Kamis, 21 Oktober 2021

Jejak Sejarah KH Hasan Maolani Dan Pesantren Lengkong


Pesantren Lengkong yang dipimpin Kyai Haji Hasan Maulani ini bahkan disebut-sebut sebagai cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren lainnya di Kabupaten Kuningan. Tentu saja hal ini berkat kegiatan-kegiatan yang dilakukan Kyai Haji Hasan Maulani yang pada waktu itu secara intensif terus mengamalkan ilmu-ilmu agama yang dimilikinya.

Pondok Pesantren Salaf Raudlatut Thalibin atau Al-Ma’hadud Dini As-salafi Raudlatut Thalibin, adalah Pondok Pesantren yang menganut aqidah ahlussunnah waljama’ah bermadzhabkan Imam Syafi’i, yang terletak di Jln. Eyang Hasan Maolani Dsn Wage Ds Lengkong Rt 24. Rw. 10 Desa Lengkong Kecamatan Garawangi Kabupaten Kuningan Jawa Barat.

Sejarah KH Hasan Maolani (Eyang Menado)

Kiai Haji Hasan Maolani (1779-1874) dari Desa Lengkong. Masyarakat mengenalnya sebagai “Eyang Menado” karena ia diasingkan ke Menado (meskipun sesungguhnya diasingkan ke Tondano, sebelah selatan Menado), selama 32 tahun hingga meninggal dunia di sana. Sumber-sumber yang memberitakan adanya gerakan ini sangat terbatas. Pertama sekali dilaporkan dalam Laporan Politik Pemerintah Kolonial tahun 1839-1849 (Exhibitum, 31 Januari 1851, no. 27). Kemudian disebutkan pula dalam tulisan E. de Waal, yang berjudul Onze Indische Financien, 1876, secara sangat singkat. Selanjutnya, diuraikan cukup panjang, dalam disertasi D.W.J. Drewes, yang berjudul Drie Javaansche Goeroe’s (1925).

Sosok yang paling ditakuti Belanda bukanlah pejuang tangguh berotot besi, bukan pula perwira gagah yang berkali-kali memenangkan peperangan. Ulama. Ya, ternyata kolonialis Belanda itu takutnya dengan seorang ulama.

Tak disangka memang. Tapi itulah kenyataannya. Sosok ulama yang lahir di tanah Lengkong kabupaten Kuningan, Jawa Barat ini adalah salah satu dari sosok yang ditakuti. Namanya Hasan Maolani, sekarang dikenang dengan sebutan “Eyang Menado” gara-gara dirinya diasingkan ke tanah sebelah Selatan Menado. Ini juga akibat ketakutan Belanda tarhadap pengaruh ajaran Islam yang diajarkannya pada masyarakat sekitar.

Padahal Kiai Hasan Maolani hanyalah mengajarkan apa yang ada dalam Alquran. Tidak ada yang melenceng dari syariat. Bahkan pendidikan agama yang dilakukan Hasan Maolani semata-mata karena tugasnya sebagai pendakwah, sebagai ulama yang ditakdirkan menjadi pewaris ajaran para nabi.

Namun kata-kata “jihad” yang banyak ditulis Alquran tiba-tiba menjadi momok yang sangat menakutkan penjajah. Ajaran jihad ini oleh ulama pituin Kuningan sempat dituliskan dalam fathul qorib 40 jilid, karyanya.

“Jika sekiranya para orang kafir memasuki negeri muslimin atau mereka bertempat yang dekat dengan letaknya negeri orang Islam, maka dalam keadaan yang demikian itu hukum jihad adalah fardhu ain bagi kaum muslimin. Wajib bagi ahli negeri untuk menolak (menghalau) para orang kafir dengan sesuatu yang dapat dipergunakan oleh kaum muslimin untuk menolak.”

Saat itu boleh jadi KH Hasan Maolani sudah memiliki kesadaran bahwa negerinya tengah dijajah. Lalu kesadaran itu coba ditularkan kepada masyarakat dengan berbagai jalan, ceramah dan surat-suratnya.

Ketika sebuah pesantren di Lengkong ia dirikan, dengan serta merta orang berduyun-duyun datang mengabdikan diri menjadi santri ulama yang sempat belajar di Pesantren Kedung Panjang (Majalengka) dan Pesantren Ciwaringin (Cirebon). 40 pondok yang disediakan ternyata tidak mencukupi untuk menampung para santri. Belum lagi hampir setiap hari orang datang menemuinya untuk meminta saran dan nasihat mengenai permasalahan kehidupan.

K.H. HASAN MAOLANI (1779-1874). Masyarakat setempat menyebutnya “eyang Manado,” karena di akhir hidupnya diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara oleh pemerintah Hindia Belanda. Hasan Maolani lahir di Lengkong, Garawangi, Kuningan Jawa Barat pada 1779. Ayahnya bernama Tb. Loekman. Menurut daftar silsilah yang ditulis dalam huruf Arab Pegon, berbahasa Jawa, Hasan Maolani masih keturunan ke-11 dari Sunan Gunung Jati. Hasan Maolani kecil mula-mula mendapatkan pendidikan agama Islam dari ayahnya. Setelah usianya cukup ia masuk ke pesantren mbah Padang. Di pesantren itu, ia menjadi santri kesayangan, karena kecerdasannya jauh melebihi teman-teman seusianya. Setelah itu, Hasan Maolani melanjutkan pendidikan agamanya ke pesantren Kedung Rajagaluh. Setelah dinyatakan lulus oleh gurunya, ia melanjutkan pelajaran agamanya ke pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon. Setelah itu ia  masuk ke beberapa pesantren di wilayah Cirebon.

Setelah dewasa, Hasan Maolani tertarik untuk memelajari tarekat (ilmu thariqat). Mula-mula ia memelajari tarekat Syatariyah. Selanjutnya memelajari  tarekat Qodiriyah. Tidak puas sampai di situ, ia memelajari tarekat Naqsabandiyah, dan tarekat-tarekat lainnya. Namun demikian, dari pencarian terhadap sejumlah ajaran tarekat tersebut, Hasan Maolani lebih tertarik dan memilih ajaran tarekat Syatariyah. Kelak, ia pun dikenal sebagai pengamal dan pengembang ajaran tarekat Syatariyah dari Lengkong Kuningan.

Setelah berguru ke beberapa pesantren, Hasan Maolani kembali ke tempat kelahirannya, Lengkong. Di sini ia menjadi penerus kepemimpinan pesantren yang telah didirikan oleh  Panembahan Dako (Syekh Moechammad Dako), seorang panatagama utusan dari kesultanan Cirebon pada akhir abad ke-18. Setelah Panembahan Dako wafat, berturut-turut pesantren Lengkong dipimpin oleh kyai Absori, kyai Simoeroeboel, dan kyai Arip. Setelah ketiganya wafat, kemudian  dilanjutkan oleh kyai Abdoel Karim dan kyai Fakih Tolab. Hasan Maolani sendiri baru memimpin pesantren Lengkong pada 1842-1874 setelah kyai Abdoel Karim dan kyai Fakih Tolab wafat.

Pada masa kepemimpinan Hasan Maolani, pesantren Lengkong  berkembang pesat. Berduyun-duyun orang datang ingin menjadi santrinya. Jumlah santri yang masuk ke pesantren Lengkong cukup banyak, hingga seluruh kobong yang jumlahnya (menurut sebagian pendapat 40, dan sebagian lainnya 50) tidak mampu menampungnya. Gaya hidup dan kepemimpinan Hasan Maolani yang sangat sederhana (zuhud), menjadi daya tarik bagi para santri untuk berguru kepadanya. Menurut Nina Herlina Lubis, sebagai bukti kesederhanaan Hasan Maolani, ia tidak pernah mempunyai pakaian lebih dari 3 stel. Bila ada lebih, maka ia akan segera memberikannya kepada yang membutuhkan. Hasan Maolani juga senang menjamu orang. Apa saja yang ia miliki, tidak pernah disembunyikan apabila ada orang yang memerlukannya. Selain itu, masih menurut Nina Herlina Lubis, Hasan Maolani tidak pernah menghina dan menggunjingkan orang lain. Ia selalu tirakat, tidak makan berlebihan, serta menghindari makanan dari jenis yang bernyawa. Para santri yang datang ke pesantren Lengkong umumnya mereka yang akan melanjutkan pendidikan agamanya ke daerah Timur Jawa. Di pesantren ini selain dipelajari ilmu-ilmu agama Islam secara umum, juga dipelajari ilmu tarekat, terutama Syatariyah. Selain para santri, mereka yang datang ke pesantren Lengkong  dengan berbagai keperluan, mulai dari yang mau berobat hingga meminta tolong untuk menyelesaikan persoalan hidup sehari-hari.

Kuat dugaan, adanya orang berkumpul setiap hari dalam jumlah banyak mengundang kecurigaan pemerintah Hindia Belanda yang baru saja selesai menghadapi Perang Diponegoro (1825-1830).  Selain itu, para jawara dan tokoh setempat yang semula menjadi tujuan orang-orang merasa terusik dengan kehadiran Hasan Maolani. Mereka mulai mencoba mengganggunya baik secara spiritual, maupun melalui fitnah. Hal yang disebut terakhir, diduga, semakin menambah kecurigaan pemerintah Hindia Belanda. Kecurigaan itu tertuang dalam Laporan Politik Pemerintah Kolonial tahun 1839-1849 (Exhibitum, 31 Januari 1851, no. 27)., dan dalam tulisan E. de Waal, Onze Indische Financien, 1876, sebagaimana dikutif Nina Herlina Lubis, tentang adanya gerakan Kiyai Hasan Maolani. Pada laporan itu dijelaskan, bahwa pada 1841 memang banyak orang berdatangan ke pesantren Hasan Maolani di Lengkong, tetapi tidak bermaksud untuk mengatur siasat dalam rangka menentang pemerintah Kolonial. Mereka datang hanya untuk mendapatkan ilmu dan ajaran agama. 

Adalah suatu hal yang wajar, bahwa Hasan Maolani sebagai guru agama dan pemimpin pesantren Lengkong mempunyai banyak santri. Ia pun sangat disegani masyarakat. Kehadiran maupun nasihat-nasihatnya, bahkan sampai pada upacara kenduri, selamatan (sedekah), dan persoalan-persoalan lain yang keluar dari mulutnya senantiasa dipatuhi oleh para pengikutnya, termasuk hal-hal yang bersifat takhayul. Dalam laporan itu disebutkan pula, bahwa pada 1842 Hasan Maolani mengangkat dirinya sebagai “pembaharu agama” di Keresidenan Cirebon dan sekitarnya, yang kemudian diikuti dengan pengiriman utusan-utusan serta pembuatan surat-surat selebaran mengenai ajaran-ajarannya. Dalam pengamatan pemerintah Hindia Belanda, surat-surat itu membawa akibat dan pengaruh besar bagi penduduk dan pemerintah. 
Temuan lainnya, dalam kitab  Fathul Qorib yang merupakan karya tulisnya, kini tersimpan di rumah peninggalan Hasan Maolani di Lengkong, Hasan Maolani secara khusus membahas Bab Jihad. Disebutkan, ada dua jenis jihad, yaitu jihad akbar (berperang melawan hawa nafsu sendiri), dan jihad asghar (berperang melawan musuh). Salah satu ajaran Hasan Maolani tentang jihad yang dianggap membahayakan eksistensi pemerintah Hindia Belanda, sebagai berikut: 
”Jika sekiranya para orang kafir memasuki negeri Muslimin atau mereka bertempat yang dekat letaknya dengan negeri orang Islam, maka dalam keadaan yang demikian itu hukum jihad adalah fardlu ‘ain bagi kaum Muslimin. Wajib bagi ahli negeri itu untuk menolak (menghalau) para orang kafir dengan sesuatu yang dapat dipergunakan oleh kaum Muslimin untuk menolak.”

Dalam beberapa pengajiannya, Hasan Maolani juga selalu berpesan agar membaca al-Qur’an, salawat, sodaqoh, dzikir, bersilaturahim, melaksanakan sholat dan berpuasa, baik yang wajib maupun yang sunah, serta jangan melakukan hal yang dilarang oleh Syari’ah. Pesan lainnya yang juga dituliskan dalam surat-surat dari Tondano adalah agar sabar, taubat dan banyak berdo’a, membangun mesjid dan menghidupkannya, hendaklah mencari ilmu dan tawadhu dalam hidup, jangan sombong, takabur dan riya, amanah, ikhlas, jangan makan yang berlebihan, dan makanlah yang halal.
Informasi selanjutnya tentang Hasan Maolani diperoleh dari Drie Javansche Goeroe’s, disertasi yang ditulis oleh G.W.J. Drewes (1925). Diinformasikan, bahwa pada awal 1842 di bagian Timur Keresidenan Priangan beredar surat selebaran yang menurut kata orang,  berasal dari Pangsor. Di antara isi surat selebaran tersebut dinyatakan, bahwa Hasan Maolani pada suatu ketika pernah mendengar suara gaib yang bertanya: “Kyai apakah anda mau diperturutkan dengan Iblis?” Atas pertanyaan itu, lalu Kyai menjawab, “Bukankah aku menjunjung Allah dan utusannya?” Sekali lagi suara gaib berkata, bahwa jika kyai tidak ingin diperturutkan lblis, maka ada keharusan untuk melaksanakan “selamatan” (sedekah). Waktu selamatan ialah pada malam Jum’at setelah selesai shalat, atau dapat juga dilakukan pada hari Selasa, atau hari Kamis. Dalam melaksanakan upacara selamatan gunakanlah piring tembikar yang sudah tidak terpakai lagi, demikian juga sisa makanan, nasi, lauk pauk, dan lain-lainnya janganlah diambil kembali. Tentu saja laporan itu harus diperlakukan secara kritis. Sebab, ajaran-ajaran Hasan Maolani, seperti yang terdapat dalam kitab Fathul Qorib, tidak ada yang berbunyi seperti itu, meskipun memang sedekah sangat dianjurkan. Hal itu boleh dilakukan kapan saja, bukan seperti yang disebutkan dalam laporan Kolonial.

Dengan adanya surat selebaran itu, pemerintah Hindia Belanda berpendapat, bahwa telah terjadi keresahan di kalangan masyarakat pribumi yang mendapat surat-surat yang berisi ajaran dari Hasan Maolani.  Orang berduyun-duyun datang ke Lengkong untuk meminta nasihat, untuk berbagai masalah yang dihadapainya,  meminta kesembuhan dari penyakitnya.  Orang-orang yang berdatangan itu mulai dari Banten, Cianjur, Sukabumi, Sukapura (Tasikmalaya), Limbangan (Garut), hingga Banyumas, bahkan ada juga yang datang dari Ponorogo.

Selanjutnya Residen Priangan dalam surat itu memberikan saran, agar kerusuhan itu harus diselidiki di Lengkong. Penugasannya diserahkan kepada Residen Cirebon untuk diminta pendapatnya dengan mempersoalkan, apakah pengaruh Hasan Maolani mempunyai unsur yang berlawanan dengan kepentingan dan kewibawaan (policy) pemerintah? 
Disebutkan, pengaruh Hasan Maolani semakin mendalam di kalangan penduduk, bahkan sampai merembet kepada para pemimpin pribumi. Hal itu dijadikan alasan oleh Residen untuk menangkap Hasan Maolani. Residen Priangan menulis surat ke Batavia yang menyatakan, bahwa rakyat lebih menghargai dan patuh kepada Hasan Maolani, daripada kepada Bupati Kuningan. Residen juga melaporkan bahwa Hasan Maolani akan melawan gubernemen (pemerintah Hindia Belanda) dan ajarannya bertentangan dengan ajaran Islam. Hasan Maolani yang sederhana dengan kata-katanya yang dibuat sedemikian rupa, hingga dipandang sebagai orang yang mempunyai kekuatan luar biasa dan dilebihkan dari keistimewaan ulama lainnya, sungguh membahayakan masyarakat serta mengganggu ketenteraman, jika kepentingan kiyai tersebut mendapat angin. Pada bagian akhir suratnya, Residen Priangan menulis kata-kata: “Saya berharap bahwa Paduka Yang Mulia akan mendapat alasan, juga dengan laporan yang telah diberikan oleh para Bupati mengenai orang tersebut, untuk mengasingkan kyai Lengkong dari Pulau Jawa”.
Dalam catatan keluarga, Hasan Maolani dibawa  oleh petugas pemerintah Hindia Belanda, pada Kamis, 12 Safar 1257 H./1837 M., waktu ‘asar. Dikatakan, bahwa Hasan Maolani akan dibawa menghadap kepada Residen Cirebon untuk dimintai keterangan. Ternyata, Hasan Maolani tidak pernah kembali. Ia langsung ditahan di Cirebon. Setelah berada dalam tahanan di Cirebon, para murid, santri, masyarakat datang berduyun-duyun tiap hari menjenguk Hasan Maolani. Hal itu membuat pemerintah Hindia Belanda kewalahan. Oleh karena itu, diputuskanlah untuk memindahkan Hasan Maolani ke Batavia. Di Batavia, Hasan Maolani tetap saja mendapat kunjungan para murid dan santrinya dalam jumlah yang mengkhawatirkan. Karena itu, setelah ditahan selama 9 bulan dengan mempertimbangkan seluruh laporan yang masuk, Hasan Maolani diasingkan ke Manado dengan status sebagai tahanan negara. Sebelum ke Manado, Hasan Maolani dibawa terlebih dahulu ke Ternate, dari sini kemudian dibawa ke Kaema. 100 hari kemudian dipindahkan ke Tondano. Pada 29 April 1874 tersiar kabar  Hasan Maolani wafat. Ia dimakamkan di Kompleks Pemakaman Kiai Mojo, Tondano.
Hingga sekarang masih ada peninggalan K.H. Hasan Maolani, berupa bangunan rumah panggung berdinding anyaman bambu dan benda-benda milik pribadi. Selain itu, masih ada tinggalan berupa naskah yang ditulis di atas kertas dengan tinta hitam dan merah. Naskah berjudul Fathul Qorib, ini ditulis dalam huruf Arab pegon, berbahasa Jawa campur Sunda. Peninggalan berharga lainnya adalah kumpulan surat-surat yang dikirim Kiai Hasan dari pengasingannya. K.H. Hasan Maolani dilahirkan pada 1199 Hijriah atau 1779 Masehi di Desa Lengkong, sekarang termasuk Kecamatan Garawangi Kabupaten Kuningan. 

Menurut silsilahnya, Kiai Hasan Maolani, memiliki leluhur hingga kepada Sunan Gunung Jati. Ketika Hasan Maolani dilahirkan, Panembahan Dako, seorang kiai yang makamnya banyak diziarahi orang karena kekeramatannya, mengatakan bahwa anak ini benar-benar cakap dan memiliki “bulu kenabian”. Maksudnya, memiliki tanda-tanda akan menjadi ulama. Sejak kecil anak ini dikenal memiliki sifat-sifat yang baik. Hatinya lembut berbudi luhur, sayang kepada sesama makhluk, termasuk binatang. Sejak kecil, Hasan Maolani suka menyepi (uzlah) di tempat-tempat yang jarang dikunjungi orang, setelah dewasa ia sering menyepi di Gunung Ciremai. Hasan mula-mula menimba ilmu di Pesantren Embah Padang. Setelah itu, ia menimba ilmu di Pesantren Kedung Rajagaluh (Majalengka) dan Pesantren Ciwaringin, Cirebon. Selain itu, Hasan masih belajar lagi di beberapa pesantren lain. Setelah dewasa, Hasan Maolani, belajar tarekat: Satariyah, Qodariyah, Naksabandiyah, dst. Namun, akhirnya Hasan Maolani menganut tarekat Satariyah. Sekembali dari berguru di beberapa pesantren, Hasan Maolani kembali ke desa asalnya di Lengkong dan membuka pesantren. 

Sejak ia membuka pesantren, berduyun-duyun orang yang datang ingin menjadi santrinya. Jumlah santri yang mondok cukup banyak hingga 40 pondok yang disediakan tidak mampu menampungnya. Selain itu, makin hari makin banyak orang datang kepada K.H. Hasan Maolani untuk berbagai keperluan, mulai dari berobat hingga meminta tolong untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup. Tentu saja, adanya orang berkumpul setiap hari, dalam jumlah banyak mengundang kecurigaan pemerintah kolonial, yang baru saja usai menghadapi Perang Diponegoro (1825-1830). Salah satu ajaran Kiai Hasan Maolani, yang penting dan dianggap membahayakan pemerintah kolonial adalah tentang “jihad”. Ajaran yang ditulisnya dalam Fathul Qorib demikian: “Jika sekiranya para orang kafir memasuki negeri Muslimin atau mereka bertempat yang dekat letaknya dengan negeri orang Islam, maka dalam keadaan yang demikian itu hukum jihad adalah fardlu ain bagi kaum Muslimin. Wajib bagi ahli negeri itu untuk menolak (menghalau) para orang kafir dengan sesuatu yang dapat dipergunakan oleh kaum Muslimin untuk menolak.”  Jelas, bahwa Kiai Hasan Maolani memiliki kesadaran bahwa negerinya sedang dijajah. Kesadaran ini disampaikan kepada masyarakat, yang datang maupun yang jauh melalui surat-suratnya. Perang Diponegoro menyisakan pelajaran bagi pemerintah kolonial untuk segera meredam ajaran-ajaran yang dianggap membangkitkan kesadaran rakyat untuk menentang orang kafir (dalam hal ini pemerintah jajahan). Itulah sebabnya, pemerintah kolonial melalui kaki tangannya di Kabupaten Kuningan segera melancarkan tudingan bahwa Kiai Hasan Maolani dituduh menyebarkan ajaran yang tidak sesuai dengan syariah, menghasut rakyat untuk melakukan perlawanan. Padahal, ajaran-ajarannya seperti yang disebutkan di atas, tidak ada yang tidak sesuai dengan syariah. Dalam hal ini, kita bisa menduga apa motif pemerintah kolonial dalam melancarkan tuduhan kepada Kiai Hasan, tidak lain hanya untuk menjatuhkan nama Kiai Hasan di mata masyarakat pribumi dan mencari-cari kesalahannya. Residen Priangan setelah mendapat informasi mengenai surat edaran dan akibat yang ditimbulkannya, segera mengirim surat kepada Gubernur Jenderal di Batavia, menyampaikan usul agar kerusuhan itu harus diselidiki di Lengkong, Kabupaten Kuningan (Cirebon). Pengaruh Kiai Hasan Maolani semakin mendalam di kalangan penduduk, bahkan sampai merembet kepada para pemimpin pribumi. Hal ini dijadikan alasan oleh residen untuk menangkap Kiai Hasan. Residen Priangan menulis surat keBatavia yang menyatakan bahwa rakyat lebih menghargai dan patuh kepada Kiai Hasan Maolani daripada kepada Bupati Kuningan. Residen juga melaporkan bahwa Kiai Hasan akan melawan “gubernemen” (pemerintah Hindia Belanda) dan ajarannya bertentangan dengan ajaran Islam. Kiai Hasan Maolani yang sederhana itu dengan kata-katanya yang dibuat sedemikian rupa, hingga dipandang sebagai orang yang mempunyai kekuatan luar biasa dan dilebihkan dari keistimewaan ulama lainnya, sungguh membahayakan masyarakat serta mengganggu ketenteraman jika kepentingan kiai tersebut mendapat angin. 

Pada bagian akhir suratnya, Residen Priangan menulis kata-kata “Saya berharap bahwa Paduka Yang Mulia akan mendapat alasan, juga dengan laporan yang telah diberikan oleh para bupati. mengenai orang tersebut, untuk mengasingkan Kiai Lengkong dari Pulau Jawa.” Melihat gerakan Kiai Hasan Maolani, yang semakin hari dianggap semakin berbahaya, pemerintah kolonial akhirnya mengambil tindakan Kiai Hasan harus ditangkap. Dalam catatan keluarga, Kiai Hasan Maolani dibawa oleh petugas pemerintah kolonial, pada Hari Kamis, tanggal 12 Safar 1257 H (1837 Masehi) waktu asar. Dikatakan bahwa kiai akan dibawa menghadap kepada Residen Cirebon untuk dimintai keterangan. Namun ternyata, Kiai Hasan tidak pernah kembali. Ia ditahan diCirebon. Ternyata setelah berada dalam tahanan di Cirebon, para murid, santri, dan masyarakat umum datang berduyun-duyun tiap hari menjenguk Kiai Hasan Maolani. Hal ini membuat pemerintah kolonial kewalahan. Oleh karena itu, diputuskanlah untuk memindahkan Kiai Hasan ke Bataviadengan diangkut kapal laut. Di Batavia, Kiai Hasan Maolani tetap saja mendapat kunjungan para murid dan santrinya dalam jumlah yang mengkhawatirkan. Oleh karena itu, setelah ditahan selama 9 bulan diBatavia, diambil tindakan lain: Dengan suratkeputusan tanggal 6 Juni 1842, Kiai Hasan Maolani diasingkan ke Menado dengan status sebagai tahanan negara. Kiai Hasan ternyata dibawa terlebih dahulu ke Ternate, dari sini kemudian dibawa ke Kaema. Seratus hari kemudian, ia dipindahkan ke Tondano. Di sini Kiai Hasan tinggal di Kampung Jawa bersama pasukan Kiai Mojo (panglima pasukan Diponegoro) yang diasingkan dari Jawa Tengah. Ternyata selama di pengasingan, Kiai Hasan Maolani tidak tinggal diam. Di Kampung Jawa, ia mengajar bekas pasukan Diponegoro yang ingin mendalami agama Islam. Lama-kelamaan, makin banyak muridnya, termasuk orang sekitar. Banyak orang yang tadinya non-Islam berhasil diislamkan. 

Akhirnya, Kiai Hasan membuka pesantren, yang dikenal sebagai “Pesantren Rama Kiai Lengkong”. Semakin lama namanya tambah terkenal bukan karena kekeramatannya, namun juga karena ajarannya yang mudah dimengerti. Kiai Hasan juga menaruh perhatian besar terhadap pengembangan pertanian dan perikanan sebagaimana dilakukannya di Desa Lengkong dahulu. Putra kiai yang bernama Mohamad Hakim pernah mengajukan suatu permohonan kepada pemerintah agar ayahnya dikembalikan dari tempat pengasingannya. Namun, Residen Priangan yang dimintai pendapatnya tentang hal ini tetap berpegang pada pendiriannya. Ia tidak mau mengambil risiko dengan mengatakan bahwa seorang yang diasingkan belum tentu akan jera dengan hukuman yang ditimpakan kepadanya. Kemudian keempat orang putranya kembali mengajukan permohonan kepada pemerintah pada bulan Desember 1868, yang isinya menyatakan bahwa ayah mereka yang sudah berusia 90 tahun itu supaya dikembalikan ke Jawa. Semua permintaan ini ditolak karena Kiai Hasan dianggap terlalu berbahaya meskipun sudah diasingkan, pengaruhnya masih terasa. Paramurid, santri, dan rakyat tetap menjalankan anjuran-anjurannya baik dalam beribadah ritual maupun ibadah sosial.Untuk ketiga kalinya, salah seorang putra Kiai Hasan Maolani mengajukan permohonan untuk menengok ayahnya di Menado. Semula Residen Cirebon menolak permohonan itu, tetapi setelah mendapat saran dari gubernur jenderal, barulah putra kiai yang bernama Kiai Absori diizinkan menengoknya ke Menado. Pada tanggal 29 April 1874 Kiai Hasan Maolani meninggal dunia dan dimakamkan di Kompleks Pemakaman Kiai Mojo di Tondano. Kiai Hasan diasingkan begitu lama, namun namanya tetap melekat di hati rakyat Kuningan. Orang mengenangnya sebagai “Eyang Menado”. Makamnya banyak diziarahi orang, baik orang Kuningan maupun masyarakat setempat. Namun, yang perlu dilakukan sekarang adalah bagaimana kita memberikan penghargaan atas perjuangannya. Rasanya bukan hanya masyarakat Kuningan yang setuju agar K.H. Hasan Maolani diangkat sebagai pahlawan nasional.

Sejarah
Cikal bakal dari Pondok Pesantren Salaf Raudlatut Thalibin ini adalah berupa pondokan kecil yang dihuni oleh beberapa santri mukim dan kalong. Beliaulah Eyang Idrus yang menjadi peletak batu pertama dari pesantren ini. Estafet kepemimpinan selanjutnya turun kepada putra menantu beliau yaitu KH. Kholil yang mempersunting putri beliau Nyai Muthma’innah. Pernikahan kedua insan mulia ini dikaruniai empat orang putra. Yaitu: Nyai Uhat (tinggal di Ciawi), KH. Uung Abdus Syukur (Ponpes. Cihideung), KH. Syarifuddin, dan KH. Harun Al Rosyid.
Perjalanan pondokan kecil tersebut selanjutnya beralih kepada putra ketiga dan keempat KH. Kholil dan Nyai Mutma’innah yaitu KH. Syarifuddin dan KH. Harun Al Rosyid. Dan pada masa kepemimpinan beliau berdua inilah banyak dilakukan perubahan-perubahan demi kerapian system dan pembelajaran. Dan tepatnya pada tahun 1970 M. pesantren ini resmi diberi nama “Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin“. 

Alkisah, penggunaan nama “Roudlotut Tholibin” ini adalah untuk melaksanakan amanat yang diberikan oleh Kyai beliau KH. Syarifuddin ketika nyantri di daerah Ciwaringin, Cirebon. Kyai beliau berpesan agar pondoknya nanti diberi nama yang sama dengan pondoknya saat beliau ngaji yaitu “ Raudlatut Thalibin”.‎
Seiring dengan perjalanan waktu kedatangan santri untuk menimbah ilmu di pesantren ini pun terus bertambah. Terhitung dalam kurun waktu antara tahun 1973 sampai tahun 1978 M. bangunan yang tersedia sudah tidak bisa menampung lagi jumlah santri. Maka dibangunlah asrama baru 2 lantai di sebelah timur dari bangunan induk. Dan bangunan batu ini kemudian nama Ribath Hasan Maulani (HM) dan Ribath Al-Kholil (AK).
Penambahan sarana dan prasarana terus dilakukan demi menunjang proses belajar mengajara. Dan kemudian pada tahun 1980 M. dibangun kembali 2 asrama di bagian barat dan kemudian diberi nama Ribath Al-Idrus (ADS) dan Ribath An-Nawawi (AN).
Adapun sistem tarbiyah, ta’lim, wat taa’llum yang diterapkan pada pada awal periode ini adalah menggunakan sistem klasikal. Dan untuk mempermudah penjenjangan dalam pengajaran maka santri dikelompokkan sesuai dengan kemampuan yang dimilki dengan menggunakan standart ilmu alat mereka. Maka terbentuklah beberapa jenjang kelas pengajaran, yaitu:
Kelas Ajurumiyah
Kelas ‘Imrithi
Kelas Al-Fiyah, dan
Kelas Jauharul Maknun
Salah satu alasan yang melatar belakangi pemberian nama-nama tersebut adalah maqolah
 ” من لا يعرف الاعراب لا يعرف المراد ” 
(Barangsiapa yang tidak mengerti ilmu I’rob (nahwu), maka tidak akan mengerti apa yang dimaksud). Mengedepankan Nahwu sebagai pelajaran inti dan identitas pesantren bukan berarti melalaikan ilmu-ilmu yang lain. Beliau juga mengajarkan fan-fan lain seperti fiqih, tauhid, tafsir, Hadits dan lain sebagainya.
Dalam mengajar beliau menerapkan prinsip 
“قليل قر خير من كثير فر” 
(sedikit tapi mengena lebih baik daripada banyak tapi lepas) 
sehingga beliau sering mengevalusi santri secara individual bahkan dalam beberapa pengajian sema’an beliau melaksanakannya dalam suasana gelap gulita agar santri bisa menguasai akan pelajaran sebelum berangkat ke majlis ta’allum bersama beliau.
Sejalan dengan bertambahnya usia Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin pun terus berupaya menyempurnakan methode dan cara pengajaran. Maka dengan dasar agar para santri semakin berwawasan luas system pembelajaran pun sedikit dimoderenisasi. Dan tepatnya pada tahun 1993 dibangunlah gedung madrasah untuk pengajian manhaj madrosiyah.
Dan pada masa ini pun tonggak sejarah baru di Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin terukir indah. Di mana pesantren mulai melebarkan sayapnya dengan membuka Taman Pendidikan Al Qur’an (TKA) bagi masyarakat sekitar khususnya anak-anak usia mulai 5 tahun ke atas dengan penekanan pembelajaran Al Qur’an, Ubudiyah, dan Akhlaqul Karimah. Gayung bersambut. Respon masyarakat sangat positif dan antusias dengan pendidikan model seperti ini yang memang tergolong ‘baru’ untuk daerah Lengkong dan sekitarnya. Sehingga dalam kurun satu dekade jumlah peserta didik di TKA ini mencapai ratusan siswa bahkan sampai ribuan pada periode-periode berikutnya. Waktu pembelajaran tingkatan ini dimulai pada pukul 13.00 WIB sampai 17.00 WIB.

Sedangkan untuk santri yang mukim diwajibkan belajar di Madrasah Salafiyah Syafi’iyah Al-Idrus ketika pagi hari mulai pukul 08.00 WIS sampai 10.00 WIS. Pada awalnya pembelajaran satri di madrasah ini di kelompokkan menjadi 9 tingkat pendidikan. Kemudian setelah beberapa tahun selanjutnya tingkatan pengajian untuk santri dilebur dalam sistem 6 tahun tingkat pendidikan yang terdiri dari 3 tahun untuk Tingkat Tsanawiyah dan 3 tahun tingkat ‘Aliyah. Dan pada tahun 1428 H. mulai dibuka kelas Isti’dadiyah bagi siswa siswa yang belum dianggap mampu untuk memulai ta’allum di tingkat Tsanawiyah.
Bisa dikatakan bahwa pada periode KH. Syarifuddin dan KH. Harun Al Rosyid ini adalah periode emas dalam perjalanan pesantren ini. Hingga pada tanggal 13 Jumadil Awwal 1426 H berpulanglah KH. Syarifuddin ke rahmatulloh. Dan pada beberapa tahun berikutnya tepatnya pada tanggal 13 Shofar 1433 H. adik beliau KH. Harun Al Rosyid menyusul pulang ke haribaan rahmat-Nya.
Tongkat estafet kepengasuhan berikutnya beralih kepada putra-putra beliau berdua, yaitu: KH. Didin Misbahuddin dan KH. Ahmad Saefulloh. Namun duet kepemimpinan beliau berdua tidak berjalan lama. Dan karena KH. Didin Misbahuddin sudah memiliki lembaga pendidikan sendiri tepatnya di dusun Pahing, Lengkong. Di samping itu pula beliau banyak berkecimpung dalam organisasi sosial kemasyarakatan di luar pesantren. Sehingga beliau kurang cukup waktu untuk terlibat langsung dalam kepengasuhan. Maka pada tahun 2015 dengan kesepakatan keluarga jabatan Pengasuh diamanatkan kepada pengasuh tunggal yaitu: KH. Ahmad Saifulloh.
Pada periode ini berbagai perbaikan dan pelengkapan berbagai fasilitas dan kebutuhan fisik pesantren terus dilakukan. Seperti revitalisasi kamar mandi, tempat mencuci, dapur umum, aula, kantor pusat, kamar tamu, dan kantor keamanan. Semua dimaksudkan sebagai penunjang dalam kelancaran proses tarbiyah, ta’lim wat ta’allum.
Perubahan waktu belajar di Madrasah Al Idrus pada periode ini juga dilakukan. Khusus untuk santri mukim kegiatan ta’lim wat ta’allum di Madrasah Salafiyah Syafi’iyah Al-Idrus dirubah menjadi mulai pukul 06.00 WIS sampai pukul 09.00 WIS.
Kedepan, perbaikan dan penyempurnaan agan diupayakan dalam berbagai sisi. Demi terus memajukan dan dalam rangka ikhtiyar menciptakan anak didik yang memiliki kualitas dan kapabilas. Yang kafi dan wafi. Amin yaa robbal ‘alamin.‎

Sejarah Pesantren Biru Dan Peran KH Badruzzaman


Secara kronologis nama Pesantren Al-Falah Biru adalah merupakan modifikasi dari nama aslinya yaitu Pesantren Biru yang sudah berkiprah dalam proses belajar mengajar dilingkungan para Ulama, santri, dan masyararakat sejak ratusan tahun lalu yaitu sekitar tahun 1711. Melalui turun menurun, kegiatan ini berlanjut dalam setiap periode waktu terus menerus tanpa henti sampai ke zaman Pra dan Pasca Revolusi Kemerdekaan. Di kala para tokoh dan sesepuh satu persatu mulai wafat maka pada masa kini seluruh keturunannya mempunyai beban berat untuk melanjutkan jejak leluhurnya berupa pembinaan umat serta proses Pendidikan Agama maupun Pendidikan Umum sebagaimana layaknya tuntutan pesantren masa kini. Pada dasamya beban ini merupakan hal penting bagi para putra BIRO, mengingat pesan pendahulunya yang tidak pernah berhenti dari tugas pengabdian sejak masa perjuangan revolusi mengusir penjajah melalui pembinaan umat dengan sistem Kholwat, begitu pula dalam mengisi era kemerdekaan.
Sejarah Berdirinya Pesantren Biru dan Al-Falah
Pondok Pesantren Al-Falah Biru adalah generasi penerus pertama Pesantren Biru, sehingga terkenal di kalangan masyarakat Islam adalah Pesantren Biru atau Biru. Biru didirikan tahun 1749 oleh Embah Pengulu (Embah Kyai Akmaluddin) penghulu Timbanganten/Garut dan menantunya Raden Kyai Fakaruddin keturunan ke-11 dari Sunan Gunung Djati (Syaikh Syarif Hidayatulloh, Raja Cirebon) dan keturunan ke-11 dari Prabu Siliwangi (Raja Pajajaran).
Kampung Biru merupakan daerah yang bersejarah baik di kalangan Islam maupun Nasional, sebab menghasilkan banyak sejarah dan peran yang penting dari sebelum masa penjajahan Belanda sampai kemerdekaan Presiden Soekarno, serta Biru merupakan pedoman sejarah keturunan (silsilah), ke-ulamaan dan ke-radenan di daerah Garut.
Ulama yang memimpin dan mengelola Pesantren Biru adalah:
1. Embah Kyai Akmaluddin dan Embah Kyai Fakkaruddin
2. Embah Ajengan Abdulrosyid
3. Embah Kyai Irvan
4. Embah Kyai Abu Qo’im
5. Raden Bagus K.H. Muhammad Ro’ie (Ama Biru).
Dari generasi kepemimpinan pertama sampai terakhir Pesantren Biru mengalami masa kejayaan yang subur makmur kerta raharja (Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofuur) serta terkenal di pulau jawa dan diluar jawa, oleh karena itu maka kampung Biru mngalami harkat martabat kebesaran dan kemuliaan di kalangan Nasional, serta di hargai oleh masyarakat dan pemerintah Belanda, sehingga pada masa pimpinan Embah Ajengan Abdulrosyid Biru dimerdekakan oleh kaum Penjajah Belanda dan sampai pada generasi kelima Biru sebagai pusat Agama Islam di daerah Garut.
Setelah masa Raden Bagus K.H. Muhammad Ro’ie berakhir, maka Pesantren Biru di pindahkan ke kampung Thoriq Kolot kemudian dirubah nama menjadi “Al-Falah” yang dipimpin oleh putranya yang bernama Raden KH. Asnawi Muhammad Faqieh (Bani-Faqieh) dan cucunya Syaikhuna Badruzzaman. Pada masa ini Pesantren Al-Falah Biru mengalami banyak rintangan baik dari penjajah, Umat Islam ataupun pengaruh para politikus di Indonesia.
Ulama yang memimpin dan mengelola Pesantren Al-Falah Biru adalah:
Raden KH. Asnawi Muhammad Faqieh
Syaikhuna Badruzzaman
R. KH. Bahruddin
Pada tahun 1933-1938 M. Raden KH. Asnawi Muhammad Faqieh dan putranya Syaikhuna Badruzzaman mengungsi dari kampung Al-Falah, untuk menyebarkan agama Islam di daerah Kab. Tasik yaitu Taraju/Indularang yang masih menganut agama Hindu yang kebetulan di daerah Garut sedang terjadi fitnah “Perintah Suntik” dari penjajah Belanda. Sepulang dari pengungsian pengajian dibuka lagi, pada waktu itu Pesantren Al-Falah Biru mempunyai puluhan ribu murid bahkan pada pada masa penjajahan Jepang berjumlah ratusan ribu murid sehingga Jepang menyebutnya “Maha Raja” kepada KH Faqieh yang dibantu oleh putranya Syaikhuna Badruzzaman, karena Jepang melihat kehebatan pengaruhnya melebihi yang lainnya.

Syaikh Badruzzaman

Beliau lebih dikenal dengan Syaikhuna Badruzzaman, lahir tahun 1900 di Pesantren Al-Falah Biru Garut. Beliau adalah putra kelima dari sembilan bersaudara KH. Faqih bin KH. Adza’i, yang lebih populer dengan panggilan “Ama Biru”. Beliau mengaji kepadaayahnya, dan kepada pamannya dari pihak Ibu di Pesantren Pangkalan Tarogong yakni KH. R. Qurtubi dan selanjutnya pindah ke pondok yang diasuh oleh kakanya KH. Bunyamin (Syaikhuna Iming) di Ciparay Bandung. Kemudian beliau mendalami ilmu di Pondok Pesantren Cilenga Tasikmalaya, selanjutnya di Pondok Pesantren Balerante Cirebon.

Pada tahun 1920, beliau bersama kakaknya Syaikhuna Iming berangkat ke Tanah Suci untuk mendalami ilmu keislaman, bermukim selama tiga tahun. Tahun 1926, beliau ke Mekah lagi untuk kedua kalinya bermukim selama tujuh tahun. Diantara guru-guru beliau di Mekah adalah : Syeikh Alawi Maliki (Mufti Mekah dari madzhab maliki), dan Syeikh Sayyid Yamani (Mufti Mekah dari madzhab Syafi’i). Di Mekah, beliau mempunyai teman diskusi yaitu KH. Kholil dari Bangkalan Madura (Syeikh Kholil), sedangkan di Madinah beliau berguru kepada Syeikh Umar Hamdan (seorang Muhadditsin dari madzhab Maliki).

Pada tahun 1933, beliau kembali ke tanah air dan langsung memimpin Pondok Pesantren Al-Falah Biru melanjutkan ayahanda bersama kakaknya KH. Bunyamin. Pesantren beliau mengembangkan berbagai disiplin ilmu keislaman seperti Tafsir, Hadis, Fiqh, dan Ushul Fiqh, Ilmu Tasawuf, Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, Badi’, Arud dan Maqulat.

Pada masa revolusi, beliau terjun dan bergabung dalam Hizbullah memimpin perlawanan terhadap penjajahan Belanda dengan mengkader para mujahid melalui khalwat. Pesantren Al-Falah Biru menjadi tidak aman dan menjadi sasaran musuh sehingga beliau memutuskan untuk mengungsi dan singgah di Cikalong (Wetan Purwakarta), Padalarang, Majenang (Jawa Tengah) dan Taraju (Tasik) dengan terus mengembangkan ilmu ditempat-tempat itu.

Dalam kehidupan politik dan organisasi, beliau beserta kyiai lain diantaranya KH. Mustafa Kamil mendirikan Organisasi al-Muwafaqoh sebagai wadah penyalur aspirasi umat islam untuk mengusir penjajah Belanda dan dipercaya sebagai ketua.

Pada tahun 1942, beliau bersama KH. Ahmad Sanusi (Sukabumi) mendirikan Persatuan Ulama, untuk mengikat ulama dalam satu wadah. Tahun 1951, organisasi ini berfungsi dengan Persyarikatan Umat Islam di Majalengka yang kemudian menjadi Persatuan Umat Islam (PUI).

Setelah kemerdekaan, tepatnya tahun 1945 beliau bergabung dengan Masyumi dan dipercaya menjadi anggota Majlis Syura dan kemudian aktif di PSII sebagai Ketua Masywi wilayah Jabar dan pada tahun 1967 atas ajakan keluarga dekatnya, KH. Badruzzaman masuk partai PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) duduk sebagai Majlis Tahkim.

Beliau mempelajari kitab-kitab yang membahas tarekat Tijaniyah yang diantaranya adalah kitab Jawahir al-Ma’ani yang disusun oleh Syeikh Ali harazim, Kitab Bughyah al-Mustafid yang disusun oleh Sayyid al-Arabi dan kitab al-Jaisyulkafil yang dikarang oleh Muhammad al-Sinqiti untuk selanjutnya mendiskusikan hasil Muthala’ahnya dengan Muqaddam Tarekat Tijaniyah yaitu Syeikh Utsman Dhomiri (salah satu Muqaddam Tarekat Jawa Barat), Syeikh Abbas Buntet Cirebon, KH. Sya’roni dari Jatibarang (Brebes Jawa Tengah) untuk selanjutnya beliau mengamalkan tarekat Tijaniyah dengan mendapatkan ijazah dari Syeikh Utsman Dhomiri.

Ketika beliau di Mekah, beliau mendalami ilmu tarekat Tijaniyah, salah satu tarekat Mu’tabarah dari Syeikh Ali at-Thayyib (Mufti Haramain dari madzhab Syafi’i) dan beliau diangkat sebagai Khalifah tarekat itu.

Peran dan Jasa Syaikhuna Badruzzaman bagi Agama, Bangsa dan Negara 
Cahaya keunggulan ilmu Syaikhuna Badruzzaman sudah terlihat sejak usia muda baik di Indonesia maupun Internasional beliau yang sering diundang untuk mengakhiri menuntaskan masalah hukum agama yang sangat sulit setelah dirembuk oleh para ulama besar lainnya yang tidak kunjung tuntas, tidak hanya bergelut dengan teori keilmuan belaka beliaupun mempraktekan ilmunya untuk merintis dan menyusun kekuatan lahir dan batin untuk mengusir para penjajah di bumi Indonesia sehingga beliau berhasil mengusir penjajah dengan baik walau tidak ada sejarahnya bambu runcing melawan senjata canggih, atas karya nyatanya yang sangat luar biasa-lah beliau di tunjuk para negarawan untuk melantik, menyumpah atau mengukuhkan presiden pertama NKRI (1950) di Istana Merdeka (Wawancara dengan Bapak Kosasih dari Yayasan Pejuang 45). ‎

Kampung kelahiran Syaikhuna Badruzzaman dan leluhurnya ‎

Syaikhuna Badruzzaman lahir di Pesantren Biru, Kec. Tarogong, Kab. Garut, putra dari KH. Raden Asnawi Muhammad Faqieh (Bani-Faqieh) bin KR Raden Bagus Muhammad Ro'ie (Ama Biru), sebelumnya bernama Emong dan biasa dipanggil adiknya bernama Naib (Wawancara dengan Bapak Ahmad). Dari silsilah yang tercatat secara turun-temurun beliau adalah keturunan ke-18 dari Sunan Gunung Djati – Cirebon (Wali Songo) dan keturunan ke-18 dari Prabu Siliwangi (Raja Padjadjaran) (Wawancara dengan Ibu Hj Aisyah). Beliau lahir tahun 1898 M dan wafat tahun 1972 M (Wawancara dengan Bapak Ahmad Biru). ‎

Pesantren Biru banyak menghasilkan sejarah yang patut di catat ditingkat lokal, nasional dan internasional khususnya dalam bidang agama dan perjuangan sebagai kebanggaan bangsa dan negara, khususnya suku Sunda. Biru didirikan tahun 1749 oleh Embah Pengulu (Embah Kyai Akmaluddin) penghulu Timbanganten/Garut dan menantunya Raden Kyai Fakaruddin dari Tanjung Singuru, Samarang-Garut (KH Aceng Imam Abdussalam, Sejarah Islam). 
Bila dirunut dari silsilah keturunan Biru adalah titisan darah dari : Ulama Tanjung Singuru – Samarang Garut, Penghulu Garut, Raja Garut, Raja Cirebon, Raja Pajajaran, Raja Kuningan, Raja Galuh, Raja Banten, Raja Majapahit, Raja Demak, Bangsawan Madura, Raja Bali, Saudi Arabia (N. Muhammad SAW), Raja Mesir, India, Raja Cina (Kaisar Yung Lo dari dinasti Ming). 
Pesantren Biru belum pernah di jajah akan tetapi di hormati, disegani dan di merdekakan oleh kolonial Belanda, seperti leluhurnya dari Tanjung Singuru, sehingga orang Biru bebas menuliskan sejarah bangsa Indonesia tanpa gubahan penjajah walau dilarang keras pada waktu itu dan sampai saat ini (2010) sejarah Biru masih bisa di lihat dalam bentuk tulisan dengan jelas baik dalam sejarah silsilah, pertalian darah, uratan serta kaitan pelaku sejarah dari mulai lokal, nasional dan internasional, karya KH. Imam Abdussalam Bandung yang belum dipublikasikan secara umum. 

Masa muda dan pendidikan Syaikhuna Badruzzaman 
Masa kecil Syaikhuna Badruzzaman tidaklah jauh berbeda dengan lainya beliaupun pernah main sepak bola bersama temanya dengan jeruk bali, kalau bola sudah dibawanya temanya menghindar sehingga bola masuk kegawang tanpa perlawanan "keun weh antep Aceng mah..." (Wawancara dengan Bapak Ahmad). Adapun masa pendidikan beliau hanya sebatas pengetahuan agama saja karena orang tuanya tidak mengijinkan untuk sekolah umum, keunggulan pengetahuan beliau sudah terlihat dari sejak kecil, bila sedang mengaji sering tertidur apabila ditanya gurunya bisa menjawab sehingga gurunya merasa heran, bila temanya sedang tidur dimalam hari beliau membawa lampu cempor sambil mutholaah kitab sendirian, sehingga diintip oleh orang tuanya dari bilik luar "Euleuh geuning itu si Emong keur ngapsahan kitab sorangan.." (Wawancara dengan Ibu Aisyah). ‎

Beliau berguru kepada hampir seluruh pesantren-pesantren yang ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Mekah dengan guru terkenalnya seperti KH. Raden Qurtubi Tarogong Garut, KH. Hsyim Asy'ari Tebuireng Jombang Jawa Timur, Syeikh Ali Al-Maliki guru besar Mekah dll. Oleh karena itu, biaya pendidikanya cukup besar sehingga sering orang tuanya merelakan menjual tanahnya untuk biaya sehari-hari di pesantren dan membeli kitab-kitab yang dibutuhkan (Wawancara dengan Ibu Aisyah).
Walaupun beliau dalam usia sangat muda tapi keilmuanya sudah cukup mapan mampu menyelesaikan permasalahan agama yang mustahil dan tidak mudah begitu saj a untuk diputuskan sehingga mendapat gelar "Syaikhuna Muda" karena mengungguli ulama-ulama besar lainya, beliau sering diundang untuk mengakhiri permasalahan yang masih diperdebatkan para ulama "Cing tah coba ka Biru, didinya aya budak nu letahan" (Wawancara dengan K. H. Engking). 

Syaikhuna Badruzzaman Memperjuangkan Kemerdekaan 
Masa perjuangan SBZ dengan penjajah menghabiskan waktu yang tidak sebentar, beliau dicurigai, diintai, difitnah bahkan dikejar oleh pemerintahan Belanda dari sejak usia muda (1911-1950M) walaupun bukan sebagai aktifis partai politik, sehingga beliau menghindar sambil tetap menyebarkan agama islam didaerah pengungsian seperti Majenang – Jawa Tengah, Taraju – Tasik Malaya dll, dengan sebab situasi seperti itulah beliau menginginkan kemerdekaan yang tujuan utamanya adalah tiada lain kecuali agar supaya umat islam bisa beribadah dengan tenang (Wawancara dengan Bapak Ahmad). ‎

Seandainya pada jaman penjajahan (1942-1945M) Jepang diceritakan kepada generasi muda tidak-lah mereka akan percaya, dimasa itu rakyat Indonesia seolah-olah ditelanjang, kelaparan dimana-mana, makanan susah didapat, celana karet, baju karung dan kadut, perut busung, raga tinggal tulang, bantal-kasur sampah dan rumput, begitulah yang bisa digambarkan oleh saksi hidup dijaman Jepang (Wawancara dengan Bapak H. Didi), sehingga SBZ menyindir kepada muridnya "Mana rasa syukurmu terhadap tuhan yang telah memberikan kemerdekaan?, dijaman Jepang kita ditelanjang sekarang pakaian asal kepakai!, mau seperti apa kelakuan-mu ?" (Wawancara dengan Bapak Ahmad). 
SBZ mulai membentuk batalion Hizbulloh di Jaman Jepang dengan membuat sistem kholwat dan pada tahun 1943 pasukan Hizbulloh berhasil menguasai logistik Jepang di kp. Malayu Samarang sehingga kunci logistiknya Hotel Malayu diserahkan oleh 8 utusan Jepang kepada SBZ, pada tahun 1945 dua tentara Jepang menyerahkan diri kepada SBZ dan diganti nama Abubakar dan Kholid, kemudian ditugaskan untuk melatih perang pasukan Hizbulloh oleh SBZ di pesantren, Abubakar ditangkap oleh Belanda dan dihukum mati pada tahun 1949 dan dimakamkan di Makam Pahlawan Tenjolaya Garut tahun 1975. Pesantren Al-Falah Biru di jaman Jepang mengalami puncak kejayaan, muridnya ratusan ribu sehingga Jepang menyebut Maha Radja kepada KH Faqih yang dibantu putranya KH. Badruzzaman karena Jepang melihat kehebatan pengaruhnya melebihi yang lainnya (Wawancara dengan Bapak H. Didi). 

Perjuangan Syaikhuna Badruzzaman Mempertahankan Kemerdekaan ‎

Perjuangan Bangsa Indonesia belum cukup hanya dengan memproklamirkan kemerdekaanya saja (1945M) akan tetapi masih adalagi tantangan yang harus dihadapi yaitu penjajah Belanda yang belum puas atas kemerdekaan Indonesia, sehingga para pejuang harus bersikeras dan bekerja lebih keras lagi untuk mempertahankan kemerdekaan-nya sehingga tidak terelakan bayarannya adalah cucuran darah, keringat dan air mata yang tidak sedikit hampir-hampir perjuanganya kandas diujung tanduk dan diserahkan kembali kepada penjajah atas ketidak berdayaan bangsa ini pada saat itu (Wawancara dengan Bapak Ahmad). 
Dalam situasi seperti ini beliau SBZ ikut ambil bagian dengan mengerahkan besar-besaran segala kekuatan lahir dan batin, pikiran dan perasaan, ilmu lahir dan goib, materil dan spiritual, tidak hanya berjuang sendirian beliaupun ikut menggembleng, memotivasi, menguatkan, menjamin keselamatan dan keamanan, bahkan berani membiayai dengan harta dan kekayaanya untuk ongkos kebutuhan akomodasi, transportasi dan logistik bagi para pejuang secara terus-menerus, setiap beliau melepas prajuritnya ke medan juang terlebih dahulu dikuatkan dan diuji secara fisik maupun batin, mental dan spiritual dengan standar kekuatan rata-rata minimum senjata tongkat kayu bisa menahan atau mengalahkan senjata brand, kanon, tank baja dan senjata canggih lainya. Beliau mengirimkan prajuritnya ke Bandung selama 3 bulan berturut-turut silih berganti 41 orang setiap berangkat dengan total 300 orang yang dikirim mampu membuat kabur tentara Belanda yang bersenjata lengkap dihalau dengan tongkat dan golok, SBZ hanya kehilangan satu orang prajurit yang dikirim ke Bandung, tidak hanya ke Bandung beliaupun mengirimkan prajuritnya yang sudah terlatih ketempat lain seperti Hijrah ke Jogya bersama TNI dan ke Madiun untuk mengamankan PKI (Wawancara dengan Bapak Ahmad). ‎

Dalam kondisi serba keterpurukan dan ketidak-berdayaan saat itu para perintis kemerdekaan bersikukuh tetap ingin merdeka kendatipun secara hitung¬hitungan dan kenyataanya tidak masuk akal bisa melawan tentara Belanda yang kuat persenjataanya dilawan dengan bambu-runcing (Wawancara dengan Bapak H. Ganda Natasadana), sehingga terbentuklah gagasan politik permainan perang saudara antara tentara islam (DI/T11) dan tentara nasional (TM) dengan kontrak kerja 15 tahun (1947-1962M) dengan tujuan utamanya adalah agar Indonesia tidak diambil alih kembali oleh asing baik Belanda, sekutu atau lainnya (Wawancara dengan Bapak Kosasih). Situasi politik di Jawa Barat saat itu tidak kondusif dan terjadi kekacauan dimana-mana di sebabkan banyaknya pejuang dengan beragam cara dan keinginan masing-masing yang tidak bisa dipadukan yaitu tiga kelompok DI-DI/TII, PKI, TNI, termasuk didalamnya adalah SBZ dan SM. Kartosuwiryo, PKI dan Ir. Sukarno. Sehingga SBZ pada waktu itu bergrilya dan pindah-pindah dari satu kampung ke kampung lain, antar kota dan propinsi hingga ke Arab Saudi dengan musuh utamanya Belanda dan PKI, ditambah ancaman dan fitnahan DI/TII sehingga TNI mencari dan mengejarnya dari Garut sampai ke Padalarang karena menganggap SBZ pimpinan gerombolan DI/TII, pada saat itu SBZ hams menghadapi musuh empat kelompok sekaligus luar dalam (Belanda, PKI, DI/TII dan TNI) dan akhimya beliau memutuskan untuk pergi ke luar negri dengan menyamar sebagai pencari kerja TKI ke Arab Saudi dengan menumpang kapal laut yang bernama Samardi di KTP-nya. Setelah kepergiannya ke Arab Saudi Garut dinyatakan aman oleh kolonel-kolonel Belanda karena dedengkot pimpinanya sudah tewas akan tetapi masyarakat ada yang percaya dan tidak (Wawancara dengan Ibu Aisyah). 

Perjuangan Syaikhuna Badruzzaman Menumpas DI/TII ‎

Pada permulaanya SBZ dan prajuritnya menggabungkan diri dengan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo di gunung, akan tetapi lama-kelamaan prajurit Kartosuwiryo memperlihatkan gejala yang tidak beres ditambah dengan disusupinya anggota PKI dari Madiun (1948M), rumah dibakar, harta rakyat dirampok, orang yang solat di tembak, ulama di sembelih dan terjadilah kekacauan di masyarakat, sehingga SBZ marah dan tidak setuju kepada tindakan SM. Kartosuwiryo dan menarik diri dari gunung dan menugaskan prajuritnya untuk hijrah ke Jogya bersama TNI. Dan sinilah SBZ diancam oleh DI/TII, PKI, TNI dan Belanda pada waktu bersamaan yang kemudian hijrah ke Arab Saudi yang pertama kalinya sekitar tahun 1949. Adapun pasukan Hizbulloh dibawah pimpinan SBZ dibubarkan di Ciheulang Bandung untuk kembali kerumah masing¬masing karena menurut beliau "Perjuangan sudah Surut". 
Setelah perjuangan Bangsa Indonesia selesai mengusir penjajah Belanda dan kemudian terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI ditahun 1950 M), situasi dan kondisi khususnya di Jawa Barat belum pulih aman sepenuhnya karena suhu politik masih dipengaruhi oleh perang saudara DI/TII, sisa-sisa PKI Madiun dan TNI, yang menggangu kenyamanan dan keamanan rakyat pada siang dan malam hari, siang diganggu Kombat (TNI) malam oleh gerombolan DI/TII, sebagian hasil panen rakyat harus diserahkan kepada gerombolan kalau ingin selamat, nasi yang sedang dimasak setengah matang (sangu gigih) dipaksa untuk diserahkan, tidak hanya harta benda yang dijarah, nyawa-pun banyak yang dibunuh dan disembelih, sehingga membuat rakyat mengungsi dari kampung halamnya untuk mencari tempat yang dikira aman bagi keluarganya (Wawancara dengan Bapak Zahid). ‎

Kemudian pada situasi tersebut pada tahun 1952 tokoh ulama Garut diundang secara paksa oleh SM. Kartosuwiryo untuk mengadakan perundingan pemegang jabatan MTH Kabupaten Garut dimana Syaikhuna Badruzzaman dan Ajengan Musaddad ditunjuk sebagai Hakim DI serta Ajengan Yusuf Taujiri dan Ajengan Abdul Malik ditunjuk sebagai Bupati DI yang kesemuanya menolak secara halus. Setelah perundingan tersebut Syaikhuna Badruzzaman diamankan dan diberangkatkan ke Mekah oleh Muhammad Natsir karena situasi semakin gawat antara DI/TII dan TNI. Adapun Ajengan Musaddad pindah ke Yogyakarta, Ajengan Abdul Malik ke Bandung, Ajengan Yusuf Taujiri tetap di Wanaraja dan membentuk Pasukan Darussalam (K. H. Muhammad Nenggang, 2010). Setelah SBZ berangkat ke Arab Saudi penjarahan, perusakan, penculikan dan pembunuhan masih dilakukan gerombolan DI/TII, SBZ dijadikan sebagai objek fitnahan yang dituduh suka membunuh dan tinggal di gunung bersama komplotan gerombolan DI/TII Kartosuwiryo padahal jauh dari sangkaan itu Wawancara dengan Bapak Ahmad). 

Perjuangan Syaikhuna Badruzzaman Menetang PM 
Keberadaan ideologi atau faham aliran PKI di Indonesia selalu berujung pada pertumpahan darah dengan cara yang keji, kejam dan tidak mempunyai rasa kemanusiaan yang sasarannya untuk menghabisi para agamawan dan simpatisannya terlebih dari kalangan agama islam, perjuangan PKI dimulai dari pemberontakan PKI Madiun, DPTII-PKI dan berujung dengan gerakan G30S/PKI, sehingga tidaklah pantas memberikan peluang kembali atas munculnya ideologi tersebut mengingat mayoritas agama bangsa Indonesia 90 persen menganut kepercayaan agama Islam dan tindakannya tidak berprikemanusiaan. 
Peran SBZ dalam menumpas PKI adalah beliau mengirimkan prajurit Hizbulloh-Sabilillah-nya ke Madiun bersama TNI Siliwangi untuk mengamankan pemberontakan PKI di Madiun 1948 M, tidak cukup sampai disitu beliau-pun ikut menggagalkan terbongkarnya G30S/PKI (1965M) walaupun kondisi saat itu PKI sudah menguasai partai-partai politik, organisasi-organisasi tennasuk petani dan buruh pabrik di seluruh Indonesia. Jauh-jauh sebelum terjadi G30S/PKI beliau sudah mengetahuinya dan segera menyebarkan do'a kepada muridnya, mempraktikan ilmu kewalianya untuk menghindari banjir darah di kalangan rakyat yang tidak berdosa sehingga gagal-lah kudeta PKI (Wawancara dengan Bapak Ateng). Atas terbongkarnya G30S/PKI ini maka yang diuntungkan adalah kolonel Soeharto bukan berarti beliau sebagai pelaku utamanya. 

Peran Syaikhuna Badruzzaman pada Masa Orde Baru 
Pada usia lanjut beliau Syaikhuna Badruzzaman tetap konsisten mengorbankan jiwa dan raganya untuk kepentingan umat, tanpa kenal lelah dan pamrih dengan sedikit istirahat dan tidur, tidurnya-pun masih berfikir dan bekerja seperti yang sering terdengar mengobrol dengan seseorang yang masih bisa dijadikan sumber ilmu dan catatan bagi murid yang sedang memijitnya. Kebiasaanya menelaah kitab terus menerus, mengamalkan ilmunya, membimbing, meladeni dan mengajar bagi siapapun anak, tua, muda dan para ulama baik dan Garut ataupun wilayah Jawa Barat lainya. Tiada hari tanpa pengajian siang dan malam diisi dengan pengajian terus menerus disamping menyebarkan ajaran Tarekat Tijani-nya yang hingga sekarang perkembanganya sudah mencapai kurang lebih 50 ribu pengikut ajaran Tarekat Tijani di daerah Garut belum termasuk muridnya yang tersebar di wilayah Jawa Barat lainya,

Dalam mengembangkan tarekat Tijaniyah, beliau mengangkat beberapa wakilnya di beberapa daerah diantaranya KH. Mukhtar Gozali di Pondok Pesantren Al-Falah, KH. Ma'mun, tokoh masyarakat dan ulama di Samarang (Garut), KH. Endung (Ulama di Cioyod-Cibodas Garut), KH. Imam Abdussalam (Ulama dan Pimpinan Pondok Pesantren Daru al-Falihin Ciheulang Bandung), KH. Mahmud (Ulama di Padalarang Bandung) dan KH. Fariqi (Ulama di Pekalongan Jawa Tengah).

KH. Badruzzaman masih sempat menyusun karya ilmiah dalam berbagai bidang disiplin ilmu ke-islaman, diantaranya Risalah Tauhid dan Allohu Robbuna (Bidang Tauhid); Kaifiyat Shalat, Kaifiyat Wudhu (bidang Fiqih) yang mana kedua buku tersebut berdasarkan Fiqih Madzhab Syafi'i, selain itu beliau juga menyusun Nadhom Taqrib dan memberi Sarah Safinatun Naja karya Syekh Nawawi al-Bantani; Risalah ilmu Nahwu, Risalah Ilmu Saraf, Nadhom Jurumiah (Bidang Nahwu Sharaf); dan beliau menyusun ilmu Bayan dalam bentuk Nadhom; Serta Siklus Sunni (bidang Tashawuf).

Beliau wafat pada awal tahun 1972 tepatnya pada tanggal 3 Ramadhan 1390 H dalam usia sekitar 72 tahun dan dimakamkan di samping Pondok Pesantren al-Falah Biru Garut.‎

Sejarah Pesantren Balerante Cirebon


Pondok Pesantren Al-Jauhariyah adalah salah satu Pesantren tertua di Cirebon, Jawa Barat. Pesantren tersebut dulunya hanya bernama Pesantren Balerante (Pesantren yang terletak di Desa Balerante).

Sumber informasi secara lisan dari kiai-kiai sepuh diperoleh kesimpulan bahwa pesantren Balerante ada pada masa Sultan Matangaji (Pangeran Syafiuddin) Sultan Sepuh V (menjabat 1774-1784), hal ini disebabkan keberadaan pesantren tak lain atas instruksi sang-Sultan. Dengan demikian  perkiraan pesantren Balerante ada pada tahun antara 1774-1784 ini, adapun pastinya wallahu a'lam. Menurut K.H.R. Anom Kusumajati,  cucu Kiai Jauhar Balerante mengatakan bahwa Sultan Matangaji memerintahkan seorang pejabat keagamaan (ulama besar kesultananan) yang bernama Pangeran Khalifah Raja (Syeikh Khalifah Raja) untuk berdakwah di suatu tempat bernama Jatiragas  yang kemudian bernama Balerante.

Menurut sejarah desa yang ditulis oleh aparat desa, bahwa di jatiragas terdapat kelompok agama Sang-hyang yang dipimpin oleh Ki Geden yang sakti tanpa tanding yang turun temurun memimpin selama berabad-abad sejak agama hindu-budha hidup di tanah sunda sampai beberapa ratus tahun sejak dakwah Sunan Gunung Jati, dan pengaruhnya begitu besar bagi masyarakat, mungkin salah satu alasan dikirim ulama ke daerah tersebut karena ini. Dan dalam  penuturan  buku ini mengatakan bahwa dakwah syeikh Khalifah Raja kurang berhasil. Menurut Kiai Anom Syeikh Khalifah Raja memiliki putra bernama Kiai Idris, tetapi beliau tidak lama tinggal di jatiragas. Menurut buku dari pihak desa kemudian memerintahkan Syeikh Romli sebagai misi dakwah kedua, sosok Syeikh  Romli tidak jauh berbeda dari Syeikh Khalifah Raja, seorang yang alim dan memiliki ilmu dhohir dan bathin. Hal  ini penting dan masuk akal untuk menghadapi dakwah yang berat, kiai Romli kemudian menyamar menjadi orang biasa dan menyampaikan ajaran agama dengan pendekatan yang baik, sampai kemudian masyarakat banyak perpindah mengikuti kiai Romli dan Ki Gedeng merasa terpinggirkan. Kemudian Kiai Romli mendirikan musholla sebagai tempat mengaji dan tempat tinggal. Kita tidak membayangkan keadaan dahulu dengan pesantren di zaman sekarang. Pada zaman dulu keadaannya sangat sederhana, mungkin dapat kita bayangkan seperti padepokan, Syeikh Khalifah Raja kemudian Syeikh Romli mengajarkan ilmu-ilmu syariat, tauhid, al-Qur'an, pancak silat dan kedikjayaan serta Tasawuf/tarekat. Menurut Kiai Anom, pada zaman dahulu dikembangkan jurus-jurus silat oleh Kiai dan santri yang dikenal dengan 'jurus balerante', sehingga sejak zaman dahulu dikenal Pesantren Balerante sebagai Pesantren Kedikjayaan dan Pesantren Tasawuf.

Syeikh Romli bin Kiai Nursijan adalah keturunan ke-6 dari tokoh penyebar Islam di Depok-Cirebon yaitu Syeikh Pasiraga (Pangeran Pasiraga), dan Syeikh Pasiraga adalah cucu dari Syeikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Dari sini dapat dijelaskan mengapa Syeikh Romli memiliki peranan di Keraton Cirebon. Menurut penuturan Kiai Said Yaman putra Kiai Jauhar, bahwa Syeikh Romli adalah 'orang pelarian' dari kraton Cirebon, hal ini karena pengaruh budaya barat (yang tidak Islami) oleh Belanda ke dalam kraton sudah begitu dalam sehingga beberapa orang 'gerah' dan ingin melarikan diri bahkan melepaskan identitas kebangsawanannya menjadi orang biasa, melanjutkan misi dakwah Sunan Gunung Jati ke daerah-daerah pelosok.  Pada saat bersamaan pihak penguasa sang Sultan dikenal sangat cinta dengan agama, sehingga  pada masa pemerintahan beliau agama benar-benar  digalakkan terutama mengirimkan ulama-ulama untuk dakwah di daerah yang masih belum tersentuh nilai Islami, sehingga keadaan ini menguatkan keadaan Kiai Romli untuk berdakwah di desa Balerante yang dikenal banyak pengikut kejawennya. Alasan lain berkaitan dengan perlawanan terhadap belanda, sehingga peranan pesantren bukan saja pada bidang keagamaan tetapi juga pada perjuangan mengusir penjajahan. Menurut Kiai Ali Fahmi, Syeikh Romli ikut berperan pada perang kedongdong yang terjadi kurang lebih pada tahun 1816-1818.

Walaupun pendiri awal dakwah Islam atau pesantren adalah Syeikh Khalifah Raja, tetapi yang kemudian menurunkan generasi Kiai-kiai berikutnya adalah Syeikh Romli, sehingga Syeikh Romli dikenal sebagai pendiri pertama pesantren Balerante.
Oleh para pendahulunya Pesantren Balerante dijadikan suatu pusat penempaan dalam pendalaman ilmu, baik ilmu lahir maupun bathin. Penempaan ilmu thoriqoh adalah merupakan tujuan akhir setelah para santri diberi pembekalan masalah ilmu syari’at dengan berbagai macam didalamnya.

Pesantren Balerante di dirikan pada tahun 1779 M. oleh KH. Romli atau Ki Buyut Romli, beliau adalah salah seorang keturunan dari Kasultanan Kasepuhan Cirebon.

Gambaran Umum Periode Pesantren Balerante Awal

Tokoh Ulama                                                 Tokoh Yang Dikenal Sejarah

Syeikh Khalifah Raja                                     Sultan Matangaji (1774-1784)

Kiai Idris

Syeikh Romli

K.H. Muhammad Nur bin Romli  dan
K.H. Abdul Majid bin Romli                               Pangeran Syeikh Arifudin Bratawirya                                                                                                      (Guru Tarekat Sattariyah
                                                                             Kiai Abdul Majid) menjabat
                                                                             mursyid Peguron
                                                                             Keprabon Kesultanan Cirebon                                                                                                               1838-1878
                                                                                                     
K.H. Muhammad Jauhar Arifin (1870-1941/1942)
Setelah Kiai Romli wafat pesantren diteruskan oleh kedua putranya, yaitu Kiai Muhammad Nur dan Kiai Abdul Majid. Tidak ada informasi yang lengkap tentang beliau, yang jelas pada masa ini melanjutkan kepemimpinan pesantren. Dari Informasi yang diterima penulis oleh Kiai Anom bahwa guru tarekat Sattariah Kiai Abdul Majid adalah Pangeran Arifuddin dan pangeran Arifuddin dari Pangeran Sofiuddin. Penulis dengan tidak sengaja menemukan kecocokan data ini dari sumber  Peguron Keprabon (Pesantren Kraton Cirebon, sebagai pesantren tertua di cirebon yang didirikan pada tahun 1696 M  oleh Pangeran Raja Adipati Keprabon) berikut sanadnya :
1. Syyaidina Nabi Muhammad SAW
2. Syyaidina Ali Karromallahu bin abi thalib
3. Syyaidina Imam Husein bin Ali RA
4. Syyaid Imam Muhammad Al-baqir
5. Sayyid Imam Ja'far ash Shadiq
6. Syaikh Abu Yazid al bustomi
7. Syaikh Maghrobi
8. Syaikh Arobiyi
9. Syaikh Mudloffar
10.Syaikh Abu Hanail al-harqoni
11.Syaikh khad Koniyi
12.Syaikh Muhammad Asyiq
13.Syaikh Muhammad Arif
14.Syaikh Abdullah As Syyatar
15.Syaikh Imam Qodli Syatari
16.Syaikh Hidayatullah Syaikh Kutubi Modari Haji
17.Syaikh Muhammad Ghaus
18.Syaikh Qudratul Ulama
19.Syaikh Sultonul Arifin
20.Syaikh Ahmad bin Quraisy Asy Syanawi
21.Syaikh Alimur Robbaniyi
22.Syaikh Khotib Qubbatul Islam
23.Syaikh Abdul Wahab
24.Syaikh Imam Tobri al-makki
25.Syaikh Abdullah bin Abdul Qohar
26.Syaikh Haji Muhammad bin Muktasim
27.Syaikh Imam Qodli Hidayat
28.Pangeran Syaikh Muhammad Shofiyyudin Kanoman
29.Pangeran Syaikh Muhammad Arifudin Bratawireja Kaprabonan (menjadi mursyid 1838-1878)
(Pangeran Arifudin Kusumabratawireja)

Diketahui bahwa anak-anak Kiai Muhammad Nur semuanya adalah perempuan, walaupun beliau sebagai pemimpin Pesantren karena anak tertua, beliau menyerahkan pesantren kepada adiknya yaitu Kiai Abdul Majid dan keturunannya.
Putra-putri Kiai Abdul Majid yang penulis catat dan peroleh dari Nyai H. Ruqoyyah binti K.H. Sarqowi adalah : Kiai Jawahir, Haji Dul, Hj. Maemun, Nyai Widah, Nyai Muksinah, K.H. Muhammad Jauharul Arifin dan Nyai Rumilah. Dari semua putra-putri  Kiai Abdul Majid yang paling menonjol dalam segala hal, baik dalam keilmuan, ketokohan dan peranannya adalah Kiai Muhammad Jauharul  Arifin, sehingga masa keemasan pesantren Balerante ini terjadi pada masanya.‎

Sepeninggal KH. Jauharul Arifin kepemimpinan Pesantren dilanjutkan oleh Putra Pertamanya yang bernama KH. Ridhwan Jauhar, sampai tahun 1975 M. dan dilanjutkan oleh adiknya yang bernama KH. Amin Jauhar hingga tahun 1982 M. Kemudian dilanjutkan oleh adiknya yang mempunyai nama asli Husein Al-Habsi sebelum kemudian nama beliau diganti di Makkah dengan nama KH. Abdulah Bafaqih atau lebih dikenal dengan nama KH. Faqih Jauhar hingga tahun 2001 M.   Sepeninggal KH. Faqih Jauhar, pengasuhan Pondok Pesantren Al-Jauhariyah dipimpin oleh putranya yang bernama KH. Muhammad Faqih Jauhar hingga saat ini.

MENGENAL TOKOH UTAMA ULAMA PONDOK PESANTREN BALERANTE (PP. AL-JAUHARIYAH) pada masa setelah Kiai Abdul Majid :

Syeikh Ahmad Masduqi al-Muqri (wafat 1935 M)

al-'Allamah Kiai Masduqi Balerante begitu dikenal pada masanya, karena kealimannya dalam banyak bidang agama. Beliau berasal dari daerah garut, kemudian mengembara mencari ilmu sampai di tanah Hejaz (Makkah-Madinah) dan berguru kepada ulama-ulama besar di sana. Dalam Risalahnya tentang Tajwid Syeikh Muqri diutarakan nama guru-guru beliau, yaitu :

-Syeikh Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatho (Syeikh Sayyid Bakri), yang dikenal dengan Syeikh Masyayikh (guru besarnya guru besar)

-Syeikh Muhammad Minsyawi al-Misri  disebut Syekh al-Muqri  (guru besar qiraat, terutama qiraat Imam Ashim), syeikh Masduqi mendapat gelar al-Qori, termasuk segelintir orang Jawa atau Indonesia yang mengaji kepada beliau dan mendapat gelar Qori'. 

-Syeikh Nahrowi

dalam Risalahnya pula menyebut  Syeikh Abdul Syukur

Karya Tulis :
-Risalah Tajwid Syeikh al-Muqri, diterbitkan oleh percetakan Ali Aidrus, pasar senen, Batavia (Jakarta)

- Tafsir al-Qur'an (teks ada pada cucu Syeikh Masduqi, dikabarkan terdapat 14 jilid)

Beliau seguru dengan ulama Jawa lainnya yaitu Syeikh Mahfudz al- Tarmasi kepada syeikh Muhammad Minsyawi dan Syeikh Sayyid Bakri  dan disana pernah menjadi guru di Makkah.‎
K.H. MUHAMMAD JAUHARUL ARIFIN (wafat 1941/1942 M)

Kepopuleran Kiai Jauhar disejajarkan dengan tokoh Kiai Besar pada masanya. Ini terbukti bahwa beliau pernah berguru di Tanah Suci Makkah bersama teman-temannya antara lain : Abdul Wahab Hasbullah Jombang, Hasyim Ays’ari Jombang, Bagir Yogjakarta, dan lain-lain. Bersama teman-teman beliau inilah KH. Jauhar Arifin belajar di tanah suci kepada ulama-ulama besar Makkah diantaranya adalah As-Syekh Mahfudz bin Abdillah At-Tarmasi Al-Makki penyusun Kitab Mauhibah Dzil Fadhol dan Manhaj Dzawin Nazhor yang hampir dipelajari oleh setiap santri di seluruh Indonesia, Asia Tenggara dan Negara-negara lain.

Pada masyarakat Cirebon dan sekitarnya melihat sosok Kiai Jauhar lebih banyak pada hal supranatural (Khorikul Adat), setiap kali penulis bertemu dengan ustadz atau kiai yang mengenal dari kakek-kakek mereka atau yang pernah berguru kepada beliau menceritakan keanehan supranatural Kiai Jauhar.

Aktivitas istikomah Kiai Jauhar disamping ibadah, mengajar adalah menulis, tulisannya sangat banyak dan pada generasi berikutnya tidak terawat sehingga hanya tersisa satu Risalah yang berjudul Risalah Sabilil Huda Fi al-Jumuah Wa Fi al-Roddi Ala Man Manaa al-Muadah, dicetak pertama di pekalongan dan kedua di tasikmalaya dan mendapat pengantar (takhqiq) dari Syeikh Mahmud Abdul Jawad, ulama pengajar di Masjid Nabawi Madinah. Tulisan ini ditulis dengan bahasa arab yang berisi hujjah akan muadah (Sholat Dzuhur setelah Sholat Jum’at) jika terjadi terbilangnya (dua atau lebih) masjid sholat jumat dalam satu balad, dan keutamaan hari dan malam jumat. Kepakaran Kiai Jauhar adalah di bidang Ushul Fiqih dan Mantiq (logika).

Nama guru-guru beliau di Makkah dan Madinah sebagaimana diutarakan oleh Kiai Said Yamani adalah:

-   Syeikh Muhammad Amin
-   Syeikh Muhammad Ridwan al-Madani, disebut syeikh Dalail al-Khairat
-   Syeikh Said Ali Al-Yamani
-   Syeikh Mahfudz bin Abdillah al-Tirmasi al-Makki

Nama-nama guru beliau ini dijadikan nama untuk anak-anak beliau.

Murid-murid beliau sangat banyak, terutama para kiai yang sekarang menjadi kiai sepuh di Jawa Barat, diantaranya :

1.       K.H.Amin Sepuh, Babakan Ciwaringin(pernah menjadi lurah santri)
2.       K.H. Hasbullah, Winong Gempol Ciebon
3.       K.H. Habib Syeikh, Jagasatru Kota Cirebon
4.       K.H.Syatori, Arjawinangun Cirebon
5.       K.H. Abdullah, Marageni Tegalgubug Cirebon
6.       KH. Amir, Lumpur Losari Cirebon
7.       KH.Badruzzaman, Mama Biru Tarogong Garut
8.       KH. Muhyiddin, Jambu Dipa Cianjur
9.       KH. Asikin, Malausma Majalengka
10.     KH. Khotib, Ancaran Kuningan 11.  KH. Mama Amilin (H. Abdul Jabbar), Garut

Menurut informasi dari salah satu Kiai Sepuh di Cirebon menceritakan bahwa santri-santri cirebon dan sekitarnya setelah mesantren pada Kiai Cholil Bangkalan Madura, mereka diamanati untuk tetap mengaji kepada Kiai Jauhar Balerante Cirebon, sehingga walaupun mereka sudah menjadi kiai yang alim di daerahnya, mereka tetap ngaji mingguan kepada Kiai Jauhar. Hal ini menunjukkan tingginya keilmuan beliau di antara kiai-kiai Cirebon pada masanya.

K.H Muhammad Kholil Nawawi (Wafat tahun 1955)

Kiai Kholil balerante adalah ulama pejuang yang ikut dalam grilya melawan penjajah Belanda, masuk keluar hutan dan terlibat langsung dengan peperangan. Beliau berasal dari sindang laut Cirebon dan menjadi menantu Kiai Jauhar Arifin dan pada akhir usianya beliau mempropagandakan NU, sehingga beliaulah seorang ulama yang meng NU kan Cirebon sebagai Partai Politik waktu itu.

Guru Beliau :
Syeikh Mahfudz Termas
Syeikh Ahmad Masduqi al-Muqri Balerante, waktu di Makkah dan di Cirebon
Al-Jauhariyah adalah salah satu Nama pesantren tertua di deretan tanah cirebon yang masih tetap bertahan di tengah gempuran era globalisasi zaman yg terletak di wilayah pantura kab.Cirebon Pesantren Al-Jauhariyah ini telah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka dan sangat berperan dalam syiar islam Dari sekian banyak pondok pesantren yang ada dan mempertahankan ciri khasnya adalah,pondok pesantren Al Jauhariyah Balerante Palimanan Cirebon yang di asuh oleh Kami KH.Muhammad Faqih Jauhar
Pesantren ini didirikan sekitar abad 17,namun sampai skarang Alhamdulillah masih tetap eksis,sepeninggal kake dan ayah handa mendiang KH.Abdulloh Bafaqih dan KH.Jauhar Arifin. Dari keluarga pondok pesantren Al Jauhariyah (KH.Muhammad Faqih Jauhar) yang di beri amanah oleh ayah handa beliau untuk mengembangkan pesantren Al-Jauhariyah ini.‎
Guna memajukan pesantren sengaja membuka akses keberbagai kalangan guna bisa memberi prubahan dan ide ide segar untuk menumbuhkembangkan lembaga pendidikan agar lebih baik Awalnya pondok pesantren Al-Jauhariyah ini dikenal dengan nama pondok pesantren Balerante,namun stelah perang kemerdekaan Kami selaku keluarga dari pondok pesantren Al-Jauhariyah menambahkn nama Jauhariyah yang di ambil dari nama pengasuh generasi ke lima yaitu kake handa KH. Jauhar Arifin dengan tidak bermaksud membuang nama Balerante yang telah melegenda,nama ini tetap Kami mempertahankan hingga kini dikenal dengan nama pondok pesantren Al-Jauhariyah Balerante.‎
Sistem pembelajaran, masih menerapkn sistem klasikal kitab kitab kuning serta tradisi layaknya pesantren lainnya‎
Exstra program pembelajaran di pondok Al-Jauhariyah yang Kami asuh ini adalah pembeljaran Ilmu Hikmah dan Thoriqoh Syathoriyah,agar pondok pesantren Al-Jauhariyah balerante dapat melahirkn alumni alumni yang memiliki moralitas luhur( brakhlakul karimah)sehingga,ketika terjun di masyrakat apapun profesinya tetap mengedepankan akhlaq,itu yang sangat Kami harpkan dari yang Kami asuh

Pengasuh pondok pesantren Al-Jauhariyah
KH Muhammad Faqih Jauhar bin KH.Abdulloh Bafaqih bin KH.Jauhar Arifin bin K. Abdul Majid bin K.Rumli bin P.Nursizan bin P.Pantar bin P.Dasim bin P.Kamal bin P.Masdar bin Ny Jangkep(istri wira adipati Anom) binti Buyut Pasiraga bin P.Amangkurat bin Sulthon Auliya Syaikh Syarif Hidayatulloh bin Syarif Abdulloh(Sulthon Hut mesir)bin Ali Nurul Ilmi bin Imam Jamaluddin Husen bin Ahmad Syat Jalal bin Abdulloh Khon bin Amir Abdul Malik bin Alawy Amm Alfaqih binMuhammad Shohibul Marobath bin Ali Kholi'i Qosim bin Alawi bin Muhammad bin Alawy bin Ubaedillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa Al Bishri bin Muhammad bin Ali arridli bin Ja'far Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husaen bin Fathimah Azzahra binti Rasulillah Muhammad saw. ‎‎

Sejarah Pesantren Condong Tasikmalaya


Pondok Pesantren Riyadlul Ulum Wadda'wah Condong Rt.01 Rw.04 Setianegara Cibeureum Kode Pos 46196 Kota Tasikmalaya Jawa Barat

Pesantren Riyadhul Ulum ini lokasinya di Cibeureum, Kota Tasikmalaya. Atau sekitar 6 kilomneter dari pusat Kota Tasikmalaya. Pesantren ini  termasuk salah satu pesantren tertua di Indonesia karena berdiri pada tahun 1864.‎

Pendirinya adalah  KH. Nawawi dari Rajapolah. Sedangkan tanah untuk membangun pesantren adalah pemberian Pangeran Cornell seluas 500 tumbak (7.000 meter persegi). Pangeran Cornell adalah penguasa Kerajaan Sumedang Larang. Saat itu memang Tasikmalaya  di bawah kekuasaan Sumedang.

Sampai saat ini surat-surat pemberian tanah dari Pangeran Cornell masih tersimpan dengan baik. Dalam perkembangannya pesantren ini merupakan pesantren besar di Kota Tasikmalaya dengan luas lahan  5,5 hektare. Selain mengadakan pengajian kitab kuning. Pesantren ini juga memiliki lembaga pendidikan formal dari SD Sampai SLTA.

Pesantren tertua di Tasikmalaya yaitu pesantren Condong. Pesantren Condong ini melahirkan banyak sekali ulama kharismatik di Tasikmalaya, salah satu satunya adalah Mama Oot Almarhum yang merupakan pendiri Pondok Pesantren Pereng di Kalapa Genep, Cikalong, Tasikmalaya. Oleh karena itu, saya punya i'tikad ingin berbagi informasi tentang Pesantren Tertua yang dulu memiliki peran yang besar dalam berpastisifasi memperluas ajaran Islam di Tasikmalaya.‎

I. Condong Lama

Fase Condong lama dimulai sejak berdirinya Pondok Pesantren Condong sekitar abad ke-18 sampai dibukanya pendidikan formal di lembaga pendidikan ini. Dalam fase ini, Pesantren memberlakukan sistem pendidikan klasikal yang mengkhususkan diri pada pengajian kitab-kitab klasik ulama-ulama terdahulu. Dimulai dari dibukanya pondok oleh seorang ulama terkenal dari Rajapolah, KH. Nawawi sampai meninggalnya KH. Hasan Muhammad yang merupakan generasi keempat dari Pondok Pesantren Condong. 

Generasi Pertama: KH. Nawawi

Kiprah Pesantren Condong dalam upaya mengembangkan masyarakat melalui pendidikan dan dakwah, diawali dari kedatangan santri bernama Anwi/Nawawi. Beliau berasal dari Sukaruas Rajapolah. Menikah dengan salah seorang puteri gurunya KH. Badaruddin dari Sindangkasih bernama Nyai Latifah. KH. Badaruddin sendiri adalah seorang pendatang dari daerah Cirebon yang konon memiliki kecerdasan hafalan kitab fiqh Fathul Wahab karangan Syaikhul Islam Abi Yahya Zakaria al-Anshori. 

Atas petunjuk KH. Badaruddin-lah beliau mendirikan pesantren di kampung Condong (tepatnya berada di palang pintu spoor/rel kereta api saat ini). Pada awal pendirian pesantren, beliau tidak memberikan nama untuk pesantren tersebut. Tetapi pesantren itu dikenal dengan nama kampung dimana pesantren itu berdiri, yaitu Kampung Condong. Maka pesantren tersebut oleh masyarakat dan santrinya dinamakan Pondok Pesantren Condong. Pesantren ini berdiri sekitar abad ke-18 Masehi, sebelum pembangunan spoor/rel kereta api pada pemerintahan Hindia Belanda. 

KH. Anwi dikaruniai 3 orang putra yaitu KH. Adra’I (Muhammad Arif), Nyai Emehwati dan Eyang Ento. Dalam menjalankan kepemimpinan pesantren ia dibantu oleh anaknya KH. Adra’I. KH. Adra’I pernah mondok dan mendapatkan pendidikan agama di Jawa Timur tepatnya di daerah Pamekasan Madura pada seorang Kyai terkenal bernama Syaikhuna Kholil selama 4 tahun. Di pondok ini pernah mondok pendiri organisasi kemasyarakatan NU, KH. Hasyim Asy’ari. Setelah mukim beliau diberangkatkan oleh ayahnya ke tanah suci Mekkah. Di sana beliau sempat berguru kepada seorang ulama besar bernama Syaikh Ibrahim Bajuri, penulis kitab kuning klasik Bajuri, Sanusi dan Tijan. Beliau bermukim di Mekkah selama 7 tahun, dan merupakan salah seorang yang meminta tulisan risalah kepada Syaikh untuk dibawa pulang ke tanah air, seperti termaktub dalam kalimat: 

طلب مني بعض الإخوان أصلح الله لي ولهم الحال والشان أن أكتب رسالة تشتمل علي صفات المولي.

Sepulang dari tanah suci Mekkah, KH. Adra’I bermukin di Pesantren Condong membantu pengabdian ayahnya. 

Ketika pemerintahan Belanda membangun rel kereta api/spoor, pesantren Condong dipindahkan untuk keperluan pembangunan rel tersebut. Selanjutnya pondok tersebut berpindah ke sebuah lahan kosong berupa padang ilalang yang merupakan wakaf dari Embah Azidin seluas kurang lebih 4 ha. KH. Nawawi meninggal dunia dan dimakamkan di Gunung Suuk (daerah sekitar Lanud Wiriadinata).
 
Generasi Kedua: KH. Adra’i

Pada masa berikutnya kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh putranya yaitu KH. Adra’I (Arif Muhammad). Dari pernikahannya yang pertama dengan Nyai Apang beliau dikarunai anak H. Shobari, Syuja’I dan Eyoh. Sepeninggal isterinya ia menikah lagi dengan Nyai Natamirah. Untuk keberlangsungan kegiatan kepesantrenan, beliau mengamanatkannya kepada menantunya KH. Hasan Muhammad dari Nagarakasih. KH. Hasan Muhammad adalah cucu dari KH. Badaruddin. Dari pernikahan kedua KH. Adra’I dikaruniai 6 oran putra dan putri yaitu: Nyai Iti, KH. Abdullah, Endun, Muhammad Toha, Nyai Enyoh dan Nyai Juwe. KH. Adra’I sendiri pindah ke Sindangmulih dengan mendirikan pesantren di tempat tersebut. 
 
Pada masa kepemimpinan KH. Adra’I sendiri semasa hidupnya pernah diamanati Dalem Sumedang bernama Pangeran Kornel, dimana Tasikmalaya saat itu masuk wilayah Kabupaten Sumedang. Dalem Sumedang memberikan sejumlah uang sebesar 60 perak melalui KH. Jafar. Uang tersebut dibelikan sebidang tanah seluas 500 tumbuk dan diserahkan kepada KH. Adra’I. beliau wafat dan dikebumikan di Nagrog. 

Generasi Ketiga: KH. Hasan Muhammad

Generasi ketiga kepemimpinan pesantren diamanatkan kepada KH. Hasan Muhammad yang menikahi salah seorang putri KH. Adra’I bernama Eyoh Siti Ruqoyah. Bagi KH. Hasan Muhammad, KH. Adra’I adalah guru sekaligus mertua dan masih punya hubungan kerabat dengan cicitnya KH. Badaruddin. Dari pernikahannya, beliau dikaruniai 8 orang putra/putri, yaitu: Nyai Diyoh, Nyai Eneh,Hj. Erum, Nyai Noneng, Nyai Mamat, KH. Najmuddin, KH. Ma’mun dan Cucu Sukmariah. 
Dalam menjalankan dakwahnya, KH. Hasan Muhammad menerapkan pendekatan kultural dan berbaur dengan kebudayaan masyarakat sehingga hasilnya cukup memuaskan. 

Dalam kepemimpinannya KH. Hasan Muhammad dibantu oleh KH. Syuja’I, salah seorang iparnya yang konon memiliki kecerdasan ilmu hikmah dan pernah mengenyam pendidikan agama di Mekkah selama 9 tahun. Beliau wafat dan dimakamkan di pemakaman Pesantren Condong (samping Masjid Jami’). 

Generasi Keempat: KH. Damiri

Mengingat KH. Hasan Muhammad wafat dengan meninggalkan anaknya yang masih kecil, maka kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh Thohir yang dikenal dengan nama KH. Damiri. Beliau santri yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan KH. Hasan Muhammad dan menikahi salah satu putrinya yang bernama Hj. Erum. Dari perkawinannya beliau dikaruniai 9 orang putra yaitu Aj. Muhammad Sambas, H. Yusuf Affandi (alm), Ny. Nana Nahidah (alm), Ny, Nenoh, Ny. Memoh, Ny. Idoah, Ny. Juju Juariyah, Muhammad (alm), dan H. Abdullah. 

Dalam dakwahnya, KH. Damiri merupakan pelopor Madrasah Diniyah yang dikenal dengan nama Sekolah Diniyah. Dalam salah satu imtihan yang diadakan di madrasah ini pernah dihadiri oleh Bupati pertama Tasikmalaya; R.A.A Wiratanuningrat. KH. Damiri juga menerapkan metode Nadham dalam pengajaran diniah seperti dalam bidang Tauhid dan Fikih yang diambil dari intisari kitab Safitanun-Naja. 

Untuk selanjutnya kepemipinan pesantren diserahkan kepada KH. Najmuddin pada tahun 1933. KH. Damiri berkonsentrasi untuk mengelola Madrasah Diniyah. Beliau wafat dan dimakamkan di Pemakanan Pesantren Condong. 

II. Condong Baru

Fase Condong Baru dimulai dari diangkatnya ulama muda kharismatik KH. Najmuddin [Mama Mamu] sebagai pimpinan Pondok Pesantren Condong generasi kelima menggantikan KH. Damiri yang sebelumnya diangkat sebagai pimpinan pondok sementara. Pada fase ini, pondok mulai membuka pendidikan formal pada sistem pendidikannya dengan membuka MWB {Madrasah Wajib Belajar] yang kelanjutannya bertransformasi menjadi Madrasah Ibtidaiyah Condong. Selanjutnya pada kepemimpinan KH. Ma’mun diberlakukan sistem pendidikan terpadu dengan membuka SMP dan SMA Terpadu yang mengintegrasikan 3 sintesa kurikulum, yaitu: kurikulum Pesantren salafiyah, kurikulum Pesantren modern ala Pondok Modern Gontor dan kurikulum Departemen Pendidikan Nasional. Di fase ini pula cita-cita pondok Pesantren untuk merintis Ma’had Aly mulai terwujud dengan dibukanya Ma’had Aly pada tahun 2009. 

Generasi Kelima: KH. Najmuddin [1917-1986]

Dalam kepemimpinannya, KH. Najmuddin tampil sebagai ulama muda yang berusia 18 tahun. Beliau dilahirkan pada 1917. Pendidikan yang pernah ditempuhnya yaitu nyantri pada KH. Zaenal Abidin di Jamanis, Gunung Kawung Singaparna, Cisumur Garut, Sukaraja, Condong kemudian ke Pesantren Cikalang yang diasuh oleh KH. Bakri. Pendidikan yang beliau tempuh adalah Forpolh. KH. Najmuddin sering dikenal dengan Mama Mamu di kalangan santrinya dan merupakan ulama yang kharismatik. Beliau banyak mencetak kader yang mengikuti jejak perjuangannya dalam mengembangkan ilmu agama dan mendirikan pesantren di berbagai daerah khususnya Jawa Barat dan sekitarnya. 

KH. Najmuddin menikahi Hj. Onah Siti Ainah binti H. Abdullah yang meninggal pada tahun 1983. Pada tahun itu juga, beliau menikah lagi dengan Hj. Ai. Sayang, dari kedua isterinya beliau tidak mendapatka keturunan.

Kontribusi beliau bagi pendidikan masyarakat adalah dengan mendirikan MWB (Madrasah Wajib Belajar) dalam lingkungan pesantren guna mengimbangi pendidikan wajib belajar 6 tahun. MWB dikepalai oleh Aj. Muhammad Sambas yaitu salah satu kemenakannya. Pada selanjutnya MWB ini berkembang menjadi Madrasah Ibtidaiyah (MI) Condong. Pada masa beliau ini juga dibentuk sebuah yayasan yaitu Yayasan Tarbiyatul Islamiyah yang bertujuan untuk memperkuat kedudukan wakaf dan pengembangan pesantren dalam bidang dakwah dan pendidikan. KH. Najmuddin wafat pada tahun 1986 tepatnya 40 hari setelah reuni alumni Pesantren Condong yang pertama dalam usia 69 tahun.
 
Generasi Keenam: KH. Ma’mun [1920-…….]

Sepeninggal KH. Najmuddin pengelolaan pesantren dilanjutkan oleh adiknya bernama KH. Ma’mun. Beliau merupakan pemegang amanah pesantren ke-6 dari asal pendidirinya. KH. Ma’mun lahir tahun 1920 yang menikah dengan Hj. Oyom Maryam binti KH. Dimyati pendiri Pondok Pesantren Cintapada. Beliau dikaruniai 11 orang putra dan putri yaitu: Hj. Nunung Nuroniah, Ny. Ukah Mulkah, Ny. Iin Inqiadah, Aj. Diding Darul Falah, Aj. Ade Diar Hasani, Usth. Euis Robiatul Adawiyah, Ny. Dedeh Mahmudah, Ust. Drs. Mahmud Farid, Ny. Neni Nurhamidah, Usth. Entin Suryatin, dan Ust. Drs. Endang Rahmat. 

KH. Ma’mun memiliki latar belakang pendidikan pesantren, di Pesantren Condong, Rawa Singaparna pada Ajengan Izuddin, Sukaraja pada Ajengan Aceng Endi, Jamanis pada KH. Zaenal Abidin (1939), Cikalang pada KH. Bakri (1941), Sumur Nangsuk Mangkubumi (1944) bertepatan dengan pemberontakan Sukamanah oleh KHZ. Musthopa). Bermukim di Pesantren Condong pada tahun 1944 yang bersama-sama dengan kakaknya mengembangkan pesantren ini. Sedangkan pendidikan formalnya ditempuh di Sekolah Forpolh, KLPSGB (1959). KH. Ma’mun diangkat menjadi guru pemerintah tahun 1960.

Kiprahnya dalam pengembangan pesantren adalah menerapkan pendidikan bahasa yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris yang dibantu oleh anak dan cucunya yaitu: Ustadz Drs. Mahmud Farid, Ustadz Drs. Endang Rahmat dan Ustadz Mamin.

Pada tahun 2001, Pondok Pesantren Condong menyelenggarakan pendidikan formal setingkat SMP. Selanjutnya pada tahun 2004 dibuka lembaga pendidikan tingkat SMA. Pendidikan dan pengajaran di SMP-SMA Terpadu ini merupakan perpaduan antara tiga sintesa kurikulum; yaitu, kurikulum pesantren salaf, kurikulum Pesantren modern ala Pondok Modern Darussalam Gontor Gontor dan kurikulum yang bersumber dari Departemen Pendidikan Nasional yang mengutamakan keseimbangan iman, ilmu dan amal. 

Pada tahun 2009, Pondok Pesantren Condong membuka pendidikan Pesantren tingkat Ma’had Aly yang merupakan kelanjutan dari sistem pembelajaran 6 tahun di SMP-SMA Terpadu. Ma’had Aly ini didesain untuk mencetak kader-kader ulama yang bertafaquh fiddin dan siap berdakwah di masyarakat.

Dalam mengelola pesantren ini, KH. Ma’mun dibantu oleh pengasuh dan pendidikan dari berbagai latar berlakang pendidikan yang berbeda yaitu: alumni pesantren salaf, Pondok Modern Darussalam Gontor dan alumni perguruan tinggi negeri dan swasta. 

Cita-cita KH. Ma’mun dalam mengembangkan pesantren ini adalah mewujudkan pendidikan pesantren sampai ke jenjang Perguruan Tinggi dan Ma’had ‘Aly secara terpadu dengan harapan alumni pesantren nantinya mampu berdakwah sesuai perkembangan zaman. 
Kerusuhan Tasikmalaya [1996]
 
Dari proses pendidikan pesantren yang tidak intergral (terpadu) dalam arti di satu sisi mereka sekolah di luar pesantren dan di sisi lain mereka sebagai santri mengakibatkan hasil pendidikan tidak optimal. Pendidikan Pesantren diasumsikan sebagai pelengkap saja. Negatifnya dari praktek pendidikan semacam ini berimplikasi pada pembawaan budaya luar ke dalam pesantren yang tidak sesuai dengan etika kepesantrenan. Salah satu tragedi kerusuhan Tasikmalaya (26 Desember 1996) adalah musibah yang dilatarbelakangi hal tersebut di atas, sehingga menyebabkan kerugian materiil sebanyak 85 Milyar rupiah bagi pemerintah Kabupaten Tasikmalaya pada saat itu. Atas dasar inilah, Pesantren dengan sekuat tenaga mengupayakan mengintegrasikan sistem pendidikannya dalam satu atap, sehingga tidak ada kontaminasi dunia luar dalam pendidikan santri sehari-hari. 

Pesantren Condong telah banyak melahirkan alumni yang berperan di masyarakat dalam berbagai profesi. Di antaranya banyak yang mengikuti jejak gurunya mendidirikan pesantren seperti Pesantren Bantagedang yaitu KH. Ruhiat dan KH. Bahrum. Pesantren di Cianjur yaitu KH. Mahmud dan KH. Asikin. Pesantren di Cimerak: KH. Yusuf. Pesantren di Cijulang dan Parigi yaitu KH. Sahlan, KH. Apuy (alm), KH. Dayat, KH. Usman. Pesantren di Purbaratu yaitu: KH. Rasyid, KHs. Asep Abdullah, KH. Mukhtar Ghazali. Pesantren di Salopa Aj. Arif. Pesantren di Cikaleker yaitu Aj. Aep. Di Cikalong yaitu KH. Hamim, KH. Oot Syahruddin (alm). Di daerah Banjar di antaranya KH. Hasbullah (alm.), KH, Mumu, KH. Tabrani, KH. Ahmad Dimyati di Cintapada, KH. Syahiddi (alm) di Awipari. Dan alumni lainnya yang tersebar di wilayah Jawa Barat dan sekitarnya baik dalam jajaran birkorasi maupun pengusaha.‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...