Sabtu, 23 Oktober 2021

Hukum Dua Sholat Jum'at Berdekatan Dan Di Sekolah


Jumat adalah salah satu hari istimewa Islam, memiliki segudang rahasia samawi yang tidak terjangkau oleh akal kita. Tonggak agama yang mengakar pada ritual shalat fardlu menjadi lebih sarat akan makna, ketika waktu ini menjadi hari istimewa dengan perintah menjalankan syiar shalat Jumat ditengah umat. Melalui sebuah ayat dari surat al Jumuah ayat 9, Allah menyampaikan perintah:

يَأيها الذيْنَ أَمَنُوا إِذَا نُودِى للصَّلاَةِ مِنْ يَومِ الجُمُعَةِ فَاسْعَوا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا البَيْعَ , ذَلِكْمُ خَيْرٌ لَكْم إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Shalat Jumat sebagai sebuah rutinitas ritual, menjadi penopang syiar yang efektif dalam membentuk sebuah tradisi jama’i, yaitu kenginan untuk berpegang pada tali Allah dalam rangka berjuang mengangkat panji-panji Islam.

Shalat Jumat ini dibebankan secara wajib (taklif) bagi mereka yang masuk katagori laki-laki, baligh, berakal, merdeka, bertempat tinggal dengan tanpa ada udzur syar'i (alas an dispensasi syariat). Taklifini menurut madzhab Syafi'i, madzhab yang dianut mayoritas umat Islam Indonesia, adalah fardlu ain/kewajiban individu. Secara konkrit, perintah dalam redaksi ayat “fa'au ilaa dzikr alLah” (maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah) jelas menunjukkan kewajiban. Artinya, karena tujuan dari bersegera dalam ayat itu diperntahkan sebagai kewajiban, tujuannyapun tentu menjadi wajib. Artinya karena tujuan dari bergegas adalah shalat Jumat, berarti shalat Jumat juga menjadi wajib.

Beberapa syarat lain yang harus dipenuhi sebagai syarat sah dalam shalat Jumat mencakup empat hal :

Dilakukan secara total di waktu dzuhur.
Tempat pelaksanaan harus pada batas territorial sebuah pemukiman yang terdiri dari bangunan perumahan, baik berupa balad (di masa sekarang kira-kira seluas desa) atau hanya sebatas qaryah (kira-kira seluas dusun).
Tidak didahului maupun bersamaan dengan shalat Jumat yang lain dalam satu wilayah(balad ataupun qaryah). Hal ini selama tidak ada factor yang memperkenankan shalat Jumat di beberapa lokasi.‎
Dilakukan berjamaah oleh mereka yang berstatus penduduk tetap (mustauthin) dengan jumlah minimal 40 orang.
Para ulama madzhab menyepakati adanya jamaah sebagai syarat sah di dalam shalat Jumat. Kesepakatan ulama yang mensyaratkan 40 orang sebagai batas minimal jumlah jamaah yang mengikuti shalat. Argumentasi dari ketentuan ini adalah sebuah hadist yang menyatakan bahwa Nabi sewaktu melakukan shalat Jumat pertama kali adalah dengan jumlah jamaah yang sebanyak itu.

Berakar dari praktek Nabi dalam melakukan shalat Jumat dengan selalu berjamaah, serta lokasi yang digunakan pasti di dalam kota dan menetap pada satu masjid, muncullah beragam pemahaman, apakan hal itu harus diadopsi secara tekstual dan menyeluruh atau kisi-kisi maknawinya saja yang perlu diterjemahkan. Hal ini berdampak pada tata hukum baku, tentang diperkenankannya shalat Jumat lebih dari satu tempat. Versi yang mendasarkan pada realita di jaman Nabi, tegas mengatakan tidak boleh karena yang dilakukan Nabi bersifat dogmatif dan harus diadopsi secara total. Versi ini merupakan pendapat Madzhab Syafii yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia.

Jumat adalah salah satu hari istimewa Islam, memiliki segudang rahasia samawi yang tidak terjangkau oleh akal kita. Tonggak agama yang mengakar pada ritual shalat fardlu menjadi lebih sarat akan makna, ketika waktu ini menjadi hari istimewa dengan perintah menjalankan syiar shalat Jumat ditengah umat. Permasalahan yang timbul kemudian adalah semakin banyaknya masjid yang mendirikan  jumat dalam jarak yang sangat dekat.

Ada perbedaan pendapat dalam soal 2 (dua) Jumat-an dalam satu tempat (desa/kota) dalam madzhab Syafi'i yang detilnya sebagai berikut:

Pendapat pertama, tidak boleh dengan pengecualian. Ini pendapat Imam Syafi'i sendiri dan didukung oleh ulama-ulama madzhab Syafi'i. Kecuali apabila tempat tersebut cukup luas dan ramai penduduknya sehingga sulit mengumpulkan mereka semua dalam satu masjid untuk shalat Jum'at. Dalam kasus seperti ini maka boleh mendirikan dua shalat Jum'at atau lebih seperti yang terjadi di banyak tempat (kota/desa) di Indoensia. 

Dalam hal ini, Abu Yahya Zakariya bin Syaraf An-Nawawi yang lebih dikenal dengan Imam Nawawi dalam kitab Raudhatut Talibin wa Umdatul Muftin (روضة الطالبين وعمدة المفتين) dalam "كتاب صلاة الجمعة" menulis:

الشرط الثالث : أن لا يسبق الجمعة ، ولا يقارنها أخرى . قال الشافعي - رحمه الله - : ولا يجمع في مصر - وإن عظم ، وكثرت مساجده - إلا في موضع واحد . وأما بغداد ، فقد دخلها الشافعي - رحمه الله - وهم يقيمون الجمعة في موضعين . وقيل : في ثلاثة ، فلم ينكر عليهم . واختلف أصحابنا في أمرها على أوجه . أصحها : أنه إنما جازت الزيادة فيها على جمعة ، لأنها بلدة كبيرة يشق اجتماعهم في موضع واحد ، فعلى هذا تجوز الزيادة على الجمعة الواحدة في جميع البلاد ، إذا كثر الناس وعسر اجتماعهم ، وبهذا قال أبو العباس ، وأبو إسحاق ، وهو الذي اختاره أكثر أصحابنا تصريحا وتعريضا . وممن رجحه : القاضي ابن كج ، والحناطي - بالحاء المهملة المفتوحة ، وتشديد النون - والقاضي الروياني ، والغزالي 
Arti kesimpulan: Saat berada di Baghdad Imam Syafi'i tidak mengingkari adanya kenyataan bahwa shalat Jum'at di sana dilakukan di dua atau tiga tempat yang berbeda sekaligus. Para ulama madzhab Syafi'i menafsiri sikap Imam Syafi'i dalam soal Baghdad tersebut dengan beragam pendapat. Pertama dan yang paling sah, karena Baghdad merupakan kota besar yang sulit mengumpulkan jamaah dalam satu tempat. Dalam kasus ini maka boleh mengadakan lebih dari satu Jum'at-an di satu kota/desa. Ini adalah pendapat Abul Abbas, Abu Ishaq dan menjadi pandangan mayoritas ulama Syafi'i dan sudah ditarjih oleh Qadhi Ibnu Kajj, Hannati, Qadhi Rauyani dan Imam Ghazali. 

Uraian Imam Nawawi di atas saya kira cukup menjadi dalil bolehnya mendirikan 2 Jum'at atu lebih di satu tempat (kota/desa) kalau memang jamaahnya mencukupi.

Adapun pandangan lain ulama Madzhab Syafi'i dalam menafsiri sikap Imam Syafi'i dalam soal Jum'at lebih dari satu di Baghdad adalah sebagai berikut (bagi yang ingin mengetahuinya):

والثاني : إنما جازت الزيادة فيها ، لأن نهرها يحول بين جانبيها فيجعلها كبلدتين . قاله أبو الطيب ابن سلمة . وعلى هذا لا يقام في كل جانب إلا جمعة . فكل بلد حال بين جانبيه نهر يحوج إلى السباحة ، فهو كبغداد . واعترض عليه ، بأنه لو كان الجانبان كبلدين ، لقصر من عبر من أحدهما إلى الآخر ، والتزم ابن سلمة المسألة ، وجوز القصر . والثالث : إنما جازت الزيادة ، لأنها كانت قرى متفرقة ، ثم اتصلت الأبنية ، فأجري عليها حكمها القديم ، فعلى هذا يجوز تعدد الجمعة في كل بلد هذا شأنه . واعترض عليه أبو حامد بما اعترض على الثاني . ويجاب بما أجيب في الثاني . وأشار إلى هذا الجواب صاحب " التقريب " . والرابع : أن الزيادة لا تجوز بحال ، وإنما لم ينكر الشافعي ، لأن المسألة اجتهادية ، وليس لمجتهد أن ينكر على المجتهدين . وهذا ظاهر نص الشافعي - رحمه الله - المتقدم . واقتصر عليه الشيخ أبو حامد وطبقته ، لكن المختار عند الأكثرين ما قدمناه

Artinya: Kedua, Bolehnya shalat Jum'at di dua masjid di Baghdad karena sungainya berada di antara dua sisi sehingga terkesan seperti dua kota/tempat seperti dikatakan oleh Abu Tayyib Ibnu Salamah. Oleh karena itu, maka tidak ditempati dalam setiap sisi kecuali satu jum'at. Maka setiap kota yang terdapat sungai di antara dua sisinya, maka itu seperti Baghdad (artinya boleh dua masjid dan dua jum'at). Pendapat ini ditentang: bahwa kalau dua sisi itu seperti dua kota/desa niscaya orang yang menyeberang sungai dari satu sisi ke sisi yang lain boleh mengqashar shalat. Ibnu Salamah mengkonfirmasi hal itu dan boleh mengqashar shalat.

Ketiga, Bolehnya lebih dari satu Jum'at dan satu masjid karena Baghdad dulunya adalah terdiri dari beberapa desa yang terpisah lalu tersambung oleh sejumlah bangunan lalu Imam Syafi'i memperlakukan hukum Qaul Qadim oleh karena itu boleh dilakukannya Jum'at lebih dari satu dalam setiap kota. Pandangan ini ditentang oleh Abu Hamid (al Ghazali) sebagaimana pada argumen kedua. Dan dijawab sebagaimana jawaban kedua. Secara implisit jawaban ini ditunjukkan oleh pengarang kitab At Taqrib. 

Keempat, lebih satu Jum'at dalam satu kota tidak boleh. Bahwa Imam Syafi'i tidak mengingkari adanya dua Jum'at karena ini masalah ijtihad. Tidak boleh seorang mujtahid mengingkari pendapat mujtahid lain.

Mengacu Dari  hasil muktamar NU tahun 1984 di Situbondo yang menetapkan bahwa dalam mazhab Syafi’i, penyelenggaraan Jum’at lebih dari satu (ta’addud al-Jum’ah) diperbolehkan jika terdapat hajah.
Yang dimaksud hajah dalam pembahasan kali ini ialah: Sulit berkumpul (‘usr al-ijtima’) antara lain karena sempitnya masjid (dhaiq al-makan) atau adanya permusuhan (‘adawah), atau jauhnya pinggir-pinggir negeri (athraf al-balad).

Diantara referensi yang digunakan pada waktu itu adalah:

1. Shulh al-Jama’atain bi Jawaz Ta’addud al-Jum’atainkarya Ahmad Khatib al-Minangkabawi

 إِذَا عَرَفْتَ أَنَّ أَصْلَ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ عَدَمُ جَوَازِ تَعَدُّدِ الْجُمْعَةِ فِيْ بَلَدٍ وَاحِدٍ وَأَنَّ جَوَازَ تَعَدُّدِهِ أَخَذَهُ اْلأَصْحَابُ مِنْ سُكُوْتِ الشَّافِعِيِّ عَلَى تَعَدُّدِ الْجُمْعَةِ فِيْ بَغْدَادَ وَحَمَّلُوْا الْجَوَازَ عَلَى مَا إِذَا حَصَلَتِ الْمَشَقَّةُ فِي الاجْتِمَاعِ كَالْمَشَقَّةِ الَّتِيْ حَصَلَتْ بِبَغْدَادَ وَلَمْ يُضْبِطُوْهَا بِضَابِطٍ لَمْ يَخْتَلِفْ فَجَاءَ الْعُلَمَاءُ وَمَنْ بَعْدَهُمْ وَضَبَطَهَا كُلُّ عَالِمٍ مِنْهُمْ بِمَا ظَهَرَ لَهُ

 وَبَنَى الشَّعْرَانِيُّ أَنَّ مَنْعَ التَّعَدُّدَ لِأَجْلِ خَوْفِ الْفِتْنَةِ وَقَدْ زَالَ. فَبَقِيَ جَوَازُ التَّعَدُّدِ عَلَى اْلأَصْلِ فِيْ إِقَامَةِ الْجُمْعَةِ وَقَالَ أَنَّ هَذَا هُوَ مُرَادُ الشَّارِعِ وَاسْتَدَلَّ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ لَوْ كَانَ التَّعَدُّدُ مَنْهِيًّا بِذَاتِهِ لَوَرَدَ فِيْهِ حَدِيْثٌ وَلَوْ وَاحِدًا وَالْحَالُ أَنَّهُ لَمْ يَرِدْ فِيْهِ شَيْءٌ فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ سُكُوْتَ النَّبِيِّ كَانَ لِأَجْلِ التَّوْسِعَةِ عَلَى أُمَّتِهِ

Artinya: “Jika Anda tahu, bahwa dasar mazhab Syafi’i tidak memperbolehkan shalat Jum’at lebih dari satu di satu daerah. Namun kebolehannya telah diambil oleh para Ashhab dari diamnya Imam Syafi’i atas Jum’atan lebih dari satu di kota Baghdad, dan para Ashhab memahami kebolehannya pada situasi para jamaah sulit berkumpul, seperti kesulitan yang terjadi di Baghdad, mereka pun tidak memberi ketentuan kesulitan itu yang tidak (pula) diperselisihkan, lalu muncul para ulama dan generasi sesudahnya, dan setiap ulama menentukan kesulitan tersebut sesuai dengan pemahaman mereka.

As-Sya’rani menyatakan bahwa pencegahan jum’atan lebih dari satu adalah karena kekhawatiran tertentu dan hal itu sudah hilang. Kebolehan Jum’atan lebih dari satu itu juga berdasarkan hukum asal tentang pelaksanaan shalat Jum’at. Beliau berkata: “Inilah maksud (Nabi Saw.) pembawa syari’ah.” Beliau berargumen, bahwa bila pendirian shalat Jum’at lebih dari satu itu dilarang secara dzatnya, niscaya akan terdapat hadits yang menerangkannya, meskipun hanya satu. Sementara tidak ada satupun hadits yang menyatakan begitu. Maka hal itu menunjukkan bahwa diamnya Nabi Saw. Itu bertujuan memberi kelonggaran kepada umatnya.”

2. Bughyah al-Mustarsyidin karya Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi

 وَالْحَاصِلُ مِنْ كَلَامِ الْأَئِمَّةِ أَنَّ أَسْبَابَ جَوَازِ تَعَدُّدِهَا ثَلَاثَةٌ ضَيِّقُ مَحَلِّ الصَّلَاةِ بِحَيْثُ لَا يَسَعُ اْلُمجْتَمِعِينَ لَهَا غَالِبًا وَالْقِتَالُ بَيْنَ الْفِئَتَيْنِ بِشَرْطِهِ وَبُعْدُ أَطْرَافِ الْبَلَدِ بِأَنْ كَانَ بِمَحَلٍّ لَا يُسْمَعُ مِنْهُ النِّدَاءِ أَوْ بِمَحَلٍّ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ بَعْدَ الْفَجْرِ لَمْ يُدْرِكْهَا إِذْ لَا يَلْزَمُهُ السَّعْيُ إِلَيْهَا إِلَّا بَعْدَ الْفَجْرِ

Artinya; “Dan kesimpulan pendapat para imam adalah boleh mendirikan Jum’atan lebih dari satu tempat karena tiga sebab. (i) Tempat shalat Jum’at yang sempit, yakni tidak cukup menampung para jama’ah Jum’at secara umum. (ii) Pertikaian antara dua kelompok masyarakat dengan syaratnya. (iii) Jauhnya ujung desa, yaitu bila seseorang berada di satu tempat (ujung desa) tidak bisa mendengar adzan, atau di tempat yang bila ia pergi dari situ setelah waktu fajar ia tidak akan menemui shalat Jum’at, sebab ia tidak wajib pergi jum’atan melainkan setelah fajar.”

Poin permasalahan penyelenggaraan Jumat di sekolah adalah sebagai berikut:

Posisi sekolah yang berada disuatu wilayah desa yang sudah ada masjidnya
Keberadaan sekolah yang berada disuatu wilayah desa yang sudah ada masjid yang menyelenggarakan shalat Jumat, menimbulkan taadud al Jumat (banyaknya penyelenggaraan Jumat) dalam satu wilayah.

Hasil penelitian para ahli sejarah menunjukkan bahwa sepanjang masa kenabian Rasulullah SAWdan kepemimpinan Khulafa' al Rasyidin, pelaksanaan ibadah Jumat tidak pernah dilaksanakan kecuali di dalam Masjid Jami (satu lokasi). Dalam perjalanan kepemimpinan mereka, tidak pernah ada statement atau perilakuk yang menyalahkan atau menyetujui gagasan Jumat lebih dari satu dalam sebuah kawasan (desa atau dusun). Dari sinilah kemudian muncul pemahaman berbeda; apakah hal ini merupakan ajaran fi'li (praktek) yang bersifat dogmatis dan harus diadopsi secara total ataukah cukup dipahami makna yang tersirat dimana saat itu keadaannya sangat kondusif).

Mayoritas ulama Syafii berpendapat bahwa hal ini bersifat dogmatis, sehingga dalam satu desa seharusnya hanya ada satu Jumat, kecuali ada alasan tertentu yang dapat diterima syariat. Alasan utama yang biasanya digunakan sebagai dasar pembolehan pendirian Jumat lebih dari satu dalam sebuah wilayah adalah mashaqqah (tingkat kesulitan tertentu). Seperti terjadinya konflik yang menimbulkan usr al ijtima' (sulitnya dikumpulkan) atau factor kesulitan yang terdapat dalam jauhnya jarak tempuh menuju masjid. Meski keduanya memiliki tingkat kesulitan yang berbeda, tetapi masih layak untuk dijadikan alasan bolehnya taadud al Jumat karena keduanya masih termasuk dalam tataran mashaqqah la tuhtamal ‘adatan (tingkat kesulitan diluar batas kemampuan). Sulitnya memperluas masjid karena lahan masjid berada diperkampungan yang padat, atau semakin banyaknya jumlah penduduk, juga disebut sebagai salah satu factor pembolehan terjadinya taadudul Jumat.

Yang menjadi permasalahan kemudian, apakah orientasi “mendidik” sebagaimana seringkali menjadi alasan penyelenggaraan shalat Jumat di sekolah itu juga termasuk unsur mashaqqah yang memperbolehkan taadud al Jumat? Mengawali pembahasan ini, ada baiknya kita menyimak nash Hamish Sharh Sulam Taufiq halaman 25-26 berikut ini:

وَمَنْ إِنْتَقَضَ وُضُوؤُهُ حَرُمَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالطَّوَافُ وَحَمْلُ المُصْحَفِ وَمَسُّهُ إِلاَّ لِلصَّبِى لِلدِّرَاسَةِ...
Orang yang batal wudlunya maka haram atasnya menjalankan shalat, thawaf, membawa al Quran/mushaf dan menyentuhnya kecuali bagi anak kecil untuk belajar.
Rasulullah pernah menulis surat kepada masyarakat Yaman yang di dalamnya terdapat pernyataan:

لاَيَمَسُّ القُرْآنَ إِلاَّطَاهِرٌ 
Tidak diperkenankan menyentuh al Quran kecuali orang yang dalam keadaan suci.
Hadits ini menguatkan ayat al Quran dalam surat al Waqiah yang menyatakan:

لاَيَمَسُّهُ إِلاَّ المُطَهَّرُونَ. 
Ketentuan hukum tentang larangan menyentuh al Quran bagi orang yang tidak suci sangatlah jelas. Namun Imam Abdullah Ibn Husein dalam Hamish Sharh Sulam Taufiq menyatakan bahwa larangan itu dikecualikan untuk belajar. Dari sini dapat kita pahami bahwa pendidikan atau pembelajaran dapat menjadi illat/alasan hukum untuk melanggar ketentuan yang semestinya. Hanya saja kita tidak bisa tergesa-gesa menyimpulkan bahwa masalah Jumat ini bisa dijalankan dengan menggunakan analogi hukum/qiyas masalah menyentuh al Quran.

Untuk dapat menganalogi hukum, beberapa variable atau illat dari hukum asal dan masalah yang dicarikan keputusan hukum harus sama. Beberapa variable diantara dua masalah tersebut diantaranya adalah:

Variable dari hukum asal
Larangan menyentuh mushaf bagi yang tidak memiliki wudlu
Memegang/menyentuh mushaf bukan kewajiban yang harus dijalankan dalam tempo waktu cepat. Islam menekankan keharusan mampu membaca al Quran tanpa ada batasan waktu.‎
Pembolehan melanggar larangan menyentuh bagi anak kecil yang belajar.
Variabel dari masalah penyelenggaraan Jumat di sekolah
Larangan menyelenggarakan Jumat lebih dari satu dalam satu desa.
Shalat Jumat merupakan kewajiban yang harus segera ditunaikan.
Shalat Jumat hukumnya wajib bagi laki-laki yang sudah dewasa.
Dari beberapa variable yang sudah diurai diatas, maka kita dapat melihat apakah kita bisa menganalogkan pembolehan menyentuh al quran bagi anak kecil untuk belajar dengan pembolehan penyelenggaraan shalat Jumat disekolah untuk pembelajaran. Bila kita mencoba menggabungkan variable-variabel diatas; belajar al Quran merupakan kewajiban yang dapat dilakukan tertunda. Sedang shalat Jumat adalah kewajiban yang harus segera ditunaikan bagi lelaki yang sudah baligh.

Untuk menganalogkan kedua masalah ini, ada ketidak sesuaian dari variable yang ada, yaitu pembolehan melanggar pada masalah menyentuh mushaf hanya untuk anak kecil yang belajar. Kewajiban dapat membaca al Quran dengan baik bukan kewajiban yang harus segera ditunaikan artinya dapat berjalan pelan-pelan. Sementara itu, shalat Jumat merupakan kewajiban yang harus segera ditunaikan. Bagi mereka yang dewasa, shalat Jumat bukan lagi pada stadium belajar tetapi sudah pada tataran diwajibkan.

Melihat hubungan antar illat/variable yang tidak sesuai, maka alasan pembelajaran dalam masalah penyelenggaraan shalat Jumat di sekolah tidak dapat dibenarkan. Terlebih pembelajaran dapat dijalankan bahkan langsung bisa dijalankan di masjid. Bahkan nilai lebih pembelajaran di masjid adalah siswa dapat belajar berinteraksi dengan masyarakat.

Keharusan Jumat dilaksanakan dan dihadiri oleh minimal 40 orang penduduk tetap.
Hampir seluruh kitab fiqh menjelaskan bahwa syarat minimal mendirikan Jumat adalah harus dihadiri oleh minimal 40 orang penduduk desa/dusun. Yang dimaksud penduduk ini, bukan orang yang kost atau menetap sementara didesa itu, atau orang diluar desa yang masuk pada desa itu.

Dalil-dalil yang memperkuat hujjah ini adalah :

Hadits Nabi Muhammad SAW

أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ فِى المَدِيْنَهِ وَلَمْ يَنْتَقِلْ أَنَّهُ جَمَعَ بِأَقَلٍّ مِنْ أَرْبَعِيْنَ
Sesungguhnya Rasulullah SAW, berjamaah (jumat) di Madinah dan tidak pernah diriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah berjamaah (jumat) kurang dari 40 orang.
Keterangan sahabat Jabir RA

مَضَتْ السَّنَةٌ أَنَّ فِى كُلِّ أَرْبَعِيْنَ فَمَا فَوقَهَا جُمْعَةً
Telah lewat beberapa tahun, bahwa Jumat didirikan oleh 40 orang atau lebih.
Keterangan sahabat Ka'ab Ibn Malik

أَوَّلُ مَنْ صَلَّى بِنَا الجُمْعَةٌ فِى بَقِيْع الخَصْمَاتِ أَسْعَدْ بِنْ زَرَارَةَ وَكُنَّا أَرْبَعِيْنَ.
Orang pertama yang shalat Jumat denganku di Baqi' al khasman adalah As'ad Ibn Zararah dan kami bersama 40 orang.HR. Ibn Hibban dan Baihaqi
Kifayatul Akhyar Juz 1 halaman 148 menjelaskan 40 orang yang dapat menjadi pendukung keabsahan pendirian shalat Jumat :

وَاعْلَمْ أَنَّ شَرْطَ الأَرْبَعِيْنَ الذُّكُورَةُ وَ التَّكْلِيْفُ وَالحُرِّيَّةُ وَالإِقَامَةُ عَلَى سَبِيْلِ التَّوَطُّنِ لاَيَظْعَنُونَ شِتَاءً وَلاَصَيْفًا إِلاَّ لِحَاجَةٍ فَلاَيَنْعَقِدُ بِالإِنَاثِ وَلاَ بِالصِّبْيَانِ وَلاَبِالعَبِيْدِ وَلاَ بِالمُسَافِرِيْنَ وَلاَ بِالمُسْتَوطِنِيْنَ شِتَاءً دُونَ صَيْفِ وَعَكْسُهُ.
Ketahuilah! Adapun syarat 40 orang itu, haruslah laki-laki, sudah mukallaf/baligh, merdeka (bukan budak) bermukim dalam arti menetap, tidak berpindah pada musim dingin atau panas kecuali untuk hajat. Maka tidaklah sah shalat Jumat dengan (melengkapi jumlah 40) bersama perempuan, anak kecil, hamba sahaya, orang yang bepergian (kedaerah diselenggarakannya Jumat), juga tidak dapat (dilengkapi oleh) penduduk musiman yang berpindah pada musim tertentu…
Dari keterangan ini maka jelaslah bahwa setiap pendirian Jumat harus dihadiri oleh penduduk setempat minimal 40 orang. Pendirian Jumat yang didirikan oleh 40 orang yang berasal dari berbagai wilayah dan bukan dari wilayah dimana Jumat diselenggarakan maka Jumatnya tidak sah, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam Kifayatul Akhyar juz 2 halaman 148 :

إِذَا تَقَارَبَ قَرْيَتَانِ فِى كُلٍّ مِنْهُمَا دُوْنَ أرْبَعِيْنَ بِصِفَةِ الكَمَالِ وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَبَلَغَوا أَرْبَعِيْنَ لَمْ يَنْعَقِدُ بِهَمْ الجُمْعَةُ وَإِنْ سَمِعَتْ كُلُّ قَرْيَةٍ نِدَاءَ الأُخْرَى لأَنَّ الأَرْبَعِيْنَ غَيْرُ مُقِيْمِيْنَ فىِ مَوضِعِ الجُمْعَةِ واللهُ أَعْلَمْ.
Ketika berdekatan dua buah desa, tiap-tiap dari dua desa itu tidak ada 40 orang dengan sifat yang sempurna (yang memenuhi syarat pelengkap Jumat), seandainya mereka berkumpul, kemudian mencapai 40 orang, maka Jumat yang mereka dirikan tetap tidak sah! Meskipun tiap-tiap dari penduduk desa itu mendengar panggilan dari yang lain. Karena 40 itu dilengkapi oleh orang yang tidak bermukim dan menetap dari desa dimana Jumat itu didirikan.
Dari beberapa paparan diatas, maka Jumat yang didirikan di sekolahan (SMP atau SMA) yang tidak melibatkan penduduk setempat sebanyak 40 orang dan jarak tempuh dengan masjid lain yang mendirikan Jumat kurang dari 1.6 km, maka Jumatnya tidak sah. Untuk jarak kurang dari 1.6 km dapat pula menjadi sah bila ada kesulitan mengumpulkan dalam satu masjid sebagaimana penjelasan diatas. Shalat Jumat dengan alasan untuk mendidik dapat dibenarkan bila Jumat tersebut didirikan dilingkup Sekolah Dasar atau sebagian siswa SMP yang belum baligh, karena Jumat bagi mereka belum merupakan kewajiban. Sementara untuk sebagian siswa SMP yang sudah baligh dan siswa SMA maka tidak lagi dapat menggunakan alasan mendidik karena mereka sudah memiliki kewajiban, dan tidak pada porsi belajar lagi.‎

Kedekatan Dengan Ulama

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ

“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu ‘anhu), Para ulama semakin langka, dan semakin banyaknya orang bodoh yang berambisi untuk menjadi ulama.

Di samping sebagai perantara antara diri-Nya dengan hamba-hamba-Nya, dengan rahmat dan pertolongan-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjadikan para ulama sebagai pewaris perbendaharaan ilmu agama. Sehingga, ilmu syariat terus terpelihara kemurniannya sebagaimana awalnya. Oleh karena itu, kematian salah seorang dari mereka mengakibatkan terbukanya fitnah besar bagi muslimin.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash, katanya: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِباَدِ، وَلَكِنْ بِقَبْضِ الْعُلَماَءِ. حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عاَلِماً اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً فَسُأِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: Asy-Sya’bi berkata: “Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ilmu menjadi satu bentuk kejahilan dan kejahilan itu merupakan suatu ilmu. Ini semua termasuk dari terbaliknya gambaran kebenaran (kenyataan) di akhir zaman dan terbaliknya semua urusan.”

Di dalam Shahih Al-Hakim diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr secara marfu’ (riwayatnya sampai kepada Rasulullah): “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah direndahkannya para ulama dan diangkatnya orang jahat.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 60)

Dari sini kita ketahui bahwa para ulama itu adalah orang-orang pilihan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ثُمَّ أَوْرَثْناَ الْكِتاَبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْناَ مِنْ عِباَدِناَ

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba kami.” (Fathir: 32)

Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Kemudian Kami menjadikan orang-orang yang menegakkan (mengamalkan) Al-Kitab (Al-Quran) yang agung sebagai pembenar terhadap kitab-kitab yang terdahulu yaitu orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, mereka adalah dari umat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/577)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Ayat ini sebagai syahid (penguat) terhadap hadits yang berbunyi Al-’Ulama waratsatil anbiya (ulama adalah pewaris para nabi).” (Fathul Bari, 1/83)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: Maknanya adalah: “Kami telah mewariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari hamba-hamba Kami yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an). Dan Kami telah tentukan dengan cara mewariskan kitab ini kepada para ulama dari umat engkau wahai Muhammad yang telah Kami turunkan kepadamu… dan tidak ada keraguan bahwa ulama umat ini adalah para shahabat dan orang-orang setelah mereka. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan mereka atas seluruh hamba dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka sebagai umat di tengah-tengah agar mereka menjadi saksi atas sekalian manusia, mereka mendapat kemuliaan demikian karena mereka umat nabi yang terbaik dan sayyid bani Adam.” (Fathul Qadir, hal. 1418)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Hadits ini diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi di dalam Sunan beliau no. 2681, Ahmad di dalam Musnad-nya (5/169), Ad-Darimi di dalam Sunan-nya (1/98), Abu Dawud no. 3641, Ibnu Majah di dalam Muqaddimahnya dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: “Haditsnya shahih.” Lihat kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 3096, Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2159, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 182, dan Shahih At-Targhib, 1/33/68)

Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali mengatakan: “Kebijaksanaan Allah atas makhluk-Nya dan kekuasaan-Nya yang mutlak atas mereka. Maka barang siapa yang mendapat hidayah maka itu wujud fadhilah (keutamaan) dari Allah dan bentuk rahmat-Nya. Barangsiapa yang menjadi tersesat, maka itu dengan keadilan Allah dan hikmah-Nya atas orang tersebut. Sungguh para pengikut nabi dan rasul menyeru pula sebagaimana seruan mereka. Mereka itulah para ulama dan orang-orang yang beramal shalih pada setiap zaman dan tempat, sebab mereka adalah pewaris ilmu para nabi dan orang-orang yang berpegang dengan sunnah-sunnah mereka. Sungguh Allah telah menegakkan hujjah melalui mereka atas setiap umat dan suatu kaum dan Allah merahmati dengan mereka suatu kaum dan umat. Mereka pantas mendapatkan pujian yang baik dari generasi yang datang sesudah mereka dan ucapan-ucapan yang penuh dengan kejujuran dan doa-doa yang barakah atas perjuangan dan pengorbanan mereka. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya atas mereka dan semoga mereka mendapatkan balasan yang lebih dan derajat yang tinggi.” (Al-Manhaj Al-Qawim fi At-Taassi bi Ar-Rasul Al-Karim hal. 15)

‎Dan mengenai berkumpul bersama para ulama atau hukama, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)

Yakni duduklah kamu bersama orang-orang yang mengingat Allah seraya mengagungkan, memuji, menyucikan, dan membesarkan-Nya serta me­mohon kepada-Nya di setiap pagi dan petang hari dari kalangan hamba-hamba-Nya, baik mereka itu orang-orang fakir ataupun orang-orang kaya, orang-orang kuat ataupun orang-orang lemah.

Menurut suatu pendapat, ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang terhormat dari kalangan kabilah Quraisy saat mereka meminta Nabi Saw. agar duduk bersama mereka secara terpisah dan mereka meminta agar mereka tidak dikumpulkan bersama orang-orang yang lemah dari kalangan sahabat-sahabatnya, seperti sahabat Bilal, sahabat Ammar, sahabat Suhaib, sahabat Khabbab, dan sahabat Ibnu Mas'ud. Maka masing-masing dari kedua kelompok itu dikumpulkan secara terpisah, lalu Allah Swt.melarang Nabi Saw. melakukan hal tersebut. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

{وَلا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ} الْآيَةَ

Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari.(Al-An'am: 52), hingga akhir ayat.

Kemudian Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi-Nya agar tetap berta­han duduk bersama mereka. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari. (Al-Kahfi: 28), hingga akhir ayat.

وَقَالَ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَسَدِيُّ، عَنْ إِسْرَائِيلَ، عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ شُرَيْح، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ سَعْدٍ -هُوَ ابْنُ أَبِي وَقَاصٍّ-قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ نَفَرٍ، فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اطْرُدْ هَؤُلَاءِ لَا يَجْتَرِئُونَ عَلَيْنَا!. قَالَ: وَكُنْتُ أَنَا وَابْنُ مَسْعُودٍ، وَرَجُلٌ مِنْ هُذَيْلٍ، وَبِلَالٌ وَرَجُلَانِ نَسِيتُ اسْمَيْهِمَا فَوَقَعَ فِي نَفْسِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقَعَ، فَحَدَّثَ نَفْسَهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: {وَلا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ}

Imam Muslim mengatakan di dalam kitab sahihnya, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Asadi, dari Israil, dari Al-Miqdam ibnu Syuraih, dari ayahnya, dari Sa'd ibnu Abu Waqas yang menceritakan, "Kami berenam selalu bersama-sama Nabi Saw. Kemudian orang-orang musyrik mengatakan (kepada Nabi Saw.), 'Usirlah mereka, agar mereka tidak berbuat kurang ajar kepada kami'." Sa'd ibnu Abu Waqas mengata­kan bahwa keenam orang itu adalah dia sendiri, Ibnu Mas'ud, seorang lelaki dari kalangan Bani Huzail, Bilal, dan dua orang lelaki lainnya yang ia lupa namanya. Maka setelah mendapat sambutan mereka yang demikian itu, Ra­sulullah Saw. berfikir sejenak mempertimbangkannya. Kemudian Allah Swt. menurunkan firman-Nya: dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedangkan mereka menghendaki keridaan-Nya. (Al-An'am: 52)
Hadis ini diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Muslim tanpa Imam Bukhari.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي التَّيَّاح قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا الْجَعْدِ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَاصٍّ يَقُصُّ، فَأَمْسَكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قُص، فَلِأَنْ أَقْعُدَ غُدْوَةً إِلَى أَنْ تُشْرِقَ الشَّمْسُ، أَحَبُّ إليَّ مِنْ أَنْ أُعْتِقَ أَرْبَعَ رِقَابٍ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muham­mad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abut Tayyah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abul Ja'd menceri­takan hadis berikut dari Abu Umamah: Rasulullah Saw. keluar untuk mendengarkan seorang juru dongeng, lalu tukang dongeng itu menghentikan dongengannya (ketika melihat Rasul Saw. datang), maka Rasulullah Saw. bersabda: Lanjutkanlah kisahmu, sesungguhnya aku duduk di suatu pagi hingga matahari terbit(untuk mendengarkan dongeng ini) lebih aku sukai daripada memerdekakan empat orang budak.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا هَاشِمٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَيْسَرة قَالَ: سَمِعْتُ كُرْدُوس بْنَ قَيْسٍ -وَكَانَ قَاصَّ الْعَامَّةِ بِالْكُوفَةِ-يَقُولُ: أَخْبَرَنِي رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابٍ بَدْرٍ: أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لِأَنْ أَقْعُدَ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَجْلِسِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَ رِقَابٍ". قَالَ شُعْبَةُ: فَقُلْتُ: أَيُّ مَجْلِسٍ؟ قَالَ: كَانَ قَاصًّا

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abdul Malik, ibnu Maisarah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Kardus ibnu Qais (seorang tukang dongeng di Kufah) mengatakan bahwa telah menceritakan kepa­daku seorang lelaki dari kalangan ahli Badar; ia pernah mendengar Ra­sulullah Saw. bersabda:Sungguh aku duduk dalam keadaan seperti majelis ini lebih aku sukai daripada memerdekakan empat orang budak. Syu'bah mengatakan, lalu aku bertanya "Majelis yang mana?" Abu Um-mah menjawab, "Majelis tukang dongeng."

Abu Daud Ath-Thayalisi dalam Musnadnya mengatakan:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبَانٍ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَأَنْ أُجَالِسَ قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ مِنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ إِلَى طُلُوعِ الشَّمْسِ، أحَبّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ، وَلَأَنْ أَذْكُرَ اللَّهَ مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أعتق ثَمَانِيَةً مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ دِيَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمُ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا". فَحَسِبْنَا دِيَّاتِهِمْ وَنَحْنُ فِي مَجْلِسِ أَنَسٍ، فَبَلَغَتْ سِتَّةً وَتِسْعِينَ أَلْفًا، وَهَاهُنَا مَنْ يَقُولُ: "أَرْبَعَةٌ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ" وَاللَّهِ مَا قَالَ إِلَّا ثَمَانِيَةً، دِيَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمُ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا

Telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Aban, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sungguh aku duduk bersama-sama dengan suatu kaum yang sedang berzikir mengingat Allah setelah usai dari salat Subuh sampai matahari terbit lebih aku sukai daripada segala sesuatu yang matahari terbit menyinarinya. Dan sungguh aku berzikir mengingat Allah sesudah salat Asar hingga matahari tenggelam lebih aku sukai daripada memerdekakan delapan orang budak dari kalangan keturunan Nabi Ismail yang diat tiap-tiap orang dari mereka adalah dua belas ribu. Maka kami menghitung-hitung jumlahdiat mereka seluruhnya, saat itu kami berada di majelis sahabat Anas; ternyata jumlah keseluruhannya adalah sembilan puluh enam ribu. Dan di tempat itu ada yang mengatakan empat orang dari keturunan Nabi Ismail. Demi Allah, dia tidak mengata­kan kecuali delapan orang yang diat masing-masingnya adalah dua belas ribu.

قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ الْأَهْوَازِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ الزُّبَيْرِيُّ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بن ثابت، عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْأَقْمَرِ، عَنِ الْأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ -وَهُوَ الْكُوفِيُّ-أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِرَجُلٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْكَهْفِ، فَلَمَّا رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَكَتَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "هَذَا الْمَجْلِسُ الَّذِي أُمِرْتُ أَنْ أُصَبِّرَ نَفْسِي مَعَهُمْ".

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq Al-Ahwazi, telah menceritakan ke­pada kami Abu Ahmad Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Sabit, dari Ali ibnul Aqmar, dari Al-Agar Abu Muslim Al-Kufi, bahwa Rasulullah Saw. bersua dengan seorang lelaki yang sedang mem­baca surat Al-Kahfi. Ketika orang tersebut melihat Nabi Saw., ia meng­hentikan bacaannya. Maka Nabi Saw. bersabda: Majelis inilah yang aku diperintahkan agar tetap bersabar duduk bersama dengan mereka (orang-orang yang menghadiri­nya).

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Ahmad, dari Amr ibnu Sabit, dari Ali ibnul Aqmar, dari Al-Agar secara mursal.

وَحَدَّثْنَاهُ يَحْيَى بْنُ الْمُعَلَّى، عَنْ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّلْتِ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ ثَابِتٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْأَقْمَرِ، عَنِ الْأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ قَالَا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَجُلٌ يَقْرَأُ سُورَةَ الحِجْر أَوْ سُورَةَ الْكَهْفِ، فَسَكَتَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هَذَا الْمَجْلِسُ الَّذِي أُمِرْتُ أَنْ أُصَبِّرَ نَفْسِي مَعَهُمْ"

Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Ma'la, dari Mansur, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnus Silt, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Sabit, dari Ali ibnul Aqmar, dari Al-Agar Abu Muslim, dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id, keduanya telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. datang saat seseorang sedang membaca surat Al-Hajj atau surat Al-Kahfi, lalu si pembaca diam. Maka Rasulullah Saw. bersabda:Majelis inilah yang aku diperintahkan agar tetap bersabar duduk bersama dengan mereka (orang-orang yang menghadiri­nya).

وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ حَدَّثَنَا مَيْمُونٌ المَرئي، حَدَّثَنَا مَيْمُونُ بْنُ سِيَاه، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوا يُذْكُرُونَ اللَّهَ، لَا يُرِيدُونَ بِذَلِكَ إِلَّا وَجْهَهُ، إِلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: أَنْ قُومُوا مَغْفُورًا لَكُمْ، قَدْ بُدِّلت سيئاتُكُم حَسَنَاتٍ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Maimun Al-Mar-i, telah menceritakan kepada kami Maimun ibnu Sayah, dari Anas ibnu Malik r.a., dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Tidak sekali-kali suatu kaum berkumpul seraya mengingat Allah tanpa ada niat lain kecuali mengharapkan keridaah-Nya, mela­inkan mereka diseru oleh juru penyeru dari langit seraya mengatakan, "Bangkitlah kalian dalam keadaan diberikan ampunan bagi kalian, semua keburukan kalian telah diganti dengan kebaikan-kebaikan.”
Hadis ini diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Ahmad. ,

قَالَ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ الْحَسَنِ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنيف قَالَ: نَزَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ فِي بَعْضِ أَبْيَاتِهِ: {وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ} فَخَرَجَ يَلْتَمِسُهُمْ، فَوَجَدَ قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَعَالَى، مِنْهُمْ ثَائِرُ الرَّأْسِ، وَجَافِي الْجِلْدِ وَذُو الثَّوْبِ الْوَاحِدِ، فَلَمَّا رَآهُمْ جَلَسَ مَعَهُمْ وَقَالَ: "الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَعَلَ فِي أُمَّتِي مَنْ أَمَرَنِي اللَّهُ أَنَّ أُصَبِّرَ نَفْسِي مَعَهُمْ"

Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Usamah ibnu Zaid, dari Abu Hazm, dari Abdur Rahman ibnu Sahl ibnu Hanif yang mengatakan bahwa diturunkan kepada Rasulullah Saw. ayat berikut saat beliau berada di ru­mahnya, yaitu firman-Nya: Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhan-Nya di pagi dan senja hari. (Al-Kahfi: 28), hingga akhir ayat. Maka Nabi Saw. keluar dari rumahnya mencari mereka, dan beliau menjumpai suatu kaum yang sedang berzikir mengingat Allah Swt.; di antara mereka terdapat orang-orang yang berpenampilan lusuh dengan rambut yang acak-acakan, berkulit kasar lagi hanya mempunyai selapis pakaian (yakni orang-orang miskin). Setelah melihat mereka, maka beliau duduk bersama-sama mereka dan bersabda: Segala puji bagi Allah Yang telah menjadikan di kalangan umatku orang-orang yang aku diperintahkan agar bersabar duduk bersama mereka.

Abdur Rahman yang disebutkan dalam sanad hadis ini dikatakan oleh Abu Bakar ibnu Abu Daud sebagai seorang sahabat, sedangkan ayahnya termasuk salah seorang sahabat yang terkemuka.

Firman Allah Swt.:

{وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا}

dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. (Al-Kahfi: 28)

Ibnu Abbas mengatakan bahwa janganlah kamu melewati mereka de­ngan memilih selain mereka, yakni menggantikan mereka dengan orang­-orang yang berkedudukan dan yang berharta.

{وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا}

dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami. (Al-Kahfi: 28)

Yakni orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan dunia, melupakan agama dan menyembah Tuhannya.

وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

dan adalah keadaannya itu melewati batas. (Al-Kahfi: 28)

Maksudnya, semua amal dan perbuatannya hura-hura, berlebih-lebihan, dan sia-sia. Janganlah kamu mengikuti kemauan mereka, jangan menyu­kai cara mereka, jangan pula kamu menginginkannya. Makna ayat sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{وَلا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى}

Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepa­da kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.(Thaha: 131)

Saat kita mendekat dengan para alim ulama baik di dalam mejelis ta’lim maupun media lainnya otomatis kita akan selalu mendapat siraman rohani dari para ulama berupa ilmu pengetahuan yang sangat kita butuhkan sebagai cahaya pelita yang akan menuntun kehidupan kita ke arah yang benar serta membawa kebahagiaan dunia akhirat.

Sedangkan dengan senantiasa mendengarkan wejangan para ahli hikmah (orang-orang sholeh) maka hati kita akan selalu hidup, sebab Allah menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah seperti beliau menghidupkan bumi yang gersang dengan tetes Air hujan.
Nabi bersabda dalam hadist beliau :

سَيَأْتِيْ زَمَانٌ عَلَى أُمَّتِيْ يَفِرُّوْنَ مِنَ اْلعُلَمَاءِ وَاْلفُقَهَاءِ فَيَبْتَلِيْهِمُ الله ُبِثَلاَثِ بَلِيَاتٍ : أَوَّلُهَا يَرْفَعُ الله ُاْلبَرَكَةَ مِنْ كَسْبِهِمْ. وَالثَّانِيَةُ يُسَلِّطُ الله ُتَعَالَى عَلَيْهِمْ سُلْطَانًا ظَالِمًا. وَالثَّالِثَةُ يَخْرُجُوْنَ مِنَ الدُّنْيَا بِغَيْرِ إِيْمَانٍ

“akan datang suatu masa dimana umatku pada lari menjauh dari para ulama serta para ahli fiqih, karena itulah Allah memberi tiga bencana pada mereka
1.  Dihilangkan keberkahan dari hasil kerja mereka
2.  Diberikan kepada mereka seorang pemimpin (presiden) yang dzolim
3.  kelak mereka mati dengan tanpa membawa iman.”

Dari sabda nabi tersebut jika kita cocokkan dengan keadaan sekarang amat sangat singkron , kenapa demikian dengan semakin banyaknya umat acuh terhadap urusan agama terlebih mengakui keberadaan ulama’ dan ahli fiqih serta mengambil hikmah dari keduanya akhirnya mereka cenderung lari dan menjauh dari kehidupan yang menggunakan konsep syari’at dengan hanya mengandalkan logika semata padahal mereka tau bahwa semua lahir karena kehendak yang Kuasa .

Sementara itu kesadaran mereka akan bala’ yang telah ditimpakan kepada mereka juga tidak dirasa malah cenderung menyalahkan yang berkuasa dan lupa bahwa itu adalah hasil dari perbuatan mereka yang menjauh dari ajaran agama , dengan meniadakan fungsi Ulama’ dan Fuqoha’nya .

Dari pengertian hadist di atas jelaslah sudah posisi para Alim ulama dan para ahli hikmah (orang-orang sholeh) serta peran beliau beliau dalam perputaran roda kehidupan kita, sampai sampai Allah mengancam kaum yang menjauhi beliau beliau dengan tiga bencana yang sangat dahsyat hingga sampai pada mati tanpa membawa iman.
Setelah kita meninjau hadist di atas, masihkah kita berani menyungutkan hidung untuk menentang para alim ulama serta para ahli hikmah?!.

Hikmah Mencintai Ulama


Sayyidina Abubakar RadhiAllahu anhu selalu mengiringi Rasulullah Shallallahu alaihi wa alaa aalihi wasallam berjalan pulang bersama setelah menunaikan sholat isya berjamaah.. dan mereka berpisah ketika nabi masuk rumahnya.. Dan terkadang berpisah sejenak sangatlah terasa berat bagi Abubakar, beliau duduk didepan pintu rumah nabi hingga fajar tiba !!! Rasulullah keluar dari rumah untuk sholat subuh dan Abubakar berangkat bersama orang terkasihnya lagi, nabi bertanya, "kenapa sampai demikian duhai Abubakar?". Dan Abubakar menjawab , 
قرة عينى بك يا رسول الله
"qurratu 'ayni bika ya Rasulullah" 
(engkau adalah segala penghias dan pengobat rindu bagi mataku, wahai Rasulullah)
 
Bagi kita yang tak pernah tahu bagaimana rupa Rasulullah Shallallahu alaihi wa alaa aalihi wasallam cukuplah berkumpul dan menatap para auliya atau ulama, Imam Hasan Al Basri berkata:

سأل رجل الحسن البصري فقال يا إمام دلني على عمل يقربني الى الله ويدخلني الجنه . قال احب احد أولياءه عسى الله ان يتطلع إلى قلبه فيجد اسمك مكتوب فيه فيدخلك معه الجنه‎

Seseorang bertanya kepada Imam Hasan Al Basri "wahai Imam hasan katakan amalan apa yang bisa membuat aku dekat dengan Allah dan menyelamatkan diriku ditempat terbaik di yaumil akhir (jannah) dan imam Hasan menjawab "cintailah para auliya atau ulama (orang yang dekat dengan Allah) dan berharap ketika Allah menatap hati para kekasihnya itu dan disana tertulis namamu, dan itu akan membuat Allah membiarkan engkau bersama mereka di tempat terbaik Nya" In syaa Allah, Aamiin . 

Mencintai Ulama dan Anjuran Untuk Memuliakannya 

Kuncup cinta tak boleh layu. Deburan asmara mesti menggebu. Rasa cinta adalah fitrah. Cinta ulama mengais berkah. Penting bagi kita semua untuk menggali pembahasan tentang Mencintai Ulama dan Memuliakannya. Hal ini agar kita lebih mampu mendekatkan diri pada Sang Maha Kuasa melalui jalan ilmu. Jalannya orang-orang yang diridloi oleh Allah SWT. 

Siapa Ulama?
Ulama Pelita dalam Kegelapan
Waktu senantiasa mengikuti perjalanan umat manusia. Termasuk di dalamnya adalah umat Islam, yang kini telah sampai pada perjalanan yang demikian panjang. Hari demi hari, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun, jarak antara mereka dengan zaman risalah semakin jauh. Jarak antara mereka dengan zaman keemasan umat ini telah demikian panjang, sehingga kualitas mereka dengan kualitas umat yang hidup di masa keemasan itu pun demikian jauh berbeda. Sungguh, melihat keadaan umat ini sekarang, benar-benar membuat hati pilu dan dada sesak.

Kebodohan demikian merajalela, para ulama Rabbani semakin langka, dan semakin banyaknya orang bodoh yang berambisi untuk menjadi ulama. Keadaan ini merupakan peluang besar bagi pelaku kesesatan untuk menjerumuskan umat ke dalam kebinasaan.

Dulu, di saat ilmu agama menguasai peradaban manusia dan ulama terbaik umat memandu perjalanan hidup mereka, para pelaku kesesatan dan kebatilan seolah-olah tersembunyi di balik batu yang berada di puncak gunung dalam suasana malam yang gelap gulita. Namun ketika para penjahat agama tersebut melihat peluang, mereka pun dengan sigap memanfaatkan peluang tersebut, turun dari tempat “pertapaan” mereka dan menampilkan diri seakan-akan mereka adalah para “penasihat yang terpercaya.”

Sekarang adalah waktu yang tepat bagi mereka untuk mengobrak-abrik kekuatan dan keyakinan kaum muslimin. Mereka menggelar permainan cantik, saling mengoper kesesatan mereka. Kaum muslimin yang mayoritas kini berada dalam keterlenaan, menjadi mangsa yang empuk buat mereka. Satu demi satu sampai akhirnya menjadi banyak, gugur dalam amukan kesesatan tersebut. Para guru dengan merasa aman menggandeng tangan murid-muridnya menuju kegagalan hidup. Sementara orang tua dengan bangga melihat anaknya berjalan di tepi jurang menuju kehancuran dan kebinasaan.

Di masa-masa sekarang ini, gambaran kebenaran menjadi kejahatan yang harus dilabrak dan dihanguskan, sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi bid’ah yang harus di kubur dan dimumikan. Tauhid menjadi lambang kesyirikan yang harus ditumbangkan dengan segala cara. Situasi dan kondisi kini telah berubah. Para pengikut kebenaran menjadi asing di tengah-tengah kaum muslimin. Kebatilan menjadi Al-Haq dan Al-Haq menjadi batil, berikut terasingnya orang yang bertauhid dan mengikuti sunnah. Di sinilah letak ‘kehebatan’ para penyesat dalam mengubah kebenaran hakekat agama, sehingga kaum muslimin menjalankan agama ini bagaikan robot yang berjalan membawa anggota badannya.

Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya dan tidak akan membiarkan para pelaku dan penyebar kesesatan itu merusak agama dan menyesatkan mereka secara menyeluruh. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji di dalam Kitab-Nya dan di dalam Sunnah Rasul-Nya untuk menjaga agama-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْناَ الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لحَاَفِظُوْنَ

“Sesungguhnya Kami yang telah menurunkan Ad-Dzikri (Al-Qur’an) dan Kami pula yang menjagannya.” (Al-Hijr: 9)

يُرِيْدُوْنَ لِيُطْفِئُوا نُوْرَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللهُ مُتِمُّ نُوْرِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ

“Mereka berkeinginan memadamkan cahaya (Agama) Allah dan Allah tetap akan menyempurnakannya walaupun orang-orang kafir itu benci.” (Ash-Shaff: 8)

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ

“Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk Allah menangkan atas seluruh agama.” (Ash-Shaff: 9)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kepada Khabbab bin Art radhiallahu ‘anhu:

وَاللهِ لَيُتِمَّنَّ اللهُ هَذَا اْلأَمْرَ حَتَّى يَسِيْرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعاَءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لاَ يَخاَفُ إِلاَّ اللهَ وَالذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُوْنَ

“Demi Allah, Allah akan benar-benar menyempurnakan urusan-Nya (agama) sehingga orang yang berkendaraan dari Shan’a1 menuju Hadhramaut (Yaman) tidak takut melainkan hanya kepada Allah atau kepada serigala yang akan menerkam kambingnya, akan tetapi kalian tergesa-gesa.” (HR. Al-Bukhari)
Ulama adalah orang-orang yang berjuang di jalan Agama melalui ilmu. Mereka adalah orang-orang yang mewarisi Nabi dalam menjaga dan mensyiarkan ilmu agama. Mensyiarkan pengetahuan pada umat agar tetap berpegang pada kebenaran diatas Al-Qur’an dan As-Sunnah. 

Ulama berperan mendidik dan mengajarkan ilmu-ilmu kepada umat agar mereka berilmu dalam beramal. Sebab keimanan, ucapan, dan perbuatan apabila dilakukan tanpa disertai dengan ilmu maka semuanya malah bisa menjadi pedang yang menghunus, baik terhadap orang lain maupun diri sendiri. Pemahaman dalam urusan agama harus menjadi pendalaman yang mendarah daging. Apalagi ketika kita dihadapkan pada berbagai kewajiban yang menuntut kita untuk mengetahui ilmunya. 

Rosululloh Sholallohu Alaihi Wasallam Bersabda 
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ دَاوُدَ بْنِ شَابُورَ سَمِعَ شَهْرَ بْنَ حَوْشَبٍ يَقُولُ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ يَا بُنَيَّ لَا تَعَلَّمْ الْعِلْمَ لِتُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ تُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ وَتُرَائِيَ بِهِ فِي الْمَجَالِسِ وَلَا تَتْرُكْ الْعِلْمَ زَهَادَةً فِيهِ وَرَغْبَةً فِي الْجَهَالَةِ وَإِذَا رَأَيْتَ قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ فَاجْلِسْ مَعَهُمْ إِنْ تَكُنْ عَالِمًا يَنْفَعْكَ عِلْمُكَ وَإِنْ تَكُنْ جَاهِلًا عَلَّمُوكَ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِمْ بِرَحْمَتِهِ فَيُصِيبَكَ بِهَا مَعَهُمْ وَإِذَا رَأَيْتَ قَوْمًا لَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ فَلَا تَجْلِسْ مَعَهُمْ إِنْ تَكُنْ عَالِمًا لَمْ يَنْفَعْكَ عِلْمُكَ وَإِنْ تَكُنْ جَاهِلًا زَادُوكَ غَيًّا أَوْ عِيًّا وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِمْ بِسَخَطٍ فَيُصِيبَكَ بِهِ مَعَهُمْ

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ahmad telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Daud bin Syabur ia mendengar Syahr bin Hausyab berkata: ” Luqman berkata kepada anaknya: ‘Wahai anakku, janganlah kamu mempelajari ilmu untuk menandingi para ulama, atau untuk berbantah-bantahan dengan orang-orang bodoh atau untuk berbuat riya dalam majlis-majlis, dan janganlah kamu meninggalkan ilmu karena tidak selera terhadapnya(malas belajar) dan senang dalam kebodohan. Jika kamu melihat suatu kaum berdzikir kepada Allah, duduklah bersama mereka, sebab Jikalah engkau menjadi seorang alim, ilmumu akan memberi manfaat kepadamu dan jika kamu menjadi orang bodoh mereka akan mengajarimu, siapa tahu Allah membukakan rahmatNya untuk mereka sehingga kamu juga memperolehnya bersama mereka. Sebaliknya jika kamu melihat suatu kaum yang tidak berdzikir kepada Allah, janganlah duduk bersama mereka, karena jika kamu seorang alim, ilmumu tidak akan memberi manfaat, dan jika kamu seorang yang bodoh, mereka tidak menambah kepadamu kecuali kebodohan. Siapa tahu Allah menimpakan murka-Nya, sehingga murka-Nya juga menimpamu bersama mereka’ “. (HR. Ad Darimi No.383)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى الصَّنْعَانِيُّ حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ رَجَاءٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ جَمِيلٍ حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ ذُكِرَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلَانِ أَحَدُهُمَا عَابِدٌ وَالْآخَرُ عَالِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ صَحِيحٌ قَالَ سَمِعْت أَبَا عَمَّارٍ الْحُسَيْنَ بْنَ حُرَيْثٍ الْخُزَاعِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ الْفُضَيْلَ بْنَ عِيَاضٍ يَقُولُ عَالِمٌ عَامِلٌ مُعَلِّمٌ يُدْعَى كَبِيرًا فِي مَلَكُوتِ السَّمَوَاتِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul A’la Ash Shan’ani telah menceritakan kepada kami Salamah bin Raja` telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Jamil telah menceritakan kepada kami Al Qashim Abu Abdurrahman dari Abu Umamah Al Bahili ia berkata; “Dua orang disebutkan di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, salah seorang adalah ahli ibadah dan yang lain seorang yang berilmu, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Keutamaan seorang alim dari seorang abid seperti keutamaanku dari orang yang paling rendah di antara kalian, ” kemudian beliau melanjutkan sabdanya: “Sesungguhnya Allah, MalaikatNya serta penduduk langit dan bumi bahkan semut yang ada di dalam sarangnya sampai ikan paus, mereka akan mendoakan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” Abu Isa berkata; Hadits ini hasan gharib shahih. Perawi berkata; “Aku mendengar Abu ‘Ammar Al Husain bin Huraits Al Khuza’I berkata; Aku mendengar Al Fudlail bin Iyadl berkata; “Seorang alim yang mengamalkan ilmunya dan mengajarkan ilmunya akan dipanggil besar oleh para Malaikat yang ada di langit.” (HR. At tirmidzi No.2609)

Mengapa Harus Mencintai dan Memuliakan Ulama?
Allah SWT Berfirman: 
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِماً بِالْقِسْطِ‎

“Allah menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. (juga menyatakan yang demikian itu) para Malaikat dan orang-orang yang berilmu..” (QS.  Ali-Imran: 18). 
Dalam ayat diatas, Allah SWT memulai dengan menyebut nama-Nya Yang Agung. Setelah itu dilanjutkan dengan menyebut malaikat lantas kemudian pada para ahli ilmu. Hal ini menunjukan kemuliaan dan keutamaan para ahli ilmu disisi Allah SWT. Oleh sebab itu tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mencintai para ulama sebagai bagian dari ahli ilmu. 
Rasulullah SAW bersabda:
وقال صلى الله عليه وسلم: أكرموا العلماء فإنهم عند الله كرماء مكرمون

“Handaknya kamu semua memuliakan ulama’, karena mereka itu orang-orang yang mulia menurut Allah dan dimulyakan.” (Kitab Lubabul Hadits) 
وقال صلى الله عليه وسلم: فَضْلُ العَالِمِ عَلىَ العَابِدِ كَفَضْلِ القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ عَلىَ سَائِرِ الكَوَاكِبِ

Nabi SAW bersabda: “Keutamaan seorang alim atas ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan di malam purnama atas seluruh bintang-bintang.” (Kitab Lubabul Hadits) 
فَضْلُ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أُمَّتِي :وفي رواية للحارث بن أبي أسامة عن أبي سعيد الخدري عنه صلى الله عليه وسلم

Dalam satu riwayat Al Harits bin Abu Usanah dari Sa’id Al Khudri ra. dari Nabi SAW bersabda : “Keutamaan seorang alim atas ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas umatku.” (Kitab Tanqihul Qaul) 
وقال صلى الله عليه وسلم: من نظر إلى وجه العالم نظرة ففرح بها خلق الله تعالى من تلك النظرة ملكا يستغفر له إلى يوم القيامة

Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa memandang wajah orang alim dengan satu pandangan lalu ia merasa senang dengannya, maka Allah Ta’ala menciptakan malaikat dari pandangan itu dan memohonkan ampun kepadanya sampai hari kiamat.” (Kitab Lubabul Hadits) 
وقال النبي صلى الله عليه وسلم: من أكرم عالما فقد أكرمني، ومن أكرمني فقد أكرم الله، ومن أكرم الله فمأواه الجنة

Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa memuliakan orang alim maka ia memuliakan aku, barangsiapa memuliakan aku maka ia memuliakan Allah, dan barangsiapa memuliakan Allah maka tempat kembalinya adalah surga.” (Kitab Lubabul Hadits)
رواه الخطيب البغدادي عن جابر  .أكْرِمُوا العُلَمَاءَ فإنَّهُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، فَمَنْ أكرَمَهُمْ فَقَدْ أَكْرَمَ الله وَرَسُولَهُ  :وقال صلى الله عليه وسلم

Nabi SAW bersabda : “Hendaknya kamu semua memuliakan para ulama, karena mereka itu adalah pewaris para Nabi, maka barangsiapa memuliakan mereka berarti memuliakan Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Al Khatib Al Baghdadi dari Jabir ra., Kitab Tanqihul Qaul) 

وقال النبي صلى الله عليه وسلم: نَوْمُ العَالِمِ أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةِ الجَاهِلِ

Nabi SAW bersabda : “Tidurnya orang alim itu lebih utama daripada ibadah orang bodoh.” (Kitab Lubabul Hadits) 

وقال النبي صلى الله عليه وسلم: مَنْ زَارَ عَالِمًا فَكَأَنَمَّا زَارَنِي، وَمَنْ صَافَحَ عَالِمًا فَكَأَنَّما صَافَحَنِي، وَمَنْ جَالَسَ عَالِمًا فَكَأَنَّما جَالَسَنِي في الدُّنْيَا، وَمَنْ جَالَسَنِي في الدُّنْيَا أَجْلَسْتُهُ مَعِيْ يَوْمَ القِيَامَةِ

Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa mengunjungi orang alim maka ia seperti mengunjungi aku, barangsiapa berjabat tangan kepada orang alim ia seperti berjabat tangan denganku, barangsiapa duduk bersama orang alim maka ia seperti duduk denganku didunia, dan barangsiapa yang duduk bersamaku didunia maka aku mendudukkanya pada hari kiamat bersamaku.” (Kitab Lubabul Hadits) 

وعن أنس بن مالك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: مَنْ زَارَ عَالِما فَقَدْ زَارَنِي، وَمَنْ زَارَنِي وَجَبَتْ له شَفَاعَتي، وكانَ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ أَجْرُ شَهِيدٍ

Dari Anas bin Malik ra., bahwasanya Rasulullah bersabda : “Barangsiapa mengunjungi orang alim berarti ia mengunjungi aku, barangsiapa mengunjungi aku maka ia wajib memperoleh syafa’atku, dan setiap langkah memperoleh pahala orang mati syahid.” (Kitab Tanqihul Qaul) 

وعن أبي هريرة قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: مَنْ زَارَ عَالِما ضَمِنْتُ لَهُ عَلى الله الجَنَّةَ

Dari Abu Harairah ra., saya mendengar Rasulullah saww. bersabda : “Barangsiapa mengunjungi orang alim, maka aku menjamin kepadanya dimasukkan surga oleh Allah”. (Kitab Tanqihul Qaul) 

فقيه واحد متورع أشد على الشيطان من ألف عابد مجتهد جاهل ورع 

Nabi SAW bersabda : “Seorang alim fiqih yang perwira (wara’) adalah lebih berat bagi syaitan daripada seribu orang ahli ibadah yang tekun yang bodoh lagi perwira.” (Kitab Tanqihul Qaul)

Sungguh hina apabila kita menemukan orang-orang yang membenci ulama. Hal ini menyedihkan karena merupakan pelecehan terhadap agama. Sebab, agama senantiasa diperjuangkan oleh ilmu-ilmu yang disyiarkan oleh ulama. Lantas apabila ada orang yang menghinakan ulama itu berarti ia sungguh-sungguh telah melecehkan agama. Bukan hanya itu, orang yang melecehkan ulama seolah sedang menentang Nabi SAW. Sebab Nabi SAW jelas-jelas memerintahkan kita selaku umatnya agar memuliakan ulama, bukan malah menghinakannya. Naudzubillah. Semoga kita dijadikan orang-orang yang selalu dekat dengan ulama. Mencintai dan memuliakannya dengan penuh keikhlasan. Serta dijadikan orang yang senantiasa tidak bosan untuk mengambil ilmu dari mereka. Agar kita menjadi orang-orang yang diangkat derajatnya dan didekatkan dengan Allah SWT. 
Mari kita mencintai para ulama, sbb para ulama adalh warasatul anbiya...
hujjatul islam imam ghozali ra bknlh dri ketrunn ulama, ttpi orng tuanya yg sngat ta'dzim, mahabba, wa takrimah kpda ulama2 dn berdoa kpda allah smga anaknya mnjdi ulama, dan alhamdulillah anak2nya menjdi ulama yg terknl.
Smga klk ketrn kita mnjdi ulama yg istiqomah, bertaqwa, waroi, tawdhu, roja, khauf, mahabba kpda allah. 

Ulama Pewaris Nabi

Rasulullah bersabda

إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Tirmidzi, Ahmad, Ad-Darimi, Abu Dawud) 
Rasulullah bersabda

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِباَدِ، وَلَكِنْ بِقَبْضِ الْعُلَماَءِ. حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عاَلِماً اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً فَسُأِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّو

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.”(HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)
Periwayat Terbayak Sahabat Rasulullah yang paling banyak meriwayatkan hadits ialah:
Abu Hurairah 5374 hadits, Ibnu Umar 2630 hadits, Anas bin Malik 2286 hadits, Aisyah 2210 hadits, Ibnu ‘Abbas 1660 hadits, Jabir bin ‘Abdullah 1540 hadits, Abu Sa’id Al-Khudri 1170 hadist, Ibnu Mas’ud 848 hadits, Ibnu ‘Amr bin Ash 700 hadits, Abu Dzarr Al- Ghifari 281 hadits, Abu Darda’ 179 hadits (Talqih fahum ahli al-atsar karya Ibn Jauzi)
Nabi bersabda

 خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku ( para sahabat ) kemudian generasi berikutnya (tabi’in) kemudian generasi berikutnya ( tabiu’t tabi’in )” (Hadits Bukhari & Muslim)
Imam Malik rohimahullah telah berkata :

 كُلُّ خَيْرٍ فِي إتِباَعِ مَنْ سَلَف وَ كُلُّ شَرٍّ فِي إبْتِداَعِ مَنْ خَلَفِ

“Setiap kebaikan adalah apa-apa yang mengikuti para pendahulu (salaf), dan setiap kejelekan adalah apa-apa yang diada-adakan orang kemudian (kholaf)” dan “Tidak akan baik akhir dari umat ini kecuali kembali berdasarkan perbaikan yang dilakukan oleh generasi pertama”. 

Rasulullah bersabda
“Akan senantiasa ada di antara ummatku sekelompok orang yang tampil membela kebenaran, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menelantarkan mereka sehingga datang (hari Kiamat) ketetapan Allah, sedangkan mereka tetap dalam keadaan demikian.” (Hadits Muslim) 
Permasalahannya umat Islam banyak pula yang merasa lebih pandai dan mengabaikan nasehat para ulama.alias meninggalkan para ulama 
Asy‐Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al‐Bantani Rahimahullah Ta’ala, di dalam kitabnya, Nasha‐ihul Ibad fi bayani al‐Faadzi al‐Munabbihaat ‘alal Isti’daadi Li Yaumil Ma’adi membawakan sepotong hadits tentang larangan meninggalkan para ulama 
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda

سَيَأْتِيْ زَمَانٌ عَلَى اُمَّتِيْ يَفِرُّوْنَ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَالْفُقَهَاءِ فَيَبْتَلِيْهِمُ اللهُ تَعَالَى بِثَلاَثِ بَلِيَّاتٍ: اُوْلاَهَا يَرْفَعُ بَرَكَةَ مِنْ كَسْبِهِمْ وَالثَّانِيَةُ يُسَلِّطُ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِمْ سُلْطَانًا ظَالِمًا وَالثَّالِثَةُ يَخْرُجُ مِنَ الدُّنْيَا بِغَيْرِ اِيْمَانٍ

“Akan datang satu zaman atas umatku dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama’ dan fuqaha’, maka Allah Taala menimpakan tiga macam musibah atas mereka, iaitu
1. Allah mengangkat (menghilangkan) keberkahan dari rizki (usaha) mereka,
2. Allah menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka dan
3. Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman 

Dekat dengan Ulama dan Patuh terhadap Hukama 

عليكم بمجالسة العلماء واستماع كلام الحكماء فإنّ الله تعالى يحي القلب الميت بنور الحكمة كما يحي الأرض الميتة بماء المطر

“Hendaklah kalian berkumpul dengan para ulama’ dan mendengarkan perkataan hukama’, karena sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana Dia menghidupkan bumi yang tandus dengan air hujan.”

Hikmah adalah suatu ilmu yang bermanfaat, sedangkan hukama’ adalah para ahli hikmah. Berdasarkan hadist ini, hukama’ adalah ahli hikmah yang mengetahui Dzat Allah, senantiasa berada dalam kebenaran, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Adapun ulama adalah orang alim (shaleh) yang mengamalkan ilmunya.
Ath-Thabrani juga telah meriwayatkan dari Abu Hanifah sebagai berikut:

جالسواالكبراء وسائلواالعلماء وخالطواالحكماء

“Hendaklah kalian berkumpul (bergaul) dengan para kubara’, dan bertanyalah kepada para ulama’ serta dekatlah kalian dengan para hukama’.” 
Dalam riwayat yang lain:
جالس العلماء وصاحب الحكماء وخالط الكبراء

“Hendaklah kamu berkumpul dengan para ulama, bersahabat dengan para hukama’ dan dekat dengan para kubara’.”

Mengenai bertanya kepada para ulama’, hal ini sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur’an, 
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu, jika kalian tidak mengetahui.” (Al-Anbiya: 7)

Dan mengenai berkumpul bersama para ulama atau hukama, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)

Ulama dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu: 

a. Ulama’, yaitu orang yang ‘alim (pengetahuannya luas) tentang hukum-hukum Allah dan mereka itu berhak memberikan petunjuk (nasihat).
b. Hukama’ adalah orang-orang yang mengetahui Dzat Allah SWT. Dekat dengan mereka dapat membuat watak menjadi terdidik, karena dari hati mereka bersinar cahaya makrifat (mengenali Dzat Allah lebih dekat lagi dan rahasia-rahasia yang lain) dan dari jiwa mereka terpantul sinar keagungan Ilahi.
c. Kubara’, yaitu orang-orang yang dianugerahi makrifat terhadap hukum-hukum Allah dan terhadap Dzat Allah. ‎

Berkumpul dengan orang yang ‘alim (mengetahui tentang Allah) dapat mendidik tingkah laku menjadi lebih baik. Hal ini tidak lain karena pengaruh kebiasaan-kebiasaan mereka yang tentunya lebih baik daripada lisan. Jadi, kebiasaan seseorang yang dapat bermanfaat bagimu, tentu akan bermanfaat pula ucapannya. Begitu juga sebaliknya.

As-Sahwardi pernah meninjau ke sebagian masjid Al-Khaif di mina seraya memandangi wajah orang-orang yang berada di dalamnya. Lalu beliau ditanya oleh seseorang (yang berada disana), “Mengapa tuan memandang wajah-wajah orang itu?” Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah telah menjadikan beberapa orang yang apabila memandang kepada orang lain maka orang yang dipandangnya itu akan merasa damai (bahagia) dan saya pun sedang mencari orang yang seperti itu.”
Hal ini sebagaimana Rasulullah saw. telah bersabda,

سيأتي زمان على أمتي يفرّون من العلماء والفقهاء فيبتليهم الله بثلاث بليّات ألاها يرفع الله البركة من كسبهم والثانية يسلّط الله تعالى صلطانا ظالما والثالثة يخرجون من الدنيا بغير إيمان

“Akan datang suatu masa pada umatku, mereka lari (jauh) dari ulama’ dan fuqaha’ (orang-orang yang paham mengenai agama), maka Allah akan menurunkan tiga macam adzab kepada mereka; Pertama, Allah mencabut keberkahan dari usaha mereka. Kedua, Allah memberikan kekuasaan kepada pemimpin yang kejam (di dunia). Ketiga, mereka keluar dari dunia ini (mati) tanpa membawa iman.” 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...