Jumat, 22 Oktober 2021

Penjelasan Tentang Mahrom


Kami ingatkan, bahwa penggunaan istilah yang benar adalah mahram bukan muhrim. Karena muhrim artinya orang yang melakukan ihram, baik untuk umrah atau haji. Sedangkan mahram, Imam an-Nawawi memberi batasan dalam sebuah definisi berikut,

كل من حرم نكاحها على التأبيد بسبب مباح لحرمتها

Setiap wanita yang haram untuk dinikahi selamanya, disebab sesuatu yang mubah, karena statusnya yang haram. (Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi, 9:105)

Kemudian beliau memberikan keterangan untuk definisi yang beliau sampaikan:

Haram untuk dinikahi selamanya : Artinya ada wanita yang haram dinikahi, namun tidak selamanya. Seperti adik istri atau bibi istri. Mereka tidak boleh dinikahi, tetapi tidak selamanya. Karena jika istri meninggal atau dicerai, suami boleh menikahi adiknya atau bibinya.
Disebabkan sesuatu yang mubah : Artinya ada wanita yang haram untuk dinikahi selamanya dengan sebab yang tidak mubah. Seperti ibu wanita yang pernah disetubuhi karena dikira istrinya, atau karena pernikahan syubhat. Ibu wanita ini haram untuk dinikahi selamanya, namun bukan mahram. Karena menyetubuhi wanita yang bukan istrinya, karena ketidaktahuan bukanlah perbuatan yang mubah.
Karena statusnya yang haram : Karena ada wanita yang haram untuk dinikahi selamanya, namun bukan karena statusnya yang haram tetapi sebagai hukuman. Misalnya, wanita yang melakukan mula’anah dengan suaminya. Setelah saling melaknat diri sendiri karena masalah tuduhan selingkuh, selanjutnya pasangan suami-istri ini dipisahkan selamanya. Meskipun keduanya tidak boleh nikah lagi, namun lelaki mantan suaminya bukanlah mahram bagi si wanita.
Adapun wanita yang tidak boleh dinikahi karena selamanya ada 11 orang ditambah karena faktor persusuan. Tujuh diantaranya, menjadi mahram karena hubungan nasab, dan empat sisanya menjadi mahram karena hubungan pernikahan.

Permasalahan mahram, telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam al-Qur`ân, surat an-Nisâ`/4 ayat 22-24:

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS An-Nisa Ayat 22-24)

Pertama, tujuh wanita yang tidak boleh dinikahi karena hubungan nasab:
Ibu, nenek, buyut perempuan dan seterusnya ke atas.
Anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah.
Saudara perempuan, baik saudari kandung, sebapak, atau seibu.
Keponakan perempuan dari saudara perempuan dan keturunannya ke bawah.
Keponakan perempuan dari saudara laki-laki dan keturunannya ke bawah.
Bibi dari jalur bapak (‘ammaat).
Bibi dari jalur ibu (Khalaat).
Kedua, empat wanita yang tidak boleh dinikahi karena hubungan pernikahan:

Ibu istri (ibu mertua), nenek istri dan seterusnya ke atas, meskipun hanya dengan akad
Anak perempuan istri (anak tiri), jika si lelaki telah melakukan hubungan dengan ibunya
Istri bapak (ibu tiri), istri kakek (nenek tiri), dan seterusnya ke atas
Istri anak (menantu perempuan), istri cucu, dan seterusnya kebawah.
Demikian pula karena sebab persusuan, bisa menjadikan mahram sebagaimana nasab. (Taisirul ‘Alam, Syarh Umdatul Ahkam, hal. 569)‎

Dalil dari hadits bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi  wasallam bersabda:

يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ

“Diharamkan dari persusuan apa-apa yang diharamkan dari nasab ”
(HR. Bukhari 3/222/ 2645, Muslim: 2/1068/ 1447, Abu Dawud 1/474, Nasa'i 6/82, Darimi 2/156, Ahmad 1/27). 

Mahrom di sini terbagi menjadi dua macam: [1] Mahrom muabbad, artinya tidak boleh dinikahi selamanya; dan [2] Mahrom muaqqot, artinya tidak boleh dinikahi pada kondisi tertentu saja dan jika kondisi ini hilang maka menjadi halal. Berikut kami rinci secara ringkas.

Mahrom Muabbad
Mahrom muabbad dibagi menjadi tiga: [1] Karena nasab, [2] Karena ikatan perkawinan (mushoharoh), [3] Karena persusuan (rodho’ah).

[1] Mahrom muabbad karena nasab ada tujuh wanita:

Pertama: Ibu.

Yang termasuk di sini adalah ibu kandungnya, ibu dari ayahnya, dan neneknya (dari jalan laki-laki atau perempuan) ke atas.

Kedua: Anak perempuan.

Yang termasuk di sini adalah anak perempuannya, cucu perempuannya dan terus ke bawah.

Ketiga: Saudara perempuan.

Keempat: Bibi dari jalur ayah (‘ammaat)

Yang dimaksud di sini adalah saudara perempuan dari ayahnya ke atas. Termasuk di dalamnya adalah bibi dari ayahnya atau bibi dari ibunya.

Kelima: Bibi dari jalur ibu (khollaat)

Yang dimaksud di sini adalah saudara perempuan dari ibu ke atas. Termasuk di dalamnya adalah saudara perempuan dari ibu ayahnya.

Keenam dan ketujuh: Anak perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan (keponakan).

Yang dimaksud di sini adalah anak perempuan dari saudara laki-laki atau saudara perempuannya, dan ini terus ke bawah.

[2] Mahrom muabbad karena ikatan perkawinan (mushoro’ah) ada empat wanita:

Pertama: Istri dari ayah.

Kedua: Ibu dari istri (ibu mertua). Ibu mertua ini menjadi mahrom selamanya (muabbad) dengan hanya sekedar akad nikah dengan anaknya (tanpa mesti anaknya disetubuhi), menurut mayoritas ulama. Yang termasuk di dalamnya adalah ibu dari ibu mertua dan ibu dari ayah mertua.

Ketiga: Anak perempuan dari istri (robibah). Ia bisa jadi mahrom dengan syarat si laki-laki telah menyetubuhi ibunya. Jika hanya sekedar akad dengan ibunya namun belum sempat disetubuhi, maka boleh menikahi anak perempuannya tadi. Yang termasuk mahrom juga adalah anak perempuan dari anak perempuan dari istri dan anak perempuan dari anak laki-laki dari istri.

Keempat: Istri dari anak laki-laki (menantu). Yang termasuk mahrom juga adalah istri dari anak persusuan.

[3] Mahrom muabbad karena persusuan (rodho’ah):

Wanita yang menyusui dan ibunya.
Anak perempuan dari wanita yang menyusui (saudara persusuan).
Saudara perempuan dari wanita yang menyusui (bibi persusuan).
Anak perempuan dari anak perempuan dari wanita yang menysusui (anak dari saudara persusuan).
Ibu dari suami dari wanita yang menyusui.
Saudara perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
Anak perempuan dari anak laki-laki dari wanita yang menyusui (anak dari saudara persusuan).
Anak perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
Istri lain dari suami dari wanita yang menyesui.
Adapun jumlah persusuan yang menyebabkan mahrom adalah lima persusuan atau lebih. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i, pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Atho’ dan Thowus. Pendapat ini juga adalah pendapat Aisyah, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Zubair.

Mahrom Muaqqot

Artinya, mahrom (dilarang dinikahi) yang sifatnya sementara. Wanita yang tidak boleh dinikahi sementara waktu ada delapan.

Pertama: Saudara perempuan dari istri (ipar).

Tidak boleh bagi seorang pria untuk menikahi saudara perempuan dari istrinya dalam satu waktu berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika istrinya meninggal dunia atau ditalak oleh si suami, maka setelah itu ia boleh menikahi saudara perempuan dari istrinya tadi.

Kedua: Bibi (dari jalur ayah atau ibu) dari istri.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا

“Tidak boleh seorang wanita dimadu dengan bibi (dari ayah atau ibu) -nya.” (HR. Muslim no. 1408)

Namun jika istri telah dicerai atau meninggal dunia, maka laki-laki tersebut boleh menikahi bibinya.

Ketiga: Istri yang telah bersuami dan istri orang kafir jika ia masuk Islam.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.” (QS. An Nisa’: 24)

Jika seorang wanita masuk Islam dan suaminya masih kafir (ahli kitab atau agama lainnya), maka keislaman wanita tersebut membuat ia langsung terpisah dengan suaminya yang kafir. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآَتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.” (QS. Al Mumtahanah: 10)

Keempat: Wanita yang telah ditalak tiga, maka ia tidak boleh dinikahi oleh suaminya yang dulu sampai ia menjadi istri dari laki-laki lain.

Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ

“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.” (QS. Al Baqarah: 230)

Kelima: Wanita musyrik sampai ia masuk Islam.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al Baqarah: 221)

Yang dikecualikan di sini adalah seorang laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab. Ini dibolehkan berdasarkan firman Allah Ta’ala,

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (QS. Al Maidah: 5)

Adapun wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki ahli kitab atau laki-laki kafir. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al Mumtahanah: 10)

Keenam: Wanita pezina sampai ia bertaubat dan melakukan istibro’ (pembuktian kosongnya rahim).

Tidak boleh menikahi wanita pezina kecuali jika terpenuhi dua syarat:

(a) Wanita tersebut bertaubat.

Allah Ta’ala berfirman,

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin” (QS. An Nur: 3)

Dengan taubat-lah yang akan menghilangkan status sebagai wanita pezina. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ

”Orang yang bertaubat dari suatu dosa seakan-akan ia tidak pernah berbuat dosa itu sama sekali.” (HR. Ibnu Majah no. 4250. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

(b) Istibro’ yaitu menunggu satu kali haidh atau sampai bayi dalam kandungannya lahir. Inilah pendapat Imam Ahmad dan Imam Malik. Inilah yang lebih tepat.

Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً

“Wanita hamil tidaklah disetubuhi hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil istibro’nya (membuktikan kosongnya rahim) sampai satu kali haidh." (HR. Abu Daud no. 2157. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ketujuh: Wanita yang sedang ihrom sampai ia tahallul.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ

“Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk menikahkan, dinikahkan dan meminang.” (HR. Muslim no. 1409, dari ‘Utsman bin ‘Affan)

Kedelapan: Tidak boleh menikahi wanita kelima sedangkan masih memiliki istri yang keempat.

Allah Ta’ala berfirman,

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ

“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat” (QS. An Nisa’: 3)

Bagi kaum muslimin dilarang menikahi lebih dari empat istri. Kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh menikahi lebih dari empat istri dan boleh menikah tanpa mahar.‎‎

Penjelasan Tentang Wali Hakim


Dalam situasi ideal, hukum asalnya adalah: ayah harus menjadi wali nikah putrinya. Tapi wali hakim bisa menikahkan juga dalam keadaan tertentu antara lain: (a) lokasi wali jauh melebihi 85 km (bolehnya shalat qashar); (b) ayah tidak mau atau menolak menikahkan putrinya tanpa alasan yang syar'i; (c) wanita tidak punya wali kerabat. Dalam ketiga keadaan ini, maka wanita tersebut boleh meminta wali hakim untuk menikahkan. Yang dimaksud wali hakim adalah pejabat negara yang membidangi masalah tersebut yaitu hakim agama, pegawai KUA (Kantor Urusan Agama), dan pegawai PPN (pegawai pencatat nikah).

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوْسَى عَنِ الزُّهْرِيِ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ. فَاِنْ دَخَلَ بِهَا، فَلَهَا اْلمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَاِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ. الخمسة الا السائى

Dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri dari Urwah dari ‘Aisyah, sesungguhnya Nabi SAW ‎bersabda, “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya maka nikahnya batal,maka nikahnya batal, maka nikahnya batal.Kemudian jika (suaminya) telah mencampurinya, maka bagi wanita itu berhak memperoleh mahar sebab apa yang telah iaanggap halal dari mencampurinya. Kemudian jika mereka (wali-walinya) berselisih, maka penguasa (hakimlah) yang menjadi walinya”.[HR. Khamsah kecuali Nasai].

عنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ((أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ لاَ وَلِىَّ لَهُ)). [رواه الترمذي، وابن ماجه وأحمد وقَالَ أَبُو عِيسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَن]

“Dari Aisyah, Rasulullah saw bersabda: “Wanita mana saja yang menikah tanpa idzin dari walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika ia berhubungan badan dengan perempuan tersebut maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, karena telah halal berhubungan badan dengannya. Jika mereka berselisih, maka penguasa (hakim) adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali” (HR. Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Imam Turmudzi berkata: “Hadits ini Hasan”).

Berdasarkan hadits di atas, maka ulama mujtahid ahli syariah sepakat atas bolehnya fungsi wali kerabat diganti wali hakim. 

Ini di antara dalil pendapat Jumhur ulama. Dengan demikian, wali adalah di antara syarat sah pernikahan. Perempuan yang menikah tanpa wali, menurut Jumhur, pernikahannya tidak sah.

Lalu kapan wali hakim berperan? Wali hakim berfungsi bagi wanita yang tidak mempunyai wali. Misalnya jika seluruh walinya sudah meninggal dunia, atau wanita yang masuk Islam sementara ayah atau wali lainnya bukan muslim.

Selain itu, wali hakim juga dapat berfungsi jika seluruh wali perempuan menolak (wali ‘adhal) menikahkan perempuan tersebut sementara perempuan tersebut berakal sehat, juga baligh, serta calon suaminya satu kufu’ (satu level dengan keadaan si perempuan, terutama dalam hal agamanya). Jika seluruh wali menolak dalam keadaan di atas, maka seluruh ulama sepakat wali berpindah kepada hakim.

Demikian juga, menurut Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah, jika seorang wali menolak menikahkan perempuan berakal, dewasa dan calon suaminya itu sekufu’, maka walinya berpindah kepada Wali Hakim. Sedangkan menurut Hanabilah, dalam kasus terakhir ini, kewaliannya berpindah kepada wali yang lebih jauh.

Dari sini nampak, bahwa wali hakim tidak dapat berfungsi kecuali jika tidak ada wali atau wali tersebut menolak menikahkan putrinya padahal memenuhi syarat-syarat di atas.

Apabila dalam kasus di atas, wali menolak menikahkan perempuan tersebut tanpa alasan yang benar, tidak syar’i, padahal si wanita sudah dewasa, berakal sehat dan calonnya adalah baik agamanya juga satu kufu’, maka jumhur membolehkan untuk menikah dengan wali hakim. Hanya perlu diingat, bahwa syarat-syarat di atas tidak boleh dilihat subjektif. Anda perlu mengetahui alasan orang tua, juga mendengar nasihat keduanya. Penolakan mereka, pasti demi kebaikan putrinya, bukan semata-mata karena factor lain.

Oleh karena itu, saya secara pribadi tidak membenarkan seorang perempuan, bagaimanapun keadaannya untuk ‘nikah lari’ tanpa ada idzin dari orang tua khususnya walinya. Karena, orang tua, umumnya jauh lebih mengetahui kemaslahatan putra putrinya. Betapa banyak mereka yang yakin dengan pilihannya, lalu dia ‘kawin lari’ tanpa izin walinya, lalu setelah menikah ia menyesali perbuatannya, dan mengakui kebenaran alasan orang tuanya. Sekali lagi, untuk para wanita, izin orang tua sangatlah perlu dan harus, karena bukan semata untuk masalah sah tidaknya pernikahan, akan tetapi keberkahan setelah pernikahannya. Izin orang tua adalah kunci keberkahan dan kebahagiaan.

Demikian juga untuk orang tua, khususnya para wali, tidak dibenarkan menghalang-halangi putrinya untuk menikah dengan seseorang yang menjadi pilihannya selama dia baik, sekufu’, juga putrinya itu telah dewasa. Karena wali yang menghalang-halangi tersebut (wali ‘adhal) dibenci oleh Allah. Allah berfirman:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوف

Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 232).

SIAPAKAH WALI HAKIM

Yang dimaksud sulton dalam hadits di atas adalah kepala negara atau pejabat yang ditunjuk oleh kepala negara untuk mengurusi urusan pernikahan. Di Indonesia itu berarti hakim agama dan jajaran di bawahnya seperti pegawai KUA (Kantor Urusan Agama) untuk tingkat kecamatan dan petugas PPN (Pegawai Pencatat Nikah) atau Modin untuk tingkat desa atau kelurahan. Karena itu, di Indonesia perkawinan semacam ini (bukan wali kerabat) disebut perkawinan dengan wali hakim.

TOKOH AGAMA SEBAGAI GANTI WALI APABILA HAKIM AGAMA, PEJABAT KUA, PPN TIDAK ADA

Apabila para pejabat negara yang bertugas menikahkan tidak ada, maka wanita yang ingin menikah boleh meminta kepada seorang lelaki untuk menikahkannya (idealnya tokoh agama atau yang mengerti agama). 

Imam Nawawi dalama kitab Raudah al-Talibin hlm. 7/50 menyatakan

رَوَى يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى ، أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : إِذَا كَانَ فِي الرُّفْقَةِ امْرَأَةٌ لَا وَلِيَّ لَهَا، فَوَلَّتْ أَمْرَهَا رَجُلًا حَتَّى يُزَوِّجَهَا، جَازَ

Artinya: Yunus bin Abdul A'la meriwayatkan bahwa Imam Syafi'i berkata: "Apabila ada perempuan yang tidak punya wali lalu dia menunjuk seorang lelaki untuk menjadi wali. Lalu si lelaki itu menikahkannya, maka hukumnya boleh (sah nikahnya).

Al-Qurtubi dalam kitab Al-Jamik li Ahkam al-Quran 3/76 menyatakan:

وَإِذَا كَانَتِ الْمَرْأَةُ بِمَوْضِعٍ لَا سُلْطَانَ فِيهِ ، وَلَا وَلِيَّ لَهَا ، فَإِنَّهَا تُصَيِّرُ أَمْرَهَا إِلَى مَنْ يُوثَقُ بِهِ مِنْ جِيرَانِهَا ، فَيُزَوِّجُهَا وَيَكُونُ هُوَ وَلِيَّهَا فِي هَذِهِ الْحَالِ ، لِأَنَّ النَّاسَ لا بد لَهُمْ مِنَ التَّزْوِيجِ ، وَإِنَّمَا يَعْمَلُونَ فِيهِ بِأَحْسَنِ مَا يُمْكِنُ

Artinya: Apabila wanita (yang hendak kawin) berada di suatu tempat yang tidak ada hakim dan jajarannya dan tidak ada wali kerabat, maka ia dapat menyerahkan urusan pernikahannya pada lelaki yang dipercaya seperti tetangganya untuk menikahkannya. Maka lelaki itu menjadi walinya dalam hal ini. Karena manusia harus menikah dan mareka melakukannya dengan cara sebaik mungkin.

APABILA WALI HAKIM ADA TAPI DINIKAHKAN OLEH TOKOH AGAMA

Apabila wali kerabat tidak ada, sedang pejabat KUA ada, tapi si wanita meminta tokoh agama yang menjadi wali, maka hal seperti ini juga sah nikahnya walaupun terjadi perselisihan ulama sebagaimana dikatakan As-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj, hlm. 4/244:

لَوْ عُدِمَ الْوَلِيُّ وَالْحَاكِمُ ، فَوَلَّتْ مَعَ خَاطِبِهَا أَمْرَهَا رَجُلًا .. لِيُزَوِّجَهَا مِنْهُ صَحَّ ؛ لِأَنَّهُ مُحَكَّمٌ ، وَالْمُحَكَّمُ كَالْحَاكِمِ...؛ لِشِدَّةِ الْحَاجَةِ إلَى ذَلِكَ.
قَالَ فِي الْمُهِمَّاتِ [ وهو جمال الدين الإسنوي ] : وَلَا يَخْتَصُّ ذَلِكَ بِفَقْدِ الْحَاكِمِ ، بَلْ يَجُوزُ مَعَ وُجُودِهِ ، سَفَرًا وَحَضَرًا .
وَقَالَ الْأَذْرَعِيُّ : جَوَازُ ذَلِكَ مَعَ وُجُودِ الْقَاضِي بَعِيدٌ مِنْ الْمَذْهَبِ وَالدَّلِيلُ ؛ لِأَنَّ الْحَاكِمَ وَلِيٌّ حَاضِرٌ ، وَيَظْهَرُ الْجَزْمُ بِمَنْعِ الصِّحَّةِ ، إذَا أَمْكَنَ التَّزْوِيجُ مِنْ جِهَتِهِ .
وَكَلَامُ الشَّافِعِيِّ مُؤْذِنٌ بِأَنَّ مَوْضِعَ الْجَوَازِ عِنْدَ الضَّرُورَةِ ، وَلَا ضَرُورَةَ مَعَ إمْكَانِ التَّزْوِيجِ مِنْ حَاكِمٍ أَهْلٍ حَاضِرٍ بِالْبَلَدِ ، وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ

Apabila wali dan hakim tidak ada, lalu wanita dan tunangannya meminta seorang lelaki untuk menikahkannya, maka itu sah karena lelaki itu seorang muhakkam dan muhakam itu seperti hakim karena sangat dibutuhkan. Jamaluddin Asnawi dalam Al-Muhimmat berkata: Bolehnya tersebut tidak hanya karena ketiadaan hakim. Bahkan boleh dengan adanya hakim saat di perjalanan atau di rumah. Adzro'i berkata: Bolehnya hal itu saat ada qadhi (hakim) jauh dari mazhab dan dalil karena hakim adalah wali yang hadir, maka hukumnya tidak sah (memakai wali non-hakim) apabila ada hakim. Adapun perkataan Imam Syafi'i yang membolehkan nikah semacam itu adalah dalam konteks darurat dan tidak ada darurat apabila bisa dinikahkan oleh hakim. Ini pendapat yang muktamad. 

KESIMPULAN

- Wali hakim adalah hakim agama dan jajaran dibawahnya (KUA, PPN, Modin) yang dapat menikahkan seorang perempuan apabila diminta asal terpenuhi syarat-syaratnya antara lain wali kerabat (ayah) tidak ada atau lokasi berjauhan sejauh bolehnya qashar.

- Tokoh agama seperti ustadz, kyai, guru, imam masjid juga bisa menjadi wali nikah atas permintaan atau persetujuan si perempuan apabila wali hakim tidak ada. Apabila wali hakim ada juga tetap boleh menjadi wali nikah menurut sebagian pendapat dalam mazhab Syafi'i.

Tidak Sah Nikah Tanpa Wali


Islam telah menetapkan hukum-hukum yang harus dipatuhi oleh para pemeluknya. Baik itu berupa larangan yang harus dijauhi maupun perintah yang harus dilaksanakan. Keseluruhan hukum-hukum tersebut tak lain bersumber dari dua teks utama, yakni al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Islam mengakui bahwa manusia memiliki hasrat yang besar untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya (seks). Untuk itu, hukum Islam mengatur penyaluran kebutuhan biologis tersebut melalui satu-satunya cara yang dilegalkan oleh al-Qur’an dan Hadith, yakni pernikahan.

Ketentuan tentang pernikahan banyak dimuat dalam al-Qur’an dan hadith, namun aturan teknis bagaimana suatu perkawinan yang sah hanya dijelaskan oleh hadith. Pernikahan dianggap sah bila memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan. Beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam nikah diantaranya ialah adanya pria dan wanita sebagai mempelai, wali, mahar, saksi dan akad (ijab qabul). Dalam realitasnya, tidak semua pernikahan dilaksanakan sesuai dengan tata aturan yang telah digariskan. Entah dengan alasan apa, seringkali dijumpai pernikahan yang dilaksanakan tanpa kehadiran wali dan ataupun saksi.

Untuk itu,penulis mencoba untuk menelaah hukum pernikahan yang dilaksanakan dengan tanpa kehadiran wali dan atau saksi berdasarkan teks-teks hadith yang mengatur teknis pelaksanaan pernikahan.

Shâhih Bukhorǐ

حدّثنا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ ح و حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَنْبَسَةُ حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ النِّكَاحَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَنْحَاءٍ فَنِكَاحٌ مِنْهَا نِكَاحُ النَّاسِ الْيَوْمَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ وَلِيَّتَهُ أَوْ ابْنَتَهُ فَيُصْدِقُهَا ثُمَّ يَنْكِحُهَا وَنِكَاحٌ آخَرُ كَانَ الرَّجُلُ يَقُولُ لِامْرَأَتِهِ إِذَا طَهُرَتْ مِنْ طَمْثِهَا أَرْسِلِي إِلَى فُلَانٍ فَاسْتَبْضِعِي مِنْهُ وَيَعْتَزِلُهَا زَوْجُهَا وَلَا يَمَسُّهَا أَبَدًا حَتَّى يَتَبَيَّنَ حَمْلُهَا مِنْ ذَلِكَ الرَّجُلِ الَّذِي تَسْتَبْضِعُ مِنْهُ فَإِذَا تَبَيَّنَ حَمْلُهَا أَصَابَهَا زَوْجُهَا إِذَا أَحَبَّ وَإِنَّمَا يَفْعَلُ ذَلِكَ رَغْبَةً فِي نَجَابَةِ الْوَلَدِ فَكَانَ هَذَا النِّكَاحُ نِكَاحَ الِاسْتِبْضَاعِ وَنِكَاحٌ آخَرُ يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ مَا دُونَ الْعَشَرَةِ فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ كُلُّهُمْ يُصِيبُهَا فَإِذَا حَمَلَتْ وَوَضَعَتْ وَمَرَّ عَلَيْهَا لَيَالٍ بَعْدَ أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا أَرْسَلَتْ إِلَيْهِمْ فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ أَنْ يَمْتَنِعَ حَتَّى يَجْتَمِعُوا عِنْدَهَا تَقُولُ لَهُمْ قَدْ عَرَفْتُمْ الَّذِي كَانَ مِنْ أَمْرِكُمْ وَقَدْ وَلَدْتُ فَهُوَ ابْنُكَ يَا فُلَانُ تُسَمِّي مَنْ أَحَبَّتْ بِاسْمِهِ فَيَلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَمْتَنِعَ بِهِ الرَّجُلُ وَنِكَاحُ الرَّابِعِ يَجْتَمِعُ النَّاسُ الْكَثِيرُ فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ لَا تَمْتَنِعُ مِمَّنْ جَاءَهَا وَهُنَّ الْبَغَايَا كُنَّ يَنْصِبْنَ عَلَى أَبْوَابِهِنَّ رَايَاتٍ تَكُونُ عَلَمًا فَمَنْ أَرَادَهُنَّ دَخَلَ عَلَيْهِنَّ فَإِذَا حَمَلَتْ إِحْدَاهُنَّ وَوَضَعَتْ حَمْلَهَا جُمِعُوا لَهَا وَدَعَوْا لَهُمْ الْقَافَةَ ثُمَّ أَلْحَقُوا وَلَدَهَا بِالَّذِي يَرَوْنَ فَالْتَاطَ بِهِ وَدُعِيَ ابْنَهُ لَا يَمْتَنِعُ مِنْ ذَلِكَ فَلَمَّا بُعِثَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ هَدَمَ نِكَاحَ الْجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ إِلَّا نِكَاحَ النَّاسِ الْيَوْمَ
 
`Telah berkata Yahya bin Sulaiman Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dari Yunus -dalam riwayat lain- Dan Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih Telah menceritakan kepada kami Anbasah Telah menceritakan kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Aisyah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah mengabarkan kepadanya bahwa; Sesungguhnya pada masa Jahiliyah ada empat macam bentuk pernikahan. Pertama, adalah pernikahan sebagaimana dilakukan orang-orang pada saat sekarang ini, yaitu seorang laki-laki meminang kepada wali sang wanita, kemudian memberikannya mahar lalu menikahinya. Bentuk kedua yaitu; Seorang suami berkata kepada isterinya pada saat suci (tidak haidl/subur), "Temuilah si Fulan dan bergaullah (bersetubuh) dengannya." Sementara sang suami menjauhinya sementara waktu (tidak menjima'nya) hingga benar-benar ia positif hamil dari hasil persetubuhannya dengan laki-laki itu. Dan jika dinyatakan telah positif hamil, barulah sang suami tadi menggauli isterinya bila ia suka. Ia melakukan hal itu, hanya untuk mendapatkan keturuan yang baik. Istilah nikah ini adalah Nikah Al Istibdlaa'. Kemudian bentuk ketiga; Sekelompok orang (kurang dari sepuluh) menggauli seorang wanita. Dan jika ternyata wanita itu hamil dan melahirkan. Maka setelah masa bersalinnya telah berlalu beberapa hari, wanita itu pun mengirimkan surat kepada sekelompok laki-laki tadi, dan tidak seorang pun yang boleh menolak. Hingga mereka pun berkumpul di tempat sang wanita itu. Lalu wanita itu pun berkata, "Kalian telah tahu apa urusan kalian yang dulu. Dan aku telah melahirnya, maka anak itu adalah anakmu wania Fulan." Yakni, wanita itu memilih nama salah seorang dari mereka yang ia sukai, dan laki-laki yang ditunjuk tidak dapat mengelak. Kemudian bentuk keempat; Orang banyak berkumpul, lalu menggauli seorang wanita, dan tak seorang pun yang dapat menolak bagi yang orang yang telah menggauli sang wanita. Para wanita itu adalah wanita pelacur. Mereka menancapkan tanda pada pintu-pintu rumah mereka sebagai tanda, siapa yang ingin mereka maka ia boleh masuk dan bergaul dengan mereka. Dan ketika salah seorang dari mereka hamil, lalu melahirkan, maka mereka (orang banyak itu) pun dikumpulkan, lalu dipanggilkanlah orang yang ahli seluk beluk nasab (Alqafah), dan Al Qafah inilah yang menyerahkan anak sang wanita itu kepada orang yang dianggapnya sebagai bapaknya, sehingga anak itu dipanggil sebagai anak darinya. Dan orang itu tidak bisa mengelak. Maka ketika Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam diutus dengan membawa kebenaran, beliau pun memusnahkan segala bentuk pernikahan jahiliyah, kecuali pernikahan yang dilakoni oleh orang-orang hari ini (Shahih Bukhorǐ; no. hadits 4372).

Hadith yang memuat keterangan tentang pernikahan tanpa wali dan atau saksi dapat dijumpai dalam beberapa kitab, diantaranya kitab Sunan Kubra li al-Baihaqi, Mu’jam al-Kabir li al-Tabrani, Mu’jam al-Ausat} li al-Tabrani, Musnad al-Shafi’i, Sunan al-Daruqutni dan Shahih Ibnu Hibban.

Tidak ada nikah tanpa wali

عَنْ اَبِى مُوْسَى رض عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ. الخمسة الا النسائى

Dari Abu Musa RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Tidak ada nikah melainkan dengan (adanya) wali”. [HR. Khamsah kecuali Nasai]

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوْسَى عَنِ الزُّهْرِيِ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ. فَاِنْ دَخَلَ بِهَا، فَلَهَا اْلمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَاِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ. الخمسة الا السائى

Dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri dari Urwah dari ‘Aisyah, sesungguhnya Nabi SAW ‎bersabda, “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya maka nikahnya batal,maka nikahnya batal, maka nikahnya batal.Kemudian jika (suaminya) telah mencampurinya, maka bagi wanita itu berhak memperoleh mahar sebab apa yang telah iaanggap halal dari mencampurinya. Kemudian jika mereka (wali-walinya) berselisih, maka penguasa (hakimlah) yang menjadi walinya”.[HR. Khamsah kecuali Nasai].

عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ وَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ وَلِيٍّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، بَاطِلٌ باَطِلٌ. فَاِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلِيٌّ فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا. ابو داود الطيالسى

Dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi SAW ‎bersabda, “Tidak ada nikah melainkan dengan (adanya) wali, dan siapasaja wanita yang nikah tanpa wali maka nikahnya batal,batal, batal. Jika dia tidak punya wali, maka penguasa (hakimlah) walinya wanita yang ‎tidak punya wali”. [HR. Abu Dawud Ath-Thayalisi]

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ تُزَوِّجِ اْلمَرْأَةُ اْلمَرْأَةَ، وَ لاَ تُزَوِّجِ اْلمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَاِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِى تُزَوِّجُ نَفْسَهَا. ابن ماجه و الدارقطنى

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah wanita menikahkan wanita dan janganlah wanita menikahkan dirinya sendiri, karena wanita pezina itu ialah yang menikahkan dirinya sendiri”. [HR. Ibnu Majah dan Daruquthni]

عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ خَالِدٍ قَالَ: جَمَعَتِ الطَّرِيْقُ رَكْبًا فَجَعَلَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ ثَيِّبٌ اَمْرَهَا بِيَدِ رَجُلٍ غَيْرَ وَلِيٍّ فَاَنْكَحَهَا فَبَلَغَ ذلِكَ عُمَرَ. فَجَلَدَ النَّاكِحَ وَ اْلمُنْكِحَ وَ رَدَّ نِكَاحَهَا. الشافعى و الدارقطنى

Dari Ikrimah bin Khalid, ia berkata, “Pernah terjadi di jalan penuh kendaraan. Adaseorang janda diantara mereka menyerahkan urusan dirinya kepada seorang laki-laki yang ‎bukan walinya, lalu laki-laki itu menikahkannya. Kemudian sampailah hal itu kepada Umar, lalu Umar menjilid (mendera) ‎orang yang menikah dan yang ‎menikahkannya serta membatalkan pernikahannya”. [HR. Syafi’i dan Daruquthni]

عَنِ الشَّعْبِ قَالَ: مَا كَانَ اَحَدٌ مِنْ اَصْحَابِ النَّبِيِّ ص اَشَدُّ فِى النِّكَاحِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ مِنْ عَلِيٍّ، كَانَ يَضْرِبُ فِيْهِ. الدارقطنى

Dari Asy-Sya’bi ia berkata, “Tidak ada seorang pun diantara shahabat Nabi SAW yang paling keras (tindakannya) terhadap pernikahan tanpa wali daripada Ali, ia memukul (pelakunya)”. [HR. Daruquthni]

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang wanita yang menikahkan dirinya sendiri atau seorang wanita yang dinikahkan wanita lain, tanpa ijin dari walinya; apakah pernikahannya itu sah atau tidak. Minimal, ada dua pendapat masyhur yang beredar dalam permasalahan ini :

1.    Madzhab Hanafiy.
Pernikahan tersebut sah. Seorang wali tidak berhak membatalkannya, kecuali jika laki-laki yang menikahi wanita tersebut tidak sekufu (maka si wali boleh membatalkannya). Dalil-dalil yang mereka pakai untuk membangun pendapat ini antara lain :

Dalil Al-Qur’an.

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ

“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain”[QS. Al-Baqarah : 230].

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ

“Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang makruf” [QS. Al-Baqarah : 232].

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” [QS. Al-Baqarah : 234].

Sisi pendalilannya :

Wanita adalah pelaku utama pernikahan, dan pernikahannya itu sah – berdasarkan ayat-ayat di atas – tanpa ada ijin dari wali.

Dalil dari As-Sunnah.

حدثنا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حدثنا سُفْيَانُ، عَنْ زِيَادِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ، سَمِعَ نَافِعَ بْنَ جُبَيْرٍ، يُخْبِرُ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ، وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا "

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Sa’d, dari ‘Abdullah bin Al-Fadhl, ia mendengar Naafi’ bin Jubair mengkhabarkan dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ats-tsayyibu (janda) lebih berhak kepada dirinya sendiri dibandingkan walinya. Adapun seorang gadis dimintai ijin, dan ijinnya itu adalah dengan diamnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1421].

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَيْسَ لِلْوَلِيِّ مَعَ الثَّيِّبِ أَمْرٌ، وَالْيَتِيمَةُ تُسْتَأْمَرُ، فَصَمْتُهَا إِقْرَارُهَا "

Telah menceritakan kami ‘Abdurrazzaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Shaalih bin Kaisaan, dari Naafi’ bin Jubair bin Muth’im, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Tidak ada hak/kuasa bagi seorang wali terhadap seorang janda. Adapun gadis yatim dimintai ijin, dan diamnya adalah tanda persetujuannya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/334; shahih].

Sisi pendalilannya :

Kedua hadits di atas menjelaskan bahwa Islam memberikan hak secara penuh kepada seorang janda untuk menikah dengan seorang laki-laki yang ia inginkan tanpa ada intervensi dari wali. Adapun bagi gadis (bukan janda), ia perlu dimintai persetujuannya. Disebutkan dalam hadits lain bahwa seorang wanita berhak menolak jika ia dinikahkan oleh walinya dengan seorang laki-laki yang tidak ia suka. Di antaranya hadits :

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad : Telah menceritakan kepada kami Jariir bin Haazim, dari Ayyuub, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasanya ada seorang gadis mendatangi Nabishallallaahu 'alaihi wa sallam dan menyebutkan ayahnya telah menikahkannya sementara ia tidak senang. Kemudian beliau memberikan pilihan (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya atau tidak)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2096; shahih].

Artinya, ijin dari wali bukanlah menjadi satu keharusan atau syarat sah bagi pernikahan tersebut, karena yang menjadi keharusan adalah keridlaan/kerelaan dari si wanita.

Selain itu, Hanafiyyah juga berhujjah dengan hadits :

حَدَّثَنَا يَزِيدُ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنِي ابْنُ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ أُمَّ سَلَمَةَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَوْلِيَائِي تَعْنِي شَاهِدًا، فَقَالَ: " إِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَوْلِيَائِكِ شَاهِدٌ وَلَا غَائِبٌ يَكْرَهُ ذَلِكَ "......

Telah menceritakan kepada kami Yaziid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Tsaabit Al-Bunaaniy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Ibnu ‘Umar bin Abi Salamah, dari ayahnya, dari Ummu Salamah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melamar Ummu Salamah. Maka Ummu Salamah berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya tidak ada seorang pun dari wali-waliku yang menyaksikannya”. Beliau bersabda : “Sesungguhnya tidak ada seorang pun dari wali-walimu yang menyaksikannya ataupun tidak menyaksikannya membenci hal itu…..” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 6/295; dla’iif].

Hadits ini menunjukkan bahwa keberadaan wali dalam pernikahan bukanlah satu hal yang wajib.
Akan tetapi, sebagaimana telah dituliskan statusnya, hadits tersebut lemah, tidak bisa digunakan sebagai hujjah.

Ada riwayat yang semisal dari sebagian shahabat :

وخطب المغيرة بن شعبة امرأة هو أولى الناس بها، فأمر رجلا فزوجه

“Al-Mughiirah bin Syu’bah melamar seorang wanita, dan ia sendiri adalah orang yang paling dekat (kekerabatannya) dengan wanita tersebut. Lalu ia memerintahkan seorang laki-laki untuk menikahkannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq; namun disambungkan oleh Wakii’ dalam Mushannaf-nya dan Al-Baihaqiy dengan sanad shahih – silakan baca pembahasannya dalam Irwaaul-Ghaliil 6/256-257 no. 1855].

Juga riwayat lain :

وَحَدَّثَنِي، عَنْ مَالِك، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَوَّجَتْ حَفْصَةَ بِنْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، الْمُنْذِرَ بْنَ الزُّبَيْرِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ غَائِبٌ بِالشَّامِ، فَلَمَّا قَدِمَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ، قَالَ: وَمِثْلِي يُصْنَعُ هَذَا بِهِ، وَمِثْلِي يُفْتَاتُ عَلَيْهِ، فَكَلَّمَتْ عَائِشَةُ، الْمُنْذِرَ بْنَ الزُّبَيْرِ، فَقَالَ الْمُنْذِرُ: فَإِنَّ ذَلِكَ بِيَدِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: " مَا كُنْتُ لِأَرُدَّ أَمْرًا قَضَيْتِيهِ "، فَقَرَّتْ حَفْصَةُ عِنْدَ الْمُنْذِرِ، وَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ طَلَاقًا

Dan telah menceritakan kepadaku, dari Maalik, dari ‘Abdurrahman bin Al-Qaasim, dari ayahnya : Bahwasannya ‘Aaisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallammenikahkan Hafshah bintu ‘Abdirrahmaan dengan Al-Mundzir bin Az-Zubair yang saat itu ‘Abdurrahmaan sedang berada di Syaam. Ketika ‘Abdurrahmaan tiba, ia berkata dengan kecewa : “Orang sepertiku memang pantas diperlakukan seperti ini, dan tidak pantas dimintai pertimbangan”. Lalu ‘Aaisyah berbicara kepada Al-Mundzir bin Zubair, lalu Al-Mundzir berkata : “Itu terserah ‘Abdurrahmaan”. ‘Abdurrahmaan berkata : “Aku tidak akan menolak sesuatu yang telah engkau putuskan”. Maka Hafshah pun tetap menjadi istri Al-Mundzir, dan perkataannya tidak dianggap sebagai thalaq” [Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ no. 1280; shahih].

Riwayat di atas secara jelas menunjukkan bahwa ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa telah menikahkan Hafshah dengan Al-Mundzir (tanpa keberadaan wali bagi Hafshah).

2.    Madzhab Jumhur Ulama (Maalikiyyah, Syaafi’iyyah, dan Hanabilah).
Kontras dengan pendapat Hanafiyyah, jumhur ulama menganggap pernikahan tersebut tidak sah. Dalil-dalil yang mereka pakai untuk membangun pendapat ini antara lain :

Dalil Al-Qur’an.

وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”[QS. An-Nuur : 32].

وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا

“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman” [QS. Al-Baqarah : 221].

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ

“Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang makruf” [QS. Al-Baqarah : 232].

Sisi pendalilannya :

Khithab dua ayat pertama ditujukan kepada wali, yaitu : masalah pernikahan diserahkan kepada mereka, bukan kepada si wanita.

Adapun ayat ketiga, Allah ta’ala telah melarang para wali untuk menghalangi pernikahan seorang wanita dengan calon suaminya. Tidaklah larangan Allah ini disebutkan kecuali pada pihak yang memang mempunyai hak untuk melarang (atau memperperbolehkan) pernikahan seorang wanita. Oleh karena itu, aqad pernikahan menjadi wewenang seorang wali, bukan si wanita. Makna ini ditunjukkan oleh sababun-nuzuul ayat :

وحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ، " أَنَّ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ كَانَتْ أُخْتُهُ تَحْتَ رَجُلٍ، فَطَلَّقَهَا، ثُمَّ خَلَّى عَنْهَا حَتَّى انْقَضَتْ عِدَّتُهَا، ثُمَّ خَطَبَهَا، فَحَمِيَ مَعْقِلٌ مِنْ ذَلِكَ أَنَفًا، فَقَالَ: خَلَّى عَنْهَا وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهَا، ثُمَّ يَخْطُبُهَا، فَحَالَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ، فَدَعَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْهِ، فَتَرَكَ الْحَمِيَّةَ وَاسْتَقَادَ لِأَمْرِ اللَّهِ "

Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan : Bahwasannya Ma’qil bin Yasaar mempunyai saudara wanita yang menjadi istri seorang laki-laki, yang kemudian ia menceraikannya. Lalu laki-laki tersebut meninggalkannya hingga habis masa ‘iddah-nya, lalu ia berniat melamarnya lagi. Ma’qil pun marah akan hal tersebut dan berkata : “Ia telah meninggalkannya padahal ia mampu untuk merujuknya (sebelum masa ‘iddah-nya habis). Lalu ia ingin melamarnya kembali”. Maka, ia pun menghalangi antara laki-laki itu dengan saudara wanita untuk rujuk kembali. Allah pun lalu menurunkan ayat :“Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka…..” hingga akhir ayat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya (Ma’qil) dan membacakan ayat itu kepadanya. Ma’qil pun akhirnya meninggalkan keangkuhannya dan menerima ketentuan Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5331].

Dalil As-Sunnah.

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ، أَخْبَرَنَا شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِي إِسْحَاق. وحَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاق. ح وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، عَنْ إِسْرَائِيلَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاق. ح وحَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي زِيَادٍ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ حُبَابٍ، عَنْ يُونُسَ بْنِ أَبِي إِسْحَاق، عَنْ أَبِي إِسْحَاق، عَنْ أَبِي بُرْدَةَ، عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ "

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Hujr : Telah mengkhabarkan kepada kami Syariik bin ‘Abdillah, dari Abu Ishaaq. Dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Abu Ishaaq. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy, dari Israaiil, dari Abu Ishaaq. Dan telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Abi Ziyaad : Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubbaab, dari Yuunus bin Abi Ishaaq, dari Abu Ishaaq, dari Abu Burdah, dari Abu Muusaa, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam : “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1101; shahih].

Sebagian ulama yang mendukung pendapat pertama melemahkan hadits ini dengan alasan Abu Ishaaq As-Sabii’iy, meskipun tsiqah, namun hapalannya berubah pada akhir hayatnya. Namun, alasan ini tidak tepat untuk mendla’ifkan hadits ini.

أَخْبَرَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ الْمَحْبُوبِيُّ بِمَرْوَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مُعَاذٍ. وَأَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ حَمْدَانَ الْجَلابُ بِهَمْدَانَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ الْجَهْمِ السَّمُرِيُّ، قَالا: ثنا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ، ثنا ابْنُ جُرَيْجٍ، قَالَ: سَمِعْتُ سُلَيْمَانَ بْنَ مُوسَى، يَقُولُ: ثنا الزُّهْرِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ عُرْوَةَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، تَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: " أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَهَا، وَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لا وَلِيَّ لَهُ "

Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ahmad Al-Mahbuubiy di negeri marwi : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mu’aadz. Dan telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Hamdaan Al-Jalaab di negeri Hamdaan : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Jahm As-Samuriy; mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim Adl-Dlahhaak bin Makhlad : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, ia berkata : Aku mendengar Sulaimaan bin Muusaa berkata : Telah menceritakan kepada kami Az-Zuhriy, ia berkata : Aku mendengar ‘Urwah berkata : “Aku mendengar ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa berkata : Aku mendengar Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallambersabda : “Wanita mana saja yang menikah tanpa ijin dari walinya, maka pernikahannya itu baathil, pernikahannya itu baathil, pernikahannya itu baathil. Akan tetapi jika ia telah digauli, baginya mahar sebagai ganti apa yang telah dihalalkan atas kemaluannya. Namun jika mereka berselisih, maka sulthaan adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim 2/169, dan ia berkata : “Hadits ini shahih sesuai dengan persyaratan Syaikhaan, namun mereka berdua tidak meriwayatkannya”].

نَا دَعْلَجُ بْنُ أَحْمَدَ، نَا مُوسَى بْنُ هَارُونَ، وَأَحْمَدُ بْنُ أَبِي عَوْفٍ، قَالا: نَا مُسْلِمُ بْنُ أَبِي مُسْلِمٍ الْجَرْمِيُّ، نَا مَخْلَدُ بْنُ الْحُسَيْنِ، عَنْ هِشَامٍ، عَنِ ابْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لا تُنْكِحُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلا تُنْكِحُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، إِنَّ الَّتِي تُنْكِحُ نَفْسَهَا هِيَ الْبَغِيُّ "، قَالَ ابْنُ سِيرِينَ: وَرُبَّمَا قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: " هِيَ الزَّانِيَةُ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Dal’aj bin Ahmad : Telah mengkhabarkan kepada kami Muusaa bin Haaruun dan Ahmad bin Abi ‘Auf, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muslim bin Abi Muslim Al-Jarmiy : telah mengkhabarkan kepada kami Makhlad bin Al-Husain, dari Hisyaam, dari Ibnu Siiriin, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah seorang wanita menikahkan wanita yang lainnya. Dan jangan pula seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. Sesungguhnya seorang wanita yang menikahkah dirinya sendiri, maka ia adalah pelacur”. Ibnu Siiriin berkata : “Kadang Abu Hurairah berkata : “Ia adalah wanita pezina” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruqthniy no. 3540; shahih].

Dalam riwayat lain terdapat lafadh :

قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: كُنَّا نَقُولُ: الَّتِي تَنْكِحُ نَفْسَهَا هِيَ الزَّانِيَةُ

“Abu Hurairah berkata : ‘Kami dulu berkata : ‘Wanita yang menikahkan dirinya sendiri adalah wanita pezina” [Diriwayatkan oleh Ath-Thuusiy dalam Mukhtashar Al-Ahkaam Al-Mustakhraj ‘alaa Jaami’ At-Tirmidziy, no. 996; shahih].

Perkataan Abu Hurairah ini mengandung pengertian bahwa itulah pemahaman yang berlaku di kalangan para shahabat. Di antaranya adalah ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu :

نَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِيُّ، نَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى، نَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ الأَشَجِّ، أَنَّهُ سَمِعَ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، يَقُولُ: عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، قَالَ: " لا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ إِلا بِإِذْنِ وَلِيِّهَا، أَوْ ذِي الرَّأْيِ مِنْ أَهْلِهَا، أَوِ السُّلْطَانِ "

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr An-Naisaabuuriy : Telah mengkhabarkan kepada kami Yuunus bin ‘Abdil-A’laa : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Amru bin Al-Haarits, dari Bukair bin Al-Asyaj, bahwasannya ia mendengar Sa’iid bin Al-Musayyib berkata : Dari ‘Umar bin Al-Khaththaab, ia berkata : “Janganlah seorang wanita dinikahi kecuali dengan ijin dari walinya atau keluarganya yang telah dewasa atau sulthaan” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy no. 3542; shahih].

Juga ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu :

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ وَهُوَ الأَصَمُّ، أَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ، أَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ سُوَيْدٍ يَعْنِي ابْنَ مُقْرِنٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: " أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، لَا نِكَاحَ إِلا بِإِذْنِ وَلِيٍّ "

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbaas, ia adalah Al-Asham : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin ‘Abdil-Hamiid : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Usaamah, dari Sufyaan, dari Salamah bin Kuhail, dari Mu’aawiyyah bin Suwaid, yaitu Ibnu Muqrin, dari ayahnya, dari ‘Aliy, ia berkata : “Wanita mana saja yang dinikahkan tanpa ijin dari walinya, maka pernikahannya itu baathil. Tidak sah pernikahan kecuali dengan ijin seorang wali” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam ‎Ash-Shughraa no. 2480, dan ia berkata : “Sanad riwayat ini shahih. Dan padanya terdapat keterangan yang menunjukkan kelemahan apa yang diriwayatkan dari ‘Aliy yang bertentangan dengan hal tersebut”].

Riwayat-riwayat di atas secara jelas menetapkan kewajiban keberadaan (ijin) wali dalam pernikahan, dan jika tidak terpenuhi, maka pernikahan tersebut tidak sah.

Dengan melihat dalil-dalil yang ada, nampak yang kuat dalam permasalahan ini adalah pendapat jumhur ulama yang menetapkan kewajiban wali sebagai syarat sahnya pernikahan. Jika pernikahan tanpa ijin wali, maka pernikahannya itu baathil alias tidak sah. Keharaman pernikahan tanpa ijin wali sangat kuat karena disamakan dengan perzinahan.

Adapun jawaban atas pendalilan madzhab Hanafiy adalah sebagai berikut :

1.    Tidak ada penunjukkan dalam QS. Al-Baqarah : 230 atas kebolehan pernikahan tanpa wali, karena ayat tersebut menggunakan lafadh تَنْكِحَ , yang artinya tidak sekedar ‘aqad saja, namun jima’. Ini yang ditunjukkan oleh riwayat:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَاللَّفْظُ لِعَمْرٍو قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كُنْتُ عِنْدَ رِفَاعَةَ فَطَلَّقَنِي فَبَتَّ طَلَاقِي فَتَزَوَّجْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ وَإِنَّ مَا مَعَهُ مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ..........

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Amru An-Naaqid dengan lafadh dari ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah, ia berkata : Suatu ketika istri Rifaa'ah menemui Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata : “Aku adalah istri Rifaa'ah, kemudian ia menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan ‘Abdurrahman bin Az-Zubair, akan tetapi sesuatu yang ada padanya sepertihudbatuts-tsaub (ujung kain)”.  Rasulullahshallallaahu 'alaihi wa sallam tersenyum mendengarnya, lantas beliau bersabda : "Apakah kamu ingin kembali kepada Rifaa'ah ? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu….” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1433].
yaitu dengan jima’ (hubungan badan).

2.    Pada QS. Al-Baqarah : 232, juga tidak terdapat petunjuk tentang kebolehan pernikahan tanpa wali. Larangan menghalangi seorang wanita untuk rujuk menikah kembali dengan suaminya yang lama justru menunjukkan eksistensi pihak yang punya wewenang untuk menikahkan – sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dalam pendapat jumhur.

Seandainya akad nikah itu sah dengan sendirinya tanpa perlu menengok ijin walinya, buat apa larangan ditujukan kepada wali agar ia jangan menghalang-halangi pernikahan kembali si wanita dengan suami lamanya ?.

3.    Maksud dari QS. Al-Baqarah : 234 adalah tidak ada dosa bagi para wali untuk membiarkan mereka (para wanita) berhias dengan cara yang ma’ruf, bukan dengan cara yang munkar, setelah ia melakukan ihdad (tidak berhias/berkabung) karena kematian suaminya; barangkali ada seseorang yang hendak melamarnya. Oleh karena itu, ayat selanjutnya Allah ta’ala berfirman :

وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلا أَنْ تَقُولُوا قَوْلا مَعْرُوفًا وَلا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” [QS. Al-Baqarah : 235].

4.    Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim no. 1421 dan Ahmad 1/334 maksudnya adalah bahwa seorang janda memiliki hak penuh untuk menolak atau menerima lamaran dari seorang laki-laki, dimana wali tidak mempunyai hak apapun dalam hal tersebut. Beda halnya dengan seorang gadis dimana ia belum pernah menikah yang sudah barang tentu akan malu mengungkapkannya. Oleh karena itu, ijinnya (apakah ia mau atau tidak dinikahkan dengan seorang laki-laki) dengan diamnya.
Adapun kelangsungan dari pernikahan itu sendiri, baik gadis ataupun janda, tetap harus seijin walinya.

5.    Hadits yang diriwayatkan Ahmad, 6/295 adalah dla’iif, sehingga tidak perlu diperpanjang pembahasannya.

6.    Riwayat Al-Mughiirah bin Syu’bah, maka ini adalah kasus ketika seorang laki-laki yang hendak menikahinya itu adalah termasuk walinya. Oleh karena itu, Al-Bukhaariymeletakkan riwayat itu dalam bab إِذَا كَانَ الْوَلِيُّ هُوَ الْخَاطِبَ “Apabila si wali itu adalah orang yang melamar”.

Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :

وليُّ المرأة التي يحل له نكاحها - وهو ابن العم ، أو المولى ، أو الحاكم ، أو السلطان - إذا أذِنت له أن يتزوجها : فله ذلك

“Wali wanita yang diperbolehkan untuk menikahi wanita tersebut antara lain : anak paman dari pihak ayah, maulaa, hakim, atau sulthaan. Apabila wanita tersebut mengijinkan laki-laki tersebut untuk menikahinya, maka ia boleh menikahinya” [Al-Mughniy]

7.    Atsar yang diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ no. 1280 dari ‘Aaisyah, maka makna kalimat زَوَّجَتْ حَفْصَةَ بِنْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، الْمُنْذِرَ بْنَ الزُّبَيْرِ bukan pada dhahirnya, akan tetapi sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah :

أن عائشة زوجت حفصة بنت عبد الرحمن أخيها من المنذر بن الزبير ليس على ظاهره ولم يرد بقوله زوجت حفصة - والله أعلم - إلا الخطبة والكناية في الصداق والرضا ونحو ذلك دون العقد بدليل الحديث المأثور عنها أنها كانت إذا حكمت أمر الخطبة والصداق والرضا قالت أنكحوا واعقدوا فإن النساء لا يعقدن

“Bahwasannya ‘Aaisyah ‘menikahkan’ Hafshah anak perempuan ‘Abdirrahmaan, saudaranya, dengan Al-Mundzir bin Az-Zubair; (dipahami) bukan sebagaimana dhahirnya. Perkataan bahwa ‘Aaisyah ‘menikahkan’ Hafshah tidaklah dipalingkan – wallaahu a’lam – kecuali pada makna ‎khithbah (melamar) dan kinaayah terhadap ‎shadaaq (mahar), keridlaan, dan yang semisalnya selain dari ‘aqad pernikahan dengan dalil hadits ma’tsuur yang diriwayatkan darinya (‘Aaisyah) : Bahwasannya apabila ia (‘Aaisyah) menetapkan perkara khithbah, mahar, dan keridlaan berkata : ‘Nikahkanlah dan buatlah akad pernikahan, karena para wanita tidak melakukan ‘aqad pernikahan” [Al-Istidzkaar, 6/32 – Al-Maktabah Asy-Syaamilah].

Ini lebih sesuai, karena ‘Aaisyah sendiri meriwayatkan hadits secara marfu’ tentang baathil-nya pernikahan wanita tanpa disertai wali, sebagaimana telah lalu.

Menurut kalangan Syafi'iyyah dan Malikiyyahpernikahan tanpa seorang wali tidak terjadi....

الفقه على المذاهب الأربعة ج 4 ص 46
قد عرفت مما ذكرناه أن الشافعية والمالكية اصطلحوا على عد الولي ركنا من أركان النكاح لا يتحقق عقد النكاح بدونه واصطلح الحنابلة و الحنفية على عده شرطا لا ركنا وقصروا الركن على الإيجاب والقبول إلا أن الحنفية قالوا : أنه شرط لصحة زواج الصغير والصغيرة والمجنون والمجنونة ولو كبارا أما البالغة العاقلة سواء كانت بكرا أو ثيبا فليس لأحد عليها ولاية النكاح بل لها أن تباشر عقد زواجها ممن تحب بشرط أن يكون كفأ وإلا كان للولي حق الاعتراض وفسخ العقد

Telah engkau ketahui dari penjelasan kami bahwa kalangan Syafi’iyyah dan Malikiyyah mengartikan keberadaan seorang wali dalam pernikahan merupakan bagian dari rukun-rukun nikah dalam arti tidak akan terjadi pernikahan tanpa seorang wali, sedangkan kalangan Hanabilah dan Hanafiyyahmengartikan keberadaan seorang wali dalam pernikahan menjadi syarat dalam pernikahansedang rukun nikah hanya sebatas ‘ijab dan qabul’, kalangan Hanafiyyah menilai wali menjadi syarat sahnya pernikahan seorang bocah laki-laki ataupun perempuan dan orang gila laki-laki ataupun perempuan meskipun ia telah dewasa.
Sedang untuk wanita dewasa yang normal akalnya baik masih gadis ataupun janda maka tidak ada seorangpun berhak menjadi perwalian atas nikahnya, dia bisa menjalani pernikahan dengan lelaki yang ia cintai bila memang sepadan dengannya bila tidak seorang wali berhak menentang dan menfasakh (merusak) pernikahannya.
Al-Fiqh alaa Madzaahib al-Arba’ah IV/46

التقليد والاجتهاد ص 22-23
ومنها ما نسب الى داود الظاهرى من جواز النكاح بلا ولي ولا شهود فلا يعتبر بما ذكره بعضهم فى جواز تقليده وممن يصح بحرمة تقليده فى هذا القول العلامة الشبراملسى فى حواشى النهاية .

Diantara keputusan seorang hakim yang tidak diperbolehkan untuk dijalankan adalah pernikahan dengan mengikuti madzhab Abu Daud adz-Dhohiri yang memperkenankan pernikahan tanpa wali dan saksi, maka tidak boleh mengikuti pendapat yang memandang kelegalan pernikahan semacam ini, diantara ulama yang mengabsahkan keharaman mengikuti pernikahan mengikuti pendapat ini al-Alim al-‘Allamah as-Syibramalisy dalam kitab Hawaasyi an-Nihaayah
At-Taqliid wal Ijtihaad hal 22-23

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...