Sabtu, 23 Oktober 2021

Hikayat Datu Sanggul

 

Orang banyak mungkin tidak begitu mengenalnya bahkan mungkin jadi tidak mengenal sama sekali,dan mungkin generasi sekarang tidak mengetahui kehidupan Datu Sanggul ini,seorang tokoh panutan dijamannya,ketulusan hatinya dalam melaksanakan ibadah dan ketaqwaannya dalam menegakkan kalimat Allah serta kedigjayaannya membuat terkenal sampai kepelosok negri,ketekunan beliau dalam menuntut ilmu membawanya melanglang buana dari daerah asalnya dipalembang sumatera kedaerah kalimantan,dalam salah satu riwayat nama Datu sanggul adalah Syekh Muhammad Abdush Shamad atau dlm riwayat lainnya mengatakan nama beliau adalah Ahmad Sirajul Huda,beliau hidup sekitar abad ke 18 m bertepatan dengan jaman nya Syekh Muhammad Arsyad Albanjari atau lebih dulu sedikit.

Penyebab beliau berguru kepada Datu Suban gurunya para datu muning yang ada di borneo karena adanya "tanda atau isyarat" yang diperoleh beliau ketika tidur,dikisahkan ketika beliau tidur beliau bermimpi bertemu dengan orang tua yang menjabat tangannya seraya berkata " kalau kamu ingin memperoleh ilmu sejati maka hendaklah kamu mencari dan mempelajarinya kepada Datu Suban yang tinggal dipulau kalimantan dikampung muning pantai jati munggu tayuh tiwadak gumpa didaerah tatakan (daerah rantau kabupaten tapin kalsel)"  setelah mendengar kata kata orang tersebut beliau tersentak dari tidurnya seraya berkata kepada ibundanya yang saat itu berada didekatnya "ibunda dimana orang tua tadi" "sedari tadi tidak ada orang selain ibu dan ananda" jawab ibundanya, kemudian beliau menceritakan mimpinya kepada ibundanya,karena kecintaan beliau kepada ilmu beliau lalu meminta ijin kepada. ibundanya untuk merantau kembali mencari ilmu seperti yang dikatakan orang tua didalam mimpinya tersebut,akhirnya walaupun dengan berat hati ibundanya memberikan ijin dan mendoakannya agar semua yang dicita citakan beliau tercapai.

Datu Sanggul, begitu masyarakat lebih mengenalnya. Seorang tokoh panutan di zamannya, sekitar abad ke-18 Masehi, satu zaman dengan Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Ketulusan hatinya dalam melaksanakan ibadah, dan ketaqwaannya dalam menegakkan kalimat-kalimat Allah, serta keramat yang diberikan Allah kepadanya, membuat ia terkenal sampai ke pelosok negeri.

Satu hal yang amat tergambar dalam sosok Datu Sanggul, adalah ketekunannya dalam menuntut dan menyempurnakan ilmu. Semangat menuntut ilmu itu jualah yang kemudian membuatnya sampai ke Bumi Kalimantan, khususnya Desa Tatakan, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Yaitu berguru dengan Datu Suban. Di Desa Tatakan pula beliau kemudian dimakamkan yang sampai sekarang makamnya terus diziarahi masyarakat.

Riwayat Syekh Muhammad Abdussamad (Datu Sanggul)

Dalam salah satu riwayat diceritakan, Datu Sanggul disebutkan bernama asli Syekh Muhammad Abdussamad. Dalam riwayat lainnya, disebutkan bahwa nama beliau adalah ‎Ahmad Sirajul Huda. Beliau berasal dari Palembang, kemudian melanglang buana ke berbagai penjuru untuk menuntut ilmu.

Mengapa digelari Datu Sanggul? Salah satu riwayat menceritakan, hal tersebut karena ketekunan beliau dalam dalam mentaati perintah gurunya di dalam ‘khalwat khusus’ yang sama artinya dengan ‘menyanggul’ atau menunggu (turunnya) ilmu dari Allah SWT.

Ada juga yang mengatakan beliau sering menyanggul atau menghadang pasukan tentara Belanda di perbatasan Kampung Muning, sehingga tentara Belanda pun kocar-kacir dibuatnya. Versi lainnya lagi menyebutkan, gelar Datu Sanggul itu karena kegemaran beliau menyanggul (menunggu) binatang buruan. Ada juga yang mengatakan rambut beliau yang panjang dan selalu disanggul (digelung). Wallahu a'alam.

Singkat cerita akhirnya berangkatlah Syekh Abdush Shamad muda menuju pulau kalimantan dengan menumpang kapal perahu layar,ternyata setelah sampai dikampung muning tatakan rantau,beliau sudah disambut oleh Datu Taming Karsa yang disuruh oleh gurunya yaitu Datu Suban yang mengatakan bahwa hari itu akan datang seorang pemuda dari sumatera yang nantinya akan menjadi muridnya,mereka kemudian berjalan menuju rumah Datu Suban guru sekalian Datu Muning,dan ternyata beliau sudah ditunggu oleh Datu Suban beserta murid murid beliau,beliau kemudian langsung mengangkat Datu Suban sebagai guru sekaligus orang tuanya dan juga mengangkat murid murid Datu Suban yang lainnya sebagai saudara-saudaranya,maksud baik Syekh Abdush Shamad muda diterima Datu Suban dengan senang hati,dan mulai saat itu belajarlah beliau kepada Datu Suban,dan diceritakan karena kecerdasan dan ketekunannya dalam belajar dan ketaatannya kepada gurunya dengan persetujuan murid murid Datu Suban terdahulu akhirnya Datu Suban berkenan memberikan Al-Qur'an segi delapan dan sebuah kitab yang dikenal sekarang dengan Kitab Barencong (baca kisah Datu Sanggul dan Syekh Muhammad Arsyad)

Adapun penamaan Datu Sanggul salah satu riwayat menceritakan karena ketekunan datu sanggul dalam mentaati perintah gurunya dalam Khalwat khusus yang sama artinya dengan "menyanggul" atau menunggu  (turunnya ) ilmu dari Allah SWt ,ada juga yang mengatakan beliau sering menyanggul atau menghadang pasukan tentara belanda diperbatasan kampung muning dan tentara belanda sering kucar kacir dibuatnya,adapun versi lain karena kegemaran beliau menyanggul (menunggu) binatang buruan,ada juga yang mengatakan rambut beliau yang panjang dan selalu disanggul (digelung)..wallahu a'alam...dan mulai saat itu nama beliau dipanggil Datu Sanggul.

Berkat mengamalkan ilmu yang beliau peroleh baik dari guru beliau ataupun dari Kitab Barencong tadi banyaklah beliau mendapatkan kelebihan kelebihan dari Allah SWT,diantaranya beliau kalau sholat jum'ad selalu di Mesjid Al-Haram,dan karna itulah beliau bertemu dengan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang pada saat itu sedang menuntut ilmu di Mekah dan Syekh Muhammad Arsyad mengangkat saudara dengan beliau,selain itu beliau juga bertemu dengan Datu Daha yang juga mengangkatnya menjadi orang tua sekaligus guru (insyaallah nanti diriwayat Datu Daha kita kisahkan)

Pada waktu itu dikerajaan Banjar masyarakatnya yang sangat menjunjung tinggi nilai agama diwajibkan bagi masyarakat laki laki yang sudah aqil balik atau sudah dewasa pada hari jum'ad diwajibkan untuk melaksanakan sholat jum'ad dimesjid mesjid dikampung masing masing,dan kalau tidak melaksanakan kewajiban tersebut akan didenda, dikarenakan setiap jum'ad beliau selau sholat dimesjid Al-Haram maka setiap minggu beliau harus membayar denda kepada kerajaan sampai habis harta beliau dan yang tertinggal cuma kuantan dan landai (alat untuk memasak nasi dan sayuran)  akhirnya setelah didesak oleh istri beliau karena tidak ada lagi barang yang bisa dipakai untuk membayar denda, beliau akhirnya berjanji untuk melaksanakan sholat jum'at dimesjid kampungnya,pada saat itu sungai dikampung beliau airnya sedang meluap dan hampir terjadi banjir dikarenakan pada malam harinya hujan sangat lebatnya,disaat para jamaah sedang ber wudhu dipinggir kali,tiba tiba datang Datu Sanggul dan langsung terjun kesungai yang sedang meluap tersebut lengkap dengan pakaiannya,orang orang berteriak dan menjadi gempar , ditengah kegemparan masyarakat tiba tiba muncul Datu Sanggul dari tengah sungai dan berjalan diatas air dengan tenangnya,yang lebih mengherankan pakaian beliau tidak basah sama sekali cuma anggota wudhu beliau saja yang basah, setelah keluar dari sungai beliau langsung menuju mesjid dengan tatap mata keheranan dari masyarakat,masyarakat makin terkejut pada saat imam mesjid mengumandangkan takbir dan diikuti jamaah jum'ad lainnya beliau hanya berpantun

   "Riau riau padang sibundan
    disana padang sitamu tamu
    rindu dendam tengadah bulan
   dihadapan Allah kita bertemu ...ALLAHU AKBAR....

setelah berkata demikian perlahan lahan kaki beliau terangkat dari lantai mesjid dan tubuh beliau berada diawang awang,setelah imam mengucapkan salam perlahan lahan kaki beliau kembali menjejakkan lantai mesjid,kemudian beliau berkata kepada jamaah jum'ad "saya tadi baru saja shalat diMasjidil Haram Mekkah dan kebetulan tadi ada yang mengadakan selamatan dan saya meminta kepada yang selamatan sedikit barakat(makanan yang dibagikan saat undangan pulang dan mari kita bersama sama mencicipinya, jangan ada yang tidak ikut mencicipinya walaupun sedikit "diceritakan bahwa nasi tersebut masih panas menandakan bahwa perjalanan beliau cuma sekejab saja, sejak kejadian tsb barulah masyarakat tahu bahwa beliau adalah termasuk golongan Wali Allah, sehingga pembayaran denda baik yang berupa uang maupun benda dikembalikan kepada beliau.

Diceritakan sebelum Datu Kalampayan atau Syekh Muhammad Arsyad sampai kekampung muning untuk mengambil sambungan kitab barencong dari Datu Sanggul, Datu Sanggul meminta para muridnya untuk bertahan sejenak karena ada yang mau disampaikan,beliau meminta para muridnya dan masyarakat untuk bergotong ruyung mempersiapkan menyambut kedatangan tamu dari jauh (Datu Kalampayan),kemudian masyarakat bergotong ruyung mempersiapkan segalanya
hari itu hari jum'ad beliau berkata kepada istrinya
"duhai adinda tercinta kakanda akan tidur,tolong kakanda jangan diganggu dan jangan pula membuka kelambu”.

baik kanda tapi kakanda apabila ada yang ingin bertemu dengan kakanda dengan keperluan yang sangat penting apakah dinda boleh membangunkan kakanda "kata istrinya bertanya
"kalau ada keperluan sangat penting silahkan saja "jawab beliau
setelah sekian lama beliau masuk kedalam kelambu dan tidak keluar keluar padahal hari itu hari jum'ad, istri beliau memanggil manggil sampai tiga kali,karena waktu sholat jum'ad makin dekat, beliau menjadi bimbang disisi satu suami beliau sudah berwasiat supaya jangan diganggu,disisi lainnya sholat jum'ad adalah kewajiban,akhirnya istrinya memberanikan diri membuka kelambu, namun apa yang terjadi suami yang dicintainya tidak ditemukan didalam kelambu, namun yang terlihat adalah setetes air yang sangat bening dan putih berkilauan diatas kain putih,setelah melihat kejadian tersebut dengan rasa heran bercampur kagum,kelambu itu ditutup kembali oleh istrinya,tak lama setelah itu datanglah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari , setelah memperkenalkan diri Syekh Muhammad Arsyad lalu mengatakan ingin bertemu dengan Datu Sanggul, dan ternyata setelah kelambu tsb dibuka kembali oleh istri beliau Datu Sanggul sudah kembali kewujud semula tapi dalam keadaan sudah meninggal dunia... Innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun....Syekh Muhammad Arsyad menyerahkan kain putih 5 lembar yang dipesan oleh Datu Sanggul waktu mereka terakhir bertemu dulu, dan ternyata kain putih tsb akan dipakai untuk kain kapan beliau.

Kemudian diberitahukan kepada murid murid beliau dan masyarakat,maka berdatanganlah orang orang untuk menolong dan melaksanakan fardu kifayah hingga selesai dan beliau dimakamkan di kampung muning benua nyiur tatakan Rantau,setelah selesai pemakaman Datu Sanggul kemudian Syekh Muhammad Arsyad menceritakan pertemuan beliau dengan istri Datu Sanggul dan menyampaikan pesan pesan beliau termasuk pesan untuk mengambil sambungan Kitab Barencong,istri Datu Sanggul memakluminya karena sebelum beliau meninggal sudah memberikan wasiat kepada istrinya untuk menyerahkan kitab tsb tapi terlebih dahulu beliau menyampaikan hal tersebut kepada murid murid Datu Sanggul, setelah itu baru kitab tsb di serahkan kepada Syekh Muhammad Arsyad atau Datu Kalampayan.

Datu Sanggul sangat terkenal pula dengan syair-syairnya yang begitu puitis dan penuh makna. Salah satu syair yang sangat terkenal adalah syair pantun “Saraba Ampat”. Syair tersebut berbahasa Banjar yang sarat dengan pelajaran tasawuf. Diantara petikan syair tersebut berbunyi: 

“Allah jadikan saraba ampat.
Syariat tharikat hakikat ma'rifat.
Menjadi satu di dalam khalwat.
Rasa nyamannya tiada tersurat”.

Huruf ALLAH ampat banyaknya
Alif i'tibar dari pada Zat-NYA
Lam awal dan akhir Sifat dan Asma-NYA
Ha isyarat dari Af'alnya

Jibril Mikail Malaikat mulia
Isyarat  sifat Jalal  dan Jamal
Izrail Israfil rupa pasangannya
I'tibar sifat Qahar dan Kamal

Jabar ail asal katanya
Bahasa Suryani asal mulanya
Kebesaran ALLAh itu artinya
Jalalullah bahasa Arabnya

Nur Muhammad bermula nyata
Asal jadi alam semesta
seumpama api dengan panasnya
itulah Muhammad dengan Tuhannya

Api dan banyu tanah dan hawa
itulah dia alam dunia
menjadi awak barupa rupa
tulang sungsum daging dan darah

Manusia lahir ke Alam Insan
di Alam Ajsam ampat bakawan
Si Tubaniyah dan Tambuniyah
Uriyah lawan si Camariyah

Rasa dan akal daya dan nafsu
didalam raga nyata basatu
AKU meliputi segala liku
Matan hujung rambut sampai kahujung kuku

Tubuh dan hati nyawa rahasia
Satu yang zahir amat nyatanya
Tiga yang batin pasti adanya
Alam shagir itu sabutnya

Mani Manikam M adi dan Madzi
Titis manitis jadi menjadi
Si anak adam balaksa kati
Hanya yang tahu ALLAHU RABBI

Kaampat ampatnya kada tapisah
datang dan bulik kepada ALLAH
Asalnya awak daripada tanah
Asalpun tanah sudah disarah

Dadalang Simpur barmain wayang
Wayang asalnya sikulit kijang
Agung dan sarun babun dikancang
kaler bapasang diatas gadang

Wayang artinya sibayang bayang
Antara kadap silawan tarang
semua majaz harus dipandang
Simpur balalakun hanya saorang

Samar Bagung si Nalagaring
Sijambulita suaranya nyaring
Ampat isyarat amatlah penting
Siapa nang handak mancari haning

Kemudian, ada lagi syair lain yang berbunyi: 

"Riau-riau padang si bundan.
Di sana padang si tamu-tamu.
Rindu dendam tengadah bulan.
Di hadapan Allah kita bertemu”. 

Syair itu dilantunkan Datu Sanggul saat muncul dari tengah sungai dan berjalan di atas air dengan tenangnya tanpa basah sama sekali terkecuali pada anggota wudhu.

Karomah Syekh Muhammad Abdussamad (Datu Sanggul)

Selalu Shalat Jum'at di Makkah
Beliau mempunyai banyak kelebihan. Selalu shalat Jum'at di Makkah, dan menjadi murid Nabi Khidhir

Pada waktu itu, di kerajaan Banjar yang masyarakatnya sangat menjunjung tinggi nilai agama, mewajibkan bagi laki laki yang sudah aqil baliq atau sudah dewasa untuk melaksanakan shalat Jum’at di masjid kampung masing-masing. Kalau tidak melaksanakan kewajiban tersebut, akan didenda. Dalam riwayat, Datu Sanggul dipercayai memiliki keramat melaksanakan Shalat Jum’at di Masjidil Haram setiap Jum’atnya. Karena itu, setiap hari Jum’at itu pun beliau harus membayar denda kepada kerajaan sampai habis harta beliau, hingga suatu saat yang tertinggal hanya kuantan dan landai (alat untuk memasak nasi dan sayuran).

Dalam kondisi itu, setelah didesak oleh istri beliau karena tidak ada lagi barang yang bisa dipakai untuk membayar denda, Datu Sanggul akhirnya berjanji untuk melaksanakan shalat Jum'at di masjid kampungnya. Kala itu, sungai di kampungnya sedang meluap dan hampir terjadi banjir lantaran hujan yang sangat lebat pada malam harinya.

Di saat para jamaah sedang berwudhu di pinggir sungai, tiba-tiba Datu Sanggul datang dan langsung terjun ke sungai yang sedang meluap tersebut. Beliau bercebur lengkap dengan pakaiannya. Orang-orang berteriak dan menjadi gempar. Dan tiba-tiba lagi, di tengah kegemparan masyarakat itu, Datu Sanggul muncul dari tengah sungai dan berjalan di atas air dengan tenangnya, lalu langsung memasuki masjid. Lebih mengherankan, pakaian beliau tidak basah sama sekali, kecuali anggota wudhunya.

Masyarakat semakin terkejut, tatkala imam mengangkat takbir memulai shalat Jum’at diikuti jamaah lain, Datu Sanggul hanya melantunkan syair tadi; "Riau-riau padang si bundan. Di sana padang si tamu-tamu. Rindu dendam tengadah bulan. Di hadapan Allah kita bertemu… Allahu Akbar”.

Bersamaan ucapan Allahu Akbar itu, tubuh beliau mengawang-awang hingga selesai orang mengerjakan shalat Jum'at. Melihat keadaan Datu Sanggul yang demikian, orang-orang yang berada di masjid semakin keheranan. "Aku tadi shalat di Makkah. Kebetulan di sana ada selamatan dan aku meminta sedikit, mari kita cicipi bersama walau sedikit," kata Datu Sanggul di saat orang-orang masih keheranan.

Sejak saat itulah, masyarakat percaya sepenuhnya bahwa Datu Sanggul adalah seorang Waliyullah. Barang-barang Datu Sanggul yang semula disita pun dikembalikan oleh kerajaan.

Dalam riwayat lagi, keramat Datu Sanggul ini pun dibuktikan Datu Kalampayan, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Pada suatu hari Jum’at di Kota Mekkah, Datu Kalampayan ada di sana. Sewaktu di Masjid Mekkah untuk melaksanakan shalat Jum’at berjamaah, Datu Kalampayan melihat seseorang sembahyang di dekatnya. Beliau tertarik untuk mengetahui, karena orang itu mengenakan baju palimbangan hitam dan celana hitam serta memakai laung. Datu Kalampayan yakin bahwa itu bukan orang-orang Mekkah, karena orang-orang Mekkah tidak ada yang berpakaian demikian. Pakaian seperti itu hanya dipakai oleh orang Banjar atau orang tanah Jawa. Dan peristiwa itu dilihat Datu Kalampayan selama beberapa kali Jum’at. “Tidak salah lagi, ini pasti orang Banjar,” ujar Datu Kalampayan kala itu.

Lalu, Datu Kalampayan mengulurkan tangannya, kemudian mereka bersalaman. Tak puas bertemu di masjid, Datu Kalampayan membawa orang itu ke rumahnya. Syekh Muhammad Arsyad lalu bertanya dan dijawab orang tersebut bahwa ia bernama Datu Sanggul. Datu Kalampayan bertanya pula: “Saudara ini orang mana, asal negeri mana dan sudah berapa lama tinggal di Mekkah.”

Datu Sanggul menjawab pertanyaan itu dengan senyum. “Saya setiap Jum’at datang ke sini untuk bersembahyang, dan aku berasal dari Banjar. Tempat diamku di Banjar. Jelasnya Tatakan,” ujarnya.

“Jauh juga. Kalau begitu melewati Martapura, Kayu Tangi. Melalui tempat tinggalku. Itu sangat jauh. Jika demikian dengan apa kemari setiap Jum’at?,” ujar Datu Kalampayan bertanya.

Datu Sanggul pun menjawab, “Aku tidak memakai apa-apa. Hanya karena hendak ke mari saja, dan kebetulan Allah SWT memberikan kekuatan kepadaku sehingga aku sampai ke sini.”

Terpikir dalam hati Datu Kalampayan tentang kedatangan Datu Sanggul itu, apakah ia memang masih waras atau orang yang terganggu pikirannya. Jawaban Datu Sanggul tadi dirasanya tak masuk akal sehat. Sebab mungkinkah jarak yang demikian jauhnya antara Tatakan dan Mekkah bisa dicapai hanya dalam waktu begitu singkat, dan bahkan tidak memakai apa-apa. Namun dari dialek bahasanya, Datu Kalampayan yakin bahwa Datu Sanggul adalah berasal dari Banjar.

Untuk menguji ketidakpercayaannya itu, Datu Kalampayan pun kemudian berkata kepada Datu Sanggul. “Kalau betul engkau pulang pergi dari Tatakan ke sini, coba tolong hari Jum’at yang akan datang bawakan aku oleh-oleh dari kampung. Aku sudah sangat lama tidak pulang. Mungkin sudah mencapai waktu 30 tahun. Selama ini aku selalu berada di Mekkah tak pernah ke mana-mana. Nah kira-kira musim buah apa di kampung kita? Bawakan kemari untukku, terutama di Martapura sekarang ini musim apa kiranya,” ujar Datu Kalampayan.

Datu Sanggul lalu berdiri di depan jendela. Tangannya dilambaikannya ke luar jendela. Ketika ia menarik kembali tangannya, ada sebiji durian dan kuini. “Nah, Datu Kayu Tangi ambil durian dan kuini ini. Ini datang dari Sungkai,” kata Datu Sanggul.

Buah itu diterima Datu Kalampayan, dan diperiksa masih ada getah dari tangkai kuini itu. Sama seperti baru dipetik dari samping rumah. Durian dan kuini tersebut masak pula. Segera Datu Kalampayan mengupas dan memakannya. Memang betul durian dan kuini. Di Mekkah kedua buah tersebut tidak ada. Kuini Jawa saja tidak terdapat, kecuali jenis asam-asaman lain. Dan suatu Datu Kalampayan kembali ke Tanah Banjar, ia semakin kaget karena ada buah kuini dari kerajaan Banjar yang tiba-tiba menghilang. Rupanya, buah kuini itulah yang dipetikkan Datu Sanggul untuk Datu Kalampayan.

Sejak pertemuan awal itu, Datu Sanggul dan Datu Kalampayan semakin sering bertemu di setiap shalat Jum’at. Dan karena sering bertemu, maka terjalinlah persahabatan antara keduanya. Sering Datu Sanggul dibawa ke kediaman Syeikh Muhammad Arsyad. Datu Sanggul pun tidak pernah menolak. Dari persahabatan keduanya ini pula kemudian ada satu kitab yang dikenal Kitab Barencong. Yakni, kitab yang dibagi dua secara diagonal. Satu bagian dipegang oleh Datu Kalampayan, dan sebagian lainnya dibawa oleh Datu Sanggul.

Syekh Abdussamad sering membagi daging binatang rusa dan kijang kepada penduduk dusun Muning, Kalimantan Selatan, tempat tinggalnya. Daging itu diperoleh dengan cara menyumpit binatang tersebut yang lewat di bawah pohon tempat dia duduk berjuntai setiap hari. Namun kebiasaan tersebut tidak dilakukan pada hari Jum'at, karena dia pergi ke Makkah untuk melakukan shalat Jum'at.

Pekerjaan menghadang dan mengintip binatang itu disebut menyanggul yang berasal dari kata sanggul. Inilah asal mula Syekh Abdussamad diberi gelar Datu Sanggul, atau Datuk Sanggul.

Datu Sanggul, seperti dikutip dari Riwayat Datu Sanggul, saduran M. Zaini A.D., pada suatu hari diminta Nabi Khidhir untuk mengantar Datu Daha ke Makkah. Datu Daha ingin shalat di sana. Datu Daha adalah anak angkat Nabi Khidhir setelah dia mengalami peristiwa yang luar biasa. Datu Sanggul menyanggupi permintaan itu, dengan syarat Datu Daha harus memegang dirinya erat-erat dengan mata tertutup sampai ada perintah membukanya.

Demikianlah, beberapa saat kemudian Datu Daha diizinkan membuka mata dan ternyata sudah tiba di Makkah. Mereka lalu ke masjid dan menjalankan shalat Jum'at.

Datu Daha kemudian minta kesediaan Datu Sanggul untuk mengantarkan lagi ke Makkah tapi kali itu untuk naik haji. Menanggapi permintaan itu Datu Sanggul minta agar Daha menunggu hari Jum'at. Setelah itu dia lenyap dari depan mata Daha.

Diceburkan ke Laut

Datu Daha adalah orang yang pernah bertemu Nabi Khidhir ketika dia dalam kondisi yang sangat letih setelah diceburkan oleh kapten kapal karena kapal layar yang mereka tumpangi menuju Tanah Suci tiba-tiba berhenti di tengah laut tanpa sebab yang jelas. Untuk mencari kejelasan itu, dengan bantuan paranormal, Daha diceburkan ke dalam laut. "Si Fulan ini harus tinggal di tengah laut," kata si paranormal kepada kapten kapal setelah menghitung-hitung bayangan ghaib.

Begitu tubuh Daha tercebur ke laut, kapal itu pun bergerak melaju seperti semula dan meninggalkan Daha di tengah laut. Setelah 30 jam terombang-ambing di laut, akhirnya Daha terdampar di pantai. Ketika hampir pingsan, dia berdoa kepada Allah mohon keselamatan.

Kemudian dia berjalan menelusuri pantai hingga kelelahan dan jatuh pingsan.

Ketika siuman, dia melihat banyak makam sejauh mata memandang dalam keadaan rapi. Namun dia tidak melihat bangunan rumah. "Pasti kuburan ini ada yang mengurus," pikirnya. "Namun, siapa?"

Karena kelelahan, dia terduduk sambil menoieh kiri-kanan, hingga tampak olehnya sebuah gubuk. Dengan tertatih-tatih dia datangi gubuk itu dan didapatinya seorang lelaki tua sendirian di dalamnya.

"Assalamu'alaikum," ujarnya.

Kemudian terjadilah dialog di antara keduanya.

Singkat kata, orang tua itu adalah Nabi Khidhir, yang mengaku sebagai pengurus pemakaman tersebut, yaitu makam orang-orang yang mati tenggelam di laut, seperti yang dialami Datu Daha. Jawaban itu diberikan setelah Daha menceritakan pengalamannya sendiri. 

Mengetahui bahwa orang tua itu adalah Nabi Khidhir, Daha menyatakan keinginannya untuk pergi haji.

"Kalau Ananda ingin menunaikan ibadah haji, besok aku ikutkan kepada Syekh Abdussamad. Tiap hari Jum'at dia singgah kemari sebelum ke Makkah," jawab Nabi Khidhir.

Begitulah, Datu Daha akhirnya bertemu Datu Sanggul dan dibawa ke Makkah.

Berbulan-bulan kemudian, Datu Daha bertemu para penumpang kapal layar yang ditumpangi dulu. Mereka heran mengetahui Daha telah tiba di Makkah lebih dulu daripada mereka. "Bukankah Anda dulu dilempar ke laut, kok bisa duluan sampai di Makkah? kata salah seorang di antara mereka, keheranan.

"Itu semua kehendak Allah," jawab Datu Daha. Namun dia tidak menceritakan pertemuannya dengan Nabi Khidhir. Dalam keheranan itu, mereka akhirnya berkesimpulan bahwa kemungkinan Datu Daha adalah wali, bukan orang sembarangan.

Ketika ibadah haji selesai, Datu Daha pun diantar pulang oleh Datu Sanggul dengan cara yang sama. Namun dia diturunkan di ujung kampung Daha, Borneo, tempat asal Datu Daha. "Dari sini Anda jalan ke rumah, supaya orang kampung melihat Anda sudah kembali dari Tanah Suci," pesan Datu Sanggul.

Begitulah, dalam sekejap mata, Datu Daha telah melihat kembali kampungnya dan Datu Sanggul lenyap dari depannya.

Hari itu orang-orang kampung Daha terheran-heran melihat Datu Daha telah kembali. Mereka bertanya-tanya, tapi tidak dijawab oleh Daha. "Aku pulang atas kekuasaan, kodrat, dan iradat Allah. Aku tak kuasa menjelaskannya," kata Datu Daha.

Untuk mengetahui jawaban pertanyaan itu, orang-orang kampung menunggu kembalinya para jamaah lainnya sesama penumpang kapal layar. Namun ternyata mereka juga menyatakan keheranannya.

Mereka menceritakan bahwa Datu Daha dibuang ke laut karena ada sesuatu yang aneh ketika kapal tiba-tiba terhenti di tengah laut. Namun ketika sampai di Jeddah, mereka heran melihat Daha juga sudah ada di sana dengan selamat. "Kami terkejut, apa ini benar Datu Daha, atau kami salah lihat," tutur mereka.

Begitu juga ketika ibadah haji selesai. Pada hari Jum'at sorenya dia sudah tidak ada lagi di Makkah, padahal menurut pengakuannya dia tiba pada hari Jum'at sebelum shalat Jum'at.

Cerita itu membuat warga kampung percaya bahwa Datu Daha memang naik haji dan dia adalah wali yang patut dihormati.

Dalam Balutan Asap Putih

Datu Sanggul, atau Syekh Abdussamad, atau Syekh Ahmad Sirajul Huda, berasal dari Palembang. Dia berguru kepada Datu Suban, seorang ulama besar yang ditemuinya dalam mimpi, yang tinggal di Kalimantan Selatan.

Setelah mendapat restu dari ibunya, dia berlayar ke Kalimantan melalui selat Bangka Belitung dan kota Banjarmasin hingga tiba di Kampung Muning, Pantai Munggutayuh Tiwadak Gumpa Rantau Tapin, Kalimantan Selatan, pada tahun 1750 M.

Singkat cerita, Datu Sanggul menjadi murid kesayangan Datu Suban dan diberi sebuah kitab pusaka yang berbentuk segi delapan. Rupanya ketika' kitab itu diserahkan, itulah akhir hayat Datu Suban, karena tak lama kemudian dia wafat dalam balutan asap putih yang mengepul ke udara ketika tengah berjalan meninggalkan tempat upacara penyerahan kitab tersebut.

Setelah mengamalkan ilmu hakikat dan ilmu laduni dari gurunya itu, Datu Sanggul diberi kelebihan oleh Allah, seperti menceburkan diri ke air sungai dan berwudhu tapi badannya tidak basah kecuali yang wajib wudhu. Tiap hari Jum'at bersembahyang Jum'at di Masjidil Haram, Makkah.

Dia juga berteman dengan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari sejak tahun 1760, yang bertemu setiap shalat Jum'at di Makkah.

Syekh Arsyad ingin mempelajari kitab pusaka Datu Suban yang bersegi delapan. Namun Datu Sanggul meminjamkan hanya sebelah sehingga kitab itu berbetuk rencong dan disebut kitab Barencong, dengan catatan: bila ingin melanjutkan kajian dalam kitab itu, Al-Banjari harus turun ke tanah Jawi dan menemuinya di Kampung Muning sambil membawa kain putih seukuran lima helai kain sarung.

Ternyata ketika tiba saatnya untuk mempelajari kitab itu, Syekh Arsyad Al Banjari tidak berhasil menemui Datu Sanggul di Kampung Muning, karena ia sudah wafat.

Teringat pada pesan agar membawa kain putih berukuran lima kain sarung Syekh Arsyad pun menduga bahwa ketika itu agaknya Datu Sanggul sudah mendapat firasat dari Allah akan meninggal bila belahan kitab Barencong itu diserahkan.

Begitulah. Sungguh teramat banyak lagi cerita-cerita akan keramat Datu Sanggul. Termasuk menjelang akhir hayatnya, Datu Sanggul minta dibawakan kain kafan kepada Datu Kalampayan apabila Datu Kalampayan selesai menuntut ilmu dari Mekkah (pulang ke Tanah Banjar). Dan ternyata, kain kafan itu digunakan untuk mengkafani Datu Sanggul sendiri yang berpulang ke Hadirat Allah bertepatan dengan pulangnya Datu Kalampayan dari Mekkah ke Tanah Banjar.

Sungguh tak terasa, kini sudah 249 tahun kejadian itu berlalu. Di komplek Kubah Datu Sanggul di Desa Tatakan Tapin, dilaksanakan peringatan haul Datu Sanggul setiap tahunnya.

Dikatakan Masrani (penjaga makam Datu Sanggul), Datu Sanggul adalah hamba Allah yang alim dan dikenal luas dianugerahi ilmu ma’rifat. Selain pantun Saraba Ampat dan syair ketika muncul dari air tadi, menurut Masrani ada lagi pantun ma’rifat Datu Sanggul yang masih dikenal para ahli ma’rifat hingga saat ini. Pantun itu berbunyi: 

“Jangan susah mencari billah.
Billah ada di rapun buluh.
Jangan susah mencari Allah.
Allah ada di batang tubuh”.

Kitab Ma'rifat Datu Sanggul yang dikenal denganKitab Barencong.‎

Hikayat Datu Banua Lima


Sekitar tahun 3000-1500 S.M untuk pertama kalinya Pulau Kalimantan kedatangan Imigran yang berasal dari daerah Yunan di China Bagian Selatan. Imigran dari Yunan inilah yang menjadi cikal bakal suku Dayak di pulau Kalimantan atau dikenal pula dengan istilah suku “Melayu Tua”. Dari Legenda suku Melayu Tua (Dayak) ini disebutkan bahwa terdapat lima kelompok besar yang dipimpin Lima bersaudara yaitu Abal, Anyan, Aban, Anum dan Aju. Kelima bersaudara ini sangat sakti, bijaksana dan berwibawa. Menurut cerita suku Dayak Tua, kelima saudara ini titisan dari Dewa Batara Babariang Langit, yaitu : titisan Dewa Batahara Sangiang Langit. Batara Babariang Langit kawin dengan Putri Mahuntup Bulang anak dari Batari Maluja Bulan dan Melahirkan Maanyamai, dan Maanyamai beristri dan istrinya melahirkan anak bernama Andung Prasap Konon sangat sakti. Dan membangun Negeri Nan Marunai (Nan Sarunai) kemudian Andung Prasap beristri anak Raja menggaling Langit dan melahirkan kelima saudara tersebut di atas. Kelima saudara inilah kelak menjadi cikal bakal suku Dayak di pulau Kalimantan. Mereka mengembara ke pelosok pulau Kalimantan, konon si Abal ke daerah Timur menurunkan suku Aba, Anyan ke daerah Selatan menurunkan suku Manyan, Aban ke daerah Barat menurunkan suku Iban, Anum ke Utara menurunkan suku Otdanum dan Aju ke daerah Tengah menurunkan suku Ngaju. Dan mereka diberi pitua :” Tabu/ dilarang bacakut papadaan apalagi bermusuhan, karena mereka satu daerah satu nyawa, menurut pitua Nenek Moyang mereka mengatakan (pitua) terkutuk apabila bakalahi satamanggungan. 
Dari cerita silsilah keturunan Dayak tersebut adalah Anyan anak nomor dua menurunkan suku Maanyan yang mengembara ke daerah selatan mempunyai 10 orang anak yang dikenal dengan sebutan “cucu urang 10” yaitu Luwa, Pahi, Alai, Wangi, Sari, Aju, Burai, Buun, Kutip dan Asih. Mereka ini adalah cikal bakal penduduk Kalimantan Selatan, sebagian ke daerah Barito Selatan dan Timur (Kalteng) serta ke daerah Pasir (Kaltim). Luwa menjadi cikal bakal urang Kalua, Pahi jadi cikal bakal urang Mahi, Alai menjadi cikal bakal urang Birayang (HST), Wangi menjadi cikal bakal urang Mawangi (HSS), Sari menjadi cikal bakal urang Masari/Marga Sari (Tapin), Aju menjadi cikal bakal urang Biaju, Burai menjadi cikal bakal urang Maburai (Tabalong), Buun menjadi cikal bakal urang Mabuun dan Warukin, Kutip menjadi cikal bakal urang Makutip dan Asih menjadi cikal bakal urang Masih (Alalak).

Sakitar abad ke-5 M berdiri sebuah kerajaan yang merupakan kerajaan permulaan di Kalimantan Selatan, jauh sebelum berdirinya Kerajaan Nagara Dipa. Kerajaan tersebut bernama Kerajaan Tanjungpuri. Bermula berdirinya Kerajaan Tanjungpuri adalah saat kedatangan bubuhan imigran Malayu asal Kerajaan Sriwijaya di pulau sumatera sekitar Tahun 400-500 Masehi. Oleh karena kebudayaan imigran Malayu sudah lebih maju, lalu mereka mendirikan kampung yang lama kelamaan berubah menjadi sebuah kerajaan kecil. Para imigran Malayu tersebut banyak yang melakukan perkawinan dengan panduduk setempat, yakni suku Dayak (Maanyan, Bukit, Ngaju), sehingga Kerajaan Tanjungpuri tersebut, panduduknya terdiri dari orang Malayu dan Dayak. Perpaduan kadua suku tersebut akhirnya nanti menurunkan suku Banjar (Asal muasal suku Banjar).

Semantara sekitar 3000-1500 SM untuk pertama kalinya Imigran dari Yunnan di China Selatan datang ke tanah Borneo. Mereka inilah padatuan ‘nenek moyang orang Dayak atau istilahnya “Melayu tua”. Berabad-abad lamanya Kerajaan Tanjungpuri berdiri, penduduknya makmur dan sajahtera, hidup damai serta bahagia. Pada Tahun 1309 M berdiri juga sabuah kerajaan orang Maanyan yang bernama “Nan Sarunai”. Kedua kerajaan ini saling berkeluarga dan berteman dekat, tidak pernah ada permusuhan. Walau berbeda keyakinan, –Kerajaan Tanjungpuri kebanyakan pangikut ajaran Buddha sedangkan Kerajaan Nan Sarunai kebanyakan pengikut ajaran Kaharingan– tapi kedua kerajaan tetap saling menghormati. Kedua kerajaan sama-sama berkomitmen menjaga alam lingkungan, tidak mau menambang batu bara yang banyak terdapat di wilayah kerajaan, apalagi menanam sawit karena pada saat itu tidak ada istilah jual beli tanah dan sawit serta hasil tambang batu bara.

Kerajaan Tanjungpuri mempunyai lima orang Panglima. Yang Partama bergelar Panglima Alai, yang merupakan ahli politik dan strategi. Yang Kedua, Panglima Tabalong, orangnya gagah, kuat, pemberani, dan berjiwa ksatria. Yang Katiga, Panglima Balangan, Orangnya sangat tampan, pintar, dan suka menuntut ilmu, sedangkan yang keampat dan kelima si kembar yang bergelar Panglima Hamandit dan Panglima Tapin. Mereka berdua ini orangnya cepat emosian, keras kepala, dan suka berkelahi. Kelimanya bersaudara ini, anak dari Datu Intingan (Saudaranya Datu Dayuhan Kapala suku Dayak Maratus) dan Dayang Baiduri (Putri Imigran Melayu keturunan Sriwijaya).

Pada saat itu, Kerajaan Majapahit sangat berambisi untuk menguasai Nusantara. Hal itu terjadi karena Maha Patih Gajah Mada sudah termakan sumpah hendak ‘menguasai’ nusantara. Tapi oleh para politikus Majapahit kata ‘menguasai’ diperhalus menjadi ‘mempersatukan’ nusantara. Ada mata-mata Majapahit yang berdalih berdagang ke kotaraja kedua kerajaan tadi, didapatlah informasi bahwa kedua kerajaan tersebut sangat makmur. Istananya saja berlapis emas. Mendengar hal itu, Prabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit begitu berambisi untuk menguasai kedua kerajaan tersebut, Kerajaan Tanjungpuri dan Kerajaan Nan Sarunai.

Pada Tahun 1356 Kerajaan Majapahit mengirim ekspedisi militer pertama ke wilayah Borneo. Yang mula-mula diserang adalah Kerajaan Nan Sarunai. Sakitar 5.000 pasukan Majapahit datang dengan kapal melewati Sungai Barito yang dipimpin oleh Senopati Arya Manggala. Melihat pasukan yang sangat banyak tersebut, lalu Kerajaan Nan Sarunai mminta bantuan ke Kerajaan Tanjungpuri. Lalu oleh raja Tanjungpuri dikirim lima orang Panglima tadi dengan membawa 1000 pasukan membantu Kerajaan Nan Sarunai. Setelah itu pecahlah perang yang dahsyat antara pasukan Majapahit melawan pasukan Nan Sarunai yang dibantu pasukan Tanjungpuri. Banyak sekali jatuh korban di kedua belah pihak. Pasukan Majapahit yang terkenal hebat dalam bertempur karena sudah berkeliling Nusantara manaklukan berbagai kerajaan, saat itu mendapat perlawanan yang hebat tak terkira. Banyak tentara Majapahit yang mati di tangan lima panglima Tanjungpuri yang sakti-sakti tersebut. Panglima Alai yang ahli strategi mengatur pasukan, Panglima Tabalong yang gagah mengamuk di barisan paling muka, banyak tentara Majapahit yang terlempar ke udara dilemparkan oleh panglima atau banyak juga yang dilemparkan ke tubuh musuh yang berani mendekat. Sedangkan Panglima Balangan menjadi pimpinan barisan pangawal raja, dengan kesaktiannya mampu melindungi raja dari keroyokan pasukan Majapahit. Semantara Panglima Hamandit dan Panglima Tapin beradu (duel) kesaktian dengan para pendekar Majapahit. Banyak sudah Pendikar Persilatan Majapahit yang merupakan orang-orang bayaran, mati di tangan Panglima Hamandit dan Panglima Tapin. Setelah dua hari bertempur akhirnya pasukan Majapahit mampu dipukul mundur, bahkan Senopati Arya Manggala penggal kepalanya terkena Mandau terbang “Pangkalima Angkin”, Panglima Kerajaan Nan Sarunai yang terkenal sakti. Sisa-sisa pasukan Majapahit lari terbirit-birit menuju kapal untuk pulang ke Jawa.

Di Tanjungpuri setelah peperangan malawan Majapahit banyak infrastruktur kerajaan yang hancur, ladang banyak yang rusak begitu juga pohon karet banyak yang roboh. Pelabuhan kerajaan tidak ramai lagi karena banyak padagang yang takut berlabuh setelah mendengar ada perang. Maka tarjadi “krisis moneter” berkepanjangan di Kerajaan Tanjungpuri. Kelima panglima kerajaan mendapat tanah kekuasaan masing-masing di daerah lima aliran sungai yang berhulu di Pegunungan Maratus sebagai hadiah dari Sri Baginda Darmapala. Daerah lima aliran sungai tersebut akhirnya bernama sesuai gelar lima Panglima Tanjungpuri. Panglima Alai mendapat wilayah yang bernama Batang Alai (sekarang menjadi Kabupaten HST), Panglima Tabalong mendapat wilayah yang bernama Batang Tabalong (sekarang menjadi Kabupaten Tabalong), Panglima Balangan mendapat wilayah yang bernama Batang Balangan (sekarang menjadi Kabupaten Balangan), Panglima Hamandit mandapat wilayah Batang Hamandit (sekarang menjadi Kabupaten HSS), sedangkan Panglima Tapin mandapat wilayah Batang Tapin (sekarang menjadi Kabupaten Tapin).

Ada kisah menarik antara dua Panglima kembar tersebut, yaitu Panglima Hamandit dan Panglima Tapin, yang keduanya sama-sama menghendaki anak Raja Tanjungpuri yang bernama Putri Diang Bulan, sampai-sampai yang mereka berdua bertengkar, tapi karena sama-sama sakti, maka tidak ada yang mampu saling mengalahkan. Akhirnya oleh Putri Diang Bulan, mereka disuruh beradu ba igal (berjoget). Ternyata Panglima Tapin lebih hebat berjoget daripada Panglima Hamandit. Oleh karena itu, orang-orang Tapin banyak yang menguasai kesenian bajapin ‘bagandut.’ Tapi Putri Diang Bulan tidak sampai hati memilih di antara keduanya. Akhirnya Putri Diang Bulan kembali menyuruh mereka untuk beradu pantun ‘baturai pantun’ dan ternyata Panglima Hamandit yang lebih hebat, makanya orang-orang daerah Hamandit banyak menguasai bidang sastra. Karena sama-sama mempunyai kelebihan, Putri Diang Bulan menjadi semakin bingung sendiri. Karena kebigungan, akhirnya Putri Diang Bulan memilih kawin dengan Panglima Alai. Oleh sebab itu, orang-orang Hamandit dan Tapin banyak yang tidak suka dengan orang-orang Alai kalau urusan cinta dan perempuan. Panglima Tabalong dan Panglima Balangan yang mengetahui soal cinta sagi empat di antara saudaranya tersebut lebih memilih netral, tidak memihak ke mana-mana. Datu Dayuhan dan Datu Intingan yang malihat hal tersebut akhirnya cepat turun tangan berusaha untuk mempersatukan persaudaraan mereka. Oleh karena itu, setiap tahun diadakan upacara ‘Aruh Ganal’ di daerah pahuluan sana.

Pada Tahun 1387 atau 29 tahun setelah terjadinya peperangan antara Majapahit dan Tanjungpuri, berdiri sebuah Kerajaan Hindu di Borneo yang bernama Nagaradipa. Kepala pemerintahannya bernama Empu Jatmika, seorang palarian matan Kerajaan Kediri. Karena tingkah lakunya yang baik dan santun, dia disukai oleh Raja Tanjungpuri yang bernama Sri Baginda Kartapala (anak Sri Baginda Darmapala). Oleh Sri Baginda Kartapala, Empu Jatmika ditawari agar anaknya Lambung Mangkurat untuk mengawini anaknya yang bernama Putri Junjung Buih. Tapi karena merasa ketuaan, Lambung Mangkurat menyuruh anaknya Raden Putera untuk mengawini Putri Junjung Buih.

Raden Putera adalah anak Lambung Mangkurat dari parkawinan dengan Urang Biaju (Dayak Ngaju). Singkat cerita akhirnya Raden Putra kawin dengan Putri Junjung Buih. Sejak saat itu Sri Baginda Kartapala menyerahkan seluruh kekuasaan dan wilayah Tanjungpuri kepada Kerajaan Nagaradipa. Kerajaan Nagaradipa sendiri mengangkat Raden Putera sebagai raja yang bergelar Pangeran Suryanata. Namun ada sesuatu hal yang bergejolak di dalam pemerintahan Nagaradipa, yaitu saling berebut pengaruh antara Imigran Majapahit yang sengaja disusupkan jadi pajabat di Nagaradipa dengan orang-orang Tanjungpuri yang ikut mangabdi jadi pajabat di Kerajaan Nagaradipa. Apalagi setelah para politikus Majapahit mampu mempengaruhi Patih Lambung Mangkurat yang akhirnya memutuskan malarang adat istiadat Melayu dan Dayak di Kerajaan Nagaradipa. Pakaian adat harus mengikuti gaya pakaian orang Majapahit (kelak pada saat perpindahan kekuasaan dari Nagaradipa ke Nagaradaha kebudayan Melayu dan Dayak kembali mendapat tempat di kerajaan).

Mendengar hal tersabut, lima Panglima Tanjungpuri yang sudah tua-tua menjadi berang. Kelima Panglima ini sangat kecewa sekali sebab mereka sudah bersumpah tidak akan tunduk dengan Majapahit. Tapi oleh karena masih menghormati Putri Junjung Buih sabagai cucu Sri Baginda Darmapala, kalima Panglima tersebut mampu menahan diri. Setelah itu kelima panglima ini tidak pernah muncul lagi baik di dunia politik maupun di dunia parsilatan. Mereka masing-masing mengasingkan diri ke Pegunungan Maratus. Para keluarga Kerajaan Tanjungpuri pun terpecah dua, ada yang mandukung Nagaradipa dan ada juga yang tidak. Yang tidak mendukung akhirnya ikut mengasingkan diri ke Pegunungan Maratus di bawah pimpinan Pangeran ke-10 mengikuti para Datu Banua lima. Tempat berkumpulnya para kaluarga Kerajaan Tanjungpuri di Pegunungan Maratus yang di pimpin Pangeran ke 10 adalah Manggajaya.

Melihat hal tersabut Patih Lambung Mangkurat merasa tarancam lalu atas bantuan Majapahit dia mengirim pasukan di bawah pimpinan Hulu Balang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa ka daerah Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Alai, Batang Hamandit dan Batang Tapin supaya tunduk terhadap kekuasaan Nagaradipa. Kelima wilayah tersabut memang bisa ditaklukan, tapi daerah “Manggajaya” tak ada berani menyerang ke sana karena menurut cerita Lima orang Panglima yang bergelar Datu Banua Lima ada di Manggajaya dan di sana juga bakumpul para keturunan keluarga Kerajaan Tanjungpuri dan Kerajaan Nan Sarunai. Itulah sebabnya kenapa orang-orang pahuluan (Banua Lima) terkenal berjiwa pahlawan sebab masih sebagai keturunan para Panglima Kerajaan Tanjungpuri. Kelak di masa penjajahan Belanda, orang Manggajaya ini yang akan turun membantu Pangeran Hidayatullah bertempur di wilayah Banua Lima. Hal tersebut kembali berulang pada saat masa mempertahankan kemerdekaan, orang-orang Banua Lima ini terkenal sebagai bagian dari pasukan ALRI Div. IV di bawah komando Brigjen Hasan Basri (keturunan Panglima Hamandit).‎

Muharrom Bulan Mulia


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan sebagaimana ketetapan Allah di ketika Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya ada 4 bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang 4 itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahawasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” (Surah at-Taubah, 9: 36)

Kata Muharram secara bahasa, berarti diharamkan. Abu ‘Amr ibn Al ‘Alaa berkata, “Dinamakan bulan Muharram karena peperangan (jihad) diharamkan pada bulan tersebut”‎; jika saja jihad yang disyariatkan lalu hukumnya menjadi terlarang pada bulan tersebut maka hal ini bermakna perbuatan-perbuatan yang secara asal telah dilarang oleh Allah Ta’ala memiliki penekanan pengharaman untuk lebih dihindari secara khusus pada bulan ini. Pada bulan ini Allah melarang umatnya untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang-Nya. Seperti misalnya berperang, seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang kuraisy sebelum datangnya agama Islam.

Kita sebagai umat agama Islam sudah sepatutnya untuk mengetahui peristiwa besar apa saja yang telah terjadi dalam 12 bulan Islam atau biasa disebut kalender Hijriyah.

Sebelumnya mari kita mengenal dulu bagaimana sejarah kalender Hijriyah tercipta.

Sejarah Kalender Hijriyah

Kalender Hijriyah dimulai sejak tahun 682 Masehi. Kalender itu terbentuk setelah Amirul Mukminin Umar bin Khath-thab ra mengalami sebuah masalah, yaitu masalah administrasi, yang diadukan oleh sahabat Abu Musa Al-Asy’ari ra, yang ketika itu menjabat sebagai gubernur di kota Bashrah, karena kesulitan membedakan tahun di surat-surat yang dikirim oleh Amirul Mukminin untuknya.

Maka dikumpulkanlah para pembesar sahabat Nabi SAW sekaligus penasehat-penasehat Amirul Mukminin, berunding untuk menetapkan kapankah dimulainya kalender tahun dalam Islam.

Sebagian sahabat mengusulkan agar ditetapkannya awal tahun Islam adalah tahun diutusnya Rasulullah SAW sebagai Nabi dan Rasul. Sebagian lagi mengusulkan untuk mengikuti kalender Romawi saja, yang mana ia dimulai sejak Raja Alexander. Kemudian Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra maju untuk mengajukan sarannya, beliau menyarankan agar tahun dimana peristiwa hijrah Baginda Nabi SAW dan para sahabatnya terjadi sebagai awal tahun untuk kalender umat Islam.

Rupanya Amirul Mukminin condong kepada pendapat saudara sepupu Nabi Muhammad SAW ini. Beliau mengatakan,

الهجرة فرقت بين الحق والباطل فأرخوا بها

Yang artinya, ”Peristiwa Hijrah menjadi pemisah antara yang benar dan yang batil. Jadikanlah ia sebagai patokan penanggalan.”

Para sahabat pun menyutujui pula pendapat dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra ini. Karena mereka memahami ayat 108 dalam surat At-Taubah yang membahas tentang ‘hari pertama’ cocok dengan pendapat beliau. Firman Allah Ta’ala;

لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيه َ

Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. (QS. At-Taubah:108)

Kalender Hijriyah juga dikenal sebagai Kalender Qomariyah, yaitu kalender yang dihitung berdasarkan peredaran bulan.‎
Beberapa Keutamaan Bulan Muharram

a.     Bulan Muharram Merupakan Salah Satu Diantara Bulan-Bulan Haram

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. at Taubah :36).

Pada ayat ini menerangkan kepada kita bahwa setelah penciptaan langit dan bumi Allah menciptakan bulan yang berjumlah 12 bulan yang mana bulan tersebut merupakan bulan tahun Hijriah. Dalam bulan-bulan tersebut terdapat 4 bulan yang paling istimewa diantara bulan yang lainnya, salah satunya adalah bulan Muharram. Pada bulan Muharram Allah mengharamkan umat islam melakukan perbuatan yang dilarang, (membunuh, berperang). Tetapi disana juga menjelaskan bahwa orang muslim harus memerangi orang kafir yang selalu mengajak kepada kehancuran. Yang dilakukan orang kafir, adalah bukan karena ingin merampas harta seperti yang dilakukan sebelum datangnya islam, merebut kekuasaan, balas dendam seperti yang telah dialami ketika umat islam mengusir orang kafir untuk meninggalkan Makkah dan Madinah, tetapi mereka menginginkan agama Islam hancur.‎

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي بَكْرَة، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ فِي حَجَّتِهِ، فَقَالَ: "أَلَا إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ [حُرُمٌ، ثَلَاثَةٌ] مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو الْقَعْدَةِ، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ". ثُمَّ قَالَ: "أَيُّ يَوْمٍ هَذَا؟ " قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ، قَالَ: "أَلَيْسَ يَوْمَ النَّحْرِ؟ " قُلْنَا؛ بَلَى. ثُمَّ قَالَ: "أَيُّ شَهْرٍ هَذَا؟ " قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ، قَالَ: "أَلَيْسَ ذَا الْحِجَّةِ؟ " قُلْنَا: بَلَى. ثُمَّ قَالَ: "أَيُّ بَلَدٍ هَذَا؟ ". قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ، قَالَ: "أَلَيْسَتِ الْبَلْدَةُ؟ " قُلْنَا: بَلَى. قَالَ: "فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ -قَالَ: وَأَحْسَبُهُ قَالَ: وَأَعْرَاضَكُمْ -عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا، وَسَتَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ فَيَسْأَلُكُمْ عَنْ أَعْمَالِكُمْ، أَلَا لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي ضُلالا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ، أَلَا هَلْ بَلَغْتُ؟ أَلَا لِيُبَلِّغَ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ مِنْكُمْ، فَلَعَلَّ مَنْ يُبَلَّغُهُ يَكُونُ أَوْعَى لَهُ مِنْ بَعْضِ مَنْ يَسْمَعُهُ

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Ayyub, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sirin. dari Abu Bakrah, bahwa Nabi Saw. berkhotbah dalam haji wada'nya. Antara lain beliau Saw. bersabda: Ingatlah, sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya sejak hari Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun terdiri atas dua belas bulan, empat bulan di antaranya adalah bulan-bulan haram (suci); tiga di antaranya berturut-turut, yaitu Zul Q 'dah, Zul Hijjah, dan Muharram; yang lainnya ialah Rajab Mudar, yang terletak di antara bulan Jumada(Jumadil Akhir) dan Sya’ban. Lalu Nabi Saw. bertanya, "Ingatlah, hari apakah sekarang?" Kami (para sahabat) menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Nabi Saw. diam sehingga kami menduga bahwa beliau akan memberinya nama bukan dengan nama biasanya. Lalu beliau bersabda.”Bukankah hari ini adalah Hari Raya Kurban?" Kami menjawab, "Memang benar." Kemudian beliau Saw. bertanya, "Bulan apakah sekarang?" Kami menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau Saw. diam sehingga kami menduga bahwa beliau akan memberinya nama bukan dengan nama biasanya. Lalu beliau Saw. bersabda, "Bukankah sekarang ini bulan Zul Hijjah?" Kami menjawab, "Memang benar." Kemudian beliau Saw. bertanya, "Negeri apakah ini?" Kami menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau Saw. diam sehingga kami men­duga bahwa beliau akan memberinya nama bukan dengan nama biasanya. Lalu beliau Saw. bersabda, "Bukankah negeri ini?" Kami menjawab, "Memang benar." Setelah itu Nabi Saw. bersabda:Maka sesungguhnya darah dan harta benda kalian —menurut seingat (perawi) beliau mengatakan pula 'dan kehormatan kalian'— diharamkan atas kalian seperti keharaman (kesucian) hari kalian sekarang, dalam bulan kalian, dan di negeri kalian ini. Dan kelak kalian akan menghadap kepada Tuhan kalian, maka Dia akan menanyai kalian tentang amal perbuatan kalian. Ingatlah, janganlah kalian berbalik menjadi sesat sesudah(sepeninggal)ku, sebagian dari kalian memukul(memancung) leher sebagian yang lain. Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikan? Ingatlah, hendaklah orang yang hadir (sekarang) di antara kalian menyampaikan kepada orang yang tidak hadir, karena barangkali orang yang menerimanya dari si penyampai lebih memahaminya daripada sebagian orang yang mendengarnya secara langsung.
Imam Bukhari meriwayatkannya di dalam kitabTafsir dan lain-lainnya. Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadis Ayyub, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Abdur Rahman ibnu Abu Bakrah, dari ayahnya dengan sanad yang sama.


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَر، حَدَّثَنَا رَوْحٌ، حَدَّثَنَا أَشْعَثُ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، وَإِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شهرا في كتاب الله يوم خلق السموات وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ، وَرَجَبُ مُضَرَ بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ"

Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Asy'as, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya semula sejak hari Allah menciptakan langit dan bumi. Dan sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan Langit dan bumi diantaranya empat  bulan haram (suci); tiga di antaranya berturut-turut, yaitu Zul Qa'dah, Zul Hijjah, dan Muharram, sedangkan lainnya ialah Rajab Mudar yang terletak di antara bulan Jumada dan bulan Sya'ban.

Al-Bazzar meriwayatkannya melalui Muhammad ibnu Ma'mar dengan sanad yang sama, kemudian ia mengatakan bahwa tidak diriwayatkan melalui Abu Hurairah kecuali melalui jalur ini. Ibnu Aun dan Qurrah telah meriwayatkannya dari Ibnu Sirin, dari Abdur Rahman ibnu Abu Bakrah, dari ayahnya dengan sanad yang sama.‎
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ أَيْضًا: حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمَسْرُوقِيُّ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ حُبَاب، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُبَيْدَةَ الربَذي، حَدَّثَنِي صَدَقَةُ بْنُ يَسَارٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ بِمِنًى فِي أَوْسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ فَقَالَ: "أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ، فَهُوَ الْيَوْمَ كَهَيْئَتِهِ يوم خلق الله السموات وَالْأَرْضَ، وَإِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، أَوَّلُهُنَّ رَجَب مُضَرَ بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ، وَذُو الْقَعْدَةِ، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ"

Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Abdur Rahman Al-Masruqi, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnu Hubab, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ubaidah Ar-Rabazi, telah menceritakan kepadaku Sadaqah ibnu Yasar, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. melakukan khotbahnya dalam haji wada' di Mina pada pertengahan hari-hari Tasyriq. Antara lain beliau Saw. bersabda: Hai manusia, sesungguhnya zaman itu berputar, keadaan zaman pada hari ini sama dengan keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Dan sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, empat bulan di antaranya ialah bulan-bulan haram (suci); yang pertama ialah Rajab Mudar yang jatuh di antara bulan Jumada dan Sya’ban. lalu Zul Qa’dah, Zul Hijjah, dan Muharram.
Ibnu Murdawaih telah meriwayatkan hal yang semisal atau sama dengan hadis di atas, dari hadis Musa ibnu Ubaidah, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar.‎

قَالَ حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ: حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَبِي حُرّة  حَدَّثَنِي الرَّقَاشِيُّ، عَنْ عَمِّهِ -وَكَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ -قَالَ: كُنْتُ آخِذًا بِزِمَامِ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَوْسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ، أَذُودُ النَّاسَ عَنْهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَلَا إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، وَإِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السموات والأرض، منها أربعة حرم فلاتَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ"

Hammad ibnu Salamah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ali ibnu Zaid, dari Abu Hamzah Ar-Raqqasyi, dari pamannya yang berpredikat sebagai sahabat. Paman Abu Hamzah Ar-Raqqasyi mengata­kan bahwa ia memegang tali kendaraan unta Rasulullah Saw. pada pertengahan hari-hari Tasyriq seraya menguakkan orang-orang agar menjauh darinya. Lalu Rasulullah Saw. bersabda: Ingatlah, sesungguhnya zaman itu berputar seperti keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Dan sesungguhnya bilangan bulan itu di sisi Allah ada dua belas bulan menurut ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya empat bulan haram (suci), maka janganlah kalian menganiaya diri kalian sendiri dalam bulan yang empat itu.
Sa'id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: di antaranya empat bulan haram (suci). (At-Taubah: 36) Yaitu bulan Rajab, Zul Qa'dah, Muharram, dan Zul Hijjah. ‎

Salah seorang ahli tafsir dari kalangan tabi’in yang  bernama Qatadah bin Di’amah Sadusi rahimahulloh menyatakan, “Amal sholeh lebih besar pahalanya jika dikerjakan di bulan-bulan haram sebagaimana kezholiman di bulan-bulan haram lebih besar dosanya dibandingkan dengan kezholiman yang dikerjakan di bulan-bulan lain meskipun secara umum kezholiman adalah dosa yang besar”‎.

Disinilah yang menjadi pokok pada bulan Muharram, bahwa diharamkan umat-Nya melakukankan berperang atau membunuh pada bulan-bulan istimewa tersebut, karena apabila melanggarnya, maka dosanya akan dilipat gandakan dari bulan-bulan yang lain. Dengan adanya larang tersebut berarti Allah juga akan memberikan pahala bagi umat-Nya yang mengerjakan alaman seperti yang disunahkan.

Dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Bakrah radhiyallohu anhu, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam menjelaskan keempat bulan haram yang dimaksud :

إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ  وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى  وَشَعْبَانَ

“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumadil Akhiroh dan Sya’ban.” [ HR. Bukhari (3197) dan Muslim(1679) ]

Para ulama bersepakat bahwa keempat bulan haram tersebut memiliki keutamaan dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain selain Ramadhan, namun demikian mereka berbeda pendapat, bulan apakah yang paling afdhal diantara keempat bulan haram yang ada ? Imam Hasan Al Bashri rahimahulloh dan beberapa ulama lainnya berkata, “Sesungguhnya Allah telah memulai  waktu yang setahun dengan bulan haram (Muharram) lalu menutupnya juga dengan bulan haram (Dzulhijjah) dan tidak ada bulan dalam setahun setelah bulan Ramadhan yang lebih agung di sisi Allah melebihi bulan Muharram” ‎.

Mengenai sabda Rasulullah Saw. dalam salah satu hadis, yaitu:
" إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يوم خلق الله السموات وَالْأَرْضَ"،

Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi. 
Hal ini merupakan taqrir (pengakuan) dari Rasulullah Saw. dan sebagai pengukuhan terhadap urusan itu sesuai dengan apa yang telah dijadikan oleh Allah Swt. sejak semua, tanpa mendahulukan dan menangguh-nangguhkan dan mengganti. Seperti yang disabdakannya sehubungan dengan keharaman (kesucian) kota Mekah, yaitu:‎

"إِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمَهُ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ"،

Sesungguhnya kota ini disucikan oleh Allah sejak Dia menciptakan langit dan bumi, maka kota ini tetap suci karena disucikan oleh Allah Swt. sampai hari kiamat.
Hal yang sama dikatakannya pula dalam bab ini, yaitu: Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi.
Dengan kata lain, keadaan zaman pada hari ini sama dengan keadaannya sejak diciptakan oleh Allah —yakni tetap berputar— sebagai suatu ketetapan dari-Nya sejak Dia menciptakan langit dan bumi.
Sebagian ulama tafsir dan ahli ilmu kalam telah mengatakan berkenaan dengan hadis tersebut, bahwa yang dimaksud dengan sabdanya, "Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi", sesungguhnya hal itu bertepatan dengan haji yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. di tahun itu, yaitu dalam bulan Zul Hijjah. Orang-orang Arab di masa dahulu pun sering menangguh-nangguhkan bulan haram ini. Selama bertahun-tahun mereka selalu mengerjakan hajinya di luar bulan Zul Hijjah, bahkan kebanyakan ibadah haji mereka dilakukan di luar bulan Zul Hijjah. Dan mereka menduga bahwa haji yang dilakukan oleh Abu Bakar As-Siddiq dalam tahun sembilan Hijriah dilakukan bulan Zul Qa'dah. Tetapi kebenaran pendapat ini masih perlu dipertimbangkan, seperti apa yang akan kami jelaskan dalam pembahasan tentang Nasi’. 
Hal yang lebih aneh daripada ini ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Tabrani dari sebagian ulama Salaf dalam sejumlah hadis yang menyatakan, "Sesungguhnya haji kaum muslim, orang-orang Yahudi, dan orang-orang Nasrani pernah bertepatan dalam hari yang sama, yaitu Hari Raya Kurban pada tahun haji wada'."‎

Syekh Alamud Din As-Sakhawi di dalam kitabnya Al-Masyhurfi Asmail Ayyam wasy Syuhur telah menyebutkan bahwa bulan Muharram di namakan Muharram karena ia merupakan bulan yang diharamkan (disucikan). Menurut pendapat penulis (As-Sakhawi), dinamakan demikian untuk mengukuhkan keharamannya. Mengingat orang-orang Arab di masa lalu berpandangan labil terhadapnya, terkadang dalam satu tahun mereka menghalalkannya, sedangkan di tahun yang lain mengharamkannya. Kata muharram dijamakkan menjadi muharramat, maharim, dan maharim.‎

Bulan Safar, dinamakan demikian karena rumah-rumah mereka kosong dari para penghuninya, sebab penghuninya pergi untuk berperang dan mengadakan perjalanan. Dikatakan safaral makanu, apabila tempat yang dimaksud kosong, tak berpenghuni. Dijamakkan menjadi asfar, sama wazannya dengan lafaz jamal yang bentuk jamaknya ajmal.
Bulan Rabi'ul AwwaL dinamakan demikian karena mereka menetap di rumahnya masing-masing. Al-irtiba' artinya tinggal di keramaian daerah tempat tinggal. Bentuk jamaknya adalah arbi’a, sama wazannya dengan lafaz nasibun yang bentuk jamaknya ansiba. Dapat pula dijamakkan menjadiarba'ah, sama wazannya dengan ragifun yang bentuk jamaknya argifah. Rabi'ul Akhir sama ketentuannya dengan Rabi'ul Awwal.‎

Jumada, dinamakan demikian karena pada bulan itu air membeku. Menurut perhitungan mereka (orang-orang Arab di masa Jahiliah) bulan-bulan itu tidak berputar-putar —tetapi pendapat As-Sakhawi kali ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya—, sebab bulan-bulan itu menurut mereka dikaitkan dengan hilal. Dengan demikian, berarti bulan-bulan itu harus berputar. Barangkali mereka menamakannya dengan sebutan Jumadapada awal mulanya ialah di saat air sedang membeku, seperti yang disebutkan oleh seorang penyair mereka, yaitu: 
وَلَيلَةٍ منْ جُمادى ذَاتِ أنْدِيَة ... لَا يُبْصِرُ العبدُ فِي ظَلماتها الطُّنُبَا ...
لَا يَنْبَحُ الكلبُ فِيهَا غَير وَاحدَةٍ ...حَتَّى يَلُفَّ عَلَى خُرْطُومه الذَّنَبَا ...

Dan malam hari dari bulan Jumada yang berkabut tebal, seorang hamba tidak dapat melihat tali pemancang kemah dalam kegelapannya. Dan anjing tidak ada yang melolong kecuali hanya sekali sebelum melilitkan ekornya pada moncongnya.

Jumada dijamakkan menjadi jumadiyat, sama wazannya dengan lafaz hubara yang jamaknya hubariyat. Lafaz jumada terkadang di-muzakkar-kan dan terkadang di-muannas-kan, maka dikatakan Jumadil Ula dan Jumadil Awwal, Jumadil Akhir, dan Jumadil Akhirah.-
Rajab, berasal dari tarjib, artinya menghormat; dijamakkan dalam bentuk arjab, rajah, dan rajabat.
Sya'ban berasal dari sya'abai qabailu, artinya kabilah-kabilan itu mulai berpencar untuk mengadakan serangan. Dijamakkan dalam bentuk sya'abin dan Sya’banat.
Ramadan berasal dari kata syiddatur ramda yang artinya panas yang terik. Bila dikatakan ramadatil fisalu, artinya anak-anak unta itu kehausan. Dijamakkan dalam bentuk ramadanat, ramadina dan armidah.
As-Sakhawi mengatakan, "Pendapat orang yang mengatakan bahwa Ramadan berasal dari salah satu asma Allah merupakan suatu kekeliruan yang tidak dapat dijadikan pegangan dan tidak bisa dijadikan rujukan."'
Menurut kami, memang ada sebuah hadis yang mengatakan demikian (bahwa Ramadan adalah salah satu dari asma Allah Swt.), tetapi predikat hadisnya daif. ‎
Syawwal berasal dari kata syalatil ibilu aznabaha lit taraq yang artinya unta itu mengangkat ekornya untuk kawin. Dijamakkan dalam bentuk syawawil, syawawil, dan syawalat.
Al-Qa'dah, dapat juga disebut Al-Qi'dah.Dinamakan demikian karena mereka (orang-orang Arab) diam di tempatnya, tidak mengadakan peperangan, tidak pula bepergian. Dijamakkan menjadi zawatul qa’dah.‎

Al-Hijjah dan Al-Hajjah, dinamakan demikian karena mereka melakukan haji di bulan itu. Dijamakkan menjadi zawatul hijjah.
Nama-nama hari ialah Ahad sebagai hari pertama, dijamakkan menjadi Ahad,  Ahad dan Wahud. Kemudian hari Senin dijamakan menjadi Asanin.Selasa dengan bacaan panjang, yaitu Sulasa,yakni dapat Ai-muzakkar-kan dan dimu'annaskan: ]amaknya Salasawat dan Asalis. Kemudian Arbi’a (hari Rabu), dijamakkan menjadi Arbi awat danarabi. Khamis dijamakkan menjadi Akhmisah danAkhamis. Lalu Jumu'ah dan Jum'ah atau Juma'ah.dijamakkan menjadi Juma dan Juma'at. As-Sabt berasal dari kata As-Sabt, artinya terputus, karena bilangan hari telah habis padanya.
Di masa dahulu orang-orang Arab menamakan hari-hari dengan sebutan Awwal untuk hari pertama, lalu Ahwan, lalu Jubar, kemudian Dubar,lalu Mu'nis, lalu 'Arubah, dan terakhir Syubar.Salah seorang penyair dari kalangan orang-orang Arab Uraba dan Aribah di masa silam mengatakan:


أُرَجِّي أَنْ أعيشَ وَأَنَّ يَومِي ... بِأَوَّلَ أَوْ بِأَهْوَنَ أَوْ جُبَار ...
أَوِ التَّالِي دُبَار فِإِنْ أفُتهُ ...فمؤنس أو عروبةَ أو شيار ...
Aku berharap untuk berusia panjang, dan sesungguhnya hari-hariku ialah Awwal atau Ahwan atau Jubar atau berikutnya, yaitu Dubar. Dan jika aku melewatkannya, maka Mu'nis atau 'Arubah atau Syubar.‎

b.     Bulan Muharram disifatkan sebagai Bulan Allah

Kedua belas bulan yang ada adalah makhluk ciptaan Allah, akan tetapi bulan Muharram meraih keistimewaan khusus karena hanya bulan inilah yang disebut sebagai “syahrullah” (Bulan Allah). Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ  بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”.[ H.R. Muslim (11630) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallohu anhu]

Hadits ini mengindikasikan adanya keutamaan khusus yang dimiliki bulan Muharram karena disandarkan kepada lafzhul Jalalah (lafazh Allah). Para Ulama telah menerangkan bahwa ketika suatu makhluk  disandarkan pada lafzhul Jalalah maka itu mengindikasikasikan tasyrif (pemuliaan) terhadap makhluk tersebut, sebagaimana istilah baitullah(rumah Allah) bagi mesjid atau lebih khusus Ka’bah dan naqatullah (unta Allah) istilah bagi unta nabi Sholeh ‘alaihis salam dan lain sebagainya.

Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iraqy rahimahulloh menjelaskan, “Apa hikmah dari penamaan Muharram sebagai syahrulloh (bulan Allah) sementara seluruh bulan milik Allah ? Mungkin dijawab bahwa hal itu dikarenakan bulan Muharram termasuk diantara bulan-bulan haram yang Allah diharamkan padanya berperang, disamping itu bulan Muharram adalah bulan perdana dalam setahun maka disandarkan padanya lafzhul Jalalah (lafazh Allah) sebagai bentuk pengkhususan baginya dan tidak ada bulan lain yang Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam sandarkan kepadanya lafzhul Jalalah melainkan bulan Muharram” 

As Suyuthi mengatakan: Dinamakan syahrullah – sementara bulan yang lain tak mendapat gelar ini – karena nama bulan ini “Al Muharram” nama nama islami. Berbeda dgn bulan-bulan lainnya. Nama-nama bulan lainnya sudah ada di zaman jahiliyah. Sementara dulu, orang jahiliyah menyebut bulan Muharram ini dgn nama : Shafar Awwal. Kemudian ketika islam datang, Allah ganti nama bulan ini dgn Al Muharram, sehingga nama bulan ini Allah sandarkan kepada dirinya (Syahrullah). 

Bulan ini juga sering dinamakan: Syahrullah Al Asham (Bulan Allah yang Sunyi). Dinamakan demikian, karena sangat terhormatnya bulan ini. karena itu, tak boleh ada sedikitpun riak & konflik di bulan ini.
Amalan Yang Dianjurkan di Bulan Muharram

Sebagaimana telah disebutkan di atas dari perkataan Qatadah rahimahulloh bahwa amalan sholeh dilipatgandakan pahalanya di bulan-bulan haram, dengan demikian secara umum segala jenis kebaikan dianjurkan untuk diperbanyak dan ditingkatkan kualitasnya di bulan Muharram. Adapun ibadah yang dianjurkan secara khusus pada bulan ini adalah memperbanyak puasa sunnah sebagaimana yang  telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallohu ‘anhu, beliau berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ  بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram dan shalat yang paling utama setelah puasa wajib adalah sholat lail”    [ HR. Muslim(11630) ]

Mulla Al Qari’ menyebutkan bahwa hadits di atas sebagai dalil anjuran berpuasa di seluruh hari bulan Muharram. Namun ada satu masalah yang kadang ditanyakan berkaitan dengan hadits ini yaitu, ‘Bagaimana memadukan antara hadits ini dengan hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallohu alaihi wasallam memperbanyak puasa di bulan Sya’ban yang menjadi bulannya Allah, bukan di bulan Muharram? Imam Nawawi rahimahullah telah menjawab pertanyaan ini, beliau mengatakan boleh  jadi Rasulullah shallallohu alaihi wasallam belum mengetahui keutamaan puasa Muharram kecuali di akhir hayat beliau atau mungkin ada saja beberapa udzur yang menghalangi beliau untuk memperbanyak berpuasa di bulan Muharram seperti beliau mengadakan safar atau sakit.

Kemudian anjuran berpuasa di bulan Muharram ini lebih dikhususkan dan ditekankan hukumnya pada hari yang dikenal dengan istilah Yaumul ‘Asyuro, yaitu pada tanggal sepuluh bulan Muharram (‘asyuro). ‘Asyuro berasal dari kata ‘Asyarah yang berarti sepuluh. Pada hari ‘Asyuro ini, Rasulullah shallahu alaihi wasallam mengajarkan kepada umatnya untuk melaksanakan satu bentuk ibadah dan ketundukan kepada Allah Ta’ala yaitu ibadah puasa, yang kita kenal dengan puasa Asyuro.

Hadits-Hadits Disyariatkannya Puasa ‘Asyuro

Adapun hadis-hadis yang menjadi dasar ibadah puasa tersebut banyak, kami akan sebutkan diantaranya  dengan pengklasifikasian sebagai berikut:

Kaum Yahudi juga berpuasa di hari Asyuro bahkan menjadikannya sebagai Ied (hari raya)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ  هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata : Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘ Asyura, maka Beliau bertanya : “Hari apa ini?. Mereka menjawab, “Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda, “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa di tahun yang akan datang. [H.R. Bukhari (1865) dan Muslim(1910) ]

Hadis lain menjelaskan:

عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوهُ أَنْتُمْ

Dari Abu Musa radhiyallohu anhu berkata, “Hari ‘Asyuro adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda (kepada ummatnya), “Berpuasalah kalian (pada hari itu)” [HR. Bukhari (1866) dan Muslim(1912), lafal hadits ini menurut periwayatan imam Muslim)
Hadits, “Manusia melaksanakan puasa hari ‘Asyura’ sebelum diwajibkan puasa Ramadhan…,”

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ هُوَ ابْنُ الْمُبَارَكِ قَالَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي حَفْصَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانُوا يَصُومُونَ عَاشُورَاءَ قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ رَمَضَانُ وَكَانَ يَوْمًا تُسْتَرُ فِيهِ الْكَعْبَةُ فَلَمَّا فَرَضَ اللَّهُ رَمَضَانَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ أَنْ يَصُومَهُ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتْرُكَهُ فَلْيَتْرُكْهُ

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Bukair, telah menceritakan kepada kami Al-Laits, dari ‘Uqail, dari Ibnu Syihaab, dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah radhiyallahu ‘anha, (dalam jalur sanad yang lain) telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Muqaatil, ia berkata, telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdullaah, dia adalah Ibnul Mubaarak, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Abu Hafshah, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Manusia melaksanakan puasa hari ‘Asyura’ sebelum diwajibkan puasa Ramadhan dan hari itu adalah hari ditutupnya Ka’bah (dengan kiswah). Ketika Allah mewajibkan puasa Ramadhan, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa berkehendak untuk berpuasa maka berpuasalah, dan barangsiapa berkehendak untuk meninggalkannya maka tinggalkanlah.”‎‎
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 1592; Musnad Ahmad no. 25536]
Kaum Quraiys di zaman Jahiliyah juga berpuasa Asyuro dan puasa ini diwajibkan atas kaum muslimin sebelum kewajiban puasa Ramadhan‎

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ  فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ . متفق عليه.

Dari Aisyah radhiyallohu anha berkata, Kaum Qurays pada masa Jahiliyyah juga berpuasa di hari ‘Asyuro dan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam juga berpuasa pada hari itu, ketika beliau telah tiba di Medinah maka beliau tetap mengerjakannya dan memerintahkan ummatnya untuk berpuasa. Setelah puasa Ramadhan telah diwajibkan beliau pun meninggalkan (kewajiban) puasa ‘Asyuro, seraya bersabda, “Barangsiapa yang ingin berpuasa maka silakan tetap berpuasa dan barangsiapa yang tidak ingin berpuasa maka tidak mengapa” [ HR. Bukhari (1863) dan Muslim(1897) ]

عن عَبْد اللَّهِ بْن عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ  كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ  وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَامَهُ وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ رَمَضَانُ فَلَمَّا افْتُرِضَ رَمَضَانُ  قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ (رواه مسلم)

Dari Abdullah bin Umar radhiyallohu anhuma bahwa kaum Jahiliyah dulu berpuasa Asyuro dan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam serta kaum muslimin juga berpuasa sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya hari ‘Asyuro termasuk hari-hari Allah, barangsiapa ingin maka berpuasalah dan siapa yang ingin meninggalkan maka boleh” [ HR. Muslim(1901) ]

Perhatian Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam dan para sahabat ridwanullohi alaihim ajmain yang begitu besar terhadap puasa ‘Asyuro

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari ‘Asyura dan bulan ini yaitu Ramadhan.” [ H.R. Bukhari (1867) dan Muslim(1914) ]

عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ الَّتِي حَوْلَ الْمَدِينَةِ مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ وَمَنْ كَانَ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ فَكُنَّا بَعْدَ ذَلِكَ نَصُومُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلُ لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ الْإِفْطَارِ

Dari Rubai’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra’ radhiyallohu ‘anha berkata, Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam di pagi hari Asyuro mengutus ke perkampungan kaum Anshar yang berada di sekitar Medinah (pesan), “Barangsiapa yang tidak berpuasa hari itu hendaknya menyempurnakan sisa waktu di hari itu dengan berpuasa dan barangsiapa yang berpuasa maka hendaknya melanjutkan puasanya”. Rubai’ berkata, “Maka sejak itu kami berpuasa pada hari ‘Asyuro dan menyuruh anak-anak kami berpuasa dan kami buatkan untuk mereka permainan yang terbuat dari kapas lalu jika salah seorang dari mereka menangis  karena ingin makan maka kami berikan kepadanya permainan tersebut hingga masuk waktu berbuka puasa” [ HR. Bukhari (1960) dan Muslim (1136), redaksi hadits ini menurut periwayatan Imam Muslim ]

Keutamaan Puasa Asyuro

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

Dari Abu Qatadah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Puasa hari ‘Asyuro aku berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa tahun lalu” [ HR. Tirmidzi (753), Ibnu Majah (1738) dan Ahmad(22024). Hadits semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shohih beliau (1162) ]

 a.     Bagi yang ingin berpuasa ‘Asyuro hendaknya berpuasa juga sehari sebelumnya

Ibnu Abbas radhiyallohu ‘anhuma berkata : Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin berpuasa, mereka (para shahabat) menyampaikan, “Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani”. Maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda:

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Jika tahun depan insya Allah (kita bertemu kembalidengan bulan Muharram), kita akan berpuasa jugapada hari kesembilan (tanggal sembilan).“

Akan tetapi belum tiba Muharram tahun depan hingga Rasulullah shallallohu alaihi wasallam wafat di tahun tersebut [ HR. Muslim (1134) ]

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ

Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma beliau berkata, “Berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh Muharram, berbedalah dengan orang Yahudi”[Diriwayatkan dengan sanad yang shohih oleh Baihaqi di As Sunan Al Kubro (8665) dan Ath Thobari di Tahdzib Al Aatsaar(1110)]

b.     Hukum Berpuasa Sehari Sesudah ‘Asyuro (tanggal 11 Muharram)

Imam Ibnu Qoyyim dalam kitab Zaadul Ma’aad setelah merinci dan menjelaskan riwayat-riwayat seputar puasa ‘Asyuro, beliau menyimpulkan : Ada tiga tingkatan berpuasa ‘Asyuro: Urutan pertama; dan ini yang paling sempurna adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal sepuluh ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9,10,11). Urutan kedua; puasa tanggal 9 dan 10. Inilah yang disebutkan dalam banyak hadits .Urutan ketiga, puasa tanggal 10 saja‎. Kesimpulan Ibnul Qayyim di atas didasari dengan sebuah hadits dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. bersabda :

صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا

“Puasalah pada hari Asyuro, dan berbedalah dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ [HR. Imam Ahmad(2047), Ibnu Khuzaimah(2095) dan Baihaqi (8667)]

Dalam pandangan yang lain, hadist yang lemah boleh dilaksanakan, hal ini dikarenakan untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan umat-Nya. Bereda dengan hadist yang menjelaskan tentang syari’at. Maka hadist yang lemah tidak diperbolehkan untuk dijadikan sebagai landasan atau dasar.

Namun demikian puasa sebanyak tiga hari (9,10,dan 11 Muharram) dikuatkan oleh para ulama dengan dua alasan:

1)        Sebagai kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat, maka puasa tanggal sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan puasa Tasu’a (tanggal 9) dan Asyuro (tanggal 10).

2)        Dimasukkan dalam puasa tiga hari pertengahan bulan (Ayyamul bidh).

Adapun puasa tanggal 9 dan 10, pensyariatannya dinyatakan dalam hadis  yang shahih, dimana Rasulullah  shallallohu alaihi wasallam pada akhir hidup beliau sudah merencanakan untuk puasa pada tanggal 9, hanya saja beliau wafat sebelum melaksanakannya. Beliau juga telah memerintahkan para shahabat untuk berpuasa pada tanggal 9 dan tanggal 10 agar berbeda dengan ibadah orang-orang Yahudi.

Sedangkan puasa pada tanggal sepuluh saja; sebagian ulama memakruhkannya, meskipun sebagian ulama yang lain memandang tidak mengapa jika hanya berpuasa ‘Asyuro (tanggal 10) saja, wallohu a’lam. Secara umum, hadits-hadis yang terkait dengan puasa Muharram menunjukkan anjuran Rasulullah shallallohu alaihi wasallam untuk melakukan puasa, sekalipun hukumnya tidak wajib tetapi sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), dan tentunya kita sepatutnya berusaha untuk menghidupkan sunnah yang telah banyak dilalaikan oleh kaum muslimin.

Para ulama menyatakan bahwa bulan Muharram adalah adalah bulan yang paling mulia setelah Ramadhan
Hasan Al-Bashri mengatakan,

إن الله افتتح السنة بشهر حرام وختمها بشهر حرام فليس شهر في السنة بعد شهر رمضان أعظم عند الله من المحرم وكان يسمى شهر الله الأصم من شدة تحريمه

Allah membuka awal tahun dengan bulan haram (Muharram) dan menjadikan akhir tahun dengan bulan haram (Dzulhijjah). Tidak ada bulan dalam setahun, setelah bulan Ramadhan, yang lebih mulia di sisi Allah dari pada bulan Muharram. Dulu bulan ini dinamakan Syahrullah Al-Asham (bulan Allah yang sunyi), karena sangat mulianya bulan ini. (Lathaiful Ma’arif, Hal. 34)

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...