Jumat, 22 Oktober 2021

Hukum Tentang Orang Yang Jadzab


Jadzab dalam kamus bahasa Arab Jadzaba-Yajdzibu-Jadzban yang berarti menarik, sedang obyek atau Maf’ul Majdzub orang gila yang berkeramat.

Berbeda dengan orang gila yang dalam kamus bahasa Arab Janna-Yajunnu-Jannan artinya menutup, sedang Junna- Junuunan artinya gila, hilang akal, dan obyek atau maf’ul Majnuun artinya orang gila.

Istilah Jadzab ditulis oleh Imam Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Athoillah Assakandari (658 H/1259 M –709 H/1309 M) dalam kitab Al-Hikam 5) 

Dalam terjemah Al Hikam juga menyebutkan bahwa orang yang dapat diberi kedekatan kepada ALLAH itu ada dua macam:

Salik dan Majdzub. 

Salik yaitu perjalanan usaha memperoleh dapat dekat kepada ALLAH mencapai ma’rifatullah, dengan cara meningkatkan dan mengembangkan iman dengan menghilangkan akhlaq tercela menggantinya dengan akhlak yang terpuji, seperti halnya akhlak imaniyah ataupun ijtimaiyyah (kemasyarakatan).

Majdzub yaitu orang yang ditarik ke hadirat ALLAH; dengan kehendak ALLAH, tanpa melewati urutan suluk dalam thariqat. Jika salik dapat menguasai akal sedang majdzub tidak bisa menguasai akal sebab tertutup oleh Nur Ilahiyyah, maka terkadang majdzub sering meninggalkan kewajiban agama, dan menurut syar’i tidak berdosa sebab seperti orang gila. Sedang majnun hilang akal / gila sebab tertutup oleh Nur Syayatiin. 

Secara syar’i orang Jadzab dan Majnun mungkin memiliki persamaan yaitu hilang akal dan dikatakan sebagai orang gila, dihukumi sama dalam arti tidak berkewajiban menjalankan syariat sebagaimana mestinya sebab hilang akalnya (‘Udzur).

Jika ALLAH menghendaki untuk menyempurnakan majdzub maka akan diberi kesadaran akal. Jika salik berawal memahami Af’al ALLAH-Asma-asma ALLAH-Sifat-sifat ALLAH (Hayat, Ilmu, Irodat, Qudrat, Sama’, Basor, dan Kalam)- kemudian mengerti Dzat ALLAH, jadi salik naik secara sedikit-sedikit.

Majdzub langsung menyaksikan kesempuraan Dzat ALLAH menuju Sifat-sifat ALLAH-menuju kejadian makhluk dengan asma-asma ALLAH, menuju perubahan semua makhluk. 

Contoh Tokoh Tasawuf Falsafi (Yang mengalami Jadzab / ekstase)
Abu Yazid Thaifur bin Isa Al-Bustami lahir 188 H
Abul Mughits Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj lahir di Baiha Persia,
Abu Bakar Muhammad Muhyidin bin Arabi Hatimi Al-Thai, lahir di Mursieh, Spanyol bagian selatan 570 H /1165 M,

Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh sufi yang pernah mengalami JADZAB. Gus Dur dan Gus Miek termasuk diantaranya yang pernah mengalami JADZAB. 

Semua ajaran baik yang bersifat dhohir ataupun batin tidak akan memberi kemanfaatan jika tidak ditujukan untuk mengharap kedekatan kepada ALLAH, dan semua usaha akan sia-sia jika tidak diiringi dengan kebersihan jiwa, dengan kebersihan jiwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan-Nya (tempat kembali) karena kita berasal dari – NYA dan akan kembali kepadaNYA. 

Penghulu para sufi Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Shultonil Auliya Sayyidi Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani bin Abi Sholih Musa Janka Dausat, lahir 471 H / 1077 M wafat 561 H / 1166 M 11), mengatakan : 

“Tidak akan diperkenankan (duduk) berdampingan (dengan) disisi ALLAH Ta’ala kecuali orang yang sudah membersihkan diri dari berbagai macam kotoran (Suci Jiwanya)”. 

Semoga kita semua dikehendaki oleh ALLAH menjadi orang yang dekat, bahkan lebih dekat dari kita sendiri, dan dituntun oleh Qudrat dan Irodat ALLAH dengan Ilmu-NYA menuju Ma’rifat Uluhiyyah, hingga tersinari oleh cahaya Rabbaniyyah, dan melebur dalam Sifat Hayat-NYA. 

Shalawat serta salam semoga tercurah kepada manusia sempurna kekasih ALLAH, NABI MUHAMMAD SAW bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushay bin KILAB bin Murroh bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nudlor bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin ilyas bin Mudlor bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan bin Add bin Humaisi‘ bin Salaman bin Aws bin Buz bin Qamwal bin Obai bin ‘Awwam bin Nashid bin Haza bin Bildas bin Yadlaf bin Tabikh bin Jahim bin Nahish bin Makhi bin Ayd bin ‘Abqar bin ‘Ubayd bin Ad-Da‘a bin Hamdan bin Sanbir bin Yathrabi bin Yahzin bin Yalhan bin Arami bin Ayd bin Deshan bin Aisar bin Afnad bin Aiham bin Muksar bin Nahith bin Zarih bin Sami bin Wazzi bin ‘Awda bin Aram bin Qaidar bin Nabi ISMAIL AS bin Nabi IBRAHIM AS, beserta keluarga dan sahabatnya, yang menarik kita dibawah benderanya.

Dia menyendiri dengan Dzat yang maha sepi
Dia menyatu dengan dzat yang maha satu
Dia menyendiri dengan dzat yang maha sendiri
Dia menepi dengan dzat yang maha sunyi
Dia merindukan sang cinta
Demikianlah...

Ku lihat dia bertapa atas dunia

Dunia pun muak melihatnya
Maka, dia meninggalkan dirinya sendiri
Dari orang-orang menyendiri
Sesekali dia terbang meninggi menyendiri
Dan menanggung segala resiko seorang diri
Dia pun mengepakkan sayapnya untuk berpasrah diri
Terpisah dari nafsu dan perasaan hati
Hingga dia mentalak dirinya sendiri
Karena dia bukanlah muhrim bagi dunia
Hingga dia pun haram untuk menyentuhnya
Baginya... semua yang tersaji di dunia
Hanyalah bangkai-bangkai yang terserak di comberan
Yang lain menganggapnya telah kufur
Sebenarnya dia tenggelam dalam syukur
Yang lain menduga tersungkur
Sebenarnya dia terapung di laut tafakkur
Yang lain mengira kafir
Sebenarnya dia larut dalam sunyatnya dzikir
Yang lain menduga murtad
Sebenarnya dia mencuat dalam hakekat
Yang lain mengira bejat
Sebenarnya ia sedang munajat
Yang lain mengira tersesat
Sebenarnya dia khalwat
Yang lain mengira hatinya goyah
Sebenarnya dia sedang uzlah
Yang lain menduga zina
Sebenarnya dia fana
Yang lain mengira gila
Sebenarnya dia berenang dalam laut khouf roja
Yang lain berprasangka hatinya redup tertutup kabut
Hakekatnya dia qutub
Dia khumul yang mengalami hulul sehingga menjadi wusul
Mereka semua mengatakan dia terhijab
Padahal dia sedang tengelam dalam jadzab
Dia pun berbisik; aku tak peduli...
Sang wali tak akan pernah siuman sampai Isrofil berteriak

Orang yang sholih (dekat kepada Allah) ada 2 macam:

Orang yang ditugaskan untuk khidmah kepada Allah (agama Allah) bukan untuk Allah sendiri. Oleh karena itu orang ini harus tahu perintah-perintah dan larangan-larangan lalu menjelaskannya kepada masyarakat. (amar ma'ruf nahi munkar)

Orang yang dikhususkan oleh Allah untuk mahabbah kepada-Nya. Dia tidak ingat apa-apa kecuali Allah (مجنون في الله). Dia tidak tahu apa itu baik dan jelek jadi dia tidak bisa amar ma'ruf nahi munkar. Orang yang seperti ini terkadang masih mengikuti syari'at tapi tidak bisa mengurusi syari'at tersebut dan juga terkadang ada yang jadzab baik penuh maupun sebagian. Terkadang dia jadzab dan terkadang ingat. Ini semua karena ada tajalli dari Allah (Allah tampak pada diri mereka).

"Ada orang-orang yang Allah jadikan berkhidmat kepada-Nya dan ada orang-orang yang Allah pilih untuk mencintai-Nya. Kepada masing-masing golongan itu, kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidaklah terbatas" (Surat Al-Isra': 20)

Semua orang yang beriman pasti memiliki mahabbah. Baik sedikit maupun banyak mereka pasti memiliki mahabbah. Dalam Al-Qur'an telah disebutkan :

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ(QS. Al Baqarah: 165) 

"Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu*[1] mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (QS. Al-Baqarah: 165)

*[1] yang dimaksud dengan orang yang zalim di sini ialah orang-orang yang menyembah selain Allah.

Akan tetapi yang paling banyak, mahabbah mereka wujud untuk khidmah kepada agama Allah (berdakwah, mengajar, dll). Ini juga tak lain karena adanya tajalli dari Allah. Oleh karena itu mahabbah ini tidak akan tertuju kepada selain Allah. Tajalli di sini adalah sebagaimana dalam Al-Qur'an :

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ (QS. Al A’raf: 143) 

"Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang Telah kami tentukan dan Tuhan Telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar Aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi Lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu*[2], dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, Aku bertaubat kepada Engkau dan Aku orang yang pertama-tama beriman". (QS. Al-A'raf: 143)

*[2] para Mufassirin ada yang mengartikan yang nampak oleh gunung itu ialah kebesaran dan kekuasaan Allah, dan ada pula yang menafsirkan bahwa yang nampak itu hanyalah cahaya Allah. Bagaimanapun juga nampaknya Tuhan itu bukanlah nampak makhluk, hanyalah nampak yang sesuai sifat-sifat Tuhan yang tidak dapat diukur dengan ukuran manusia.

Jadi hati yang lemah seperti ini kalau ada tajalli maka akan jatuh pingsan.

Kita memiliki dan diberi mahabbah sangat sedikit tapi kalau sudah sampai pada derajat wahdatis Syuhud maka semua akan dilupakan sehingga terkadang dia melupakan syari'at. Dia akan seperti orang yang gila bahkan memang benar-benar gila sehingga dia tidak kewajiban shalat dan ibadah lain. Dia tidak sadar dengan apa yang dilakukan. Lalu apa tugas mereka sebagai wali Allah swt dan apa faedahnya?

Memang mereka tidak ditugaskan untuk amar ma'ruf oleh Allah tapi mereka memiliki tugas yang tidak bisa dilihat mata namun atsarnya akan kelihatan. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits :

حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي شُرَيْحٌ يَعْنِي ابْنَ عُبَيْدٍ قَالَ

ذُكِرَ أَهْلُ الشَّامِ عِنْدَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ بِالْعِرَاقِ فَقَالُوا الْعَنْهُمْ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ قَالَ لَا إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْأَبْدَالُ يَكُونُونَ بِالشَّامِ وَهُمْ أَرْبَعُونَ رَجُلًا كُلَّمَا مَاتَ رَجُلٌ أَبْدَلَ اللَّهُ مَكَانَهُ رَجُلًا يُسْقَى بِهِمْ الْغَيْثُ وَيُنْتَصَرُ بِهِمْ عَلَى الْأَعْدَاءِ وَيُصْرَفُ عَنْ أَهْلِ الشَّامِ بِهِمْ الْعَذَابُ

Artinya: "Suatu ketika Ahli syam disebut-disebut di hadapan Sayyidina Ali (ketika beliau di Irak) lalu penduduk Irak berkata: laknatlah mereka wahai amirul mukminin. Sayyidina Ali menjawab: tidak, saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: wali abdal itu berada di syam, mereka ada 40 orang, ketika satu orang meninggal maka Allah mengganti tempatnya dengan orang lain. Karena merekalah penduduk syam diberi hujan, karena mereka penduduk syam ditolong dari musuh dan karena mereka penduduk syam dihindarkan dari siksa"

حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَةَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بن عَمْرٍو الدِّمَشْقِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن الْمُبَارَكِ الصُّورِيُّ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بن وَاقِدٍ، عَنْ يَزِيدَ بن أَبِي مَالِكٍ، عَنْ شَهْرِ بن حَوْشَبٍ، قَالَ: لَمَّا فُتِحَتْ مِصْرُ، سَبُّوا أَهْلَ الشَّامِ، فَأَخْرَجَ عَوْفُ بن مَالِكٍ رَأْسَهُ مِنْ تُرْسٍ، ثُمَّ قَالَ: يَا أَهْلَ مِصْرَ , أَنَا عَوْفُ بن مَالِكٍ، لا تَسُبُّوا أَهْلَ الشَّامِ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ:"فِيهِمُ الأَبْدَالُ، وَبِهِمْ تُنْصَرُونَ، وَبِهِمْ تُرْزَقُونَ".

Artinya: "Ketika negara Mesir dikuasai Islam, penduduknya mencaci maki ahli syam, lalu Auf bin Malik mengeluarkan kepalanya dari perisainya dan berkata: wahai penduduk Mesir saya adalah Auf bin Malik, janganlah kalian mencaci maki ahli syam karena saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: dalam ahli syam ada wali abdal. Karena merekalah ahli syam ditolong dan karena merekalah ahli syam diberi rizki"

Dalam Hadits lain:

Artinya: "Nabi Muhammad saw pernah bersabda: banyak orang yang amburadul rambutnya, berdebu, dan hanya memiliki dua pakaian yang rusak, namun jika mereka bersumpah dengan nama Allah maka Allah pasti akan meluluskan sumpah tersebut"

Jadi tugas mereka tidak kelihatan tapi berkahnya sangat besar bagi manusia. Lalu kenapa Allah menjadikan dua hamba yang berbeda? memang sunatullah dalam menciptakan sesuatu ada yang bervariasi sehingga tidak monoton. Kalau diciptakan seperti kelompok yang pertama maka semua akan amar ma’ruf tapi tidak ada yang bisa menjadikan bumi tenang dan kalau hanya yang seperti kelompok kedua maka tidak akan ada amar ma’ruf.

Ada orang ziarah pada Syekh Ramdhan. Orang ini seperti orang yang gila namun dia dimuliakan oleh Syekh Ramdhan. Ketika ingin pulang Syekh Ramdhan meminta doa agar Allah memuliakannya sebagaimana orang tersebut. Lalu orang tersebut berkata: "Kalau kamu seperti saya nanti siapa yang mengurusi masyarakat". Lalu dengan cerita ini apakah bisa menunjukan bahwa kelompok yang kedua lebih mulia dari pada kelompok yang pertama. Tidak, karena ini semua hanyalah ciptaan dan sunnah Allah. Pada zaman nabi beliau pernah berpesan pada sahabat Umar agar beliau minta doa pada Uwais Al-Qarany.

Lalu bagaimana sikap kita menghadapi dua hamba tersebut?. Hikmah Allah memang sangat besar. Seandainya Allah memperlihatkan walinya maka semua yang tidak menjadi wali pasti akan terlihat jelek, oleh karena itu Allah menutupinya. Dari sini kita harus selalu berkhusnudzon, jangan-jangan orang yang kelihatan jelek adalah wali Allah sehingga kita harus memuliakannya. Lebih baik kita tunduk kepada orang walaupun sebenarnya dia tidak mulia daripada kita sombong pada orang yang benar-benar mulia. Semua hamba tersebut (baik kelompok pertama maupun kedua) dibantu oleh Allah swt sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an:

كُلًّا نُمِدُّ هَؤُلَاءِ وَهَؤُلَاءِ مِنْ عَطَاءِ رَبِّكَ وَمَا كَانَ عَطَاءُ رَبِّكَ مَحْظُورًا (QS. Al Isra’: 20)

Artinya: Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. (QS. Al-Isra': 20)

Seorang yang sedang mengalami JADZAB tetap tertaklif hukum syari'at .

JAZDAB adalah “tampaknya sifat-sifat ilahi”, ketika seseorang mengalami jazdab, maka seseorang akan betul-betul mampu melihat secara nyata sifat-sifat allah, dan mampu merasakannya.

الكشف عن حقيقة الصوفية - (1 / 244)الجذبة هي التجلي الإلهي، وفيها يحصل التحقيق بالأسماء الإلهية، والاستشعار بالاسم الصمد، أو بالألوهيةالفكر الصوفي

Secara global, seluruh istilah-istilah dalam kaum sufi (meskipun berbeda-beda) mempunyai satu orientasi, yaitu wahdatul wujud. Namun menurut Sayid Husen, dua prinsip sufi yaitu antara wahdatul wajud dan insane kamil, memandang bahwa sesuatu apapun akan tampak pada asmaul husna dan sifat-ifat allah. Serta bagi insane kamil akan mampu menggambarkan tuhan dan sesuatu apapun.

الكشف عن حقيقة الصوفية - (1 / 94)يفهمنا هذا النص أن كل العبارات الصوفية المختلفة التي مرت والتي ستمر والتي لن تمر معنا، كلها تشير إلى معنى واحد، (وقد عرفناه، إنه وحدة الوجود يقول سيد حسين نصر مؤكداً وكل ما نستطيعه هو التشديد على أن التعاليم الصوفية تدور حول عقيدتين أساسيتين هما: (وحدة الوجود)، و(الإنسان الكامل). إن جميع الأشياء تجليات للأسماء الحسنى والصفات الِإلهية، فبالِإنسان الكامل يتصور الله بذاته، ويتأمل جميع الأشياء التي جاء بها إلى- حيز الوجود2).:

Jazdab menurut ahli sufi di sebabkan keimanan yang sangat kuat seorang hamba pada tuhanya hingga oleh allah, orang sufi akan di berikan sesuatu yang tidak akan bisa di lihat, tidak bisa di dengar, dan tak akan bisa di rasakan oleh manusia lain, di lain itu , orang yang mengalami jazdab akan senantiasa berdoa pada allah dengan tetap khauf (takut pada azdab allah) dan thoma’ (keinginan untuk masuk surga).

(في ضوء الكتاب والسنة) - (1 / 18)فهؤلاء الذين ادخر الله لهم ما لا عين رأت، ولا أذن سمعت، ولا خطر على قلب بشر لا شك أنهم أكمل الناس إيمانًا وحالًا، ومع ذلك فهم يدعون ربهم خوفًا وطمعًا : خوفًا من عذابه، وطمعًا في جنته . وآيات القرآن في هذا المعنى لا تحصى كثرة

Tanda-tanda jazdab: saat mengalami jazdab, seseorang akan mengalami khudur atau menyatunya jiwa dengan allah yang maha esa (sebagian ulama sufi mendifinisikan keadaan seperti ini dengan istilah fana’).

الكشف عن حقيقة الصوفية - (1 / 93)الحضور: النفس حين تتحد بالواحد في حال الجذب (هذا التعريف هو لأفلوطين، من المعجم الفلسفي الصادر عن مجمع اللغة العربية)، وإذا أردنا أن نصيغ هذه الجملة بالعبارة الصوفية، نقول: الحضور هو الفناء في الذات.

Di samping itu, tanda-tanda jazdab yang lain adalah, secara prilaku dia akan seperti orang gila, namun tidak seperti orang gila, karna sebetulnya orang yang sedang jazdab sedang menyatu, dalam penjelasan ulama, mereka mengatakan bahwa, gila yang di alami para orang yang sedang jazdab adalah karna mereka larut kedalam kecintaan mereka pada Allah

الكشف عن حقيقة الصوفية - (2 / 61)في واقع الأمر، إن ما يحصل للصوفي هو نفس ما يحصل للمجنون من خدر في مراكز الوعي والضبط في الدماغ، مع فارق، أن ما يحصل للصوفي هو شيء شبه مرضي، لا مرضي، ولا يكون مرضياً مثل الجنون تماماً إلا عند الذين يستولي عليهم الجذب، والذين يقولون عنهم إنهم في مقام جمعالجمع وكثيراً ما سمعنا ممن يقول عن مجنون أو معتوه إنه سائح في حب الله

Menurut as-syeh Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Dibaghi (1095 H - 1132H), sesungguhnya Allah tidak akan mencintai seorang hamba, sebelum orang tersebut oleh allah di jadikan sebagai manusia yang ma’rifat bi allah, dan ha inilah yang menyebabkan seseorang mengalami jazdab.

الكشف عن حقيقة الصوفية - (1 / 373)ويقول عبد العزيز الدباغ إن الله تعالى لا يحب عبداً حتى يُعرِّفه به، وبالمعرفة يطلع على أسراره تعالى، فيقع له الجذب إلى الله تعال:

Hukum orang yang sedang jazdab: saat seseorang mengalami jazdab,(karna dia seperti orang gila dan hilang kesadaran)menurut Ad- Burhami, tidak terkena taklif dari syariat, maka di tidak berkuwajiban hal-hal yang di perintahkan tuhan atas hambanya. Namun hal ini, di dalam kitab tholai’ul As-sufi di bantah habis-habisan oleh Abu Al- Qosim Al- Amidi. Menurut beliu, hal-hal seperti fana’, wahdatul wujud (termasuk juga jazdab) sudah melenceng dari agama islam, sebab hal itu merupakan kepercayaan-kepercayaan dari agam Hindu, Budha, Zairoster. Disamping itu, menurut Aly Awajiy, hal yang di kemukakan oleh ahli sufi bahwa saat di mengalami jazdab tidak tertaklif, hanya sebuah bentuk kemalasan untuk thoat pada perintah agama, dan hal ini juga di dukung oleh imam sya’roni yang mengatakan bahwa para Wali-Wali ahli sufi pun tetap terkena hokum taklif dari syari’at.

طلائع الصوفية - (1 / 32)لاشك أن ما يدعو إليه الصوفية من الزهد ، والورع والتوبة والرضا ... إنما هي أمور من الإسلام ، وأن الإسلام يحث على التمسك بها والعمل من أجلها ، ولكن الصوفية في ذلك يخالفون ما دعا إليه الإسلام حيث ابتدعوا مفاهيم وسلوكيات لهذه المصطلحات مخالفة لما كان عليه الرسول صلى الله عليه وسلم وصحابته لكن الذي وصل إليه بعضهم من الحلول والاتحاد والفناء ، وسلوك طريق المجاهدات الصعبة ، إنما انحدرت هذه الأمور إليهم من مصادر دخيلة على الإسلام كالهندوسية والجينية والبوذية والأفلاطونية والزرادشتية والمسيحية.فرق معاصرة للعواجي - (3 / 118)وقال أيضاً: "إن الله يفتح للعارف وهو على فراشه ما لا يفتح لغيره وهو قائم يصلي"( )، وهذه دعوى صريحة إلى التكاسل في الطاعات وتعريض بقلة فضل الصلاة وتتضح منزلة التكاليف عند بعض أولياء الصوفية عند الشعراني في تراجمه لكثير من أعلامهم بما لا يدع مجالاً للشك في إلحاد وزندقة هؤلاء الذين يسميهم أولياء ويترضى عنهم أيضاً.

Menyikapi hal ini, Seykh Muhammad bin Sulaiman Al-Bagdadi mengatakan, sesungguhnya jazdab tanpa adanya ketaqwaan atau menjalankan perintah tuhan tak akan ada artinya, begitu pula bila hanya melakukan syariat tampa adanya jadzab, karna tidak akan menghasilkan apapun, kecuali menjadi golongan ulama yang cenderung dhohiriyah atau hanya melihat dhohir saja.

موسوعة الرد على الصوفية - (78 / 241)ويقول محمد بن سليمان البغدادي الحنفي النقشبندي واعلم أن الجذب وحده من غير سلوك في الطريق المستقيم بامتثال أوامر الحق تعالى والاجتناب عن نواهيه لا نتيجة له أصلاً...وكذلك السلوك بامتثال الأوامر واجتناب النواهي من غير جذب إلهي لا نتيجة له غير الدخول من أهل الظاهر في حيز العلماء والعباد

Sebuah kesimpulan kecil : jazdab, fana’, wahdatul wujud, dalam istilah sufi mempunyai tujuan sama, yaitu bagaimana menjadi manusia sempurna di sisi Allah, hingga merasa tidak ada apapun kecuali Allah, tidak ada yang tampak kecuali Allah. Begitu memahami kehambaan diri dan menyadari kebesaran allah melalui sifat dan asma-asmanya, hingga seperti mampu melihat tuhan seperti benda yang wujud.Sedangkan Jazdab dalam istilah sufi adalah,merupakan sebuah fase di mana manusia oleh tuhan di tarik ke alam yang berbeda untuk di jadikan kekasihnya (ma’rifat bil allah) atau Allah akan memperlihatkan kekuasaanya serta rahasia yang tidak di ketahui manusia. Hal itu menjadikan dirinya lupa akan keadaanya (hingga banyak dari tokoh sufi yang seperti orang gila), namun tidak gila karna sakit, tapi karna keimanan yang luar biasa pada Allah atau pula karna dia telah tenggelam dalam kecintaanya pada Allah.Hukum yang berlaku pada orang jazdab tetap seperti orang biasa, yaitu dia masih terkena taklif dari syari’at agama. Karna jika seseorang telah menjadi kekasih allah, pasti orang tersebut tidak akan meninggalkan perintah allah dan meninggalkan laranganya. Namun jika ada orang yang jazdab akan tetapi meninggalkan syari’at, hal itu hanyalah jazdab yang tidak ada faedahnya.

إذا سمعت كلمات من أهل التصوف والكمال ظاهرها ليس موافقا لشريعة الهدى من الضلال توفق فيها واسأل من الله العليم أن يعلمك مالم تعلم ولا تمل إلى الإنكار الموجب للنكال, لأن بعض كلماتهم مرموزة لاتفهم, وهي فى الحقيقة مطابقة لبطن من بطون القرأن الكريم وحديث النبي الرحيم. فهذا الطريق هوالأسلم القويم, والصراط المستقيم. .“

Apabila engkau mendengar beberapa kalimah-perkataan dari ahli Tashawwuf dan kesempurnaan zahirnya tidak sesuai bagisyariatnya Nabi yang menyatakan petunjuk dari segala kesesatan maka bertawaquflah (berdiamlah) engkau padanya dan bermohonlah (berserahlah) kepada Allah Yang Maha Mengetahui agar engkau di beriakan ilmu yang belum engkau mengetahuinya. Janganlah engkau cenderung mengingkarinya yang mengakibatkan kepada natijah yang buruk. Kerana sebagian dari pada kalimah atau perkataan mereka itu adalah isyarat yang tidak mudah difahami. Padahal hakikat-isinya itu sesuai dengan batinnya dari pada isi al Quran al Karim, dan haditsnya Nabi yang penyayang. Maka jalan ini lebih selamat sejahtera, dan jalan yang lurus.”

ومن أصول أهل السنة : التصديق بكرامات الأولياء وما يجري الله على أيديهم من خوارق العادات في أنواع العلوم والمكاشفات وأنواع القدرة والتأثيرات ، كالمأثور عن سالف الأمم في سورة الكهف وغيرها ، وعن صدر هذه الأمة من الصحابة والتابعين وسائر قرون الأمة ،وهي موجودة فيها ] ص: 287 [ إلى يوم القيامة( .] العقيدة الواسطية « شرح العقيدة الواسطية « أصول أهل السنة والجماعة الدين والإيمان قول وعمل « من أصول أهل السنة والجماعة التصديق بكرامات الأولياء[“

Termasuk prinsip ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah adalah membenarkan adanya karomah para wali dan kejadian-kejadian luar biasa yang Allah tunjukkan melalui mereka dalam berbagai bentuk ilmu dan mukasyafah, dalam berbagai jenis qudrat dan pengaruh, seperti yang diriwayatkan dari umat-umat terdahulu dalam (al Qur'an) Surat al-Kahfi dan selainnya, dan dari generasi awal umat ini, para sahabat, tabi’in, serta generasi-generasi umat yang lain. Karomah tetap akan ada di setiap umat sampai hari Kiamat.”[Syarh Aqidatul Waasithiyah ]

Tradisi Diskusi Telah Ada Sejak Masa Kenabian


Dari Ibnu Abas sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:

»إِنَّ الْهَدْيَ الصَّالِحَ وَالسَّمْتَ الصَّالِحَ وَاْلاِقْتِصَادَ جُزْءٌ مِنْ خَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ»

Sesungguhnya petunjuk yang baik, cara yang baik, dan tidak berlebih-lebihan adalah satu bagian dari dua puluh lima bagian kenabian (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath bahwa hadits ini isnadnya hasan).

Dari Ibnu Mas’ud sebagai hadits mawquf ia berkata:

»اِعْلَمُوْا أَنَّ حُسْنَ الْهَدْي فِي آخِرِ الزَّمَانِ، خَيْرٌ مِنْ بَعْضِ الْعَمَلِ»

Ketahuilah sesungguhnya sebagus-bagusnya petunjuk di akhir zaman lebih baik daripada sebagian amal.

Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath, sanad hadits ini shahih. yang dimaksud dengan petunjuk di sini adalah metodologi. Yang dimaksud dengan as-samtu (adalah al-mandzar (pandangan) dan al-haiah (kondisi). Yang dimaksud dengan al-iqtishad adalah al-i’tidal (pertengahan).

Muqaranah dan mujadalah (perbandingan dan diksusi) adalah tradisi ilmiah yang sudah tumbuh sejak masa awal sejarah manusia. Al-Qur’an telah mendokumentasikan tradisi ini hampir pada setiap masa kenabian. Allah SWT berfirman:

وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَيُجَادِلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقّ

“Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul hanyalah sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi orang-orang yang kafir membantah (mendebat) dengan yang bathil, agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak…”(Qs. al-Kahfi [18]: 56).

Dalam surat Hûd [11] ayat 32, diceritakan diskusi antara Nuh as dengan kaumnya. Allah SWT berfirman:

قَالُوا يَا نُوحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّالِحِينَ

“Mereka berkata, ‘Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah (diksusi/jidal) dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami adzab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar’.” (Qs. Hûd  [11]: 32

‎Al-Jadal adalah At-Tahâwur (berdiskusi atau berdialog), seperti firman Allah:

سَمِعَ اللهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللهِ وَاللهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal-jawab antara mereka antara kamu berdua. (TQS. Al-Mujadalah [58]: 1)

Dalam ayat ini Allah menyebut al-jadal (berdebat) dengan istilah at-tahâwur (berdiskusi). Definisi al-jadal (berdebat) adalah penyampaian hujah atau yang diduga sebagai hujah oleh dua pihak yang berbeda pendapat. Tujuannya untuk membela pendapat atau madzhabnya, membatalkan hujah lawan, dan mengubahnya kepada pendapat yang tepat dan benar menurut pandangannya.

Berdebat termasuk perkara yang diperintahkan syara’ untuk menetapkan kebenaran dan membatalkan kebatilan. Dalilnya adalah firman Allah Swt:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (TQS. An-Nahl [16]:125)

Firman Allah Swt:
قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Katakanlah, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar” (TQS. Al-Baqarah [2]: 111)

Rasulullah saw. juga telah mendebat kaum musyrik Makkah, Nasrani Najran, dan Yahudi Madinah. Pengemban dakwah akan senantiasa menyeru kepada kebaikan (Islam), amar ma’ruf nahyi munkar, dan memerangi pemikiran yang sesat. Karena berdebat telah ditentukan sebagai uslub kewajiban semua aktivitas tersebut, maka berdebat menjadi suatu kewajiban, termasuk ke dalam kaidah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Suatu kewajiban yang tidak sempurna (pelaksanaannya) tanpa sesuatu, maka sesuatu itu (hukumnya) wajib.

Diantara perdebatan ada satu jenis perdebatan yang dicela secara syar’i, sehingga menjadi satu bentuk kekufuran, seperti mendebat Allah dan ayat-ayat-Nya. Allah berfirman:
وَهُمْ يُجَادِلُونَ فِي اللهِ وَهُوَ شَدِيدُ الْمِحَالِ

Dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-lah Tuhan Yang Maha keras siksaan-Nya. (TQS. Ar-Ra’du [13]: 13)

مَا يُجَادِلُ فِي ءَايَاتِ اللهِ إِلاَّ الَّذِينَ كَفَرُوا

Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir (TQS. Al-Ghafir [40]: 4)

الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي ءَايَاتِ اللهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ وَعِنْدَ الَّذِينَ ءَامَنُوا

(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. (TQS. Al-Ghafir [40]: 35)

وَيَعْلَمَ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي ءَايَاتِنَا مَا لَهُمْ مِنْ مَحِيصٍ

Dan supaya orang-orang yang membantah ayat-ayat (kekuasaan) Kami mengetahui bahwa mereka sekali-kali tidak akan memperoleh jalan keluar (dari siksaan). (TQS. Asy-Syura [42]: 35)

Orang yang kufur adalah orang yang ingkar, bukan orang yang menetapkan (kebenaran). Sebab, orang yang ingkar akan berdebat dalam rangka untuk membantah kebenaran. Sedangkan orang yang menetapkan kebenaran (al-mutsbit) akan berdebat untuk memastikan kebenaran dan melenyapkan kebathilan. Allah berfirman:

وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ

Mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu. (TQS. Al-Ghafir [40]: 5)

وَقَالُوا أَآلِهَتُنَا خَيْرٌ أَمْ هُوَ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ

Mereka tidak memberikan perumpaman itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. (TQS. Az-Zukhruf [34]: 58)

Berdebat tentang Al-Quran untuk menetapkan bahwa Al-Quran bukan mukjizat atau bukan berasal dari Allah juga merupakan suatu kekufuran. Ahmad telah meriwayatkan hadits marfu’ dari Abu Hurairah; Rasulullah bersabda:

«جِدَالٌ فِي الْقُرْآنِ كُفْرٌ»

Berdebat tentang Al-Quran adalah kufur. (Ibnu Muflih berkata, “Hadits ini isnadnya baik dan dishahihkan oleh Ahmad Syakir”)

Ada juga perdebatan yang makruh, seperti mendebat kebenaran setelah jelas dan tampak sebagai kebenaran. Allah Swt berfirman :

يُجَادِلُونَكَ فِي الْحَقِّ بَعْدَمَا تَبَيَّنَ كَأَنَّمَا يُسَاقُونَ إِلَى الْمَوْتِ وَهُمْ يَنْظُرُونَ

Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menag), seoalah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu) (TQS. Al-Anfal [8]: 6)

Al-Qur’an juga menceritakan dengan detail kisah mujadalah yang dilakukan para nabi di surat-surat yang lain; misalnya, kisah diskusi antara Ibrahim dengan Namrudz, Musa dengan Fir’aun dan nabi-nabi yang lain. Begitu pentingnya tradisi ini, sampai-sampai al-Qur’an juga mengatur tata cara dan adab-adab dalam berdebat. Allah SWT berfirman:

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik…”(Qs. al-Ankabût [29]: 46).

Kisah-kisah mujadalah juga termuat dalam dokumen sejarah, baik yang tercantum dalam sunnah, atsar dan dokumen-dokumen sejarah lainnya.

Tradisi muqaranah, muhadzarah, dan mujadalah adalah tradisi yang terus dipelihara sampai sekarang.  Bahkan, al-Qur’an dengan tegas mencela orang-orang kafir yang tidak mau melakukan mujadalah atau muqaranah dengan Nabi saw dalam masalah keimanan.  Allah SWT berfirman:

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (Qs. al-Qashash [28]: 50)

Ayat ini ditujukan kepada orang-orang kafir yang tidak memenuhi ajakan Nabi Muhammad saw untuk mendiskusikan keyakinan mereka.  Tatkala orang-orang kafir itu tidak memenuhi ajakan Nabi Muhammad saw untuk mendiskusikan keyakinan mereka, maka terbuktilah, sesungguhnya keyakinan mereka tidak didukung oleh bukti dan hujjah yang nyata.   Mereka hanyalah orang-orang yang menurutkan hawa nafsunya belaka. Jika ia menyakini kebenaran dan kekuatan pendapatnya, tentunya tidak ada alasan untuk tidak memenuhi undangan lawan diskusinya. Ia harus datang dan melayani tantangan diskusi dari pihak lawannya. Jika ia tidak memenuhi undangan lawan diskusinya tanpa ada alasan yang benar, pada dasarnya ia telah ragu akan kemampuan dan kekuatan pendapatnya.

Pada dasarnya, motif utama dari diskusi dan perbandingan adalah mencari kebenaran tertinggi; agar tampak jelas mana pendapat yang benar dan mana pendapat yang salah.  Dengan diskusi pula, kita akan mengetahui mana pendapat yang kuat dan mana pendapat yang lemah. Bila suatu pendapat telah terbukti keliru atau lemah, maka pendapat itu harus ditinggalkan dengan sikap lapang dada, dan penuh keikhlasan. Tidak sepantasnya ia bersikukuh dengan pendapat yang telah terbukti kesalahan dan kelemahannya.   Pasalnya, menolak kebenaran adalah kesombongan.

Islam sangat mendorong kaum Muslim melakukan diskusi untuk mencari kebenaran tertinggi. Tidak hanya itu saja, Islam juga menetapkan sejumlah ketentuan yang berhubungan dengan diskusi dan muqaranah.  Misalnya, Islam memerintahkan kaum Muslim untuk berdiskusi dengan Ahlul Kitab dengan ,m cara yang baik (ihsan), kecuali Ahlul Kitab yang dzalim. Allah SWT berfirman:

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ

“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang dzalim diantara mereka.” (Qs. al-Ankabût [29]: 46.

Orang-orang yang zalim di sini adalah orang-orang yang setelah diberikan kepadanya penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan dengan cara yang paling baik, mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap menyatakan permusuhan.

Tidak hanya itu saja, untuk menuntaskan sebuah diskusi, Allah swt juga membolehkan kaum Muslim melakukan mubahalah dengan kaum Kafir .  Allah swt berfirman;

فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ

“Siapa saja yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu, maka katakanlah Mohammad kepada mereka: “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; lalu, marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta”.(QS Ali Imron (3) :61)

Mubahalah ialah masing-masing pihak diantara orang-orang yang berbeda pendapat berdoa kepada Allah dengan bersungguh-sungguh, agar Allah menjatuhkan la’nat kepada pihak yang berdusta. Nabi saw  sendiri pernah mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak berani.  Dengan demikian, ayat ini menjadi bukti kebenaran nabi Muhammad saw.

Islam juga melarang kaum Muslim melakukan diskusi yang tidak dilandasi ilmu pengetahuan dan mengarah kepada berbantah-bantahan. Sedangkan diskusi untuk mencari pendapat yang terkuat justru menjadi kewajiban setiap kaum muslim. Ini ditunjukkan oleh perilaku Nabi saw.  Tatkala Rasulullah Saw menetapkan posisi pertahanan kaum muslim pada saat perang Badar, pendapat beliau disanggah oleh Khubab bin Mundzir. Akan tetapi, karena pendapat beliau Saw mengenai posisi pertahanan kaum muslim bukan berasal dari wahyu, dan beliau Saw mengetahui bahwa pendapat Khubab bin Mundzir lebih tepat, maka beliau Saw segera meninggalkan pendapatnya dan mengikuti pendapat Khubab bin Mundzir.

Melihat Perbedaan

Islam telah meletakkan sejumlah ketentuan yang berkaitan dengan perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat dalam khazanah Islam disebut dengan khilaf atau ikhtilaf. Sebagian ulama seperti pengarang kitab Fathul Qadir, Ad-Durrul Mukhtar dan ‎Hasyiyah Ibnu Abidin membedakan antara khilaf dan ‎ikhtilaf. Istilah ikhtilaf digunakan untuk pendapat yang didasarkan pada dalil, sedang khilaf untuk pendapat yang tak berdalil. Sementara ulama ushul dan fuqaha lainnya tak membedakan dua istilah itu. (M. Shidqi al-Burnu, Mausuah Al-Qawaid Al-Fiqhiyah, II/190).

Yang perlu dipahami adalah tidak setiap perbedaan itu dibolehkan (mutabar) dalam pandangan Islam. Ada perbedaan yang dibolehkan dan ada pula yang tak dibolehkan. Para ulama telah menetapkan kaidah-kaidah mengenai perbedaan pendapat ini dalam kitab-kitab ushul fiqih ataupun kitab ushuluddin mereka.

Dalam kitab Al-Mausuah Al-Fiqhiyah, misalnya, diuraikan terdapat 4 (empat) macam perbedaan pendapat (ikhtilaf), baik dalam persoalan ushuluddin(aqidah) maupun persoalan furu (hukum syariah) sebagai berikut :

Pertama, persoalan ushuluddin yang dalilnya qathi, seperti adanya Allah, keesaan Allah, adanya malaikat, kenabian Muhammad SAW, adanya kebangkitan sesudah mati, dan yang semisalnya. Dalam perkara-perkara ini tidak boleh ada ikhtilaf. Barangsiapa yang menyalahinya, maka dia kafir.

Kedua, sebagian persoalan ushuluddin (aqidah) yang dalilnya tidak qathi, misalnya masalah melihat Allah (ru`yatullah) di akhirat, masalah kemakhluqan Al-Qur`an (khalqul Qur`an), dan yang semisalnya. Dalam perkara-perkara ini, masih ditolerir adanya ikhtilaf, dalam arti yang berbeda pendapat tidak otomatis dikafirkan. Namun orang yang tak dikafirkan itu harus memenuhi syarat tidak menganggap dusta berita yang dibawa Rasulullah SAW. Jika menganggap dusta, dia dikafirkan. Demikian keterangan Imam Ghazali.

Ketiga, persoalan furu (hukum syariah) yang dalilnya qathi, yakni yang disebut maluumun min al-din bi adh-dharurah (perkara yang sudah diketahui secara pasti sebagai bagian ajaran agama Islam), seperti wajibnya shalat lima waktu, haramnya zina, dan semisalnya. Tidak boleh ada ikhtilaf dalam perkara-perkara ini dan barangsiapa yang menyalahinya maka dia telah kafir.

Keempat, persoalan furu (hukum syariah) yang bersifat ijtihadiyah, yakni yang dalilnya tidak qathi. Seperti jumlah rakaat tarawih, membaca qunut dalam sholat Shubuh, dan semisalnya. Dalam perkara-perkara ini boleh ada ikhtilaf dan menjadi medan ijtihad bagi para mujtahid. (M. Shidqi al-Burnu,Mausuah Al-Qawaid Al-Fiqhiyah, II/191).

Dari keempat macam ikhtilaf di atas, sebenarnya patokan boleh tidaknya ikhtilaf adalah pada dalilnya, apakah dalilnya qathi atau tidak qathi. Jika dalilnya qathi, tak boleh ada ikhtilaf. Jika dalilnya tak qathi, masih ditolerir adanya ikhtilaf.

“Yang dimaksud dalil qathi adalah dalil yang qathi tsubut dan qathi dalalah. Dalil qathi tsubut maksudnya adalah dalil yang dipastikan bersumber dari Rasulullah SAW, yaitu Al-Qur`an dan Hadits Mutawatir. Sedang qathi dalalah maksudnya adalah dalil yang hanya mempunyai satu makna (dalalah) saja, tidak lebih. Inilah pengertian dalil qathi. Di luar dalil qathi ini, adalah medan ijtihad yang dibolehkan ada ikhtilaf”. (Quthub Mushthofa Sanu, Laa Inkaara fi Masa`il al-Ijtihad, hal. 22-23; Ali bin Nayif Asy-Syahud, Al-Khulashah fi Bayan Asbab Ikhtilaf Al-Fuqaha`, hal. 70).

“Sebaliknya, jika ada suatu dalil qathi, lalu ada yang menyalahinya, maka orang itu dihukumi kafir jika dia melakukannya secara sengaja. Misalnya, jika ada yang berfatwa bagian waris laki-laki dan perempuan adalah sama rata. Ini fatwa batil yang wajib ditolak dan tak boleh diamalkan. Orang yang berfatwa demikian sudah kafir dan murtad dari Islam. Karena fatwa ini bertentangan dengan dalil qathi bahwa bagian waris untuk laki-laki adalah dua bagian waris untuk perempuan sebagaimana dalam QS An-Nisaa [4] : 11”.

Konsep  dasar mujadalah adalah firman Allah:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (Qs. an-Nahl [16]: 125)

Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang diserukan kepada manusia ialah wahyu yang diturunkan kepadanya berupa Al-Qur’an, Sunnah, dan pelajaran yang baik, yakni semua yang terkandung di dalamnya berupa larangan – larangan dan kejadian yang menimpa manusia (di masa lalu). Pelajaran yang baik itu agar dijadikan peringatan buat mereka akan pembalasan Allah SWT. (Terhadap mereka yang durhaka). (Ibnu Katsir; Tafsir Al-A’dzhim; XIV/ 292)

Dari sini dapat disimpulkan;bahwa ketika kita berdebat kita harus utamakan dahulu Argumen yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kemudian kebenaran dan kekuatan suatu pendapat tergantung pada kekuatan dalil dan metodologi istinbathnya. Jika suatu pendapat dibangun berdasarkan dalil yang kuat dan metodologi istinbath yang tangguh, maka pendapat itu layak diikuti. Sedangkan pendapat yang dibangun di atas dalil-dalil yang lemah harus ditinggalkan, apalagi pendapat yang tidak memiliki dasar sama sekali maka hal ini tidak ada nilainya dihadapan syari’at, karena hakikatnya seorang muslim hanya diminta untuk menyeru manusia kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagaiman QS. An-Nahl ayat 125 diatas.

Waspadai Bentuk Pemikiran Destruktif Dalam Agama


Rasululloh telah bersabda dalam hadist yang berderajat Hasan:

عن أبي ثعلبة الخشني رضي الله عنه ، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قال
" إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوهَا ، وَحَدَّ حُدُودًا فَلاَ تَعْتَدُوهَا ، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا ، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً بِكُمْ ، غَيْرَ نِسْيَانٍ ، فَلاَ تَبْحَثُوا عَنْهَا " .
. حديث حسن ، رواه الدارقطني وغيره‎

Dari Abi Tsa’labah, dari Rasululloh SAW, beliau bersabda: “Sesungguhnya Alloh telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian tinggalkan, dan Alloh telah menetapkan suatu ketetapan hukum, maka jangan langgar, dan Alloh telah mengharamkan beberapa perkara maka jangan kalian terjang, dan Alloh DIAM atas beberapa perkara karena sayang kepada kalian bukan karena lupa, maka jangan kalian membahas- bahasnya”.
Hadist Hasan riwayat Daruquthni dan lainnya.‎

Kita bisa melihat bukti dinegara- negara yang termakan hasutan pola pikir merusak ini mereka saling menghalalkan darah saudaranya sesama “Ahli Qiblat” dengan alasan kafir atau “keluar dari jama’ah”, padahal merekalah yang telah keluar dari jama’ah karena mereka muncul belakangan.

Para Ulama Ahlussunnah Waljama’ah Mutawassithoh (moderat) dalam kurun waktu yang lama telah menetapkan berbagai pilar yang mantap berdasarkan kaedah- kaedah Al- Qur’an dan hadist- hadist Nabi sehingga tercapai kestabilan politik dan kestabilan tatanan masyarakat dalam jangka waktu relative lama sehingga sebagai efeknya adalah tercapainya kemakmuran dan ketinggian keilmuan kaum muslimin dan kemajuan di berbagai bidang .
Namun sejak beberapa decade yang lalu mulai dimunculkan beberapa pola pikir merusak yang kemudian terbukti menimbulkan berbagai kegaduhan baik internal  maupun berskala internasional, yang jika tidak cepat cepat kita sadari akan dapat meruntuhkan Citra dan keagungan Islam.
Kita sepertinya dibuat lelah dan memuakkan ketika menyaksikan gerakan-gerakan brutal-sadis yang mengatasnamakan agama. Gerakan-gerakan tersebut tampaknya tidak pernah berhenti dari dahulu hingga sekarang, dan mungkin sampai akan datang. Kita menyaksikan tontonan tidak manusiawi tersebut hampir diseluruh lini kehidupan kita, mulai dari agama sampai pada persoalan ekonomi, politik dan sosial budaya. Anehnya gerakan-gerakan tersebut dikemas dengan dan atas nama agama, sehingga menghentakkan sebagian orang serta merta menjadi pendukung dan pembelanya. Padahal perbuatan-perbuatan tersebut sudah diluar agama, alias perbuatan terkutuk dari orang-orang yang telah dikuasai syahwat jelek. Bahkan juga Tuhan dan manusia yang waras ikut mengutuk perbuatan tersebut karena telah merusak kemanusiaan semesta atau mendatangkan bencana kemanusiaan universal.

Kita semua faham bahwa kehadiran agama apapun agama itu bertujuan untuk riwayat almasalih al-ummah (menciptakan kebaikan umat). Sehingga kalau ada agama yang mengajarkan perbuatan-perbuatan destruktif tersebut itu pastikan bukan agama yang benar melainkan hanya keinginan orang-orang tertentu yang mengatasnamakan agama. Agama hanya mentolelir perang dengan segala resikonya. Kalau diperangi, dan itupun masih mempunyai etika kemanusiaan seperti dilarang membunuh orang yang sedang membunuh orang yang tidak sedang membunuh atau memerangi kita, orang-orang tua, harta benda, hewan ternak juga tidak boleh diganggu, alias dipelihara. Ini artinya perang dalam agama hanya bersifat prefentif untuk mempertahankan diri walaupun ada strategi yang mengatakan bahwa “pertahanan yang paling baik itu adalah menyerang”. Tetapi persoalannya bukan strategi melainkan faktual, yaitu perintah memerangi orang-rang yang memerangi kita hanya untuk mempertahankan diri (self difence), karena perang hanya “membunuh atau dibunuh”

Jadi pembunuhan dan kekerasan diluar itu sungguh agama mengutuknya karena bertentangan tujuan akhirnya agama dalam kehidupan manusia. Karenanya membuat statement menghalalkan darah antara sesama itu merupakan statement orang-orang tidak waras alias gila beneran karena melampaui batas agama dan kemanusiaan. Memang diakui paling mudah menggerakkan perbuatan destruktif dengan atas nama agama, sehingga istilah “jihad” yang begitu mulia maknanya, yaitu berjuang dijalan Allah untuk kemanusiaan semesta bisa berubah menjadi “jahat”. Disebut demikian Karena selain perbuatan jahat yang terkutuk itu juga menyebabkan tragedi kemanusiaan yang tidak bisa diterima oleh orang masih waras akalnya. Jadi, perbuatan destruktif atas nama agama itu sejatinya makar setan yang wajib dijauhi. Jika tidak maka bencana kemanusiaan akan terus terjadi dan melanda di-mana-mana dan itu merupakan ancaman yang sangat membahayakan bagi manusia semesta.

Memang ada motif-motif tertentu dari perbuatan destruktif atas nama agama itu, hanya saja motif-motif tersebut telah membutakan mata hati untuk menari diatas penderitaan orang lain. Disinilah pentingnya memfungsikan hati, mata, telinga untuk merasakan dan mendengarkan panggilan kebaikan/kebenaran supaya keberadaan manusia tetap terjaga sebagai makhluk Allah yang mulia. Bila tidak, maka keberadaan manusia tersebut lebih sesat dari pada hewan. Perhatikanlah firman Allah: 

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (179)

“Dan sesungguhnya Kami jadikan isi neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tapi tidak dipergunakannya (untuk memahami ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS. Al-A’raf: 179). 

Perhatikan petunjuk ayat tersebut diatas, betapa hinanya orang yang tidak memfungsikan nikmat Tuhan yang melekat padanyauntuk jalan-jalan yang benar. Ini satu peringatan serius dari Yang Maha Kuasa kepada kita agar tetap terjaga martabat kemanusiaan kita sebagai hambaNya yang mulia. Tanpa hal tersebut kita akan menjadi makhluk Tuhan yang sama bahkan lebih hina dari makhluk-makhluk lain. Nuasnya singa masih lebih baik dari pada buasnya manusia. Singa yang kelihatan buas itu bila mengejar mangsanya hanya satu yang dimangsanya, tetapi  buasnya manusia orang banyak bisa menjadi korban kebuasan seorang. Inilah yang disebut bahwa manusia lebih sesat dari hewan itu (bal hum adhal). Maka jalan keluarnya adalah kembali pada agama sebagai pedoman dan petunjuk hidup untuk meraih kebahagiaan.
Di dalam kitab Sahih Muslim pula telah disebutkan melalui hadis Aisyah binti Talhah, dari bibinya (yaitu Siti Aisyah r.a., Ummul Mu’minin). Dia telah menceritakan: 
دُعِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى جِنَازَةِ صَبِيٍّ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ طُوبَى لَهُ، عُصْفُورٌ مِنْ عَصَافِيرِ الْجَنَّةِ، لَمْ يَعْمَلِ السُّوءَ وَلَمْ يُدْرِكْهُ. فَقَالَ [رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] أَوَ غَيْرَ ذَلِكَ يَا عَائِشَةُ؟ إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْجَنَّةَ، وَخَلَقَ لَهَا أَهْلًا وَهُمْ فِي أَصْلَابِ آبَائِهِمْ، وَخَلَقَ النَّارَ، وَخَلَقَ لَهَا أَهْلًا وَهُمْ فِي أَصْلَابِ آبَائِهِمْ"

bahwa Nabi Saw. diundang untuk menghadiri pemakaman jenazah seorang bayi dari kalangan kaum Ansar. Lalu Siti Aisyah berkata, "Wahai Rasulullah, beruntunglah dia, dia akan menjadi burung pipit surga, dia tidak pernah berbuat keburukan dan tidak menjumpainya." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Hai Aisyah, tidaklah seperti itu. Sesungguhnya Allah telah menciptakan surga dan Dia telah menciptakan pula para penghuninya, sedangkan mereka masih berada di dalam sulbi bapak-bapak mereka. Dan Allah telah menciptakan neraka, dan Dia telah menciptakan pula para penghuninya, sedangkan mereka masih berada di dalam sulbi bapak-bapak mereka.
Di dalam kitab Sahihain, melalui hadis Ibnu Mas'ud disebutkan seperti berikut:

ثُمَّ يَبْعَثُ إِلَيْهِ الْمَلِكَ، فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ، فَيَكْتُبُ: رِزْقَهُ، وَأَجَلَهُ، وَعَمَلَهُ، وَشَقِيٌّ أَمْ سَعِيدٌ".

Kemudian Allah mengirimkan malaikat kepadanya, malaikat diperintahkan untuk mencatat empat kalimat. Maka dicatatlah rezekinya, ajalnya, dan amalnya serta apakah dia orang yang Celaka ataukah orang yang berbahagia

Ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah, gejala lemahnya umat untuk beramar-ma’ruf dan nahi-mungkar ini mulai muncul, maka beliau berkata kepada orang-orang, “Wahai manusia, sesungguhnya kamu telah membaca ayat ini;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (105)

Artinya, “Wahai kaum mukmin, peliharalah diri kalian dengan baik. Orang yang sesat tidak akan dapat merugikan kalian jika kalian sudah mendapatkan hidayah. Kelak kalian akan kembali kepada Allah, lalu di akhirat kelak, Allah akan mengabarkan kepada kalian apa yang telah kalian lakukan di dunia.” (QS. al-Maidah, 5 : 105)

tetapi kamu telah meletakkan ayat ini bukan pada tempatnya, sedangkan aku mendengar Rasulullah saw bersabda;

إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْمُنْكَرَ ، وَلا يُغَيِّرُونَهُ أَوْشَكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلََّ أَنْ يَعُمَّهُمْ بِعِقَابِهِ

Artinya, “Sesungguhnya jika manusia melihat kemungkaran tetapi mereka tidak mau merubahnya, maka lambat laun Allah ‘azza wajalla akan menimpakan azab (siksa) keatas mereka seluruhnya.” (HR. Imam Ahmad)‎

Mentafsirkan ayat diatas, Abu Bakar ash-Siddiq Radhiyallahu ‘anhu berkata;

 أَيُّهَا النَّاسُ ، إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّهُ مُجَانِبُ الإِيمَانِ

Artinya, “Wahai manusia, jauhilah olehmu kedustaan, karena kedustaan itu akan menjauhkan keimanan.” (HR. Imam Ahmad)

Asar ini telah diriwayatkan oleh Ashabus Sunan yang empat dan Ibnu Hibban di dalam kitab Sahih-nya serta lain-lainnya melalui berbagai jalur yang cukup banyak dari sejumlah perawi yang banyak melalui Ismail ibnu Abu Khalid dengan lafaz yang sama secara muttasil lagi marfu. Di antara mereka ada yang meriwayatkannya dari Ismail ibnu Abu Khalid secara mauquf hanya sampai pada Abu Bakar r.a.
Tetapi Imam Daruqutni dan lain-lainnya men-tarjih predikat marfu-nya, dan kami telah menyebutkan semua jalurnya. Pembahasan mengenainya cukup panjang lebar disebutkan di dalam musnad Abu Bakar As-Siddiq.
قَالَ أَبُو عِيسَى التِّرْمِذِيُّ: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ يَعْقُوبَ الطَالَقَاني، وَحَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، حَدَّثَنَا عُتْبَةُ بْنُ أَبِي حَكِيمٍ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ جَارِيَةَ اللَّخْمِيُّ، عَنْ أَبِي أُمَيَّةَ الشَّعْباني قَالَ: أَتَيْتُ أَبَا ثَعْلَبَةَ الخُشَنِي فَقُلْتُ لَهُ: كَيْفَ تَصْنَعُ فِي هَذِهِ الْآيَةِ؟ فَقَالَ: أيَّة آيَةٍ؟ قُلْتُ: قَوْلُهُ [تَعَالَى] {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ} فَقَالَ: أَمَا وَاللَّهِ لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْهَا خَبِيرًا، سألتُ عَنْهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "بَلِ ائْتَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ، وَتَنَاهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ، حَتَّى إِذَا رَأَيْتَ شُحّا مُطاعًا، وهَوًى مُتَّبعًا، وَدُنْيَا مُؤْثَرة، وإعجابَ كُلِّ ذِي رَأْيٍ بِرَأْيهِ، فَعَلَيْكَ بِخَاصَّةِ نَفْسِكَ، وَدَعِ الْعَوَامَّ، فَإِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامًا الصَّبْرُ فِيهِنَّ مِثْلُ القَبْضِ عَلَى الجَمْرِ، لِلْعَامِلِ فِيهِنَّ مثلُ أَجْرِ خَمْسِينَ رَجُلًا يَعْمَلُونَ كَعَمَلِكُمْ" -قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ: وَزَادَ غَيْرُ عُتْبَةَ: قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَجْرُ خَمْسِينَ رَجُلًا مِنْهُمْ أَوْ مِنَّا؟ قَالَ: "بَلْ أَجْرُ خَمْسِينَ مِنْكُمْ".

Abu Isa At-Turmuzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Ya'qub At-Taliqani, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Atabah ibnu Abu Hakim, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Jariyah Al-Lakhami, dari Abu Umayyah Asy-Sya'bani yang mengatakan bahwa ia pernah datang kepada Abu Sa'labah Al-Khusyani, lalu bertanya kepadanya, "Bagaimanakah sikapmu terhadap ayat ini (Al-Maidah: 105)?" Abu Sa'labah bertanya, "Ayat apakah yang kamu maksudkan?" Ia menjawab, "Yang kumaksud adalah firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk' (Al-Maidah: 105)." Abu Sa'labah menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya kamu menanya­kannya kepada orang yang mengetahuinya. Aku pernah menanyakannya kepada Rasulullah Saw., maka beliau Saw. bersabda: 'Tidak, tetapi tetaplah ber-amar ma’ruf dan bernahi munkar hingga kamu melihat sifat kikir ditaati, hawa nafsu diikuti, duniawi dipentingkan(diprioritaskan), dan setiap orang merasa kagum dengan pendapatnya sendiri, maka (saat itulah)kamu harus memperhatikan dirimu sendiri dan tinggalkanlah orang-orang awam. Karena sesungguhnya di balik itu kalian akan mengalami berbagai macam cobaan, yaitu di hari-hari di mana orang yang bersikap sabar dalam menjalani masa itu sama dengan seseorang yang menggenggam bara api. Orang yang beramal (kebaikan) di masa itu beroleh pahala semisal dengan pahala lima puluh orang lelaki yang beramal seperti amal kalian". Abdullah ibnul Mubarak mengatakan bahwa yang lainnya selain Atabah menambahkan seperti berikut: Bahwa ketika ditanyakan, "Wahai Rasulullah, apakah pahala lima puluh orang lelaki itu dari kalangan kami ataukah dari kalangan mereka?" Rasulullah Saw. menjawab: Tidak, bahkan pahala lima puluh orang dari kalian.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib sahih.‎

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud melalui jalur Ibnul Mubarak. Dan Ibnu Majah, Ibnu Jarir serta Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya dari Atabah ibnu Abu Hakim.‎‎

Permasalahan pencapaian demokratisasi di Indonesia kian hari diperhambat dengan berbagai anomali yang lahir dari rahim dehumanisasi. Wibawa negara sebaga institusi “akbar” yang seyogyanya wajib memenuhi hak dasar warga negara seakan-akan sirna di depan permasalahan itu. Kekuatan negara secara organisasional yakni monopoli, memaksa dan menyeluruh  itu semakin mengangkat tangan bahkan terkesan diam-terbungkam dengan kekuatan dalam upaya mencoreng wajah demokrasi pancasila berbasis kebhinekaan kita. Salah satu permasalahan yang selama ini menginjeksi virus-virus menuju karakter antidemokrasi yakni radikalisme agama atau lebih tepatnya kita labelkan dengan Fundamentalisme agama. Pembungkaman demokrasi yang selama ini mencuat hampir di seluruh daerah di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh indoktrinisasi kebenaran positivistik dari beberapa sekte agama besar namun cenderung “garis keras”.  Berbagai bentuk kekerasan atas nama kebenaran agama di dalam beberapa diskursus pluralism maupun demokrasi modern mengasumsi bahkan diyakini sebagai akar penyebab dalam menumbrai spirit pancasilais sebagai substansi republik ini. Fakta-fakta yang terjadi seperti pembantaian terhadap minoritas kaum syiah di sampang Madura, warga ahmadiyah di tasikmalaya, serta beberapa aliran agama nasrani di kota bogor yang di cekal dalam melaksanakan ritual ibadah sebagai bukti bahwa kekerasan beragama masih menjadi permasalahan prioritas yang perlu diselesaikan oleh negara.

Kekerasan dengan dalil agama selama ini terjadi bukan tanpa ada sebab. Menjamurnya gerakan-gerakan fundamentalisme agama dianggap merupakan salah satu dari sekian sebab yang memicu bara api kebencian terhadap keyakinan minoritas. Stigmatisasi ”sesat dan menyesatkan” dengan dalil otoritas wahyu (kitab Suci) dilekatkan kepada golongan yang dianggap di jalur lain dengan kepercayaan atau keyakinan mereka, entah dalam perspektif akidah sebagai konsep beragama maupun ranah ritual sebagai impelemtasi dari akidah itu.

Ada 5 (lima) hal penyebab terjadinya destruktif agama, baik agama samawi (berdasarkan pemahaman wahyu), maupun agama ardhi (agama yang lahir secara proses kultural), 

Pertama mengklaim kebenaran mutlak sehingga agama terkesan kaku dan cenderung skriptualistik. Padahal jika kita lihat agama dengan pendekatan multiperspektif, maka agama bukan hanya menjawab permasalahan teologis saja, melainkan pula menjawab segala bentuk permasalahan kemanusiaan (humanism universal). Firman (otoritas) Illahi yang termaktub dalam kitab suci akan diinterpretasikan sesuai dengan perspektif (sudut pandang) dari sang interpreter dalam menentukan cara beragamanya. Maka perbedaan beragama dan berkeyakinan sudah menjadi suatu sunatullah (hukum alam) yang tak bisa ditumbangkan dengan cara apapun oleh segelintir orang atau kelompok tertentu. 

Kedua, Ketaatan buta terhadap pemimpin yang menyebabkan patrunisasi dalam beragama. Sebagai contoh, dalam fakta dinamika masyarakat, ajaran agama sering digunakan oleh penguasa atau pemimpin untuk melegitimasi kekuasaan. Dalam sejarah peradaban manusia, pemimpin yang zalim (dictator) selalu mencampur-baurkan nilai agama yang seyogyanya “suci” dengan kekuasaan politik yang cenderung bermain kotor dalam mewujudkan tirani kekuasaan. Imbasnya, makna kesakralan agama terlihat keruh karena hanya dimanfaatkan dalam membentengi kebengisan rezim (pemimpin). 

Ketiga,keinginan yang kuat kembali ke zaman ideal. Dalam pandangan fundamentalisme agama, zaman ideal diinterpretasikan sebagai sistem khilafah yang dianggap sangat perfeksionis dalam bentuk ketatanegaraan pasca wafatnya Rasulullah SAW. Akan tetapi, menurut Ayumardi Azra, khilafah secara historis memiliki kelemahan dalam perjalanannya, seperti adanya unsur nepotisme dalam kekhalifahan di zaman Bani Ummayah sehingga memantik konflik kepentingan yang memicu perpecahan dalam tubuh umat islam. Atau dengan kata lain, Rasulullah SAW itu merupakan individu yang  ideal, namun yang jadi pertanyaan besar, apakah kita akan hidup ideal baik secara politik, hukum, dan ekonomi jika kita kembali ke sistem khilafah itu dengan keadaan sudah tidak ada Rasulullah sebagai individu ideal itu (Suri tauladan yang baik)? Sehingga tidak berlebihan jika muncul berbagai argumentasi bahwa khilafah sudah tidak layak dijadikan sebagai entitas politik di zaman modern ini. 

Keempat, menghalalkan segala cara demi satu tujuan tertentu. Sering kita temukan berbagai bentuk kejahatan yang berujung kekerasan bahkan pembunuhan dengan alasan “darahnya halal”. Namun dalam ajaran agama manapun, tidak pernah mengafirmasi tindakan kekerasan apalagi pembunuhan dalam kepentingan individu ataupun golongan. 

Kelima,mengumandangkan perang suci yang melahirkan pandangan untuk memancing kekacauan dan peperangan dengan dalil perintah Illahi. Kila lihat saja berbagai konflik yang terjadi di beberapa belahan dunia seperti di timur tengah, konflik bersenjata yang memicu peperangan diklaim agama sebagai akar penyebabnya. Namun jika dilihat dalam pendekatan ekonomi politik, konflik yang terjadi selama ini disana lebih cenderung akibat dari perebutan sumber energy (kilang Minyak).

Indonesia merupakan negara yang memiliki karakteristik demokrasi yang secara konseptual berbeda dengan negara demokrasi pada umumnya. Demokrasi pancasila yang secara konseptual itu seperti diketahui selama ini berupaya dalam menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia dan penegakan supremasi hukum seharusnya mampu menjawab segala bentuk patologi sosial yang bersumber dari radikalisme atau fundamentalisme agama. Selain itu, pendidikan pluralisme agama sebagai turunan dari Ideologi Pancasila sudah diimplementasi secara dini kepada generasi penerus bangsa sebagai pintu dalam menuju cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa berketuhanan dan berperikemanusiaan. Perlunya suatu badan negara serta regulasi yang dilahirkan terkait mendukung kebebasan dalam beragama sehingga baik secara yuridis maupun non yuridis (politik, sosial, dll), kekerasan atas nama Tuhan mampu diminimalisir bahkan dihilangkan dari wajah Indonesia yang telah bertopeng Demokrasi Pancasila itu.‎

Kita jangan mudah tertipu oleh klaim seseorang yang dikenal sebagai kyai khas atau wali, bahwa ia telah melihat, baik melalui mimpi atau dengan mata hati(kasyaf)-nya, tentang masalah kebenaran.Karena bisa saja yang telah dilihatnya adalah gambar buatan Iblis nenek moyang setan. 

Dalam hal ini Syaikh Abdul Wahhab Sya’roni rh berkata:

ﻓﻘﺪ ﻳﻜﻮﻥ ﺩﺧﻞ ﻛﺸﻔﻪ ﺍﻟﺘﻠﺒﻴﺲ ﻣﻦ ﺇﺑﻠﻴﺲ، ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻗﺪ ﺃﻗﺪﺭ ﺇﺑﻠﻴﺲ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻐﺰﺍﻟﻲ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻳﻘﻴﻢ ﻟﻠﻤﻜﺎﺷﻒ ﺻﻮﺭﺓ ﺍﻟﻤﺤﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺄﺧﺬ ﻋﻠﻤﻪ ﻣﻨﻪ ﻣﻦ ﺳﻤﺎﺀ ﺃﻭ ﻋﺮﺵ ﺃﻭ ﻛﺮﺳﻲ ﺃﻭ ﻗﻠﻢ ﺃﻭ ﻟﻮﺡ ﻓﺮﺑﻤﺎ ﻇﻦ ﺍﻟﻤﻜﺎﺷﻒ ﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻋﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﺄﺧﺬ ﺑﻪ ﻓﻀﻞ ﻭﺃﺿﻞ، ﻓﻤﻦ ﻫﻨﺎ ﺃﻭﺟﺒﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻜﺎﺷﻒ ﺃﻥ ﻳﻌﺮﺽ ﻣﺎ ﺃﺧﺬﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻣﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﻛﺸﻔﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﻪ ﻓﺈﻥ ﻭﺍﻓﻖ ﻓﺬﺍﻙ ﻭﺇﻻ ﺣﺮﻡ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﻪ . ‏( ﺍﻟﻤﻴﺰﺍﻥ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ، ﺝ 1 ، ﺹ 12 ).
“Bisa saja tipuan Iblis memasuki dunia kasyafnya (melihat perkara ghaib), karena Alloh SWT telah memberikan kesanggupan kepada Iblis –sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ghazali dan lainnya- untuk membuat bagi mukasyif (orang yang melihat perkara ghaib) gambar tempat dimana ia mengambil ilmu dari tempat itu, seperti langit, ‘Arasy, Kursi, Qalam, atau Lauh Mahfudz. Maka terkadang mukasyif menyangka bahwa ilmu itu dari Alloh SWT, lalu ia mengambilnya, lalu ia tersesat dan menyesatkan. Oleh karenanya, para ulama telah mewajibkan atas mukasyif supaya menghadapkan ilmu yang telah diambilnya melalui kasyaf kepada al-Kitab (Qur’an) dan Sunnah. Ketika sesuai dengan al-Kitab dan Sunnah, maka diamalkan. Dan ketika tidak sesuai, maka haram mengamalkannya”. (al-Mizan al-Kubro, 1/12).

Jadi ketika Iblis mampu membuat gambar Arasy sebagai makhlunya Alloh yang terbesar dan tertinggi, maka membuat gambar kejadian alam tentu lebih mudah bagi Iblis, juga dengan memasukkan gambar itu ke dalam dunia mimpi seorang ulama atau kyai khash yang daya akalnya lemah dan rapuh.‎

Ketika Rasululloh hampir wafat, para sahabat memohon agar diberikan wasiyat tentang siapa penerus beliau sebagai khalifah selanjutnya. Nabi diam tidak menjawab. Ini memilik arti bahwa model khilafah dan kepemimpinannya diserahkan kepada kebijaksanaan ummat (walau ada yang berpendapat bahwa Nabi pernah berwasiyat tentang masalah ini di “Ghodir Khum”, namun para cendekia menganggap peristiwa ini sejatinya tak pernah terjadi dengan berbagai argument yang amat kuat).
Rasululloh bersabda sebelum wafatnya:
قال عند وفاته ‏:‏ إن استخلف فقد استخلف من هو خير مني ، وإن أتركهم فقد تركهم من هو خير مني ، فعرف الناس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يستخلف أحداً ‏. السيرة النبوية ابن هشام
“ Jika (aku) menentukan pengganti (khalifah), sungguh sudah ada orang (Nabi) yang lebih baik dari saya yang memilih pengganti (seperti Nabi Dawud digantikan putranya Sulaiman), jika aku membiarkan ummat (untuk mencari penggantI) maka juga sudah ada orang yang lebih baik dari aku yang membiarkan ummat mencari pennganti”.‎ 

Maka ketika itu menjadi jelas bagi manusia (para sahabat) dan menjadi tahu bahwa sesungguhnya Rasululloh tidak menentukan pengganti dengan siapapun (Siroh Nabawiyyah Ibnu Hisyam).‎

Dalam keyakinan Ahlussunnah Waljama’ah Mutawassithoh (moderat), loyalitas kepada pemimpin itu sebuah kewajiban yang  bersifat mengikat yang harus dita’ati, kecuali perintah untuk berbuat maksiyat. Bahkan ummat Islam dilarang oleh Nabi  untuk mengadakan perlawanan dan pemberontakan kepada pemimpin yang ada walau bersifat zalim selama mereka msih menegakkan sholat berdasarkan banyak- hadist- hadist yang bernilai sohih.

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : " خِيَارُكُمْ وَخِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ ، وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ ، وَشِرَارُكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ ، وَتُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ . قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَلا نُنَابِذُهُمْ ؟ قَالَ : لا ، مَا صَلَّوْا لَكُمُ الْخَمْسَ ، أَلا وَمَنْ كَانَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعَاصِي اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ، فَلْيُنْكِرْ مَا أَتَى مِنْ ذَلِكَ ، وَلا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ " رواه مسلم

Dari 'Auf bin Malik ra, Aku telah mendengar Rasululloh SAW bersabda:
"Sebaik- baik kalian dan sebaik- baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka para pemimpin itu mencintai kalian, kamu sekalian mendo'akan mereka dan mereka mendo'akan kalian. Dan seburuk- buruk kalian dan para pemimpin kalian adalah yang kamu sekalian membenci mereka dan mereka para pemimpin itu membenci kalian. Kalian pun mengutuk mereka, mereka pun mengutuk kalian".
Para sahabat berkata: "Wahai rasulalloh, bolehkah kami memberontak kepada mereka?"
Nabi menjawab: "Tidak, selama mereka masih melaksanakan sholat lima waktu". "Ingat, barang siapa memiliki pemimpin yang melakukan sebagian maksiyat kepada Alloh, maka hendaklah ia (rakyat) mengingkari (jangan menyetujui) apa yang mereka lakukan, namun jangan kalian mengangkat tangan kalian dari janji setia (ta'at kepada pemimpin itu)"..
Hadist riwayat Muslim.

Terlalu banyak hadist- hadist yang senada dengan ini yang dipegang teguh oleh kaum Ahlussunnah Waljama’ah Mutawassithoh (moderat), namun kini muncul pola pikir merusak yang menghantam nilai- nilai ini sehingga memporak porandakan satabilitas dinegara- negara yang dilandanya. Kata- kata nasehat para ulama sudah tidak digubris karena mereka telah berhasil men- delegitimasi para ulama, bahkan tak ragu untuk menghabisi ulama caliber dunia sekalipun sebagaimana terjadi padaSyekh Al- Buthi di Suriah, menghalalkan terror, pembunuhan dan saling bom antar kelompok karena telah berhasil men – diskreditasi ummat dalam kelompok yang dianggapnya ahli bid’ah dan ahli kebathilan karena tidak sefaham dengan mereka dan akhirnya negara porak poranda diterjang gelombang pemberontakan setelah mereka berhasil men- destabilisasi negara- negara yang dikehendaki, bertentangan dengan wasiyat- wasiyat Nabi SAW tentang larangan“bughot” dan pemberontakan kepada pemimpin yang telah diangkatnya.

Maka kita kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah Mutawassithoh dan pemerintah harus mewaspadai 3 pola pkir yang merusak itu, yakni:delegitimasi – diskreditasi dan de stabilsasi, dan memperingatkan ummat serta generasi muda tentang bahayanya  3 pola pikir yang merusak itu.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...