Kamis, 21 Oktober 2021

Sejarah Sang Blawong Mendirikan Pesantren


Pada 1 Januari 1925, KH. A. Djazuli Usman mendirikan sebuah madrasah dan pondok pesantren. Ia memanfaatkan serambi Masjid untuk kegiatan belajar mengajar para santri. Tanpa terasa santri yang belajar dengan KH. A.Djazuli membengkak menjadi 100 orang.

Masyarakat sekitar pondok pesantren Al-Falah Ploso pada awalnya tergolong masyarakat abangan (jauh dari agama). Ketika awal berdiri, banyak masyarakatnya mencemooh pondok pesantren Al-Falah. Apalagi para pejabat dan bandar judi, yang setatus quonya mulai terganggu. Mereka sering menyebarkan isu-isu sesat terhadap pondok pesantren ini.

Fenomena semacam itu memang menjadi tantangan berat bagi pesantren

yang menjadi pusat kegiatan simakan Al-Qur’an Mantab ini. Namun para pengurusnya tidak merasa gentar. Justru tantangan itu membulatkan tekad mereka untuk mengubah masyarakat abangan, menjadi masyarakat yang islami. Hasilnya seperti sekarang ini. Pesantren terus berkembang, dan kehidupan islami tercipta dengan sendirinya di sekitar pondok pesantren. 

Pondok pesantren yang letaknya ditepi sungai Berantas ini banyak mengambil keuntungan dari letak geografis tersebut. Sungai yang terkenal deras airnya dan terus mengalir sepanjang musim banyak memberikan kehidupan para santri serta para masyarakat sekitarnya. Dipinggir sungai inilah terletak desa Ploso, 15 km arah selatan dari Kediri. Potensi wilayah seperti ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Umumnya mereka memanfaatkan tanah yang subur ditepi sungai berantas untuk bercocok tanam.

Organisasi Kelembaganan

Ponpes Alfalah Ploso menganut sistem manajemen tradisional, dalam arti, kepemimpinan tunggal yang tersentral pada figur seorang kiai memegang otoritas yang tinggi dalam pengelolaan pesantren. Manajemen semacam itu terus berlangsung sampai pada saat sekarang saat pesantren ini diasuh oleh KH. Zainuddin Djazuli putra Kiai Djazuli. KH. Zainuddin dalam mengasuh pesantren yang sering digunakan kegiatan tingkat regional ini dibantu para adik-adiknya dan saudara-saudaranya, seperti KH. Nurul Huda (Gus Dah) yang mengasuh pondok pesantren putri, KH. Fuad Mun’im (Gus Fu’), KH. Munif, Bu Nyai Hj. Badriyah (Bu Bad) dan Gus Sabut putra almarhum Gus Mik (yang mengomandani Jama’ah Sima’an Al-Qur’an Mantab) dll.

Pondok pesantren Al-Falah Ploso Kediri sebagaimana kebanyakan pesantren di kota Kediri merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran model salafaiyah.
Program Pendidikan.

Program pendidikan dan pengajaran di ponpes Al-Falah, terdiri dari: Madrasah Ibtidaiyah (3 tahun), Madrasah Tsanawiyah (4 tahun) , dan Majelis Musyawarah Riyadlotut Tholabah (5 tahun).

Pada tingkat Ibtidaiyah materi yang banyak ditekankan adalah masalah akidah dan akhlak, sedangkan untuk tingkat Tsanawiyah ditekankan pada materi ilmu nahwu / sharaf dan ditambah ilmu fiqih, faroidl serta balaghah. Adapun Majelis Musyawarah merupakan kegiatan kajian kitab fiqih, yakni Fathul Qorib, selama satu tahun, Kitab Fathul Mu’in selama 1 tahun dan Fathul Wahab selama 3 tahun.

PENGASUH/PIMPINAN PONDOK PESANTREN AL-FALAH PLOSO‎

1. KH. A. Djazuli Usman
2. KH. Zainuddin Djazuli putra Kiai Djazuli 
3. KH. Nurul Huda (Gus Dah) yang mengasuh pondok pesantren putri 
4. KH. Fuad Mun’im (Gus Fu’) 
5. KH. Munif, 
6. Bu Nyai Hj. Badriyah (Bu Bad) dan 
7. Gus Sabut putra almarhum Gus Mik ‎

SISTEM PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN AL-FALAH PLOSO

Pondok pesantren Al-Falah Ploso Kediri sebagaimana kebanyakan pesantren di kota Kediri merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran model salafaiyah.
Program Pendidikan.

Program pendidikan dan pengajaran di ponpes Al-Falah, terdiri dari: Madrasah Ibtidaiyah (3 tahun), Madrasah Tsanawiyah (4 tahun) , dan Majelis Musyawarah Riyadlotut Tholabah (5 tahun).

Pada tingkat Ibtidaiyah materi yang banyak ditekankan adalah masalah akidah dan akhlak, sedangkan untuk tingkat Tsanawiyah ditekankan pada materi ilmu nahwu / sharaf dan ditambah ilmu fiqih, faroidl serta balaghah. Adapun Majelis Musyawarah merupakan kegiatan kajian kitab fiqih, yakni Fathul Qorib, selama satu tahun, Kitab Fathul Mu’in selama 1 tahun dan Fathul Wahab selama 3 tahun.

PROFIL KH AHMAD DJAZULI USMAN PENDIRI PESANTREN PLOSO

DI AWAL ABAD KE-20, TEPATNYA TANGGAL 16 MEI 1900 DISAAT PENJAJAH MENINDAS BANGSA INDONESIA, TELAH LAHIR SEORANG BAYI YANG DIBERI NAMA MAS'UD. IA LAHIR DARI KALANGAN BANGSAWAN YANG RELEGIUS DARI KELUARGA BESAR RADEN MAS M. UTSMAN SEORANG ONDER DISTRIK (PENGHULU KECAMATAN). SUASANA GEMBIRA MENYAKSIKAN LAHIRNYA BAYI DI DUNIA, DARI WAJAHNYA TERPANCAR NUR ILAHIYAH PERTANDA BAHWA KELAK IA AKAN MENJADI FIGUR YANG DIKAGUMI MASYARAKAT.

SEBAGAI PUTRA BANGSAWAN, MAS’UD MEMPUNYAI MASA DEPAN YANG CUKUP CERAH DAN PENUH HARAPAN,MAS’UD SEKOLAH DI SR MOLO , AMS BAHKAN SAMPAI PERGURUAN TINGGI STOVIA (FAKULTAS KEDOKTERAN UI SEKARANG) DI BATAVIA.

DENGAN MODAL KECERDASAN DAN KETEKUNAN YANG DI MILIKI, MAS'UD MUDA TUMBUH MENJADI PUTRA ZAMAN YANG TANGGUH DAN PATUT DI TELADANI, INI SEMUA DAPAT DIKETAHUI DARISEMUA JENJANG PENDIDIKAN YANG DAPAT DISELESAIKAN DENGAN BAIK, SEBAGAIMANA LAYAKNYA ANAK-ANAK MUDA LAINYA DI TEMPAT TINGGALNYA,SEJAK DINI MAS’UD SUDAH MELAKSANAKAN TEORI DAN PRAKTEK BELAJAR MENGAJAR DI DESANYA TERUTAMA SEKALI PENDIDIKAN AGAMA, BELIAU SUDAH MEMPERSIAPKAN UNTUK MENEMPUH KEHIDUPAN YANG AKAN DATANG DENGAN ILMU,AHLAQ DAN AQIDAH YANG LUHUR.

Sang Blawong Pewaris Keluhuran

Dialah Mas’ud, yang mendapat julukan Blawong dari KH. Zainuddin. Kelak dikemudian hari ia lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri dan pengasuh I Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri.

Diam-diam KH. Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Mas’ud memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok.
“Co, endang ning pondok!”
“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.”
“Ayo, Co…mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”
Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.‎

Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa.‎

Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.
Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM Utsman kedatangan tamu, KH. Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura).‎
“Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.
“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab Ayah Mas’ud.
“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kyai Ma’ruf.
Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar karsidenan Kediri.
Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.‎‎

Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk dan pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin.
KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).
Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.‎

Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu.
Setelah empat mondok di Mojosari, Mas’ud kemudian dijodohkan dengan Ning Badriyah putri Kyai Khozin, Widang, Tuban (ipar Kyai Zainuddin). Namun rupa-rupanya antara Kyai Khozin dan Kyai Zainuddin saling berebut pengaruh agar Mas’ud mengajar di pondoknya. Di tengah kebingungan itulah, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah.‎

H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Abdul Aziz As-Su’ud.
Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.‎

Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asya’ri.
Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya.
Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyakrat.
Dengan modak tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.‎

Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok Indonesia.‎

Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, ia gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.
Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.‎

Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai Djazuli selama mondok di sana.‎

Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum,”katanya berulangkali kepada para santri.‎

Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Beliau meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari buah perkawinannya dengan Nyai Rodliyah, yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim (Gus Miek), KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatus Badriyah. Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.‎

Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu.
Pondok pesantren Al Falah di desa Ploso Mojo Kediri dari awal didirikannya hingga saat ini tetap menggunakan model salafiyah. Pondok ini memiliki kecenderungan penguasaan ilmu, pemahaman pemikiran dan tradisi ulama-ulama salaf yang hidup pada zaman tiga generasi setelah masa Nabi Muhammad Saw. Pondok pesantren Al Falah yang memprioritaskan kebutuhan akhirat dalam orientasi pendidikannya. Hal ini berdampak minat calon santri belajar pondok ini cenderung menurun pada tiga tahun terakhir ini, santri kurang bisa beradaptasi dengan masyarakat modern yang telah berubah dan berpola pikir yang matrealitik, alumni pesantren salafiyah tidak mampu berkompetisi dalam dunia kerja karena kompetensi santri pesantren salafiyah belum diakui oleh stackeholder.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kyai pondok pesantren al Falah Ploso Mojo Kediri dalam mempertahankan model pesantren salafiyah di pondok pesantren salafiyah memiliki alalasan-alasan tertentu diantaranya: 
a) Pencapaian kefokusan mendalami ilmu agama Islam sehingga mampu menjiwai ilmu yang dipelajari dengan semaksimal mungkin. 
b) Keikhlasan dalam beribadah pada Allah menjadi sebuah tujuan pendidikan baik bagi lembaga dan santri-santrinya. 
c) Mematuhi amanah yang telah diamanatkan oleh pendiri pondok pesantren Al Falah. 
d) Melestarikan ilmu dan ajaran-ajaran ulama salaf yang berpegangan pada ajaran ahli sunnah wal jamaah. 
e) Pondok pesantren salafiyah benteng pertahanan untuk menyelamatkan agama Islam dari aliran-aliran yang menyimpang dari Al Quran dan Hadis Nabi Muhamma Saw.

Temuan ini bertentangan dengan konsep keseimbangan bertindak dan beramal dari ajaran Islam seperti dalam hadis nabi yang menyatakan," Sedangkan sekarang ini pesantren besar maupun kecil dari hari ke hari bertambah dan mulai menerapkan konsep keseimbangan pendidikannya. Sebuah konsep pemenuhan kebutuhan pendidikan Islam yang berorientasi untuk kepentingan dunia dan akhirat secara berimbang dan bersama-sama. Seperti konsep Nabi," beramallah kamu untuk kepentingan duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya dan beramallah kamu untuk akhiratmu seakan-akan kamu meninggal di hari besok." Serta," Bagi siapa yang menghendaki dunia maka wajib untuk mempelajari ilmu dunia. Bagi siapa yang menghendaki akhirat maka wjib mempelajari ilmu akhirat bagi siapa yang ingin kedua-duanya wajib memiliki ilmu dunia dan akhirat.‎

Keunikan Mbah Kyai Zainuddin Dan Pesantren Mojosari

 

Pondok berusia tua yang didirikan oleh KH. Ali Imron beratus-ratus tahun yang lampau ini memang tergolong cukup antik dan aneh (kontroversial). Bila Anda datang bertamu ke sana mungkin akan merasa kaget atau asing. Seringkali ada tamu atau santri baru yang datang langsung disambut oleh para santri Mojosari, lalu digendong beramai-ramai sambil dibacakan shalawat. Bila santri baru ini berani membalas dengan kata-kata, kontan dimasukkan ke dalam kamar dan diambilkan pentung kemudian penggojlokan dilanjutkan. Tidak main-main apabila masih berani juga bisa dipentung sungguhan sampai tunduk.

Oleh-oleh berupa rokok, jajan atau uang recehan tak segan-segan diminta oleh santri dan dikeroyok dibagi rata beramai-ramai. Banyak tamu menjadi malu, jengkel bahkan marah, sehingga mengadukan hal ini langsung kepada kiai.

Pada zaman Kiai Zainuddin masih memangku pondok, beliau sering memarahi santrinya yang bertingkah kurang etis tersebut, bahkan sampai memukul-mukul dengan tongkat. Akan tetapi tradisi itu tak pernah sembuh, hanya sempat berkurang dan kambuh lagi. Akhirnya kiai pasrah menganggapnya sebagai suatu suratan pembawaan dari Pondok Mojosari. “Biarkah saja mereka nakal, ibarat padi mereka masih muda wajarlah kalau tengadah, nanti jika mereka sudah berisi akan merunduk dengan sendirinya,”begitu ungkapan beliau.

Namun santri Mojosari mengaku bahwa sama sekali tak ada maksud negatif apalagi akan menyakiti kepada para tamu atau santri baru. Gojlokan hanyalah suatu tradisi yang maksudnya untuk melatih kesabaran dan memperkuat mental dalam menerima cobaan. Sebagaimana layaknya perpeloncoan untuk mahasiswa baru di universitas.

Suasana setiap hari di Pondok Mojosari sangat berbeda dengan pondok-pondok salafiyah pada umumnya. Di pondok ini tidak nampak santri-santri tekun belajar, melakukan riyadhah atau tirakat puasa, ngrowot, mutihan dan sebagainya. Banyak santri yang bergerombol bersenda-gurau, ngobrol dengan bebas, yang penting mereka mengaji dengan tertib dan rajin shalat berjamaah.

Namun bukan berarti permasalahan ukhuwah sesama santri diabaikan. Bahkan suasana keakraban dan persamaan nasib nampak sangat menonjol. Tidak ada seorang santripun dapat menyimpan jajan untuk dimakan besok pagi, semuanya mesti dibagi-bagi.

Ada lagi yang lebih antik, pada zaman dahulu belum ada fasilitas kamar mandi dan WC, jadi para santri seluruhnya mandi ke sungai. Sudah lumrah bagi santri Mojosari apabila telanjang bulat dari kamarnya bergerombol menuju sungai, padahal santri-santri pada zaman itu sudah besar-besar, suatu pemandangan yang sungguh mengerikan. Terkadang mereka ke sungai sambil mencari ikan dan tentu saja hasilnya buat dimakan keroyokan. Solidaritas (persaudaraan) sesama santri tidak hanya sampai di situ, sudah menjadi kebiasaan pula apabila mereka merokok terjadilah salome (satu batang ramai-ramai). Dan banyak lagi contoh yang lain.

Keantikan Pondok Mojosari ini ada asal-usulnya. Alkisah, KH. Ali Imron, asal Grobogan Purwodadi Semarang, tatkala masih muda pergi berguru kepada Kiai Salimin di Lasem Jawa Tengah. Suatu malam Kiai Salimin keluar melihat-lihat santrinya yang tengah nyenyak tidur di lokasi pondok. Tiba-tiba beliau melihat pancaran sinar yang keluar dari balik sarung seorang santri. Beliau mendekati santri tersebut dan sarungnya diikatkan.

Lalu esok paginva semua santri ditanya. Ternyata si empunya sinar adalah Ali Imron. Oleh karena itu setelah dirasa cukup ilmu yang diperoleh, Kiai Salimin memilihnya menjadi menantu dan menugaskannya untuk membuka hutan di daerah Nganjuk dan kemudian didirikan pondok pesantren yang tak lain adalah Pondok Mojosari sekarang ini.

Demi pengabdian kepada ilmu dan ta’dzim kepada gurunya, Kiai Ali Imron berangkat menuju lokasi yang diperintahkan. Dijalaninya tirakat luar biasa sampai bertahun-tahun lamanya di tengah hutan belantara yang sangat angker. Menghadapi para penghuni rimba raya yang terdiri dari macan, ular, jin dan hantu bukan perkara yang ringan. Rupanya Kiai Ali Imron sangat dekat dengan Allah Sang pemilik hutan dan jagat raya, sehingga tak satupun makhluk jahat yang sanggup merintanginya dan akhirnya sukseslah beliau mengemban amanat guru sekaligus mertuanya. Tirakatnya benar-benar mengeluarkan daya kekuatan batin yang luar biasa dan doa-doanya sangat makbul.

Di tengah-tengah tirakat yang amat berat itulah beliau mengucapkan rangkaian kalimat nadzar: “Santri santri yang belajar di pondok ini kelak, tak perlu puasa dan tirakat macam-macam, seluruh tirakat aku yang menanggung. Pokoknya mereka mau mengaji dengan tekun di sini, insya Allah diberkahi.” Sebuah nadzar yang makbul dan menjadi kenyataan di kemudian hari.

Mantapnya keyakinan para santri Mojosari akan keampuhan nadzar Kiai Ali Imron lambat laun membawa warna lain di Pondok Mojosari. Para santri benar-benar tidak menjalani tirakat semata-mata mengandalkan tirakatnya sang pendiri pondok. Ciri khas ini terus berkesinambungan dari generasi ke generasi sampai sekarang.

·         Siapakah Kiai Zainuddin?

KH. Zainuddin berasal dari Padangan Bojonegoro Jatim. Di masa mudanya ia belajar di Pondok Langitan Babat. Sudah menjadi tradisi yang baik di kalangan para ulama untuk menjodohkan putrinya dengan santri-santri berbobot, begitu pula dengan Kiai Zainuddin. Karena prestasinya yang menonjol beliau lalu dijadikan menantu oleh gurunya. Kemudian diutus untuk meneruskan kepemimpinan Pondok Mojosari.‎

Cerita ini terjadi pada waktu KH Zainudin masih mudah dan mondok di mojososari. Pada waktu itu pengasuh pondok K H Ali Imron mengutus Zainudin ( muda ) untuk mengantarkan surat kepada KH Ihsan Jampes Kediri.
KH Ali Imron : den, tulong surat iki aturno karo yai ihsan jampes kediri
Zainudin : engge...
KH Ali Imron : yen ngeterke surat ko gowo jaran neng kandang mburi kae...
Zainudin : engge yai...
Berangakatlah Zainudin ke kediri untuk mengantarkan surat kepada KH Ihsan Jampes Kediri. Dalam perjalanan zainudin berjalan tidak mau naik kuda, kalau kudanya berhenti zainudin berhenti jika kuda nya tidur di kipasi dan di pijeti kakinya. Dalam perjalanan antara nganjuk sampe kediri 15 hari itu belum pulang pergi.
Sampaila zainudin di kediamaan yai ihsan jampes kediri
Zainudin : yai panejengan angsal surat sangking yai imron
KH Ihsan : awakmu ko nganjuk tekan kediri pirang dino
Zainudin : 15 dinten
KH Ihsan : opo gak di gawani jaran
Zainudin : engge di betani jaran
KH Ihsan Jampes : opo gak kok tumpai
Zainudin : mboten, ungele yai imron ken mbeto mboten ken numpaki, engge kulo beto mawon
( Aku gumun jarane kok iso ngerti omahe yai ihsan jampes : hati saya )
KH Ihsan : iya iya....
Zaiundin : ( meneng )
KH Ihsan : wes iki tak balesi surate aturno karo KH Imron isene MANTUMU YO SENG NGGOWO JARAN MRENE ( kediri )
Zainudin : engge....
Sampe di pondok KH Zainudin di angakat menjadi menantu KH Ali Imron dan menjadi penerus Pondok Mojosori
Inilah bukti tawadhu' seorang santri kepada gurunya dan akan di angkat menjadi waliyulloh

Beliau tampil pada urutan kelima sebagai pengasuh terhitung dari KH. Ali Imron sang pendiri pondok. Berkat kepribadian dan kepemimpinan Kiai Zainuddin yang agung nama Pondok Mojosari melejit ke segenap penjuru.

Beliau dikenal oleh masyarakat sebagai waliyullah, namun aktivitas sehari-harinya tak beda dengan petani-petani desa yang bersahaja, karamahnya tak pernah dibuat pameran. Bahkan beliau lebih nampak sebagai seorang ulama syari’ah yang kokoh, tugas-tugasnya dijalankan dengan disiplin dan istiqamah. Setelah selesai mengajar di malam hari, sekitar pukul 22.00 beliau istirahat dan bangun jam 02.00 akhir malam, beliau menjalankan tahajjud, tilawah al-Quran dan lain-lain, mendekatkan diri kepada Allah Swt. sampai menjelang Shubuh.

Terkadang selepas ibadah tengah malam, beliau keluar dari rumah mungkin sebagai refreshing dari rasa penat. Lalu beliau berputar-putar di sekitar pekarangan yang dipadati dengan pohon buah buahan. Beliau mengumpulkan sawo, jambu dan sebagainya yang jatuh akibat bosok atau sisa kelelawar. Makanan itu cukup lezat untuk sarapan ternaknya besok pagi.

Tatkala fajar menyingsing beliau berkeliling membangunkan santri di pondok, disebutnya nama masing-masing santri yang dibangunkannya. Begitu banyak nama santri yang mampu beliau hafal. Apabila musim dingin telah tiba, biasanya santri agak sulit bangun pagi. Untuk mengatasinya Kiai Zainuddin tak pernah kehilangan taktik. Beliau keliling membawa wadah air dan selembar serbet. Serbet yang sudah dibasahi itu kemudian ditempelkannya atau diteteskan airnya ke tubuh siapa saja yang belum bangun, tak peduli tamu atau bukan.

Beliau memang memiliki sifat humor sehingga santri-santri menjadi sangat akrab dengannya. Santri yang terkejut merasakan tetesan air sangat dingin itu mulai bergerak bangun, namun lucunya Kiai Zainuddin dengan sigap segera bersembunyi di balik pintu tak beda dengan anak-anak yang bermain kucing-kucingan (petak umpet). Apabila si santri merapikan kembali selimut atau sarungnya karena enggan bangun, dengan sangat sabar beliau mengulangi tetesan-tetesan berikutnya sampai akhirnya si santri bangun dengan sendirinya.

Untuk santri-santri yang masih juga membandel, diteteskannya minyak tanah dari sumbu lampu kaleng bekas yang dipergunakan para santri zaman listrik belum menyebar itu. Si santri pun bisa marah seketika sambil berteriak:“Wo nakal! Mbeling nganggo lengo gas” (Wah nakal sekali! Nakal sampai pakai minyak tanah segala).

Dan si santri hanya bisa tersenyum tersipu malu ketika tahu pelakunya adalah kiai yang mengajak shalat. Begitu juga ketika adzan shalat Dzuhur berkumandang Kiai Zainuddin naik ke masjid lebih awal. Dan dengan penuh kesabaran beliau memanggil-manggil santrinya selama hampir satu jam. “Ayo sholat Co, ayo sembahyang Co,” seru beliau berulang-ulang.

Pengajian yang beliau asuh amat banyak, dari kitab kecil sampai yang besar. Usai pengajian di pagi hari beliau mengganti pakaian dan memegang sapu. Disapunya halaman, kandang sapi, kandang kambing, ayam, bebek dan kuda. Beliau sangat suka memelihara binatang dari sapi sampai kucing, seakan-akan rumahnya mirip kebun binatang. Walaupun ada pembantu yang bertugas merawat dan memberi makan binatang-binatang peliharaannya, beliau sendiri turun tangan membagi-bagi makanan menunjukkan bahwa kiai ini benar-benar seorang penyayang binatang. Kedisiplinannya pada kebersihan sungguh mengagumkan, sehingga kandang-kandang binatang itu tak terkesan kotor sama sekali, apalagi halaman atau kamar-kamar rumahnya.

Adalah budi pekerti yang pantas diteladani disaat-saat kita sebagai umat Muhammad merasa bangga punya agama yang menjunjung kesucian dan kebersihan. Akan tetapi rumah kita lebih kotor dari orang Majusi. Kita gantung kaligrafi bertuliskan sabda Nabi Saw. “النَّظَفَةُ مِنَ اْلاِيْمَانِ”, namun sampah berserakan di bawahnya.

Kiai Zainuddin tidak hanya pandai menganjurkan sunnah Rasul, tetapi beliau praktekkan sendiri dalam kehidupan, sesuai dengan nasihat yang sering disampaikannya kepada para santri: “Co, ojo lali karo ayat

أَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ

“Apakah kamu perintah orang lain untuk berbuat baik, padahal kamu melupakan dirimu sendiri?”

Syariat Islam dijalankannya dengan nyata dan konsekuen. Untuk keperluan hidup sehari-hari beliau mengolah tanah pertanian secukupnya. Beliau sendiri sering memegang pacul (cangkul) menanam singkong, jagung atau pisang. Beliau tidak menunjukkan tingkah khariqul ‘adah di hadapan masyarakat.

Akan tetapi sepandai-pandai menyimpan durian, tercium juga baunya. Begitu juga halnya Kiai Zainuddin, banyak ulama arif mengakui kewaliannya. Pada suatu ketika KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri dan Rais Akbar NU) membuat surat edaran untuk meluruskan acara perayaan Maulid Nabi, berhubung Mauludan di Pondok Mojosari dinilai kurang Islami.

Konon para santri Mojosari mengadakan pertunjukan wayang wong, kuda lumping, pencak, ketoprak dan sebagainya untuk memeriahkan perayaan Maulid. Sponsornya adalah santri-santri dari Blitar, Jombang, Ponorogo dan Banyumas. Setelah surat edaran siap dikirim, malam harinya Kiai Hasyim bermimpi bahwa alim ulama seluruh Indonesia shalat berjamaah di sebuah masjid jami’. Dengan jelas beliau melihat yang bertindak selaku imam adalah Kiai Zainuddin Mojosari. Surat edaran tersebut praktis tidak jadi dikirim, sebab pada dasarnya Kiai Hasyim cukup segan terhadap Kiai Zainuddin yang merupakan guru dari KH. Wahab Hasbullah, pendiri NU dan Rois Aam setelah KH. Hasyim Asy’ari. Tentu saja terdapat rasa sungkan di tubuh NU untuk mengatur (menegur) gurunya sendiri.

Ketenaran nama Kiai Zainuddin ternyata membawa dampak lain. Sehubungan dengan kewaliannya itulah, banyak orang datang mohon ijazah doa. Namun beliau tetap mengaku tidak punya doa khusus dan memang seperti itulah yang dapat disaksikan, beliau bukan ahli thariqah. Bila ada orang yang datang minta ijazah doa beliau spontan menjawab: “Enggih, sampun kulo ijazahi” (Iya, sudah saya ijazahkan). Entahlah apakah memang benar sudah atau belum.

Ijazah Mbah Zainuddin kepada Kyai Wahid Hasyim 

Di masa-masa akhir pendudukan Jepang di Indonesia, suatu hari KH Wahid Hasyim mendapat panggilan mendadak untuk menghadap Jepang di Jakarta. Panggilan yang bersifat mendadak dan tanpa ada kejelasan keperluannya, membuat beliau khawatir dan was-was. Masih terbayang jelas dimata beliau akan perlakuan keji Jepang pada Ayah beliau dan KH Mahfudz Sidiq (salah seorang guru beliau). Karena itu, sebelum berangkat ke Jakarta, beliau menyempatkan dulu sowan ke KH Zaenuddin, seorang Kyai kharismatik yg dikenal sebagai Waliyulloh Pengasuh Pondok Pesantren (PP) Mojosari, Nganjuk,untuk meminta berkah dan do’a terlebih dahulu.

Tepat waktu dhuhur beliau sampai di PP Mojosari, setelah mengikuti sholat berjamaah bersama Sang Kyiai, barulah beliau sowan menghadap & segera mengutarakan maksud tujuan beliau serta meminta berkah doa dan ijazah dari Sang Kyai.

KH Zainudin memberikan wejangan singkat:“Anu gus, Istighfar lan Sholawat mawon geh!” ( Cukup membaca lstighfar dan Sholawat saja gus). Jawaban singkat dari Sang Kyai ini membuat hati Gus Wahidgrundel,”Sederhana sekali, istighfar & sholawat saja?!” batin beliau. Padahal maksudnya agar dapat ijazah kebal senjata, tidak mempan ditembak, bisa menghilang atau bisa terbang, dan yang semacamnya, sesuatu yang bisa menjadi bekal andai Jepang bermaksud tidak baik nantinya.
Karena itu, setelah undur dari Sang Kyai, beliau tidak segera pulang. Setelah sholat jamaah ashar di Pondok itu, beliau sowan lagi dan mengutarakan maksud & tujuanya kembali. Ternyata jawaban Sang Kyai sama seperti semula. Gus Wahid masih belum merasa puas dengan pesan singkat Sang Kyai itu. Karena itu beliau tidak segera pulang, menunggu jamah sholat magrib untuk sowan sekali lagi. Dan begitu beliau mengutarakan maksud & tujuannya kembali, Sang Kyai menjawab dengan lembut dan asih : ” Pun gus, cekap istighfar & sholawat mawon” (Sudahlah gus, cukup istighfar dan sholawat saja).

Sebenarnya Gus Wahid masih merasa belum puas juga, mengingat kekejaman Jepang & beliau akan sendirian menghadap ke Jakarta. Tetapi sudah tiga kali beliau sowan dan tiga kali Sang Kyai memberikan jawaban yang sama pula. Namun begitu beliau meninggalkan gerbang pondok Sang Kyai, hatinya menjadi terang & tercerahkan,” Iya, baca sholawat pada Nabi SAW itu pada hakikatnya adalah minta keselamatan untuk diri sendiri juga, untuk apa bisa menghilang dan terbang kalau ahirnya malah tidak selamat??!, untuk apa kebal senjata, tidak mempan senapan kalau dosa-dosanya tidak di ampuni Tuhan” batin gus wahid, dan bukankah Nabi saw pernah bersabda :

” من اكثر الاستغفار جعل الله له من كل هم فرجا ومن كل ضيق مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب ”

Artinya: Barang siapa memperbanyak istighfar, niscaya Alloh menjadikan setiap kesusahan yg dialaminya menjadi sebuah kegembiraan, dan setiap kesulitannya selalu ada jalan keluar , serta memberinya rizki dari tempat yg tidak dua duga. (HR, Ahmad RA, Abu Dawud RA, Ibn Majah RA).

Setelah itu, hati beliau menjadi mantap & terang, tidak ada sedikitpun rasa was-was & kekhawatiran lagi, bahkan beliau merasa tidak sabar lagi untuk segera bertemu petinggi Jepang di Jakarta. Sesampainya di Jakarta, ternyata beliau malah disambut dengan baik, dimintai masukan & pandangan-pandangan beliau terkait perkembangan politik di Indonesia maupun luar negeri.

Di akhir pertemuan itu juga,ada sebuah pertanyaan dari petinggi Jepang yang beliau tidak langsung berani menjawabnya,sebab butuh pertimbangan masak & tentu harus dimusyawarahkan dengan banyak pihak karena menyangkut nasib seluruh rakyat Indonesia, yaitu : Seandainya Indonesia merdeka nantinya, adakah atau siapakah orang Indonesia yang layak & pantas menjadi presiden??!.

Sesampainya di Tebuireng, semua hasil pertemuan itu beliau sampaikan pada Ayahandanya, termasuk pertanyaan terahir dari petinggi Jepang terkait Presiden Indonesia nantinya. Mendengar pertanyaan itu, Hadlrotussyaikh KH Hasyim Asy’ari spontan menjawab dengan tenang namun tegas : ” Pak Karno, Sukarno lah yang pantas menjadi Presiden Indonesia!!”.Wallohu A’lam‎

Sejarah Pesantren Cikanyere Ciamis


Nama Pesantren Cikanyere diambil dari nama blok"Cikanyere" daerah Dusun Cigoong RT 01/RW 01 Desa Sirnabaya, Kecamatan Rajadesa, Kabupaten Ciamis.

Pada tahun 1976 nama itu diganti dengan nama "Hidayatul Mubtadiin". Namun karena masyarakat dan alumni sudah terbiasa menyebutnya Cikanyere, akhirnya kembali ke nama asal yakni Pesantren Cikanyere sampai saat ini.
Kenapa mayoritas orang menyebutnya Pesantren Cikanyere adalah pesantren tertua di Ciamis? Berikut Kronologi dan sejarah singkatnya.
Pesantren Cikanyere didirikan pada tahun 1856 oleh KH Nuruzzein, ia memimpin Pesantren ini sampai tahun 1911. Pada waktu itu baru tersedia Majelis Ta'linij Langgar (tempat pemondokan sederhana) dan Pondok putera dengan pengajian kitab kuningnya.‎

Pada tahun 1911 KH. Nuruzzein wafat, maka pim­pinan pesantren diganti dengan seorang ulama harismatik bernama K. Nurulhasan. Beliau memimpin pesantren ini sejak tahun 1911 sampai 1917.
K. Nurulhasan wafat tahun 1917, Pimpinan diganti oleh KH. Sulaiman Jamal.‎

Pada masa kemimpinan KH. Sulaiman Jamal, Pesantren sempat hijrah ke lereng Padaroke Desa Tigaherang selama 7 bulan karena komplek Pesantren dikuasai Belanda, rumah Kiai dijadikan markas, asrama putera habis dibakar. 
Pada tahun dan tempat yang sama Pesantren dibangun kembali di atas puing-puing pembakaran dengan kapasitas bangunan lebih tinggi daripada bangunan sebelumnya, dengan bantuan masyarakat sekitar.‎

KH. Sulaiman Jamal kembali ke Rahmatulloh pada tahun 1449, maka Pesantren dilanjutkan oleh mantunya, yakni KH Ahmad Jalalussa­yuthi bin KH Kosasih Pasirkadu Baregbeg Ciamis yang sering berjuang dengan KH Zenal Mustofa, pejuang dari Tasikmalaya. Pada masa kepemimpinan beliau, selain memakai program pelajaran lama, juga ditambah dengan program Madrasah Diniyah, membangun asrama puteri dan menyelenggarakan bulanan alumni. Hal lain yang juga dilakukan beliau adalah mulai banyak berhubungan dengan pihak birokrasi.‎

KH Ahmad Jalalussayuthi wafat pada tahun 1982, maka pesantren dipimpin oleh kiai muda K.H. A. Ahmad Hidajat sampai sekarang.‎

K.H. A. Ahmad Hidajat didampingi oleh em­pat orang kakak beradik dan para mantunya, se­hingga santri yang berjumlah 345 orang itu bisa dibimbing dan dibina secara klasikal dan kejuruan.‎

Jenjang yang diampu saat ini adalah PSTK (Pendidikan Santri Tingkat Kanak-kanak (TK, TPA, TAAM dan DTA), PSTD (Pendidikan Santri Tingkat Dasar/Wustho), PSTA (Pendi­dikan Santri Tingkat Atas/ 'Ulya) dan PSTT (Pendidikan Santri Tingkat Takhoshus).‎

“Cikanyere boga harepan, beber layar narik jangkar geusan janglar di pajengkaran (sagara kahirupan). Sayaga make duduga katut prayoga, mawa ummat sangkan sala­met parat natrat nepi ka aherat,” demi­kian pernah diucapkan K.H. A. Ahmad Hidajat da­lam sebuah acara di pesantren yang dipimpinnya. 
Pesantren Cikanyere hingga saat ini berdiri megah, menjalankan misinya, membina kader-kader khalifahfil-ardl (mandataris kepengelolaan petala bumi) yang mengerti dan mampu memberi indzar (mengingatkan) masyarakatnya sesuai karekteristiknya. ‎

Sejarah Mbah Ma'shum Lasem


Lasem dikenal sebagai Kota Santri, yang dimana banyak santri yang belajar di Lasem sehingga banyak santri tersebut yang berguna bagi agama, masyarakat, nusa dan bangsa setelah mereka menimba ilmu di Lasem, diantaranya:
KH. Idam Kholid (pernah duduk sebagai ketua DPR/MPR RI),
KH. Ahmad Syaikhu (Anggota DPR/MPR RI),
KH. Saifuddin Zuhri (salah seorang kiyai / tokoh pengurus PBNU),
KH. Subhan ZE, (seorang Tokoh muda NU pada masa itu),
KH. Mukti Ali (Menteri Agama),
KH. Muhammad Dimyati atau dikenal dengan Abuya Dimyati Banten,
KH. Abdul Mukti Magelang, dan masih banyak lagi yang lainnya. 

Karena pada era 1900 an Lasem mempunyai Ulama-ulama khos, diantaranya KH. Kholil Mashuri (ponpes An Nur), KH. Baidhowi (ponpes Al Wahdah), KH. Ma’shoem Ahmad (ponpes Al Hidayat).

Ke-tiga Ulama Lasem tersebut dipercaya sebagai anggota pendiri NU, walaupun di dalam struktur NU yang pertama kali hanya tertulis nama KH. Kholil Mashuri, selain ulama-ulama Lasem tersebut masih ada nama KH. Abdullah Umar yang juga banyak melahirkan sosok Ulama-ulama dari keturunanannya, KH. Masduki (Al Islah), KH. Ali Ma’shoem, KH. Hamid Pasuruan. Dan hingga saat ini di Lasem terdapat 20 pesantren.‎

Semua tokoh ulama-ulama Lasem sepatutnya untuk diketahui oleh warga dan generasi saat ini, karena mengingat sangatlah penting pengetahuan tersebut untuk mengingat jasa-jasa beliu yang dapat dipetik pada jaman sekarang. dapat juga bisa bermanfaat untuk edukasi dan pembentukan moral yang dimana bisa di dapat petik dari tindak tanduk jasa para ulama terdahulu yang dapat dijadikan panutan untuk generasi sekarang.

Sejak dahulu kota kecamatan ini terkenal sebagai Kota Santri. Peninggalan pesantren-pesantren tua di kota ini dapat kita rekam jejaknya hingga sekarang. 

Banyak ulama-ulama karismatik yang wafat di kota ini. diantaranya:
Sayid Abdurrahman Basyaiban (Mbah Sambu) yang kini namanya dijadikan jalan raya yg menghubungkan Lasem-Bojonegoro,
KH. Baidhowi, 
KH. Khalil, 
KH. Maksum, 
KH. Masduki 
dll. 

Sebagian makam tokoh masyarakat Lasem ini dapat anda jumpai di utara Masjid Jami' Lasem. Maka tidak berlebihan jika Lasem berjuluk sebagai kota santri, mengingat banyaknya ulama, Pondok Pesantren dan jumlah santri yang belajar agama islam di kota ini

Pondok Pesantren tersebut antara lain:
Al Wahdah (Sumbergirang)
Al Hidayah (Soditan)
Al Hidayah Putri (Soditan)
At Taslim (Soditan)
Al Islah (Soditan)
Al Mashudi (Soditan)
Al Hamidiyyah (Soditan)
Al Fakriyyah (Sumbergirang)
Ash Sholatiyah (Sumbergirang)
Nailun Najah (Sumbergirang)
An Nur (Soditan)
Kauman (Karangturi)
Al Hadi (Sumbergirang)
Al Muyassar (Sumbergirang)
Al Fatah (Ngemplak)
Al Banat (Ngemplak)
Al Aziz (Ngemplak)
Raudlatut Thulab (Ngemplak)‎

Pesantren Al-Hidayah

Pondok Pesantren Al - Hidayat didirikan oleh Almaghfurlah Simbah KH. Ma'shoem Ahmad pada tahun 1916 Masehi di desa Soditan Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang. 

Keberadaan Pondok Pesantren Al-Hidayat terletak kurang lebih 370 m dari pantai laut jawa. KH. Ma'shoem Ahmad pada mulanya berguru (nyantri) di Pondok Pesantren Jamsaren-Solo. Kemudian dilanjutkan di Pondok Pesantren Bangkalan Madura dibawah asuhan KH. Cholil, selain itu beliau juga berguru pada kiyai - kiyai besar lain. setelah menikah dengan Nyai Hj. Nuriyyah beliau berdagang topi di Jombang namun tidak berlangsung lama karena beliau mempunyai tekad yang kuat untuk terus mengadakan dakwah dan melawan penjajahan Belanda, sehingga pada tahun 1916 M beliau mendirikan Pondok Pesantren Al-Hidayat dengan maksud untuk meningkatkan kegiatan dakwah, belajar mengajar, ibadah dan mengumpulkan massa untuk bersama - sama melawan penjajahan.
Pesantren yang dirintisnya tersebut pada awal mulanya hanya terdapat empat santri, kemudian pada masa - masa selanjutnya banyak sekali santri - santri yang berdatangan, terutama mereka yang mempunyai semangat, visi, misi dan keinginan yang sama dengan beliau. tercatat beberapa alumni Al-Hidayat dibawah didikan dan binaan beliau antara lain KH. Idam Kholid (pernah duduk sebagai ketua DPR/MPR RI) KH. Ahmad Syaikhu(Anggota DPR/MPR RI) KH. Saifuddin Zuhri (salah seorang kiyai / tokoh pengurus PBNU), KH. Subhan ZE, (seorang Tokoh muda NU pada masa itu), KH. Mukti Ali(Menteri Agama), dan banyak pura alumni yang saat ini menjadi tokoh masyarakat.

Pada masa pendirian Organisasi Nahdlatul Ulama, beliau termasuk tokoh utama yang berperan didalamnya. pada saat itu selain terdapat beberapa kiyai lain yaitu KH. Wahab Hasbullah, KH. Hasyim As'ari dan KH. Bisri Samsuri.

Kyai besar dan Wali Allah yang amat dihormati dikalangan umat Islam ini, yang biasa disapa Mbah Ma’shum, adalah salah satu dari dua“Gembong Kyai” asal Lasem selain Kyai Baidhowi Abdul Aziz. Beliau senantiasa menjalin silaturahmi, jujur, mengayomi, menghormati tamu dan teguh menjaga kebenaran. Seluruh hidupnya diabdikan kepada masyarakat, terutama kaum papa. Beliau bahkan menganggap pengabdian ini sebagai laku tarekatnya. Menurut Denys Lombard, ahli sejarah terkenal, "Mbah Masum" adalah seorang guru (kyai) dari Lasem yang kurang dikenal di tingkat nasional, namun kematiannya pada tahun 1972 menimbulkan guncangan hebat dari satu ujung jaringan ke ujung jaringan lainnya.”

Kelahiran dan keluarga Mbah Ma’shum

Nama asli yang di berikan orang tuanya adalah muhammadun. Dia lahir di perkirakan sekitar tahun 1290 H, atau 1870 M, di lasem. Tahun kelahiran itu di sebut tahun perkiraan, sebab tidak ada seorangpun yang tahu pasti tahun berapa beliau di lahirkan.

Ayah mbah ma’shum bernama Ahmad, dia seorang yang mempunyai visi keagamaan tinggi. Sehari-hari, beliau berprofesi di bidang perdagangan, hanya saja kurang bisa dipastikan apakah mbah Ahmad adalah pedagang tingkat atas, menengah, atau bawah. Yang jelas, jika kita melihat kisah yang disampaikan kiai Mas’adi bin Nawawi (kajen, pati) bisa diyakini jika mbah Ahmad merupakan pedagang atau pebisnis, setidaknya tingkat menengah.

Tampaknya, beliau termasuk pedagang yang cukup kreatif, selain status nya yang pebisnis, bisa diyakini juga bahwa ayah mbah ma’shum itu merupakan seseorang yang memiliki visi keagamaan yang cukup, dengan argumentasi bahwa beliau menyerahkan pendidikan keagamaan mbah Ma’shum sewaktu kecil kepada kiai Nawawi (jepara). Minimal, dari kenyataan ini dapt di simpulkan bahwa mbah Ahmad memilki atensi atas wawasan keagamaan mbah Ma’shum. Dan dari mbah Ahmad itu, visi-visi dan wawasan keagamaan mbah Ma’shum di tanamkan. Demikian juga dengan praktik keseharian mbah Ahmad, sebagai bisnis, yang di kemudian hari juga mengalir dalam darah mbah Ma’shum. Sedangkan nama ibu mbah Ma’shum adalah Qosimah.

Pasangan mbah Ahmad dan mbah Qosimah di karuniai 3 orang anak, dua orang putri dan seorang putra. Mereka adalah Nyai Zainab, Nyai Malichah dan mbah Ma’shum. Ketiga putra-putri mbah Ahmad itu lahir, hidup dan wafat di lasem.

Guru-Guru Mbah Ma’shum

Sejak kecil hingga menginjak masa dewasa, mbah Ma’shum menimba banyak pengetahuan dari berbagai kiai, baik di lasem maupun di luar lasem seperti jepara, kajen, kudus, sarang, solo, semarang, Jombang, madura, hingga ke makkah. Dari rumah ke rumah, kampung ke kampung, sudah sewajarnya seorang pecinta ilmu akan selalu mengejar ke mana ilmu itu berada. Demikian halnya dengan mbah Ma’shum. Dia pun belajar kepada banyak kiai.

Menurut kiai Maimun Zubair dalm bukunya, mbah Ma’shum pernah mengaji kepada kiai Nawawi (jepara), kiai Ridhwan (semarang), kiai Umar Harun (sarang), kiai Idris (solo), kiai Dimyati (termas), serta kepada kiai Hasyim Asy’ari dan kiai Kholil bangkalan. Masih menurut catatan kiai Maimun Zubair, Mbah Ma’shum juga pernah belajar kepada kiai Dimyati At-Turmusi di Termas. Lalu, melanjutkan belajarnya ke makkah, dengan mengaji kepada kiai Mahfudz At-Turmusi (w. 1338 H/1919 M). Keberangkatan beliau ke makkah ini menyiratkan suatu informasi yang mendukung dugaan bahwa kelurga mbah Ma’shum adalah keluarga yang memiliki tradisi keislaman yang mapan dan keluarga mbah Ma’shum memiliki status ekonomi tertentu yang dapat mengantarkannya ke pendidikan tertinggi.

Tanda-tanda keutamaan Mbah Ma'shum telah diketahui secara kasyaf oleh Mbah Kholil Bangkalan, seorang wali Qutub yang amat masyhur. Dikisahkan, sehari sebelum kedatangan Mbah Ma'shum ke Bangkalan, Mbah Kholil menyuruh para santri membuat kurungan ayam. Kata Mbah Kholil, "Tolong aku dibuatkan kurungan ayam jago. Besok akan ada ayam jago dari tanah Jawa yang datang kesini".

Begitu Mbah Ma'shum datang, yang saat itu usianya sekitar 20-an tahun, beliau langsung dimasukan ke kurungan ayam itu. Mbah Ma'shum disuruh oleh Mbah Kholil untuk mengajar kitab Alfiyah selama 40 hari. Yang aneh, pengajaran dilakukan oleh Mbah Ma'shum di sebuah kamar tanpa lampu, sedangkan santri-santrinya berada di luar. Mbah Ma’shum hanya 3 bulan di Bangkalan. Ketika hendak pulang, Mbah Kholil memanggilnya dan didoakan dengan doa sapu jagad. Lalu, saat Mbah Ma'shum melangkah pergi beberapa meter, beliau dipanggil lagi oleh Mbah Kholil dan didoakan dengan doa yang sama. Hal ini terjadi berulang hingga 17 kali.

Pernikahan dan putra-putri Mbah Ma’shum

Mbah ma’shum menikah untuk pertama kali dengan seorang perempuan dari desa sumber Girang, lasem. Istri mbah Ma’shum yang pertama itu wafat di Arab Saudi ketika melaksanakan haji bersama mbah Ma’shum. Mbah Ma’shum memiliki seorang putra dari istri pertama yang selalu di ajak ke manapun dia pergi, untuk berdagang, terkadang ke daerah salatiga, solo, terkadang ke daerah kediri.

Setelah wafatnya nyai pertama itu, beliau menduda untuk jangka waktu yang agak lama. Pada usia 36 tahun, tepatnya tahun 1323 H/1906 M, beliau menikah untuk kali kedua, yaitu dengan mbah Nuriyah binti KH. Zainuddin bin KH. Ibrahim bin KH. Abdul latif bin mbah joyotirto bin mbah Abdul halim bin mbah sambu. Ibu mbah Nuriyah bernama Nyai Mashfuriyah bin KH Abdul Aziz bin KH Abdul latif bin mbah joyotirto bin mba joyotirto bin mbah Abdul halim bin mbah Sambu.

Mbah Nuriyah yang terkenal dengan panggilan mbah Nuri lahir pada tahun 1312 H/1895 M. Dari sini dapat di ketahui bahwa sewaktu menikah dengan mbah Ma’shum, mbah Nuri berusia 11 tahun, sedangkan mbah Ma’shum berusia 36 tahun. Akan tetapi, dia berkumpul atau tinggal serumah dengan mbah Ma’shum pada usia 14 tahun. Baik mbah Ma’shum maupun Mbah Nuri sama-sama berasal dari kelurga terdidik dan berpengetahuan islam. Jika mbah Ma’shum belajar pendidikan agama kepada orang tuanya dan kepada para kiai, mbah Nuri cukup belajar dari orang tua saja. Maklum, waktu itu belum banyak perempuan yang belajar ke luar rumah atau ke luar kota. Bahkan bisa dikatakan hal tersebut sangat jarang sekali. Perempuan belajar di pesantren, baik dalam bentuk menginap atau di asramakan, justru di mulai oleh pendidikan yang di jalankan oleh mbah Ma’shum dan mbah Nuri, setidaknya untuk level daerah lasem, rembang atau jawa tengah. Hal yang pasti adalah bahwa mbah Nuri, setelah menikah mengaji kepada mbah Ma’shum sejumlah pelajaran, hingga dia memiliki wawasan yang lebih dalam hal ilmu tafsir. Dari pernikahan mbah Ma’shum dengan mbah Nuri ini, Allah memberikan mereka berdua putra-putri yang berjumlah 13 orang, 8 di antaranya wafat ketika masih kecil.   

Dari pernikahan beliau dengan Nyai Hj. Nuriyyah dikaruniai lima orang putera - puteri yaitu :
KH. Ali Ma'shoem ( Pengasuh Ponpes Krapyak Yogja)
Nyai Hj. Fatimah Ma'shoem
KH. Ahmad Syakir Ma'shoem
Nyai Hj. Azizah Ma'shoem
Nyai Hj. Hannah Ma'shoem
Sebagai seorang kiai, mbah Ma’shum memberikan bekal-bekal keagamaan secara dini kepada para putra-putrinya, s bagaimana beliau mendapatkan bekal dari kedua orang tuanya. Semua pengetahuan putra-putrinya, baik pelajaran Al-Qur’an maupun kitab kuning, di awali dari pengajaran dia. Setelah menginjak dewasa, para putranya itu mengaji kepada kiai lain di berbagai tempat.

Ali, putra pertama mbah Ma’shum, lahir pada 2 maret 1915 M. Menikah dengan Hasyimah binti mbah Munawwir, pendiri dan pengasuh pesantrean Krapyak, Yogyakarta. Kisah pernikahan ini berawal saat mbah Ma’shum dan mbah Munawwir berdiskusi tentang bagaimana mengembangkan wawasan-wawasan yang ada dalam kitab kuning di pesantren krapyak yang kini di kenal dengan nama pesantren Al-Munawwir. Wawasan kitab kuning di perlukan di pesantren ini karena selama ini pesantren tersebut memfokuskan pengajiannya kepada hafalan Al-Qur’an.

Dari diskusi itu, mbah Munawwir minta kepada mbah Ma’shum supaya di beri “bibit” untuk mengomandani pengembangan ilmu-ilmu kitab kuning tersebut. Dan di sepakatilah rencana untuk berbesanan antara keduanya. Mbah Ma’shum dan mbah Munawwir sendiri sebelumnya telah mengenal satu sama lain saat keduanya sama-sama belajar di pesantren jamsaren solo dan juga di pesantren bangkalan Madura.

Putra mbah Ma’shum yang kedua adalah Fatimah, lahir pada tahun 1918 M. Dia menikah kali pertama dengan kiai Thohir bin kiai Nawawi, kajen, pati. Keduanya berpisah, dan dia menikah lagi dengan kiai Muhammad bin kiai Amir, simbang, pekalongan. Mereka berpisah, dan akhirnya dia menikah dengan kiai maftuhin bin Masyhuri, dari jepara. Pasangan ini adalah pendiri pesantren Al-Fath, Ngemplak lasem. Kiai Maftuhin wafat pada tahun 1401 H/1981 M, sedangakan Nyai Fatimah wafat pada tahun 1417 H/1996 M.

Putra ketiga mbah Ma’shum adalah Ahmad Syakir, lahir pada tahun 1338 H/1920 M. Setelah melewati pendidikan dasar di keluarga, dia mengaji kepada Kiai Dimyati Termas, Kiai Abbas cirebon, kiai Dalhar watucongol dan Kiai Munawwir Krapyak. Dia menikah dengan Faizah binti Ahmad musthofa, dari tegalsari solo, pada tahun 1944. Nyai Faizah ini adalah penghafal Al-Qur’an sekaligus ahli tafsir terbaik yang ada di lasem, dia melanjutkan perjuangan mbah Ma’shum dengan cara mengasuh pesantren Al-Hidayat, sepeninggal Kiai Ahmad syakir, bagian Tahfidzul Qur’an.

Putra keempat hingga ketujuh adalah bernama Zainuddin,in, sholichah, Aba Qasim, serta Asmu’i. Mereka wafat ketika masih kecil, sedangkan yang kedelapan adalah ibu Nyai Azizah, lahir pada tahun 1348 H/1930 M, dan kini masih mengasuh pesantren Al-Hidayat, dia menikah dengan KH. Makmur, lasem dan berpisah, lalu menikah dengan KH. Ali Nu’man dan tidak punya putra.

Yang kesembilan adalah ibu Nyai Hamnah, lahir pada tahun 1351 H/1932 M, dan tinggal di kota Demak, suaminya KH. Sa’dullah Taslim, adalah alumni pesantren Al-Hidayat, dan kini mengasuh pesantren At-Taslim, Demak. Putra Mbah Ma’shum yang kesepuluh hingga ketiga belas adalah salamah, muznah, sa’adah, dan Abdul jalal. Mereka wafat ketika masih kecil.

PETUALANGAN SANG PEDAGANG

Mbah Ma’shum telah melanglang ke berbagai tempat selama beberapa tahun dalam rangka mencari ilmu, nyaris seluruh ulama’ yang memiliki torehan sejarah indah dalam kajian keislaman di datangi dan kepada mereka beliau menyatakan diri sebagai murid. Setelah kenyang menuntut ilmu mbah Ma’shum memasuki dunia baru, yakni berumah tangga, untuk menghidupi keluarganya, mbah Ma’shum mengikuti profesi orang tuanya sebagai pedagang. Perdagangannya tidak hanya di lasem saja, melainkan hingga ke pasar ploso jombang. Selain berdagang beliau juga pernah bekerja di tempat pembakaran dan pembuatan batu bara (putih) yang berada di daerah selatan babat, di desa suwireh, sebelah utara daerah ngimbang.

Dalam kehidupannya beliau adalah orang yang sangat sederhana, tidak banyak keinginan duniawi yang hendak beliau raih, beliau tidak pernah memiliki sarung hingga lebih dari 3 bij. Soal makanan beliau juga demikian, bagi beliau soal makanan, yang penting nasinya hangat, itu sudah cukup. Beliau tidak memiliki kriteria soal lauk, akan tetapi beliau paling suka dengan sambal petis, beliau juga tidak pernah menggunakan sendok, apa lagi garpu ketika makan.

Sambil berdagang, mbah Ma’shum juga mengajar ilmu pengetahuan agama kepada orang-orang di sekitar sana, yang bertempat di pasar ploso, jombang. Kenyataan ini menunjukkan pada beberapa hal, antara lain: betapa kuatnya magnet keilmuan yang bersangkutan terhadap masyarakat; betapa masyarakat membutuhkan pencerahan (keagamaan) kepada yang bersangkutan. Inti dari gambaran tersebut adalah adanya dependensi masyarakat kepada kiai, khususnya dalam masalah keagamaan. Semua yang beliau lakukan tersebut adalah kenyataan sejarah yang menyejukkan, juga keteladanan yang patut di kembangkan.

Selain berdagang dan mengajar di masjid dekat pasar ploso itu, secara periodik mbah Ma’shum juga sering berkunjung ke Tebuireng untuk mengaji kepada kiai Hasyim Asy’ari, yang lahir pada tahun 1871 M, namun hal ini bukan menjadi masalah bagi beliau. Dan inilah yang secara khusus ciri khas beliau yang paling menonjol, yaitu suka mengaji dan belajar kepada orang lain sekalipun beliau telah “menjadi” kiai dan orang yang beliau datangi terkadang berusia lebih muda.

MENDIRIKAN PESANTREN DAN MENGURUS SANTRI

Berawal dari mimpi
Mbah Ma’shum bermimpi bertemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad, dan mendapatkan nasihat supaya meninggalkan perdagangan serta berganti mengajar. Mimpinya bertemu dengan Kanjeng Nabi itu terjadi selama beberapa kali.

Suatu saat, beliau sedang berada di sebuah tempat di semarang, kala tidur beliau mimipi bertemu dengan kanjeng Nabi Muhammad, saat itu juga beliau bangun dan berfikir bahwa tempat beliau menginap itu bukanlah tempat yang muhtarom, beliau memang belum sepenuhnya percaya bahwa yang ada dalam mimpi beliau adalah kanjeng Nabi, tetapi beliau sangat menyadari bahwa semua nasihat yang ada dalam mimpi itu benar, tepat dan sesuai realitas.

Mbah Ma’shum juga pernah bermimipi di mushola depan ndalem dan sempat bersalaman dengan Nabi, setelah bangun tangan beliau masih bau wangi, pada saat itu Kanjeng Nabi sedang membawa list sumbangan untuk pembangunan pondok pesantren. Kanjeng Nabi waktu itu berpesan:mengajarlah..., dan segala kebutuhan insya Allah akan di penuhi semuanya oleh Allah.Akhirnya beliaupun membangun sebuah tempat sebagai pusat pendidikan yang berdiri pada tahun 1334 H/1916 M, dalam bentuk mushola beberapa ruang sederhana untuk para santri dan akhirnya beliau memberi nama pondok pesantren Al-Hidayat. Pada awal-awal mengasuh pesantren mbah Ma’shum pernah mengalami masa mendidik santri waktu itu berjumlah sekitar 26 santri.

Metode Mbah Ma’shum dalam mendidik santri

Soal memberikan perhatian kepada santri, mbah ma’shum ini adalah satu dari sekian tokoh yang memiliki perhatian sangat besar. Atensi mbah Ma’shum kepada para santrinya sangat istimewa, figur beliau mencerminkan seorang guru sekaligus orang tua. Mulai ketika santri datang ke pondok, masa belajar, hingga santri kembali ke masyarakat pun selalu mendapatkan atensi dari beliau. Di mata santri-santrinya, mbah Ma’shum adalah orang yang sangat istiqomah dalam mendidik santri, mulai dari membangunkan tidur, memimpin jama’ah hingga melaksanakan pengajian-pengajian.

Bukti lain tentang betapa besar perhatiannya kepada santri adalah saat beliau mendapati seorang santri sedang membaca kitab kuning, maka beliau menyempatkan diri untuk mendengarkannya, hal ini tidak lain untuk memberikan semangat kepada santri, dengan cara memberikan koreksi. Ada satu hal yang dimiliki oleh mbah Ma’shum dalam mendidik santri-santrinya, bahwa beliau tidak memberlakukan pengajian dengan model kelas. Beliau memberlakukan pengajian umum kepada para santrinya. Cara pengajaran yang beliau lakukan adalah sistem bandongan dan sorogan. Sistem bandongan adalah pengajian umum atau terbuka yang diikuti oleh seluruh santri, sedangkan ‎sorogan adalah sebuah sistem dimana seorang santri membaca kitab kuning satu persatu di hadapan kiai.
Mbah Ma'shum selama mengajar banyak berperan aktif langsung dalam pendidikan santrinya. Beliau juga memiliki kebiasaan mengajar beberapa kitab yang diajarkan terus-menerus berulang-ulang, artinya jika kitab itu khatam, maka akan dimulai lagi dari awal. Di antaranya adalah pelajaran Al-Qur’an, Fathul Qarib, Fathul Wahhab, Jurumiyah, Alfiyah, al-Hikam ibn Athaillah, dan Ihya Ulumuddin. Mengenai kitab al-Hikam ini Mbah Ma’shum menyatakan bahwa beliau mengkhatamkannya sebanyak usia beliau. Mengenai Kitab Ihya, beliau berujar, "Saya khawatir kalau melihat santri yang belum pernah khatam kitab Ihya tapi sudah berani memberikan pengajaran kepada umat; yah, semoga saja dia selamat"Fathul Wahhab juga dikhatamkan sebanyak usianya, sehingga beliau pernah berkata bahwa ilmu Fiqh telah ada di dalam dadanya. Ketika beliau sudah berusia lanjut, kebanyakan santri yang datang kepadanya umumnya punya tujuan utama tabarrukan, atau mengambil barokah spiritualnya. Dalam mengajar santri Mbah Ma'shum amat disiplin dan istiqamah, sebab istiqamah adalah lebih utama ketimbang seribu karomah. Beliau juga tak segan-segan menegur khatib Jum’at yang khotbahnya terlalu lama dengan cara bertepuk tangan. Banyak muridnya yang menjadi kyai besar, seperti Kyai Abdul Jalil Pasuruan, Kyai Abdullah Faqih Langitan, Kyai Ahmad Saikhu Jakarta, Kyai Bisri Mustofa Rembang, Kyai Fuad Hasyim Buntet Cirebon, dan masih banyak lagi.

Sebagai kyai NU beliau juga gigih berjuang mendukung membesarkan NU bersama kyai-kyai lainnya. Beliau amat mencintai organisasi ini, sehingga beliau menyatakan tidak ridho jika anak keturunannya tidak mengikuti NU. Bahkan Mbah Ma’shum sendiri selalu didatangi oleh banyak kyai jika ada urusan penting di tubuh NU untuk meminta nasihat dan doanya. Misalnya ketika hangat-hangatnya pembentukan Jam’iyyah Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdliyah, Mbah Ma’shum termasuk yang setuju, dan bahkan menjadi salah satu “petinggi” organisasi tarekat itu, walaupun beliau sendiri tidak mengamalkan praktik-praktik tarekat. Menurutnya, “Saya sudah menggunakan tarekat langsung dari Kanjeng Nabi Muhammad, yakni berupa Hubb al-Fuqara wa al-Masakin (mencintai kaum fakir miskin). Selain itu banyak pula tokoh lain yang sowan kepada beliau guna meminta doa restu. Hal ini juga dilakukan oleh Profesor Kyai Haji Mukti Ali saat diangkat menjadi menteri agama. Mbah Ma’shum bersedia mendoakan Mukti Ali jika dia mau mengikuti sarannya, yang salah satunya menunjukkan kebesaran jiwanya: “Engkau jangan sekali-kali membenci NU. Sebab membenci NU sama dengan membenci aku karena NU itu saya yang mendirikan bersama-sama ulama lain. Tetapi engkau pun jangan membenci Muhamadiyyah. Jangan pula membenci PNI dan partai lain … Kau harus dapat berdiri di tengah-tengah dan berbuat adil terhadap mereka.” Ketika pecah huru-hara PKI Mbah Ma'shum terpaksa melakukan perjalanan dari kota ke kota, karena beliau termasuk tokoh yang di incar hendak dibunuh oleh PKI.‎

PERAN KEBANGSAAN DAN NASIONALISME
Berjuang bersama komunitas NU

 Mbah Ma’shum yang tekun dan konsisten dalam bidang pendidikan umat membawa beliau kedalam golongan atau jama’ah ulama’-ulama’ agung. Dari realitas ini sangat pantas jika sejarah mencatat bahwa mbah Ma’shum juga berperan didalam pendirian organisasi NU.

Beliau sangat mencintai jam’iyah NU. Bahkan terlalu cintanya, beliau pernah menyatakan bahwa dirinya tidak ridho jika anak keturunannya tidak NU. Beliau juga pernah mengatakan bahwa siapa saja yang berkhidmah kepada NU, Insya Allah akan mendapatkan berkah dari Allah.‎
                                                
HUBUNGAN KEMANUSIAAN
Atensi Mbah Ma’shum kepada umat
Mbah Ma’shum adalah adalah orang yang bisa di katakan sempurna dan utuh, maksud sempurna dan utuh di sini adalah beliau mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada zamannya. Misalnya masyarakat memerlukan bimbingan perihal politik maka mbah Ma’shum dengan apa adanya turut pula memiliki kepedulian politik.

Mbah Ma’shum adalah orang yang senantiasa memberikan pelajaran keagamaan dimana saja berada, bahkan dalam perjalanan bepergian, baik di bis atau di terminal.  Mbah Ma’shum juga menjadi orang yang memiliki kewibawaan tinggi dalam komunitas ‎Thariqah, beliau aktif menghadiri acara-acara perkumpulan Thariqah seperti muktamar.

Hal lainnya lagi adalah keistiqomahannya yang tidak hanya dalam hal mendidik santri, tetapi juga misalnya menjalin silaturrahim, bentuk jalinan silaturrahim tersebut tidak hanya di peruntukkan kepada orang-orang islam saja, melainkan juga kalangan non-muslim.
                          
KONTEKSTUALITAS PEMIKIRAN

Perubahan-perubahan pandangan fiqh
Ditinjau dari persepektif tertentu, pemikiran mbah Ma’shum tidak berbeda dengan pemikiran para kiai pada umumnya, sangat teguh memegang syari’at dan secara spesifik fiqh syafi’i. Beliau bisa saja mempraktikkan fiqh hanafi, misalnya karena beliau juga menguasainya. Akan tetapi hal itu tidak di lakukan dan lebih tertarik untuk mengembangkan pemikiran fiqh syafi’i. Hal itu terjadi pada kasus mahramiyah, dimana beliau sering menikahkan seseorang dengan kerabatnya supaya menjadi mahram dengan dirinya. Gagasan ini muncul seiring kebiasaan bersalaman atau bertemunya laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram.

Ulama’ NU, pada muktamar ke-10 tahun 1935 di surakarta, memfatwakan bahwasannya hukum mendengarkan radio sama dengan hukum mendengarkan suara aslinya. Artinya jika suara aslinya adalah suara yang di perbolehkan maka hukumnya pun boleh. Tetapi, jika yang di dengarkan adalah suara-suara yang mengajak untuk kemaksiatan, seperti lagu-lagu kemaksiatan misalnya maka hal tersebut tidak di perbolehkan.

Mbah Ma’shum pada waktu itu tidak main-main dalam mengharamkan radio. Di ceritakan bahwa suatu kali mbah Ma’shum bertamu ke seseorang dan mendapati tuan rumah sedang menyetel radio, tanpa di tunda beliau langsung menegur tuan rumah itu. Mengapa selama itu mbah Ma’shum cenderung mengharamkan, tidak lain karena radio yang ada lebih sering di ketahui memperdengarkan lagu-lagu yang kurang senafas dengan syari’at islam atau bahkan bertentangan.
                          
 WARISAN MBAH MA’SHUM

Mbah Ma’shum adalah salah seorang yang sangat suka dan amat kagum dengan bait-bait syair yang ada pada qashidatul burdah karangan imam muhammad Al-Bushiri. Beliau menganggap bahwa syair-syair yang ada pada qashidatul burdah itu sangat sempurna, baik dari sisi material maupun redaksional, demikian ini juga pandangan ulama’. Melihat status imam Bushiri seperti itu, amat wajar jika mbah Ma’shum dalam kehidupannya menganjurkan santrinya dan umat islam untuk senantiasa membaca Al-Burdah, dan khususnya potongan sya’ir seperti berikut:

هو الحبيب الذي ترجى شفاعته  لكلّ هول من الآهوال مقتحم

Pesan Mbah Ma’shum satu bait diatas supaya di baca setiap hari 1000 kali tanpa terkait waktu. Maksudnya boleh di cicil, yang penting selama satu hari berjumlah 1000 kali. Hanya saja, kepada santrinya beliau menyuruh membacanya setiap habis shalat maghrib.

Mbah Ma’shum ketika memimpin istighotsah beliau membaca potongan sya’iral-burdah:

يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَالِي مَنْ أَلُوذُ بِهِ  سِوَاكَ عِنْدَ حُلُولِ الحَاد ث العَمَمِ

Sya’ir Al-Burdah tersebut di baca sebanyak kurang lebih 80 kali.   

Selain hal-hal tersebut di atas, beliau juga sangat suka dengan Qashidatul Munfarijah dan sering membacanya dengan didampingi mbah Nuri
قَدْ اذَنَ لَيْلُكِ بِالْبَلَجِ
إِشْتَدّي أَزْمَةُ تَنْفَرِجِى
حَتَّى يُغْشَهُ أبو السُّرج
وَظَلَا مُ اللَيْلِ لَهُ سُرُجٌ
فَإِذا جاء الإبانُ تَاجي
وَسَحَا بُ الخَيْرِ لَهُ مَطَرٌ
لِسُرُورِ الأنْفُسِ والمُهَجِ
وفوايد مَولانَا جُمَلٌ

MBAH MA’SHUM WAFAT

Kesehatan mbah Ma’shum  turun drastis, terhitung sejak tanggal 14 Robi’ul Awal 1392 H atau 28 April 1972, jam 2 siang. Hal ini terjadi selama beberapa bulan, tepatnya hingga September. Pada tanggal 17 September 1972, atas inisiatif dari subhan ZE, mbah Ma’shum di bawa ke rumah sakit dr.Karyadi semarang, selama 10 hari, dia diobati di sana, dibawah pengawasan dr. Soetomo, dr. Harjono (seorang ahli penyakit dalam)   dan dr. Chamidun.
Hampir satu bulan setelah keluar dari rumah sakit tepatnya pada hari jum’at, tanggal 12 Ramadhan 1932 H, atau tanggal 20 oktober 1972 M, dalam keadaan di papah, beliau masih menyempatkan diri untuk shalat jum’at di masjid jami’ lasem. Hari itu, adalah hari sekaligus shalat jum’at terakhir baginya, beliau shalat jum’at di dalam mobil yang di parkir di halaman masjid. Setelah shalat jum’at, beliaupun kembali ke ndalem dan akhirnya wafat pada hari itu, jam 2 siang. Beliau pernah dhawuh,jika nanti wafat supaya makamnya di buat seperti makamnya Habib Ahmad bin Thalib bin Abdullah Pekalongan.
Segenap anggota keluarga dan para kiai, para alumni, serta para wali santri, yang berada di luar lasem segera menjadwalkan diri untuk pergi ke lasem guna memberikan penghormatan terakhir kepadanya.
Pada hari juma’t itu juga, sekitar pukul 16.00, jenazah mbah Ma’shum di mandikan oleh beberapa orang, keesokan harinya, sabtu tanggal 13 Ramadhan 1932 H/20 Oktober 1972 M, jenazah di makamkan di pemakaman masjid jami’ lasem, jam 14.30.

Karomah Mbah Ma'shum Lasem

Mbah Ma’shum Lasem, Jawa Tengah, adalah ulama besar yang tindakannya sering sulit dicerna nalar awam. Setelah peristiwanya, barulah orang mengerti apa sesungguhnya yang terjadi.

Diperkirakan, Mbah Ma’shum lahir pada tahun 1868. Dia adalah anak bungsu pasangan Ahmad dan Qosimah. Oleh orangtuanya dia kemudian diserahkan kepada Kiai Nawawi, Jepara, untuk mempelajari ilmu agama, karena sejak kecil diatelah ditinggal wafat oleh ibunya. Dari Kiai Nawai dia mendapat pelajaran dasar ilmu alat (nahwu) yang diambil dari kitab Jurumiyyah dan Imrithi.

Pengembaraannya mencari ilmu tidak sebatas di Lasem, melainkan sampai ke Jepara, Kajen (Kyai Abdullah, Kyai Abdul Salam, dan Kyai Siroj), Kudus (Kyai Ma’shum dan Kyai Syarofudin), Sarang Rembang (Kyai Umar Harun), Solo (Kyai Idris), Termas (Kyai Dimyati), Semarang (Kyai Ridhwan), Jombang (Kyai Hasyim Asy’ari), Bangkalan (Kyai Kholil), hingga Makkah (Kyai Mahfudz At-Turmusi), dan kota-kota lain.

Suatu saat, di Semarang, dia tertidur dan bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. Ketika di Bojonegoro, dia tidak hanya bermimpi, melainkan, antara tertidur dan terjaga, dia bertemu dengan Nabi, yang memberikan ungkapan La khayra ilia fi nasyr al-ilmi, yang artinya “Tidak ada kebaikan (yang lebih utama) daripada menyebarkan ilmu”.

Di rumahnya sendiri, dia bermimpi kembali. Dalam mimpinya, ia bersalaman dengan Nabi Muhammad SAW, yang berpesan,“Mengajarlah, segala kebutuhanmu insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.”

Di kemudian hari, Mbah Ma’shum menjadi ulama besar yang dikenal memiliki banyak karamah. Inilah beberapa kisah karamahnya:

Walisongo Bertamu
Ada satu kisah karomah lain yang menunjukkan ketinggian kedudukan spiritualnya. Hari itu datang sembilan orang tamu ke Lasem. Mereka ingin berjumpa dengan Mbah Ma’shum. Namun, karena tuan rumah sedang tidur, Ahmad, salah seorang santrinya, menawarkan apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan. Ternyata mereka menolak.

Lalu mereka semua, yang tadinya sudah duduk melingkar di ruang tamu, berdiri sambil membaca shalawat, kemudian berpamitan.
“Apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan?”tanya Ahmad sekali lagi.
“Tidak usah,” ujar me­reka serempak lalu pergi.

Rupanya saat itu Mbah Ma’shum mendusin dan bertanya kepada Ahmad perihal apa yang baru saja terjadi.
Setelah mendapat penjelasan, Mbah Ma’shum minta kepada Ahmad agar mengejar tamu-tamunya.
Tapi apa daya, mereka sudah menghilang, padahal mereka diperkirakan baru sekitar 50 meter dari rumah Mbah Ma’shum.

Ketika Ahmad akan melaporkan hal tersebut, Mbah Ma’shum, yang sudah bangun tapi masih dalam posisi tiduran, mengatakan bahwa tamu-tamunya itu adalah Walisango dan yang berbicara tadi adalah Sunan Ampel. Setelah mengucapkan kalimat terse­but, Mbah Ma’shum tertidur pulas lagi.

Beras Melimpah
Di depan para cucunya, Mbah Ma’shum memimpin pembacaan istighatsah dan membaca potongan syair Al-Burdah yang artinya, “Wahai makhluk paling mulia (Muhammad), aku tak ada tempat untuk mencari perlindungan kecuali kepadamu, pada kejadian malapetaka nan besar nanti.”

Syair tersebut dibaca 80 kali, dilanjutkan dengan doa sebagai berikut: “Ya Allah, orang-orang yang ada dalam tanggungan kami sangat banyak, tetapi beras yang ada pada kami telah habis. Untuk itu kami mohon rizqi dari-Mu.”

Selain mengamini, Nadhiroh, salah seorang cucunya, berteriak, “Mbah, tambahi satu ton.”
Ditimpali oleh Mbah Ma’shum, “Tidak satu ton, tepi lebih….”

Beberapa hari kemudian, beras seolah mengalir dari tamu-tamu yang datang dari berbagai kota, seperti Pemalang dan Pasuruan, ke tempat Mbah Ma’shum.

Masih soal beras. Pada kali yang lain, setelah mengajar 12 santrinya lalu diikuti dengan membaca Alfiyah, Mbah Ma’shum minta mereka mengamini doanya, karena persediaan beras sudah habis.

“Ya Allah, Gusti, saya minta beras….”
“Amin…,” ke-12 santri itu, yang ditampung dan ditanggung di rumah Mbah Ma’shum, khidmat menyambung doanya.

Jam sebelas siang, datang sebuah becak membawa beberapa karung be­ras. Tanpa pengantar, kecuali alamat ditempel di karung-karung beras itu. Di sana tertera jelas, kotanya adalah Banyuwangi. Kepada santrinya yang bernama Abrori Akhwan, Mbah Ma’shum minta agar mencatat alamat yang tertera di karung itu.

Suatu saat ketika berkunjung ke Banyuwangi, Mbah Ma’shum bermaksud mampir ke alamat itu. Saat alamat tersebut ditemukan, tempat itu ternyata kebun pisang yang jauh di pedalaman. Ironisnya, masyarakat di sana hampir- hampir tak ada yang kelebihan rizqi. Lalu siapa yang mengirim beras...?

“Dua Tahun Lagi Saya Menyusul”
“Seandainya Paman wafat pada hari ini, saya akan menyusul dua tahun kemudian,”demikian reaksi Mbah Ma’shum ketika mendengar kabar bahwa pamannya, Kiai Baidhowi, meninggal hari itu, 11 Desember 1970.

Bahkan ucapan itu ditegaskan sekali lagi langsung di telinga almarhum ketika dia menghadiri pemakamannya, “Ya, Paman, dua tahun lagi saya akan menyusul.”

Mbah Ma’shum tutup usia pada 28 Oktober 1972 atau 12 Ramadhan 1332, sepulang dari shalat Jum'at di masjid jami Lasem, tak jauh dari rumahnya. Persis seperti ucapannya, menyusul dua tahun setelah pamannya wafat.

Mengajar atau Menolong Orang juga “Dzikir”
Kisah lain, sambil memijit badan Mbah Ma’shum, Abrori Akhwan, yang kala itu, awal dekade 1960-an, masih menjadi santri di pesantren Mbah Ma’shum, Al-Hidayat, dalam benaknya terlintas pertanyaan, kenapa Mbah Ma’shum tak pernah menggunakan peci haji atau sorban bila keluar rumah, tidak pernah berdzikir dalam waktu yang lama, dan tidak banyak kitab kuning di rumahnya.

Pikiran itu rupanya terbaca oleh Mbah Ma’shum. Tak lama kemudian, ia berujar,“Seorang kyai tidak harus meng­gunakan peci haji atau sorban."Berdzikir" kepada Allah bisa dilakukan langsung secara praktek, seperti misalnya kita mengajar atau menolong orang, tidak harus dalam waktu lama dengan bebe­rapa bacaan tertentu. Kitab kuning sebenarnya banyak, tapi dipinjam oleh Ali, anak sulungku.”

Insya Allah akan Kembali
Ketika dalam perjalanan silaturahim ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, Mbah Ma'shum kehilangan kacamata di kereta api yang tengah meluncur, antara Tegal dan Pekalongan. Menyadari hal itu, ia kemudian mengajak para pengikutnya membaca surah Adh-Dhuha. Dan ketika sampai ayat wawajadaka dhaallam fahada, ayat tersebut dibaca delapan kali.

“Dengan membaca surah tersebut, insya Allah barang kita yang hilang akan kembali. Setidaknya Allah akan memberikan ganti yang sesuai,” katanya kemudian.

Ketika rombongan mampir ke rumah Kyai Faturrahman di Kebumen, Mbah Ma’shum melihat sebuah kacamata di lemari kaca tuan rumah, persis miliknya yang hilang. Dengan spontan ia berkata, “Alhamdulillah.”

Kepada Faturrahman, ia bertanya, “Apa ini kacamata saya...?”
Dijawab Kyai Faturrahman dengan terbata-bata, “Ya mungkin saja, Mbah….”
Kemudian kacamata itu diambil dan dipakai oleh Mbah Ma’shum.

Kendaraan Soal Belakang‎
Kali ini soal dokar/delman. Santri yang mengawal Mbah Ma’shum kebingungan. Se­telah maghrib, sudah menjadi kebiasaan, dokar di daerah Batang, Pekalongan, tidak akan ada yang berani keluar ke­cuali kalau dicarter. Namun Mbah Ma'shum berkata,“Shalat dulu, kendaraan soal belakang.”

Ketika itu rombongan Mbah Ma'shum sudah sampai di sebuah musholla. Maka shalatlah mereka secara berjamaah. Bahkan dilanjutkan hingga shalat Isya.

Setelah semua selesai, rombongan pun melanjutkan perjalanan. Dan, tanpa diduga, begitu rombongan keluar dari halaman musholla, lewatlah sebuah do­kar kosong. Mereka pun menaikinya. Subhanallah.

System Pendidikan yang ada di Pondok Pesantren Al-Hidayat dari mulai berdiri dan semasa hidup KH. Ma'shoem dan KH. Ahmad Syakir menganut pendidikan salafy, yaitu khusus mengkaji ilmu - ilmu agama yang bersumber dari kitab kuning (klasik) baru pada periode Nyai Hj. Azizah Ma'shoem dan KH. Zaenuddin Maftuchin system pendidikan berubah memadukan salafy dan sekolah formal yang kurikulumnya selain mengacu pada kitab kuning juga menggunakan kurikulum Departemen Agama.‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...