 

1. Syaikh Abdullah bin Hijazi As-syarqawi Al-Azhari (1150 H./1737 M-1227H/1812 M). 
2. Syaikh Muhammmad bin abdul Karim As-Samman Al-Madani (1132 H-1189H) 
3. Syaikh abdurrahman bin Abdul Aziz Al- Maghribi 
4. Syaikh Shiddiq bin Umar Khan. 
5. Syaikh muhammmad Al-Jawhari Al- Mishri (1132 H- 1186 H/1720.-1772 M) 
6. Syaikh abdullah bin syaikh Ibrahim Al- Mir Ghani. 
7. Syaikh Yusuf Abu dzarrah Al-Mishri. 
8. Syaikh Abu Fauzi Ibrahim bin Muhammmad Al-Ra’is Al-zamzami Al- Makki (1110 H-1194 H). 
9. Syaikh Athaillah bin ahmad Al-mishsri Al-Azhar. 
10. Syaikh Muhammmad bin Sulaiman Al- Kurdi Madinah. 
11. Syaikh ahmad bin Abdul Mun’in Ad- Damanhuri. 
12. Syaikh Sayyid abul Faydh Muhammmad Murtadha’ Az-Zabidi. 
13. Syaikh Hasan bin Ahmad ‘Akisy Al- Yamani 
14. Syaikh Salim bin Abdullah Al-Bashri. 
15. Syaikh Sayyid Abdurrahman bin Sulayman Al-Ahdal. 
16. Syaikh Abdurrahman bin Abdul Mubin Al-Fathani. 
17. Syaikh Abdul Ghani bin Syaikh Muhammad Hilal 
18. Syaikh Abid As-Sindi 
19. Syaikh Abdul Wahab Ath-Thanthawi. 
20. Syaikh muhammmad bin Ahmad Al- Jawahir. 
21. Syaikh muhammad Zayn bin Faqih Jalaluddin Aceh . 

C. Kembali ke Tanah Air dan Mengembangkan Ilmunya 

Tidak diketahui dengan jelas berapa tahun Syaikh Abdul Hamid tinggal di Tanah Haram untuk menuntut ilmu dan tidak diketahui pula tahun berapa ia kembali ke Tanah Banjar, karena kedatangannya ke kampungnya itu tidak melapor ke kerajaan yang dulu mengirimnya untuk menutut ilmu ke Tanah Haram bersama Syaikh Muhammmad Arsyad. 

Pada masa pemerintahan Sultan Tahmidillah pengajian keagamaan semakin merak. Hal ini dikarenakan banyaknya pengajian- pengajian aecara umum di bidang keagamaan, namun kebanyakan para ulama saat mengadakan pengajian yang sifatnya lebih banyak menekankan pada ketauhidan dan kesyari’atan.

Kesemarakan ini juga disebabkan adanya Syaikh Abdul Hamid Abulung yang juga membuka pengajian, namun pengajian Syaikh Abdul Hamid Abulung memberikan pengajian yang lebih menekankan pada tasawuf ketauhidan. Kebanyakan akidah masyarakat banjar pada ketika itu adalah akidah Ahlussunnnah wal jama’ah, seperti yang telah diajarkan dan ditanamkan oleh pengajar Islam kerajaan Banjar yang pertama yaitu Kyai Khatib Dayyan. Akidah ini telah berurat berakar di dalam hati masyarakat Banjar. 

Namun keyakinan yang telah tertanam di masyarakat itu terusik dengan tersebar dan tersiarnya ajaran Syaikh Abdul Hamid Abulung menyatakan bahwa ajaran yang selama ini diberikan yaitu berupa tauhid dan syari’at hanyalah bagian luar atau ilmu kulit dari ilmu kesejatian atau hakikat, bukan ilmu yang sebenarnya. 

Demi mendengar semua itu maka gemparlah masyarakat ketika itu dan menjadi pembicaraan serta perbantahan dan perselisihan, sebab mereka merasa bahwa ajaran tersebut sangat berbeda dan bertolak belakang dengan ajaran yang selama ini mereka terima yang disampaikan oleh para ulama dan para juru dakwah sejak zaman Kyai Khatib dayyan . Kegemparan masyarakat itu akhirnya sampai juga ke telinga Sultan Tahmidullah dan ia segera bertukar pendapat dengan para ulama pada saat itu. 

Untuk mengadakan penyelidikan dan mendengar langsung kabar tentang ajaran yang disampaikan oleh Syaikh Abdul Hamid, maka sultan memerintahkan agar syaikh Abdul Hamid Abulung dipanggil dan dihadirkan ke istana. Kemudian sultan mengutus dua orang pegawai istana untuk menemui syaikh Abdul Hamid Abulung di rumhanya dan mengajaknya ke istana atas perintah sultan. 

Sesampai di rumah Syaikh Abdul Hamid Abulung kedua utusan istana mengetuk pintu seraya memberi salam. “ Assalamu’alaikum” ucap kedua utusan istana “Wa’alaikumusalam” jawab Syaikh Abdul Hamid “mari masuk dan silakan duduk!, “ kata syaikh Abdul Hamid kepada kedua tamunya. “Terima kasih,” jawab kedua utusan istana itu, sambil masuk dan duduk di hadapan Syaih Abdul Hamid. “ada keperluan apa kalian datang ke rumahku ini ?” tanya syaikh Abdul Hamid. “Begini tuan, kami berdua diutus ke rumah tuan syaikh Abdul Hamid untuk mengundak tuan agar dapat hadir di istana sekarang,” kata kedua utusan sultan menerangkan maksud kedatangan mereka itu. “Maaf saudara, di sini tidak ada Abdul Hamid. 

Di sini hanya ada “Tuhan” jawab Syaikh Abdul Hamid dengan mantap dan penuh wibawa. “jadi bagaimana ini ? apa yang harus kami katakan kepada sultan ?,” tanya kedua utusan tadi dengan perasaan bingung. “ katakan saja kepada sultan bahwa di rumah ini tidak ada Abdul Hamid yang ada hanya ada “Tuhan”,” ucap Abdul Hamid. “Baiklah kalau begitu, akan kami katakan kepada sultan seperti apa yang tuan sarankan,” kata kedua orang utusan istana itu sambil beranjak keluar dari rumah Syaikh Abdul Hamid. 

Sesampai di istana kedua orang utusan itu menyampaikan apa-apa yang mereka alami di rumah Syaikh Abdul Hamid, dan mereka meyampaikan apa-apa yang dikatakannya bahwa syaikh Abdul Hamid tidak ada dan yang ada hanya “Tuhan”. Mendengar jawaban tersebut maka sultan memerintahkan kedua orang utusannya kembali untuk memangggil dan mengundang “Tuhan” agar dapat berhadir ke istana. “Katakanlah kepadanya bahwa “Tuhan” dipanggil dan diundang ke istana oleh sultan,” perintah sultan kepada kedua utusannya. Maka berangkat lagi kedua utusan istana itu ke rumah Syaikh Abdul Hamid. 

Sesampai kedua utusan tersebut di tempat tinggal Syaikh Abduk Hamid mereka kembali mengetuk pintu rumah Syaikh Abdul Hamid. “Assalamu’alikum,”kedua utusan tersebut memberi salam. “Wa’alaikumus salam,” terdengar jawaban Syaikh Abdul Hamid. Apakah ada keperluan lagi sehingga kalian berdua kembali lagi datang ke sini ?.” lanjutnya. “Memang kami mempunyai keperluan yang amat sangat,” sahut salah satu utusan. “kami diperintahkan sultan untuk memanggil “Tuhan” dan mengundangnya datang ke istana,” sambung utusan tadi. “Tuhan” tidak ada yang ada Abdul Hamid,’ jawab Syaikh Abdul Hamid Abulung dengan tegas. 

Jawaban Syaikh Abdul Hamid Abulung yang tegas tersebut membuat kedua utusan sultan kebingungan dan kehilangan akal. Kali ini kedua utusan sultan harus kembali kecewa karena gagal menghadirkan Syaikh Abdul Hamid Abulung ke istana disebabkan jawabannya yang menyatakan bahwa “Tuhan” tidak ada yang ada hanya Abdul Hamid. Dari jawaban tersebut timbullah masalah yang sangat pelik yang dihadapi sultan. Sultan pun segera meminta pendapat para ulama. 

Setelah bertukar pendapat dengan sultan, mendengar beberapa kesaksian dan meneliti serta menelaah bebrapa kitab yang muktamad, akhirnya para ulama berkesimpulan bahwa ajaran yang disampaikan Syaikh Abdul Hamid Abulung dapat menyesatkan keyakinan dan akidah masyarakat awam, dapat membawa kesyirikan dan merusak kehidupan keagamaan. Dan para ulama menyatakan bahwa kewajiban seorang pemimpin untuk menyelamatkan akidah rakyat yang dipimpinnya seperti yang terdapat dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah karangan Imam Abu Hasan Ali al-Mawardi. 

Oleh karena itu, disarankan kepada sultan agar memberikan keputusan dan hukuman yang seadil-adilnya demi kemaslahatan masyarakat banyak . Setelah sultan mengambil keputusan maka diperintahkan utusan untuk memanggil syaikh Abdul Hamid Abulung dengan perintah dan pesan siapa pun yang ada, apakah “Tuhan” ataukah Abdul Hamid yang ada itulah yang dipanggil untuk datang ke istana. Akhirnya Syaikh Abdul Hamid mau berhadir ke istana untuk menemui sultan. 

Sultan menerangkan maksudnya mengapa dia sampai memanggilnya ke istana. Dan juga mengatakan bahwa keputusan sultan dari hasil musyawarah dengan para ulama adalah menyingkirkan atau membunuh Tuan Syaikh Abdul Hamid Abulung. “saya tidak akan mengubah keyakinan saya karena saya yakin seyakin-yakinnya bahwa apa yang saya ajarkan itu tidak sesat seperti yang disangka orang, karena kmungkinan besar mereka belum memahami dan belum mengerti dengan ilmu yang saya ajarkan saat ini,” ucapnya dengan tegas. “saya akan hadapi apaun resikonya atas apa yang saya lakukan dan saya yakini, dan saya tidak akan mundur setapak dan sejengkal pun walaupun berbagai ancaman dan hukuman yang akan ditimpakan kepada saya, karena saya yakin makhluk apa pun yang ada di dunia ini tidak akan memberi bekas kepada saya, baik api, tanah, air, dan makhluk lainnya, ”sambung Abdul Hamid dengan mantap. Akhirnya Abdul Hamid Abulung dimasukan ke dalam keranjang yang terbuat dari besi yang sangat berat, ukuran kerangkeng besi tersebut di buat seukuran dengan tubuh, hanya cukup untuk berdiri, kemudian bersama dengan kerangkeng itu Abdul Hamid Abulung dibenamkan ke dasar sungai di Lok Buntar, sekitar 15 Km dari makamnya sekarang yaitu di desa Sungai Batang Martapura . 

Tanpa diketahui orang suatu keanehan terjadi, apabila waktu shubuh telah tiba kurungan besi yang sangat berat itu muncul di permukaan air sungai dan Syaikh Abdul Hamid melaksanakan kefardhuan shalat shubuh di atas air dan keluar dari kurungan besi. Setelah selesai melakukan ibadahnya beliau masuk kembali ke dalam kurungan besi itu dan kurungan besi yang berat tersebut perlahan tenggelam kembali ke dasar sungai. 

Demikian juga kurungan besi itu akan muncul ke permukaan air sungai apabila waktu shalat fardhu telah tiba dan apabila telah selesai melaksanakan kefardhuannya serta ibadah yang lainnya kurungan besi itun kembali tenggelam ke dasar sungai. Pada suatu malam hari menjelang waktu shubuh sepuluh orang pencari ikan menjala di sekitar sungai tempat Syaikh Abdul Hamid Abulung ditenggelamkan. 

Pada saat asyik-asyiknya mereka mencari ikan, samara-samara mereka mendengar suara azan. Perlahan-lahan mereka mendekati sumber suara adzan tersebut, dari kejauhan mereka melihat keganjilan dan keanehan yang terjadi pada diri Syaikh Abdul Hamid Abulung. Sejak melihat keganjilan tersebut mereka mengangkat beliau menjadi guru mereka. Dari beliau mereka belajar berbagai ilmu pengetahuan agama Islam. Setelah direndam beberapa lama di air Datu Abulung tidak juga mati. 

Bahkan terjadi peristiwa ajaib, yaitu bila tiba waktu shalat, beliau keluar dari kurungan dan melakukan shalat di atas air. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang , Maka sultan meerintahkan punggawanya untuk mengangkat dan mengeluarkan nya kemudian membawanya ke istana untuk menemuinya, namun sebelum syaikh Abdul Hamid Abulung datang ke istana sultan melakukan siasat untuk menjebaknya di perjalanan dengan meletakan perangkap di tempat Syaikh Abdul Hamid lewat, kemudian sultan memerintahkan punggawanya untuk membawa syaikh Abdul Hamid kembali ke istana. Saat Abdul Hamid melewati sebuah jalan ia memijak sebuah lobang yang diatasnya ditutupi dedaunan, maka melesetlah sebilah tombak tajam tersebut berhenti di udara dan jatuh ke tanah tepat di belakang tubuhnya tanpa diketahuinya. 

Tidak lama kemudian sampailah Syaikh Abdul Hamid di hadapan sultan di istana dan ia mengatakan bahwa ia tidak dapat dibinasakan dengan alat dan benda apa pun. “Tuan Syaikh, sekarang aku sadar bahwa ilmu yang engkau miliki itu memang benar adanya dan orang yang mengatakan bahwa tuan Syaikh itu tidak mengerjakan shalat itu juga tidak benar, tetapi aku mohon pengertian Tuan Syaikh untuk memahami keadaan masyarakat sekarang ini sebab mereka masih banyak yang belum mengerti tentsng ilmu yang diajarkan Tuan Syaikh sehingga mereka banyak yang menjadi sesat, sedangkan ini semua adalah tanggung jawab saya sebagai sultan di kerajaan Banjar ini,” ucap sultan “ kalau begitu baiklah dan mungkin juga ajalku sudah dekat,”kata Syaikh Abdul Hamid Abulung. “saya sebagai sultan dan mewakili seluruh rakyat di sini mengucapkan maaf dan ampun serta terima kasih yang setinggi- tingginya atas pengertian tuan Syaikh Abdul Hamid atas semua ini,”ucap sultan . 

Di hadapan sultan Datu Abulung mengatakan bahwa beliau tidak dapat dibinasakan dengan alat apapun dan jika raja ingin membinasakannya haruslah dengan senjata yang berada di dinding rumah beliau dan menancapkan di dalam daerah lingkaran yang beliau tunjukan dibelikat beliau. Kemudian sultan mendengarkan penjelasan Datu Abulung, maka raja memerintahkan kepada ajudannya untuk mengambil senjata yang telah disebutkan Datu Abulung. 

Setelah mendapatkan senjata tersebut ajudannya menyerahkannya kepada sultan. Sebelum senjata itu ditudukkan ke tempat yang telah dikatakan oleh Datu Abulung, beliau minta izin dulu untuk shalat sunnah dua rakaat, dan permintaan itu dikabulkan oleh sultan. Setelah Datu Abulung shalat dua raka’at senjata tersebut ditusukkan di tempat yang sudah beliau tunjukan, maka memancarlah darah segar dari situ. 

Namun yang sangat aneh dan mengagumkan adalah bahwa dari ceceran darah segar tersebut bergerak perlahan-lahan dan membentuk sebuah tulisan, tulisan tersebut secara perlahan- lahan pula menjadi sebuah kalimat: “Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah” Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah Sultan dan orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut tercengang serta terkagum-kagum sambil mengucapkan: “Innaa lillahhi wa innaa ilaihi raaji’un” 

Dengan kejadian tersebut terbukti lah bahwasanya ajaran yang disebarkan oleh Datu Abulung tidaklah sesat, dengan kata lain ajarnya sesuai saja dengan kaidah Islam. Akan tetapi ajaran tersebut sudah menduduki tahap yang paling tinggi yang apabila dipelajari oleh orang awam bisa-bisa terjadi kesalahpahaman atau sesat.

Kemudian Sultan Tahmidullah II yang memerintah periode 1761-1801 membangun Masjid Jami Syekh Abdul Hamid Abulung sebagai bentuk penebusan dosa karena telah memerintahkan para algojo raja untuk mengeksekusi Datu Abulung.‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...