Jumat, 22 Oktober 2021

Tidak Sah Nikah Tanpa Wali


Islam telah menetapkan hukum-hukum yang harus dipatuhi oleh para pemeluknya. Baik itu berupa larangan yang harus dijauhi maupun perintah yang harus dilaksanakan. Keseluruhan hukum-hukum tersebut tak lain bersumber dari dua teks utama, yakni al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Islam mengakui bahwa manusia memiliki hasrat yang besar untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya (seks). Untuk itu, hukum Islam mengatur penyaluran kebutuhan biologis tersebut melalui satu-satunya cara yang dilegalkan oleh al-Qur’an dan Hadith, yakni pernikahan.

Ketentuan tentang pernikahan banyak dimuat dalam al-Qur’an dan hadith, namun aturan teknis bagaimana suatu perkawinan yang sah hanya dijelaskan oleh hadith. Pernikahan dianggap sah bila memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan. Beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam nikah diantaranya ialah adanya pria dan wanita sebagai mempelai, wali, mahar, saksi dan akad (ijab qabul). Dalam realitasnya, tidak semua pernikahan dilaksanakan sesuai dengan tata aturan yang telah digariskan. Entah dengan alasan apa, seringkali dijumpai pernikahan yang dilaksanakan tanpa kehadiran wali dan ataupun saksi.

Untuk itu,penulis mencoba untuk menelaah hukum pernikahan yang dilaksanakan dengan tanpa kehadiran wali dan atau saksi berdasarkan teks-teks hadith yang mengatur teknis pelaksanaan pernikahan.

Shâhih Bukhorǐ

حدّثنا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ ح و حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَنْبَسَةُ حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ النِّكَاحَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَنْحَاءٍ فَنِكَاحٌ مِنْهَا نِكَاحُ النَّاسِ الْيَوْمَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ وَلِيَّتَهُ أَوْ ابْنَتَهُ فَيُصْدِقُهَا ثُمَّ يَنْكِحُهَا وَنِكَاحٌ آخَرُ كَانَ الرَّجُلُ يَقُولُ لِامْرَأَتِهِ إِذَا طَهُرَتْ مِنْ طَمْثِهَا أَرْسِلِي إِلَى فُلَانٍ فَاسْتَبْضِعِي مِنْهُ وَيَعْتَزِلُهَا زَوْجُهَا وَلَا يَمَسُّهَا أَبَدًا حَتَّى يَتَبَيَّنَ حَمْلُهَا مِنْ ذَلِكَ الرَّجُلِ الَّذِي تَسْتَبْضِعُ مِنْهُ فَإِذَا تَبَيَّنَ حَمْلُهَا أَصَابَهَا زَوْجُهَا إِذَا أَحَبَّ وَإِنَّمَا يَفْعَلُ ذَلِكَ رَغْبَةً فِي نَجَابَةِ الْوَلَدِ فَكَانَ هَذَا النِّكَاحُ نِكَاحَ الِاسْتِبْضَاعِ وَنِكَاحٌ آخَرُ يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ مَا دُونَ الْعَشَرَةِ فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ كُلُّهُمْ يُصِيبُهَا فَإِذَا حَمَلَتْ وَوَضَعَتْ وَمَرَّ عَلَيْهَا لَيَالٍ بَعْدَ أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا أَرْسَلَتْ إِلَيْهِمْ فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ أَنْ يَمْتَنِعَ حَتَّى يَجْتَمِعُوا عِنْدَهَا تَقُولُ لَهُمْ قَدْ عَرَفْتُمْ الَّذِي كَانَ مِنْ أَمْرِكُمْ وَقَدْ وَلَدْتُ فَهُوَ ابْنُكَ يَا فُلَانُ تُسَمِّي مَنْ أَحَبَّتْ بِاسْمِهِ فَيَلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَمْتَنِعَ بِهِ الرَّجُلُ وَنِكَاحُ الرَّابِعِ يَجْتَمِعُ النَّاسُ الْكَثِيرُ فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ لَا تَمْتَنِعُ مِمَّنْ جَاءَهَا وَهُنَّ الْبَغَايَا كُنَّ يَنْصِبْنَ عَلَى أَبْوَابِهِنَّ رَايَاتٍ تَكُونُ عَلَمًا فَمَنْ أَرَادَهُنَّ دَخَلَ عَلَيْهِنَّ فَإِذَا حَمَلَتْ إِحْدَاهُنَّ وَوَضَعَتْ حَمْلَهَا جُمِعُوا لَهَا وَدَعَوْا لَهُمْ الْقَافَةَ ثُمَّ أَلْحَقُوا وَلَدَهَا بِالَّذِي يَرَوْنَ فَالْتَاطَ بِهِ وَدُعِيَ ابْنَهُ لَا يَمْتَنِعُ مِنْ ذَلِكَ فَلَمَّا بُعِثَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ هَدَمَ نِكَاحَ الْجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ إِلَّا نِكَاحَ النَّاسِ الْيَوْمَ

`Telah berkata Yahya bin Sulaiman Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dari Yunus -dalam riwayat lain- Dan Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih Telah menceritakan kepada kami Anbasah Telah menceritakan kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Aisyah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah mengabarkan kepadanya bahwa; Sesungguhnya pada masa Jahiliyah ada empat macam bentuk pernikahan. Pertama, adalah pernikahan sebagaimana dilakukan orang-orang pada saat sekarang ini, yaitu seorang laki-laki meminang kepada wali sang wanita, kemudian memberikannya mahar lalu menikahinya. Bentuk kedua yaitu; Seorang suami berkata kepada isterinya pada saat suci (tidak haidl/subur), "Temuilah si Fulan dan bergaullah (bersetubuh) dengannya." Sementara sang suami menjauhinya sementara waktu (tidak menjima'nya) hingga benar-benar ia positif hamil dari hasil persetubuhannya dengan laki-laki itu. Dan jika dinyatakan telah positif hamil, barulah sang suami tadi menggauli isterinya bila ia suka. Ia melakukan hal itu, hanya untuk mendapatkan keturuan yang baik. Istilah nikah ini adalah Nikah Al Istibdlaa'. Kemudian bentuk ketiga; Sekelompok orang (kurang dari sepuluh) menggauli seorang wanita. Dan jika ternyata wanita itu hamil dan melahirkan. Maka setelah masa bersalinnya telah berlalu beberapa hari, wanita itu pun mengirimkan surat kepada sekelompok laki-laki tadi, dan tidak seorang pun yang boleh menolak. Hingga mereka pun berkumpul di tempat sang wanita itu. Lalu wanita itu pun berkata, "Kalian telah tahu apa urusan kalian yang dulu. Dan aku telah melahirnya, maka anak itu adalah anakmu wania Fulan." Yakni, wanita itu memilih nama salah seorang dari mereka yang ia sukai, dan laki-laki yang ditunjuk tidak dapat mengelak. Kemudian bentuk keempat; Orang banyak berkumpul, lalu menggauli seorang wanita, dan tak seorang pun yang dapat menolak bagi yang orang yang telah menggauli sang wanita. Para wanita itu adalah wanita pelacur. Mereka menancapkan tanda pada pintu-pintu rumah mereka sebagai tanda, siapa yang ingin mereka maka ia boleh masuk dan bergaul dengan mereka. Dan ketika salah seorang dari mereka hamil, lalu melahirkan, maka mereka (orang banyak itu) pun dikumpulkan, lalu dipanggilkanlah orang yang ahli seluk beluk nasab (Alqafah), dan Al Qafah inilah yang menyerahkan anak sang wanita itu kepada orang yang dianggapnya sebagai bapaknya, sehingga anak itu dipanggil sebagai anak darinya. Dan orang itu tidak bisa mengelak. Maka ketika Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam diutus dengan membawa kebenaran, beliau pun memusnahkan segala bentuk pernikahan jahiliyah, kecuali pernikahan yang dilakoni oleh orang-orang hari ini (Shahih Bukhorǐ; no. hadits 4372).

Hadith yang memuat keterangan tentang pernikahan tanpa wali dan atau saksi dapat dijumpai dalam beberapa kitab, diantaranya kitab Sunan Kubra li al-Baihaqi, Mu’jam al-Kabir li al-Tabrani, Mu’jam al-Ausat} li al-Tabrani, Musnad al-Shafi’i, Sunan al-Daruqutni dan Shahih Ibnu Hibban.

Tidak ada nikah tanpa wali

عَنْ اَبِى مُوْسَى رض عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ. الخمسة الا النسائى

Dari Abu Musa RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Tidak ada nikah melainkan dengan (adanya) wali”. [HR. Khamsah kecuali Nasai]

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوْسَى عَنِ الزُّهْرِيِ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ. فَاِنْ دَخَلَ بِهَا، فَلَهَا اْلمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَاِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ. الخمسة الا السائى

Dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri dari Urwah dari ‘Aisyah, sesungguhnya Nabi SAW ‎bersabda, “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya maka nikahnya batal,maka nikahnya batal, maka nikahnya batal.Kemudian jika (suaminya) telah mencampurinya, maka bagi wanita itu berhak memperoleh mahar sebab apa yang telah iaanggap halal dari mencampurinya. Kemudian jika mereka (wali-walinya) berselisih, maka penguasa (hakimlah) yang menjadi walinya”.[HR. Khamsah kecuali Nasai].

عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ وَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ وَلِيٍّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، بَاطِلٌ باَطِلٌ. فَاِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلِيٌّ فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا. ابو داود الطيالسى

Dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi SAW ‎bersabda, “Tidak ada nikah melainkan dengan (adanya) wali, dan siapasaja wanita yang nikah tanpa wali maka nikahnya batal,batal, batal. Jika dia tidak punya wali, maka penguasa (hakimlah) walinya wanita yang ‎tidak punya wali”. [HR. Abu Dawud Ath-Thayalisi]

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ تُزَوِّجِ اْلمَرْأَةُ اْلمَرْأَةَ، وَ لاَ تُزَوِّجِ اْلمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَاِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِى تُزَوِّجُ نَفْسَهَا. ابن ماجه و الدارقطنى

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah wanita menikahkan wanita dan janganlah wanita menikahkan dirinya sendiri, karena wanita pezina itu ialah yang menikahkan dirinya sendiri”. [HR. Ibnu Majah dan Daruquthni]

عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ خَالِدٍ قَالَ: جَمَعَتِ الطَّرِيْقُ رَكْبًا فَجَعَلَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ ثَيِّبٌ اَمْرَهَا بِيَدِ رَجُلٍ غَيْرَ وَلِيٍّ فَاَنْكَحَهَا فَبَلَغَ ذلِكَ عُمَرَ. فَجَلَدَ النَّاكِحَ وَ اْلمُنْكِحَ وَ رَدَّ نِكَاحَهَا. الشافعى و الدارقطنى

Dari Ikrimah bin Khalid, ia berkata, “Pernah terjadi di jalan penuh kendaraan. Adaseorang janda diantara mereka menyerahkan urusan dirinya kepada seorang laki-laki yang ‎bukan walinya, lalu laki-laki itu menikahkannya. Kemudian sampailah hal itu kepada Umar, lalu Umar menjilid (mendera) ‎orang yang menikah dan yang ‎menikahkannya serta membatalkan pernikahannya”. [HR. Syafi’i dan Daruquthni]

عَنِ الشَّعْبِ قَالَ: مَا كَانَ اَحَدٌ مِنْ اَصْحَابِ النَّبِيِّ ص اَشَدُّ فِى النِّكَاحِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ مِنْ عَلِيٍّ، كَانَ يَضْرِبُ فِيْهِ. الدارقطنى

Dari Asy-Sya’bi ia berkata, “Tidak ada seorang pun diantara shahabat Nabi SAW yang paling keras (tindakannya) terhadap pernikahan tanpa wali daripada Ali, ia memukul (pelakunya)”. [HR. Daruquthni]

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang wanita yang menikahkan dirinya sendiri atau seorang wanita yang dinikahkan wanita lain, tanpa ijin dari walinya; apakah pernikahannya itu sah atau tidak. Minimal, ada dua pendapat masyhur yang beredar dalam permasalahan ini :

1.    Madzhab Hanafiy.
Pernikahan tersebut sah. Seorang wali tidak berhak membatalkannya, kecuali jika laki-laki yang menikahi wanita tersebut tidak sekufu (maka si wali boleh membatalkannya). Dalil-dalil yang mereka pakai untuk membangun pendapat ini antara lain :

Dalil Al-Qur’an.

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ

“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain”[QS. Al-Baqarah : 230].

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ

“Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang makruf” [QS. Al-Baqarah : 232].

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” [QS. Al-Baqarah : 234].

Sisi pendalilannya :

Wanita adalah pelaku utama pernikahan, dan pernikahannya itu sah – berdasarkan ayat-ayat di atas – tanpa ada ijin dari wali.

Dalil dari As-Sunnah.

حدثنا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حدثنا سُفْيَانُ، عَنْ زِيَادِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ، سَمِعَ نَافِعَ بْنَ جُبَيْرٍ، يُخْبِرُ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ، وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا "

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Sa’d, dari ‘Abdullah bin Al-Fadhl, ia mendengar Naafi’ bin Jubair mengkhabarkan dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ats-tsayyibu (janda) lebih berhak kepada dirinya sendiri dibandingkan walinya. Adapun seorang gadis dimintai ijin, dan ijinnya itu adalah dengan diamnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1421].

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَيْسَ لِلْوَلِيِّ مَعَ الثَّيِّبِ أَمْرٌ، وَالْيَتِيمَةُ تُسْتَأْمَرُ، فَصَمْتُهَا إِقْرَارُهَا "

Telah menceritakan kami ‘Abdurrazzaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Shaalih bin Kaisaan, dari Naafi’ bin Jubair bin Muth’im, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Tidak ada hak/kuasa bagi seorang wali terhadap seorang janda. Adapun gadis yatim dimintai ijin, dan diamnya adalah tanda persetujuannya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/334; shahih].

Sisi pendalilannya :

Kedua hadits di atas menjelaskan bahwa Islam memberikan hak secara penuh kepada seorang janda untuk menikah dengan seorang laki-laki yang ia inginkan tanpa ada intervensi dari wali. Adapun bagi gadis (bukan janda), ia perlu dimintai persetujuannya. Disebutkan dalam hadits lain bahwa seorang wanita berhak menolak jika ia dinikahkan oleh walinya dengan seorang laki-laki yang tidak ia suka. Di antaranya hadits :

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad : Telah menceritakan kepada kami Jariir bin Haazim, dari Ayyuub, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasanya ada seorang gadis mendatangi Nabishallallaahu 'alaihi wa sallam dan menyebutkan ayahnya telah menikahkannya sementara ia tidak senang. Kemudian beliau memberikan pilihan (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya atau tidak)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2096; shahih].

Artinya, ijin dari wali bukanlah menjadi satu keharusan atau syarat sah bagi pernikahan tersebut, karena yang menjadi keharusan adalah keridlaan/kerelaan dari si wanita.

Selain itu, Hanafiyyah juga berhujjah dengan hadits :

حَدَّثَنَا يَزِيدُ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنِي ابْنُ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ أُمَّ سَلَمَةَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَوْلِيَائِي تَعْنِي شَاهِدًا، فَقَالَ: " إِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَوْلِيَائِكِ شَاهِدٌ وَلَا غَائِبٌ يَكْرَهُ ذَلِكَ "......

Telah menceritakan kepada kami Yaziid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Tsaabit Al-Bunaaniy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Ibnu ‘Umar bin Abi Salamah, dari ayahnya, dari Ummu Salamah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melamar Ummu Salamah. Maka Ummu Salamah berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya tidak ada seorang pun dari wali-waliku yang menyaksikannya”. Beliau bersabda : “Sesungguhnya tidak ada seorang pun dari wali-walimu yang menyaksikannya ataupun tidak menyaksikannya membenci hal itu…..” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 6/295; dla’iif].

Hadits ini menunjukkan bahwa keberadaan wali dalam pernikahan bukanlah satu hal yang wajib.
Akan tetapi, sebagaimana telah dituliskan statusnya, hadits tersebut lemah, tidak bisa digunakan sebagai hujjah.

Ada riwayat yang semisal dari sebagian shahabat :

وخطب المغيرة بن شعبة امرأة هو أولى الناس بها، فأمر رجلا فزوجه

“Al-Mughiirah bin Syu’bah melamar seorang wanita, dan ia sendiri adalah orang yang paling dekat (kekerabatannya) dengan wanita tersebut. Lalu ia memerintahkan seorang laki-laki untuk menikahkannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq; namun disambungkan oleh Wakii’ dalam Mushannaf-nya dan Al-Baihaqiy dengan sanad shahih – silakan baca pembahasannya dalam Irwaaul-Ghaliil 6/256-257 no. 1855].

Juga riwayat lain :

وَحَدَّثَنِي، عَنْ مَالِك، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَوَّجَتْ حَفْصَةَ بِنْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، الْمُنْذِرَ بْنَ الزُّبَيْرِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ غَائِبٌ بِالشَّامِ، فَلَمَّا قَدِمَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ، قَالَ: وَمِثْلِي يُصْنَعُ هَذَا بِهِ، وَمِثْلِي يُفْتَاتُ عَلَيْهِ، فَكَلَّمَتْ عَائِشَةُ، الْمُنْذِرَ بْنَ الزُّبَيْرِ، فَقَالَ الْمُنْذِرُ: فَإِنَّ ذَلِكَ بِيَدِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: " مَا كُنْتُ لِأَرُدَّ أَمْرًا قَضَيْتِيهِ "، فَقَرَّتْ حَفْصَةُ عِنْدَ الْمُنْذِرِ، وَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ طَلَاقًا

Dan telah menceritakan kepadaku, dari Maalik, dari ‘Abdurrahman bin Al-Qaasim, dari ayahnya : Bahwasannya ‘Aaisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallammenikahkan Hafshah bintu ‘Abdirrahmaan dengan Al-Mundzir bin Az-Zubair yang saat itu ‘Abdurrahmaan sedang berada di Syaam. Ketika ‘Abdurrahmaan tiba, ia berkata dengan kecewa : “Orang sepertiku memang pantas diperlakukan seperti ini, dan tidak pantas dimintai pertimbangan”. Lalu ‘Aaisyah berbicara kepada Al-Mundzir bin Zubair, lalu Al-Mundzir berkata : “Itu terserah ‘Abdurrahmaan”. ‘Abdurrahmaan berkata : “Aku tidak akan menolak sesuatu yang telah engkau putuskan”. Maka Hafshah pun tetap menjadi istri Al-Mundzir, dan perkataannya tidak dianggap sebagai thalaq” [Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ no. 1280; shahih].

Riwayat di atas secara jelas menunjukkan bahwa ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa telah menikahkan Hafshah dengan Al-Mundzir (tanpa keberadaan wali bagi Hafshah).

2.    Madzhab Jumhur Ulama (Maalikiyyah, Syaafi’iyyah, dan Hanabilah).
Kontras dengan pendapat Hanafiyyah, jumhur ulama menganggap pernikahan tersebut tidak sah. Dalil-dalil yang mereka pakai untuk membangun pendapat ini antara lain :

Dalil Al-Qur’an.

وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”[QS. An-Nuur : 32].

وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا

“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman” [QS. Al-Baqarah : 221].

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ

“Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang makruf” [QS. Al-Baqarah : 232].

Sisi pendalilannya :

Khithab dua ayat pertama ditujukan kepada wali, yaitu : masalah pernikahan diserahkan kepada mereka, bukan kepada si wanita.

Adapun ayat ketiga, Allah ta’ala telah melarang para wali untuk menghalangi pernikahan seorang wanita dengan calon suaminya. Tidaklah larangan Allah ini disebutkan kecuali pada pihak yang memang mempunyai hak untuk melarang (atau memperperbolehkan) pernikahan seorang wanita. Oleh karena itu, aqad pernikahan menjadi wewenang seorang wali, bukan si wanita. Makna ini ditunjukkan oleh sababun-nuzuul ayat :

وحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ، " أَنَّ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ كَانَتْ أُخْتُهُ تَحْتَ رَجُلٍ، فَطَلَّقَهَا، ثُمَّ خَلَّى عَنْهَا حَتَّى انْقَضَتْ عِدَّتُهَا، ثُمَّ خَطَبَهَا، فَحَمِيَ مَعْقِلٌ مِنْ ذَلِكَ أَنَفًا، فَقَالَ: خَلَّى عَنْهَا وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهَا، ثُمَّ يَخْطُبُهَا، فَحَالَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ، فَدَعَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْهِ، فَتَرَكَ الْحَمِيَّةَ وَاسْتَقَادَ لِأَمْرِ اللَّهِ "

Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan : Bahwasannya Ma’qil bin Yasaar mempunyai saudara wanita yang menjadi istri seorang laki-laki, yang kemudian ia menceraikannya. Lalu laki-laki tersebut meninggalkannya hingga habis masa ‘iddah-nya, lalu ia berniat melamarnya lagi. Ma’qil pun marah akan hal tersebut dan berkata : “Ia telah meninggalkannya padahal ia mampu untuk merujuknya (sebelum masa ‘iddah-nya habis). Lalu ia ingin melamarnya kembali”. Maka, ia pun menghalangi antara laki-laki itu dengan saudara wanita untuk rujuk kembali. Allah pun lalu menurunkan ayat :“Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka…..” hingga akhir ayat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya (Ma’qil) dan membacakan ayat itu kepadanya. Ma’qil pun akhirnya meninggalkan keangkuhannya dan menerima ketentuan Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5331].

Dalil As-Sunnah.

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ، أَخْبَرَنَا شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِي إِسْحَاق. وحَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاق. ح وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، عَنْ إِسْرَائِيلَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاق. ح وحَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي زِيَادٍ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ حُبَابٍ، عَنْ يُونُسَ بْنِ أَبِي إِسْحَاق، عَنْ أَبِي إِسْحَاق، عَنْ أَبِي بُرْدَةَ، عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ "

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Hujr : Telah mengkhabarkan kepada kami Syariik bin ‘Abdillah, dari Abu Ishaaq. Dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Abu Ishaaq. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy, dari Israaiil, dari Abu Ishaaq. Dan telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Abi Ziyaad : Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubbaab, dari Yuunus bin Abi Ishaaq, dari Abu Ishaaq, dari Abu Burdah, dari Abu Muusaa, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam : “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1101; shahih].

Sebagian ulama yang mendukung pendapat pertama melemahkan hadits ini dengan alasan Abu Ishaaq As-Sabii’iy, meskipun tsiqah, namun hapalannya berubah pada akhir hayatnya. Namun, alasan ini tidak tepat untuk mendla’ifkan hadits ini.

أَخْبَرَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ الْمَحْبُوبِيُّ بِمَرْوَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مُعَاذٍ. وَأَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ حَمْدَانَ الْجَلابُ بِهَمْدَانَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ الْجَهْمِ السَّمُرِيُّ، قَالا: ثنا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ، ثنا ابْنُ جُرَيْجٍ، قَالَ: سَمِعْتُ سُلَيْمَانَ بْنَ مُوسَى، يَقُولُ: ثنا الزُّهْرِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ عُرْوَةَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، تَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: " أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَهَا، وَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لا وَلِيَّ لَهُ "

Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ahmad Al-Mahbuubiy di negeri marwi : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mu’aadz. Dan telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Hamdaan Al-Jalaab di negeri Hamdaan : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Jahm As-Samuriy; mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim Adl-Dlahhaak bin Makhlad : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, ia berkata : Aku mendengar Sulaimaan bin Muusaa berkata : Telah menceritakan kepada kami Az-Zuhriy, ia berkata : Aku mendengar ‘Urwah berkata : “Aku mendengar ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa berkata : Aku mendengar Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallambersabda : “Wanita mana saja yang menikah tanpa ijin dari walinya, maka pernikahannya itu baathil, pernikahannya itu baathil, pernikahannya itu baathil. Akan tetapi jika ia telah digauli, baginya mahar sebagai ganti apa yang telah dihalalkan atas kemaluannya. Namun jika mereka berselisih, maka sulthaan adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim 2/169, dan ia berkata : “Hadits ini shahih sesuai dengan persyaratan Syaikhaan, namun mereka berdua tidak meriwayatkannya”].

نَا دَعْلَجُ بْنُ أَحْمَدَ، نَا مُوسَى بْنُ هَارُونَ، وَأَحْمَدُ بْنُ أَبِي عَوْفٍ، قَالا: نَا مُسْلِمُ بْنُ أَبِي مُسْلِمٍ الْجَرْمِيُّ، نَا مَخْلَدُ بْنُ الْحُسَيْنِ، عَنْ هِشَامٍ، عَنِ ابْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لا تُنْكِحُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلا تُنْكِحُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، إِنَّ الَّتِي تُنْكِحُ نَفْسَهَا هِيَ الْبَغِيُّ "، قَالَ ابْنُ سِيرِينَ: وَرُبَّمَا قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: " هِيَ الزَّانِيَةُ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Dal’aj bin Ahmad : Telah mengkhabarkan kepada kami Muusaa bin Haaruun dan Ahmad bin Abi ‘Auf, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muslim bin Abi Muslim Al-Jarmiy : telah mengkhabarkan kepada kami Makhlad bin Al-Husain, dari Hisyaam, dari Ibnu Siiriin, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah seorang wanita menikahkan wanita yang lainnya. Dan jangan pula seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. Sesungguhnya seorang wanita yang menikahkah dirinya sendiri, maka ia adalah pelacur”. Ibnu Siiriin berkata : “Kadang Abu Hurairah berkata : “Ia adalah wanita pezina” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruqthniy no. 3540; shahih].

Dalam riwayat lain terdapat lafadh :

قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: كُنَّا نَقُولُ: الَّتِي تَنْكِحُ نَفْسَهَا هِيَ الزَّانِيَةُ

“Abu Hurairah berkata : ‘Kami dulu berkata : ‘Wanita yang menikahkan dirinya sendiri adalah wanita pezina” [Diriwayatkan oleh Ath-Thuusiy dalam Mukhtashar Al-Ahkaam Al-Mustakhraj ‘alaa Jaami’ At-Tirmidziy, no. 996; shahih].

Perkataan Abu Hurairah ini mengandung pengertian bahwa itulah pemahaman yang berlaku di kalangan para shahabat. Di antaranya adalah ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu :

نَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِيُّ، نَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى، نَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ الأَشَجِّ، أَنَّهُ سَمِعَ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، يَقُولُ: عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، قَالَ: " لا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ إِلا بِإِذْنِ وَلِيِّهَا، أَوْ ذِي الرَّأْيِ مِنْ أَهْلِهَا، أَوِ السُّلْطَانِ "

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr An-Naisaabuuriy : Telah mengkhabarkan kepada kami Yuunus bin ‘Abdil-A’laa : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Amru bin Al-Haarits, dari Bukair bin Al-Asyaj, bahwasannya ia mendengar Sa’iid bin Al-Musayyib berkata : Dari ‘Umar bin Al-Khaththaab, ia berkata : “Janganlah seorang wanita dinikahi kecuali dengan ijin dari walinya atau keluarganya yang telah dewasa atau sulthaan” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy no. 3542; shahih].

Juga ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu :

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ وَهُوَ الأَصَمُّ، أَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ، أَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ سُوَيْدٍ يَعْنِي ابْنَ مُقْرِنٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: " أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، لَا نِكَاحَ إِلا بِإِذْنِ وَلِيٍّ "

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbaas, ia adalah Al-Asham : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin ‘Abdil-Hamiid : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Usaamah, dari Sufyaan, dari Salamah bin Kuhail, dari Mu’aawiyyah bin Suwaid, yaitu Ibnu Muqrin, dari ayahnya, dari ‘Aliy, ia berkata : “Wanita mana saja yang dinikahkan tanpa ijin dari walinya, maka pernikahannya itu baathil. Tidak sah pernikahan kecuali dengan ijin seorang wali” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam ‎Ash-Shughraa no. 2480, dan ia berkata : “Sanad riwayat ini shahih. Dan padanya terdapat keterangan yang menunjukkan kelemahan apa yang diriwayatkan dari ‘Aliy yang bertentangan dengan hal tersebut”].

Riwayat-riwayat di atas secara jelas menetapkan kewajiban keberadaan (ijin) wali dalam pernikahan, dan jika tidak terpenuhi, maka pernikahan tersebut tidak sah.

Dengan melihat dalil-dalil yang ada, nampak yang kuat dalam permasalahan ini adalah pendapat jumhur ulama yang menetapkan kewajiban wali sebagai syarat sahnya pernikahan. Jika pernikahan tanpa ijin wali, maka pernikahannya itu baathil alias tidak sah. Keharaman pernikahan tanpa ijin wali sangat kuat karena disamakan dengan perzinahan.

Adapun jawaban atas pendalilan madzhab Hanafiy adalah sebagai berikut :

1.    Tidak ada penunjukkan dalam QS. Al-Baqarah : 230 atas kebolehan pernikahan tanpa wali, karena ayat tersebut menggunakan lafadh تَنْكِحَ , yang artinya tidak sekedar ‘aqad saja, namun jima’. Ini yang ditunjukkan oleh riwayat:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَاللَّفْظُ لِعَمْرٍو قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كُنْتُ عِنْدَ رِفَاعَةَ فَطَلَّقَنِي فَبَتَّ طَلَاقِي فَتَزَوَّجْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ وَإِنَّ مَا مَعَهُ مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ..........

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Amru An-Naaqid dengan lafadh dari ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah, ia berkata : Suatu ketika istri Rifaa'ah menemui Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata : “Aku adalah istri Rifaa'ah, kemudian ia menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan ‘Abdurrahman bin Az-Zubair, akan tetapi sesuatu yang ada padanya sepertihudbatuts-tsaub (ujung kain)”.  Rasulullahshallallaahu 'alaihi wa sallam tersenyum mendengarnya, lantas beliau bersabda : "Apakah kamu ingin kembali kepada Rifaa'ah ? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu….” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1433].
yaitu dengan jima’ (hubungan badan).

2.    Pada QS. Al-Baqarah : 232, juga tidak terdapat petunjuk tentang kebolehan pernikahan tanpa wali. Larangan menghalangi seorang wanita untuk rujuk menikah kembali dengan suaminya yang lama justru menunjukkan eksistensi pihak yang punya wewenang untuk menikahkan – sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dalam pendapat jumhur.

Seandainya akad nikah itu sah dengan sendirinya tanpa perlu menengok ijin walinya, buat apa larangan ditujukan kepada wali agar ia jangan menghalang-halangi pernikahan kembali si wanita dengan suami lamanya ?.

3.    Maksud dari QS. Al-Baqarah : 234 adalah tidak ada dosa bagi para wali untuk membiarkan mereka (para wanita) berhias dengan cara yang ma’ruf, bukan dengan cara yang munkar, setelah ia melakukan ihdad (tidak berhias/berkabung) karena kematian suaminya; barangkali ada seseorang yang hendak melamarnya. Oleh karena itu, ayat selanjutnya Allah ta’ala berfirman :

وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلا أَنْ تَقُولُوا قَوْلا مَعْرُوفًا وَلا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” [QS. Al-Baqarah : 235].

4.    Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim no. 1421 dan Ahmad 1/334 maksudnya adalah bahwa seorang janda memiliki hak penuh untuk menolak atau menerima lamaran dari seorang laki-laki, dimana wali tidak mempunyai hak apapun dalam hal tersebut. Beda halnya dengan seorang gadis dimana ia belum pernah menikah yang sudah barang tentu akan malu mengungkapkannya. Oleh karena itu, ijinnya (apakah ia mau atau tidak dinikahkan dengan seorang laki-laki) dengan diamnya.
Adapun kelangsungan dari pernikahan itu sendiri, baik gadis ataupun janda, tetap harus seijin walinya.

5.    Hadits yang diriwayatkan Ahmad, 6/295 adalah dla’iif, sehingga tidak perlu diperpanjang pembahasannya.

6.    Riwayat Al-Mughiirah bin Syu’bah, maka ini adalah kasus ketika seorang laki-laki yang hendak menikahinya itu adalah termasuk walinya. Oleh karena itu, Al-Bukhaariymeletakkan riwayat itu dalam bab إِذَا كَانَ الْوَلِيُّ هُوَ الْخَاطِبَ “Apabila si wali itu adalah orang yang melamar”.

Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :

وليُّ المرأة التي يحل له نكاحها - وهو ابن العم ، أو المولى ، أو الحاكم ، أو السلطان - إذا أذِنت له أن يتزوجها : فله ذلك

“Wali wanita yang diperbolehkan untuk menikahi wanita tersebut antara lain : anak paman dari pihak ayah, maulaa, hakim, atau sulthaan. Apabila wanita tersebut mengijinkan laki-laki tersebut untuk menikahinya, maka ia boleh menikahinya” [Al-Mughniy]

7.    Atsar yang diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ no. 1280 dari ‘Aaisyah, maka makna kalimat زَوَّجَتْ حَفْصَةَ بِنْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، الْمُنْذِرَ بْنَ الزُّبَيْرِ bukan pada dhahirnya, akan tetapi sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah :

أن عائشة زوجت حفصة بنت عبد الرحمن أخيها من المنذر بن الزبير ليس على ظاهره ولم يرد بقوله زوجت حفصة - والله أعلم - إلا الخطبة والكناية في الصداق والرضا ونحو ذلك دون العقد بدليل الحديث المأثور عنها أنها كانت إذا حكمت أمر الخطبة والصداق والرضا قالت أنكحوا واعقدوا فإن النساء لا يعقدن

“Bahwasannya ‘Aaisyah ‘menikahkan’ Hafshah anak perempuan ‘Abdirrahmaan, saudaranya, dengan Al-Mundzir bin Az-Zubair; (dipahami) bukan sebagaimana dhahirnya. Perkataan bahwa ‘Aaisyah ‘menikahkan’ Hafshah tidaklah dipalingkan – wallaahu a’lam – kecuali pada makna ‎khithbah (melamar) dan kinaayah terhadap ‎shadaaq (mahar), keridlaan, dan yang semisalnya selain dari ‘aqad pernikahan dengan dalil hadits ma’tsuur yang diriwayatkan darinya (‘Aaisyah) : Bahwasannya apabila ia (‘Aaisyah) menetapkan perkara khithbah, mahar, dan keridlaan berkata : ‘Nikahkanlah dan buatlah akad pernikahan, karena para wanita tidak melakukan ‘aqad pernikahan” [Al-Istidzkaar, 6/32 – Al-Maktabah Asy-Syaamilah].

Ini lebih sesuai, karena ‘Aaisyah sendiri meriwayatkan hadits secara marfu’ tentang baathil-nya pernikahan wanita tanpa disertai wali, sebagaimana telah lalu.

Menurut kalangan Syafi'iyyah dan Malikiyyahpernikahan tanpa seorang wali tidak terjadi....

الفقه على المذاهب الأربعة ج 4 ص 46
قد عرفت مما ذكرناه أن الشافعية والمالكية اصطلحوا على عد الولي ركنا من أركان النكاح لا يتحقق عقد النكاح بدونه واصطلح الحنابلة و الحنفية على عده شرطا لا ركنا وقصروا الركن على الإيجاب والقبول إلا أن الحنفية قالوا : أنه شرط لصحة زواج الصغير والصغيرة والمجنون والمجنونة ولو كبارا أما البالغة العاقلة سواء كانت بكرا أو ثيبا فليس لأحد عليها ولاية النكاح بل لها أن تباشر عقد زواجها ممن تحب بشرط أن يكون كفأ وإلا كان للولي حق الاعتراض وفسخ العقد

Telah engkau ketahui dari penjelasan kami bahwa kalangan Syafi’iyyah dan Malikiyyah mengartikan keberadaan seorang wali dalam pernikahan merupakan bagian dari rukun-rukun nikah dalam arti tidak akan terjadi pernikahan tanpa seorang wali, sedangkan kalangan Hanabilah dan Hanafiyyahmengartikan keberadaan seorang wali dalam pernikahan menjadi syarat dalam pernikahansedang rukun nikah hanya sebatas ‘ijab dan qabul’, kalangan Hanafiyyah menilai wali menjadi syarat sahnya pernikahan seorang bocah laki-laki ataupun perempuan dan orang gila laki-laki ataupun perempuan meskipun ia telah dewasa.
Sedang untuk wanita dewasa yang normal akalnya baik masih gadis ataupun janda maka tidak ada seorangpun berhak menjadi perwalian atas nikahnya, dia bisa menjalani pernikahan dengan lelaki yang ia cintai bila memang sepadan dengannya bila tidak seorang wali berhak menentang dan menfasakh (merusak) pernikahannya.
Al-Fiqh alaa Madzaahib al-Arba’ah IV/46

التقليد والاجتهاد ص 22-23
ومنها ما نسب الى داود الظاهرى من جواز النكاح بلا ولي ولا شهود فلا يعتبر بما ذكره بعضهم فى جواز تقليده وممن يصح بحرمة تقليده فى هذا القول العلامة الشبراملسى فى حواشى النهاية .

Diantara keputusan seorang hakim yang tidak diperbolehkan untuk dijalankan adalah pernikahan dengan mengikuti madzhab Abu Daud adz-Dhohiri yang memperkenankan pernikahan tanpa wali dan saksi, maka tidak boleh mengikuti pendapat yang memandang kelegalan pernikahan semacam ini, diantara ulama yang mengabsahkan keharaman mengikuti pernikahan mengikuti pendapat ini al-Alim al-‘Allamah as-Syibramalisy dalam kitab Hawaasyi an-Nihaayah
At-Taqliid wal Ijtihaad hal 22-23

Orang Tua Tidak Boleh Memaksa Anaknya Dalam Perjodohan


Dewasa ini banyak kita ketahui tentang adanya perilaku yang menyimpang di berbagai kalangan. Hal itu disebabkan karena berbagai faktor, salah satunya adalah kurangnya kepedulian orang tua dalam mendidik anaknya. Orang tua cenderung sibuk dengan karirnya sendiri, sehingga mereka kurang bisa memenuhi tanggung jawabnya sebagai orang tua. 
    
Melihat adanya fenomena tersebut, maka sudah selayaknya sebagai orang tua haruslah dapat mendidik anaknya dengan baik, terutama dalam mendidik akhlak anak. Orang tua sebaiknya mendidik anaknya dengan akhlaqul karimah sesuai yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
    
Maka dari itu sedikit uraian tentang kewajiban orang tua terhadap anak akan kami jelaskan disini.

Anak adalah amanah Allah SWT kepada ayah dan ibunya, oleh karena tiu harus senantiasa dipelihara, dididik dan dibina dengan sungguh-sungguh agar supaya menjadi orang yang baik, jangan sampai anak tersebut tersesat jalan dalam menempuh jalan hidupnya. Maka kewajiban orang tua terhadap anaknya bukan hanya mencarikan nafkah dan memberinya pakaian, atau kesenangan-kesenangan yang sifatnya duniawi, tetapi lebih dari itu orang tua harus mengarahkan anak-anaknya untuk mengerti kebenaran, mendidik akhlaqnya, memberinya contoh yang baik-baik serta mendoakannya. Firman Allah SWT :

يايُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا قُوْآ اَنْفُسَكُمْ وَ اَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَ اْلحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَّ يَعْصُوْنَ اللهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَ يَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ. التحريم:6

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, tidak mendurhakai (perintah) Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. [QS. At-Tahrim : 6]
Dan sabda Rasulullah SAW :

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. اَلاِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. وَالرَّجُلُ رَاعٍ فيِ اَهْلِهِ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فيِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِى مَالِ سَيّدِهِ وَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُوْلُ عَنْ رَعِيَّتِهِ . البخارى 1: 215
Kamu sekalian adalah pemimpin dan kamuakan ditanya tentang kepemimpinanmu. Imam adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Orang laki-laki (suami) adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Isteri adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan akanditanya tentang kepemimpinannya. Pelayan adalah pemimpin dalam menjaga harta tuannya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Dan masing-masing dari kamu sekalian adalah pemimpin dan akanditanya tentang kepemimpinannya. [HR Bukhari juz 1, hal. 215]
Dengan ayat dan hadits tersebut menunjukkan bahwa orang tua mempunyai tanggungjawab yang berat terhadap anaknya, untuk itu hendaklah kita perhatikan hal-hal sebagai berikut.

* Dalam menyambut kelahiran anak
Orang tua hendaknya bergembira menyambut kelahiran anaknya, baik itu laki-laki maupun perempuan. Kemudian memberinya nama yang baik dan menyembelih aqiqah (bila ada kemampuan). Sebagaimana riwayat berikut ini :

عَنْ اَبِى الدَّرْدَاءِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنَّكُمْ تُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِاَسْمَا ئِكُمْ وَبِاَسْمَاءِ آبَائِكُمْ . فَاَحْسِنُوْا اَسْمَائَكُمْ. ابوداود 4: 287، منقطع، لان عبد الله بن ابى زكرياء لم يدرك ابا الدرداء

Dari Abu Darda', ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kamu sekalian akan dipanggil pada hari qiyamat dengan namamu dan nama ayahmu, maka baguskanlah nama kalian". [HR. Abu Dawud juz 4, hal. 287, munqathi’, karena ‘Abdullah bin Abu Zakariya tidak bertemu dengan Abu Darda’]

عَنْ سَمُرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص. اْلغُلاَمُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ. يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَابِعِ وَ يُسَمَّى وَ يُحْلَقُ رَاْسُهُ. الترمذى 3: 38

Dari Samurah bin Jundab, ia berkata :Rasulullah SAW bersabda, “Anak itu tergadai dengan aqiqahnya, disembelih sebagai tebusannya pada hari ketujuh dan diberi nama pada hari itu serta dicukur kepalanya". [HR. Tirmidzi juz 3, hal. 38]

عَنْ اُمّ كُرْزٍ اَنَّهَا سَاَلَتْ رَسُوْلَ اللهِ ص. عَنِ الْعَقِيْقَةِ، فَقَالَ : عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ وَعَنِ اْلجَارِيَةِ وَاحِدَةٌ لاَ يَضُرُّكُمْ ذُكْرَانًا كُنَّ اَمْ اِنَاثًا. الترمذى 3: 35

Dari Ummu Kurzin (Al-Ka'biyah), sesungguhnya ia pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang aqiqah, maka Rasulullah SAW bersabda, “Untuk bayi laki-laki (menyembelih) dua ekor kambing dan untuk bayi perempuan (menyembelih) seekor kambing, tidak mengapa bagimu baik kambing itu jantan atau betina". [HR. Tirmidzi juz 3, hal. 35]
* Tentang menyusui‎
Firman Allah SWT :

وَ اْلوَالِدتُ يُرْضِعْنَ اَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يّـُتِمَّ الرَّضَاعَةَ، وَ عَلَى اْلمَوْلُوْدِ لَه رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ بِاْلمَعْرُوْفِ، لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلاَّ وُسْعَهَا، لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَ لاَ مَوْلُوْدٌ لَه بِوَلَدِه وَ عَلَى اْلوَارِثِ مِثْلُ ذلِكَ، فَاِنْ اَرَادَا فِصَالاً عَنْ تَرَاضٍ مّنْهُمَا وَ تَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا، وَ اِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْآ اَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اتَيْتُمْ بِاْلمَعْرُوْفِ، وَ اتَّقُوا اللهَ وَ اعْلَمُوْا اَنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ. البقرة:233

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. [QS. Al-Baqarah : 233]
* Mengkhitankannya

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ اَوْ خَمْسٌ مِنَ اْلفِطْرَةِ. اَلْخِتَانُ وَ اْلاِسْتِحْدَادُ وَ تَقْلِيْمُ اْلاَظْفَارِ وَ نَتْفُ اْلاِبْطِ وَ قَصُّ الشَّارِبِ. مسلم 1: 221

Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Fithrah itu ada lima, atau lima dari fithrah, yaitu : 1. khitan, 2. mencukur rambut kemaluan, 3. memotong kuku, 4. mencabut bulu ketiak, dan 5. memotong kumis”. [HR. Muslim juz 1, hal. 221]

* Tentang memberi nafkah
Seorang ayah bertanggungjawab memberikan nafkah bagi anak-anak dan keluarganya, sedang ibu bertanggungjawab mengasuh anak-anak dan mengatur rumah tangga sebagai wakil dari suaminya. Tentang besarnya nafkah untuk anak dan keluarganya ini Islam tidak menentukan besarnya secara khusus, hal ini terserah pada kemampuan masing-masing. Firman Allah SWT :

اَلرّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلى بَعْضٍ وَّ بِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ. النساء : 34
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...... . [QS. An-Nisaa' : 34]

وَ عَلَى الْمَوْلُوْدِ لَه رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ. البقرة : 233

Dan bagi ayah berkewajiban memberi nafkah dan memberi pakaian kepada ibu (dan anaknya) dengan cara yang ma'ruf. [QS. Al-Baqarah : 233]

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مّنْ سَعَتِه، وَ مَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُه فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اتهُ اللهُ، لاَ يُكَلّفُ اللهُ نَفْسًا اِلاَّ مَآ اتيهَا ، سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا. الطلاق : 7

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezqinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. [QS. Ath-Thalaaq : 7]

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص. : دِيْنَارٌ اَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ. وَدِيْنَارٌ اَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ . وَدِيْنَارٌ اَنْفَقْتَهُ عَلَى اَهْلِكَ. اَعْظَمُهَا اَجْرًا الَّذِيْ اَنْفَقْتَهُ عَلَى اَهْلِكَ. مسلم 2: 692

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Satu dinar kamu infaqkan fii sabiilillah, satu dinar kamu pergunakan untuk memerdekakan budak, satu dinar kamu sedekahkan kepada orang miskin, dan satu dinar yang kamu belanjakan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya ialah yang kamu belanjakan untuk keluargamu". [HR. Muslim juz 2, hal. 692]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص. كَفَى بِالْمَرْءِ اِثْمًا اَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ. ابو داود 2: 132

Dari Abdullah bin 'Amr (bin Al-'Ash), ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Cukuplah bagi seseorang berdosa, apabila dia mengabaikan orang yang makan dan minumnya menjadi tanggungannya". [HR. Abu Dawud juz 2, hal. 132]

عَنْ اُمّ سَلَمَةَ قَالَتْ : قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ هَلْ لِيْ اَجْرٌ فيِ بَنِيْ اَبِيْ سَلَمَةَ اُنْفِقُ عَلَيْهِمْ وَلَسْتُ بِتَارِكَتِهِمْ هكَذَا وَهكَذَا ؟  اِنَّمَا هُمْ بَنِيَّ فَقَالَ نَعَمْ. لَكِ فِيْهِمْ اَجْرُ مَا اَنْفَقْتِ عَلَيْهِمْ. مسلم 2: 695

Dari Ummu Salamah, ia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, apakah saya mendapat pahala kalau saya membelanjai putra-putranya Abu Salamah, sebab saya tidak dapat membiarkan mereka demikian dan demikian (mencari makan kesana-kemari), karena mereka itu juga sebagai anak-anak saya ?". Jawab Rasulullah SAW, “Ya, kamu mendapat pahala dari apa yang kamu belanjakan kepada mereka". [HR. Muslim juz 2, hal. 695]

* Adil dalam pemberian terhadap anak

عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ قَالَ: تَصَدَّقَ عَلَيَّ اَبِى بِبَعْضِ مَالِهِ فَقَالَتْ اُمّى عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ: لاَ اَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُوْلَ اللهِ ص. فَانْطَلَقَ اَبِى اِلَى النَّبِيّ ص لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِىْ، فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَفَعَلْتَ هذَا بِوَلَدِكَ كُلّهِمْ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: اِتَّقُوا اللهَ وَ اعْدِلُوْا فِى اَوْلاَدِكُمْ. فَرَجَعَ اَبِى فَرَدَّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ. مسلم 3: 1242

Dari Nu'man bin Basyir, ia berkata, “Ayahku memberikan sebagian hartanya kepadaku”. Lalu ibuku, yaitu ‘Amrah binti Rawahah berkata, ”Aku tidak rela sehingga kamu minta disaksikan kepada Rasulullah SAW”.Maka ayahku datang kepada Nabi SAW meminta kepada beliau untuk menyaksikan pemberiannya kepadaku. Lalu Rasulullah SAW bertanya, “Apakah kamu juga memberikan seperti ini kepada semuaanakmu ?". Ia menjawab, “Tidak". Nabi SAW bersabda, “Bertaqwalah kepada Allah, dan berbuatlah adil terhadap anak-anakmu".Lalu ayahku pulang dan menarik kembali pemberian itu. [HR. Muslim juz 3, hal. 1242].

و فى رواية، قَالَ: فَاَشْهِدْ عَلَى هذَا غَيْرِى، ثُمَّ قَالَ: اَيَسُرُّكَ اَنْ يَكُوْنُوْا اِلَيْكَ فِى اْلبِرّ سَوَاءً؟ قَالَ: بَلَى، قَالَ: فَلاَ اِذًا. مسلم 3: 1244

Dan dalam satu riwayat, Nabi SAW menjawab, “Carilah saksi untuk hal ini kepada selain aku". Kemudian beliau bersabda, “Apakah kamu tidak senang apabila anak-anakmu sama-sama berbhakti ‎kepadamu ?". Dia menjawab, “Ya". Beliau bersabda, “Jika demikian, maka janganlah kamu lakukan". [HR. Muslim juz 3, hal. 1244]
* Menyuruh anak-anak untuk mendirikan shalat

Orang tua harus menanamkan 'aqidah yang benar terhadap anak-anaknya jangan sampai syirik, dan menyuruh mereka untuk mendirikan shalat. Allah berfirman :

وَأْمُرْ اَهْلَكَ بِا لصَّلوةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ، لاَنَسْاَلُكَ رِزْقًا ، نَحْنُ نَرْزُقُكَ ، وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوى. طه :132

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bershabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezqi kepadamu, Kamilah yang memberi rezqi kepadamu. Dan akibat (yang baik) adalah bagi orang yang bertaqwa. [QS.Thaahaa : 132]

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدّهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص مُرُوْا اَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَ هُمْ اَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَ اضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَ هُمْ اَبْنَاءُ عَشْرٍ. وَ فَرّقُوْا بَيْنَهُمْ فِى اْلمَضَاجِعِ. ابو داود، حديث حسن 1: 133

Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Suruhlah anak-anakmu melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat itu jika berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka". [HR. Abu Dawud juz 1, hal. 133]
Pendidikan di sekolah hanya dilakukan jika anak sudah cukup umur. Sedang pendidikan di rumah dimulai sejak masih kecil sampai beranjak dewasa. Rosulullah mengajarkan bahwa jika anak sudah mendekati masa baligh, hendaknya dipisahkan antara tempat tidur anak laki- laki dengan anak perempuan. Begitu pula dengan tempat tidur dengan orang tuanya.

Setelah anak berusia tujuh tahun, hendaknya orang tua memerintahkan untuk shalat dan puasa sebagai wahana pemberdayaan. Orang tua diperkenankan menghukum pada umur sepuluh tahun, kalau ia lalai menunaikan kewajiban. Hukuman bagi anak tidak boleh bersifat menyakiti atau menimbulkan cacat.

Jika orang tua memerintahkan sesuatu kepada anak maka mereka juga melaksanakan perintah tersebut. Perintah orang tua yang tidak disertai teladan, sulit untuk dipatuhi anak. Sebab kecenderungan anak akan meniru orang tua.

Mencarikan jodoh apabila sudah dewasa.‎

Orang tua berkewajiban menikahkan anaknya jika sudah tiba waktunya untuk menikah. Kewajiban orang tua dalam hal ini menyangkut pencarian calon untuk anak apabila ia belum memperoleh pasangan.
Dalam pernikahan, peran orang tua, terutama bapak sangat vital bagi anak perempuan. Dalam tuntunan islam setiap perempuan yang hendak menikah  harus disertai dengan kehadiran walinya. Ia tidak bisa menikahkan dirinya sendiri. Berbeda dengan anak laki- laki yang pernikahanya bisa sah meski tanpa kehadiran wali.

وَ اَنْكِحُوا اْلاَيَامى مِنْكُمْ وَ الصّلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَ اِمَآئِكُمْ، اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِه، وَ اللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ. النور: 32

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allahakan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. [QS. An-Nuur : 32]
Orang tua memang harus mencarikan jodoh untuk anaknya tapi bukan berarti anak boleh dipaksa untuk menikah dengan pilihan orang tua, dalam salah satu hadist diterangkan sbb:

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ـ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهُ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَتُنْكَحُ الْأَيَّمُ حَتَّىتُسْتَأْمَرَ وَلَاتُنْكَحُ الْبِكْرُحَتّىَ تُسْتَأْذَنَ، قاَلُوْ: ياَرَسُوْلَ اللّٰهِ وَكَيْفَ إِذْنُهاَ؟ قَالَ أَنْ تَسْكُتَ ( دواه الجماعة )

Dari Abu Huroiroh RA, sesungguhnya Rosulullah SAW. Bersabda: Seorang janda tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai perintahnya, dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai izinnya, para sahabat bertanya, bagaimana cara gadis itu memberi izin?, Rosulullah SAW. Bersabda: Yaitu sikap diamnya (HR Jama'ah).

Namun demikian orang tua kadang boleh memaksa anak gadisnya untuk menikah bila memang sudah cukup umur dan calonnya juga sesuai menurut syariat (Kufu).

Karena menikah itu murni hak anak. Orang tua tidak boleh memaksa anaknya untuk menikah dengan seseorang yang tidak disukai anaknya. Dalilnya:

عن أبي سعيد الخدري أن رجلا أتى بابنة له إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال إن ابنتي قد أبت أن تتزوج قال فقال لها أطيعي أباك قال فقالت لا حتى تخبرني ما حق الزوج على زوجته فرددت عليه مقالتها قال فقال حق الزوج على زوجته أن لو كان به قرحة فلحستها او ابتدر منخراه صديدا أو دما ثم لحسته ما أدت حقه قال فقالت والذي بعثك بالحق لا اتزوج ابدا قال فقال لا تنكحوهن إلا بإذنهن

Dari Abu Said al-Khudri, bahwa ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa putrinya. Orang ini mengatakan, “Putriku ini tidak mau menikah.” Nabi memberi nasihat kepada wanita itu, “Taati bapakmu.” Wanita itu mengatakan, “Aku tidak mau, sampai Anda menyampaikan kepadaku, apa kewajiban istri kepada suaminya.” (merasa tidak segera mendapat jawaban, wanita ini pun mengulang-ulangi ucapannya). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kewajiban istri kepada suaminya, andaikan di tubuh suaminya ada luka, kemudian istrinya menjilatinya atau hidung suaminya mengeluarkan nanah atau darah, kemudian istrinya menjilatinya, dia belum dianggap sempurna menunaikan haknya.”

Spontan wanita itu mengatakan: “Demi Allah, Dzat yang mengutus Anda dengan benar, saya tidak akan nikah selamanya.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada ayahnya, “Jangan nikahkan putrimu kecuali dengan kerelaannya.” (HR. Ibn Abi Syaibah no.17122)

Bahkan jika orang tua memaksa dan anak tidak ridha kemudian terjadi pernikahan, maka status kelangsungan pernikahan dikembalikan kepada anaknya. Jika si anak bersedia, pernikahan bisa dilanjutkan, dan jika tidak maka keduanya harus dipisahkan. Di antara dalilnya adalah

عن ابن عباس رضي الله عنهما ” أن جارية بكراً أتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكرت أن أباها زوجها وهي كارهة , فخيرها رسول الله صلى الله عليه وسلم “

Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau menceritakan, “Ada seorang gadis yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melaporkan bahwa ayahnya menikahkannya sementara dia tidak suka. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan hak pilih kepada wanita tersebut (untuk melanjutkan pernikahan atau pisah).” (HR. Ahmad 1:273, Abu Daud no.2096, dan Ibn Majah no.1875)
Berdoa untuk keluarga :
Orang tua terhadap anak-anak dan keluarganya hendaklah mengasihani mereka, bukan hanya dengan harta dan pendidikan saja, tetapi juga dengan doa untuk kebaikan mereka. Diantara doa-doa itu ialah :

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَ ذُرّيـَّاتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّ اجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا. الفرقان: 74

Ya Tuhan kami anugerahkanlah kepada kami, istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa. [QS. Al-Furqaan : 74]

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...