Kamis, 21 Oktober 2021

Sejarah Mbah Ma'shum Lasem


Lasem dikenal sebagai Kota Santri, yang dimana banyak santri yang belajar di Lasem sehingga banyak santri tersebut yang berguna bagi agama, masyarakat, nusa dan bangsa setelah mereka menimba ilmu di Lasem, diantaranya:
KH. Idam Kholid (pernah duduk sebagai ketua DPR/MPR RI),
KH. Ahmad Syaikhu (Anggota DPR/MPR RI),
KH. Saifuddin Zuhri (salah seorang kiyai / tokoh pengurus PBNU),
KH. Subhan ZE, (seorang Tokoh muda NU pada masa itu),
KH. Mukti Ali (Menteri Agama),
KH. Muhammad Dimyati atau dikenal dengan Abuya Dimyati Banten,
KH. Abdul Mukti Magelang, dan masih banyak lagi yang lainnya. 

Karena pada era 1900 an Lasem mempunyai Ulama-ulama khos, diantaranya KH. Kholil Mashuri (ponpes An Nur), KH. Baidhowi (ponpes Al Wahdah), KH. Ma’shoem Ahmad (ponpes Al Hidayat).

Ke-tiga Ulama Lasem tersebut dipercaya sebagai anggota pendiri NU, walaupun di dalam struktur NU yang pertama kali hanya tertulis nama KH. Kholil Mashuri, selain ulama-ulama Lasem tersebut masih ada nama KH. Abdullah Umar yang juga banyak melahirkan sosok Ulama-ulama dari keturunanannya, KH. Masduki (Al Islah), KH. Ali Ma’shoem, KH. Hamid Pasuruan. Dan hingga saat ini di Lasem terdapat 20 pesantren.‎

Semua tokoh ulama-ulama Lasem sepatutnya untuk diketahui oleh warga dan generasi saat ini, karena mengingat sangatlah penting pengetahuan tersebut untuk mengingat jasa-jasa beliu yang dapat dipetik pada jaman sekarang. dapat juga bisa bermanfaat untuk edukasi dan pembentukan moral yang dimana bisa di dapat petik dari tindak tanduk jasa para ulama terdahulu yang dapat dijadikan panutan untuk generasi sekarang.

Sejak dahulu kota kecamatan ini terkenal sebagai Kota Santri. Peninggalan pesantren-pesantren tua di kota ini dapat kita rekam jejaknya hingga sekarang. 

Banyak ulama-ulama karismatik yang wafat di kota ini. diantaranya:
Sayid Abdurrahman Basyaiban (Mbah Sambu) yang kini namanya dijadikan jalan raya yg menghubungkan Lasem-Bojonegoro,
KH. Baidhowi, 
KH. Khalil, 
KH. Maksum, 
KH. Masduki 
dll. 

Sebagian makam tokoh masyarakat Lasem ini dapat anda jumpai di utara Masjid Jami' Lasem. Maka tidak berlebihan jika Lasem berjuluk sebagai kota santri, mengingat banyaknya ulama, Pondok Pesantren dan jumlah santri yang belajar agama islam di kota ini

Pondok Pesantren tersebut antara lain:
Al Wahdah (Sumbergirang)
Al Hidayah (Soditan)
Al Hidayah Putri (Soditan)
At Taslim (Soditan)
Al Islah (Soditan)
Al Mashudi (Soditan)
Al Hamidiyyah (Soditan)
Al Fakriyyah (Sumbergirang)
Ash Sholatiyah (Sumbergirang)
Nailun Najah (Sumbergirang)
An Nur (Soditan)
Kauman (Karangturi)
Al Hadi (Sumbergirang)
Al Muyassar (Sumbergirang)
Al Fatah (Ngemplak)
Al Banat (Ngemplak)
Al Aziz (Ngemplak)
Raudlatut Thulab (Ngemplak)‎

Pesantren Al-Hidayah

Pondok Pesantren Al - Hidayat didirikan oleh Almaghfurlah Simbah KH. Ma'shoem Ahmad pada tahun 1916 Masehi di desa Soditan Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang. 

Keberadaan Pondok Pesantren Al-Hidayat terletak kurang lebih 370 m dari pantai laut jawa. KH. Ma'shoem Ahmad pada mulanya berguru (nyantri) di Pondok Pesantren Jamsaren-Solo. Kemudian dilanjutkan di Pondok Pesantren Bangkalan Madura dibawah asuhan KH. Cholil, selain itu beliau juga berguru pada kiyai - kiyai besar lain. setelah menikah dengan Nyai Hj. Nuriyyah beliau berdagang topi di Jombang namun tidak berlangsung lama karena beliau mempunyai tekad yang kuat untuk terus mengadakan dakwah dan melawan penjajahan Belanda, sehingga pada tahun 1916 M beliau mendirikan Pondok Pesantren Al-Hidayat dengan maksud untuk meningkatkan kegiatan dakwah, belajar mengajar, ibadah dan mengumpulkan massa untuk bersama - sama melawan penjajahan.
Pesantren yang dirintisnya tersebut pada awal mulanya hanya terdapat empat santri, kemudian pada masa - masa selanjutnya banyak sekali santri - santri yang berdatangan, terutama mereka yang mempunyai semangat, visi, misi dan keinginan yang sama dengan beliau. tercatat beberapa alumni Al-Hidayat dibawah didikan dan binaan beliau antara lain KH. Idam Kholid (pernah duduk sebagai ketua DPR/MPR RI) KH. Ahmad Syaikhu(Anggota DPR/MPR RI) KH. Saifuddin Zuhri (salah seorang kiyai / tokoh pengurus PBNU), KH. Subhan ZE, (seorang Tokoh muda NU pada masa itu), KH. Mukti Ali(Menteri Agama), dan banyak pura alumni yang saat ini menjadi tokoh masyarakat.

Pada masa pendirian Organisasi Nahdlatul Ulama, beliau termasuk tokoh utama yang berperan didalamnya. pada saat itu selain terdapat beberapa kiyai lain yaitu KH. Wahab Hasbullah, KH. Hasyim As'ari dan KH. Bisri Samsuri.

Kyai besar dan Wali Allah yang amat dihormati dikalangan umat Islam ini, yang biasa disapa Mbah Ma’shum, adalah salah satu dari dua“Gembong Kyai” asal Lasem selain Kyai Baidhowi Abdul Aziz. Beliau senantiasa menjalin silaturahmi, jujur, mengayomi, menghormati tamu dan teguh menjaga kebenaran. Seluruh hidupnya diabdikan kepada masyarakat, terutama kaum papa. Beliau bahkan menganggap pengabdian ini sebagai laku tarekatnya. Menurut Denys Lombard, ahli sejarah terkenal, "Mbah Masum" adalah seorang guru (kyai) dari Lasem yang kurang dikenal di tingkat nasional, namun kematiannya pada tahun 1972 menimbulkan guncangan hebat dari satu ujung jaringan ke ujung jaringan lainnya.”

Kelahiran dan keluarga Mbah Ma’shum

Nama asli yang di berikan orang tuanya adalah muhammadun. Dia lahir di perkirakan sekitar tahun 1290 H, atau 1870 M, di lasem. Tahun kelahiran itu di sebut tahun perkiraan, sebab tidak ada seorangpun yang tahu pasti tahun berapa beliau di lahirkan.

Ayah mbah ma’shum bernama Ahmad, dia seorang yang mempunyai visi keagamaan tinggi. Sehari-hari, beliau berprofesi di bidang perdagangan, hanya saja kurang bisa dipastikan apakah mbah Ahmad adalah pedagang tingkat atas, menengah, atau bawah. Yang jelas, jika kita melihat kisah yang disampaikan kiai Mas’adi bin Nawawi (kajen, pati) bisa diyakini jika mbah Ahmad merupakan pedagang atau pebisnis, setidaknya tingkat menengah.

Tampaknya, beliau termasuk pedagang yang cukup kreatif, selain status nya yang pebisnis, bisa diyakini juga bahwa ayah mbah ma’shum itu merupakan seseorang yang memiliki visi keagamaan yang cukup, dengan argumentasi bahwa beliau menyerahkan pendidikan keagamaan mbah Ma’shum sewaktu kecil kepada kiai Nawawi (jepara). Minimal, dari kenyataan ini dapt di simpulkan bahwa mbah Ahmad memilki atensi atas wawasan keagamaan mbah Ma’shum. Dan dari mbah Ahmad itu, visi-visi dan wawasan keagamaan mbah Ma’shum di tanamkan. Demikian juga dengan praktik keseharian mbah Ahmad, sebagai bisnis, yang di kemudian hari juga mengalir dalam darah mbah Ma’shum. Sedangkan nama ibu mbah Ma’shum adalah Qosimah.

Pasangan mbah Ahmad dan mbah Qosimah di karuniai 3 orang anak, dua orang putri dan seorang putra. Mereka adalah Nyai Zainab, Nyai Malichah dan mbah Ma’shum. Ketiga putra-putri mbah Ahmad itu lahir, hidup dan wafat di lasem.

Guru-Guru Mbah Ma’shum

Sejak kecil hingga menginjak masa dewasa, mbah Ma’shum menimba banyak pengetahuan dari berbagai kiai, baik di lasem maupun di luar lasem seperti jepara, kajen, kudus, sarang, solo, semarang, Jombang, madura, hingga ke makkah. Dari rumah ke rumah, kampung ke kampung, sudah sewajarnya seorang pecinta ilmu akan selalu mengejar ke mana ilmu itu berada. Demikian halnya dengan mbah Ma’shum. Dia pun belajar kepada banyak kiai.

Menurut kiai Maimun Zubair dalm bukunya, mbah Ma’shum pernah mengaji kepada kiai Nawawi (jepara), kiai Ridhwan (semarang), kiai Umar Harun (sarang), kiai Idris (solo), kiai Dimyati (termas), serta kepada kiai Hasyim Asy’ari dan kiai Kholil bangkalan. Masih menurut catatan kiai Maimun Zubair, Mbah Ma’shum juga pernah belajar kepada kiai Dimyati At-Turmusi di Termas. Lalu, melanjutkan belajarnya ke makkah, dengan mengaji kepada kiai Mahfudz At-Turmusi (w. 1338 H/1919 M). Keberangkatan beliau ke makkah ini menyiratkan suatu informasi yang mendukung dugaan bahwa kelurga mbah Ma’shum adalah keluarga yang memiliki tradisi keislaman yang mapan dan keluarga mbah Ma’shum memiliki status ekonomi tertentu yang dapat mengantarkannya ke pendidikan tertinggi.

Tanda-tanda keutamaan Mbah Ma'shum telah diketahui secara kasyaf oleh Mbah Kholil Bangkalan, seorang wali Qutub yang amat masyhur. Dikisahkan, sehari sebelum kedatangan Mbah Ma'shum ke Bangkalan, Mbah Kholil menyuruh para santri membuat kurungan ayam. Kata Mbah Kholil, "Tolong aku dibuatkan kurungan ayam jago. Besok akan ada ayam jago dari tanah Jawa yang datang kesini".

Begitu Mbah Ma'shum datang, yang saat itu usianya sekitar 20-an tahun, beliau langsung dimasukan ke kurungan ayam itu. Mbah Ma'shum disuruh oleh Mbah Kholil untuk mengajar kitab Alfiyah selama 40 hari. Yang aneh, pengajaran dilakukan oleh Mbah Ma'shum di sebuah kamar tanpa lampu, sedangkan santri-santrinya berada di luar. Mbah Ma’shum hanya 3 bulan di Bangkalan. Ketika hendak pulang, Mbah Kholil memanggilnya dan didoakan dengan doa sapu jagad. Lalu, saat Mbah Ma'shum melangkah pergi beberapa meter, beliau dipanggil lagi oleh Mbah Kholil dan didoakan dengan doa yang sama. Hal ini terjadi berulang hingga 17 kali.

Pernikahan dan putra-putri Mbah Ma’shum

Mbah ma’shum menikah untuk pertama kali dengan seorang perempuan dari desa sumber Girang, lasem. Istri mbah Ma’shum yang pertama itu wafat di Arab Saudi ketika melaksanakan haji bersama mbah Ma’shum. Mbah Ma’shum memiliki seorang putra dari istri pertama yang selalu di ajak ke manapun dia pergi, untuk berdagang, terkadang ke daerah salatiga, solo, terkadang ke daerah kediri.

Setelah wafatnya nyai pertama itu, beliau menduda untuk jangka waktu yang agak lama. Pada usia 36 tahun, tepatnya tahun 1323 H/1906 M, beliau menikah untuk kali kedua, yaitu dengan mbah Nuriyah binti KH. Zainuddin bin KH. Ibrahim bin KH. Abdul latif bin mbah joyotirto bin mbah Abdul halim bin mbah sambu. Ibu mbah Nuriyah bernama Nyai Mashfuriyah bin KH Abdul Aziz bin KH Abdul latif bin mbah joyotirto bin mba joyotirto bin mbah Abdul halim bin mbah Sambu.

Mbah Nuriyah yang terkenal dengan panggilan mbah Nuri lahir pada tahun 1312 H/1895 M. Dari sini dapat di ketahui bahwa sewaktu menikah dengan mbah Ma’shum, mbah Nuri berusia 11 tahun, sedangkan mbah Ma’shum berusia 36 tahun. Akan tetapi, dia berkumpul atau tinggal serumah dengan mbah Ma’shum pada usia 14 tahun. Baik mbah Ma’shum maupun Mbah Nuri sama-sama berasal dari kelurga terdidik dan berpengetahuan islam. Jika mbah Ma’shum belajar pendidikan agama kepada orang tuanya dan kepada para kiai, mbah Nuri cukup belajar dari orang tua saja. Maklum, waktu itu belum banyak perempuan yang belajar ke luar rumah atau ke luar kota. Bahkan bisa dikatakan hal tersebut sangat jarang sekali. Perempuan belajar di pesantren, baik dalam bentuk menginap atau di asramakan, justru di mulai oleh pendidikan yang di jalankan oleh mbah Ma’shum dan mbah Nuri, setidaknya untuk level daerah lasem, rembang atau jawa tengah. Hal yang pasti adalah bahwa mbah Nuri, setelah menikah mengaji kepada mbah Ma’shum sejumlah pelajaran, hingga dia memiliki wawasan yang lebih dalam hal ilmu tafsir. Dari pernikahan mbah Ma’shum dengan mbah Nuri ini, Allah memberikan mereka berdua putra-putri yang berjumlah 13 orang, 8 di antaranya wafat ketika masih kecil.   

Dari pernikahan beliau dengan Nyai Hj. Nuriyyah dikaruniai lima orang putera - puteri yaitu :
KH. Ali Ma'shoem ( Pengasuh Ponpes Krapyak Yogja)
Nyai Hj. Fatimah Ma'shoem
KH. Ahmad Syakir Ma'shoem
Nyai Hj. Azizah Ma'shoem
Nyai Hj. Hannah Ma'shoem
Sebagai seorang kiai, mbah Ma’shum memberikan bekal-bekal keagamaan secara dini kepada para putra-putrinya, s bagaimana beliau mendapatkan bekal dari kedua orang tuanya. Semua pengetahuan putra-putrinya, baik pelajaran Al-Qur’an maupun kitab kuning, di awali dari pengajaran dia. Setelah menginjak dewasa, para putranya itu mengaji kepada kiai lain di berbagai tempat.

Ali, putra pertama mbah Ma’shum, lahir pada 2 maret 1915 M. Menikah dengan Hasyimah binti mbah Munawwir, pendiri dan pengasuh pesantrean Krapyak, Yogyakarta. Kisah pernikahan ini berawal saat mbah Ma’shum dan mbah Munawwir berdiskusi tentang bagaimana mengembangkan wawasan-wawasan yang ada dalam kitab kuning di pesantren krapyak yang kini di kenal dengan nama pesantren Al-Munawwir. Wawasan kitab kuning di perlukan di pesantren ini karena selama ini pesantren tersebut memfokuskan pengajiannya kepada hafalan Al-Qur’an.

Dari diskusi itu, mbah Munawwir minta kepada mbah Ma’shum supaya di beri “bibit” untuk mengomandani pengembangan ilmu-ilmu kitab kuning tersebut. Dan di sepakatilah rencana untuk berbesanan antara keduanya. Mbah Ma’shum dan mbah Munawwir sendiri sebelumnya telah mengenal satu sama lain saat keduanya sama-sama belajar di pesantren jamsaren solo dan juga di pesantren bangkalan Madura.

Putra mbah Ma’shum yang kedua adalah Fatimah, lahir pada tahun 1918 M. Dia menikah kali pertama dengan kiai Thohir bin kiai Nawawi, kajen, pati. Keduanya berpisah, dan dia menikah lagi dengan kiai Muhammad bin kiai Amir, simbang, pekalongan. Mereka berpisah, dan akhirnya dia menikah dengan kiai maftuhin bin Masyhuri, dari jepara. Pasangan ini adalah pendiri pesantren Al-Fath, Ngemplak lasem. Kiai Maftuhin wafat pada tahun 1401 H/1981 M, sedangakan Nyai Fatimah wafat pada tahun 1417 H/1996 M.

Putra ketiga mbah Ma’shum adalah Ahmad Syakir, lahir pada tahun 1338 H/1920 M. Setelah melewati pendidikan dasar di keluarga, dia mengaji kepada Kiai Dimyati Termas, Kiai Abbas cirebon, kiai Dalhar watucongol dan Kiai Munawwir Krapyak. Dia menikah dengan Faizah binti Ahmad musthofa, dari tegalsari solo, pada tahun 1944. Nyai Faizah ini adalah penghafal Al-Qur’an sekaligus ahli tafsir terbaik yang ada di lasem, dia melanjutkan perjuangan mbah Ma’shum dengan cara mengasuh pesantren Al-Hidayat, sepeninggal Kiai Ahmad syakir, bagian Tahfidzul Qur’an.

Putra keempat hingga ketujuh adalah bernama Zainuddin,in, sholichah, Aba Qasim, serta Asmu’i. Mereka wafat ketika masih kecil, sedangkan yang kedelapan adalah ibu Nyai Azizah, lahir pada tahun 1348 H/1930 M, dan kini masih mengasuh pesantren Al-Hidayat, dia menikah dengan KH. Makmur, lasem dan berpisah, lalu menikah dengan KH. Ali Nu’man dan tidak punya putra.

Yang kesembilan adalah ibu Nyai Hamnah, lahir pada tahun 1351 H/1932 M, dan tinggal di kota Demak, suaminya KH. Sa’dullah Taslim, adalah alumni pesantren Al-Hidayat, dan kini mengasuh pesantren At-Taslim, Demak. Putra Mbah Ma’shum yang kesepuluh hingga ketiga belas adalah salamah, muznah, sa’adah, dan Abdul jalal. Mereka wafat ketika masih kecil.

PETUALANGAN SANG PEDAGANG

Mbah Ma’shum telah melanglang ke berbagai tempat selama beberapa tahun dalam rangka mencari ilmu, nyaris seluruh ulama’ yang memiliki torehan sejarah indah dalam kajian keislaman di datangi dan kepada mereka beliau menyatakan diri sebagai murid. Setelah kenyang menuntut ilmu mbah Ma’shum memasuki dunia baru, yakni berumah tangga, untuk menghidupi keluarganya, mbah Ma’shum mengikuti profesi orang tuanya sebagai pedagang. Perdagangannya tidak hanya di lasem saja, melainkan hingga ke pasar ploso jombang. Selain berdagang beliau juga pernah bekerja di tempat pembakaran dan pembuatan batu bara (putih) yang berada di daerah selatan babat, di desa suwireh, sebelah utara daerah ngimbang.

Dalam kehidupannya beliau adalah orang yang sangat sederhana, tidak banyak keinginan duniawi yang hendak beliau raih, beliau tidak pernah memiliki sarung hingga lebih dari 3 bij. Soal makanan beliau juga demikian, bagi beliau soal makanan, yang penting nasinya hangat, itu sudah cukup. Beliau tidak memiliki kriteria soal lauk, akan tetapi beliau paling suka dengan sambal petis, beliau juga tidak pernah menggunakan sendok, apa lagi garpu ketika makan.

Sambil berdagang, mbah Ma’shum juga mengajar ilmu pengetahuan agama kepada orang-orang di sekitar sana, yang bertempat di pasar ploso, jombang. Kenyataan ini menunjukkan pada beberapa hal, antara lain: betapa kuatnya magnet keilmuan yang bersangkutan terhadap masyarakat; betapa masyarakat membutuhkan pencerahan (keagamaan) kepada yang bersangkutan. Inti dari gambaran tersebut adalah adanya dependensi masyarakat kepada kiai, khususnya dalam masalah keagamaan. Semua yang beliau lakukan tersebut adalah kenyataan sejarah yang menyejukkan, juga keteladanan yang patut di kembangkan.

Selain berdagang dan mengajar di masjid dekat pasar ploso itu, secara periodik mbah Ma’shum juga sering berkunjung ke Tebuireng untuk mengaji kepada kiai Hasyim Asy’ari, yang lahir pada tahun 1871 M, namun hal ini bukan menjadi masalah bagi beliau. Dan inilah yang secara khusus ciri khas beliau yang paling menonjol, yaitu suka mengaji dan belajar kepada orang lain sekalipun beliau telah “menjadi” kiai dan orang yang beliau datangi terkadang berusia lebih muda.

MENDIRIKAN PESANTREN DAN MENGURUS SANTRI

Berawal dari mimpi
Mbah Ma’shum bermimpi bertemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad, dan mendapatkan nasihat supaya meninggalkan perdagangan serta berganti mengajar. Mimpinya bertemu dengan Kanjeng Nabi itu terjadi selama beberapa kali.

Suatu saat, beliau sedang berada di sebuah tempat di semarang, kala tidur beliau mimipi bertemu dengan kanjeng Nabi Muhammad, saat itu juga beliau bangun dan berfikir bahwa tempat beliau menginap itu bukanlah tempat yang muhtarom, beliau memang belum sepenuhnya percaya bahwa yang ada dalam mimpi beliau adalah kanjeng Nabi, tetapi beliau sangat menyadari bahwa semua nasihat yang ada dalam mimpi itu benar, tepat dan sesuai realitas.

Mbah Ma’shum juga pernah bermimipi di mushola depan ndalem dan sempat bersalaman dengan Nabi, setelah bangun tangan beliau masih bau wangi, pada saat itu Kanjeng Nabi sedang membawa list sumbangan untuk pembangunan pondok pesantren. Kanjeng Nabi waktu itu berpesan:mengajarlah..., dan segala kebutuhan insya Allah akan di penuhi semuanya oleh Allah.Akhirnya beliaupun membangun sebuah tempat sebagai pusat pendidikan yang berdiri pada tahun 1334 H/1916 M, dalam bentuk mushola beberapa ruang sederhana untuk para santri dan akhirnya beliau memberi nama pondok pesantren Al-Hidayat. Pada awal-awal mengasuh pesantren mbah Ma’shum pernah mengalami masa mendidik santri waktu itu berjumlah sekitar 26 santri.

Metode Mbah Ma’shum dalam mendidik santri

Soal memberikan perhatian kepada santri, mbah ma’shum ini adalah satu dari sekian tokoh yang memiliki perhatian sangat besar. Atensi mbah Ma’shum kepada para santrinya sangat istimewa, figur beliau mencerminkan seorang guru sekaligus orang tua. Mulai ketika santri datang ke pondok, masa belajar, hingga santri kembali ke masyarakat pun selalu mendapatkan atensi dari beliau. Di mata santri-santrinya, mbah Ma’shum adalah orang yang sangat istiqomah dalam mendidik santri, mulai dari membangunkan tidur, memimpin jama’ah hingga melaksanakan pengajian-pengajian.

Bukti lain tentang betapa besar perhatiannya kepada santri adalah saat beliau mendapati seorang santri sedang membaca kitab kuning, maka beliau menyempatkan diri untuk mendengarkannya, hal ini tidak lain untuk memberikan semangat kepada santri, dengan cara memberikan koreksi. Ada satu hal yang dimiliki oleh mbah Ma’shum dalam mendidik santri-santrinya, bahwa beliau tidak memberlakukan pengajian dengan model kelas. Beliau memberlakukan pengajian umum kepada para santrinya. Cara pengajaran yang beliau lakukan adalah sistem bandongan dan sorogan. Sistem bandongan adalah pengajian umum atau terbuka yang diikuti oleh seluruh santri, sedangkan ‎sorogan adalah sebuah sistem dimana seorang santri membaca kitab kuning satu persatu di hadapan kiai.
Mbah Ma'shum selama mengajar banyak berperan aktif langsung dalam pendidikan santrinya. Beliau juga memiliki kebiasaan mengajar beberapa kitab yang diajarkan terus-menerus berulang-ulang, artinya jika kitab itu khatam, maka akan dimulai lagi dari awal. Di antaranya adalah pelajaran Al-Qur’an, Fathul Qarib, Fathul Wahhab, Jurumiyah, Alfiyah, al-Hikam ibn Athaillah, dan Ihya Ulumuddin. Mengenai kitab al-Hikam ini Mbah Ma’shum menyatakan bahwa beliau mengkhatamkannya sebanyak usia beliau. Mengenai Kitab Ihya, beliau berujar, "Saya khawatir kalau melihat santri yang belum pernah khatam kitab Ihya tapi sudah berani memberikan pengajaran kepada umat; yah, semoga saja dia selamat"Fathul Wahhab juga dikhatamkan sebanyak usianya, sehingga beliau pernah berkata bahwa ilmu Fiqh telah ada di dalam dadanya. Ketika beliau sudah berusia lanjut, kebanyakan santri yang datang kepadanya umumnya punya tujuan utama tabarrukan, atau mengambil barokah spiritualnya. Dalam mengajar santri Mbah Ma'shum amat disiplin dan istiqamah, sebab istiqamah adalah lebih utama ketimbang seribu karomah. Beliau juga tak segan-segan menegur khatib Jum’at yang khotbahnya terlalu lama dengan cara bertepuk tangan. Banyak muridnya yang menjadi kyai besar, seperti Kyai Abdul Jalil Pasuruan, Kyai Abdullah Faqih Langitan, Kyai Ahmad Saikhu Jakarta, Kyai Bisri Mustofa Rembang, Kyai Fuad Hasyim Buntet Cirebon, dan masih banyak lagi.

Sebagai kyai NU beliau juga gigih berjuang mendukung membesarkan NU bersama kyai-kyai lainnya. Beliau amat mencintai organisasi ini, sehingga beliau menyatakan tidak ridho jika anak keturunannya tidak mengikuti NU. Bahkan Mbah Ma’shum sendiri selalu didatangi oleh banyak kyai jika ada urusan penting di tubuh NU untuk meminta nasihat dan doanya. Misalnya ketika hangat-hangatnya pembentukan Jam’iyyah Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdliyah, Mbah Ma’shum termasuk yang setuju, dan bahkan menjadi salah satu “petinggi” organisasi tarekat itu, walaupun beliau sendiri tidak mengamalkan praktik-praktik tarekat. Menurutnya, “Saya sudah menggunakan tarekat langsung dari Kanjeng Nabi Muhammad, yakni berupa Hubb al-Fuqara wa al-Masakin (mencintai kaum fakir miskin). Selain itu banyak pula tokoh lain yang sowan kepada beliau guna meminta doa restu. Hal ini juga dilakukan oleh Profesor Kyai Haji Mukti Ali saat diangkat menjadi menteri agama. Mbah Ma’shum bersedia mendoakan Mukti Ali jika dia mau mengikuti sarannya, yang salah satunya menunjukkan kebesaran jiwanya: “Engkau jangan sekali-kali membenci NU. Sebab membenci NU sama dengan membenci aku karena NU itu saya yang mendirikan bersama-sama ulama lain. Tetapi engkau pun jangan membenci Muhamadiyyah. Jangan pula membenci PNI dan partai lain … Kau harus dapat berdiri di tengah-tengah dan berbuat adil terhadap mereka.” Ketika pecah huru-hara PKI Mbah Ma'shum terpaksa melakukan perjalanan dari kota ke kota, karena beliau termasuk tokoh yang di incar hendak dibunuh oleh PKI.‎

PERAN KEBANGSAAN DAN NASIONALISME
Berjuang bersama komunitas NU

 Mbah Ma’shum yang tekun dan konsisten dalam bidang pendidikan umat membawa beliau kedalam golongan atau jama’ah ulama’-ulama’ agung. Dari realitas ini sangat pantas jika sejarah mencatat bahwa mbah Ma’shum juga berperan didalam pendirian organisasi NU.

Beliau sangat mencintai jam’iyah NU. Bahkan terlalu cintanya, beliau pernah menyatakan bahwa dirinya tidak ridho jika anak keturunannya tidak NU. Beliau juga pernah mengatakan bahwa siapa saja yang berkhidmah kepada NU, Insya Allah akan mendapatkan berkah dari Allah.‎
                                                
HUBUNGAN KEMANUSIAAN
Atensi Mbah Ma’shum kepada umat
Mbah Ma’shum adalah adalah orang yang bisa di katakan sempurna dan utuh, maksud sempurna dan utuh di sini adalah beliau mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada zamannya. Misalnya masyarakat memerlukan bimbingan perihal politik maka mbah Ma’shum dengan apa adanya turut pula memiliki kepedulian politik.

Mbah Ma’shum adalah orang yang senantiasa memberikan pelajaran keagamaan dimana saja berada, bahkan dalam perjalanan bepergian, baik di bis atau di terminal.  Mbah Ma’shum juga menjadi orang yang memiliki kewibawaan tinggi dalam komunitas ‎Thariqah, beliau aktif menghadiri acara-acara perkumpulan Thariqah seperti muktamar.

Hal lainnya lagi adalah keistiqomahannya yang tidak hanya dalam hal mendidik santri, tetapi juga misalnya menjalin silaturrahim, bentuk jalinan silaturrahim tersebut tidak hanya di peruntukkan kepada orang-orang islam saja, melainkan juga kalangan non-muslim.
                          
KONTEKSTUALITAS PEMIKIRAN

Perubahan-perubahan pandangan fiqh
Ditinjau dari persepektif tertentu, pemikiran mbah Ma’shum tidak berbeda dengan pemikiran para kiai pada umumnya, sangat teguh memegang syari’at dan secara spesifik fiqh syafi’i. Beliau bisa saja mempraktikkan fiqh hanafi, misalnya karena beliau juga menguasainya. Akan tetapi hal itu tidak di lakukan dan lebih tertarik untuk mengembangkan pemikiran fiqh syafi’i. Hal itu terjadi pada kasus mahramiyah, dimana beliau sering menikahkan seseorang dengan kerabatnya supaya menjadi mahram dengan dirinya. Gagasan ini muncul seiring kebiasaan bersalaman atau bertemunya laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram.

Ulama’ NU, pada muktamar ke-10 tahun 1935 di surakarta, memfatwakan bahwasannya hukum mendengarkan radio sama dengan hukum mendengarkan suara aslinya. Artinya jika suara aslinya adalah suara yang di perbolehkan maka hukumnya pun boleh. Tetapi, jika yang di dengarkan adalah suara-suara yang mengajak untuk kemaksiatan, seperti lagu-lagu kemaksiatan misalnya maka hal tersebut tidak di perbolehkan.

Mbah Ma’shum pada waktu itu tidak main-main dalam mengharamkan radio. Di ceritakan bahwa suatu kali mbah Ma’shum bertamu ke seseorang dan mendapati tuan rumah sedang menyetel radio, tanpa di tunda beliau langsung menegur tuan rumah itu. Mengapa selama itu mbah Ma’shum cenderung mengharamkan, tidak lain karena radio yang ada lebih sering di ketahui memperdengarkan lagu-lagu yang kurang senafas dengan syari’at islam atau bahkan bertentangan.
                          
 WARISAN MBAH MA’SHUM

Mbah Ma’shum adalah salah seorang yang sangat suka dan amat kagum dengan bait-bait syair yang ada pada qashidatul burdah karangan imam muhammad Al-Bushiri. Beliau menganggap bahwa syair-syair yang ada pada qashidatul burdah itu sangat sempurna, baik dari sisi material maupun redaksional, demikian ini juga pandangan ulama’. Melihat status imam Bushiri seperti itu, amat wajar jika mbah Ma’shum dalam kehidupannya menganjurkan santrinya dan umat islam untuk senantiasa membaca Al-Burdah, dan khususnya potongan sya’ir seperti berikut:

هو الحبيب الذي ترجى شفاعته  لكلّ هول من الآهوال مقتحم

Pesan Mbah Ma’shum satu bait diatas supaya di baca setiap hari 1000 kali tanpa terkait waktu. Maksudnya boleh di cicil, yang penting selama satu hari berjumlah 1000 kali. Hanya saja, kepada santrinya beliau menyuruh membacanya setiap habis shalat maghrib.

Mbah Ma’shum ketika memimpin istighotsah beliau membaca potongan sya’iral-burdah:

يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَالِي مَنْ أَلُوذُ بِهِ  سِوَاكَ عِنْدَ حُلُولِ الحَاد ث العَمَمِ

Sya’ir Al-Burdah tersebut di baca sebanyak kurang lebih 80 kali.   

Selain hal-hal tersebut di atas, beliau juga sangat suka dengan Qashidatul Munfarijah dan sering membacanya dengan didampingi mbah Nuri
قَدْ اذَنَ لَيْلُكِ بِالْبَلَجِ
إِشْتَدّي أَزْمَةُ تَنْفَرِجِى
حَتَّى يُغْشَهُ أبو السُّرج
وَظَلَا مُ اللَيْلِ لَهُ سُرُجٌ
فَإِذا جاء الإبانُ تَاجي
وَسَحَا بُ الخَيْرِ لَهُ مَطَرٌ
لِسُرُورِ الأنْفُسِ والمُهَجِ
وفوايد مَولانَا جُمَلٌ

MBAH MA’SHUM WAFAT

Kesehatan mbah Ma’shum  turun drastis, terhitung sejak tanggal 14 Robi’ul Awal 1392 H atau 28 April 1972, jam 2 siang. Hal ini terjadi selama beberapa bulan, tepatnya hingga September. Pada tanggal 17 September 1972, atas inisiatif dari subhan ZE, mbah Ma’shum di bawa ke rumah sakit dr.Karyadi semarang, selama 10 hari, dia diobati di sana, dibawah pengawasan dr. Soetomo, dr. Harjono (seorang ahli penyakit dalam)   dan dr. Chamidun.
Hampir satu bulan setelah keluar dari rumah sakit tepatnya pada hari jum’at, tanggal 12 Ramadhan 1932 H, atau tanggal 20 oktober 1972 M, dalam keadaan di papah, beliau masih menyempatkan diri untuk shalat jum’at di masjid jami’ lasem. Hari itu, adalah hari sekaligus shalat jum’at terakhir baginya, beliau shalat jum’at di dalam mobil yang di parkir di halaman masjid. Setelah shalat jum’at, beliaupun kembali ke ndalem dan akhirnya wafat pada hari itu, jam 2 siang. Beliau pernah dhawuh,jika nanti wafat supaya makamnya di buat seperti makamnya Habib Ahmad bin Thalib bin Abdullah Pekalongan.
Segenap anggota keluarga dan para kiai, para alumni, serta para wali santri, yang berada di luar lasem segera menjadwalkan diri untuk pergi ke lasem guna memberikan penghormatan terakhir kepadanya.
Pada hari juma’t itu juga, sekitar pukul 16.00, jenazah mbah Ma’shum di mandikan oleh beberapa orang, keesokan harinya, sabtu tanggal 13 Ramadhan 1932 H/20 Oktober 1972 M, jenazah di makamkan di pemakaman masjid jami’ lasem, jam 14.30.

Karomah Mbah Ma'shum Lasem

Mbah Ma’shum Lasem, Jawa Tengah, adalah ulama besar yang tindakannya sering sulit dicerna nalar awam. Setelah peristiwanya, barulah orang mengerti apa sesungguhnya yang terjadi.

Diperkirakan, Mbah Ma’shum lahir pada tahun 1868. Dia adalah anak bungsu pasangan Ahmad dan Qosimah. Oleh orangtuanya dia kemudian diserahkan kepada Kiai Nawawi, Jepara, untuk mempelajari ilmu agama, karena sejak kecil diatelah ditinggal wafat oleh ibunya. Dari Kiai Nawai dia mendapat pelajaran dasar ilmu alat (nahwu) yang diambil dari kitab Jurumiyyah dan Imrithi.

Pengembaraannya mencari ilmu tidak sebatas di Lasem, melainkan sampai ke Jepara, Kajen (Kyai Abdullah, Kyai Abdul Salam, dan Kyai Siroj), Kudus (Kyai Ma’shum dan Kyai Syarofudin), Sarang Rembang (Kyai Umar Harun), Solo (Kyai Idris), Termas (Kyai Dimyati), Semarang (Kyai Ridhwan), Jombang (Kyai Hasyim Asy’ari), Bangkalan (Kyai Kholil), hingga Makkah (Kyai Mahfudz At-Turmusi), dan kota-kota lain.

Suatu saat, di Semarang, dia tertidur dan bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. Ketika di Bojonegoro, dia tidak hanya bermimpi, melainkan, antara tertidur dan terjaga, dia bertemu dengan Nabi, yang memberikan ungkapan La khayra ilia fi nasyr al-ilmi, yang artinya “Tidak ada kebaikan (yang lebih utama) daripada menyebarkan ilmu”.

Di rumahnya sendiri, dia bermimpi kembali. Dalam mimpinya, ia bersalaman dengan Nabi Muhammad SAW, yang berpesan,“Mengajarlah, segala kebutuhanmu insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.”

Di kemudian hari, Mbah Ma’shum menjadi ulama besar yang dikenal memiliki banyak karamah. Inilah beberapa kisah karamahnya:

Walisongo Bertamu
Ada satu kisah karomah lain yang menunjukkan ketinggian kedudukan spiritualnya. Hari itu datang sembilan orang tamu ke Lasem. Mereka ingin berjumpa dengan Mbah Ma’shum. Namun, karena tuan rumah sedang tidur, Ahmad, salah seorang santrinya, menawarkan apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan. Ternyata mereka menolak.

Lalu mereka semua, yang tadinya sudah duduk melingkar di ruang tamu, berdiri sambil membaca shalawat, kemudian berpamitan.
“Apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan?”tanya Ahmad sekali lagi.
“Tidak usah,” ujar me­reka serempak lalu pergi.

Rupanya saat itu Mbah Ma’shum mendusin dan bertanya kepada Ahmad perihal apa yang baru saja terjadi.
Setelah mendapat penjelasan, Mbah Ma’shum minta kepada Ahmad agar mengejar tamu-tamunya.
Tapi apa daya, mereka sudah menghilang, padahal mereka diperkirakan baru sekitar 50 meter dari rumah Mbah Ma’shum.

Ketika Ahmad akan melaporkan hal tersebut, Mbah Ma’shum, yang sudah bangun tapi masih dalam posisi tiduran, mengatakan bahwa tamu-tamunya itu adalah Walisango dan yang berbicara tadi adalah Sunan Ampel. Setelah mengucapkan kalimat terse­but, Mbah Ma’shum tertidur pulas lagi.

Beras Melimpah
Di depan para cucunya, Mbah Ma’shum memimpin pembacaan istighatsah dan membaca potongan syair Al-Burdah yang artinya, “Wahai makhluk paling mulia (Muhammad), aku tak ada tempat untuk mencari perlindungan kecuali kepadamu, pada kejadian malapetaka nan besar nanti.”

Syair tersebut dibaca 80 kali, dilanjutkan dengan doa sebagai berikut: “Ya Allah, orang-orang yang ada dalam tanggungan kami sangat banyak, tetapi beras yang ada pada kami telah habis. Untuk itu kami mohon rizqi dari-Mu.”

Selain mengamini, Nadhiroh, salah seorang cucunya, berteriak, “Mbah, tambahi satu ton.”
Ditimpali oleh Mbah Ma’shum, “Tidak satu ton, tepi lebih….”

Beberapa hari kemudian, beras seolah mengalir dari tamu-tamu yang datang dari berbagai kota, seperti Pemalang dan Pasuruan, ke tempat Mbah Ma’shum.

Masih soal beras. Pada kali yang lain, setelah mengajar 12 santrinya lalu diikuti dengan membaca Alfiyah, Mbah Ma’shum minta mereka mengamini doanya, karena persediaan beras sudah habis.

“Ya Allah, Gusti, saya minta beras….”
“Amin…,” ke-12 santri itu, yang ditampung dan ditanggung di rumah Mbah Ma’shum, khidmat menyambung doanya.

Jam sebelas siang, datang sebuah becak membawa beberapa karung be­ras. Tanpa pengantar, kecuali alamat ditempel di karung-karung beras itu. Di sana tertera jelas, kotanya adalah Banyuwangi. Kepada santrinya yang bernama Abrori Akhwan, Mbah Ma’shum minta agar mencatat alamat yang tertera di karung itu.

Suatu saat ketika berkunjung ke Banyuwangi, Mbah Ma’shum bermaksud mampir ke alamat itu. Saat alamat tersebut ditemukan, tempat itu ternyata kebun pisang yang jauh di pedalaman. Ironisnya, masyarakat di sana hampir- hampir tak ada yang kelebihan rizqi. Lalu siapa yang mengirim beras...?

“Dua Tahun Lagi Saya Menyusul”
“Seandainya Paman wafat pada hari ini, saya akan menyusul dua tahun kemudian,”demikian reaksi Mbah Ma’shum ketika mendengar kabar bahwa pamannya, Kiai Baidhowi, meninggal hari itu, 11 Desember 1970.

Bahkan ucapan itu ditegaskan sekali lagi langsung di telinga almarhum ketika dia menghadiri pemakamannya, “Ya, Paman, dua tahun lagi saya akan menyusul.”

Mbah Ma’shum tutup usia pada 28 Oktober 1972 atau 12 Ramadhan 1332, sepulang dari shalat Jum'at di masjid jami Lasem, tak jauh dari rumahnya. Persis seperti ucapannya, menyusul dua tahun setelah pamannya wafat.

Mengajar atau Menolong Orang juga “Dzikir”
Kisah lain, sambil memijit badan Mbah Ma’shum, Abrori Akhwan, yang kala itu, awal dekade 1960-an, masih menjadi santri di pesantren Mbah Ma’shum, Al-Hidayat, dalam benaknya terlintas pertanyaan, kenapa Mbah Ma’shum tak pernah menggunakan peci haji atau sorban bila keluar rumah, tidak pernah berdzikir dalam waktu yang lama, dan tidak banyak kitab kuning di rumahnya.

Pikiran itu rupanya terbaca oleh Mbah Ma’shum. Tak lama kemudian, ia berujar,“Seorang kyai tidak harus meng­gunakan peci haji atau sorban."Berdzikir" kepada Allah bisa dilakukan langsung secara praktek, seperti misalnya kita mengajar atau menolong orang, tidak harus dalam waktu lama dengan bebe­rapa bacaan tertentu. Kitab kuning sebenarnya banyak, tapi dipinjam oleh Ali, anak sulungku.”

Insya Allah akan Kembali
Ketika dalam perjalanan silaturahim ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, Mbah Ma'shum kehilangan kacamata di kereta api yang tengah meluncur, antara Tegal dan Pekalongan. Menyadari hal itu, ia kemudian mengajak para pengikutnya membaca surah Adh-Dhuha. Dan ketika sampai ayat wawajadaka dhaallam fahada, ayat tersebut dibaca delapan kali.

“Dengan membaca surah tersebut, insya Allah barang kita yang hilang akan kembali. Setidaknya Allah akan memberikan ganti yang sesuai,” katanya kemudian.

Ketika rombongan mampir ke rumah Kyai Faturrahman di Kebumen, Mbah Ma’shum melihat sebuah kacamata di lemari kaca tuan rumah, persis miliknya yang hilang. Dengan spontan ia berkata, “Alhamdulillah.”

Kepada Faturrahman, ia bertanya, “Apa ini kacamata saya...?”
Dijawab Kyai Faturrahman dengan terbata-bata, “Ya mungkin saja, Mbah….”
Kemudian kacamata itu diambil dan dipakai oleh Mbah Ma’shum.

Kendaraan Soal Belakang‎
Kali ini soal dokar/delman. Santri yang mengawal Mbah Ma’shum kebingungan. Se­telah maghrib, sudah menjadi kebiasaan, dokar di daerah Batang, Pekalongan, tidak akan ada yang berani keluar ke­cuali kalau dicarter. Namun Mbah Ma'shum berkata,“Shalat dulu, kendaraan soal belakang.”

Ketika itu rombongan Mbah Ma'shum sudah sampai di sebuah musholla. Maka shalatlah mereka secara berjamaah. Bahkan dilanjutkan hingga shalat Isya.

Setelah semua selesai, rombongan pun melanjutkan perjalanan. Dan, tanpa diduga, begitu rombongan keluar dari halaman musholla, lewatlah sebuah do­kar kosong. Mereka pun menaikinya. Subhanallah.

System Pendidikan yang ada di Pondok Pesantren Al-Hidayat dari mulai berdiri dan semasa hidup KH. Ma'shoem dan KH. Ahmad Syakir menganut pendidikan salafy, yaitu khusus mengkaji ilmu - ilmu agama yang bersumber dari kitab kuning (klasik) baru pada periode Nyai Hj. Azizah Ma'shoem dan KH. Zaenuddin Maftuchin system pendidikan berubah memadukan salafy dan sekolah formal yang kurikulumnya selain mengacu pada kitab kuning juga menggunakan kurikulum Departemen Agama.‎

Sejarah Pesanten APIK Kaliwungu


Kaliwungu merupakan suatu daerah  yang terletak disebelah barat kota Semarang kira-kira 20 km dengan kondisi sosial masyarakat yang heterogen, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh perdagangan, pertanian dan industri.  komunitasnya  mayoritas berdagang sehigga pembangunan yang sedang dilaksanakannya pun menitik beratkan pada sektor perdagangan dan industri tersebut.

Masyarakat Kaliwungu juga merupakan suatu komunitas yang sudah bertaraf pendidikan tinggi, sebagian besar dari mereka sudah mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi, ini dibuktikan dengan banyaknya warga masyarakat Kaliwumgu yang menjadi tokoh-tokoh penting dalam pemerintahan.

Dalam setting semacam itulah pondok pesantren yang berbackground salaf ini berkembang, sehingga tidaklah salah bila dikatakan bahwa pondok pesantren APIK ini merupakan satu-satunya pondok salaf yang berada di tengah masyarakat yang sudah modern.

Sejarah Ponpes APIK 
Pondok Pesantren APIK Kaliwungu Kendal didirikan pada tanggal 12 Februari 1919 oleh KH. Irfan bin Musa bin Abdul Baqi bin Mu’arif bin Qomarudin bin Jiwosuto (Panembahan Demak Bintoro). Pada awal berdirinya Pondok Pesantren ini, Pendiri dan Tokoh masyarakat sekitar Kaliwungu sepakat untuk memberi nama Al Ma’hadus Salafi Al-Kaumani. Pemberian nama Pondok Pesantren tersebut bukan tanpa alasan melainkan dilatarbelakangi oleh fakta bahwa para santri yang belajar di sana berasal dari daerah sekitar Masjid Jami’ Al-Muttaqien Kaliwungu. Dimana pada jaman dahulu masyarakat yang tinggal di sekitar masjid disebut masyarakat kauman. Sementara tujuan dari kegiatan belajar tersebut adalah agar para santri mengetahui dan meneladani para orang soleh terdahulu (salafi).

Seiring dengan bertambahnya santri yang tidak hanya berasal dari daerah sekitar, maka Pendiri dan Tokoh masyarakat Kaliwungu mengasramakan para santri yang berasal dari luar daerah Kaliwungu. Bangunan pertama yang didirikan oleh KH. Irfan bin Musa (Kakak KH. Ridwan bin Musa) adalah sebuah Asrama dengan ukuran sekitar 15 m2  yang merupakan tanah wakaf dari salah satu istri beliau. Dana yang dipergunakan untuk Pembangunan Asrama tersebut adalah 75% ditanggung oleh Kakak dari KH. Irfan bin Musa yakni KH. Abdur Rasyid bin Musa (Ayah dari KH. Utsman dan KH. Ahmad Badawi) yang berprofesi sebagai Pedagang yang berhasil, sedang 25% diperoleh dari infak masyarakat sekitar.

Pada tahun 1932, KH. Irfan bin Musa wafat dan karena putra-putra beliau dianggap belum mampu mengemban tugas mengasuh Pondok Pesantren tersebut, maka estafet kepemimpinan Pondok diemban oleh keponakan beliau yang bernama KH. Ahmad Rukyat. Pada masa kepemimpinan beliau inilah Pondok Pesantren tersebut sangat maju, karena pada saat itu merupakan masa-masa perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah dimana rumah Pendiri Pondok dijadikan sebagai posko Palang Merah. Diantara ribuan santri KH. Ahmad Rukyat yang menjadi Ulama/Tokoh masyarakat adalah KH. Abuya Dimyati Banten, KH. A. Shohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom) Tasikmalaya, KH. Asror Ridwan Kaliwungu dan KH. Dimyati Rois Kaliwungu. Serta masih banyak lagi santri-santri KH. Ahmad Rukyat yang menjadi Ulama besar.

Pada masa Kepemimpinan KH. Ahmad Rukyat inilah nama Pondok Pesantren Salafi al-Kaumani berubah menjadi Asrama Pelajar Islam Kauman (APIK) Kaliwungu. Perubahan nama tersebut didasarkan pada situasi saat itu dimana pergolakan politik negara dengan munculnya organisasi-organisasi massa seperti Masyumi, Nahdlatul Ulama dan organisasi kepemudaan lain. Setelah wafatnya KH. Ahmad Rukyat (1968), Pondok Pesantren yang semula dalam pengajarannya hanya menggunakan metode sorogan dan bandongan, ditambah dengan metode klasikal.

Pada masa kepemimpinan generasi ketiga, nama “APIK” tidak diartikan sebagai suatu singkatan lagi, tapi suatu kata dalam bahasa Jawa yang berarti “BAIK” dengan harapan agar para santri menjadi santri yang baik.

Sejak tahun 1919 hingga sekarang Pondok ini telah mengalami 4x pergantian kepemimpinan. Pondok Pesantren APIK Kaliwungu telah berdiri selama 87 tahun, dan tanggapan serta support masyarakat terhadap lembaga pendidikan ini cukup baik. Di antara faktor pendukung dari eksistensi Pondok ini terletak pada figur Kyai sebagai tokoh sentral yang memimpin/menjadi Pengasuh Pondok dan juga makin bertambahnya jumlah santri yang belajar di Pondok Pesantren tersebut dari tahun ke tahun. 

Program Pengembangan Pondok Pesantren dan Masyarakat
          
Program pengembangan pondok pesantren salaf APIK meliputi pengembangan di bidang fisik dan non fisik serta pemberdayaan masyarakat sekitar. pengembangan fisik yang sedang dilaksanakan yaitu membangunnya kembali komplek CE menjadi sebuah gedung yang bertingkat dua, pengembangan fisik lain berupa penambahan fasilitas pondok pesantren seperti komputer untuk latihan santri, pembangunan taman-taman di setiap komplek dan lain sebagainya.

Background salaf yang menjadi ciri khas dari pondok APIK ini tidak lantas dibiarkan hilang karena adanya pengembangan-pengembangan tersebut. Konsep “Almukhaafadhotu ‘alaa qodiimissolikh wal akhdzu bil jadiidil ashlakh” atau melestarikan budaya lama yang baik dan mengambil budaya modern yang lebih baik itulah yang selalu diperhatikan dalam setiap program pengembangan.

Pengembangan non fisik lebih menitikberatkan pada penggalian potensi santri untuk mengaktualisasikan kitab kuning kedalam kehidupan yang modern dan semakin canggih. Saat ini pondok pesantren salaf APIK mengadakan bahtsul masail kubro yang dilaksanakan dua kali dalam setahun dan bahtul masail sughro setiap minggunya.Pondok APIK ini juga memfasilitasi santri yang hanya lulusan Sekolah Dasar untuk mendapatkan ijazah yang setara dengan SLTP lewat program wajardikdas sebagai bentuk pengembangan yang sedang dilaksanakan
Keadaan Sarana dan Prasarana
            
Pondok pesantren yang didirikan pada tahun 1919 M ini mempunyai sarana dan prasarana yang yang sudah memadai, meliputi : 106 buah  kamar santri, 20 buah kamar guru (santri senior), 17 ruang kelas, sebuah kantor, 4 buah kantor jam’iyyah, sebuah ruang perpustakaan,  ruang koperasi, ruang tamu, ruang komputer, kamar mandi santri, kamar mandi tamu dan pengurus, kamar kecil untuk santri sebanyak 10 ruang, 2 kamar kecil pengurus dan tamu dan ruang kesehatan untuk santri.‎

APIK juga memilki sarana yang berupa sebuah gedung yang diberinama gedung Ikhya Uumiddin. Gedung bertingkat dua ini dibangun diatas tanah seluas kurang lebih 400 meter persegi dan letaknya terpisah dari pondok dengan jarak kira-kira 80 meter. Gedung ini disamping digunakan untuk sekolah juga digunakan untuk pertemuan dan musyawarah kiyai-kiyai dan tokoh masyrakat kaliwungu.

Selain fasilitas pondok yang berupa bangunan pondok. juga memiliki fasilitas  lain seperti lapangan tenis meja yang merupakan satu-satunya media olah raga yang ada di pondok APIK, kemudian juga mempunyai kendaraan yang digunakan untuk kepentingan pondok seperti mengambil wesel, menyebarkan undangan dan lain sebagainya.

Keadaan Santri, Kyai dan Ustadz / Guru

Kini pondok pesantren APIK memilki santri sebanyak 1200 anak. Kesemuaannya terdiri dari santri yang masih sekolah di Madarasah Salafiyyah Miftahul Hidayah (MSMH) dan santri yang sudah tamat dari madrasah tersebut,  yang dikenal dengan istilah “mutakhorijin”. Ada sebagian dari mutakhorijin yang mengikuti kuliah di universitas terdekat yang ada di kaliwungu, namun demikian mereka tidak meninggalkan kegiatan-kegiatan pondok pesantren.

Lebih Dekat dengan MSMH 
Sebagaimana pesantren-pesantren pada umumnya, pengajaran di Pondok Pesantren APIK Kaliwungu mula-mula diselenggarakan dengan sistem bandongan dan sorogan. Pada tahun 1968 sistem klasikal dalam bentuk madrasah mulai dibuka. Madrasah Diniyah ini diberi nama Madrasah Salafiyah Miftahul Hidayah (MSMH) yang sepenuhnya mengajarkan materi-materi keagamaan yang bersumber dari Kitab kuning. Lama pendidikannya 8 tahun yang terdiri atas 3 tingkatan, tingkat I’dadiyah (persiapan) 2 tahun, Tsanawiyah 3 tahun dan Aliyah 3 tahun.

Pengajaran di Madrasah dilakukan oleh 36 Ustadz di bawah bimbingan Kyai. Mereka adalah Santri senior yang sudah menamatkan pendidikannya di Pesantren ini. Menurut KH. Solahudin Humaidullah, mengajar adalah bagian dari Pendidikan Pondok Pesantren sekaligus merupakan wahana pematangan diri, baik nalar maupun emosi guna melatih mereka sebelum terjun ke Masyarakat. Para ustadz tersebut tidak diberi gaji layaknya di sekolah-sekolah umum, namun sekedar bisyaroh untuk keperluan keilmuan mereka.

Menurut Kepala MSMH saat ini, Ustadz Abdul Muqsith, calon santri tidak diharuskan mengikuti Pelajaran sejak tingkat I’dadiyah, namun bisa saja masuk pada tingkat di atasnya, tergantung ilmu yang telah dimiliki sebelumnya. Untuk masuk Tsanawiyah kelas I harus hafal seluruh bait Kitab ‘Awamil,  kelas II Kitab‘Imrithi dan kelas III Kitab Alfiyah Ibnu Malik. Untuk masuk kelas I Aliyah harus hafal seluruh bait Kitab Alfiyah, kelas II Kitab Jauharul Maknun dan membaca kitab Fathul Mu’in.

Kegiatan Pendidikan di Madrasah dilaksanakan setiap hari kecuali hari Jum’at dari pukul 08.00 WIB sampai pukul 11.00 WIB di dalam kelas. Pukul 16.30 WIB sampai pukul 17.30 WIB para santri mengikuti kegiatan di kelasnya masing-masing. Pukul 20.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB mereka mengikuti musyawarah sesuai kelas masing-masing. Kegiatan ini dipimpin oleh ra’is (ketua) kelas dan dibimbing mustahiq (wali) kelas dan munain (guru mata pelajaran) untuk mendiskusikan berbagai permasalahan berkaitan dengan materi pelajaran yang sudah diterima di kelas, terutama bidang Nahwu dan Fiqih. Setiap masalah yangmuncul dicoba untuk dipecahkan oleh peserta namun bila tidak terselesaikan, maka akan dijawab oleh wali kelas. Selain mengikuti kegiatan klasikal, para santri juga dapat mengikuti pengajian bebas yang dilaksanakan di beberapa tempat setelah sholat lima waktu dengan materi yang beragam dan santri dapat memilih sesuai dengan minat mereka masing-masing.

Setiap malam jum’at kliwon diadakan jam’iyyah kubro yang diikuti oleh seluruh santri, berisi acara istighosah, yasin, tahlil serta nasehat dari para ustadz. Sedang pada malam jum’at lainnya diadakan jam’iyyah sughro. Dalam kegiatan ini para santri secara bergiliran menurut kompleks asrama mendapat tugas memimpin tahlil, membaca Al-qur’an, Al-barzanji dan latihan pidato. Acara ini diakhiri dengan ulasan dari pengurus. Selain waktu-waktu tersebut para santri dapat mengunakan waktu mereka secara bebas. Diantara mereka ada yang mengisi waktu dengan kursus komputer atau bahasa Inggris terutama yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
APIK merupakan suatu Pondok Pesantren yang sudah bertaraf nasional, sehingga dari sekian banyak santri yang ada datang dari berbagai daerah di Indonesia  seperti Jawa, Madura, Sumatra, Kalimantan dan lain sebagainya, bahkan pernah ada santri yang berasal dari negeri Jiran (Malaysia). Mereka pula datang dari status sosial yang berbeda dan taraf pendidikan umum yang berbeda-beda pula, ada yang hanya berpendidikan dasar, SLTP, SLTA dan ada juga yang sudah sampai Perguruan Tinggi. Namun demikian mereka sama sekali tidak memepermasalahkan perbedaan-peredaan tersebut, bahkan sebaliknya mereka justru menjadikan hal itu sebagai wahana dalam menimba pengalaman.

Untuk memebantu pengasuh pondok dalam  membimbing santri-santri tersebut pondok pesantren APIK memiliki 33 ustadz yang diambil dari santri senior pondok APIK. Para ustadz/guru ini melayani dan memberikan bimbingan berupa mengajar anak-anak santri dalam membaca Alqur’an dan kitab kuning, membantu memecahkan masalah yang dihadapi santri serta memberikan pengawasan penuh terhadap para santri.

Kegiatan Pendidikan

a. Pendidikan Sekolah 

 APIK merupakan suatu  pondok pesantren yang mengelola lembaga  pendidikan sendiri yang  dikenal  dengan  nama  Madrasah  Salafiyah  Miftahul  Hidayah (MSMH)  ..

Setiap   santri  Pondok  Pesantren  APIK  harus  belajar  serta sekolah di madrasah tersebut.Madrasah Salafiyyah Miftahul Hidayah (MSMH) telah berhasil mencetak tokoh-tokoh agama dan masyarakat, serta lulusan dari madrasah ini dapat melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi dan tidak sedikit dari alumninya telah berhasil mendapat gelar sarjana. MSMH berdiri tidak bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Salaf Apik Kauman Kaliwungu, dan ini merupakan suatu alternatif dari sebuah perjalanan yang panjang.

Pada mulanya lembaga pendidikan ini hanya memakai metode ‘’Bandongan” dan’’Pengajian Weton”. Namun pada perkembangannya masih ada yang dirasakan belum memuaskan, sedangkan masyarakat yang kian kritis dan maju menginginkan suatu metode pendidikan yang lebih efektif dan efesien. Disamping itu untuk mengantisipasi perkembangan zaman yang makin terpisah dari tuntutan syari’at agama (Fiqih) kami merasa terpanggil untuk menangani pendidikan spesialisasi Fiqih.  Dengan motifasi di atas maka berdirilah Madrasah Salafiyyah Miftahul Hidayah (MSMH),dengan sistim klasikal semenjak tahun 1940 dan diperbaharui tahun 1969 dengan tanpa harus meninggalkan sistem lama.

Sistim klasikal yang  dilaksanakan di pondok APIK melalui  Madrasah Salafiyah Miftahul Hidayah berjenjang delapan tahun dengan ketentuan ; tingkat  Persiapan (SP) ditempuh selama dua tahun. Dalam tingkaan ini  materi yang diajarkan  lebih memusatkan pada pelatihan membaca Alqur’an (qiroati) dan ditambah dengan pengamalan-pengamalan ibadah ibadah keagamaan seperti sholat, puasa, zakat dan rukun islam lainnya. Disamping itu dalam kelas ini juga diajarkan tentang dasar-dasar ilmu Nahwu dan Sorof  sebagai bekal nanti bila telah menginjak kelas yang diatasnya.

Tingkat selanjutnya adalah Tsanawiyah, tingkatan ini ditempuh selama tiga tahun, dalam kelas ini lebih menekankan pada penguasaan tata bahasa arab yang meliputi ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih dan pendidikan Aqidah. Sedangkan untuk tingkatan paling atas adalah Aliyah yang ditempuh selama tiga tahun. Dalam tingkatan ini ilmu Fiqih mendapatkan perhatian khusus terutama tentang muamalah dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat disamping itu pula diajarkan tentang ilmu sastra bahasa arab ( Balaghoh ), ilmu logika ( Mantiq ), ilmu Aqidah, ilmu usul fiqih dan Tashawuf.                                                                               

Bagi santri baru pondok pesantren APIK diperbolehkan untuk masuk ketingkatan yang ada sesuai dengan kemampuannya dengan sarat  harus lulus ujian hafalan maupun ujian tertulis. Kegiatan pengajaran dilaksanakan pada pagi hari sampai tengah hari menjelang solat Dzuhur dan dilanjutkan setelah solat ashar.
Kegiatan Ektrakurikuler Madrasah
                       
    ~ Pengajian wajib dengan sistem Bandungan.                                              
Dikatakan wajib karena setiap santri harus mengikuti pengajian kitab tersebut dikelasnya pada sore hari. Adapun kitab yang dikaji disesuaikan dengan kelas dan tingkatnya masing-masing, dalam pengajian wajib ini lebih memfokuskan pada ilmu alat yaitu nahwu dan  ilmu Balaghoh untuk kelas yang sudah tinggi.

   ~ Lalaran.         

Kegiatan lalaran ini dilaksanakan pada sore hari setiap Selasa dan Sabtu sebagai ganti pengajian wajib di kelas masing-masing. Sedangkan yang dilalarkan adalah nadzom-nadzom yang harus dihafalakan di kelasnya yang hafalan tersebut juga merupakan salah satu sarat kenaikan kelas.
 ~ Musyawaroh Pelajaran (sistem dialog).
Kegiatan ini dilaksakan di kelas masing-masing pada malam hari. Materi yang dikaji adalah pelajaran yang sudah diajarkan dan esoknya pelajaran tersebut akan diteruskan. Kegiatan ini bertujuan memebiasakan santri untuk memutuskan sesuatu dengan bermusyawarah.

   ~ Bahtsul Masail‎
Bahtsul masail  merupakan kegiatan yang  dilaksanakan  dua kali dalam satu tahun dengan tujuan  para santri  dapat memutuskan suatu masalah waqi’ah            yang terjadi di masyarakat.
   ~ Pendidikan Sosiologi

Kegiatan ini diikuti oleh santri yang sudah kelas tiga aliyah dan sekaligus   menjadi bekalnya dalam bermaswyarakat, karena sebagian besar santri yang   sudah lulus dari MSMH langsung kembali kekomunitasnya masing-masing            meskipun tidak sedikit dari mereka yang melanjutkan pendidikannya.

  b. Pendidikan Luar Sekolah

Disamping pendidikan formal madrasah, Pondok Pesantren Apik juga menyelengga rakan pendidikan non formal seperti belajar berdakwah,  rebana, ngaji sorogan diluar   kegiatan madrasah, seni baca Alqur’an, pelatihan computer, kaligrafi arab dan lain sebagainya.                                                                                                            

Selain itu juga Pondok Pesantren Apik menyelenggarakan program pemerintah yang berupa wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun(wajardikdas) bagi santri yang dari rumahnya mengenyam pendidikan hanya sampai lulus Sekolah Dasar (SD), dan   sebelum menyelenggarakan program ini pondok Apik sudah lebih dulu membuka MTs Terbuka.dengan induk MTs Negeri Brangsong.‎

Sejarah Perjuangan Kyai Guru Kaliwungu


Dalam beberapa literatur buku sejarah tentang Kaliwungu dijelaskan, bahwa kedatangan seorang santri yang bernama Sunan Katong atau Kyai Katong ke Kaliwungu adalah atas petunjuk dari gurunya yaitu Kyai Pandan Arang (Semarang). Kyai Katong sendiri adalah keturunan Prabu Brawijaya V, sedang Kyai Pandan Arang merupakan santri Sunan Kalijaga. Kyai Pandan Arang mengutus Kyai Katong untuk berdakwah di daerah yang terdapat “Pohon Ungu” dan condong ke sungai. Setelah berjalan ke arah barat Semarang beberapa kilometer, akhirnya Kyai Katong menemukan pohon itu dan berteduh sampai ketiduran beberapa waktu di pohon tersebut. Maka, daerah tersebut sekarang dikenal dengan nama “Kali Wungu” dan sungai yang ada di dekat pohon tersebut sekarang dinamakan “Kali Sarean”.

Di Kaliwungu, Kyai Katong berdakwah menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat selama beberapa tahun. Bahkan Kyai Katong berhasil meng-Islamkan pembesar-pembesar Kaliwungu. Dengan masuknya pembesar-pembesar Kaliwungu ke dalam agama Islam, akan memudahkan beliau dalam mensyi’arkan ilmu dan ajaran Islam yang beliau dapat dari Kyai Pandan Arang. Pada masa itu, Kyai Katong berhasil mendirikan padepokan (Pesantren) di Kaliwungu. Dengan semaraknya ajaran Islam di Kaliwungu, menjadikan daerah itu menjadi pusat dari bagian wilayah kerajaan Islam Demak. Sampai-sampai pada saat kerajaan Islam Demak akan menyerang Portugis di Sunda Kelapa (Jakarta), Kaliwungu menjadi salah satu pos peristirahatan bagi pasukan kerajaan Islam Demak. Setelah berdakwah bertahun-tahun di Kaliwungu, masyarakat pun akhirnya lebih mengenal Kyai Katong dengan sebutan Sunan Katong.

Wafatnya Sunan Katong menjadi kesedihan tersendiri bagi masyarakat Kaliwungu. Karena ditinggal oleh tokoh panutan sekaligus guru spriritualnya. Tahun berganti tahun, hampir puluhan tahun masyarakat Kaliwungu vakum akan hadirnya tokoh penyejuk ruhani dan Kyai pengobat hati. Dengan tidak adanya ulama, lama kelamaan masyarakat kembali terjerumus ke dalam keyakinan-keyakinan masa lalu dari mulai ajaran Animisme sampai ajaran Hindu dan Budha. Dan mulailah timbul kembali kebiasaan-kebiasaan lama, seperti maen(judi), mabok (mabuk-mabukan), madon(zina), maling (mencuri), mateni(membunuh) dan lain-lain.

Dengan semakin rusak dan kacaunya keadaan masyarakat di Kaliwungu. Pada sekitar tahun 1781, Kasultanan Mataram Islam Jogja mengutus KH. Asy’ari untuk membenahi dan memperbaiki keadaan masyarakat Kaliwungu pada waktu itu. Kyai Asy’ari merupakan Ulama Dalem Keraton dan masih ada nasab dengan Rasulullah saw. Sultan Mataram Islam Jogja pada waktu itu melihat, bahwa Kyai Asy’ari mampu membenahi masyarakat Kaliwungu karena kedalaman ilmunya dan puluhan tahun menuntut ilmu di kota Mekkah.

Asal Usul Sebutan Kyai Guru
Tak banyak orang tahu kenapa Kyai Asy'ari disebut dengan panggilan kyai Guru. Ulama legendaris yang oleh sebagian masyarakat Kendal dan sekitarnya diyakini sebagai waliyullah ini. 

Sebutan Kyai guru konon bermula dari seorang raja Mataram Yogyakarta  yang ketika itu sedang mengumpulkan seluruh kyai - kyai yang ada di pulau Jawa. Sang Raja mempersilahkan seluruh tamu untuk menikmati hidangan yang telah disediakan, dan seluruh tamupun menikmatinya padahal konon pada waktu itu ada di bulan Puasa. 

Mereka beranggapan titah raja adalah segalanya , seluruh perintah raja harus dituruti kalau tidak bakal kena hukuman dari sang raja. Namun ada satu Kyai yang menolak untuk makan, dia adalah Kyai Asy'ari . 

Sang rajapun murka, dia bertanya pada sang Kyai," kenapa kamu tidak mau makan hidangan yang telah disediakan, Apakah kamu tidak takut akan hukumanku?" , namun dijawab oleh Kyai Asy'ari " Aku hanya takut pada Allah". 

Rajapun tertegun mendengar jawaban tersebut dan oleh sang raja, Kyai Asy'ari dijuluki sebagai Kyai Guru yakni guru para kyai-kyai yang dengan teguh pendiriannya menentang perintah raja  hanya untuk mencari ridho Allah SWT. 

Sejarah Perjuangan Kyai Guru

Kyai Asy’ari merupakan ulama besar yang kharismatik pada dekade tahun 1781-an di daerah Kaliwungu khususnya dan Kendal pada umumnya. Kepopuleran Kyai Asy’ari disebabkan metode dakwah yang unik, menarik dan kontroversial. Kemampuannya mengajak masyarakat yang mulanya primitif dan awam terhadap masalah keagamaan, terutama ajaran Islam, menjadi masyarakat yang agamis dan religius. Kepribadian beliau yang sederhana dan kharismatik sangat disegani oleh masyarakat, sehingga namanya selalu dikenang hingga sekarang. Perjuangan dakwahnya sudah semestinya diteladani, diteruskan dan ditumbuhkembangkan.

Dilahirkan di Wonontoro Yogyakarta, kira-kira pada tahun 1746 dengan nama yang cukup singkat, yaitu Asy’ari bin Ismail bin H. Abdurrahman bin Ibrahim. Dari garis silsilahnya, menurut salah satu sumber, Kyai Asy’ari masih termasuk keluarga Sayyidina Ali, dan dengan Nabi Muhammad SAW bertemu pada keluarga Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab.

Kyai Asy’ari dibesarkan dan hidup pada masa kerajaan Mataram Islam, semenjak kecil ia mendapatkan didikan yang cukup keras di kedalaman Keraton Ngayogyakarta, dengan harapan kelak nantinya bisa meneruskan perjuangan dakwah Islam seperti yang dilakukan parawaliyullah, auliya' dan para syuhada'. Pada masa itu Kyai Asy’ari belajar membaca dan menulis dari para ulama, kyai dan tokoh agama yang ada di lingkungan kerajaan Mataram Islam. Banyak hal yang ia dapatkan dari hasil belajar yang diperoleh dari para gurunya, terutama masalah keagamaan diantaranya, ilmu Al-Qur'an, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu badi', ilmu mantiq, ilmubayan, ilmu 'aruld, ilmu hadits, lughatul Arabiyyah dan ilmu agama lainnya. Setelah menginjak dewasa ia melanjutkan menuntut ilmu ke Makkah untuk mempelajari agama Islam, kira-kira selama 10 tahunan.

Dengan bekal ilmu agama tersebut diharapkan Kyai Asy’ari akan mampu meneruskan perjuangan para tokoh agama Mataram Islam. Sepulang dari Makkah Kyai Asy’ari ditugaskan oleh susuhunan Mataram untuk berdakwah, menyebarkan ajaran-ajaran agama Islam khususnya di daerah Kaliwungu Kendal.

Kyai Asy’ari datang di Kaliwungu pada usia 35 tahun, maka tahun kedatangan Kyai Asy’ari di Kaliwungu kira-kira tahun 1781-an. Setelah kedatangan Kyai Asy’ari di Kaliwungu, ia kemudian bermukim dan menetap di kampung yang saat ini terkenal dengan nama Kampung Pesantren Desa Krajankulon Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. Di Kampung Pesantren itulah Kyai Asy’ari merintis dan mengajarkan Islam dengan kitab kuningnya dengan mendirikan sebuah pondok pesantren salaf. Yang sekarang ini menjadi pondok APIP (Asrama Pelajar Islam Pesantren), karena pada waktu itu fasilitas dan sarana untuk belajar belum memadai, maka Kyai Asy’ari juga menggunakan musholla sebagai tempat untuk belajar dan menuntut ilmu agama Islam bagi para santri, yang sekarang ini menjadi Musholla Al-Asy’ari, tepatnya di Kampung Pesantren Desa Krajankulon kecamatan Kaliwungu. 

Sejarah nama Musholla Al-Asy’ari berasal dari nama pendirinya yaitu Kyai Asy’ari (Kyai Guru), sehingga dinamakan Musholla Al-Asy’ari. Tindakan Kyai Asy’ari dalam berdakwah, dan mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam melalui pondok pesantren yang didirikannya merupakan langkah yang tepat, karena kondisi masyarakat Kaliwungu pada saat itu awam agama dan jauh dari nilai-nilai agama Islam. Selama ia tinggal dan menetap di pondok pesantren yang didirikannya di Kaliwungu, tidak lama kemudian berdatanganlah santri-santri dari berbagai daerah untuk belajar dan menuntut ilmu.

Selama kedatangannya di Kaliwungu Kyai Asy’ari bertemu dan saling kenal dengan KH. Abu Sudjak dan KH. Muhammad Marhum (kakek dan ayah Kyai Ahmad Rifa’i) dan juga saudara-saudara Kyai Ahmad Rifa’i. Tidak lama kemudian menikah dengan Nyai Radjiyah (kakak kandung Kyai Ahmad Rifa’i) pada usia 40 tahun, sedangkan Nyai Radjiyah kira-kira 20 tahun maka pernikahan itu kira-kira berlangsung pada tahun 1786, bersamaan dengan tahun kelahiran Kyai Ahmad Rifa’i. Kalau Kyai Asy’ari menikah dengan Nyai Radjiyah pada usia 40 tahun (mungkin istri Kyai Asy’ari tidak satu orang, dan Nyai Radjiyah mungkin juga bukan istri pertamanya), maka kelahiran Kyai Asy’ari kira-kira pada tahun 1746 (1786 dikurangi 40 tahun = 1746) 

KH. Muhammad Marhum, ayah Kyai Ahmad Rifa’i meninggal dunia, ketika Ahmad Rifa’i berusia 6 tahun (1792), dan ketika ditinggal wafat oleh kakeknya, KH. Ahmad Abu Sudjak atau Raden Setjowidjojo (1794), umur Kyai Ahmad Rifa’i baru 8 tahun. Maka untuk mengurangi beban berat Siti Rahinah (ibu Kyai Ahmad Rifa’i) dan demi kelangsungan pendidikan masa depan, setelah memasuki usia tujuh tahun, Ahmad Rifa’i dibawa oleh kakak kandung Nyai Radjiyah ke Kaliwungu dan tinggal di rumahnya (Pondok Pesantren Kyai Asy’ari). Selama di Kaliwungu ia mendapat pendidikan dan pembinaan dari kakak iparnya yaitu Kyai Asy’ari. Kyai Asy’ari dalam mengasuh, mendidik dan membina Ahmad Rifa’i cukup rajin dan teliti, dibandingkan dengan murid-murid yang lain. Berkat ketekunan dan keikhlasan Kyai Asy’ari, Ahmad Rifa’i menjadi murid yang pandai dan cerdas.
Dengan modal dasar pemberian AllahRabbul ‘Alamin, berupa akal cerdas, pikiran luas, dalam waktu relatif singkat Ahmad Rifa’i sudah dapat menguasai beberapa ilmu agama yang diajarkan oleh Kyai Asy’ari, diantaranya ilmu Al-Qur’an, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu Badi’, ilmu mantiq, ilmu bayan, ilmu ‘arudh, ilmu hadits,, ilmu lughatul arabiyah dan ilmu agama lainnya. 

Seperti tradisi di pesantren, kyai Ahmad Rifa’i sering membantu pekerjaan gurunya, kyai Asy’ari yang juga sebagai kakak iparnya. Setelah kyai Ahmad Rifa’i mencapai usia delapan tahun, ia sering berkumpul dan tidur bersama para santri di masjid atau mushalla. Bangun pagi dari tidurnya, sholat subuh berjama’ah, berdzikir membaca tahmid dan takbir serta tahlil sudah menjadi kebiasaannya, karena merupakan kebiasaan  (tradisi) di pesantren.

Kyai Asy’ari adalah seorang ulama yang dalam ilmunya, dalam kesehariannya sangat dekat dan akrab kepada semua kalangan masyarakat, sehingga disegani dan dihormati oleh masyarakat luas, rakyat dan pejabat kolonial Belanda. Dalam aktivitasnya, setiap pagi, siang, sore, malam atau kapan saja waktunya digunakan untuk mendidik dan mengajar serta membina para santrinya. Khusus tengah malam, digunakan untuk munajat kepada Allah ‘Azza Wa jalla, bertaqorrub, mendekatkan diri pada Al- Khaliq, Allah Yang Maha Esa, seperti shalat tahajud, sholat nisfullail dan ibadah lainnya. Kegiatan semacam itu sudah menjadi kebiasaan yang tidak ditinggalkan, di rumah, di masjid, atau dimana saja ia berada. Sehingga pada suatu saat tengah malam, kyai Asy’ari keluar rumah pergi ke masjid untuk melakukan peribadatan dengan sekaligus melihat suasana para santri yang tidur di serambi masjid itu. Sesampainya di dalam masjid, ia terkejut karena melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya yaitu, melihat cahaya yang terang dari jasad seorang anak didiknya yang tidak dapat diketahui namanya, menyinari ruangan masjid sekelilingnya, walaupun tidak seterang lampu “deplak” yang biasa di pakai oleh santri pada zamannya. Konon cahaya itu bisa menembus ke atap langit masjid dan tembus ke angkasa.

Menurut cerita tutur, apabila dari jasad seorang anak keluar cahaya atau (nur) dan cahaya itu menyinari ke atas dan sekelilingnya, maka tandanya anak tersebut kelak akan menjadi orang besar yang sanggup membina (menyinari) kepada masyarakat banyak. Dengan firasat kedalamannya yang mendorong kyai Asy’ari ingin mengetahui dari mana sumber cahaya yang disaksikan sendiri itu. Suasana menjadi sunyi sepi dan gelap, tidak ada satu lampu yang menyala, sehingga untuk mengetahui anak yang bercahaya mengalami kesulitan. Maka di sobeklah kain sarung yang di pakai anak tersebut dengan harapan semoga besok pagi dapat diketahui siapa anak yang bermandikan cahaya itu.

Pagi hari pada saat ramainya orang sholat berjamaah dan para santri siap akan pergi mengaji, terdengarlah suara isak tangis yang memilukan dari seorang anak yatim yang bapak kandungnya telah lama meninggal, yaitu kyai Ahmad Rifa’i namanya, menangis karena sobek kain sarungnya. Suara tangisnya makin lama semakin keras, sehingga sempat didengar oleh kyai Asy’ari dirumahnya. Kemudian dipanggilah Ahmad Rifa’i oleh kakak iparnya untuk menghadap beliau, setelah itu Ahmad Rifa’i mendapat ganti kain sarung yang sobek dengan yang baru. Betapa gembiranya hati Ahmad Rifa’i, sebagaimana gembiranya kyai Asy’ari setelah mengetahui bahwa anak yang bermandikan cahaya di masjid semalam adalah adik iparnya sendiri, yang insya Allah kelak akan menjadi ulama besar kenamaan.

Selama hidupnya kyai Asy’ari lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengabdi dan berjuang untuk menegakkan tali agama Allah swt. (agama Islam) yaitu, dengan mendidik, mengajar dan membina para santri di pondok pesantrennya maupun mengabdi kepada masyarakat Kaliwungu melalui ketrampilan dan ilmu Agama Islam yang ia miliki, karena kondisi masyarakat Kaliwungu pada saat itu masih sangat primitif dan awam terhadap masalah agama dan jauh dari nilai-nilai agama Islam.

Menurut sejarah sebelum kyai Asy’ari menikah dengan nyai Radjiyah ia juga mempunyai istri yang berasal dari Aceh yang bernama Nyai Guru Manila dan mempunyai enam anak putra dan putri yaitu: Kyai Ya’kub, Muhammad, Rodhiyah, Afiyah, Ibrahim Umi Aceh dan Umar Umi Aceh. 

Dengan dukungan para istri, adik iparnya yaitu kyai Ahmad Rifa’i dan anak-anaknya, kyai Asy’ari terus mengembangkan dakwahnya hingga akhir hayatnya. Kapan kyai Asy’ari wafat dan pada umur berapa kyai Asy’ari wafat belum ditemukan catatannya, tetapi dapat di perkirakan bahwa setelah kyai Ahmad Rifa’i wafat pada tahun (1876) tidak lama kemudian kyai Asy’ari wafat. 

Makam kyai Asy’ari atau kyai Guru diJabal, sebelah selatan desa Protomulyo atau protowetan Kaliwungu, ditempatkan pada sebuah bangunan rumah yang besar dan indah serta dilengkapi dengan air untuk bisa dipergunakan berwudhu. Menandakan bahwa Kyai Asy’ari adalah seorang tokoh ulama yang sangat dihormati.

JASA DAN PERJUANGAN KYAI GURU

Peranan Kyai Asy’ari (Kyai Guru) dalam berdakwah di Kecamatan Kaliwungu mencakup tiga hal yaitu:
1. Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mengenalkan budaya Mataram Islam di Kaliwungu
2. Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mengenalkan ajaran Islam di Kaliwungu
3. Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mendirikan pondok pesantren di Kaliwungu

Mengenalkan Budaya Mataram Islam di Kaliwungu

Kaliwungu dalam perspektif kebesaran Mataram pada abad XVII, merupakan suatu kota di pesisir utara pulau Jawa, merupakan titik penting dalam peta sejarah Mataram awal abad XVII. Hal ini terbukti dengan adanya pemerintahan kadipaten yang masih Nampak bekas gapuranya. Pagelaran kraton atau kabupaten biasanya menghadap ke laut atau membelakangi pegunungan atau gunung. Di daerah jawa bagian selatan, pendapa kabupaten biasanya menghadap ke selatan (laut kidul), dan membelakangi pegunungan Kendeng. Di jawa utara atau pesisir utara, kabupaten menghadap ke utara dan membelakangi gunung, dan ada pula yang menghadap ke selatan membelakangi gunung Muria, atau seperti di Jepara menghadap ke barat (laut) dan membelakangi gunung Muria juga.

Pusat pemerintahan terletak didaerah yang disebut Krajan  (kerajaan). Disebelah barat disebut Krajankulon, dan disebelah timurnya disebut Krajanwetan. Rumah patih disebut Ronggo, disebut Kranggan, Di sebelah selatan pemerintahan Kadipaten Kaliwungu terbujur perbukitan yang di kenal dengan Bukit Kuntul Melayang, membujur dari desa Protowetan ke selatan sampai Penjor dan berbatasan dengan desa Nolokerto. Bukit tersebut mengesankan bentuk burung kuntul yang sedang melayang. Diatas bukit kuntul melayang inilah beristirahat dengan abadi para leluhur yang pada zamannya menjadi tokoh sejarah dan sampai sekarang masih dimulyakan dan di hormati masyarakat sekitarnya.

Agama Islam yang berkembang di tanah Jawa tidak bisa dilepaskan dari jasa dan usaha para Walisongo. Pengaruh yang di bawa Walisongo dalam mengembangkan Islam di tanah Jawa sangat besar sekali. Masyarakat Jawa yang pada mulanya penganut aliran animisme dan dinamisme berubah menjadi masyarakat mayoritas muslim. Perjuangan yang di lakukan tidak mudah dan tidak singkat. Kepercayaan masyarakat pada aliran animisme dan dinamisme sudah sangat mengakar kuat. Oleh sebab itu diperlukan langkah yang revolutif. Perubahan yang radikal tidak akan menghasilkan simpati masyarakat, tetapi hanya akan menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap ajaran Islam.

Penyebaran agama Islam oleh Walisongo bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa. Setiap Wali melakukan dakwah dengan cara dan pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masyarakat di daerahnya. Ajaran Islam pun tersebar sampai didaerah Kaliwungu Kendal dan sekitarnya, hanya saja belum dipahami secara baik oleh sebagian besar masyarakat, jadi hanya sebatas tahu dan sepenggal-penggal.

Kaliwungu sebagai bagian dari Kendal, Jawa tengah, juga mengalami perubahan kultural dengan datangnya ajaran Islam, seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa masyarakat Kaliwungu adalah masyarakat yang masih awam terhadap ajaran Islam, mereka mengenal Islam hanya sebagai suatu agama. Meskipun mereka mengaku beragama Islam, tetapi tindakan yang dilakukannya jauh dari nilai-nilai ajaran Islam. Masyarakat Kaliwungu pada saat itu mempunyai kebiasaan memuja arwah para leluhur dan mendewakan benda-benda yang dianggap keramat seperti keris atau pusaka, cincin atau jimat, pohon besar, patung atau batu yang semuanya itu dianggap dapat memberikan kekuatan, keselamatan dan dapat memberikan sesuatu yang diminta.

Kebiasaan-kebiasaan seperti itu sudah menjadi budaya yang berkembang dalam masyarakat Kaliwungu. Kondisi yang parah dan terpuruk jauh dari ajaran Islam yang benar, menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi para petinggi pemerintahan kadipaten Kaliwungu, mulai berfikir mencari jalan agar masyarakatnya tidak semakin terlena dan terjerumus ke dalam perbuatan musyrik atau menyekutukan Allah.

Untuk mengatasi hal tersebut maka pihak pemerintah kadipaten Kaliwungu mencoba menyadarkan masyarakatnya agar segera menghentikan perbuatan musyrik itu dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Hanya saja, pihak pemerintah sadar dalam hal ini perubahan secara radikal tidak akan menghasilkan sesuatu yang maksimal. Oleh sebab itu, proses penyadaran masyarakat harus dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.

Langkah pertama yang diambil oleh para petinggi pemerintah Kaliwungu adalah mencari seseorang yang memahami dengan benar tentang ajaran Islam dan mengajaknya untuk menyerukan dakwahnya di Kaliwungu, usaha pemerintah kadipaten belum juga membuahkan hasil karena belum juga ditemukan sosok ulama atau kyai yang bersedia mengabdikan dirinya untuk menyerukan dakwah dan memajukan umat Islam di Kaliwungu, akhirnya berita itu di dengar oleh pemerintah kerajaan Mataram Islam, karena pada waktu itu Kota Kaliwungu merupakan titik penting dalam peta sejarah Mataram awal abad ke XVII, untuk mengatasi kondisi yang parah dan terpuruk jauh dari ajaran Islam yang benar, maka Kyai Asy’ari di berikan amanat dan di utus oleh susuhunan Mataram Islam untuk berdakwah, mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama Islam di Kaliwungu.

Kyai Asy’ari merupakan ulama dan kyai yang memiliki ilmu tinggi, rajin dan tekun juga memiliki keikhlasan yang sangat luar biasa yang siap mengabdikan dirinya untuk menegakkan agama Allah yaitu aga Islam di Kaliwungu nantinya.

Masa-masa pertama menetap di kampung Pesantren desa Krajankulon Kaliwungu sempat membuat kyai Asy’ari terkejut, lingkungan yang sangat berbeda dengan lingkungan sebelumnya selama ini membuatnya harus beradaptasi terlebih dahulu. Kyai Asy’ari yang sehari-harinya bergelut dengan dunia pesantren, harus belajar memahami ritme kehidupan masyarakat Kaliwungu. Setelah melakukan observasi tentang masyarakat Kaliwungu dengan segala aktivitas dan budayanya, maka kyai Asy’ari menemukan pendekatan yang paling efektif dalam mengembangkan dakwahnya di Kaliwungu. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mengenalkan dan mengajarkan tentang nilai-nilai ajaran Islam yang ada pada kebudayaan Mataram Islam seperti : wayang kulit, terbangan, atau kentrungan, mauludan, rajaban, bubur suran, rebo pungkasan, nyadran, nyekar, slametan, dzikir atau tahlil kepada masyarakat Kaliwungu. Berikut sekilas tentang cara pendekatan Kyai Asy'ari dalam mengenalkan budaya Jawa yang dikemas dalam balutan Islam :

1. Wayang Kulit

Pada zaman Sultan Agung, wayang kulit berbentuk pipih menyerupai bentuk bayangan (gestylered) seperti apa yang kita lihat sekarang. Wayang kulit purwa disempurnakan bentuknya. Cara pembuatannya, warnanya, alat kelir, deblog,Blencong disempurnakan dan disesuaikan dengan zaman baru agar tidak bertentangan dengan agama (dibuat sejak) 1518 = 1440 Jawa (Sirnasuci caturing Dewa) dan menambah jumlah wayang semalam suntuk gamelan slendro (sejak ± 1521) dengan pimpinan yang disebut kyai Dalang. Membuat perampokan dan gunungan (1443 Jawa, geni dadi surining jagad)

Di Kaliwungu, pada tahun sekitar 1965, masih ada dalang yang dikenal dengan nama Ki Dalang Riyanto, Ki Dalang Denu Purwocarito, Ki Dalang Akhmat. Bahkan pernah dikenal ada dalang Bocah. Pertunjukan wayang kulit dilaksanakan pada zamannya lurah Sahri (al-marhum) setiap bulan Apit (Legeno) dalam rangka “merti deso”. Bagi masyarakat juga ada yang melaksanakan “ruwatan” dengan menyelenggarakan wayang kulit dengan ceritera Murwokolo

2. Terbangan, Kentrungan,

Dikenal sejak zaman Sultan Agung, terbukti dalam surat centini yang menceriterakan pengembaraan She Among Rogo melihat kesenian kentrung yang biasanya diselenggarakan semalam suntuk menceriterakan tokoh-tokoh legendaris nenek moyangnya, maupun kisah para nabi seperti yang termaktub dalam buku Serat Anbia tidak jarang ceritera menak, seperti Umarmaya Umarmadi menjadi kegemaran masyarakat. Sekitar tahun 1950-1960, dikenal kentrung Siman, mengambil nama Pak Siman, Seniman Kentrung tunanetra tapi hafal cerita-cerita Babad. Terbangansendiri, dilakukan oleh 3, 5, 7, 9 atau 11 orang, dengan alat utama terbang. Syair-syair yang dibacakan disebut Markhahanan mengambil dari kitab Burdah, Nashor, Dziba'atau Saraful Anam untuk menghormati kelahiran Nabi Muhammad SAW di bulan Maulud.

3. Mauludan

Tradisi mengagungkan Nabi Muhammad SAW adalah bernilai simbolis agar dalam setiap kehidupan muslim mewarisi akhlak yang baik seperti Nabi Muhammad. Oleh sebab itu, pada bulan Maulud (Rabiul Awal), untuk mengenang kelahiran Nabi Muhammad, diselenggarakan pembacaan syair Mauludan di langgar-langgar maupun di rumah penduduk. Bagi anak-anak peristiwa yang paling menyenangkan adalah kegiatan yang menyertai Mauludan, yaitu Ketuwin. Peristiwanya adalah, anak-anak keluar rumah membawa makanan di atas piring kecil dari tanah, yang diberi lilin yang memancarkan cahaya. Secara bergantian makanan saling ditukar dengan tetangga. Makna simbolik yang menyertai peristiwa ini adalah: Telah Datang Cahaya (Nur) Muhammad yang memberi petunjuk (penerangan) kepada umat manusia.

4. Rajaban

Pada bulan Rajab (Rejeb), tepatnya 27 Rejeb tahun Hijriah. Diselenggarakan perayaan membaca riwayat Mi’raj Nabi Muhammad SAW sejak hati Nabi Muhammad disucikan oleh Malaikat Jibril sampai perjalanan melihat Surga dan Neraka. Serta ditetapkannya shalat lima waktu.

5. Bubur Suran

Sultan Agung telah mengganti tahun Saka dengan tahun Jawa, dimana 1 Suro adalah merupakan tahun baru. M dirayakan dengan bubur Suro, yang khas, yakni bubur nasi dicampur tahu, tempe dan daging kerbau. Menurut hikayat, konon Nabi Nuh telah selamat sampai ke darat setelah dilanda banjir tepat pada tanggal 1 Syuro. Sebagai rasa syukur kepada Tuhan maka dibuatkan selamatan atau bancaan dengan memasak sisa makanan yang ada. Hasil makanan tersebut menjadi Bubur Suran.

6. Rebo Pungkasan

Yaitu hari Rebo terakhir bulan Sapar, menjadi tradisi menjalankan puasa Sunnah dan beribadah. Hal ini dikarenakan setiap tahun hanya ketemu satu hari Rebo Pungkasan bulan Sapar. Arti simboliknya adalah agar manusia diingatkan akan arti pentingnya sang waktu, seperti yang tercantum dalam surat Wal Asri.

7. Nyadran

Upacara nyadran, menurut ahli antropolog Koentjaraningrat, adalah diselenggarakan untuk merawat makam para Cikal Bakal (leluhur) atau nenek moyang pendiri komunitas. Pelaksanaannya dengan membawa makanan (nasi) dan ikan ayam (panggang), ke komplek makam leluhur. Diawali dengan pembacaan Tahlil, dan doa bagi yang telah dikubur, dan diakhiri dengan makan bersama. Dengan demikian merupakan alasan untuk mengadakan pesta dan perayaan yang mengintensifkan solidaritas antara para anggota kelompok kerabat.

8. Nyekar

Nyekar atau menabur bunga di kuburan para leluhur pada hari raya Idul Fitri, bermakna simbolik, harumkanlah nama leluhur kita, dengan merefleksikan pada diri kita sendiri untuk bertindak dan bercita-cita menjadi manusia utama dalam kehidupan kita.

9. Slametan

Adalah bentuk doa yang diekspresikan melalui seni makanan. Makna simbolisnya bahwa adanya tumpeng (nasi yang meruncing ke atas seperti gunung), dan dihiasi dengan lauk-pauk dari ayam, telur, tempe, tahu, sayur-mayur (janganan) melambangkan bahwa makanan sebagai sumber kehidupan berasal dari Yang Esa meliputi semesta. Oleh sebab itu disertai doa oleh modin agar manusia selamat di dalam kehidupan dan disertai dengan kata: Amin!, kabulkanlah permintaan kami.

10. Dzikir atau Tahlil

Inti dari agama Islam adalah tauhid. Tuhan Yang Maha Pencipta adalah Esa. Oleh sebab itu di setiap kesempatan, meng-Esakan Tuhan adalah dianjurkan. Dengan berdzikir dan tahlil, manusia diingatkan kepada kalimat: La Ilaha IllAllah. Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammadur Rasulullah: Muhammad utusan Allah. Oleh sebab itu penyelenggaraan dzikir bisa di rumah, di mesjid, di tempat “Selamatan”, di tempat kematian, di kuburan dan di mana saja yang memungkinkan khusuk untuk berdzikir. Boleh sendirian dan boleh bersama-sama. Kyai Asy’ari yang berasal dari tokoh ulama Mataram Islam, tentunya banyak mewarisi kebudayaan yang ada pada Mataram Islam tersebut.

Setelah beberapa saat berjalan, masyarakat semakin banyak yang mengetahui dan memahami yang akhirnya tertarik dengan tradisi atau budaya Mataram Islam tersebut, yang di kenalkan oleh kyai Asy’ari kepada mereka, maka langkah selanjutnya kyai Asy’ari mulai mengadakan tradisi atau budaya Mataram Islam di Kaliwungu yang kemudian diselingi dengan pengajian atau ceramah.

Dalam perkembangan sosial masyarakat, aspek kebudayaan tidak akan terlepas dari kehidupan manusia. Tindakan kyai Asy’ari dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam kepada mad'u di Kaliwungu dengan cara mengenalkan budaya atau tradisi Mataram Islam adalah langkah yang tepat, karena masyarakat Kaliwungu tidak bisa terlepas dengan kebudayaan. Dengan mengenalkan nilai-nilai ajaran Islam dalam kebudayaan Mataram Islam seperti wayang kulit, terbangan atau kentrungan, mauludan, rajaban, bubur suran, rebo pungkasan, nyadran, nyekar, slametan,dzikir atau tahlil maka dengan sendirinya tradisi atau kebiasaan masyarakat Kaliwungu yang suka memuja para arwah leluhur dan mendewakan benda-benda yang dianggap keramat seperti keris atau pusaka, cincin atau jimat, pohon besar, patung atau batu, yang semuanya itu dianggap dapat memberikan kekuatan, keselamatan, dan sesuatu yang diminta. Kyai Asy’ari berharap dengan dakwahnya masyarakat Kaliwungu sedikit demi sedikit bahkan meninggalkan kebudayaan mereka dengan mengenalkan kebudayaan Mataram Islam tersebut. Karena kebudayaan Mataram Islam lebih mengajarkan kepada nilai-nilai ajaran Islam. Sedangkan kebiasaan masyarakat Kaliwungu sebelum itu lebih menjurus kepada perbuatan ‎musyrik (menyekutukan Allah).

Penyajian pesan dakwah yang disampaikan oleh Kyai Asy’ari lewat kebudayaan Mataram Islam tersebut sangat praktis dan mudah untuk dilakukan pada setiap waktu tertentu. Misalnya dapat kita lihat pada tradisi mauludan, yaitu tradisi yang diadakan pada bulan maulud (Rabiul awal), untuk mengenang kelahiran nabi Muhammad SAW, diselenggarakan pembacaan syair mauludan di musholla-musholla maupun di rumah penduduk.

Bagi anak-anak peristiwa yang paling menyenangkan adalah kegiatan yang menyertai mauludan, yaitu ketuwen. Peristiwanya adalah anak-anak keluar rumah membawa makanan diatas piring kecil dari tanah, yang di beri lilin yang memancarkan cahaya. Secara bergantian makanan saling di tukar dengan tetangga. Makna simbolik yang menyertai peristiwa ini adalah, telah datang cahaya (nur) Muhammad SAW yang memberi petunjuk atau (penerangan) kepada umat manusia. Tradisi mengagungkan nabi Muhammad SAW adalah bernilai simbolis agar dalam setiap kehidupan muslim mewarisi akhlak yang baik seperti nabi Muhammad SAW. Misalnya lagi tradisi rabopungkasan, yaitu tradisi yang diadakan pada hari rabo terakhir bulan sapar, menjadi tradisi menjalankan puasa sunnah dan beribadah. Hal ini dikarenakan setiap tahun hanya ketemu satu hari rebo pungkasan bulan sapar.

Mendirikan Pesantren dan Mencetak Ulama – Ulama Besar

Kyai Asy’ari mempunyai banyak santri dan hampir semuanya menjadi ulama besar. Diantara santri yang menjadi ulama besar adalah sebagai berikut:

1  1.) Kyai Ahmad Rifa’i dari Tempuran, Kendal (seorang ulama kharismatik tokoh pendiri jamaah Rifa’iyyah dan Pahlawan Nasional)
2  2.) Kyai Musa dari Kaliwungu, Kendal (dicatat pernah menjalani bai’at thariqat as-syathariyyah pada Kyai Asy’ari selaku Khalifah ahli thariqat as-syathariyyah)
3   3.) Kyai Sholeh Darat dari Semarang (mempunyai murid KH. Hasyim Asy'ari Pendiri NU, KH. Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyyah dan RA. Kartini)
4    4.) Kyai Bulkin dari Mangkang, Semarang
5    5.) Kyai Anwaruddin dari Bendokerep,  Cirebon

Kemudian para santri atau ulama tersebut banyak yang mendirikan pondok pesantren atau madrasah bahkan tempat ibadah di berbagai daerah atau tempat Kyai tersebut berasal dan bertempat tinggal.

Peran Kyai Asy’ari dalam berdakwah di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal sangat besar dan sungguh luar biasa, khususnya di lingkungan pondok pesantren. Hal ini dapat kita buktikan dengan berdirinya pondok pesantren yang pertama kali di Kaliwungu oleh Kyai Asy’ari yaitu yang bernama Pondok Pesantren Salaf APIP dan Musholla Al-Asy’ari tepatnya di Kampung Pesantren desa Krajankulon, sekitar tahun 1781-an. Sejak itulah kemudian sampai sekarang ini berdiri pula banyak pondok pesantren salaf dan madrasah yang berbasis NU di Kaliwungu Kendal, yang didirikan oleh para kyai dan ulama besar yang ada di Kaliwungu.

Banyaknya pondok pesantren yang berdiri di desa Krajan Kulon, sehingga desa ini menjadi pusatnya pembelajaran ilmu agama di Kaliwungu. Istilah Kaliwungu sebagai kota santri mungkin berasal dari desa Krajankulon, karena desa ini berada di tengah / pusat kota Kaliwungu. Jika datang ke desa Krajankulon kita akan melihat para santri hilir mudik, terutama di pagi dan sore hari. Selain santri yang menetap di pondok pesantren, ada juga banyak santri yangnglaju, datang ke pondok atau ke rumah guru ngajinya hanya pada jam mengaji saja, sehari-harinya tetap berada di rumah. Santringlaju ini biasanya diikuti oleh santri yang bertempat tinggal di Kaliwungu dan sekitarnya.

Santri yang mengaji tidak hanya usia aktif belajar saja, tetapi bagi kaum ibu dan bapak juga masih aktif semangat untuk mengaji. Pengajian untuk kalangan ibu dan bapak misalnya yang diadakan oleh KH. Nidhomudin Asror Kampung Kauman. Pengajian diikuti oleh kalangan ibu dan bapak tiap pagi setelah sholat subuh, yang dimulai dengan pembacaan Al-Qur'an dan dilanjutkan dengan pengajian ceramah. Masyarakat yang mengikuti pengajian ini biasanya hanya mendengarkan saja yang biasa dikenal dengan jiping (ngaji kuping), meskipun ada juga yang menyimak bacaan Al-Qur'an dengan membawa Al-Qur'an sendiri dan kemudian mencatat pelajaran yang penting. 

Selain pengajaran yang diadakan oleh KH. Nidhomudin Asror, ada juga pengajian setiap hari selasa dan sabtu di Pondok Bani Umar Kampung Patekan. Masyarakat yang mengikuti pengajian tersebut tidak hanya masyarakat lokal saja, yaitu masyarakat Kaliwungu itu sendiri akan tetapi juga dari luar Kaliwungu.
Pesantren dilihat dari aspek kesejarahannya, bisa jadi sebagai penelusuran sistem pendidikan pra Islam di negeri ini, yang oleh sementara kalangan diidentifikasikan dengan nama sistem Mandala. Istilah pesantren untuk daerah Kaliwungu saat ini, umumnya diacukan kepada tempat pemukiman atau asrama para santri yang sebagai tempat belajar mengaji dan mengenal hidup yang Islami. Pesantren-pesantren ini memiliki banyak arti dan fungsi, sebagai sumber penting bagi pendidikan humaniora di pedesaan, karena ia sebagai pusat kreativitas masyarakat. Dibanding dengan lembaga pendidikan Islam yang lain, pesantren memiliki kelebihan mental keagamaannya. Salah satu alasan kelebihannya itu adalah cara memandang santri terhadap kehidupan.‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...