Jumat, 22 Oktober 2021

Menjaga Kesinambungan Generasi


Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum Ad-Diin berkata,
وفي التوصل إلى الولد قربة من أربعة أوجه هي الأصل في الترغيب فيه عند الأمن من غوائل الشهوة حتى لم يحب أحدهم أن يلقى الله عزبا.
الأول موافقة محبة الله بالسعي في تحصيل الولد لإبقاء جنس الإنسان
والثاني طلب محبة رسول الله صلى الله عليه وسلم في تكثير من مباهاته
والثالث طلب التبرك بدعاء الولد الصالح بعده
والرابع طلب الشفاعة بموت الولد الصغير إذا مات قبله.

Berusaha untuk mendapatkan keturunan sudah dinilai sebagai suatu bentuk ibadah dilihat dari empat sisi:
Menjalankan perintah Allah agar manusia tetap memiliki keturunan.
Berharap dicintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau akan bangga dengan banyaknya keturunannya pada hari kiamat.
Mengharap berkah dari doa baik dari anak shalih setelah itu.
Mengharapkan syafa’at dari anak yang meninggal dunia ketika kecil sebelum orang tuanya.‎

Dunia saat dihuni oleh sekitar 7 milyar manusia. China menempati ranking pertama dalam hal jumlah penduduk, sebanyak 1 miliar lebih.  disusul India, Amerika Serikat, dan kemudian Indonesia. Selain juara dalam hal tertentu, olimpiade Fisika, Matematika, Bulutangkis, kekayaan sumber daya alam, ternyata Indonesia juga menjadi juara dalam hal jumlah penduduk, yaitu sekitar 230 juta jiwa, urutan keempat dunia. Jika potensi banyaknya SDM (sumber daya manusia) ini dikelola dengan baik dan bertanggung jawab, maka sungguh luar biasa, akan menjadi kekuatan negara yang dapat diandalkan dalam segala bidang. Di sinilah semboyan pendahulu negeri ini, banyak anak banyak rezeki itu menemukan konteksnya. Ungkapan ini juga bisa dimaknai, banyak SDM maka banyak pekerjaan diselesaikan yang akan membawa keuntungan sebagai salah satu bentuk rezeki.

Sebaliknya, bila jumlah penduduk yang banyak tidak dikelola dengan cerdas dan bertanggung jawab, akan menjadi masalah serius bagi kehidupan. Di sini berlaku istilah sebagian masyarakat, banyak anak banyak masalah. Kemiskinan, pengangguran, banyaknya angka kriminalitas, maraknya anak/remaja gelandangan di jalanan dan terminal serta meluasnya “asosiasi” pengemis dan gelandangan (APeG) adalah sejumlah masalah yang ditimbulkan oleh ketidakberesan management sumber daya manusia dan juga sumber daya alam suatu negara.  Karenanya, sembari memperbaiki manajemen SDM dan faktor-faktor yang mempengaruhinya,  diperlukan langkah-langkah strategis berupa pengendalian jumlah penduduk melalui Keluarga Berencana.

Masalahnya, Keluarga Berencana adalah istilah baru bagi kegiatan kebudayaan manusia yang dahulu di masa Nabi Muhammad saw. belum disebut-sebut secara langsung. Dengan kata lain, saat itu jumlah penduduk tidak perlu dikhawatirkan, bahkan mungkin dirasa perlu manusia (warga negara) memiliki banyak anak untuk mempertahankan eksistensi masyarakat/negara atau menjadi SDM mandiri yang diperlukan dalam mengelola kebun/lahan pertanian yang luas dan sebagainya. Juga banyak anak diperlukan karena masih sering terjadi peperangan yang menelan banyak korban. Kondisi demikian memaksa lahirnya generasi baru pengganti pendahulu yang gugur di medan perang. Ini tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia semasa kemerdekaan dahulu.

Demikianlah suatu kebijakan lahir karena situasi dan kondisi menuntut atau menghendaki demikian. Demikian pulalah Islam memandang masalah-masalah kontemporer terkait muamalah seperti KB, bayi tabung, asuransi, perbankan, dan sebagainya terkait dengan kondisi yang melatarinya. Sejauh untuk meraih maslahat yang besar di sana atau menghindarkan suatu mafsadat, maka Islam memberikan jalan keluar. Untuk itu diperlukan ijtihad dalam memikirkan jalan kemaslahatan atas suatu masalah.

Menjaga Kesinambungan Generasi
Misi Islam untuk kemaslahatan atau kerahmatan semesta   inilah yang mendasari diutusnya para rasul, khususnya Nabi Muhammad saw. Karenanya sangat beralasan jika Imam Ghazali (w. 505 H/1111 M.), al-Syatibi (w. 790 H.) dan Ibn Khaldun (w. 808 H./1406 M.) menyimpulkan bahwa tujuan syariah Islam adalah melindungi lima hal pokok, yaitu jiwa (al-nafs), akal (al-‘aql), keturunan (al-nasl), agama (al-din), dan harta benda (al-maal).  Mengingat tujuan syariah Islam adalah tercapainya al-mashalih al-‘ammah (kemaslahatan umum) , maka melindungi dan memperjuangkan terwujudnya kelima hal pokok tersebut adalah tindakan maslahat (kebaikan) sehingga perlu dikukuhkan. Sebaliknya semua tindakan yang mengancam kelima hal tersebut adalah tindakan mafsadat (kerusakan) sehingga perlu dicegah.

Semua ajaran (baik berupa kewajiban atau anjuran melaksanakan atau larangan mengerjakan) dalam Islam selalu terhubung dengan salah satu atau beberapa hal atau kelima hal prinsip dasar agama di atas. Misalnya, perintah menjaga kesehatan dan larangan membunuh atau menghilangkan nyawa diri atau orang lain adalah dalam rangka melindungi nafs, perintah makan dan minum yang halal dan baik/sehat serta larangan mengkonsumsi khamar dan turunannya adalah dalam rangka melindungi kesehatan jiwa dan akal, anjuran menikah dan larangan berzina dalam rangka melindungi kehormatan kemanusiaan dan keturunan, perintah bekerja dan larangan mencuri dalam upaya melindungi harta benda manusia, dan perintah menyembah Allah swt. dan larangan menyekutukan-Nya adalah dalam rangka melindungi agama dan meraih kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.

Dalam kaidah usul fiqh dinyatakan nahyun ‘an syai’in amrun bi d}iddihi (larangan terhadap sesuatu  berarti perintah terhadap yang sebaliknya). Ini berarti jika dalam agama terdapat larangan membunuh berarti mengandung perintah menjaga kehidupan, kesehatan, dan keberlangsungan generasi. Jika terdapat larangan merusak keturunan, berarti mengandung perintah melestarikan keturunan dengan baik dan bijaksana. Ini bisa dikembangkan dengan contoh-contoh lainnya. 

Keluarga Berencana sebagai Ikhtiar Melindungi Keturunan
Salah satu ikhtiar menjaga kesinambungan generasi adalah melalui Keluarga Berencana (KB). KB diartikan sebagai upaya manusia secara sadar untuk merencanakan sebuah keluarga sejahtera dan bahagia dengan jumlah anggota keluarga yang pas, sesuai dengan keadaan dan kemampuan manusia tersebut, baik dalam waktu dekat maupun jangka panjang. Dengan pengertian ini, pada dasarnya KB bermakna mengatur keturunan, baik dalam hal kuantitas maupun kualitasnya. Ini berarti KB mencakup dalam mengatur untuk mengerem jumlah keturunan atau mengatur untuk menambah jumlah keturunan. Karenanya, dalam keadaan jumlah penduduk suatu negara mengalami lonjakan luar biasa, KB dilakukan untuk mengerem atau memperlambat laju pertumbuhannya. Sementara dalam keadaan negara yang berkekurangan atau krisis jumlah penduduk, KB dilakukan dengan mengatur untuk menambah atau memacu laju pertumbuhan warganya.

Dalam konteks Indonesia yang jumlah penduduknya nomor empat terbanyak di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat, KB dipahami sebagai usaha untuk mengerem laju pertumbuhan penduduk sehingga berada dalam laju angka yang wajar, tidak tinggi, namun juga tidak rendah. Ya, sebuah laju pertumbuhan yang berkeseimbangan dan selaras. Dengan demikian, demi keseimbangan dan kesinambungan, tidak boleh jumlah rakyat yang terlalu banyak sehingga tidak terurus oleh negaranya sehingga memicu munculnya masalah-masalah sosial atau terlalu sedikit yang dapat mengancam ketahanan suatu negara akibat ketidaktersedianya generasi penerus.

Hadis Nabi tentang KB
Sebelum mengaitkan KB dengan hadis Nabi, ada baiknya penulis menyinggung ayat-ayat yang sangat berhubungan sehingga bahasan ini lebih lengkap dan tidak kehilangan konteks. Setidaknya ada 3 ayat penting yang menjadi landasan nilai dalam merumuskan pandangan Islam tentang KB, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا...  [التحريم/6]
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari api neraka…(QS. al-Tahrim, 66: 6).‎

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا  [النساء/9]
Artinya: Dan hendaklah orang-orang merasa khawatir, jika meninggalkan sesudah mereka keturunan yang lemah-lemah yang mereka takutkan. Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar/sesuai. (QS. al-Nisa’, 4: 9)‎

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا [الإسراء/31]
Artinya: Dan janganlah kalian membunuh anak-anakmu karena khawatir tidak bisa makan (jatuh miskin). Kamilah yang memberikan rezeki kepada mereka (anak-anakmu) dan juga kepada kalian. Sungguh membunuh mereka adalah tindakan kejahatan yang besar. (QS. al-Isra’, 17: 31).

Ayat-ayat di atas menyampaikan pesan tentang pentingnya perlindungan diri dan keluarga, lebih khusus lagi adalah keturunan, dari neraka yang dapat dipahami sebagai berbagai bentuk penderitaan dunia dan akhirat. Penderitaan itu antara lain dapat berbentuk kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, serta keburukan moral. Ayat ini memandu orang yang beriman untuk memikirkan keselamatan dan kesinambungan generasi secara lahir batin dan dunia akhirat.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa Allah swt. menghendaki dilahirkannya (didesain) generasi yang kuat, cerdas, beriman, dan memiliki sejumlah keunggulan. Untuk mencapai keunggulan-keunggulan tersebut diperlukan sejumlah langkah, salah satunya adalah memperhatikan aspek kelahiran dan seluruh proses yang mengitarinya seperti pernikahan, relasi suami-istri dalam pernikahan, usia ibu melahirkan, gizi bayi/keluarga, pendidikan sejak dini, dan seterusnya. Di dalamnya termasuk pula pengaturan kualitas dan kuantitas kelahiran anak. Nah, di sinilah urgensi pembahasan Keluarga Berencana, yaitu menjaga dan melindungi keturunan/generasi agar memiliki sejumlah keunggulan secara jasmani/fisik, mental/ruhani, intelektual, dan sosial-budaya.

Kembali kepada hadis, secara langsung Nabi saw. tidak pernah membicarakan soal Keluarga Berencana secara tekstual seperti yang dipahami masyarakat masa sekarang. Beberapa hadis berikut sering diangkat para ulama ketika membicarakan soal KB dalam perspektif Islam, antara lain:   ‎

عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - . 
Artinya: Dari Jabir. Ia berkata: “Kami pernah melakukan ‘azl (berhubungan seks dengan mengeluarkan mani di luar vagina, coitus interuptus) pada masa Nabi saw. (HR. Bukhari, no. 5207).

قَالَ عَمْرٌو أَخْبَرَنِى عَطَاءٌ سَمِعَ جَابِرًا رضى الله عنه قَالَ كُنَّا نَعْزِلُ وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ . 
Artinya: ‘Amr berkata bahwa Ata’ mengabarkan kepadaku, ia mendengar Jabir ra berkata: “Kami pernah melakukan ‘azl (coitus interuptus) sementara Al-Quran masih turun (kepada Nabi saw.). (HR. Bukhari, no. 5208).

عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ . 
Artinya: Dari Jabir, berkata: “Kami pernah melakukan ‘azl (coitus interuptus) pada masa Nabi saw. dan sementara itu Alqur’an masih turun. (HR. Bukhari, no. 5209)

عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمْ يَنْهَنَا.‎

Artinya: Dari Jabir, ia berkata: Kami pernah melakukan ‘azl (coitus interuptus) pada masa Rasulullah saw. kemudian berita itu sampai kepada Nabi saw. namun Nabi saw. tidak melarang kami. (HR. Muslim, no. 3634).

Hadis-hadis di atas menegaskan tentang realitas praktik ‘azl di masa Nabi oleh sejumlah sahabat. Praktik ‘azl tidak dilarang oleh Nabi. Ini menunjukkan bahwa jika dipandang perlu atau mengandung kemaslahatan yang lebih besar, maka praktik ‘azl  antara seorang suami dan istri dapat diterima. ‎

Selain hadis-hadis di atas, Imam Abu Dawud meriwayatkan beberapa hadis terkait ‘azl dengan menerangkan konteks masalah yang mengitarinya, yaitu:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِى جَارِيَةً وَأَنَا أَعْزِلُ عَنْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ وَأَنَا أُرِيدُ مَا يُرِيدُ الرِّجَالُ وَإِنَّ الْيَهُودَ تُحَدِّثُ أَنَّ الْعَزْلَ مَوْءُودَةُ الصُّغْرَى. قَالَ « كَذَبَتْ يَهُودُ لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَخْلُقَهُ مَا اسْتَطَعْتَ أَنْ تَصْرِفَهُ ».‎

Artinya: Dari Abi Sa’id al-Khudri, berkata bahwa seorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulallah,  sungguh aku memiliki seorang budak dan aku ber-‘azl darinya dan aku tidak suka kalau ia hamil sementara aku menginginkan apa yang diinginkan oleh para lelaki dan sementara kalangan Yahudi menceritakan (berpaham) bahwa ‘azl adalah pembunuhan kecil. Nabi saw. menyatakan: “Kalangan Yahudi itu berdusta (bahwa ‘azl sama dengan pembunuhan kecil). Kalau saja Allah hendak menciptakan manusia (dari air mani itu), pasti kamu tidak bisa menghindarinya.” (HR. Abu Dawud, no. 2173).

عَنْ جَابِرٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ إِنَّ لِى جَارِيَةً أَطُوفُ عَلَيْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ. فَقَالَ « اعْزِلْ عَنْهَا إِنْ شِئْتَ فَإِنَّهُ سَيَأْتِيهَا مَا قُدِّرَ لَهَا ». قَالَ فَلَبِثَ الرَّجُلُ ثُمَّ أَتَاهُ فَقَالَ إِنَّ الْجَارِيَةَ قَدْ حَمَلَتْ. قَالَ « قَدْ أَخْبَرْتُكَ أَنَّهُ سَيَأْتِيهَا مَا قُدِّرَ لَهَا ».
Dari Jabir ra. berkata: Seseorang dari Kaum Anshar datang menghadap Rasulullah dan bertanya: “Sungguh aku memiliki seorang budak perempuan yang aku gandrungi, namun aku tidak suka ia hamil”. Lalu Nabi mengatakan: “Ber-’azl-lah kamu darinya, jika mau, maka sungguh akan terjadi juga apa yang sudah dikadarkan untuknya.” Jabir berkata bahwa orang itu berdiam diri (dengan ‘azl-nya) kemudian datang lagi kepada Nabi dan berkata bahwa budak perempuannya telah hamil. Kemudian Nabi bersabda: “Sungguh sudah aku kabarkan kepadamu bahwa apa yang sudah dikadarkan untuknya tetap akan terjadi.” (HR. Abu Dawud, no. 2175). 

Hadis di atas menunjukkan informasi dan latar belakang masalah metode klasik dalam mencegah terjadinya kehamilan, yaitu metode ‘azl. Metode ini dilakukan jika suami-istri sepakat untuk berhubungan seksual, namun belum/tidak menghendaki kehamilan atau memiliki anak. Metode ini pernah dipraktikkan sejumlah sahabat pada masa Nabi dan saat itu wahyu Alqur’an masih turun. Pada prinsipnya, praktik ‘azl tersebut tidak dilarang oleh Nabi dan juga tidak ada wahyu Alqur’an turun yang menegurnya. Bahkan ketika ada pendapat dari kaum Yahudi bahwa ‘azl termasuk pembunuhan kecil, Nabi membantahnya seraya menegaskan bahwa pemahaman kaum Yahudi tersebut tidak benar, tidak sesuai.

Bahkan berdasar, hadis riwayat Abu Dawud di atas Nabi menyarankan kepada seseorang dari kaum Anshar yang bertanya untuk melakukan ‘azl, jika memang ingin demikian, namun tetap saja hal itu tidak mempengaruhi apa yang dikadarkan oleh Allah swt. Ketika orang tersebut telah ber-‘azl dan ternyata, di luar batas ikhtiarnya, budak perempuan miliknya itu hamil juga. Atas kasus ini, Nabi saw. menyatakan: “Sudah aku beritahukan kepadamu bahwa apa yang sudah dikadarkan Allah tetap akan terjadi.”‎

Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana menyikapi hadis yang menegaskan bahwa Nabi saw. akan berbahagia dengan jumlah umatnya yang banyak di Hari Kimat kelak? Hadis tersebut yaitu: 

عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ إِنِّى أَصَبْتُ امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ وَجَمَالٍ وَإِنَّهَا لاَ تَلِدُ أَفَأَتَزَوَّجُهَا قَالَ « لاَ ». ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ « تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّى مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ ».‎

Artinya: Dari Ma’qil bin Yasar, berkata: seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. dan berkata: “Aku mendapatkan (calon) seorang perempuan yang memiliki status dan kecantikan, namun ia tidak bisa beranak, apakah aku boleh nenikahinya?” Nabi menjawab: “Tidak”. Kemudian datang lagi kedua dan datang lagi ketiga kalinya (untuk bertanya lagi). Lalu Nabi menjawab: “Nikahilah calon yang penyayang dan potensial beranak. Aku sungguh akan memperbanyak umat ini melalui kalian”. (HR. Abi Dawud, no. 2052).

Untuk memahami hadis ini tentu harus ditangkap konteks masalahnya, yaitu jika seseorang  hendak menikah, dianjurkan memilih calon yang penyayang, penuh kasih (wadud) dan berpotensi untuk memiliki anak (walud). Jika alternatifnya adalah memilih dengan calon pasangan yang (diduga kuat) tidak bisa punya anak, maka disarankan memilih calon yang berpotensi dapat memiliki keturunan. Dengan keturunan tersebut, Nabi saw. bermaksud menjaga keberlangsungan umatnya dengan jumlah yang banyak dan berkualitas, serta kuat secara jasmani dan ruhani. Hal demikian ditunjukkan dalam semangat ayat dan hadis lainnya. Salah satunya adalah hadis berikut: 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ ».

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. Dan dalam segala hal, kekuatan itu baik. (karena itu) jagalah apa yang membawa manfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah menjadi lemah. Jika kamu ditimpa sesuatu, janganlah berkata ‘seandainya aku berbuat begini, maka akan begini’, namun katakanlah ‘Allah telah mengkadarkan dan apa saja yang Dia kehendaki akan terjadi. Karena sikap ‘berandai-andai’ membuka peluang perbuatan setan.” (HR. Muslim, no. 6945).

Dari hadis di atas, bahwa Allah dan rasul-Nya lebih mencintai umatnya yang kuat dalam segala hal, daripada umatnya terjangkit sejumlah kelemahan, baik fisik, mental, maupun sosial-ekonomi. Hadis tersebut juga menegaskan tentang pentingnya kualitas generasi. Tegasnya, generasi yang kuat lahir-batin, moral, intelektual, sosial-ekonomi, jauh lebih utama daripada sekadar banyak jumlah namun kurang memiliki kapasitas yang diperlukan dalam kehidupan yang semestinya. Sementara untuk melahirkan generasi yang unggul tersebut diperlukan langkah-langkah, salah satunya adalah dengan mengatur jarak kehamilan istri yang seimbang dan aman. Jika jarak tersebut tidak seimbang atau tidak aman, misalnya terlalu cepat antara kelahiran anak yang lebih besar dengan kehadiran bayi yang dilahirkan akan mempengaruhi kualitas kesehatan ibu dan juga kesehatan anak. Perhatian orang tua terlalu sedikit karena harus dibagi-bagi dengan anak-anak yang jumlahnya banyak. Ini semakin sulit jika ditambah masalah ekonomi yang pas-pasan, pendidikan yang kurang, dan waktu yang terbatas dari orang tua untuk mendampingi pertumbuhan anak-anak.
Atas dasar sejumlah ayat dan hadis di atas, dapat dinyatakan bahwa ikhtiar manusia untuk mengatur jumlah keturunan melalui praktik KB tidaklah melanggar prinsip-prinsip Islam. Karenanya, KB sebagai bagian dari kegiatan muamalat diperbolehkan selama tidak merugikan dan membawa mafsadat (bahaya), baik bagi diri pelaku, pasangan, dan juga generasi umat manusia. Untuk itu tetap diperlukan pemikiran yang matang dan sehat dalam memutuskan apakah pasangan suami-istri perlu ber-KB atau tidak? Model KB dan alat kontrasepsi apa yang hendak dipilih? Apakah pilihan tersebut aman atau membahayakan, tentunya dikonsultasikan kepada orang yang ahli dan dipercaya. Begitu pula tentang kapan saat yang tepat untuk KB? Berapa anak yang ideal dan berpotensi mengantarkan pada tercapainya keluarga sakinah? Tentang hal-hal tersebut, tentu pasangan suami-istri itu sendirilah yang lebih mengetahui kondisinya

Selamatkan Generasi Muda Dari Kerusakan


Nabi Muhammad SAW mengingatkan dalam sabdanya sebagai berikut:

اُوْصِيْكُمْ بِالشَّبَابِ خَيْرًا فَاِنَّهُمْ اَرَفُّ اَفْئِدَةً اِنَّ اللهَ بَعَثَنِيْ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا فَخَالَفَنِى الشُّيُوْخُ ثُمَّ تَلاَ قَوْلَهُ تَعَالَى فَطَالَ عَلَيْهِمُ اْلاَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْ.

“Aku wasiat-amanatkan kepadamu terhadap pemuda-pemuda (angkatan muda) supaya bersikap baik terhadap mereka. Sesungguhnya hati dan jiwa mereka sangat halus. Maka sesungguhnya Tuhan mengutus aku membawa berita gembira, dan membawa peringatan. Angkatan mudalah yang menyambut dan menyokongaku, sedangkan angkatan tua menentang dan memusuhi aku. Lalu Nabi membaca ayat Tuhan yang berbunyi: “Maka sudah terlalu lama waktu (hidup) yang mereka lewati, sehingga hati mereka menjadi beku dan kasar”.

Ahli hikmah mengatakan, siapa yang tumbuh pada masa mudanya dengan orientasi, akhlak, kepribadian, karakter tertentu, maka rambutnya akan memutih dalam kondisi ia memiliki karakter yang telah diperjuangkannya itu (man syabba syaaba ‘alaihi).

Imam Syafii mengatakan : Sungguh pemuda itu distandarisasi dari kualitas ilmu dan ketakwaannya. Jika keduanya tidak melekat pada struktur kepribadiannya.Ia tidak layak disebut pemuda. Pemuda hari ini adalah pemimpin di masa depan (syubbanul yaum rijalul ghod).

Allah Subhanahu Wata’ala mengingatkan kepada kita agar tidak meninggalkan generasi yang lemah.Lemah iman, lemah ilmu, lemah akhlak, dan lemah ekonomi.

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْتَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللهَ وَلْيَقُولُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا

Artinya: Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS: An-Nisa/4:9).

Dunia generasi muda saat ini lebih banyak diisi oleh kegiatan hura-hura dan membuang-buang waktu, padahal waktu adalah sesuatu yang amat mahal dalam hidup seseorang. Betapa banyak orang menyesal di hari tua karena lalai di hari mudanya. Semasa muda waktunya habis di warnet, di kedai kopi, nongkrong di jalanan atau main game dan bersenda gurau. Padahal agama kita memerintahkan kepada umatnya agar mempergunakan waktu sebaik mungkin. 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَٱلْعَصْرِ

إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ

إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al-‘Ashr 1-3)

Betapa banyak ayat yang menerangkan tentang waktu dan Allah bersumpah dengan waktu-waktu tersebut. Seperti dalam ayat di atas Allah bersumpah dengan waktu Ashar. Karena waktu Ashar adalah saat orang menghitung untung rugi yang di alaminya pada setiap hari. Nah pernahkah kita melakukan hal itu dalam perjalanan hari-hari kita?

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ (خ 5933)

Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya: kesehatan dan waktu luang”. (HR. Bukhari, no: 5933) Diriwayatkan oleh Al-Bukhary, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasulullah bersabda kepada seorang lelaki sembari menasihati lelaki tersebut,

اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ ، وَصِحَتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

“Manfaatkan lima perkara dengan segera sebelum (datang) lima perkara; waktu mudamu sebelum (datang) waktu tuamu, kesehatanmu sebelum (datang) sakitmu, kekayaanmu sebelum (datang) kefakiranmu, waktu luangmu sebelum (datang) waktu sibukmu, dan kehidupanmu sebelum (datang) kematianmu.”
Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan selainnya. Dishahihkan oleh Al-Albany.

Dalam hadits Ibnu Mas’ud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَزُولُ قَدَمَا ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ

“Kedua kaki anak Ibnu Adam tidaklah bergeser pada hari kiamat di sisi Rabbnya hingga ia ditanya lima perkara: [1] umurnya, di mana ia habiskan, [2] waktu mudahnya, di mana ia manfaatkan, [3, 4] hartanya, bagaimana ia memperolehnya dan di mana ia infakkan, [5] amalan dari ilmu yang ia ketahui.” (HR. Tirmidzi no. 2416, hasan kata Syaikh Al Albani)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: أَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبَيَّ فَقَالَ: كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُوْلُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku lalu bersabda, “Jadilah engkau hidup di dunia seperti orang asing atau musafir (orang yang bepergian).” Lalu Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhumenyatakan, “Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah menunggu hingga pagi hari. Dan apabila engkau berada di pagi hari maka janganlah menunggu hingga sore hari. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu. Dan pergunakanlah hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al-Bukhariy no.6416)

Tanggung jawab terhadap pertumbuhan pemuda merupakan sebuah tanggung jawab yang besar. Karena pemuda itu adalah amanah di pundak orang tua dan semua orang akan dimintai pertanggungan jawab terhadap orang-orang yang berada dibawah tanggungannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; para penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. [at-Tahrîm/66:6]

Kita sekarang berada pada zaman yang penuh dengan beragam keburukan dan cobaan yang bertebaran, sehingga karena saking banyaknya cobaan, seakan cobaan berikutnya membuat cobaan sebelumnya terasa lebih ringan.

Mungkin ini merupakan bukti kebenaran sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَإِنَّ أُمَّتَكُمْ هَذِهِ جُعِلَ عَافِيَتُهَا فِي أَوَّلِهَا وَسَيُصِيبُ آخِرَهَا بَلَاءٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا وَتَجِيءُ فِتْنَةٌ فَيُرَقِّقُ بَعْضُهَا بَعْضًا وَتَجِيءُ الْفِتْنَةُ فَيَقُولُ الْمُؤْمِنُ هَذِهِ مُهْلِكَتِي ثُمَّ تَنْكَشِفُ وَتَجِيءُ الْفِتْنَةُ فَيَقُولُ الْمُؤْمِنُ هَذِهِ هَذِهِ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنْ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

Sesungguhnya umat kalian ini dijadikan keselamatannya dipermulaannya, sedangkan masa akhirnya akan tertimpa musibah dan hal-hal yang kalian ingkari. Dan cobaan akan berdatangan sehingga sebagian dari cobaan tersebut (menyebabkan) cobaan yang lain terasa ringan. Saat cobaan terjadi, seorang mukmin akan mengatakan, “Inilah masa kebinasaanku,” kemudian cobaan itu berlalu. Lalu datang lagi cobaan (yang lain), seorang Mukmin mengatakan, “Ini masa kebinasaanku,”. Maka barangsiapa yang suka diselamatkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka hendaklah (saat) kematian mendatanginya dia dalam keadaan beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhir.

Pada zaman kita ini tipu-daya orang-orang kafir semakin meningkat, sampai tipu daya ini memasuki rumah-rumah kaum Muslimin. Orang-orang kafir ini ingin mengikis agama kaum Muslimin, menggoncang keimanan mereka, menghancurkan perilaku mereka, menebarkan keburukan dan perbuatan hina di tengah kaum Muslimin, mengeluarkan mereka dari penjagaan Islam. Semoga Allâh Azza wa Jalla tidak mewujudkan keinginan busuk mereka.

Pada zaman dahulu, orang-orang kafir tidak leluasa menyusupkan racun (pemikiran-pemikiran) mereka ke pemikiran-pemikiran para pemuda Muslim; Mereka tidak mampu menampakkan kekufuran, penyelewangan, perbuatan tak senonoh mereka. Tapi sekarang, pemikiran mereka diterbangkan oleh angin, angin yang bisa membinasakan, bahkan angin-angin berapi yang menghancurkan dasar-dasar dan nilai-nilai luhur, menghancurkan agama dan prilaku terpuji, mencabut akar akhlak terpuji, kebaikan serta sendi-sendi al-haq dan keyakinan.

Generasi muda kita berada dalam ancaman bahaya.

Dunia informasi dan telekomunikasi yang canggih telah membuat sebagian generasi muda kita terombang-ambing dalam berbagai arus globalisasi pemikiran dan kemaksiatan. Karena kemajuan informasi dan telekomunikasi tersebut tidak dibarengi dengan kemajuan pemahaman keagamaan dan pendidikan moral. Sehingga nilai-nilai negatif dari arus globalisasi sangat mudah menenggelamkan generasi muda ke dalam lautan kesesatan dan kemaksiatan yang tidak bertepi. Para penjaja kesesatan dan kemaksiatan menawarkan dagangan mereka melalui berbagai media informasi dan telekomunikasi. Banyak generasi muda kita yang tergiur dan tertipu dengan slogan-slogan pedagang kesesatan dan kemaksiatan tersebut. Tanpa disadari mereka telah terjerumus ke dalam berbagai lembah kehinaan dan kenistaan. Ada bermacam lembah terjal dalam dunia generasi muda saat ini, di antaranya:

Lembah sex dan pergaulan bebas sejenis seperti lesbian dan homosex
Lembah narkoba dan obat-obat terlarang sejenis
Lembah kekerasa dan pelanggaran moral sejenis
Lembah pemikiran sesat seperti terorisme, sekulerisme, liberalisme, dan kesesatan sejenis
Pendek kata generasi muda saat ini harus waspada dengan dua bahaya; bahaya syahwat dan bahaya syubhat.

Tiada jalan lain untuk menyelamatkan generasi muda dari dua ancaman bahaya di atas kecuali dengan menyampaikan pesan-pesan islam kepada generasi muda.

Melalui channel-channel dan siaran langsung (Televisi, Komputer, Smartphone, ed) orang-orang kafir itu mampu memasuki akal-akal dan pikiran pemuda Muslim; mereka juga mampu menyelinap ke rumah-rumah kaum Muslimin guna membawa keburukan dan racun-racun mereka, menebar kekufuran, penyelewangan dan perbuatan tak senonoh mereka. Mereka menyebarkan perilaku hina dan rendahan mereka melalui pentas-pentas, pendidikan-pendidikan buruk dan keji. Semua ini akan membuat jiwa para pemudi dan pemuda Muslim menjadi suka bermesraan, kerusakan dan menenggak khamr. Bahkan itu sebagai jebakan yang menjerat hati yang lalai dan lemah, sehingga menyebabkan akidah mereka rusak, perilaku menyimpang, dan terjerembab dalam lumpur keburukan. Dan tidak ada keburukan yang lebih besar dan lebih berbahaya dibandingkan dengan keburukan yang menyerang kaum Muslimin di rumah-rumah mereka, serangan beracun yang membawa keburukan dan kerusakan.

Ironisnya, meski bahayanya sudah demikian terlihat dan terbukti, masih ada saja anak-anak kaum Muslimin yang duduk berjam-jam bahkan sepanjang hari di depan layar (Televisi, Komputer, ed) yang bisa menghancurkan mereka. Mereka mendengarkan dengan seksama ucapan-ucapan orang yang tidak benar itu; mereka menyaksikan dengan mata kepala mereka semua yang disajikan oleh orang-orang kafir. Anak-anak ini menerima sepenuh hati semua yang diberikan oleh orang-orang kafir ini. Sehingga dengan perjalanan waktu pemikiran-pemkiran kotor itu mulai menjalar ke seluruh tubuhnya, sendi-sendinya semakin menghujam, mulai menyerang pemikiran yang baik serta merealisasikan apa yang menjadi rencana dan keinginan orang-orang kafir.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَلَا تُطِعِ الْمُكَذِّبِينَ ﴿٨﴾ وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ

Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allâh). Mereka ingin supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). [al-Qalam/68:8-9]

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ

Sebahagian besar ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. [al-Baqarah/2:109]

Demikianlah pemberitahuan dari Allah Azza wa Jalla kepada kaum Muslimin. Kenapa kita kurang memperhatikannya bahkan -iyadzan billah- sebagian dari kaum Muslimin lebih mempercayai perkataan orang-orang kafir daripada firman Allah Azza wa Jalla. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan taufiq-Nya kepada kita dan seluruh kaum Muslimin agar segera menyadari bahaya yang mengancam keselamatan kita ini.

Orang yang mau memperhatikan dampak buruk yang menimpa para pemirsa tayangan-tayangan yang disajikan orang-orang kafir itu, dia akan dapati dampak buruk itu begitu banyak, tak terhitung, baik keburukan pada akidah, keburukan pada sosial kemasyarakatan, prilaku, pemikiran dan kejiwaan.

Diantaranya yaitu kerusakan pada akidah (misalnya) menipisnya keyakinan; Munculnya keraguan sehingga mengakibatkan seorang Muslim hidup dalam kebimbangan ; Juga melemahkan akidah al-wala wal bara’ (rasa suka dan benci karena Allah) sehingga menyebabkan seseorang hidup jauh dari rasa cinta kepada Allâh Azza wa Jalla, jauh dari rasa cinta kepada agamanya dan cinta kepada sesama Muslim serta beralih mencintai dan menyukai para pelaku keburukan, simbol-simbol kerusakan dan para penyerunya. Ditambah lagi adanya seruan secara terang-terangan untuk mengikuti orang-orang kafir dalam hal akidah, kebiasaan, ritual dan perayaan-perayaan mereka.

Sedangkan kerusakan dalam sosial kemasyarakatan dan penyimpangan perilaku yang disebarkan oleh channel-channel itu adalah adanya ajakan untuk melakukan perbuatan kriminal dengan menayangkan tayangan kekerasan, pembunuhan, penculikan, perampasan; Adanya seruan yang mengajak kepada fanastisme untuk melakukan tindak aniaya dan kriminal; Adanya pembelajaran pencurian, penipuan dan perbuatan dosa; Seruan untuk melakukan ikhtilâth (campur baur antara laki-laki dan perempuan), menanggalkan hijab, telanjang, perempuan yang menyerupai lelaki atau sebaliknya, dan lain sebagainya

Cukuplah menjadi sebuah keburukan akibat dari tayangan-tayangan itu yaitu engkau melalaikan kewajiban-kewajiban dan berbagai perbuatan taat, terutama shalat lima waktu yang merupakan salah satu rukun Islam. Dan masih banyak lagi dampak buruknya yang tidak mungkin dihitung. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّهُمْ يَكِيدُونَ كَيْدًا﴿١٥﴾وَأَكِيدُ كَيْدًا﴿١٦﴾فَمَهِّلِ الْكَافِرِينَ أَمْهِلْهُمْ رُوَيْدًا

Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Dan Akupun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya. Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar. [ath-Thâriq/86:15-17]

Inilah sebagian kegiatan yang dilakukan dan tujuan yang ingin digapai oleh orang-orang kafir. Lalu apa kewajiban kita?

Layakkah bagi seorang Muslim untuk mendengarkan makar, keburukan dan kedustaan mereka?

Layakkah bagi seorang untuk membiarkan dirinya dan keluarganya duduk menyaksikan apa yang mereka sebarkan?

Layakkah bagi seorang Muslim memilih untuk diri dan keluarganya suatu kehinaan, perbuatan tercela?

Sesungguhnya Allah telah memperingatkan kepada hamba-hamba-Nya untuk tidak condong kepada orang-orang kafir, dan telah menjelaskan besarnya keburukan mereka, juga menjelaskan jalan keselamatan, yaitu berpegang kepada agama Allah, mengikuti sunnah Rasul-Nya dan bersabar diatasnya, sampai menghadap kepada-Nya.

Ancaman lain terhadap generasi muda adalah ancaman bahaya syubhat (pemikiran). Seperti pemahaman yang ekstrim dalam beragama, atau pemahaman sekuler, liberal, dan aliran-aliran sesat lainnya. Bahkan tidak jarang generasi muda menjadi sasaran utama rekrutmen para kelompok terorisme dan liberalisme. Cara yang sering ditempuh oleh para aliran sesat dalam menebarkan pemikiran mereka kepada generasi muda adalah dengan menjatuhkan kehormatan penguasa dan ulama terlebih dahulu di mata generasi muda. Sehingga dengan demikian mereka para pelaku aliran sesat dengan mudah untuk mempengaruhi generasi muda. Dikala kehormatan penguasa telah dijatuhkan, dengan demikian para pelaku kesesatan bisa lari dari jeratan hukum. Dan apabila umat telah dijauhkan dari ulama, maka umat tidak lagi mendengarkan nasehat-nasehat ulama, lalu umat akan kehilangan pegangan, maka mereka pelaku aliran sesat memanfaatkan situasi dengan bebas menyebarkan pemikiran sesat mereka di tengah masyarakat. Oleh sebab itu Islam sangat memperhatikan kedudukan penguasa dan kehormatan ulama.

Perintah menghormati penguasa dan ulama

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam :

ليسمنامنلميجلكبيرناويرحمصغيرناويعرفلعالمناحقه

“Bukanlah termasuk golongan kami siapa saja yang tidak menghormati orang yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda dan mengenal hak orang alim kita.” (HR Ahmad dan Hakim, dihasankan oleh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no. 4319)

مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُجِلَّ كَبِيْرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا

“Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami.” (HR Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad).

Larangan berprilaku ekstrim dalam agama

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abas radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِيَّكُمْ وَ الْغُلُوْ فِي الدِّيْنِ, فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ باِلْغُلُوْ فِي الدِّيْنِ

“Janganlah kamu sekalian melakukan tindakan berlebih-lebihan dalam agama, karena sesungguhnya yang telah menghancurkan umat sebelum kamua adalah sikap berlebih-lebihan dalam beragama.”(Dikeluarkan oleh Imam an-Nasai dalam haditsnya no. 3059, Ibnu Majah no. 3029 dan Imam Ahmad dalam musnadnya ha 215,347, Imam Ahmad Syakir berkata dalam tahkik musnad: sanadnya adalah shahih.)

Imam Muslim juga meriwayatkan dari shahabat Ibnu Mas’ud bahwa Rasululloh ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“هلك المتنطعون ” قالها ثلاثا

“Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan”(Beliau mengulangi sabdanya ini sebanyak tiga kali).

Pentingnya pendidikan agama bagi generasi muda

Pemuda adalah unsur terpenting dalam sebuah Negara, untuk melihat maju atau mundurunya suatu Negara bisa kita lihat melalui tingkat keilmuan dan keimanan generasi muda Negara tersebut. Oleh sebab itu Islam sangat memperhatikan pendidikan agama bagi generasi muda, baik segi keilmuan maupun keimanan.

Dalam segi keimanan, Allah telah memberikan contoh dalam kitab Al-Qur’an yang mulia dengan kisah pemuda Ashabul Kahfi, bagaimana mereka tetap kokoh dalam mempertahankan keimanan di saat kaum atau bangsa mereka telah dilanda oleh kerusakan moral dan keimanan. Keadaan tersebut memaksa mereka untuk menjauhi kaum mereka yang telah rusak. Di saat kemampuan untuk memperbaiki tidak lagi mereka miliki, Allah memberikan pertolongan untuk menyelamatkan mereka dari ancaman kaum yang membenci mereka, sehingga mereka tertidur dalam gua (Kahfi) selama tiga ratus tahun. Allah memuji mereka dalam firman-Nya:

إِذْ أَوَى ٱلْفِتْيَةُ إِلَى ٱلْكَهْفِ فَقَالُوا۟ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةًۭ وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًۭا

فَضَرَبْنَا عَلَىٰٓ ءَاذَانِهِمْ فِى ٱلْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًۭا

ثُمَّ بَعَثْنَٰهُمْ لِنَعْلَمَ أَىُّ ٱلْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوٓا۟ أَمَدًۭا

نَّحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِٱلْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ ءَامَنُوا۟ بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَٰهُمْ هُدًۭى

Artinya:

“Ingatlah ketika para pemuda mencari tempat perlindungan ke dalam gua, lalu mereka berdo’a: Wahai Tuhan kami, berilah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini). (10)

Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.(11)

Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).(12)

Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.(13)

Dalam ayat yang mulia ini, Allah mengisahkan perjuangan para pemuda dalam mempertahankan keimanan mereka dalam keadaan yang amat sulit tersebut. Allah mengabadikan kisah mereka sebagai ibroh bagi para pemuda setelah mereka, dimana kerusakan yang terjadi dalam kaum mereka tidak menggoyahkan keimanan mereka.

Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas:

“Al Fityah adalah para pemuda, mereka (para pemuda) adalah orang yang lebih mudah untuk menerima kebenaran serta mengikuti jalan petunjuk dibandingkan orang-orang yang sudah lanjut usia yang telah dimakan usia dan lenyap terjerumus dalam agama yang bathil. Karena itu yang paling banyak menerima seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam adalah para pemuda. Adapun orang-orang tua dari suku Quraisy kebanyakan tetap kekal di atas agama nenek moyang mereka, tidak ada yang memeluk Islam kecuali sedikit, demikian pula yang Allah ceritakan tentang “Ashabul Kahfi bahwa mereka adalah para pemuda.”

(Tafsir Ibnu Katsir: 3/74)

Ashabul Kahfi adalah salah satu bentuk generasi muda yang tidak terpengaruh oleh zaman yang dilanda kerusakan iman dan moral. Demikian halnya para anbiya’ seperti nabi Ibrohim, nabi Musa, dan nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka tegar dalam memegang kebenaran dan berjuang untuk melakukan perubahan terhadap zaman mereka. Mereka tidak terbuai dengan sepoi angin kesesatan dan kemaksiatan.

Mengisi masa muda dengan segala aktivitas baik keilmuan maupun keimanan telah dipesankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabda Beliau:

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir)

Dari hadits ini dapat kita simpulkan betapa pentingnya masa muda untuk dipergunakan dalam segala hal yang positif. Karena di masa muda kadaan tubuh seorang manusia dalam masa yang sangat sempurna dalam segala hal, baik dari segi fisik maupun kekuatan intelegensia, begitu juga dalam hal menghadapi tantangan dan rintangan.

Maka selayaknyalah para generasi muda untuk benar-benar menyadari betapa penting usia muda mereka. Bahwa usia muda adalah saatnya untuk menggali dan mengembangkan segala potensi dirinya dalam mencari ilmu dan pengetahuan yang sesungguhnya, baik hal duniawi maupun ukhrawi.

Pemuda yang membina pengalaman spiritualnya dengan penuh keimanan merupakan salah satu dari tujuh golongan yang mendapatkan naungan dari Allah pada hari Kiamat di Padang Mahsyar, di saat jarak matahari dengan kepala manusia hanya sejengkal.

Sebagaimana yang disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabda beliau:

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:


سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَا

“Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: 
1.    Pemimpin yang adil. 
2.    Pemuda yang tumbuh di atas kebiasaan ‘ibadah kepada Rabbnya. 
3.    Lelaki yang hatinya terpaut dengan masjid. 
4.    Dua orang yang saling mencintai karena Allah, sehingga mereka tidak bertemu dan tidak juga berpisah kecuali karena Allah. 
5.    Lelaki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik lalu dia berkata, ‘Aku takut kepada Allah’. 
6.    Orang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya. 
7.    Orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sendiri hingga kedua matanya basah karena menangis.” 
(HR. Al-Bukhari no. 620 dan Muslim no. 1712)

Dalam hadits tersebut terdapat motivasi yang sesungguhnya bagi para pemuda untuk membina diri mereka dalam ilmu dan pengalaman spiritualnya.

Amirul Mukminin Umar bin Khaththab rhadiallahu ‘anhu berkata:

“Hendaklah kamu berilmu sebelum kamu memimpin.”

Pemuda hari ini adalah pemimpin hari esok, baiknya masa depan suatu masyarakat dapat kita lihat bagaimana generasi muda mereka hari ini?

Ilmu yang sangat penting untuk dimiliki pemuda adalah ilmu keimanan dan ketakwaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena keimanan dan ketakwaan adalah kompas penunjuk arah dalam segala situasi dan kondisi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Bila situasi dan kondisi masyarakat dalam keadaan melarat dan miskin hal tersebut akan dihadapi dengan penuh kesabaran dan tawakal kepada Allah tanpa melanggar norma-norma agama. Apabila situasi masyarakat dalam keadaan berkecukupan hal tersebut akan memotivasi mereka untuk bersyukur dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan tuntunan agama, mereka akan terhindar dari sikap mubazir, berfoya-foya serta hura-hura.

Diantara hal yang sering menjerumuskan seseorang ke dalam kesesatan dan kemaksiatan adalah teman akrab. Betapa banyak anak-anak baik menjadi anak nakal karena dipengaruhi oleh teman-temannya. Oleh sebab itu Islam mengajarkan kepada umatnya adab mencari teman. Sebagaimana dipesankan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:

الْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu berada di atas agama teman dekatnya, maka hendaknya setiap orang dari kalian melihat siapa yang dia jadikan teman.”

HR. At-Tirmidzi no.2378, dihasankan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi.

Kesalahan dalam mencari teman akan membawa penyesalan di akhirat kelak, sebagaimana Allah gambarkan penyesalan orang yang salah mencari teman:

وَيَوْمَ يَعَضُّ ٱلظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَٰلَيْتَنِى ٱتَّخَذْتُ مَعَ ٱلرَّسُولِ سَبِيلًۭا

يَٰوَيْلَتَىٰ لَيْتَنِى لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًۭا

لَّقَدْ أَضَلَّنِى عَنِ ٱلذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَآءَنِى ۗ وَكَانَ ٱلشَّيْطَٰنُ لِلْإِنسَٰنِ خَذُولًۭا

“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul”. (27)

Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab(ku). (28)

Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia. (29)‎
(QS Al Furqon)

Perumpamaan teman baik dan teman jelek, teman yang baik akan membawa kebaikan bagi seseorang, sebaliknya teman yang buruk akan membawa keburukan bagi seseorang.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

Dari Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata:

عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً

“Dari Nabi shallaallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, ‘Perumpamaan teman duduk yang baik dan teman duduk (sepergaulan) yang buruk adalah seperti pembawa misk (minyak wangi) dan pandai besi. Si pembawa misk mungkin akan memberimu (minyak wangi) atau engkau membeli minyak itu darinya atau engkau mendapatkan baunya yang harum. Sedangkan pandai besi, mungkin akan membakar pakaianmu atau kamu dapati bau yang busuk darinya.’” (HSR. Bukhari dan Muslim)

Jangan Terlalu Larut Dalam Kesedihan


Sudah menjadi sunnatullah bahwa setiap orang pasti akan diuji, baik itu ujian berupa penyakit, kesedihan, penderitaan, kemiskinan dan kekurangan harta benda atau yang selainnya, semua ujian itu dimaksudkan untuk terbedakannya antara siapa yang bersabar dan siapa yang tidak mampu dalam bersabar, yang bersabar di atas ujian itu maka dia akan mendapatkan jaminan berupa kebahagiaan hakiki dan abadi yaitu dengan dimasukannya ke dalam jannah (surga), Allah Ta’ala berkata:

﴿أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ﴾ [آل عمران: 142].

“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk jannah, padahal belum dinyatakan Allah orang-orang yang berjihad diantara kalian dan belum dinyatakan pula orang-orang yang sabar”. (Ali Imron: 142).

Allah Ta’ala tidak akan membiarkan seorangpun di muka bumi ini yang mengaku-ngaku sebagai pemeluk agama islam melainkan Allah Ta’ala akan mengujinya, Allah Ta’ala berkata:

﴿الم (1) أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (3)﴾ [العنكبوت: 1-4].

“Alif laam miim, apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (Al-Ankabut: 1-3).

Kalau seseorang sudah mengaku dan mengklaim dirinya sebagai seorang yang beragama Islam dan dia telah beriman maka Allah Ta’ala memberikan kepadanya suatu ujian untuk membuktikan pengakuannya tersebut, apakah dia benar-benar sebagai seorang muslim yang telah beriman ataukah dia hanya mengaku-ngaku? Allah Ta’ala berkata:

﴿قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾ [آل عمران: 31].

“Katakanlah: “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian”. Dan Allah adalah Al-Ghafur (Maha Pengampun) lagi Al-Rahim (Maha Penyayang)”. (Ali Imran: 31).

Bila seseorang benar-benar mengikuti perkataan Allah Ta’ala tersebut dan merealisasikannya dalam kesehariannya yaitu dengan mengikuti apa saja yang telah dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berupa mengamalkan ajaran-ajaran yang dibawanya maka konsekuwensinya dia harus bersiap-siap untuk mendapatkan ujian (cobaan) dari Allah ‘Azza wa Jalla, adapun bagi orang-orang yag lari dari perintah dalam ayat tersebut dan tidak mau mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka dia akan mendapatkan bala’ (bencana dan petaka) di dunia dan di akhiratnya, Allah Ta’ala berkata:

﴿وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى (124) قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا (125) قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آَيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى (126) وَكَذَلِكَ نَجْزِي مَنْ أَسْرَفَ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِآَيَاتِ رَبِّهِ وَلَعَذَابُ الْآَخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَى (127)﴾ [طه: 124-128] .

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. Dia berkata: “Ya Robbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berkata: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, lalu kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan. Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Robbnya. Dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal. Maka tidakkah menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyrikin) berapa banyaknya Kami membinasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka berjalan (dibekas-bekas) tempat tinggal umat-umat itu? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal”. (Thahaa: 124-128).

Kehidupan ini tak selamanya indah. Senang dan duka datang silih berganti. Hal ini semakin memantapkan hati untuk menilai kehidupan dunia ini adalah semu. Kebahagiaannya semu. Kesedihannya semu.

Ada kehidupan selanjutnya di hadapan kita. Itulah negeri akhirat. Abadi dan hakiki. Di sanalah tempat istirahat dan bersenang-senang yang hakiki, yakni di surga-Nya yang penuh limpahan rahmad dan kenikmatan. Atau kesengsaraan hakiki, di nereka yang panas membara. Tempat kembali orang-orang durhaka kepada Sang Pencipta.

Teringat olehku perkataan yang tersimpan dalam kalbu. Di mana seorang pernah menasehatkan, “Ketahulilah yang selamat hanyalah sedikit. Sesungguhnya tipuan dunia akan hilang. Semua kenikmatan selain surga akan sirna. Dan semua kesusahan selain neraka adalah keselamatan.”

Pembaca yang kami muliakan. Perlu kita sadari bahwa kesenangan dunia dan kesengsaraannya adalah ujian dari Tuhan semesta alam. Apakah menjadi hamba yang bersyukur saat diberi nikmat dan sabar saat diberi cobaan, ataukah sebaliknya. Karena dunia ini adalah daarul ibtilaa’ (negeri tempat ujian dan cobaan). Allah ‘azzawajalla berfirman,

وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Wahai manusia, Kami akan menguji kalian dengan kesempitan dan kenikmatan, untuk menguji iman kalian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali” (QS. Al-Anbiya: 35).

Ikrimah –rahimahullah– pernah mengatakan,

ليس أحد إلا وهو يفرح ويحزن، ولكن اجعلوا الفرح شكراً والحزن صبر

“Setiap insan pasti pernah merasakan suka dan duka. Oleh karena itu, jadikanlah sukamu adalah syukur dan dukamu adalah sabar.”

Senang dan duka adalah sunatullah yang pasti mewarnai kehidupan ini. Tidak ada seorang manusia pun yang terus merasa senang, dan tidak pula terus dalam duka dan Kesedihan. Semuanya merasakan senang dan duka datang silih berganti. Jangankan kita, generasi terbaik umat ini, para wali Allah, yakni para sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pun pernah dirundung kesedihan. Allah menceritakan keadaan mereka saat kekalahan yang mereka alami dalam perang uhud.

وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِين

“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah ingin memberi bukti kebenaran kepada beriman (dengan orang-orang kafir) dan menjadikan sebagian diantara kalian sebagai syuhada’. Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim” (QS. Ali Imran: 140).

Allah yang menciptakan kebahagiaan dan Kesedihan agar manusia menyadari nikmatnya kebahagiaan, sehingga ia bersyukur dan berbagi. Dan sempitnya Kesedihan diciptakan agar ia tunduk bersimpuh di hadapan Tuhan yang maha rahmat dan mengasihi, serta tidak menyombongkan diri. Hinggalah ia mengadu harap di hadapan Allah. Merendah merengek di hadapan Allah. Bersimpuh pasrah kepada Tuhan yang maha penyayang. Seperti aduannya Nabi Ya’qub saat lama berpisah dengan putra tercinta; Yusuf ‘alaihimas sasalam

إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ

“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan penderitaan dan kesedihanku” (QS. Yusuf: 86).

Ada saja hikmah dalam ketetapan Allah yang maha hakim (bijaksana) itu.

وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ

“Dialah Allah yang menjadikan seorang tertawa dan menangis” (QS. An-Najm: 43).

Oleh karena itu, tidaklah tercela bila seorang merasa sedih. Itu adalah naluri. Tak ada salahnya bila memang sewajarnya. Terlebih bila sebab-sebab kesedihan itu suatu hal yang terpuji. Seperti yang dirasakan orang beriman saat melakukan dosa, di mana Nabi mengabarkan bahwa itu adalah tanda iman.

مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَاتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَاتُهُ فَهُوَ الْمُؤْمِنُ

“Barangsiapa yang merasa bergembira karena amal kebaikannya dan sedih karena amal keburukannya, maka ia adalah seorang yang beriman” (HR. Tirmidzi).

Atau seorang merasa sedih saat tertinggal shalat jamaah di masjid, menyia-nyiakan waktu, tertidur di sepertiga malam terakhir hingga luput dari sholat tahajud, ini suatu hal yang terpuji. Ini tanda adanya cahaya iman dalam hatinya.

Yang tercela adalah saat seorang larut dalam sedihnya. Hingga membuat hatinya lemah, tekadnya meredup, rasa optimisnya menghilang, kesedihan yang menghancurkan harapan. Sampai membuatnya tidak mau bergerak, tidak ada ikhtiyar untuk mengubah keadaannya untuk menjadi insan yang bahagia.

Yang tercela kesedihan yang membuatnya lemah untuk meraih ridha Allah, bahkan membawanya pada keputusasaan dan membenci takdir Allah. Karena seringkali setan memanfaatkan kesedihan untuk menjerumuskan manusia. Betapa banyak orang-orang yang tergelincir dari jalan Allah karena larut dalam kesedihan. Oleh karenanya, Nabi shallallahu’alaihi wa sallamsenantiasa berlindung dari rasa sedih. Di antara doa yang sering dipanjatkan Nabi adalah,

اللهم إني أعوذ بك من الهم والحزن ..

// Allahumma innii a’uudzubika minal hammi wal hazani…//

“Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari gundah gulana dan rasa sedih…” (HR. Bukhari dan Muslim).

Tidak perlu berlama-lama memendam kesedihan dalam hatimu. Banyak yang tak menyadari, ternyata setan senang melihat seorang mukmin bersedih. Ia amat menginginkan kesedihan itu ada pada orang-orang beriman. Allah ‘azzawajalla mengabarkan dalam firmanNya,

إِنَّمَا النَّجْوَىٰ مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya pembicaraan bisik-bisik itu hanyalah dorongan dari setan. Supaya menjadikan hati orang-orang beriman sedih. Padahal pembicaraan rahasia untuk menggunjing tidak akan merugikan orang-orang beriman sedikitpun, kecuali dengan kehendak Allah. Hanya kepada Allah-lah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal” (QS. Al-Mujadilah: 10).

Tahukah anda wahai pembaca sekalian. Ternyata bila kita amati, kata-kata sedih dalam Al-Qurán tidaklah datang kecuali dalam konteks larangan atau kalimat negatif (peniadaan). Sebagaimana yang dijelaskan Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam bukunya Madaarijus Saalikiin.

Dalam konteks larangan, misalnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Janganlah kamu lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. Ali Imran: 139).

وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ

“Dan janganlah kamu berduka cita terhadap mereka” (QS. An-Nahl: 127). Beberapa ayat juga berbunyi senada.

Kemudian firman Allah ta’ala,

لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ۖ

“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita” (QS. At-Taubah: 40)

Adapun dalam konteks kalimat negatif (peniadaan) misalnya firman Allah ta’ala,

لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Mereka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. Al-Baqarah: 38)

Apa rahasia dari semua ini? Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan,

وسر ذلك أن الحزن موقف غير مسير، ولا مصلحة فيه للقلب، وأحب شيء إلى الشيطان :أن يحزن العبد ليقطعه عن سيره ويوقفه عن سلوكه، قال الله تعالى : {إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا }

Rahasianya adalah, karena kesedihan adalah keadaan yang tidak menyenangkan, tidak ada maslahat bagi hati. Suatu hal yang paling disenangi setan adalah, membuat sedih hati seorang hamba. Hingga menghentikannya dari rutinitas amalnya dan menahannya dari kebiasaan baiknya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّمَا النَّجْوَىٰ مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا

“Sesungguhnya pembicaraan bisik-bisik itu adalah dari syaitan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita” ([QS. Al-Mujadalah: 10].  Madaarijus Saalikiin hal: 1285).

Islam Menginginkanmu Bahagia

Bersyukurlah anda atas nikmat Islam. Karena Islam adalah agama yang menginginkan anda untuk senantiasa bahagia. Allah ‘azza wa jalla. Sang Pembuat Syariat ini tak ingin melihat hamba-Nya bersedih hati. Oleh karenanya, Islam diturunkan untuk membawa kebahagiaan bagi segenap makhluk, bukan untuk menyusahkan. Dalam surat Thaha Allah berfirman,

مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَىٰ

“Kami tidaklah menurunkan Al Quran ini kepadamu untuk membuatmu susah” (QS. Thaha: 2). Artinya, Islam diturunkan untuk membuatmu bahagia.

Bahkan, saat seorang jauh dari Islam, saat Itulah kesedihan hakiki akan menghampirinya, dia memang pantas untuk mendapat kesedihan,

Bila kita perhatikan sebuah hadis Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka kita bisa memyimpulkan sebuah kesimpulan yang indah. Di mana Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda,

إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً فَلَا يَتَنَاجَى رَجُلَانِ دُونَ الْآخَرِ حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ أَجْلَ أَنْ يُحْزِنَهُ

“Jika kalian bertiga maka janganlah dua orang berbicara/berbisik bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, sampai kalian bercampur dengan manusia. Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih” (HR. Bukhori no. 6290 dan Muslim no. 2184).

Sekedar berbisik bila membuat saudaranya sedih saja dilarang. Ini menunjukkan bahwa Islam begitu menjaga perasaan penganutnya dan amat menginginkan kebahagiaan dalam hati setiap insan. Bahkan Allah senang melihat tanda-tanda bahagia, itu tampak dalam diri kita.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يُرَى أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ

Sesungguhnya Allah senang melihat bekas nikmat-Nya pada seorang hamba” (HR. Tirmidzi dan An Nasai).

Maka betapa indahnya Islam, agama yang mencintai kebahagiaan pada dirimu, dan mengenyahkanmu dari duka cita, di dunia dan di akhirat. Wahai saudara ku usirlah kesedihan dari hatimu. Jangan biarkan setan memanfaatkannya. Karena setan selalu mengintai setiap gerak-gerik kita. Sebagaimana Rasulullah kabarkan,

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُ أَحَدَكُمْ عِنْدَ كُلِّ شَيْءٍ مِنْ شَأْنِهِ، حَتَّى يَحْضُرَهُ عِنْدَ طَعَامِهِ

“Sesungguhnya setan mendatangi kalian dalam setiap keadaan kalian. Sampai setan ikut hadir di makanan kalian” (HR. Muslim).

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...