Jumat, 22 Oktober 2021

Kesibukan Para Penghuni Surga Di Akhirat Kelak


Allah ta’ala telah menjanjikan kenikmatan surga bagi siapa saja yang beriman kepada-Nya. Salah satu kenikmatan surga itu adalah diberikannya seseorang dengan pasangan dari eks-istrinya di dunia (yang masuk surga bersamanya).
Seorang wanita mukminah akan menjadi istri dari suaminya yang terakhir kelak di surga, apabila Allah ta’ala mentaqdirkan keduanya masuk surga.

قَالَ أَبُو يَعْلَى حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْقُرَشِيُّ، ثنا أَبُو الْمَلِيحِ، عَنْ مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ، قَالَ: " خَطَبَ مُعَاوِيَةُ أُمَّ الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُما، فَأَبَتْ أَنْ تَتَزَوَّجَهُ، قَالَتْ: سَمِعْتُ أَبَا الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمَرْأَةُ لآخِرِ أَزْوَاجِهَا "،

Abu Ya’laa berkata : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Abdillah Al-Qurasyiy : Telah menceritakan kepada kami Abul-Maliih, dari Maimuun bin Mihraan, ia berkata : “Mu’aawiyyah pernah melamar Ummud-Dardaa’ radliyallaahu ‘anhumaa, namun ia (Ummud-Dardaa’) enggan untuk dinikahi. Ummud-Dardaa’ berkata : Aku mendengar Abud-Dardaa’radliyallaahu ‘anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Seorang wanita diperuntukkan bagi suaminya yang terakhir” [Dibawakan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Mathaalibul-‘Aaliyyah no. 1718; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah 3/275-277 no. 1281].

Dan juga dari kalangan bidadari-bidadari surga. Allah ta’ala berfirman :

إِلا عِبَادَ اللَّهِ الْمُخْلَصِينَ * أُولَئِكَ لَهُمْ رِزْقٌ مَعْلُومٌ * فَوَاكِهُ وَهُمْ مُكْرَمُونَ * فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ * عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ * يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِكَأْسٍ مِنْ مَعِينٍ * بَيْضَاءَ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ * لا فِيهَا غَوْلٌ وَلا هُمْ عَنْهَا يُنْزَفُونَ * وَعِنْدَهُمْ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ عِينٌ * كَأَنَّهُنَّ بَيْضٌ مَكْنُونٌ

“Tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa). Mereka itu memperoleh rezeki yang tertentu, Mereka itu memperoleh rezeki yang tertentu, yaitu buah-buahan. Dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan. di dalam surga-surga yang penuh nikmat, di atas takhta-takhta kebesaran berhadap-hadapan. Diedarkan kepada mereka gelas yang berisi khamar dari sungai yang mengalir. (Warnanya) putih bersih, sedap rasanya bagi orang-orang yang minum. Tidak ada dalam khamar itu alkohol dan mereka tiada mabuk karenanya. Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya, seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan dengan baik” [QS. Ash-Shaaffat : 40-49].

حُورٌ مَقْصُورَاتٌ فِي الْخِيَامِ * فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ * لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلا جَانٌّ

“(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih dipingit dalam rumah. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?. Mereka tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin” [QS. Ar-Rahmaan : 72-74].
كَذَلِكَ وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ

“Demikianlah. Dan Kami nikahkan mereka dengan bidadari” [QS. Ad-Dukhaan ; 54].

Kenikmatan surga adalah spesifik. Satu kenikmatan yang tidak pernah ada di duniadan tak pernah terlintas di benak. Ketika Allahta’ala memberikan ahli surga karunia berupa istri-istri yang cantik jelita; maka Allah pun memberikan karunia berupa kemampuan seksual bagi mereka dalam berjima’ yang tidak pernah dicapai oleh seorang pun penduduk dunia. Anda ingin mengetahuinya ?. Simak beberapa riwayat berikut ini :

حَدَّثَنَا عِمْرَانُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " يُعْطَى الْمُؤْمِنُ فِي الْجَنَّةِ قُوَّةَ كَذَا وَكَذَا مِنَ النِّسَاءِ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَيُطِيقُ ذَاكَ، قَالَ: يُعْطَى قُوَّةَ مِائَةٍ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Imraan, dari Qataadah, dari Anas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Seorang mukmin akan diberikan kemampuan di surga begini dan begitu untuk berjimak dengan wanita. Dikatakan : “Wahai Rasulullah, ia mampu berbuat hal tersebut ?”. Beliau bersabda : “Ia diberikan kekuatan (berjimak) setara dengan 100 orang (laki-laki)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thayaalisiy no. 2124 dan darinya At-Tirmidziy no. 2536, ia berkata : “Hadits shahih ghariib”. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy3/10].

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عُقْبَةَ الْمُحَلِّمِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ يَقُولُ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ الرَّجُلَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ يُعْطَى قُوَّةَ مِئَةِ رَجُلٍ فِي الْأَكْلِ، وَالشُّرْبِ، وَالشَّهْوَةِ، وَالْجِمَاعِ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اليهود: فَإِنَّ الَّذِي يَأْكُلُ وَيَشْرَبُ تَكُونُ لَهُ الْحَاجَةُ، قَالَ: فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حَاجَةُ أَحَدِهِمْ عَرَقٌ يَفِيضُ مِنْ جِلْدِهِ، فَإِذَا بَطْنُهُ قَدْ ضَمُرَ "

Telah menceritakan kepada kami Wakii’ : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Tsumaamah bin ‘Uqbah Al-Muhallimiy, ia berkata : Aku mendengar Zaid bin Arqam berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadaku : “Sesungguhnya laki-laki penduduk surga diberikan kekuatan 100 orang laki-laki dalam hal makan, minum, syahwat, dan jima’”. Seorang laki-laki Yahudi berkata : “Sesungguhnya orang yang makan dan minum tentu akan buang hajat”. Zaid berkata : Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : “Hajat seseorang di antara mereka (penduduk surga) adalah keringat yang keluar dari kulitnya‎. Apabila telah keluar, perutnya akan kembali mengecil” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/371; dishahihkan oleh Al-Arna’uth dkk. dalam takhriij Musnad Al-Imaam Ahmad 32/65 no. 19314].

حَدَّثَنا أَحْمَدُ، قَالَ: نا أَبُو هَمَّامٍ الْوَلِيدُ بْنُ شُجَاعٍ، قَالَ: نا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ الْجُعْفِيُّ، عَنْ زَائِدَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قُلْنا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، نُفْضِي إِلَى نِسَائِنا فِي الْجَنَّةِ؟ فَقَالَ: إِي وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، " إِنَّ الرَّجُلَ لَيُفْضِي فِي الْغَدَاةِ الْوَاحِدَةِ إِلَى مِائَةِ عَذْرَاءَ "

Telah menceritakan kepada kami Ahmad, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Hammaam Al-Waliid bin Syujaa’, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Husain bin ‘Aliy Al-Ju’fiy, dari Zaaidah, dari Hisyaam bin Hassaan, dari Muhammad bin Siiriin, dari Abu Hurairah, ia berkata : Kami berkata : “Wahai Rasulullah, apakah kami akan menggauli istri-istri kami di surga ?”. Beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya seorang laki-laki (kelak di surga) akan (mampu) menjimai 100 wanita perawan dalam satu waktu pagi” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 718; sanadnya shahih]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ , هَلْ نَصِلُ إِلَى نِسَائِنَا فِي الْجَنَّةِ؟ فَقَالَ: «إِنَّ الرَّجُلَ لَيَصِلُ فِي الْيَوْمِ إِلَى مِائَةِ عَذْرَاءَ»

Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, ia berkata: diantara para sahabat ada yang bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah kami akan bertemu dengan istri kami kelak di surga?’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: “Seorang lelaki dalam sehari akan bertemu (baca:berjima’) dengan 100 bidadari” (HR. Al Bazzar dalam Musnad-nya 3525, Abu Nu’aim dalam Shifatul Jannah 169, Ath Thabrani dalam As Shaghir, 2/12)

Dalam riwayat lain:

قيل : يا رسول الله هل نفضي إلى نسائنا في الجنة ؟ قال : إن الرجل ليفضي في اليوم إلى مائة عذراء

“Wahai Rasulullah, apakah kami akan berjima’ dengan istri-istri kami di surga kelak? Sungguh seorang lelaki dalam sehari akan berjima’ dengan 100 bidadari”

Al Hafidz Ibnu Katsir men-shahih-kan hadits ini (Tafsir Ibni Katsir, 3/292). Al Maqdisi berkata: “Menurutku, semua perawinya tsiqah sesuai dengan syarat hadits shahih”. Al Albani berkata: “Aku sependapat dengan Al Hafidz Ibnu Katsir, dan itulah yang benar. Sanad hadits ini shahih dan kami tidak mengetahui adanya catat di dalamnya. Namun memang Abu Hatim dan Abu Zur’ah memiliki pandangan berbeda” (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/708)

Faidah Hadits

Adanya surga dan kenikmatan di dalamnya
Adanya bidadari di surga
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengetahui sebagian perkara gaib, sebatas yang dikabarkan oleh Allah kepada beliau.
Salah satu kenikmatan surga adalah seorang lelaki memiliki kekuatan menggauli 100 wanita dalam sehari. Sebagaimana dalam hadits lain:

إن الرجل من أهل الجنة يعطى قوة مائة رجل في الأكل والشرب والشهوة والجماع

“Sungguh seorang lelaki penduduk surga diberi kekuatan sebagaimana 100 orang lelaki, dalam hal makan, minum, syahwat dan jima’“(HR. Ahmadno.18509. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Mawarid 2230)

Andai 100 wanita digauli dalam sehari maka tentu lelaki penghuni surga  tersebut sangat sibuk. Demikianlah salah satu kesibukan penduduk surga. Sebagaimana dalam firman AllahTa’ala:

إِنَّ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِي شُغُلٍ فَاكِهُونَ

“Sungguh para penduduk surga itu dalam kesibukan yang menyenangkan” (QS. Yasin: 55)
Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Musayyib, Ikrimah, Al Hasan Al Bashri, Qatadah, Al A’masy, Sulaiman At Taimi, Al Auza’i semuanya menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah mereka sibuk menggauli para perawan. (Tafsir Ibni Katsir, 6/582)‎

Istri shalihah di dunia akan menjadi istri di surga kelak bagi lelaki shalih. Jika seorang lelaki pernah menikah beberapa kali atau ia berpoligami, maka semua istrinya di dunia akan menjadi istrinya di surga kelak. Sedangkan bila seorang wanita pernah menikah beberapa kali di dunia, maka lelaki yang menjadi suaminya adalah yang terakhir. Sebagaimana hadits:

أن حذيفة قال لزوجته: إن شئت تكوني زوجتي في الجنة فلا تزوجي بعدي، فإن المرأة في الجنة لآخر أزواجها في الدنيا

“Hudzaifah berkata kepada istrinya: ‘Kalau engkau ingin menjadi istriku di surga kelak, maka jangan menikah lagi sepeninggalku. Karena seorang wanita di surga akan menjadi istri dari suaminya yang terakhir di dunia‘” (HR. Al Baihaqi, no.13421)

Selain beristrikan wanita yang menjadi istrinya di dunia, lelaki penghuni surga juga akan beristrikan bidadari-bidadari surga. Sebagaimana firman Allah:

كَذَلِكَ وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ

“Demikian juga kami nikahkan mereka dengan para bidadari surga” (QS. Ad Dukhan: 54)

Para ulama mengatakan, hadits ini bukan menunjukkan bahwa jumlah istri penduduk surga adalah 100. Melainkan hanya menunjukkan kemampuan jima’ para lelaki penduduk surga, yaitu sebagaimana kekuatan 100 orang lelaki. Mengenai jumlah istri, kebanyakan penduduk surga memiliki dua istri:

أول زمرة تلج الجنة صورتهم على صورة القمر ليلة البدر ، لا يبصقون فيها ولا يمتخطون ولا يتغوطون ، آنيتهم فيها الذهب ، أمشاطهم من الذهب والفضة ، ومجامرهم الألوة ، ورشحهم المسك ، ولكل واحد منهم زوجتان

“Rombongan yang pertama kali masuk surga berbentuk rembulan di malam purnama. Mereka tidak akan meludah, tidak akan berdahak, dan tidak akan buang air di dalamnya. Bejana-bejana dan sisir-sisir mereka terbuat dari emas dan perak. Tempat bara api mereka terbuat dari kayu wangi. Keringat mereka adalah minyak kesturi. Setiap mereka memiliki dua istri..” (HR. Al-Bukhari no. 3245 dan Muslim no. 5065)

Adapun para syuhada, beristrikan 72 bidadari kelak di surga:

للشهيد عند الله ست خصال : يغفر له في أول دفعة ويرى مقعده من الجنة ، ويجار من عذاب القبر ، ويأمن من الفزع الأكبر ، ويوضع على رأسه تاج الوقار ، الياقوتة منها خير من الدنيا وما فيها ، ويزوج اثنتين وسبعين زوجة من الحور العين ، ويشفع في سبعين من أقاربه

“Orang yang mati syahid di sisi Allah akan diberi enam keutamaan: Allah mengampuni dosanya ketika pertama kali darahnya keluar, ia dapat melihat tempat duduknya kelak di surga, ia dijauhkan dari adzab kubur, ia mendapat keamanan tatkala hari kebangkitan, di kepalanya ia memakai mahkota kehormatan berhias batu rubi yang lebih baik dari dunia dan seisinya, ia dinikahkan dengan 72 bidadari, ia dapat memberi syafa’at kepada 70 orang kerabatnya” (HR. At Tirmidzi no 1663, ia berkata: “Hasan Shahih Gharib”)

Jika kita renungkan, sungguh betapa malangnya para pezina dan para pengumbar syahwat ke tempat yang tidak halal. Mereka menukar kenikmatan yang luar biasa dengan kenikmatan sesaat yang hina di dunia.
Salah satu benteng pertahanan seorang lelaki muslim dari dosa zina adalah dengan mengingat-ingat kenikmatan syahwat di surga dan berusaha istiqamah untuk mendapatkannya.

Allah ta’ala berfirman :

إِنَّ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِي شُغُلٍ فَاكِهُونَ

“Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka)’ [QS. Yaasiin : 55].
Berikut tafsir beberapa orang ulama tentang ayat dimaksud :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ مَالِكٍ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، ثنا أَبُو الرَّبِيعِ الزَّهْرَانِيُّ، وَمُحَمَّدُ بْنُ حُمَيْدٍ، قَالا: ثنا يَعْقُوبُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، ثنا حَفْصُ بْنُ حُمَيْدٍ، عَنْ شِمْرِ بْنِ عَطِيَّةَ، ح، وَحَدَّثَنَا أَبُو الْهَيْثَمِ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْغَوْثِيُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَضْرَمِيُّ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْحَاقَ الصِّينِيُّ، ثنا يَعْقُوبُ، عَنْ حَفْصِ بْنِ حُمَيْدٍ، عَنْ شِمْرِ بْنِ عَطِيَّةَ، عَنْ شَقِيقِ بْنِ سَلَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: إِنَّ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِي شُغُلٍ فَاكِهُونَ، قَالَ: " شُغُلُهُمُ افْتِضَاضُ الْعَذَارَى
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ حُبَيْشٍ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى الْحُلْوَانِيُّ، ثنا أَبُو الرَّبِيعِ الزَّهْرَانِيُّ، ثنا يَعْقُوبُ الْقُمِّيُّ مِثْلَهُ سَوَاءً

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Maalik : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal : Telah menceritakan kepada kami Abur-Rabii’ Az-Zahraaniy dan Muhammad bin Humaid, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin ‘Abdillah : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Humaid, dari Syimr bin ‘Athiyyah (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Abul-Haitsam Ahmad bin Muhammad Al-Ghautsiy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah Al-Hadlramiy : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Ishaaq Ash-Shiniy : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Humaid, dari Syimr bin ‘Athiyyah, dari Syaqiiq bin Salamah, dari ‘Abdullah bin mas’uud tentang firman-Nya ta’ala : ‘‘Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka)’ (QS. Yaasiin : 55), ia berkata : “Kesibukan mereka dalam berjima’ dengan perawan/gadis” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam ‎Shifaatul-Jannah 2/208-209 no. 375; sanadnya ‎qawiy (kuat) sebagaimana dikatakan oleh Dr. ‘Aliy Ridlaa dalam takhriij-nya atas kitab tersebut].

أَخْبَرَنَا أَبُو نَصْرِ بْنُ قَتَادَةَ، أَنْبَأَ أَبُو مَنْصُورٍ النَّضْرَوِيُّ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ نَجْدَةَ، ثنا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، ثنا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ عِكْرِمَةَ، فِي قَوْلِهِ: "إِنَّ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِي شُغُلٍ فَاكِهُونَ، قَالَ: فِي افْتِضَاضِ الأَبْكَارِ "

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Nashr bin Qataadah : Telah memberitakan Abu Manshuur An-Nadlrawiy : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Najdah : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru, dari ‘Ikrimah tentang firman-Nya : ‘Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka)’ (QS. Yaasiin : 55), ia berkata : “(Kesibukan) dalam berjima’‎” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Ba’ts wan-Nusyuur hal. 221 no. 362; sanadnya hasan].

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، وَأَبُو سَعِيدِ بْنُ أَبِي عَمْرٍو، قَالا: ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، أَنْبَأَ الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ، أَخْبَرَنِي ابْنُ شُعَيْبٍ، أَخْبَرَنِي الأَوْزَاعِيُّ، عَنْ قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: "إِنَّ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِي شُغُلٍ فَاكِهُونَ، قَالَ: شَغَلَهُمُ افْتِضَاضُ الأَبْكَارِ "

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh dan Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : telah memberitakan Al-‘Abbaas bin Al-Waliid : Telah mengkhabarkan (Muhammad) bin Syu’aib : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Auzaa’iy tentang firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka)’ (QS. Yaasiin : 55), ia berkata : “Kesibukan mereka dalam berjima’” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Ba’ts wan-Nusyuur hal. 221 no. 361; sanadnya hasan].

Al-Qurthubi berkata:

وَقَالَ أَبُوْ قِلاَبَة : بَيْنَمَا الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ مَعَ أَهْلِهِ إِذْ قِيْلَ لَهُ تَحَوَّلْ إِلَى أَهْلِكَ، فَيَقُوْلُ أَنَا مَعَ أَهْلِي مَشْغُوْلٌ ؛ فَيُقَالُ تَحَوَّلْ أَيْضًا إِلَى أَهْلِكَ. وَقِيْلَ : أَصْحَابُ الْجَنَّةِ فِي شُغُلٍ بِمَا هُمْ فَيْهِ مِنَ اللَّذَّاتِ وِالنَّعِيْمِ عَنِ الْاِهْتِمَامِ بِأَهْلِ الْمَعَاصِي وَمَصِيْرِهِمْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا هُمْ فِيْهِ مِنْ أَلِيْمِ الْعَذَابِ ، وَإِنْ كَانَ فِيْهِمْ أَقْرِبَاؤُهُمْ وَأَهْلُوْهُمٍ

“Abu Qilabah berkata, “Tatkala seorang lelaki penghuni surga sedang bersama istrinya (dari bidadari-pen) maka dikatakan kepadanya : Pergilah kepada istrimu (yang ada di neraka-pen) maka iapun berkata, “Saya sedang sibuk dengan bidadariku”, maka dikatakan kembali kepadanya pergilah engkau ke keluargamu !.”

Dan dikatakan bahwasanya para penghuni surga sedang sibuk dalam kenikmatan dan kelezatan yang mereka rasakan sehingga mereka tidak memperdulikan tentang kondisi para pelaku kemaksiatan dan nasib mereka yang masuk kedalam neraka serta adzab dan siksaan yang mereka rasakan, meskipun para penghuni neraka tersebut adalah karib kerabat para penghuni surga dan istri-istri mereka tatkala di dunia” (Tafsiir Al-Qurthubi 15/43)

Bagaimana seorang penghuni surga tidak sibuk memecahkan keperawanan para bidadari?, sementara Allah menyediakan baginya para bidadari yang banyak jumlahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ لِلْمُؤْمِنِ فِى الْجَنَّةِ لَخَيْمَةً مِنْ لُؤْلُؤَةٍ وَاحِدَةٍ مُجَوَّفَةٍ طُولُهَا سِتُّونَ مِيلاً لِلْمُؤْمِنِ فِيهَا أَهْلُونَ يَطُوفُ عَلَيْهِمُ الْمُؤْمِنُ فَلاَ يَرَى بَعْضُهُمْ بَعْضًا

“Bagi seorang mukmin di surga sebuah kemah dari sebuah mutiara yang berongga, panjangnya 60 mil, dan bagi seorang mukmin dalam kemah mutiara tersebut istri-istrinya, sang mukmin berkeliling mengitari mereka sehingga sebagian mereka tidak melihat sebagian yang lain”(HR Al-Bukhari no 3243 dan Muslim no 7337)

Al-Munaawi berkata, “Bagi sang mukmin istri-istri yang banyak, ia mengelilingi istri-istri tersebut untuk menjimak mereka atau yang semisalnya, sehingga sebagian bidadari tidak melihat bidadari yang lain karena besarnya kemah mutiara tersebut” (At-Taisiir bi syarh al-Jaami’ as-Shogiir, 1/685)

Bagaimana seorang penghuni surga tidak sibuk memecahkan keperawanan para bidadari? Sementara para bidadari sangat cantik dan selalu merindukannya dan selalu merayunya…???

Bagaimana seorang penghuni surga tidak sibuk memecahkan keperawanan para bidadari…?? Sementara ia telah diberi kekuatan sekuat 100 orang dalam jimak…??

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يُعْطَى الْمُؤْمِنُ فِي الْجَنَّةِ قُوَّةَ كَذَا وَكَذَا مِنَ الْجِمَاعِ، قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَوَ يُطِيْقُ ذَلِكَ؟ قَالَ : يُعْطَى قُوَّةَ مِائَةٍ

“Seorang mukmin di surga diberi kekuatan untuk berjmak sekian dan sekian”, maka dikatakan, “Wahai Rasulullah, apakah ia mampu?”. Rasulullah berkata, “Ia diberi kekuatan 100 orang dalam berjimak” (HR At-Thirmidzi no 2536 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

Bagaimana seorang penghuni surga tidak sibuk memecahkan keperawanan para bidadari??, sementara para bidadari setiap disetubuhi akan kembali lagi keperawanan mereka??.

Allah berfirman :

إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً (٣٥)فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا (٣٦)

“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (Bidadari-bidadari) dengan langsung. Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan”(QS Al-Waaqi’ah : 35-36)

As-Syaikh As-Sa’di berkata, “Sifat ini –yaitu keperawanan- selalu menyertai mereka dalam berbagai kondisi” (Taisiir Ar-Kariim Ar-Rahmaan hal 833)

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhumaa berkata:

إِنَّ الرَّجُلَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ لَيُعَانِقُ الْحَوْرَاءَ سَبْعِيْنَ سَنَةً ، لاَ يَمَلُّهَا وَلاَ تَمَلُّهُ ، كُلَّمَا أَتَاهَا وَجَدَهَا بِكْرًا ، وَكُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهَا عَادَتْ إِلَيْهِ شَهْوَتُهُ ؛ فَيُجَامِعُهَا بِقُوَّةِ سَبْعِيْنَ رَجُلاَ ، لاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُمَا مَنِيٌّ ؛ يَأْتِي مِنْ غَيِرْ مَنِيٍّ مِنْهُ وَلاَ مِنْهَا

“Sesungguhnya seorang penghuni surga sungguh akan memeluk bidadari selama 70 tahun, ia tidak bosan dengan bidadari tersebut dan sang bidadari juga tidak bosan dengannya, setiap kali ia menjimaknya ia mendapati sang bidadari kembai perawan, dan setiap kali ia kembali kepada sang bidadari maka syahwatnya akan kembali. Maka iapun menjimak bidadari tersebut dengan kekuatan 70 lelaki, tidak ada mani yang keluar dari keduanya, ia menjimak bidadari tanpa keluar mani, dan sang bidadari juga tidak keluar mani” (Tafsiir Al-Qurthubi 15/45)

Tentu saja ini semua membuatnya sibuk memecahkan keperawanan para bidadari.

Seorang Penyair Menyampaikan

وَإِذَا انْحَدَرْتَ رَأَيْتَ أمراً هَائِلاً... مَا لِلصِّفَاتِ عَلَيْهِ مِنْ سُلْطَانِ

Jika engkau memandang apa yang ada di bawah pusar sang bidadari maka engkau akan melihat perkara yang menakjubkan (tentang kemaluan sang bidadari-pen), tidak ada kuasa untuk bisa menjelaskan sifat-sifat perkara tersebut.

لاَ الْحَيْضُ يَغْشَاهُ وَلاَ بَوْلٌ وَلاَ ... شَيْءٌ مِنَ الآفَاتِ فِي النِّسْوَانِ

Tidak ada darah haid yang menghalanginya dan tidak juga ada air kencing, serta tidak ada sesuatupun dari hal-hal buruk yang terdapat pada wanita-wanita dunia

فَخِذَانِ قَد حَفَا بِهِ حَرَسًا لَهُ ... فَجَنَابُهُ فِي عِزَّةٍ وِصِيَانِ

Dua paha yang telah meliputi perkara tersebut (kemaluan sang bidadari-pen) dan menjaganya, maka sisi kemaluan bidadari tersebut telah terjaga di bawah penjagaan dan keperkasaan

قَامَا بِخِدْمَتِهِ هُوَ السُّلْطَانُ بَيْـ ... ـنَهُمَا وَحَقٌّ طَاعَةُ السُّلْطَانِ

Kedua paha tersebut melayani kemaluan sang bidadari, dialah sang raja diantara kedua paha tersebut, dan merupakan hak agar raja ditaati

وَجِمَاعُهَا فَهُوَ الشِّفَا لِصَبِّهَا ... فَالصَّبُّ مِنْهُ لَيْسَ بِالضَّجْرَانِ

Dan menyetubuhi bidadari merupakan penawar dan obat kecintaannya kepada sang bidadari, maka kecintaan dari sang lelaki dan bukanlah kegelisahan

وَإِذَا يُجَامِعُهَا تَعُوْدُ كَمَا أَتَتْ ... بِكْرًا بِغَيْرِ دَمٍ وَلاَ نُقْصَانِ

Jika ia menyetubuhi sang bidadari maka sang bidadari akan kembali lagi keperawanannya tanpa ada darah dan tanpa ada kekurangan sama sekali

فَهُوَ الشَّهِيُّ وَعُضْوُهُ لاَ يَنْثَنِي ... جَاءَ الْحَدِيْثُ بِذَا بِلاَ نُكْرَانِ

Dialah sang lelaki yang berhasrat, dan kemaluannya tidak akan bengkok (loyo) sebagaimana ada hadits Nabi yang menjelaskan akan hal ini, tidak perlu diingkari

وَلَقَدْ رَوَيْنَا أَنَّ شُغْلَهُمُ الَّذِي ... قَدْ جَاءَ فِي يَاسِيْنَ دُوْنَ بَيَانِ

Dan sungguh kami telah meriwayatkan bahwasanya kesibukan mereka yang telah disebutkan dalam surat yaasiin tanpa perlu penjelasan lagi

شُغْلُ الْعَرُوْسِ بِعُرْسِهِ مِنْ بَعْدِمَا ... عَبَثَتْ بِهِ الْأَشْوَاقُ طُوْلَ زَمَانِ

Yaitu kesibukan seorang pengantin mempelai lelaki dengan mempelai wanitanya, setelah sekian lama sang mempelai lelaki telah diombang-ambingkan oleh kerinduan

بِاللهِ لاَ تَسْأَلْهُ عَنْ أَشْغَالِهِ ... تِلْكَ اللَّيَالِي شَأْنُهُ ذُوْ شَانِ

Demi Allah janganlah engkau bertanya kepadanya tentang kesibukannya pada malam-malam itu…perkaranya sangat hebat

وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلاً بِصَبٍّ غَابَ عَنْ ... مَحْبُوْبِهِ فِي شَاسِعِ الْبُلْدَانِ

Dan buatlah perumpamaan kepada mereka dengan seorang pria yang memendam kerinduan dan telah terpisah lama dari kekasihnya di negeri yang jauh

وَالشَّوْقُ يُزْعِجُهُ إِلَيْهِ وَمَا لَهُ ... بِلِقَائِهِ سَبَبٌ مِنَ الْإِمْكَانِ

Kerinduan senantiasa menggelisahkannya, namun tidak ada kemungkinan untuk bertemu dengan kekasihnya

وَافَى إِلَيْهِ بَعْدَ طُوْلِ مَغِيْبِهِ ... عَنْهُ وَصَارَ الْوَصْلُ ذَا إِمْكَانِ

Setelah lama berpisah dari kekasihnya tiba-tiba memungkinan baginya untuk bisa bertemu dengan kekasihnya

أَتَلُوْمُهُ إِنْ صَارَ ذَا شُغْلٍ بِهِ ... لاَ وَالَّذِي أَعْطَى بِلاَ حُسْبَانِ

Maka apakah engkau mencelanya jika lantas iapun sibuk (bersetubuh) dengan kekasihnya? Tentu tidak, demi Dzat yang memberikan karunia tanpa batasan

يَا رَبِّ غُفْرًا قَدْ طَغَتْ أَقْلاَمُنَا ... يَا رَبِّ مَعْذِرَةً مِنَ الطُّغْيَانِ


Wahai Robku ampunilah kami, pena-pena kami telah melampaui batas (dalam mensifati para bidadari), waha Robku maafkanlah kami karena sikap melampaui batas ini

Itulah sebagian kenikmatan surga yang dijanjikan Allah ta’ala di surga bagi siapa saja yang memasukinya, dan janji Allah ta’ala tidak akan diperoleh dengan cara bermaksiat kepada-Nya.
Allah ta’ala berfirman :

وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” [QS. An-Nahl : 96].

Yaitu, sabar dalam melakukan ketaatan dan sabar dalam tidak bermaksiat kepada-Nya, karena surga dilingkupi dengan berbagai kesusahan (dalam menggapainya) sebagaimana sabda rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

حُجِبَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ، وَحُجِبَتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ "

“Neraka dilingkupi dengan berbagai kesenangan, sedangkan surga dilingkupi berbagai kesusahan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6487, Muslim no. 2822, dan yang lainnya].

Allah ta’ala berfirman :

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي صَدَقَنَا وَعْدَهُ وَأَوْرَثَنَا الأرْضَ نَتَبَوَّأُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ نَشَاءُ فَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ

“Dan mereka mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki." Maka surga itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal” [QS. Az-Zumar : 74].

Semoga Allah ta’ala memudahkan jalan kita menggapai surga-Nya......

Mengapa Cabe-Cabean Semakin Banyak Di Masyarakat???


Fitrah yang mengandung implikasi pendidikan mengandung paham nativisme. Maksudnya bahwa manusia mempunyai potensi dasar beragama yang tidak dapat dirubah. Fitrah yang bercorak nativisme ini berkaitan juga dengan factor hereditas (keturunan) yang bersumber dari orang tua, termasuk juga keturunan beragama. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Nuh ayat 26-27

وقال نوح رب لا تذر عليالارض من الكفرينديارا . انك ان تذرهم يضلوا عبادك ولا يلدوا الافاجراكفارا.

Artinya: Nuh berkata: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat ma’siat lagi sangat kafir.

Makin anget aja nih istilah cabe-cabean ama terong-terongan. Nggak sekalian aja tomat-tomatan atau garam-garaman, terasi-terasian plus gula-gulaan supaya bisa jadi sambal. Hehehe.. kalo ngeliat definisinya, sebenarnya fenomena cabe-cabean atau terong-terongan udah ada sejak jaman baheula (jadul). Cuma istilahnya ada yang diperbarui. Di daerah Jawa Tengah sana, konon kabarnya sebelum cabe-cabean udah ngetop kimcil. Nggak jauh bedalah. Atau mungkin sudah di-replace alias diganti kali ya. Tetapi, terlepas dari kontroversi itu, yang jelas fenomena cabe-cabean dan terong-terongan sungguh sudah sangat mengganggu. Khususnya cabe-cabean.

Eh, ini ngobrolin apaan sih? Hah? Kamu ada yang nggak ngeh soal ini? Waduh, kirain udah pada paham semua. Hehehe… itu lho, cabe-cabean adalah istilah untuk anak cewek alay yang sok imut, genit, ganjen dan pecicilan gitu deh. Sering nongkrong di arena balap liar atau kalo naik motor seringnya boncengan bertiga nggak pake helm dengan balutan pakaian yang ketat dan minim. Kesannya para ABG cabe-cabean ini adalah cewek yang murahan dan bahan mainan para cowok iseng. Nah, itu kira-kira pengertiannya. Kalo nggak puas, kamu bisa googling lagi dah di internet. Tetapi setidaknya inilah definisi umumnya. Jauh banget ternyata dengan definisi wanita shalihah ya? Idih, kalo cewek cabe-cabean mah tepatnya digelari gajah alias gadis jahiliyah!

Nah, kalo terong-terongan apa pula itu, bos? Gini, kalo terong-terongan itu buat lawan jenisnya, yakni para cowok alay yang juga berperilaku seperti cewek cabe-cabean. Cuma memang untuk istilah terong-terongan nggak terlalu jadi sorotan. Kalah pamor dengan istilah cabe-cabean. Namun, apapun itu istilahnya, kita menilai berdasarkan fakta di lapangan seperti apa. Jika bertentangan dengan norma masyarakat, apalagi norma agama, ya kudu dibenahi. Jangan dibiarkan atau malah dibuat makin semarak. Nggak lah. Harus ditertibkan dan mereka harus disadarkan, lalu dibina akidahnya agar menjadi wanita shalihah dan lelaki shalih. Ini tanggung jawab kita semua lho. Bukan cuma tanggung orang tua mereka aja. Bagaimana dengan pemerintah, apa perlu dilibatkan? Kalo pemerintah sih emang sudah sewajibnya mengurus rakyat kok. Jadi, peran pemerintah kudu tampak nyata untuk mengatasi fenomena sosial yang buruk ini.

Apa penyebab cewek cabe-cabean?

Sobat kalo ditanya penyebabnya tentu akan banyak pendapat sesuai pengamatan terhadap fakta. Seseorang yang ditanya, jawabannya akan berbeda dengan orang lain yang ditanya untuk masalah yang sama. Maka, kita bisa baca di media cetak atau lihat di televisi banyak pengamat pendidikan, pengamat sosial, pengamat masalah anak, pengamat keluarga dan pengamat lainnya nyaris banyak perbedaannya dalam menyikapi fenomena cabe-cabean dan penyebabnya. Namun demikian, sebagai muslim sebenarnya kita punya standar yang jelas, yakni akidah dan syariat Islam. Sehingga, pengamat dalam bidang-bidang tertentu yang dikuasainya akan selalu menjadikan Islam sebagai standar utama. Sehingga pasti akan ada kesamaannya dalam bersikap dan menjawab penyebab maraknya suatu fenomena, termasuk seputar cabe-cabean. Paham ya?

Nah, saat ini kan kita semua hidup dalam sistem kehidupan yang bukan Islam. Tentu saja masyarakatnya juga bukan masyarakat Islam karena pemikirannya sangat beragam dan jauh dari standar Islam. Mungkin yang menggunakan Islam sebagai rujukan tetap ada, tetapi jumlahnya tak dominan. Bisa jadi malah yang banyak adalah mereka yang menjadikan ideologi selain Islam sebagai pengatur kehidupannya. Akibatnya, pola pikir dan pola sikapnya, meski dia muslim, malah jauh dari Islam karena memilih keyakinan atau ideologi lain selain Islam. Bahaya tuh, Bro en Sis!

Oke, kalo ditelusuri nih, penyebabnya setidaknya ada tiga bagian kalo menurut saya. Oya, ini pun berdasarkan cara Islam memandang lho. Jadi ya saya ngikutin aja menurut Islam. Apa saja tuh? 

Pertama, faktor keluarga. Betul, ini memang yang utama dalam pandangan Islam. Dalam keluarga kan terdiri dari ayah, ibu, dan juga anak-anak. Ini keluarga inti ya. Nah, kalo ayah dan ibunya nggak pernah ngajarin anak-anak maka besar kemungkinan anak akan terlantar dalam pemahaman akidahnya, dalam etika pergaulannya dan semua hal yang berkaitan dengan kepribadian mereka. Jelas, dalam hal ini orang tua yang kudu bertanggung jawab. 

Riwayat al-Bukhari

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: " مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ، ثُمَّ يَقُولُ: فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاف لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِق ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ

Artinya : Abdan Menceritkan kepada kami (dengan berkata) Abdullah memberitahukan kepada kami (yang berasal) dari al-Zukhri (yang menyatakan) Abu salamah bin Abd al-Rahman memberitahukan kepadaku bahwa Abu Hurairah, ra. Berkata : Rasulullah SAW bersabda “setiap anak lahir (dalam keadaan) Fitrah, kedua orang tuanya (memiliki andil dalam) menjadikan anak beragama Yahudi, Nasrani, atau bahkan beragama Majusi. sebagimana binatan ternak memperanakkan seekor binatang (yang sempurnah Anggota tubuhnya). Apakah anda melihat anak binatang itu ada yang cacak (putus telinganya atau anggota tubuhnya yang lain)kemudian beliau membaca, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptkan menurut manusia fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus.

Riwayat Muslim

حَدَّثَنَا حَاجِبُ بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَرْبٍ، عَنْ الزُّبَيْدِيِّ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّه" مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، وَيُنَصِّرَانِهِ، وَيُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟ ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ: وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ:   

Artinya :Hâjib bin al-Walid menceritakan kepada kami (dengan mengatakan) Muhammad bin harb menceritakan kepada kami (yang berasal) dari al-Zubaidi (yang diterima) darfi al-Zuhri (yang mengatakan) Sa'id bin al-Musayyab memberitahukan kepadaku (yang diterima) dari Abu Hurairah bahwa ia berkata, Rasulullah saw bersabda: "Setiap anak lahir (dalam keadaan) fitrah, kedua orang tuanya (memiliki andil dalam) menjadikan anak beragama Yahudi, Nasrani, atau bahkan beragama Majusi, sebagaimana binatang ternak memperanakkan seekor binatang (yang sempurna anggota tubuhnya). Apakah anda mengetahui di antara binatang itu ada yang cacat/putus (telinganya atau anggota tubuhnya yang lain)

Hadist yang diriwayatkan oleh at-Tarmizi:

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى الْقُطَعِيُّ الْبَصْرِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ رَبِيعَةَ الْبُنَانِيُّ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : " كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْمِلَّةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُشَرِّكَانِهِ"

Muhammad bin Yahya al-Qutha’i al-Bashri menceritakan kepada kami (yang mengatakan) ‘Abd al-Aziz bin Rabi’ah al-Bunani menceritakan kepada kami (yang berkata) al-A’masy menceritakan kepada kami (yang bersumber) dari Abu Shalih (yang berasal) dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: “ setiap anak dilahirkan di atas al-millah (agama fitrahnya, islam) namun, kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi atau Nasrani atau menjadikannya seorang Musyrik.

Hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad Ibn Hanbal:

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ  قَالَ: " كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَة، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أوَ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ

'Abd al-A'la menceritakan kepada kami (yang berasal) dari Ma'mar (yang bersumber) dari al-Zuhri (yang berasal) dari Sa'id bin al-Musayyab (yang bersumber) dari Abu Hurairah yang berkata, Rasulullah saw bersabda: "Setiap anak lahir (dalam keadaan) fitrah, Kedua orang tuanya (memiliki andil dalam) menjadikan anak beragama Yahudi, Nasrani, atau bahkan beragama Majusi, sebagaimana binatang ternak memperanakkan seekor binatang (yang sempurna anggota tubuhnya). Apakah anda mengetahui di antara binatang itu ada yang cacat/putus (telinganya atau anggota tubuhnya yang lain)?

Dalam hadis shahih riwayat Bukhari ini jelas bahwa orang tua sangat bertanggung jawab terhadap kehidupan anak-anaknya. Oya, fitrah Allah itu maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah Ta’ala mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan (terutama yang pertama berpengaruh adalah orang tuanya). Maka, kalo nanti kamu berkeluarga, kamu kudu ngerti persoalan ini dan kamu kudu meningkatkan keimanan dan tsaqafah Islam. Setelah itu carilah pasangan ketika menikah dengan kriteria yang sesuai tuntunan Islam. Minimal pemahamannya seperti kamu deh (yang udah islami, maksudnya), syukur-syukur bisa lebih baik lagi.

Dalam hal ini adalah orang tua yang musti menggodok kembali kurikulum dalam keluarga tersebut agar berlandaskan nilai agama sebagai pondasi awal kemudian menyusul nilai-nilai lainnya seperti nilai sosial, moral dan budi pekerti. Jangan sampai orang tua kalah dengan anaknya. Lho? Lah kan anak sekarang sudah semakin pintar, bukan berarti orang tuanya …..? 

Sebaliknya loh, hanya saja terkadang banyak orang tua yang cenderung tidak mengikuti perkembangan dunia remaja saat ini, padahal amat penting untuk diketahui orang tua karena hal ini dapat membantu orang tua dalam memberikan penjelasan yang lebih rinci dalam memberikan nasihat pada si anak sesuai fakta kekinian hingga memberikan penjelasan yang mampu diterima dan dimengerti dengan baik, tidaklah mudah menasihati anak pada saat ini karena mereka cenderung merasa mereka lebih tahu, lebih paham dan merasa benar karena mereka yang menjalani sedangkan orang tua dianggap tidak tahu apa-apa. Akan tetapi bukan pula orang tua  bersikap otoriter, mengawasi gerak-gerik anak setiap detiknya, memaksakan kehendak tidak boleh begini atau tidak boleh begitu, hal tersebut malah akan membuat anak merasa tertekan, merasa diawasi, merasa tidak dipercaya hingga merasa tidak nyaman. 

Anak-anak saat ini banyak yang menuntut emansipasi anak-anak? Apa tuh? Itu loh wujud dari pembelaan mereka dalam menentukan kebebasan dalam bergaul maupun mengemukakan pendapat dan keinginan mereka, jika orang tua tidak dapat mengkomunikasikan dengan baik pada si anak mereka akan mencari orang lain yang dapat lebih mengerti dan menerima apa yang diinginkan mereka.

Kemudian  selanjutnya faktor media, saat ini media televisi khususnya, banyak mempertontonkan atau bahkan mencontohkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik seperti cara berpakaian atau pun cinta-cintaan yang masih belum pantas untuk dialami oleh anak-anak, bukankah kita juga sudah melihat bukti nyatanya bahwa pernah terjadi di mana sepasang ABG yang bertengkar sampai berbuntut hilangnya nyawa, walaupun mungkin ada faktor lain dari kejadian tersebut, tapi masa sih mereka tidak pernah atau bahkan tidak terpengaruh pada apa yang mereka tonton sebelumnya? Paling tidak saya yakin hal tersebut ikut andil. Kita harus cukup cerdas dalam menyaring acara-acara ataupun channel televisi di rumah, membagi jam yang aman untuk anak-anak khususnya menonton televisi merupakan salah satu langkah yang baik. Dalam pertelevisian Indonesia ada komisi penyiaran yang bertugas membatasi ataupun menyensor adegan-adegan yang tidak pantas dengan memberikan teguran bertahap atau menghentikan suatu program acara akan tetapi  rasanya tidak maksimal jika kita hanya mengandalkan itu saja, kita punya hak untuk menuntut atau menghentikan suatu acara atau program yang dianggap meresahkan secara langsung dengan memberikan teguran kepada pihak stasiun TV terkait ataupun dengan memanfaatkan jejaring sosial yang ada, mungkin akan sulit memang bila kita bergerak seorang diri, tapi dengan semakin berkembangnya media yang ada akan dapat membantu kita menggerakkan banyak orang dengan satu kepentingan yang sama.

Tentu bukan hanya media televisi saja yang harus di waspadai, media sosial sekarang ini bisa menjadi ancaman utama bila dalam penggunaannya tidak secara bijak. Orang tua wajib  memonitor aktivitas anaknya di jejaring sosial, jadi orang tua pun harus melek internet, rasanya tidak mungkin bila orang tua hanya mengawasi sepenuhnya kegiatan anaknya di depan komputer, hal tersebut tidak akan maksimal bila orang tua tidak ikut ambil bagian dalam aktivitas anaknya di dunia maya. Dan bagi  kita yang aktif dalam berbagai media seperti Twitter, Facebook dan lain sebagainya, harus memberikan contoh yang baik kepada followers maupun pertemanan di sosial media secara lebih bijak seperti dengan lebih banyak men-share- informasi-informasi bermanfaat, artikel mendidik ataupun status yang tidak mengandung unsur negatif, jangan segan-segan memblokir atau memberi pengaduan kepada Facebook terkait foto atau pun konten yang dianggap meresahkan.

Kedua, faktor masyarakat. Mengapa kini fenomena cewek cabe-cabean marak atau cowok terong-terongan jadi heboh? Sangat boleh jadi, ada yang salah dengan masyarakat kita. Memang sih nggak bisa menyalahkan seluruh individu dalam masyarakat. Tetapi, saat ini kita hidup bukan pada kondisi ideal sebuah masyarakat islami. Sangat boleh jadi ada individu dan kelompok atau komunitas yang peduli dengan kondisi masyarakat, lalu mereka mengajak masyarakat yang sakit itu untuk sadar dan memulai hidup dengan cara Islam. Tetapi masalahnya, di masyarakat itu bukan hanya orang yang baik, tetapi bejibun juga orang yang jahat. Bisa dibayangin dah, gimana jadinya kalo masyarakat yang jahat justru mendominasi. Jika ini yang terjadi, maka pantas bahwa masyarakat bisa disalahkan dan bertanggung jawab atas kerusakan ini.

Faktor lingkungan dalam masyarakat pun berpengaruh, tempat di mana mereka bermain atau bergaul seperti tempat nongkrong dan lingkungan terdekat lainnya seperti sekolah dan teman-teman bergaulnya. 

Dari Abu Musa Asy-Asy’ari, Dia mengatakan bahwa, Rasulullah saw bersabda:

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً

“Sesungguhnya, perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk, adalah seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Seorang penjual minyak wangi akan memberi kamu minyak, atau kamu membelinya, atau kamu mendapati bau yang harum darinya. Sedangkan pandai besi, maka bisa jadi akan membakar bajumu dan bisa pula engkau mendapati darinya bau yang busuk”. (HR. Muttafaq ‘Alaih).

Seperti itulah pertemanan yang baik dan buruk. Berteman dengan orang baik, diumpamakan berteman dengan penjual minyak wangi jika minyaknya tidak melekat pada kita, baunya pun jadi. Sedangkan berteman dengan orang jahat, laksana berteman dengan tukang pandai besi, jika hitamnya besi (kotorannya) tak melekat, paling tidak asapnya yang bau itu mengenai kita. Walaupun kita tidak Ikut-ikutan berperilaku jahat, paling tidak kita kena pengaruh dari kejahatannya. Seperti itulah berteman dan bergaul, dalam lingkungan manapun kita berada harus menjaga diri. Bagaimana dengan anak-anak yang mungkin belum mendengar hadits tersebut atau belumlah paham?  Itulah tugas masing-masing dari kita yang harus saling mengingatkan, mengingatkan kepada yang lebih tua dengan hormat, mengingatkan dari yang lebih muda dengan kasih sayang dan mengingatkan dengan yang mungkin berbeda agama maupun suku dengan kita dengan penuh saling pengertian. Di sini saya pun ingin mengingatkan orang tua dan saya pun yang nantinya akan jadi orang tua untuk senantiasa mengingat pesan dari Rasulullah dalam memilih Pertemanan, bukan hanya pertemanan sesama orang tua, tapi orang tua yang juga harus tahu dengan siapa anaknya berteman.

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan: “Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan seorang teman yang baik dengan penjual minyak kasturi, dan teman yang buruk dengan tukang pandai besi. Dalam hadits ini juga terdapat keutamaan berteman dengan orang-orang shalih, pelaku kebaikan, orang-orang yang memiliki wibawa, akhlak yang mulia, sifat wara’, ilmu serta adab. Sekaligus juga terdapat larangan untuk bergaul dengan para pelaku kejelekan dan kebid’ahan, serta siapa saja yang suka mengghibah (membicarakan kejelekan orang lain tanpa sepengetahuannya), banyak melakukan keburukan, kebatilan, serta sifat-sifat tercela lainnya.” (Syarah Shahih Muslim, Imam an-Nawawi, Dar al-Ma’rifah, Beirut 1429 H, Juz 16 halaman 394).

Ketiga, faktor negara. Nah, ini sebenarnya ujung tombak perubahan ke arah kebaikan ada di tangan para pemimpin dan penyelenggara negara, Bro ...  Gimana pun juga, ketika individu (termasuk dalam hal ini keluarga) dan masyarakat kehilangan energi untuk melakukan perubahan, maka negara wajib menjadi pihak yang paling bertanggung-jawab atas semuanya, yakni dengan menerapkan aturan dan sanksi. Silakan dilihat aja sekarang, kalo fenomena cewek cabe-cabean dan cowok terong-terongan ini justru luput dari perhatian pemerintah—atau bahkan mereka membiarkan semua itu terjadi tanpa penyelesaian, maka bisa dipastikan bahwa negara telah abai dan gagal mengurus rakyatnya.

Mas Bro Mbak Bro rahimakumullah,Jika melihat fenomena cewek cabe-cabean saat ini, sangat mungkin penyumbang kemunculan dan keberadaan mereka disebabkan lalainya orang tua dalam mendidik, Cuek alias nggak mau pedulinya masyarakat terhadap kasus tersebut, dan juga abainya negara dalam melayani rakyat karena tak membuat aturan dan sanksi bagi para pelaku cewek cabe-cabean dan ragam pelanggaran serta kemaksiatan lainnya. Namun, jika dirunut penyebab utama atau akar masalah, tentunya adalah penerapan aturan selain Islam oleh negara. Sehingga membuat kerusakan bukan hanya pada segelintir orang, tetapi juga menyebar rata ke hampir semua orang di negeri ini. Waduh, menyedihkan banget tuh! Semoga kamu paham penjelasan ini ya.

Penyembelihan Hewan Sesuai Syar'i


Islam hanya mengenal pembunuhan terhadap hewan HARUS DENGAN CARA MENYEMBELIH DENGAN KETENTUAN MENYEBUT NAMA ALLAH TERLEBIH DAHULU….

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ

“Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai, dan darah, dan daging babi, dan binatang-binatang yang disembelih kerana yang lain dari Allah, dan yang mati tercekik, dan mati dipukul, dan mati jatuh, dan mati ditanduk, dan yang mati dimakan binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih, dan yang disembelih atas nama berhala…..” (QS Al-Ma’idah: 3)
Syarat Penyembelihan :
1.    Hewan yang disembelih harus dalam keadaan hidup.
Hewan yang telah mati sebelum disembelih, maka ia termasuk bangkai yang haram untuk dimakan. Allah ta’ala berfirman :

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ......

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai…” [QS. Al-Baqarah : 173].
Catatan :
Haram hukumnya mengambil dan memakan daging yang diambil dari bagian tubuh hewan yang masih hidup. Daging yang terambil tersebut termasuk katagori bangkai, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :

مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ فَمَا قُطِعَ مِنْهَا فَهُوَ مَيْتَةٌ

“Apa saja yang dipotong dari bagian tubuh hewan yang masih hidup, maka ia termasuk bangkai” [HR. Abu Dawud no. 2858 dan Ibnu Majah no. 3216; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/203].
2.    Memotong kedua urat leher dan tenggorokan, sehingga darahnya mengalir.
Syarat ini berlaku pada hewan yang dapat dikendalikan, sedangkan hewan buruan atau hewan yang kabur dan tidak dapat disembelih dengan cara biasa, maka boleh dimakan setelah membidiknya dengan senjata di bagian manapun dari badannya. Diperbolehkan pula untuk memakan hewan buruan yang diburu dengan menggunakan anjing yang terlatih untuk berburu.

عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا لَاقُو الْعَدُوِّ غَدًا وَلَيْسَتْ مَعَنَا مُدًى قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْجِلْ أَوْ أَرْنِي مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ فَكُلْ لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفُرَ وَسَأُحَدِّثُكَ أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفُرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ قَالَ وَأَصَبْنَا نَهْبَ إِبِلٍ وَغَنَمٍ فَنَدَّ مِنْهَا بَعِيرٌ فَرَمَاهُ رَجُلٌ بِسَهْمٍ فَحَبَسَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِهَذِهِ الْإِبِلِ أَوَابِدَ كَأَوَابِدِ الْوَحْشِ فَإِذَا غَلَبَكُمْ مِنْهَا شَيْءٌ فَاصْنَعُوا بِهِ هَكَذَا

Dari Raafi’ bin Khadiij ia berkata : “Ya Rasulullah, besok kita akan menghadapi musuh, sedangkan kita tidak mempunyai pisau untuk menyembelih (hewan yang akan kita makan) ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Segera cari apa saja yang bisa mengalirkan darah untuk menyembelih, sebutlah nama Allah, kemudian makanlah; asalkan bukan gigi dan kuku. Aku akan jelaskan padamu bahwasannya gigi itu pada hakekatnya tulang, sedangkan kuku itu adalah alat penyembelihan masyarakat Habasyah. Kemudian Raafi’ bin Khadiij berkata : “Kami banyak memperoleh harta rampasan perang berupa onta dan kambing. Ada seekor onta yang lepas, kemudian dibidik oleh seseorang dengan anak panah sehingga tertangkap. Lalu Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Sesungguhnya onta-onta ini mempunyai sifat liar seperti yang dimiliki oleh binatang liar. Jika ada yang tidak dapat kamu kendalikan, maka perlakukanlah (penyembelihan) sebagaimana tadi (yaitu membidiknya dengan anak panah)” [HR. Al-Bukhari no. 2488, 2507, 5509 dan Muslim no. 1968].‎

عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ فَاذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ فَإِنْ أَمْسَكَ عَلَيْكَ فَأَدْرَكْتَهُ حَيًّا فَاذْبَحْهُ وَإِنْ أَدْرَكْتَهُ قَدْ قَتَلَ وَلَمْ يَأْكُلْ مِنْهُ فَكُلْهُ وَإِنْ وَجَدْتَ مَعَ كَلْبِكَ كَلْبًا غَيْرَهُ وَقَدْ قَتَلَ فَلَا تَأْكُلْ فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي أَيُّهُمَا قَتَلَهُ وَإِنْ رَمَيْتَ سَهْمَكَ فَاذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ فَإِنْ غَابَ عَنْكَ يَوْمًا فَلَمْ تَجِدْ فِيهِ إِلَّا أَثَرَ سَهْمِكَ فَكُلْ إِنْ شِئْتَ وَإِنْ وَجَدْتَهُ غَرِيقًا فِي الْمَاءِ فَلَا تَأْكُلْ

Dari ‘Adi bin Haatim ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepadaku : “Apabila kamu melepas anjing pemburu, maka sebutlah nama Allah. Apabila ia menangkap hewan hewan buruan untukmu, jika hewan buruan itu kamu temukan masih dalam keadaan hidup, maka sembelihlah. Dan jika hewan itu kamu temukan telah dibunuh oleh anjingmu tanpa dimakannya, maka makanlah. Apabila ada anjing lain yang menyertai anjingmu lalu hewan buruan tersebut kamu temukan dalam keadaan terbunuh, maka kamu jangan memakannya karena kamu tidak tahu apakah anjingmu atau ataukah anjing lain tersebut yang membunuhnya. Apabila kamu membidikkan panah, maka sebutlah nama Allah. Jika hewan yang telah kamu panah tersebut baru kamu temukan setelah satu hari sedangkan di tubuhnnya tidak ada luka lain kecuali luka akibat anak panahmu, maka makanlah. Apabila kamu menemukan tenggelam di dalam air, maka jangan kamu makan” [HR. Al-Bukhari no. 5484 dan Muslim no. 1929].
3.    Menggunakan alat penyembelihan yang dapat melukai selain tulang dan kuku.
Dalilnya adalah hadits Raafi’ bin Khadiij radliyallaahu ’anhu sebagaimana telah disebutkan di atas.
4.    Penyembelih adalah seorang muslim atau Ahli Kitab, boleh laki-laki atau perempuan.
Kebolehan sembelihan dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) adalah berdasarkan firman Allah ta’ala :

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ

”Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu..” [QS. Al-Maaidah : 5].
Ibnu ’Abbas radliyallaahu ‘anhumaa ketika mengomentari ayat di atas berkata : ”Makanan mereka, yaitu sembelihan mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari 3/459 secara mu’allaq].
Tidak diperbolehkan penyembelihan dilakukan oleh penyembah berhala, Majusi, dan yang semisalnya. Hal ini telah menjadi satu kesepakatan, karena mereka semua tidak menyebut nama Allah ketika menyembelih (yaitu menyebut nama berhala atau tuhan-tuhan selain Allah yang mereka sembah). Allah ta’ala berfirman :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ

”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala....”[QS. Al-Maaidah : 3].
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa wanita diperbolehkan untuk menyembelih adalah hadits Ka’ab bin ’Ujrah radliyallaahu ’anhu :

أن امرأة ذبحت شاة بحجر فسئل النبي صلى الله عليه وسلم عن ذلك فأمر بأكلها

”Bahwasannya seorang wanita menyembelih seekor kambing dengan menggunakan batu. Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ditanya mengenai hal itu, dan kemudian beliau memerintahkan untuk memakannya” [HR. Al-Bukhari no. 5504].
Catatan :
Kebolehan penyembelihan yang dilakukan oleh Ahli Kitab adalah jika diketahui bahwa mereka tidak menyebut nama selain Allah ketika menyembelih. Namun jika telah diketahui bahwa mereka menyebut nama selain Allah ketika menyembelih (misalnya menebut nama ’Isa ’alaihis-salaam ‎atau yang semisalnya), maka haram hukumnya sembelihan mereka tersebut berdasarkan firman Allah ta’ala :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah...” [QS. Al-Maaidah : 3].
5.    Penyembelih adalah seorang yang berakal, sama saja apakah ia telah baligh atau belum baligh selama ia telah mencapai tamyiz.
Maka tidak sah sembelihan orang gila (majnun), anak-anak yang belum berakal, atau orang yang mabuk. Ini adalah madzhab jumhur ulama seperti Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabillah, dan Syafi’iyyah. Adapun Ibnu Hazm mensyaratkan baligh.
6.    Menyebut nama Allah.

Jika seseorang sengaja meninggalkannya – padahal ia mampu untuk mengucapkannya (untuk menyebut nama Allah) – maka sembelihannya tidak boleh dimakan. Ini merupakan madzhab jumhur ulama. Namun apabila ia lupa ketika menyembelihnya, maka tidak mengapa (sembelihannya tetap boleh untuk dimakan). Mereka berdalil dengan firman Allah ta’ala :

وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

”Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan” [QS. Al-An’am : 121].
Adapun menurut Asy-Syafi’i – yang diriwayatkan dari Ahmad – menyebut nama Allah hanyalah sunnah saja. Beliau berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa :

إِنَّ قَوْمًا قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللهِ أَمْ لَا ؟. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : سَمُّوا اللهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ

”Ada sekelompok orang yang bertanya : ’Ya Rasulullah, ada orang yang memberi kami daging yang kami tidak tahu apakah penyembelihannya dengan menyebut nama Allah atau tidak?’. Maka Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab :”Sebutlah nama Allah, dan makanlah” [HR. Al-Bukhari no. 2057].
Selain itu pendapat ini juga berdalil dengan kebolehan yang diberikan oleh Allah untuk memakan sembelihan Ahli Kitab, padahal kita tahu bahwa mereka tidak menyebutkannya atau setidaknya ada keraguan (tidak bisa memastikan) mereka menyebut nama Allah ketika menyembelihnya. Adanya keraguan dalam hal syarat, maka hal itu menunjukkan keraguan pada hal yang disyarati. Dan di sini menunjukkan bahwa menyebut nama Allah itu bukanlah termasuk syarat (wajib) dalam penyembelihan.
Terdapat pembahasan yang agak panjang mengenai hal ini. Namun, sebagai seorang muslim yang baik, tidak selayaknya bagi kita untuk meninggalkan penyebutan nama Allah dalam penyembelihan ketika kita mampu untuk mengucapkannya. Ini satu perwujudan sikap kehati-hatian dalam syari’at Islam.

Adab-Adab dalam Menyembelih

1.    Berbuat baik (ihsan) dalam menyembelih.
Dilakukan dengan beberapa perkara, yaitu :
a)    Menajamkan pisau/alat penyembelihan.

عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ ثِنْتَانِ حَفِظْتُهُمَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

Dari Syaddaad bin Aus ia berkata : Dua hal yang aku hafal dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, beliau berkata : ”Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat baik terhadap segala sesuatu. Apabila kalian membunuh (dalam qishash) maka berbuat baiklah dalam cara membunuh. Apabila kalian menyembelih, maka berbuat baiklah  dalam cara menyembelih. Maka hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya” [HR. Muslim no. 1955, Ibnu Majah no. 3170, ’Abdurrazzaq no. 8630-8634, dan Ibnul-Jarud dalam Al-Muntaqaa no. 899].‎
b)    Menjauhkan dari pandangan hewan sembelihan ketika menajamkan pisau.
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : قام رسول الله صلى الله عليه وسلم على رجل واضع رجله على صفحة شاة وهو يحد شفرته وهي تلحظ إليه ببصرها فقال : أفلا قبل أتريد أن تميتها موتًا

Dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengamati seorang laki-laki yang meletakkan kakinya di atas pipi (sisi) kambing dalam keadaan ia mengasah pisaunya, sedangkan kambing itu memandang kepadanya. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : ‘Apakah sebelum ini kamu hendak mematikan dengan beberapa kematian ?” [HR. Al-Baihaqi 9/280 no. 19141, Al-Hakim 3/233, ‘Abdurrazzaq no. 8608; shahih].
c)    Menggiring kambing menuju tempat penyembelihan dengan baik.

عن محمد بن سيرين أن عمر رضي الله عنه رأى رجلاً يجر شاة ليذبحها فضربه بالدرة وقال سقها لا أم لك إلى الموت سوقاً جميلاً

Dari Muhammad bin Siiriin : Bahwasannya ‘Umar radliyallaahu ‘anhu melihat seorang laki-laki menarik seekor kambing untuk disembelih, lalu ia memukulnya dengan tongkat. Maka ‘Umar berkata dengan mencelanya : “Giring hewan ini kepada kematian yang baik” [HR. Al-Baihaqi 9/281].
Riwayat di atas adalah lemah karena adanya inqitha’ (keterputusan) antara Ibnu Sirin dengan ‘Umar. Akan tetapi makna hadits ini adalah shahih.
d)    Membaringkan hewan yang akan disembelih.

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِي سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ

Dari ‘Aisyah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam meminta diambilkan seekor kambing kibasy bertanduk yang kaki-kakinya hitam, perutnya hitam, dan sekitar matanya hitam. Kemudian dibawakan kepada beliau kambing dengan ciri-ciri tersebut. Beliau berkata kepada ‘Aisyah : “Wahai ‘Aisyah, bawakan kepadaku pisau”. Beliau melanjutkan : “Asahlah pisau itu dengan batu”. ‘Aisyah pun mengasahnya. Lalu beliau membaringkan kambing itu, kemudian beliau bersiap menyembelihnya, lalu mengucapkan : “Ya Allah, terimalah ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad”. Kemudian beliau menyembelihnya [HR. Muslim no. 1967 dan Abu Dawud no. 2792].

An-Nawawi berkata :

وَفِيهِ : اِسْتِحْبَاب إِضْجَاع الْغَنَم فِي الذَّبْح , وَأَنَّهَا لَا تُذْبَح قَائِمَة وَلَا بَارِكَة بَلْ مُضْجَعَة ; لِأَنَّهُ أَرْفَق بِهَا , وَبِهَذَا جَاءَتْ الْأَحَادِيث , وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِ , وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء وَعَمَل الْمُسْلِمِينَ عَلَى أَنَّ إِضْجَاعهَا يَكُون عَلَى جَانِبهَا الْأَيْسَر ; لِأَنَّهُ أَسْهَل عَلَى الذَّابِح فِي أَخْذ السِّكِّين بِالْيَمِينِ , وَإِمْسَاك رَأْسهَا بِالْيَسَارِ

“Hadits ini menunjukkan sunnahnya membaringkan kambing ketika akan disembelih dan tidak boleh disembelih dalam keadaan kambing berdiri atau berlutut, tetapi dalam keadaan berbaring karena lebih mudah bagi kambing tersebut. Dan hadits-hadits yang ada menuntunkan demikian, juga kesepakatan kaum muslimin. Ulama sepakat dan juga amalan kaum muslimin bahwa hewan yang akan disembelih dibaringkan di sisi kirinya karena cara ini lebih mudah bagi orang yang akan menyembelih dalam mengambil pisau dengan tangan kanan dan menahan kepala hewan dengan tangan kiri” [Syarh Shahih Muslim 13/130].

e)    Tempat atau bagian yang akan disembelih.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : الذَّكَاةُ فِي حَلْقِ اللُّبَّةِ

Dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma ia berkata : ”Penyembelihan itu dilakukan di sekitar kerongkongan” [HR. ‘Abdurrazzaq no. 8615; shahih].
Ibnu Qudamah telah berkata dalam Al-Mughni ketika menjelaskan tentang tempat/bagian penyembelihan sebagai berikut :

وأما المحل فالحلق واللبلة وهي الوهدة التي بين أصل العنق والصدر ولا يجوز الذبح في غير هذا المحل بالإجماع

”Adapun tempat/bagian penyembelihan adalah di tenggorokan dan leher, yaitu wahdah (cekungan/lekuk) yang terletak antara pangkal tenggorokan dan dada. Tidak diperbolehkan untuk menyembelih di tempat/bagian selain ini menurut ijma’ [selesai].
2.    Menghadapkan hewan sembelihan ke arah kiblat.

عن نافع أن بن عمر كان يكره أن يأكل ذبيحة ذبحه لغير القبلة

Dari Naafi’ : Bahwasanya Ibnu ’Umar membenci daging sembelihan yang ketika disembelih dihadapkan selain dari arah kiblat” [HR. ‘Abdurrazzaq no. 8585; shahih].
3.    Meletakkan telapak kaki di atas sisi hewan sembelihan.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ قَالَ وَرَأَيْتُهُ يَذْبَحُهُمَا بِيَدِهِ وَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا قَالَ وَسَمَّى وَكَبَّرَ

Dari Anas ia berkata : Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor kambing kibasy putih yang telah tumbuh tanduknya. Anas berkata : “Aku melihat beliau menyembelih dua ekor kambing tersebut dengan tangan beliau sendiri. Aku melihat beliau menginjak kakinya di pangkal leher kambing itu. Beliau membaca basmalah dan takbir” [HR. Al-Bukhari no. 5558 dan Muslim no. 1966].

Jika Sampai Kepala Hewan Terpotong Saat Penyembelihan 

Yang lebih afdhal, kita tidak memotong secara sengaja kepala binatang yang disembelih sampai dia betul-betul mati. Beberapa ulama menilai makruh memotong anggota badan hewan yang disembelih sampai dia benar-benar telah mati. Diantara ulama yang memakruhkan adalah Atha, Amr bin Dinar, Imam Malik dan Imam as-Syafii.

Hanya saja, hukum makruh di atas berkaitan dengan teknis menyembelih. Artinya hal itu tidak mempengaruhi status keabsahan ibadah qurban dan kehalalan binatang yang terpotong kepalanya ketika menyembelih.

Imam Ibnu Qudamah mengatakan,

ولا يقطع عضو مما ذكي حتى تزهق نفسه؛ كره ذلك أهل العلم؛ منهم عطاء، وعمرو بن دينار، ومالك، والشافعي، ولا نعلم لهم مخالفا.

Tidak boleh memotong bagian hewan yang disembelih, sampai dia benar-benar mati. Para ulama memakruhkan hal itu, diantaranya Atha, Amr bin Dinar, Imam Malik, dan Imam as-Syafii. Dan saya tidak mengetahui adanya ulama yang berbeda dengan pendapat mereka dalam hal ini.

Kemudian Ibnu Qudamah melanjutkan,

وقد قال عمر – رضي الله عنه -: لا تعجلوا الأنفس حتى تزهق. فإن قطع عضو قبل زهوق النفس وبعد الذبح، فالظاهر إباحته؛ فإن أحمد سئل عن رجل ذبح دجاجة، فأبان رأسها؟ قال: يأكلها. قيل له: والذي بان منها أيضا؟ قال: نعم.

Umar bin Khatab mengatakan, ‘Jangan buru-buru dipotong badan hewan, sampai dia mati.’ Jika ada anggota badan yang terpotong, sebelum benar-benar mati, dan itu dilakukan setelah disembelih, yang dzahir, bagian potongan itu hukumnya halal. Karena Imam Ahmad pernah ditanya tentang orang yang menyembelih ayam, sampai terpotong kepalanya. Jawab beliau, ‘Boleh dia makan.’ Beliau juga ditanya, ‘Anggota badan lainnya yang terpotong, boleh dimakan?’ jawab beliau, ‘Ya.’

Ibnu Qudamah kemudian menyebutkan beberapa riwayat sahabat,

قال البخاري: قال ابن عمر وابن عباس: إذا قطع الرأس. فلا بأس به. وبه قال عطاء، والحسن، والنخعي، والشعبي، والزهري، والشافعي، وإسحاق، وأبو ثور، وأصحاب الرأي

Al-bukhari meriwayatkan, bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengatakan, ‘Apabila kepala hewan terpotong, tidak masalah dimakan.’ Ini merupakan pendapat Atha, Hasan al-Bashri, an-Nakha’i, as-Sya’bi, az-Zuhri, as-Syafii, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur, dan ulama kufah.

Di bagian akhir, Ibnu Qudamah menyebutkan alasan mengapa hal itu halal,

وذلك لأن قطع ذلك العضو بعد حصول الذكاة، فأشبه ما لو قطعه بعد الموت

Hal itu karena terpotongnya anggota badan tersebut, terjadi setelah penyembelihan. Sehingga disamakan sebagaimana ketika dia dipotong setelah benar-benar mati. (al-Mughni, 9/401).‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...