Rabu, 20 Oktober 2021

Disaat Sangkakala Ditiup Bergoncanglah Alam


Allah akan memerintahkan malaikat Israfil untuk meniup ‘Shur’ (terompet sangkakala) sebanyak tiga kali tiupan bila waktu kehancuran dunia dan alam semesta (kiamat) telah tiba.

Tiupan Pertama, Tiupan Guncangan

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman:

وَيَوْمَ يُنْفَخُ فِي الصُّورِ فَفَزِعَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ إِلا مَنْ شَاءَ اللَّهُ وَكُلٌّ أَتَوْهُ دَاخِرِينَ (87) وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ (88) مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ خَيْرٌ مِنْهَا وَهُمْ مِنْ فَزَعٍ يَوْمَئِذٍ آمِنُونَ (89) وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَكُبَّتْ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ هَلْ تُجْزَوْنَ إِلا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (90) 

Dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, maka terkejutlah segala yang di langit dan segala yang di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah, Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri. Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka semua tetap di tempatnya, padahal semuanya berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Barang siapa yang membawa kebaikan, maka ia memperoleh (balasan) yang lebih baik darinya, sedangkan mereka itu adalah orang-orang yang aman tenteram dari kejutan yang dahsyat pada hari itu. Dan barang siapa yang membawa kejahatan, maka disungkurkanlah muka mereka ke dalam neraka. Tiadalah kamu dibalasi, melainkan (setimpal) dengan apa yang dahulu kamu kerjakan. (QS An-Naml Ayat 87-90)

Allah Swt. menceritakan tentang dahsyatnya hari sangkakala ditiup pada tiupan yang pertama, yaitu tiupan yang membuat semua makhluk terkejut karena kedahsyatannya. Di dalam hadis disebutkan bahwa sur adalah sangkakala yang ditiup. Di dalam hadis sangkakala ini disebutkan bahwa Malaikat Israfil-lah yang melakukan tiupan padanya atas perintah dari Allah Swt. Tiupan yang pertama, yaitu tiupan yang mematikan semua makhluk, dilakukan sangat lama. Hal ini terjadi di saat usia dunia habis, yaitu pada hari kiamat terjadi yang hanya menimpa orang-orang yang jahat saja yang ada saat itu, maka terkejutlah (matilah) semua makhluk yang ada di langit dan yang ada di bumi.

{إِلا مَنْ شَاءَ اللَّهُ}

kecuali siapa yang dikehendaki Allah. (An-Naml: 87)
Mereka adalah para syuhada, karena sesungguhnya mereka hidup di sisi Tuhannya dengan diberi rezeki.

قَالَ الْإِمَامُ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ: حَدَّثَنَا عُبَيد اللَّهِ بْنِ مُعاذ الْعَنْبَرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ سَالِمٍ: سَمِعْتُ يَعْقُوبَ بْنَ عَاصِمِ بْنِ عُرْوَة بْنِ مَسْعُودٍ الثَّقَفِيَّ، سَمِعْتُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: مَا هَذَا الْحَدِيثُ الَّذِي تَحدث إِنَّ السَّاعَةَ تَقُومُ إِلَى كَذَا وَكَذَا؟ فَقَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ -أَوْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ -أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهُمَا -لَقَدْ هَمَمْتُ أَلَّا أُحَدِّثَ أَحَدًا شَيْئًا أَبَدًا، إِنَّمَا قُلْتُ: إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدَ قَلِيلٍ أَمْرًا عَظِيمًا يُخَرِّبُ الْبَيْتُ، وَيَكُونُ وَيَكُونُ. ثُمَّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَخْرُجُ الدَّجَّالُ فِي أُمَّتِي فَيَمْكُثُ أَرْبَعِينَ -[لَا أَدْرِي أَرْبَعِينَ] يَوْمًا، أَوْ أَرْبَعِينَ شَهْرًا، أَوْ أَرْبَعِينَ عَامًا -فَيَبْعَثُ الله عيسى بن مَرْيَمَ كَأَنَّهُ عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ، فَيَطْلُبُهُ فَيُهْلِكُهُ. ثُمَّ يَمْكُثُ النَّاسُ سَبْعَ سِنِينَ، لَيْسَ بَيْنَ اثْنَيْنِ عَدَاوَةٌ، ثُمَّ يُرْسِلُ اللَّهُ رِيحًا بَارِدَةً مِنْ قِبَلِ الشَّامِ، فَلَا يَبْقَى عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ أَحَدٌ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ أَوْ إِيمَانٍ إِلَّا قَبَضَتْهُ، حَتَّى لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ دَخَلَ فِي كَبَدِ جَبَلٍ لدخَلَتْه عَلَيْهِ حَتَّى تَقْبِضَهُ". قَالَ: سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: "فَيَبْقَى شِرَارُ النَّاسِ فِي خِفَّةِ الطَّيْرِ وَأَحْلَامِ السِّبَاعِ، لَا يَعْرِفُونَ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُونَ مُنْكَرًا، فَيَتَمَثَّلُ لَهُمُ الشَّيْطَانُ فَيَقُولُ: أَلَا تَسْتَجِيبُونَ؟ فَيَقُولُونَ: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ فَيَأْمُرُهُمْ بِعِبَادَةِ الْأَوْثَانِ، وَهُمْ فِي ذَلِكَ دَارٌّ رِزْقُهُمْ، حسنٌ عَيْشُهُمْ. ثُمَّ يُنْفَخُ فِي الصُّورِ فَلَا يَسْمَعُهُ أَحَدٌ إِلَّا أَصْغَى لِيتًا [وَرَفَعَ لِيتًا]. قَالَ: "وَأَوَّلُ مَنْ يَسْمَعُهُ رَجُلٌ يَلُوط حَوْضَ إِبِلِهِ". قَالَ: "فَيَصْعَقُ ويَصعقُ النَّاسُ، ثُمَّ يُرْسِلُ اللَّهُ -أَوْ قَالَ: يُنْزِلُ اللَّهُ مَطَرًا كَأَنَّهُ الطَّل -أَوْ قَالَ: الظِّلُّ -نُعْمَانُ الشَّاكُّ -فَتَنْبُتُ مِنْهُ أَجْسَادُ النَّاسِ، ثُمَّ ينفَخُ فِيهِ أُخْرَى فَإِذَا هُمْ قِيَامٌ يَنْظُرُونَ. ثُمَّ يُقَالُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، هَلُمُّوا إِلَى رَبِّكُمْ، وَقِفُوهُمْ إِنَّهُمْ مسؤولون. ثُمَّ يُقَالُ: أَخْرِجُوا بَعْثَ النَّارِ. فَيُقَالُ: مِنْ كَمْ؟ فَيُقَالُ: مِنْ كُلِّ أَلْفٍ تِسْعَمِائَةٍ وَتِسْعَةً وَتِسْعِينَ". قَالَ: "فَذَلِكَ يَوْمٌ يَجْعَلُ الْوِلْدَانَ شَيْبًا، وَذَلِكَ يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ"

Imam Muslim ibnul Hajjaj mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Mu'az Al-Anbari, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari An-Nu'man ibnu Salim; ia pernah mendengar Ya'qub ibnu Asim ibnu Urwah ibnu Mas'ud As-Saqafi mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Amr saat didatangi oleh seorang lelaki yang bertanya kepadanya, "Apakah ada hadis yang menyebutkan bahwa hari kiamat itu terjadinya sampai anu dan anu?" Ibnu Amr menjawab dengan mengucapkan kalimatSubhanallah (Mahasuci Allah) atau La Ilaha Illallah(Tidak ada Tuhan selain Allah) atau kalimat yang semisal dengan keduanya. Selanjutnya ia mengatakan, sesungguhnya ia hampir saja tidak akan menceritakan kepada seorang pun sesuatu hal yang mengenainya selamanya. Sesungguhnya yang pernah kukatakan ialah kelak kalian akan menyaksikan suatu peristiwa yang besar yang merusak Baitullah dalam waktu yang tidak lama. Lalu disebutkan bahwa akan terjadi anu dan anu. Kemudian ia melanjutkan kisahnya, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kelak akan muncul Dajjal di kalangan umatku dan tinggal selama empat puluh —perawi mengatakan bahwa ia tidak mengetahui apakah yang dimaksud adalah empat puluh hari atau bulan atau tahun—. Lalu Allah mengirimkan Isa ibnu Maryam yang rupanya seperti Urwah ibnu Mas'ud. Maka Isa mengejar Dajjal dan membiasakannya. Kemudian manusia tinggal selama tujuh tahun tanpa ada persengketaan pun di antara dua orang. Setelah itu Allah mengirimkan angin sejuk dari arah negeri Syam, maka tiada seorang pun di muka bumi ini yang di dalam hatinya masih terdapat kebaikan atau iman sebesar zarrah, melainkan angin itu mencabut 'nyawanya. Sehingga andaikata seseorang dari kalian (yang beriman) bersembunyi di dalam gunung, niscaya angin itu memasukinya hingga mencabut nyawanya. Abdullah ibnu Amr melanjutkan, bahwa dia mendengarnya dari Rasulullah Saw: Maka yang tertinggal hanyalah orang-orang yang jahat saja (di muka bumi ini); mereka sangat kurang akalnya dan mempunyai naluri hewan pemangsa; mereka tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari perbuatan mungkar. Lalu muncullah setan kepada mereka seraya berkata "Maukah kalian taat kepadaku?" Mereka bertanya, "Apakah yang akan engkau perintahkan kepada kami?" Setan memerintahkan kepada mereka menyembah berhala (mereka menurutinya), dan sekalipun demikian rezeki mereka berlimpah dan penghidupan mereka baik. Kemudian ditiuplah sangkakala, maka tidak sekali-kali seseorang mendengarnya melainkan ia buka lebar-lebar telinganya mendengarkan­nya. Orang yang mula-mula mendengarnya ialah seorang lelaki yang sedang berada di dalam kolam ternak untanya (membersihkannya). Lalu matilah ia, dan semua manusia pun mati. Sesudah itu Allah mengirimkan atau menurunkan hujan yang sangat deras seperti pekatnya naungan (awan). Maka tumbuhlah jasad-jasad karenanya (dari bumi). Kemudian ditiup lagi sangkakala untuk kedua kalinya, maka dengan serta merta mereka bangkit dan menunggu. Lalu dikatakan, "Hai manusia, menghadaplah kalian kepada Tuhan kalian!" (Dikatakan kepada para malaikat), "Berdirikanlah mereka, sesungguhnya mereka akan dimintai pertanggungjawabannya." Kemudian dikatakan, "Keluarkanlah orang-orang yang akan dikirim ke neraka!" Ditanyakan, "Berapakah jumlahnya?" Dijawab, "Dari tiap seribu orang sebanyak sembilan ratus sembilan puluh sembilan orang." Abdullah ibnu Amr mengatakan bahwa yang demikian itu terjadi di hari (yang pada hari itu) anak-anak menjadi beruban (karena kesusahan yang sangat di hari itu), dan hari itu adalah hari disingkapkannya betis-betis.

Yang dimaksud dengan kata اللِّيتُ ialah leher, maksudnya memiringkan lehernya untuk mendengarkannya dengan baik suara dari langit itu. Hal inilah yang dimaksud dengan tiupan yang mengejutkan, lalu tiupan yang berikutnya adalah yang mematikan semua makhluk. Dan tiupan yang ketiga adalah tiupan yang membangkitkan semua makhluk untuk menghadap kepada Tuhan semesta alam. Inilah yang dimaksud dengan hari berbangkit bagi semua makhluk dari kuburnya masing-masing.
Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

{وَكُلٌّ أَتَوْهُ دَاخِرِينَ}

Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri. (An-Naml: 87)
Yakni dalam keadaan rendah lagi tunduk, tiada seorang pun yang menentang perintah-Nya. Seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{يَوْمَ يَدْعُوكُمْ فَتَسْتَجِيبُونَ بِحَمْدِهِ}

yaitu pada hari Dia memanggil kamu, lalu kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya. (Al-Isra: 52)

{ثُمَّ إِذَا دَعَاكُمْ دَعْوَةً مِنَ الأرْضِ إِذَا أَنْتُمْ تَخْرُجُونَ}

Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur). (Ar-Rum: 25)

Di dalam hadis mengenai sangkakala disebutkan bahwa dalam tiupan yang ketiga Allah memerintahkan (para malaikat) untuk meletakkan semua roh pada lubang-lubang sangkakala. Kemudian Malaikat Israfil melakukan tiupan padanya setelah semua jasad dan tubuh muncul dari kuburnya masing-masing dan dari tempat-tempatnya. Apabila tiupan dilakukan, maka beterbanganlah roh-roh itu; roh orang-orang mukmin berkilauan mengeluarkan cahaya terang, sedangkan roh orang-orang kafir gelap (hitam). Lalu Allah Swt. berfirman, "Demi kebesaran dan Keagungan-Ku, sungguh setiap roh harus kembali ke jasadnya masing-masing." Maka roh-roh itu datang kepada jasadnya masing-masing dan merasuk ke dalam tubuhnya sebagaimana racun yang menjalar di tubuh orang yang terkena patukan hewan beracun. Kemudian mereka bangkit berdiri seraya menepiskan debu yang berasal dari kuburan mereka. Allah Swt. berfirman menggambarkan kejadian ini:

{يَوْمَ يَخْرُجُونَ مِنَ الأجْدَاثِ سِرَاعًا كَأَنَّهُمْ إِلَى نُصُبٍ يُوفِضُونَ}

(yaitu) pada hari mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala (sewaktu di dunia). (Al-Ma'arij: 43)

Adapun firman Allah Swt.:

{وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ}

Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (An-Naml: 88)

Maksudnya, kamu lihat gunung-gunung itu seakan-akan tetap di tempatnya seperti semula, padahal ia berjalan seperti jalannya awan, yakni bergerak meninggalkan tempat-tempatnya. Seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{يَوْمَ تَمُورُ السَّمَاءُ مَوْرًا وَتَسِيرُ الْجِبَالُ سَيْرًا}

pada hari ketika langit benar-benar berguncang, dan gunung-gunung benar-benar berjalan. (At-Tur: 9-10)

{وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْجِبَالِ فَقُلْ يَنْسِفُهَا رَبِّي نَسْفًا فَيَذَرُهَا قَاعًا صَفْصَفًا لَا تَرَى فِيهَا عِوَجًا وَلا أَمْتًا}

Dan mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, maka katakanlah, "Tuhanku akan menghancurkannya (di hari kiamat) sehancur-hancurnya, maka Dia akan menjadikan (bekas)gunung-gunung itu datar sama sekali, tidak ada sedikit pun kamu lihat padanya tempat yang rendah dan yang tinggi-tinggi. (Taha: 105­-107)
Dan firman Allah Swt.:

{وَيَوْمَ نُسَيِّرُ الْجِبَالَ وَتَرَى الأرْضَ بَارِزَةً}

Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan melihat bumi itu datar. (Al-Kahfi: 47)

Adapun firman Allah Swt.:

{صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ}

(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu. (An-Naml: 88)

Artinya, Dia melakukannya dengan kekuasaan-Nya Yang Mahabesar. yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu. (An-Naml: 88) Yaitu yang membuat semua ciptaan-Nya dengan serapi-rapinya dan membekalinya dengan kebijakan yang diperlukan oleh masing-masingnya.

{إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ}

sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (An-Naml: 88)
Yakni Dia Maha Mengetahui semua yang diperbuat oleh hamba-hamba-Nya amal baik dan amal buruk mereka, dan kelak Dia akan memberikan balasan amal perbuatan mereka itu dengan sempurna.

Kemudian Allah Swt. menyebutkan perihal orang-orang yang berbahagia dan orang-orang yang celaka di hari kiamat itu. Maka Dia berfirman:

{مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ خَيْرٌ مِنْهَا}

Barang siapa yang membawa kebaikan, maka ia memperoleh (balasan) yang lebih baik daripadanya. (An-Naml: 89)

Qatadah mengatakan bahwa dengan syarat ikhlas. Zainul Abidin mengatakan, yang dimaksud dengan kebaikan ialah kalimah "Tidak ada Tuhan selain Allah." Allah Swt. telah menjelaskan pada ayat lain bahwa pahala suatu amal kebaikan itu adalah sepuluh kali lipatnya.
Firman Allah Swt.:

{وَهُمْ مِنْ فَزَعٍ يَوْمَئِذٍ آمِنُونَ}

sedangkan mereka itu adalah orang-orang yang aman tenteram dari kejutan yang dahsyat pada hari itu. (An-Naml: 89)
Sama seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{لَا يَحْزُنُهُمُ الْفَزَعُ الأكْبَرُ}

Mereka tidak disusahkan oleh kedahsyatan yang besar (pada hari kiamat). (Al-Anbiya: 103)

{أَفَمَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ خَيْرٌ أَمْ مَنْ يَأْتِي آمِنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ}

Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat.(Fussilat: 40)
Dan firman Allah Swt.:

{وَهُمْ فِي الْغُرُفَاتِ آمِنُونَ}

dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga). (Saba':37)
Adapun firman Allah Swt.:

{وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَكُبَّتْ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ}

Dan barang siapa yang membawa kejahatan, maka disungkurkan muka mereka ke dalam neraka. (An-Naml: 90)

Artinya, barang siapa yang datang menghadap kepada Allah dalam keadaan penuh dengan kejahatan dan sama sekali tiada kebaikan padanya, atau amal buruknya lebih berat daripada amal baiknya, maka ia akan menemui balasannya yang sesuai dengan keburukannya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:

{هَلْ تُجْزَوْنَ إِلا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ}

Tiadalah kamu dibalasi, melainkan (setimpal) ‎dengan apa yang dahulu kamu kerjakan. (An-Naml: 90)

Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Anas ibnu Malik, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Mujahid, Ibrahim An-Nakha'i, Abu Wa'il, Abu Saleh, Muhammad ibnu Ka'b, Zaid ibnu Aslam, Az-Zuhri, As-Saddi, Ad-Dahhak, Al-Hasan, Qatadah, dan Ibnu Zaid, semuanya mengatakan sehubungan dengan makna fiman-Nya: Dan barang siapa.yang membawa kejahatan. (An-Naml: 90) bahwa yang dimaksud adalah kemusyrikan.

Tiupan Kedua, Tiupan Kejutan (Pingsan) dan Kematian

Malaikat Israfil akan diperintahkan oleh Allah untuk meniupkan ‘Shur’ (terompet sangkakala) sebanyak tiga kali tiupan bilakiamat telah tiba. Setelah tiupan pertama, Allah memerintahakan ‘Shur’ pada kali yang kedua.

Pada tiupan kedua ini, maka terkejutlah (pingsan) dan matilah semua makhluk yang berada di langit dan di bumi (termasuk para nabi dan syahid) kecuali mereka-mereka yang dikehendaki oleh Allah, yaitu: Jibril, Mikail, Israfil, Izrail dan empat malaikat pembawa Arsy. Malaikat para pembawa ‘Arsy adalah berjumlah empat malaikat, maka apabila telah berdiri hari kiamat ‎bergabunglah mereka kepada empat malaikat yang lain.
Firman-Nya
وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَصَعِقَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ إِلا مَنْ شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ نُفِخَ فِيهِ أُخْرَى فَإِذَا هُمْ قِيَامٌ يَنْظُرُونَ (68) وَأَشْرَقَتِ الأرْضُ بِنُورِ رَبِّهَا وَوُضِعَ الْكِتَابُ وَجِيءَ بِالنَّبِيِّينَ وَالشُّهَدَاءِ وَقُضِيَ بَيْنَهُمْ بِالْحَقِّ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ (69) وَوُفِّيَتْ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَا يَفْعَلُونَ (70) 

Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiuplah sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing). Dan terang benderanglah bumi (padang mahsyar) ‎dengan cahaya (keadilan) Tuhannya; dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedangkan mereka tidak dirugikan. Dan disempurnakan bagi tiap-tiap jiwa (balasan)apa yang telah dikerjakannya dan Dia lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan.  (QS Az-Zumar; 68-70)‎

Allah Swt. menceritakan tentang kengerian yang terjadi pada hari kiamat berikut terjadinya tanda-tanda kekuasaan Allah yang besar dan gempa yang dahsyat.
Firman Allah Swt.:

{وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَصَعِقَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ إِلا مَنْ شَاءَ اللَّهُ}

Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. (Az-Zumar: 68)

Ini adalah tiupan yang kedua, yaitu tiupan yang sesudahnya semua makhluk hidup yang ada di langit dan yang ada di bumi mati, kecuali orang yang dikehendaki Allah tidak terpengaruh karenanya, sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadis sangkakala yang terkenal itu.

Kemudian semua roh dicabut sehingga yang paling akhir mati adalah malaikat maut, sehingga Yang Hidup hanyalah Tuhan Yang Mahakekal Yang terus-menerus mengurus makhluk-Nya; Dialah Yang Mahapertama yang tiada awalnya dan Yang Mahaakhir yang tiada akhirnya, kemudian Dia berfirman:

{لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ}

Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? (Al-Mu’min: 16)
sebanyak tiga kali. Kemudian Allah Swt. menjawab sendiri pertanyaan­-Nya itu:

{لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ}

Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Al-Mu’min: 16)

Yakni hanya Aku sematalah Yang mengalahkan segala sesuatu, dan Aku telah putuskan fana terhadap segala sesuatu. Kemudian Allah menghidupkan makhluk-Nya, dan yang mula-mula Dia hidupkan adalah Malaikat Israfil, lalu Dia memerintahkan kepadanya agar melakukan tiupan lain pada sangkakala, yaitu tiupan yang ketiga alias tiupan berbangkit. Allah Swt. telah berfirman:

{ثُمَّ نُفِخَ فِيهِ أُخْرَى فَإِذَا هُمْ قِيَامٌ يَنْظُرُونَ}

Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing). (Az-Zumar: 68)

Yaitu mereka menjadi hidup kembali yang sebelumnya masih berupa tulang belulang yang telah hancur berantakan, lalu mereka menyaksikan kengerian-kengerian yang terjadi di hari kiamat. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:

{فَإِنَّمَا هِيَ زَجْرَةٌ وَاحِدَةٌ فَإِذَا هُمْ بِالسَّاهِرَةِ}

Sesungguhnya pengembalian itu hanyalah dengan satu kali tiupan saja, maka dengan serta merta mereka hidup kembali di permukaan bumi. (An-Nazi'at: 13-14)

{يَوْمَ يَدْعُوكُمْ فَتَسْتَجِيبُونَ بِحَمْدِهِ وَتَظُنُّونَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلا قَلِيلا}

yaitu pada hari Dia memanggil kalian, lalu kalian mematuhi­nya sambil memuji-Nya dan kalian mengira bahwa kamu tidak berdiam (di dalam kubur) kecuali sebentar saja. (Al-Isra: 52)

Dan firman Allah Swt.:

{وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ تَقُومَ السَّمَاءُ وَالأرْضُ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِذَا دَعَاكُمْ دَعْوَةً مِنَ الأرْضِ إِذَا أَنْتُمْ تَخْرُجُونَ}

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan kehendak-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur). (Ar-Rum: 25)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ سَالِمٍ قَالَ: سمعت يَعْقُوبَ بْنَ عَاصِمِ بْنِ عُرْوَةَ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَجُلًا قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو: إِنَّكَ تَقُولُ: السَّاعَةُ تَقُومُ إِلَى كَذَا وَكَذَا؟ قَالَ: لَقَدْ هَمَمْتُ أَلَّا أُحَدِّثَكُمْ شَيْئًا، إِنَّمَا قُلْتُ: سَتَرَوْنَ بَعْدَ قَلِيلٍ أَمْرًا عَظِيمًا. ثُمَّ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَخْرُجُ الدَّجَّالُ فِي أُمَّتِي، فَيَمْكُثُ فِيهِمْ أَرْبَعِينَ-لَا أَدْرِي أَرْبَعِينَ يَوْمًا أَوْ أَرْبَعِينَ عَامًا أَوْ أَرْبَعِينَ شَهْرًا أَوْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً -فَيَبْعَثُ اللَّهُ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ، كَأَنَّهُ عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ الثَّقَفِيُّ، فَيَظْهَرُ فَيُهْلِكُهُ اللَّهُ. ثُمَّ يَلْبَثُ النَّاسُ بَعْدَهُ سِنِينَ سَبْعًا لَيْسَ بَيْنَ اثْنَيْنِ عَدَاوَةٌ، ثُمَّ يُرْسِلُ اللَّهُ رِيحًا بَارِدَةً مِنْ قِبَلِ الشَّامِ، فَلَا يَبْقَى أَحَدٌ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ إِيمَانٍ إِلَّا قَبَضَتْهُ، حَتَّى لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ كَانَ فِي كَبِدِ جَبَلٍ لَدَخَلَتْ عَلَيْهِ". قَالَ: سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَيَبْقَى شِرَارُ النَّاسِ فِي خِفَّةِ الطَّيْرِ، وَأَحْلَامِ السِّبَاعِ، لَا يَعْرِفُونَ مَعْرُوفًا، وَلَا يُنْكِرُونَ مُنْكَرًا". قَالَ: "فَيَتَمَثَّلُ لَهُمُ الشَّيْطَانُ فَيَقُولُ: أَلَا تَسْتَجِيبُونَ؟ فَيَأْمُرُهُمْ بِالْأَوْثَانِ فَيَعْبُدُونَهَا، وَهُمْ فِي ذَلِكَ دَارَّةٌ أَرْزَاقُهُمْ، حَسَنٌ عَيْشُهُمْ. ثُمَّ يُنْفَخُ فِي الصُّورِ فَلَا يَسْمَعُهُ أَحَدٌ إِلَّا أَصْغَى لَهُ، وَأَوَّلُ مَنْ يَسْمَعُهُ رَجُلٌ يَلُوطُ حَوْضَهُ، فَيُصْعَقُ، ثُمَّ لَا يَبْقَى أَحَدٌ إِلَّا صُعِقَ. ثُمَّ يُرْسِلُ اللَّهُ -أَوْ: يُنْزِلُ اللَّهُ مَطَرًا كَأَنَّهُ الطَّلُّ-أَوِ الظِّلُّ شَكَّ نُعْمَانُ -فَتَنْبُتُ مِنْهُ أَجْسَادُ النَّاسِ. ثُمَّ يُنْفَخُ فِيهِ أُخْرَى فَإِذَا هُمْ قِيَامٌ يَنْظُرُونَ، ثُمَّ يُقَالُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، هَلُمُّوا إِلَى رَبِّكُمْ: {وَقِفُوهُمْ إِنَّهُمْ مَسْئُولُونَ} [الصَّافَّاتِ:24] ، قَالَ: "ثُمَّ يُقَالُ: أَخْرِجُوا بَعْثَ النَّارِ". قَالَ: "فَيُقَالُ: كَمْ؟ فَيُقَالُ: مِنْ كُلِّ أَلْفٍ تِسْعَمِائَةٍ وَتِسْعَةً وَتِسْعِينَ فَيَوْمَئِذٍ تُبْعَثُ الْوِلْدَانُ شِيبًا، وَيَوْمَئِذٍ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari An-Nu'man ibnu Salim yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ya'qub ibnu Asim ibnu Urwah ibnu Mas'ud mengatakan bahwa ia pernah mendengar seorang lelaki bertanya kepada Abdullah ibnu Amr r.a., "Sesungguhnya engkau mengatakan bahwa hari kiamat itu terjadinya sampai ada anu dan anu." Abdullah ibnu Amr menjawab, "Sesungguhnya aku telah berniat tidak akan menceritakan kepada kalian sesuatu pun tentangnya. Sesungguhnya yang pernah kukatakan hanyalah bahwa kelak tidak lama lagi kalian akan menyaksikan peristiwa yang besar." Kemudian Abdullah ibnu Amr r.a. melanjutkan, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Dajjal akan muncul di kalangan umatku dan tinggal di kalangan mereka selama empat puluh —perawi tidak ingat apakah yang dimaksud empat puluh hari, atau empat puluh bulan, atau empat puluh tahun, ataukah empat puluh malam— Lalu Allah Swt. mengirimkan Isa putra Maryam a.s. seakan-akan rupanya seperti Urwah ibnu Mas'ud As- Saqafi, lalu Isa mengalahkan Dajjal dan Allah Swt. membinasakannya. Setelah itu manusia tinggal selama tujuh tahun sesudah Isa, tanpa ada suatu persengketaan pun di antara dua orang. Kemudian Allah mengirimkan suatu angin yang sejuk dari arah Syam, maka tiada seorang pun yang di dalam kalbunya terdapat iman sebesar zarrah pun melainkan angin itu mencabut nyawanya. Hingga sekalipun seseorang dari mereka sedang berada di dalam sebuah gunung, niscaya angin itu menyusup ke dalamnya dan mengenainya.Abdullah ibnu Amr menegaskan bahwa ia mendengarnya dari Rasulullah Saw., lalu ia melanjutkan: Dan yang tertinggal adalah orang-orang yang jahat saja, gerakan mereka sangat ringan seperti burung dan pikiran mereka seperti serigala; mereka tidak mengenal hal yang makruf dan tidak mengingkari hal yang mungkar. Abdullah ibnu Amr melanjutkan: Maka setan menampakkan dirinya kepada mereka, lalu berkata, "Ingatlah, kalian harus mengikuti perintahku!" Lalu setan memerintahkan kepada mereka untuk menyembah berhala, maka mereka menyembahnya. Sedangkan mereka yang dalam keadaan demikian itu rezeki mereka berlimpah dan penghidupan mereka membaik. Kemudian ditiuplah sangkakala, maka tiada seorang pun yang mendengarnya melainkan langsung mati saat itu juga dalam keadaan apa pun. Dan mula-mula orang yang mendengarnya adalah seorang lelaki yang sedang memlester kolamnya, maka ia mati. Dan tiada seorang pun melainkan mati. Kemudian Allah Swt. mengirimkan atau menurunkan hujan yang rintik-rintik atau hujan lebat An-Nu'man alias perawi ragu‎. Maka muncullah karenanya jasad-jasad manusia. Kemudian sangkakala ditiup lagi, maka dengan serta merta mereka berdiri melihat. Kemudian dikatakan, "Hai manusia, kemarilah kalian menghadap kepada Tuhan kalian, dan berhentikanlah mereka, sesungguhnya mereka akan dimintai pertanggungjawabannya." Abdullah ibnu Amr melanjutkan: Kemudian dikatakan(kepada para malaikat), "Bangkitkanlah golongan orang-orang yang masuk neraka!" Ditanyakan, "Berapa jumlah mereka?” Dijawab, "Dari setiap seribu orang adalah sembilan ratus sembilan puluh sembilan orang.” Maka pada hari itu anak-anak dibangkitkan dalam keadaan beruban, dan pada hari itu betis disingkapkan.

Imam Muslim di dalam kitab sahihnya meriwayatkan hadis ini secara munfarid (tunggal).

Hadis Abu Hurairah r.a.

قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ [رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ] عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "بَيْنَ النَّفْخَتَيْنِ أَرْبَعُونَ". قَالُوا: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، أَرْبَعُونَ يَوْمًا؟ قَالَ: أَبَيْتُ، قَالُوا: أَرْبَعُونَ سَنَةً؟ قَالَ: أبي، قَالُوا: أَرْبَعُونَ شَهْرًا؟ قَالَ: أَبَيْتُ، وَيَبْلَى كُلُّ شَيْءٍ مِنَ الْإِنْسَانِ إِلَّا عَجْبُ ذَنَبِهِ فِيهِ يُرَكَّبُ الْخَلْقُ

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Hafs ibnu Gayyas, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Saleh mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah r.a. menceritakan hadis berikut dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Tenggang masa di antara dua tiupan adalah empat puluh. Mereka bertanya, "Hai Abu Hurairah, apakah empat puluh hari?" Abu Hurairah menjawab, "Saya tidak mau mengatakannya." Mereka bertanya, "Apakah empat puluh tahun?" Abu Hurairah menjawab, "Aku tidak mau mengatakannya." Mereka bertanya, "Hai Abu Hurairah, apakah empat puluh bulan?" Abu Hurairah menjawab, "Aku tidak mau mengatakannya. Dan segala sesuatu dari manusia itu hancur kecuali tulang ekornya, karena darinya manusia diciptakan kembali."

قَالَ أَبُو يَعْلَى: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ، حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ [رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ] ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "سَأَلْتُ جِبْرِيلَ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ: {وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَصَعِقَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ إِلا مَنْ شَاءَ اللَّهُ} مَنِ الَّذِينَ لَمْ يَشَأِ اللَّهُ أَنْ يَصْعَقَهُمْ؟ قَالَ: هُمُ الشُّهَدَاءُ، مُقَلِّدُونَ أَسْيَافَهُمْ حَوْلَ عَرْشِهِ، تَتَلَقَّاهُمْ مَلَائِكَةُ يَوْمِ الْقِيَامَةِ إِلَى الْمَحْشَرِ بِنَجَائِبَ مِنْ يَاقُوتٍ نِمَارُهَا أَلْيَنُ مِنَ الْحَرِيرِ، مَدُّ خُطَاهَا مَدُّ أَبْصَارِ الرِّجَالِ، يَسِيرُونَ فِي الْجَنَّةِ يَقُولُونَ عِنْدَ طُولِ النُّزْهَةِ: انْطَلَقُوا بِنَا إِلَى رَبِّنَا، عَزَّ وَجَلَّ، لِنَنْظُرَ كَيْفَ يَقْضِي بَيْنَ خَلْقِهِ، يَضْحَكُ إِلَيْهِمْ إِلَهِي، وَإِذَا ضَحِكَ إِلَى عَبْدٍ فِي مَوْطِنٍ فلا حساب عليه".

Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Mu'in, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Iyasy, dari Umar ibnu Muhammad, dari Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda bahwa beliau pernah bertanya kepada Jibril a.s. tentang firman-Nya: Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. (Az-Zumar: 68) Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang dikecualikan oleh Allah Swt. dalam ayat ini bahwa mereka tidak mati? Maka Jibril a.s. menjawab: Mereka adalah para syuhada yang menyandang pedang-pedang mereka berada di sekitar 'Arasy; para malaikat menjemput mereka pada hari kiamat untuk dibawa ke padang mahsyar dengan unta kendaraan dari Yaqut yang pelarianya lebih lembut daripada kain sutra, panjang langkahnya sama dengan sejauh jarak mata memandang; mereka berjalan di dalam surga seraya mengatakan dalam pesiarnya itu, "Marilah kita berangkat menuju kepada Tuhan kita, kita akan menyaksi­kan bagaimana Tuhan kita memutuskan perkara di antara makhluk-Nya.” Tuhanku tertawa (rida) kepada mereka; dan apabila Tuhanku rida kepada seseorang hamba di suatu tempat, maka tidak ada hisab (perhitungan amal perbuatan) baginya.

Semua perawi hadis ini berpredikat siqah kecuali gurunya Ismail ibnu Iyasy, karena orangnya tidak dikenal. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Firman Allah Swt.:

{وَأَشْرَقَتِ الأرْضُ بِنُورِ رَبِّهَا}

Dan terang benderanglah bumi (padang mahsyar)dengan cahaya (keadilan) Tuhannya. (Az-Zumar: 69)
Yakni hari kiamat menjadi terang benderang manakala Allah Swt. me­nampakkan diri-Nya untuk memutuskan peradilan di antara makhluk-Nya.

{وَوُضِعَ الْكِتَابُ}

dan diberikanlah buku (amal perbuatan masing-masing). (Az-Zumar: 69)
Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kitab ialah buku catatan amal perbuatan masing-masing orang.

{وَجِيءَ بِالنَّبِيِّينَ}

dan didatangkanlah para nabi. (Az-Zumar: 69)
Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa para nabi itu menyatakan persaksiannya terhadap umatnya masing-masing, bahwa mereka telah menyampaikan risalah-risalah Allah Swt. kepada umatnya masing-masing.

{وَالشُّهَدَاءِ}

dan saksi-saksi. (Az-Zumar: 69)
Yakni dari kalangan para malaikat pencatat amal perbuatan semua hamba, baik amal yang baik ataupun amal yang buruk.

{وَقُضِيَ بَيْنَهُمْ بِالْحَقِّ}

dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil. (Az-Zumar: 69)
Yang dimaksud dengan hak dalam ayat ini ialah adil.

{وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ}

sedangkan mereka tidak dirugikan. (Az-Zumar: 69)
Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:

{وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ}

Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkannya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan. (Al-Anbiya: 47)
Dan firman Allah Swt.:

{وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا}

Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah; dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (An-Nisa: 40)
Karena itulah disebutkan dalam surat ini melalui firman-Nya:

{وَوُفِّيَتْ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ}

Dan disempurnakan bagi tiap-tiap jiwa (balasan)apa yang telah dikerjakannya. (Az-Zumar: 70)
Yaitu amalan baik dan amalan buruknya.

{وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَا يَفْعَلُونَ}

dan Dia lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan. (Az-Zumar: 70)
Tiupan Ketiga, Tiupan Kebangkitan

Pada ‘Shur’ (terompet sangkakala) terdapat lobang-lobang yang banyak sesuai dengan jumlah roh atau nyawa semua makhluk, maka Israfil pun meniupnya dan terbanglah semua roh ke jasadnya masing-masing. Arwah kaum Mukminin akan terbang dengan memancarkan nur (cahaya) sedangkan arwah kaum kafir akan menimbulkan kegelapan, kemudian Allah berkata: “Demi kebesaran dan keperkasaanku semua roh harus benar-benar kembali kepada jasadnya yang dulunya ia huni di dunia”.

Dengan demikian bersemayamlah setiap roh di jasadnya dan setiapnya akan bangun dari kuburnya masing-masing sedangkan kepalanya masih bergelimang tanah, dan berkatalah orang-orang kafir: “Inilah adalah hari yang sulit”, sedangkan orang-orang Mu’min berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami”.

Bersentuhan Dengan Lawan Jenis Bisa Batalkan Wudhu


Salah satu yang dituntut bagi seorang muslim sebelum melaksanakan shalat adalah berwudhu’. Yang tanpa dilaksanakan yang satu ini shalat seseorang tiada artinya. Seorang muslim wajib mengetahui ilmu tentang bagaimana berwudhu’ yang benar dan apa saja yang berkaitan dengan hal itu. Sehingga amalan shalat yang dilakukan setelahnya tidak sia-sia, dalam arti kata; amal yang dilakukan seseorang sesuai tuntutan syariat.

Adapun hal yang harus diketahui oleh seorang muslim dalam berwudhu’ ini diantaranya tentang rukunya, sunnahnya, serta apa saja yang mebatalkan wudhu’ itu sendiri. Salah satu yang termasuk membatalkan wudhu’ itu sendiri diantaranya adalah menyentuh laki-laki akan seorang perempuan.

Secara umum, para ulama sepakat bahwa menyentuh laki-laki akan seorang perempuan yang bukan mahram dapat membatalkan wudhu’. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang suami yang menyentuh istrinya tanpa ada pembatas antara keduanya. Jika dilihat dari perbedaan pandangan ini terjadi akibat perbedaan dalam pentafsiran ayat al-Quran sebagai rujukan awal dalam penetapan hukum serta pandangan kedudukan hadits yang digunakan sebagai dalil hukumnya.

Batal wudhunya karena istri bukan muhrim, meskipun antara mereka berdua melakukan sentuhan dengan tanpa syahwat. Dalilnya adalah firman Allah berikut:

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih) (QS. Al-Maidah: 6)

Menurut imam syafii, kata لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ adalah bersentuhan antara kulit laki-laki dan perempuan bukan muhrim meski tanpa jimak.
Istidlalnya sebagai berikut:

Pada permulaan ayat, Allah swt menyebutkan mengenai mandi jinabah. Kemudian bersentuhan dengan perempuan diathafkan ke al-ghaith (berak) dengan huruf athaf أَوْ. Dari sini bisa dipahami bahwa menyentuh perempuan termasuk hadas kecil seperti orang melakukan berak. Ini berbeda dengan jinabah yang diharuskan mandi besar. Jadi yang dimaksudkan لَامَسْتُمُ  di sini adalah menyentuh dengan tangan dan bukan bermakna jimak.
1. Madzhab Hanafi‎

Al Kamal Ibnu Al Humam (w 681 H) dari madzhab hanafi di dalam kitab  Fathul Qadir berpendapat bahwa menyentuh wanita tidak membatalakan wudhu secara muthlaq, baik dengan syahwat ataupun tidak, dan yang membatalkan wudhu adalah berhubungan suami istri, karena kata لامستم yang terdapat dalam ayat diatas menurut beliau adalah adalah jima’.

ولا يجب من مجرد مسها ولو بشهوة ولو فرجها، خلافا للشافعي مطلقا، ولمالك إذا مس بشهوة. لنا في الأولى عدم دليل النقض بشهوة وبغير شهوة فيبقى الانتقاض على العدم، وقوله تعالى {أو لامستم النساء} مراد به الجماع وهو مذهب جماعة من الصحابة.

“Dan tidak wajib berwudhu dari menyentuh wanita sekalipun dengan adanya syahwat, sekalipun pada kemaluannya, berbeda dengan imam syafii yang mengatakn bahwa menyentuh wanita mewajibkan wudhu secara mutlaq, dan imam malik yang berpendapat bahwa menyentuh wanita mewajibkan wudhu jika disertai syahwat. Bagi kami tidak ada dalil yang menegaskan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu, baik dengan syahwat ataupun tidak, adapun firman allah: {أو لامستم النساء} yang dimaksud adalah Jima’, dan ini adlah pendapat sebagian sahabat”. ‎

Untuk memperkuat pendapatnya beliau berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mu’minin Aisyah radiallahu ‘anha:

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان يقبل بعض نسائه و لا يتوضأ

“Bahwasanya rasululah shallallahu alaihi wasallam mencium sebagian istrinya dan beliau tidak berwudhu setelah itu”. HR Bazzar

2. Madzhab Maliki
Imam Ibnu Abdi Al Barr (w 463 H) dari madzhab maliki dalam kitab Al Kafi Fi Fiqhi Ahli Al Madinah mengatakan bahwa mulamasah dalam ayat itu bukan jima’ akan tetapi muqaddimah jima’ seperti mencium atau meraba dengan syahwat, maka menurut beliau hal-hal itu membatalkan wudhu baik perbuatan itu disertai taladzdzudz(menikmati) atau tidak, baik wanita ajnabiyah (asing) ataupun mahramnya.

الملامسة، وهي ما دون الجماع من دواعي الجماع فمن قبل امرأة لشهوة كانت من ذوات محارمه أو غيرهن وجب عليه الوضوء التذ أم لم يلتذ.

“Mulamasah adalah hal yang dilakukan suami isteri tetapi tidak sampai kepada Jima’ seperti foreplay, orang yang mencium perempuan disertai syahwat baik itu mahramnya ataupun bukan maka ia wajib berwudhu, baik dengan taladzdzudz atau tidak” .‎

Adapun hanya sekedar menyentuh perempuan baik secara langsung atau dengan adanya penghalang seperti baju atau sejenisnya maka hal itu tidak membatalkan wudhu, kecuali jika sentuhan itu disertai taladzdzudz, kemudian beliau menyebutkan riwayat dari Imam Malik bahwa beliau tidak membedakan anggota tubuh mana yang membatalkan jika disentuh, baik itu rambutnya, giginya atau apapun dari tubuh wanita.

ومن قصد إلى لمس امرأة فلمسها بيده انتقض وضوؤه إذا التذ بلمسها من فوق الثوب الرقيق الخفيف أو من تحته وسواء مس منها عند مالك شعرها أو سائر جسدها إذا التذ بلمس ذلك منها.

“Seorang bermaksud menyentuh perempuan, kemudian ia menyentuhnya dengan tangannya maka wudhunya batal jika sentuhan itu disertai taladzdzudz, baik dari atas pakaian yang tipis (adanya penghalang) atau dari bawahnya (secara langsung), baik yang ia sentuh itu -menurut imam malik- rambutnya atau apapun dari anggota tubuh wanita tersebut jika disertai taladzdzudz”.‎

Imam Al Qarafi Al Maliki (w 684 H) juga menyebutkan hal serupa yang disebutkan Imam Ibnu Abd Al Barr diatas Di dalam kitab Adz-Dzakhirah beliau menuliskan sebagai berikut:

الملامسة مس أحد الزوجين صاحبه للذة من فوق ثوب أو من تحته أو قبلة في غير الفم يوجب الوضوء خلافا (ح) في اشتراطه التجرد والتعانق والتقاء الفرجين مع الانتشار وخلافا (ش) في عدم اشتراط اللذة مع نقضه.

“Mulamasah adalah saling sentuhnya dua orang suami isteri yang disertai ladzdzah, baik dari atas pakaian (ada penghalang) atau dari bawahnya (secara langsung) atau ciuman pada selain mulut, maka hal tersebut mewajibkan wudhu, berbeda dengan Abu Hanifah yang mensyaratkan jima’ dan Imam Syafii yang tidak mensyaratkan ladzdzah dalam membatalkan wudhu”.

Pendapat ini adalah hasil dari kompromi atas dua dalil yang saling kontradiksi yaitu ayat diatas tadi dengan hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya:

عن عائشة، قالت: كنت أنام بين يدي رسول الله صلى الله عليه وسلم ورجلاي في قبلته فإذا سجد غمزني فقبضت رجلي، وإذا قام بسطتهما قالت: والبيوت يومئذ ليس فيها مصابيح

Dari aisyah radiallahu anha beliau berkata: aku tidur didepan rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kedua kakiku berada tepat diarah kiblatnya, jika beliau ingin sujud beliau menyentuhku lalu aku menarik kakiku dan jika beliau bangun dari sujudnya aku mengluruskan kembali kakiku” dan Aisyah melanjutkan: “saat itu tidak ada lampu didalam rumah” HR: Muslim

Dari hadits ini Imam Al Qarafi beserta ulama malikiyah yang lain berkesimpulan bahwa menyentuh wanita tanpa ladzdzah tidak membatalkan wudhu. ‎
3. Madzhab Syafi’i
‎Imam Asy-Syafi’i berkata; “Telah sampai kepada kami dari Ibnu Mas’ud yang mendekati makna ucapan Ibnu Umar: Apabila seorang laki-laki menyentuhkan tangannya kepada istrinya, atau bersentuhan sebahagian tubuhnya pada sebahagian tubuh istrinya, dimana tidak ada pembatas antara dia dan istrinya, baik dengan nafsu birahi atau tidak, maka wajib atas keduanya berwudhu.‎ Disebutkan dalam kitab al-Umm:

قال الشافعي: وَبَلَغَنَا عن بن مَسْعُودٍ قَرِيبٌ من مَعْنَى قَوْلِ بن عُمَرَ، وإذا أَفْضَى الرَّجُلُ بيده إلَى امْرَأَتِهِ أو بِبَعْضِ جَسَدِهِ إلَى بَعْضِ جَسَدِهَا لَا حَائِلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا بِشَهْوَةٍ أو بِغَيْرِ شَهْوَةٍ وَجَبَ عليه الْوُضُوءَ 
Hal ini sesuai dalam hadits sebagai berikut: ‎
عن سالم بن عبد الله عن أبيه عبد الله بن عمر، أنه كان يقول قبلة الرجل امرأته وجسها بيده من الملامسة فمن قبل امرأته أو جسها بيده فعليه الوضوء. ‎

“Dari Salim bin Abdullah, dari bapaknya, Abdullah bin Umar, beliau berkata, Ciuman laki-laki atas isterinya dan memenyentuh dengan tangannya adalah termasuk “mulamasah”. Maka barangsiapa mencium isterinya atau menyentuh dengan tangannya, maka wajib ia berwudhu.” (HR. Imam Malik)

Terhadap hadist di atas, Imam An-Nawawi menyatakan bahwa hadits di atas dengan sanad yang shahih.

Demikian halnya apabila sentuhan itu dari pihak istri, maka keduanya pun wajib berwudhu. Jadi, mana saja dari badan keduanya yang tersentuh pada yang lain, baik dari pihak laki-laki yang menyentuh kulit wanita atau wanita yang menyentuh kulit laki-laki, keduanya wajib berwudhu.

Imam Syafi’i Rh menyampaikan; Apabila laki-laki menyentuhkan tangannya pada rambut wanita, namun tidak sampai menyentuh kulitnya, maka tidak wajib atas orang itu berwudhu, baik terdorong oleh nafsu birahi atau tidak. Demikian juga halnya bila ia bernafsu kepada istrinya, namun ia tidak menyentuhnya, maka tidak wajib baginya berwudhuk kembali. Nafsu tidak dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum, sebab ia hanya ada dalam hati. Bahkan yang mesti dijadikan pegangan adalah perbuatan, sementara rambut berbeda dengan kulit. Namun, Apabila seorang laki-laki memegang isterinya atau bersentuhan sebagian tubuhnya dengan sebagian tubuh isterinya, tanpa dinding kain, dengan syahwat atau tidak dengan syahwat, maka wajib atasnya dan isterinya berwudhu.‎

Imam Syafi’I melanjutkan; Seandainya seseorang lebih berjaga-jaga dan berhati-hati, misalnya ketika ia menyentuh rambut wanita kemudian ia berwudhu, niscaya hal itu lebih saya sukai. Jika seseorang menyentuh dengan tangannya apa yang dikehendaki dari badan wanita, baik dilapisi kain tipis maupun yang tebal atau selainnya, disertai rasa nikmat ataupun tidak, dan hal itu diperbuat juga oleh wanita, maka tidak wajib bagi mereka untuk berwudhu, karena masing-masing dari keduanya tidak saling bersentuhan. Hanya saja, setiap salah seorang dari keduanya menyentuh lawan jenisnya.‎

Imam An Nawawi (w 676 H) dari madzhab syafii di dalam kitabnya, Raudatu At Thalibin Wa Umdatu Al Muftin, berpendapat bahwa menyentuh kulit wanita dewasa selain mahramnya dan anak kecil membatalkan wudhu secara muthlaq, baik dengan syahwat atau tidak, baik sengaja atau lupa, karena menurut beliau kata mulamasahdalam ayat tersebut bermakna Al Lams yang berarti menyentuh.

adapun menyentuh rambut, gigi dan kuku wanita maka tidak membatalkan wudhu. Iamam An Nawawi juga menyebutkan bahwa dalam madzhab syafii ada perbedaan pendapat mengenai wudhu orang yang disentuh apakah wudhunya batal atau tidak, dan yang beliau pilih adalah pendapat yang mengatakan bahwa wudhunya juga batal.

الناقض الثالث: لمس بشرة امرأة مشتهاة، فإن لمس شعرا، أو سنا، أو ظفرا، أو بشرة صغيرة لم تبلغ حد الشهوة، لم ينتقض وضوءه، على الأصح. وإن لمس محرما بنسب، أو رضاع، أو مصاهرة، لم ينتقض على الأظهر.وإن لمس ميتة، أو عجوزا لا تشتهى، أو عضوا أشل، أو زائدا، أو لمس بغير شهوة، أو عن غير قصد، انتقض على الصحيح في جميع ذلك، وينتقض وضوء الملموس على الأظهر.

“Pembatal yang ketiga adalah menyentuh wanita yang mengundang syahwat, jika ia menyentuh rambut, gigi, atau kuku wanita, atau menyentuh anak kecil yang tidak mengundang syahwat maka wudhunya tidak batal menurut pendapat yang shahih dalam madzhab.

Begitu juga menyentuh mahram baik mahram senasab, sesusu atau sebab hubungan pernikahan. Jika ia menyentuh wanita yang sudah wafat atau wanita tua yang sudah tidak mengundang syahwat, atau anggota tubuh wanita yang cacat atau yang berlebih, atau ia menyentuhnya tanpa syahwat dan tidak disengaja maka wudhunya batal menurut pendapat yang shahih dalam madzhab, begitu juga wudhu orang yang disentuh”. ‎

Syaikh Al Islam Zakariya Al Anshari (w 926 H), dari madzhab yang sama memaparkan hal serupa. Di dalam kitab Asna Al Matalib beliau menuliskan bahwa bersentuhannya kulit laki-laki dan wanita yang bukan mahram membatalkan wudhu secara muthlaq. Begitu juga menyentuh mayit dan menyentuh anggota tubuh yang lumpuh, atau anggota tubuh yang berlebih.

الثالث التقاء بشرته أي الذكر وبشرتها أي الأنثى ولو كان الذكر ممسوحا لقوله تعالى {أو لامستم النساء} أي لمستم كما قرئ به لا جامعتم لأنه خلاف الظاهر واللمس الجس باليد وبغيرها أو باليد فقط كما فسره به ابن عمر وغيره. لا إن كان محرما لها بنسب أو رضاع أو مصاهرة فلا ينقض الالتقاء ولا بشهوة لانتفاء مظنتها كانت الأنثى (صغيرة لا تشتهى) عرفا فلا تنقض. وتنقض أنثى ميتة وذكر ميت وعجوز وهرم وعضو أشل أو زائد لعموم الآية.

“Pembatal yang ketiga adalah bertemunya kulit laki-laki dan wanita, sekalipun laki-laki tersebut hanya disentuh, sesuai firman allah: {أو لامستم النساء}maknanya adalah menyentuh, sebagaimana dalam sebagian qiraat, dan bukan jima’ karena bertentangan dengan dzahir ayat, dan Al Lams adalah menyentuh dengan tangan atau yang lainnya, atau hanya dengan tangan seperti yang ditafsirkan Ibnu Umar dan yang lain. Dan tidak membatalkan jika laki-laki itu mahram siwanita, baik mahram senasab, sesusu atau mahram dari hubungan pernikahan, sekalipun disertai syahwat karena tidak adanya praduga demikian, begitu juga jika wanita yang disentuh masih kecil dan tidak mengundang syahwat menurut ‘Uruf maka tidak membatalkan wudhu. Dan menyentuh wanita yang sudah mati begitu juga sebaliknya, dan wanita lanjut usia begitu juga sebaliknya, dan menyentuh anggota tubuh yang cacat atau anggota yang berlebih maka membatalkan wudhu sesuai keumuman ayat”. ‎

Adapun jawaban dua ulama ini dan ulama syafiyah yang lain terhadap hadits yang mengatakan Rasulullah shallalahu alaihi wasallam mencium istrinya dan tidak berwudhu adalah hadits dhaif.

4. Madzhab Hanbali
Al Muwaffaq Ibnu Qudamah (w 620 H) dari madzhab hanbali di dalam kitabnya, yaitu Al-Mughni menyebutkan tiga riwayat pendapat dari Imam Ahmad bin Hanbal: 

pendapat pertama adalah, menyentuh perempuan jika disertai syahwat maka membatalkan wudhu dan jika tidak disertai syahwat maka tidak membatalkan.
pendapat kedua dari Imam Ahmad adalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara muthlaq seperti madzhab Imam Abu Hanifah.
pendapat ketiga adalah menyentuh wanita membatalkan wudhu secara muthlaq seperti madzhab Imam Syafi’i.
Tapi pendapat yang masyhur dalam madzhab hanbali menurut Ibnu Qudamah adalah pendapat pertama, yaitu menyentuh yang disertai syahwat membatlkan wudhu adapun yang tidak disertai syahwat maka tidak, baik wanita yang disentuh mahram atau bukan, anak kecil atau wanita dewasa, tetapi beliau membedakan antara sentuhan secara langsung dengan sentuhan yang tidak langsung dengan adanya penghalang, yang pertama membatalkan dan yang kedua tidak membatalkan, begitu juga-tidak membatalkan wudhu- menyentuh rambut, gigi dan kuku wanita.

المشهور من مذهب أحمد - رحمه الله -، أن لمس النساء لشهوة ينقض الوضوء، ولا ينقضه لغير شهوة. وعن أحمد رواية ثانية، لا ينقض اللمس بحال. وعن أحمد، رواية ثالثة أن اللمس ينقض بكل حال.

“Pendapat yang masyhur dalam madzhab Ahmad rahimahullah bahwa menyentuh wanita disertai syahwat membatalkan wudhu, dan tidak membatalkan wudhu jika tidak disertai syahwat. Dan riwayat kedua dari Imam Ahmad bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara muthlaq. Dan riwayat ketiga bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu secara muthlaq”.

Kemudian Al Muwaffaq melanjutkan:

ولنا، عموم النص، واللمس الناقض تعتبر فيه الشهوة، ومتى وجدت الشهوة فلا فرق بين الجميع. ولا ينقض مس شعر المرأة، ولا ظفرها، ولا سنها، وهذا ظاهر مذهب الشافعي.

“Bagi kami keumuman Nash, dan sentuhan yang membatalkan adalah sentuhan yang disertai syahwat, jika sentuhan terhadap wanita itu disertai syahwat maka tidak ada perbedaan antara mahram dan wanita ajnabiyah (asing), wanita dewasa ataupun anak kecil. Dan menyentuh rambut wanita, kukunya atau giginya tidak membatalkan wudhu, dan ini adalah dzahir madzhab Syafi’i”

Kemudian beliau memaparkan bahwa sentuhan yang tidak langsung atau dengan adanya penghalang antara kulit laki-laki dan wanita tidak membatalkan wudhu:

لنا، أنه لم يلمس جسم المرأة؛ فأشبه ما لو لمس ثيابها، والشهوة بمجردها لا تكفي، كما لو مس رجلا بشهوة، أو وجدت الشهوة من غير لمس.

“Bagi kami ia tidak menyentuh tubuh wanita, maka sama seperti menyentuh pakaiannya, dan munculnya syahwat saja tidak cukup, sama seperti ia menyentuh laki-laki disertai syahwat atau munculnya syahwat ketika melihat wanita tanpa adanya sentuhan”.

Syaik Al Islam Ibnu Taymiyyah (w 728 H) juga menyebutkan pendapat seperti ini dan mengatakan bahwa madzhab hanbali adalah seperti yang disebutkan Ibnu Qudamah diatas.

وأما لمس النساء ففيه ثلاثة أقوال مشهورة: قول أبي حنيفة: لا وضوء منه بحال وقول مالك وأهل المدينة - وهو المشهور عن أحمد -: أنه إن كان بشهوة نقض الوضوء وإلا فلا وقول الشافعي يتوضأ منه بكل حال.

“Adapun menyentuh wanita maka dalam masalah ini ada tiga pendapat yang masyhur: pendapat Abu Hanifah bahwa tidak mewajibkan wudhu secara muthlaq, dan pendapat Malik dan penduduk madinah dan ini yang masyhur dari imam ahmad bahwa menyentuh wanita jika disertai syahwat maka membatalkan wudhu dan jika tidak disertai syahwat maka tidak, dan pendapat Syafii yang mewajibkan wudhu dari menyentuh wanita secara muthlaq”. ‎
Pendapat yang disebutkan kedua ulama ini dikuatkan lagi oleh Imam Al Mardawi (w 885 H) dalam kitabnya Al Inshaf Fi Ma’rifat Ar Rajih min Al Khilaf jilid 1 hal. 213.

Adapun yang membedakan pendapat ini (Hanabilah) dengan pendapat Malikiyah adalah bahwa mereka ulama Hanabilah membedakan antara menyentuh secara langsung dengan menyentuh tidak langsung dengan adanya penghalang, menyentuh secara langsung menurut mereka membatalkan wudhu dan yang tidak secara langsung (adanya penghalang) tidak membatalkan seperti yang dipaparkan Ibnu Qudamah, adapun ulama Malikiyah mereka tidak membedakan.
5. Madzhab Dzahiri
Ibnu Hazm (w 456 H) dari madzhab dzahiri di dalam kitabnya Al-Muhalla berpendapat bahwa menyentuh lawan jenis dengan sengaja dan tanpa ada penghalang dengan anggota tubuh yang manapun membatalkan wudhu, baik yang disentuh mahram atau bukan, anak kecil ataupun dewasa. Adapun menyentuh yang tidak disengaja dan dengan adanya penghalang maka tidak membatalkan wudhu.

ومس الرجل المرأة والمرأة الرجل بأي عضو مس أحدهما الآخر، إذا كان عمدا، دون أن يحول بينهما ثوب أو غيره، سواء أمه كانت أو ابنته، أو مست ابنها أو أباها، الصغير والكبير سواء.

“Menyentuhnya laki-laki seorang wanita atau sebaliknya dengan anggota manapun mereka saling menyentuh, jika hal itu disengaja dan tanpa ada penghalang seperti pakaian atau yang lain, baik yang disentuh laki-laki itu ibunya atau anak wanitanya, atau yang disentuh wanita itu anak laki-lakinya atau ayahnya, baik keil atau dewasa maka semuanya sama, membatalkan wudhu”. ‎

Yang membedakan antara pendapat ibnu hazm ini dengan pendapat ulama Syafiiyah sebagaimana disebutkan diatas adalah beliau tidak membedakan antara mahram dan bukan mahram, serta orang dewasa atau anak kecil, satu lagi yang membedakan pendapat ini dengan pendapat madzhab Syafii ialah bahwa Ibnu Hazm membedakan antara menyentuh dengan sengaja dan tidak, menyentuh dengan sengaja menurut beliau membatalkan wudhu adapun yang tidak sengaja maka tidak membatalkan, berbeda dengan Syafiiyah yang tidak membedakan antara sengaja dengan tidak, keduanya menurut mereka membatalkan wudhu.

Itulah pendapat-pendapat ulama lintas madzhab mengenai menyentuh wanita apakah membatalkan wudhu atau tidak.

Penjelasan Batalnya Wudhu Karena Makan Daging Onta

Wudhu merupakan syarat sahnya suatu shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunah. Fungsi wudhu hanya untuk menghilangkan hadas kecil, sedangkan hadas besar di haruskan mandi wajib. Wudhu bisa menggunakan air ataupun tanah/debu (tayamum) bila tidak ada air ataupun halangan untuk bersentuhan dengan air (sakit).

Firman Allah Subhanahu wa ta'ala dalam Surah Al-Maidah ayat 6 :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur."

Dalam kehidupan sehari-hari terutama saat kita sehabis melakukan puasa ramadhan (wajib) maupun puasa senin-kamis (sunah) misalnya, pada waktu menjelang magrib dan akan melaksanakan shalat fardhu magrib di masjid, sering kita melakukan wudhu dahulu sebelum membatalkan puasa kita. Padahal kita belum berbuka puasa (makan, minum), Setelah azan tiba pastilah kita akan membatalkan puasa kita dengan paling tidak minum air putih atau teh manis dengan sedikit cemilan atau bahkan ada yang makan nasi berikut lauknya walaupun mungkin dengan agak sedikit tergesa-gesa karena kuwatir tertinggal shalat berjamaah di masjid. 

Yang menjadi pertanyaan, batalkah wudhu kita setelah kita minum dan makan setelah membatalkan puasa tadi ?

Makan dan minum tidak membatalkan wudhu, kecuali makan daging unta. 
Adapun dalil yang dipakai oleh para ulama yang mengkatagorikan batal wudhu seseorang yang makan daging onta adalah:

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ « إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ ». قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ قَالَ « نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ ».

“Dari Jabir bin Samurah bahwasanya ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam: “Apakah aku mesti berwudhu karena makan daging kambing? Beliau menjawab: “Jika engkau mau maka wudhulah, namun jika tidak maka tidak mengapa.” Ia bertanya (lagi); “Apakah aku mesti berwudhu jika makan daging onta?” Beliau menjawab: “Ya, berwudhulah jika engkau makan daging onta.” (HR. Muslim No 828)

Dalam riwayat lain di sebutkan :

ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ -ﺻﻠﻰﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻳَﻘُﻮﻝُ ‏« ﺗَﻮَﺿَّﺌُﻮﺍ ﻣِﻦْ ﻟُﺤُﻮﻡِ ﺍﻹِﺑِﻞِ ﻭَﻻَ ﺗَﻮَﺿَّﺌُﻮﺍ ﻣِﻦْ ﻟُﺤُﻮﻡِ ﺍﻟْﻐَﻨَﻢِ ﻭَﺗَﻮَﺿَّﺌُﻮﺍ ﻣِﻦْ ﺃَﻟْﺒَﺎﻥِ ﺍﻹِﺑِﻞِ ﻭَﻻَ ﺗَﻮَﺿَّﺌُﻮﺍ ﻣِﻦْ ﺃَﻟْﺒَﺎﻥِ ﺍﻟْﻐَﻨَﻢِ
Dari Abdullah bin Umar ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berwudhulah kalian lantaran kalian makan daging unta dan kalian tidak perlu berwudhu lantaran kalian makan daging kambing. Berwudhulah kalian lantaran kalian minum susu unta dan kalian tidak perlu berwudhu lantaran kalian minum susu kambing.” (HR. Ibnu Majah No : 536).

Apakah membatalkan wudhu?

Ulama berbeda pendapat tentang hukum makan daging onta, apakah membatalkan wudhu ataukah tidak.

An-Nawawi menyebutkan,

فاختلف العلماء في أكل لحوم الجزور وذهب الاكثرون إلى أنه لاينقض الوضوء ممن ذهب إليه الخلفاء الأربعة الراشدون… وذهب إلى انتقاض الوضوء به أحمد بن حنبل وإسحاق بن راهويه ويحيى بن يحيى وأبو بكر بن المنذر وبن خزيمة واختاره الحافظ أبو بكر البيهقي

Ulama berbeda pendapat tentang status makan daging onta, apakah membatalkan wudhu ataukah tidak. Mayoritas ulama berpendapat, makan daging onta tidak membatalkan wudhu. Diantara yang berpendapat demikian adalah empat khulafa’ Rasyidin… sementara ulama yang berpendapat makan daging onta membatalkan wudhu, diantaranya Imam Ahmad, Ishaq bin Rahuyah, Yahya bin Yahya, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah, dan al-Hafidz al-Baihaqi as-Syafii.  (Syarh Shahih Muslim, 4/48).

An-Nawawi juga menyebutkan sejumlah sahabat yang berpendapat bahwa makan daging onta bisa membatalkan wudhu.

insyaaAllah pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat kedua, bahwa makan daging onta bisa membatalkan wudhu, sebagaimana dinyatakan dalam hadis Jabir bin Samurah di atas.

makan makanan yang dimasak

Ada beberapa hadis yang memberikan kesimpulan hukum berbeda terkait makan makanan yang dimasak. Apakah membatalkan wudhu ataukah tidak. Kita akan simak hadisnya masing-masing.

Pertama, hadis yang mewajibkan wudhu karena makan makanan yang dimasak.

Hadis dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْوُضُوءُ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ

“Harus wudhu karena makan makanan yang tersentuh api.” (HR. Muslim 814)

Keterangan:

Yang dimaksud makanan tersentuh api adalah makanan yang dimasak, dengan cara apapun. (Mur’atul Mafatih, 2/22).

Kemudian hadis dari Ibrahim bin Abdillah bin Qaridz, bahwa beliau pernah melewati Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang sedang berwudhu. Kemudian Abu Hurairah bertanya, ‘Tahu kenapa saya berwudhu? Karena saya baru saja maka keju. Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَوَضَّئُوا مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ

“Berwudhulah karena makan makanan yang tersentuh api.” (HR. Ahmad 7819, Muslim 815, yang lainnya).

Selanjutnya, kita sebutkan hadis yang kedua, yang tidak menganjurkann wudhu setelah makan.

Hadis dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhuma,

قَرَّبْتُ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- خُبْزًا وَلَحْمًا فَأَكَلَ ثُمَّ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ بِهِ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ دَعَا بِفَضْلِ طَعَامِهِ فَأَكَلَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ

Saya pernah menghidangkan untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sepotong roti dan daging lalu beliau memakannya. Kemudian beliau minta dibawakan air, lalu beliau wudhu dan shalat dzuhur. Kemudian beliau meminta dibawakan sisa makananya tadi, lalu beliau memakannya, kemudian beliau shalat (sunah) tanpa berwudhu. (HR. Abu Daud 191 dan dishahihkan al-Albani).

Kemudian hadis dari Amr bin Umayyah Radhiyallahu ‘anhu, beliau melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memotong daging kambing dengan pisau untuk dimakan. Kemudian datang waktu shalat. Lalu beliau letakkan pisau itu, kemudian shalat tanpa berwudhu. (HR. Bukhari 208 & Muslim 820)

Kemudian keterangan dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhuma,

كَانَ آخِرُ الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَرْكَ الْوُضُوءِ مِمَّا غَيَّرَتِ النَّارُ

Aturan terakhir dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak berwudhu karena makan makanan yang dimasak. (HR. Abu Daud 192, Nasai 185, Ibnu Hibban 1134 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Apakah membatalkan wudhu?

Ulama berbeda pendapat dalam memahami dua hadis di atas. Sebagian mengkompromikan kedua hadis itu. Dan mereka berpendapat bahwa hadis yang memerintahkan untuk berwudhu karena makan makanan yang dimasak dipahami sebagai perintah anjuran. Sehingga makan makanan yang dimasak tidak membatalkan wudhu, namun dianjurkan untuk wudhu. (Fiqh Sunah, Sayid Sabiq, 1/59).

Ada juga yang memahami bahwa hadis Jabir menjadi nasikh (menghapus hukum) hadis yang memerintahkan wudhu karena makan makanan yang dimasak.

At-Turmudzi dalam Sunannya setelah menyebutkan hadis Jabir, beliau mengatakan,

والعمل على هذا عند أكثر أهل العلم من أصحاب النبى -صلى الله عليه وسلم- والتابعين ومن بعدهم مثل سفيان الثورى وابن المبارك والشافعى وأحمد وإسحاق رأوا ترك الوضوء مما مست النار. وهذا آخر الأمرين من رسول الله -صلى الله عليه وسلم-. وكأن هذا الحديث ناسخ للحديث الأول حديث الوضوء مما مست النار

Inilah yang diamalkan oleh mayoritas ulama di kalangan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’in dan generasi setelahnya. Seperti Sufyan at-Tsauri, Ibnul Mubarok, as-Syafii, Ahmad, Ishaq. Mereka berpendapat tidak perlu wudhu karena makan makanan yang dimasak. Itulah hukum terakhir dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seolah ini adalah hadis yang menghapus hukum untuk hadis pertama, yaitu hadis perintah wudhu karena makan makanan yang dimasak. (Jami’ at-Turmudzi, 1/140).

insyaaAllah pendapat kedua inilah yang lebih mendekati kebenaran.‎‎

Penjelasan Makan Minum Sambil Berdiri


ILMU kedokteran modern mengungkapkan bahwa minum dalam keadaan berdiri menyebabkan air yang mengalir berjatuhan dengan keras pada dasar lambung dan menumbuknya, menjadikan lambung kendor dan menjadikan pencernaan sulit. Sebagaimana terus-menerus makan dan minum sambil berdiri dapat menimbulkan luka pada dinding lambung. Penemuan ini menjelaskan kepada manusia bahaya yang telah diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits berikut ini.

عن أنس – رضي الله عنه – ، عن النبيِّ – صلى الله عليه وسلم – : أنه نَهى أن يَشْرَبَ الرَّجُلُ قَائِماً . قَالَ قتادة : فَقُلْنَا لأَنَسٍ : فالأَكْلُ ؟ قَالَ : ذَلِكَ أَشَرُّ – أَوْ أخْبَثُ – رواه مسلم

Dari Anas radhiyallahu anhu dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam : “Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang untuk minum berdiri”. Qatadah (seorang tabi’in) berkata : “Kami bertanya kepada Anas, ‘Bagaimana dengan makan sambil berdiri?’ Anas menjawab, ‘Yang demikian itu lebih jelek dan lebih buruk.’ (HR. Muslim).‎
Dalil yang Melarang
عن أنس، عن النبي صلى الله عليه وسلم؛ أنه نهى أن يشرب الرجل قائما. قال قتادة: فقلنا: فالأكل؟ فقال: ذاك أشر أو أخبث.
Dari Anas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Bahwasannya beliau melarang seseorang minum sambil berdiri. Qatadah berkata : “Kami bertanya : ‘Bagaimana dengan makan (sambil berdiri) ?”. Beliau menjawab : “Hal itu lebih buruk dan menjijikkan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2024, At-Tirmidzi no. 1879, Ibnu Maajah no. 3424, Abu Ya’la no. 3195, Abu ‘Awaanah no. 8186, dan Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/272].
عن أبي سعيد الخدري؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم زجر عن الشرب قائما.
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy : “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencela minum sambil berdiri” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2025, Ahmad 3/32 & 54, Abu Ya’la no. 988 & 1321, Ath-Thahawiy dalam ‎Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/272 & Syarh Musykilil-Aatsaar no. 2098, Al-Baihaqiy 7/282, dan Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 3045].
عن الجارود بن المعلى : أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن الشرب قائما
Dari Al-Jaarud bin Ma’laa : “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang minum sambil berdiri” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 1881, Ath-Thahawiy dalam ‎Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/272 & Syarh Musykilil-Aatsaar 5/342-343, Ibnu Qaani’ dalam Mu’jamush-Shahaabah 1/154, Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir 2/299-300, Ibnu Syaahiin dalam An-Naasikh wal-Mansukh hal. 429 no. 567, dan Abu Nu’aim dalam ‎Ma’rifatush-Shahaabah no. 1646; dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 2/331-332].
عن أبي هريرة يقول : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (لا يشربن أحد منكم قائما. فمن نسي فليستقي).
Dari Abu Hurairah ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Barangsiapa yang lupa, hendaklah ia muntahkan”[Diriwayatkan oleh Muslim no. 2026 dan Al-Baihaqiy 7/282].
Dalil yang Membolehkan
عن النَّزَّال قال : أتي علي رضي الله عنه على باب الرَّحبة بماء فشرب قائماً، فقال: إن ناساً يكره أحدهم أن يشرب وهو قائم، وإني رأيت النبي صلى الله عليه وسلم فعل كما رأيتموني فعلت
Dari An-Nazzaal ia berkata : ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu membawa air ke pintu masjid kemudian meminumnya sambil berdiri. Kemudian ia bekata : “Sebagian orang tidak suka minum sambil berdiri, padahal aku melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukannya sebagaimana engkau melihatku melakukannya barusan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5615-5616, Ath-Thayalisi no. 141, Abu ‘Ubaid dalam Ath-Thahuur hal. 131 no. 39, Ahmad 1/78 & 101 & 102, ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam Zawaaidul-Musnad 1/109 no. 1366 & 1372, Abu Dawud no. 3718, At-Tirmidziy dalam Asy-Syamaail no. 200, An-Nasa’iy no. 130, Ibnu Khuzaimah no. 16 & 202, dan Ibnu Hibbaan no. 1057].
عن ابن عباس قال : شرب النبي صلى الله عليه وسلم قائماً من زمزم.
Dari Ibnu ‘Abbas ia bekata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah minum air zamzam sambil berdiri” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1637 & 5617, Muslim no. 2027, Al-Humaidiy no. 481, Ibnu Abi Syaibah no. 24460, Ahmad 1/214 & 220 & 243, At-Tirmidziy dalam Al-Jaami’ no. 1882 dan Asy-Syamaail no. 197 & 199, Ibnu Maajah no. 3422, An-Nasa’iy no. 2964-2965, Ibnu Khuzaimah no. 2945, serta Ibnu Hibban no. 3838 & 5319].
عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال : رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم في السفر ويفطر ورأيته يشرب قائما وقاعدا ورأيته يصلي حافيا ومنتعلا ورأيته ينصرف عن يمينه وعن يساره
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata : “Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan berbuka ketika safar, minum sambil berdiri dan duduk, shalat dengan telanjang kaki dan memakai sandal, serta berpaling dari arah kanan dan kirinya (setelah selesai shalat)” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/206, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 1/480, At-Tirmidziy dalam Al-Jaami’ no. 1883 dan Asy-Syamaail no. 198, Al-Firyaaniy dalam Ash-Shiyaam no. 119, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 5/181, serta Ibnu Syaahiin dalam An-Naasikh wal-Mansukh no. 570; dishahihkan oleh Al-Albani dalam ‎Shahih Sunan At-Tirmidziy 2/332-333 dan Ahmad Syaakir dalam Syarh ‘alal-Musnad6/399].
عن بن عمر قال : كنا نأكل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نمشي ونشرب ونحن قيام
Dari Ibnu ‘Umar ia berkata : “Kami pernah makan sambil berjalan dan minum sambil berdiri di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 1880, Ibnu Maajah no. 3301, Ibnu Hibbaan no. 5322 & 5325, Al-Khathiib dalam At-Taariikh 8/195, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/273, dan Ibnu Syaahiin dalam An-Naaiikh wal-Mansukh no. 573; dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 2/331 dan Al-Arna’uth dalam Takhrij ‘ala Shahih Ibni Hibban 12/141].
عن كبشة قالت : دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم فشرب من في قربة معلقة قائما فقمت إلى فيها فقطعته
Dari Kabsyah ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahku, kemudian beliau minum dari mulut bejana (dari kulit) yang tergantung sambil berdiri. Lantas aku berdiri ke bejana tersebut dan memotong talinya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Al-Jaami’ no. 1892 danAsy-Syamaail no. 203, Al-Humaidiy no. 354, Ahmad 6/434, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Al-Aahaadu wal-Matsaaniy no. 3365, Ibnu Hibbaan no. 5318, Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir 10/25 dan Musnad Asy-Syaamiyyiinno. 639, serta Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iman no. 5624 dan Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar 10/266; dishahihkan oleh Al-Albaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 2/335 dan Al-Arna’uth dalam Takhrij ‘alaa Shahih Ibni Hibban 12/138-139].
عن عائشة : ان النبي صلى الله عليه وسلم دخل على امرأة من الأنصار وفي البيت قربة معلقة فاختنثها وشرب وهو قائم
Dari ‘Aisyah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke rumah seorang wanita Anshar yang di dalamnya ada bejana (kulit) yang tergantung. Beliau membelokkan mulut bejana itu dan meminumnya dalam keadaan berdiri” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/161; dihasankan oleh Al-Arna’uth dalam Takhriij ‘alal-Musnad 42/165-166].
عن عبد الله بن الزبير عن أبيه أنه كان يشرب قائما
Dari ‘Abdullah bin Az-Zubair : “Bahwasannya ia pernah minum sambil berdiri” [Diriwayatkan oleh Maalik no. 1845; shahih].
قال عبد الرحمن بن أبي حاتم : وسُئل أبو زرعة عن حديثٍ رواه أبو نُعَيم والقعنبي وعبد العزيز الأُوَيسي. فروى أبو نعيم والقعنبي عن عبد الله بن عمر العُمري، عن أبيه عن عبد الرحمن بن رافع عن أنه رأى عمر بن الخطاب يشرب قائما. وروى عبد العزيز الأُويسي عن عبد الله العُمري عن أبيه عن عبد الرحمن بن رافع أنه رأى عمر شرن قائما؛ أسقط والد عبد الرحمن ابن رافع ؟ فقال أبو زرعة : هذا خطأ؛ إنما هو عبد الرحمن بن رافع عن أبيه عن عمر.
Telah berkata ‘Abdurrahman bin Abi Haatim : Abu Zur’ah pernah ditanya mengenai sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim , Al-Qa’nabiy dan ‘Abdul-‘Aziiz Al-Uwaisiy. Abu Nu’aim dan Al-Qa’nabiy meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar Al-‘Umariy, dari ayahnya, dari ‘Abdurrahman bin Raafi’, dari (….), bahwasannya ia melihat ‘Umar bin Al-Khaththaab minum sambil berdiri. Adapun ‘Abdul-‘Aziiz Al-Uwaisiy meriwayatkan dari ‘Abdullah Al-‘Umariy, dari ayahnya, dari ‘Abdurrahman bin Raafi’ bahwasannya melihat ‘Umar minum sambil berdiri. Apakah ayah ‘Abdurrahman bin Raafi’ gugur (dalam sanad ini) ?. Maka Abu Zur’ah menjawab : “Ini keliru. Sanad tersebut hanyalah berasal dari ‘Abdurrahman bin Raafi’, dari ayahnya, dari ‘Umar [‘Ilal no. 1589].

Selain dari perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, minum sambil berdiri juga dilakukan oleh beberapa shahabat diantaranya ‘Umar bin Al-Khaththaab, ‘Ali bin Abi Thaalib, ‘Abdullah bin Zubair ‎radliyallaahu ‘anhum.

Menyikapi Dalil
Al Maziri rahimahullah berkata,
قَالَ الْمَازِرِيّ : اِخْتَلَفَ النَّاس فِي هَذَا ، فَذَهَبَ الْجُمْهُور إِلَى الْجَوَاز ، وَكَرِهَهُ قَوْم
“Para ulama berselisih pendapat tentang masalah ini. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat boleh (makan dan minum sambil berdiri). Sebagian lainnya menyatakan makruh (terlarang).” (Lihat Fathul Bari, 10: 82)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata,
بَلْ الصَّوَاب أَنَّ النَّهْي فِيهَا مَحْمُول عَلَى التَّنْزِيه ، وَشُرْبه قَائِمًا لِبَيَانِ الْجَوَاز ، وَأَمَّا مَنْ زَعَمَ نَسْخًا أَوْ غَيْره فَقَدْ غَلِطَ ، فَإِنَّ النَّسْخ لَا يُصَار إِلَيْهِ مَعَ إِمْكَان الْجَمْع لَوْ ثَبَتَ التَّارِيخ ، وَفِعْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبَيَانِ الْجَوَاز لَا يَكُون فِي حَقّه مَكْرُوهًا أَصْلًا ، فَإِنَّهُ كَانَ يَفْعَل الشَّيْء لِلْبَيَانِ مَرَّة أَوْ مَرَّات ، وَيُوَاظِب عَلَى الْأَفْضَل ، وَالْأَمْر بِالِاسْتِقَاءَةِ مَحْمُول عَلَى الِاسْتِحْبَاب ، فَيُسْتَحَبّ لِمَنْ شَرِبَ قَائِمًا أَنْ يَسْتَقِيء لِهَذَا الْحَدِيث الصَّحِيح الصَّرِيح ، فَإِنَّ الْأَمْر إِذَا تَعَذَّرَ حَمْله عَلَى الْوُجُوب حُمِلَ عَلَى الِاسْتِحْبَاب
“Yang tepat adalah larangan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengenai minum sambil berdiri dibawa ke makna makruh tanzih. Sedangkan dalil yang menyatakan beliau minum sambil berdiri menunjukkan bolehnya. Adapun yang mengklaim bahwa adanya naskh (penghapusan hukum) atau semacamnya, maka itu keliru. Tidak perlu kita beralih ke naskh (penggabungan dalil) ketika masih memungkinkan untuk menggabungkan dalil yang ada meskipun telah adanya tarikh (diketahui dalil yang dahulu dan belakangan). Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri menunjukkan bolehnya karena tidak mungkin kita katakan beliau melakukan yang makruh. Beliau kadang melakukan sesuatu sekali atau berulang kali dalam rangka untuk menjelaskan (suatu hukum). Dan kadang beliau merutinkan sesuatu untuk menunjukkan afdholiyah (sesuatu yang lebih utama). Sedangkan dalil yang memerintahkan untuk memuntahkan ketika seseorang minum sambil berdiri menunjukkan perintah istihbab (sunnah, bukan wajib). Artinya, disunnahkan bagi yang minum sambil berdiri untuk memuntahkan yang diminum berdasarkan penunjukkan tegas dari hadits yang shahih ini. Karena jika sesuatu tidak mampu dibawa ke makna wajib, maka dibawa ke makna istihbab (sunnah).”(Fathul Bari, 10: 82)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan,
وَالصَّوَاب فِيهَا أَنَّ النَّهْي فِيهَا مَحْمُول عَلَى كَرَاهَة التَّنْزِيه . وَأَمَّا شُرْبه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا فَبَيَان لِلْجَوَازِ ، فَلَا إِشْكَال وَلَا تَعَارُض
“Yang tepat dalam masalah ini, larangan minum sambil berdiri dibawa ke makna makruh tanzih (bukan haram). Adapun hadits yang menunjukkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri, itu menunjukkan bolehnya. Sehingga tidak ada kerancuan dan pertentangan sama sekali antara dalil-dalil yang ada.” (Syarh Muslim, 13: 195)
Penulis ‘Aunul Ma’bud berkata,
وَقَدْ أَشْكَلَ عَلَى بَعْضهمْ وَجْه التَّوْفِيق بَيْن هَذِهِ الْأَحَادِيث وَأَوَّلُوا فِيهَا بِمَا لَا جَدْوَى فِي نَقْله ، وَالصَّوَاب فِيهَا أَنَّ النَّهْي مَحْمُول عَلَى كَرَاهَة التَّنْزِيه ، وَأَمَّا شُرْبه قَائِمًا فَبَيَان لِلْجَوَازِ ، وَأَمَّا مَنْ زَعَمَ النَّسْخ أَوْ الضَّعْف فَقَدْ غَلِطَ غَلَطًا فَاحِشًا . وَكَيْف يُصَار إِلَى النَّسْخ مَعَ إِمْكَان الْجَمْع بَيْنهمَا لَوْ ثَبَتَ التَّارِيخ ، وَأَنَّى لَهُ بِذَلِكَ وَإِلَى الْقَوْل بِالضَّعْفِ مَعَ صِحَّة الْكُلّ .
“Sebagian orang bingung bagaimana cara mengkompromikan dalil-dalil yang ada sampai-sampai mentakwil (menyelewengkan makna) sebagian dalil. Yang tepat, dalil larangan dibawa ke makna makruh tanzih. Sedangkan dalil yang menunjukkan minum sambil berdiri menunjukkan bolehnya. Adapun sebagian orang yang mengklaim adanya penghapusan (naskh) pada dalil atau adanya dalil yang dho’if (lemah), maka itu keliru. Bagaimana mungkin kita katakan adanya naskh (penghapusan) dilihat dari tarikh (adanya dalil yang dahulu dan ada yang belakangan) sedangkan dalil-dalil yang ada masih mungkin dijamak (digabungkan)? Bagaimana kita katakan dalil yang ada itu dho’if (lemah), padahal semua dalil yang menjelaskan hal tersebut shahih? ” (‘Aunul Ma’bud, 10: 131)
Catatan: Sebagian orang mengatakan bahwa minum air zam-zam disunnahkan sambil berdiri berdasarkan riwayat-riwayat yang telah disebutkan di atas. Anggapan ini tidaklah tepat karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum zam-zam sambil berdiri menunjukkan kebolehkan saja agar orang tidak menganggapnya terlarang. Jadi yang beliau lakukan bukanlah suatu yang sunnah atau sesuatu yang dianjurkan. Sebagaimana dikatakan Al Bajuri dalam Hasyiyah Asy Syamail,
وإنما شرب (ص) وهو قائم، مع نهيه عنه، لبيان الجواز، ففعله ليس مكروها في حقه، بل واجب، فسقط قول بعضهم إنه يسن الشرب من زمزم قائما اتباعا له
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah minum sambil berdiri. Padahal di sisi lain beliau melarangnya. Perbuatan minum sambil berdiri tadi menunjukkan bolehnya. Jadi yang beliau lakukan  bukanlah makruh dari sisi beliau, bahkan bisa jadi wajib (untuk menjelaskan pada umat akan bolehnya). Sehingga gugurlah pendapat sebagian orang yang menyatakan disunnahkan minun air zam-zam sambil berdiri dalam rangka ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Dinukil dari I’anatuth Tholibin, 3: 417)
Pembahasan
Dalam menyikapi beberapa hadits di atas yang (kelihatan) saling bertentangan, para ulama terkelompok dalam 3 metode :
1. Tarjih.
Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi dua perkataan.
a. Mengunggulkankan hadits pelarangan daripada pembolehan sebagai langkah hati-hati sebagaimana pengamalan terhadap sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
دَعْ ما يريبُكَ إلى ما لاَ يرِيبُكَ
“Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu kepada apa-apa yang tidak meragukanmu” [Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy 8/327, At-Tirmidzi no. 2518, Ahmad 1/200, Ibnu Hibbaan no. 722, dan Al-Haakim 2/13; shahih].
Selain itu, hadits-hadits pelarangan datang melalui ucapan beliau, sedangkan hadits-hadts pembolehan datang melalui perbuatan beliau. Dalam hal ini, perkataan lebih didahulukan daripada perbuatan, karena ada kemungkinan bahwa perbuatan beliau minum sambil berdiri merupakan kekhususan bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja, bukan untuk yang lainnya.
b. Mengunggulkan hadits pembolehan daripada pelarangan karena dianggap lebih kuat, lebih shahih, dan lebih banyak jumlahnya. Abu Bakr Al-Atsram dalam salah satu perkataannya mengungkapkan pendapat ini. Ini juga salah satu pendapat Ahmad bin Hanbal dan yang masyhur dalam madzhabnya‎, serta jumhur Malikiyyah‎.
Pembolehan minum sambil berdiri secara mutlak merupakan pendapat jumhur tabi’in seperti : Sa’iid bin Jubair‎, Thaawus‎, Zaadzaan Abu ‘Umar Al-Kindiy‎, dan Ibrahim bin Yaziid An-Nakha’iy‎.
2. Nasakh.
Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi dua perkataan :
a. Hadits-hadits larangan telah mansukh ‎oleh hadits-hadits pembolehan, dengan bukti yang dilakukan oleh Khulafaaur-Raasyidiin, sebagian besar shahabat, dan tabi’in yang membolehkannya. Pendapat ini dinyatakan oleh Al-Atsram ‎dan Ibnu Syaahin‎. Al-Qurthubi juga menguatkan pendapat ini dan menisbatkannya kepada jumhur shahabat dan ulama setelahnya.
b. Hadits-hadits pembolehan telah mansukh oleh hadits-hadits pelarangan, dengan dasar bahwa pembolehan adalah hukum asal, sedangkan pelarangan adalah hukum yang datang kemudian sebagai satu ketetapan syar’iy. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Hazm‎.
3. Al-Jam’u wat-Taufiiq (Kompromi).
Pada metode ini, ada banyak perkataan dan penafsiran dari para ulama. Akan disebutkan beberapa diantaranya yang utama :
Ada yang mengatakan bahwa bolehnya minum sambil berdiri hanya jika ada hajat/keperluan; selain dari itu, maka dibenci. Ini merupakan pendapat Ibnu Taimiyyah ‎dan Ibnul-Qayyim ‎rahimahumallah. Ibnu ‘Utsaimin termasuk yang bersepakat dengan mereka berdua. ‎Ibnu Taimiyyah berkata :
وأما الشرب قائما : فقد جاء أحاديث صحيحة بالنهي، وأحاديث صحيحة بالرخصة، ولهذا تنازع العلماء فيه، وذُكِرَ فيه روايتان عن أحمد. ولكن الجمع بين الأحاديث : أن تحمل الرخصة على حال العذر...
“Adapun minum sambil berdiri, telah ada hadits-hadits shahih yang melarangnya dan hadits-hadits shahih yang memberikan rukhshah(kebolehan). Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat di dalamnya. Disebutkan padanya ada dua riwayat yang ternukil dari Ahmad mengenai permasalahan ini. Namun metode pengkompromian diantara hadits-hadits ini adalah : Membawa hadits-hadits yang membolehkan jika ada udzur…” [selesai].
Ada yang memahami bahwa pelarangan minum sambil berdiri bukanlah pelarangan yang bermakna tahriim (pengharaman). Pelarangan tersebut bukan pelarangan yang bersifat syar’iy, namun dengan pelarangan atas pertimbangan kedokteran (thibbiy) ‎yang akan menimbulkan bahaya/mudlarat. Disebutkan oleh Ibnul-‘Arabiy dalam ‘Aaridlatul-Ahwadziy 8/73. Ath-Thahawiy juga menyebutkan hal semakna dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/274 & 276 danSyarh Musykilil-Aatsaar 5/347.
Ada yang mengatakan bahwa pembolehan minum sambil berdiri ini khusus ketika minum air zamzam dan kelebihan/sisa air wudlu. Ini merupakan pendapat ‘Ali Al-Qaariy dan sebagian ulama Hanafiyyah lainnya.
Ada yang mengatakan bahwa kebolehan minum sambil berdiri ini adalah jika lupa saja sebagaimana dikatakan oleh Abul-Faraj Ats-Tsaqafiy.
Ada pula yang berpendapat bahwa perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai pelarangan itu hanyalah makruh tanziih saja, sedangkan perbuatan beliau (yang minum sambil berdiri) menjelaskan tentang kebolehannya. Hadits-hadits pelarangan dibawa kepada makna disukainya minum sambil duduk, serta dorongan kepada amal-amal yang lebih utama lagi sempurna. Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama, diantaranya adalah : Al-‘Ainiy dari kalangan Hanafiyyah, Al-Maaziriy dari kalangan Maalikiyyah, dan Ibnu Jariir Ath-Thabariy. Jumhur ulama Syafi’iyyah juga menyepakati pendapat ini, diantaranya adalah : Al-Khaththaabiy, Al-Baghawiy, An-Nawawiy, dan Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniy.

Mana yang terpilih dan terkuat dari pendapat-pendapat tersebut ?
Tidak ragu lagi bahwasannya pendapat yang terpilih dan paling kuat adalah pendapat jumhur ulama yang menempuh metode al-jam’u wat-tafiiq (kompromi) dengan menggunakan semua dalil (tanpa meninggalkan salah satu di antaranya), dimana mereka mengatakan : Pelarangan minum sambil berdiri hanya bermakna ‎makruh tanziih saja. An-Nawawi telah memberikan penjelasan yang sangat baik:

لَيْسَ فِي هَذِهِ الأَحَادِيث بِحَمْدِ اللَّه تَعَالَى إِشْكَال , وَلا فِيهَا ضَعْف , بَلْ كُلّهَا صَحِيحَة , وَالصَّوَاب فِيهَا أَنَّ النَّهْي فِيهَا مَحْمُول عَلَى كَرَاهَة التَّنْزِيه . وَأَمَّا شُرْبه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا فَبَيَان لِلْجَوَازِ , فَلا إِشْكَال وَلا تَعَارُض , وَهَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ يَتَعَيَّن الْمَصِير إِلَيْهِ .
فَإِنْ قِيلَ : كَيْف يَكُون الشُّرْب قَائِمًا مَكْرُوهًا وَقَدْ فَعَلَهُ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟
فَالْجَوَاب : أَنَّ فِعْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ بَيَانًا لِلْجَوَازِ لا يَكُون مَكْرُوهًا , بَلْ الْبَيَان وَاجِب عَلَيْهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَكَيْف يَكُون مَكْرُوهًا وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ أَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مَرَّة مَرَّة وَطَافَ عَلَى بَعِير مَعَ أَنَّ الإِجْمَاع عَلَى أَنَّ الْوُضُوء ثَلاثًا وَالطَّوَاف مَاشِيًا أَكْمَل , وَنَظَائِر هَذَا غَيْر مُنْحَصِرَة , فَكَانَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنَبِّه عَلَى جَوَاز الشَّيْء مَرَّة أَوْ مَرَّات , وَيُوَاظِب عَلَى الأَفْضَل مِنْهُ, وَهَكَذَا كَانَ أَكْثَر وُضُوئِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاث ثَلاثًا , وَأَكْثَر طَوَافه مَاشِيًا , وَأَكْثَر شُرْبه جَالِسًا ، وَهَذَا وَاضِح لا يَتَشَكَّك فِيهِ مَنْ لَهُ أَدْنَى نِسْبَة إِلَى عِلْم . وَاللَّهُ أَعْلَم"

“Tidak ada kontradiksi dalam hadits-hadits ini, segala puji bagi Allah ta’ala. Tidak ada pula kelemahan padanya, bahkan semua hadits-hadits tersebut adalah shahih. Dan yang benar di dalamnya adalah : Larangan dalam hadits tersebut dibawa kepada hukum makruh tanziih. Adapun minumnya beliau ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berdiri merupakan penjelasan bolehnya perbuatan tersebut dilakukan. Tidak ada kesulitan dalam memahaminya dan tidak pula ada pertentangan. Inilah yang perlu dikatakan dalam persoalan ini.
Apabila dikatakan : “Bagaimana minum sambil berdiri bisa dikatakan makruh dengan kenyataan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukannya ?”.
Jawabannya adalah : Perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang kebolehannya, bukan kemakruhannya. Bahkan menjelaskan tentang segala hal tersebut adalah wajib bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lantas bagaimana bisa dikatakan makruh ? Telah shahih dari beliau bahwa beliau pernah wudlu sekali-sekali (dalam basuhan anggota badan) dan thawaf di atas onta yang bersamaan itu para ulama telah bersepakat bahwa wudlu tiga kali-tiga kali (dalam basuhan) dan thawaf dengan berjalan kaki lebih sempurna (lebih baik). Ada banyak contoh serupa dalam hal ini. Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan kebolehan membasuh sekali atau berkali-kali, namun di sisi lain beliau tetap mengerjakan yang utama. Dan memang seperti itulah kebiasaan (= yang sering dilakukan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika wudlu dengan membasuh sebanyak tiga kali-tiga kali, berjalan kaki ketika thawaf, dan duduk ketika minum. Perkara ini sangat jelas tanpa ada permasalahan meskipun bagi orang yang rendah nisbatnya kepada ilmu. Wallaahu a’lam [Syarh Shahih Muslim, 13/195].
Tidak bisa dikatakan bahwa pembolehan minum sambil berdiri itu hanya dikhususkan bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ini terjawab oleh perkataan Ibnu ‘Umar ‎radliyallaahu ‘anhuma :
كنا نأكل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نمشي ونشرب ونحن قيام
“Kami pernah makan sambil berjalan dan minum sambil berdiri di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [telah berlalu ‎takhrij-nya].
Walaupun teks redaksinya adalah mauquf, namun ia dihukumi marfu’ (sampai kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Para shahabat melakukannya ketika beliau ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Dan itu senantiasa mereka lakukan setelah beliau wafat.
Hadits ini juga menjawab sebagian besar pendapat-pendapat yang keliru di atas.
Adapun anggapan bahwa kebolehan minum sambil berdiri ini jika hanya ada hajat, maka itu terjawab oleh hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib dimana ia mengingkari ketidaksukaan sebagian orang minum sambil berdiri. Banyak nukilan shahabat dan tabi’in dimana mereka minum sambil berdiri tanpa ada hajat. Oleh karena itu, kebolehan ini adalah bersifat umum (dalam segala keadaan).
Metode tarjih dan klaim adanya nasakh juga harus ditinggalkan selama metode kompromi bisa dilakukan.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...