Kamis, 21 Oktober 2021

Kepribadian Seorang Santri


Ta’lim Muta’allim book, which is thought in almost of boarding school in Indonesia, has major influence in forming student’s personality. Generally, the student’s personality has Islamic positive ethics and behavior. The personality of Islamic student is made the target of study in Islamic boarding school, beside that it is made as the study’s method and ethic to reach the target. There are two study method which have been submitted by Ta’lim; rational method and irrational method. The rational method as like as in modern education, among of them drill method, question and answer, discussion, etc. the irrational method are ethics method, kindness, and behavior. These two methods are the grateful of Ta’lim’s method to reach the study target which can’t found in modern education.

Pesantren adalah  merupakan kelanjutan pendidikan si anak didik yang telah diawali  dari orang tua dalam keluarga. Komunmitas  pesantren terdiri dari santri, guru (ustadz)  dan Kyai. Para ustdaz dan Kyai inilah yang  menjadi orang tua santri di dalam pesantren bahkan disebut lebih tinggi yakni bapak dalam agama. Hubungan antara Kyai, Ustadz dan santri  seperti hubungan antar keluarga yang saling menyayangi dan menghormati.  Di samping itu lingkungan pesantren  adalah lingkungan religius  yang dapat menggabungkan antara ilmu teoritis dan pragmatis. Anak-anak santri dalam pesantren terbina dengan pendidikan yang optimal dan lingkungan yang sangat mendukung.

Santri adalah istilah atau sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan, pengajaran, atau pelatihan keagamaan atau Ilmu-ilmu agama Islam yang biasanya disebut dengan istilah Mengaji di sebuah tempat yang di namakan Pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut hingga merasa cukup atau di anggap cukup oleh Kyai.

Namun dari bahasa apakah kata Santri itu?
Disini ada beberapa pendapat :
Pendapat yang pertama kata Santri berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu Shastri yang memiliki akar kata yang sama dengan Sastra yang berarti Kitab suci, Agama, dan Pengetahuan.

Pendapat yang lain adalah bahwa kata Santri berasal dari Bahasa Jawa yaitu Cantrik yang mempunyai arti para pembantu bagawan atau resi, seorang cantrik belajar Moralitas dan Ilmu tentang kehidupan dari para bagawan dan resi sebagai imbalan sang cantrik membantu meringankan pekerjaan rumah tangga harian dari bagawan atau resi yang lazim di sebut dengan istilah Ngabdi. gambaran seperti ini tak beda jauh dengan gambaran santri yang mondok di pesantren.

Pendapat yang lain lagi menyatakan bahwa kata santri berasal dari Bahasa Arab Santaro (Sin, nun, Ta', Ro')
Sin mempunyai pengertian Satrul Aurot atau menutup aurat, seorang santri pria biasa digambarkan berpakaian baju koko  berkain sarung, dan memakai peci atau songkok, sedang yang wanita biasa digambarkan berbusana yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, gambaran seperti ini merupakan pelaksanaan dari perintah Allah untuk menutup aurat meskipun dalam bentuk tata busana yang di sesuaikan dengan kearifan lokal.
Nun mempunyai pengertian Na'ibul Ulama' atau pengganti atau wakil ulama', sedangkan Ulama' adalah warotsatul anbiya' yakni pewaris para nabi dalam hal Ilmu dan tabligh mengajak manusia pada keluhuran akhlaq budi pekerti dengan melalui teladan dan pendidikan, jadi dengan demikian seorang santri selalu dituntut untuk terus-menerus mengasah kemampuannya dan semakin memperbaiki akhlaqnya karena jika seorang ulama' wafat dia dituntut untuk mampu melanjutkan estafet tugas dan perjuangannya.
Ta' mempunyai pengertian Tarkul ma'asyi atau meninggalkan ma'syiyat yakni suatu perbuatan melanggar larangan Allah. sebagai konsekwensi dari ilmu adalah amal, kalau sudah dikaji dan difahami baik-baik mana yang merupakan perintah dan mana yang merupakan larangan Allah maka implementasi dari Takwa adalah melaksanakan segala yang di perintahkan Allah dengan sekuat tenaga dan menjauhi segala yang di larang Allah dengan sungguh-sungguh pula. bagaimana seorang santri mampu memberi pencerahan pada kaumnya kalau misalnya dia sendiri sedang bergelimang dalam kegelapan lumpur kemaksiyatan.
Ro' mempunyai pengertian Ra'isul Ummah atau pemimpin ummat ini merupakan gmbaran dari firman Allah dalam Surat Attaubah 122 :   
وما كان المؤمنون لينفروا كافة فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا فى الدين ولينذروا قومهم اذا رجعوااليهم لعلهم يحذرون

Dan tidak sepatutnyalah orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang) , mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka untuk memberi peringatan pada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga diri mereka

Berdasar pengertian seperti ini tentulah santri menjadi mahluk yang istimewa karena harus memiliki karakter ideal seorang manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi, memberi pencerahan pada kaumnya, dan teladan keluhuran moral, tentu manusia yang memiliki karakter seperti ini semakin lama semakin di telan zaman yang semakin permissif dan dekaden, suatu kondisi yang sebenarnya sudah di gambarkan Rasulullah S.A.W sendiri sebagai tanda zaman sudah benar-benar akhir.

Namun dalam kosa kata arab asli santri disebut dengan Thullab ‎

Sedangkan Pondok Pesantren adalah tempat para santri belajar, mengaji dengan segala aktifitasnya, beristirahat, dan segala kegiatan manusia pada umumnya yakni makan, minum dsb. gambaran umum seperti ini juga berlaku pada hampir tiap pondok pesantren baik kecil dengan jumlah santri puluhan orang saja atau yang besar dengan jumlah santri puluhan ribu orang.

Pondok Pesantren biasa di terjemahkan ke dalam Bahasa Arab sebagai Ma'had atau Al-ma'haduddini.

 Kyai adalah tokoh sentral dalam kehidupan pesantren, boleh di bilang raja kecil. Segala denyut nadi pesantren, kemajuan dan kemunduran pendidikan biasanya tergantung dari kehebatan atau ketidak hebatan sang kyai.

Istilah kyai tidak berasal dari bahasa arab, tapi dari bahasa Jawa, biasanya kata kyai digunakan untuk gelar salah satu dari tiga hal berikut :

Gelar kehormatan benda-benda yang di anggap keramat, misalnya Kyai Garuda Kencana sebutan untuk kereta kraton yogjakarta, Kyai Jagur untuk meriam dsb.
Panggilan atau sebutan untuk orang yang sudah tua umurnya.
Gelar untuk seseorang yang di tuakan atau di hormati masyarakat, boleh karena kemampuan keagamaannya, pimpinan pesantren, pengajar kitab-kitab Islam klasik atau di anggap punya kemampuan linuwih.  
Pola gambaran Santri, Pondok Pesantren, dan kyai seperti di atas sebenarnya merupakan gambaran umum pola penyampaian ajaran oleh Para Nabi, lihatlah misalnya kisah nabi Isa Alaihis salam beserta para muridnya, juga pada zaman Rasulullah Shollallohu Alaihi wasallam beserta para sahabat khususnya Ahlus Suffah yang selalu berada tak jauh dari Rasulillah untuk mendengar ajarannya.

Jadi pola pendidikan pesantren tidaklah meniru sistem mandala, namun original asli pola pendidikan Para Nabi, Para Salafus Sholihin, Para Awliya', dan para pengemban ajaran Muhammad S.A.W hingga Akhir Zaman.

Di zaman sekarang banyak sekali orang tua yang ingin menjadikan buah hatinya menjadi anak yang soleh dan solehah dan pastinya berbakti kepada orangtuanya. Tindakan yang diambil oleh kebanyakan para orangtua adalah dengan memasukkan anaknya ke pensantren. Seiring dengan berjalannya waktu sudah banyak lembaga pendidikan yang berbasis pesantren tersebar luas di seluruh nusantara ini, mulai dari yang terkenal sampai yang pelosok desa. Ketika seorang anak memasuki atau mulai belajar dipesantren maka dia pantas untuk disebut dengan “santri”.

Nah ada 3 hal yang harus bisa kamu lakukan sehingga kamu pantas menjadi seorang santri, yaitu :

Bisa Melaksanakan Sholat Tepat Waktu
banyak orang yang meremehkan tentang pelaksanaan sholat tepat dengan waktunya, jika sholat seseorang sudah tidak pada waktunya maka kemungkinan dia akan sholat sendirian ataumunfarid. Padahal kita telah mengetahui keutamaan dalam sholat tepat waktu dan sholat berjamaah khususnya buat laki-laki. Ini dia dalil untuk sholat tepat pada waktunya :‎
 
عَنْ عَبْدِ اللهِ اِبْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ العَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلَاةُ عَلىَ وَقْتِهَا قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: بِرُّ الوَالِدَيْنِ قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟

قَالَ: الجِهَادُ فِى سَبِيْلِ اللهِ .
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang amal apakah yang paling dicintai oleh Allah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Shalat pada waktunya”. Ibnu Mas’uud berkata : “Lalu apa ?”. Beliau menjawab : “Berbuat baik kepada kedua orang tua”. Ibnu Mas’uud berkata : “Lalu apa ?”. Beliau menjawab : “Jihad di jalan Allah”.

Lebih baiknya lagi ketika Adzan berkumandang maka bersegeralah untuk mendirikan sholat dan diusahakan untuk sholat di masjid, karena sholat di masjid pasti tepat waktu dan pastinya juga berjamaah.
Nah yang ini dalil tentang sholat berjamaah :

(صَلَاةُ الجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنَ الصَّلَاةِ الفَدِّ بِسَبْعِ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً (رواه البخار

Sholat berjamaah lebih baik 27 derajat pahala daripada sholat sendirian. (HR Bukhori)

Bisa Membaca Al-Qur’an dengan Baik dan Benar
Untuk yang kedua ini adalah yang paling penting. Sahabat santri gaul masa’ sudah masuk ke pesantren tetapi belum bisa membaca Al-Qur`an dengan baik dan benar? Malu sama orangtua dan keluarga, perlu dipertanyakan ke’santri’annya. hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan tentang keutamaan membaca Al-Qur`an:

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِه

“Bacalah oleh kalian Al-Qur`an. Karena ia (Al-Qur`an) akan datang pada Hari Kiamat kelak sebagai pemberi syafa’at bagi orang-orang yang rajin membacanya.” [HR. Muslim 804]
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk membaca Al-Qur`an dengan bentuk perintah yang bersifat mutlak. Sehingga membaca Al-Qur`an diperintahkan pada setiap waktu dan setiap kesempatan.

Jangan lupa kunci dalam membaca Al-Qur`an, yaitu tajwidnya, makhorijul huruf-nya, dan kalau bisa dibaca dengan tartil atau dengan qira’ah.

Bisa Memberi dan Menjadi Contoh yang Baik

Sahabat santri gaul inilah yang nantinya diperhatikan oleh keluarga dan masyarakat ketika seorang santri keluar dari pesantren, bagaimana kelakuannya di depan mereka? Apakah bisa memberikan contoh yang baik untuk mereka? Jangan Cuma bisa memberi contoh yang baik, tetapi juga harus bisa menjadi contoh yang baik seperti Nabi kita Nabi Muhammad SAW.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Nah sahabat santri gaul, dengan ke 3 hal yang tadilah mungkin yang bisa menjadi cermin bahwa kita adalah seorang santri dan bukan santri biasa, tetapi santri yang luar biasa dengan melengkapi 3 hal diatas.

Pembentukan rohani  adalah dengan memperbanyak dzikir, misalnya wirid, dzikir dan berdo’a setelah salat wajib, melanggengkan wudhu,  dalam keadaan bersuci dari hadats ketika mudzakarah, membaca kitab dan lain-lain. Alat utama  untuk membentuk kerohaniahan  adalah budhi dibantu  oleh tenaga-tenaga kejiwaan yang akan menghasilkan adanya kesadaran dan pengertian yang dalam. Segala pemikiran, pemilihan dan keputusan didasarkan pada kesadaran dan keinsyafan sendiri.

Lingkungan pesantren sangat mendukung  pembentukan rohani ini, karena suasana relegius karena kesatuan sistem pendidikannya dari madrasah, asrama dan masjid. Para santri melaksanakan segala aktifitas di pesantren seperti air mengalir artinya sangat mudah beraktifitas karena terbawa oleh kingkungan  di sekitarnya, seperti shalat berjamaah,  dzikir setelah shalat, mengaji kitab dari waktu ke waktu, mengaji al-Qur’an daln lain-lain. Suasana ini sangat mendukung dalam membentuk dan memperbaharui iman dan pembentukan rohani santri sebagaimana Rasululllah saw bersabda : “Perbaharuhilah imanmu dan perbanyaklah membaca “Ttidak ada Tuhan selain Allah” (HR. Ahmad)
Sifat-sifat Kepribadian Kesantrian
           ‎ 
‎Sebagaimana keterangan di atas bahwa kepribadian santri dijadikan sebagai etika atau metode untuk mencapai tujuan pembelajaran dan sekaligus sebagai tujuan pembelajaran itu sendiri yakni agar sifat-sifat kepribadian itu  melekat menjadi watak, tabiat dan pribadi. Paparan ini akan menjelaskan sifat-sifat keperibadian santri. Yang perlu dimaklumi terlebih dahulu, bahwa kepribadian  adalah keseluruhan sifat-sifat jasmani, rohani dan nafsani yang sudah menjadi watak seseorang sehingga membedakan   antara pribadi satu dengan lainnya. Namun,  bisa dikatakan bahwa kepribadian  yang terikat dengan kesantrian mempunyai persamaan atau hampir sama karena satu proses dan satu  produk pendidikan serta  lingkungan yang sama. Kepribadian adalah suatu hal yang abstrak dan non indrawi, tetapi dapat dilihat beberpa indikatornya yang disebut dengan sifat-sifat kepribadian santri. Di antara sifat kepribadian santri  yang sangat menojol adalah  sebagai berikut :
1. Ketekunan dalam pembelajran
           ‎ 
‎Di antara motivasi yang diberikan kitab Ta’lîm untuk mencapai keberhasilan dalam pembelajaran adalah kesungguhan, sebagaimana yang disebutkan di sebagaian sebab-sebab tercapainya hapalan adalah ketekunan, kontinuitas, mengurangi makan, shalat layl (salam malam hari) dan membaca al-Qur’an. Dikatakan,  bahwa tidak ada sesuatu yang lebih menambah daya hapal terhadap ilmu melainkan membaca al-Qur’an. ‎
            
‎Ketekunan dalam pembelajaran  yang ditawarkan adalah ketekunan lahir batin atau ketekunan pisik dan non pisik. Ketekunan pisik adalah ketekunan rasional yakni  kerja keras secara kontinui. Sedangkan ketekunan non pisik adanya pendekatan kepada Allah swt seperti berpuasa, mengurangi makan, shalat malam dan membaca al-Qur’an.

2. Ikhlas dalam pengabdian
            
‎Dalam mencapai tujuan pembelajaran, pengabdian yang ditanamkan kepada santri di samping  pengabdian kepada Allah adalah  pengabdian kepada guru. Guru di sini diposisikan seperti dokter  terhadap pasiennya, keduanya tidak akan mengantarkan  kesuksesan jika tidak dipatuhi. Pengabdian kepada guru dimaksudkan sebagai penghormatan dan kepatuhan, karena guru sebagai sumber ilmu  yang sangat berharga.  Penghormatan tersebut merupakan kewajiban santri terhadap orang alim,  bukan guru yang  minta dihormati. Sebagaimana   sabda Nabi  saw :

“Tidak tergolong umat kami barang siapa yang tidak menghormati orang  tua di antara kami,  tidak menyayangi yang lebih kecil di antara kami dan tidak mengetahui hak orang alim di antara kami”. (HR. Ahmad).
            
‎Ali bin Abi Thalib meskipun salah seorang  sahabat yang sangat alim sampai dikatakan Nabi sebagai “Pintu Kota Ilmu” menghambakan dirinya terhadap guru. Sebagaimana kata beliau : “Saya hamba orang yang mengajar aku satu huruf, jika ia berhendak  menjual aku atau memerdekakan dan atau tetap menjadikan buda”. ‎
            
‎Pada umumnya santri yang banyak membantu guru adalah santri yang dekat dan dicintai guru. Ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi santri dengan berharap ilmu yang didapatkannya mengandung keberkahan. Dan konsep seperti itu banyak dibuktikan para alumninya setelah pulang ke kampung halaman. Mereka sekalipun tidak terlalu banyak ilmunya tetapi mendapat kepercayaan masyarakat untuk membangun madarasah atau pesantren yang banyak santrinya.

3. Cinta dan Menghormati Ilmu    
           ‎ 
‎Ada  beberapa metode  yang dilakukan para santri sebagaimana yang dianjurkan kitab Ta’lîm dalam mencapai keberhasilan pembelajarannya, di antaranya menghormati ilmu itu sendiri, menghormati kitabnya dan menghormati guru  sebagai sumber ilmu serta  keluarganya.
a. Menghormati ilmu

Di antara cara menghormati ilmu adalah melanggengkan wudhu (bersuci) selama pembelajaran berjalan. Alasan yang dikemukakan al-Zarnujî adalah ilmu itu cahaya, berwudhu juga cahaya, cahaya ilmu akan bertambah dengan cahaya berwudhu. Syeikh al-Zarnujî menganjurkan agar  para santri benar-benar mendengarkan dan memperhatikan ilmu yang disampaikan guru dengan penuh ta’zhim dan rasa hormat, sekalipun sudah pernah mendengar berkali-kali. Sebagaimana kata beliau dengan mengutip  kata sebagian ulama, bahwa orang yang  ta’zhimnya kepada guru (dalam ilmu ) setelah mendengar 1000 kali tidak seperti ta’zhimnya pada pertama kali, tidak tergolong  ahli ilmu.‎

Retorika Ta’lim memang indah sesuai dengan psichlogi para santri yang pada umunya anak remaja atau muda. Setiap pesan-pesan yang diberikan selalu dibungkus dengan motoivasi-motivasi yang menarik jiwa mereka sehingga seorang santri terbawa untuk melaksanakannya dengan senang hati. Misalnya pada  anjuran mendengarkan atau memperhatikan ilmu disertai motivasi menjadi seorang ilmuan atau pakar ilmu.
b.  Menghormati kitab-kitab  ilmu
 
‎Cara lain yang dilakukan adalah menghormati kitab yang berisikan ilmu. Sebagaimana kata al-Zarnujî, bahwa di antara ‎ta’zhim (hormat ilmu) yang wajib  adalah tidak memanjangkan kaki ke arah kitab, menumpuk kitab Tafsir  di atas segala kitab lain karena keagungannya dan  tidak meletakkan sesuatu benda di atas kitab (Ibrahim : 18)  Di sinilah letak perbedaan yang menonjol antara antara santri yang mempelajri kitab Ta’lîm dengan santri  atau pelajar yang tidak pernah mempelajrinya. Bagi santri atau pelajar  yang tidak pernah mempelajarinya tidak merasa salah ketika memanjangkan atau melonjorkan  kaki ke arah kitab, bahkan menarauh kitab sembarangan di tempat yang tidak terhormat. Bahkan meletakkan al-Qur’an pun sembarangan temapt tidak ada rasa ta’zhim ‎dan penghargaan yang tinggi.

Di antara penghormatan kepada kitab ilmu juga menghormati kepada penulisnya, karena penulispun sebagai guru utama baik lagsung maupun tidak langsung. Realisasi penghormmatan para santri dan para guru santri pada umumnya ketika memulai akan membaca  atau mengajarkan sebuah kitab selalau membaca surah al-Fatihah. Atau selalu mendoakan penulisnya, sebagaimana yang sering dibaca :
قَالَ الشَّيْخُ الْمُؤَلِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تعَالَى ونَفَعنَا بهِ وَبُعلُوْمِهِ فِي الدَّارَيْنِ آمين
 
‎Syeikh penulis buku berkata, semoga Allah merohmatinya dan memberi manfaat ilmunya kepada kita dunia akhirat.
c. Menghormati guru dan keluarganya
           ‎ 
‎Di antara penghormatan terhadap guru yang dipaparkan kitab Ta’lîm, adalah tidak berjalan di depan guru, tidak duduk di tempat duduk guru,  tidak memulai berbicara  kecuali dengan izin, tidak banyak bertanya pada saat guru lelah, harus menjaga waktu dan  tidak mengetuk pintu ketika bertamu tetapi sabar sampai guru keluar. Singkatnya santri mencari rida guru, menjauhi yang dibenci guru dan melaksanakan yang diperintah kecuali maksiat kepada Allah. Berikutnya Syeikh al-Zarnujî mengutip dari perkataan Syeikh Imam Sadid al-Dîn al-Syairazî, bahwa para masyâyikh (para gurunya) berkata :  Barang siapa yang ingin   anaknya  menjadi orang alim   hendaknya menghormati para ulama dan para guru terutama yang hidup dalam perantauan. Hormati mereka, agungkan mereka dan beri hadiah. Jika tidak anaknya, cucuknya akan menadi orang alim.‎

Sedangkan alinea berikutnya ada motivasi seorang ingin menjadi alim atau anak kalau tidak cucunya hendaklah menghormati guru dan mencari ridanya.

Dalam kitab Ma’a al-Raîl al-Awwal, bahwa Imam Abu Hanifah (w.150 H) mengatakan ; Aku tidak shalat  sejak wafat gurunya  yakni Syeikh Hammad bin Muslim al-Asy’ari (w. 120 H) kecuali aku memohonkan ampunan bersama ayahandaku  dan aku tidak pernah melonjorkan kakiku  ke arah rumahnya yang jaraknya kurang lebih 7 gang. Sungguh aku memohonkan ampunan  kepada orang yang aku pernah belajar dari padanya atau orang yang pernah mengajar aku. (Muhib al-Dîn al-Khathîb,tth. : 68)    

Di antara penghormatan kepada guru adalah menghormatan kepada anak, istri atau  keluarganya. Anjuran ini disertai dengan kisah yang menarik. Seorang Ulama besar  Syeik al-Islam Burhan al-Dîn pengarang kitab al-Hidayah, mengkisahkan bahwa salah seorang ulama senior dari negeri Bukhara duduk di majlis pengajaran, sesekali ulama itu beridiri. Ketika ditanya  para santrinya, beliau menjawab : “Anak guru saya bermain sama teman-temannya di jalanan, ketika aku melihat aku berdiri karena ta’zhim ‎kepada guru saya”.
   
‎Pesan Ta’lîm pada alinea di atas disertai bukti-bukti pengalaman sejarah, kisah atau peristiwa yang terjadi sebagai kisah ahli didik bagaimana ia dapat mencapai sutu tujuan yang dinginkan dengan cara penghormatannya kepada guru dan keluarganya. Dengan demikian mudah dicerna dan dipahami oleh murid, kartena semua orang pada umumnya senang mendengar cerita-cerita atau kisah orang-orang yang berpengalaman.

Banyak pertanyaan atau diskusi dengan guru   tentang ilmu tidak menghalangi makna ta’zhim (hormat ) terhadap guru. Kitab Ta’lîm sendiri menganjurkan bertanya kepada guru asal pada waktu dan kondisi yang tepat. Ibnu Abbas pernah ditanya, dengan apa engkau berhasil mendapatkan ilmu ?  Ibnu Abbas menjawab : “Dengan lesan yang banyak bertanya dan akal yang banyak berpikir”. ‎
           ‎ 
‎Tradisi sebagian santri atau pelajar yang lebih banyak diam di hadapan guru dan merasa tidak sopan banyak pertanyaan adalah tradisi budaya yang dipengaruhi oleh lingkungan setempat bukan anjuran dari kitab Ta’lîm,  kitab ini menganjurkan bertanya dengan sopan artinya  sesuai dengan waktu dan  kondisi yang baik. Bukankah Nabi telah mengajarkan penyampaian ilmu dengan tanya jawab. Ketika Jibril datang seperti seorang laki-laki datang duduk manis di hadapan Nabi sambil menyandarkanm kedua lututnya pada kedua lutut Rasulillah dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya dengan penuh ketenangan, penuh perhatian dan penuh ta’zhim. Kemudian Jibril  bertanya tentang iman, Islam dan ihsan. Setelah itu Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya ia Jibril datang  kepada kalian untuk mengajar agama kalian”. (HR Muslim)

4. Wara’ (menjaga dari hal yang haram) 
           ‎ 
‎Di antara sifat pribadi santri adalah ‎wara’ artinya berhati-hati dari barang haram. Bahkan wara’nya santri  yang diajarkan kitab Ta’lîm adalah menjauhi dari syubhat (barang yang tidak jelas statusnya antara halal dan haram), dan menjauhi dari makanan yang kurang berkah. Di antara ungkapan al-Zarnujî, sayogyanya santri menjaga dari makanan pasar jika mungkin,  karena makanan ini lebih mudah terkena najis atau kotoran,  menjauhkan   dzikir kepada  Allah dan lebih dekat kepada kemunafikan, menjadi arah pendangan orang-orang fakir sedang mereka tidak mampu membelinya sehingga menjadi sedih  sehingga menghilangkan keberkahan. ‎
            ‎
‎Memang sulit dan amat berat pada zaman sekarang  seseorang hidup bersifat wara’ menjaga dari hal yang haram, syubhat dan makanan pasar. Apa lagi hidup di kota-kota besar seperti di Jakarta  yang banyak tantangan dan godaannya. Di antara tantangannya hidup yang serba efektif dan efisien seperti budaya makanan yang siap saji bahkan makanan  matang masakan pasar siap disaji. Al-Qur’an perintah makan makanan yang halal dan yang baik (thayib) seperti dalam QS al-Mukminun : 51 :

Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 23:51)
            
‎Syeikh Muhammad Alawî al-Malikî memberikan komentar bahwa ayat tersebut memberi isyarat, bahwa makanan yang halal menolong   untuk beramal saleh. Oleh karena itu Ibrahim bin  al-Adham  berkata : “Buat sebaik mungkin makananmu dan tidak ada alasan engkau tidak bangun pada malam hari untuk beribadah dan berpuasa pada siang hari”. Artinya engkau tidak merasa terbebankan  dan tidak merasa berat melaksanakannya. Taufik Allahlah yang menyertaimu  sehingga engaku ringan menjalankannya. Demikian itu implikasi dari makanan halal, sebab setiap daging yang tumbuh dari makanan haram neraka lebih utama baginya. (al-Maliki/1393 : 107)
             
‎Dengan demikian makanan halal yakni yang   tidak mengandung haram, syubhat dan  yang tidak barakah punya pengaruh dalam pembentukan kepribadian santri yakni peribadi muslim yang berakhlak.

5. Tawâdhu’ (rendah hati)
           ‎ 
‎al-Zarnujî menukil bait-bait syair tentang  tawadhu’, di antaranya :
Sesungguhnya tawadhu’ itu di antara  sifat orang taqwa
Dan dengan taqwa  inilah seseorang  dapat naik ke derajat yang tinggi
Ilmu itu musuh bagi orang yang sombong
Bagaikan air musuh bagi tempat yang tinggi.‎
            
‎Semua sifat-sifat kepribadian yang dipaparkan al-Zarnujî selalu dikaitkan dengan tercapainya tujuan pembelajaran seperti tercapainya ilmu yang bermanfaat sebagaimana  yang disebutkan pada syair di atas. Sifat tawadhu’ adalah sifat rendah hati dengan sesama manusia meskipun banyak kelebihan seperti kekayaan, kedudukan, kecerdasan, ilmu dan lain-lain. Orang ‎tawadhu’ sekalipun banyak kelebihan tidak membanggakan kelebihannya itu dan tetap hormat kepada orang lain dan tidak merendahkan potensi orang lain.
            
‎Para santri pada umumnya terlatih sifat tawadhu’nya  selama berionteraksi dengan lingkungan di pesantren. Mereka menundukkan kepalanya dan merendahkan suara pada saat berkomuniklasi dengan orang yang lebih tua terutama  dengan gurunya dan mencium tangan para guru ketika berjabat tangan. Sifat tawadhu’ ini  sedikit demi sedikit menghilangkan sifat kesombongan, anani, sifat ingin dihormati, ingin dilayani dan  lain sebagainya. Sifat rendah hati tidak mesti  bukan berarti menjadi rendah,  akan tetapi menurunklan suhu  emosi dan ambisi kedudukan dan penghormatan yang tidak pada tempatnya.      
            
‎Beberapa sifat kepribadian kesantrian yang disebutkan dalam kitab Ta’lim sebagai upaya atau model pembelajaran santri untuk mengimbangi model rasional yakni model akhlak dan etika yang sesuai dengan kaedah aaran agama Islam. Al-Shabuni dalam bukunya  al-Shafwat al-Tafâsîr menjelaskan, bahwa ilmu ada dua macam yaitu  :
1. Ilmu Kasbi, ilmu yang harus diusahakan melalui pembelajaran yang tekun
2., Ilmu Wahbi, ilmu pemberian Allah tanpa melalui usaha pembelajaran (outodidak).
            
‎Ilmu pertama diperoleh  dengan kesungguhan, ketekunan dan mudzakarah. Sedang ilmu kedua  dengan jalan taqwa dan amal saleh sebagaimana firman allah dalam QS. Al-Baqarah/2 : 282  “Dan takutlah kepada Allah dan Dia mengajarkan kamu dan Allah dengan segala sesuatu Maha Mengetahui”.  Ilmu ini juga disebut ilmu laduni sebagaimana firman-Nya QS. Al-Kahfi/18 : 66 “Dan ia Kami berikan ilmu dari pada Kami” yaitu ilmu yang bermanfaat yang diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki Allah dari para hamba yang taqwa kepada-Nya (al-Shabuni : 165)
            
‎Demikian juga syair al-Syafi’i  tentang pengaduannya kepada guru tentang hapalannya yang kurang baik.:
            Aku mengadu kepada Imam Waki’ tentang hapalanku yang lemah
            Maka ia memberi petunjuk kepadaku agar aku tinggalklan segala maksiat
            Beliau menceritakan kepadaku, bahwa ilmu itu cahaya
            Dan cahaya Allah tidak ditunjukkan kepada orang-orang yang maksiat.
           ‎ 
‎Syair al-Syafi’i di atas juga dikutip oleh al-Zarnujî dalam kitab Ta’lîm‎. Hal ini menunjukkan adanya kesamaan antara pemikiran al-Syafi’i, Muhammad Ali al-Shabuni dan al-Zarnujî tentang perlunya pemndekatan kepada Allah bagi para penuntut ilmu atau para santri untuk memperoleh ilmu yang bermnanfaat.

Pesantren Siwalanpanji Pencetak Generasi Ulama


Ponpes Khamdaniyah, Siwalan Panji Sidoarjo, Jawa Timur Tempat Nyantrinya Para Ulama Besar Pesantren klasik yang hingga kini konsisten dengan kesalafannya adalah Pesantren Khamdaniyah. Bangunan pondokan santri tidak berubah. Masih berupa bilik-bilik yang dibuat dari kayu dan anyaman bambu. Khas perkampungan tempo dulu. Sebagai tempat siar Islam, agaknya pesantren yang berada di desa Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo ini tidak mementingkan wadah. Namun mengutamakan isi/hasilnya. Betapa tidak ! sebut saja, Syaikhona Cholil Bangkalan, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (Kakek Gus Dur), KH. As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), Mbah Ud (Pagerwojo), dan ulama-ulama besar lainnya, hasil didikan pesantren ini. Kiai Nawawi atau Raden Sepuh bin Raden Bustaman yang berasal dari Solo Jawa Tengah, Pendiri Pesantren Ma'had Arriyadl Ringin Agung Pare Kediri termasuk santri. Diperkirakan angkatan senior Pesantren Siwalanpanji, karena beliau lahir tahun 1818 M dan mulai nyantri di Siwalanpanji tahun 1835 M kemudian pada tahun 1870 residen Kediri memberi izin mendirikan pesantren Ringin Agung.

Pesantren Khamdaniyah didirikan pada tahun 1787 M. Nama Khamdaniyah diambil dari nama pendirinya, yaitu KH. Khamdani. Namun, di luar kota Sidoarjo terkenal dengan nama pesantren Siwalanpanji. Pesantren ini termasuk pondok tertua di Sidoarjo, Jawa Timur. Tujuannya, tak lain meneruskan perjuangan Walisongo, mensiarkan ajaran-ajaran Islam. Banyak cerita menarik ketika Kiai Khamdani hendak mendirikan pondok di kawasan Desa Siwalanpanji ini.

Pesantren Siwalanpanji didirikan oleh Kyai Khamdani yang berasal dari Pasuruan. beliau Khamdani bin Marroddani bin Sufyan bin Hasan Sanusi bin Sa'dullah bin Sakaruddin bin Sholeh (Semendi) lahir pada tahun 1720 M  sebagaimana pemuda keturunan Ulama' pada waktu itu, masa muda Kyai Khamdani banyak di habiskan dengan mempelajari berbagai cabang ilmu agama ke berbagai ulama' di berbagai daerah dan bermujahadah tirakatan. Tidak banyak catatan yang bisa penulis peroleh dari masa muda beliau.

Setelah berusia hampir 60 tahun tepatnya pada tahun 1780 M beliau berhijrah ke suatu daerah ber-rawa-rawa tak berpenghuni di sebelah Timur laut Kota Sidoarjo yang bernama Siwalanpanji. Sekitar tujuh tahun bermujahadah memohon Hidayah dan Ma'unah dari Allah Yang Maha Kuasa, kemudian akhirnya beliau memutuskan untuk memberi Penerangan Cahaya Iman dan Islam kepada siapa saja yang membutuhkan. Maka sejak saat itu mulai di kenallah nama Siwalanpanji sebagai tempat menggembleng dan menempa Ilmu-Ilmu Keislaman ke berbagai penjuru negeri.

Salah seorang waliyullah yang terkenal keramat, Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan-Madura, suatu kali menunaikan ibadah haji. Beberapa saat ketika beliau singgah di Madinah hendak berziarah ke makam Rasulullah di Raudhah, beliau berjumpa dengan Baginda Nabi saw. Ketika itu beliau terlihat mesra sekali bercengkrama dengan Baginda Nabi saw. Sebelum berpisah, Baginda Nabi saw mengatakan kepada Syaikhona Kholil Bangkalan bahwasannya kalau Syaikhona kembali ke Tanah Air supaya menyampaikan salam beliau saw kepada Khozin dari Buduran, Sidoarjo.

Begitulah, beliau kembali pulang ke Tanah Air. Selepas kapal yang ditumpanginya bersandar di pelabuhan Kota Surabaya (sekarang Tanjung Perak), Syaikhona Kholil tidak langsung menuju ke rumahnya di Bangkalan, Madura, tetapi langsung menuju Buduran, Sidoarjo mencari orang yang bernama Khozin sebagaimana yang dipesankan Baginda Nabi saw kepadanya. Begitu sampai di Buduran, beliau menanyai beberapa orang yang dijumpainya, menanyakan rumah Khozin. Jawaban yang beliau peroleh menunjuk pada sosok-sosok yang bervariasi, mulai dari Khozin tukang cukur rambut, Khozin tukang sepatu sampai Khozin-Khozin lain dengan beragam profesi yang disebutkan, dan semuanya tidak cocok dengan sosok yang beliau bayangkan. Hingga akhirnya suatu saat kemudian di pagi hari beliau bertemu dengan bapak tua, mengenakan kaos oblong dan bersarung setengah dicincing ke atas, sedang menyapu halaman sebuah rumah yang mirip sebuah pesantren dengan beberapa gothaan (bilik-bilik bambu untuk kamar para santri). Syaikhona Kholil lalu menghampiri bapak yang tengah sibuk dengan aktivitas paginya tersebut.

Setelah memberikan ucapan salam dan dijawab oleh bapak tersebut, beliau bertanya, “Pak, di manakah rumah Khozin?”

“Nama Khozin, di sini banyak,” jawab orang tersebut.

“Tetapi kalau Kiai hendak mencari Khozin yang dimaksud Rasulullah sewaktu sampean di Madinah, ya saya ini Khozin yang beliau maksud,” lanjut bapak tersebut.

Syaikhona Kholil tersentak kaget setelah mendengar jawaban spontan tersebut. Dengan serta-merta beliau menjatuhkan koper perbekalan bawaannya dan langsung mencium tangan bapak tersebut berulang kali.

Ya, itulah Kiai Khozin Khoiruddin, pengasuh Pondok Pesantren Siwalan Panji, Buduran, Sidoarjo sekaligus perintis tradisi khataman Tafsir Jalalain, yang pada era Kiai Ya’kub Hamdani terkenal sebagai pondoknya para wali.

Hadratus Syekh Kiai Hasyim Asy’ari adalah alumni ponpes ini. Beliau sempat diambil menantu oleh Kiai Ya’qub, dipersuntingkan dengan puterinya yang bernama Khadijah. Dari perkawinannya dengan Khadijah ini beliau dianugerahi seorang anak bernama Abdullah. Akan tetapi, sayang keduanya (Nyai Khadijah dan Abdullah putranya) wafat di Makkah pada tahun 1930. Di pondok ini gothaan (=kamar) Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari sewaktu masih nyantri sampai sekarang diabadikan keberadaannya sebagai bentuk penghormatan kepada Hadratus Syekh. Di antara alumni ponpes yang lain adalah Mbah Hamid Abdullah Pasuruan, Kiai As’ad Syamsul Arifin Situbondo, Mbah Ud Pagerwojo, Mbah Jaelani Tulangan, KH Ridwan Abdullah pencipta lambang Nahdlatul Ulama, KH Alwi Abdul Aziz, KH Wahid Hasyim, dan lain-lain.

Ada beberapa kisah menarik terkait santri-santri Pondok Siwalan Panji. Salah satunya ialah sebagaimana penuturan cucu Mbah Jaelani kepada saya, pada suatu musim kemarau waktu itu banyak para petani yang kehausan karena sumur-sumur di sawah maupun rumah-rumah penduduk kering-kerontang. Di tengah kondisi banyak orang kehausan itu tiba-tiba mereka melihat Mbah Jaelani seperti terbang melayang-layang di udara sambil membawa timba-timba berisi air beserta pikulannya.

Ada juga kisah wali kendil (kakak-beradik yang meninggal ketika masih menjadi santri). Sang adik ahli mutholaah (=mendaras) kitab-kitab, sedangkan sang kakak ahli riyadhoh/tirakat (=mengambil jalan hidup penuh keprihatinan). Pada suatu hari sang kakak ingin mendidik adiknya agar bisa berlaku tenggang rasa. Dimarahilah adiknya yang tengah menanak nasi di dapur dengan alasan tidak menghormati kakaknya yang sedang berpuasa. Ditendangnya kendil (=bejana yang terbuat dari tanah) yang digunakan untuk menanak nasi itu hingga pecah berantakan. Melihat itu si adik diam sambil mengambil serpihan-serpihan kendil yang pecah berantakan itu. Ditempelkannya lagi potongan serpihan itu dengan ludahnya hingga kembali utuh seperti sedia kala. Konon hingga ketika keduanya meninggal, makam adiknya tidak mau berjejer berdampingan dengan kakaknya, setiap hari makam adiknya bergeser maju bahkan konon sampai menembus pagar batas makam, dan pada akhirnya oleh Kiai Ya’kub santrinya itu diperingatkan agar cukup sampai di situ saja (maksudnya makamnya jangan bergeser lagi). Hingga sekarang makam keduanya yang awalnya berjejer sudah tidak lagi seperti kali pertama dimakamkan, makam adiknya lebih maju kedepan melewati batas nisan kakaknya.

Kiai Kholil Bangkalan sendiri akhirnya nyantri (berguru) kepada Kiai Khozin, sehingga termasuk alumni Pondok Siwalan Panji.

Pondok Siwalan Panji ini berdiri sekitar tahun 1787 oleh Kiai Hamdani. Menurut Gus Rokhim (alm) — pemangku pondok Khamdaniyah yang juga generasi ke tujuh dari Mbah Khamdani, ketika tanah Siwalan Panji masih berupa tanah rawa, Mbah Hamdani meminta kepada Allah agar tanah rawah ini diangkat ke permukaan untuk dijadikan sebagai kawasan syiar Islam waktu itu.

“Ketika itu Mbah Hamdani meminta pertolongan kepada Allah, tidak berselang lama, tanah yang sebelumnya rawa, tiba-tiba terangkat dan menjadi daratan,” cerita Gus Rokhim. Tidak hanya itu, pada awal- awal pengerjaan pondok, kayu bangunan pondok yang didatangkan dari Cepu melalui jalur laut tiba-tiba pecah dan terserak dan berpencar. Namun, karena pertolongan Allah, kayu-kayu yang semula berpencar ini, bergerak sendiri melalui sungai menuju ke arah sungai di seberang kawasan pondok.

“Ada satu kayu yang tersangkut di kawasan Kediri, dan sekarang disebut menjadi kayu cagak Panji,” cerita Gus Rokhim.

Tidak banyak yang tahu, Pondok Pesatren Al-Hamdaniyah merupakan salah satu Pondok Pesantren tertua di Jawa Timur yang berusia 228 tahun. Selain menjadi yang tertua, Ponpes ini juga menjadi salah satu saksi sejarah persebaran Islam di Jawa Timur.

Beginilah kondisi Pondok Pesantren Al-Hamdaniyah yang berada di desa Siwalan Panji, kecamatan Buduran, Sidoarjo yang nampak tak terawat. Didirikan sejak tahun 1787 oleh KH Hamdani, ulama besar asal Pasuruan. Kini usia Ponpes Al-Hamdaniyah telah mencapai usia 228 tahun atau dua abad lebih. KH Hamdani sendiri merupakan seorang ulama keturunan Rasulullah yakni silsilah ke-27.

Dijuluki pondoknya para wali karena setiap tahun alumni yang keluar beberapa di antara mereka sudah mempunyai karomah-karomah luar biasa ketika masih menjadi santri. Konon dari beberapa riwayat yang saya kumpulkan, di pondok Panji atau Siwalan Panji inilah kitab Tafsir Jalalain pertama kalinya dibaca secara klasikal pada tahun 1789 M. Sistem pendidikan ala madrasah diniyyah juga sudah ada pada waktu itu, hanya saja formatnya tidak seperti sekarang yang tersusun sistematis dan terencana. Pembaharuan sistem pendidikan pondok pesantren secara klasikal dengan kurikulum yang sistematik diinisiasi oleh Gus Wahid (K.H.Abdul Wahid Hasyim), pahlawan pergerakan nasional, ayah Gus Dur, pada akhir 1930-an. Selain melahirkan ulama-ulama besar, Ponpes Al-Hamdaniyah juga telah menjadi saksi sejarah dalam perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia dari tangan penjajah. Selain belajar ilmu agama, para santri juga turut berperang melawan penjajah.

Semenjak itu Syaikhona Kholil selalu mewanti-wanti agar santri beliau yang boyong (pulang ke kampung halaman) agar tabarrukan dulu di Pondok Panji yang diasuh Kiai Khozin ketika itu, sebagai bentuk ketakdzhiman Syaikhona Kholil kepada Kiai Khozin. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa sampai sekarang pondok Panji, terutama pondok Al-Khozini, banyak dipenuhi santri dari Madura, sebagai bentuk ketakdzhiman mereka pada dawuh Syaikhona Kholil Bangkalan.

PENDIRI PONDOK PESANTREN SIWALAN PANJI

Pesantren Siwalanpanji dirintis oleh Kyai Khamdani pada tahun 1787M. Beliau lahir di Pasuruan pada tahun 1720 M. Beliau Kyai Khamdani dikenal sebagai pribadi yang Zahid (tidak mementingkan urusan duniawi), ‘Abid (ahli ibadah), dan Waro’ (berhati-hati dalam segala hal). Beliau Kyai Khamdani adalah putra Murroddani bin Sufyan bin Khasan Sanusi bin Sa’dulloh bin Sakaruddin bin Mbah Sholeh Semendi Pasuruan. Beliau Kyai Khamdani memiliki dua orang putra yang nantinya menjadi penerus perjuangan yang handal, Kyai Abdurrohim dan Kyai Ya’qub namanya.

Alkisah, belau Kyai Khamdani hijrah dari Pasuruan dalam usia yang cukup tua ke suatu daerah sebelah timur laut kota Sidoarjo, suatu tempat yang pada waktu itu masih berupa perairan rawa-rawa, berbilang tahun beliau ber-Riyadloh, ber-Munajat kepada Alloh Tuhan Yang Maha Perkasa, berharap limpahan Rahmat & Inayah-Nya, agar daerah tersebut kelak ditinggikan oleh Allah dan menjadi Kawah Candradimuka dan Mercu Suar Ilmu, dan Alloh Tuhan Yang Maha Kuasa Yang Maha Rohman Rohim meng-Ijabahinya.

Pada periode berikutnya yakni era putra dan cucunya ribuan santri mengalir dari berbagai penjuru Nusantara bahkan Mancanegara untuk merasakan gemblengan tangan dingin para Masyayihnya. Sebagaimana saya sebutkan diatas Kyai Khamdany mempunyai dua putra yang melanjutkan estafet perjuangannya dan dari era dua putranya ini dimulai Periode Keemasan Pesantren Siwalanpanji. Beliau adalah Kyai Abdurrohim dan Kyai Ya’qub.

Adapun keturunan dari kyai Abdurrohim adalah:

Siti Rohminatun.
menurunkan Nafisah, Khoiriyyah, Abu Hasan, Mukmaroh, Kholilah

Siti Mutma’innah.
menurunkan Muniroh, Abdul Ghofur

3.Kyai Irsyad.

Seorang putri Kyai Irsyad ini yang bernama Siti Nafi’ah diperistri Kyai Amari menurunkan putra yang bernama Kyai Anas yang terkenal mampu melakukan hal-hal luar biasa diantaranya bisa terbang ke angkasa namun makam beliau belum diketahui pasti tapi disinyalir berada di India.

4.Kyai Hasyim.

Kyai Hasyim menikah dengan sepupunya sendiri yakni Siti Asfiyah binti Ya’qub menurunkan beberapa anak diantaranya Asmu’i, Ahmad, Faqih, Latifah, Ummi Kultsum, Ahmad Sholeh, Mahbubah, dan Rohmah.

5.Siti Maimunah.

Diperistri oleh Kyai Khozin bin Khoiruddin menurunkan Afifah, Sholhah, Siti Zubaidah, Kyai Basuni, Muhsinah, Ruqoyyah.

Adapun keturunan dari Kyai Ya’qub adalah:

1.Thohir

menurunkan Zainuddin, Maryam, Abdul Hadi, Marfu’ah, Ma’rifah.

2.Siddiq

menurunkan Nafisah, Robi’ah, Fatimah, Abdulloh

Siti Fatimah
Diperistri Kyai Khozin bin Khoiruddin menurunkan hanya seorang putra yaitu

Abbas

4.Ruqoyyah

menurunkan Masri’ah

5.A’isyah

menurunkan Masfufah, Abdulloh, Faqih, Mas’adah

6.Siti Asfiyah

Diperistri Kyai Hasyim bin Abdurrohim saudara sepupunya sendiri menurunkan beberapa keturunan seperti telah tersebut diatas.

7.Siti Khodijah

diperistri Kyai Hasyim Asy’ari menurunkan Abdulloh yang meninggal ketika masih bayi.

8.Abdul Muhit

menurunkan Ahmad, Abdurrohman, Shodaqoh, Abdul Muntaqim diantara keturunannya menjadi warga negara Saudi Arabiya.

Keturunan Kyai Khamdani yang ada sekarang, yang mengasuh berbagai Pesantren dan beragam aktivitas, merupakan generasi yang keenam bahkan ketujuh.

PONDOK PESANTREN AL-KHOZINY

Pondok Pesantren Al-Khoziny dinisbatkan pada Almarhum K.H. Moch. Khozin  yang sebelumnya merupakan salah satu pengasuh Pondok Pesantren di Siwalan Panji , Pada Mulanya K.H. Moch. Khozin hanya sebagai santri di Pesantren Siwalan Panji , namun akhirnya beliau diambil menantu oleh Salah satu pengasuh Pondok Pesantren Siwalan panji K.H. Faqih yang juga merupakan mertua dari Pendiri Nahdlotul Ulama K.H Hasyim Asy’ari.

K.H Khozin waktu masih  Mengasuh di Pondok Pesantren Siwalan Panji  mempunyai Keistimewaan , Dikisahkan saat K.H  ( Syaikhona  )  Kholil Bangkalalan madura menunaikan ibadah Haji di Mekkah , Beliau bermimpi bertemu dengan Imam Syafi’i ( Imam Mazhab Arba’in ) , Dalam mimpinya setelah beliau membicarakan banyak hal namun  ahirnya Imam Syafi’i menitipkan salam agar disampaikan kepada K.H. Moch. Khozin Siwalan Panji , Waktu menerima Amanat itu K.H (Syaikhona ) Kholil Bangkalan belum mengenal nama K.H. Moch. Khozin  tetapi dengan petunjuk yang diberikan beliau bisa menemui K.H. Moch. Khozin dan menyampaikan amanat itu dengan mengadakan khataman kitab Tafsir Jalalain Pada setiap bulan Ramadhon,

Amanat tersebut dijalankan oleh K.H. Moch. Khozin , tahun demi tahun peserta khataman bertambah banyak , dan pada saat itu mode transportasi yang ada adalah Kereta Api yang masih dioperaikan penjajah Hindia belanda ,  belum ada stasiun kereta api di Buduran  tetapi setiap perjalanan kereta api selalu ada aja halangan yang menyebabkan kereta api berhenti dan dapat menurunkan Penumpang yang rata-rata murid K.H. Moch. Khozin yang akan mengaji , sehingga oleh Pemerintah Hindia Belanda dibuatkan Stasiun Kereta Api (sampai sekarang masih ada). Karena yang menyampaikan amanat tadi K.H (Syaikhona ) Kholil Bangkalan adalah Ulama besar di Madura sehingga banyak santri beliau yang ikut khataman tersebut adalah ulama-ulama di Jawa.

Pada Tahun 1926 , bertepatan dengan lahirnya Organisasi ” Nahdlotul Ulama’ (NU) ” K.H. Moch. Khozin mendirikan sebuah bangunan  yang tidak jauh dari Siwalan panji yaitu di Buduran , yang diperuntukan putra beliau yaitu K.H. Moch Abbas yang saat saat itu baru datang dari tanah Suci Makkah setelah Kurang lebih 10 tahun beliau menetap dan berguru disana, pada mulanya niat mendirikan bangunan hanya sebagai tempat kediaman  putranya tersebut , karena di Siwalan Panji sudah banyak generasi dan Keturunan dari Pengasuh Pondok Pesantren Siwalan panji yang lainnya, namun ternyata kedatangan  K.H. Moch Abbas mendapat sambutan baik dari masyarakat sekitar dan dari Santri yang mondok di Pesantren Siwalan panji. sehingga berubah Fungsi dari Kediaman beliau diubah menjadi Pondok Pesantren.

Semula pesantren ini akan diasuh oleh K.H. Moch. Khozin tetapi karena banyak keluarga beliau di Siwalan panji yang kurang merestui , maka untuk memangku pesantren ini disuruhlah  putra beliau K.H. Moch Abbas dan sebagai santri pertamanya adalah beberapa santri beliau sendiri di Siwalan Panji.

K.H. Moch. Khozin Wafat pada tahun 1955 M , Amanat untuk Mengadakan Khataman Tafsir jalalain di setiap Bulan ramadhan dilanjutkan oleh puteranya ( K.H. Moch Abbas ) , yang juga mewarisi sifat ayahandanya dengan kehidupam beliau yang sangat sederhana. Beliau dengan rumah yang sangat sederhana dan alas tidur sederhana bermain dengan cucu beliau dan konon. Beliau karena sederhananya semua uang yang dapat dari pemberian orang disimpan dibawah tikar tempat tidur sampai beliau meninggal baru diketahui jumlah uang dan banyak uang yang sudah tidak berlaku, sehingga dengan kesederhanaan itu beliau bisa disebut sebagai seorang ” shufi “.

Perjuangan K.H. Moch Abbas yang Wafat pada tahun 1978 , dilanjutkan oleh Putra Beliau Yaitu K.H Abdul Mujib Abbas , Sosoknya ibarat pohon yang tak henti memberikan kemanfaatan. Daun keteladanannya yang rindang tempat berteduh masyarakat dari silau dunia, kokoh keistiqamahannya dan rindang kesehajaannya juga menyejukkan hati masyarakat yang panas karena bertambahnya maksiat, buah keilmuannya adalah penyegar bagi kehausan ilmu masyarakat Sidoarjo dan sekitarnya, itulah sedikit gambaran sosok KH. Abdul Mujib Abbas.

K.H Abdul Mujib Abbas lahir pada hari Jumat tanggal 1 Syawal 1352 H. Bertepatan dengan 10 Oktober 1932 M di Buduran, Sidoarjo. Sosok alim yang menjadi lentera ilmu di Sidoarjo. Ketulusan K.H. Moch Abbas (ayah) dalam mendidiknya membentuk karakter Mujib muda gigih berjuang . Pada masa kecil, K.H Abdul Mujib Abbas dibimbing secara intensif oleh kedua orang tuanya, K.H. Moch Abbas dan Nyai Khodijah, baik pengajaran al-Qur’an dan pembelajaran kitab kuning, seperti Sullam at-Taufiq, Sullam Safinah dan beberapa kitab salaf lainnya. Pendalaman dasar dari literatur ulama salaf itulah yang digunakan Kiai Abbas mendidik Kiai Abdul Mujib muda hingga berumur 17 tahun. Diharapkan menjadikan benteng kuat pada diri anaknya untuk menjadi generasi tangguh memegang estafet kepemimpinan Al-Khoziny di masa akan datang.

Dalam usia 18 tahun, tepatnya 1950 K.H Abdul Mujib Abbas nyantri di Darul Ulum Rejoso asuhan Kiai Romli At-Tamimi, Mursyid Thariqah Al-Qadiriyah wan-Naqsyabandiyah Jombang. Setelah satu tahun setengah, beliau pindah ke pesantren Bata-bata Pamekasan yang pada saat itu diasuh oleh Kiai Abdul Majid Hamid. Di Pulau Seribu Satu Langgar ini, Kiai Mujib terkenal dengan ketekunan belajarnya, bahkan ia dipercaya oleh kiainya untuk menggantikan pengajian Jam’u al-Jawami’ atau Ihya’ al-Ulumudin ketika sedang udzur. Kiai Abdul Majid juga memberikan forum khusus kepada Gus Mujib (sapaan akrab K.H Abdul Mujib Abbas waktu muda di Bata-bata) untuk mengajarkan para Gus atau Lora (bindereh-Madura). Ini menunjukkan kualitas ilmu Gus Mujib tidak diragukan lagi.

Pada usia 23 tahun (1955 M) beliau nyantri ke pondok MUS Sarang asuhan Kiai Zubair Dahlan. Kai Mujib juga pernah menjadi lurah pondok (ketua pondok) MUS. Di sana Kiai Mujib sering bangun jam 2 malam, tidak untuk langsung beribadah tapi mengambil air agar Kiai Zubair dan para santri yang lain mudah mengambil wudlu ketika Subuh. Ini tak lain karena jiwa khidmah Kiai Mujib kepada guru dan pecinta ilmu sangat tinggi. Dan karena kondisi daerah Sarang yang berada di pesisir pantai Utara, sulit menemukan air tawar.

Di MUS Sarang inilah K.H Abdul Mujib Abbas menelurkan karya ilmu yang patut dibanggakan. Syarah Jawahir al-Maknun, Syarah Waraqad, Qawaid al-Fiqhiyah adalah tiga kitab karangan beliau yang menjadi pelajaran para santri di berbagai pesantren.

Lima tarekat Al-Khoziny

Sejenak kita terkesima dengan metode thariqah Al-Khoziny yang konon warisan dari sesepuh pesantren. Tentang riyadhoh santri yang kemudian menjadi simbol dan mengakar di Al-Khoziny untuk diorientasikan dalam seluruh keseharian mereka. Namun, dalam buku Biografi Kiai Abdul Mujib Abbas, Teladan Pecinta Ilmu yang Konsisten, Pustaka Idea Juni 2012, dikatakan bahwa, Lima Tarekat itu tidak bisa dilepaskan dari sosok K.H Abdul Mujib Abbas, karena dari sosok beliaulah lima tarikat ini bisa dilihat, ibarat K.H Abdul Mujib Abbas adalah cermin dari lima tarekat ini, di samping beliau sering menyampaikan dalam berbagai forum atau para santri dan alumni betapa pentingnya praktik langsung dari Lima Tarekat ini, yaitu:

Pertama: Belajar atau Mengajar, dalam hal ini beliau sering berkomentar,

كن عالما او متعلما او مستمعا او محبا ولا تكن خامسا غادرا فتهلك

“Jadilah kamu seorang yang alim, orang yang belajar, orang yang mendengar, orang yang cinta kepada hal tersebut. Janganlah kamu menjadi orang yang ke lima, yang selalu melanggar, maka –dengan itu- kamu akan rusak.”

Kedua: Salat berjamaah, Kiai Mujib dikenal sangat istiqamah dalam berjamaah di langgar pesantren bersama santri. Bahkan waktu sakit pun beliau tidak meninggalkan salat berjamaah. Di Al-Khoziny juga menjadi kewajiban bagi seluruh santri untuk ikut berjamaah. Saking pentingnya jamaah, menurut cerita yang berkembang di Al-Khoziny, pada masa Kiai Abbas para santri yang melanggar tidak berjamaah akan mendapatkan sangsi batin, yakni sulit menerima ilmu yang disampaikan oleh Kiai Abbas, walaupun santri yang melanggar itu mengikuti pengajian di dekat Kiai Abbas.

Ketiga: membaca al-Qur’an. Kiai Abdul Mujib selalu mengawal santrinya setiap salat subuh untuk mengaji al-Qur’an kepada beliau dengan pembekalan ilmu tajwid . Ini menjadi magnet santri Al-Khoziny untuk mengisi hari-harinya dengan al-Qur’an.

Keempat: salat Witir

Dan yang kelima adalah: Istiqamah. Amaliah sunah Nabi dan keistiqamahan Kiai Mujib sudah menjadi pemandangan keseharian di pesantren. Sakit berat tidak mengahalangi ketekunan beliau dalam mengajar dan mengaji.

PESANTREN SEBAGAI MEDAN JIHAD

Pesantren adalah medan jihad yang dipilih K.H Abdul Mujib Abbas, bukan mengangkat senjata tapi dengan mencurahkan tenaga dan pikiran sebagai wujud pelestarian agama Allah dengan mendidik para santri dengan literatur salaf. Hingga lahirlah generasi-generasi Al Khoziny yang ikhlas, berakhlakul karimah disertai bekal ilmu agama secara utuh dalam mengawal Islam. Paling tidak, lulusan pesantren dapat memberikan kemanfaatan dan pengajaran yang benar tentang esensi Islam.

“Salah satu keberhasilah K.H Abdul Mujib Abbas memimpin Al-Khoziny adalah menjaga nilai tradisional. Kiai Mujib selalu ajek merawat tradisi pesantren sejak awal hingga akhir kepemimpinannya. Ia terlibat langsung dalam pengajian kitab kuning dan selalu mendorong agar pengajian-pengajian serupa dilaksanakan dalam berbagai forum, baik santri senior ataupun putra-putrinya.” Komentar KH. Maimoen Zubair Pengasuh Pesantren Al Anwar Sarang Rembang Jateng. Di buku Biografi Kiai Abdul Mujib Abbas, Pustaka Idea Juni 2012.

SEJARAH PERKEMBANGANNYA

Pesantren dalam perkembangannya ( 1956 ) semula dengan nama” Ma’hadul Mustarsyidin ” dan pada tahun 1978 nama itu ditambahkan dengan kata ” Al-Khoziny ” yang dalam bahasa indonesia diartikan Lembaga Pesantren Al-Khoziny dengan seperti ciri-ciri pondok pesantren pada umumnya, Dalam perkembangannnya dengan tetap memegang ciri khas sebagai pondok salafi , pondok pesantren ini dengan bimbingan K.H Abdul Mujib Abbas berupaya mengklasifikasikan pendidikan santri menjadi pendidikan formal yang berbentuk sekolah ( Madrasah ).

Pada mulanya berbentuk Diniyah yang seluruh meteri pelajarannya hanya pendidikan agama saja ( Kitab salaf ) namun dengan perkembangan pendidikan di indonesia dan kebutuhan disekitarnya K.H Abdul Mujib Abbas memasukan pendidikan formal tersebut kedalam Pendidikan Pesantren dengan Membangun Pendidikan formal antara lain :

1964 membuat Sekolah Menengah pertama Islam ( SMPI ) yang pada th 1970 dirubah menjadi Madrasah Tsanawiyah Al-khoziny.
1970 Membuat Sekolah Menengah Atas Islam ( SMAI )  yang juga dirubah menjadi Madrasah Aliyah Al-khoziny.
1971 Membuat Sekolah Persiapan A & Persiapan B yang selanjutnya dirubah menjadi Madrasah Ibtida’iyah Al-Khoziny.
Th 1982 Mendirikan Sekolah Tinggi Diniyah yang kemudian Pada th 1993 diformalkan menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam ( STAI ) dan Sekolah Tinggi Ilmu.
Alqur’an ( STIQ ) yang sekarang berubah menjadi Institut Agama Islam ( IAI ) Al-Khoziny

MANGKATNYA SANG PEJUANG ILMU

Kecintaan K.H Abdul Mujib Abbas terhadap ilmu memang luar biasa, setelah dirawat karena sakit di rumah sakit Graha Amerta Surabaya, semangat Kiai Mujib terhadap ilmu malah makin kuat, padahal waktu itu beliau menjalani rawat jalan. Dalam kondisi yang lemah, Kiai Mujib tetap menjaga istiqamah membaca kitab walau pengajian dipindah ke ndalem beliau, saking semangatnya beliau sering lupa waktu ketika balah kitab, melebihi batas waktu pada waktu sehat beliau.

Kiai Mujib juga tidak pernah lelah untuk terus belajar. Saat penglihatan menurun, beliau menyuruh santrinya untuk membelikan kitab Shahih Bukhori dengan tulisan jumbo. Beliau juga ketika muthala’ah sering menyuruh santrinya untuk membacakan kitab yang didengarkan beliau. Ketekunan mendalami ilmu membuat kondisi tubuh beliau melemah, Kiai Mujib kembali dirawat di Graha Amerta untuk ke dua kalinya. Setelah 15 hari dirawat, beliau pun kembali ke hadirat Yang Maha Kuasa pada puku 11:45, tanggal 5 Oktober 2010 / 26 Syawal 1431 H, dalam usia 77 tahun 11 bulan 25 hari.

Perlu Dilestarikan 

Inilah Pondok Pesantren (Ponpes) Al Hamdaniyah yang berlokasi di desa Siwalan Panji Buduran Sidoarjo. Ponpes ini masih menyisakan berbagai keunikan yang sudah tidak ditemui di pondok lain. Meski terbilang sederhana, Ponpes ini diperkiran berumur ratusan tahun dan masih mempertahankan keasliannya. Selain bangunannya unik, Pondok Pesantren Al Hamdaniyah telah berhasil mencetak beberapa ulama-ulama besar seperti Kyai Haji Hasyim Asyari pendiri Nahdlatul Ulama.

Pondok yang didirikan pada tahun 1787 Masehi oleh Kyai Haji Khamdani dari Pasuruan ini, masih memiliki bentuk bangunan yang masih asli dan unik. Terutama keunikan bangunan para santrinya.

Berdinding anyaman bambu dan diberi jendela pada setiap kamarnya serta bangunan yang disangga dengan kaki-kaki beton, membuat asrama santri ini nampak seperti rumah Joglo. Bhakan ada beberapa asrama santri yang kondisinya sudah memprihatinkan. Namun, Pengasuh pondok masih mempertahankan keunikan pondok tertua di Jawa Timur ini.

Setiap asrama dibagi dalam beberapa kamar yang diisi dua hingga tiga santri dengan ukura ruangan 2×3 meter. Di dalam kamar kecil itulah, tempat para santri belajar dan beristirahrat.

Namun siapa sangka jika Pondok Pesantren Al Hamdaniyah ini pernah mencetak ulama-ulama besar Indonesia. Mulai dari Kyai Haji Hasyim Asyari yang tak lain adalah kakek Gus Dur, Kyai Haji Sahal Mahfudz pendiri pondok Gontor dan ulama-ulama besar lainnya.

“Selain mengajarkan berbagai ilmu agama, pondok ini pernah menjadi saksi sejarah perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia. Menjadi tempat pertemuan antara presiden Soekarno, Bung Hatta, Bung Tomo yang pada akhirnya melahirkan Laskar Hizbullah,” kata Agus Muchlis Asyari, wakil pengasuh Ponpes.

Namun sayang, keunikan pondok ini yang juga sebagai kunci sejarah dan warisan kebudayaan tertua belum mendapat perhatian dari pemerintah maupun pihak-pihak terkait. Harusnya, pondok tertua seperti Ponpes Al Hamdaniyah dilestarikan dan dijaga keasliannya. 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...