Sabtu, 23 Oktober 2021

Jangan Mudah Mengatakan Bid'ah Jika Tidak Mengerti Ilmu Nahwu Dan Balaghoh


Menyangkut bid’ah yang sering dituduhkan oleh kaum Salafi & Wahabi terhadap amalan kaum muslimin di berbagai belahan dunia, ada hadis Rasulullah Saw. yang sering mereka kemukakan, yaitu:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه مسلم)

“Adapun sesudahnya: Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah Kitab Allah (al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap bid’ah itu kesesatan” (HR. Muslim).

مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ (رواه النسائي)

“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitab Allah (al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap yang baru diada-adakan adalah bid’ah, setiap bid’ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di dalam neraka” (HR. Nasa’i)

Pada hadis di atas, ada dua hal yang disebut sebagai perkara yang paling buruk, yaitu: 1. Muhdatsat 2.Bid’ah.

Muhdatsah secara bahasa adalah perkara baru yang diada-adakan. Sedangkan bid’ah adalah perkara baru yang diadakan dan belum pernah ada sebelumnya. Ulama mendefinisikan bid’ah dengan ungkapan:

كُلُّ شَيْءٍ عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ

“Apa yang dilakukan tanpa contoh sebelumnya”

Dari pengertian tersebut, berarti seluruh perkara baru yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. dianggap sesat dan terlarang, entah perkara yang berbau agama maupun yang tidak. Sampai di sini, sepertinya tidak ada sedikitpun pengecualian, karena keumuman lafaz muhdatsat atau bid’ah secara bahasa mencakup segala hal yang baru, termasuk urusan duniawi seperti: Resleting, sendok, mobil, motor, dan lain-lain. Maka pengertiannya kemudian dikhususkan hanya pada perkara baru dalam urusan agama saja, dengan dasar hadis Rasulullah Saw.:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)

“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak” (HR. Muslim)

Kaum Salafi & Wahabi menganggap hadis tentang muhdatsah dan bid’ah di atas sebagai dalil yang mencakup semua hal “berbau agama” atau “berbau ibadah” yang tidak pernah ada formatnya di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. Seolah-olah hadis itu adalah hadis terakhir yang diucapkan oleh Rasulullah Saw. setelah seluruh ajaran Islam beliau sampaikan dan contohkan sebagai rentetan aturan yang baku. Akibatnya, tidak ada toleransi sedikitpun bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan beragama melainkan harus persis sama dengan Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, baik sama secara format maupun prinsipnya. Artinya, bagi mereka tidak boleh berbeda dari apa yang disebutkan secara harfiyah di dalam hadis atau sunnah; berbeda berarti perkara baru, dan itu berartibid’ah. Analoginya, selama ini dipahami bahwa kue donat itu bolong tengahnya, kalau tidak bolong bukan kue donat namanya. Berarti, saat Dunkin’ Donut membuat donat yang tidak bolong tengahnya, bahkan diberi isi dengan berbagai rasa, maka ia telah melakukan bid’ah.

Agaknya pemahaman seperti itulah yang membuat mereka jadi paranoid terhadap amalan berbau agama. Dalam benak mereka seolah-olah ada pengertian bahwa ketika menyebutkan “setiap bid’ah adalah kesesatan”, Rasulullah Saw. telah mengetahui segala sesuatu berbau agama yang akan diada-adakan orang setelah beliau wafat nanti sampai hari kiamat dan beliau tidak peduli meski ada maslahatnya sekalipun sehingga beliau memvonis seluruhnya adalah kesesatan yang diancam masuk neraka. Sebab kebaikan hanya ada pada apa yang beliau ajarkan atau contohkan sepanjang hidup beliau, dan seandainya apa yang diada-adakan orang setelahnya itu baik, pastilah beliau sudah melakukannya. Benarkah begitu?

Mari kita teliti pemahaman kaum Salafi & Wahabi tersebut. Ada beberapa hal yang perlu kita cermati, yaitu:

1.       Hadis tentang muhdatsat dan bid’ahtersebut bersifat umum , artinya tidak merincikan amalan-amalan tertentu yang termasuk ke dalamnya. Karenanya tidak bisa diberlakukan pada setiap perkara baru yang berbau agama yang diada-adakan orang setelah Rasulullah Saw. wafat, karena banyak perkara baru “berbau agama” yang tidak mungkin dianggap sesat seperti: Mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf lalu mencetak dan memperbanyak mushaf, mendirikan baitul maal, menetapkan gaji atau upah bagi khalifah, menulis kitab ilmu agama, mendirikan pesantren atau yayasan, dan lain sebagainya.

Bila Rasulullah Saw. tahu semua perkara baru itu sesat, maka pertanyaannya, apa yang membuat beliau enggan menyebutkannya dan membiarkan umat setelah beliau banyak yang terperosok ke dalamnya? Apakah mereka menganggap Rasulullah Saw. sebagai orang kolot yang tidak mengerti perubahan dan perkembangan zaman, sehingga beliau hanya berpegang teguh kepada apa yang formatnya beliau contohkan di masa hidupnya lalu menyatakan, “inilah agama. Apa saja dan bagaimana saja orang melakukan sesuatu berbau agama dalam bentuk apapun yang tidak sama dengan yang aku & Shahabatku lakukan maka ia tertolak”. Bagaimana mungkin Rasulullah Saw. yang sangat cerdas itu jadi terkesan bodoh karena seolah-olah menganggap kehidupan manusia di setiap zaman sama saja, sehingga sepertinya beliau tega mengukur tingkat keimanan dan ketaatan orang-orang di masa belakangan dengan diri beliau dan para Shahabat? Bukankah beliau sangat menyadari perbedaan itu semua seperti yang disebut dalam sabdanya:

… لاَ يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ …(رواه البخاري )

“Tidaklah datang suatu zaman kepada kalian melainkan yang setelahnya lebih buruk (dari sebelumnya), sampai kalian menjumpai Tuhan kalian …” (HR. Bukhari)

2.       Hadis tentang muhdatsat dan bid’ahtersebutbukanlah hadis Rasulullah yang terakhir setelah seluruh ajaran Islam beliau sampaikan, melainkan hanya salah satu dari hadis atau khutbah Rasulullah Saw. di hadapan para shahabat beliau. Tidak bisa dipastikan kapan diucapkannya, berarti masih mungkin setelah itu ada hadis-hadis lain yang dapat memberikan isyarat atau pemahaman tentang maksud “sesatnya” muhdatsat dan bid’ah yang sesungguhnya.

Contohnya seperti riwayat tentang seorang shahabat yang membaca do’a I’tidal dengan bacaan yang dibuatnya sendiri; atau riwayat tentang Bilal bin Rabah yang melakukan shalat sunnah setelah wudhu atau setelah adzan; atau riwayat tentang cara membaca al-Qur’an di dalam shalat yang berbeda-beda (Abu Bakar dengan suara lirih, Umar dengan suara keras, dan ‘Ammar dengan mencampur ayat pada satu surat dengan ayat di surat lain); atau tentang cara shalat masbuq yang dilakukan oleh Mu’adz bin Jabal; yang masing-masing shahabat itu melakukannya dengan inisiatif/ijtihad sendiri tetapi Rasulullah Saw. malah membenarkannya, menganggapnya baik, bahkan menyebutkan keutamaannya. Yang lebih gamblang lagi adalah riwayat tentang saran Umar bin Khattab Ra. kepada Khalifah Abu Bakar Shiddiq Ra. untuk menghimpun al-Qur’an dalam satu mushaf, juga riwayat tentang pelaksanaan bid’ah shalat tarawih di masa Umar bin Khattab Ra., dan riwayat-riwayat lain yang kesemuanya mengisyaratkan adanya pengecualian terhadap perkara-perkara baru berbau agama.

Kaum Salafi & Wahabi seperti menganggap setelah hadis tentang muhdatsat dan bid’ah tersebut, tidak ada lagi hadis-hadis yang Rasulullah Saw. ucapkan yang dapat memberi pemahaman tentang maksud sebenarnya dari bid’ah yang sesat, sehingga mereka memukul rata seluruh bid’ah sebagai kesesatan tanpa kecuali.

 Mereka menolak pendapat para ulama yang membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah dhalalah/sayyi’ah (bid’ah yang sesat/buruk) danbid’ah hasanah/mahmudah (bid’ah yang baik/terpuji), dan menolak pendapat para ulama yang mengkategorikan bid’ah secara hukum menjadi lima (wajibah, mandubah, makruhah, mubahah, muharramah).

Tetapi anehnya, mereka sendiri lalu membagi bid’ah menjadi dua, yaitu: bid’ah diniyyah/syar’iyyah (bid’ah agama/syari’at) dan bid’ah duniawiyah (bid’ah duniawi). Mereka juga bahkan membagi bid’ah diniyyah menjadi bermacam-macam pembagian. Ada yang membaginya menjadi dua: yaitu bid’ah I’tiqadiyah (bid’ah aqidah) dan bid’ah ‘amaliyah(bid’ah amalan), ada juga yang membaginya lagi menjadi dua, yaitu: Bid’ah mukaffirah (bid’ah yang menyebabkan kafir) dan bid’ah ghairu mukaffirah(bid’ah yang tidak menyebabkan kafir). Bahkan ada yang membaginya menjadi empat, yaitu: Bid’ah mukaffirah, bid’ah muharramah, bid’ah makruhah tahrim, dan bid’ah makruhah tanzih (lihatEnsiklopedia Bid’ah, Hammud Abdullah al-Mathar, Darul Haq, hal. 42-46 dan Bid’ah-bid’ah yang Dianggap Sunnah, Syaikh Muhammad Abdussalam, Qisthi Press, hal. 4).

3.       Perkara baru yang ada setelah Rasulullah Saw. wafat tidak pernah dirincikan penyebutannya oleh beliau, termasuk yang dianggap kebaikan sekalipun.   Ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. memang tidak diarahkan oleh Allah untuk merincikannya, karena prinsip dasar untuk menilai baik dan buruknya segala sesuatu sudah disampaikan secara jelas. Tentang kebaikan misalnya, beliau sudah mengajarkan prinsip-prinsip dasar kebaikan itu yang bisa berlaku sampai hari kiamat, bukan sebatas formatnya saja (kecuali formatibadah mahdhoh). Sebab format kebaikan itu dapat berkembang berdasarkan kebutuhan dan perkembangan hidup manusia pada masing-masing tempat dan zaman. Buktinya, Rasulullah Saw. tidak mendirikan pesantren, rumah sakit, atau yayasan penampungan anak yatim, padahal itu baik.

Syaikh al-Ghamary di dalam kitab Itqan ash-Shun’ah fii tahqiq ma’na al-Bid’ah hal. 5, menyebutkan bahwa Imam Syafi’I berkata:

كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف، لأن تركهم للعمل به قد يكون لعذر قام لهم في الوقت أو لما هو أفضل منه أو لعله لم يبلغ جميعهم علم به

“Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil syara’ maka bukan termasuk bid’ah, meskipun belum pernah dilakukan oleh salaf. Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi saat itu (belum dibutuhkan –red) atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, dan atau hal itu barangkali belum diketahui oleh mereka (belum dikenal formatnya-red) ” (lihat buku Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik” (H. Mahrus Ali), Tim Bahtsul Masail PCNU Jember, hal. 71).

4.       Definisi bid’ah yang dikemukakan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah bid’ah. Sebab, Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau tidak pernah memberikan definisi tentang bid’ah seperti yang mereka buat, yaitu: “”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal”. Dalam pengertian lain definisi itu berbunyi,“Perkara baru di dalam agama yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para Shahabat beliau.” Mereka juga mengklasifikasi bid’ah itu menjadi beberapa bagian dengan pembagian yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (lihat poin no. 2 di atas). Jadi, mereka menolak bid’ah, tapi mereka sendiri melakukan bid’ah. Aneh, kan?!

Sebagian kalangan dari kaum Salafi & Wahabi ada yang tidak mau menerima pendapat tentang pengklasifikasian bid’ah (syar’iyyah & duniawiyyah) yang disebut oleh sebagian ulama mereka, mungkin entah karena ingin konsisten berpegang pada hadis“Setiap bid’ah adalah kesesatan”, atau entah karena tidak ingin dikatakan plin-plan karena di satu sisi menolak pembagian bid’ah kepada hasanah & sayyi’ah tetapi disisi lain malah membaginya menjadisyar’iyyah & duniawiyyah. Kemudian ketika diajukan kepada mereka contoh-contoh kasus yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. yang secara bahasa tentu juga dianggap bid’ah, seperti: Membangun madrasah, pesantren, penulisan mushaf al-Qur’an, dan lain-lain, serta merta mereka mengatakan bahwa perkara-perkara tersebut bukanlah dianggap bid’ah, melainkan termasuk dalammashlahat mursalah (kemaslahatan umum).

Mereka juga berdalih bahwa apa saja yang dapat menjadi sarana untuk melaksanakan perintah hukumnya juga diperintah, bukanlah bid’ah, meskipun sarana itu tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw., karena “sarana dihukumi menurut tujuannya”(lilwasaa’il hukmu al-maqashid), sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Jadi, membangun sekolah, menyusun kitab atau karya ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya termasuk diperintahkan dalam rangka mewujudkan pelaksanaan menuntut ilmu atau mengajarkan ilmu syari’at  yang diperintahkan di dalam agama (lihatEnsiklopedia Bid’ah, hal. 29-30).

Kalau begitu, kenapa mereka tidak bisa melihat bahwa acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. atau kegiatan tahlilan dan istighatsah yang tidak ada formatnya di zaman Rasulullah Saw. itu sebagai maslahat umum (maslahat mursalah) sekaligus sarana untuk melaksanakan perintah di dalam agama seperti: Silaturrahmi, berzikir, membaca al-Qur’an, bershalawat kepada Rasulullah Saw., mendengarkan nasihat, berdo’a, berbagi rezeki atau sedekah, dan berkumpul dengan orang-orang alim dan shaleh. Bukankah semua amalan itu jelas-jelas diperintahkan? Bukankah sarana untuk mewujudkan pelaksanaan perintah itu juga diperintahkan? Bukankah sarana yang diperintahkan itu boleh berbeda-beda menurut tempat dan zaman? Bukankah kegiatan keagamaan seperti itu mengandung maslahat dalam menjaga kualitas keimanan dan ketaatan, lebih-lebih bagi umat yang hidupnya jauh dari masa Rasulullah Saw.?

5.       Bila segala sesuatu mengenai agama harus dirujuk langsung hanya kepada al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw. serta riwayat dari para Shahabat beliau saja, untuk apa beliau menyebutkan akan diutusnya mujaddid(pembaharu) yang mengajarkan umat tentang agama pada setiap qurun seratus tahun? Lihatlah sabda Rasulullah Saw. berikut ini:

إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو داود والحاكم والبيهقي والطبراني)

“Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini setiap akhir masa seratus tahun, orang yang akan memperbaharui agama mereka” (HR. Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani).

Disebutkan di dalam ‘Aunul-Ma’bud, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi yang berbeda, yaitu:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ

“Sesungguhnya Allah ta’ala menetapkan pada akhir setiap masa seratus tahun, orang yang mengajarkan manusia tentang agama mereka.”

Hadis ini menandakan adanya legitimasi dan legalitas bagi umat untuk mendapatkan penjelasan tentang agama dari para ulama pewaris Rasulullah Saw. Artinya, memahami al-Qur’an dan hadis/sunnah secara langsung tanpa melalui penjelasan mereka adalah tindakan yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga merupakan sebuah keteledoran yang dapat berakibat terjerumus kepada kesesatan. Itulah kenapa Rasulullah Saw. bersabda demikian, karena beliau menyadari betul keadaan umatnya di masa belakangan yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup beliau. Dan lagi, hadis itu pasti dilatarbelakangi oleh adanya wahyu dari Allah tentang salah satu rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan.

Dari sekian nama ulama pembaharu (mujaddid) dari setiap masa seratus tahun pertama sampai masa seratus tahun kedelapan (sebagaimana disebut oleh as-Suyuthi di dalam Tuhfatul-Muhtadiin fii Akhbaaril-Mujaddidiin), dan sampai masa seratus tahun ke-13 (sebagaimana disebutkan oleh Abu ath-Thoyyib di dalam ‘Aunul-Ma’buud), tidak terdapat nama Ibnu taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahab (perintis paham Salafi & Wahabi). Bagaimana mungkin mereka dianggap mujaddid (pembaharu) sedangkan paham mereka banyak yang bertentangan denganijma’  mayoritas ulama.

Kemungkinan ada orang belakangan yang menyebut Ibnu Taimiyah sebagai pembaharu, tetapi pengakuan itu tidak bisa dibenarkan. Sebab paham yang di bawa Ibnu Taimiyah adalah paham baru yang tidak pernah dianut oleh para ulama sebelumnya bahkan para ulama mujaddid sekalipun. Bagaimana mungkin penobatan Ibnu Taimiyah sebagai mujaddid bisa dibenarkan, sementara ia hanya mengambil rujukan agama hanya kepada para ulama salaf (mereka yang hidup antara rentang masa Rasulullah Saw. sampai masa tabi’in sekitar 300 H.). Berarti, statusmujaddidnya Ibnu Taimiyah (yang muncul di abad ke-8) terputus dan tidak sah, karena seperti ada kekosongan mujaddid dari sejak abad ke-4 sampai abad ke-7. Bagaimana itu bisa dibenarkan sedangkan Rasulullah Saw. menyebut bahwa mujaddid itu akan ada di setiap akhir masa satu abad. Bila Ibnu Taimiyah tidak pernah dianggap mujaddid oleh para ulama karena tidak pantas, maka Muhammad bin Abdul Wahab yang hidup di abad ke-12 lebih tidak pantas lagi.

Menolak adanya pembagian bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah dhalalah/madzmumah dan bid’ah hasanah/mahmudah, maka secara tidak langsung, berarti menolak penjelasan hadis yang disampaikan oleh mujaddid, sebab yang menyampaikannya pertama kali adalah Imam Syafi’I yang diakui oleh para ulama sebagaimujaddid pada akhir masa abad ke-2 (sebelumnya di abad ke-1 adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz) dan disetujui penjelasannya itu oleh para ulama setelahnya.‎

Dalam ilmu nahwu menurut kategorinya Isim terbagi 2 yakni Isim Ma'rifat (tertentu) dan Isim Nakirah (umum).

Nah.. kata BID'AH ini bukanlah

1. Isim dhomir
2. Isim alam
3. Isim isyaroh
4. Isim maushul
5. Ber alif lam

yang merupakan bagian dari Isim Ma'rifat.

Jadi kalimat bid'ah di sini adalah Isim Nakiroh dan KULLU di sana berarti tidak ber-idhofah (bersandar) kepada salah satu dari yang 5 di atas. Seandainya KULLU ber-idhofah kepada salah satu yang 5 di atas, maka ia akan menjadi ma'rifat. Tapi pada 'KULLU BID'AH', ia ber-idhofah kepada nakiroh. Sehingga dhalalah-nya adalah bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian.

Ulama yang sholeh, bersanad ilmu tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seperti Imam Nawawi ra yang bermazhab Syafi'i mengatakan

قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَاعَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ .

“Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).

Hadits “Kullu Bid’ah dlalalah” berdasarkan ilmu atau menurut tata bahasanya ialah ‘Amm Makhshush, artinya “makna bid’ah lebih luas dari makna sesat” sehingga “setiap sesat adalah bid’ah akan tetapi tidak setiap bid’ah adalah sesat”.

Sebagian ulama berpendapat bahwa pengecualian itu pada perkara baru "urusan dunia" atau bid’ah duniawiyyah.

Sangat keliru jika berpendapat bahwa bid'ah yang diperbolehkan atau bid'ah yang tidak masuk neraka adalah bid'ah urusan dunia (bid’ah duniawiyyah) karena bid'ah urusan dunia (bid’ah duniawiyyah) ada yang hasanah (baik) dan ada pula yang sayyiah (buruk).

Tidak boleh kita mengeneralisir bahwa setiap bid'ah urusan dunia (bid’ah duniawiyyah) adalah boleh atau baik sebagaimana kaum sekulerisme menyalahgunakan hadits, ”wa antum a’lamu bi amri dunyakum, “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-urusan duniamu”. (HR. Muslim 4358).

Bidah (perkara baru) "urusan dunia" atau bid'ah duniawiyyah harus pula ditetapkan kedalam hukum taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah). Jika setiap akan melakukan perbuatan dan merujuk kepada hukum taklifi yang lima maka termasuk perbuatan merujuk dengan Al Qur’an dan Hadits.

Perbuatan merujuk dengan Al Qur’an dan Hadits seperti itulah termasuk ke dalam dzikrullah (mengingat Allah) atau memandang Allah ta'ala sebelum melakukan perbuatan, sebagaimana Ulil Albab, kaum muslim yang menggunakan lubb atau akal qalbu atau muslim yang menundukkan akal pikirannya kepada akal qalbu.

Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan bahwa contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat , baik atau buruk,  ke dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah

حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ مُوسَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ وَأَبِي الضُّحَى عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هِلَالٍ الْعَبْسِيِّ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ جَاءَ نَاسٌ مِنْ الْأَعْرَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ الصُّوفُ فَرَأَى سُوءَ حَالِهِمْ قَدْ أَصَابَتْهُمْ حَاجَةٌ فَحَثَّ النَّاسَ عَلَى الصَّدَقَةِ فَأَبْطَئُوا عَنْهُ حَتَّى رُئِيَ ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ قَالَ ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ بِصُرَّةٍ مِنْ وَرِقٍ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ ثُمَّ تَتَابَعُوا حَتَّى عُرِفَ السُّرُورُ فِي وَجْهِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Jarir bin ‘Abdul Hamid dari Al A’masy dari Musa bin ‘Abdullah bin Yazid dan Abu Adh Dhuha dari ‘Abdurrahman bin Hilal Al ‘Absi dari Jarir bin ‘Abdullah dia berkata; Pada suatu ketika, beberapa orang Arab badui datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengenakan pakaian dari bulu domba (wol). Lalu Rasulullah memperhatikan kondisi mereka yang menyedihkan. Selain itu, mereka pun sangat membutuhkan pertolongan. Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan para sahabat untuk memberikan sedekahnya kepada mereka. Tetapi sayangnya, para sahabat sangat lamban untuk melaksanakan anjuran Rasulullah itu, hingga kekecewaan terlihat pada wajah beliau. Jarir berkata; ‘Tak lama kemudian seorang sahabat dari kaum Anshar datang memberikan bantuan sesuatu yang dibungkus dengan daun dan kemudian diikuti oleh beberapa orang sahabat lainnya. Setelah itu, datanglah beberapa orang sahabat yang turut serta menyumbangkan sedekahnya (untuk diserahkan kepada orang-orang Arab badui tersebut) hingga tampaklah keceriaan pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim 4830)

Hadits di atas diriwayatkan juga dalam Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya.

Arti kata sunnah dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah bukanlah sunnah Rasulullah atau hadits  atau sunnah (mandub) karena tentu tidak ada sunnah Rasulullah yang sayyiah, tidak ada hadits yang sayyiah dan tidak ada perkara sunnah (mandub) yang sayyiah.

Jadi arti  kata sunnah dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru, sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya.

Kesimpulannya,

Sunnah hasanah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits, termasuk ke dalam bid’ah hasanah.

Sunnah sayyiah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits, termasuk ke dalam bid’ah dholalah.

Jadi segala perbuatan atau segala urusan dunia yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam termasuk dalam perkara baru (bid’ah) di luar perkara syariat atau di luar apa yang telah disyariatkanNya (diwajibkanNya) jika bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits maka termasuk bid'ah dholalah dan jika tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits maka termasuk bid'ah hasanah atau sunnah hasanah.
Siapa yang melakukan sunnah hasanah yakni mencontohkan atau meneladankan atau membuat perkara baru (bid'ah) di luar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan perbuatan tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa melakukan sunnah sayyiah yakni yang mencontohkan atau meneladankan atau membuat perkara baru (bid'ah) di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan perbuatan tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.

Pengertian Kalimat Dalam Ilmu Nahwu

 

Di suatu sudut serambi masjid, terlihat seorang santri beralaskan sorban hitam bergaris putih putih dengan kopiah putih menempel di kepalanya. Ia memegang kitab kecil seukuran buku saku yang kertasnya berwarna kuning. Kepalanya menghadap keatas dengan mata terpejam, sesekali ia turunkan pandangannya kearah kitab kecil di tangan kanannya.

Dahinya mengerut, menandakan keseriuasan mendalam. Seolah ada suatu memori yang coba ia putar didalam batok kepalanya. Mulutnya pun tak berhenti bergerak. Apa yang sebenarnya yang ia lakukan? Ia sedang menghafalkan bait demi bait dari kitab: “ALFIYAH” yang berjumlah 1002 bait.

Dalam literatur pesantren di Indonesia, sudah tak asing lagi bahkan hampir seluruh pesantren menyertakan alfiyah sebagai salah satu pelajaran wajib dan menjadi tolak ukur sejauh mana kepandaian seorang santri dalam ilmu gramatikal arab.
Gairah keilmuan di Andalusia berlangsung selama kekuasaan Bani Umayah di sana dari tahun 137 – 422 H. Ilmu Bahasa Arab berkembang di sana seiring perkembangan keilmuan Al-Quran. Di Cordova dan kota-kota lainnya banyak orang yang mengajarkan dasar-dasar Bahasa Arab melalui kajian teks dan syair. Mayoritas dari mereka adalah para qurra’ yang hidup mengabdi menjaga kemurnian bacaan Al-Quran. Mereka melakukan perjalanan ke timur, belajar bacaan Al-quran dan lain sebagainya, lalu kembali dan mengajar di Andalusia.
Tokoh nahwu di Andalusia pertama kali adalah Judiy bin ‘Utsman Al-Maururi (w. 198 H). Beliau belajar nahwu dari Al-Kisa’i dan Al-Farra’. Tokoh yang sezaman dengan beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah, seorang yang menyebarkan bacaan Warasy, ‘Utsman bin Sa’id Al-Mishriy, di Andalusia.
Studi Nahwu di Andalusia mulai meluas sejak masa dinasti raja-raja. Para ahli nahwu memadukan para tokoh sebelum mereka mulai dari pengikut aliran Basrah, Kufah, maupun Baghdad. Mereka tidak hanya berpijak pada model Abu Ali al-Farisi dan Ibn Jinni dalam hal pilihan pendapat, mereka bahkan cenderung memperbanyak argumentasi hingga muncul pendapat-pendapat baru.
Diantara mereka adalah al-A’lam asy-Syintamari (w. 476 H). Beliau dianggap sebagai orang yang pertama kali memunculkan metode nahwu ala Andalusia. Beliau sangat memperhatikan tentang pentingnya mempertanyakan tentang ‘illat, misalnya adalah pertanyaan kenapa mubtada di-rafa’-kan, tidak di-nashab-kan saja? Al-A’lam menulis buku penjelasan kitab Al-Jumal milik Az-Zajjaji Al-Baghdadi, dan meriwayatkan enam analogi penyair Jahili, yaitu Umru’ al-Qais, Zuhair, An-Nabighah, ‘Alqamah, Tharfah, dan ‘Antarah, secara bersanad hingga Al-Ashmu’i. Beliau belajar al-Kitab dari Ibn al-Iflili. Pada masa ini, para tokoh bahasa Arab di Andalusia terkenal bahkan ke dunia Arab, sampai-sampai Az-Zamakhsyari melakukan perjalanan dari Khawarizm ke Mekah untuk belajar kepada seorang ahli nahwu di sana, yaitu Abdullah bin Thalhah (w. 518 H).

Karya monumental ini dikarang oleh maha guru Syeh Muhammad bin Abdullah bin Malik Al-Andalusy atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Ibnu Malik. Alfiyah memang menarik. Bahkan telah masyhur dikalangan pesantren bahwa seorang santri belum dikatakan “santri” jika belum menguasai atau setidaknya mempelajari Alfiyah.

Sudah pasti kitab ini amat menarik. Pada awal Nadzom dalam bab Muqoddimah (pendahuluan,pen)beliau menggunakan “fi’il madhi” (kata kerja yang menunjukkan masa yang telah lampau,pen). Ini adalah hal yang tak lazim. Dimana para pengarang kitab diawal pembicaraannya mayoritas menggunakan “fi’il mudhori’” (kata kerja yang menunjukkan masa yang akan terjadi atau sedang dilakukan,pen).

Inilah satu keunikan dari banyak hal dari kitab ini. Sekali saat kita membuka halaman pertama , kita langsung disuguh dengan “hidangan” yang beda dari kitab lain. Yang mungkin membuat kita berfikir dan berangan-angan.

Dalam hal ini bisa terjadi dua kemungkinan. Kemungkinan yang pertama, hal seperti ini dapat dijadikan tolak ukur dari betapa dalamnya keilmuan beliau. Diamana sebelum menulis kitab ini, 1000 nadzom yang menjadi isinya telah beliau simpan dalam memori otak beliau. Hal yang sangat langka dilakukan oleh pengarang lain.

Kemungkinan kedua bisa kita pakai pendekatan “Balaghoh”. Diamana salah satu dari “nuktah”(tujuan) pemakaian fi’il madhi adalah “LIDDAWAM”, yakni bahwa kata kerja dalam hal ini adalah lafadz “qoola”(berkata) diharapkan dapat lestari hingga akhirul-qiyamah.

Dalam kesempatan kali ini, saya mencoba untuk mengais mutiara yang terkandung dalam untaian permata NADZOM ALFIYAH yang saya dapatkan dari berbagai sumber dan guru-guru saya.

Mudah-mudahan hal yang saya ini termasuk dalam konsep akhlak terhadap seorang ‘alim yang berbunyi: “man yukrim mu’allimahu falyukrim ma ‘indahu”. Dan mudah-mudahan kita disandingkan dengan beliau kelak di akhirul-qiyamah. AMIEN…

kini saya coba membahas nuktah yang tersirat di salah satu nadzom alfiyah dalam hal ini yang terdapat dalam bab Kalam.

كلامنا لفظ مفيد كاستقم و إسم و فعل ثم حرف الكلم

Artinya: Kalam menurut ulama’ ahli nahwu adalah lafadz yang berfaidah sebagaimana lafadz istaqim…

Titik berat pembahasan kita kali ini terletak pada lafadz istaqim yang juga terdapat pada firman Allah SWT. dalam surat Al-Fushshilat ayat 30:

إن الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا تتنزل عليهم الملائكة أن لاتخافوا ولاتحزنوا وابشروا بالجنة التي كنتم توعدون

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah”. Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka. Maka lihatlah malaikat turun kepada mereka, dengan mengatakn, “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah merasa sedih. Bergembiralah kemu dengan mendapatkan surga yang telah Allah janjikan padamu”. (QS. Al-Fushshilat : 30)
Sebelum kita membahas ungkapan dari Alfiyah, alangkah baiknya kita dahulukan untuk membahas tafsiran ayat tersebut diatas.

Syeikh Muhammad Nawawi Al-Jawy dalam kitab Tafsir Munir menjelaskan bahwa pada saat seseorang berkata, “Allah adalah tuhanku”, maka harus diikutkan dengan keyakinan yang mendalam tentang adanya kekuasaan dan wujudnya Allah SWT. Serta mengetahui dan mengerti sifat-sifatNya secara menyeluruh. Jika tidak demikian, maka dikhawatirkan tidak ada cahaya iman di dalam hatinya. Setelah itu seseorang tersebut harus beristiqomah (استقاموا ). Hal ini dapat kita artikan dengan selalu melakuakan perbuatan baik yang diridloi oleh Allah SWT.

Setelah seseorang bersaksi dan meyakini bahwa Allah adalah tuhannya , kemudian disertai dengan istiqomah, selalu dan terus menerus menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya , sampai ajal kematian menjemput. Maka Allah akan memenuhi hatinya dengan kesenangan surga yang akan dia dapatkan kelak.

Imam Ibnu Malik dengan kedalaman ilmunya telah menyinggung hal ini pada awal pembahasan ilmu nahwu pada kitab alfiyah-nya. Al-Kalam , yang dalam hal ini saya ungkapkan sebagai ucapan, adalah lafadz atau perkataan yang memberi faidah dan manfaat yang baik kepada orang lain ataupun pada si pembicara sendiri. Di sini dicontohkan dengan kata استقم , yang artinay adalah ” beristiqomahlah ” . Lafadz ini termasuk kalam (ucapan yang benar ) karena di dalamnya terdapat faidah yang dapat kembali pada orang yang diajak bicara , karena dengan mendengar lafadz tersebut hati kecil seseorang akan terdorong untuk menunaikan suatu perbuatn yang sangat besar menfaatnya. Ataupun paling tidak faedah tersebut akan kembali pada diri kita selaku orang yang berbicara , karena dengan berkata dan memerintah demikian berarti ia harus terlebih dahulu melakukan hal tersebut.

Jadi, hindarilah omong kosong ( perkataan yang tidak ada faedahnya ). hindari bersenda gurau. Karena omong kosong dan senda gurau hanya akn menghabiskan waktu kita untuk melakukan perbuatan yang lebih berguna dan berfaedah. Dan hal itu juga dapat dapat menimbulkan kegelisahan dalam hati. Seperti sabda Rasulullah SAW, ” Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir , hendaknya ia berkata baik. Atau ( jika ia tak dapat berkata baik ) maka lebih baik ia diam saja “.
المقدمة

MUQADDIMAH

قَـالَ مُحَمَّد هُوَ ابنُ مَـالِكِ ¤ أَحْمَدُ رَبِّي اللَّهَ خَيْرَ مَالِكِ

Muhammad Ibnu Malik berkata: Aku memuji kepada Allah Tuhanku sebaik-baiknya Dzat Yang Maha Memiliki.

مُصَلِّيَاً عَلَى النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى ¤ وَآلِـــهِ الْمُسْــتَكْمِلِينَ الْشَّــرَفَا

Dengan bersholawat atas Nabi terpilih dan atas keluarganya yang mencapai derajat kemulyaan.

وَأَسْــتَعِيْنُ اللهَ فِي أَلْفِيَّـــهْ ¤ مَقَاصِدُ الْنَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ

Juga aku memohon kepada Allah untuk kitab Alfiyah, yang dengannya dapat mencakup seluruh materi Ilmu Nahwu.

تُقَرِّبُ الأَقْصَى بِلَفْظٍ مُوْجَزِ ¤ وَتَبْسُـطُ الْبَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ

Mendekatkan pengertian yang jauh dengan lafadz yang ringkas serta dapat menjabar perihal detail dengan janji yang cepat.

وَتَقْتَضِي رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ ¤ فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي

Kitab ini mudah menuntut kerelaan tanpa kemarahan, melebihi kitab Alfiyahnya Ibnu Mu’thi.

وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً ¤ مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ

Beliau lebih memperoleh keutamaan karena lebih awal. Beliau behak atas sanjunganku yang indah.

وَاللهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ

Semoga Allah menetapkan karunianya yang luas untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat.

Kitab Nahwu Sharaf Alfiyah Ibnu Malik, adalah sebuah Kitab Mandzumah atau Kitab Bait Nadzam yang berjumlah seribu Bait, berirama Bahar Rojaz, membahas tentang kaidah-kaidah Ilmu Nahwu dan Ilmu Sharaf 

Pengarang Kitab Alfiyah ini, adalah seorang pakar Bahasa Arab, Imam yang Alim yang sangat luas ilmunya. Beliau mempunyai nama lengkap Abdullah Jamaluddin Muhammad Ibnu Abdillah Ibnu Malik at-Tha’iy al-Jayyaniy. Beliau dilahirkan di kota Jayyan Andalus (Sekarang: Spanyol) pada Tahun 600 H. Kemudian berpindah ke Damaskus dan meninggal di sana pada Tahun 672 H.

Karya emas beliau yang lain, yg cukup terkenal bernama Kitab Al-Kafiyah As-Syafiyah, terdiri dari tiga ribu Bait Nadzam yang juga bersyair Bahar Rojaz. Juga Kitab lainnya, karangan beliau yang terkenal bernama: Nadzam Lamiyah al-Af’al yang membahas Ilmu Sharaf, Tuhfatul Maudud yang membahas masalah Maqshur dan Mamdud. Semuanya membahas tentang  Tata Bahasa Arab baik Nahwu atau Sharaf.

Adapun Kitab Alfiyah ini adalah Kitab yang Ringkas berbentuk Nadzam, namun mencakup semua pembahasan masalah Ilmu Nahwu dengan detil. Sebagaimana beliau katakan pada Bait Muqaddimah pada Kitab Alfiyah ini:

“Juga aku memohon kepada Allah untuk kitab Alfiyah, yang dengannya dapat mencakup seluruh materi Ilmu Nahwu”.

Metode Kitab Alfiyah ini sebenarnya cukup memberikan kemudahan bagi pelajar untuk menguasainya. Tidak hanya untuk para senior. Karena Alfiyah ini cukup mengandung pengertian yang sangat luas, tapi dengan lafad yang ringkas. Sebagaimana beliau memberi penilaian terhadap Kitab Alfiyah ini, dalam Muqaddimahnya yang berbunyi:

“Mendekatkan pengertian yang jauh dengan lafadz yang ringkas serta dapat menjabar perihal detail dengan janji yang cepat”

Kitab Alfiyah ini, disebut juga Kitab Khalashah yang berarti Ringkasan. Diringkas dari Kitab karangan beliau yang benama Al-Kafiyah As-Syafiyah, merupakan Kitab yang membahas panjang lebar tentang Ilmu Nahwu. Sebagaimana beliau berkata pada Bait terahir dari Kitab ini, yaitu pada Bait ke 1000:

“Telah terbilang cukup kitab Khalashah ini sebagai ringkasan dari Al-Kafiyah, sebagai kitab yang kaya tanpa kekurangan”.

Beliau juga memberi motivasi, bahwa Kitab ini dapat memenuhi apa yang dicari oleh para pelajar untuk memahami Ilmu Nahwu. Beliau berkata pada Bait ke 999

“Aku rasa sudah cukup dalam merangkai kitab Nadzom ini, sebagai Kitab yang luas pengertiannya dan mencakup semuanya”.

Begitulah memang, Kitab Alfiyah Ibnu Malik ini cukup sukses, mendapat kedudukan tinggi dan penilaian terhormat di hati para pencari ilmu gramatika Bahasa Arab. Dimanapun para pencinta Ilmu Nahwu pasti mengenalnya. Tersebar luas dan diajarkan di berbagai Lembaga-Lembaga Pendidikan. Tidaklah sedikit Kitab-Kitab Syarah yang menyarahi dari Nadzam Alfiyah Ibnu Malik ini, dan tidak sedikit pula Kitab Hawasyi yang menyarahi dari Syarahnya Kitab ini. Semoga beliau mendapat kedudukan yang tinggi disisi-Nya. Amin.

الْكَلاَمُ وَمَا يَتَألَّفُ مِنْهُ

Bab Kalam dan Sesuatu yang Kalam tersusun darinya

كَلاَمُــنَا لَفْــظٌ مُفِيْدٌ كَاسْــتَقِمْ ¤وَاسْمٌ وَفِعْلٌ ثُمَّ حَرْفٌ الْكَلِمْ

Kalam (menurut) kami (Ulama Nahwu) adalah lafadz yang memberi pengertian. Seperti lafadz “Istaqim!”. Isim, Fi’il dan Huruf adalah (tiga personil) dinamakan Kalim

وَاحِدُهُ كَلِمَةٌ وَالْقَوْلُ عَمْ ¤ وَكَلْمَةٌ بِهَا كَلاَمٌ قَدْ يُؤمْ

Tiap satu dari (personil Kalim) dinamakan Kalimat. Adapun Qaul adalah umum. Dan dengan menyebut Kalimat terkadang dimaksudkan adalah Kalam

KALAM

Definisi Kalam menurut Istilah Ulama Nahwu adalah Sebutan untuk Lafadz yang memberi pengertian satu faedah yaitu baiknya diam. Sehingga yang berkata dan yang mendengar mengerti tanpa timbul keiskalan.

Lafadz adalah nama jenis yang mencakup Kalam, Kalim, atau Kalimat, termasuk yang Muhmal (tidak biasa dipakai) ataupun yang Musta’mal (biasa dipakai) contoh perkataan Muhmal: دَيْزٌDaizun, tidak mempunyai arti. Contoh perkataan Musta’mal عَمْرٌو ‘Amrun, ‘Amr nama orang.

Mufid (yang memberi pengertian) untuk mengeluarkan Lafdz yang Muhmal, atau hanya satu Kalimat, atau Kalim yang tersusun dari tiga kalimat atau lebih tapi tidak memberi pengertian faedah baiknya diam, seperti Lafadz: اِنْ قَامَ زَيْدٌ Apabila Zaid berdiri.

Susunan Kalam pada dasarnya Cuma ada dua: 1. ISIM + ISIM, 2. FI’IL + ISIM. Contoh pertama: زيد قائم Zaid orang yg berdiri. Contoh kedua قام زيد Zaid telah berdiri. Sebagaimana contoh Kalam yang disebutkan oleh Mushannif pada baris baitnya, yaitu lafadz استقمISTAQIM! Artinya: berdirilah! Pada lafadz ini terdiri dari Fiil ‘Amar dan Isim Fa’il berupa Dhomir Mustatir (kata ganti yang disimpan) FI’IL + ISIM takdirnya adalah استقم أنت ISTAQIM ANTA, artinya: berdirilah kamu! maka contoh ini memenuhi criteria untuk disebut Kalam yaitu lafadz yang memberi pengertian suatu faidah. Sepertinya Mushannif mendefinisikan kalam pada bait syairnya sebagai berikut: Kalam adalah Lafadz yang memberi pengertian suatu faidah seperti faidahnya lafadz استقم.

Bab Kalam Ibnu Aqil

KALIM
Adalah nama jenis yang setiap satu bagiannya disebut kalimat, yaitu: Isim, Fi’il dan Huruf. Jika Kalimat itu menunjukkan suatu arti pada dirinya sendiri tanpa terikat waktu, maka Kalimat tsb dinamakan KALIMAT ISIM. Jika Kalimat itu menunjukkan suatu arti pada dirinya sendiri dengan menyertai waktu, maka Kalimat tsb dinamakan KALIMAT FIIL. Jika Kalimat itu tidak menunjukkan suatu arti pada dirinya sendiri, melainkan kepada yang lainnya, maka Kalimat tsb dinamakan KALIMAT HURUF. Walhasil Kalim dalam Ilmu Nahwu adalah susunan dari tiga kalimat tsb atau lebih, baik berfaidah ataupun tidak misal: إن قام زيد jika Zaid telah berdiri.

KALIMAT
Adalah lafadz yang mempunyai satu makna tunggal yang biasa dipakai. Keluar dari definisi Kalimat adalah lafadz yang tidak biasa dipakai semisal دَيْزٌ Daizun. Juga keluar dari definisi Kalimat yaitu lafadz yang biasa dipakai tapi tidak menunjukkan satu makna, semisal Kalam.

QAUL
Adalah mengumumi semua, maksudnya termasuk Qaul adalah Kalam, Kalim juga Kalimat. Ada sebagian ulama berpendapat bahwa asal mula pemakaian Qaul untuk Lafadz yang mufrad (tunggal).

Selanjutnya Mushannif menerangkan bahwa menyebut Kalimat terkadang yang dimaksudkan adalah kalam. Seperti lafadz لا إله إلا الله Orang Arab menyebut Kalimat Ikhlash atau Kalimat Tahlil.

Sebutan Kalam dan Kalim, terkadang keduanya singkron saling mencocoki satu sama lain, dan terkadang tidak. Contoh yang mencocoki keduanya: قد قام زيد Zaid benar-benar telah berdiri. contoh tersebut dinamakan Kalam karena memberi pengertian, mempunyai faidah baiknya diam. Dan juga dinamakan Kalim karena tersusun dari ketiga personil Kalimat. Contoh hanya disebut Kalim: إن قام زيدApabila Zaid berdiri. Dan contoh hanya disebut Kalam: زيد قائم Zaid orang yang berdiri.

Pengertian Kalimah Dalam Ilmu Nahwu

Yang dinamakan kalimah yaitu qaulun mufradun atau suatu  lafadz yang digunakan untuk menunjukan makna yang bersifat mufrad (tunggal).

Mufrad di sini bukanlah muqabalah tasniah maupun jamak melainkan muqabalah tarkib. Istilah "mufrad" tersebut dapat kita artikan dengan lafadz yang tidak ditunjuki oleh juzuk lafadz kepada juzuk maknanya, melainkan gabungan juzuk-juzuk lafadz yang merangkai menjadi satu lafadz itulah yang menunjuki kepada  maknanya secara menyeluruh, dan bukan per juzuk maknanya.

Dengan kata lain kalimah adalah sepatah kata. Isim jamak dari kalimah adalah Kalim. Pengertiannya  yaitu:

اَلْكَلِمُ هُوَ اَلَّلفْظُ اَلْمُرَكَّبُ مِنْ ثَلَاثِ كَلِمَاتٍ فَأَكْثَرَ سَوَاءٌ اَفَادَ نَحْوُ: اَلْعِلْمُ يُرَقِّيْ اَلْإِنْسَانَ اَوْ لَمْ يُفِدْ نَحْوُ لَوْ ارْتَقَي اَلْإِنْسَانُ.

Kalim yaitu lafadz yang tersusun dari tiga kalimah atau lebih, baik sudah memberikan pemahaman seperti lafadz اَلْعِلْمُ يُرَقِّيْ اَلْإِنْسَانَ maupun belum memberikan pemahaman  لَوْارْتَقَي اَلْإِنْسَانُ.

Kalimah itu terbagi menjadi tiga macam yaitu isim, fiil dan huruf. 

Isim, yaitu:
كَلِمَةٌ دَلَّتْ عَلَي مَعْنًى فِيْ نَفْسِهَا وَلَمْ تَقْتَرِنْ بِزَمَانٍ وَضْعًا


Kalimah (kata) yang menunjukan makna mandiri dan tidak disertai dengan pengertian zaman. Dengan kata lain kalimah isim adalah kata benda. Contoh : كِتَابٌ,  اَنَا,  مُحَمَّدٌ, نَحْنُ  dan seterusnya.                                       

Tanda-tanda Kalimah Isim

Isim itu dapat diketahui melalui khafadh, tanwin, nida’ (isimnya adalah munada) kemasukan alif - lam dan musnad (isimnya adalah musnad ilaih). Berikut sebagian penjelasannya.

a.    I’rab Dengan Khafadh

Khafadh itu  berupa huruf (بِالْحَرْفِ), atau idhafah (بِاْلإِضَافَةِ), maupun tab’iyyah (بِالتَّبْعِيَّةِ).
Seperti lafadz: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Dalam kitab ‘Awamil disebutkan bahwa jumlah huruf jar (huruf khafadh) itu ada sembilan belas, sedangkan kitab Jurumiyah hanya menyebutkan sebagiannya saja yaitu:
مِنْ , اِلَى , عَنْ , عَلَى, فِيْ , رُبَّ , بَاءٌ , كَافٌ , لاَمٌ , وَاوُ قَسَمٍ , بَاءُ قَسَمٍ , تَاءُ قَسَمٍ.

Contohnya: سِرْتُ مِنَ اْلبَيْتِ اِلَي السُّوْقِ

b.   Tanwin

Tanwin adalah nun mati yang bertempat pada akhir isim yang kelihatan ketika diucapkan dan hilang ketika ditulis dan waqaf. Tanwin yang masuk pada kalimah isim ada empat macam:

1) Tanwin Tamkin yaitu tanwin yang bertemu dengan isim mu’rab seperti  (زَيْدٌ  ) 

2) Tanwin Tankir yaitu tanwin yang bertemu dengan isim mabni, seperti tanwinnya lafadz (سِيْبَوَيْهٍ )

3) Tanwin muqabalah yaitu tanwin yang bertemu dengan jama’ muanas salim, seperti tanwinnya lafadz (مُسْلِمَاتٌ )

4) Tanwin Iwadh yaitu tanwin yang untuk pengganti. Tanwin ‘iwadl ini adakalanya pengganti dari huruf (عِوَضٌ عَنِ الْحَرْفِ), seperti tanwinnya lafadz (جِوَارٍ) asalnya  (جِوَارِيُ), adakalanya pengganti dari isim (عِوَضٌ عَنِ اْلإِسْمِ), seperti tanwinnya lafadz (كُلٌّ) dan (بَعْضٌ), contoh: (كُلٌّ  قَائِمٌ) asalnya    كُلُّ اِنْسَانٍ قَائِمٌ, adakalanya pengganti dari jumlah (عِوَضٌ عَنِ الْجُمْلَةِ), seperti tanwinnya lafadz (وَاَنْتُمْ حِيْنَئِذٍ تَنْظُرُوْنَ)   asalnya adalah sebagai berikut:
  تَنْظُرُوْنَ  الرُّوْحُ اَلْحُلْقُوْمَ وَاَنْتُمْ حِيْنَ اِذَا بَلَغَتِ
 .
c.    Kemasukan alif-lam (اَلْ )

Kata sandang alif dan lam (اَلْ ) jika masuk pada kalimah isim ada dua macam bacaan yaitu:

1)      Al-Qamariyah  yaitu  lam yang disukun tetap dibaca sebagaimana adanya. Contoh: (اَلْحَمْدُ)

2)      Al- Syamsiyah yaitu lam tidak dibaca akan tetapi lebur seperti huruf sesudahnya. Contoh: (اَلرَّحِيْمُ).

Fi’il, yaitu:
كَلِمَةٌ دَلَّتْ عَلَي مَعْنًى فِيْ نَفْسِهَا وَاقْتَرَنَتْ بِزَمَانٍ وَضْعًا

Kalimah (kata) yang menunjukan makna pada dirinya secara mandiri dan disertai dengan pengertian zaman. Dengan kata lain kalimah fi’il adalah kata kerja. Contoh: اِضْرِبْ ، يَضْرِبُ، ضَرَبَ.

Sedangkan zaman (masa) itu terbagi menjadi tiga macam, yaitu: 1. zaman madhi (masa yang telah lalu),  2. zaman hal (masa sekarang dan sedang berlangsung), 3. zaman mustaqbal (masa yang akan datang).
Kalimah fiil itu terbagi menjadi tiga macam yaitu fiil madhi, fiil mudhari’ dan fiil amar.

1.    Fi’il Madhi
مَا دَلَّ عَلَى حَدَثٍ مَضَى وَانْقَضَى

Yaitu lafadz yang menunjukan suatu kejadian (perbuatan) yang telah berlalu dan selesai.

2.    Fi’il Mudhari’
مَا دَلَّ عَلىَ حَدَثٍ يَقْبَلُ الْحَالَ وَاْلإِسْتِقْبَالَ

Yaitu lafadz yang menunjukan suatu kejadian (perbuatan) yang sedang berlangsung dan yang akan datang.

3.    Fi’il Amar
مَا دَلَّ عَلَى حَدَثٍ فِى اْلمُسْتَقْبَلِ

Yaitu lafadz yang menunjukan kejadian (perbuatan) pada masa yang akan datang atau yang akan dikerjakan (kalimat perintah).

Tanda-tanda Kalimah Fi’il

Tanda-tanda kalimah fi’il secara umum ada empat, yaitu melalui harf (huruf) qad, sin, saufa, dan ta’ taknis yang sakin, namun dapat dikelompokkan menjadi dua macam yakni  musytarak (bisa masuk pada fi’il madhi dan mudhari’) dan mukhtash (khusus masuk pada fi’il madhi. mudhari’ dan amar).

a)   Musytarak

Tanda-tanda fi’il yang  musytarak yakni حَرْفِيَّةْ  قَدْ . قَدْ ini bisa masuk pada fi’il madhi  seperti lafadz (قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ). Adapun قَدْ  yang masuk pada fi’il mudhari’ seperti lafadz (قَدْ يَصْدُقُ اْلكاَذِبُ ).

b)   Mukhtash

Tanda-tanda fi’il yang khusus masuk pada fi’il madhi yakni  تَأْ تَأْنِيْثِ السَّاكِنَةِ  seperti lafadz (طَلَعَتْ اَلشَّمْسُ) dan  تَأْ ضَمِيْر مُتَحَرِّكْ مَحَلْ رَفَعْ  , baik waqi’ mutakallim wahid seperti lafadz (فَعَلْتُ), mukhotob seperti lafadz  (فَعَلْتَ), atau mukhatabah seperti lafadz (فَعَلْتِ). Sedangkan tanda-tanda fi’il yang khusus masuk pada fi’il mudhari’ yakni Sin tanfis seperti (سَيَقُوْلُ السُّفَهآءُ), dan saufa taswif seperti lafadz (سَوْفَ تَعْلَمُوْنَ). Adapun tanda-tanda fi’il yang khusus masuk pada fi’il amar yakni ya’ muanas mukhatabah seperti lafadz (اِفْعَلِيْ), dan nun taukid baik tsaqilah maupun khafifah seperti lafadz (اِفْعَلَنَّ, اِفْعَلَنْ).

Catatan: Perbedaan sin dan saufa yang masuk pada fi’il mudhari’ yakni sin untuk menyatakan masa yang akan datang (Lil-Qarib), sedangkan saufa untuk menyatakan masa yang akan datang (Lil-Ba’iid).

Huruf, yaitu:
كَلِمَةٌ دَلَّتْ عَلَى مَعْنًى فِيْ غَيْرِهَا

Kalimah (kata) menunjukan  makna apabila digabungkan dengan kalimah lain. Dengan kata lain huruf adalah kata depan. Contoh: اِلَي، هَلْ ,كَيْفَ   dan lain-lain.

Tanda-tanda Kalimah Huruf

Adapun tanda-tanda kalimah huruf yaitu tidak bisa  menerima tanda-tanda kalimah isim dan tanda-tanda kalimah fi’il. Tanda kalimah huruf itu ada yang musytarak antara isim dan fiil seperti lafadz (هَلْ زَيْدٌ قَائِمٌ، هَلْ قَامَ زَيْدٌ), dan ada yang mukhtas bil-Ismi seperti lafadz  (فِي الدَّارِ), serta mukhtas bil fi’li seperti lafadz (لَمْ يَقُمْ ,لَنْ يَضْرِبَ ).

Pentingnya Belajar Ilmu Nahwu


Setiap muslim menyadari bahwa bahasa arab adalah bahasa al-Qur’an. Setiap orang yang akan mempelajari al-Qur’an dengan baik dan benar, tiada lain harus menggali dari sumber asalnya, yakni al-Qur’an. Sedangkan untuk mempelajari al-Qur’an yang dituliskan dalam bahasa arab tentu membutuhkan cara atau metode untuk memahami kajian bahara arab. Salah satunya cara adalah melalui pendalaman ilmu nahwu. Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa menurut kaidah hukum Islam, mempelajari ilmu wahyu hukumnya wajib bagi siapapun  yang ingin mendalami al-Qur’an.

Seperti halnya bahasa-bahasa yang lain, Bahasa Arab juga mempunyai kaidah-kaidah tersendiri dalam mengungkapkan atau menuliskan sesuatu hal, baik berupa komunikasi atau penulisan. Pada jaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang lain, mereka melakukannya dengan tabiat masing-masing, dan lafazh-lafazh yang muncul terbentuk dari peraturan yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada senior, anak- anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya.

Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu Nahwu.

Salah satu cara untuk mengenal dengan baik sebuah ilmu ialah dengan meninjau sejarahnya, perkembangannya, metode-metode para pakarnya dalam merumuskan prinsip-prinsipnya, membentuk hukum-hukumnya, dan menggali kaidah-kaidahnya. Dalam pembahasan ini, bukan akan membahas ilmu nahwu secara gramatikal, namun untuk mengetahui dan memahami ilmu nahwu dari perspektif sejarah kelahiran dan perkembangannya, prinsip-prinsip ilmu nahwu, dan aliran-aliran ilmu nahwu (Madaaris an-Nahwiyah) yang berkembang.

Dapat disimpulkan bahwa ilmu nahwu adalah suatu ilmu dimana pembahasan yang lebih di kedepankan tentang grammar (susunan kosakata) yang dalam bahasa arab mempunyai ribuan kaidah, namun hal itu belum menjamin keselamatan ungkapan dari kepahaman dan ketidakpahaman pendengar atau lawan berbicara yang disebabkan oleh kesalahan penggunaan suatu kaedah tersebut.

Dikisahkan pula dari Abul Aswad ad-Du'ali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat at-Taubah ayat 3 dengan ucapan :

(أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهُ)

Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya...

Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan. Seharusnya kalimat tersebut adalah,

(أَنَّ اللهَ بَرِىء مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُوْلُهُ)

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”

Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad ad-Du'ali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan keistimewaan Bahasa Arab ini menjadi hilang, peristiwa tersebut terjadi di awal mula daulah Islam. Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab inna waakhowatuha, bentuk idhofah (penyandaran), kalimat ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad ad-Duali, (اُنْحُ هَذَا النَّحْوَ) “Ikutilah jalan ini”.

Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi.

Dalam riwayat lain disebutkan suatu ketika Abul Aswad melihat Khalifah Ali r.a termenung, maka ia mendekatinya dan bertanya “Wahai Amirul Mu’minin! Apa yang sedang engkau pikirkan?” Ali menjawab “Saya dengar di negeri ini banyak terjadi lahn, maka aku ingin menulis sebuah buku tentang dasar-dasar bahasa Arab”.

Selang beberapa hari Abul Aswad mendatangi Khalifah Ali r.a dengan membawa lembaran bertuliskan:

“Bismillahir rahmaanir rahiim. Al-kalaamu kulluhu ismun wafi’lun wa harfun. Fal ismu maa anbaa ‘anil musammaa, wal fi’lu maa anbaa ‘an harakatil musammaa, wal harfu maa anbaa ‘an ma’nan laisa bi ismin walaa fi’lin”.

“Dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Ujaran itu terdiri dari isim, fi’il dan harf. Isim adalah kata yang mengacu pada sesuatu (nomina), fi’il adalah kata yang menunjukkan aktifitas, dan harf adalah kata yang menunjukkan makna yang tidak termasuk kategori isim dan fi’il”.

Hampir semua pakar bahasa Arab berpendapat bahwa gagasan Ali bin Abi Thalib r.a saat beliau menjadi khalifah ini muncul karena didorong faktor agama dan sosial budaya. Faktor agama terkait dengan usaha pemurnian Al-Qur’an dari lahn (kesalahan baca). Fenomena lahn semakin lama semakin marak terjadi seiring menyebarnya Islam ke wilayah-wilayah non-Arab. Pada saat itulah terjadi akulturasi bahasa Arab dengan bahasa lain. Para penutur non-Arab sering kali berbuat lahn dalam berbahasa Arab, sehingga hal itu dikhawatirkan terjadi juga saat mereka membaca Al-Qur’an.

Sebetulnya, fenomena lahn itu sudah muncul pada masa Nabi Muhammad masih hidup, tetapi frekuensinya masih jarang. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ada seorang yang berkata salah (dari segi bahasa) dihadapan Nabi, maka beliau berkata kepada para sahabat:"Arsyiduu akhaakum fa innahu qad dlalla"(Bimbinglah teman kalian, sesungguhnya ia telah tersesat). Perkataan dlalla 'tersesat' pada hadits tersebut merupakan peringatan yang cukup keras dari Nabi. Kata itu lebih keras artinya dari akhtha'a 'berbuat salah' atau zalla 'keseleo lidah'. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa salah seorang gubernur pada pemerintahan Umar bin Khattab menulis surat kepadanya dan di dalamnya terdapat lahn, maka Umar membalasnya dengan diberi kata-kata "qannii kitaabak sawthan" 'berhati-hatilah dalam menulis'.

Dari sisi sosial budaya, bangsa Arab dikenal mempunyai kebanggaan dan fanatisme tinggi terhadap bahasa mereka. Hal ini mendorong mereka untuk memurnikannya dari pengaruh asing. Mereka mulai memikirkan langkah-langkah pembakuan bahasa dalam bentuk kaidah-kaidah. Dengan prakarsa Khalifah Ali dan dukungan para tokoh yang berkomitmen terhadap bahasa Arab dan Qur’an, sedikit demi sedikit disusun kerangka teoritis yang kelak menjadi cikal bakal pertumbuhan Ilmu Nahwu. Sebagaimana ilmu-ilmu lain, nahwu tidak langsung sempurna dalam waktu singkat, melainkan berkembang tahap demi tahap dalam kurun waktu yang panjang.

Mengenai tokoh yang dapat disebut sebagai peletak batu pertama Ilmu Nahwu yang paling populer dan diakui oleh mayoritas ahli sejarah adalah Abul Aswad. Pendukung pendapat ini dari golongan ahli sejarah terdahulu antara lain Ibnu Qutaibah (wafat 272 H), Al-Mubarrad (wafat 285 H), As-Sairafiy (wafat 368 H), Ar-Raghib Al-Ashfahaniy (502H), dan As-Suyuthiy (wafat 911 H), sedangkan dari golongan ahli nahwu kontemporer antara lain Kamal Ibrahim, Musthofa As-Saqa, dan Ali an-Najdiy Nashif (Al-Fadlali, 1986:9-17). Penokohan Abul Aswad ini didasarkan atas jasa-jasanya yang fundamental dalam membidani lahirnya Ilmu Nahwu.

Abul Aswad Ad-Duali memiliki nama asli Dzalam bin Amru bin Sufyan bin Jandal bin Yu'mar bin Du'ali. Ia adalah penduduk Bashrah yang jenius, berwawasan luas, dan mahir dalam bahasa Arab. Dia biasa dipanggil dengan nama Abul Aswad, sementara Ad-Duali merupakan nisbat dari kabilahnya yang bernama Du'al dari Bani Kinanah. Abul Aswad Ad-Duali merupakan seorang tabi'in, murid sekaligus sahabat Khalifah keempat Ali Bin Abi Thalib. Ia lahir pada 603 Masehi dan wafat pada 688 Masehi.

Sebelum menjadi pakar nahwu, Ad-Duali banyak berkiprah di dunia perpolitikan. Ia sempat menjadi hakim di Bashrah pada era kekhalifahan Umar bin Khattab, hingga kemudian diangkat menjadi gubernur kota tersebut di masa kepemimpinan Ali. Saat perang Jamal, Ad-Duali merupakan juru runding perdamaian antar kubu. Ia juga pernah diutus sahabat Rasulullah, Abdullah Ibn Abbas, untuk memerangi kaum Khawarij.

Abul Aswad adalah orang pertama yang meletakkan dasar ilmu bahasa Arab. Hal itu dilakukannya ketika ia melihat lahn mulai mewabah di kalangan orang arab. Dia menulis antara lain bab fa'il, maf'ul, harf jar, rafa', nashab, dan jazm." Selain itu juga Abul Aswad berjasa dalam memberi syakal (tanda baca) pada mushaf al-Qur'an. Sebagaimana diketahui pada mulanya tulisan Arab itu tidak bertitik dan tidak menggunakan tanda baca. Tidak ada tanda pembeda antara huruf dal dan dzal, antara hurufsin dan syin, dan sebagainya. Juga tidak ada perbedaan antara yang berharakat /a/, /i/, dan /u/. Demikian juga tulisan yang ada pada mushaf Al-Qur’an awal (Utsmani), sehingga banyak orang non Arab yang keliru dalam membaca Al-Qur’an terutama umat Islam non-Arab.

Karena khawatir kesalahan itu akan semakin mewabah, Ziad bin Abi Sufyan meminta Abul Aswad untuk mencari solusi yang tepat. Dan akhirnya Abul Aswad menemukan jalan, yaitu dengan memberi tanda baca dalam al-Qur'an. Namun, pada saat itu belum ada fathah, dhamah, ataupun kasrah. Ad-Duali mengunakan, sistem titik berwarna merah sebagai syakal kalimat. Titik-titik tersebut, yakni sebuah titik di atas huruf dimaknai /a/, yakni fathah, satu titik dibawah huruf dibaca /i/ atau kasrah, satu titik disebelah kiri huruf dibaca /u/, yakni dhamah. Adapun tanwin tinggal menambah titik tersebut menjadi dua buah. Titik-tik tersebut dicetak merah agar membedakan dengan tulisan Arab yang menggunakan tinta hitam. Karena tanda baca itu berupa titik-titik, maka dikenal dengan sebutan naqthul i'rab (titik penanda i'rab).

Prinsip-prinsip yang terkandung dalam ilmu Nahwu

Secara keseluruhan, ilmu bahasa meliputi ilmu nahwu, ilmu sharf, ilmu pelafalan, dan ilmu semantik. Ilmu sharf berbicara tentang aturan pembentukan kata. Ia mempelajari timbangan-timbangan kata (wazan) berikut indikasinya, serta bentuk-bentuk perubahan yang sangat beragam seperti penghapusan, penambahan, perentangan, pemendekan, peleburan, pembalikan, penggantian, pencacatan, serta keadaan saat terus dan saat berhenti. Dengan kata lain, kata kunci dalam ilmu sharf ialah kata.

Adapun ilmu nahwu, kata kuncinya ialah kalimat. Ia secara khusus berbicara tentang jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum berbicara tentang aturan mengenai hubungan antar elemen tersebut. Demikianlah, ilmu nahwu telah digunakan untuk menganalisis secara sintaktik bagian-bagian sebuah kalimat serta hubungan antar bagian-bagian tersebut dalam apa yang dalam tradisi klasik kita sebut sebagai hubungan penyandaran. Jadi ilmu nahwu tidaklah hanya berbicara tentang harakat di akhir kata serta i’rabnya, namun ia juga mengatur tentang bagaimana cara yang baik dalam menyusun dan merangkai kalimat.

Semua cabang ilmu bahasa diatas saling melengkapi satu sama lain. Ilmu-ilmu tersebut dibeda-bedakan hanyalah untuk kemudahan mempelajarinya saja. Kita tidak bisa mengkaji bahasa secara sempurna dengan hanya menggunakan salah satu atau sebagian ilmu-ilmu tersebut dan meninggalkan ilmu yang lain.

Ilmu nahwu berbeda dari ilmu-ilmu ke-Arab-an yang lain, ia mempunyai sejarah yang cukup unik, dan juga ia mulia atas dasar ketinggian tujuannya yaitu menjaga otentisitas lisan (bahasa) orang Arab secara umum dan al-Qur’an secara khusus. Hal ini didapati banyak penyimpangan bahasa yang kemudian menggugah kesadaran setiap orang Arab yang takut kepada Allah bahwasanya mereka harus menjaga al-Qur’an yang tentangnya Allah berfirman, ”Sesungguhnya Kami telah menurunkan Peringatan (al-Qur’an) dan sesungguhnya Kami pulalah yang akan menjaganya”.

Bahwasanya di dalam kitab yang membahas tata bahasa Arab ini, ternyata kalau dikaji lebih dalam lagi ia memiliki filsafat-filsafat hidup dan nasehat yang sangat berharga bagi setiap generasi terutama bagi kita sebagai ummat Islam. Filsafat hidup yang termaktub dalam kitab itu sendiri merupakan “hukum” atas suatu kalam atau kalimat dalam ilmu nahwu. Berikut ini adalah contohnya:

1. Bersatu kita terhormat

Dalam ilmu nahwu, “dhommah” adalah salah satu tanda dari tanda-tanda “rofa’”. Secara lafdziah kata dhommah berarti bersatu. Sedang kata rofa’ berarti tinggi. Maksudnya, bila kita dapat bersatu dengan sesama, dapat menjaga kesatuan dan persatuan, dapat mempererat tali ukhuwah, bukan tidak mungkin kita akan menjadi umat yang terhormat dan tinggi (rofa’) di antara bangsa dan umat lain.

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT : ”Bersatulah kalian pada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian berpecah belah” (Ali Imran: 103). Sementara untuk mendapatkan derajat tinggi harus memenuhi syarat, di antaranya adalah iman. Firman Allah SWT: “Janganlah kalian merasa hina dan sedih, padahal kamu tinggi jika kamu beriman” (Ali Imran: 139).

Ada beberapa kriteria sehingga orang bisa mendapatkan derajat rofa’ (tinggi). Sebagaimana dijelaskan dalam Al Jurumiyah, bahwa di antara kedudukan kalimat yang mendapat hukum rofa’ atau marfu’ (yang diberi penghargaan tinggi) adalah: fa’il, naib fa’il, mubtada’, khobar dan tawabi’ marfu’ (sesuatu yang mengikuti segala kalimat marfu’) seperti sifat (na’at), badal, taukid dan ‘atof. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Fa’il (aktivis). Bila kita ingin menjadi orang yang dihargai, tinggi dan tidak terhina, maka hendaklah kita berbuat, bekerja dan berusaha, tidak berpangku tangan atau hanya mengharap belas kasih orang lain. Hanya orang yang aktif dan proaktiflah (fa’il) yang membuahkan karya-karya dan amal dan menjadi terhormat di lingkungannya. Firman Allah SWT: “Dan katakanlah (hai Muhammad) : Bekerjalah kalian! sesungguhnya pekerjaan kalian akan dilihat oleh Allah, RasulNya dan kaum mu’minin” (At Taubah : 105). Sabda Nabi Muhammad SAW:“tangan di atas (pemberi) lebih baik dari tangan di bawah (peminta)”.

b.  Naib fa’il (mewakili tugas-tugas aktivis) adalah tipe kedua orang yang mendapat derajat tinggi. Meskipun ia berkedudukan sebagai wakil, tapi ia menjalankan pekerjaan yang dilakukan fa’il walau harus menjadi penderita dalam kedudukannya sebagai kalimat. Sebagai contoh dalam hal ini adalah sahabat Ali ra. Beliau pernah menggantikan Rasulullah di tempat tidurnya dengan resiko yang tinggi berupa pembunuhan yang akan dilakukan para pemuda musyrikin Makkah saat Rasulullah berencana melaksanakan hijrah ke Madinah.

Contoh lain adalah para huffadz yang diutus Rasulullah untuk mengajarkan agama atas permintaan salah satu suku di jazirah Arab, namun nasib mereka nahas dikhianati dan dibunuh para pengundang. Mendengar hal itu, Rasulullah pun membacakan do’a qunut nazilah sebagi rasa ta’ziyah. Dengan do’a dari Rasulullah tersebut, tentu saja mereka yang wafat mendapat kedudukan mulia di sisi Allah, juga oleh sejarah.

c. Mubtada (pioneer), orang yang pertama melahirkan ide-ide positif kemudian diaplikasikannya di tengah-tengah masyarakat sehingga berguna bagi kehidupan manusia adalah orang yang pantas mendapat derajat rofa’ (tinggi). Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa memulai sunnah hasanah (ide positif dan konstruktif) maka baginya pahala dan pahala orang yang melakukan ide (sunnah) tersebut”.

Ada pepatah Arab mengatakan demikian:

الفضل للمبتدئ وان أحسن المقتدى

“Perhargaan itu hanyalah milik orang pertama memulai, walaupun orang yang datang kemudian dapat melakukannya lebih baik”

d.  Khobar (informasi). Mereka yang memiliki khobar (informasi) itulah orang yang menguasai. Demikian salah satu ungkapan dalam ilmu komunikasi. Di dunia ini sebenarnya tidak ada orang yang lebih banyak ilmunya dari seorang lain. Yang ada adalah karena orang itu lebih banyak mendapatkan dan menyerap informasi dari lainnya. Membaca buku, apapun buku itu, sebenarnya kita sedang menyerap sebuah informasi. Dan sebanyak itu informasi yang kita dapatkan sebesar itu pula kadar maqam kita. Informasi dapat kita peroleh melalui berbagai cara, termasuk di dalamnya pengalaman.

e. Tawabi’ Marfu’ (Mereka yang mengikuti jejak langkah orang yang mendapat derajar tinggi). Jelas, siapa saja yang mengikuti langkah dan perjuangan mereka yang mendapat derajat tinggi, maka mereka akan dihargai. Allah berfirman:“Sungguh dalam diri Rasulullah ada suri tauladan yang patut ditiru bagimu”. Ayat ini menegaskan kepada kita untuk mengikuti Rasulullah yang telah mendapatkan maqooman mahmuda (kedudukan terpuji) di sisi Allah agar kita mendapat hal yang sama di sisi-Nya. Di samping itu, salah satu orang yang akan mendapat derajat tinggi adalah para penuntut ilmu. Firman Allah SWT : “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi ilmu dengan beberapa derajat” (Al Mujadalah: 11). Ilmu adalah warisan para nabi, dan siapa yang mengikuti (tabi’) langkah nabi ia akan mendapat kehormatan (rofa’)

2. Berpecah belah adalah kerendahan

Tanda kasroh dalam ilmu nahwu adalah salah satu tanda hukum khofadh. Secara harfiah, kata kasroh bermakna pecah atau perpecahan. Sedangkan kata khofadh bermakna kerendahan atau kehinaan. Dengan demikian suatu umat akan mengalami kerendahan dan kehinaan apabila mereka melakukan perpecahan, tidak bersatu dan tidak berukhuwah. Wajar saja bila para musuh menyantap dengan lahapnya kekayaan kaum (muslimin) disebabkan mereka tidak mau bersatu dan menjaga persatuan. Inilah yang pernah dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad SAW empat belas abad lalu, tatkala beliau menyatakan bahwa suatu saat umat Islam akan menjadi santapan umat lain seperti srigala sedang menyantap makanan. Para sahabat bertanya:“Apakah saat itu jumlah kita sedikit ?” Rasul menjawab: “Tidak, justru kalian saat itu menjadi mayoritas, tapi kualitas kalian seperti buih. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari musush-musuh kalian kepada kalian dan Allah akan mencampakkan dalam diri kalian penyakit al-wahan”. Sahabat bertanya: “apakah penyakit al-wahan itu?” Rasul SAW menjawab: “cinta dunia dan takut mati”.

Dengan penyakit itulah, umat Islam mengalami perpecahan. Diibaratkan seperti sifat buih, seberapa banyak dan sebesar apapun, ia akan terombang-ambing oleh angin yang meniupnya. Itulah tamsil umat Islam yang tidak memperkokoh persatuan. Sebab yang diperjuangkan bukan lagi agama mereka, tetapi materi dan keduniaan yang pada akhirnya tidak lagi mengindahkan persatuan dan kesatuan di antara sesama ummat Islam.

Hal inilah yang diisyaratkan oleh Al-Sonhaji, bahwa penyebab segala isim (nama) menjadi makhfudh (rendah dan hina) adalah karena tunduk dan ikut-ikutan terhadap huruf khofadh (faktor kerendahan). Atau dalam istilah nahwu lain, isim menjadi majrur (objek yang terseret-seret/mengikuti arus) karena disebabkan mengikuti hurf jar (faktor yang menyeret-nyeretnya) .

Karena itu, hendaknya umat Islam selalu menjadi ikan hidup di tengah samudera. Meskipun air samudera terasa asin, namun sang ikan hidup tetap terasa tawar. Sebaliknya, jika umat ini bagaikan ikan mati, maka ia dapat diperbuat apa saja sesuai keinginan orang lain. Bila diberi garam ia akan menjadi ikan asin dan lain sebagainya.

3. Berusahalah, Maka Jalan Akan Terbuka

Dalam kaidah ilmu nahwu, di antara tanda nashob adalah fathah. Secara lafdziah, kata nashob bermakna bekerja dan berpayah-payah. Sedang kata fathah bermakna terbuka. Dalam hal ini, maka mereka yang mau bekerja dan berupaya serta berpayah-payah (nashob) dalam usaha, maka mereka akan mendapatkan jalan yang terbuka (fathah). Sesulit apapun problem yang dihadapi, jika berusaha dan berpayah-payah untuk mengatasinya, maka insya Allah akan menemukan jalan keluarnya. Oleh karena itu Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang berbuat di antara kalian dari laki-laki dan wanita”. (Ali Imran: 195).

4. Kepastian akan menimbulkan rasa tenang

Kaidah lain yang terdapat dalam ilmu nahwu adalah, bahwa di antara tanda jazm adalah sukun. Secara lafdziah, kata jazm bermakna kepastian. Sedang kata sukun berarti ketenangan. Ini mengajarkan kepada kita, bahwa kepastian (jazm) akan melahirkan rasa ketenangan (sukun). Orang yang tidak mendapatkan kepastian dalam suatu urusan akan merasakan kegelisahan.Misalnya seorang remaja yang ingin melamar seorang gadis kemudian tidak mendapatkan kepastian, dia akan mengalami kegelisahan. Demikian juga orang yang hidupnya sendiri,ia tidak mendapatkan ketenangan. Oleh karena itu Allah SWT mengisyaratkan kita agar mempunyai teman pendamping dalam hidup ini agar mendapat ketenangan. Firman Allah SWT:

ومن آياته ان خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا اليها

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah Ia menjadikan bagimu pasangan dari jenismu (manusia) agar kalian merasa tenteram kepadanya” (Ar Rum: 21).

Dari keterangan di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ilmu Nahwu mempunyai keistimewaan dalam filsafat hidup, begitu juga sebagai ilmu tata bahasa Arab yang masyhur digunakan oleh para ulama’ dalam mendalami Al Quran selain itu, juga dipelajari di madrasah-madrasah, pondok pesantren, sampai pada perguruan tinggi.

Ada tiga prinsip atau tepatnya elemen utama dalam pembentukan nahwu yaitu: al-simâ’, al-istishâb dan al-qiyâsyang juga biasa disebut sebagai “adillatun nahwi”.

1.   Al-Simâ’ secara harfiah berarti mendengar atau mendengarkan (informasi). Al-Simâ’, dalam konteks nahwu berarti sebuah penelitian atas suatu peristiwa bahasa yang dilakukan oleh para ahli dengan cara mencari informasi dari sumber aslinya untuk memastikan keotentikannya dan baru kemudian dijadikan sebagai landasan teoretis.

2. Al-Istishâb, adalah mempertahankan atau setia pada suatu kaidah kebahasaan yang dirumuskan atau ditetapkan para ahli nahwu berdasarkan Al-Simâ’ pada bentuk aslinya.

3. Al-Qiyâs adalah menganalogikan suatu hal (kaidah bahasa) yang belum ada keputusan kaidahnya kepada bahasa yang telah ada ketetapan kaidahnya. Atau menurut Ibrahim Anis al-Qiyâs dalam nahwu adalah:”menjadikan bahasa yang dianggap benar (fasih) sebagai ukuran atau analogi dan model pembentukan suatu kalimat tertentu”. Jadi, al-Qiyas adalah membentuk pola bahasa dengan mengikuti pola bahasa yang telah ada sebelumnya, baik dalam segi struktur kalimatnya maupun ketentuan I’rabnya. 

Namun demikian, dalam perkembangannya lebih lanjut, khusunya mulai akhir abad kedua hingga keempat hijriyah, prinsip utama dan paling dominan dan bahkan paling inti adalah “al-‘Âmil”, sebab prinsip-prinsip lain pada akhirnya hanya bersifat komplementer saja setelah adanya prinsip ‘amil ini. Itu sebabnya, Tamâm Hassân menyebutkan bahwa“Sesungguhnya nahwu dibangun di atas prinsip “al-‘Âmil”. Menurut Tamam, prinsip inipun sebenarnya juga hanya merupakan perumusan konkrit atau teoritisasi dari penemuan atau perumusan tiga jenis harakat (fathah, dhommahdan kasrah) oleh Abu al-Aswad al-Du’ali. ‘Amil dianggap sebagai penyebab atau penentu bunyi harakat pada akhir sebuah kata yang kemudian dikenal dengan istilah “nashab, rafa’,dan jarr”.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa nahwu secara epistemologis adalah sebuah ilmu yang telah memenuhi kriteria sebagai pengetahuan yang ilmiah, karena ia telah melengkapi diri dengan prinsip-prinsip sebagai tatabangunnya sehingga menjadi salah satu disiplin yang berdiri kokoh yang dapat dikaji secara ilmiah. Adapun prinsip-prinsip nahwu adalah: Al-Simâ’, al-Qiyâs, al-Istishâb dan al-‘Âmil.

Di dalam memahami redaksi ayat dari ayat-ayat al-Quran sangat dibutuhkan beberapa fan ilmu yang berkaitan dengannya. Terutama ilmu Nahwu, shorof, balaghah dan ilmu lughatil arabiyyah. Karena Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab :

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“ Sesungguhnya kami menurunkannya dengan berupa al-Quran berbahasa arab agar kalian menegrti “ (QS; Yusuf : 2)

Imam Ibnu Katsir mengomentari ayat tsb sebagai berikut :

وذلك لأن لغة العرب أفصح اللغات وأبينها وأوسعها ، وأكثرهاتأدية للمعاني التي تقوم بالنفوس; فلهذا أنزل أشرف الكتببأشرف اللغات ،

“ Demikian itu karena bahasa arab adalah paling fasehnya dari seluruh bahasa, paling jelas dan luasnya.  Dan paling banyak membawa makna-makna yang sesuai kalimatnya. Oleh karena itu Allah menurunkan paling mulianya kitab dengan paling mulianya bahasa “

Para ulama salaf kita telah memberikan pemahaman isi kandungan Al-Quran yang penuh makna hikmah dan mu’jizat dengan jalan tuntunannya yaitu tafsirannya, dengan proses melalui berbagai macam fan ilmu yang berkaitan dengannya seperti :

1. Ilmu alat (nahwu, shorof, balaghah dan lughah)
2. Ilmu qiraat
3. Ilmu naskhil utsmani
4. Ilmu tafsir
5. Ilmu nasikh wal mansukh
6. Ilmu ghoribil quran
7. Ilmu i’jazil quran
8. Ilmu i’rabil quran
9. Dan selainnya yang berkaitan

Demi menjaga al-Quran dan telah masuk dalam realisasi firman Allah Swt :

انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحافظون

“ Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran dan Kamilah yang menjaganya “.

Maka bermunculan lah kitab-kitab tafsir para ulama untuk memberikan sumbangsih bagi umat muslim di dalam memahami makna ayat-ayat al-Quran yang sesuai maksud Allah dan Rasul-Nya.

Sehingga memahami al-Quran tidak cukup dengan hanya mengandalkan terjemah tanpa mau merujuk tafsiran para ulama salaf yang berkompeten dibidang tafsir, agar kita tidak jauh memahami makna ayatnya dari pemahaman yang sebenarnya. Sehingga sebuah keharusan mengikuti / taqlid pada pemahaman ulama salaf. 

Bagaimana kita bisa memahami al-Quran yang berbahasa arab tanpa memepelajari bahasa arab ??

Terjemahan al-Quran yang ada merupakan hasil dari pemahaman bahasa arab pada al-Quran itu sendiri. Namun tidak cukup memahami terjemahan lafadz per lafadznya saja tanpa menjelaskan maksudnya. Nah maksud dar ayat al-Quran dibutuhkan penafsiran sedangkan penafsiran butuh pada ilmu yang berkaitan dengannya. Dan para ulama tafsirlah yang mampu melakukan ini semua, kita hanya tinggal menikmati hasilnya.

Dan kitab-kitab tafisr merupakan hasil dari penafsiran para ulama yang berkompeten di bidangnya. Untuk kita yang berbangsa ajami (non arab), membutuhkan penerjemahannya ke dalam bahasa masing-masing penduduk. Atau mempelajari ilmu bahasa arab untuk mempelajari kitab-kitab tafsir tersebut. Namun masih dibutuhkan seorang guru yang benar-benar menguasai ilmu bahasa arab agar kita tidak salah paham dalam memaknainya. Dan seorang guru yang memiliki sanad (mata rantai) keilmuan yang bersambung sampai pada ulama pengarang kitab tafsir tersebut, agar tidak menyimpang dari pemahaman yang dimaksud oleh para ulama tsb.

Sungguh amat keliru dan ceroboh orang yang beranggapan bahwa ilmu alat adalah tidak penting, hanya memperlambat umat muslim untuk memahami al-Quran.

Jawabanya :
Rasul Saw bersabda :

تعلموا العربيية وعلموها الناس‎

“ Pelajarilah bahasa arab dan ajarkanlah ia pada orang-orang “

Tidak semua kaum muslimin berkecimpung dalam ilmu bahasa arab atau ilmu alat dan ilmu tafsir. Mereka memiliki tahapannya masing-masing.

Semisal, anak kecil yang baru baligh, maka kita tidak ajarkan ilmu alat melainkan kita ajarkan ilmu fiqih yang berkaitan pada kewajibannya semisal sholat dan puasa ramadhan di samping ia juga membaca al-Qurannya. Dan itu pun sama dengan dia mempelajari al-Quran, sebab ilmu fiqih merupakan ilmu yang dihasilkan dari al-quran dan al-Hadits yang telah di racik oleh para ulama.  

Bisa juga melalui pengajian-pengajian, majlis-majlis ilmu atau majlis mauidzhah, atau lainnya.  Ini  mrupakan salah satu media untuk memahami ilmu al-Quran dan hadits Nabi Saw. Karena materi yang disampaikan sipenceramah merupakan suguhan matengnya yang telah diracik dari al-Quran dan hadits. Ibaratnya pergi ke warung untuk makan, maka dia tidak perlu membuat hidangan makan sndiri yang butuh bahan-bahan dan meraciknya sendiri.

Namun juga harus hari-hati, karena bisa jadi hidangan di warung terdapat racun atau unsure ksengajaan untuk mencelakakan org lain.

Setelah lebih dewasa dan memahami tentang ilmu fardhu ainnya, maka ia mnginjak tahapan selanjutnya, yaitu berusaha memahami ilmu fardhu ainnya dengan dalil-dalilnya.

Kemudian tahap selanjutnya memahami wasilah atau perantara dalam memahami dalil-dalil ilmu tersebut yaitu ilmu alat. Apalgi yang berhubungan lansgung dengan ayat al-Qurannya atau nash haditsnya.

Seandainya umat muslim tanpa tahapan-tahapan ini, maka bisa dibayangkan bagaimana jadinya agama Islam ini. Karena akan banyak timbul pemahaman-pemahamn keliru, salah bahkan menyimpang dari maksud yang sebenarnya, maka rusaklah Islam dan hal ini telah banyak kasusnya dalam aliran-aliran sempalan Islam.

 Ibnu Taimiyyah berkata :

 ولو سقط علم النحو لسقط فهم القرآن، وفهم حديث النبي ولوسقط لسقط الإسلام

“ Seanadainya ilmu nahwunya jatuh (apalagi tdk mau mempelajarinya), maka akan jatuh juga pemahaman al-Quran dan pemahaman hadits, dan seandainya pemahaman alquran dan hadits jatuh, maka jatuhlah Islam “

Bahkan Ibnu Taimiyyah sendiri pun lebih mengetatkannya dalam hal ini, sampai-sampai ia melarang umat muslim membawakan ayat al-Quran tanpa bahasa arab, misalnya dengan huruf latinnnya. Berikut pendapatnya :

واما الاتيان بلفظ يبين المعنى كبيان لفظ القرأن فهذا غير ممكنوعلى هذا كان ائمة الدين على انه لا يجوز ان يقرأ بغير العربيةلا مع القدرة و لا مع العجز لان ذالك يخرجه عن ان يكون  هوالقرأن المنزل‎

“ Membawakan Al-Quran dengan lafadz yang menjelaskan makna Al-Quran, ini tidaklah mungkin bisa dilakukan. Oleh karena itu para imam Agama berpendapat tidak boleh membaca Al-Quran tanpa bahasa arab, walaupun dia mampu atau pun tidak mampu membaca arabnya. karena yang demikian itu akan mengeluarkan al-Quran dari Al-Quran yang diturunkan sebenarnya “

Umar bin Khoththob Ra berkata :

تعلموا اللحن والفرائض والسنن كما تعلموا القران

“ Belajarlah ilmu nahwu, faraidh dan sunnah sebagaiman kamu belajar al-Quran “.

Yahya bin Atiq berkata kepada Hasan “ Wahai Abu Sa’id, seseorang belajar bahasa arab yang dengannya ia memperbagus manthiqnya / cara bicaranya dan bacaan qurannya? Maka Hasan menjawab :

حسن يا ابن اخي فتعلمها فان الرجل يقرأ الاية فيعيى بوجههافيهلك فيها

“ Itu bagus wahai putra saudaraku, maka pelajarilah bahasa arab, karena seseorang membaca ayat lalu ia tidak cakap dalam cara membacanya maka dia celaka di dalamnya “.

Dari Ibnu Mas’ud beliau berkata :

من اراد العلم فعليه بالقران فان فيه هلم الاولين والاخرين

“ Barangsiapa yang ingin ilmu,maka hendaknya ia mempelajari al-Quran “

Imam Baihaqi mengomentari hadits ini sebgai berikut :

يعني اصول العلم

“ Maksudnya adalah mempelajari ushul-ushul ilmi / pokok-pokok ilmu (yaitu kaidah-kaidah ushul tafsir) “. (Zubdatul itqan; 143)

Saya akan berikan contoh memahami ayat al-Quran tanpa ilmunya :

Contoh pertama;

لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْيَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“ Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira  dengan apa yang telah mereka kerjakan  dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari adzab, mereka akan medapat adzab yang pedih “. (Al-Imran : 188)

Jika kita artikan sesuai dhahirnya saja maka kita pahami bahwa kita semua akan kena adzab Allah yang pedih, kenapa, karena kita semua pasti merasa senang dengan apa yg kita perbuat dan selalu ingin dipuji atas karya kita.

Namun sangat berbeda jika kita pahami ayat tersebut dengan sesuai ilmunya yaitu sebagaimana tafisran Ibnu Abbas Ra dalam shohih Bukhari dan Muslim berikut :

 “ Ayat tersebut turun kepada Ahlul kitab ketika Nabi Saw bertanya pada mereka tentang sesuatu, lalu mereka menyembunyikannya dan memberitahukannya dengan selainnya dan mereka berkata bahwa mereka telah memberitahukan pada nabi dan mereka minta dipuji atas demikian itu “. (HR. bukhari dan Muslim)

Contoh kedua :

لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا

 “ Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentng apa yang mereka makan “ (Al-Maidah : 93)

Dengan ayat ini Utsman bin Madh’un dan Amr bin Ma’ad berkata “ Khomr itu mubah bagi kita “

Padahal pemahaman yang benar bukanlah demikian jika mengetahui sebab nuzulnya yaitu “ Bahwa orang-orang berkata saat khomr itu diharamkan “ Bagaimana dengan orang-orang yang wafat di jalan Allah dan mereka minum khomr ?” Maka turunlah ayat tsb. Artinya Allah memaafkan perbuatan yang dilakukan pada masa dahulu yang belom diturunkannya pelarangan khomr.

Contoh ketiga :

افرايت من اتخذ الهه هواه

“ Sudahkah engkau melihat orang yang menjadikan Tuhannya sebagai hawa nafsunya / keinginannya ? ” (Al-Furqan : 43)

Ayat tsb jika kita lihat secara dhahirnya, maka akan menimbulkan bahwa tidak boleh menjadikan Tuhan sebagai keinginannya dan ini sungguh bertentangan dengan perintah-perintah ayat lainnya. Artinya tidaklah mengapa menjadikan Tuhan sebgai keinginannya dan ini hal terpuji.

Namun maksud ayat tsb bukanlah demikian, maka ayat tsb mengandung Taqdimul kalam wa takhirihi, makna yang sebenarnya adalah :

افرايت من اتخذ هواه الهه

“ Apakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya ? ”

Inilah maksud yang sebenarnya. Lafadz ilahahu mrupakan taqdim dan lafadz hawahu merupakan takhir.

Dan tak akan habis jika saya beberkan contohnya, karena setiap contoh akan terikat dengan fan ilmu yang berkaitan dengannya. Demikian pula dalam memahami hadits-hadits Nabi Saw, sangat dibutuhkan ilmu alat karena ucapan Nabi Saw merupakan syarah dari ayat-ayat al-Quran yang memiliki kesempurnaan bahasa.

Sejarah dan tokoh. Awalnya, kefasihan berbahasa Arab adalah ketrampilan yang diwariskan turun-temurun, tanpa kaidah yang ditetapkan secara ilmiah dan terinci. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat dan bangsa Arab bertebaran ke berbagai penjuru, mereka pun bercampur dengan berbagai bangsa lainnya. Pada generasi berikutnya, kefasihan itu meluntur dan bahkan nyaris hilang. Para ulama’ pun merasa khawatir jika bahasa Arab rusak dan ditinggalkan, yang berakibat terkuncinya pintu untuk memahami Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karenanya mereka merumuskan berbagai kaidah yang diambil dari tradisi percakapan sehari-hari, seperti fa’il itu harus dibaca rafa’ dan maf’ul harus dibaca nashab. Mereka juga melihat bahwa perubahan maksud suatu kata tergantung perubahan harakat-nya. Mereka menyebut perubahan-perubahan tersebut sebagai i’rab, sementara faktor-faktor yang mendorongnya disebut ‘amil. Kaidah-kaidah tersebut kemudian semakin berkembang dan berbagai karya ditulis untuk mengumpulkannya, sehingga tumbuh menjadi disiplin ilmu tersendiri.

Tokoh pertama yang menulis di bidang ini adalah Abu al-Aswad Zhalim bin ‘Amr bin Sufyan ad-Du’ali al-Bashri (w. 69 H) dari Bani Kinanah. Konon hal itu diperintahkan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib radhiya-llahu ‘anhu. Setelah itu tampil berturut-turut Maimun al-Aqran, ‘Anbasah bin Ma’dan al-Mahri, ‘Abdullah bin Abi Ishaq al-Hadhrami dan Abu ‘Amr bin al-‘Ala’, dimana masing-masing menambahkan ke dalam ilmu ini aspek-aspek yang belum disentuh pendahulunya. Demikianlah ilmu ini terus tumbuh sampai tampilnya Abu ‘Abdirrahman al-Khalil bin Ahmad al-Azdi al-Farahidi al-Bashri (wafat sesudah tahun 160-an hijriyah), di zaman kekhilafahan Harun ar-Rasyid. Pada masa ini kefasihan asli bangsa Arab sudah nyaris punah sehingga nahwu menjadi kebutuhan mutlak.

Setelah tahap seleksi dan penyempurnaan oleh al-Farahidi, tampillah muridnya yang paling cemerlang dalam bidang ini, yakni Abu Bisyr ‘Amr bin ‘Utsman bin Qunbur al-Bashri, atau lebih dikenal sebagai Sibawaih (w. 180 H atau 188 H). Karyanya yang diberi judul al-Kitab merupakan induk seluruh karya nahwu yang ditulis setelahnya, sehingga al-Mazini – salah seorang muridnya – berkata, “Siapa pun yang ingin menulis sebuah kitab besar di bidang nahwu setelah (adanya) kitab Sibawaih, maka hendaklah ia merasa malu.” Dan, setiap kali ada orang yang ingin membaca kitab tersebut di hadapan al-Mubarrad (Abu al-‘Abbas Muhammad bin Yazid al-Azdi al-Bashri) – ulama’ nahwu di Baghdad setelah Sibawaih – beliau selalu berkata, “Saya rela menyeberangi lautan karena menghormati beliau (Sibawaih), dan karena mengakui kehebatan isi kitab ini.”

Di belakang mereka ada Abu Ishaq az-Zajjaj (w. 311 H) dan Abu ‘Ali al-Farisi (w. 377 H) yang menulis karya-karya ringkas sebagai pegangan bagi para pelajar. Metodenya masih menganut metode Sibawaih. Setelahnya bermunculan karya-karya dengan berbagai ukuran, aliran dan metode pengajaran. Jumlahnya nyaris tak terhitung. Aliran-aliran klasik, modern, Kufah, Bashrah, Baghdad, maupun Andalusia berbeda satu sama lain. Diantara ulama’ nahwu yang paling menonjol pada masa lebih akhir adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah bin Malik ath-Tha’iy (w. 672 H), penyusun Alfiyah Ibnu Malik yang termasyhur; lalu Abu Muhammad ‘Abdullah bin Yusuf bin Ahmad al-Anshari (w. 761 H di Mesir), atau lebih dikenal sebagai Jamaluddin Ibnu Hisyam an-Nahwi, penulis kitab Mughni al-Labib.

Nama. Selain nahwu, disebut juga Ilmu I’rab. Konon, sebab penamaan dengan nahwu adalah agar dalam berbicara orang memperhatikan atau mengarahkan pandangannya kepada tradisi bangsa Arab, baik dalam i’rabmaupun bina’-nya. Sebab, arti kata nahwu adalah “menuju”. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa nama itu berasal dari kata-kata Imam ‘Ali radhiya-llahu ‘anhu, dimana setelah mendiktekan pokok-pokok kaidah bahasa Arab kepada Abu al-Aswad ad-Du’ali, beliau kemudian menyuruhnya membuatnahwu (contoh, misal, padanan) untuk masing-masing kaidah tersebut.

Sumber bahan kajian. 
Studi dalam disiplin ilmu ini berpangkal kepada berbagai premis (muqaddimah) yang diperoleh dari penelusuran yang cermat terhadap berbagai pola kalimat yang dipergunakan oleh bangsa Arab dalam kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karenanya, dalam kitab-kitan nahwusangat sering kita dapati syawahid atau bukti otentik dari suatu kaidah tertentu yang berasal dari syair-syair Arab klasik. Sebab, syair merupakan salah satu "bukti arkeologis" paling otoritatif dalam penelusuran akar kebahasaan mereka.

Hukum mempelajarinya. 
Mengkaji ilmu nahwu adalah fardhu kifayah,sebab diantara fungsinya adalah meraih kemampuan menarik dalil dari suatunash Al-Qur’an dan Sunnah untuk masalah-masalah yang ada; dan menarik dalil adalah tugas para ulama’.

Masalah yang dikaji. 
Ilmu Nahwu membahas berbagai definisi atau batasan yang dijadikan dasar untuk mengupas masalah-masalah di dalamnya, seperti definisi tentang mubtada’ dan khabar, atau premis-premis yang mendasari penentuan suatu bentuk kaidah. Premis tersebut, misalnya mengapa fa’il (subyek, pelaku) harus dibaca rafa’? Argumen yang diberikan: sebab fa’il adalah pilar kalimat yang paling kuat dan dominan, sementara rafa’ sendiri merupakan harakat yang paling kuat.

Dari sinilah dibangun hukum-hukum yang ditetapkan terhadap masing-masing obyek kajiannya, misalnya “setiap kata itu bisa mu’rab (berubah-ubah akhirnya) dan bisa pula mabni(selalu tetap akhirnya)”; atau bagian dari obyek tersebut, misalnya “akhir kata adalah tempat bagi i’rab(perubahan keadaan akibat adanya faktor tertentu)”; atau bersifat partikular (juz’iyyah), seperti “suatu isim (kata benda) itu tidak bisa menerima tanwin dikarenakan dua sebab”; atau berisi paparan obyek kajiannya, seperti “khabar itu bisa berupa satu kata atau satu susunan kalimat”; atau kekhususan obyek kajiannya, seperti “idhafah (susunan kalimat majemuk) itu akan mendesak keberadaan tanwin, walau dengan perantara”; atau pendahuluan yang menjadi penyebab timbulnya hukum lain, misalnya “suatu perintah itu menjadi wajib jika ada fa’ di dalam kalimatnya”; perintah adalah bagian dari kalimat insya’, dan insya’ sendiri merupakan bagian dari kalam; dan lain sebagainya.

Literatur penting. 

Diantara rujukan penting di bidang ini adalah al-Jumal fi an-Nahwi karya al-Khalil bin Ahmad, al-Kitaab karya Sibawaih, al-Luma’ fi al-‘Arabiyyah karya Ibnu Jinniy, al-Kafiyah karya Ibnu al-Hajib yang sangat populer, Lubb al-I’rab karya Taajuddin al-Isfara’ini, al-Mishbah karya al-Mathrizi, al-‘Umdah dan Alfiyah karya Ibnu Malik, Alfiyah karya Jalaluddin as-Suyuthi, Asraru al-‘Arabiyyah karya Abu al-Barakat al-Anbari, dan Muushilu ath-Thullab ila Qawa’idi al-I’rab karya Khalid bin ‘Abdillah al-Azhari. Masih banyak lagi kitab lainnya yang jumlahnya tak terhitung. 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...