Jumat, 22 Oktober 2021

Hukum Menyentuh Wanita Ajnabiyah


Wanita selalu menggoda, namun kadang pula godaan juga karena si pria yang nakal. Islam sendiri mengajarkan agar tidak terjadi kerusakan dalam hubungan antara pria dan wanita. Oleh karenanya, Islam memprotek atau melindungi dari perbuatan yang tidak diinginkan yaitu zina. Karenanya, Islam mengajarkan berbagai aturan ketika pria-wanita berinteraksi. Di antara adabnya adalah berjabat tangan dengan wanita non mahram.
Islam memberikan batasan - batasan dalam pergaulan antara laki-laki dan wanita. Alloh SWT memberikan hukum- hukum tersebut adalah guna memberikan kemaslahatan kepada umat manusia, agar manusia pada umumnya dan umat islam pada khususnya, dapat terhindar dari perbuatan zinah. karena, sebagaimana yang telah kita ketahui, perbuatan zinah antara laki-laki dan wanita dapat terjadi karena adanya hubungan dan komunikasi antara mereka tanpa adanya sekat-sekat hukum didalamnya. Alloh SWT telah melarang perbuatan bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mukhrimnya, sesuai dengan dalil-dalil dibawah ini:

Pertama, hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
‘Urwah bin Az Zubair berkata bahwa ‘Aisyah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata,
عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَتِ الْمُؤْمِنَاتُ إِذَا هَاجَرْنَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُمْتَحَنَّ بِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (يَا أَيُّهَا النَّبِىُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلاَ يَسْرِقْنَ وَلاَ يَزْنِينَ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ. قَالَتْ عَائِشَةُ فَمَنْ أَقَرَّ بِهَذَا مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ فَقَدْ أَقَرَّ بِالْمِحْنَةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَقْرَرْنَ بِذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِنَّ قَالَ لَهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « انْطَلِقْنَ فَقَدْ بَايَعْتُكُنَّ ». وَلاَ وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ. غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ – قَالَتْ عَائِشَةُ – وَاللَّهِ مَا أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى النِّسَاءِ قَطُّ إِلاَّ بِمَا أَمَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَمَا مَسَّتْ كَفُّ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَفَّ امْرَأَةٍ قَطُّ وَكَانَ يَقُولُ لَهُنَّ إِذَا أَخَذَ عَلَيْهِنَّ « قَدْ بَايَعْتُكُنَّ ». كَلاَمًا.
“Jika wanita mukminah berhijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka diuji dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina ….” (QS. Al Mumtahanah: 12). ‘Aisyah pun berkata, “Siapa saja wanita mukminah yang mengikrarkan hal ini, maka ia berarti telah diuji.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berkata ketika para wanita mukminah mengikrarkan yang demikian, “Kalian bisa pergi karena aku sudah membaiat kalian”. Namun -demi Allah- beliau sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun. Beliau hanya membaiat para wanita dengan ucapan beliau. ‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menyentuh wanita sama sekali sebagaimana yang Allah perintahkan. Tangan beliau tidaklah pernah menyentuh tangan mereka.  Ketika baiat, beliau hanya membaiat melalui ucapan dengan berkata, “Aku telah membaiat kalian.” (HR. Muslim no. 1866).
Kedua, hadits Ma’qil bin Yasar.‎
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
“Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). 
Hadits ini sudah menunjukkan kerasnya ancaman perbuatan tersebut, walau hadits tersebut dipermasalahkan keshahihannya oleh ulama lainnya. Yang diancam dalam hadits di atas adalah menyentuh wanita. Sedangkan bersalaman atau berjabat tangan sudah termasuk dalam perbuatan menyentuh.
Masalah hukum persentuhan kulit antara lelaki dengan perempuan sangat beragam. Para ulama di antara empat madzhab yang masyhur pun turut berbeda pendapat. Hal ini didasarkan pada perbedaan dalil yang digunakan dan penafsiran di antara mereka dalam menafsirkan kata Au-lamastumun nisaa (QS Annisaa ayat 43).
Pendapat berhujjah dengan berbagai argumen, yang paling masyhur dan kuat adalah firman Allah dalam surat An-Nisa’: 43.

أَوْ لاَمَسْتُم النِّسَآءَ

Atau kamu telah berjima’ dengan istri. (QS. An-Nisa’: 43).

Berdasarkan firman Allah :

اَوْلمَسْتُمُ النِّساَءَ فَلَمْ تَجِدُوا مآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيْداً طيِّباً

Atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). (QS Al-Maidah : 6)

Sebagai muslim yang awam terhadap dalil-dalil suatu hukum, maka sebaiknya bersandar kepada arahan ulama yang diakui kredibilitas keilmuannya. Karena, bila kita harus mengumpulkan beberapa hadits untuk setiap masalah, sangat tidak memungkinkan. Maka sebuah keniscayaan bahwa bagi kita yang awam, dianjurkan untuk berpegang ke salah satu madzhab. Di antara empat madzhab yang ada, Madzhab Imam Syafi’i diakui sebagai satu madzhab yang mementingkan kehati-hatian (ihthiyath) dalam bertindak. Termasuk dalam masalah persentuhan ini, beliau memilih ihthiyath, yakni lebih baik menghukumi persentuhan kulit antara kulit lelaki dengan perempuan sebagai bentuk pembatalan wudlu.

Menurut pendapat Imam Syafi’i RA, menyentuh lain jenis yang bukan mahram itu dapat membatalkan wudlu, baik yang menyentuh atapun orang yang disentuh. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji:

لَمْسُ الرَّجُلِ زَوْجَتَهُ أَوِ الْمَرْأَةَ اْلأَجْنَبِيَّةَ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ فَإِنَّهُ يَنْتَقِضُ وُضُوْءُهُ وَوُضُوْءُهَا، وَاْلأَجْنَبِيَّةُ هِيَ كُلُّ امْرَأَةٍ يَحِلُّ لَهُ الزَّوَاجُ بِهَا.

“Seorang lelaki yang menyentuh istrinya atau perempuan ajnabiyyah (yang bukan mahramnya) tanpa penghalang, maka wudlu lelaki itu menjadi batal. Yang dimaksud dengan ajnabiyyah (perempuan lain) adalah setiap wanita yang halal dinikahi.” (Al-Fiqh al-Manhaji, juz I, hal. 63)

Pendapat ini didasarkan pada firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا 

“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau kembali dari buang air atau kamu menyentuh perempuan lain (yang bukan mahramnya), kemudian kamu tidak menjumpai ai, maka bertayammum-lah kamu dengan tanah yang baik (suci).” (QS Al-Nisa, ayat 43)

Dalam al-Muwattha (sebuah kitab hadits tertua karya Imam Malik), disebutkan:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ: قُبْلَةُ الرَّجُلِ امْرَءَتَهُ وَجَسُّهَا بِيَدِهِ مِنَ الْمُلاَمَسَةِ، فَمَنْ قَبَّلَ امْرَءَتَهُ أَوْ جَسَّهَا بِيَدِهِ فَعَلَيْهِ الْوُضُوْءُ.

“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata: Kecupan seorang suami kepada istrinya dan menyentuh dengan tangannya termasuk mulasamah (persentuhan). Maka siapa saja yang mengecup istrinya atau menyentuhnya, maka ia wajib melakukan wudlu.” (Al-Muwattha, juz II, hal, 65)

Lalu, bagaimana dengan hadits yang menjelaskan persentuhan Nabi SAW dengan sebaian istrinya padahal Nabi SAW dalam keadaan suci dari hadats kecil, seperti dalam hadits ‘Aisyah RA, maka hal itu harus diartikan bahwa Nabi SAW ketika itu menggunakan penghalang, sehingga kulit beliau tidak bersentuhan langsung dengan kulit istrinya. Sebagaimana keterangan Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’.

اَلْجَوَابُ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فِيْ وُقُوْعِ يَدِهَا عَلَى بَطْنِ قَدَمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ يَحْتَمِلُ فَوْقَ حَائِلٍ.

“Jawaban atas hadits ‘Aisyah RA tentang menyentuhnya tangan beliau ke tumit Nabi SAW, maka hal itu menggunakan tabir (penghalang)”. (Al-Majmu’, juz II, hal 22).

قال الشافعي: وَبَلَغَنَا عن بن مَسْعُودٍ قَرِيبٌ من مَعْنَى قَوْلِ بن عُمَرَ، وإذا أَفْضَى الرَّجُلُ بيده إلَى امْرَأَتِهِ أو بِبَعْضِ جَسَدِهِ إلَى بَعْضِ جَسَدِهَا لَا حَائِلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا بِشَهْوَةٍ أو بِغَيْرِ شَهْوَةٍ وَجَبَ عليه الْوُضُوءِ
 
Imam Asy-Syafi’i berkata; “Telah sampai kepada kami dari Ibnu Mas’ud yang mendekati makna ucapan Ibnu Umar: Apabila seorang laki-laki menyentuhkan tangannya kepada istrinya, atau bersentuhan sebahagian tubuhnya pada sebahagian tubuh istrinya, dimana tidak ada pembatas antara dia dan istrinya, baik dengan nafsu birahi atau tidak, maka wajib atas keduanya berwudhu.

Hal ini sesuai dalam hadits sebagai berikut: 

عن سالم بن عبد الله عن أبيه عبد الله بن عمر، أنه كان يقول قبلة الرجل امرأته وجسها بيده من الملامسة فمن قبل امرأته أو جسها بيده فعليه الوضوء. 

“Dari Salim bin Abdullah, dari bapaknya, Abdullah bin Umar, beliau berkata, Ciuman laki-laki atas isterinya dan memenyentuh dengan tangannya adalah termasuk “mulamasah”. Maka barangsiapa mencium isterinya atau menyentuh dengan tangannya, maka wajib ia berwudhu.” (HR. Imam Malik)

Imam Syafii menyampaikan; “Allah Ta’alai berfirman dalam al-Quran surat Al-Maidah ayat 6: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ 

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, bertayammumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur”.

Ayat ini bermaksud; Allah Azza Wajalla menyebutkan wudhuk bagi orang yang berdiri hendak mengerjakan shalat. Maksud yang lebih dominan adalah orang yang berdiri (baca: bangun) dari tidur terlentang. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan bersuci dari janabah. Kemudian setelah menyebutkan bersuci dari janabah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan jika kamu junub, maka mandilah; dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air (toilet/kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah.

Ayat yang sama dengan ayat di atas juga termaktub dalam Qs. An-Nisa pada ayat ke 43, sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا 

Artinya: “Hai orang yang beriman, janganlah kamu shalat pada saat kamu sedang mabuk, sampai kamu mengetahui apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula dalam keadaan junub, kecuali lalu saja di masjid dibolehkan, hingga kamu mandi lebih dahulu. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan, atau dating dari kakus (toilet) atau menyentuh kamu akan perempuan. Kemudian kamu tidak mendapat air (untuk berwudhu’), maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang bersih, maka sapulah muka dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun”.

Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa dilarang shalat dalam keadaan mabuk. Shalat boleh dilaksanakan jika kita sudah mengetahui apa yang kita ucapkan. Ini juga berate dilarang shalat dalam keadaan hialng akal. Hilang akal yang disebabkan mabuk akan membatalkan wudhu’. Hal ini dikarenakan orang mabuk biasanya tidak tahu apakah ia sudah kencing atau sudah buang angin (baca: kentut) dalam mabuknya itu.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

Terjemahan: Persoalan anak Adam berkaitan zina telah ditentukan. Tidak mustahil, ia pasti melakukannya. Dua mata berzina dengan melihat, dua telinga berzina dengan mendengar, lidah berzina dengan berkata-kata, tangan berzina dengan menyentuh, kaki berzina dengan melangkah, hati berzina dengan angan-angan (kehendak), dan kemaluanlah yang akan membenarkan (merealisasikan) atau mendustakan semua itu. (Hadis Riwayat Muslim, Shohih Muslim, 13/125, no. 4802)

Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan:

معنى الحديث أن بن آدم قدر عليه نصيب من الزنى فمنهم من يكون زناه حقيقيا بادخال الفرج في الفرج الحرام ومنهم من يكون زناه مجازا بالنظر الحرام اوالاستماع إلى الزنى وما يتعلق بتحصيله او بالمس باليد بأن يمس أجنبية بيده او يقبلها او بالمشي بالرجل إلى الزنى اوالنظر او اللمس او الحديث الحرام مع اجنبية ونحو ذلك او بالفكر بالقلب

Makna hadis di atas adalah bahawa setiap anak Adam itu ditakdirkan untuk melakukan perbuatan zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina dengan sebenar-benarnya, iaitu dengan memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan wanita secara haram. Di antara mereka ada yang zinanya secara majaz (kiasan), iaitu dengan melihat perkara-perkara yang haram, atau dengan mendengar sesuatu yang mengajak kepada perzinaan dan usaha-usaha untuk melakukan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan, atau menyentuh wanita ajnabiyah (yang bukan mahram) dengan tangannya, atau menciumnya. Atau dengan melangkah kaki menuju tempat perzinaan, melihat, menyentuh, atau berkata-kata dengan cara yang haram bersama dengan wanita ajnabiyah (yang bukan mahram), atau berangan-angan (imaginasi/berniat) dengan hatinya. (an-Nawawi, al-Minhaj Syarah Shohih Muslim, 16/206)

Melihat wanita yang bukan mahram secara sengaja dan tidak ada sebab yang syar’i dihukumi haram berdasarkan kesepakatan para ulama. Karena banyak hadits yang shahih yang menerangkan hal ini. Jika melihat saja terlarang karena dapat menimbulkan godaan syahwat. Apalagi menyentuh dan bersamalan, tentu godaannya lebih dahsyat daripada pengaruh dari pandangan mata. Berbeda halnya jika ada sebab yang mendorong hal ini seperti ingin menikahi seorang wnaita, lalu ada tujuan untuk melihatnya, maka itu boleh. Kebolehan ini dalam keadaan darurat dan sekadarnya saja.
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
كل من حرم النظر إليه حرم مسه وقد يحل النظر مع تحريم المس فانه يحل النظر إلى الاجنبية في البيع والشراء والاخذ والعطاء ونحوها ولا يجوز مسها في شئ من ذلك
“Setiap yang diharamkan untuk dipandang, maka haram untuk disentuh. Namun ada kondisi yang membolehkan seseorang memandang –tetapi tidak boleh menyentuh, yaitu ketika bertransaksi jual beli, ketika serah terima barang, dan semacam itu. Namun sekali lagi, tetap tidak boleh menyentuh dalam keadaan-keadaan tadi. ” (Al Majmu’: 4: 635)
Dalil yang menyatakan terlarangnya pandangan kepada wanita non mahram adalah dalil-dalil berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ‎
“Katakanlah kepada laki – laki yang beriman :”Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An Nuur: 30)
Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An Nuur: 31)
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan, ”Ayat ini merupakan perintah Allah Ta’ala kepada hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangan mereka dari hal-hal yang haram. Janganlah mereka melihat kecuali pada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat (yaitu pada istri dan mahramnya). Hendaklah mereka juga menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram. Jika memang mereka tiba-tiba melihat sesuatu yang haram itu dengan tidak sengaja, maka hendaklah mereka memalingkan pandangannya dengan segera.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 216)
Ketika menafsirkan ayat kedua di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan,”Firman Allah (yang artinya) ‘katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka’ yaitu hendaklah mereka menundukkannya dari apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang lain selain suaminya. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki lain (selain suami atau mahramnya, pen) baik dengan syahwat dan tanpa syahwat. … Sebagian ulama lainnya berpendapat tentang bolehnya melihat laki-laki lain dengan tanpa syahwat.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 216-217)
Dari Jarir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 2159)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:

أن كلام الأجنبية يباح سماعه عند الحاجة وأن صوتها ليس بعورة وأنه لايلمس بشرة الأجنبية من غير ضرورة كتطبب وقصد وحجامة وقلع ضرس وكحل عين ونحوها مما لا توجد امرأة تفعله جاز للرجل الأجنبى فعله للضرورة وفى قط خمس لغات

Perkataan (suara) wanita ajnabiyah boleh kita dengari di ketika ada keperluan dan suaranya tidak termasuk aurat, menyentuh kulit wanita ajnabiyah tidak dibolehkan tanpa adanya alasan darurat seperti sebab perubatan, pendarahan, bekam, mencabut gigi, dan seumpamanya, di mana tiada wanita yang sanggup melakukannya. Lelaki yang bukan mahram dibenarkan melakukannya disebabkan alasan darurat tertentu. (Imam an-Nawawi, Syarah Shohih Muslim, 13/10)

Beliau juga berkata:

حيث حرم النظر حرم المس بطريق الأولى لأنه أبلغ لذة فيحرم

Terjemahan: Disebabkan melihat wanita yang bukan mahram itu diharamkan, sudah tentu menyentuh kulitnya lebih diharamkan lagi. Ini adalah kerana menyentuh lebih mudah membangkitkan syahwat. (Imam an-Nawawi, Raudhatut Tholibin wa ‘Umdatul Muftiin, 7/27)

Al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata tentang hadis pembai’atan para wanita kepada Rasulullah tanpa bersalaman:

ومنع لمس بشرة الأجنبية من غير ضرورة لذلك

Hadis tersebut mengandungi penjelasan larangan menyentuh wanita ajnabiyah (yang bukan mahram) tanpa adanya alasan darurat unt

Kholwat Dengan Wanita Ajnabiyah


Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah tidur di kediaman Ummu Haraam, dan kemudian Ummu Haraam pun membersihkan kepala beliau. Apakah hadits ini dapat menjadi dalil diperbolehkannya seorang laki-laki berkhalwat (berdua-duaan) dan bersentuhan kulit (tanpa pembatas) dengan wanita ajnabiyyah (asing) ?.
Berkhalwat dan bersentuhan dengan wanita ajnabiyyah (asing/bukan mahram) adalah diharamkan dalam Islam berdasarkan nash dan ijmaa’ ulama. Beberapa dalil tentang keharaman berkhalwat dengan wanita ‎ajnabiyyah :
a.     Firman Allah ta’ala :

وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” [QS. Al-Israa’ : 32].
Berkhalwat adalah perbuatan yang dapat mengantarkan pada zina yang sesungguhnya.
b.     Hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ، وَلَا تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ، ......

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru, dari Abu Ma’bad, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, bahwasannya ia mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan (berkhalwat) dengan wanita kecuali bersama mahramnya…..”[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3006].
c.      Hadits ‘Uqbah bin ‘Aamir radliyallaahu ‘anhu.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ أَبِي الْخَيْرِ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ "، فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: " الْحَمْوُ: الْمَوْتُ "

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Laits, dari Yaziid bin Abi Habiib, dari Abul-Khair, dari ‘Uqbah bin ‘Aamir : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berhati-hatilah kalian dari masuk menemui para wanita (yang bukan mahramnya)”. Seorang laki-laki dari Anshaar berkata : “WahaiRasulullah, apa pendapatmu dengansaudara ipar ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ipar adalah maut (kematian)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5232].
d.     Hadits Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhumaa.

حَدَّثَنَا يَحْيَي بْنُ يَحْيَي، وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ، قَالَ يَحْيَي: أَخْبَرَنَا، وقَالَ ابْنُ حُجْرٍ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ. ح وحدثنا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ، وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، قالا: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، قال: قال رسول اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَلَا لَا يَبِيتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةٍ ثَيِّبٍ إِلَّا أَنْ يَكُونَ نَاكِحًا أَوْ ذَا مَحْرَمٍ "

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa dan ‘Aliy bin Hujr – Yahyaa berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami, sedangkan Ibnu Hujr berkata : Telah menceritakan kepada kami – Husyaim, dari Abuz-Zubair, dari Jaabir. (ح) Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash-Shabbaah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Husyaim : Telah mengkhabarkan kepada kami Abuz-Zubair, dari Jaabir, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Ketahuilah! Janganlah sekali-kali seorang laki-laki menginap di rumah seorang janda melainkan ia telah menikah dengannya atau mahramnya” [Diriwayatkan oleh Muslim]
e.     Ijmaa’.
An-Nawawiy rahimahullah berkata :

وَفِي هَذَا الْحَدِيث وَالْأَحَادِيث بَعْده تَحْرِيم الْخَلْوَة بِالْأَجْنَبِيَّةِ ، وَإِبَاحَة الْخَلْوَة بِمَحَارِمِهَا ، وَهَذَانِ الْأَمْرَانِ مُجْمَع عَلَيْهِمَا

“Dan dalam hadits ini dan juga hadits-hadits setelahnya terkandung pengharaman berkhalwat dengan wanitaajnabiyyah, dan pembolehan berkhalwat dengan mahramnya. Dua perkara ini telah disepakati para ulama” [Syarh Shahiih Muslim, 14/153].
Adapun dalil-dalil yang menyatakan keharaman seorang laki-laki bersentuhan dengan wanita ajnabiyyah antara lain adalah :
a.     Firman Allah ta’ala :

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ * وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ.....

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya…” [QS. An-Nuur : 30-31].

Sisi pendalilannya : Jika memandang laki-laki atau wanita yang bukan mahramnya (tanpa keperluan) adalah terlarang berdasarkan ayat ini, maka menyentuh kulit/tubuh secara langsung lebih utama untuk dilarang. Efek syahwat yang ditimbulkan dari menyentuh lebih besar daripada sekedar melihat.
b.     Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، أَخْبَرَنَا أَبُو هِشَامٍ الْمَخْزُومِيُّ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ "

Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Manshuur : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Hisyaam Al-Makhzuumiy : Telah menceritakan kepada kami Wuhaib : telah menceritakan kepada kami Suhail bin Abi Shaalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Sudah ditakdirkan bagi anak cucu Adam bagian dari zina yang pasti menimpanya. Kedua mata, zinanya adalah memandang; zina kedua telinga adalah mendengar; zina lisan adalah ucapan; zina tangan ‎adalah memegang; zina kaki adalah langkah; dan zina hati adalah menghendaki sesuatu (berangan-angan); dan farajnya (kemaluannya) membenarkan atau mendustakannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2657].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :

معنى الحديث أن ابن آدم قدر عليه نصيب من الزنا فمنهم من يكون زناه حقيقياً بإدخال الفرج في الفرج الحرام، ومنهم من يكون زناه مجازاً بالنظر الحرام أو الاستماع إلى الزنا وما يتعلق بتحصيله، أو بالمس باليد بأن يمس أجنبية بيده أو يقبلها، أو بالمشي بالرجل إلى الزنا أو النظر أو اللمس أو الحديث الحرام مع أجنبية ونحو ذلك، أو بالفكر بالقلب،

“Makna hadits ini adalah bahwa sudah ditakdirkan bagi anak cucu Adam bagian dari zina yang pasti menimpanya. Di antaranya ada yang ditimpa zina secara hakiki, yaitu dengan masuknya farji ke dalam farji yang diharamkan. Di antaranya pula ada yang ditimpa zina secara majaziy, yaitu dengan ‎memandang atau mendengar sesuatu yang haram atau dengan menyentuh wanita ajnabiyyah (yang bukan mahramnya) dengan tangannya atau menciumnya, atau berjalan kaki dengan tujuan zina, atau bercakap-cakap untuk membicarakan sesuatu yang haram dengan wanita ajnabiyyah. Zina juga bisa lewat berpikir dengan hati akan sesuatu yang haram…” [Syarh Shahih Muslim, 16/206].
c.      Hadits Umaimah bintu Ruqaiqah radliyallaahu ‘anhaa.

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، أَنَّهُ سَمِعَ مُحَمَّدَ بْنَ الْمُنْكَدِرِ، قَالَ: سَمِعْتُ أُمَيْمَةَ بِنْتَ رُقَيْقَةَ، تَقُولُ: جِئْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نِسْوَةٍ نُبَايِعُهُ، فَقَالَ لَنَا: " فِيمَا اسْتَطَعْتُنَّ وَأَطَقْتُنَّ، إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ "

Telah menceritakan kepada kami Abu bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin ‘Uyainah, bahwasannya ia mendengar Muhammad bin Al-Munkadir, ia berkata : Aku mendengar Umayyah bintu Ruqaiqah berkata : Aku mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersama wanita-wanita lain untuk berbaiat kepada beliau. Beliau ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami : “Terhadap apa saja yang kalian mampu dan sanggup melakukannya. Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan para wanita” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 2874; shahih].
Diriwayatkan juga oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ no. 1984, ‘Abdurrazzaaq no. 9826, Al-Humaidiy no. 344, Ahmad 6/357, At-Tirmidziy no. 1597 An-Nasaa’iy 7/149 & 152, Ibnu Hibbaan no. 4553, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 24/no. 470-473 & 475-476, dan yang lainnya.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :

وأما مَدّ اليد والمصافحة في البيعة ، فذلك مِن السنة المسنونة ، فَعَلَها رسول الله صلى الله عليه وسلم والخلفاء الراشدون بعده ، وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يُصَافِح النساء

“Adapun mengulurkan tangan dan berjabat tangan dalam baiat, maka hal itu merupakan sunnah yang dianjurkan, karena Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam dan al-khulafaaur-raasyiduun setelah beliau melakukannya. Namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak berjabat tangan dengan wanita” [Al-Istidzkaar, 8/545].

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

وَفِي الْحَدِيث أَنَّ كَلَام الْأَجْنَبِيَّة مُبَاح سَمَاعه وَأَنَّ صَوْتهَا لَيْسَ بِعَوْرَةٍ ، وَمَنَعَ لَمْس بَشَرَة الْأَجْنَبِيَّة مِنْ غَيْر ضَرُورَة لِذَلِكَ

“Dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa perkataan wanita ajnabiyyah boleh didengarkan dan suara mereka bukanlah aurat; serta ‎dilarang untuk menyentuh kulit mereka bila tidak dalam keadaan darurat” [Fathul-Baariy, 13/204].

Kemudian,.... tentang hadits Ummu Haraam radliyallaahu ‘anhaa yang dimaksudkan adalah sebagai berikut :

حَدَّثَنَا يَحْيَي بْنُ يَحْيَي، قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أُمِّ حَرَامٍ بِنْتِ مِلْحَانَ، فَتُطْعِمُهُ وَكَانَتْ أُمُّ حَرَامٍ تَحْتَ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، فَدَخَلَ عَلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَأَطْعَمَتْهُ ثُمَّ جَلَسَتْ تَفْلِي رَأْسَهُ، فَنَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ وَهُوَ يَضْحَكُ، قَالَتْ: فَقُلْتُ: مَا يُضْحِكُكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟، قَالَ: " نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ، يَرْكَبُونَ ثَبَجَ هَذَا الْبَحْرِ مُلُوكًا عَلَى الْأَسِرَّةِ أَوْ مِثْلَ الْمُلُوكِ عَلَى الْأَسِرَّةِ "، يَشُكُّ أَيَّهُمَا، قَالَ: قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ، فَدَعَا لَهَا ثُمَّ وَضَعَ رَأْسَهُ، فَنَامَ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ وَهُوَ يَضْحَكُ، قَالَتْ: فَقُلْتُ: مَا يُضْحِكُكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟، قَالَ: " نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَا قَالَ فِي الْأُولَى "، قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ، قَالَ: " أَنْتِ مِنَ الْأَوَّلِينَ "، فَرَكِبَتْ أُمُّ حَرَامٍ بِنْتُ مِلْحَانَ الْبَحْرَ فِي زَمَنِ مُعَاوِيَةَ، فَصُرِعَتْ عَنْ دَابَّتِهَا حِينَ خَرَجَتْ مِنَ الْبَحْرِ فَهَلَكَتْ

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa, ia berkata : Aku membacakan (hadits) di hadapan Maalik, dari Ishaaq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah, dari Anas bin Maalik : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui Ummu Haram binti Milhaan - isteri ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit – yang kemudian ia (Ummu Haram) menghidangkan makanan untuk beliau.Setelah itu Ummu Haram membersihkan rambut beliau (dari kutu), hingga Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tertidur. Tiba-tiba beliau terbangun sambil tertawa. Ummu Haram bertanya : "Apa yang menyebabkanmu tertawa wahai Rasulullah ?". Beliau bersabda : “Sekelompok umatku diperlihatkan Allah ta'ala kepadaku. Mereka berperang di jalan Allah mengarungi lautan dengan kapal, yaitu para raja di atas singgasana atau bagaikan para raja di atas singgasana" - perawi ragu antara keduanya - . Ummu Haram berkata : "Wahai Rasulullah, doakanlah agar aku termasuk di antara mereka." Kemudian beliau mendoakannya. Setelah itu beliau meletakkan kepalanya hingga tertidur. Tiba-tiba beliau terbangun sambil tertawa. Ummu Haram berkata : Lalu aku kembali bertanya : "Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu tertawa ?". Beliau menjawab : "Sekelompok umatku diperlihatkan Allah Ta'ala kepadaku, mereka berperang di jalan Allah…" - sebagaimana sabda beliau yang pertama - . Ummu Haram berkata : Lalu aku berkata : "Wahai Rasulullah, doakanlah agar aku termasuk di antara mereka !". Beliau bersabda : "Kamu termasuk dari rombongan pertama". Pada masa (kepemimpinan) Mu'aawiyah, Ummu Haram turut dalam pasukan Islam berlayar ke lautan (untuk berperang di jalan Allah). Ketika mendarat, dia terjatuh dari kendaraannya hingga meninggal dunia [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1912].

Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi musykilah tersebut. Berikut di antara pendapat mereka :
a.     Ummu Haraam radliyallaahu ‘anhaa adalah mahram Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan sebab persusuan.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :

قال ابن وهب: أم حرام إحدى خالات النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ من الرضاعة، فلذلك كان يقيل عندها، وينام في حجرها، وتفلي رأسه.قال أبو عمر: لو لا أنها كانت منه ذات محرم ما زارها، ولا قام عندها، والله أعلم.

“Ibnu Wahb berkata : ‘Ummu Haraam adalah salah satu di antara bibi-bibi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan sebab persusuan. Oleh sebab itu, beliau pernah tidur siang di sisinya dan tidur di kamarmya. Dan Ummu Haraam pun pernah membersihkan rambut beliau’. Abu ‘Umar (Ibnu ‘Abdil-Barr) melanjutkan : “Seandainya Ummu Haraam tidak mempunyai hubungan mahram, niscaya beliau tidak menziarahinya, dan tidak pula berada di sisinya, wallaahu a’lam” [Al-Istidzkaar, 5/25].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :

اِتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهَا كَانَتْ مَحْرَمًا لَهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَاخْتَلَفُوا فِي كَيْفِيَّة ذَلِكَ فَقَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ وَغَيْره : كَانَتْ إِحْدَى خَالَاته مِنْ الرَّضَاعَة ، وَقَالَ آخَرُونَ : بَلْ كَانَتْ خَالَة لِأَبِيهِ أَوْ لِجَدِّهِ ؛ لِأَنَّ عَبْد الْمُطَّلِب كَانَتْ أُمّه مِنْ بَنِي النَّجَّار

“Ulama telah sepakat bahwa Ummu Haraam adalah mahram bagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka berselisih pendapat tentang sebab yang menjadikan kemahramannya tersebut. Ibnu ‘Abdil-Barr dan yang lainnya berkata : ‘Ummu Haraam adalah salah satu bibi (khaalah) karena sebab persusuan. Yang lainnya berkata : ‘Ummu Haraam adalah bibi (khaalah) dari ayah atau kakek beliau, karena ibu ‘Abdul-Muthallib berasal dari Bani Najjaar” [Syarh Shahiih Muslim, 13/58].
Klaim kesepakatan yang disebutkan An-Nawawiy rahimahullah ini tidak benar, sebagaimana akan disebutkan pendapat lain yang menyelisihi di bawah.
Pendapat ini mendapat sanggahan :
Ad-Dimyaathiy rahimahullah berkata:

ذَهِلَ كُلّ مَنْ زَعَمَ أَنَّ أُمّ حَرَام إِحْدَى خَالَات النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الرَّضَاعَة أَوْ مِنْ النَّسَب وَكُلّ مَنْ أَثْبَتَ لَهَا خُؤُولَةً تَقْتَضِي مَحْرَمِيَّةً ؛ لِأَنَّ أُمَّهَاته مِنْ النَّسَب وَاَللَّاتِي أَرْضَعْنَهُ مَعْلُومَات لَيْسَ فِيهِنَّ أَحَد مِنْ الْأَنْصَار الْبَتَّة سِوَى أُمّ عَبْد الْمُطَّلِب وَهِيَ سَلْمَى بِنْت عَمْرو بْن زَيْد بْن لَبِيدِ بْن خِرَاش بْن عَامِر بْن غَنْم بْن عَدِيِّ بْن النَّجَّار ، وَأُمّ حَرَام هِيَ بِنْت مِلْحَان بْن خَالِد بْن زَيْد بْن حَرَام بْن جُنْدُب بْن عَامِر الْمَذْكُور فَلَا تَجْتَمِع أُمّ حَرَام وَسَلْمَى إِلَّا فِي عَامِر بْن غَنْمٍ جَدّهمَا الْأَعْلَى ، وَهَذِهِ خُؤُولَةٌ لَا تَثْبُت بِهَا مَحْرَمِيَّةٌ لِأَنَّهَا خُؤُولُةٌ مَجَازِيَّة ، وَهِيَ كَقَوْلِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِسَعْدِ بْن أَبِي وَقَّاص " هَذَا خَالِي " لِكَوْنِهِ مِنْ بَنِي زُهْرَة وَهُمْ أَقَارِب أُمّه آمِنَة ، وَلَيْسَ سَعْد أَخًا لِآمِنَةَ لَا مِنْ النَّسَب وَلَا مِنْ الرَّضَاعَة

“Mengigaulah semua orang yang menganggap Ummu Haraam adalah salah satu di antara bibi-bibi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, baik dengan sebab hubungan susuan atau nasab; dan (juga mengigaulah orang yang menganggap) setiap orang yang tetap baginya hubungankhu’uulah, maka menunjukkan kemahraman. Hal itu dikarenakan ibu-ibu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena nasab dan orang-orang yang menyusukan beliau adalah dikenal. Tidak ada seorang pun di antara mereka (yang menyusui) berasal dari Anshaar kecuali Ummu ‘Abdil-Muthallib. Ia adalah Salmaa bintu ‘Amru bin Zaid bin Labiid bin Khiraasy bin ‘Aamir bin Ghanam bin ‘Adiy bin An-Najjaar. Adapun Ummu Haraam adalah Bintu Milhaan bin Khaalid bin Zaid bin Haraam bin Jundub bin ‘Aamir – sebegaimana telah disebutkan sebelumnya (dalam silsilah Ummu ‘Abdil-Muthallib). Ummu Haraam dan Salmaa tidaklah berkumpul (dalam nasab) kecuali pada ‘Aamir bin Ghanam, kakek buyut mereka berdua yang sudah jauh ke atas. Hubungan khu’uulah ini tidak menetapkan dengannya kemahraman, karena ini adalah ‎khu’uulah majaziy (hubungan paman/bibi secara majaziy) – seperti perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap Sa’d bin Abi Waqqaash : ‘Ini adalah pamanku’, dikarenakan ia (Sa’d) berasal dari Bani Zuhrah yang merupakan kerabat ibu beliau, Amiinah. Sa’d bukanlah saudara laki-laki bagi Amiinah baik karena nasab maupun persusuan” [Fathul-Baariy, 11/78].
b.     Hal ini termasuk kekhususan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

وَحَكَى اِبْن الْعَرَبِيّ مَا قَالَ اِبْن وَهْب ثُمَّ قَالَ : وَقَالَ غَيْره بَلْ كَانَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعْصُومًا يَمْلِك أَرَبَهُ عَنْ زَوْجَته فَكَيْف عَنْ غَيْرهَا مِمَّا هُوَ الْمُنَزَّهُ عَنْهُ ، وَهُوَ الْمُبَرَّأ عَنْ كُلّ فِعْلٍ قَبِيحٍ وَقَوْلٍ رَفَثٍ ، فَيَكُون ذَلِكَ مِنْ خَصَائِصه

“Dan Ibnul-‘Arabiy menghikayatkan apa yang dikatakan Ibnu Wahb, lalu berkata : Telah berkata selain dirinya : Akan tetapi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam seorang yang ma’shuum yang dapat menahan hawa nafsunya terhadap istrinya. Lantas bagaimana halnya dengan selain istrinya yang beliau bersih dari hawa nafsu terhadapnya ?. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam terbebas dari segala perbuatan keji dan perkataan kotor. Oleh karena itu, hal itu termasuk kekhususan-kekhususan beliau” [Fathul-Baariy, 11/78-79].

Lalu Ibnu Hajar rahimahullah memberi kesimpulan :

وَأَحْسَن الْأَجْوِبَة دَعْوَى الْخُصُوصِيَّة وَلَا يَرُدّهَا كَوْنُهَا لَا تَثْبُت إِلَّا بِدَلِيل ؛ لِأَنَّ الدَّلِيل عَلَى ذَلِكَ وَاضِح ، وَاَللَّه أَعْلَم

“Dan jawaban terbaik adalah anggapan hal tersebut sebagai kekhususan, dan ini tidak dapat ditolak oleh keberadaannya yang tidak ditetapkan kecuali dengan dalil, karena dalil tentang hal tersebut adalah jelas, wallaahu a’lam” [Fathul-Baariy, 11/79].
Pendapat ini mendapat sanggahan :
Ibnu Hajar menukil perkataan Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahumallah :

وَرَدَّ عِيَاضٌ الْأَوَّل بِأَنَّ الْخَصَائِص لَا تَثْبُت بِالِاحْتِمَالِ ، وَثُبُوتُ الْعِصْمَةِ مُسَلَّمٌ لَكِنَّ الْأَصْل عَدَم الْخُصُوصِيَّة ، وَجَوَاز الِاقْتِدَاء بِهِ فِي أَفْعَاله حَتَّى يَقُوم عَلَى الْخُصُوصِيَّة دَلِيل

“’Iyaadl membantah pendapat tersebut, karena kekhususan tidaklah ditetapkan dengan kemungkinan. Tetapnya ‘ishmahtidaklah dapat dibantah, akan tetapi asalnya adalah peniadaan kekhususan dan diperbolehkan untuk mencontoh perbuatan-perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam hingga tegak dalil tentang kekhususannya” [Fathul-Baariy, 11/78].
Selain itu, jika dikatakan perbuatan tersebut termasuk kekhususan Nabi. shallallaahu ‘alaihi wa sallamsehingga beliau diperbolehkan untuk menyentuh wanita ajnabiyyah, maka pendapat ini bertentangan dengan perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mau berjabat tangan saat baiat – sebagaimana dalilnya telah disebutkan di atas. Padahal, asal perbuatan baiat adalah dengan berjabat tangan, sehingga hal itu memang dibutuhkan. Kenyataannya, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetap enggan melakukannya. Oleh karenanya, hadits tersebut menjadi dalil peniadaan kekhususan bagi beliau ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam permasalahan ini.
Juga bertentangan dengan dalil :

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: " أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ، أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً، ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ، فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهَا يَقْلِبُهَا، حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ بَابَ الْمَسْجِدِ، عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ مَرَّ رَجُلَانِ مِنْ الْأَنْصَارِ، فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَى رِسْلِكُمَا، إِنَّمَا هِيَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ، فَقَالَا: سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَبْلُغُ مِنَ الْإِنْسَانِ مَبْلَغَ الدَّمِ، وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَيْئًا "

Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Aliy bin Al-Husain radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Shafiyyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhabarkan kepadanya : Bahwasannya ia pernah datang menziarahi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam i’tikaf beliau di masjid pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadlaan. Ia (Shafiyyah) berbincang-bincang dengan beliau beberapa saat, kemudian bangkit untuk pulang. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun bangkit bersamanya mengantarkannya. Hingga ketika sampai di pintu masjid dekat pintu rumah Ummu Salamah, lewatlah dua orang laki-laki Anshaar. Keduanya mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada keduanya : “Perlahan, sesungguhnya dia adalah Shafiyyah bintu Huyay”. Mereka berdua berkata : “Subhaanallaah, wahai Rasulullah” - keduanya ‎menganggap hal itu sebagai sesuatuyang besar. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya setan mendatangi manusia lewat aliran darah dan aku khawatir setan telah memasukkan sesuatu pada hati kalian berdua". [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2035].
Sisi pendalilannya : Seandainya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mempunyai kekhususan dalam hal interaksi dengan wanitaajnabiyyah dalam berkhalwat – lebih-lebih lagi bersentuhan – niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan bahwa wanita yang bersama beliau adalah Shafiyyah, istrinya; dan bahkan beliau akan menjelaskan kekhususan yang beliau miliki dalam hal itu.

Perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas adalah untuk memutuskan prasangka buruk bahwa beliau telah berkhalwat dengan wanita ‎ajnabiyyah. Hadits ini menafikkan adanya kekhususan Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam kebolehan berkhalwat dengan wanita ajnabiyyah.
c.      Hal ini termasuk kekhususan Ummu Haraam (dan Ummu Sulaim).
Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Ad-Dimyaathiy dam Ibnul-Mulaqqin rahimahumallah.
Ibnul-Mulaqqin berkata :

وهذا خاص بأُمّ حَرَام وأختها أُمّ سُلَيْم، وقد ذكرتُ ذلكَ عنه في كتابي المسمى "العُدّة في معرفة رجالِ العمدة

“Ini adalah kekhususan bagi Ummu Haraam dan saudarinya Ummu Sulaim. Aku telah menyebutkannya dalam kitabku yang berjudulAl-‘Uddah fii Ma’rifati Rijaalil ‘Umdah” [Khashaaishun-Nabiy, hal. 136].
Pertanyaannya : Apa yang membuat Ummu Haraam dan Ummu Sulaim mempunyai kekhususan ini ?. Jika dijawab bahwa itu dikarenakan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

إِنِّي أَرْحَمُهَا، قُتِلَ أَخُوهَا مَعِي

“Sesungguhnya aku mengasihinya (yaitu : Ummu Sulaim). Saudara laki-lakinya terbunuh bersamaku (di medan jihad)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2844 dan Muslim no. 2455].
Ad-Dimyaathiy rahimahullah berkata :

فبين تخصيصها بذلك فلو كان ثمة علة أخرى لذكرها لأن تأخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز

“Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan pengkhususan Ummu Sulaim dengan sebab itu. Seandainya di sana ada sebab lain, niscaya beliau akan menyebutkannya, karena mengakhirkan penjelasan pada waktu yang yang diperlukan tidak diperbolehkan” [‘Umdatul-Qaariy, 11/99].
Jika itu adalah alasan pengkhususan Ummu Sulaim (dan juga Ummu Haraam), maka yang terbunuh bersama beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya saudara laki-laki mereka (Haraam bin Milhaan), akan tetapi juga banyak shahabat yang lainnya. Bersamaan dengan itu, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berkhalwat dengan saudara wanita mereka atau keluarga wanita mereka selain Ummu Sulaim (dan Ummu Haraam).

Melihat beberapa alasan dan dalil-dalil yang ada, maka yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan Ummu Haraam (dan saudarinya, Ummu Sulaim) merupakan mahram Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Sanggahan Ad-Dimyaathiy rahimahullah dapat dijawab dengan beberapa sisi :
1.     Persusuan di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan hal yang umum dan tersebar sehingga seringkali kemahraman dari sebab ini tidak nampak oleh kebanyakan orang, meskipun merupakan kerabat dekatnya. Dalil yang menunjukkan hal ini antara lain :

حدثنا هَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ، حدثنا أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ أَبِي الشَّعْثَاءِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَسْرُوقٍ، قَالَ: قَالَت عَائِشَةُ: دَخَلَ عَلَيّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْدِي رَجُلٌ قَاعِدٌ، فَاشْتَدَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ، وَرَأَيْتُ الْغَضَبَ فِي وَجْهِهِ، قَالَت: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّهُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ، قَالَت: فقَالَ: " انْظُرْنَ إِخْوَتَكُنَّ مِنَ الرَّضَاعَةِ، فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ "

Telah menceritakan kepada kami Hannaad bin As-Sariy : Telah menceritakan kepada kami Abul-Ahwash, dari Asy’ats bin Abisy-Sya’tsaa’, dari ayahnya, dari Masruuq, ia berkata : ‘Aaisyah berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk menemuiku dan waktu itu ada seorang laki-laki di sisiku. Beliau keberatan atas hal itu dan aku melihat kemarahan di wajah beliau”. ‘Aaisyah berkata : Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia adalah laki-lakiku sepersusuan”. Beliau shallallaahu ‘alaihi sallam bersabda : “Perhatikanlah saudara sepersusuanmu. Sesungguhnya persusuan (yang menjadikan mahram) hanyalah yang disebabkan oleh rasa lapar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1455].
Kemahraman ‘Aaisyah dengan saudara laki-laki sepersusuannya tersebut bahkan tidak nampak bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang notabene merupakan suaminya.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ أَبُو الْحَسَنِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عُمَرُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ أَبِي حُسَيْنٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ الْحَارِثِ، أَنَّهُ تَزَوَّجَ ابْنَةً لِأَبِي إِهَابِ بْنِ عَزِيزٍ، فَأَتَتْهُ امْرَأَةٌ، فَقَالَتْ: إِنِّي قَدْ أَرْضَعْتُ عُقْبَةَ وَالَّتِي تَزَوَّجَ، فَقَالَ لَهَا عُقْبَةُ: مَا أَعْلَمُ أَنَّكِ أَرْضَعْتِنِي وَلَا أَخْبَرْتِنِي، فَرَكِبَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ، فَسَأَلَهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَيْفَ وَقَدْ قِيلَ، فَفَارَقَهَا عُقْبَةُ، وَنَكَحَتْ زَوْجًا غَيْرَهُ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqaatil Abul-Hasan, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Umar bin Sa’iid bin Abi Husain, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Mulaikah, dari ‘Uqbah bin Al-Haarits : Bahwasannya ia menikahi anak perempuan Ihaab bin ‘Abdil-‘Aziiz. Lalu datanglah seorang wanita dan berkata : “Sesungguhnya aku dulu pernah menyusui ‘Uqbah dan istrinya”. ‘Uqbah berkata kepadanya : “Aku tidak tahu engkau telah menyusuiku dan engkau pun tidak pernah mengkhabariku”. Lalu ia (‘Uqbah) menunggang kuda menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Madiinah. Kemudian ia bertanya kepada beliau perihal tersebut. Maka Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bagaimana lagi, sungguh ia telah mengatakannya”. Lalu ‘Uqbah menceraikannya dan setelah itu ia menikahi wanita yang lain [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 88].

أَخْبَرَنَا هَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ، عَنْ أَبِي مُعَاوِيَةَ، عَنْ الْأَعْمَشِ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السَّلَمِيِّ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ تَنَوَّقُ فِي قُرَيْشٍ وَتَدَعُنَا، قَالَ: " وَعِنْدَكَ أَحَدٌ؟ " قُلْتُ: نَعَمْ، بِنْتُ حَمْزَةَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّهَا لَا تَحِلُّ لِي، إِنَّهَا ابْنَةُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ "

Telah mengkhabarkan kepada kami Hannaad bin As-Sariy, dari Abu Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Sa’d bin ‘Ubaidah, dari Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy, dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku berkata : “Wahai Rasulullah, kenapa engkau mengutamakan wanita-wanita Quraisy dan meninggalkan wanita-wanita kami ?”. Beliau bersabda : “Apakah engkau memiliki wanita yang pantas aku nikahi ?”. Aku berkata : “Ya, yaitu anak perempuan Hamzah”. Rasulullah‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam. bersabda : “Sesungguhnya ia tidak halal bagiku. Ia adalah anak perempuan saudara laki-laki sepersusuanku” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 3304; shahih].
Seandainya kemahramana karena hubungan persusuan itu dapat tidak diketahui oleh kerabat dekat, apalagi oleh kerabat jauh atau orang-orang yang hidup jauh sepeninggal mereka?.
2.     Dengan memperhatikan interaksi antara Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap Ummu Haraam dan Ummu Sulaim, maka tidak mungkin hal itu terjadi kecuali antara dua orang yang mempunyai hubungan kemahraman. Selain hadits Ummu Haram dan Ummu Sulaim yang telah disebutkan di atas, dalil-dalil lain yang menunjukkannya adalah :

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، أَخْبَرَنَا ثَابِتٌ، عَنْ أَنَسٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى أُمِّ حَرَامٍ فَأَتَوْهُ بِسَمْنٍ وَتَمْرٍ، فَقَالَ: رُدُّوا هَذَا فِي وِعَائِهِ وَهَذَا فِي سِقَائِهِ فَإِنِّي صَائِمٌ، ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ تَطَوُّعًا، فَقَامَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ، وَأُمُّ حَرَامٍ خَلْفَنَا، ......

Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Hammaad : Telah mengkhabarkan kepada kami Tsaabit, dari Anas : Bahwasannya Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui Ummu Haraam. Lalu Ummu Haraam menghidangkan kepada beliau minyak samin dan kurma (tamr). Beliau bersabda : “Kembalikanlah makan tersebut ke tempatnya, sesungguhnya aku sedang berpuasa”. Lalu beliau ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri melaksanakan shalat sunnah dua raka’at bersama kami. Ummu Haraam dan Ummu Sulaim berdiri di belakang kami…..” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 608; shahih].

حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا، وَمَا هُوَ إِلَّا أَنَا، وَأُمِّي، وَأُمُّ حَرَامٍ خَالَتِي، فَقَالَ: " قُومُوا فَلِأُصَلِّيَ بِكُمْ فِي غَيْرِ وَقْتِ صَلَاةٍ، فَصَلَّى بِنَا، ...... ثُمَّ دَعَا لَنَا أَهْلَ الْبَيْتِ بِكُلِّ خَيْرٍ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، فَقَالَتْ أُمِّي: يَا رَسُولَ اللَّهِ، خُوَيْدِمُكَ ادْعُ اللَّهَ لَهُ، قَالَ: فَدَعَا لِي بِكُلِّ خَيْرٍ، وَكَانَ فِي آخِرِ مَا دَعَا لِي بِهِ، أَنْ قَالَ: اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ، وَوَلَدَهُ، وَبَارِكْ لَهُ فِيهِ "

Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Haasyim bin Al-Qaasim : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan, dari Tsaabit, dari Anas, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui kami, sementara yang ada di rumah hanyalah aku, ibuku (Ummu Sulaim), dan bibiku Ummu Haraam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berdirilah, aku akan shalat mengimami kalian”. Yaitu di luar waktu shalat. Lalu beliau shalat bersama kami…… Kemudian beliau mendoakan kebaikan dunia dan akhirat bagi kami dan seluruh anggota keluarga. Ibuku (Ummu Sulaim) berkata : “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah kepada pembantumu ini (yaitu Anas bin Maalik)”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendoakanku dengan segala kebaikan, dan akhir doa yang beliau ucapkan untukku : “Ya Allah, perbanyaklah harta dan keturunannya, dan berikanlah ia barakah padanya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2481].

وحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ، حَدَّثَنَا حُجَيْنُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ وَهُوَ ابْنُ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: " كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُ بَيْتَ أُمِّ سُلَيْمٍ، فَيَنَامُ عَلَى فِرَاشِهَا، وَلَيْسَتْ فِيهِ، قَالَ: فَجَاءَ ذَاتَ يَوْمٍ، فَنَامَ عَلَى فِرَاشِهَا، فَأُتِيَتْ، فَقِيلَ لَهَا: هَذَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَامَ فِي بَيْتِكِ، عَلَى فِرَاشِكِ، قَالَ: فَجَاءَتْ وَقَدْ عَرِقَ وَاسْتَنْقَعَ عَرَقُهُ عَلَى قِطْعَةِ أَدِيمٍ عَلَى الْفِرَاشِ، فَفَتَحَتْ عَتِيدَتَهَا، فَجَعَلَتْ تُنَشِّفُ ذَلِكَ الْعَرَقَ فَتَعْصِرُهُ فِي قَوَارِيرِهَا، فَفَزِعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: مَا تَصْنَعِينَ يَا أُمَّ سُلَيْمٍ ؟ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، نَرْجُو بَرَكَتَهُ لِصِبْيَانِنَا، قَالَ: أَصَبْتِ "

Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Raafi’ : Telah menceritakan kepada kami Hujain bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Abi Salamah, dari Ishaaq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah, dari Anas bin Maalik, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari pernah masuk ke rumah Ummu Sulaim. Beliau lalu tidur di atas alas tidur Ummu Sulaim ketika ia tidak ada di rumah. Pada hari lainnya beliau juga datang dan melakukan hal yang sama. Ketika Ummu Sulaim datang, ada yang melapor bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidur di alas tidur di rumahnya. Segera saja Ummu Sulaim masuk dan mendapati Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersimbah keringat yang sangat banyak sehingga mengenai sepotong kulit yang berada di dekat alas tidur tersebut. Kemudian Ummu Sulaim menyeka keringat tersebut lalu memerasnya ke dalam botol-botol yang terbuat dari kaca. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam terbangun dan merasa kaget. Beliau bertanya : “Apa yang sedang kamu lakukan wahai Ummu Sulaim ?”. Ia menjawab : “Wahai Rasulullah, kami mengharapkan barakahnya untuk anak-anak kami”. Maka beliau berkata : “Engkau benar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2331].

حَدَّثَنَا حَسَنٌ الْحُلْوَانِيُّ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ، حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا يَدْخُلُ عَلَى أَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِ، إِلَّا أُمِّ سُلَيْمٍ، فَإِنَّهُ كَانَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا، فَقِيلَ لَهُ فِي ذَلِكَ، فَقَالَ: إِنِّي أَرْحَمُهَا، قُتِلَ أَخُوهَا مَعِي "

Telah menceritakan kepada kami Hasan Al-Hulwaaniy : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Aashim : Telah menceritakan kepada kami Hammaam, dari Ishaaq bin ‘Abdillah, dari Anas, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah masuk menemui seorang wanita pun kecuali istrinya dan Ummu Sulaim. Sesungguhnya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa menemuinya. Dikatakan kepada beliau tentang hal tersebut, maka beliau menjawab : ‘Sesungguhnya aku mengasihinya (yaitu : Ummu Sulaim). Saudara laki-lakinya terbunuh bersamaku (di medan jihad)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2455].
3.     Terkait dengan nomor 2 di atas, seandainya Ummu Haraam dan Ummu Sulaim bukan termasuk mahram beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sudah pasti orang-orang kafir dan munafiq akan menjadikan hal itu sebagai aib beliau dan kemudian mereka jadikan bahan celaan untuk menjatuhkan kehormatan beliau. Hal yang sama telah mereka lakukan terhadap ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhu yang mereka tuduh melakukan penyelewengan dengan Shafwan As-Sulamiy radliyallaahu ‘anhumaa – sebagaimana masyhur kisahnya dalam hadiitsul-ifki. Kenyataannya, mereka (orang-orang kafir dan munafiq) tidak pernah menjadikan hal itu sebagai aib dan celaan mereka kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Selain itu, tidak ada satupun dalil yang shahih dan sharih yang menunjukkan adanya kekhususan bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menyentuh atau berkhalwat dengan wanita ajnabiyyah; ataupun kekhususan bagi Ummu Haraam dan Ummu Sulaim sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Beberapa alasan di atas secara keseluruhan menunjukkan hubungan kemahraman antara Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan Ummu Haraam dan Ummu Sulaim radliyallaahu ‘anhumaa.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...