Kamis, 21 Oktober 2021

Sejarah Pesantren Bungkuk Singosari


Ponpes Mifthahul Falah, dimana temuan struktur bangunan kuno itu ditemukan, lebih dikenal sebagai Ponpes Bungkuk. Ponpes Bungkuk sendiri memang tak lepas dari sosok legenda, Mbah Chamimuddin. Mbah Chamimudin adalah eks laskar Pangeran Diponegoro yang tersisa dan lari ke daerah Malang Utara (Singosari dan sekitarnya). Perang Diponegoro antara tahun 1825 sampai 1830 memang membuat laskar Pangeran Diponegoro tercerai-berai di tahun 1830 seiring kematian Pangeran Diponegoro.

“Laskar-laskar Pangeran semburat dan tercecer di bagian selatan Jawa Timur seperti Malang, Trenggalek, Tulungagung bagian selatan. Makanya, jangan heran sampeyan banyak mengenal makam waliyullah di daerah Malang selatan seperti Gondanglegi ataupun Eyang Jugo di Gunung Kawi yang dikenal sebagai laskar Pangeran Diponegoro,”

“Laskar Pangeran Diponegoro tetap gerilya dan mencari dukungan penguasa-penguasa lokal, pesantren-pesantren, salah satunya adalah dukungan dari Kiai Maja. Kekuatan laskar Pangeran Diponegoro di Jawa Timur tidak melemah berbeda dengan di Solo atau Jogjakarta,” 

Lantas mengapa Chamimuddin memilih ke Malang utara? Ini tak lepas dari aura Singosari yang memiliki citra kuat sebagai kerajaan besar di masa lalu. “Setelah Majapahit berdiri, Kerajaan Singosari tetap diakui keberadaannya dan menjadi daerah fasal (semacam negara bagian) Kerajaan Majapahit. Tentu saja di situ beranak pinak keturunannya,”

Dengan berpulangnya Pangeran Diponegoro dan pasukannya tercerai-berai, Chamimuddin datang ke Malang dari arah selatan Malang. Kiai Chamimuddin masuk wilayah Singosari sekitar tahun 1830-1835. Tapi, menurut H. Munsyif, salah satu anggota keluarga Ponpes Bungkuk bahwa Kiai Chamimuddin mulai mendirikan pesantren dan langgar (musala) sekitar tahun 1850.

“Musala itu dari bambu biasa. Saat itu, tentu saja masih aneh kehadiran Mbah Chamimuddin di lingkungan yang masih banyak pemeluk agama Hindu dan abangan,“ terang H. Munsyif. Saat itu tentu saja Mbah Chamimuddin tidak melakukan siar dengan cara langsung mendirikan pondok pesantren.

“Ia merintisnya sejak lama tentu saja dengan menetap dan melakukan pengajian kecil-kecilan. Datang ke rumah penduduk, siar Islam. Dan mungkin benar juga akhirnya ia mendirikan musala di tahun 1850 itu,” Melihat santri Mbah Chamimuddin salat dengan gerakan membungkuk itulah, sehingga masyarakat Singosari di masa itu menyebutnya komunitas Bungkuk. Dan diwarisi turun temurun sampai ponpes itu disebut Ponpes Bungkuk.

Islam di zaman Mbah Chamimuddin masih berwajah Islam abangan. Mbah Chamimuddin yang menetap di Singosari kemudian diambil menantu oleh orang Singosari. “Agar Islamnya makin putih, Mbah Chamimuddin lantas menikahkan anak perempuannya dengan Kiai Tohir dari Bangil,” 

Hal ini juga dibenarkan H. Munsyif yang masih cucu langsung dari Mbah Tohir. “Beliau dikenal dan Mbah Chamimuddin menjadi kiai besar setelah mengambil mantu Kiai Tohir dari Bangil yang masih memiliki trah Ampel. Alhasil, waliyullah yang dikenal di Bungkuk dan sekitarnya sampai sekarang adalah Mbah Tohir,” terang H Munsyif.

Dengan demikian, maka Mbah Tohir sebagai embrional Ponpes Miftahul Falah dan Masjid At-Thohiriyah yang saat ini sedang direnovasi. Otomatis, setelah Mbah Chamimuddin berpulang, pemangku ponpes dan masjid adalah Mbah Tohir. “Masjid dan Ponpes Bungkuk sangat dikenal, sangat Nahdliyin, dan sangat diperhitungkan di Nahdlatul Ulama. Mereka juga bertarekat, Qodiriyah-Naqsyabandiah. Hal ini tak lepas dari sosok Kiai Tohir,” 

Menggantikan Mbah Chamimuddin, Mbah Tohir menikah dan memiliki lima orang anak. Salah satu putranya, Nahchowi Tohir yang menikah dengan M. Rukoiyah, memiliki sepuluh orang anak, dan salah satunya adalah H. Munsyif. Mbah Tohir berpulang tahun 1933, kini pemangku ponpes dipegang oleh Kiai Ahmad Hilmy, saudara Munsyif.

KH Masykur

KH Masykur lahir di Singosari pada tahun 30 Desember 1900 M dan ada yang menyebut tahun 1904. Ketika ibunda KH Masykur mengandung dia melaksanakan haji ke tanah suci meskipun begitu dia tetap melakasanakan haji dengan khidmat. Oleh karenanya beliau sudah merasakan naik Haji bahkan ketika masih di dalam kandungan. Pada usia sepuluh tahun beliau sudah menunaikan rukun Islam yang ke-5. Ayahanda beliau sangat anti terhadap penajajah belanda. Oleh karena itu beliau menghabiskan masa muda beliau di lingkungan pesantren.

Sepulang dari tanah suci beliau di masukkan ke Pesantren Bungkuk di daerah Singosari, Malang. Setelah menamatkan pendidikan di pesantren Bungkuk, beliau melanjutkan nyantri dan mendalami ilmu nahwu sharaf di pesantren Sono, Sidoarjo, lalu empat tahun kemudian melanjutkan di Pesantren Siwalanpanji, Sidoarjo khusus dalam bidang fiqih, lalu ke Pesantren Tebuireng, Jombang. Dari Jombang beliau melanjutkan nyantri ke Mbah Kholil di Bangkalan, untuk belajar qiraat Al-Qur’an. Dan terakhir mondok di Pesantren Jamsaren, Solo. Pada usia ke-27 tahun, KH Masykur menikah dengan cucu Kiai Thohir, Pengasuh Pesantren Bungkuk. Dari pernikahan tersebut, beliau hanya mempunyai satu orang putra yang bernama Syariful Islam.

Peranan beliau di masa kemerdekaan dan pasca kemerdekaan
Keaktifan beliau dalam bidang politik tidak bisa dipandang sebelah mata. Sudah banyak jabatan dan posisi penting yang pernah dijabatnya. Karir beliau dimulai di jajaran Jam’iyah NU, dia terlibat mulai dari bawah, dengan menjadi Ketua NU Cabang Malang, sebagai cabang ke-6, yang pada waktu itu merupakan kurun awal berdirinya organisasi kaum ulama sekitar 1926.

Panglima Sabilillah

Keterlibatannya dalam upacara keprajuritan juga dimulai dari bawah, yaitu menjadi anggota Barisan Pelajar (Sim Sim Tai). KH. Masykur juga tercatat selaku pendiri Pembela Tanah Air (Peta) (yang kemudian menjadi unsur laskar rakyat dan TNI) di seluruh Jawa. Ketika pertempuran 10 November 1945, namanya muncul sebagai pemimpin Barisan Sabilillah, yaitu sebuah pergerakan militer dalam melawan kolonial Belanda yang beranggotakan kiai-kiai muda. KH. Masykur adalah pendiri sekaligus sebagai Panglima Barisan Sabilillah yang memiliki divisi di 14 provinsi.. Beliau juga pernah bertempur secara gerilya di bawah komando Panglima Besar Jenderal Sudirman.

Karier Politik

Beliau pernah diangkat oleh pemerintahan Jepang sebagai Syu Sang Kai (semacam DPRD). Lalu menjelang kemerdekaan RI, ia terpilih menjadi anggota sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Di sidang ini, ia dengan tegas menyatakan bahwa dasar negara Indonesia harus berpijak pada ajaran Islam karena negara ini memiliki mayoritas penduduk Muslim. Pada November 1947 beliau di panggil ke ibu kota negara pada saat itu Yogyakarta oleh presiden Ir. Soekarno. Bung Karno menawari posisi sebagai menteri agama, yang ia terima di masa Kabinet Amir Syarifuddin ke-2. Sejak saat itu, KH. Masykur pindah dari Singosari untuk menetap di Yogyakarta. Beliau menjadi menteri agama ke-5.

Dalam Kabinet Hatta-2, KH. Masykur kemudian diangkat kembali menjadi menteri agama. Namun kabinet ini tidak berlangsung lama, karena pada akhir tahun 1949, terbentuk kabinet baru yang bernama Kabinet RI peralihan. Sekali lagi, pada pemerintahan kabinet ini, KH. Masykur kembali terpilih menjadi menteri agama.

Lalu pada tahun 1952, KH. Masykur kemudian dipilih sebagai ketua Dewan Presidium Pengurus Besar NU. Beliau kemudian ditetapkan sebagai ketua umum tanfiziyah PBNU. Sebagai organisasi partai, terpilihnya KH. Masykur serta merta menjadikannya sebagai ketua partai. Karena itu, pada masa kabinet Ali Wongso Arifin, ia terpilih kembali menjadi menteri agama dari NU. Di organisasi NU, pernah menjadi Ketua Umum PBNU, menggantikan posisi KH. Abdul Wahid Hasyim, ayahanda Gus Dur, yang wafat karena kecelakaan.

Salah satu hasil karya KH. Masykur saat menjabat menteri agama adalah pembuatan Alquran raksasa yang menjadi Alquran pusaka. Untuk mewujudkan gagasannya, KH. Masykur meminta bantuan Haji Abu Bakar Atjeh, Haji Syamsiar, dan Salim Fahmi Langkat. Dengan dukungan Presiden Soekarno dan Wapres Muhammad Hatta, akhirnya keinginan tersebut terwujud. Kini Alquran pusaka tersebut tersimpan di Masjid Baiturrahim, Istana Negara, Jakarta.

Karier Politik Zaman Orba

Setelah masa presiden Ir. Soekarno berakhir KH. Masykur masih menunjukan eksitensinya di dunia politik. Ini terbukti ketika di masa pemerintahan Orde Baru, KH. Masykur terpilih menjadi Ketua Sarekat Buruh Muslimin Indonesia atau Sarbumusi. Lembaga ini merupakan salah satu lembaga yang berada di bawah naungan NU. Kepemimpinan KH. Masykur membuat lembaga ini maju pesat hingga pernah mengunjungi Uni Soviet (kala itu) untuk meninjau kegiatan kaum buruh sekaligus perkembangan Islam di negara komunis tersebut.

Saat NU kemudian bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), KH. Masykur terpilih menjadi ketua fraksi PPP di DPR yang saat itu sedang membahas RUU Perkawinan. Meski usianya tak lagi muda, namun KH. Masykur terus aktif berkarya. Beliau tetap menjadi rekomendasi para pengurus besar NU (PBNU) yang meminta saran dan nasihatnya. Karya terakhir yang dirintisnya adalah mendirikan Universitas Islam Sunan Giri Malang (Unisma). Lembaga pendidikannya ini berada di bawah naungan Lembaga Pendidikan Ma’arif Pusat yang merupakan lembaga pendidikan milik NU.

Pada 19 Desember 1992, KH. Masykur, salah satu ulama besar, tokoh perjuangan, dan cendikiawan Muslim Indonesia ini berpulang ke pangkuan Yang Mahakuasa. Beliau dimakamkan di pemakaman keluarga pondok Bungkuk, Singosari.

Oleh majalah AULA Edisi November 2012 hal. 58-59, beliau termasuk 9 komandan perang NU, yang daftar lengkapnya sebagai berikut :
1. KH. Zainul Arifin
2. KH. Masjkur
3. KH. Munasir Ali
4. KH. Sullam Syamsun
5. KH. Iskandar Sulaiman
6. KH. Hasyim Latief
7. KH. Zainal Mustofa
8. H. Abdul Manan Widjaya
9. Hamid Roesdi

Salah satu pernyataan beliau yang dianggap penulis postingan ini sangat mulia adalah “Kerjakan sesuatu sampai tuntas. Sekecil apapun pekerjaan, jika ditangani secara tuntas akan sangat berarti.” Pernyataan beliau sangatlah bijak, ini membuat motivasi bagi kita agar giat dan tekun dalam hal apa pun agar bisa mendapatkan hasil yang maksimal dan juga jangan pernah memandang remeh sebuah pekerjaan.

Peran Para Kyai Pesantren Cidahu Cadasari Banten

 

Pesantren is a typical Indonesian cultural heritage.

Pesantren is also the oldest educational institutions in Indonesia and has played a significant role contributing to the development of the Indonesian nation building.

Various roles in society, in the field of education, economic, social, religious or political have been played by the alumni of the pesantren.

Currently the role of pesantren itself is being challenged by modernization that allows it to adjust with socio economics realities.

In order to survive the pesantren as a traditional education in Indonesia has to change or transform into modern institution.

In fact, it is the traditional pesantren that still resists change and preserve its identity in terms of authority and student-teacher relationship.

This article to analysis the efforts of a traditional pesantren in Banten, called Pesantren Cidahu in preserving its identity and struggles to !eep its authority in the modern society.

By keeping its modest practices, Pesantren Cidahu is able to maintain its strong influence toward its students and society.

Introduction

Pesantren Cidahu is located in the village of Cidahu Cadasari the district of Pandeglang, in the province of "anten.

Geographically Pandeglang is a rural area where people mostly wore as farmers and some of them are traders and laborers in major cities such as Jakarta and Bandung.

Compared with other regions in Indonesia Pandeglang is an underdeveloped region with a slow economic growth and leave many people living below the poverty line.

The name of Cidahu is attached to pesantren in order to enable people to recognize the institution and also shows the pesantren is already well known in the region.

Many pesantrens in Indonesia use the name of village or region as their names, among others are Pesantren Cipasung Tasikmalaya West Java, Pesantren Buntet Cirebon West Java, and Pesantren Sidogiri East Java.

Most of these pesantren are categorized as traditional pesantrens. People in the regions where the pesantrens located prefer to call pesantrens by the name of village or region show the level of influence of the figure of !yais in such areas.

As a result it is quite famous for kyai called by the name of village or region, such as kyai Cidahu who is most well-known in Banten.

The position of kyai is very special because usually the students follow what kyai orders and suggests.

kyai is a person who is able to dominate the truth of religion the authority that is always followed by the attitude of obedience, even uncritically and understood as dogmatically religious teachings. The charismatic kyai can easily order his followers to do something while his followers always obey whatever he wants.

Authority in this article emphasizes on religious authority that includes the influence of kyai, competence and obedience.

Why is it important to study the authority of !yai in the pesantren

How does Pesantren Cidahu maintain its authority in the midst of the wave of globalization and modernization

This paper will analyze three interrelated aspects that influence the development of authority in the pesantren that are kyai, pondok (dormitory) and curriculum.

Sejarah profil biodata ponpes Pondok Pesantren Cidahu Cadasari Pandeglang Banten Indonesia dan profil pendirinya KH Muhammad Dimyati atau Abuya Dimyati yang bernama lengkap Muhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. 

SEJARAH PONDOK PESANTREN CIDAHU BANTEN

Pondok pesantren Abuya Dimyathi (alm) Kampung Cidahu Kecamatan Cadasari Kabupaten Pandeglang - Banten sekarang di teruskan oleh anaknya Abuya Muhtadi Dimyati. Buya Dimyati merintis pesantren di desa Cidahu Pandeglang sekitar tahun 1965 beliau banyak melahirkan ulama-ulama ternama seperti Habib Hasan bin Ja'far Assegaf yang sekarang memimpin Majlis Nurul Musthofa di Jakarta dan masih banyak lagi murid-murid beliau yang mendirikan pesantren.
PROFIL ABUYA DIMYATI

Pondoknya di Cidahu, Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai. Abuya Dimyati dikenal sosok ulama yang mumpuni. Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya dikenalsebagai penganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.

KH Muhammad Dimyati atau dikenal dengan Abuya Dimyati adalah sosok yang kharismatis. Beliau dikenal sebagai pengamal tarekat Syadziliyah dan melahirkan banyak santri berkelas. Mbah Dim begitu orang memangilnya. Nama lengkapnya

Muhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Dikenal sebagai ulama yang sangat kharismatik. Muridnya ribuan dan tersebar hingga mancanegara.
Abuya dimyati orang Jakarta biasa menyapa, dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak kenal menyerah. Hampir seluruh kehidupannya didedikasikan untuk ilmu dan dakwah.

Menelusuri kehidupan ulama Banten ini seperti melihat warna-warni dunia sufistik. Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar Watucongol.Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi masyarakat Pandeglang Provinsi Banten Mbah Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan. Lahir sekitar tahun 1925 dikenal pribadi bersahaja dan penganut tarekat yang disegani.

Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah. Pondoknya di Cidahu, Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati dikenal sosok ulama yang mumpuni. Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya dikenalsebagai penganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.

Tidak salah kalau sampai sekarang telah mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar di seluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri. Sewaktu masih hidup , pesantrennya tidak pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki seperti ini karena tiap dinding dari tempat pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-tamu penting seperti pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri. Majelis Seng inilah yang kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari semenjak kebakaran hingga sampai wafatnya.

Lahir dari pasangan H.Amin dan Hj. Ruqayah sejak kecil memang sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya. Beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren seperti Pesantren Cadasari, Kadupeseng Pandeglang. Kemudian ke pesantren di Plamunan hingga Pleret Cirebon.

Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.

Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’. Karena, kewira’i annya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan santri mengaji.

:: KAROMAH
Mahasuci Allah yang tidak membuat penanda atas wali-Nya kecuali dengan penanda atas diri-Nya. Dan Dia tidak mempertemukan dengan mereka kecuali orang yang Dia kehendaki untuk sampai kepada-Nya. (al Hikam)

Wallahu a’lam. Ada banyak cerita tak masuk akal dalam buku ini, namun kadar ”gula-gula” tidaklah terasa sebab penitikberatan segala kisah perjuangan Abuya lebih diambil dari orang-orang yang menjadi saksi hidupnya (kebanyakan dari mereka masih hidup) dan dituturkan apa adanya. Abuya memang sudah masyhur wira’i dan topo dunyo semenjak masih mondok diusia muda. Di waktu mondok, Abuya sudah terbiasa tirakat, tidak pernah terlihat tidur dan istimewanya adalah menu makan Abuya yang hanya sekedar. Beliau selalu menghabiskan waktu untuk menimba ilmu, baik dengan mengaji, mengajar atau mutola’ah. Sampai sudah menetap pun Abuya masih menjalankan keistiqamahannya itu dan tidak dikurangi bahkan ditambah.

Di tahun 1999 M, dunia dibuat geger, seorang kiai membacakan kitab tafsir Ibnu Jarir yang tebalnya 30 jilid. Banyak yang tidak percaya si pengajar dapat merampungkannya, tapi berkat ketelatenan Abuya pengajian itu dapat khatam tahun 2003 M. Beliau membacakan tafsir Ibnu Jarir itu setelah Khatam 4 kali khatam membacakan Tafsir Ibnu katsir (4 jilid).

Salah satu cerita karomah yang diceritakan Gus Munir lagi adalah, di mana ada seorang kyai dari Jawa yang pergi ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di Irak. Ketika itu, kyai tersebut merasa sangat bangga kerana banyak kyai di Indonesia paling jauh mereka ziarah adalah maqam Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dia dapat menziarahi sampai ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. ketika sampai di maqam tersebut, maka penjaga maqam bertanya padanya, “darimana kamu (Bahasa Arab)”. si Kyai menjawab, dari Indonesia. maka penjaganya langsung bilang, oh di sini ada setiap malam Juma’at seorang ulama Indonesia yang kalau datang ziarah dan duduk saja depan maqam, maka segenap penziarah akan diam dan menghormati beliau, sehinggalah beliau mula membaca al-Qur’an, maka penziarah lain akan meneruskan bacaan mereka sendiri2. Maka Kyai tadi kaget, dan berniat untuk menunggu sampai malam jumaat agar tahu siapa sebenarnya ulama tersebut. Ternyata pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama tersebut adalah Abuya Dimyati. Maka kyai tersebut terus kagum, dan ketika pulang ke Jawa, dia menceritakan bagaimana beliau bertemu Abuya Dimyati di maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani ketika itu Abuya masih di pondok dan mengaji dengan santri-santrinya.

Cerita-cerita lain tentang karomah Abuya, dituturkan dan membuat kita berdecak kagum. Subhanallah! Misal seperti; masa perjuangan kemerdekaan dimana Abuya di garis terdepan menentang penjajahan; kisah kereta api yang tiba-tiba berhenti sewaktu akan menabak Abuya di Surabaya; kisah angin mamiri diutus membawa surat ke KH Rukyat. Ada lagi kisah Abuya bisa membaca pikiran orang; kisah nyata beberapa orang yang melihat dan bahkan berbincang dengan Abuya di Makkah padahal Abuya telah meninggal dunia. Bahkan kisah dari timur tengah yang mengatakan bahwa Abuya tiap malam jumat ziarah di makam Syech Abdul Qodir al Jailani dan hal-hal lain yang tidak masuk akal tapi benar terjadinya dan ada (berikut saksi-saksi hidupnya).

Buya Dimyati merintis pesantren di desa Cidahu Pandeglang sekitar tahun 1965 beliau banyak melahirkan ulama-ulama ternama seperti Habib Hasan bin ja”far assegaf yang sekarang memimpin Majlis Nurul Musthofa di Jakarta dan masih banyaklagi murid-murid beliau yang mendirikan pesantren

Tanggal 3 october 2003 tepat hari jum’at dini hari Kh.Muhammad Dimyati dipanggil oleh Alloh SWt keharibaannya.Banten telah kehilangan sosok ulama yang karismatik dan tawadhu’yang menjadi tumpuan berbagai kalangan masyarakat untuk dimintai nasihatnya bukan hanya dari masyarakat Banten saja tapi juga umat islam pada umumnya.Beliau di maqomkan tak jauh dari rumahnya di Cidahu Pandeglang hingga kini maqom tersebut selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai daerah di tanah air.

Atas meninggalnya ulama krismatik di Desa Cidahu, Cadasari, Pandeglang-Banten, KH Abuya Muhammad Dimyati, hari Jum’at (3/10) umat Islam sangat kehilangan. Ulama besar yang jadi tumpuan berbagai kalangan masyarakat untuk dimintai nasihatnya bukan saja masyarakat Banten yang kehilangan, namun umat Islam umumnya.‎

Keturunan

KH Abuya Muhammad Dimyathi, meninggalkan tiga istri yaitu Hj Dalilah, Hj Asmah dan Hj Afifah. Dari Hj Dalilah dikarunia dua putra, yang pertama:

H Qoiyimah dan
H Amustabah, 

sedangkan dari istri Hj Asmah dikarunia enam anak, yakni:

HA Muhtadi,
HM Murtadlo,
H Abdul Azis,
HA Muntaqo,
Hj Musfiroh,
Muqotil, 

sementara dari HJ Afifah tidak dikarunia anak. 
PROFIL ABUYA MUHTADI DIMYATI‎

Abuya Muhtadi adalah seorang ulama ahlussunnah kharismatik di Pandeglang dan mempunyai banyak murid di wilayah Banten. Ayahanda beliau KH. Abuya Muhammad Dimyati adalah pendiri Ponpes Cidahu yang dirintis tahun 1965. Sejak 2003 sampai sekarang Abuya Muhtadi menggantikan ayahnya memimpin Ponpes Cidahu.

Dari pesantren ini melahirkan banyak ulama ahlussunnah seperti Al Habib Hasan bin Ja'far Assegaf pemimpin Majelis Nurul Musthofa Jakarta.


PENGASUH PONPES CIDAHU

1. KH. Muhammad Dimyati atau Abuya Dimyati (pendiri dan pengasuh): 1965 - 2003
2. KH. Muhtadi Dimyati tahun 2003 sampai sekarang


FATWA KYAI MUHTADI: HARAM BERGABUNG DENGAN HTI (HIZBUT TAHRIR)

Salah satu ulama ahlussunnah wal jama'ah asal Banten yang juga Rois 'Am Majelis Muzakaroh Muhtadi Cidahu Banten (M3CB) KH. Abuya Muhtadi Dimyathi al-Bantani menyatakan cita-cita Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk menghilangkan Pancasila sebagai dasar negara merupakan salah satu bentuk pemberontakan.

Pengasuh Pondok Pesantren Cidahu Cadasari Pandeglang Banten ini memberikan pernyataan secara tertulis dalam surat pernyataan tertanggal 21 Agustus 2013. Surat pernyataan tersebut disampaikan langsung oleh beberapa murid Abuya Muhtadi ke kantor redaksi NU Online Jakarta pada Selasa (3/9/2013) kemarin. Sebelumnya surat pernyataan itu juga sudah dikirimkan ke PBNU.

Dalam surat yang ditanda tangani sendiri oleh Abuya Muhtadi itu, beliau menyatakan HTI adalah ormas Islam dari luar negeri yang datang ke Indonesia dan ingin menghilangkan Pancasila sebagai dasar negara. Perbuatan tersebut adalah salah satu macam dari pemberontakan, padahal memberontak negara itu dosa besar, maka dari itu HTI harom hukumnya dalam berbagai keadaan. Demikianlah bunyi dalam surat pernyataan Abuya Muhtadi.‎

Sejarah Panjang Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin


Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon didirikan sekitar tahun 1127 H/ 1705 M. oleh Kyai Jatira. Kyai Jatira adalah gelar dari KH. Hasanuddin putra KH. Abdul Latief dari desa Mijahan Plumbon Cirebon. Beliau merupakan bagian dari Keraton Cirebon.

KH. Hasanuddin adalah seorang pejuang agama yang sangat dekat dengan masyarakat miskin. Desa yang kering dengan lahan pertanian yang kurang subur menjadikan dirinya berpacu mengembangkan pondoknya sebagai tempat peristirahatan yang jauh dari keramaian terutama dari pengaruh kekuasaan dan penjajah belanda. Maka dirintislah sebuah pesantren sederhana yang diberi nama Pesantren Babakan.

Stagnasi kepemimpinan dalam pesantren terjadi ketika Kyai Jatira meninggal dunia, langkah kaderisasi di Pesantren Babakan mengakibatkan terputusnya kegiatan pesantren sampai sarana fisikpun tidak berbekas. Sampai kemudian KH. Nawawi menantu dari Kyai Jatira membangun kembali Pondok Pesantren Babakan yang letaknya satu kilometer kearah selatan dari tempat semula.

Dalam mengasuh pesantren beliau dibantu oleh KH. Adzro’i. Setelah itu pesantren dipegang oleh KH. Ismail putra KH. Adzro’i tahun 1225 H/1800 M.mulai tahun 1916 M pesantren diasuh oleh KH. Amien Sepuh bin KH. Irsyad, yang masih merupakan Ahlul Bait dari garis keturunan Sunan Gunung Jati.

Sekilas Asal-Usul Desa  Babakan

KI GEDE LEMAH ABANG dari Indramayu yang terkenal dengan kesaktiannya, sedang memanggul pohon jati yang sangat besar dari daerah Gunung Galunggung untuk membantu pendirian masjid di Cirebon. Di tengah perjalanan ia dihadang seekor macan putih yang langsung menyerangnya untuk merebut pohon jati dari panggulannya. Melihat seekor macan putih yang ingin merebut pohon jati dari panggulannya, Ki Gede Lemahabang tidak tinggal diam. Dengan sekuat tenaga ia mempertahankan jati yang dipanggulnya itu jangan sampai berpindah tangan.‎

Terjadilah perebutan pohon jati antara Ki Gede Lemahabang dengan seekor macan putih yang sebenarnya adalah jelmaan Ki Kuwu Cerbon. Tujuan Ki Kuwu menghadang perjalanan Ki Gede Lemahabang, agar pohon jati tersebut jangan terlalu cepat sampai ke Cirebon. Jika hal itu terjadi, maka ilmu kewalian harus diajarkan kepada para santri yang belum memenuhi syarat untuk menerima ilmu tersebut.

Perebutan pohon jati itu membuat suasana di tempat itu sangat mengerikan. Kedua makhluk itu saling mengeluarkan ilmu kesaktian, sehingga menimbulkan prahara dan di sekelilingnya banyak pohon yang tumbang. Pepohonan yang tumbang itu seperti terbabak benda tajam. Daerah tempat terjadinya peristiwa itu kemudian dijadikan nama sebuah pedukuhan Babakan.

Waktu terus berlalu, rupanya kesaktian Ki Gede Lemahabang berada di bawah kesaktian Ki Kuwu Cerbon yang berwujud macan putih. Dia tidak sanggup lagi mempertahankan apa yang di panggulnya. Pohon jati itu hilang dalam panggulannya, bersamaan dengan hilangnya macan putih yang menghalang-halangi perjalanannya.

Kini pedukuhan Babakan telah berubah menjadi Desa Babakan dalam wilayah Kecamatan Ciwaringin. Desa Babakan terletak di ujung sebelah barat, merupakan daerah perbatasan Kabupaten Cirebon dengan Kabupaten Majalengka.

Menginjak tahun 1705, seorang pengembara yang selalu menyebarkan agama Islam bernama Syekh Hasanudin bin Abdul Latif berasal dari Kajen Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon datang di pedukuhan Babakan. Di Pedukuhan Babakan Syekh Hasanudin membangun sebuah mushala kecil. Di depan mushalahnya ada dua pohon jati yang sangat besar. Untuk kehidupan sehari-harinya Syekh Hasanudin bertanam palawija di sekitar tempat itu.

Dalam menyiarkan agama Islam, Syekh Hasanudin banyak mendapat rintangan, ejekan, cercaan, dan tantangan dari beberapa daerah di sekitarnya seperti dari Desa Budur, Pedukuhan Jati Gentong, Pedukuhan Tangkil yang ada di bawah kekuasaan Ki Gede Brajanata yang tidak mau masuk Islam. Tantangan tersebut bahkan datang dari Pedukuhan Babakan itu sendiri, namun semua rintangan itu tidak menyurutkan tekad Syekh Hasanudin menyebarkan agama Islam.

Pada usianya yang telah tua, Ki Gede Brajanata meninggal dunia. Sepeninggal Ki Gede Brajanata, penyebaran agama Islam yang dilakukan Syekh Hasanudin mengalami kemajuan. Telah banyak masyarakat yang mau memeluk agama Islam dan memperdalam ilmu syariat Islam. Walau masih banyak pengikut-pengikut Ki Gede Brajanata yang terus menentangnya tidak menjadi pengahalang yang berarti bagi Syekh Hasanudin untuknterus berjuang. Mushala yang kecil itu sudah tidak bisa lagi menampung orang-orang yang ingin belajar ilmu. Para santri bersepakat untuk membangun lagi mushala yang lebih besar.
Pada saat membangun mushala itulah para santri memberi julukan kepada Syekh Hasanudin sebagai gurunya dengan panggilan Ki Jatira, karena kebiasaan gurunya itu beristirahat di depan mushala di bawah dua pohon jati yang besar. Jati = pohon jati, dan ra = loro (dua).

Nama Ki Jatira menjadi terkenal sampai ke pusat ajaran Islam yang ada di Amparanjati, Gunung Sembung. Begitu pula nama Ki Jatira yang mengajarkan ilmu agama Islam dan ilmu kanuragan terdengar oleh pihak Belanda, yang dianggapanya akan membahayakan kekuasaanya di Cirebon.

Pada tahun 1718, serdadu belanda datang dan menyerang padepokan Ki Jatira di Pedukuhan Babakan. Serangan itu mendapat perlawanan yang sengit dari para santri. Karena peperangan itu tidak seimbang, akhirnya para santri dapat dikalahkan dan padepokan Ki Jatira dihancurkan dibakar habis. Peristiwa itu dikenal dengan nama Perang Ki Jatira, yang banyak mengorbankan para santri, tewas sebagai syuhada. Ki Jatira sendiri dapat diselamatkan oleh muridnya dan dibawa ke Desa Kajen.

Pada tahun 1721, Ki Jatira datang lagi ke pedukuhan Babakan untuk meneruskan syiar Islamnya. Kedatangannya itu disambut gembira oleh masyarakat, kemudian tahun 1722 Ki Jatira bersama-sama masyarakat membangun kembali padepokan yang telah hancur itu. Tempatnya dipindahkan ± 400 m ke sebelah selatan dari padepokan yang lama.

Ketenaran dan keharuman nama Ki Jatira yang mengajarkan ilmu agama Islam dan ilmu kanuragan, tercium lagi oleh Belanda. Pada tahun 1751 serdadu Belanda kembali menyerang padepokan Ki Jatira. Akan tetapi sebelumnya, rencana Belanda tersebut sudah di ketahui oleh Ki Jatira. Sehingga sebelum penjajah itu datang untuk menyerang padepokan, terlebih dahulu Ki Jatira membubarkan para santrinya dan Ki Jatira sendiri mengungsi ke Desa Kajen, menunggu situasi aman. Setibanya para serdadu Belanda di padepokan Ki Jatira telah kosong tidak ada penghuninya. Untuk kedua kalinya padepokan Ki Jatira dibakar oleh serdadu Belanda.

Dalam pengungsiannya, Ki Jatira terserang penyakit pada usianya yang telah uzur. Pada waktu sakit, beliau berpesan kepada keponakannya yang sekaligus menantunya bernama Nawawi untuk datang ke Pedukuhan Babakan meneruskan perjuangannya. Pada tahun 1753 Ki Jatira wafat dan dimakamkan di Desa kelahirannya sendiri yaitu Desa Kajen Kecamatan Plumbon.

Tahun 1756, Ki Nawawi membangun sebuah mushala panggung yang sangat besar, bentuknya menyerupai masjid. Jaraknya ± 300 m ke arah selatan dari padepokan Ki Jatira yang kedua.

Tahun 1810, pada periode cucu Ki Nawawi bernama Ki Ismail, para santri mulai membangun tempatnya masing-masing yang dikenal dengan nama Pondokgede. Ki Ismail wafat tahun 1916, pengasuh Pondokgede diteruskan oleh keponakannya yang juga menantunya bernama Kiai Muhamad Amin bin Irsyad, yang dikenal dengan sebutan Ki Amin Sepuh berasal dari Desa Mijahan Kecamatan Plumbon. Pada masa itu Pondokgede mencapai masa keemasan. Mushala yang dibangun Ki Nawawi pada tahun 1769 resmi dijadikan masjid. Pondokgede akhirnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren Raudlatultholibin.

Tahun 1952, pada masa agresi Belanda ke-2, Pondokgede saat diasuh Ki Amin Sepuh diserang kembali oleh Belanda. Kitab suci dan kitab-kitab lain diobrak-abrik serta dibakar. Para santri bersama Ki Amin Sepuh dan seluruh keluarganya mengungsi.

Dua tahun kemudian yaitu tahun 1954, Kiai Sanusi salah seorang santri Ki Amin Sepuh datang ke Pondokgede dan menata kembali bangunan dan sisa-sisa kitab yang dibakar, sehingga bangunan dan halaman Nampak rapih kembali, tahun 1955 Ki Amin Sepuh datang kembali ke Pondokgede diikuti oleh para santrinya untuk melanjutkan pembelajaran agama Islam, sampai wafatnya pada tahun 1972.

Setelah wafatnya Ki Sanusi pada tahun 1986, pengasuh pondok dilanjutkan oleh Ki H. Fuad Amin sampai tahun 1997. Dilanjutkan oleh K.H. Abdullah Amin sampai tahun 1999. Ki Bisri Amin mengasuh pondok hanya setahun yaitu dari tahun 1999 – 2000. Kini Pondok Pesantren di asuh oleh K.H. Azhari Amin dan K.H. Zuhri Affif Amin, keduanya adalah putra K.H. Amin Sepuh. Beliau berdua bekerja keras untuk meningkatkan pendidikan agama Islam, juga pendidikan umum lainnya diterapkan kepada para santrinya untuk bekal hidupnya di dunia dan akhirat.
  
Semula Babakan hanya daerah pedukuhan yang merupakan cantilan dari Desa Budur. Atas kehendak masyarakat, pada tahun 1773 memisahkan diri dari Desa Budur menjadi desa yang mandiri, yaitu Desa Babakan. Kuwu yang pertama adalah Surmi dari tahun 1798 – 1830.

‎BIOGRAFI SYEKH HASANUDDIN
( Kiyai Jatira )
Pejuang dan pendiri Pesantren Babakan Ciwaringin

Babakan, suatu pendukuhan kecil terletak dibagian barat daya kabupaten Cirebon + KM dari pusat keramaian kota, merupakan salah satu dari sekian banyak pondok pesantren yang berdiri di bumi pertiwi ini. Sebagai pondok pesantren, Babakan hingga kini masih mampu bertahan, berdiri kokoh, bak batu karang ditengah lautan.

Tersirat dalam sejarah, pesantren Babakan Ciwaringin didirikan sekitar tahun 1715 M / 1127 H oleh seorang Kiyai berdarah mataram. Berdirinya pondok pesantren tidak terlepas dari pembawa agama islam melalui perpaduan antara budaya lokal dengan norma islam perjalanan panjang oleh para kiyai merupakan para wali penyebar agama islam sejak tahun 1350 M. Pada periodesasi kerajaan mataram dibawah sultan amangkurat II, proses islamisasi telah tumbuh dan mengakar di kalangan masyarakat indonesia. Adalah Kiyai Jatira, yang mula-mula pertma kali menyebarkan agama islam dari mataram didaerah Babakan ciwaringin cirebon pada tahun 1517 M. Dipilihnya desa Babakan bukan tanpa alasan, tetapi karena beliau seorang pejuang agama yang dekat dengan masyarakat miskin. Desa yang cukup kering dari lahan pertanian menjadikan dirinya berpacu mengembangkan masyarakat sekitar pondok yang dibangunnya sebagi tempat yang jauh dari pengaruh kekuasaan dan penjajahan belanda.

Sebagai pejuang agama dan penegak kebenaran, beliau diharapkan oleh masyarakat untuk menyebarkan ilmu pengetahuannya, dan menahan ancaman dari penjajah pada saat itu, akhirnya beliau merintis sebuah pesantren sederhana yang beratapkan ilalang dan berdaun kelapa dan dinding kayu dan bambu.

Kesibukan beliau bertambah ketika tantangan riil pada saat itu bukan saja tantangan dalam mengajar ilmu agama, tetapi juga ancaman pihak penjajah Belanda yang telah menangkap isyarat persatuan dan kesatuan yang sangat kental dalam jiwa para santri dan masyarakat lingkungannya. Hal ini terbukti ketika belanda merencanakan pembuatan jalan Deandeles antara Bandung – Cirebon yang melintasi dikomplek pesantren Babakan maka pemerintah Belanda memerintahkan agar Kiyai Jatira untuk pindah tempat karena pondok / surau beliau akan dibongkar untuk pembuatan jalan.

1) K. Hasanuddin Jatira
Pendiri pondok pesantren babakan adalah kiayi Hasanuddin pada tahun 1127 H (1715)-4. Beliau dikenal berbagai nama antara lain kiayi Hasan, kiayi Hasanudin, kiayi Jatira, dan kiayi Qobul. Wafat dan diqubur di komplek Maqbaroh Syekh KH.Abdul Latif Kajen, Pamijahan wetan (dulu wilayah desa lurah)plumbon; disini beliau dikenal dengan nama kiayi Qobul.
K.Hasan (Hasanuddin Jatira)adalah nasab yang ke10 (sepuluh) dari waliyullah Syech Abdul Muhyi Pamijahan kulon (Tasikmalaya), perhatikan kesamaan tempat pamijahan.
K. Hasanuddin menurunkan putra K.Nawawi, menurunkan putra K.Syarqowi dan menurukan putra Ki Nawawi-3 bin K.Syarqowi. Dari K.Nawawi inilah cikal bakal beberapa pondok pesantren di wilayah cirebon paling barat; yang berbatasan kabupaten majalengka. Diantaranya pondok pesantren Babakan, pondok pesantren Panjalin pesantren, pondok pesntren Kempek, pondok pesantren Arjawinangun, pondok pesantren Winong, pondok pesantren Loatang Jaya, pondok pesantren Duku Mire, Gintung pesantren, Kedongdong pesantren, pondok pesantren Lebak Ciwaringin dll.
K.Nawawi bin K.Syarqowi inilah mempunyai dua garis keturunan dari Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri) Gresik dan Maulan R.Rahmatullah (Sunan Ampel) Surabaya. Antara Sunan Ampel (Maulana Rahmatullah) dan ayahanda Sunan Giri (Maulana Ishaq masih satu garis keturunan dari syekh Maulan Ibrohim As-Samarqondi.

2) Garis Keturunan K.Nawawi bin K.Syarqowi dari Sunan Ampel

10) .K.Warsidi
11) .K.Bangusan
12) .K.Nursaja
13) .K.Syafi’i
14) .K.Syarqowi
15) .K.Nawawi

3) Silsilah Nasab K.Nawawi dari Sunan Giri Versi KH.Sanusi

1.Ratu Bimarasa Maulana Faqih Ibrohim 2.Sunan Baok
3.Dipati Ratna Kikis
4.Sunan Rajadesa
5.Sunan Darmawangsa
6.Nyai Mas Buyut
7.KH.Abdul Lathif (Pamijahan Wetan Plumbon)
8.K.Mas Abdurrohim
9.K.Rana
10.K.Hasanuddin (Babakan Awal)
11.k.Nawawi
12.Nasab Versi KH.Sanusi

4) Silsilah Nasab K.Nawawi versi KH.Amrin dan KH.Amin Halim

1.Sayyid Maulana Ibrohim bin Syekh Abdul Muhyi
2.Dalem Sukahurang
3.Khotib Arya Agung
4.Sunan Bahuki
5.Sunan Rajadesa
6.Sunan Ratna Geulis (Ratna Gugus)
7.Mas Buyut
8.Syekh Abdul Lathif (kajen)
9.K.Abdurrohim
10.K.Ratna Atmaja
11.Sura Arja
12.K.Hasan (Babakan), Hasanuddin Jatira –3
13.K.Nawawi
14.K.Syafi’i –4
15.K.Syarqowi
16.K. Nawawi

PESANTREN BABAKAN UTARA DAN BABAKAN SELATAN

Pondok pesantren Babakan dari pendirinya, K.Hasanudin Jatira mengalami pasang surut, terutama sejak meletus perang cirebon atau lebih dikenal dengan perang KEDONGDONG dari tahun 1816 Masehi sampai dengan 15 September 1818 M –5 dengan mengorbankan banyak syuhada baik dari kalangan santri maupun kalangan pribumi sehungga K.Jatira (Hasanuddin)kehabisan santri, untuk memperingati para syuhada yang bertempur siang dan malam dan juga mundur sampai wilayah perbatasan antara desa Tangkil dan Wiyong, dengan ratusan korban di kumpulkan di satu tempat yang dinamakan “KEBON TIANG”

B. Pembrontakan Kiyai Jatira Melawan Belanda

Perintah pengusiran dari belanda oleh kiyai jatira tidak dihiraukan sama sekali bahkan disambut dengan beberapa bangunan baru yang ditambah. Setelah pemerintah mengetahui hal tersebut segera menyiapkan tentaranya untuk menangkap Kiyai jatira dan menghancurkan komplek pesantren. Sementara pembuatan jalan teru berjalan dengan cara memasang patok dan tanda-tanda lainnya.

Kedatangankompeni belanda ke komplek pesantren disambut oleh Kiyai Jatira dan benerapa santrinya dengan perlawanan yang gigih. Siasat yang dilakukan oleh kiyai jatira dan santrinya dengan cara perang gerilia. Yaitu peperangan yang muncul secara tiba-tiba dan menyergap lawan tak terduga serta menghilang masuk hutan bila terjadi perlawanan dari musuh. Lama kelamaan perlawanan yang dipimpin oleh kiyai jatira kian membesar dan terbuka berkat keikutsertaan rakyat, terutama bagi mereka yang menolak RODI ( Kerja Paksa ) yang diperintahkan lkolonial belanda.

Melihat peperangan yang banyak menelan waktu, Kiyai Jatira dan para pejuang lainnya tidak habis pikir untuk memindahkan patok dan tanda-tanda jalan lainnya diatur sedemikian rupa sehingga pihak belanda tidak mengetahui bahwa patok itu telah dipindah dari tempatnya. Karena ukuran dan posisinya masih tetap seperti semula ( jembatan lama dan belokan didepan pabrik TERA COTTA ).

Patok-patok dan tanda jalan yang terbuat dari kayu jati itulah yang menjadi saksi sejarah, sehingga kiyai Hasanuddin, selain dijuluki pangeran Qobul juga mendapatkan julukan dan gelar dari penduduk desa dengan sebutan " Kiyai Jatira "

C. Perang Kedongdong

Setelah pemindahan patok dan tanda-tanda lainnya itu berhasil dan rencana pembuatan jalan raya itu digagalkan. Maka kiyai jatira menyusun rencana baru untuk melanjutkan perlawanan terhadap belanda, karena beliau berkeyakinan bahwa selama belanda masih berkuasa, selama itu pula pendidikan dan pengajaran agama islam akan selalu mendapat tekanan dan gangguan.

Laksana derasnya hujan yang menyirami tanaman subur kiyai jatira berhasil meyebarkan kobaran api semangat " Jihad fi Sabilillah " dengan beberapa pengertian yang disampaikan kepada masyarakat akan pentingnya pendidikan dan pengajaran islam dalam situasi dan kondisi yang damai, tenang, aman dan sentosa selain itu juga memerangi kafir harbi adalah suatu kewajiban bagian setiap muslim. Bahkan ahli sejarah mengatakan bahwa dahsyatnya peperangan tersebut melebihi peperangan yang terjadi diponegoro yang dipimpin oleh pangeran Diponegoro.

Taktik strategi perang diatur dan disusun menjadi dua benteng untuk mempersiapkan serangan senjata secara besar-besaran. Pos pertama dipusatkan di Babakan dan pos kedua dialokasikan disebelah utara pesantren yang kelak dikenal dengan sebutan kebon Tiang, Akhirnya berkobarlah api peperangan. dalam peperangan ini Kiyai jatira mendapat bantuan dari Tubagus Serit dan Tubagus Rangin, keduanya adalah jawara dari kesultanan Banten yang memimpin pembrontakan melawan Belanda.

Denan kejelian mata-mata Belanda akhirnya pihak Belanda mengetahui jejak kedua jawara itu, yang telah membantu pasukan kiyai jatira. Setelah terlihat pasukan Belanda mundur, Belanda dengan segera mendatangkan bala bantuan yang tidak sedikit jumlahnya, sehingga peperangan berkobar dengan sengitnya, sementara korban saling berjatuhan diantara kedua belah pihak. 

Akan tetapi datangnya bala bantuan dari pihak Belanda tidak sedikitpun mengurangi kegigihan dan keberanian pasukan kiyai jatira. Belanda mendatangkan  bantuan lagi dari semarang oleh karena kekuatan tidak seimbang dn peralatan yang dimiliki oleh tntara belanda serba modern, maka akhirnya pihak kiyai jatira mendapat tekanan yang besar sekali. Akhirnya siasat perang itu diubahnya dengan perang geriliya. 

Dengan politik Devide et im perannya Belanda berusaha membujuk kedua jawara itu untuk bisa siasat kecil yang dilancarkannya tidak membuat patah semangat, bahkan sebaliknya bisa menambah keberanian yang tidak pernah kunjung padam. Setelah Belanda mengetahui siasat ini tidak berhasil, maka disiapkannya pasukan yang besar jumlahnya dan peperangan itu terjadi begitu sengitnya dan hampir kedua jawara itu tertangkap namun keduanya tidak habis pikir dikomandokannya pasukan berjuang sampai tetesan darah terakhir. Beliau memakai senjata terhunus dan mengenakan pakaian perang hingga perang ini berlangsung beberapa saat, dengan terus-menerusnya perang prajurit dan kedua pimpinan itu kehabisan bekal. Setelah mengetahui hal itu keduanya memerintahkan pasukan untuk mundur, Sedangkan Tubagus Serit dan Tubagus Rangin berada di barisan paling depan. Tapi pukulan yang di berikan Belanda semakin berat. Akhirnya keduannya membuka pakaian untuk menyelamtkan diri kemudian baju perang itu dimasukan kedalam sumur yang disampingnya tumbuh kedongdong. Di atas pohon itu dikibarkan bendera merah tanda menantang. Setelah itu keduannya meniggalkan tempat itu dan bergabung dengan kiyai jatira.‎
Setelah damai dengan memperalat sultan cirebon, mereka beranggapan dapat membujuk dan menangkap Tubagus Serit dan Tubagus Rangin.

Belanda mengira Tubagus Serit dan Tubagus Rangin telah mati karena melihat baju perangnya berada dalam sumur. Kemudian Belanda mengumumkan bahwa keduanya telah mati dan peristwa itu belanda menamakan " PERISTIWA KEDONGDONG "  dan sampai sekarang tempat ini dinamakan desa kedongdong.

Pengaruh kiyai jatira ioni terus meluas sampai kedaerah Sumedang, Karawang, Indramayu, Cirebon, Tegal dan Kuningan. Kiyai jatira yakin bahwa perjuangan melawan Belanda ini tidak mungkin diteruskan oleh beliau sendiri. Karena itu beliau mendidik kader pejaung-pejuang islam di pon-pes tersebut. Sampai wafat diusia yang sangat lanjut. Beliau berhasil kader-kadernya yang terbesar di seluruh jawa. Baru setelah beliau wafat pimpinan pondok dilanjutkan oleh menantunya yang bernama kiyai Nawawi. Kemudian terus-menerus pimpinan pondok tersebut dilanjutkan oleh keturunan beliau.
Kiai Amin, Kiai Kelana

Kiai Amin bin Irsyad, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Amin Sepuh, lahir pada hari Jum’at, tanggal 24 Dzulhijjah 1300 H, bertepatan dengan tahun 1879 M, di Mijahan Plumbon, Cirebon, Jawa Barat. Beliau adalah termasuk ahlul bait, dari silsilah Syech Syarif Hidayatullah.

Kiai Amin adalah sosok santri kelana tulen. Kiai Amin semasa kecil belajar ilmu agama kepada ayahnya, yaitu Kiai Irsyad (wafat di Makkah). Kemudian, setelah dirasa cukup menguasai dasar-dasar ilmu agama dan ilmu kanuragan dari sang ayah, beliau dipindahkan ke pesantren Sukasari, Plered, Cirebon di bawah asuhan Kiai Nasuha. Setelah itu beliau pindah ke sebuah pesantren di daerah Jatisari di bawah bimbingan Kiai Hasan.Dan beliau pun terus berkelana ke berbagai tempat untuk menuntut ilmu dari para ulama yang mumpuni.

Beliau juga sempat belajar di Pesantren Kaliwungu Kendal (kakak angkatan KH. Ru’yat), setelah itu ke pesantren Mangkang Semarang. Setelah itu beliau pindah ke sebuah pesantren di daerah Tegal, di bawah asuhan Kiai Ubaidah.Kemudian beliau pindah ke Pesantren Bangkalan Madura, tepatnya beliau belajar kepada Syaikh KH.Cholil.Ketika berada di Bangkalan beliau di bawah bimbingan Kiai Hasyim Asy’ari, yang mana pada waktu itu KH.Hasyim Asy’ari masihtahassus kepada KH.Cholil. Kemudian setelah kepulangan KH.Hasyim Asy’ari ke Pesantren Tebu Ireng Jombang, KH.Amin Sepuh pun bertahassus kepada beliau.

Belum kenyang belajar di Pesantren Tebu Ireng, beliau bertolak ke tanah Arab untuk memperdalam ilmu.Salah satu guru beliau di Makkah adalah Kiai Mahfudz Termas, seorang ulama ternama di Makkah asal Pacitan Jawa Timur.Sebagai seorang santri yang sudah cukup matang, beliau pun mendapat tugas untuk mengajar para santri mukim, yaitu prlajar Indonesia yang tinggal di Makkah.

Kepengasuhan Pondok Pesantren Raudlotut Tholibin, Babakan Ciwaringin

Berdasar amanah dari sang ayah, yaitu Kiai Irsyad (cucu Ki Jatira, pendiri Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon), Kiai Amin diamanatkan untuk menimba ilmu kepada Kiai Ismail bin Nawawi di Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.

Ketika mesantren di Babakan Ciwaringin, beliau dikenal dengan sebutan Santri Pinter, karena beliau pandai mengaji.Setelah beliau menyelasaikan tahassus, kemudian beliau dinikahkan dengan keponakan Kiai Ismail.

Sehingga sepeninggal Kiai Ismail, pada tahun 1916, pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin (Cikal bakal Pondok Pesantren Raudlotut Tholibin) diteruskan oleh muridnya, yaitu Kiai Muhammad Amin bin Irsyad, yang lebih dikenal dengan dengan Kiai Amin Sepuh. Gelar itu disematkan kepada beliau, dikarenakan keilmuan dan asal muasal beliau yang sama dengan pendiri Pesantren Babakan, yaitu Kiai Jatira dari Mijahan.

Dengan bermodal ilmu pengetahuan yang telah ia peroleh, serta upaya untuk mengikuti perkembangan Islam yang terjadi di Timur Tengah, Kiai Amin Sepuh memegang tampuk pimpinan Pesantren Babakan Ciwaringin, peninggalan nenek moyangnya dengan penuh kesungguhan.

Kiai muda yang masih energik ini, selain mengajar berbagai khazanah kitab kuning, beliau juga memperkaya pengetahuan para santrinya dengan ilmu keislaman modern, tentu dengan tetap mempriotrotaskan kajian ilmu ubudiyah dalam kehidupan sehari-hari.‎

Perkembangan Pondok Pesantren Raudlotut Tholibin

Pada masa penjajahan, para santri kelana inilah yang menjadi mediator antar pesantren untuk melawan penjajah.Sementara pesantren di manapun berada, pesantren selalu menjadi basis perlawanan yang menakutkan bagi penjajah. Para santri kelana ini menyebarkan informasi dari satu tempat ke tempat yang lain, dan tak jarang pula mereka yang menjadi garda depan dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah.

Paska revolusi kemerdekaan, beliau terus mengembangkan Pesantren dengan berbagai aral melintang.Bahkan situasi dahsyat yang pernah dialami adalah ketika Agresi Militer Belanda ke dua, tepatnya pada tahun 1952, Pondok Pesantren Babakan diserang Belanda. Dikarenakan KH. Amin Sepuh sebagai sesepuh Cirebon, merupakan pejuang yang menantang penjajah.Pada saat itu pondok dikepung dan dibakar.Sehingga membuat para santri pulang, sedang para pengasuh beserta keluarga mengungsi.

Baru dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1954, Kiai Sanusi, salah satu murid KH. Amin Sepuh, merupakan orang yang pertama kali kembali dari pengungsiannya. Sisa-sisa kitab suci berantakan, dan banyak kiatab karya KH.Amin Sepuh yang habis terbakar.Bangunan telah hancur, tnggal puing-puing, dan menjadi tampak angker.Namun secara bertahap lingkungan pondok mulai dibersihkan.

Kemudian pada tahun 1955,setelah situasi sudah mulai kondusif, KH.Amin Sepuh akhirnya kembali ke Babakan, kemudian diikuti oleh para santri berdatangan dari berbagai pelosok.Semakin hari, santri terus bertambah banyak, dan Pondok Raudhotut Tholibin pun akhirnya tidak dapat menampung para santri, sehingga para santri dititipkan di rumah para ustadz, seperti halnya KH. Hanan dan KH.Sanusi.

Pada perkembangannya, anak cucu beliau turut mendirikan dan mengembangkan PondokPesantren.Sehingga Pondok yang awalnya hanya satu, yaitu Pondok Pesantren Raudlotut Tholibin, sekarang telah menjadi banyak.Dan tercacat pada tahun 2012, telah terdapat sekitar 40 Pondok di lingkungan Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.‎

Kiai Amin dan Peristiwa 10 November 1945

Diceritakan dalam sebuah majelis, bahwasanya almarhum KH. Abdul Mujib Ridlwan, Putra KH. Ridlwan Abdullah Pencipta lambang NU, mengajukan sebuah pertanyaan, “Kenapa perlawanan rakyat Surabaya itu terjadi 10 November 1945, kenapa tidak sehari atau dua hari sebelumnya, padahal pada saat itu tentara dan rakyat sudah siap?”

Melihat tak satupun hadirin yang dapat menjawab, akhirnya pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Kiai Mujib, “Jawabannya adalah saat itu belum diizinkan Hadratus Syaikh KH.Hasyim Asy’ari untuk memulai pertempuran, mengapa tidak diizinkan? Ternyata Kiai Hasyim Asy’ari menunggu kekasih Allah dari Cirebon yang akan datang menjaga langit Surabaya, beliau adalah KH. Abbas Abdul Jamil dari Pesantren Buntet Cirebon dan KH.Amin Sepuh dari Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.”

KH.Amin Sepuh adalah seorang ulama legendaries dari Cirebon.Selain dikenal sebagai ulama, beliau juga pendekar yang menguasai berbagai ilmu bela diri dan kanuragan.Beliau juga seorang pakar kitab kuning sekaligus jagoan perang.

Sehingga saat mendengar Inggris akan mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945 dengan misi mengembalikan Indonesia kepada Belanda, maka KH.Amin menggelar rapat bersama para Kiyai di wilayahnya.Menurut penuturan Kiai Fathoni, pertemuan itu dilakukan di daerah Mijahan, Plumbon, Cirebon.Bersama dengan Kiai Amin, Kiai Fathoni menjadi saksi pertemuan yang melibatkan KH. Abbas Abdul Jamil Pesantren Buntet, KH. Anshory (Plered), dan ulama lain. “Namun, saat itu saya masih kecil”, tutur pria yang dipercaya sebagai penerus pengasuhan Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon tersebut.

Pertemuan itu ditindaklanjuti dengan pengiriman anggota laskar ke Surabaya untuk menghadang 6000 pasukan Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigadir Jenderal AWS Mallaby. Tidak ketinggalan, KH.Amin juga ikut berangkat ke Surabaya serta turut mengusahakan pendanaan untuk biaya keberangkatan.Kyai Fathoni mengatakan bahwa untuk pendanaan, beliau menyerahkan 100 gram emas yang terdiri dari kalung, gelang, dan cincin.

Kepahlawanan KH Amin dalam peristiwa 10 November memang cukup legendaris sampai sekarang.Bahkan saat itu ada stasiun radio yang menyiarkan bahwa KH.Amin adalah seorang yang tidak mempan senjata maupun peluru saat bertempur di Surabaya.Bahkan, dia juga dikabarkan tidak mati, meski dilempari bom sebanyak 8 kali.Siaran inilah yang membuat kepulangan KH.Amin ke Cirebon disambut oleh 3000-an orang untuk meminta ijazah kekebalan darinya.Kondisi ini tentu saja membuatnya marah.Sampai-sampai beliau mengatakan bahwa beliau tidak mati karena bomnya meleset, kenang Fathoni saat ayahnya datang dari Surabaya

Estafet Kepengasuhan

Pada masa pengasuhan KH. Amin Sepuh, Pondok Raudlotut Tholibin, Babakan mencapai kemasyhuran dan masa keemasan serta banyak andil dalam mencetak tokoh-tokoh agama yang handal. Hampir semua Kiai Sepuh di wilayah 3 Cirebon adalah muridnya, dan sebagian juga tersebar di berbagai belahan nusantara.Seperti Kang Ayip Muh (Kota Cirebon), KH. Syakur Yasin, KH. Abdullah Abbas (Buntet), KH. Syukron Makmun, KH. Hannan, KH. Sanusi, KH. Machsuni (Kwitang), KH. Hasanuddin (Makassar). Di Babakan sendiri, murid-murid beliau banyak yang mendirikan pesantren, seperti halnya KH. Muhtar, KH. Syaerozi, KH. Amin Halim, KH. Muhlas dan KH. Syarif Hud Yahya.Dan pada saat ini, ribuan alumni telah tersebar di seluruh penjuru tanah air, dengan bermacam profesi dan jabatan di masyarakat maupun lembaga pemerintahan, baik sipil maupun militer.

Pasca Revolusi Kemerdekaan beliau dibantu adik iparnya sekaligus muridnya KH. Sanusi terus mengembangkan Pesantren dengan berbagai aral melintang. Bahkan yang dahsyat adalah ketika Agresi Belanda, tepatnya tahun 1952 Pondok Pesantren diserang Belanda. Dikarenakan KH. Amin sepuh sebagai sesepuh cirebon merupakan pejuang yang menentang penjajah. Pondok dibakar dan dikepung. Para santri pergi dan para Pengasuh beserta keluarga mengungsi.

Dua tahun kemudian, tahun 1954, KH. Sanusi yang masih salah satu murid KH. Amin Sepuh adalah orang yang pertama kali datang dari pengungsiannya. Sisa-sisa kitab suci berantakan, termasuk karya-karya KH. Amin Sepuh, habis dibakar, bangunan hancur dan nampak angker. Semua itu secara bertahap dibereskan lagi.

Tahun 1955 KH. Amin Sepuh kembali ke Babakan, kemudian para santri banyak berdatangan dari berbagai pelosok. KH. Amin sepuh yang menjadi pengasuh Pondok Gede kembali memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada para santrinya yang makin lama makin meluap. Pondok Raudhotut Tolhibin tidak dapat menampung para santri. Hingga santrinya dititipkan dirumah-rumah ustadnya seperti KH. Hanan, dirumah KH. Sanusi, dsb. hingga kelak anak cucunya membentuk dan mengembangkan pesantren-pesantren seperti sekarang ini. Sehingga Pondok yang awalnya hanya satu (Ponpes Raudlotut Tholibin) sekarang menjadi banyak.

Nama-nama asrama pesantren dimaksud adalah:
Komplek Babakan Utara, terdiri dari
Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin yang didirikan oleh KH Amin (saat ini diasuh oleh KH Afif Zuhri Amin). Ini pesantren pertama di Babakan Ciwaringin.
Kemudian Asrama Fatimiyah Ma'hadul Ilmi/AFMI (saat ini diasuh oleh KH Maksum Mochtar)
Pondok Pesantren Asrarur Rafiah (KH Muhtadi Syarief)
Pondok Pesantren Al-Badar (saat ini diasuh oleh KH Tohari)
Pondok Pesantren Mahad at-Talim al-Baqiyah as-Salihah/MTBS (saat ini diasuh oleh Ustadz Yusuf)
Pondok Pesantren Ma'hadul Ilmi (saat ini diasuh oleh Ustadz Hamzah Hariri)
Pondok Pesantren az-Ziyadah (saat ini diasuh KH. Asmawi)
Pondok Pesantren al Barakah (Didirikan oleh KH Syadzili)
Balai Pendidikan Pondok Putri/Bapenpori (saat ini diasuh oleh KH. Amin Fuad)
Pondok Pesantren As-Sanusi (diasuh oleh KH Abdul Kohar)
Pondok Pesantren Dahlia (Ustadz Marzuki)
Pondok Pesantren As-Syuhada (Ustadz Toha Amin)
Pondok Pesantren As-Saadah (Ustadz Abdurrahman)
Pondok Pesantren Ikhwanul Muslimin/PPIM (saat ini diasuh oleh KH Natsir)
Pondok Pesantren at-Taqwa (Ustadz Busyer)
Pondok Pesantren al-Munir (Ustadz Munir)
Pondok Pesantren al-Furqan (Ustadz Hasan)
Pondok Pesantren Al-Mustain (Ustadz Marzuki)
Pondok Pesantren Al-Faqih (didirikan oleh KH M. Thobiin).

Sementara Pesantren Babakan Selatan, terdiri dari:
Pondok Pesantren Miftahul Muta'allimin pesantren pertama di wilayah Selatan (Didirikan oleh Kyai Mad Amin, saat ini diasuh oleh KH Syarief Hud Yahya)
Pondok Pesantren Assalafie (didirikan oleh KH Syaerozi, saat ini diasuh oleh KH Azka Hammam Syaerozi dan KH Yasyif Maemun Syaerozi)
Pondok Pesantren Muallimin-Muallimat (didirikan oleh KH. Amin Halim, saat ini diasuh oleh KH Zamzami Amin dan KH Marzuki Ahal)
Pondok Pesantren Assalam (diasuh oleh KH Mukhtasun)
Pondok Pesantren Kebon Jambu (didirikan oleh KH Muhammad, saat ini diasuh oleh Ustadz Asror Muhammad)
Pondok Pesantren Raudlatul Banat (didirikan oleh KH Syarief Hud Yahya)
Pondok Pesantren Al Muntadhor (diasuh oleh KH Burhanuddin)
Pondok Pesantren Al Hikmah (diasuh oleh KH Nasihin Aziz)
Pondok Pesantren Hadiqah Usyaqil Quran/HUQ (Diasuh oleh KH Nurhadi Thayib)
Pondok Pesantren al Ikhlas (diasuh oleh KH Mukhlas)
Pondok Pesantren Asshalihah (didirikan oleh KH Hasan Palalo)
Pondok Pesantren al Huda (diasuh oleh Ustadz Rumli Muntab)
Pondok Pesantren Masyarikul Anwar (diasuh oleh KH Makhtum Hanan)
Pondok Pesantren Al Kamaliyah (diasuh oleh KH Tamam Kamali)
Pondok Pesantren Al Kautsar (KH Muhaimin)

Pada masa pengasuhan KH. Amin Sepuh, Pondok Babakan Ciwaringin mencapai kemasyhuran dan masa keemasan serta banyak andil dalam mencetak tokoh-tokoh agama yang handal, hampir semua Kiyai sepuh di wilayah 3 Cirebon bahkan menyebar ke pelosok Indonesia adalah muridnya, sebut saja Kang Ayip Muh (kota Cirebon), KH. Syakur Yassin, KH. Abdullah Abbas (Buntet), KH Syukron Makmun, KH. Hannan, KH Sanusi, KH.Machsuni (Kwitang), KH Hassanudin (Makassar), di Babakan sendiri beberapa muridnya mendirikan pesantren seperti : KH. Muhtar, KH Syaerozi, KH. Amin Halim, KH. Muhlas, KH Syarif Hud Yahya..dll.

Artefak pesantren Babakan Ciwaringin (Raudlotut Tholibin) sendiri masih eksis. Sejak KH. Amin sepuh wafat pada tahun 1972, disusul KH.Sanusi yang wafat pada tahun 1974 M, kepengurusan dilanjutkan oleh KH.Fathoni Amin sampai tahun 1986 M.

Setelah KH. Fathoni wafat, kepengurusan pesantren dilanjutkan oleh KH.Fuad Amin (wafat tahun 1997) beserta KH. Bisri Amin (wafat tahun 2000 M). kemudian diteruskan oleh KH. Abdullah Amin (wafat tahun 2008) beserta KH. Drs. Zuhri Afif Amin (wafat pada tahun 2010 M). Setelah KH. Drs. Zuhri Afif Amin wafat, kepengurusan dilanjutkan oleh cucu-cucu KH. Amin Sepuh, para ulama serta masyarakat yang berkompeten untuk kemajuan pesantren.

Kepulangan KH. Amin Sepuh

KH. Amin Sepuh bepulang ke rahmatullah pada hari Selasa, tanggal 16 Rabi’ul Akhir 1392 H,bertepatan dengan tanggal 20 Mei 1972 M. Bangsa ini kembali kehilangan sosok pahlawan tanpa tanda jasa, yang begiru gigih mempertahankan keutuhan bangsa Isdonesia. Semoga Allah menerima segala amal beliau dan menempatkannya di tempat yang mulia, amin.‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...