Rabu, 20 Oktober 2021

Kisah 'Uzair


Nama dan nasabnya adalah ‘Uzair bin Haiwah, dikatakan dia adalah Ibnu Suuraiq bin ‘Aranaa bin Ayyuub bin Dartsanaa bin ‘Araa bin Taqaa bin As-Sabuu’ bin Fanhaash bin Al-‘Aazir bin Haaruun bin ‘Imraan. Dikatakan pula dia adalah ‘Uzair bin Sarwahaa. Demikian disebutkan oleh Al-Haafizh Abul Qaasim Ibnu ‘Asaakir dalam kitab Taariikh-nya 40/317.

Kuburannya terdapat di Damaskus, demikian yang diceritakan dalam atsar yang diriwayatkan Al-Haafizh Ibnu ‘Asaakir dengan sanadnya dalam Taariikh-nya 2/323-325. Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Daawud dengan sanad dari Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَا أَدْرِي أَتُبَّعٌ لَعِينٌ هُوَ أَمْ لَا وَمَا أَدْرِي أَعُزَيْرٌ نَبِيٌّ هُوَ أَمْ لَا

“Aku tidak mengetahui apakah Tubba’ telah dilaknat ataukah tidak, dan aku tidak mengetahui apakah ‘Uzair seorang Nabi ataukah bukan.”
[Sunan Abu Daawud no. 4674]

Al-Haafizh Ibnu ‘Asaakir meriwayatkan dengan sanadnya hingga Ishaaq bin Bisyr, telah memberitakan Juwaibir dan Muqaatil, dari Adh-Dhahhaak, dari Ibnu ‘Abbaas radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata :

كان عزير من أبناء الأنبياء وكان قد أحكم التوراة ولم يكن في زمانه أحد أعلم بالتوراة منه ولا كان أحفظ لها منه وكان يذكر مع الأنبياء حتى محى الله اسمه حين سأل ربه عن القدر وكان ممن سباه بخت نصر وهو غلام حدث فلما بلغ أربعين سنة أعطاه الله الحكمة

“‘Uzair termasuk salah seorang keturunan dari para Nabi. Dia telah berhukum dengan Taurat dan tidak ada seorangpun di zamannya yang lebih mengetahui Taurat dan tidak juga lebih hapal Taurat dibanding dirinya. Ia disebutkan bersama dengan para Nabi hingga Allah menghapus namanya ketika ia bertanya kepada Rabbnya mengenai Al-Qadr. Dia termasuk mereka yang ditangkap oleh Bukhtanashar (Nebukadnedzar) dan dia waktu itu masih kecil. Ketika umurnya mencapai 40 tahun, Allah Ta’ala mengkaruniakannya Al-Hikmah.”
[Taariikh Dimasyq 40/318]

Al-Haafizh Ibnu ‘Asaakir meriwayatkan dengan sanadnya hingga Ishaaq bin Bisyr, telah memberitakan Sa’iid bin Abu ‘Aruubah, dari Qataadah, dari Al-Hasan, dari ‘Abdullaah bin Sallaam radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata :

أن عزيرا هو العبد الذي أماته الله مائة عام ثم بعثه قال وأنا إسحاق أنا عثمان بن الساج عن محمد الكلبي عن أبي صالح عن ابن عباس أن عزيرا بن سورخا هو الذي قال الله تعالى في كتابه ” أو كالذي مر على قرية وهي خاوية على عروشها قال أنى يحيي هذه الله بعد موتها فأماته الله مائة عام “

“Bahwa ‘Uzair adalah seorang hamba yang Allah mewafatkannya selama 100 tahun kemudian Allah membangkitkannya kembali.” (Ismaa’iil bin ‘Iisaa) berkata, dan telah memberitakan kepada kami Ishaaq, telah memberitakan kepada kami ‘Utsmaan bin As-Saaj, dari Muhammad Al-Kalbiy, dari Abu Shaalih, dari Ibnu ‘Abbaas, “Bahwa ‘Uzair bin Sawarkhaa adalah hamba yang disebut Allah Ta’ala dalam kitabNya : “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun [QS Al-Baqarah : 259].”

[Taariikh Dimasyq 40/320]

Kisah ‘Uzair

Secara utuh kisah ini akan kami sebutkan dengan mengambil keterangan dari Al-Haafizh Ibnu Katsiir dalam kitab Taariikh-nya, bahwa semua sanadnya bersumber dari Ishaaq bin Bisyr, ia berkata, telah memberitakan kepada kami Sa’iid bin Basyiir, dari Qataadah, dari Ka’b, (dari jalur sanad yang lain) dan dari Sa’iid bin Abu ‘Aruubah, dari Qataadah, dari Al-Hasan, (dari jalur sanad yang lain) dan dari Muqaatil dan Juwaibir, dari Adh-Dhahhaak, dari Ibnu ‘Abbaas, (dari jalur sanad yang lain) dan dari ‘Abdullaah bin Ismaa’iil As-Suddiy, dari Ayahnya, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbaas, (dari jalur sanad yang lain) dan dari Idriis, dari Wahb bin Munabbih. Ishaaq bin Bisyr berkata, mereka semua menceritakan kepadaku mengenai kisah ‘Uzair dan mereka saling menambahkan satu dengan yang lain.

Mereka berkata dengan sanad masing-masing, sesungguhnya ‘Uzair adalah seorang hamba yang shalih dan bijaksana. Pada suatu hari ia keluar menuju sebuah desa kecil demi menunaikan sebuah janji. Ketika ia berangkat, ia berhenti di sebuah reruntuhan bangunan karena saking panasnya cuaca hari itu. Ia masuk ke dalamnya bersama dengan keledainya, lalu ia menurunkan dari keledainya 1 keranjang yang berisi buah tiin dan anggur, juga mengeluarkan mangkuk yang dibawanya. Ia peras anggur lalu menuangkannya ke dalam mangkuk kemudian ia mengeluarkan roti kering yang dibawanya dan ia celupkan ke dalam air perasan anggur didalam mangkuk, ia pun memakannya.

Setelah itu, ‘Uzair berbaring dan menyandarkan kakinya ke dinding sambil memandangi atap bangunan dan sekelilingnya, ia pun melihat sekelompok tulang yang telah rapuh, ‘Uzair bergumam :

أَنَّى يُحْيِي هَذِهِ اللَّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا

“Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?”[QS Al-Baqarah : 259]

‘Uzair sedikitpun tidak merasa ragu bahwa Allah Ta’ala Maha Kuasa untuk membangkitkannya kembali dan ia berkata demikian karena perasaan takjub. Allah Ta’ala mengutus malaikat maut untuk menahan ruh ‘Uzair, maka Allah Ta’ala mewafatkannya selama 100 tahun. Diantara rentang waktu 100 tahun tersebut banyak sekali peristiwa yang terjadi pada bani Israa’iil. Beberapa orang mengatakan, ketika Allah Ta’ala mengutus malaikat maut kepada ‘Uzair, hati ‘Uzair dijadikan oleh Allah tetap dapat menimbang, matanya melihat, otaknya menimbang dan berpikir bagaimana Allah Ta’ala menghidupkan yang telah mati, menyusun ciptaanNya dan ‘Uzair pun memperhatikannya, kemudian Allah Ta’ala membungkus tulang-tulang itu dengan daging, rambut dan kulit, ditiupkan ruh padanya. Semua kejadian tersebut dilihat oleh ‘Uzair dan direnungkan dengan keadaan duduk tegak. Malaikat maut bertanya kepadanya, “Berapa lamakah kau telah tinggal disini?” ‘Uzair menjawab, “Aku telah tinggal disini selama sehari atau setengah hari.”

‘Uzair mengira ia mulai tertidur sejak pertengahan siang dan dibangunkan pada sore hari saat matahari belum terbenam, oleh karena itu ia berkata, setengah hari dan tidak sampai sehari. Lalu malaikat maut berkata kepadanya :

بَلْ لَبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ إِلَى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ

“Sebenarnya kau telah tinggal di sini seratus tahun lamanya, lihatlah kepada makanan dan minumanmu.”[QS Al-Baqarah : 295]

Yaitu, lihatlah kepada roti kering dan air perasan anggur didalam mangkuk. Makanan dan minumannya tetap seperti semula dan tidak sedikitpun mengalami perubahan begitu pula buah tiin dan sisa anggur yang masih utuh, sehingga didalam hati ‘Uzair mengingkari apa yang ia alami ini. Malaikat maut berkata, “Apakah kau mengingkari apa yang telah kukatakan? Lihatlah keledaimu!”

Maka ‘Uzair melihat kondisi keledainya yang tulang-tulangnya telah rapuh dan membusuk. Malaikat pun memanggil tulang-tulang tersebut, dalam sekejap semua yang berserakan menjadi terkumpul hingga Malaikat menyusunnya kembali sedangkan ‘Uzair memperhatikannya. Tulang-tulang itupun dibungkus kembali dengan urat dan otot dan dibalut dengan daging lalu ditumbuhkan kulit serta rambut, dan Malaikat pun meniupkan ruh kepadanya hingga keledai dapat berdiri dengan menegakkan kepalanya ke langit dan ia meringkik karena ia menyangka telah terjadi kiamat. Allah Ta’ala telah berfirman :

وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا

“Dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.”[QS Al-Baqarah : 259]

Lalu ‘Uzair menunggangi keledainya hingga ia kembali ke desa asalnya. Orang-orang pun tidak mengenalinya dan sebaliknya, ia tidak mengenali mereka berikut tempat tinggal mereka. ‘Uzair berjalan dengan harap cemas hingga ia tiba di rumahnya. ‘Uzair mendapati seorang wanita tua dan buta kedua matanya, sedang duduk, umurnya ia perkirakan mencapai 120 tahun karena ketika ‘Uzair berangkat dari desanya, umur wanita itu masih 20 tahun sedangkan wanita itu dahulu mengenalnya.

‘Uzair bertanya, “Wahai nenek, apakah ini rumah milik ‘Uzair?” Wanita tua menangis dan berkata, “Selama ini aku tidak mengetahui ada yang bertanya mengenai ‘Uzair, sungguh ia dilupakan manusia.”

‘Uzair berkata, “Sesungguhnya aku ini adalah ‘Uzair. Allah mewafatkanku selama 100 tahun lamanya, kemudian Dia membangkitkanku kembali.” Wanita tua berkata, “Subhanallah! Sesungguhnya ‘Uzair telah menghilang dari kami selama 100 tahun dan kami sekalipun tidak pernah mendengar khabarnya.”

‘Uzair berkata, “Sesungguhnya aku ini adalah ‘Uzair.”

Wanita tua berkata, “Sesungguhnya ‘Uzair adalah seorang yang do’anya selalu diijabah. Ia mendo’akan orang yang sakit dan orang yang terkena musibah agar sehat kembali. Jika benar kau adalah ‘Uzair, maka berdo’alah kepada Allah (untuk menyembuhkanku) agar mataku dapat kembali melihat dan mengenalimu.”

Diriwayatkan bahwa ‘Uzair pun berdo’a kepada Allah Ta’ala dan setelah itu ia menyeka kedua tangannya ke mata wanita tua sehingga kedua matanya pulih dan dapat melihat kembali seperti sediakala. ‘Uzair memegang kedua tangan wanita tua dan berkata, “Berdirilah, bi’idznillah!”

Seketika itu pula kedua kaki wanita tua mampu berdiri dan sehat kembali, ia memperhatikan ‘Uzair dengan seksama dan berkata, “Aku bersaksi bahwa kau benar-benar ‘Uzair.” Setelah berkata begitu, ia keluar dan langsung menuju majelis tempat bani Israa’iil berkumpul. Anak-anaknya ‘Uzair yang telah beranjak tua pun ada di tempat tersebut. Wanita tua memanggil mereka dan berseru, “Inilah ‘Uzair! Inilah ‘Uzair! Sungguh ia telah datang kembali kepada kalian.” Bani Israa’iil tidak mempercayainya.

Wanita tua berkata, “Aku adalah pemimpin kalian, ‘Uzair telah berdo’a kepada Rabbnya untuk menyembuhkan kebutaan dan cacat pada kedua kakiku, dan ia telah mengaku bahwa Allah telah mewafatkannya selama 100 tahun lalu membangkitkannya kembali.”

Diriwayatkan bahwa kemudian bani Israa’iil berdiri, mereka menuju tempat ‘Uzair berada. Mereka menerimanya lalu memperhatikan sekujur tubuhnya. Salah seorang anak ‘Uzair berkata, “Ayahku dahulu memiliki tanda hitam diantara kedua punggungnya.” Maka diperiksalah punggung ‘Uzair dan benarlah bahwa terdapat tanda tersebut dan mereka pun yakin ia adalah ‘Uzair. Bani Israa’iil berkata, “Sesungguhnya tidak ada seorangpun diantara kita yang paling hapal Taurat selain ‘Uzair. Bukhtanashar telah membakar seluruh Taurat dan tidak tersisa sedikitpun melainkan yang terdapat pada hapalan beberapa orang laki-laki, maka tuliskanlah kembali isi Taurat kepada kami.”

Ayahnya ‘Uzair dahulu menyembunyikan sebuah Taurat dan menguburkannya ketika Bukhtanashar datang, di tempat yang tidak diketahui oleh seorangpun kecuali oleh ‘Uzair. Bani Israa’iil bersama-sama dengan Uzair segera menuju tempat tersebut untuk menggali kembali. Namun setelah digali, didapati ternyata lembaran-lembarannya telah lusuh dan rusak.

‘Uzair duduk di bawah sebuah pohon untuk menuliskan kembali kitab Taurat sementara bani Israa’iil mengelilingi dan memperhatikannya. Tidak berapa lama, turunlah dua benda berupa api dari langit, masuk ke dalam rongga mulut ‘Uzair hingga akhirnya ia pun dapat mengingat keseluruhan isi Taurat dan menuliskan kembali untuk bani Israa’iil.

Dari peristiwa inilah orang-orang Yahudi kemudian mengatakan, “‘Uzair adalah putera Allah,” dikarenakan benda bagai api yang masuk ke dalam rongga mulutnya, penulisan ulang kitab Taurat yang ia lakukan dan kasih sayangnya terhadap bani Israa’iil. ‘Uzair menulis ulang Taurat di sebuah daerah di sekitar desa Hizqil, dan kota yang ia meninggal didalamnya bernama Sayarabadz.

Ibnu ‘Abbaas berkata, “Sesuai dengan firman Allah Ta’ala :

وَلِنَجْعَلَكَ آيَةً لِلنَّاسِ

“Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia.”[QS Al-Baqarah : 259]

Maksudnya adalah tanda kekuasaan Allah bagi bani Israa’iil, dan disebabkan karena ‘Uzair duduk mengajarkan Taurat bersama kaumnya yang mana mereka telah beranjak tua dan ‘Uzair terlihat masih seperti seorang pemuda, hal ini karena ia diwafatkan pada usia menginjak 40 tahun maka ia pun dibangkitkan kembali oleh Allah dalam wujud seperti seorang pemuda, sebagaimana keadaannya ketika ia wafat. Ibnu ‘Abbaas berkata, ‘Uzair dibangkitkan setelah masa Bukhtanashar, demikian pula pendapat Al-Hasan.

Kesimpulan ini kami nukil dari apa yang disimpulkan oleh Al-Haafizh Ibnu Katsiir pada akhir pembahasan kisah ‘Uzair.

Telah masyhur bahwasanya ‘Uzair adalah seorang Nabi dari Nabi-nabi bani Israa’iil. Ia hidup diantara masa Nabi Daawud dan Sulaimaan, dan diantara Nabi Zakariyaa dan Yahyaa. Ketika tak ada seorangpun dari bani Israa’iil yang lebih menghapal Taurat, Allah Ta’ala mengilhaminya untuk menghapalnya lalu ia membaguskan bacaannya untuk bani Israa’iil, sebagaimana dikatakan oleh Wahb bin Munabbih, “Allah Ta’ala memerintahkan Malaikat untuk turun dengan membawa setumpuk cahaya lalu melemparkannya pada ‘Uzair, maka ‘Uzair dapat menuliskan ulang Taurat huruf per hurufnya.”

Ibnu ‘Abbaas bertanya kepada ‘Abdullaah bin Sallaam mengenai firman Allah :

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ

Orang-orang Yahudi berkata, “‘Uzair itu putra Allah.” [QS At-Taubah : 30]

Maka Ibnu Sallaam menjelaskan kepadanya bahwa hal itu disebabkan ‘Uzair menuliskan ulang Taurat kepada bani Israa’iil dari hapalannya. Bani Israa’iil berkata, “Muusaa tidak mampu mendatangkan kepada kami isi Taurat kecuali dengan cara tulisan, tetapi sesungguhnya ‘Uzair mampu mendatangkan kepada kami isi Taurat tidak dengan tulisan,” maka segolongan dari bani Israa’iil menyatakan bahwa, “‘Uzair adalah putra Allah.”

Dari sini pula, banyak para ulama mengatakan sesungguhnya tingkat ke-mutawatiran Taurat berakhir pada zaman ‘Uzair. Dan hal ini sangat jelas menandakan jika ‘Uzair bukan seorang Nabi, sebagaimana perkataannya ‘Athaa’ bin Abi Rabaah dan Al-Hasan Al-Bashriy seperti yang diriwayatkan oleh Ishaaq bin Bisyr, dari Muqaatil bin Sulaimaan, dari ‘Athaa’, (dari jalur sanad yang lain) dan dari ‘Utsmaan bin ‘Athaa’ Al-Khurasaaniy, dari Ayahnya dan Muqaatil, dari ‘Athaa’ bin Abi Rabaah, ia berkata, “Pada masa fatrah telah terjadi 9 peristiwa : Bukhtanashar, Jannah Shan’aa, Jannah Saba’, Ashhaabul Ukhduud, peristiwa Haashuuraa, Ashhaabul Kahfi, Ashhaabul Fiil, kota Anthaakiyah, dan peristiwa Tubba’.”

Al-Hasan dan ‘Athaa’ bin Abi Rabaah berkata bahwa peristiwa Bukhtanashar dan ‘Uzair terjadi di masa fatrah. Wahb bin Munabbih berkata bahwa ‘Uzair hidup antara masa Nabi Sulaimaan dan Nabi ‘Iisaa. Anas bin Maalik dan ‘Athaa’ bin As-Saa’ib berkata bahwa ‘Uzair hidup di masa Nabi Muusaa bin ‘Imraan. Semua ini diriwayatkan oleh Al-Haafizh Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh-nya.

Diriwayatkan oleh segolongan jama’ah ahli hadits, dengan sanadnya hingga Yuunus bin Yaziid, dari Ibnu Syihaab Az-Zuhriy, dari Sa’iid bin Al-Musayyib dan Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dari Abu Hurairah, demikian pula diriwayatkan hingga Syu’aib bin Abu Hamzah, Maalik dan Al-Mughiirah Al-Hizaamiy, dari Abu Az-Zinaad, dari Al-A’raj ‘Abdurrahman bin Hurmuz, dari Abu Hurairah, dan diriwayatkan hingga Ma’mar, dari Hammaam bin Munabbih, dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

نَزَلَ نَبِيٌّ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ تَحْتَ شَجَرَةٍ فَلَدَغَتْهُ نَمْلَةٌ فَأَمَرَ بِجِهَازِهِ فَأُخْرِجَ مِنْ تَحْتِهَا وَأَمَرَ بِهَا فَأُحْرِقَتْ فِي النَّارِ قَالَ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَيْهِ فَهَلَّا نَمْلَةً وَاحِدَةً

“Seorang Nabi dari para Nabi singgah di bawah sebuah pohon, ia digigit oleh seekor semut. Lalu ia memerintahkan agar barang bawaannya dijauhkan dari pohon tersebut kemudian ia memerintahkan agar sarang semut dibakar dengan api. Maka Allah memberi wahyu kepadanya, “Mengapa tidak hanya satu semut saja?”

Mujaahid, Hasan Al-Bashriy dan Ibnu ‘Abbaas berkata, Nabi yang dimaksud dalam sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam tersebut adalah ‘Uzair.

Selesai nukilan kesimpulan dari Al-Haafizh Ibnu Katsiir rahimahullah.

Sebagai penutup, kami katakan bahwa hanya Allah yang Maha Mengetahui kebenaran akan kisah ‘Uzair ini, dikarenakan Al-Qur’an hanya menerangkannya secara umum dalam Surat Al-Baqarah ayat 259 tanpa menyebut nama ‘Uzair dan bahwasanya kisah yang detil ini tidak berasal dari lisan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam yang ma’shum dan terjaga dari kesalahan, mungkin para sahabat ataupun tabi’in mengambilnya dari kisah-kisah Isra’iliyyat yang berasal dari sahabat yang dahulunya adalah rahib Yahudi seperti ‘Abdullaah bin Sallaam, ataupun dari tabi’in seperti Ka’b Al-Ahbaar dan Wahb bin Munabbih yang mana telah ma’ruuf mereka telah memeluk Islam dari agama terdahulu mereka yaitu Nashrani.

Maka berlakulah sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, dari ‘Abdullaah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma, Nabi bersabda :

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat, riwayatkanlah dari bani Israa’iil dan tidaklah berdosa. Dan barangsiapa berdusta dengan sengaja atas namaku, maka bersiaplah menempati tempat duduknya dari api neraka.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 3461]

Jadi, diperbolehkan menceritakan kisah ini dengan tanpa pembenaran, dan hendaknya disebutkan pula bahwa kisah ini berasal dari kisah Isra’iliyyat. Ibrah yang bisa diambil dari kisah ‘Uzair adalah betapa benar firman Allah Ta’ala bahwa Yahudi kerap menzhalimi Nabi-nabi mereka dengan berkata-kata secara berlebihan mengenainya.

Firman Allah swt :

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللّهِ وَقَالَتْ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِؤُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al masih itu putera Allah”. Demikianlah itu Ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. At Taubah : 30)

Allah Ta’ala juga berfirman :

يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ

“Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya.”[QS Al-Maa’idah : 13]

Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka shifatkan.

Kisah Ashabul Qoryah


Salah satu kisah yang dapat dijadikan pelajaran bagi umat masa kini adalah kisah Ashabul Qaryah, yaitu sebuah negeri yang kebanyakan penduduknya melanggar aturan Allah serta mendustakan utusan Allah. 

Peta Ashabul Qaryah

Ashabul Qaryah adalah penduduk Anthakiyah (Antioch, Antakia). Mereka tinggal di sekitar Laut Tengah, tepatnya di sungai Al-Ashi yang tidak jauh dari Suwaidiyah. Menurut Syauqi Abu Khalil dalam buku Atlas Al-Qur’an, Anthkia dibangun oleh Selauqus I tahun 307 Sebelum Masehi (SM). Selauqus I menjadikan Anthakiyah sebagai ibukota kerajaannya setelah Iskandar Al-Maqduni (Alexander Mecodonia). Pada masa Abbasiyah, Anthakiyah merupakan pusat kota yang provinsi Al-Awashim. Kota ini dinilai sebagai ibukota yang indah, memesona, berudara segar, berair tawar, dan penuh dengan kebaikan. Sedangkan Ibnu Katsir mengatakan, katanya negeri itu bernama Antaki (Antioch, kota kuno di syiria, sekarang bernama Anthakiyah dan termasuk wilayah Turki). Di negeri ini terdapat seorang raja yang menyembah berhala, namanya Antoiqus. Menurut Al-Qurtubi, penduduk suatu negeri (Ashabul Qaryah) yang disebutkan dalam surah Yasin tersebut adalah Antaki, kepada mereka pernah mengirimkan tiga orang utusan, yakni Shadiq, Mashduq, Syam’un.
Anthakiyah terletak di sungai ‘Asi yang hulunya di Lebanon Syiria dan berakhir di Turki. Antakia juga berdampingan dengan pantai Lautan Mediterranean yang kini kawasan tersebut dikenali dengan nama Samandaq atau nama lamanya Suwaidiyyah.

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman 

وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلا أَصْحَابَ الْقَرْيَةِ إِذْ جَاءَهَا الْمُرْسَلُونَ (13) إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُونَ (14) قَالُوا مَا أَنْتُمْ إِلا بَشَرٌ مِثْلُنَا وَمَا أَنزلَ الرَّحْمَنُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلا تَكْذِبُونَ (15) قَالُوا رَبُّنَا يَعْلَمُ إِنَّا إِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُونَ (16) وَمَا عَلَيْنَا إِلا الْبَلاغُ الْمُبِينُ (17) 

Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka; (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata, "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu.” Mereka menjawab, "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatu pun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka.” Mereka berkata, "Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus kepada kamu. Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan(perintah Allah) dengan jelas.” (QS Yasin Ayat 13-17)
 
Allah Swt. berfirman, memerintahkan kepada Nabi-Nya agar membuat suatu perumpaman terhadap kaumnya yang telah mendustakannya.

{مَثَلا أَصْحَابَ الْقَرْيَةِ إِذْ جَاءَهَا الْمُرْسَلُونَ}

suatu perumpamaan yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka.(Yasin: 13)

Ibnu Ishaq telah mengatakan berdasarkan berita yang sampai kepadanya dari Ibnu Abbas r.a., Ka'bul Ahbar, dan Wahb ibnu Munabbih, bahwa negeri yang dimaksud adalah Intakiyah, yang diperintah oleh seorang raja yang bernama Antikhas. Ia adalah seorang penyembah berhala, maka Allah mengutus kepadanya tiga orang rasul. Ketiga orang rasul itu bernama Sadiq, Saduq, dan Syalum; tetapi raja itu mendustakan mereka.

Hal yang sama telah diriwayatkan dari Buraidah ibnul Khasib, Ikrimah, Qatadah, dan Az-Zuhri, bahwa negeri tersebut adalah Intakiyah. Akan tetapi, ada sebagian para imam yang merasa ragu bahwa negeri tersebut adalah Intakiyah karena alasan yang akan kami sebutkan kemudian sesudah kisah ini selesai, insya Allah.

Firman Allah Swt.:

{إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا‎{

(yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakannya.(Yasin: 14)
Maksudnya, dengan spontan mereka mendustakan kedua rasul itu.

{فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ}

kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga. (Yasin: 14)
Yakni Kami perkuat keduanya dengan rasul yang ketiga.
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Wahb ibnu Sulaiman, dari Syu'aib Al-Jiba'i yang mengatakan bahwa nama kedua rasul yang pertama itu adalah Syam'un dan Yuhana, sedangkan nama rasul yang ketiga ialah Baulus, dan nama negerinya adalah Intakiyah.

{فَقَالُوا}

maka ketiga utusan itu berkata. (Yasin: 14)
Yaitu kepada penduduk negeri tersebut.

{إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُونَ}

Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu (Yasin: 14)
Yakni dari Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian. Dia memerintahkan kepada kalian agar menyembah Dia semata, tiada sekutu bagi-Nya. Demikianlah menurut Abul Aliyah. Tetapi Qatadah ibnu Di'amah menduga bahwa ketiganya adalah utusan-utusan Al-Masih a.s. kepada penduduk negeri Intakiyah.

{قَالُوا مَا أَنْتُمْ إِلا بَشَرٌ مِثْلُنَا}

Mereka menjawab, "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami. (Yasin: 15)
Maksudnya, mana mungkin kalian diberi wahyu, sedangkan kalian adalah manusia seperti kami juga, dan kami tidak mendapat wahyu seperti kalian. Seandainya kalian benar-benar utusan, tentulah kalian adalah jenis malaikat. Dan memang inilah keraguan yang berada di benak kebanyakan umat yang mendustakan para rasul, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya yang menceritakan ucapan mereka:

{ذَلِكَ بِأَنَّهُ كَانَتْ تَأْتِيهِمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَقَالُوا أَبَشَرٌ يَهْدُونَنَا}

Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka(membawa) keterangan-keterangan lalu mereka berkata, "Apakah manusia yang akan memberi petunjuk kepada kami?” (At-Tagabun: 6)
Yakni mereka merasa heran dan tidak percaya bila rasul berasal dari jenis manusia. Disebutkan pula oleh firman-Nya:

{قَالُوا إِنْ أَنْتُمْ إِلا بَشَرٌ مِثْلُنَا تُرِيدُونَ أَنْ تَصُدُّونَا عَمَّا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا فَأْتُونَا بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ}

Mereka berkata, "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (mem­belokkan) kami dari apa yang selalu disembah nenek moyang kami, Karena itu, datangkanlah kepada kami bukti yang nyata.” (Ibrahim: 10)
Dan firman Allah Swt. lainnya yang menceritakan perkataan mereka:

{وَلَئِنْ أَطَعْتُمْ بَشَرًا مِثْلَكُمْ إِنَّكُمْ إِذًا لَخَاسِرُونَ}

Dan sesungguhnya jika kamu sekalian menaati manusia yang seperti kamu, niscaya bila demikian kamu benar-benar (menjadi) orang-orang yang merugi. (Al-Mu-minun: 34)

{وَمَا مَنَعَ النَّاسَ أَنْ يُؤْمِنُوا إِذْ جَاءَهُمُ الْهُدَى إِلا أَنْ قَالُوا أَبَعَثَ اللَّهُ بَشَرًا رَسُولا}

Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk kepadanya, kecuali perkataan mereka, "Adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi rasul?" (Al-Isra: 94)
Karena itulah dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:

{مَا أَنْتُمْ إِلا بَشَرٌ مِثْلُنَا وَمَا أَنزلَ الرَّحْمَنُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلا تَكْذِبُونَ * قَالُوا رَبُّنَا يَعْلَمُ إِنَّا إِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُونَ}

"Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatu pun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka.” Mereka berkata, "Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus kepada kamu." (Yasin: 15-16)

Yakni ketiga orang rasul mereka menjawab, "Namun Allah mengetahui bahwa kami adalah rasuI-rasul-Nya yang diutus kepada kalian. Dan seandainya kami dusta terhadap-Nya, tentulah Dia akan menghukum kami dengan siksaan yang keras. Akan tetapi, Dia pasti akan memenangkan kami dan menolong kami dalam menghadapi kalian, dan kalian akan mengetahui bagi siapakah kesudahan yang baik itu." Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:

{قُلْ كَفَى بِاللَّهِ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ شَهِيدًا يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ وَالَّذِينَ آمَنُوا بِالْبَاطِلِ وَكَفَرُوا بِاللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ}

Katakanlah, "Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan antaramu. Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi. Dan orang-orang yang percaya kepada yang batil dan ingkar kepada Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.”(Al-'Ankabut: 52)

Adapun firman Allah Swt.:

{وَمَا عَلَيْنَا إِلا الْبَلاغُ الْمُبِينُ}

Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas.(Yasin: 17)

Mereka (para utusan itu) mengatakan, "Sesungguhnya tugas kami hanyalah menyampaikan risalah yang diamanatkan kepada kami untuk kalian. Apabila kalian menaatinya, maka bagi kalian kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dan jika kalian tidak memperkenankannya, maka kelak kalian akan mengetahui akibat dari penolakan kalian itu; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui."

Firman-Nya 

قَالُوا إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ (18) قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (19) 

Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.” Utusan-utasan itu berkata, "Kemalangan kamu itu adalah karena ulah kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan(kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas.”

Maka pada saat itu juga penduduk negeri itu berkata kepada para utusan tersebut, yang disitir oleh firman-Nya:

{إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ}

Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu. (Yasin: 18)
Maksudnya, kami tidak melihat pada roman muka kalian adanya kebaikan bagi kehidupan kami, yakni kalian adalah pembawa kesialan bagi kami.

Qatadah mengatakan bahwa mereka berkata, "Jika kami tertimpa keburukan, maka sesungguhnya hal itu karena adanya kalian."

Mujahid mengatakan bahwa mereka mengatakan, "Tidak ada seorang pun yang semisal kalian masuk ke sebuah negeri, melainkan penduduk negeri itu mendapat hukuman."

{لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ}

sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu. (Yasin: 18)
Qatadah mengatakan bahwa rajam ialah melempari si terhukum dengan batu, sedangkan menurut Mujahid makna yang dimaksud ialah merajam melalui kata-kata, yakni caci maki.

{وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ}

dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami. (Yasin: 18)
Yaitu hukuman yang keras. Maka para utusan mereka berkata kepada mereka, seperti yang disitir oleh firman-Nya:

{طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ}

Kemalangan kamu itu adalah karena ulah kamu sendiri. (Yasin: 19)
Yakni kesialan itu karena tingkah laku kalian sendiri. Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan di dalam firman-Nya yang menceritakan perihal kaum Fir'aun:

{فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ}

Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata, "Ini adalah karena(usaha) kami.” Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah. (Al-A'raf: 131)
Dan kaum Nabi Saleh berkata:

{اطَّيَّرْنَا بِكَ وَبِمَنْ مَعَكَ قَالَ طَائِرُكُمْ عِنْدَ اللَّهِ}

Mereka menjawab, "Kami mendapat nasib yang malang disebabkan kamu dan orang-orang yang besertamu.” Saleh berkata, "Nasibmu ada pada sisi Allah (bukan kami yang menjadi sebab).” (An-Naml: 47)

Qatadah dan Wahb ibnu Munabbih mengatakan, yang dimaksud dengan ta'ir di sini adalah amal perbuatan, yakni amal perbuatan kalian. Disebutkan pula di dalam firman-Nya hal yang semisal, yaitu:

{وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمَالِ هَؤُلاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا}

Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, "Ini adalah dari sisi Allah.” Dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana, mereka mengatakan, "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad).” Katakanlah, "Semuanya (datang)dari sisi Allah.” Maka mengapa orang-orang itu(orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun. (An-Nisa: 78)

Adapun firman Allah Swt.:

{أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ}

Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas. (Yasin: 19)

Yakni karena kami memberikan peringatan kepada kalian dan memerintahkan kepada kalian agar mengesakan Allah dan memurnikan penyembahan hanya kepada-Nya, lalu kalian membalas kami dengan ucapan seperti itu, dan kalian mengancam dan menindas kami karenanya. Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas. (Yasin: 19)

Qatadah mengatakan bahwa sesungguhnya kami peringatkan kalian tentang azab Allah, lalu kalian menimpakan kesialan kalian kepada kami, sebenarnya kalian ini adalah kaum yang melampaui batas."

Firman-Nya 

وَجَاءَ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ (20) اتَّبِعُوا مَنْ لَا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُمْ مُهْتَدُونَ (21)

Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata, "Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu, ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Ibnu Ishaq dalam riwayatnya yang bersumber dari Ibnu Abbas, Ka'bul Ahbar, dan Wahb ibnu Munabbih telah mengatakan bahwa sesungguhnya penduduk negeri tersebut hampir saja membunuh utusan-utuan mereka, tetapi telanjur datang seorang laki-laki dari pinggiran kota yang datang berlari dengan cepat untuk menolong rasul-rasul itu dari ancaman kaumnya.

Menurut mereka bertiga, lelaki tersebut bernama Habib, seorang tukang tenun dan sakit-sakitan. Sakit yang dideritanya adalah lepra. Dia seorang yang banyak bersedekah, separo dari hasil kerjanya selalu ia sedekahkan, dan dia adalah seorang yang berpikiran lurus.

Ibnu Ishaq telah mengatakan dari seorang lelaki yang senama dengannya, dari Al-Hakam, dari Miqsam atau dari Mujahid, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa nama lelaki yang disebutkan di dalam surat Yasin adalah Habib, dia menderita penyakit lepra yang cukup parah.

As-Sauri telah meriwayatkan dari Asim Al-Ahwal,dari Abu Mujlaz, bahwa nama lelaki itu adalah Habib ibnu Murri.

Syabib ibnu Bisyr telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa nama lelaki yang disebutkan di dalam surat Yasin adalah Habibun Najjar, lalu lelaki itu dibunuh oleh kaumnya. As-Saddi mengatakan, lelaki itu adalah seorang tukang celup kain.

Umar ibnul Hakam mengatakan bahwa Habib adalah seorang uskup. Qatadah mengatakan, ia seorang ahli ibadah, yang menghabiskan usianya untuk beribadah di salah satu gua yang ada di pinggiran negeri tersebut.

{قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ}

Ia berkata, "Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu". (Yasin: 20)
Dia menganjurkan kepada kaumnya agar mengikuti para rasul tersebut yang datang kepada mereka memberi peringatan.

{اتَّبِعُوا مَنْ لَا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا}

ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu.(Yasin: 21)
Yakni upah sebagai imbalan dari penyampaian risalahnya kepada mereka.

{وَهُمْ مُهْتَدُونَ}

dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Yasin: 21)
Mereka mendapat petunjuk dari Allah Swt., karenanya mereka menyeru kalian untuk menyembah Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.

Firman-Nya 

وَمَا لِيَ لَا أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (22) أَأَتَّخِذُ مِنْ دُونِهِ آلِهَةً إِنْ يُرِدْنِ الرَّحْمَنُ بِضُرٍّ لَا تُغْنِ عَنِّي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا وَلا يُنْقِذُونِ (23) إِنِّي إِذًا لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ (24) إِنِّي آمَنْتُ بِرَبِّكُمْ فَاسْمَعُونِ (25)

Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakan diriku dan yang hanya kepada-Nya kamu (semua) akan di­kembalikan? Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain­nya jika(Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudaratan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikit pun bagiku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku? Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesalan yang nyata. Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlah (pengakuan keimanan)ku.

Firman Allah Swt.:

{وَمَا لِيَ لَا أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي}

Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakan diriku. (Yasin: 22)
Maksudnya, apakah yang menghalangi diriku untuk tidak mengikhlaskan penyembahan hanya kepada Tuhan yang telah menciptakan diriku semata, tiada sekutu bagi-Nya.

{وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ}

dan yang hanya kepada-Nya kamu (semua) akan dikembalikan? (Yasin: 22)
Yakni kelak di hari kemudian, maka Dia akan membalas semua amal perbuatan kalian. Jika baik, maka balasannya baik; dan jika buruk, balasannya buruk pula.

{أَأَتَّخِذُ مِنْ دُونِهِ آلِهَةً}

Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya. (Yasin: 23)

Istifham atau kata tanya dalam ayat ini adalah istifham ingkari yang mengandung makna celaan atau kecaman.

{إِنْ يُرِدْنِ الرَّحْمَنُ بِضُرٍّ لَا تُغْنِ عَنِّي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا وَلا يُنْقِذُونِ}

jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudaratan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikit pun bagiku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?(Yasin: 23)

Yaitu tuhan-tuhan yang kalian sembah selain Allah itu tidak memiliki sesuatu apa pun dalam urusan ini. Karena sesungguhnya seandainya Allah menghendaki keburukan terhadap diriku,

{فَلا كَاشِفَ لَهُ إِلا هُوَ}

maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. (Al-An'am: 17 dan Yunus: 107)
Dan berhala-berhala ini tidak mempunyai daya upaya apa pun untuk menolak dan menangkal hal tersebut, tidak dapat pula menyelamatkan diriku dari penderitaanku ini.

{إِنِّي إِذًا لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ}

Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesalan yang nyata. (Yasin: 24)
Maksudnya, jika aku menjadikan berhala-berhala itu sebagai sesembahanku selain dari Allah, berarti aku benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata.

Firman Allah Swt:

{إِنِّي آمَنْتُ بِرَبِّكُمْ فَاسْمَعُونِ}

Sesungguhnya aku telah beriman kepadaa Tuhanmu; maka dengarkanlah (pengakuan keimanan)ku. (Yasin: 25)

Ibnu Ishaq mengatakan -menurut berita yang sampai kepadanya dari Ibnu Abbas r.a. Ka'b, serta Wahb- bahwa lelaki itu berkata kepada kaumnya:Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu. (Yasin: 25) Yang kalian ingkari itu. maka dengarkanlah (pengakuan keimanan)ku. (Yasin: 25) Yakni dengarkanlah oleh kalian pengakuan keimananku ini.

Dapat pula ditakwilkan bahwa perkataan ini ditujukan kepada para utusan tersebut darinya (si lelaki itu), yakni firman-Nya: Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu. (Yasin: 25) Yang telah mengutus kalian. maka dengarkanlah (pengakuan keimanan)ku. (Yasin: 25) Yakni saksikanlah oleh kalian keimananku ini nanti di hadapan Allah Swt. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya mengatakan, bahkan khitab ini dikatakan oleh para rasul, lalu lelaki itu berkata kepada para'rasul, "Dengarkanlah pengakuanku ini, agar kelak kalian menjadi saksi bagiku di hadapan Tuhanku, bahwa sesungguhnya aku beriman kepada Tuhanmu dan aku mengikuti ajaran kalian." Pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir dari mereka lebih jelas maknanya; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Ibnu Ishaq menurut apa yang ia terima dari Ibnu Abbas r.a., Ka'bul Ahbar, dan Wahb ibnu Munabbih mengatakan bahwa tatkala lelaki itu mengucapkan pengakuannya , maka kaumnya menyerangnya beramai-ramai, lalu membunuhnya, dan tidak ada seorang pun yang dapat membela lelaki itu dari serangan mereka.

Qatadah mengatakan bahwa kaum lelaki itu merajam lelaki itu dengan batu, sedangkan lelaki itu tiada hentinya mengucapkan doa berikut: "Ya Allah, berilah kaumku petunjuk, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui, " hingga akhirnya lelaki itu terjatuh dan meninggal dunia. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadanya.

Firman-Nya 

قِيلَ ادْخُلِ الْجَنَّةَ قَالَ يَا لَيْتَ قَوْمِي يَعْلَمُونَ (26) بِمَا غَفَرَ لِي رَبِّي وَجَعَلَنِي مِنَ الْمُكْرَمِينَ (27) وَمَا أَنزلْنَا عَلَى قَوْمِهِ مِنْ بَعْدِهِ مِنْ جُنْدٍ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا كُنَّا مُنزلِينَ (28) إِنْ كَانَتْ إِلا صَيْحَةً وَاحِدَةً فَإِذَا هُمْ خَامِدُونَ (29) 

Dikatakan (kepadanya), "Masuklah ke surga.” Ia berkata, "Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.” Dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia(meninggal) suatu pasukan pun dari langit dan tidak layak Kami menurunkannya. Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan saja; maka tiba-tiba mereka semuanya mati.

Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari salah seorang temannya, dari Ibnu Mas'ud r.a. yang mengatakan bahwa kaum lelaki itu menginjak-injaknya dengan kaki mereka hingga isi perutnya keluar dari liang anusnya. Lalu Allah Swt. berfirman kepada laki-laki itu: Masuklah ke surga.(Yasin: 26) Maka laki-laki itu masuk ke dalam surga dan diberi rezeki di dalamnya, dan Allah telah melenyapkan darinya penderitaan dunia, kesedihan, dan kelelahannya.

Mujahid mengatakan bahwa dikatakan kepada Habib (laki-laki itu), "Masuklah ke surga." Dikatakan demikian karena dia gugur dalam membela agama Allah, maka sudah merupakan keharusan baginya masuk surga. Setelah ia melihat pahala yang diterimanya, Ia berkata, "Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui.(Yasin: 26)

Qatadah mengatakan bahwa tidaklah engkau menjumpai orang yang benar-benar mukmin, melainkan dia adalah seorang yang mengharapkan kebaikan bagimu, dan tidaklah engkau jumpai dia sebagai seorang penipu.

Setelah lelaki itu menyaksikan penghormatan yang diberikan oleh Allah kepadanya, maka berkatalah ia, seperti yang disitir oleh firman-Nya:

{قَالَ يَا لَيْتَ قَوْمِي يَعْلَمُونَ بِمَا غَفَرَ لِي رَبِّي وَجَعَلَنِي مِنَ الْمُكْرَمِينَ}

"Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadi­kan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.” (Yasin: 26-­27)

Demi Allah, dia mengharapkan andai kata saja kaumnya mengetahui kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepadanya dan akibat terpuji yang diperolehnya.

Ibnu Abbas mengatakan bahwa Habib menasihati kaumnya saat ia masih hidup: Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu. (Yasin: 20) Juga sesudah matinya, seperti yang diceritakan oleh firman-Nya:Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadi­kan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan. (Yasin- 26­27)‎
Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.

Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Asim Al-Ahwal, dari Abu Mujlaz sehubungan dengan makna firman-Nya: apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan (Yasin: 27) Yakni berkat keimananku kepada Tuhanku dan kepercayaanku kepada para utusan.

Maksudnya, seandainya kaumnya dapat menyaksikan pahala dan balasan serta kenikmatan abadi yang diterimanya, tentulah hal tersebut akan mendorong mereka untuk mengikuti para rasul. Semoga Allah Swt. melimpahkan rahmat-Nya kepadanya; dia sangat menginginkan agar kaumnya mendapat hidayah.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا ابْنُ جَابِرٍ -وَهُوَ مُحَمَّدٌ-عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ -يَعْنِي: ابْنَ عُمَيْرٍ-قَالَ: قَالَ عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ الثَّقَفِيُّ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ابْعَثْنِي إِلَى قومي أدعوهم إِلَى الْإِسْلَامِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَقْتُلُوكَ". فَقَالَ: لَوْ وَجَدُونِي نَائِمًا مَا أَيْقَظُونِي. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم: "انطلق". فَانْطَلَقَ فَمَرَّ عَلَى اللَّاتِ وَالْعُزَّى، فَقَالَ: لأصبحَنَّك غَدًا بِمَا يَسُوءُكِ. فَغَضِبَتْ ثَقِيفٌ، فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ ثَقِيفٍ، إِنَّ اللَّاتَ لَا لَاتَ، وَإِنَّ العُزى لَا عُزى، أَسْلِمُوا تَسْلَمُوا. يَا مَعْشَرَ الْأَحْلَافِ، إِنَّ الْعُزَّى لَا عُزَّى، وَإِنَّ اللَّاتَ لَا لَاتَ، أَسْلِمُوا تَسْلَمُوا. قَالَ ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، فَرَمَاهُ رَجُلٌ فَأَصَابَ أكْحَله فَقَتَلَهُ، فَبَلَغَ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم فقال: "هَذَا مَثَلُهُ كَمَثَلِ صَاحِبِ يس، {قَالَ يَا لَيْتَ قَوْمِي يَعْلَمُونَ * بِمَا غَفَرَ لِي رَبِّي وَجَعَلَنِي مِنَ الْمُكْرَمِينَ}

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Jabir alias Muhammad, dari Abdul Malik ibnu Umair yang mengatakan bahwa Urwah ibnu Mas'ud As-Saqafi r.a. pernah berkata kepada Nabi Saw., "Utuslah aku kepada kaumku, aku akan menyeru mereka untuk memeluk Islam." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya aku merasa khawatir bila mereka nanti akan membunuhmu." Urwah berkata, "Seandainya mereka menjumpaiku sedang tidur, mereka tidak berani membangunkanku." Akhirnya Rasulullah Saw. bersabda, "Pergilah kamu." Maka Urwah berangkat menuju tempat berhala Lata dan 'Uzza, lalu ia berkata, "Sungguh aku benar-benar akan melakukan suatu hal yang akan membuatmu celaka besok pagi." Maka orang-orang Saqif marah, dan Urwah berkata, "Hai orang-orang Saqif, sesungguhnya tiada ketinggian lagi bagi Lata dan tiada kejayaan lagi bagi 'Uzza. Maka masuk Islamlah kalian, niscaya kalian selamat. Hai orang-orang yang tergabung di dalam persekutuan, sesungguhnya tiada kejayaan lagi bagi 'Uzza dan tiada ketinggian lagi bagi Lata. Masuk Islamlah kalian, niscaya kalian selamat." Urwah mengucapkan kalimat tersebut sebanyak tiga kali dengan suara yang lantang, lalu ada seorang lelaki dari kaum yang membidikkan anak panahnya ke arah dia dan mengenai anggota tubuh yang mematikan. Akhirnya Urwah gugur. Ketika peristiwa tersebut sampai beritanya kepada Rasulullah Saw., maka beliau bersabda: Orang ini senasib dengan apa yang dialami oleh lelaki yang disebutkan di dalam surat Yasin. Ia berkata, "Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.” (Yasin: 26-27)

Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Abdullah ibnu Abdur Rahman ibnu Ma'mar ibnu Hazm. Ia pernah menceritakan dari Ka'bul Ahbar yang telah menceritakan kepadanya tentang kisah Habib ibnu Zaid ibnu Asim saudara lelaki Bani Mazin ibnun Najjar yang dipotong-potong tubuhnya oleh Musailamah Al-Kazzab di Yamamah, ketika Musailamah menanyakan kepadanya tentang Rasulullah Saw. Disebutkan bahwa Musailamah bertanya kepadanya, "Apakah engkau membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah?" Habib menjawab, "Ya." Kemudian Musailamah berkata, "Apakah kamu percaya bahwa aku adalah utusan Allah?" Habib menjawab, "Saya tidak dapat mendengar suaramu." Musailamah laknatullah berkata, "Apakah kamu mendengar dia, sedangkan kamu tidak mendengarku?" Habib menjawab, "Ya." Maka Musailamah menyiksanya dengan memotong tubuhnya satu demi satu. Setiap kali Musailamah menanyainya, jawabannya sama dengan yang pertama, hingga akhirnya si Habib mati di tangannya. Lalu Ka'b berkata saat ditanya nama lelaki itu, bahwa nama lelaki itu adalah Habib, dan demi Allah, nama lelaki yang disebutkan di dalam surat Yasin pun adalah Habib.

Firman Allah Swt.:

{وَمَا أَنزلْنَا عَلَى قَوْمِهِ مِنْ بَعْدِهِ مِنْ جُنْدٍ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا كُنَّا مُنزلِينَ}

Dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal) suatu pasukan pun dari langit dan tidak layak Kami menurunkannya.(Yasin: 28)

Allah Swt. menceritakan bahwa Dia membalas perbuatan kaum laki-laki itu —sesudah ia dibunuh mereka— karena murka kepada mereka, sebab mereka telah mendustakan rasul-rasul-Nya dan membunuh kekasih-Nya. Lalu Allah Swt. menyebutkan bahwa Dia tidak menurunkan pasukan malaikat apa pun untuk membinasakan mereka, Dia tidak memerlukannya untuk membinasakan mereka, bahkan untuk menanganinya amatlah mudah bagi-Nya.

Ibnu Mas'ud r.a. -menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari sebagian teman-temannya- telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal) suatu pasukan pun dari langit dan tidak layak Kami menurunkannya. (Yasin: 28) Artinya Kami tidak perlu menurunkan balatentara untuk membinasakan mereka karena untuk membinasakan mereka itu teramat mudah bagi Kami. Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan saja; maka dengan serta merta mereka semuanya mati. (Yasin: 29) Ibnu Mas'ud mengatakan, bahwa maka Allah Swt. membinasakan rajanya dan membinasakan penduduk Intakiyah. Mereka dimusnahkan dan muka bumi tanpa ada seorang pun yang selamat.

Menurut pendapat lain, sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: dan tidak layak Kami menurunkannya. (Yasin: 28) Yakni tidak sekali-kali Kami menurunkan para malaikat bila Kami hendak membinasakan mereka, melainkan Kami hanya menimpakan atas mereka suatu azab yang membinasakan mereka.

Menurut pendapat yang lainnya lagi sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia(meninggal) suatu pasukan pun dari langit. (Yasin: 28) Yaitu risalah lain kepada mereka, menurut Mujahid dan Qatadah.

Qatadah mengatakan bahwa demi Allah, Allah tidak menegur kaumnya sesudah mereka membunuhnya, Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan saja; maka dengan serta merta mereka semuanya mati. (Yasin: 29)

Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang paling sahih adalah pendapat yang pertama, karena risalah (perutusan) tidak dinamakan jundun (pasukan)!

Ulama tafsir mengatakan bahwa Allah Swt. mengirimkan Malaikat Jibril a.s. kepada mereka. Jibril memegang kedua sisi pintu gerbang negeri mereka, kemudian ia melakukan suatu teriakan yang mengguntur terhadap mereka. Maka dengan serta merta mereka semuanya mati, tanpa ada seorang pun yang selamat saat itu juga tanpa meregang nyawa lagi.

Dalam keterangan yang lalu telah disebutkan dari kebanyakan ulama Salaf bahwa negeri tersebut adalah Intakiyah, dan ketiga orang itu adalah orang-orang yang diutus oleh Al-Masih Isa ibnu Maryam a.s., seperti yang telah dinaskan oleh Qatadah dan lain-lainnya. Tetapi pendapat Qatadah ini tidak ada seorang pun dari kalangan ulama tafsir yang mutaakhkhirin mengemukakannya selain Qatadah sendiri. Mengenai keabsahannya masih diragukan ditinjau dari berbagai alasan berikut:

Pertama, pengertian lahiriah kisah menunjukkan bahwa mereka bertiga adalah utusan-utusan Allah Swt., bukan utusan Al-Masih a.s. Seperti yang dimengerti dari firman-Nya:

{إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُونَ} إِلَى أَنْ قَالُوا: {رَبُّنَا يَعْلَمُ إِنَّا إِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُونَ * وَمَا عَلَيْنَا إِلا الْبَلاغُ الْمُبِينُ}

 (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan(utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata, "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu.” (Yasin: 14) sampai dengan firman-Nya: Mereka berkata, "Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus kepada kamu. Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas.” (Yasin: 16-17)

Sekiranya mereka termasuk kaum Hawari (penolong Isa a.s.), tentulah mereka mengatakan kalimat yang sesuai dengan kedudukan mereka, bahwa mereka adalah utusan Isa a.s.; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Kemudian seandainya mereka adalah utusan dari Al-Masih a.s., niscaya kaum negeri itu tidak mengatakan kepada mereka: Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami. (Yasin: 15)

Kedua, bahwa penduduk Intakiyah telah beriman kepada utusan Al-Masih yang dikirimnya kepada mereka, dan mereka adalah penduduk suatu negeri yang pertama beriman kepada Al-Masih; karena itulah maka Intakiyah merupakan salah satu dari keempat kota yang di dalamnya terdapat para patrik. Yaitu kota Al-Quds yang merupakan negeri Al-Masih sendiri; kota Intakiyah, karena ia merupakan suatu kota yang pertama penduduknya beriman kepada Al-Masih seluruhnya. Kemudian kota Iskandaria, karena ia merupakan suatu kota yang para penduduknya mencetuskan suatu gagasan untuk mengangkat patrik, matarun, uskup, pendeta, rahib, dan syamamis. Yang terakhir adalah kota Roma yang merupakan ibu kota kerajaan Konstantinopel yang rajanya selalu menolong dan membantu agama Al-Masih. Setelah dia membangun kota Konstantinopel, maka ia memindahkan kepatrikan dari Roma ke Konstantinopel. Demikianlah menurut apa yang disebutkan oleh ahli sejarah yang bukan hanya seorang, seperti Sa'id ibnu Butriq dan lain­ lainnya dari kalangan Ahli Kitab maupun dari kalangan kaum muslim. Apabila telah terbukti bahwa Intakiyah adalah kota yang mula-mula seluruh penduduknya beriman, berarti kota yang dibinasakan oleh Allah karena penduduknya mendustakan rasul-rasul-Nya dengan satu teriakan hanya Allah-lah Yang Mengetahuinya.

Ketiga, bahwa kisah penduduk Intakiyah dengan kaum Hawari (penolong Isa Al-Masih) terjadi sesudah kitab Taurat diturunkan. Abu Sa'id Al-Khudri r.a. dan ulama Salaf lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa sesudah Allah menurunkan Kitab Taurat, maka Dia tidak lagi membinasakan suatu umat pun sampai tertumpas semuanya dengan azab yang Dia timpakan kepada mereka, melainkan Dia memerintahkan kepada orang-orang yang beriman sesudah itu untuk memerangi kaum musyrik. Mereka mengatakan hal ini dalam kaitan tafsiran mereka terhadap firman-Nya:

{وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ مِنْ بَعْدِ مَا أَهْلَكْنَا الْقُرُونَ الأولَى}

Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) sesudah Kami binasakan generasi-generasi terdahulu. (Al-Qassas: 43)

Berdasarkan keterangan di atas dapat ditentukan bahwa kota yang disebutkan di dalam surat Yasin bukanlah kota Intakiyah, melainkan kota lain, sebagaimana yang telah dikatakan oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf.

Atau nama kota tersebut memang Intakiyah, tetapi bukan kota Intakiyah yang terkenal itu, melainkan kota lainnya. Karena sesungguhnya kota Intakiyah yang terkenal itu belum pernah ada yang mengetahui bahwa ia pernah dibinasakan, baik di masa agama Nasrani maupun di masa sebelumnya; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani yaitu:

حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْحَاقَ التُّسْتري، حدثنا الْحُسَيْنُ بْنُ أَبِي السَّرِيِّ الْعَسْقَلَانِيُّ، حَدَّثَنَا حُسَين الْأَشْقَرُ، حَدَّثَنَا ابْنِ عُيَيْنة، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيح، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "السُّبَّق ثَلَاثَةٌ: فَالسَّابِقُ إِلَى مُوسَى يُوشَعُ بْنُ نُونٍ، وَالسَّابِقُ إِلَى عِيسَى صَاحِبُ يس، وَالسَّابِقُ إِلَى مُحَمَّدٍ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ"،

Telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Ishaq At-Tusturi, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Abus Sirri Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami Husain Al-Asyqar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Ibnu Abu Najih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas r.a.. dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Orang yang paling terdahulu itu ada tiga orang, orang yang paling terdahulu (beriman) kepada Musa a.s. adalah Yusya ibnu Nun, dan orang yang paling terdahulu kepada Isa a.s adalah lelaki yang disebutkan dalam surat Yasin dan orang yang paling dahulu kepada Muhammad Saw. adalah Ali ibnu Abu Talib r.a.

Maka sesungguhnya hadis ini munkar kecuali melalui jalur Husain Al-Asyqar, sedangkan dia adala seorang syi'ah yang tak terpakai hadisnya, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui tentang kebenaran.

Pelajaran Dari Kisah Ashabul Ukhdud (Pembuat Parit)


Peristiwa Ashhabul Ukhdud adalah sebuah tragedi berdarah, pembantaian yang dilakukan oleh seorang raja kejam kepada jiwa-jiwa kaum muslimin, ini merupakan kebiadaban dan tindakan tak berprikemanusiaan; namun akidah tetaplah harus dipertahankan, karena dengannyalah kebahagiaan yang abadi akan diperoleh. Allah mengisahkan kejadian tragis ini dalam Alquran.

Kisah ini dikenal dengan kisah ashabul ukhdud yaitu orang-orang yang membakar orang beriman dalam parit. Orang-orang yang beriman ini tetap teguh pada keimanan mereka pada Allah, hingga raja di masa itu marah dan membakar mereka hidup-hidup. Kisah ini mengajarkan wajibnya bersabar dalam berpegang teguh pada kebenaran meskipun harus disakiti.‎
Kisah ini disebutkan dalam firman Allah,
وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوجِ (1) وَالْيَوْمِ الْمَوْعُودِ (2) وَشَاهِدٍ وَمَشْهُودٍ (3) قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُودِ (4) النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ (5) إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُودٌ (6) وَهُمْ عَلَى مَا يَفْعَلُونَ بِالْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ (7) وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ (8) الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (9)
“Demi langit yang mempunyai gugusan bintang, dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS. Al Buruj: 1-9).
Kisah selengkapnya mengenai Ashabul Ukhdud diceritakan dalam hadits yang panjang berikut.

Imam Muslim meriwayatkan dari Shuhaib, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

كَانَ مَلِكٌ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ وَكَانَ لَهُ سَاحِرٌ فَلَمَّا كَبِرَ قَالَ لِلْمَلِكِ إِنِّي قَدْ كَبِرْتُ فَابْعَثْ إِلَيَّ غُلَامًا أُعَلِّمْهُ السِّحْرَ فَبَعَثَ إِلَيْهِ غُلَامًا يُعَلِّمُهُ فَكَانَ فِي طَرِيقِهِ إِذَا سَلَكَ رَاهِبٌ فَقَعَدَ إِلَيْهِ وَسَمِعَ كَلَامَهُ فَأَعْجَبَهُ فَكَانَ إِذَا أَتَى السَّاحِرَ مَرَّ بِالرَّاهِبِ وَقَعَدَ إِلَيْهِ فَإِذَا أَتَى السَّاحِرَ ضَرَبَهُ فَشَكَا ذَلِكَ إِلَى الرَّاهِبِ فَقَالَ إِذَا خَشِيتَ السَّاحِرَ فَقُلْ حَبَسَنِي أَهْلِي وَإِذَا خَشِيتَ أَهْلَكَ فَقُلْ حَبَسَنِي السَّاحِرُ فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ إِذْ أَتَى عَلَى دَابَّةٍ عَظِيمَةٍ قَدْ حَبَسَتْ النَّاسَ فَقَالَ الْيَوْمَ أَعْلَمُ آلسَّاحِرُ أَفْضَلُ أَمْ الرَّاهِبُ أَفْضَلُ فَأَخَذَ حَجَرًا فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ أَمْرُ الرَّاهِبِ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ أَمْرِ السَّاحِرِ فَاقْتُلْ هَذِهِ الدَّابَّةَ حَتَّى يَمْضِيَ النَّاسُ فَرَمَاهَا فَقَتَلَهَا وَمَضَى النَّاسُ فَأَتَى الرَّاهِبَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ لَهُ الرَّاهِبُ أَيْ بُنَيَّ أَنْتَ الْيَوْمَ أَفْضَلُ مِنِّي قَدْ بَلَغَ مِنْ أَمْرِكَ مَا أَرَى وَإِنَّكَ سَتُبْتَلَى فَإِنْ ابْتُلِيتَ فَلَا تَدُلَّ عَلَيَّ وَكَانَ الْغُلَامُ يُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ وَيُدَاوِي النَّاسَ مِنْ سَائِرِ الْأَدْوَاءِ فَسَمِعَ جَلِيسٌ لِلْمَلِكِ كَانَ قَدْ عَمِيَ فَأَتَاهُ بِهَدَايَا كَثِيرَةٍ فَقَالَ مَا هَاهُنَا لَكَ أَجْمَعُ إِنْ أَنْتَ شَفَيْتَنِي فَقَالَ إِنِّي لَا أَشْفِي أَحَدًا إِنَّمَا يَشْفِي اللَّهُ فَإِنْ أَنْتَ آمَنْتَ بِاللَّهِ دَعَوْتُ اللَّهَ فَشَفَاكَ فَآمَنَ بِاللَّهِ فَشَفَاهُ اللَّهُ فَأَتَى الْمَلِكَ فَجَلَسَ إِلَيْهِ كَمَا كَانَ يَجْلِسُ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ مَنْ رَدَّ عَلَيْكَ بَصَرَكَ قَالَ رَبِّي قَالَ وَلَكَ رَبٌّ غَيْرِي قَالَ رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ فَأَخَذَهُ فَلَمْ يَزَلْ يُعَذِّبُهُ حَتَّى دَلَّ عَلَى الْغُلَامِ فَجِيءَ بِالْغُلَامِ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ أَيْ بُنَيَّ قَدْ بَلَغَ مِنْ سِحْرِكَ مَا تُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ وَتَفْعَلُ وَتَفْعَلُ فَقَالَ إِنِّي لَا أَشْفِي أَحَدًا إِنَّمَا يَشْفِي اللَّهُ فَأَخَذَهُ فَلَمْ يَزَلْ يُعَذِّبُهُ حَتَّى دَلَّ عَلَى الرَّاهِبِ فَجِيءَ بِالرَّاهِبِ فَقِيلَ لَهُ ارْجِعْ عَنْ دِينِكَ فَأَبَى فَدَعَا بِالْمِئْشَارِ فَوَضَعَ الْمِئْشَارَ فِي مَفْرِقِ رَأْسِهِ فَشَقَّهُ حَتَّى وَقَعَ شِقَّاهُ ثُمَّ جِيءَ بِجَلِيسِ الْمَلِكِ فَقِيلَ لَهُ ارْجِعْ عَنْ دِينِكَ فَأَبَى فَوَضَعَ الْمِئْشَارَ فِي مَفْرِقِ رَأْسِهِ فَشَقَّهُ بِهِ حَتَّى وَقَعَ شِقَّاهُ ثُمَّ جِيءَ بِالْغُلَامِ فَقِيلَ لَهُ ارْجِعْ عَنْ دِينِكَ فَأَبَى فَدَفَعَهُ إِلَى نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ اذْهَبُوا بِهِ إِلَى جَبَلِ كَذَا وَكَذَا فَاصْعَدُوا بِهِ الْجَبَلَ فَإِذَا بَلَغْتُمْ ذُرْوَتَهُ فَإِنْ رَجَعَ عَنْ دِينِهِ وَإِلَّا فَاطْرَحُوهُ فَذَهَبُوا بِهِ فَصَعِدُوا بِهِ الْجَبَلَ فَقَالَ اللَّهُمَّ اكْفِنِيهِمْ بِمَا شِئْتَ فَرَجَفَ بِهِمْ الْجَبَلُ فَسَقَطُوا وَجَاءَ يَمْشِي إِلَى الْمَلِكِ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ مَا فَعَلَ أَصْحَابُكَ قَالَ كَفَانِيهِمُ اللَّهُ فَدَفَعَهُ إِلَى نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ اذْهَبُوا بِهِ فَاحْمِلُوهُ فِي قُرْقُورٍ فَتَوَسَّطُوا بِهِ الْبَحْرَ فَإِنْ رَجَعَ عَنْ دِينِهِ وَإِلَّا فَاقْذِفُوهُ فَذَهَبُوا بِهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ اكْفِنِيهِمْ بِمَا شِئْتَ فَانْكَفَأَتْ بِهِمْ السَّفِينَةُ فَغَرِقُوا وَجَاءَ يَمْشِي إِلَى الْمَلِكِ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ مَا فَعَلَ أَصْحَابُكَ قَالَ كَفَانِيهِمُ اللَّهُ فَقَالَ لِلْمَلِكِ إِنَّكَ لَسْتَ بِقَاتِلِي حَتَّى تَفْعَلَ مَا آمُرُكَ بِهِ قَالَ وَمَا هُوَ قَالَ تَجْمَعُ النَّاسَ فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ وَتَصْلُبُنِي عَلَى جِذْعٍ ثُمَّ خُذْ سَهْمًا مِنْ كِنَانَتِي ثُمَّ ضَعْ السَّهْمَ فِي كَبِدِ الْقَوْسِ ثُمَّ قُلْ بِاسْمِ اللَّهِ رَبِّ الْغُلَامِ ثُمَّ ارْمِنِي فَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ قَتَلْتَنِي فَجَمَعَ النَّاسَ فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ وَصَلَبَهُ عَلَى جِذْعٍ ثُمَّ أَخَذَ سَهْمًا مِنْ كِنَانَتِهِ ثُمَّ وَضَعَ السَّهْمَ فِي كَبْدِ الْقَوْسِ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ رَبِّ الْغُلَامِ ثُمَّ رَمَاهُ فَوَقَعَ السَّهْمُ فِي صُدْغِهِ فَوَضَعَ يَدَهُ فِي صُدْغِهِ فِي مَوْضِعِ السَّهْمِ فَمَاتَ فَقَالَ النَّاسُ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ فَأُتِيَ الْمَلِكُ فَقِيلَ لَهُ أَرَأَيْتَ مَا كُنْتَ تَحْذَرُ قَدْ وَاللَّهِ نَزَلَ بِكَ حَذَرُكَ قَدْ آمَنَ النَّاسُ فَأَمَرَ بِالْأُخْدُودِ فِي أَفْوَاهِ السِّكَكِ فَخُدَّتْ وَأَضْرَمَ النِّيرَانَ وَقَالَ مَنْ لَمْ يَرْجِعْ عَنْ دِينِهِ فَأَحْمُوهُ فِيهَا أَوْ قِيلَ لَهُ اقْتَحِمْ فَفَعَلُوا حَتَّى جَاءَتْ امْرَأَةٌ وَمَعَهَا صَبِيٌّ لَهَا فَتَقَاعَسَتْ أَنْ تَقَعَ فِيهَا فَقَالَ لَهَا الْغُلَامُ يَا أُمَّهْ اصْبِرِي فَإِنَّكِ عَلَى الْحَقِّ.

“Ada seorang raja pada zaman sebelum kalian. Ia  memiliki seorang tukang sihir. Ketika tukang sihir itu sudah tua, ia berkata kepada si raja, “Sesungguhnya usiaku telah tua. Oleh karena itu, utuslah kepadaku seorang pemuda agar aku ajarkan sihir.” Maka  diutuslah seorang pemuda yang kemudian diajarkannya sihir. Di jalan menuju tukang sihir itu terdapat seorang rahib (ulama). Pemuda itu mendatangi si rahib (ulama) dan mendengarkan kata-katanya. Si pemuda begitu kagum dengan kata-kata rahib. Oleh sebab itu, ketika ia pergi menuju tukang sihir, ia mampir dulu kepada si rahib sehingga (karena terlambat datang) tukang sihir itu memukulinya. Maka pemuda itu mengeluh kepada si rahib, lalu rahib itu menasihatinya dan berkata, “Jika kamu takut kepada pesihir, maka katakanlah, “Keluargaku menahanku. Dan jika kamu takut kepada keluargamu, maka katakanlah, “Tukang sihir menahanku.” Ketika keadaan seperti itu, ia bertemu dengan binatang besar yang menghalangi jalan manusia (sehingga mereka tidak bisa lewat). Maka si pemuda berkata, “Pada hari ini aku akan mengetahui, apakah si pesihir lebih utama ataukah si rahib (ulama).” Setelah itu, ia mengambil batu sambil berkata, “Ya Allah, jika perintah rahib (ulama) lebih Engkau cintai daripada perintah pesihir maka bunuhlah binatang ini, sehingga manusia bisa lewat.” Lalu ia melemparnya, dan binatang itu pun terbunuh dan orang-orang bisa lewat. Lalu ia mendatangi si rahib dan memberitahukan hal itu kepadanya. Rahib (ulama) berkata, “Wahai anakku, pada hari ini engkau telah menjadi lebih utama dari diriku. Urusanmu telah sampai pada tingkatan yang aku saksikan. Kelak, engkau akan diuji. Jika engkau diuji maka jangan tunjukkan diriku.” Selanjutnya, pemuda itu bisa menyembuhkan orang yang buta, sopak dan segala jenis penyakit. Alkisah, ada pejabat raja yang buta yang mendengar tentang si pemuda. Maka ia membawa hadiah yang banyak kepadanya sambil berkata, '”Apa yang ada di sini, aku kumpulkan untukmu jika engkau dapat menyembuhkan aku.” Pemuda itu menjawab, “Aku tidak bisa menyembuhkan seseorang. Yang menyembuhkan adalah Allah. Jika engkau beriman kepada Allah, maka saya akan berdoa kepada Allah, agar Dia menyembuhkanmu.” Lalu ia beriman kepada Allah, dan Allah menyembuhkannya. Kemudian ia datang kepada raja dan duduk di sisinya seperti biasanya. Si raja berkata, ”Siapa yang menyembuhkan penglihatanmu?” Ia menjawab, “Tuhanku.” Raja berkata, “Apakah kamu memiliki Tuhan selain diriku?” Ia menjawab, “Ya, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.” Maka Raja menangkapnya dan terus-menerus menyiksanya sampai ia menunjukkan kepada si pemuda. Pemuda itu pun didatangkan. Si raja berkata, “Wahai anakku, sihirmu telah sampai pada tingkat kamu bisa menyembuhkan orang buta, sopak dan kamu bisa berbuat ini dan itu.” Si pemuda menjawab, “Aku tidak mampu menyembuhkan seorang pun. Yang menyembuhkan hanyalah Allah.” Lalu ia pun ditangkap dan terus disiksa sehingga ia menunjukkan kepada rahib (ulama). Maka rahib (ulama) itu pun didatangkan. Si raja berkata, “Kembalilah kepada agamamu semula!” Ia menolak. Lalu di tengah-tengah kepalanya diletakkan geregaji dan ia dibelah menjadi dua. Kepada pejabat raja yang (dulunya) buta juga dikatakan, “Kembalilah kepada agamamu semula!” Ia menolak. Lalu di tengah-tengah kepalanya diletakkan geregaji dan ia dibelah menjadi dua. Kepada si pemuda juga dikatakan, “Kembalilah kepada agamamu semula!” Ia menolak. Lalu ia diserahkan kepada beberapa orang untuk dibawa ke gunung ini dan itu. (Sebelumnya) si raja berkata, “Ketika kalian telah sampai pada puncak gunung maka jika ia kembali kepada agamanya (biarkanlah dia). Jika tidak, maka lemparkanlah dia!” Mereka pun berangkat. Ketika sampai di puncak gunung, si pemuda berdoa, 'Ya Allah, jagalah diriku dari mereka, sesuai dengan kehendak-Mu.” Tiba-tiba gunung itu mengguncang mereka, sehingga semuanya terjatuh. Lalu si pemuda datang sampai bertemu raja kembali. Raja berkata, “Apa yang terjadi dengan orang-orang yang bersamamu?” Ia menjawab, “Allah menjagaku dari mereka.” Lalu ia diserahkan kepada beberapa orang dalam sebuah perahu. Raja berkata, “Bawalah dia dan angkut ke dalam sebuah kapal. Jika kalian berada di tengah lautan (maka lepaskanlah ia) jika kembali kepada agamanya semula. Jika tidak, lemparkanlah dia ke laut.” Si pemuda berdoa, 'Ya Allah, jagalah aku dari mereka, sesuai dengan kehendak-Mu.” Akhirnya perahu terbalik dan mereka semua tenggelam (kecuali si pemuda). Si pemuda datang lagi kepada raja. Si raja berkata, “Apa yang terjadi dengan orang-orang yang bersamamu?” Ia menjawab, “Allah menjagaku dari mereka.” Lalu si pemuda berkata, “Wahai raja, kamu tidak akan bisa membunuhku sehingga kamu melakukan apa yang kuperintahkan.“ Raja bertanya, “Apa perintah itu?” Si pemuda menjawab, “Kamu kumpulkan orang-orang di satu lapangan yang luas, lalu kamu salib aku di batang pohon. Setelah itu, ambillah anak panah dari wadah panahku, dan letakkanlah panah itu di tengah busurnya kemudian ucapkanlah, 'Bismillahi rabbil ghulam (dengan nama Allah; Tuhan si pemuda).” Maka raja memanahnya dan anak panah itu tepat mengenai pelipisnya. Pemuda itu meletakkan tangannya di bagian yang terkena panah lalu ia meninggal dunia. Maka orang-orang berkata, “Kami beriman kepada Tuhan si pemuda. Kami beriman kepada Tuhan si pemuda. Lalu raja didatangi dan diberitahukan, “Tahukah engkau, sesuatu yang selama ini engkau takutkan?” Demi Allah, sekarang telah tiba, semua orang telah beriman.” Lalu ia memerintahkan membuat parit-parit di beberapa pintu jalan, kemudian dinyalakan api di dalamnya. Raja pun  menetapkan, “Siapa yang kembali kepada agamanya semula, maka biarkanlah dia. Jika tidak, maka bakarlah dia di dalamnya,” atau raja berkata, “Masukkanlah.” Maka orang-orang pun melakukannya (masuk ke dalam parit dan menolak murtad). Hingga tibalah giliran seorang wanita bersama anaknya. Sepertinya, ibu itu enggan untuk terjun ke dalam api. Lalu anaknya berkata, “Bersabarlah wahai ibuku, sesungguhnya engkau berada di atas kebenaran.” (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ahmad, Nasa'i dan Tirmidzi. Ibnu Ishaq memasukkannya dalam As Sirah dan disebutkan bahwa nama pemuda itu adalah Abdullah bin At Taamir)

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ar Rabii’ bin Anas tentang firman Allah Ta’ala, “Binasalah orang-orang yang membuat parit.” Ia berkata, “Kami mendengar, bahwa mereka adalah orang-orang yang berada di zaman fatrah (kekosongan nabi). Ketika mereka melihat fitnah dan keburukan yang menimpa manusia saat itu sehingga manusia ketika itu terbagi menjadi beberapa golongan, dimana masing-masing golongan bangga dengan apa yang ada padanya, maka mereka mengasingkan diri ke suatu negeri dan beribadah kepada Allah di sana dengan ikhlas. Demikianlah keadaan mereka, sehingga terdengarlah berita mereka oleh salah seorang penguasa kejam, lalu penguasa kejam ini mengirimkan orang-orang untuk memerintahkan mereka menyembah berhala yang disembahnya, namun mereka semua menolak dan berkata, “Kami tidak akan menyembah kecuali Allah saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya.” Maka penguasa itu berkata kepada mereka, “Jika kamu tidak mau menyembah sesembahan ini, maka aku akan membunuh kalian.” Mereka tetap tidak mau menyembahnya, maka penguasa itu membuatkan parit yang berisi api, dan berkata kepada mereka setelah mereka dihadapkan kepadanya, “Pilih ini atau mengikuti kami.” Mereka menjawab, “Ini lebih kami sukai.” Ketika itu, di antara mereka ada kaum wanita dan anak-anak, dan anak-anak pun kaget, maka orang tua mereka berkata kepada anak-anak, “Tidak ada lagi api setelah ini.” Maka mereka pun masuk ke dalamnya, dan ruh mereka pun dicabut lebih dahulu sebelum tersentuh panasnya. Kemudian api itu keluar dari tempatnya lalu mengelilingi orang-orang yang kejam itu dan Allah membakar mereka dengannya. Tentang itulah, Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat, “Binasalah orang-orang yang membuat parit. Sampai ayat, “Yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (Terj. Al Buruuj: 4-9).” (HR. Ibnu Abi Hatim, dan Muhammad bin Ishaq meriwayatkan kisah As-habul Ukhdud dengan susunan yang lain, dan bahwa hal itu terjadi pada Abdullah bin At Taamir dan kawan-kawannya yang beriman di Najran, wallahu a’lam.)

Semuanya makhluk dan hamba-Nya, Dia bertindak terhadap mereka dengan tindakan Raja terhadap kerajaannya.

Beberapa faedah dari kisah di atas:
1- Raja yang zalim akan terus mencari pewarisnya dan ingin kekuasaannya terus ada.
2- Raja atau penguasa yang tidak berhukum dengan syari’at Allah biasa menggunakan dukun dan sihir untuk mendukung kekuasaannya, seperti ini tetap terus ada hingga saat ini.
3- Anjuran mengajari anak sejak kecil karena hasilnya lebih mudah melekat dibanding sudah besar. Seperti kata pepatah arab, innal ‘ilma fish shighor kan-naqsyi fil hajar, artinya sesungguhnya ilmu ketika kecil seperti memahat di batu. Artinya, ilmu ketika kecil itu lebih kokoh.
4- Adanya karomah para wali. Wali Allah adalah orang yang beriman dan bertakwa.
5- Hati hamba di tangan Allah. Allah sesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk pada siapa yang Dia kehendaki. Pemuda dalam kisah ini padahal dalam pengasuhan raja dan pengajaran tukang sihir, namun ia bisa mendapat hidayah pada kebenaran.
6- Pemuda ini menyandarkan penyembuhan pada Allah, bukan pada dirinya. Sehingga hal ini menunjukkan janganlah tertipu dengan karomah atau kejadian aneh yang bisa diperbuat seseorang.
7- Boleh menguji kebenaran seseorang ketika dalam kondisi ragu atau hati yang berguncang. Seperti pemuda ini menguji apakah yang benar adalah tukang sihir ataukah rahib (pendeta) dengan melempar binatang besar.
8- Pendeta tadi menyarankan pada pemuda untuk mengatakan “Jika engkau khawatir pada tukang sihir tersebut, maka katakan saja bahwa keluargaku menahanku. Jika engkau khawatir pada keluargamu, maka katakanlah bahwa tukang sihir telah menahanku.” Ini menunjukkan bahwa mengakal-akali orang lain (berbohong) itu boleh jika ada maslahat seperti saat perang atau untuk menyelematkan diri.
9- Ada orang beriman yang digergaji demi mempertahankan imannya.
10- Allah selalu memenangkan kebenaran dan menolong orang yang berpegang teguh pada kebenaran.
11- Boleh bagi seseorang mengorbankan dirinya sendiri jika ada maslahat agama yang besar seperti pemuda ini yang mengorbankan dirinya dan membuat seluruh rakyat beriman pada Allah.
12- Nampak jelas perbedaan thoghut dan da’i ilallah. Thoghut mengajak manusia supaya menjadikan ibadah pada sesembahan selain Allah. Sedangkan da’i ilallah mengajak manusia  peribadatan pada Allah saja.
13- Kadang seorang wali Allah diberi karomah berulang kali, tujuannya untuk mengokohkan imannya.
14- Orang kafir tidak bisa membantah argumen dari orang beriman. Yang  membuat mereka menolak kebenaran adalah karena sifat sombong yang ada pada mereka.
15- Orang yang zalim akan menindak orang yang tidak mau manut pada perintahnya dan menindak setiap orang yang beriman pada Allah, tujuannya supaya kekuasaan dunia mereka langgeng.
16- Melalui orang zalim dapat muncul bukti kebenaran. Rakyat dalam kisah ini beriman kepada Allah disebabkan karena kokoh, jujur dan ketakutan pemuda ini hanya pada Allah.
17- Di antara bayi yang bisa berbicara padahal masih dalam momongan adalah bayi dalam kisah ini, selain itu juga ada bayi yang diajak bicara oleh Juraij dan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam. Jadi, ada tiga bayi yang bisa bicara ketika masih dalam momongan.
18- Cerita ini menunjukkan mukjizat Al Qur’an karena cerita ini hampir dilupakan dalam sejarah dan disebutkan dalam Al Qur’an.
19- Boleh mengajari orang lain dengan menyebutkan kisah seperti ini. Karena kadang dengan nasehat langsung sukar diterima, beda halnya dengan menyampaikan kisah.
20- Setiap pemuda hendaklah mencontoh perjuangan pemuda dalam kisah ini, yaitu hendaklah ia berpegang teguh pada kebenaran dan terus bersabar, jangan sampai terjerumus dalam jalan kesesatan walau diancam dengan nyawa.
21- Wajib bagi setiap orang yang diuji keimanannya untuk bersabar, meski harus mengorbankan nyawa. Namun dalam masalah ini ada dua rincian:
(1)    Maslahatnya kembali pada diri sendiri. Ketika diperintahkan mengucapkan kalimat kufur, misalnya, maka ia bisa memilih mengucapkannya ketika dipaksa, asalkan hati dalam keadaan tetap beriman. Ia juga boleh memilih untuk tidak mau mengucapkan walau sampai mengorbankan nyawanya.
(2)    Maslahatnya kembali pada orang banyak. Misalnya, kalau seandainya ia kafir di hadapan orang banyak, maka orang lain pun bisa ikut sesat. Dalam kondisi ini tidak boleh seseorang mengucapkan kalimat kufur, ia harus bersabar walau sampai dihilangkan nyawa. Hal ini dapat kita temukan dalam kisah Imam Ahmad yang masyhur. Ketika ia dipaksa mengucapkan ‘Al Qur’an itu makhluk, bukan kalam Allah’. Imam Ahmad enggan dan akhirnya ia disakiti dengan dicambuk. Tetapi beliau tetap kokoh memegang prinsip Al Qur’an itu kalam Allah, bukan makhkuk. Jika Imam Ahmad tidak memegang prinsipnya tersebut, tentu manusia akan ikut sesat.
22- Hadits ini juga menunjukkan terkabulnya do’a orang yang dalam kondisi terjepit seperti do’a pemuda ini ketika ingin dilempar dari gunung dan ditenggelamkan di tengah lautan.
23- Kisah ini mengajarkan wajibnya bersabar ketika disakiti padahal berada dalam kebenaran.
Semoga kita bisa memetik pelajaran-pelajaran berharga dari kisah pemuda ini.‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...