Kamis, 21 Oktober 2021

Sejarah Pesantren Gebang Tinatar


Sejarah Pesantren Gebang Tinatar / Masjid Tegalsari dimulai dari Dsn. Setono, Tegalsari , Kecamatan Jetis sekitar 6 km selatan Kota Ponorogo Daerah tersebut awalnya berupa hutan yang dibuka oleh Pangeran Sumende, yang berasal dari Tembayat beserta tiga pengikutnya yaitu Kyai Donopuro, Kyai Noyopuro dan Kyai Wongsopuro. Selain pengikut, tiga ulama itu juga merupakan guru spiritual Pangeran Sumende.

Para ulama tersebut membangun desa dan mendirikan masjid dan pesantren tidak jauh dari kali Keang.keberadaan masjid tersebut sampai sekarang masih ada, yaitu masjid Baiturrahman di dusun Setono, Tegalsari. sesuai angka tahun yang tertera di tembok depan masjid bahwa masjid ini didirikan pada tahun 1600 M, jauh sebelum pesantren Tegalsari didirikan. 
Salah satu santri pesantren Setono adalah putra kyai Ageng Grabahan Caruban bernama Besari sangat pandai Karena kepandaiannya lalu dijadikan menantu oleh Kyai Nursalim dari Dsn. Mantub, Ds. Ngasihan, Jetis. Kemudian Besari diberi tanah oleh Kyai Donopuro disebelah timur Desa Setono yang selanjutnya didirikan Masjid dan Pesantren Tegalsari. 

Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Susuhunan Paku Buana II nyantri di Pondok Tegalsari. Pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni 1742, di Kerajaan Kartasura terjadi Kraman / pemberontakan yang dikenal sebagai “Geger Pecinan” dipimpin oleh Raden Mas Garendi / Sunan Kuning, seorang Pangeran keturunan Tionghoa berhasil menduduki istana. Serbuan yang dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. 

Susuhunan Paku Buana II bersama pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu dia sampai di desa Tegalsari. Ditengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning, kemudian Paku Buana II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Muhammad Besari. Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri di Pesantren Gebang Tinatar, dia ditempa dan dibimbing untuk selalu bertafakkur dan bermunajat kepada Allah. Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta berkat keikhlasan bimbingan dan doa Kyai Muhammad Besari, Allah swt mengabulkan doa Paku Buana II kembali bertahta di Keraton Kartosuro. Dari beberapa kisah, Kyai Hasan Besari mengutus salah satu santri Gebang Tinatar yang bernama Bagus Harun Basyariyah putra Pangeran Nolojoyo (Dugel Kesambi) Bupati Sumoroto untuk ikut memadamkan pemberontakan. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buana II mengambil Kyai Muhammad Besari menjadi menantunya. Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kyai Muhammad Bashari (Besari). Kemudian desa Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan. 

Pesantren Tegalsari atau Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari adalah salah satu pesantren bersejarah di Indonesia. Pesantren ini terletak di desa Tegalsari kecamatan Jetis Ka‎bupaten Ponorogo pada abad ke-18 sampai abad ke-19. Pesantren ini didirikan oleh Kyai Ageng Hasan Besari. Pesantren ini memiliki ribuan santri, berasal dari seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Di antara santri-santrinya yang terkenal adalah Pakubuwono II penguasa Kerajaan Kartasura, Raden Ngabehi Ronggowarsito se‎orang Pujangga Jawa yang masyhur dan tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto.

Dalam sejarahnya, Pesantren Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini.

Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakangPakubuwono II nyantri di Pondok Tegalsari. Pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni1742, di Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi Susuhuhan Kuning, seorang Sunan keturunan Tionghoa. Serbuan yang dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. Karena itu Paku Buana II bersama pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu dia sampai di desa Tegalsari. Di tengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian Paku Buana II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari. Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai wara` itu; dia ditempa dan dibimbing untuk selalu bertafakkur dan bermunajat kepada Allah, Penguasa dari segala penguasa di semesta alam.

Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta berkat keikhlasan bimbingan dan doa Kyai Besari, Allah swt mengabulkan doa Paku Buana II. Api pemberontakan akhirnya reda. Paku Buana II kembali menduduki tahtanya. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buana II mengambil Kyai Hasan Besari menjadi menantunya. Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari). Sejak itu pula desa Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.

Setelah Kyai Ageng Muhammad Besari wafat, beliau digantikan oleh putra ketujuh beliau yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Besari II yang kemudian digantikan oleh Kyai Hasan Anom. Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh lain. pada pertengahan abad ke-19 atau pada generasi keempat keluarga Kyai Besari, Pesantren Tegalsari mulai surut.

Namun Pesantren Tegalsari telah banyak mengantarkan anak keturunan dan santrinya menjadi kyai-kyai pesantren ,tokoh kerajaan dan tokoh nasional yang kharismatik hingga sekarang ini diantaranya yang keturunan Kyai Hasan Besari adalah :
1. Kyai Zainal putra kesembilan dari Kyai Muhammad Besari yang menjadi Raja Selangor Malaysia
2. Kyai Moh. Muhji menjadi Raja penerus dari Ayahandanya dan Nyai Ngaisah Dinobatkan sebagai Sultan Johor Malaysia. 

Alumni Santri Tegalsari . Diantaranya :
1. Susuhunan Paku Buwana II atau Sunan Kumbul, Raja Kerajaan Mataram Kartasura
2. Bagus Harun Basyariyah pendiri desa Perdikan Sewulan, Dagangan Madiun dikenal sebagai Kyai Ageng Basyariyah. Salah seorang trah Ki Ageng Basyariah adalah Presiden RI ke 4 Abdurahman Wahid (Gus Dur)
3. Muhammad Bin Umar pendiri Desa Perdikan Banjarsari, Dagangan Madiun
4. Raden Ngabehi Ronggowarsito alias Bagus Burhan (wafat 1803), seorang Pujangga Jawa yang masyhur
5. Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. ia diambil menantu oleh Kyai Khalifah (Penerus Kyai Hasan Besari Tegalsari) dan jadilah ia Kyai muda yang sering dipercaya menggantikan Kyai untuk memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan sang Kyai akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor.
6. Santri besarnya adalah Bagus Darso yang dikenal dengan sebutan KH Abdul Mannan yang mendirikan Pondok Pesantren Termas, Pacitan pada 1830.
7. H.O.S. Cokroaminoto Tokoh Pergerakan Nasional (lahir di Desa Bakur, Madiun, Jawa Timur, 16 Agustus 1882 – meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember1934 pada umur 52 tahun) masih keturunan Kyai Bagus Hasan Besari, Tegalsari

Kyai Mohammad Besari adalah 3 bersaudara (putra Kyai Ageng Grabahan atau dikenal pula sebagai Kyai Anom Besari Caruban) adalah :
1. Kyai Kotib Anom, dimakamkan di Srigading-Kalangbret-Tulungagung
2. Kyai Mohammad Besari, Tegalsari, Ponorogo.
3. Kyai Noer Sodiq ,dimakamkan di Jetis-Tegalsari, yang menurunkan 6 putra yaitu : 1) Kyai Mukmin yang dimakamkan di Mlarak-Ponorogo. 2) Ny. Amad 3) Ny Zakariya 4) Ny. Suratman 5) Kyai Mubarak 6) Kyai Idris

Sepeninggal Kyai Ageng Hasan Besari, kejayaan Pesantren Tegalsari tinggal kenangan. Jumlah santrinya kian menyusut. Walaupun demikian, banyak para santri dan anak cucunya yang mengembangkan agama Islam dengan mendirikan Pondok Pesantren di berbagai daerah di seluruh Nusantara. Salah satu yang terbesar adalah Pondok Modern Darussalam Gontor yang terletak di wilayah kecamatan Mlarak. Pondok ini didirikan oleh tiga orang cucu Kyai Ageng Hasan Besari.

Jika anda sekalian ingin mengetahui berbagai potret pesantren di Indonesia, khususnya daerah Jawa, kurang afdhol rasanya kalau belum menelisik lebih jauh keberadaan Pesantren Gebang Tinatar, atau yang sekarang dikenal masyarakat dengan sebutan Pesantren Tegalsari. Pesantren yang terletak didesa Tegalsari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo ini adalah cikal bakal seluruh pesantren yang ada di Indonesia. 

Seorang peneliti Belanda, Martin Van Bruinessen mengatakan bahwa sebelum keberadaan pesantren Tegalsari ini, belum ditemukan satu bukti-pun yang menunjukkan adanya sistem pesantren di Indonesia.  Tentu saja pandangan Martin ini berangkat dari gambaran pesantren sebagaimana yang jamak kita lihat sekarang. Yaitu: punya sistem kurikulum, punya masjid beserta pondokannya, dan pastinya: ada seorang Kyai yang mengasuh para santrinya. Dalam klasifikasi tersebut, pada abad 18 Gebang Tinatar-Tegalsari Ponorogo dalah yang pertama. Sewaktu diasuh oleh Kyai Kasan Besari selama 60 tahun (1800-1862 M) Gebang Tinatar-Tegalsari mencapai masa keemasannya. Ribuan santri dari berbagai daerah berduyun-duyun menuntut ilmu di pesantren ini.

Sejauh ini belum diketahui secara pasti kapan persisnya Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari didirikan. Menurut F. Fokkens dalam ‘ De Priesterschool te Tegalsari’ yang diterbitkan 1877, Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari sudah berdiri pada tahun 1742. Kyai Ageng Muhammad Besari, pendiri sekaligus pengasuh pertama pesantren ini dikenal Fokkens sebagai seorang pertapa yang mengasingkan diri. Hidupnya hanya diabdikan untuk beribadah kepada Tuhan. Tiap harinya ia hanya makan dari akar-akaran. Banyak orang yang berdatangan kesana untuk belajar Al-qur’an. Lambat laun pengikutnya semakin banyak dan kemudian menetap di desa yang dikenal dengan nama Tegalsari ini.

Karena banyaknya orang yang datang dan kemudian menetap di Tegalsari, maka didirikanlah sebuah masjid yang dikelilingi oleh pondokan-pondokan kecil untuk tempat tinggal para santri. Saat Fokkens mengunjungi Tegalsari, desa itu sudah tampak ramai dan maju. Pohon-pohon rindang berjajar rapi dipinggir-pinggir jalan desa yang dekat dengan pasar Wage itu. Sebuah pasar yang saat Fokkens kesana sudah ramai dikunjungi orang. Rumah-rumah penduduk terlihat besar-besar dengan halamannya yang begitu luas. Memasuki area pesantren, Fokkens sudah mendapati sebuah rumah besar model pendopo dengan temboknya yang tebal.  Rumah itu adalah tempat tinggal sang Kyai. Masjid dibangun terpisah dari rumah kyai. Arsitektur masjid saat itu sudah terlihat mewah dan besar. Beratap dua sirap dan memiliki satu serambi. Lantainya setinggi empat kaki dan diberi tangga. Dibelakang masjid terdapat sebuah makam keluarga.  Disekeliling masjid terdapat pondokan-pondokan yang terbuat dari bambu. Lantai pondok juga terbuat dari bambu dan dibikin lebih tinggi dari permukaan tanah.  Didepannya terdapat teras yang bisa dipakai untuk istirahat. Disetiap kamar terdapat rak dari bambu tempat menyimpan buku dan kertas. Para santri memiliki lumbung-lumbung  padi sebagai tempat menampung kebutuhan makan mereka selama dipondok. Satu lumbung digunakan oleh empat sampai lima orang santri. Mereka menjaganya secara bergantian.

Selama dipondok, mereka tidak dipungut biaya sepeserpun. Para santri dari keluarga kaya mencukupi kebutuhan mereka dengan bekal dari keluarganya. Sedangkan santri dari keluarga miskin membantu kyai bekerja disawah untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Para santri kebanyakan berasal dari luar daerah ponorogo, seperti: Banten, Priyangan, Cirebon, Karawang, Yogyakarta, Surakarta, Kedu, Magelang dan Madiun. Pada saat diasuh oleh Kyai Kasan Besari, menurut Van Der Chijs, Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari telah memiliki sekitar 3000 an santri. Saking besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok. Bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, seperti: desa Nglawu, Bantengan, Malo, Joresan dan lain-lain.

Sejak awal didirikannya masjid dan pondokan-pondokan, Bahasa Arab sudah mulai diajarkan di Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari. Dan pada perkembangannya, kitab-kitab agama Islam juga banyak dikaji dipesantren ini. Hingga saat ini masih ditemukan beberapa kitab peninggalan masa awal Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari. Sebut saja misalnya: Al-Munhati, Jauharuttauhid, Jauharussamin Liummil Barohain dan kitab Tajwid. Tidak diketahui siapa penulis beberapa kitab tersebut. Namun dari tulisannya, diduga penulisnya adalah satu orang dan pernah belajar di Tanah suci Mekah. Kitab-kitab tersebut menggunakan keterangan berbahasa arab dan kertasnya juga tidak berasal dari daerah sekitar Tegalsari, melainkan kertas yang identik dengan kertas-kertas yang ada didaerah arab pada masa lalu. Tidak diketahui pula kapan kitab-kitab itu ditulis, hanya pada halaman pertama kitabJauharussamin Liummil Barohain tertulis bulan Jumadil Awal tahun Alif. Selain itu, ditemukan juga Tiga jilid Kitab Fiqh Syarh Fathul Mu’inkarangan Zainuddin Al-Malibari. Penulisan kitab Syarh tersebut dilakukan oleh beberapa orang dari beberapa generasi. Penulisnya adalah: Muhammad Jalalain, Hasan Ibrahim, Hasan Yahya, Hasan Ilyas, dan Muhammad Besari.

Terdapat juga satu bendel kitab yang dimungkinkan paling tua usianya. Sampulnya terbuat dari kulit dan kertasnya adalah kertas gedok dari Tegalsari. Pada halaman pertama bendelan kitab yang sudah sangat lusuh dan mulai hancur ini terdapat catatan proses terjadinya desa Tegalsari sebagai ‘tanah perdikan’. Disebutkan juga jumlah penduduk laki-laki dan perempuan yang tinggal disana pada masa awal berdiri. Selanjutnya, didalam bendelan kitab ini juga terdapat penggalan karya fiqh yang tidak jelas dikutip dari kitab apa. Yang jelas teksnya menggunakan huruf Arab Pegon atau Arab Melayu. Disamping itu, pada halaman berikutnya juga ditemukan Syarh kitab fiqh yang tidak lengkap berjudul “Al-Muharror” karangan Abul Qosim Arrafi (wafat 1226 M). Diperkirakan syarh kitab ini ditulis oleh Kasan Yahya pada tahun 1800-an. Terdapat juga penggalan kitabFathul Wahhab karangan Zakariya Al-Ansharei (wafat 1277). Kitab lainnya yang terdapat dalam bendelan kitab itu adalah kitab Faroil. Namun tidak diketahui juga siapa penulis dan tahun penulisan dari kitab yang terakhir ini.

Lebih lanjut, menurut J.F.C Gerishe, seorang ahli Literatur Jawa, selain mengajarkan Al-qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam, Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari juga mengajarkan berbagai macam ilmu Kejawen dan ilmu Kesaktian. Dalam laporan yang disampaikannya di Nederlands Bijbelgenootschap di Amsterdam, Gerishe mengatakan: “Walaupun Tegalsari telah mengajarkan kepada 3000 santrinya bagaimana membaca Al-qur’an, tetapi disisi lain, disana juga mengajarkan rahasia-rahasia Budha dan kepercayaan Kejawen yang masih dipertahankan oleh kyai-kyai setelah masa transisi Islam di Jawa”.

Hal tersebut diatas, juga selaras dengan pandangan Simuh, seorang penulis buku-buku tentang Ronggowarsito. Ia mengatakan bahwa disamping memiliki perpustakaan yang berisi buku-buku agama Islam, Pesantren Tegalsari juga memiliki perpustakaan Kejawen. Kesimpulannya tersebut berangkat dari beberapa fakta tentang Kyai yang membawa Gebang Tinatar-Tegalsari menuju masa kejayaannya, yaitu: Kyai Kasan Besari. Selain terkenal dengan kesaktiannya, kyai Kasan Besari adalah menantu Pakubuwono IV. Dengan demikian, Kyai Kasan Besari adalah seorang priyayi. Dan sudah menjadi kebiasaan pada waktu itu bahwa setiap priyayi bisa dipastikan mempunyai koleksi kitab-kitab kejawen. Belum lagi, dibawah asuhannya telah lahir seorang pujangga jawa kenamaan; Raden Ngabehi Ronggowarsito. Hal ini memperkuat dugaan Simuh. Selain itu, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh LHKP-PD Muhammadiyah Yogyakarta yang berjudul‘Kesultanan Majapahit’ menyebutkan bahwa ‘Kitab Jangka Jayabaya’ yang sampai saat ini terkenal dimasyarakat sebagai karangan Ronggowarsito maupun Prabu Jayabaya dari Kerajaan Kediri, sebenarnya adalah karya Kyai Kasan Besari dari Tegalsari ini. Kitab yang dipercaya masyarakat berisi ramalan ‘Jaman Edan’ dan ‘Ratu Adil’ itu sebenarnya adalah analisis sosial yang akan dijadikan acuan merumuskan ‘program pembudayaan’ didaerah Ponorogo dan sekitarnya. Sebagaimana disebutkan namanya, ‘Jongko’ adalah ‘Penjongko’atau hal-hal yang direncanakan. Jadi ia hanyalah proyeksi; bukan ramalan. Karena ditulis dalam bahasa sastra, maka dikemudian hari pesan tersiratnya tak banyak ditangkap oleh masyarakat. Namun demikian, Belanda menangkap tujuan Kyai Kasan Besari ini. Belanda kemudian menjebloskannya kedalam penjara selama beberapa tahun. Maka dari itu, penulisan kitab tersebut dilanjutkan oleh muridnya; Ronggowarsito.
Dalam perkembangannya, pesantren ini telah melahirkan tokoh-tokoh ternama. Diantaranya adalah Pakubuwono II, raja Kasunanan Kartasurya. Dia mengenyam pendidikan di Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari ketika Kerajaan Kartasura sedang menghadapi ‘Geger Pecinan’. Pemberontakan kelompok Tionghoa tersebut dipimpin oleh cucu Sunan Mas yang bernama Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning. Karena kualahan, Pakubuwono II terpaksa menyingkir kearah timur dan kemudian berlindung dipesantren yang diasuh oleh Kyai Ageng Mohammad Besari ini. Setelah ‘nyantri’ disana beberapa lama, Pakubuwono II akhirnya dapat menduduki tahta kembali pada tahun 1743 M. Kemampuannya mengalahkan kelompok Mas Garendi tersebut tidak lepas dari bantuan Kyai Ageng Muhammad Besari beserta murid- muridnya. Atas jasa Kyai Ageng Besari mengembalikan kedudukan Pakubuwono II inilah, maka Tegalsari dibebaskan dari pembayaran pajak kepada kerajaan Kartasura atau disebut sebagai ‘Tanah Perdikan’.
Selanjutnya, pesantren ini juga melahirkan sastrawan besar yang karyanya tetap melegenda lintas zaman. Bagus Burhan, yang dikemudian hari bergelar Raden Ngabehi Ronggowarsito telahmondok dipesantren ini sejak usia 12 tahun. Pujangga terakhir Keraton Surakarta yang terkenal dengan ramalannya tentang ‘Zaman Edan’ ini adalah putra dari Mas Pajangswara dan cucu Yasadipura II. Seorang peneliti dari Jepang, Takashi Siraishi, dalam karyanya ‘Zaman Bergerak’ mengatakan: “Tidak ada yang dapat lebih jelas menggambarkan transformasi budaya di Surakarta pada abad XIX ini daripada tempat yang diduduki oleh R.Ng Ranggawarsita. Saat itu. melalui kemampuan bahasanya, ia melegitimasi kekuasaan”. Menurut Takashi, pada zamannya, tulisan-tulisan Ronggowarsito sudah disebarkan melalui percetakan, bukan melalui naskah tulisan tangan sebagaimana penulis-penulis yang lain. Dan juga, penikmat karya-karya Ronggowarsito bukanlah sekedar didalam lingkaran kraton, melainkan juga anggota komunitas Indo-Jawa-Tionghoa yang terpelajar.

Tak ketinggalan, Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau yang dikenal dengan HOS. Cokroaminoto adalah santri sekaligus keluarga dari Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari. Pahlawan Nasional yang lahir di Madiun 16 Agustus 1883 ini adalah ketua Syarekat Islam, sebuah organisasi pergerakan pertama di Indonesia. Pada masa kepemimpinan cucu Bupati Ponorogo, RT Tjokronegoro inilah Syarekat Islam mencapai masa kejayaannya. Dalam catatan Takashi Siraishi menyebutkan: “Pd hari Sabtu dibulan Juni, sekitar 2000 anggota baru diinisiasi (baca: diajak) oleh sekelompok orang..Keanggotaan SI meningkat dg pesat….Asisten Residen Surakarta memperkirakan jumlah anggotanya mencapai 35.000 orang pd awal Agustus”. Masyarakat berbondong-bondong menjadi anggota Syarekat Islam karena menganggap bahwa Cokroaminoto adalah ‘Ratu Adil’ sebagaimana yang diramalkan oleh Ronggowarsito. Selain itu, banyak tokoh pergerakan lainnya yang kemudian mendirikan berbagai aliran politik di Indonesia juga menjadi murid Cokroaminoto. Sebut saja misalnya: Soekarno yang kemudian menjadi presiden pertama Indonesia sekaligus pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI); Bung Tomo, pengobar perlawanan arek-arek Surabaya terhadap agresi Belanda, yang sekaligus juga pendiri partai Gerakan Indonesia (Gerindo); Semaoen dan Marco Kartodikromo yang kemudian menjadi tokoh awal Partai Komunis Indonesia (PKI), Kartosuwiryo, penggagas Negara Islam Indonesia (NII), dan banyak lagi tokoh pendiri organisasi pergerakan lainnya yang juga ‘nyantri’ kepada cicit Kyai Kasan Besari ini.

Sejarah mencatat, sepeninggal Kyai Ageng Muhammad Besari tampuk kepemimpinan Pesantren ini secara berturut-turut dipegang oleh: Kyai Kasan Ilyas (1773-1800), Kyai Kasan Yahya (1800), kyai Kasan Besari (1800-1862), dan Kyai Kasan Anom. Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi. Tetapi, pada pertengahan abad ke-19 atau setelah generasi keempat keluarga Kyai Besari, Pesantren Tegalsari mulai surut.

Selanjutnya, pada saat pesantren ini dipimpin oleh Kyai Khalifah, terdapatlah seorang santri yang sangat menonjol diberbagai bidang keilmuan. Ia adalah Sulaiman Jamaluddin, cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia terkenal sangat dekat dengan Kyainya. Maka tak heran seusai menyelesaikan belajarnya dipesantren ini, ia diambil menantu oleh Kyai Khalifah. Sulaiman Jamaludin kemudian menjadi Kyai muda yang sering dipercaya menggantikan Kyainya memimpin pesantren. Bahkan Kyai Khalifah akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor. Sebuah desa yang terletak disebelah timur laut dari Tegalsari. Lambat laun, pesantren baru di desa Gontor ini mengalami perkembangan yang begitu pesat sehingga mengalahkan popularitas Gebang Tinatar-Tegalsari. Pesantren di desa Gontor tersebut adalah cikal bakal pesantren besar yang kini dikenal masyarakat dengan nama Pondok Modern Gontor.

Demikianlah, meski sekarang masyarakat sekitarpun sudah tidak begitu mengenal nama ‘Pesantren Gebang Tinatar’ ini, namun sejarah telah mencatatnya sebagai peletak dasar pondasi kepesantrenan di Nusantara. Meskipun kiprah Kyai Ageng Muhammad Besari dan Kyai Kasan Besari hanya melegenda dalam ingatan sebagian masyarakat?yang bahkan sering rancu dalam membedakan keduanya?, setidaknya nyaris semua jaringan pesantren di Indonesia, khususnya di Jawa hampir bisa dipastikan punya pertalian darah dengan keduanya. Bahkan menurut info yang sedang ditelusuri oleh penulis, karya-karya dari Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari ini banyak bertebaran di perpustakaan-perpustakaan universitas luar negeri seperti Harvard University dan Leiden University. Tak heran memang, untuk universitas yang tersebut terakhir ini cikal bakalnya adalah lembaga riset kepustakaan Jawa yang bernama Javanologi di Surakarta. Dan salah satu peneliti yang paling menonjol disana adalah santri Gebang Tinatar-Tegalsari,, Ronggowarsito.

Situs Masjid Tegalsari

Masjid Tegalsari adalah peninggalan Kyai Ageng Muhammad Besari, seorang ulama besar yang hidup sekitar tahun 1742 pada jaman pemerintahan Susuhunan Pakubuwono II. Masjid Tegalsari diperkirakan dibangun sekitar abad ke-18 oleh Kyai Ageng Muhammad Besari. Pada awalnya ukuran masjid itu masih relatif kecil. Bangunan masjid diperluas lagi oleh cucu Kyai Ageng Hasan Besari, yaitu Kyai Hasan Besari II agar menampung jumlah jamaah yang lebih banyak. Kyai-kyai Tegalsari inilah yang banyak menyiarkan Agama Islam di wilayah Ponorogo sampai lereng Gunung Lawu. Masjid dengan arsitektur jawa ini memliki 36 tiang, yang mengandung arti jumlah wali / wali songo 
( 3 + 6 = 9) yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa dan atap berbentuk kerucut yang mengambarkan Keagungan Allah Swt. Serta didalam masjid ini pula tersimpan kitab yang berumur 400 tahun yang ditulis oleh Pujangga Ronggowarsito. Komplek Masjid Tegalsari terdiri dari tiga bagian yaitu: 

1. Dalem Gede / kerajaan kecil yang dulunya merupakan pusat pemerintahan 
2. Masjid Tegalsari
3. Komplek makam Kyai Ageng Mohamad Besari

Di sebelah timur masjid terdapat pendopo beratap limasan. Di sebelah timur pendopo terdapat bangunan tambahan beratap kubah metal dengan proporsi sangat pendek. Bangunan tambahan ini termasuk bangunan yang dibuat atas dana bantuan dari Presiden Soeharto. Bangunan kuno lainnya yang masih terjaga adalah rumah Kyai Ageng Besari, yang berada di depan masjid. Di area rumah tinggal Kyai Ageng Besari ( Dalem Jero ) terdapat pula sebuah bangunan kecil. Persis sebelah barat Dalem Jero berupa Langgar ( mushola kecil ). Di situlah Ronggowarsito pernah di gembleng. 

Masjid Tegalsari berada di RT. 01, RW. 01, Dukuh Gendol, Desa Tegalsari Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Tepatnya, terletak 10 km arah tenggara dari pusat kota (Searah dengan jalur Pondok Pesantren Walisongo, Desa Ngabar, Kecamatan Siman dan Al-Mawadah, Desa Coper, Kecamatan Jetis). 

Bangunan Masjid tampak depan sudah direnovasi, sebelum masuk masjid ada 2 buah batu pijakan yang dulunya adalah sebuah bagian dari benda peninggalan sejarah peradaban kuno yang kemungkinan adalah fragmen sebuah candi. Ini bukan tidak mempunyai maksud tertentu tentang arti letak dan posisinya atas batu pijakan ini. Batu pijakan di depan masjid ini bukan sebuah “batu kosong” seperti pada umumnya batu-batu alam tetapi dianggap istimewa karena diambil dari sebuah tempat “angker” punden, atau bagian dari sebuah artifak atau situs atau candi atau bahkan sebuah arca utuh yg ditanam di depan masjid yang dijadikan sebagai perlambang “agomo” telah mengalahkan “tradisi sesat” pada jaman atau saat itu pada medio tahun 70-80 an. 

Dalam bahasa setempat batu itu disebut “watu bancik” atau tempat “ancik-ancik” atau tempat menongkrong atau batu pijakan. “Sesembahmu aku jadikan cuma sebagai pijakan bagi setiap orang yang akan masuk masjid”. Mungkin begitu kira-kira pesannya. Karena pada saat itu juga hingga kini masih banyaknya “laku” warga desa setempat mendatangi punden atau artifak kuno atau tempat angker lainnya dengan maksud yang tidak sinkron dengan ajaran suci. Maka para agamawan memilih jalur terjal ini meski jalur itu merusak arti sebuah potret kehidupan masa lalu atas sebuah peradaban Jawa (khususnya). 

Masjid Tegalsari merupakan bagian dari cagar budaya, satu diantara sekian banyak obyek wisata andalan di Kabupaten Ponorogo, merupakan peninggalan Kyai Ageng Muhammad / Hasan Besari seorang ulama sakti dan berbudi luhur yang konon merupakan keturunan ke sebelas Nabi Muhammad SAW. Sehingga banyak kyai karismatik lahir dari santri atau keturunan Tegalsari. karena Tegalsari banyak melahirkan orang-orang yang Degdaya atau sakti maka sampai sekarang pun dipercaya banyak orang sebagai salah satu tempat yang mempunyai daya tarik, keunikan dan kekhasan.

Menurut Mbah Sujak, sesepuh Desa Tegalsari yang juga juru kunci Kompleks Makam Kyai Ageng Muhammad Besari di Kompleks Masjid Tegalsari mengakui hampir tiap hari dikunjungi ratusan orang untuk Ngalap Berkah atau mencari hidayah. Apalagi dalam bulan suci Ramadhan maupun menjelang pelaksanaan Ujian Nasional, puluhan ribuan pelajar melakukan dzikir dan doa bersama serta sholat hajad. Beberapa keunikan Masjid Jami Kyai Muhammad Besari menurut Mbah Sujak, antara lain adalah Kubah masjid yang terbuat dari tanah liat (sejenis gerabah) yang masih terjaga keasliannya hingga sekarang. Kubah ini menurut cerita pada jaman Belanda pernah di tembak berkali-kali namun tidak rusak sedikitpun. “Soko guru berjumlah empat buah yang masing-masing mempunyai kekuatan tersendiri apabila ada orang yang berdoa di dekat tiang tersebut dan didukung oleh tiang-tiang penyangga Masjid lainnya,” tutur Mbah Sujak. Selain itu payung kebesaran yang konon bisa dipergunakan sebagai penangkal atau tolak balak mana kala ada kerusuhan di desa Tegalsari. 

“Dalem Njero juga diyakini sebagai tempat bermunajat yang paling ampuh,” ulasnya. Alumni pondok Tegalsari ini banyak yang menjadi orang besar dan berjasa kepada bangsa Indonesia. Menurut Afif Azhari, Ketua Yayasan Kyai Ageng Besari, rehab Masjid Tegalsari pertama menyalahi Bistek sehingga hampir mengubah wajah asli bangunan masjid di atas lahan seluas satu hektar itu. Dengan penambahan serambi dan bangunan di sisi kiri-kanan masjid. “Namun, rehab terakhir berusaha dikembalikan lagi seperti aslinya,” ujar Afif Azhari. Secara arsitektural, masjid ini memiliki langgam Jawa kuno. Terdiri dari tiga bangunan yang saling berhimpit, berorientasi barat-rimur, bangunan masjid beratap tajug tumpang riga terletak paling barat. Di dalam interior terdapat empat buah saka guru, 12 sakarawa, dan 24 saka pinggir penyangga atap tajug yang dipasang dengan sistem ceblokan. Struktur atap tajug diekspose, sehingga dapat diketahui bahwa brunjungnya merupakan jenis atap tajug peniung atau payung agung, karena usuknya disusun secara sorot. Selain itu, juga juga terdapat mimbar kayu berukir, yang sebetulnya merupakan replika dari mimbar asli yang telah rusak. Mihrabnya merupakan sebuah ceruk yang dibingkai kayu ukiran dengan bentuk dan stilirasi dari kalamakara.‎

Sejarah Perkembangan Pesantren Nurul Jadid Probolinggo


Sejarah profil biodata Pondok Pesantren Ponpes Pontren PP Nurul Jadid Karanganyar Paiton Probolinggo Jatim. Sebelum Karanganyar, desa tempat PP Nurul Jadid berdiri dikenal dengan nama Tanjung. Nama ini diambil dari nama sebuah pohon besar yang bernama Tanjung. Bukan hanya itu bunganya yang tumbuh dari pohon itu dinamai bunga Tanjung. Pohon besar tersebut berdiri tegak di tengah-tengah desa itu sejak zaman dulu. Kemudian pula masyarakat setempat menganggap pohon Tanjung mempunyai kelebihan dan keistimewaan. Tak heran, nama pohon itu diabadikan sebagai nama desa.

SEJARAH DESA KARANGANYAR MARKAS PUSAT PP NURUL JADID 

Karanganyar sendiri adalah sebuah Desa yang terletak di Kecamatan Paiton. Sebuah desa kecil yang berada sekitar 30 km ke arah timur Kota Probolinggo Jawa Timur. Pada mulanya sebagian besar tanahnya tidak dapat dimanfaatkan. Itu karena karena Karanganyar masih merupakan hutan kecil yang banyak dihuni binatang buas. Sementara kehidupan masyarakatnya sangat memprihatinkan. Mereka menganut kepercayaan yang lebih mendekati Animisme dan Dinamisme. Hal itu terlihat jelas misalnya dengan keberadaan beberapa pohon besar yang menurut mereka tidak boleh ditebang. Pohon-pohon itu diyakini sebagai pelindung mereka.

Pada mulanya sebagian besar tanahnya tidak dapat dimanfaatkan. Itu karena karena Karanganyar masih merupakan hutan kecil yang banyak dihuni binatang buas. Sementara kehidupan masyarakatnya sangat memprihatinkan. Mereka menganut kepercayaan yang lebih mendekati Animisme dan Dinamisme. Hal itu terlihat jelas misalnya dengan keberadaan beberapa pohon besar yang menurut mereka tidak boleh ditebang. Pohon-pohon itu diyakini sebagai pelindung mereka.

Kenyataan lainnya adalah adanya upacara ritual dalam bentuk pemberian sesajen, utamanya ketika ada suatu hajatan. Sesajen itu disajikan kepada roh yang diyakini berada di sekitar pohon besar tersebut. Salah satu ritual itu dilakukakn ketika ketika musim tanam tiba. Sebelum panen, masyarakat menggelar sesajenan dengan cara patungan. Yaitu  beberapa anggota masyarakat  meletakkan ayam di beberapa  tempat  yang dianggap  sakral. Selain itu  pada setiap tahunnya mereka  mengadakan selamatan  laut dengan  membuang kepala kerbau. Itu karena Tanjung juga terletak tak jauh dari laut.
Dalam kehidupan sosial, masyarakat Karanganyar sangat terbelakang. Mereka belum  mengenal  peradaban baru sama sekali. Hal itu  terlihat  dengan maraknya perjudian, perampokan, pencurian dan tempat Pekerja Seks Komersial (PSK).

Lain lagi  dalam bidang ekonomi. Masyarakat Karanganyar termasuk  masyarakat yang sangat bergantung pada alam. Mereka menganggap bahwa  jika yang diberikan alam sudah tidak ada lagi yang bisa dimakan, maka mereka pindah ke tempat lain atau mencari makan di daerah lain.  Tempat yang mereka pilih terutama di daerah pinggiran  laut (pantai) yang  banyak  pohon  bakaunya untuk dimakan. Sedangkan  lahan pertanian  yang  ada  hanya dikuasai  oleh  beberapa orang.

Dengan demikian, Karanganyar waktu itu merupakan desa “mati”, karena  disamping  daerahnya  masih  dipenuhi  dengan  hutan  jati  dan  penuh  dengan  semak belukar  yang  tidak menghasilkan  nilai ekonomis, juga  karena masyarakatnya  yang  tidak  memperdulikan keadaan sekitarnya. Padahal pada sisi lain kehidupan hedonis mewarnai pemandangan sehari – hari sehingga moralitas jauh ditinggalkan.  Pada saat itu kesenangan dan kebahagiaan hanya terdapat pada perbuatan yang penuh dengan kemaksiatan dan kemungkaran.
SEJARAH PP NURUL JADID

KH Zaini Mun’im –setelah mendapatkan restu dan perintah dari KH Syamsul Arifin, ayah KH. As’ad Syamsul Arifin, Sukorejo—memutuskan untuk menetap dan bertempat tinggal bersama keluarganya di desa ini. Sebelum memutuskan untuk bertempat tinggal di desa Karanganyar, KH Zaini Mun’im mengajukan tempat-tempat lainnya dengan membawa contoh tanah pada KH Syamsul Arifin. Daerah yang pernah diajukan oleh KH Zaini Mun’im selain tanah desa Karanganyar ini adalah daerah Genggong Timur, dusun Kramat Kraksaan Timur, desa Curahsawo Probolinggo Timur, sebuah dusun di daerah kebun kelapa Jabung, dan dusun Sumberkerang. Setelah diseleksi contoh tanahnya oleh KH Syamsul Arifin, maka KH Zaini Mun’im diperintahkan untuk menetap di Desa Karanganyar.

Disamping itu, isyarat lainnya juga mengarah ke Desa Karanganyar. Pertama, ketika KH Zaini Mun’im mengambil contoh tanah di Desa Karanganyar, tiba-tiba beliau menemukan sarang lebah. Hal ini kata orang-orang waktu sebagai isyarat jika beliau menetap dan mendirikan pondok pesantren di Desa Karanganyar, maka akan banyak santrinya. Kedua, isyarat yang datang dari KH Hasan Sepuh Genggong. Suatu saat ketika beliau mendatangi suatu pengajian dan melewati desa Karanganyar, beliau berkata kepada kusir dokarnya, “di masa mendatang, jika ada kiai atau ulama yang mau mendirikan pondok di daerah sini (Desa Karanganyar), maka pondok tersebut kelak akan menjadi pondok yang besar, dan santrinya kelak akan melebihi santri saya. Ketiga,adalah isyarat dari alam itu sendiri, di mana kondisi tanahnya yang bagus dan masalah air tidak menjadi masalah. Di samping itu Desa Karanganyar merupakan tempat yang jauh dari keramaian kota (Kraksaan), sehingga sangat cocok untuk mendirikan sebuah tempat pendidikan.

Kedatangan KH. Zaini Mun’im pada tanggal 10 Muharram 1948 di desa Karanganyar, awalnya tidak bermaksud untuk mendirikan Pondok Pesantren. Tapi beliau mengisolir diri dari keserakahan dan kekejaman kolonial Belanda, dan beliau ingin melanjutkan perjalanan ke pedalaman Yogyakarta untuk bergabung dengan teman-temanya.

Sebenarnya, cita-cita KH. Zaini Mun’im dalam menyiarkan agama Islam akan beliau salurkan melalui Departemen Agama (Depag). Namun, niat itu menemui kegagalan, sebab sejak beliau menetap di Karanganyar, beliau mendapat titipan (amanat) Allah berupa dua orang santri yang datang kepada beliau untuk belajar ilmu agama. Kedua orang tersebut bernama Syafi’uddin berasal dari Gondosuli, Kotaanyar Probolinggo dan Saifuddin dari Sidodadi Kecamatan Paiton, Probolinggo.

Kedatangan dua santri tersebut oleh beliau dianggap sebagai amanat Allah yang tidak boleh diabaikan. Dan mulai saat itulah beliau menetap bersama kedua santrinya. Namun tidak seberapa lama, beliau ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di LP Probolinggo, karena waktu itu beliau memang termasuk orang yang dicari-cari oleh Belanda sejak dari pulau Madura. Belanda menganggap beliau sebagai orang yang berbahaya, karena beliau menurut Belanda, mampu mempengaruhi dan menggerakkan rakyat untuk melawan mereka (penjajah Belanda).

Dalam keadaan yang sudah mulai damai dan nyaman, KH Zaini Mun’im dikejutkan oleh surat panggilan yang datangnya dari Menteri Agama (waktu itu adalah KH Wahid Hasyim).Beliau diminta untuk menjadi penasehat jamaah haji Indonesia. Dan tawaran tersebut beliau terima.

Pada saat itu jumlah santri yang sudah menetap di PP. Nurul Jadid sekitar 30 orang di bawah bimbingan KH Munthaha dan KH Sufyan. Dengan charisma yang dimiliki oleh KH Sufyan, beliau dengan muda membangun beberapa pondok yang terbuat dari bambu untuk tempat tinggal para santri pada waktu itu.

Sepulangnya KH Zaini Mun’im dari tanah suci terlihat beberapa gubuk sudah berdiri, maka tergeraklah hati beliau untuk memikirkan masa depan para santri-santrinya. Mulailah KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya membabat hutan yang ada di sekitarnya sehingga berdirilah sebuah pesantren yang cukup besar sampai terlihat seperti sekarang ini.

Pesantren yang diasuh KH Zaini Mun’im ini nampaknya mendapat pengakuan yang cukup luas di kalangan masyarakat. Terbukti dengan semakin banyaknya jumlah santri yang berdatangan dari segala penjuru tanah air, bahkan dari luar negeri (Singapura dan Malaysia). Nama pesantren yang terkenal dengan Nurul Jadid, bermula pada saat KH Zaini Mun’im didatangi seorang tamu, putra gurunya (KH Abdul Majid) bernama KH Baqir. Beliau mengharap kepada KH Zaini Mun’im untuk memberi nama pesantren yang diasuhnya dengan nama ‘Nurul Jadid’. Namun pada saat itu pula, KH Zaini Mun’im menerima surat dari Habib Abdullah bin Faqih yang isinya memohon agar pesantrennya diberi nama ‘Nurul Hadis’.

Dengan adanya dua nama yang diajukan oleh KH Baqir dan Habib Abdullah bin Faqih antara ‘Nurul Jadid’ dan ‘Nurul Hadis’, maka KH. Zaini Mun’im memilih nama ‘Nurul Jadid’ untuk diabadikan sebagai nama pesantrennya. Ternyata nama itu cukup berarti dalam dinamika perkembangan zaman. Sebab kiprah PP Nurul Jadid sudah diakui oleh berbagai pihak. Terutama dalam kepeduliannya ikut menciptakan manusia seutuhnya.

Secara pelan-pelan, kehidupan masyarakat mulai ada perubahan. Hal ini berkat ketekunan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya. Mereka disadarkan dengan sentuhan agama. Akhirnya, timbul suatu kesadaran di kalangan masyarakat bahwa merekalah yang sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk bisa merubah cara hidupnya, terutama dari kehidupan sosial-ekonomi. 

Pondok Pesantren Nurul Jadid adalah salah satu pesantren yang – ditinjau dari jumlah santri dan kelengkapan lembaganya – termasuk Pondok Pesantren yang besar. Sebagaimana Pondok Pesantren yang lain, peran yang dijalankan adalah sebagai lembaga pendidikan, dakwah dan perjuangan sekaligus sebagai agen perubahan sosial masyarakat, khususnya bagi masyarakat di desa lokasi Pondok Pesantren.

Pondok Pesantren Nurul Jadid didirikan oleh almarhum KH. Zaini Munim pada tahun 1950. Berlokasi di desa Karanganyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo Jawa Timur. Saat ini menempati areal seluas 17 Ha.

Upaya perubahan yang dilakukan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya terhadap masyarakat Karanganyar tersebut, kemudian dibalas dengan sikap simpati masyarakat berupa dukungan terhadap perkembangan PP Nurul Jadid. Di antaranya adalah dukungan masyarakat Karanganyar terhadap berdirinya Lembaga Pendidikan mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT).

Dilihat dari usianya, PP Nurul Jadid relatif muda dan belum terlalu lama, baru berjalan separoh abad. Menurut KH. Romzi Al-Amiri, Kepala Biro Kepesantrenan, Pon Pes Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo  yang masih keluarga kyai, mengatakan bahwa pendiri Pondok Pesantren (KH Zaini Abd. Mun’im) tidak bercita-cita untuk mencetak kyai, tetapi mencetak orang-orang yang bermanfaat kepada Islam dan bangsa. Tetapi tidak bisa dinafikan bahwa lulusan atau alumni Pondok Nurul Jadid, tidak sedikit yang menjadi kyai, dari mulai kyai kampung di desa sampai pusat. Bahkan tidak sedikit pula yang masuk di lingkaran struktur pemerintahan, seperti Bupati Sumenep yang sekarang ini.
Salah satu lembaga pendidikan yang ada di Pesantren Nurul Jadid: Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang didirikan pada tahun 1950-an. Selain mendirikan lembaga pendidikan MI, berdiri pula lembaga pendidikan taman kanak-kanak Nurul Munim. Pada saat yang sama dirintis pula sebuah sistem pendidikan model klasikal yang dulunya dikenal sebagai sistem khairiyah. Dalam sistem khairiyah itu, diterapkan sistem pendidikan yang sistematis dan terprogram. Sementara itu, materi pelajaran tidak hanya terbatas pada pelajaran-pelajaran agama. Namun pelajaran umum yang sudah diajarkan, sepertimatematika, bahasa Indonesia, ilmu tata Negara dan lain sebagainya.

Dalam rangka menerapkan sistem pendidikan yang sistematis dan terprogram itu pula, dirintis berdrinya sebuah lembaga yang diberi nama flour kelas. Lembaga ini dibentuk sebagai pendidikan lanjut bagi santri yang akan meneruskan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selanjutnya, tahun 1961, lembaga pendidikan flour kelas ini berubah nama menjadi Muallimin. Dan pada tahun 1964, mulai diajarkan materi bahasa Inggris, sejarah, geografi, biologi dan lain sebagainya.

Dalam perjalanan berikutnya Madrasah Muallimin, pada tahun 1969, berubah menjadi Madrasah Tsanawiyah (MTs). Dan selang tiga tahun kemudian, status MTs ini dinegerikan. Selain lembaga yang berafiliasi ke Depag berdiri Sekolah dasar Islam (SDI) pada tahun 1974. lembaga ini mulanya untuk menampung aspirasi masyarakat yang enggan menyekolahkan putra-putrinya ke dalam lembaga pendidikan Nurul Jadid yang lokasinya berada di dalam pesantren. Dua tahun kemudian, SDI menempati lokasi baru dan namanya berubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah Nurul Mun’im (MINM) yang sekaligus merupakan lembaga pendidikan formal tingkat dasar.

Satu tahun kemudian (1975), ketika kalangan masyarakat dan pemerintah sedang bersemangat mensosialisasikan prospek pendidikan agama, maka Yayasan Pesantren Nurul Jadid mendirikan sebuah lembaga Pendidikan Guru Agama Nurul Jadid (PGANJ) berjenjang 6 tahun. PGANJ ini hanya bertahan tiga tahun.

Pada pereode KH Hasyim Zaini, pesantren Nurul Jadid, mampu mengadaptasi segala respon positif serta kreasi-kreasi inofatif. Ponpes Nurul Jadid diupayakan terus menyesuaikan dirinya dalam konteks modernitas dan tetap mempertahankan tradisi lampau di lain pihak. Dalam hal kepemimpinan pesantren diterapkan kepemimpinan kolektif. Yaitu diasuh secara bersama-sama oleh 7 orang pengasuh. Walaupun secara structural, kepemimpinan pondok dijabat oleh seorang pengasuh saja. Akan tetapi dalam operasionalnya diterapkan kepemimpinan kolektif.

Dalam bidang keilmuan santri terus ditempa untuk menguasai khazanah keilmuan klasik yang tertuang dalam kitab kuning. Utamanya mereka yang duduk di jenjang MI, MTs dan MA. Sedangkan bagi mereka yang duduk di bangku SLTP dan SMU diarahkan untuk menguasai ilmu pengetahuan. Namun bukan berarti mereka tidak menguasai bidang keagamaan. Pendalaman keagamaan digalakkan di asrama santri. Jadi, pola pendidikan dan pembinaan pada pereode pendidikan dan pembinaan dilakukan secara integral. Sehingga terjadi sebuah proses yang saling mendukung antara program di sekolah dan kegiatan di asrama.

Selanjutnya, karena adanya perubahan dari sisdiknas, maka pada tahun 1977 PGANJ 6 tahun berubah menjadi MTs untuk kelas I, II, dan III. Sedangkan kelas IV, V dan VImenjadi Madrasah Aliyah Nurul Jadid (MANJ). Pada jenjang pendidikan tinggi juga mulai terlihat adanya peningkatan. Pada tahun 1979/1980 dirintis berdirinya Sekolah Tinggi Ilmu Syariah. Hal lainnya adalah, membekali santri dengan dengan life skill melalui pendelegasian mengikuti pelatihan, baik tingkat wilayah maupun tingkat nasional. Jumlah santri pada masa KH Hasyim Zaini meningkat drastic. Pada tahun 1983, jumlah santrinya mencapai sekitar 2000 santri.

Pada masa kepemimpinan KH A Wahid Zaini (pengasuh ketiga) PP. Nurul jaded mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik mengenai jumlah santri maupun pelayanan dan pengembangan kemasyarakatan. Tokoh pesantren yang mempunyai pemikiran modern ini tak hanya mendidik para santrinya agar mampu memahami ilmu-ilmu agama dan teknologi. Lebih dari itu pada masa kepemimpinannya, KH A Wahid Zaini mendorong kemajukan dan kemandirian masyarakat sekitar pesantren lewat pendidikan, ekonomi dan kesehatan.

Dalam bidang pendidikan, dilakukan pembenahan mulai dari TK hingga pendidikan tinggi. Pembenahan itu antara lain dilakukan pada TK Nurul Mun’im pada tahun 1989. TK Nurul Mun’im berubah menjadi TK Bina Anaprasa. Satu tahun kemudian beberapa lembaga pendidikan yang sebelumnya hanya memiliki status terdaftar dan diakui diusahakan menjadi disamakan. Dengan peningkatan status ini, lembaga pendidikan tersebut sejajar dengan lembaga pendidikan negeri. Beberapa lembaga tersebut adalah SMUNJ yang disamakan pada tahun 1990, SMPNJ disamakan pada tahun 1991, dan MTsNJ serta MANJ disamakan pada tahun yang sama yaitu 1997.

Pada tahun 1992, di PP. Nurul Jadid telah dirintis berdirinya Madrasah Aliyah Program Keagamaan (MAPK). Hal ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan anak didik memahami kitab klasik dan juga mampu berbahasa asing (Arab dan Inggris). Selanjutnya pada tahun 1995, berdasarkan kurikulum baru, lembaga pendidikan MAPK ini berubah nama menjadi MAK. Sementara itu, upaya-upaya pengembangan juga terjadi pada jenjang pendidikan tinggi. Seperti perubahan status dari PTID menjadi Institut Agama Islam Nurul Jadid (1986). Perubahan itu karena bertambahnya konsentrasi keilmuan di tubuh PTID menjadi tiga fakultas. Yaitu Fakultas Dakwah, Tarbiyah dan Syariah. Kemudian pada tahun 1999 masing-masing fakultas tersebut lolos akreditasi Badan Akreditasi Nasional (BAN). Menurut informasi dari KH. Romzi dalam waktu dekat IAINJ akan berganti nama menjadi Universitas Nurul Jadid dengan membuka Fakultas Pertanian.

Kiprah Pondok Pesantren

Berbagai upaya mendorong dan memajukan kemandirian masyarakat sekitar pesantren juga digalakkan. Melalui BPPM (Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), PP. Nurul Jadid antara lain mendirikan USP (Unit Simpan Pinjam) yang dirintis tahun 2000 guna membantu para petani tembakau dan juga memberikan pendampingan pada mereka. Pesantren dan masyarakat bermusyawarah seputar persoalan-persoalan pertembakauan, seperti kapasitas produksi, kapasitas daya tampung gudang dan lain-lain

Pesantren juga merintis berbagai usaha agrobisnis berupa penanaman variates tanaman. Seringkali tanaman petani hanya sejenis. Akibatnya, kalau satu terserang hama, semua tanaman akan ludes. Usaha lain berupa ternak dan perikanan. Untuk membantu masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan yang baik, Ponpes juga memberikan BP (Balai Pengobatan) Azzainiyah yang semula bernama Usaha Pelayanan Kesehatan santri (UPKS). Juga panti asuhan untuk menampung anak-anak dari kalangan ekonomi lemah.

Kepengasuhan pesantren kemudian dilanjutkan oleh KH M. Zuhri Zaini, pada masa beliau dilakukan pembenahan dalam struktur Pondok Pesantren seperti dibentuknya Dewan Pengasuh, koordinatorat sebagai lembaga yang membantu pengasuh, restrukturisasi BPPM, pembentukan bagian khusus yang menangani pembinaan Al Qur’an. Pada masa ini pula didirikan Ma’had Aly yang memiliki konsentrasi dalam pembinaan kader dakwah.

Untuk meningkatkan kinerja organisasi pesantren dilakukan beberapa langkah yang mengarah kepada pembenahan infrastruktur manajemen pesantren seperti pengadaan local Area Network (LAN) sebagai penghubung elektronik antar lembaga di Pondok Pesantren, sentralisasi data, pembuatan website dan pembakuan lembar pesantren. Pondok pesantren dalam mejalankan seluruh kegiatan baik yang menyangkut pendidikan formal maupun non-formal, dana yang terserap pada tahun 2003/2004 Rp 1. 097.479.907 (satu miliar sembilan puluh tujuh juta empat ratus tujuh puluh sembilan ribu delapan ratus tujuh rupiah) sedangkan pengeluaran pada tahu 2003/2004 Rp. 936.608.864 (sembilan ratus tiga puluh enam juta enam ratus delapan ribu delapan ratus enam puluh empat rupiah) sehingga saldo akhir tahun jumlahnya Rp. 160.870.943 (seratus eam puluh juta delapan ratus tujuh puluh ribu sembilan ratus empat puluh tiga rupiah). Sumber keuangan didapat atau dikumpulkan untuk kebutuhan pembiayaan tersebut dapat diperoleh dari: iuran santri, unit-unit usaha, donator, bantuan tidak mengikat. Sedangkan unit-unit usaha yang ada di pondok peantren Nurul Jadid yaitu:jahit menjahit, 9 buah warung nasi, 2 tokoh kelontong, foto copy, percetakan dan sablon, fotografi, toko pecah belah, cafeteria, toko bahan bangunan, toko alat-alat tulis kantor, persewaan mobil, percetakan dan sablon, took buku dan kitab, toko pakaian, industri tempe, dan warpostel. Unit-unit usaha ini lokasinya ada yang bertempat di dalam lokasi pondok pesantren, tetapi ada juga yang bertempat di luar pondok pesantren, dimaksudkan agar dapat melayani masyarakat luas.

Sejak berdiri hingga saat ini PP Nurul Jadid telah melahirkan ribuan alumni. Alumni yang masih berada di jenjang perguruan tinggi memiliki paguyuban sendiri seperti ikatan mahasiswa alumni Nurul Jadid (Malang) Paguyuban Alumni Nurul Jadid Yogyakarta, dan lain-lain. organisasi ini mempunyai kegiatan sendiri-sendiri dan secara rutin mengadakan pertemuan rutin di PP. Nurul Jadid yang biasanya dilakukan pada saat harlah pesantren. Total jumlah santri PP. Nurul Jadid adalah 5802 terdiri dari pria 2867 dan wanita 2935. Dari sekian jumlah santri, rata-rata mereka berasal dari berbagai tempat yang tersebar di Indonesia. Ada yang dari Jakarta, Kalimantan, Sumatra, Jawa. Bahkan ada yang dari mancanegara. Dilihat dari latar belakang ekonomi santri rata-rata mereka berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah. Melihat kondisi seperti itu, SPP di Pesantren tergolong relatif rendah di bandingkan misalnya dengan Pon Pes Gontor. Dengan SPP yang relatif murah itu dimaksudkan agar masyarakat luas bisa menjangkau pendidikan yang ada di dalam Pondok. Adapun pengeluaran rutin bulanan termasuk biaya operasional pesantren seperti listrik, telepon, air dan lain sebagainya mencapai sekitar 50 juta. Gaji guru disesuaikan dengan lamanya kerja dan loyalitas terhadap pesantren. Kalau dibuat rata-rata umumnya mereka menerima gaji sekitar 150 ribu dengan hitungan perjamnya senilai 1500 rupiah. Jika guru merangkap jabatan struktural maka akan mendapat tambahan honorarium. Umumnya mereka yang merangkap jabatan akan mendapat gaji antara 200 ribu sampai 250 ribu perbulan. Dengan gaji yang relatif rendah, para pengajar di Pondok tidak ada yang mengeluh, bahkan mereka bangga bisa mengamalkan ilmunya karena mereka percaya akan mendapatkan barokah dari kyai. Demikian tutur KH Romzi.

Lembaga pendidikan sekolah terdiri dari lembaga pendidikan klasikal yang memiliki afiliasi ke Diknas dan Depag. Selain itu PP Nurul Jadid juga memiliki lenbaga diniyyah dengan kurikulum yang mandiri. Disebut mandiri karena penyusunan kurikulumnya menjadi hak penuh dari pengelola pesantren. Lembaga pendidikan Nurul Jadid berafiliasi pada dua jalur yaitu depag yang di antaranya adalah TK dan RA, Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) dan Institute Agama Islam (IAI). Sedangkan yang berafiliasi pada diknas antara lain adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Umum (SMU) dan Sekolah Tinggi Teknologi (STT). Lembaga sekolah terebut di atas tidak seluruhnya bertempat di dalam pesantren. Tetapi ada sebagian yang lain berada di luar pesantren. Lembaga yang ada di luar pesantren merupakan salah satu kepedulian pesantren pada masyarakat sekitar yang memang membutuhkan berdirinya pendidikan sebagai tempat belajar bagi putera-puteri masyarakat. Hingga saat ini ada dua desa yang ada lembaga pendidikannya, yaitu desa Grinting dan Randu Merak. Umumnya guru-guru yang mengajar rata-rata bergelar Magister (S-2)

Sedangkan lembaga pendidikan yang memiliki kurikulum mandiri adalah lembaga pendidikan yang dikelola secara mandiri dalam rangka spesifikasi kemampuan santri agar memiliki kemampuan khusus sesuai dengan kecenderungannya. Lembaga ini termasuk badan otonom dalam pengelolaannya. Lembaga pendidikan yang bersifat badan otonom ini antara lain adalah Pusat Pendidikan Al Qur’an (PPIQ), Madrasah Diniyah (MD) Lembaga Pengembangan Bahasa Asing (LPBA), Ma’had Aly (MA). Lembaga tersebut berada di pesantren. Bahkan Madrasah Aliyah dipilih oleh Depag Pusat untuk dijadikan sebagai Madrasah yang akan dikembangkan sebagai Madrasah yang berstandard Internasional. Ada empat madrasah Aliyah di seluruh Indonesia yang akan dijadikan sebagai Madrasah berstandard Internasional dan salah satunya adalah Madrasah Aliyah Nurul Jadid. Bahkan proposalnya pun sudah disetujui oleh Depag dan mendapat kucuran dana dari Pemerintah sebesar 750 juta untuk tahun pertama. Model pembelajarannya pun berstandar ICT. Setidaknya itu sudah dirintis sejak sekarang, misalnya, ada kelas IPA, dan sejumlah ruang laboratorium bermutu tinggi. Bahkan, menurut KH Malthuf, dalam proses pembelajarannya anak-anak diwajibkan untuk mengoperasionalkan ICT termasuk di dalamnya adalah internet. Karena untuk menutup diri dari perkembangan ilmu dan teknologi jelas tidak mungkin.

Santri dibekali pula dengan life skill yang memadai. Hal ini ditempuh dengan kegiatan di luar pendidikan sekolah. Kegiatan tersebut meliputi kegiatan keorganisasian, pendidikan dan pelatihan serta kursus kilat. Lembaga pendidikan tersebut di atas merupakan tempat bagi santri-santri untuk belajar yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Itupun tetap dalam satu yayasan pondok pesantren Nurul Jadid. Sedangkan lembaga pendidikan yang berstatus badan otonom didirikan untuk menampung santri yang ingin memiliki spesialisasi dalam bidang keilmuan, skill maupun wawasan.

PENGASUH PONPES NURUL JADID 

1. KH. Zaini Mun'im (pengasuh dan pendiri) (alm.)
2. KH. Hasyim Zaini (alm.)
3. KH. Wahid Zaini (alm.)
4. KH. Zuhri Zaini
5. KH. Abdul Haq Zaini (alm.)
6. KH. Khotim Zaini

SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN NURUL JADID

Pondok pesantren Nurul Jadid menganut sistem kombinasi antara sistem modern dan salaf. Seluruh sistem pendidikan yang identik dengan pesantren salaf ada di Nurul Jadid seperti Madrasah Diniyah, Ma'had Aly, Pengajian Kitab, tahfidzul Qur'an, dll.

Begitu juga, seluurh sistem yang biasanya identik dengan pesantren modern juga tersebdia di PP Nurul Jadid yakni pendidikan formal dari TK sampai perguruan tinggi.

Infrastruktur

Masyarakat Karanganyar relatif stabil dilihat dari perekonomiannya. Walaupun sebagain besar masyarakat karanganyar dalah sebagai Petani, tetapi umumnya dilihat dari bangunan fisik rumahnya, rata-rata sudah terbuat dari tembok. Hampir semua rumah di Karanganyar mempunyai telpon, kurang lebih ada 237 rumah yang ada fasilitas telponnya dan 5 buah wartel. Soal listrik juga bukan hal yang sulit bagi daerah ini. Untuk warnet, memang di Karanganyar tidak ada sama sekali. Umumnya, masyarakat di sini jika ingin memakai internet mereka pergi ke kota dengan jarak yang cukup jauh 45 KM dengan lama tempuh 1, 5 jam.

Infrastruktur ICT di Pondok Pesantren Nurul Jadid juga sangat memadai. Desa itu cukup teraliri dengan listrik dan tidak ada hambatan dalam masalah air. Sebagai sebuah pesantren yang paling besar di kecamatan Paiton dan se-Kabupaten Probolinggo, pesantren Nurul Jadid memiliki fasilitas gedung, aula, tempat pembelajaran.

Pesantren ini memiliki sejumlah gedung sekolah dan madrasah. Sekolah terdiri dari lembaga pendidikan klasikal yang memiliki afiliasi ke Diknas dan Depag. Selain itu PP Nurul Jadid juga memiliki lenbaga diniyyah dengan kurikulum yang mandiri. Disebut mandiri karena penyusunan kurikulumnya menjadi hak penuh dari pengelola pesantren. Lembaga pendidikan Nurul Jadid berafiliasi pada dua jalur yaitu depag yang di antaranya adalah TK dan RA, Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) dan Institute Agama Islam (IAI). Sedangkan yang berafiliasi pada diknas antara lain adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Umum (SMU) dan Sekolah Tinggi Teknologi (STT). Lembaga sekolah terebut di atas tidak seluruhnya bertempat di dalam pesantren. Tetapi ada sebagian yang lain berada di luar pesantren. Lembaga yang ada di luar pesantren merupakan salah satu kepedulian pesantren pada masyarakat sekitar yang memang membutuhkan berdirinya pendidikan sebagai tempat belajar bagi putera-puteri masyarakat. Hingga saat ini ada dua desa yang ada lembaga pendidikannya, yaitu desa Grinting dan Randu Merak.

Sarana prasarana yang dimiliki pesantren ini adalah: gedung madrasah dan pesantren, laboratorium IPA, Laboratorium Komputer, Laboratorium Komputer dengan sistem LAN dan PC, Laboratorium Bahasa, Laboratorium Aplikasi Perkantoran, Laboratorium Multimedia, Laboratorium Perakitan dan Jaringan, Laboratorium Internet, Ruang Audio Visual, Perpustakaan, Perpustakaan Digital, Sistem Informasi Sekolah Online, Skill of english comunication, Sanggar Pengembangan Potensi Siswa, Sarana Olahraga, KOPSIS dan fasilitas-fasilitas lainnya yang umumnya hanya dimiliki oleh sekolah yang maju.

Dilihat dari fasilitas yang ada, maka infrastruktur ICT di pesantren ini tidak diragukan lagi keberadaannya. Bahkan dengan program language center, siswa diarahkan untuk menguasai skill kebahasaan (listening, speaking, reading, writing) sebagai persiapan di Perguruan Tinggi dan bekal berperan di dunia informasi yang semakin kompleks.

Untuk kesiapan sumber daya manusia, Pondok Pesantren Nurul Jadid ini sangat siap. Dengan fasilitas yang ada di sana (laboratorium IPA, Laboratorium Komputer, Laboratorium Komputer dengan sistem LAN dan PC, Laboratorium Bahasa, Laboratorium Aplikasi Perkantoran, Laboratorium Multimedia, Laboratorium Perakitan dan Jaringan, Laboratorium Internet, Ruang Audio Visual, Perpustakaan, Perpustakaan Digital, Sistem Informasi Sekolah Online), tenaga pengoperasionalannya juga sudah tersedia. Rata-rata guru di sana sudah canggih dalam mengoperasikan komputer. Di kalangan siswa/santri, ada juga yang sudah mahir menggunakan komputer itu.

Dengan fasilitas ICT yang cukup memadai, namun seperti yang dikatakan oleh KH. Romzi, secara institusional pesantren belum pernah mengadakan kerjasama dalam bidang pelatihan ICT, hanya secara individu ada ikatan emosional dengan sejumlah institusi lain, misalnya dengan PLTU. Pesantren juga sangat senang jika ada institusi lain atau lembaga lain yang mengadakan kerjasama, misalnya di bidang pelatihan, penbelajarn atau di bidang lainnya sepanjang dapat memberikan manfaat bagi Pondok Pesantren.

Kerjasama Pesantren dengan Masyarakat

Menurut Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Bapak Malthuf Siraj, yang juga masih keluarga Kyai Zuhri Zaini (Pengasuh Pon Pes Nurul Jadid sekarang), Kerjasama antara pesantren dan masyarakat sekitar dirasa sangatlah penting.Karenanya, berbagai upaya untuk mendorong dan memajukan kemandirian masyarakat sekitar pesantren juga digalakkan. Melalui BPPM (Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), PP. Nurul Jadid antara lain mendirikan USP (Unit Simpan Pinjam) yang dirintis tahun 2000 guna membantu para petani tembakau dan juga memberikan pendampingan pada mereka. Pesantren dan masyarakat bermusyawarah seputar persoalan-persoalan pertembakauan, seperti kapasitas produksi, kapasitas daya tampung gudang dan lain-lain.

Pesantren juga merintis berbagai usaha agrobisnis berupa penanaman variates tanaman. Seringkali tanaman petani hanya sejenis. Akibatnya, kalau satu terserang hama, semua tanaman akan ludes. Usaha lain berupa ternak dan perikanan. Untuk membantu masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan yang baik, Ponpes juga memberikan BP (Balai Pengobatan) Azzainiyah yang semula bernama Usaha Pelayanan Kesehatan santri (UPKS). Juga panti asuhan untuk menampung anak-anak dari kalangan ekonomi lemah.

Melalui kesadaran bermasyarakat ini, diharapkan bahwa pesantren dan santri tidak boleh menjadi menara gading yang jauh dari masyarakatnya. Pesantren dan santri harus menyatu dalam masyarakat. Artinya, pesantren merupakan bagian dari masyarakat. Dengan demikian masyarakat merasa memiliki pesantren dan pesantren juga sebaliknya. Sehingga tidak ada kesenjangan antara pesantren dan santri-santrinya dengan masyarakat.

Pesantren, para santri serta masyarakat merasa saling memiliki, maka segala bentuk kegiatan pesantren akan memperoleh dukungan dan segenap masyarakat. Bukankah pesantren lahir di tengah-tengah masyarakat untuk melakukan transformasi dan emansipasi, agar masyarakat dapat maju, baik peradabannya maupun tingkat sosial ekonominya.

Menurut Pak Rof’i, Kasi Pemerintahan Karanganyar, kerjasama pesantren dengan masyarakat sangat baik, secara normatif masyarakat Karanganyar sangatlah hormat kepada Kyai Pondok. Jika ada permasalahan yang terjadi di masyarakat, misalnya pelanggaran norma-norma yang dilakukan oleh sejumlah pemuda desa Karanganyar, Kyai tidak serta merta menghakimi, tetapi meminta kepada masyarakat agar yang bersangkutan tidak diproses tetapi harus dididik karena Kyai menganggap bahwa kejadian seperti itu salah satu faktornya diakibatkan oleh latar belakang pendidikannya yang kurang memadai. Bahkan jika ada orang tua yang tidak mampu untuk membiayai sekolah putra-putrinya, Kyai tidak segan-segan untuk menolongnya dengan cara dimasukkan di Pondok secara gratis. Artinya, tidak dipungut biaya.

Karenanya hubungan masyarakat denagn pesantren sangatlah baik. Jika pesantren berencana membangun salah satu gedung pendidikan, maka tanpa diminta pun masyarakat berbondong-bondong untuk memberikan bantuannya berupa tenaga. Sebaliknya, jika masyarakat mengadakan acara-acara sosial-keagamaan, maka tidak bisa tidak melibatkan Kyai. Pernah suatu hari ada demo masyarakat tentang kenaikan BBM, maka Kyai langsung turun memimpin demo dan memberikan pengarahan kepada masyarakat bagaimana demo itu tidak berakibat negative bagi kelangsungan demokrasi. Begitu pun kegiatan-kegiatan lain, seperti membangun musholla atau langgar, masyarakat selalu melibatkan Kyai, sehingga denagn keterlibatan kyai tersebut banyak masyarakat yang kompak jika ada tarikan dana pembangunan musholla atau langgar. Dengan adanya pesantren Nurul Jadid, secara tidak langsung telah meningkatkan perekonomian masyarakat. Pesantren memberikan peluang kerja kepada masyarakat. Seperti misalnya, masyarakat bisa berjualan makanan di dalam pesantren, ada juga yang bekerja sebagai tukang masak, atau ada yang disuruh untuk menjaga anak-anak pesantren dan semua pekerja-pekerja itu mendapatkan gaji yang cukup dari pesantren. Dalam soal-soal zakat misalnya, pesantren tiap tahunnya mengeluarkan zakat sampai merata di masyarakat. Tidak ada satu pun mustahiq (orang yang menerima zakat) di lingkungan masyarakat Karanganyar yang tidak menerima bagian zakat.

Kerjasama dengan Pemerintah

Kerjasama dengan Depag dalam menyelenggarakan Program Paket B dan C sudah lama dilakukan oleh PP. Nurul Jadid. Setidaknya itulah informasi yang disampaikan oleh Bapak Kepala Sekolah Madrasah Aliyah yang juga menjabat sebagai Kepala Biro Pendidikan Agama di PP. Nurul Jadid. Pak Malthuf Siraj ini tercatat sebagai seorang menantu dari salah satu Kiai di lingkungan Pesantren Nurul Jadid. Hal yang sama juga dikatakan oleh Kepala Biro Kepesantrenan, KH. Romzi yang mengatakan bahwa Pesantren mulai tahun ini membuka program paket B kerjasama dengan Depag. Menurut KH. Romzi, tidak sulit untuk mengumpulkan masyarakat karena mereka pada dasarnya sangat antusias dengan program pendidikan kesetaraan Paket B dan C. Pendidikan kesetaraan program paket B ini rencananya bertempat di tengah-tengah masyarakat. Sementara program KF bertempat di dalam pesantren. Sekadar diketahui bahwa penyelenggara dari pada program KF ini adalah kelompok Ibu-ibu yang berada di lingkungan pesantren.

Berbagai kerjasama, baik berupa kegiatan Pondok Pesantren maupun undangan dari Depag kerap kali dilakukan. Artinya, kerjasama dengan Depag berjalan dengan baik dan tidak ada masalah. Bahkan baru-baru ini lembaga pendidikan Madrasah Aliyah menerima kucuran dana dari Pemerintah Departemen Agama Pusar senilai 750 juta untuk dana pengembangan Madrasah aliyah berstandar internasional. Menurt Pak Malthuf, bantuan itu baru pada tahap pertama pengembangan Madrasah.

Berbeda dengan Depag, agaknya kerjasama antara Pondok Pesantren dengan Diknas, sedikit kurang harmonis. Namun, hal tersebut belum sampai mengganggu pola hubungan komunikasi antara keduanya (Pondok dan Diknas). Biar bagaimanapun ketika bersinggungan dengan aktifitas belajar mengajar hubungan tetap berjalan dengan baik. Memang, pernah suatu hari, Pondok Pesantren Nurul Jadid mendapat bantuan dari Departemen Diknas senilai 20-an juta. Pihak Diknas meminta kepada pihak pesantren untuk mengambil uang bantuan itu ke kantornya, namun, oleh pihak pesantren ditanggapi lain. Pesantren punya persepsi yang berbeda. Pesantren dalam hal ini diwakili oleh Kepala Sekolah SMA Nurul Jadid, menganggap bahwa permintaan untuk mengambil bantuan ke Diknas itu adalah sebuah penghinaan dan merupakan cara yang tidak etis. Kepala Sekolah SMA Nurul Jadid, yaitu Bapak Syamsul Ma’arif, mengatakan bahwa dalam sejarahnya, baru sekali itu ada kejadian Pondok Pesantren diminta datang ke Diknas untuk mengambil dana bantuan itu. Menurutnya, bukan nilainya yang relatif kecil, tetapi cara yang dilakukannya dinilai sebagai sebuah tindakan yang tidak etis.

Dia membandingkan dengan Kepala Diknas yang dulu pernah memberikan sejumlah uang 200 juta, tetapi uang itu diantarkan sendiri ke Pesantren. Itu merupakan suatu bentuk penghormatan sekaligus penghargaan pemerintah terhadap pesantren. Apalagi pesantren Nurul Jadid adalah salah satu pesantren terbesar dan sudah dikenal di mana-mana. Tidak hanya di Probolinggo, tetapi di seantero Nusantara. Bahkan nama PP. Nurul Jadid sudah sampai ke luar negeri, seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Terbukti banyak santri pendatang dari Luar Negeri untuk menimbah ilmu agama di pesantren Nurul Jadid.

Hubungan yang kurang harmonis antara PP. Nurul Jadid dan Diknas, tidak hanya persoalan di atas, tetapi lebih karena dipicu oleh persoalan politik pemerintahan daerah setempat. Sayangnya, peneliti tidak memperoleh data lengkap mengenai soal itu. Bahkan beberapa orang di lingkungan pesantren dan sejumlah pengurus Pondok, saya konfirmasi masalah itu, mereka agaknya enggan menjawab, apalagi bercerita panjang lebar mengenai hal tersebut.

Pesantren Tidak Berpolitik

Dalam soal-soal yang berhubungan dengan masalah politik, misalnya pilihan kepala daerah, pemilihan presiden, kyai tidak pernah meminta kepada warga secara fulgar untuk memilih salah satu pasangan calon kepala daerah atau kepala Negara atau tepatnya partai. Kyai memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menentukan pilihannya. Hanya saja, kyai meminta dan berpesan kepada masyarakat agar calon pemimpin yang akan dipilih tidak salah dan dapat membawa aspirasi masyarakat. Kyai rupanya sangat menyadari bahwa persoalan politik adalah persoalan yang amat sangat sensitif, sehingga karenanya kyai tidak ikut intervensi terlalu jauh kepada masyarakat. Di lingkungan pesantren pun kyai selalu menjaga agar persoalan politik tidak sampai merusak citra pondok pesantren.

Kerjasama dengan Diknas

Selama ini, beberapa pesantren yang ada di Probolinggo sudah ada yang menjalin kerjasama dengan Diknas. Umumnya yang mengadakan kerjasama adalah pesantren-pesantren yang membuka program Kejar Paket B, C, KF, dan life skills. Pondok Pesantren. Menurut kasi PLS Pak Hasin, program paket B dan C kurikulumnya mengacu kepada kurikulum nasional. Sebagaimana yang tercantum dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 26 Ayat (6). Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan dapat bersifat formal, nonformal dan informal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri dari pendidikan dasar (SD dan SMP), pendidikan menengah (SMA/SMK) dan pendidikan tinggi (perguruan tinggi). Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal, yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang (seperti Kejar paket A, Kejar Paket B, dan Kejar Paket C). Sedangkan pendidikan informal adalah pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan nonformal atau yang lebih dikenal dengan istilah Pendidikan Luar Sekolah (PLS) ini, diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan luar sekolah berfungsi mengembangkan potensi peserta didik/warga belajar dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional.

Di samping itu dimaksudkan juga untuk masyarakat lain yang memerlukan layanan khusus dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai dampak dari perubahan peningkatan taraf hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak ada batasan usia dalam program kesetaraan ini. Pegawai negeri, ABRI, anggota DPR, karyawan pabrik banyak yang memanfaatkan program kesetaraan ini untuk meningkatkan kualifikasi ijazah mereka. Oleh karena itu, pengertian pendidikan kesetaraan adalah jalur pendidikan nonformal dengan standar kompetensi lulusan yang sama dengan sekolah formal, tetapi kontens, konteks, metodologi, dan pendekatan untuk mencapai standar kompetensi lulusan tersebut lebih memberikan konsep terapan, tematik, induktif, yang terkait dengan permasalahan lingkungan dan melatihkan kecakapan hidup berorientasi kerja atau berusaha sendiri.

Dengan demikian pada standar kompetensi lulusan diberi catatan khusus. Catatan khusus ini meliputi: pemilikan keterampilan dasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Paket A), pemilikan keterampilan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja, dan pemilikan keterampilan berwirausaha (Paket C). Perbedaan ini oleh kekhasan karateristik peserta didik yang karena berbagai hal tidak mengikuti jalur pendidikan formal karena memerlukan substansi praktikal yang relevan dengan kehidupan nyata.

Selama ini Diknas mengambil inisiatif cerdas untuk menjemput bola dari pesantren-pesantren shalaf yang memerlukan pendidikan kesetaraan paket B dan C. untuk menyelenggarakan program itu Diknas bekerjasama dengan sejumlah organisasi misalnya PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), PKK. Fathayat NU. Umumnya mereka yang dijadikan mitra kerja dalam penyelenggaraan program belajar Paket B dan C merasa senang karena bagian dari tanggungjawab mereka untuk mencerdaskan bangsa. Salah satu strategi Diknas untuk melakukan jemput bola itu misalnya, dengan cara mengumpulkan para Kyai pondok di Islamic Centre, walaupun terkadang dengan anggaran yang sangat jauh dari mencukupi. Artinya sangat minim.

Adapun yang sudah berjalan sasaran dari program pendidikan paket B dan C ini tidak hanya siswa/santri pondok tetapi juga para pengajar/ustadz yang belum mempunyai ijazah kesetaraan dan juga masyarakat secara umum. Pesantren-pesantren yang sudah melakukan kerjasama dengan Diknas adalah PP Al Habib Husen, PP Al Ikhlas, PP Ad Dasuqi, PP Raudhatul Jannah, PP Miftahul Huda, PP Babussalam, PP Nurul Falah, PP Al Hidayah, PP Nurul Badriyah. Sedangkan di luar pesantren yag terdiri dari kelompok-kelompok belajar adalah Pokjar Putra Harapan, Pokjar Mawar, Pokjar Ki HJ. Dewantoro, Pokjar Gunung Jati, Pokjar Muslimat NU, Pokjar Sunan Ampel, Pokjar Melati, Pokjar Sekarsari. Pokjar Nusa Bhakti, Pokjar Dewantara, dan lain-lain

Saya sangat setuju dengan program jarak jauh lewat internet karena itu sangat membantu kelancaran program pendidikan apalagi sudah menggunakan fasilitas internet. Kita bisa membantu menyiapkan modul dan kemudahan dalam rekrutmen dngan cara mengundang pondok-pondok pesantren dan orang tua yang anaknya belum mendapatkan pelayanan pendidikan. Kita menggunakan tenaga pendidikan yang paham tentang ICT minimal D2 dan mereka kita gaji, biasanya guru SMP atau guru SMA. Harapan saya kepada warga belajar punya ijazah dan punya ilmunya.

Kerjasama dengan Depag

Menurut Kepala Depag Kabupaten Probolinggo, Bapak Sholeh Fikri, perkembangan pesantren di Probolinggo sangat pesat sekali, baik Pondok Pesantren yang shalafiyah maupun yang ‘Asyriyyah atau kholafiyah. Namun di natara jumlah Pondok Pesantren yang ada di Kabupaten Probolinggo, masih banyak pesantren jenis pertama. Oleh karenanya dengan jumlah yang banyak itu Depag bekerjasama dengan semua pihak, pemerintah maupun pondok pesantren yang menyelenggarakan program pendidikan paket B dan C dalam rangka untuk menyelesaikan wajardikdas 9 tahun.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Seksi Pekapontren di Depag Kabupaten Probolinggo, bahwa perkembangan Pon Pes di Probolinggo jumlahnya semakin meningkat, setidaknya itu dikatakannya semenjak dia masuk di seksi pekapontren jumlahnya 217 dan sekarang jumlahnya sudah mencapai angka 234. Menurutnya keluaran Pon Pes ingin mendirikan Pondok, terutama berkaitan dengan Wajardikdas Program Paket B dan C. dari jumlah 234 pesantren itu, umumnya pesantren model salafiyah, sementara yang asyriyah yang nampak adalah Pesantren Nurul Jadid dan Pesantren Zainul Hasan Genggong.

Depag selalu mengadakan kerjasama dengan pesantren. Misalnya mengadakan sosialisasi wajardikdas, madrasah diniyyah, Program Paket B dan C. Dengan sejumlah kerjasama antara Depag dan pesantren itu, khususnya yang shalafiyyah, Depag berupaya untuk memberikan pendidikan menejemen administrasi. Karena di titik inilah kelemahan paling mendasar pondok pesantren shalafiyah. Kerjasama yang dilakukan oleh Depag dengan pesantren juga banyak berkaitan dengan proses belajar mengajar, Porseni, bantuan-bantuan RKB (Ruang Kegiatan Belajar) untuk madrasah-madrasah diniyyah yang ada di pondok pesantren. Depag juga memberikan subsidi bagi guru-guru mengaji dan mereka yang mengajar di pondok-pondok pesantren yang masih minim anggaran atau belum mempunyai sarana dan prasarana yang memadai. Depag melakukan upaya yang maksimal demi kelancaran proses belajar mengajar. Dengan adanya pondok pesantren yang jumlahnya ratusan itu kiranya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, utamanya pendidikan di bidang agama.

Menurut Seksi PK-Pontren, banyak pondok pesantren salaf yang antusias agar mereka dapat bekerjasama dengan Depag menyelenggarakan Program Paket B dan C agar mendapatkan Ijazah kesetaraan. Jadi, tujuan pendidikan kesetaraan itu berjenjang tiap paketnya. Paket A, misalnya, kalau sudah lulus diharapkan warga belajar mampu menolong diri sendiri. Paket B, warga belajarnya kalau sudah lulus diharapkan mempunyai keterampilan tertentu dan di program Paket C setara SMU, warga belajarnya diharapkan mampu menciptakan wira usaha dan kemampuan optimal dalam dirinya. Soal pembiayaannya selain ada bantuan pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) juga berasal dari swadaya masyarakat. Untuk kejar paket B dan kejar paket C disubsidi oleh pemerintah, sedangkan beberapa pendidikan keterampilan dan pendidikan usia dini biayanya berasal dari swadaya masyarakat. Biaya dari pemerintah tersebut dipergunakan untuk membayar honor pengajar yang berjumlah lima hingga delapan orang tersebut. Pengajar atau yang disebut dengan "sumber belajar" beberapa berasal dari pegawai dinas pendidikan serta anggota masyarakat yang telah memiliki ijazah sumber belajar.

Berkaitan dengan program pendidikan paket B dan C di atas, Depag selama beberapa tahun terakhir ini sudah menjalin kerjasama dengan sejumlah Pon Pes. Program Paket B bekerjasama dengan PP. Miftahul Qur’an, PP. Ainul Hasan, PP. Miftahul Ulum, PP. Al-Amin. Sedangkan untuk Program Kesetaraan Paket C kerjasama dengan PP Badrul Husna, PP Miftahul Qur’an, PP Al Hidayah, PP Ainul Hasan, PP Barokatul Hasan.

Program pendidikan jarak jauh lewat Internet yang ditawarkan oleh ICIP disambut dengan sangat baik. Cuma, menurutnya banyak pesantren yang belum mapan secara fisik. Artinya infrastrukturnya masih belum memadai, kecuali PP Nurul Jadid, PP Zainul Hassan Genggong. Sedangkan pesantren yang lain masih minim sarana dan prasarana.

Kisah Kyai Antik Dari Pesantren Genggong


Siapa pun akan terkesima saat memasuki gerbang kompleks Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo, Jawa Timur. Di situ berdiri kokoh (bangunan permanen) lambang Nahdlatul Ulama (NU) yang cukup besar berukuran sekitar 5 x 4 meter persegi. Di bawah lambang tersebut tertulis, “Selamat Datang di Kota Santri Pesantren Zainul Hasan Genggong.”

Memasuki komplek pesantren ini sangat menyenangkan hati. Tiap pagi dan sore hari, muda-mudi berbusana rapi menyandang kitab suci, hilir mudik silih berganti pulang pergi mengaji. Gambaran penuh nuansa keagamaan yang kental.Pesantren ini sudah berusia 163 tahun, tepatnya didirikan tahun 1839 M/1250 H oleh almarhum KH. Zainul Abidin dari keturunan Maghribi (Maroko) di Desa Karang Bong Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo Provinsi Jawa Timur.

Pesantren Zainul Hasan yang kini memiliki sekitar 20.000 santri ini mengalami tiga kali pergantian nama yang bermotifkan kepada sejarah pertumbuhan pesantren dan adanya gagasan untuk menggabadikan para pendiri Pondok Pesantren Zainul Hasan sebelumnya. Perubahan nama ini terjadi pada periode kepemimpinan KH. Hasan Saifourridzal. Nama Pondok Genggong sendiri diabadikan sejak kepemimpinan KH Zainul Abidin sampai kepemimpinan KH. Moh Hasan tahun 1952. Nama pesantren kemudian berganti menjadi “Asrama Pelajar Islam Genggong” dan terakhir “Pesantren Zainul Hasan.”

Sejak masa pertumbuhannya serta perkembangannya Pesantren Zainul Hasan Genggong lebih dikenal dengan sebutan Pondok Genggong, nama Genggong ini ini khusus untuk menyebutkan nama komplek pondok itu saja, yang luasnya dibatasi oleh pagar keliling dimana Al-Marhum KH. Zainal Abidin bermukim.

Kata Genggong berasal dari nama sekuntum bunga yang banyak tumbuh dalam pekarangan tersebut, menurut legenda bunga itu dipergunakan oleh banyak orang sekitarnya untuk merias pengantin, khitan (Sunatan) dan keperluan pengantin lainnya.

Kemudian mengingat besar arti dan fungsi bunga itu bagi masyarakat sekitarnya, maka diabadaikannya nama bunga itu menjadi nama pondok tersebut, yaitu Pondok Genggong.

Pesantren Zainul Hasan, sejak pertumbuhannya telah mengalami tiga kali pergantian nama yang bermotifkan kepada sejarah pertumbuhan Pesantren serta pengaruh sekitarnya dan gagasan adanya keinginan untuk mengabadikan para pendiri Pesantren Zainul Hasan sebelumnya. Perubahan nama ini terjadi pada periode kepemimpinan KH. Hasan Saifouridzall dengan ketetapan sebagai berikut :

1. Nama Pondok Genggong diabadikan sejak kepemimpinan KH. Zainul Abidin sampai kepemimpinan KH. Moh. Hasan dari tahun 1839 M sampai tahun 1952.

2. Pada tahu 1952 pada masa kepemimpinan KH. Hasan Saifouridzall diganti dengan nama asrama pelajar Islam Genggong (APIG) dengan latar belakang berdirinya asrama yang ditempati para santri dan bertambahnya jumlah santri pada masa itu. Nama ini dipakai dari tahun 1952 Masehi – 1959 Masehi.

3. Pada tahun 1959 timbul gagasan untuk merubah nama Pondok dengan motif timbulnya dorongan rasa ingin mengabdi kepada kedua tokoh sebelumnya yang telah berhasil mengorbitkan nama pondok Genggong dikalangan masyarakat luas. Maka sejak tanggal 1 Muharrom 1379 H. / 19 Juli 1959 M. dalam pertemuan dewan pengurus, Al-Mukarrom KH. Hasan Saifouridzall telah menetapkan perubahan nama asrama pelajar Islam Genggong (APIG) menjadi Pesantren Zainul Hasan tersebut, adalah hasil perpaduan nama dari tokoh sebelumnya dimana kata “ZAINUL” diambil dari nama Almarhum KH. Zainul Abidin dan kata “HASAN” diambil dari nama Al-Marhum KH. Moh. Hasan, sebagai pembina kedua.

Pesantren Zainul Hasan Genggong atau lebih dikenal dengan sebutan pondok Genggong ‎ adalah yayasan pendidikan pesantren ‎ yang dibangun pada tahun 1839 ‎Masehi oleh Almarhum Syekh Zainul Abidin ‎dari keturunan Maghribi, Maroko Afrika. Pesantren Zainul Hasan Genggong kini memiliki sekitar 20.000 santri dan berlokasi di Genggong, Kecamatan Pajarakan,Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.

Sejarah dan Perkembangan

Berdirinya Pesantren Zainul Hasan sejak awal pendiriannya dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Genggong yang didirikan oleh KH. Zainul Abidin pada tahun 1839 M / 1250 H. Yang terletak di desa Karangbong Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo. Adapun motifasi pendiri Pesantren tersebut merupakan cita-cita mulia dan luhur yang didasarkan pada tanggung jawab secara keilmuan setelah melihat realitas masyarakat yang masih buta huruf dan masyarakatnya dikenal dengan awam yang sama sekali tidak mengenal ilmu pengetahuan agama secara perilaku kehidupan masyarakat cenderung  berperilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai agama seperti melakukan perbuatan dosa besar kepada Allah SWT, baik perbuatan syirik, zina, perilaku kekerasan sesamanya dengan cara merampas hak milik orang lain dan penganiayaan terhadap sesamanya serta perbuatan judi yang dilakukan oleh masyarakat setiap hari.

Berangkat dari dasar pemikiran yang didasarkan pada realitas perilaku masyarakat tersebut, maka KH. Zainul Abidin, dia keturunan maghrobi  dan alumnus pesantren Sidoresmo Surabaya merasa terpanggil jiwanya untuk mengamalkan  ilmu yang didapatnya kemudian dijadikan dasar berjuang dengan menebarkan ilmu pengetahuan agama baik berupa pengajian maupun di sampaikan melalui kelembagaan berupa institusi Pondok Pesantren

Pesantren Zainul Hasan Genggong dan kata “Genggong” berasal dari nama sekuntum bunga yang tumbuh di sekitar pesantren dan bunga tersebut dipergunakan oleh masyarakat untuk rias manten dan khitan. Perubahan nama pesantren digagas oleh kepemimpinan KH. Hasan Saifourridzall dengan maksud dan tujuan ingin mengabadikan kedua nama pendiri pesantren sebelumnya dengan kronologis sebagai berikut:

Nama Pondok Genggong diabadikan sejak kepemimpinan KH. Zainul Abidin sampai dengan kepemimpinan KH. Moh. Hasan dari tahun 1839 sampai dengan 1952M(113 tahun).
 
‎Pada masa kepemimpinan KH. Hasan Saifourridzall pada tahun 1952 Pondok Pesantren Genggong diganti dengan nama Asrama Pelajar Islam Genggong ”APIG” yang didasarkan pada semakin tinggi minat masyarakat belajar di Pondok Pesantren, hal itu dapat dilihat dari jumlah santri, grafiknya meningkat dan nama tersebut diabadikan terhitung sejak 1952 M. Sampai dengan 1959M. (7 tahun).
  
Pada masa kepemimpinan KH. Hasan Saifourridzall pula timbul gagasan untuk mengabadikan kedua pendiri pesantren yaitu KH. Zainul Abidin dan KH. Mohammad Hasan tepatnya pada tanggal 1 Muharrom 1379 H./ 19 juli 1959 M, menetapkan nama Pesantren semula bernama Asrama Pelajar Islam Genggong menjadi Pesantren Zainul Hasan Genggong, nama Pesantren tersebut mengabadikan dari kedua pendiri pesantren tersebut.

Dasar-dasar pengembangan Pesantren Zainul Hasan Genggong di arahkan pada pendidikan sesuai dengan kebutuhan zaman, akan tetapi pendidikan pesantren pada setiap satuan pendidikannya tetap memperkuat jati dirinya sebagai bagian dari Pesantren Salafiyah dengan berpedoman pada kaidah

المحافضةعلي القديم الصا لح والا خدعلي الجد يدالاصلح

”Mempertahankan metodologi yang lama dan mempergunakan metodologi yang baru yang lebih baik”.

Dasar tersebut di atas itulah yang dijadikan pedoman bagi pengembangan pendidikan Pesantren Zainul Hasan Genggong yang ditandai dengan dibukanya beberapa sekolah dan madrasah dengan mengunakan metodologi yang baru dalam konsep pembelajarannya yang dapat memperkuat jati diri lulusan pendidikan pesantren tetap berpegang teguh pada pada moralitas, budi pekerti yang luhur dan konsep penanaman ibadah sebagai bagian dari penuntasan belajar dan bagian dari jati dirinya.

Riwayat KH Muhammad Hasan (Kyai Hasan Sepuh)

KH. Mohammad Hasan, begitulah nama lengkap tokoh kita di naskah ini. Di masa kecil, beliau bernama Ahsan. Beliau lahir di sebuah desa bernama Sentong. Sentong terletak  4 km arah selatan kraksaan. Dulu, desa Sentong masih berada di wilayah kawedanan Kraksaan. Saat ini Sentong termasuk wilayah Kecamatan Krejengan.

Pada suatu malam, langit cerah waktu itu, sepasang suami istri tidur terlelap di rumahnya. Si suami, seorang lelaki bernama Syamsuddin sehari-hari bekerja mencetak genteng. Genteng yang diolah dari tanah liat dijual untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Istrinya, seperti wanita pada umumnya, adalah seorang ibu rumah tangga yang patuh pada suaminya. Khadijah–nama istrinya–juga turut membantu pekerjaan suaminya itu dan menyiapkan hidangan yang layak untuk suaminya. Keluarga itu adalah keluarga yang bahagia.
Malam itu Syamsuddin bermimpi indah. Dalam mimpinya ia melihat istrinya merenggut bulan purnama

kemudian bulan itu ditelan tanpa tersisa sedikitpun. Ketika terbangun, syamsuddin bertanya-tanya apa makna mimpinya itu. Berhari-hari dia merasa penasaran, namun belum ada jawaban yang dapat memuaskan rasa penasarannya itu. Syamsuddin dan istrinya hanya bisa bermunajat kepada Allah SWT berharap bahwa mimpi itu merupakan pertanda baik bagi mereka berdua. Aktifitas mereka berdua kembali seperti biasa. Suatu hari Khadijah merasa bahwa dia sedang hamil untuk kedua kalinya. Sepertinya mimpi suaminya bahwa khadijah menelan bulan purnama menandakan bahwa dia akan hamil.

Syamsuddin adalah orang yang rajin bersedekah, begitu pula Khadijah istrinya. Setiap mendapat hasil kerja, tak lupa mereka bersedekah kepada orang-orang yang berhak. Suami istri ini adalah keluarga yang taqwa kepada Allah SWT. Ibadah adalah rutinitas yang utama dalam keluarga ini. Di lingkungannya, keluarga ini adalah salah satu keluarga terpandang. Masyarakat memanggil suami istri itu dengan sebutan Kiai dan Nyai. Jadilah panggilan mereka berdua Kiai Syamsuddin dan Nyai Hajjah Khadijah. Namun masyarakat lebih akrab memanggil mereka dengan sebutan lain yaitu Kiai Miri dan Nyai Miri. Hingga wafatnya, pasangan Kiai Miri-Nyai Miri ini memiliki 5 orang putra.
Kiai Miri adalah putra dari Kiai Qoiduddin, sedangkan Nyai Khadijah ini adalah anak ke-2 dari 8 bersaudara dari suami istri yang Qomariz Zaman. Qomariz Zaman sebenarnya adalah nama sang ibu, sedangkan nama ayah Nyai Khadijah tidak diketahui. Kelak, nama Qomariz Zaman ini diabadikan sebagai sebuah ikatan perkumpulan anak keturunan kakek-nenek Qomariz Zaman.
Waktu terus berlalu dan ketika genap hitungannya, lahirlah jabang bayi laki-laki yang dinanti-nantikan itu. Ketika itu tanggal 27 rajab 1259 h, kurang lebih bertepatan dengan 23 agustus 1843 m. Oleh Kiai Miri, putranya itu beliau beri nama Ahsan; Ahsan bin Syamsuddin.

Ahsan tumbuh selayaknya anak kecil pada umumnya. Di bawah bimbingan ayah dan ibunya, Ahsan mendapatkan bimbingan yang layak. Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama karena sang ayah, Kiai Miri, meninggal dunia pada saat Ahsan masih kecil. Jadilah Ahsan hanya diasuh oleh sang ibunda.

Ketika kecil, Ahsan telah menampakkan suatu keistimewaan tersendiri dibandingkan saudara-saudara dan teman-teman sebayanya. Keistimewaan itu tercermin dari sifat-sifat yang melekat pada diri Ahsan. Sikap, tutur bahasa, dan tata krama pada orang sekitarnya sangat sopan dan santun. Ahsan juga termasuk anak yang cerdas pikirannya, cepat daya tangkap hafalannya serta kuat daya ingatnya, merupakan sifat-sifat yang memang dimiliki sejak kecil. Pergaulannya sehari-hari senantiasa dibimbing ibundanya dengan baik. Selain ibunda, Ahsan juga dibimbing oleh seorang pamannya yang bernama sama dengan sang ayah yaitu Kiai Syamsuddin.

Pamannya ini mempunyai seorang putra bernama Asmawi. Asmawi berusia lebih tua dari Ahsan sehingga Ahsan memanggil Asmawi dengan sebutan kakak. Sebaliknya Asmawi memanggil Ahsan dengan sebutan Adik. Mereka berdua selalu bersama-sama sejak kecil hingga melanglang buana menuntut ilmu di Mekkah.

Sebagai pribadi, Ahsan kecil memiliki sifat rendah hati, ikhlas, selalu menghormati orang lain, ramah pada siapapun yang dijumpai. Sebagai seorang muslim, ahsan menganggap bahwa dirinya memiliki kewajiban untuk senantiasa meningkatkan dan memperbaiki kualitas moral yang terdapat dalam diri beliau. Dalam Islam, akhlak memiliki dimensi yang luas dan universal. Mencakup akhlak terhadap apapun dan siapapun yang ada di sekitar kita. Termasuk akhlak terhadap lingkungan, terhadap alam, terhadap hewan, dan lain sebagainya.
Dalam bertutur kata Ahsan diajarkan untuk selalu berkomunikasi dengan bahasa madura yang halus dan santun disertai dengan sikap yang lemah lembut pula. Ahsan tak pernah menggunakan bahasa madura dengan aksen kasar pada siapapun. Kelak, akhlak beliau itu tetap merupakan ciri khas tersendiri yang dimilikinya hingga wafat. Hal ini tak lepas dari ajaran yang diberikan oleh ibunda beliau dan pamannya itu yang mengajarkan akhlakul karimah dan makna iman dan taqwa pada Allah SWT.

Sebagai seorang muslim, Ahsan meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam kehidupan. Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Jika keyakinan semacam ini mampu diterapkan dalam diri setiap muslim, maka akan muncul penerapan keyakinan bahwa Allah adalah yang pertama kali harus dijadikan prioritas dalam berakhlak. Akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang ada di muka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah, maka ia tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang lain.

Ahsan sejak kecil telah mendapat didikan yang baik. Ahsan adalah seorang anak yang taat dan rajin menjalankan terhadap perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam setiap pekerjaan atau aktifitas kesehariannya, ia memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diembankan padanya. Segala sesuatu yang dia hadapi dianggapnya sebagai sebuah bentuk tanggung jawab yang tidak boleh ia hindari. Ahsan sadar betul bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak Allah SWT. Dalam setiap aktifitas yang dijalaninya dengan perasaan ikhlas dan ridha. Semuanya merupakan ketentuan Allah SWT.
Setiap kali melaksanakan aktifitasnya sehari-hari, Ahsan tidak pernah lupa atas kewajibannya sebagai muslim. Apabila telah tiba waktunya, maka buru-buru Ahsan segera pulang untuk melaksanakan kewajiban sholat 5 waktu. Dalam sholatnya, tidak lupa ia memohon petunjuk kepada Allah SWT atas setiap perbuatannya. Ahsan senantiasa memohon ampunan dengan bertaubat kepada Allah SWT. Ia beribadah semata-mata hanya mengharap ridla Allah. Di luar kewajibannya melaksanakan ibadah sholat, Ahsan juga seorang bocah yang rajin melantunkan bacaan Al-Qur’an di rumahnya yang sederhana.

Setelah ditinggal wafat oleh ayahandanya, praktis hanya ibundanya yang mengasuh Ahsan secara intensif. Layaknya orang tua pada umumnya, Nyai Miri mendidik Ahsan dengan kesabaran. Orang tua adalah orang yang paling dekat dengan seorang anak. Demikian juga dengan Ahsan dengan Nyai Miri; hubungan antara seorang anak dan ibu. Ahsan menaruh akhlak yang baik kepada ibundanya ini. Baginya, tidak ada sesuatu yang mampu menggantikan kebaikan ibundanya itu. Pengorbanan yang diberikan oleh seorang ibu tidak sebanding dengan penghargaan apapun yang diberikan seorang anak. Oleh karena itulah, pengorbanan yang demikian besarnya dari orang tua, dibalas oleh Ahsan dengan akhlak dan etika yang baik terhadap mereka. 

Ahsan kecil belajar mengaji al-qur’an dan pengetahuan keagamaan di kampung halamannya. Bersama Asmawi dan teman masa kecilnya yang lain, Ahsan berguru pada Kiai Syamsuddin. Pada dasarnya memang Ahsan dan Asmawi adalah anak-anak yang cerdas. Selain cerdas, keduanya juga rajin dan punya rasa ingin tahu yang besar, terlebih lagi pada ilmu pengetahuan. Tak heran, keduanya selalu tercepat dalam pelajaran hafalan dan hafalannya tetap kuat diingat meski telah lama dihafalkan. Pelajaran yang disampaikan mudah sekali dicerna oleh keduanya. Sementara teman-temannya yang lain masih ketinggalan pelajaran, Ahsan dan Asmawi telah mampu menyelesaikan beberapa bagian pelajaran di depan mereka. Selalu begitu hingga menginjak remaja nanti. Ahsan hafal di hari senin, Asmawi hafal di hari selasa, maka teman-temannya hafal di senin berikutnya.

Dari tahun ke tahun Ahsan dan Asmawi kemudian menginjak masa remaja. Masa kecil keduanya telah berlalu. Didikan dan bimbingan yang baik yang ditanamkan oleh ibunda dan pamannya merupakan bekal yang berharga untuk segera menentukan langkah di masa depan mereka. Dengan bekal rasa ingin tahu dan haus pada ilmu pengetahuan yang memang besar, bersama Asmawi mereka ingin mengembangkan wawasan dan ilmu mereka. Ketika itu Ahsan berusia 14 tahun. Setelah berpamitan pada ibunda dan kerabatnya yang lain, dengan bekal secukupnya berangkatlah Ahsan dan Asmawi, sepupu cerdasnya itu menuju ke Pondok Sukunsari Pohjentrek Pasuruan. Jarak antara Sentong ke pondok tersebut  70 km. Ahsan dan Asmawi sudah tentu berjalan kaki. Di tahun 1857 itu, penjajah Belanda telah menancapkan kakinya di bumi pertiwi lebih dari dua abad lampau.

Ahsan dan Asmawi belajar dan mengabdi di pondok ini, pengasuhnya ialah seorang kiai bernama KH. Mohammad Tamim. Keduanya adalah santri yang tekun dan rajin di setiap kegiatan pondok. Seperti cerita di masa kecilnya dulu, Ahsan dan Asmawi masih saja selalu unggul atas teman-teman santri lainnya di pondok tersebut. Ahsan hafal di hari senin, Asmawi hafal di hari selasa, maka teman-temannya hafal di senin berikutnya.

Keduanya hidup sederhana di pesantren itu. Jika suatu waktu mereka mendapatkan rizki, mereka tidak pernah menghambur-hamburkan rizki itu, namun ditabung. Mereka berdua mempunyai tabungan yang disimpan di kamar; ditempatkan di atas loteng. Nyatalah suatu ketika tabungan mereka tu berguna. Suatu hari, Kiai Tamim sedang meninjau keadaan bangunan-bangunan milik pesantren. Saat itu muncullah keinginan beliau untuk memperbaiki beberapa bagian bangunan pondok yang rusak. Niat itupun bulat setelah dipertimbangkan masak-masak. Kiai Tamim pun menghitung-hitung biaya yang dibutuhkan untuk perbaikan. Ternyata biaya Untuk perbaikan tersebut tidak sedikit. Sedangkan kondisi keuangan Kiai Tamim masih belum mencukupi biaya tersebut. Biayanya sekitar 10 gulden.

Mengingat biaya yang dibutuhkan tidak sedikit, Kiai Tamim akhirnya mengutarakan niat tersebut pada para santri beliau. Dalam penyampaiannya, beliau berharap jika ada santri yang memiliki uang sejumlah biaya tersebut, kiai hendak meminjam uang tersebut. Sang kiai pun berharap-harap cemas, namun dari sekian banyaknya santri beliau tak seorang pun yang memberikan tanggapan terhadap hal itu. Kiai Muhammad Tamim pun sedikit kecewa karena beliau tahu bahwa di antara santri-santri itu ada yang berasal dari kalangan keluarga yang mampu secara ekonomi.

Di antara para santri itu, duduk pula Ahsan dan Asmawi. Setelah Kiai Tamim menyampaikan maksud beliau dan majelis selesai, keduanya bergegas menuju kamar. Simpanan uang yang diletakkan di kamar mereka ambil tanpa dihitung terlebih dahulu. Lalu mereka berdua bergegas menghadap Kiai Tamim untuk menyerahkan semua uang simpanan itu. Setelah bertemu, keduanya langsung menyerahkan uang simpanan tersebut kepada Kiai Tamim dengan hati ridla dan tulus tanpa mengharap kembalinya uang itu.

Kiai Tamim merasa terharu menerima uang simpanan itu. Beliau kagum pada Ahsan dan Asmawi karena sikap mulia itu. Keduanya hidup secara sederhana dalam kesehariannya, tapi untuk tujuan yang suci, apapun yang dimiliki diberikan meski sedikit. Kiai Tamim lantas memanjatkan do`a kepada Allah SWT untuk keduanya.

Setelah merasa cukup menuntut ilmu di Sukunsari, Ahsan dan Asmawi menyampaikan keinginannya kepada Kiai Tamim untuk melanjutkan menuntut ilmu pondok Bangkalan Madura. Kiai Tamim dengan bangga dan terharu melepas dua orang santri cerdas itu berangkat ke madura. Semangat yang luar biasa besar dari dua orang remaja tanggung demi menuntut ilmu itu mengalahkan jarak tempuh yang luar biasa jauh. Dengan kembali berjalan kaki, kemudian menyeberangi laut, kemudian kembali berjalan kaki menuju Pondok Bangkalan Madura. Di situlah seorang ulama besar pencetak ulama besar menempa santrinya dengan ilmu pengetahuan dan wawasan kehidupan. Kurang lebih nama beliau adalah KH. Mohammad Kholil. Saat itu tahun 1860/1861.

Kiai Kholil adalah kiai yang termasyhur kealimannya. Dari beliaulah banyak tampil ulama-ulama besar di pulau Madura dan Jawa. Santri-santri beliau kemudian banyak yang mendirikan atau mengasuh pesantren-pesantren besar dan terkemuka. Sebagian besar ulama menyatakan bahwa Kiai Kholil adalah seorang waliyullah.

Suatu ketika Kiai Kholil mengalami kesusahan. Beliau memanggil Ahsan. Ahsan lalu menghadap beliau, kemudian Kiai Kholil menyampaikan maksud tersebut, yaitu meminta pertolongan Ahsan agar ikut berdoa kepada Allah memohon kemudahan dalam menyelesaikan urusan yang meresahkan Kiai Kholil. Ahsan pun lantas ikut berdoa. Keesokan harinya, kesusahan Kiai Kholil tersebut dapat teratasi. Pertanyaan yang patut dikedepankan ialah mengapa Kiai Kholil memanggil Ahsan dan memintanya untuk ikut berdoa(?)

Selama berada di madura, selain berguru pada Kiai Kholil, Ahsan sempat berguru pada Syeikh Chotib Bangkalan dan juga KH. Jazuli Madura. Sebenarnya ada guru Ahsan yang bernama Syekh Nahrowi di Sepanjang Surabaya dan Syekh Maksum dari Sentong, desa kelahiran Ahsan. Sangat disayangkan tidak ada penjelasan mengenai di mana dan kapan Ahsan berguru kepada Syekh Nahrowi. Pada referensi terdahulu atau di sumber pendukung lainnya hanya disebutkan bahwa Syekh Nahrowi adalah guru beliau, juga tidak ada yang bisa memastikan pernahkah Ahsan bermukim sementara di Surabaya untuk berguru pada Syekh Nahrowi. Tidak diketahui juga kapan dan di mana Ahsan berguru pada Syekh Maksum. Jadi persoalannya ialah kapan dan di mana Ahsan berguru pada Syekh Nahrowi dan Syekh Maksum.

Setelah tiga tahun berada di Bangkalan, suatu ketika Asmawi ingin lebih memperdalam lagi ilmunya. Dalam hati kecilnya, Asmawi selalu bertanya-tanya mengapa Ahsan selalu lebih cepat menghafal dan menangkap pelajaran daripada dirinya. Dalam pikirannya Asmawi menganggap Ahsan lebih cerdas dan sulit dilampaui kecerdasannya oleh Asmawi. Setiap pelajaran kitab yang dipelajari, Ahsan selalu saja terlebih dahulu paham. Timbullah perasaan iri tersebut; iri pada kecerdasan seorang anak manusia. Asmawi bertekad untuk menambah ilmunya. Dia berfikir, bahwa jika dirinya berkumpul dengan Ahsan, maka dirinya akan selalu kalah pada Ahsan. Satu-satunya cara ialah menuntut ilmu di tempatnya ilmu, sedangkan Ahsan tidak pergi ke tempat itu karena masih tetap belajar di Bangkalan. Maka pastilah dirinya akan lebih mampu dan lebih pintar dibanding Ahsan. Tempat tujuan itu hanya satu dan cukup jelas di pikiran Asmawi: Makkatul Mukarromah!

Setelah segala sesuatunya selesai disiapkan, di tahun 1863 berangkatlah Asmawi sendirian menuju Makkatul Mukarromah untuk menunaikan Ibadah Haji di samping akan memperdalam ilmunya. Girang benar perasaan Asmawi. Sementara di bangkalan, Ahsan melepas keberangkatan Asmawi dengan perasaan bangga memiliki saudara sepupu yang haus ilmu. Namun di hati kecilnya, saat itu muncul pula keinginan untuk menyusul saudaranya itu ke Mekkah. Namun waktu itu menyusul berangkat asmawi adalah sesuatu yang sangat sulit. Ahsan pun bermunajat pada Allah SWT memohon agar dapat menyusul saudaranya itu.

Tidak lama setelah Asmawi berangkat, Ahsan dipanggil pulang ke Sentong oleh sang ibunda. Setibanya di rumah, Ibunda menanyakan apakah Ahsan juga berminat untuk berangkat ke Mekkah atau meneruskan mondok. Jika hendak ke Mekkah, uang yang tersedia masih belum mencukupi biaya keberangkatan. Jika hendak ke Mekkah, maka Ahsan harus giat mencetak genteng dan terpaksa tidak kembali ke bangkalan untuk memenuhi biaya keberangkatan. Pilihan itu memang sulit. Ahsan pun melakukan istikharah (mohon petunjuk) kepada Allah SWT. Dari istikharah itu, Allah memberikan satu petunjuk dengan suatu kalimat yang ditampakkan pada Ahsan. Isinya adalah kalimat If`al Laa Taf`al (kerjakan dan jangan kerjakan). 

Dari isyarat itu, Ahsan menarik suatu kesimpulan bahwa bekerja di rumah atau tetap meneruskan mondok dan tidak bekerja adalah sama saja. Berangkat ke Mekkah guna menuntut ilmu juga akan tetap terlaksana jika Allah menghendaki. Atas kesimpulan itu, Ahsan memilih untuk meneruskan mondok saja. Akhirnya Ahsan kembali menuju ke Bangkalan.

Setibanya di Bangkalan, Ahsan langsung menghadap kepada Kiai Kholil untuk mengadukan hal tersebut sekaligus memohon doa kepada Kiai Kholil, supaya Allah segera mentaqdirkan keberangkatannya ke tanah suci dan terlaksana dengan mudah. Kiai Kholil pun mendo`akan niat dan harapan itu. Selanjutnya Ahsan kembali melakukan aktifitasnya sebagai santri.

Selang beberapa waktu kemudian, ibunda kembali menyuruh Ahsan untuk pulang lagi. Setibanya di rumah, Ahsan mendapati bahwa ongkos pembiayaan ke Mekkah sudah cukup tersedia, meski hanya cukup untuk ongkos perjalanan saja. Biaya hidup selama di tengah perjalanan dan selama di Mekkah tidak termasuk dalam biaya tersebut. Namun karena kegigihan dan bulatnya tekad Ahsan, maka Ahsan tetap berangkat dengan biaya tersebut. Ahsan pun berpamitan pada ibundanya dan Kiai Kholil. Ahsan berangkat ke Mekkah sekitar tahun 1864.

Di Mekkah, Ahsan kembali berkumpul saudaranya, Asmawi. Asmawi gembira mendapati saudaranya juga ditakdirkan oleh Allah juga tiba untuk menuntut ilmu di Mekkah sekaligus menunaikan ibadah haji. Namun hati kecilnya mengatakan bahwa ia akan kembali kalah dalam menerima ilmu pengetahuan kepada Ahsan. Asmawi yang tiba lebih dulu dan telah mengetahui seluk beluk Mekkah, selang beberapa hari setelah Ahsan tiba kemudian mengajak Ahsan untuk bertamu pada salah satu temannya yang bernama Abdul Qohar. Setelah bertemu ternyata oleh Asmawi keduanya dipertemukan untuk bermujadalah (debat). Berlangsunglah mujadalah itu dan hasilnya semua persoalan mujadalah dapat diselesaikan dengan baik oleh Ahsan. Lawan debatnya mengakui kemampuan ilmu yang dimiliki Ahsan. Di tengah perjalanan pulang, Ahsan bertanya pada Asmawi kenapa dirinya diadu-debat. Untuk menutupi maksudnya menguji kemampuan Ahsan, Asmawi berkelit bahwa pertemuan itu hanyalah ajang musyawarah.

Asmawi semakin yakin bahwa Ahsan memang memiliki kemampuan yang luar biasa, namun perdebatan itu masih belum cukup untuk membuktikan hal tersebut. Akhirnya Asmawi kembali mengajak Ahsan untuk bermujadalah. Kali ini dengan seorang keturunan Magrabi yang telah bermukim di Mekkah selama 40 tahun, dia seorang ulama yang alim di Mekkah. Ahsan yang memang tidak pernah berprasangka buruk pada siapapun menurut saja ketika dirinya diajak bertamu pada ulama tersebut dan tidak mengetahui maksud pertemuan itu. Seperti pertemuan dengan orang sebelumnya, pertemuan itu kembali berlangsung dengan mujadalah. Pertemuan yang dimulai sejak pagi setelah sholat dluha itu berlangsung jam demi jam hingga berlangsung hingga waktu sholat Dluhur, dan berjamaahlah mereka bertiga. Setelah sholat, mujadalah kembali berlangsung. Setiap pertanyaan yang dialamatkan pada Ahsan secara bertubi-tubi dari ulama itu dijawab dengan baik oleh Ahsan. Dalam hatinya ulama itu mengakui kecerdasan Ahsan. Di ujung mujadalah, Ahsan hendak mengajukan pertanyaan untuk dijawab oleh sang ulama lawan debatnya, namun tak dapat dijawab. Serta merta ulama tersebut berkata, ”Sungguh dia adalah pemuda yang benar-benar ’alim!”

Pertemuan pun selesai setelah kedua pemuda jawa itu pamit pulang. Ahsan kembali bertanya pada kakandanya itu kenapa dirinya diadu-debat dengan orang lagi? Asmawi kemudian menyampaikan maksudnya mendebatkan Ahsan dengan beberapa orang. Ahsan kemudian meminta kakandanya itu tidak lagi mempertemukan Ahsan dengan orang-orang jika tujuannya adalah mujadalah. Demi mendengar permintaan itu, Asmawi kemudian berjanji tidak akan mengulangi hal tersebut.

Ahsan kemudian berguru pada beberapa orang syekh terkemuka di Mekkah di samping pada beberapa orang ulama Indonesia yang bermukim. Guru-guru mereka selama menuntut ilmu di Mekkah adalah KH. Mohammad Nawawi bin Umar Banten, KH. Marzuki Mataram, KH. Mukri Sundah, Sayyid Bakri bin Sayyid Mohammad Syatho Al-Misri, Habib Husain bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi, Syekh Sa`id Al-Yamani Mekkah, dan Habib Ali bin Ali Al-Habsyi. Nama terakhir ini adalah guru Ahsan ketika sempat bermukim di Madinah.

Sejak tekun menuntut ilmu di Pondok-Pondok, kezuhudan dan kekhusyu`an telah terlihat dalam diri Ahsan. Selama di Pondok beliau tak pernah makan makanan selain makanan yang diperoleh dari ibunda beliau jika berada di rumah serta makanan pemberian guru beliau. Jika menanak nasi, Ahsan seringkali mencampurnya dengan pasir. Hal ini dilakukan agar pada saat makan, beliau bisa makan dengan pelan, karena di samping menyuap nasi, juga harus menyisihkan dan membuangi pasir yang bercampur dengan nasinya itu.

Sejak kecil Ahsan dan Asmawi memang mempunyai tanda-tanda bahwa keduanya memiliki keistimewaan yang akan berguna bagi masyarakat suatu saat nanti. Kelak hal itu benar-benar terbukti, masyarakat tidak lagi memanggil dua orang itu dengan nama Ahsan dan Asmawi. Masyarakat telah mengenal dua orang tokoh dan ulama besar itu dengan nama KH. Mohammad Hasan Genggong dan KH. Rofi’i Sentong.

Selama berguru sejak kecil hingga berada di Mekkah, Ahsan memiliki banyak sahabat. Selain Asmawi, banyak lagi sahabat-sahabat lainnya seperti KH. Hasyim Asy`ari Tebuireng Jombang, KH. Nawawi Sidogiri Pasuruan, KH. Nahrowi Belindungan Bondowoso, KH. Abdul Aziz Kebonsari Kulon Probolinggo, KH. Syamsul Arifien Sukorejo Situbondo, KH. Sholeh Pesantren Banyuwangi, KH. Sa`id Poncogati Bondowoso, Kiai Abdur Rachman Gedangan Sidoarjo, Kiai Dachlan Sukunsari Pasuruan, dan Habib Alwie Besuki.

Demikian juga dengan para Habaib. Ahsan juga banyak memiliki kedekatan seperti dengan Habib Hasyim Al-Habsyi Kraksaan, Habib Abdullah Al-Habsyi Palembang, Habib Sholeh bin Abdullah Al-Habsyi Pasuruan, Habib Hasan bin Umar Kraksaan, Habib Achmad bin Alwie Al-Habsyi Kraksaan, Habib Sholeh Al-Hamid Tanggul Jember, Habib Husain bin Hadi Al-Hamid Brani Maron, Habib Sholeh bin Muhammad Al-Muhdlar Bondowoso, Habib Abu Bakar Al-Muhdlar Lumajang, dan juga Habib Muhammad Al-Muhdlar Bondowoso.

KH. Mohammad Hasan wafat pada malam Kamis, jam 23.30 tanggal 11 Syawal tahun 1374 h/01 Juni 1955M.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...