Selasa, 19 Oktober 2021

Penjelasan Ilmiah Diharamkannya Babi


Dalam beberapa hari belakangan dunia dikejutkan oleh adanya penyakit “FLU BABI”, bahkan Badan kesehatan dunia WHO memperingatkan potensi Flu Babi di Meksiko menjadi pandemi dunia. Mereka meminta warga dunia waspada.

Penyakit ini diakibatkan virus flu yang merupakan kombinasi material genetik dari babi, burung, dan manusia. Efeknya lebih ganas daripada virus flu burung. Di Meksiko, setidaknya sudah lebih dari 100 orang tewas dan lebih dari seribu orang dirawat akibat flu babi.

Pemerintah setempat pun telah memutuskan menutup sementara sejumlah fasilitas publik seperti sekolah, museum, perpustakaan, dan bioskop untuk mencegah penyebaran virus. Pemerintah juga membagikan masker dan aktif melakukan pembersihan di area-area publik.

Berikut ini adalah Dalil Aqli dan Dalil Naqli , mengapa Daging Babi Haram untuk Dikonsumsi? Sekedar informasi, dalil Aqli adalah keterangan yang berlandaskan akal / rasional, sedangkan dalil Naqli adalah keterangan yang bersumber dari Alqur'an dan Hadits.

Allah telah mengharamkan makanan dan hewan-hewan yang jelek, karena makanan memiliki pengaruh terhadap akhlak dan tabiat seseorang. Harta dan makanan yang halal dan baik akan menumbuhkan darah dan daging yang baik, demikian juga sebaliknya.
Apalagi dewasa ini orang-orang sudah banyak yang tidak peduli dengan hal-hal tersebut,

Sebagaimana Rasulullah telah isyaratkan dalam sabdanya:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ؛ أَمِن الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ؟!


“Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seorang tidak lagi peduli dengan apa yang dia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram?!” (HR. Bukhari: 2059)

Sehingga sangat perlu pengetahuan yang cukup untuk dapat memilih dan memilah-milah hewan yang diperbolehkan dimakan.

Mengenai daging babi, juga tidak ada perselisihan di kalangan ahlul ‘ilmi tentang keharamannya. Berdasarkan Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat yang ketiga dan Al-Qur’an surat Al-An’am ayat yang ke 145.

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan..” (QS. 5:3)‎

قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 6:145)

 QS.Al-Baqarah: 173:
   إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ                                                                   

”Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.‎

Demikian juga sabda beliau:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr dan hasil penjualannya dan mengharamkan bangkai dan hasil penjualannya serta mengharamkan babi dan hasil penjualannya.” (HR. Abu Daud)
Dengan demikian jelaslah haramnya daging babi dan seluruh anggota tubuhnya.

HIKMAH PENGHARAMAN.

Mayoritas para ulama menjelaskan bahwa sebab pengharaman babi adalah karena najisnya berdasarkan firman-Nya:

قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor (najis)” (QS. Al An’aam: 145)
Menjual Daging Babi‎

Rasulullah sendiri menyatakan bahwa Allah mengharamkan babi dan harta hasil penjualannya. Tentu saja hal ini menunjukkan pengharaman jual beli babi dan dagingnya serta seluruh anggota tubuhnya walaupun sudah diusahakan untuk mengubahnya dalam bentuk-bentuk lain, misalnya sebagai katalisator atau dicampur dengan daging lainnya. Hal ini juga ditegaskan Rasulullah dalam sabdanya:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لَا هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ

Dari Jabir bin Abdullah beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada tahun penaklukan Mekkah dan beliau waktu itu berada di Mekkah: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung-patung.” Lalu ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah Apakah boleh (menjual) lemak bangkai, karena ia dapat digunakan untuk mengecat perahu dan meminyaki kulit serta dipakai orang untuk bahan bakar lampu?” Maka beliau menjawab: “Tidak boleh, ia tetap haram.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi ketika itu: “Semoga Allah memusnahkan orang Yahudi, sungguh Allah telah mengharamkan lemaknya lalu mereka rubah bentuknya menjadi minyak kemudian menjualnya dan memakan hasil penjualannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


SEDANGKAN ALASAN LAIN LARANGAN MEMAKAN BABI

Selama ini mungkin kita bertanya-tanya kenapa babi tidak boleh dimakan,kalau hukum keharaman yg telah di nas sudah jelas mungkin diantara kita banyak yang tidak tahu,alasan selain nas yang sdh ditentukan,mengapa babi haram dan tdk boleh dimakan.

Berikut ini adalah sedikit penjelasan tentang larangan tersebut secara ilmiah.
Karna pada daging babi banyak mengandung mafsadat bagi manusia,...Babi adalah hewan yang sangat kotor karena biasanya mereka memakan segala sesuatu yang diberikan kepadanya dari mulai bangkai, kotorannya sendiri sampai kotoran manusia. Secara psikis babi memiliki tabiat yang malas, tidak menyukai matahari, sangat suka makan dan tidur, memiliki sifat tamak, dan tidak memiliki kehendak dan daya juang, bahkan untuk membela diri sekalipun.

Secara fisik babi banyak menyimpan bibit penyakit. Babi dianggap hewan yang sama sekali tidak layak untuk dikonsumsi. Oleh karena itu ALLAH SWT melarang umat Islam untuk mengkonsumsi Babi. Umat Islam diHaramkan untuk makan daging babi.

Di antara parasit-parasit itu adalah sebagai berikut:

1. Cacing Taenia Solium: Parasit ini berupa larva yang berbentuk gelembung pada daging babi atau berbentuk butiran-butiran telur pada usus babi. Jika seseorang memakan daging babi tanpa dimasak dengan baik, maka dinding-dinding gelembung ini akan dicerna oleh perut manusia. Peristiwa ini akan menghalangi perkembangan tubuh dan akan membentuk cacing pita yang panjangnya bisa mencapai lebih dari 3 meter.

Cacing ini akan melekat pada dinding usus dengan cara menempelkan kepalanya lalu menyerap unsur-unsur makanan yang ada di lambung. Hal itu bisa menyebabkan seseorang kekurangan darah dan gangguan pencernaan, karena cacing ini bisa mengeluarkan racun. Apabila pada diri seseorang, khususnya anak-anak, telah diketahui terdapat cacing ini di lambungnya maka dia akan mengalami hysteria atau perasaan cemas.

Terkadang larva yang ada dalam usus manusia ini akan memasuki saluran peredaran darah dan terus menyebar ke seluruh tubuh, termasuk otak, hati, saraf tulang belakang, dan paru-paru. Dalam kondisi ini dapat menyebabkan penyakit yang mematikan.

2. Cacing Trichinella Spiralis Cacing ini ada pada babi dalam bentuk gelembung-gelembung lembut. Jika seseorang mengkonsumsi daging babi tanpa dimasak dengan baik, maka gelembung-gelembung yang mengandung larva cacing ini dapat tinggal di otot dan daging manusia, sekat antara paru-paru dan jantung, dan di daerah-daerah lain di tubuh.

Penyerangan cacing ini pada otot dapat menyebabkan rasa sakit yang luar biasa dan menyebabkan gerakan lambat, ditambah lagi sulit melakukan aktivitas. Sedang keberadaannya di sekat tersebut akan mempersempit pernafasan, yang bisa berakhir dengan kematian. Bisa jadi, cacing jenis ini tidak akan membuat seseorang meninggal dalam waktu singkat.

Namun patut diketahui bahwa cacing-cacing kecil yang berkembang di otot-otot tubuh seseorang setelah dia mengkonsumsi daging babi bisa dipastikan akan menetap di sana hingga orang itu meninggal dunia.

3. Cacing Schistosoma Japonicus adalah cacing yang lebih berbahaya daripada cacing schistosoma yang dilkenal di Mesir. Dan babi adalah satu-satunya binatang yang mengandung cacing ini. Cacing ini dapat menyerang manusia apabila mereka menyentuh atau mencuci tangan dengan air yang mengandung larva cacing yang berasal dari kotoran babi. Cacing ini dapat menyelinap ke dalam darah, paru-paru, dan hati.

Cacing ini berkembang dengan sangat cepat, dalam sehari bisa mencapai lebih dari 20.000 telur, serta dapat membakar kulit, lambung dan hati. Terkadang juga menyerang bagian otak dan saraf tulang belakang yang berakibat pada kelumpuhan dan kematian.

4. Fasciolopsis Buski Parasit ini hidup di usus halus babi dalam waktu yang lama. Ketika terjadi percampuran antara usus dan tinja, parasit ini akan berada dalam bentuk tertentu yang bersifat cair yang bisa memindahkan penyakit pada manusia. Kebanyakan jenis parasit ini terdapat di daerah China dan Asia Timur. Parasit ini bisa menyebabkan gangguan pencernaan, diare, dan pembengkakan di sekujur tubuh, serta bisa menyebabkan kematian.

5. Cacing Ascaris Panjang cacing ini adalah sekitar 25 cm. Cacing ini bisa menyebabkan radang paru-paru, radang tenggorokan dan penyumbatan lambung. Cacing ini tidak bisa dibasmi di dalam tubuh, kecuali dengan cara operasi.

6. Cacing Ankylostoma Larva cacing ini masuk ke dalam tubuh dengan cara membakar kulit ketika seseorang berjalan, mandi, atau minum air yang tercemar. Cacing ini bisa menyebabkan diare dan pendarahan di tinja, yang bisa menyebabkan terjadinya kekurangan darah, kekurangan protein dalam tubuh, pembengkakan tubuh, dan menyebabkan seorang anak mengalami keterlambatan dalam pertumbuhan fisik dan mental, lemah jantung dan akhirnya bisa menyebabkan kematian.

7. Clonorchis Sinensis Ini jenis cacing yang menyelinap dan tinggal di dalam air empedu hati babi, yang merupakan sumber utama penularan penyakit pada manusia. Cacing ini terdapat di China dan Asia Timur, karena orang-orang di sana biasa memelihara dan mengkonsumsi babi. Virus ini bisa menyebabkan pembengkakan hati manusia dan penyakit kuning yang disertai dengan diare yang parah, tubuh menjadi kurus dan berakhir dengan kematian.

8. Cacing Paragonimus Cacing ini hidup di paru-paru babi. Cacing ini tersebar luas di China dan Asia Tenggara tempat di mana babi banyak dipelihara dan dikonsumsi. Cacing ini bisa menyebabkan radang paru-paru. Sampai sekarang belum ditemukan cara membunuh cacing di dalam paru-paru. Tapi yang jelas cacing ini tidak terdapat, kecuali di tempat babi hidup. Parasit ini bisa menyebabkan pendarahan paru-paru kronis, di mana penderita akan merasa sakit, ludah berwarna cokelat seperti karat, karena terjadi pendarahan pada kedua paru-paru.

9. Swine Erysipelas Parasit ini terdapat pada kulit babi. Parasit ini selalu siap untuk pembakaran pada kulit manusia yang mencoba mendekati atau berinteraksi dengannya. Parasit ini bisa menyebabkan radang kulit manusia yang memperlihatkan warna merah dan suhu tubuh tinggi.

Sedang kuman-kuman yang ada pada babi dapat menyebabkan berbagai penyakit, diantaranya adalah TBC, Cacar (Small pox), gatal-gatal (scabies), dan Kuman Rusiformas N. Dalam berbagai argumentasi, sebagian orang berpendapat jika peralatan modern sudah jauh lebih maju dan bisa menanggulangi cacing-cacing ini sehingga tidak berbahaya lagi, karena panas tinggi yang dihasilkan oleh alat tersebut.

Namun pengetahuan ini masih memerlukan kajian yang lebih mendalam. Sampai sekarang belum ada seorang ahli pun yang bisa memastikan dengan benar berapa derajat panas yang digunakan sebagai ukuran baku untuk membunuh cacing-cacing ini.

Padahal menurut teori, memasak daging yang benar adalah tidak terlalu cepat namun juga tidak terlalu lama. Karena jika terlalu cepat dikhawatirkan parasit-parasit yang terdapat dalam daging tidak sempat mati sementara kalau terlalu lama semua kandungan gizi daging akan hilang dan hanya menyisakan toxic (racun).

Kalau sudah demikian siapa yang berani menjamin kalau daging babi cukup aman untuk dikonsumsi? Memang benar dalam tubuh sapi juga ada cacing. Cacing tersebut diberi nama T. Saginata.

Tapi babi sendiri kadang-kadang juga menjadi sarang cacing jenis ini. Namun demikian ada perbedaan yang mendasar antara cacing yang terdapat pada sapi dan cacing yang ada pada babi. Saginata yang ada pada babi melangsungkan proses hidupnya dalam tubuh manusia sedangkan saginata yang ada pada sapi hanya dapat hidup di dalam sapi dan tidak hidup di dalam tubuh manusia, sekalipun sudah terlanjur masuk dalam tubuh manusia.

Adapun keberadaan saginata dalam tubuh manusia mungkin disebabkan oleh proses masak yang tidak baik di dalam tubuh babi. Disamping itu daging babi adalah daging yang paling sulit dicerna, karena kandungan zat lemaknya sangat tinggi.

=============================================================‎

SELAIN ADANYA PARASIT PARASIT YANG MEMBAHAYAKAN,ADALAGI ALASAN LARANGAN MEMAKAN BABI, yaitu sebagai berikut:
1. Asam Amino manusia yang hanya sedikit berbeda dari binatang babi.

Asam amino adalah salah satu penyusun protein pada makhluk hidup. Jika kita melihat insulin pada manusia dan babi, maka hanya akan terpaut satu daripada babi. Berikut penjelasannya :

Insulin manusia : C256H381N65O76S6 MW=5807,7

Insulin babi : C257H383N65O77S6 MW=5777,6

Penjelasan : hanya 1 asam amino berbeda

Insulin manusia : C256H381N65O76S6 MW=5807,7

Insulin sapi : C254H377N65O75S6 MW=5733,6

Penjelasan : ada 3 asam amino berbeda

Para produsen vaksin mengatakan bahwa jika menggunakan asam amino babi, maka mereka tidak memerlukan banyak proses penelitian lagi karena hanya terpaut satu asam amino. Berbeda dengan sapi yang terpaut 3 asam amino.

“Secara chemisty, DNA manusia dan babi hanya beda 3 persen. Aplikasi teknologi transgenetika membuat organ penyusun tubuh babi akan semakin mirip dengan manusia.”

Sumber; Dr. Muladno, ahli genetika molekuler di Fakultas Peternakan IPB

Tapi sayangnya mereka lupa jika asam aminonya hampir identik berarti sama saja kita memakan daging manusia (kanibal), dan telah jelas bahwa kanibal dapat menyebabkan penyakit-penyakit genetik yang tidak bisa disembuhkan, termasuk penyakit syaraf dan lain-lain.

Di China, terdapat sebuah desa yang gemar memakan daging manusia yang melintas di desanya, yang kemudian digunakan untuk sebuah perayaan. Mereka mengatakan bahwa rasa daging manusia mirip dengan rasa daging babi.

2. Sifat babi yang buruk dapat menurun kepada manusia yang memakannya.

Seorang Imam Muslim bersama kawannya orang barat pernah melakukan test kepada 3 ekor babi dan 3 ekor ayam, masing masing adalah 2 jantan dan 1 betina. Dan hasilnya adalah :

Ketika 2 ekor ayam jantan dan 1 ayam betina dilepas, maka 2 ayam jantan tersebut bertarung hingga satu tewas/kalah untuk merebutkan betina. Namun apa yang terjadi ketika 2 ekor babi jantan dan 1 ekor babi betina dilepas ? ternyata babi jantan yang satu membantu yang lain untuk melaksanakan hajat seksualnya pada si betina.

Dan sang Imam berkata, “Inilah ! Daging babi itu membunuh ‘ghirah’ (rasa cemburu) orang yang memakannya dan ini terjadi pada kaum kalian.”

Beberapa penelitian di barat juga banyak yang menyatakan bahwa memakan babi dapat mempengaruhi watak, resiko perselingkuhan, dan hasrat seksual yang melebihi ambang batas kewajaran sebagai manusia.

3. Tubuh babi dapat mengubah virus jinak menjadi ganas.

Babi memiliki berbagai reseptor dalam tubuhnya yang dapat menjadikan virus jinak yang masuk ke dalam tubuh babi kemudian keluar dalam keadaan ganas, diantaranya reseptor yang sangat dikenal para ilmuwan adalah reseptor alfa 2,6 sialic acid untuk mengikat influenza manusia dan 2,3 sialic acid untuk mengikat virus influenza unggas. Virus-virus yang terikat ke dalam reseptor tersebut kemudian dapat berubah menjadi ganas. Selain itu reseptor-reseptor itu juga dapat mengikat dua jenis virus yang memiliki sifat yang berbeda, untuk kemudian di mixing menjadi satu virus ganas yang memiliki 2 sifat.

4. Banyaknya penyakit dalam tubuh Babi

Kita sudah mengetahui sejak Sekolah Dasar dahulu bahwa babi mengandung cacing pita yang sangat berbahaya. Cacing pita bahkan dapat mengganggu sistem syaraf dan dapat masuk hingga otak manusia. Selain cacing pita masih banyak penyakit lainnya yang disebabkan oleh babi melalui bakteri, karena kebiasaannya yang senang memakan kotoran, bahkan kotorannya sendiri.

5. Sifat aneh babi lainnya.

“Babi mempunyai sifat kembar antara binatang buas dan binatang jinak. Sifatnya yang menyerupai binatang buas adalah karena ia bertaring dan suka makan bangkai, sedangkan sifatnya yang menyerupai binatang jinak ialah karena ia berceracak dan makan rumput serta dedaunan lainnya.

Babi memiliki syahwat yang amat kuat, hingga pada saat ia kawin (bersetubuh), pejantan bertengger di atas betinanya yang berjalan bermil-mil jauhnya. Pejantannya mengejar-ngejar betina demikian kasar hingga terjadi perkelahian yang mungkin menewaskan salah satu atau menewaskan kedua-duanya.

Satu kali mengandung, babi betina dapat melahirkan dua puluh ekor anak. Pejantan mulai kawin bila telah berumur 8 bulan, sedangkan betinanya mulai melahirkan bila telah mencapai umur 6 bulan. Di beberapa negeri, babi kawin pada umur 4 bulan, betinanya mulai bunting setelah dikawini dan akan melahirkan setelah bunting selama enam atau tujuh bulan.

Babi betina yang telah mencapai umur 15 tahun tidak dapat beranak. Jenis binatang ini adalah yang paling banyak mempunyai keturunan. Babi jantan merupakan binatang jantan yang paling tahan lama bertengger di atas betinanya (kawin).

Yang mengherankan, jika sebelah matanya dicungkil ia segera mati. Babi memiliki kesamaan dengan manusia, yaitu kulitnya tidak dapat dikelupas kecuali jika dipotong lebih dulu daging yang berada di bawahnya.”

Penjelasan Hukum Mengusap Khuf Saat Wudhu


Sesungguhnya agama kita adalah agama yang mudah, bukan agama yang berat dan sulit. Agama ini meletakkan hukum-hukum yang sesuai dengan setiap keadaan, yang dengannya terwujudlah kemaslahatan dan terhapuslah kesulitan. Di antara hal itu adalah apa yang telah disyariatkan oleh Allah dalam hal wudhu, jika pada anggota wudhu ada suatu penghalang yang susah untuk dilepas dan butuh untuk tetap dipakai, baik itu untuk menjaga kedua kaki (seperti khuf dan yang semisalnya), atau untuk menjaga kepala (seperti imamah [sorban]), atau untuk menjaga luka (seperti perban dan yang sejenisnya). Sesungguhnya Pembuat syariat (yaitu Allah ta’ala) memberi keringanan untuk orang yang berwudhu untuk mengusap penghalang-penghalang tersebut. Hal itu menjadikannya tidak perlu melepasnya dan mencuci anggota wudhu yang terhalang olehnya. Ini adalah keringanan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap para hambaNya, sekaligus untuk menafikan rasa berat pada diri mereka.
Islam selalu mendatangan kemudahan.Inna ad diina yusrun, sesungguhnya Islam itu mudah, demikian sabda Nabi ‎shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara kemudahan yang diberikan oleh Islam adalah memberikan keringanan saat thoharoh (bersuci). Ketika seseorang mesti mengenakan khuf (sejenis sepatu) dan sulit ia copot karena berada dalam perjalanan (misalnya), maka Islam mengajarkan jika kondisi demikian sepatu tersebut tidak perlu dilepas. Sepatu tersebut hanya perlu diusap asalkan sebelumnya dikenakan dalam keadaan suci. Baik, bagaimanakah Islam menjelaskan hal ini? Alangkah bagusnya kita menyimak ulasan sederhana berikut ini.

Apa itu Khuf dan Apa yang Dimaksud Mengusap?

Khuf adalah sepatu tipis terbuat dari kulit yang menutupi mata kaki. Mengusap kedua khuf (atau yang menempati kedudukannya seperti kaos kaki dan sepatu tentara) adalah perkara yang ada dalam syariat ini dengan dalil hadits-hadits yang shahih, banyak jumlahnya, serta mutawatir, yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap khuf beliau ketika sedang tidak bepergian maupun ketika bepergian. Beliau juga memerintahkan hal itu dan memberi keringanan untuk melakukannya.‎

Imam Shonáni dalam “Subulus Salam” (1/168) menjelaskan perbedaan antara Khuf, Jurmuq dan Jaurobun (kaos kaki), kata beliau:

وَالْخُفُّ : نَعْلٌ مِنْ أَدَمٍ يُغَطِّي الْكَعْبَيْنِ . وَالْجُرْمُوقُ : خُفٌّ كَبِيرٌ يُلْبَسُ فَوْقَ خُفٍّ صَغِيرٍ . وَالْجَوْرَبُ : فَوْقَ الْجُرْمُوقِ يُغَطِّي الْكَعْبَيْنِ بَعْضَ التَّغْطِيَةِ دُونَ النَّعْلِ ، وَهِيَ تَكُونُ دُونَ الْكِعَابِ .

“Khauf adalah sandal dari kulit yang menutupi kedua mata kaki. Jurmuuq adalah Khuf besar yang dipakai diatas khuf kecil. Jaurob (kaos kaki) adalah diatas jurmuuq yang menutupi kedua mata kaki, sebagian menutupi yang tidak tercover oleh sandal, yaitu yang dibawah mata kaki.

Sedangkan mengusap diistilahkan dengan (مَسْحِ) “mash” yaitu tangan yang dalam keadaan basah bergerak menyentuh sesuatu‎. Jadi yang dimaksud mengusap khuf adalah membasahi khuf dengan cara yang khusus, di bagian yang khusus, dan pada waktu yang khusus sebagai ganti dari membasuh kedua kaki saat berwudhu.‎

Dalil Pensyariatan Khuf

Disyari’atkan menurut Al-Kitab dan As-Sunnah, serta ijmak Ahlus Sunnah wal Jama’ah sesuai dengan firman Allah ta'ala

وَامْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ وَأََرْجُلَِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Dan usaplah kepala-kepala kalian dan kaki-kaki kalian hingga ke mata kaki (Al-Maidah 6)
Pensyariatan membasuh khuf telah mutawatir dalil-dalilnya dan disepakati oleh ulama kaum Muslimin. Al Hafidz dalam “Fathul Bari” (1/320) menukil :

نَقَلَ اِبْن الْمُنْذِر عَنْ اِبْن الْمُبَارَك قَالَ : لَيْسَ فِي الْمَسْح عَلَى الْخُفَّيْنِ عَنْ الصَّحَابَة اِخْتِلَاف ؛ لِأَنَّ كُلّ مَنْ رُوِيَ عَنْهُ مِنْهُمْ إِنْكَاره فَقَدْ رُوِيَ عَنْهُ إِثْبَاته ، وَقَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ : لَا أَعْلَم رُوِيَ عَنْ أَحَد مِنْ فُقَهَاء السَّلَف إِنْكَاره إِلَّا عَنْ مَالِك ، مَعَ أَنَّ الرِّوَايَات الصَّحِيحَة عَنْهُ مُصَرِّحَة بِإِثْبَاتِهِ ، وَقَدْ أَشَارَ الشَّافِعِيّ فِي الْأُمّ إِلَى إِنْكَار ذَلِكَ عَلَى الْمَالِكِيَّة ، وَالْمَعْرُوف الْمُسْتَقِرّ عِنْدهمْ الْآن قَوْلَانِ : الْجَوَاز مُطْلَقًا ، ثَانِيهمَا لِلْمُسَافِرِ دُون الْمُقِيم . وَهَذَا الثَّانِي مَا فِي الْمُدَوَّنَة وَبِهِ جَزَمَ اِبْن الْحَاجِب ، وَصَحَّحَ الْبَاجِيّ الْأَوَّل وَنَقَلَهُ عَنْ اِبْن وَهْب ، وَعَنْ اِبْن نَافِع فِي الْمَبْسُوطَة نَحْوه وَأَنَّ مَالِكًا إِنَّمَا كَانَ يَتَوَقَّف فِيهِ فِي خَاصَّة نَفْسه مَعَ إِفْتَائِهِ بِالْجَوَازِ

“Ibnul Mundzir menukil dari Ibnul Mubarok katanya : ‘tidak ada dalam masalah mengusap 2 khuf adanya perselisihan dikalangan para sahabat, karena setiap yang diriwayatkan dari mereka adanya pengingkaran, telah diriwayatkan juga penetapannya’. Ibnu Abdil Bar berkata : ‘aku tidak mengetahui salah seorang fuqoha salaf yang mengingkari membasuh khuf, kecuali Imam Malik, bersamaan bahwa riwayat yang shahih dari beliau tegas menetapkannya’. Imam Syafi’I dalam “Al Umm”  mengisyaratkan adanya pengingkaran mengusap khuf dari Malikiyyah, yang ma’ruf sekarang adalah penetapannya menurut mereka ada 2 pendapat, yang pertama pembolehan secara mutlak dan yang kedua hal ini berlaku untuk musafir bukan untuk orang yang mukim. Yang kedua inilah yang terdapat dalam kitab Al Mudawanah dan ditegaskan oleh Ibnul Haajib. Al baajiy merajihkan yang pertama dan menukil pendapat ini dari Ibnu Wahhab, dan dari Ibnu Naafi’ dalam “Al Mabsuuthoh” pendapat yang serupa. Hanyalah Imam Malik bertawaquf atas hal itu untuk dirinya sendiri, namun beliau telah berfatwa tentang kebolehannya”.

Masalah mengusap khuf adalah masalah fiqih, namun telah menjadi masalah aqidah, manakala sekte bid’ah dalam Islam mengingkari hal ini. Imam Thohawi dalam kitab aqidahnya memasukkan masalah khuf ini, kata beliau :

وَنَرَى الْمَسْحَ على الْخُفَّيْنِ ، في السَّفَرِ وَالْحَضَرِ ، كَمَا جَاءَ في الْأَثَر

“kami berpendapat (disyariatkannya) mengusap kedua khuf pada saat safar maupun hadir (muqim), sebagaimana telah datang dalam Al Atsar”.

Imam Ibnu Abil Izz mensyarahnya dengan berkata :

تَوَاتَرَتِ السنة عَنْ رَسُولِ الله صلى الله عليه وَسَلَّمَ بِالْمَسْحِ على الْخُفَّيْنِ وَبِغَسْلِ الرِّجْلَيْنِ ، وَالرَّافِضَة تُخَالِفُ هذه السنة الْمُتَوَاتِرَة

“tekah mutawatir sunahnya hal ini dari Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa salaam untuk mengusap kedua khuf dan mencuci kedua kaki, kaum Rafidhah menyelisihi sunah yang mutawatir ini”.

Syaikh Muhammad Al Khumais dalam “I’tiqod Ahlus Sunnah” (1/142) berkata :

المسح على الخفين من المسائل الفقهية ، ولأن أهل البدع أنكروا المسح على الخفين نص العلماء عليها في عقائدهم

“Mengusap kedua khuf adalah permasalahan fiqhiyyah, namun karena Ahlul Bid’ah mengingkari mengusap kedua khuf, maka para ulama memasukkah hal ini dalam masalah aqidah”.

Adapun berdasarkan As-Sunnah, maka telah mutawatir hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang disyari’atkannya hal ini. Sehingga Imam Ahmad berkata:

لَيْسَ فِيْ قَلْبِيْ مِنَ الْمَسْحِ شَيْءٌ, فِيْهِ أَرْبَعُوْنَ حَدِيْثًا عَنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم , مَا رَفَعُوْا إِلَى النَّبِيِّ r وَمَا وَقَفُوْا

Tidak ada dalam hatiku (keraguan) sedikitpun tentang mengusap (khuf). Ada empat puluh hadits dari para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ada yang marfu’ dan ada yang mauquf.

Berkata Hasan Al-Bashri :

حَدَّثَنِيْ سَبْعُوْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم, أَنَّهُ مَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ

Telah menceritakan kepadaku tujuh puluh orang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengusap kedua khuf.

Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata :

روى المسح على الخفين خلائق لا يحصون من الصحابة

“Banyak para shahabat yang tak terhitung jumlahnya yang telah meriwayatkan hadits tentang mengusap dua khuf.”‎

Tentang dalil pensyariatan mengusap khuf adalah dari berbagai hadits Nabawiyah. Di antaranya dari hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu,

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.

“Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.”[HR. Abu Daud no. 162.]‎

Dari Al-Mughirah bin Syu’bah -radhialahu anhu- dia berkata:‎

كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي مَسِيرٍ فَقَالَ لِي أَمَعَكَ مَاءٌ قُلْتُ نَعَمْ فَنَزَلَ عَنْ رَاحِلَتِهِ فَمَشَى حَتَّى تَوَارَى فِي سَوَادِ اللَّيْلِ ثُمَّ جَاءَ فَأَفْرَغْتُ عَلَيْهِ مِنْ الْإِدَاوَةِ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَعَلَيْهِ جُبَّةٌ مِنْ صُوفٍ فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُخْرِجَ ذِرَاعَيْهِ مِنْهَا حَتَّى أَخْرَجَهُمَا مِنْ أَسْفَلِ الْجُبَّةِ فَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ أَهْوَيْتُ لِأَنْزِعَ خُفَّيْهِ فَقَالَ دَعْهُمَا فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ وَمَسَحَ عَلَيْهِمَا
“Saya pernah bersama Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pada suatu malam dalam perjalanan, maka beliau bersabda kepadaku, “Apakah kamu memiliki air?” Aku menjawab, “Ya.” Lalu beliau turun dari kendaraannya, lalu berjalan hingga tersembunyi dalam gelapnya malam (untuk buang air besar). Kemudian beliau datang kembali, lalu aku menuangkan air dari geriba untuknya, beliau pun mencuci mukanya. Karena memakai jubah wol yang kedua lengannya sempit, maka beliau pun merasa kesusahan untuk mengelurkan kedua tangannya, beliau lalu mengeluarkannya lewat bawah jubahnya. Lalu beliau mencuci kedua lengannya dan mengusap kepalanya. Kemudian aku jongkok untuk melepas kedua khufnya, maka beliau bersabda, “Biarkanlah keduanya, karena aku memasukkan kedua kakiku padanya dalam keadaan suci.” Maka beliaupun hanya mengusap bagian atas dari kedua khufnya.” (HR. Al-Bukhari no. 206 dan Muslim no. 274)
Dari Shafwan bin ‘Assal -radhiallahu anhu- dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرًا أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ

“Jika kami sedang bepergian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar kami tidak membuka sepatu-sepatu kami selama tiga hari tiga malam kecuali ketika kami junub. Dan tetap boleh untuk mengusap sepatu karena buang air besar, buang air kecil, dan tidur.” (HR. At-Tirmizi no. 96, An-nasai no. 127, Ibnu majah no. 471 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 104)
Dari Ali bin Abi Thalib -radhiallahu anhu- dia berkata:‎

جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ
“Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah menjadikan waktu tiga hari tiga malam bagi musafir (untuk mengusap khuf) dan sehari semalam bagi orang yang menetap (muqim).” (HR. Muslim no. 276)

Ada juga riwayat dari Jabir bin ‘Abdillah Al Bakhili radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau kencing, kemudian berwudhu lalu mengusap kedua khufnya. Ada yang mengatakan padanya, “Betul engkau melakukan seperti itu?” “Iya betul”, jawab Jabir. Saya pernah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam kencing, kemudian beliau berwudhu, lalu hanya mengusap kedua khufnya saja. Dan perlu diketahui bahwa Jabir masuk Islam setelah turun firman Allah yaitu surat Al Maidah berikut,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)‎

Penulis Tuhfatul Ahwadzi rahimahullah menjelaskan bahwa seandainya Jarir masuk Islam lebih dulu sebelum turunnya surat Al Maidah di atas, maka dapat dipahami kalau mengusap khuf itu sudah dihapus dengan ayat Al Maidah tersebut. Namun Islamnya Jabir ternyata belakangan setelah turun surat Al Maidah tadi. Dari sini dapat diketahui bahwa hadits mengusap khuf itu masih tetap diamalkan. Sedangkan yang dimaksud mencuci kaki (bukan mengusap khuf) dalam surat Al Maidah di atas berlaku untuk selain yang mengenakan khuf. Oleh karena itu, sunnah di sini menjadi pengkhusus bagi ayat di atas. Demikian kata An Nawawi.‎‎

Dalil yang menjelaskan disyari’atkannya mengusap khuf diriwayatkan lebih dari 80 sahabat radhiyallahu ‘anhum, di antara mereka adalah sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira masuk surga.‎

Ibnul Mubarok rahimahullah mengatakan, “Tidak ada beda pendapat di kalangan sahabat akan bolehnya mengusap khuf. Karena setiap riwayat yang menunjukkan kalau mereka mengingkari bolehnya hal itu, dalam riwayat lainnya menunjukkan kebalikannya yaitu mereka membolehkan mengusap khuf.”‎

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui riwayat dari salaf yang mengingkari bolehnya mengusap khuf kecuali dari Malik. Namun riwayat shahih dari Imam Malik adalah beliau membolehkan mengusap khuf.”‎

Ibnul Mundzir dan yang selain beliau rahimahumullah menukil kesepakatan para ulama tentang bolehnya hal itu. Ahlus Sunnah wal Jama’ah pun bersepakat tentangnya, berbeda dengan ahlul bid’ah yang berpendapat bahwa hal itu tidak boleh.

Hukum mengusap dua khuf adalah rukhshah (keringanan). Melakukannya lebih utama daripada melepas dua khuf dan mencuci kaki. Hal ini dalam rangka mengambil keringanan dari Allah ‘Azza wa Jalla dan meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menyelisihi ahlul bid’ah.

Mengusap dua khuf dianggap telah mengangkat hadats dari anggota wudhu yang ada di bawah khuf yang diusap. Dahulu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberat-beratkan diri kaitannya dengan keadaan kedua kaki beliau. Jika kedua kaki beliau mengenakan khuf, beliau mengusap khuf tersebut. Jika kedua kaki beliau terbuka (tidak mengenakan khuf dan yang semisalnya), beliau mencuci keduanya. Tidak disyariatkan sengaja mengenakan khuf untuk diusap, dalam keadaan dia tidak butuh untuk mengenakannya.‎

Hukum Mengusap Khuf

Hukum asal mengusap khuf adalah boleh. Menurut mayoritas ulama, mencuci kaki lebih afdhol (lebih utama) daripada mengusap khuf. Mengusap khuf adalah rukhsoh (keringanan) dalam ajaran Islam. Allah subhanahu wa ta’ala amat menyukai orang yang mengambil rukhsoh (keringanan), sebagaimana Dia suka jika seseorang menjauhi larangan-Nya. Namun menurut ulama Hambali, mengusap khuf itu lebih afdhol karena itu berarti seseorang mengambil rukhsoh dan kedua-keduanya (antara mengusap khuf dan mencuci kaki saat wudhu) adalah suatu hal yang sama-sama disyari’atkan.‎

Hikmah Mengusap Khuf

Hikmah mengusap khuf adalah untuk mendatangkan kemudahan dan keringanan bagi setiap muslim. Kesulitan yang dihadapi barangkali adalah kesulitan untuk melepas khuf dan mencuci kedua kaki, apalagi saat musim dingin atau ketika mendapati cuaca yang amat dingin. Begitu pula kesulitan tersebut bisa jadi didapati ketika safar yang biasanya terjadi ketergesa-gesaan sehingga sulit untuk mencuci kaki secara langsung.

Syarat Bolehnya Mengusap Khuf

Syarat yang harus dipenuhi agar dibolehkan mengusap khuf adalah sebelum mengenakan khuf dalam keadaan bersuci (berwudhu atau mandi) terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits Al Mughiroh bin Syu’bah, ia berkata, “Pada suatu malam di suatu perjalanan aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku sodorkan pada beliau bejana berisi air. Kemudian beliau membasuh wajahnya, lengannya, mengusap kepalanya. Kemudian aku ingin melepaskan sepatu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau berkata,

دَعْهُمَا ، فَإِنِّى أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ » . فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا

“Biarkan keduanya (tetap kukenakan). Karena aku telah memakai keduanya dalam keadaan bersuci sebelumnya.” Lalu beliau cukup mengusap khufnya saja.[HR. Ahmad 4/251, Bukhari no. 206 dan Muslim no. 274.]

Syarat ini yaitu mengenakan khuf dalam keadaan sudah bersuci dengan sempurna adalah syarat yang disepakati oleh para ulama.

Adapun syarat yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa khuf tersebut harus menutupi kaki (yang wajib dibasuh saat wudhu), harus kokoh dan kuat digunakan untuk berjalan, maka tentang hal ini telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatwanya akan lemahnya pendapat tersebut.‎

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Mengusap khuf disebutkan secara mutlak. Dan diketahui bahwa cacat ringan secara adat yang didapati pada khuf seperti adanya belahan, sobekan, lebih-lebih lagi jika khuf tersebut sudah lama dikenakan dan para sahabat di masa dahulu kebanyakan miskin, yang tidak mungkin mereka terus menggunakan khuf baru.” 

Pendapat yang tepat adalah masih bolehnya mengusap khuf yang cacat (seperti ada sobekan) selama masih disebut khuf dan selama masih kuat untuk digunakan berjalan.‎

Bagian Mana yang Diusap?

Bagian khuf yang diusap bukanlah seluruh khuf, atau bukan pula pada bagian bawah yang biasa menginjak tanah atau kotoran. Yang diajarkan dalam Islam, ketika berwudhu bagian khuf yang diusap adalah bagian punggung khuf (atas). Jadi cukup bagian atas khuf yang dibasahi lalu khuf diusap (tidak perlu air dialirkan), sebagaimana definisi “mengusap” (مَسْحِ) yang sudah disebutkan di awal.

Dalilnya adalah hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.

“Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.”[HR. Abu Daud no. 162.]‎ 

Jangka Waktu Bolehnya Mengusap Khuf

Keringanan mengusap khuf di sini bukan selamanya, ada masanya yang dibatasi oleh ajaran Islam. Bagi orang yang mukim, jangka waktu mengusap khuf adalah sehari semalam (1×24 jam), sedangkan untuk musafir selama tiga hari tiga malam (3×24 jam).

Dari Shafwan bin ‘Assal, ia berkata,

فَأَمَرَنَا أَنْ نَمْسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ إِذَا نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ ثَلاَثاً إِذَا سَافَرْنَا وَيَوْماً وَلَيْلَةً إِذَا أَقَمْنَا وَلاَ نَخْلَعَهُمَا مِنْ غَائِطٍ وَلاَ بَوْلٍ وَلاَ نَوْمٍ وَلاَ نَخْلَعَهُمَا إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk mengusap khuf yang telah kami kenakan dalam keadaan kami suci sebelumnya. Jangka waktu mengusapnya adalah tiga hari tiga malam jika kami bersafar dan sehari semalam jika kami mukim. Dan kami tidak perlu melepasnya ketika kami buang hajat dan buang air kecil (kencing). Kami tidak mencopotnya selain ketika dalam kondisi junub.”[HR. Ahmad 4/239. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa penjelasan mengenai mengusap khuf dalam hadits ini dinilai shahih lighoirihi (dilihat dari jalur lain). Sedangkan sanad ini hasan dilihat dari jalur ‘Ashim.]‎

Dari Syuraih bin Haani’, ia berkata, aku pernah mendatangi ‘Aisyah, lalu akan menanyakannya mengenai cara mengusap khuf. ‘Aisyah menjawab, “Lebih baik engkau bertanya pada ‘Ali bin Abi Tholib, tanyakanlah padanya karena ‘Ali pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian aku bertanya kepada ‘Ali, lantas ia menjawab,

جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.” [‎HR. Muslim no. 276.]‎ 

Kapan dihitung 1×24 jam (bagi mukim) atau 3×24 jam (bagi musafir)?

Hitungannya adalah dimulai dari mengusap pertama kali setelah berhadats. Demikian pendapat Imam Ahmad, Al Auzai, An Nawawi, Ibnul Mundzir, dan Ibnu ‘Utsaimin. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamkatakan “musafir mengusap” atau “mukim mengusap”. Ini menunjukkan bahwa waktu permulaan sebagai hitungan memulai mengusap adalah ketika mengusap khuf pertama kali. Demikian pemahaman tekstual (zhohir) dari hadits. Wallahu a’lam.

Contoh: Ahmad berwudhu sebelum memulai safar pada pukul 06.00. Pada pukul 09.00, wudhu Ahmad batal karena hadats kecil (kentut). Namun ia berwudhu pada pukul 12.00 saat akan melaksanakan shalat Zhuhur. Maka pada pukul 12.00 mulai hitungann 3×24 jam bagi Ahmad. Jadi setelah 3×24 jam (pukul 12.00 tiga hari berikutnya), masa mengusap khuf bagi Ahmad usai.

Cara Mengusap Khuf

Setelah berwudhu secara sempurna lalu mengenakan khuf, kemudian setelah itu tatkala ingin berwudhu cukup khuf saja yang diusap sebagai ganti dari mencuci (membasuh) kaki. Keringanan seperti ini diberikan bagi orang mukim selama 1×24 jam dan bagi musafir selama 3×24 jam. Namun ketika seseorang terkena hadats besar (yaitu junub), wajib baginya melepas sepatunya saat bersuci. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits Shafwan di atas.

Pembatal Mengusap Khuf

Berakhirnya waktu mengusap khuf.
Terkena junub.
Melepas sepatu.
Jika khuf dilepas –dan masa mengusap khuf belum selesai- kemudian berhadats, maka tidak diperkenankan mengenakan khuf dan mengusapnya, karena ketika itu berarti seseorang memasukkan kakinya dalam keadaan tidak suci.

Jika salah satu pembatal di atas ada, maka tidak diperkenankan mengusap khuf. Wajib baginya ketika berhadats, ia berwudhu lagi, lalu ia mencuci kakinya secara langsung saat itu. Kemudian setelah itu, ia boleh lagi mengenakan khuf dan mengusapnya.

Catatan penting: Jika salah satu pembatal mengusap khuf di atas terwujud tidak berarti wudhunya batal jika memang masih dalam keadaan suci. Demikian pendapat An Nakho’i, Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’, Ibnu Hazm, pilihan An Nawawi, Ibnul Mundzir dan Ibnu Taimiyah.
Mengusap Imamah (Sorban) Ketika Berwudhu
Seseorang yang memakai imamah, ketika berwudhu boleh mengusap imamah itu sebagai ganti dari mengusap kepalanya. Ini adalah amalan yang memang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dalil banyak hadits yang dikeluarkan oleh lebih dari satu ulama hadits. Umar bin Al Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata :
من لم يطهره المسح على العمامة، فلا طهره الله

“Barangsiapa yang menganggap bahwa mengusap imamah (ketika berwudhu) tidak membuatnya suci, maka semoga Alloh tidak mensucikannya.”

Diriwayatkan dari beliau tiga keadaan kaitannya dengan mengusap kepala ketika beliau berwudhu :

Mengusap seluruh kepala. Ini adalah hal yang sudah ma’ruf. Salah satu dalilnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari di dalam Shahih beliau dari ‘Amr bin Yahya Al Muzani, dari ayah beliau bahwa ada seseorang yang berkata kepada ‘Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu – dan beliau adalah kakek ‘Amr bin Yahya :
أتستطيع أن تريني كيف كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يتوضأ فقال عبد الله بن زيد نعم فدعا بماء فأفرغ على يديه فغسل مرتين ثم مضمض واستنثر ثلاثا ثم غسل وجهه ثلاثا ثم غسل يديه مرتين مرتين إلى المرفقين ثم مسح رأسه بيديه فأقبل بهما وأدبر بدأ بمقدم رأسه حتى ذهب بهما إلى قفاه ثم ردهما إلى المكان الذي بدأ منه ثم غسل رجليه.

“Apakah engkau bisa memperlihatkan kepadaku bagaimana dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu?” Abdullah bin Zaid berkata,”Ya.” Beliaupun meminta air lalu menuangkannya ke atas kedua tangannya. Beliau mencuci keduanya dua kali. Kemudian beliau berkumur-kumur dan mengeluarkan air dari hidung. Kemudian beliau mencuci wajah beliau tiga kali, lalu mencuci kedua tangan beliau masing-masing dua kali sampai kedua siku. Kemudian beliau mengusap kepala dengan kedua tangan beliau, menggerakan keduanya ke depan dan ke belakang, yaitu memulai (mengusap) dari bagian depan kepalanya dan kemudian menjalankan kedua telapak tangannya sampai ke (batas) tengkuknya, kemudian mengembalikan lagi kedua telapak tangannya ke tempat memulai mengusapnya (bagian depan kepala). Kemudian beliau mencuci kedua kaki.” (Shahih Al Bukhari, Kitabul Wudhu, Bab Mengusap Seluruh Kepala Berdasarkan Firman Allah : “Dan usaplah kepala kalian,” hadits no. 183).

Mengusap imamah. Salah satu dalilnya adalah hadits ‘Amr bin Umayyah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :
رأيت رسول الله- صلى الله عليه وسلم- يمسح على عمامته وخفيه
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap imamah dan kedua khuf beliau.” (Shahih Al Bukhari, Kitabul Wudhu, Bab Mengusap Dua Khuf, jilid 1, hadits no. 205).

Mengusap imamah dan ubun-ubun. Salah satu dalilnya adalah hadits dari Ibnul Mughirah dari ayah beliau :
أن النبي صلى الله عليه و سلم مسح على الخفين ومقدم رأسه وعلى عمامته
 
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kedua khuf, ubun-ubun, dan imamah beliau.” (Shahih Muslim, Kitabut Thaharah, Bab Mengusap Ubun-Ubun, hadits no. 82-247).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :

 وكان يمسح على رأسه تارة، وعلى العِمامة تارة، وعلى الناصية والعمامة تارة

“Dahulu beliau (ketika berwudhu-pent) sekali waktu mengusap kepala, sekali waktu mengusap imamah, dan kali yang lain mengusap ubun-ubun dan imamah.” (Zadul Ma’ad 1/194)

Mengusap dua khuf dan imamah hanya dibolehkan dalam thaharah dari hadats kecil. Adapun hadats besar, maka tidak sah thaharah dengan mengusap keduanya. Anggota badan yang tertutup keduanya harus dicuci ketika thaharah dari hadats besar itu.
Mengusap Gips dan yang Semisalnya

Ketika berwudhu, seseorang juga boleh mengusap anggota wudhunya yang terbalut atau tertutup oleh gips, perban, atau plester. Dengan syarat, penutup tadi menutupi bagian tubuh yang memang butuh untuk ditutup karena sakit. Adapun jika menutupi bagian lain di dekatnya yang tidak sakit yang sebenarnya tidak perlu diperban, dan bisa dilepas atau dibuka ketika berwudhu, maka bagian itu harus dicuci.
Dalil yang Menunjukkan Bolehnya Mengusap Gips dan yang Semisalnya

Dalil yang menunjukkan bolehnya mengusap gips dan yang semisalnya dalam thaharah adalah hadits Jabir radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :

خرجنا في سفر، فأصاب رجلا منا حجر، فشجه في رأسه، ثم احتلم، فسأل أصحابه: هل تجدون لي رخصة في التيمم ؟ قالوا: ما نجد لك رخصة وأنت تقدر على الماء. فاغتسل، فمات، فلما قدمنا على رسول الله صلى الله عليه وسلم؛ أخبر بذلك، فقال: قتلوه قتلهم الله، ألا سألوا إذا لم يعلموا؛ فإنما شفاء العي السؤال، إنما كان يكفيه أن يتيمم ويعصب على جرحه خرقة ثم يمسح عليها

"Kami sedang bepergian. Salah seorang di antara kami terkena batu di kepalanya dan batu itu melukainya. Kemudian dia mimpi basah. Lalu ia bertanya kepada teman-temannya," Apakah menurut kalian aku memperoleh keringanan untuk bertayamum?" Mereka menjawab, "Tidak ada keringanan (bagimu) karena kamu bisa menggunakan air." Lalu dia mandi dan meninggal. Ketika kami datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kami sampaikan hal itu kepada beliau. Beliau bersabda, "Mereka telah membunuhnya. Semoga Allah memerangi mereka. Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak mengetahui? Sesungguhnya, bertanya adalah obat ketidaktahuan. Seharusnya dia cukup bertayamum, membalut lukanya dengan kain, kemudian mengusap pembalut itu." (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Ibnus Sakan).
Batasan Waktunya

Boleh mengusap gips dan yang semisalnya dalam thaharah dari hadats kecil dan hadats besar. Tidak ada jangka waktu tertentu kaitannya dengan mengusap penutup jenis ini. Seseorang boleh terus mengusapnya ketikah thaharah sampai penutup itu dilepas atau sampai ia sembuh. Sebab, mengusapnya adalah karena darurat sehingga jangka waktunya diperkirakan sesuai dengan keadaan darurat itu.

Tatacara Mengusap Gips Dan Yang Semisalnya

Seseorang yang berwudhu ketika sampai pada anggota wudhu yang diperban sedangkan ada bagian lain dari anggota wudhu itu yang tidak diperban, maka ia mencuci bagian lain yang tidak diperban itu dan mengusap bagian yang diperban dari seluruh sisi. Jika ada bagian perban itu yang membalut anggota tubuh yang bukan merupakan anggota wudhu, maka  tidak perlu mengusap bagian itu. Misalnya seseorang yang kakinya diperban dari setengah telapak kaki sampai betis, maka dia mencuci jari kaki, sedikit bagian atasnya, dan juga setengah telapak kaki yang tidak diperban. Lalu dia mengusap bagian sisanya yang diperban sampai mata kaki. Dia tidak perlu mengusap bagian perban yang membalut betis.

Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua untuk mencari ilmu yang bermanfaat dan beramal shalih.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...