Kamis, 21 Oktober 2021

Sejarah Pesantren Tremas Pacitan


Rasanya sudah tidak asing lagi mendengar ‘Pondok Tremas’, pesantren besar yang berada di desa Tremas, kecamatan Arjosari, Kabupaten Pacitan Jawa Timur. Lokasinya yang berada di tepi pantai selatan dan dikelilingi bukit-bukit pegunungan ini sangat tepat dijadikan tempat mengaji bagi para santri.

Pondok Tremas adalah salah satu pondok yang cukup tua umurnya, yang kalau ditinjau dari letak geografisnya berada di desa Tremas, Kecamatan Arjosari, kabupaten Pacitan. Sedangkan Pacitan adalah sebuah kota di tepi pantai selatan yang terletak pada garis lintang selatan : 8' 3 – 8' 17 bujur timur 11' 2 – 11' 28.

Dilihat dari segi jaraknya, yakni 135 Km dari kota Solo dan 70 Km dari kota Ponorogo, maka wajarlah kalau santri-santri yang berdatangan dari daerah lain harus berjalan kaki karena belum adanya sarana transportasi. 

Sedangkan desa Tremas terletak pada 11 kilometer dari kota Pacitan ke utara dan1 kilometer dari kecamatan Arjosari. Desa Tremas dipagari oleh bukit-bukit kecil yang melingkar dimana sebelah utara dan sebelah timur desa Tremas mengalir sungai Grindulu yang selalu membawa lumpur banjir di waktu musim penghujan. Oleh karenanya pondasi rumah penduduk desa tersebut rata-rata sangat tinggi bila dibandingkan dengan pondasi rumah penduduk di daerah yang bebas banjir.

Desa Tremas dibatasi oleh beberapa desa yaitu, sebelah utara dibatasi oleh desa Gayuhan, sebelah timur dibatasi oleh desa Jatimalang, sebelah selatan dibatasi oleh desa Arjosari dan di sebelah barat dibatasi oleh desa Sedayu.Mata pencaharian penduduknya adalah bertani, yakni bercocok tanam padi, kacang tanah, kelapa, pisang, sayur mayur dan sebagainya. Karena Pacitan merupakan daerah yang minus dan tandus maka tidaklah aneh jika masyarakatnya sedikit ketinggalan jika dibandingkan dengan masyarakat daerah lain, khususnya dalam bidang ekonomi.Dengan uraian tersebut kita dapat menggambarkan kehidupan rakyat di daerah itu, yang sedikit banyak dapat mempengaruhi keadaan Pondok Tremas

Tremas berasal dari dua kata yaitu Trem berasal dari kata Patrem yang berarti senjata atau keris kecil dan mas berasal dari kata emas yang berarti logam mulia yang biasa dipakai untuk perhiasan kaum wanita.
Kata ini berkaitan erat dengan cerita tentang dibukanya sebuah hutan yang akhirnya dinamakan Tremas, adapun yang pertama kali membuka hutan tersebut adalah seorang punggawa keraton Surakarta yang bernama Ketok Jenggot, atas perintah raja keraton Surakarta sebagai hadiah atas jasanya yang telah berhasil mengamankan keraton dari mara bahaya. 

Dikisahkan pada suatu hari, Raja Keraton Surakarta memerintahkan kepada punggawanya yang bernama Ketok Jenggot untuk menjaga ketat kerajaannya, karena raja bermimpi bahwa hari yang akan datang mau ada bencana yang disebabkan datangnya seorang pencuri yang akan memasuki dan mengambil senjata pusaka yang ada di tempat penyimpanan, maka disuruhnya Ketok Jenggot menjaga dan mempertahankan dengan sebaik-baiknya.

Namun pada suatu hari datang seorang penyusup yang dengan kecerdikannya dapat masuk dalam keraton, akan tetapi usaha penyusup tersebut terlihat oleh Ketok Jenggot hingga terjadilah suatu perkelahian, setelah menghabiskan berpuluh-puluh jurus, maka dengan kesaktiannya, Ketok Jenggot berhasil memenangkan perkelaihan tersebut. Siapakah pencuri tersebut? tak lain adalah sang raja sendiri dengan maksud ingin menguji sampai dimana keperwiraan dan kesaktian Ketok Jengot.

Setelah kejadian itu, maka sang raja pun mengakui bahwa punggawanya tersebut benar-benar patuh dan sakti. Sebagai tanda atas kepatuhan dan kepahlawanannya itu maka sang raja memberikan hadiah kepada Ketok Jenggot berupa senjata Patrem Emas dan memberi tugas untuk membuka hutan di sebelah timur daerah Surakarta.

Demikianlah akhirnya setelah melalui perjuangan yang tidak ringan, Ketok Jenggot berhasil membuka hutan di sebelah timur daerah Surakarta, yang kemudian daerah tersebut bernama Tremas.

Perlu diketahui, bahwa sebelum Ketok Jenggot membuka hutan Tremas, di daerah tersebut sudah ada sekelompok orang yang lebih dahulu datang dan bermukim, yaitu R. Ngabehi Honggowijoyo (ayah Nyai Abdul Manan). Maka dari itu setelah meminta ijin dan memberi keterangan tentang tugasnya, barulah Ketok Jenggot mulai melaksanakan tugasnya dengan membuka sebagian besar hutan di daerah tersebut. Setelah tugasnya selesai, senjata Patrem Emas yang dibawanya itu ditanam ditempat beliau pertama kali membuka hutan tersebut, dan akhirnya daerah yang baru dibukanya tersebut diberi nama “Tremas“.

Demikianlah sekilas cerita tentang asal mula nama Tremas yang dikemudian hari digunakan untuk menyebut sebuah pesantren yang berdiri di daerah tersebut, sedangkan Ketok Jenggot sendiri akhirnya bermukim disitu sampai akhirhaya dan dimakamkan di daerah tersebut. 
Awal Berdirinya Pondok Tremas Jika dirunut ke atas, pendiri pondok pesantren Tremas, KH. Abdul Manan adalah putra seorang Demang Semanten yang bernama R. Ngabehi Dipomenggolo di masa Bupati Jagakarya I yang berkuasa pada tahun 1826. Pada masa itu berkembangan agama Islam semakin pesat, setelah sekian ratus tahun Majapahit berkuasa.

Asal muasal Berdiri Pesantren
Pada abad ke XV M. bumi nusantara ini di bawah naungan kerajaan Majapahit, dan seluruh masyarakatnya masih memeluk agama Hindu atau Budha. Begitu juga daerah Wengker selatan atau di sebut juga Pesisir selatan ( Pacitan ) yang pada waktu itu daerah tersebut masih di kuasai seorang sakti beragama Hindu yang bernama Ki Ageng Buwana Keling, yang di kenal sebagai cikal bakal daerah Pacitan. 
Menurut silsilah, asal usul KI Ageng Buwana Keling adalah putra Pejajaran yang di kawinkan dengan salah satu putri Brawijaya V yang bernama putri Togati. setelah menjadi menantu Majapahit maka KI Ageng Buwana Keling mendapat hadiah tanah di pesisir selatan dan di haruskan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. KI Ageng Buwana Keling berputra tunggal bernama Raden Purbengkoro yang setelah tua bernama KI Ageng Bana Keling. Kegoncangan masyarakat KI Ageng Buwana Keling di Pesisir selatan terjadi setelah datangnya Muballigh Islam dari kerajaan Demak Bintara, yang di pimpin oleh KI Ageng Petung ( R. Jaka Deleg / Kyai Geseng ), KI Ageng Posong ( R. Jaka Puring Mas / KI Ampok Boyo ) dan sahabat mereka Syekh Maulana Maghribi. Yang meminta KI Ageng Buwana Keling beserta semua rakyat di wengker selatan untuk mengikuti atau memeluk ajaran Islam. ‎

Namun setelah KI Ageng Buwana Keling menolak dengan keras dan tetap tidak menganut agama baru yaitu agama Islam, maka tanpa dapat dikendalikan lagi terjadilah peperangan antara kedua belah pihak. Peperangan antara penganut agama Hindu yang dipimpin oleh Ki Ageng Buwana Keling dengan penganut agama Islam yang dipimpin oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi memakan waktu yang cukup lama , karena kedua belah pihak, memang terdiri dari orang-orang sakti. Namun akhirnya dengan keuletan dan kepandaian serta kesaktian para muballigh tersebut peperangan itu dapat dimenangkan Ki Ageng Petung dan pengikut-pengikutnya setelah dibantu oleh prajurit dari Adipati Ponorogo yang pada waktu itu bernama Raden Betoro Katong ( Putra Brawijaya V ). 
Dari saat itulah maka daerah Wengker selatan atau Pacitan dapat dikuasai oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi, sehingga dengan mudah dapat menyiarkan agama Islam secara menyeluruh kepada rakyat hingga wafatnya, dan dimakamkan di daerah Pacitan. 
Demikianlah dari tahun ke tahun sampai Bupati Jagakarya I berkuasa ( tahun 1826 ), perkembangan agama Islam di Pacitan maju dengan pesatnya, bahkan tiga tahun kemudian putra dari Demang Semanten yang bernama Bagus Darso kembali dari perantauannya mencari dan mendalami ilmu agama Islam di pondok pesantren Tegalsari Ponorogo di bawah asuhan Kyai Hasan Besari. Sekembalinya beliau dari pondok tersebut di bawah bimbingan ayahnya R. Ngabehi Dipomenggolo mulai mendirikan pondok di desa Semanten ( 2 Km arah utara kota Pacitan ). setelah kurang lebih satu tahun kemudian pindah ke daerah Tremas, maka dari saat itulah mulai berdiri Pondok Tremas. 
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa KH. Abdul Manan pada masa kecilnya bernama Bagus Darso. Sejak kecil beliau sudah terkenal cerdas dan sangat tertarik terhadap masalah-masalah keagamaan. Dalam masa remajanya beliau dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo untuk mempelajari dan memperdalam pengetahua agama Islam di bawah bimbingan Kyai Hasan Besari. Selama disana Bagus Darso selalu belajar dengan rajin dan tekun. Karena ketekunannya, kerajinannya serta kecerdasan yang dibawanya semenjak kecil itulah maka kepandaian Bagus Darso didalam menguasai dan memahami ilmu yang dipelajarinya melebihi kawan-kawan sebayanya, sehingga tersebutlah sampai sekarang kisah-kisah tentang kelebihan beliau. Diantara kisah tersebut adalah sebagai berikut : 
Pada suatu malam yang dingin dimana waktu itu para santri Pondok Tegalsari sedang tidur pulas, sebagaimana biasasnya Kyai Hasasn Besari keluar untuk sekedar menjengu anak-anak didiknya yang sedang tidur di asrama maupun di serambi masjid. Pada waktu beliau memeriksa serambi masjid yang penuh ditiduri oleh para santri itu, tiba-tiba pandangan Kyai tertumbuk pada suatu pemandangan aneh berupa cahaya yang bersinar, dalam hati beliau bertanya, apakah gerangan cahaya aneh itu. Kalau cahaya kunang tentu tidak demikian, apalagi cahaya api tentu tidak mungkin, sebab cahaya ini mempunyai kelainan. kemudian dengan hati-hati, agar tidak sampai para santri yang sedang tidur, Kyai mendekati cahaya aneh itu. Makin dekat dengan cahaya aneh tersebut keheranan Kyai bertambah, sebab cahaya itu semakin menunjukkan tanda-tanda yang aneh. Dan kemudian apa yang disaksikan Kyai adalah suatu pemandangan yang sungguh luar biasa, ssebab cahaya itu keluar dari ubun-ubun salah satu santrinya. Kemudian diperiksanya siapakah sesungguhnya santri yang mendapat anugerah itu.Tetapi kegelapan malam dan pandangan mata yang sudah kabur terbawa usia lanjut menyebabkan usaha beliau gagal. Namun Kyai Hasan Ali tidak kehilangan akal, dengan hati-hati sekali ujung ikat kepala santri itu diikat sebagai tanda untuk mengetahui besok pagi kalau hari sudah mulai terang. Esoknya sehabis sembahyang Subuh, para santri yang tidur di serambi masjid disuruh menghadap beliau. Setelah mereka menghadap, dipandangnya satu demi satu santri tersebut dengan tidak lupa memperhatikan ikat kepala masing-masing. Disinilah beliau mengetahui bahwa sinar aneh yang semalam keluar dari ubun-ubun salah satu santri nya berasal dari salah satu santri muda pantai selatan ( Pacitan ) yang tidak lain adalah Bagus Darso. Dan semenjak itu perhatian Kyai Hasan Ali dalam mendidik Bagus Darso semakin bertambah, sebab beliau merasa mendapat amanat untuk mendidik seorang anak yang kelak kemudian hari akan menjadi pemuka dan pemimpin umat. ‎

Demikianlah salah satu kisah KH. Abdul Manan pada waktu mudanya di Pondok Tegalsari dalam cerita. Dan setelah Bagus Darso dianggap cukup ilmuyang diperolehnya di Pondok Pesantren Tegalsari, beliau kembali pulang ke Semanten. Di desa inilah beliau kemudian menyelenggarakan pengajian yang sudah barang tentu bermula dengan sangat sederhana. Dankarena semenjak di Pondok Tegalsari beliau sudah terkenal sebagai seorang santri yang tinggi ilmunya, maka banyaklah orang Pacitan yang mengaji pada beliau. Dari sinilah kemudian di sekitar masjid didirikan pondok untuk para santri yang datang dari jauh. Namun beberapa waktu kemudian pondok tersebut pindah ke daerah Tremas setelah oleh ayahnya beliau dikawinkan dengan Putri Demang Tremas R. Ngabehi Hongggowijoyo. Sedang R. Ngabehi Honggowijoyo itu sendiri adalah kakak kandung R. Ngabehi Dipomenggolo. 

DARI SEMANTEN KE TREMAS
Karena keilmuan KH. Abdul Manan yang tidak diragukan lagi sejak masih nyantri, sehingga banyak masyarakat sekitar Pacitan mengaji pada beliau. Tak berapa lama, KH. Abdul Manan pun dinikahkan dengan putri Demang Tremas; R. Ngabehi Honggowijoyo, yang tak lain adalah kakak kandung Sang Ayah. Setelah pernikahan itu, pesantren yang dirintis awal oleh KH. Hasan Besari di Semanten pun dipindahkan ke Tremas, karena sang mertua menyediakan tanah yang berada di daerah jauh dari keramaian dan pusat pemerintahan, yang dirasa sangat cocok bagi para santri untuk mengaji, menimba ilmu. Dan sejak tahun 1830 M itulah berdiri pondok Tremas.

Diantara faktor yang menjadi penyebab perpindahan Kyai Abdul Manan dari daerah Semanten ke desa Tremas, yang paling pokok adalah pertimbangan kekeluargaan yang dianggap lebih baik beliu pindah ke daerah Tremas. Pertimbangan tersebut antara adalah, karena mertua dan istri beliau menyediakan daerah yang jauh dari keramaian atau pusat pemerintahan, sehingga merupakan daerah yang sangat cocok bagi para santri yang ingin belajar dan memperdalam ilmu agama. 
Berdasarkan pertimbangan itulah maka beliau kemudian memutuskan pindah dari Semanten ke daerah Tremas, dan mendirikan pondok pesantren yang kemudian disebut “ Pondok Tremas “. Demikianlah sedikit sejarah berdirinya Pondok Tremas yang dipelopori oleh beliau KH. Abdul Manan pada tahun 1830 M

PONDOK TREMAS KINI

Pasca wafatnya KH. Habib Dimyathi (pengasuh Pondok Tremas) pada tahun 1998, estafet kepengasuhan pun dilanjutkan oleh putra-putra masyayikh, KH. Fu’ad Habib Dimyathi atau Gus Fu’ad (Putra KH. Habib Dimyathi) sebagai Ketua Umum Perguruan Islam Pondok Tremas, KH. Luqman Hakim, Gus Luqman (putra KH. Haris Dimyathi) sebagai ketua majlis Ma’arif dan KH. Mahrus Hasyim, Si Mbah Mahrus (putra KH. Hasyim Ihsan) yang menangani bisang social kemasyarakatan.

VISI DAN MISI PONDOK PESANTREN TREMAS

Setiap ulama’ yang menyebarkan ilmunya melalui berbagai media, salah satunya pesantren tak lain agar terlahir insan-insan yang bertafaqquh fiddin, santri-santri yang mempertahankan agama Islam. Dan pondok Tremas pun memiliki visi yang diredaksikan :
Keikhlasan, kesederhanaan, kebebasan, menolong diri sendiri dan sesama umat, serta ukhuwah diniyyah.
Sementara misi dari pondok Tremas adalah :
Membina para santri agar berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran-ajaran Islam serta menanamkan rasa keagamaan tersebut di berbagai segi kehidupannya, sehingga akhirnya menjadi orang yang berguna bagi agama, masyarakat dan Negara.
Sedangkan tujuan khusus nya dapat disebutkan untuk mendidik para santri menjadi insan muslim yang bertaqwa kepada Allah Swt, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, keterampilan serta sehat lahir batin.

Pondok pesantren ini menurut sejarah merupakan pondok pesantren tertua ke-2 di Pulau Jawa. Terletak di desa Tremas kecamatan Arjosari kabupaten Pacitan. Mengunjugi ponpes ini apalagi kalau telah melakukan sholat di dalam masjid di lingkungan ponpes, serasa kedekatan kita terhadap Sang Khaliq semakin bertambah.
Dilihat dari segi jaraknya, yakni 135 Km dari kota Solo dan 70 Km dari kota Ponorogo, maka wajarlah kalau santri-santri yang berdatangan dari daerah lain harus berjalan kaki karena belum adanya sarana transportasi. Sedangkan desa Tremas terletak pada 11 kilometer dari kota Pacitan ke utara dan1 kilometer dari kecamatan Arjosari. Desa Tremas dipagari oleh bukit-bukit kecil yang melingkar dimana sebelah utara dan sebelah timur desa Tremas mengalir sungai Grindulu yang selalu membawa lumpur banjir di waktu musim penghujan. Oleh karenanya pondasi rumah penduduk desa tersebut rata-rata sangat tinggi bila dibandingkan dengan pondasi rumah penduduk di daerah yang bebas banjir.‎

Desa Tremas dibatasi oleh beberapa desa yaitu, sebelah utara dibatasi oleh desa Gayuhan, sebelah timur dibatasi oleh desa Jatimalang, sebelah selatan dibatasi oleh desa Arjosari dan di sebelah barat dibatasi oleh desa Sedayu. Mata pencaharian penduduknya adalah bertani, yakni bercocok tanam padi, kacang tanah, kelapa, pisang, sayur mayur dan sebagainya. Karena Pacitan merupakan daerah yang minus dan tandus maka tidaklah aneh jika masyarakatnya sedikit ketinggalan jika dibandingkan dengan masyarakat daerah lain, khususnya dalam bidang ekonomi. Dengan uraian tersebut kita dapat menggambarkan kehidupan rakyat di daerah itu, yang sedikit banyak dapat mempengaruhi keadaan Pondok Tremas.‎
"SEJARAH ASAL MULA PEMBERIAN NAMA PONDOK PESANTREN TREMAS"

Tremas berasal dari dua kata yaitu Trem berasal dari kata Patrem yang berarti senjata atau keris kecil dan mas berasal dari kata emas yang berarti logam mulia yang biasa dipakai untuk perhiasan kaum wanita. Kata ini berkaitan erat dengan cerita tentang dibukanya sebuah hutan yang akhirnya dinamakan Tremas, adapun yang pertama kali membuka hutan tersebut adalah seorang punggawa keraton Surakarta yang bernama Ketok Jenggot, atas perintah raja keraton Surakarta sebagai hadiah atas jasanya yang telah berhasil mengamankan keraton dari mara bahaya.

Dikisahkan pada suatu hari, Raja Keraton Surakarta memerintahkan kepada punggawanya yang bernama Ketok Jenggot untuk menjaga ketat kerajaannya, karena raja bermimpi bahwa hari yang akan datang mau ada bencana yang disebabkan datangnya seorang pencuri yang akan memasuki dan mengambil senjata pusaka yang ada di tempat penyimpanan, maka disuruhnyaKetok Jenggot menjaga dan mempertahankan dengan sebaik-baiknya.

Namun pada suatu hari datang seorang penyusup yang dengan kecerdikannya dapat masuk dalam keraton, akan tetapi usaha penyusup tersebut terlihat oleh Ketok Jenggot hingga terjadilah suatu perkelahian, setelah menghabiskan berpuluh-puluh jurus, maka dengan kesaktiannya, Ketok Jenggot berhasil memenangkan perkelaihan tersebut. Siapakah pencuri tersebut? tak lain adalah sang raja sendiri dengan maksud ingin menguji sampai dimana keperwiraan dan kesaktian Ketok Jengot.

Setelah kejadian itu, maka sang raja pun mengakui bahwa punggawanya tersebut benar-benar patuh dan sakti. Sebagai tanda atas kepatuhan dan kepahlawanannya itu maka sang raja memberikan hadiah kepada Ketok Jenggot berupa senjata Patrem Emas dan memberi tugas untuk membuka hutan di sebelah timur daerah Surakarta.

Demikianlah akhirnya setelah melalui perjuangan yang tidak ringan, Ketok Jenggot berhasil membuka hutan di sebelah timur daerah Surakarta, yang kemudian daerah tersebut diberi nama Tremas.

Perlu diketahui, bahwa sebelum Ketok Jenggot membuka hutan Tremas, di daerah tersebut sudah ada sekelompok orang yang lebih dahulu datang dan bermukim, yaitu R. Ngabehi Honggowijoyo (ayah Nyai Abdul Manan). Maka dari itu setelah meminta ijin dan memberi keterangan tentang tugasnya, barulah Ketok Jenggot mulai melaksanakan tugasnya dengan membuka sebagian besar hutan di daerah tersebut. Setelah tugasnya selesai, senjata Patrem Emas yang dibawanya itu ditanam ditempat beliau pertama kali membuka hutan tersebut, dan akhirnya daerah yang baru dibukanya tersebut diberi nama “ Tremas“.

Demikianlah sekilas cerita tentang asal mula nama Tremas yang dikemudian hari digunakan untuk menyebut sebuah pesantren yang berdiri di daerah tersebut, sedangkan Ketok Jenggot sendiri akhirnya bermukim di situ sampai akhirhaya dan dimakamkan di daerah tersebut.

‎Periode Para Pimpinan Pesantren 
A. Babad Tremas - Periode KH. Abdul Manan 1830-1862

Setelah Bagus Darso (nama kecil KH. Abdul Manan) menyelesaikan pelajarannya di Pondok Tegalsari Ponorogo, beliau lantas mendirikan pondok di daerah Semanten [2km arah utara kota Pacitan], Namun dikemudian hari pondok tersebut akhirnya dipindah ke Tremas.

Usaha pertama kali yang dilakukan untuk membangun tempat pengajian sudah barang tentu mendirikan sebuah masjid (terletak agak ke sebelah timur dari masjid yang sekarang). Dan setelah santri-santri dari jauh yang sebagian berasal dari bekas santri-santrinya di Semanten mulai berdatangan, maka dibangunlah sebuah asrama pondok di sebelah selatan masjid. Sudah barang tentu keadaan masjid dan asrama pondok pada waktu itu masih sangat sederhana sekali, atapnya masih menggunakan daun ilalang dan kerangka lainnya masih banyak yang menggunakan bahan dari bambu.

Perkembangan Pondok Tremas pada masa itu sumber dananya diperoleh dari mertuanya, yaitu Demang Tremas Raden Ngabehi Honggowijoyo, karena membangun pondok adalah memang merupakan tujuan utama dari Raden Ngabehi Honggowijoyo untuk mengambil Bagus Darso sebagai menantu.

Adapun pengajian-pengajian pada awal berdirinya masih belum banyak berbeda dengan pengajian pada masa pondok masih terletak di Semanten, yang antara lain :

> Pasholatan

> Ilmu Taukhid 

> Fiqh, Tafsir dan lain-lain 

Jadi karena Pondok Tremas pada waktu itu masih dalam taraf permulaan dan santrinya juga belum sebanyak pada periode sesudahnya, maka kitab-kitab yang dipakainya juga masih dalam tingkatan dasar.

Demikianlah keadaan pembangunan Pondok Tremas pada masa periode KH. Abdul Manan, hingga wafatnya pada hari Jum’at (minggu pertama) bulan Syawal 1282 H. dan dimakamkan di desa Semanten. Beliau meninggalkan tujuh orang putra, yang antara lain adalah KH. Abdulloh

B. Periode KH. Abdulloh 1862-1894

Sepeninggal KH. Abdul Manan, maka pengasuh atau pimpinan digantikan oleh putranya yang bernama KH. Abdulloh. Pada masa kecilnya beliau mendapatkan pelajaran dasar dari ayahnya sendiri di Pondok Tremas.

Setelah cukup dewasa KH. Abdullloh diajak oleh ayahnya pergi ke Makkah Al-Mukarromah untuk menunaikan ibadah haji, dan menetap di Makkah untuk menuntut ilmu. Setelah beberapa tahun di Makkah beliau kembali ke Tremas lagi, dan membantu ayahnya mengajar di Pondok Tremas.

Setelah Pondok Tremas mulai dikenal di daerah-daerah lain, dan kealiman serta keluasan ilmu yang dimiliki beliau, maka mulailah terlihat tanda-tanda bahwa Pondok Tremas yang dimulai dari ilalang dan bambu itu dikemudian hari akan membesar menjadi sebuah pondok yang sangat membahagiakan setiap orang yang mencintainya.

Demikianlah, dalam periode ini mulai berdatangan beberapa santri yang berasal dari daerah lain, seperti Salatiga, Purworejo, Kediri dan lain-lain. Pada waktu itu baik jalan Pacitan-Ponorogo maupun Pacitan-Solo belum ada kendaraan, sehingga orang yang ingin memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam (mengaji) ke Pondok Tremas harus berjalan kaki dengan melewati gunung-gunung dan hutan yang pada waktu itu masih cukup lebat.

Dapat dibayangkan betapa sukar dan beratnya perjalanan mereka waktu itu. Namun demikian, karena didorong oleh suatu keyakinan yang membaja bahwa perjalanan dalam rangka menuntut ilmu agama Islam adalah perjalanan suci, dimana kematian pada jalan ini mempunyai nilai yang sama dengan kematian jihad fisabilillah, maka keadaan alam Pacitan yang sangat berat itu tidak akan pernah melemahkan tekad mereka untuk sampai ke tempat tujuan. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadist yang artinya :

Abu Darda’ dan Abu Hurairah RA. Berkata, Rosululloh SAW. Bersabda : “Sungguh satu bab (ilmu) yang dipelajari oleh seseorang itu lebih kucintai daripada menjalankan sholat sunat seribu rakaat “. Kata mereka selanjutnya : Rosululloh SAW. Bersabda : “ Apabila kematian merenggut seorang pelajar yang sedang dalam keadaan menuntut ilmu, maka ia adalah mati syahid “. (Riwayat Al-Bazaar dan Thabrani)

Demikianlah serentak dengan semakin bertambahnya santri-santri dari daerah lain, maka kebutuhan akan tempatpun semakin mendesak dan terasa sangat perlu dibangun asrama baru untuk tempat tinggal mereka. Untuk memenuhi keperluan tersebut maka dibangunlah sebuah asrama di sebelah selatan jalan, yang di masa KH. Dimyathi terkenal dengan nama “Pondok Wetan“. Demikan juga dalam bidang pendidikan, pada masa KH. Abdulloh ini juga mengalami perkembangan, hal itu disebabkan karena santri lama yang sudah menamatkan kitab-kitab dasar perlu juga dilanjutkan, dan untuk itu harus dibacakan beberapa kitab yang lebih tinggi. Sedang santri lama yang sudah cukup pandai dapat diserahi membaca kitab-kitab dasar bagi santri baru, sementara kyai meneruskan membaca kitab lanjutan untuk santri lama. Begitulah perkembangan Pondok Tremas baik segi fisik maupun pendidikannya. Meskipun perkembangan pada masa KH. Abdulloh ini tidak begitu menyolok bila dibandingkan dengan keadaan Pondok Tremas pada masa KH. Abdul Manan, namun sepanjang KH. Abdulloh memimpin Pondok Tremas telah berhasil meletakkan suatau batu landasan sebagai pangkal berpijak kearah kemajuan dan kebesaran serta keharuman Pondok Tremas dikalangan pondok pesantren khususnya dan pendidikan Islam umumnya.

Keberhasilan KH. Abdulloh dalam meletakkan batu landasan tersebut adalah keberhasilan beliau dalam mendidik putra-putranya sehingga menjadi ulama-ulama yang tidak saja menguasai kitab-kitab yang dibaca, tapi lebih daripada itu juga telah berhasil menyusun berbagai macam kitab yang bernilai dalam ilmu pengetahuan agama Islam, sehingga kemudian muncullah sebutan “Attarmasie“ yang memperoleh tempat tersendiri dalam dunia ilmu pengetahuan agama Islam di negara Arab.Barangkali karena pengalaman KH. Abdulloh dalam menuntut ilmu di Makkah, sehingga kemudian putra laki-lakinya semua dikirim ke Makkah untuk menuntut ilmu disana. Putra pertama yang dikirim ke Makkah bersamaan musin haji adalah Muhammad Mahfudz. Setelah mukim disana beliau menuntut ilmu dengan tekun dibawah asuhan guru utamanya yaitu Syeikh Abu Bakar Syatha sehingga menjadi ulama besar yang mampu mendudukkan dirinya sebagai salah seorang pengajar di Masjidil Haram.

Setelah beberapa tahun Syeikh Mahfudz dikirim ke Makkah, KH. Abdulloh menunaikan ibadah Haji yang ketiga kalinya dengan mengikut sertakan beberapa putranya yang lain, yaitu K. Dimyathi, K. Dahlan, K. Abdur Rozaq dengan maksud agar setelah selesai ibadah Haji mereka akan ditinggalkan di Makkah untuk menuntut ilmu dibawah bimbingan Syeikh Mahfudz dan beliau sendiri akan kembali ke Tremas untuk mengajar santri-santrinya yang selama menunaikan ibadah Haji ke Makkah, Pondok Tremas untuk sementara diserahkan kepada menantunya yang bernama Kyai Muhammad Zaed (Suami Nyai Tirib/Nyai khotijah). Namun apa boleh buat, rupanya Allah Swt. Menghendaki KH. Abdulloh kembali kehadirat-Nya di tanah suci Makkah Almukarromah. Hingga wafatlah pada hari senin malam selasa, 29 Sya’ban 1314 H.

Sepeninggal KH. Abdulloh, untuk beberapa lama Pondok Tremas masih dipimpin oleh Kyai Muhammad Zaed, sementara menanti kedatangan KH. Dimyathi yang kemudian akan meneruskan karya ayah dan kakeknya dalam mengabdi kepada agamanya. ‎

Sementara itu KH. Dahlan setelah kembali dari Makkah kemudian dikawinkan dan diambil menantu oleh Kyai Shaleh Darat Semarang. Kemudian mukim disana hingga wafatnya pada hari Ahad, 7 syawal 1329 H. Dan kemudian dimakamkan di Bergota Semarang, dimana pusaranya berjejer dengan pusara Kyai Saleh Darat Semarang.

Adapun putra-putra KH. Abdulloh lainnya, sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, mereka juga memiliki keistimewaan-keistimewaan tersendiri. Kalau KH. Dimyathi termashur karena kesuksesannya dalam membina dan mememajukan pondok, Maka KH. Muhammad Bakri teristemewa dangan Al-Qur’annya, dan KH. Abdurrozaq mempunyai kekhususan dalam bidang thoriqoh, dimana beliau menjadi seorang Mursyid yang mempunyai murid dimana-mana. Beliau wafat pada tanggal 3 April 1958, dan dimakamkan di Tremas

C. Periode KH. Dimyathie 1894-1934

Setelah kita ikuti perkembangan Pondok Tremas pada masa KH. Abdulloh dan bagaimana beliau berhasil mendidik putra-putranya menjadi ulama-ulama yang tangguh baik dalam ilmu maupun dalam amalnya, maka tibalah kini pada masa dimana Pondok tremas dipimpin oleh beliau Hadrotus Syeikh KH. Dimyathi. Suatu masa dimana Pondok Tremas telah mencatat perkembangan yang pesat, baik perkembangan fisiknya maupun perkembangan pendidikannya. Dan pada masa inilah Pondok Tremas berhasil melahirkan kader-kader ulama yang kemudian mempunyai peranan besar dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.

Semenjak masa KH. Abdulloh Pondok Tremas sudah mulai dikenal di daerah-daerah lain. Sehingga tahun kepopuleran dan kemashuran Pondok Tremas semakin bertambah, lebih-lebih setelah kitab Syeikh Mahfudz seperti yang kami sebutkan diatas mulai beredar di pulau Jawa dan di tanah Melayu dengan istilah “Attarmasie“, maka makin banyaklah orang-orang dari daerah lain yang berkeinginan kuat untuk untuk menuntut ilmu agama Islam di Pondok Tremas.

Dengan datangnya para santri yang semakin banyak maka timbullah kebutuhan tentang dibangunnnya asrama-asrama baru. Tetapi kali ini masalahnya tidak akan selesai begitu saja dengan dibangunnya asrama tersebut, sebab masalah lain yang berhubungan dengan suasana tata bangunan pondok harus dipikirkan pula, sehingga pembangunan asrama tersebut tidak akan mengganggu dan membawa akibat ketidakteraturan suasana. Berdasarkan pertimbangan inilah maka KH. Dimyathi kemudian mengambil kebijaksanaan untuk memindahkan masjid yang sejak masa KH. Abdul Manan terletak disebelah timur dari masjid sekarang ketengah-tengah pekarangan.

Demikianlah perkembangan pembangunan pondok yang disebabkan makin bertambahnya santri, hingga pada waktu itu jumlah santri hampir mendekati 2000 orang. Seluruh tanah milik kyai hampir semuanya sudah didirikan bangunan-bangunan untuk asrama, baik disebelah selatan jalan, maupun disebelah utara jalan. Masing-masing asrama didirikan dan ditempati oleh santri-santri yang berasal dari satu daerah, oleh karenanya nama-nama pondok atau asrama pada masa itu tergantung dari santri yang bertempat di asrama tersebut, misalnya pondok Cirebon, pondok Pasuruan, pondok Tegal, pondok Solo, pondok Ngawi, pondok Malaysia, pondok Singapura dan sebagainya.

Disamping itu karena perkembangan pendidikan ilmiah juga semakin pesat, maka pada masa kepemimpinan KH. Dimyathi ini pula didirikan sebuah gedung yang digunakan untuk madrasah. Hingga perkembangan ilmiah pada masa KH. Dimyathi ini sangat menyolok bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Pada tahun-tahun permulaan pengajian-pengajian masih ditangani langsung oleh kyai sendiri, tetapi setelah usia kyai bertambah lanjut maka ada beberapa kitab yang diserahkan kepada beberapa orang santri yang oleh KH. Dimyathi dianggap sudah mampu untuk membaca kitab dan menerangkan atau menjelaskan kepada santri yang lain.

Diantara kitab-kitab yang dibaca pada waktu itu banyak mengalami penambahan-penambahan, diantaranya adalah;

فتح المعين

تعليم المتعلم

احياء علوم الدين

تفسير الجلالين

الفية ابن مالك

منهاج القويم

صحيح البخارى

صحيح مسلم

Semua kitab-kitab itu diajarkan menurut sistem pengajian yang biasa berlaku di pondok pesantren pada umumnya, misalnya dipakai sebagai kitab pengajian wetonan dan juga sebagai kitab sorogan.

Kemudian pada tahun 1928 M. beberapa santri yang mempunyai pengalaman belajar dibeberapa daerah mengajukan gagasan untuk mengadakan sistem pendidikan madrasah (klasikal), disamping pengajian-pengajian yang sudah berjalan. Rupanya terhadap gagasan tersebut kyai tidak menaruh keberatan apa-apa bahkan merestui, maka dalam tahun itu pula didirikanlah sebuah madrasah yang bernama madrasah Ibtidaiyyah. Murid pertama madrasah ini sebanyak 30 ( tiga puluh ) anak. Namun jika dibandingkan jumlah para santri yang hampir mencapai 2000 orang maka jumlah 30 orang siswa ini menunjukkan bahwa minat para santri terhadap sistem pengajaran semacam ini masih sangat kurang sekali. Dan memang demikianlah kenyataanya, sebab bagi mereka yang sudah terbiasa mengaji dengan tidak pernah terkena kewajiban menghafal, tamrinan dan lain sebagainya, maka sistem madrasah ini tidak menarik sama sekali. Oleh karena itu tidak mengherankan bila madrasah Ibtidaiyah itu kemudian hanya berumur beberapa bulan saja.

Namun demikian usaha-usaha untuk mengadakan perkembangan pendidikan dengan sistem madrasah itu tidak pernah berhenti. Sehingga akhirnya pada tahun 1932 M. dengan dipelopori oleh beliau Kyai Hamid Dimyathi didirikanlah sebuah madrasah yang bernama madrasah Salafiyah. Pada mulanya madrasah tersebut hanya diperuntukkan bagi anak-anak desa sekitar ( masyarakat ), tetapi setelah Kyai Hamid Dimyathi menggantikan ayahnya menjadi kyai, maka madrasah tersebut dibuka pula untuk anak-anak pondok.

Demikianlah perkembangan fisik maupun perkembangan ilmiyah Pondok Tremas di masa KH. Dimyathi, sehingga dapat dikatakan bahwa pada masa itulah kejayaan Pondok Tremas. Dan karena kemajuan, kebesaran serta keharumannya, maka tidak mengherankan bila para alumni dari periode ini banyak yang menjadi tokoh-tokoh yang dapat diandalkan dalam bidangnya masing-masing.

Namun sebelum kita menginjak pada periode selanjutnya, terlebih dahulu akan penyusun sampaikan tentang beberapa hal sekitar kepribadian beliau Hadrotus Syeikh KH. Dimyathi.

Beliau dikenal oleh santri-santrinya sebagai orang yang sangat alim dan tinggi ilmunya, sholeh dan tawadlu’ dalam tingkah lakunya, sabar dalam sikapnya dan sederhana dalam segala-galanya. Beberapa pihak yang dekat dengan kehidupan pribadi beliau menerangkan bahwa KH. Dimyathi tidak pernah menunjukkan kemarahan pada wajah lahiriyahnya, sampai-sampai terhadap seorang santri yang berbuat kesalahan besar dan diputuskan dipulangkan umpamanya, maka dengan nada datar beliau berkata penuh tawadlu’. “ Barangkali yang paling maslahat bagi saudara seyogyanya pulang terlebih dahulu “. dan pulanglah sang santri dengan penyesalan yang dalam. Namun demikian, sikap beliau yang agung tersebut tidak pernah mengurangi ketaatan dan keseganan para santri terhadap pribadi beliau. Dan kebesaran pribadi serta wibawa beliau makin tampak apabila beliau sedang mengajar.

Di tengah-tengah para santri yang memenuhi serambi masjid, dalam suasana yang hening, dengan nada yang pasti dan meyakinkan beliau membaca kitab yang diajarkan baris demi baris, yang kadang-kadang disana-sini diselingi dengan humor yang cukup segar, sementara para santri mendengarkan dengan penuh perhatian. Sehingga sering diceritakan bahwa santri yang paling bodoh sekalipun akan dapat memahami dengan baik, sedang para santri yang cerdas akan dapat menghafalkan dengan mudah sesudah pengajian selesai

D. Periode KH. Hamid 1934-1948

Pada masa kecilnya beliau belajar pengetahuan agama Islam di Pondok Tremas, dan kemudian setelah usia remaja melanjutkan pendidikan di Pondok Lasem dibawah bimbingan Al-Mukarrom KH. Ali Ma’sum. Kemudian setelah beberapa tahun di Lasem beliau kembali ke Tremas serta , membantu ayahnya KH. Dimyathi dalam membangun dan membina Pondok Tremas.

Dalam masa kepemimpinan Kyai Hamid Dimyathi ini, apa yang terjadi di Pondok Tremas terbagi menjadi dua fase, yaitu ‎

:: Fase Kemajuan 

Tahun-tahun pertama dari masa Kyai Hamid Dimyathi adalah tahun paling jaya, yang merupakan jaman keemasan bagi Pondok Tremas baik dari segi fisik maupun perkembangan pendidikan dan pengajarannya. Jadi disamping dasar-dasar kemajuan yang memang sudah dilakukan pada masa KH. Dimyathi dilakukan juga beberapa usaha yang merupakan penyempurnaan dari usaha usaha sebelumnya

Usaha-usaha tersebut antara lain :

1. Penertiban pengajian, yaitu pengajian-pengajian yang diadakan di kamar-kamar ditiadakan, dan sebagai gantinya beberapa asrama dipakai sebagai tempat pengajian

2. Organisasi pondok diadakan penyempurnaan, baik dalam usaha keuangan, tata usaha administrasi maupun personalianya

3. Penertiban pengajian, yaitu pengajian-pengajian yang diadakan di kamar-kamar ditiadakan, dan sebagai gantinya beberapa asrama dipakai sebagai tempat pengajian

4. Penambahan macam-macam pengajian, yakni pengajian-pengajian yang sudah ada sebelumnya, ditambah dengan beberapa macam pengajian dengan memakai kitab-kitab yang ada pada masa KH.Dimyathi belum pernah dibaca, antara lain :

اتمام الدراية

الحكمة فى مخلوقات الله

الحكمة فى مخلوقات الله

ميزان العمل

كلمة السعادة

5. Pembukaan madrasah Salafiyah untuk para santri yang bertempat tinggal di asrama atau di pondok. Dan memasukkan beberapa mata pelajaraan umum pada madrasah salafiyah tersebut, yaitu :

Bahasa Indonesia 

Sejarah Bumi 

Ilmu Bumi 

Berhitung, dll 

6. Membuka perpustakaan, yang bertujuan untuk memenuhi minat baca dan sebagai pendukung belajar para santri. Jadi bagi suatu lembaga pendidikan seperti Pondok Tremas, perpustakaan yang didirikan oleh Kyai Hamid Dimyathi pada tahun 1935 M. tersebut termasuk cukup lengkap. Didalamnya terdapat berbagai macam kitab yang meliputi fiqih, adab, tarikh, hadits dan sebagainya. Kemudian disamping kitab-kitab tersebut, dilengkapi juga dengan majalah-majalah baik yang terbitan dalam negeri juga yang terbitan luar negeri, misalnya:

 Majalah Penyebar Semangat dari Surabaya

 Majalah Anshor dari Mesir

 Majalah Al-Fata dari Mesir, dsb

E. Fase Kemunduran 

Kemunduran disini disebabkan karena pecahnya perang dunia II, tentara Dai Nippon (Jepang) mendarat di pulau Jawa dalam rangka ekspansinya untuk menguasai Asia Timur Raya.

Dalam keadaan yang tidak menentu itu sangat berpengaruh terhadap kegiatan belajar serta keamanan para santri yang bertempat di Pondok Tremas. Sehingga akibatnya banyak santri Pondok Tremas yang pulang ke kampung halamannya masing-masing, dan keadaan tersebut mengakibatkan juga berhentinya kegiatan belajar mengajar para santri, akhirnya pondok menjadi sepi.

Namun demikian terdapat juga sebagian kecil santri yang tidak meninggalkan pondok karena disebabkan oleh beberapa hal, misalnya belum dapat biaya pulang padahal rumahnya sangat jauh dan menyeberangi lautan, dan sebagainya.

Untuk lebih jelasnya, mengenai fase kemunduran tersebut akan kami bagi dalam beberapa sebab, yaitu :

:: Jepang mendarat di pulau Jawa 

Kedatangan Jepang ke jawa benar-benar telah membawa penderitaan bagi rakyat Indonesia. Penderitaan fisik, mental keyakinan, politik, kebudaayaan, ekonomi, pendidikan dan keselamatan setiap orang. Mereka telah merampok kekayaan tanah air, menghancurkan kebudayaan serta adat-istiadat, dan menyebarkan rasa takut serta gelisah dikalangan penduduk. Oleh sebab itu orang tidak sempat berfikir, apalagi berangan-angan tentang politik dan nasib hari depan, karena masing-masing orang telah menghadapi kemungkinan yang paling mendesak.

Akibat buruk yang ditimbulkan oleh tentara Dai Nippon itu juga menimpa terhadap para santri maupun pengasuh Pondok Tremas itu sendiri. Oleh sebab itu maka banyaklah para santri yang pulang ke kampungnya masing-masing kecuali bagi mereka yang tidak dapat pulang karena sesuatu hal. Dan sejak itulah Pondok Tremas mengalami masa kemunduruan.

Kemunduran Pondok Tremas tersebut belum sempat dibenahi sudah disusul oleh peristiwa meletusnya pemberontakan PKI-Muso di Madiun. Sebuah kasus yang lebih dikenal dengan nama “ Affair Madiun “ pada tahun 1948. Suatu peristiwa dimana kaum agama yang menjadi lawan utama kaum atheis jadi korban. Dan peristiwa tersebut sangat merugikan terhadap perkembangan Pondok Tremas, bahkan sampai pada masa fakumnya

:: Pembrontakan PKI di Madiun 

Dalam suasana perjuangan yang semakin memuncak pada tahun 1945, Kyai Hamid Dimyathi ikut menerjunkan diri dalam kancah perjuangan. Beliau masuk menjadi anggota KNIP ( Komite Nasional Indonesia Pusat ), dan kemudian beliau masuk menjadi aktifis partai politik Islam Masyumi, ( satu-satunya partai Islam pada waktu itu ). Dalam kedudukannya itu maka akibatnya beliau jarang berada di pondok, sampai akhirnya meletus pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948.

Pemberontakan diawali dari kota Madiun dan kota Solo, maka kota Pacitan yang juga termasuk wilayah karesidenan Madiun juga bergolak. Maka kaum agama yang menjadi lawan utama kaum atheis menjadi korban. Dan dalam pemberontakan PKI di Madiun (Affair Madiun) itu korban yang paling banyak jatuh adalah dari pihak Islam, yang memang bahu-membahu dengan TNI menumpas pemberontakan itu.

Akibat pemberontakan PKI di Madiun tersebut bagi Pondok Tremas tercatat sebagai hari berkabung. Karena pada waktu itu Pondok Tremas juga termasuk salah satu sasaran tentara tentara PKI-Muso yang mengganas, membabi buta dan menghancurkan apa saja yang mereka kehendaki, sehinga keamanan Pondok Tremas menjadi semakin terancam. Dan situasi yang tidak menentu tersebut menyebabkan para santri banyak yang pulang ke rumah masing-masing.

Bahkan pernah suatu waktu Kyai Hamid Dimyathi di panggil langsung oleh Bung Tomo ke Surabaya dalam rangka mengobarkan semangat perjuangan para ulama dan kyai. Tapi karena kesibukan Kyai Hamid Dimyathi di daerah Pacitan sendiri sebagai pimpinan partai Masyumi dan sebagai Kepala Penghulu, maka beliau berhalangan hadir, dan disuruhlah Bapak Mursyid (kakak ipar beliau) sebagai penggantinya berangkat ke Surabaya. Sebagai pimpinan partai Masyumi dan sebagai Kepala Penghulu beliau merasa bahwa keadaan dan keamanan di Pacitan sudah sangat kritis, maka beliau kemudian berusaha mengadakan hubungan ke Yogyakarta untuk memberi laporan kepada pemerintah pusat. Namun dalam penyamarannya melakukan perjalanan ke Yogyakarta bersama-sama dengan Pak Joko, Pak Abu Naim, Pak Yusuf, Pak Qosyim (kakak dan adik ipar) dan Pak Soimun (pendereknya) serta pengikut-pengikutnya yang semua berjumlah 15 orang, di tengah perjalanan sewaktu beristirahat di sebuah warung di daerah Pracimantoro, beliau dan rombongannya dicurigai dan ditangkap oleh gerombolan PKI yang memang sudah menguasai daerah itu.

Setelah beberapa waktu ditahan di Baturetno maka dibawalah Kyai Hamid Dimyathi beserta rombongannya itu ke daerah Tirtomoyo dan dibunuhlah disana dengan dimasukkan begitu saja dalam suatu lobang bersama-sama dengan 13 syuhada’ lainnya (kecuali Pak Soimun pendereknya yang tidak dibunuh). Inna lillaahi wainna ilai roji’un.

Menurut persaksian Pak Soimun, diceritakan bahwa setelah beberapa bulan kemudian ( setelah keadaan aman ), diadakan penggalian terhadap para syuhada’ dan pejuang termasuk diantaranya penggalian terhadap jenazah rombongan Kyai Hamid Dimyathi yang berjumlah 14 orang tersebut. Namun setelah lobang itu digali kembali maka jumlah jenazah yang sudah mulai rusak tersebut tinggal 13 orang, dan karena keadaannya sudah rusak maka tidak dapat dikenali lagi satu persatu dan yang manakah jenazah Kyai Hamid Dimyathi. Dan akhirnya ke 13 jenazah tersebut dibawa ke makam pahlawan di Jurug Surakarta, dan sampai sekarang belum diketahui dimana makam beliau. Wallaahu A’lam.

Sejak meningalnya Kyai Hamid Dimyathi (tahun 1948), maka Pondok Tremas tersebut mengalami masa kevakuman sampai tahun 1952. Bangunan pondok yang beberapa tahun sebelumnya masih ramai dihuni oleh para santri kini menjadi kosong, serta banyak yang sudah mulai rusak. Dan para santrinya banyak yang kembali kembali ke kampungnya masing-masing. Alasan pulangnya para santri tersebut disamping adanya suasana politik yang kurang memungkinkan untuk tinggal di pondok duga disebabkan oleh karena kekosongan pemimpin (kyai), karena pengaruh kyai terhadap para santri sangat besar sehingga kyai dianggap sebagai sumber pemberi ilmu dunia dan akherat, dan juga sebagai seseorang yang paling harus ditaati.

Kemunduran yang sedemikian parahnya itu belum sempat dibenahi sudah disusul dengan bencana yang lain, yaitu datangnya kembali Belanda ke Indonesia (Agresi Belanda II) pada tahun 1948

:: Datangnya kembali Belanda ke Indonesia 

Seperti diuraikan diatas, bahwa penyebab ketiga kemunduran Pondok Tremas tersebut disebabkan oleh kedatangan kembali Belanda ke Indonesia (Agresi Belanda II). Agresi militer tersebut ialah aksi Belanda menyerbu wilayah Republik Indonesia yang kedua kalinya, setelah wakil tinggi mahkota Belanda (Dr. Beel) menyatakan tidak terikat lagi oleh persetujuan Renville pada tanggal 18 Desember 1948.

Tanggal 19 Desember 1948 Lapangan Maguwo Yogyakarta diserang oleh Belanda dan berhasil diduduki. Penyerbuan juga terjadi di kota-kota lain. Panglima Besar Jendral Sudirman bersama-sama para pemuda menyusun kekuatan dan melaksanakan strategi perang gerilya dimana-mana.

Oleh karena Pacitan termasuk salah satu kota yang menjadi sasaran serbuan tentara Belanda pada waktu itu, maka ketika diketahui bahwa kota Pacitan akan diserbu oleh tentara Belanda dari laut maka Pacitan dalam keadaan darurat, dan kabupaten Pacitan dipindah ke Arjosari, (sekarang kecamatan). Dan atas ijin sesepuh pondok, maka bupati Pacitan memutuskan untuk memindahkan sebagian lembaga pemasyarakatan ke Pondok Tremas yang sudah hampir tidak ada penghuninya, jadi selain digunakan sebagai lembaga pemasyarakatan Pondok Tremas juga digunakan untuk menampung orang-orang yang terlantar akibat penjajahan Jepang.

Kiranya tidaklah mengherankan apabila dalam keadaan yang tidak memungkinkan itu para santrinya pulang ke kampung masing-masing. Jadi sejak itulah maka Pondok Tremas sudah hampir tidak ada santrinya lagi kecuali hanya beberapa orang santri daari daerah sekitar dasn para santri yang tidak pulang karena hal lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa mulai tahun itu Pondok Tremas dalam keadaan vakum sama sekali, sampai akhirnya pada tahun 1952 Kyai Habib Dimyathi (adik Kyai Hamid Dimyathi) kembali dari Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta mengganti kakaknya membina dan membangkitkan kembali Pondok Tremas yang sudah hampir lima tahun dalam keadaan tidak aktif lagi.

F. Masa Kebangkitan

Seperti telah diuraikan pada bab terdahulu bahwa Pondok Tremas telah berdiri sejak tahun 1830. Dalam perkembangannya pondok tersebut banyak mengalami kemajuan, dan puncak kemajuan itu terlihat pada masa kepemimpinan KH. Dimyathi dan Kyai Hamid Dimyathi. Mendekati berakhirnya masa kepemimpinan Kyai Hamid Dimyathi Pondok Tremas berangsur-angsur mengalami kemunduran. Adapun puncak kemunduran tersebut mulai nampak sejak meninggalnya Kyai Hamid Dimyathi, hingga Pondok Tremas mengalami masa vakum

Sedangkah tokoh-tokoh kebangkitan kembali  Pondok Tremas adalah: 

‎:: KH. Habib Dimyathie 

Beliau dilahirkan pada tahun 1923 M. Pada masa kecilnya beliau belajar dasar-dasar pengetahuan agama Islam di Pondok Tremas sendiri. Dan kemudian melanjutkan ke Pondok Al Hidayah Lasem dibawah asuhan KH. Ma’sum. Setelah satu tahun lebih sedikit beliau belajar di pondok tersebut, kemudian kembali lagi ke Tremas. Pada tahun 1937 beliau melanjutkan belajarnya ke Madrasah Salafiyah Kauman Surakarta selama dua tahun lebih sedikit dibawah asuhan KH. Dimyathi Abdul Karim. Dan dari madrasah Salafiyah tersebut beliau kembali lagi pulang ke Tremas. Setelah beberapa waktu di Tremas kemudian melanjutkan belajarnya ke Pondok Popongan dibawah asuhan KH. Mansyur, lantas melanjutkan lagi ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dibawah asuhan KH. Hasyim Asy’ari sampai kemerdekaan tahun 1945. Sepulangnya dari Tebuireng lalu melanjutkan lagi ke Pondok Pesasntren Krapyak Yogyakarta, dan seterusnya ke Pondok Pesantren Sumolangu Kebumen dibawah asuhan KH. Thoifur Abdurrohman. Selama di Yogyakarta beliau masuk menjadi anggota tentara pejuang Hizbulloh dan menjadi anggota BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia) pimpinan Bung Tomo, berjuang melawan penjajah di Ambarawa dan bermarkas di Magelang.

Pada awal tahun 1948 beliau pulang ke Tremas, tetapi karena pada waktu itu masih dalam situasi yang serba kacau akibat pemberontakan PKI (Affair Madiun), maka beliau bersama pamannya, KH. Abdurrozaq dan kawan-kawannya ditahan oleh PKI di Pacitan.Namun berkat datangnya bantuan tentara Siliwangi ke daerah Pacitan akhirnya beliau-beliau dapat diselamatkan dari rencana pembunuhan oleh PKI.

Setelah beberapa bulan di Tremas beliau meneruskan lagi ke Pondok Pesantren Krapyak, sampai akhir tahun 1952 beliau dipanggil pulang ke Tremas untuk menggantikan kakaknya, Kyai Hamid Dimyathi yang terbunuh akibat terjadinya affair Madiun 1948

:: KH. Haris Dimyathie 

Beliau lahir pada tahun 1932 M. Pada masa kecilnya beliau belajar di Pondok Tremas dibawah asuhan para sesepuh pondok. Kemudian pada tahun 1939 melanjutkan belajarnya ke Madrasah Salafiyah Kauman Surakarta dibawah asuhan KH. Dimyathi Abdul Karim sampai kurang lebih tahun 1942 M. Dan semasa pemerintahan penjajah Jepang beliau kembali ke Tremas sampai tahun 1945. Dan kemudian melanjutkan lagi ke Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta dibawah asuhan KH. Ali Ma’sum.

Tetapi karena situasi kritis yang meliputi Yogyakarta pada waktu itu beliau ikut mengungsi ke daerah Kedung Banteng (masih termasuk wilayah Yogyakarta ) bersama-sama dengan Bapak Mukti Ali (eks menteri agama RI), Burhanuddin Harahap dan tokoh-tokoh pejuang lain. Di tempat pengungsian yang cukup lama itu Bapak Mukti Ali dan lainnya berhasil mendirikan sebuah madrasah, dimana untuk beberapa lama KH. Haris Dimyathi ikut menjadi murid, dan kemudian menjadi ustadz sampai kurang lebih tahun 1952. Hingga beberapa waktu kemudian beliau mengikuti jejak kakaknya kembali ke Tremas untuk membina dan membangun kembali Pondok Tremas.

Pada tahun 1945 Bapak Darul Khoiri bin Abdurrozaq ( nama panggilan pak Ndari ) yang selama kevakuman Pondok tremas menjadi pimpinan Madrasah Salafiyah menyerahkan kepemimpinannya kepada KH. Haris Dimyathi

Perlu diketahui bahwa KH Haris Dimyathi ini pernah menjadi menantunya pendiri organisasi Nahdlatul 'Ulama, saat meningkah dengan Nyai Fatimah binti KH. Hasyim Asy'ari dari Tebuireng, namun sayang pernikahan itu tidak berlangsung lama

:: KH. Hasyim Ikhsan 

Beliau dilahirkan pada bulan Juli 1912 M. Semasa kecilnya belajar di Tremas sendiri dibawah asuhan para sesepuh, antara lain mBah Nyai Abdulloh serta pada KH. Dimyathi. Pada tahun 1928 meneruskan belajarnya di Pondok Pesantren Al Hidayah Lasem dibawah asuhan KH. Ma’sum bersama-sama dengan Kyai Hamid Dimyathi.

Setelah beberapa tahun kemudian, beliau kembali ke Tremas dan diminta membantu mengajar di Pondok Tremas, tetapi satu tahun kemudian beliau meneruskan belajarnya ke Pondok Lasem lagi dibawah asuhan Kyai Kholil, hingga pada tahun 1934 kembali ke Tremas dan mengajar bersama-sama ustadz lain.

Pada tahun 1948 sampai 1950 beliau menjadi penerangan Agama Islam di Tegalombo, selanjutnya dipindah ke daerah Arjosari. Dan akhirnya mengajar kembali di Pondok Tremas

G. Keadaan Kini 

Setelah KH. Habib Dimyathi wafat pada tahun 1998, model kepemimpinan Perguruan Islam Pondok Tremas masih seperti periode-periode sebelumnya, yaitu membagi tugas dengan beberapa putra masyayih yaitu KH. Fuad Habib Dimyathi "Gus Fuad" (putra KH. Habib Dimyathi) sebagai Ketua Umum Perguruan Islam Pondok Tremas, KH. Luqman Hakim "Gus Luqman" (putra KH. Haris Dimyathi) sebagai Ketua Majelis Ma'arif dan KH. Mahrus Hasyim "Gus Mahrus" (putra KH. Hasyim Ihsan) yang menangani bidang sosial kemasyarakatan.

Gus Fuad dan Gus Luqman yang relatif masih muda punya semangat dan keberanian dalam menggunakan prinsip "al Muhafadloh alal Qodimis sholih wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah". Pertama yang dibenahi adalah sarana fisik berupa renovasi Masjid Pondok Tremas yang juga milik masyarakat desa Tremas. Masjid ini direncanakan terdiri dari dua lantai dan terbagi dalam beberapa ruang, antara lain ruang Utama, ruang Sekretariat Pondok Putra, Perpustakaan, Bahtsul Masail, Tahfidzul Qur'an dan ruang Pengajian. masjid ini sengaja dibangun multifungsi, karena masjid merupakan sentral dari semua kegiatan yang ada di Pondok Tremas. Dibangunnya Madrasah Depan Masjid, Asrama Putri V (Astri Lima) dan pavingisasi adalah proyek renovasi lainnya yang diselelnggarakan bersama pembangunan masjid.

Selain pembangunan fisik, pembenahan kurikulum dan peningkatan kualitas santri dalam memahami hukum Islam juga mendapat prioritas dalam periode ini guna mewujudkan motto Pondok Tremas, yaitu : ”Mencetak Insan Benar Yang Pintar" 

Sejarah Pesantren Lirboyo Kediri


Lirboyo, awalnya adalah nama sebuah desa terpencil yang terletak di Kecamatan Mojoroto Kota Kediri Jawa Timur.  dahulu desa ini merupakan sarang penyamun dan perampok, hingga pada suatu ketika atas prakarsa Kyai Sholeh, seorang yang Alim dari desa Banjarmelati dan dirintis oleh salah satu menantunya yang bernama KH. Abdul  Karim, seorang yang Alim berasal dari Magelang Jawa Tengah.

KH. ABDUL KARIM

Beliau ( KH.ABDUL KARIM ) dilahirkan pada tahun 1856, di sebuah desa terpencil bernama Diyangan Kawedanan Mertoyudan Magelang Jawa Tengah. Nama kecil beliau adalah Manab, beliau putra ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Kyai Abdur Rahim dan Nyai Salamah. 

Pada saat Manab kecil berusia 14 tahun, mulailah beliau melakukan pencarian ilmu agama, daerah pertama yang beliau tuju adalah desa Babadan Gurah Kediri, lantas beliau meneruskan pengembaraannyadi daerah Cepoko, 20 km arah selatan Nganjuk, beliau menuntut ilmu kurang lebih selama 6 Tahun. Selanjutnya pindah lagi ke Pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono Nganjuk Jatim,disinilah beliau memperdalam pengkajian ilmu Al-Quran, beberapa tahun kemudian beliau teruskan pengembaraannya dalam tholabul ilmi di Pesantren Sono sebelah timur Sidoarjo, sebuah pesantren yang terkenal dengan ilmu Shorofnya, tujuh tahun lamanya beliau menuntut ilmu di Pesantren ini.periodenya selanjutnya beliau meneruskan nyantri di Pondok Pesantren Kedungdoro Sepanjang Surabaya, hingga akhirnya beliaumeneruskan pengembaraan ilmunya di salah satu pesantren besar di pulau Madura yang diasuh oleh seorang Ulama’ Kharismatik bernama, Syaikhona Kholil Bangkalan. Cukup lama beliau menuntut ilmu dimadura yaknisekitar 23 tahun, begitu lamanya beliau menuntut ilmu sehingga menjadikan kemampuan beliau menjadi sangat terasah dan mumpuni.

Pada saat berusia 40 tahun, KH. Abdul Karim meneruskan pencarian ilmunya di Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang Jatim, yang diasuh oleh sahabat karibnya semasa di Bangkalan Madura, KH. Hasyim Asy’ari. Hingga pada suatu ketika KH. Hasyim asy’ari menjodohkan KH. Abdul Karim dengan putri Kyai Sholeh dari Banjarmlati Kediri, akhirnya pada tahun1328 H/ 1908 M, KH. Abdul Karim menikah dengan Siti Khodijah Binti KH. Sholeh, yang kemudian dikenal dengan namaNyai Dlomroh, dua tahun kemudian KH. Abdul karim bersama istri tercinta hijrah ketempat baru, disebuah desa terpencil yang bernama Lirboyo tepatnya pada tahun 1910 M, disinilah titik awal tumbuhnya Pondok Pesantren Lirboyo. 

Kemudian pada tahun 1913, KH. Abdul karim mendirikan sebuah Masjid ditengah-tengah komplek pondok, sebagai sarana ibadah dan sarana ta’lim wa taalum bagi santri. Secara garis besar Pribadi KH. Abdul karim adalah sosok yang sangat sederhana dan bersahaja, beliau gemar melakukan Riyadlah mengolah jiwa atau Tirakat, sehingga hari-hari beliau hanyalah berisi pengajian dan tirakat saja. Pada tahun 1950-an, tatkala KH. Abdul Karim menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya setelah beliau melaksanakan ibadah haji pada tahun 1920-an, kondisi kesehatan beliau sebenarnya sudah tidak memungkinkan, namun karena keteguhan hati akhirnya keluarga mengikhlaskan kepergiannya untuk menunaikan ibadah haji, dengan ditemani sahabat akrabnya KH. Hasyim Asy’ari dan seorang dermawan asal Madiun H. Khozin.

Sosok KH. Abdul Karim adalah sosok yang sangat istiqomah dan berdisiplin dalam beribadah, bahkan dalam segala kondisi apapun dan keadaan bagaimanapun, hal ini terbukti tatkala beliau menderita sakit, beliau masih saja istiqomah untuk memberikan pengajian dan memimpin sholat berjamaah, meski harus dipapah oleh para santri. Mendung kedukaan menggelayut menaungi Lirboyo, Kepada Allah lah, sejatinya semua mahluk akan kembali, pada tahun 1954, tepatnya hari senin tanggal 21 Ramadhan 1374 H, KH. Abdul Karim berpulang kerahmatullah, beliau dimakamkan di belakang masjid Lirboyo.

Berdirinya Pesantren 

Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya dengan awal mula KH. Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun 1910 M. setelah kelahiran putri pertama beliau yang bernama Hannah dari perkawinannya dengan Nyai Khodijah (Dlomroh), putri Kyai Sholeh Banjarmelati.

Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatar belakangi, dorongan dari mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang da’i, karena Kyai Sholeh berharap dengan menetapnya KH. Abdul Karim di Lirboyo, maka  syiar Islam lebih luas. Disamping itu, juga atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh agar berkenan menempatkan salah satu menantunya  di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram.

Harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama kali kyai Abdul Karim menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga semalaman penduduk Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang menyelamatkan diri.

Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah waqaf tersebut, KH. Abdul Karim mendirikan surau mungil nan sederhana untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta.

Santri Perdana dan Pondok Lama

Adalah seorang bocah lugu yang bernama Umar asal Madiun, dialah santri pertama yang menimba ilmu dari KH. Abdul Karim di Pondok Pesantren Lirboyo. Kedatangannya disambut baik oleh KH. Abdul Karim, karena kedatangan musafir itu untuk tholabul ilmi , menimba pengetahuan agama. Selama nyantri, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada Kyai.

Demikian jalan yang ditempuh Umar selama di Lirboyo. Selang beberapa waktu ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal KH. Abdul Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad Dan Sahil. Tidak lama kemudian datanglah dua orang santri bernam Syamsuddin dan Maulana, keduanya berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud untuk mendalami ilmu agama dari KH. Abdul Karim. Akan tetapi baru dua hari saja mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes di sambar pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman,  di Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan kotor. Akhirnya mereka berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung halamannya.

Tahun demi tahun, keberadaan Pondok Pesantren Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin banyaklah santri yang berdatangan mengikuti santri-santri sebelumnya untuk bertholabul ilmi , maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuklah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling disekitar pondok.

Berdirinya Masjid Pondok Pesantren Lirboyo

Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren, karena keberadaannya yangbegitu penting bagi perkembangan dakwah bagi ummat Islam dan sebagai sarana untuk mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan, sebagaimana praktek sholat berjama’ah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh jika dimana  ada pesantren disitu pula ada masjid, seperti yang dapat kita lihat di Pondok Pesantren Lirboyo.

Asal mula berdirinya masjid di Pondok Lirboyo, karena Pondok Pesantren yang sudah berwujud nyata itu kian hari banyak santri yang berdatangan, sehingga dirasakan KH. Abdul Karim, belum dianggap sempurna sebuah pesantren kalau belum ada masjidnya. Maka dua setengah tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, tepatnya pada tahun 1913 M. timbullah gagasan dari KH. Abdul Karim untuk merintis berdirinya masjid dilingkungan Pondok.

Semula masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin beliung dengan kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang tidak lain adalah kakak ipar KH. Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Jalan keluar yang ditempuh KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul Karim guna meminta pertimbangan dan bermusyawarah. Tidak lama kemudian seraya KH. Abdul Karim mengutus H. Ya’qub yang tidak lain adik iparnya sendiri untuk sowan berkonsultasi dengan KH. Ma’ruf Kedunglo mengenai langkah selanjutnya yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan masjid tersebut.

Dari pertemuan antara H. Ya’qub dengan KH. Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana pembangunan masjid dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan. Usai pembangunan itu diselesaikan, peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M. Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim yang kedua , Salamah dengan KH. Manshur Paculgowang.

Dalam tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi, dinding serta lantainya yang terbuat dari batu merah, gaya bangunannya yang bergaya klasik, yang merupakan gaya arsitektur Jawa kuno dengan gaya arsitektur negara Timur Tengah.

Untuk mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, maka atas prakarsa KH. Ma’ruf pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi sembilan, mirip kejayaan daulat Fatimiyyah.

Selang beberapa tahun setelah bangunan masjid itu berdiri, santri kian bertambah banyak. Maka sebagai akibatnya masjid yang semula dirasa longgar semakin terasa sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan menambah serambi muka, yang sebagian besar dananya dipikul oleh H. Bisyri, dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan ini dilakukan pada tahun sekitar 1984 M.

Tidak sampai disitu, sekitar tahun 1994 M. ditambahkan bangunan serambi depan masjid. Dengan pembangunan ini diharapkan cukupnya tempat untuk berjama’ah para santri, akan tetapi kenyataan mengatakan lain, jama’ah para santri tetap saja membludak sehingga sebagian harus berjamaah tanpa menggunakan atap.  Bahkan sampai kini bila berjama’ah sholat Jum’at banyak santri dan penduduk yang harus beralaskan aspal jalan umum.

Untuk menjaga dan melestarikan amal jariyyah pendahulu serta menghargai dan melestarikan nilai ritual dan histories, sampai sekarang masjid itu tidak mengalami perobahan, hanya saja hampir tiap menjelang akhir tahun dinding-dindingnya dikapur dan sedikit ditambal sulam.

Masjid Lawang Songo. Dinamakan seperti itu karena memiliki 9 pintu pada bangunannya, yang tersusun masing-masing 3 di bagian depan dan di sisi kanan dan kiri bangunan. 


Masjid Lawang Songo dibangun bersamaan dengan dimulainya pendirian pesantren. Saat ini kondisinya sudah sangat berbeda dengan saat pertama kali didirikan, yang ditandai dengan terbentuknya 3 bagian, masing-masing ruang utama Masjid Lawang Songo, serambi kuning dan kantor muktamar berupa serambi dengan keramik warna hitam. 

"Dinamakan serambi kuning karena ubinnya warna kuning, itu dibangun zamannya KH Mahrus Ali dan KH Marzuki Dahlan. Beliau adalah putra KH Abdul Karim. Sedangkan yang kantor muktamar dibangun sekitar 8 tahun lalu," jelas Ahyar, salah seorang santri Ponpes Lirboyo kepada.

Ahyar mengatakan, di Masjid Lawang Songo inilah sejumlah cerita mistis Pesantren Lirboyo dimulai. Diantaranya adanya perasaan ramai pada diri setiap orang yang menginjakkan kakinya di dalam masjid, meski di saat bersamaan kondisinya sedang sepi. "Itu bukan rahasia lagi, karena termasuk saya juga sering merasakannya," tuturnya. 

Ketika mengenai asal muasal kejadian tersebut, Ahyar tidak bisa memberikan penjelasan. Informasi yang didapat dirinya dari sejumlah seniornya ada perasaan aneh yang dirasakan setiap orang dalam Masjid Lawang. Banyak santri merasa ada 'santri lain' di Ponpes Lirboyo. 

"Di Lirboyo ini kan santrinya tidak hanya dari yang kasaran, tapi juga golongan halus, makanya saya sebut santri lain. Ya percaya nggak percaya ini memang nyata, ustadz juga mengakui kalau ada santri dari golongan itu," ungkapnya tanpa mau menjelaskan tentang santri golongan halus tersebut. 

Masjid Lawang Songo bagi ribuan santri Lirboyo tak hanya dikenal karena adanya kisah misteri tersebut, melainkan juga sebagai 'penasehat' kasat mata. Hampir semua santri sungkan melaksanakan salat berjamaah apabila dilakukan melebihi jadwal salat. 

Di Lirboyo sendiri banyak santri yang terkadang tak bisa menjalani salat berjamaah, karena jadwalnya berbenturan dengan jam belajar di ibtidayah, tsanawiyah, aliyah hingga diniyah. 

"Biasanya kalau telat jamaah ya salatnya di serambi, karena ada perasaan sungkan untuk masuk ke dalam masjid. Aneh memang, dan ini sebenarnya tidak ada dalam aturan pondok,"

PONDOK PESANTREN LIRBOYO KOTA KEDIRI

Dengan model pembelajaran pesantren tradisional para kiyai penerus KH Abdul Karim telah berhasil mendidik puluhan ribu santri yang berilmu yang mumpuni sejak 1910 sampai sekarang. Pesantren Lirboyo sekarang dihuni oleh 13.000 ribu santri lebih yang terdiri dari 9 unit yakni PP HM Al Mahrusiyyah, PP Putri Hidayatul Mubtadi-aat (P3HM), PP Haji Ya’qub (HY), PP Haji Mahrus HM ANTARA, PP Putri Tahfizhil Qur’an (P3TQ), PP Putri Hidayatul Mubtadi-aat Al-Qur’aniyyah (HMQ), PP Darussalam, PP Murottilil Qur’an (PPMQ), PP Salafiy Terpadu Ar-Risalah.

Kesembilan unit tersebut berada di bawah pondok induk Lirboyo, kiyai sepuh KH Anwar Mahrus yang berada dalam satu komplek dengan luas area 19 hektare. Sedangkan Yayasan Pendidikan Islam Tribakti (YPIT) berada di luar komplek, namun tidak jauh dari PP Lirboyo. Di samping itu Lirboyo juga memiliki lembaga otonom yang diberi kewenangan mengambil kebijakan membuat manajemen secara terpisah.

SEJARAH BERDIRINYA MADRASAH HIDAYATUL MUBTADI-IEN

Sistem pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Lirboyo, yang dikenal selama ini adalah sistem Klasikal dan sistem Klasik (bandongan, sorogan dan wethon). Sistem klasik diajarkan di Pondok Pesantren Lirboyo sebelum berdirinya  Madrasah Hidayatul  Mubtadi-ien tepatnya sejak berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, yaitu 1910 Masehi. Sementara sistem klasikal dimulai sejak berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien tahun 1925 Masehi hingga sekarang.

Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien berdiri bermula dari gagasan Jamhari seorang santri senior asal Kaliwungu Kendal Jawa Tengah. Gagasan tersebut dilaksanakan setelah mendapat restu dari Romo KH. Abdul Karim, kemuadian diikuti oleh Mas Syamsi asal Gurah Kediri dan Mas Syamsi orang yang pertama memasang papan tulis disetiap kelas sebagai sarana untuk menulis dan menerangkan pelajaran. Dan saat itu secara resmi, Madrasah  yang baru lahir itu diberi nama “Hidayatul Mubtadi-ien”

Berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien ini sangat direstuhi oleh Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Hadrotus Syaikh Romo KH. Abdul Karim, sehinggabeliau dawuh kepada semua santri “ SANTRI-SANTRI KANG DURUNG BISO MOCO LAN NULIS KUDU SEKOLAH “ (para snatri yang belum bisa membaca dan menulis harus mengikuti sekolah).

Tujuan berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien

1.      Dengan adanya sistem yang sederhana (klasikal) dapat meningkatkan mutu pendidikan.

2.      Menyesuaikan pada tingkat kebutuhan dan kemampuan para santri.

3.      Lebih intensif dalam mendidik dan membentuk kepribadian santri.

Kendala-kendala dalam tahun-tahun pertama

Dalam tahun pertama berdiri Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien ternyata mengalamai banyak kendala yang menyebabkan keadaan makin lama makin memburuk Karena pada waktu itu kurang berminatnya santri  untuk memasuki pendidikan Madarasah karena madrasah merupakan sistem pendidikan yang masih asing, akhirnya setelah berjalan kurang lebih enam tahun Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien mengalami kevakuman ditengah jalan.

Meskipun demikian, jangka waktu selama 6 tahun terhitung sejak tahun 1925 sampai tahun 1931 itu menghasilkan beberapa pengalaman yang cukup berharga yaitu :

1.      Madrasah sudah terbagi menjadi bebrapa lokal

2.      Beberapa guru dan pembimbing diantara Ustadz Sanusi (dari bangil) Ustadz Syairozi ( dari Perak) Kyai Bahri (dari kediri) dan lain-lain

Setalah mandek selama dua tahun tepatnya  tahun 1931 M. sampai tahun 1933M.        KH. Jauhari menantu Hadrotus Syaikh Romo KH. Abdul Karimbersama kepala Pondok pesantren Lirboyo yang kala itu dijabat Oleh K. Kholil asal Melikan Kediri serta KH. Faqih Asy’ari asal Sumber Pare Kediri menghidupkan kembali Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien. Dan madrasah dibuka kembali pada malam Rabu bulan Muharrom 1353 H. yang bertepatan dengan tahun 1933 M. Dan saat itu setiap siswa ditarik sumbangan5 Sen setiap bulan.

Perlu diketahui, bahwa Madrasah pada masa itu masuk malam hari yaitu ba’dal Maghrib dan dibagi dalam 8 (delapan) kelas, 3 kelas untuk Sifir(persiapan), yang terdiri dari Sifir Awal, Sifir Tsany dan Sifir Tsalis. Sedangkan 5 kelas dipergunakan untuk tingkat Ibtidaiyyah yang terdiri dari kelas I, kelasII, kelas III, kelas IV, dan kelas V kelas.

Sedangkan kurikulum yang diajarkan pada tingkat sifir adalah mata pelajaran dasar semacam pelajaran menulis huruf Arab ( Khoth) pelajaran membaca Al-qur’an, tajwid dan pelajaran Fiqh ibadah tahap permulaan. Sedangkan untuk kelas yang lebih tinggi, pelajarannya pun ditingkatkan sesuai dengan tingkatan kelasnya, dan untuk tingkatan yang paling tinggi pelajaran ketika itu adalah Al Jauharul Maknun.

Pada dasarnya Madrasah Hidayatul Mubtadi-iensemenjak berdirinya memberikan porsi lebih banyak untuk mata pelajaran Ilmu Nahwu dan shorof , sehingga menjadi ciri khas  tersendiri bagi Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.

Ketika masa Penjajahan Jepang

Pondok Pesantren Lirboyo, sejak zaman kolonial Belanda merupakan salah satu diantara sekian banyak pesantren yang ikut berjuang mengusir penjajah dari bumi nusantara tercinta. Hal ini dapat dibuktikan pada waktu tentara Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah dengan dalih demi kemakmuran Asia Timur Raya. Ketika mereka mengundang para Ulama le Jakarta, maka KH.
Abdul Karim selaku pengasuh Pondok Pesantren berkenan hadir bersama KH. Ma’ruf Kedunglo dan KH. Abu Bakar Bandar Kidul dengan dikawal oleh Agus Abdul Madjid Ma’ruf. Ketika Jepang mengadakan latihan di Cibasura Bogor, Residen Kediri, R. Abd. Rahim Pratalikrama memohon kesediaannya KH. Mahrus Ali untuk berangkat sebagai utusan daerah Kediri. Berhubung beliu berlangan untuk hadir, maka diutuslah beberapa santri, antara Thohir Wijaya Blitar, Agus Masrur Lasem, Mahfudz Yogyakarta dan Ridlwan AnwarKediri.Usai menghadiri pertemuan di Bogor, segala hal dan ihwal yang mereka ketahui di sana, segera disampaikan pada seluruh santri Lirboyo. Semua itu adalah merupakan satu usaha mngambil manfaat dalam rangka kerjasama dengan pemerintah Jepang. Akan tetapi dibalik itu ada maksud lain, yaitu sebagai persiapan Indonesia merdeka. Para utusan yang telah mendapat ilmu tentang kemiliteran, segera mengadakan latihan baris berbaris di Pondok Pesantren Lirboyo. Waktu itu sekitar tahun 1943-1944 M., yang mana di Kediri sudah dibentuk barisan Hizbullah dengan kepemimpinan KH. Zainal Arifin di tingkat pusatnya.

Pada masa itu adalah merupakan masa-masa penuh harapan  rakyat Indonesia untuk terlepas dari cengkraman penjajah dari kepemerintahan negara yang dikenal dengan negeri Sakura itu. Rakyat sudah muak dengan segala tindakan penjajah. Mereka sangat rindu damai dalam merdeka. Betul juga, beberapa hari sesudah Hirosima dan Nagasaki yang merupakan dua kota besar di Jepang kejatuhan bom tentara sekutu, Jepang pun menyerah tanpa syarat. Akhirnya Indonesia yang sudah lama menunggu kesempatan amas dan hari-hari bersejarah itu segera memproklamirkan kemerdekaannya, tepat pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945, kebahagiaan bangsa Indonesia termasuk santri Lirboyo tidak dapat terlukiskan lagi.

Jabatan kepala Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien yang semula dijabat oleh HK. Faqih Asy’ari, kemudian pada tahun 1942 diserahterimakan kepada KH. Zamroji, sebagai kepala Madrasah yang baru. Dan ditahun itu pula Jepang dengan semboyannya “GOSPEL ANDA GLORI“ mulai menjajah bangsa Indonesia tercinta serta menguras seluruh kekayaan bangsa Indonesia, sehingga pada saat itu sulit untuk mencari sandang dan pangan. Sejak saat itu pula Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien yang semual masuk malam hari ba’da (setelah) Maghrib dirubah menjadi siang hari, karena untuk mendapatkan bahan bakar minyak sewbagai penerangan saat itu sangat sulit, hal ini berlangsung hingga tahun 1945. Dan ketika itu berkembangan Madrasah Hidayatul Mubtadi-ienmenurun secara drastis. Jumlah siswa yang sebelumya mencapai 350 siswa lebih, dimasa pendudukan Jepang turun menjadi 150 siswa. Dari jumlah itupun yang bisa menyelesaikan studinya hanya sedikit sekali, bahkan pernah terjadi hanya 5 siswa yang bisa menyelesaikan pendidikan terakhir.

Setelah Merdeka

Setelah Jepang bertekuk lutut kepada sekutu bersamaan dengan dikumandangkan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, barulah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ienmengalami kemajuan yang cukup mengembirakan dengan semakin banyak siswa yang berdatangan untuk menuntut ilmu agama di Pondok Pesantren Lirboyo.

Dua tahun setelah Indonesia Merdeka, tepatnya tahun 1947 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ienmengalami pembaharuan dengan disusunnya tingkat jenjang pendidikan. Yang semula merupakan sifir dan Ibtidaiyyah menjadi Ibtidaiyyah dan tsanawiyah adapun kulikulumnya masih mengunakan kurikulum lama. Dan pada tahun 1947 ini pula didirikan lembaga baru yang berupa Madrasah Mualimin atas gagasan KH. Zamroji yang waktu itu menjadi pengajar/Mustahiq Tingkat Tsanawiyyah, sebagai penyempurnaan, sedangkan waktu sekolah adalah malam hari dengan kurikulum, untuk Fiqh adalah fathul Wahab, Uqudul Juman (Fan Balaghoh), Jami’ul Jawami’ ( Fan Ushul Fiqh).

Masa pembenahan kurikulum

Pada tahun ajaran 1977-1978 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien menyediakan tingkat Aliyah. Keputusan ini disepakati dalam sidang Panitia kecil Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, yang pada masa itu dipimpin  oleh Bapak Ilham Nadzir.

Dengan terbentuknya pendidikan tingkat aliyah ini, merupakan masa peralihan dari sistem pendidikan model lama menuju sistem modern yang diselaraskan dengan tradisi pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo. Dan pada tahun ini pula jenjang pendidikan disempurnakan untuk Ibtidaiyah 6 Tahun, Tsanawiyah 3 Tahun dan Aliyah 3 tahun.

Pada tahun ajaran 1983-1984 sidang Panitia kecil yang dipimpin KH. Anwar Manshur. Menetapkan penyempurnaan kurikulum dengan menambah kitab Al-Mahalli ( Fan Fiqh ) Jami’ush Shohir (Fan Hadits) dan Jam’ul Jawami’ (Fan Ushul Fiqh) kitab-kitab inilah yang menjadi kitab pelajaran Aliyah, dan kitab yang paling besar yang ada di Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.

Perkembangan terakhir

Perkembangan terakhir kurikulum Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien setelah tahun 1984 sampai tahun 1997 tidak banyak mengalami perubahan, sampai tahun terakhir 2003 yang dipimpin oleh KH. Habibulloh Zaini.

Visi :

Beriman, bertaqwa, berakhlaqul karimah dan disiplin

Misi :

Mencetak muslim intelektual yang beriman, bertaqwa dan berakhlaqul karimah serta menciptakan kader ulama yang mampu mentransformasikan ilmu agama dalam berbagai kondisi.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...