Selasa, 19 Oktober 2021

Penjelasan Hukum Memelihara Anjing


Memelihara binatang merupakan salah satu hobi saya. Binatang yang sangat saya sukai untuk dipelihara adalah ikan. Baik itu ikan konsumtif maupun ikan hias, semuanya menggemaskan. Tidak hanya ikan yang bisa dipelihara tapi banyak binatang pilihan lainnya.

Dalam islam, memelihara binatang itu dibolehkan. Tapi ada sebagian orang yang beranggapan bahwa memelihara binatang itu tidak boleh, sama saja menahan hewan peliharaan tersebut dikandang. 

Dalam Al-Qur’an disebutkan :

وَمَا مِن دَآبَّةٍۢ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا طَٰٓئِرٍۢ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّآ أُمَمٌ أَمْثَالُكُم ۚ مَّا فَرَّطْنَا فِى ٱلْكِتَٰبِ مِن شَىْءٍۢ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (QS - Al An’am 38)

Bukan hanya anjing, semua binatang tidak boleh kita perlakukan secara tidak baik karena mereka Mahluk Allah juga. Lalu mengapa banyak yang tega memperlakukan anjing dengan tidak baik hanya karena alasan klasik yaitu liurnya? Sedangkal itukah umat Islam? ‎

Sebagian kawan bertanya tentang bagaimana hukum memelihara anjing dalam islam. Anjing memang salah satu hewan yang lucu untuk dijadikan hewan peliharaan. Sedangkan kita tahu dalam islam air liur anjing itu najis bahkan harus dicuci hingga 7x salah satunya dengan debu jika terkena air liur anjing.

Sementara di dalam islam kita tahu ada syariat bolehnya memakan hewan buruan yang di dapat dari hewan yang terlatih, salah satunya anjing. Bagaimana jika hendak memeliharanya?

Berikut ini dalil tentang hukum memelihara anjing dalam islam.‎
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنِ اقْتَنَى كَلبًا إِلاَّ كَلْبَ مَا شِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَيْدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمِ قِيْرَاطُ

"Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak dan anjing untuk berburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak satu qirâth (satu qirâth adalah sebesar gunung Uhud).” [HR. Muslim no. 2941].‎

Para ulama madzhab (Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) sepakat bahwa air liur anjing najis kecuali Maliki yang berpendapat anjing tidak najis sama ada air liur atau bulunya. Bagi kaum muslimin di Indonesia, Malaysia, Singapura, Yaman dan lainnya kebanyakan mengikuti madzhab Syafi’iyyah yang menghukumi najis seluruh bagian tubuh anjing jika disentuhnya dalam keadaan basah.

Asy-Syarbini mengatakan :

(وما نجس ) من جامد ولو بعضا من صيد أو غيره ( بملاقاة شيء من كلب ) سواء في ذلك لعابه وبوله وسائر رطوباته وأجزائه الجافة إذا لاقت رطبا ( غسل سبعا إحداهن ) في غير أرض ترابية ( بتراب )

“– Dan apa yang najis – dari sesuatu yang padat walaupun sebagiannya dari buruan atau lainnya – karena besentuhan dengan bagian anjing – sama ada itu air liurnya atau kencingnya dan semua bagiannya yang basah dan anggota tubuhnya yang yang kering jika menyentuh sesuatu yang basah – maka mensucikannya tujuh kali saah satunya dengan tanah.".

Artinya jika menyentuh anjing salah satunya (anjing atau yang menyentuh) sama ada tubuh, pakaian atau tempat dalam keadaan basah, maka menjadi najis dan mensucikannnya tujuh kali cucian salah satunya dicampur dengan tanah. Mafhumnya jika keduanya tidak basah, maka tidaklah najis.

Imam an-Nawawi berkata :

مذهبنا أن الكلاب كلها نجسة، المُعَلَّم وغيره، الصغير والكبير، وبه قال الأوزاعي وأبو حنيفة وأحمد وإسحاق وأبو ثور وأبو عبيد

“Madzhab kami, mengatakan bahwa anjing seluruh bagiannya adalah najis, sama aja anjing terlatih atau bukan, kecil ataupun besar. Pendapat ini juga dikatakan oleh al-Awza’i, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Abu Tsaur dan Abu Ubaid “.

Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari mengatakan :

والكلب ولو معلما لخبر الصحيحين «إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليرقه ثم ليغسله سبع مرات» ولخبر مسلم «طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله سبع مرات أولاهن بالتراب»وجه الدلالة أن الماء لو لم يكن نجسا لما أمر بإراقته لما فيها من إتلاف المال المنهي عن إضاعته وأن الطهارة إما عن حدث أو نجس ولا حدث على الإناء فتعينت طهارة النجس فثبت نجاسة فمه وهو أطيب أجزائه بل هو أطيب الحيوان نكهة لكثرة ما يلهث فبقيتها أولى

“…(najis juga) anjing walaupun terlatih karena ada dua hadits sahih, “ Jika anjing menjilat bejana salah seorang kalian, maka tumpahkanlah dan cuicilah tujuh kali “, dan juga hadits Muslim : ““Sucinya bejana di antara kalian yaitu apabila anjing menjilatnya adalah dengan dicuci tujuh kali dan awalnya dengan tanah.” Sisi pendalilannya adalah sesungguhnya air itu tidak menjadi najis, maka niscaya tidak akan diperintahkan menumpahkannya karena termasuk membuang harta yang terlarang untuk dihilangkan. Dan sesungguhnya bersuci itu adakalanya karena sebab hadats atau najis, sedangkan tidak ada istilah hadats pada bejana, maka menjadi nyata bahwa itu adalah membersihkan dari najis. Maka nyatalah kenajisan mulut anjing tersebut, dan mulut adalah anggota tubuh yang paling bagus bahkan ia paling bagusnya bau mulut hewan karena seringnya menjulurkan lidahnya, maka anggota tubuh lainnya lebih utama (untuk dihukumi najis) “

Dari teks di atas diketahui sisi pendalilan atas kenajisan seluruh bagian tubuh anjing yaitu :‎
 
Dari hadits sahih di atas, dapat dipahami bahwa jika air itu tidak najis maka tidak akan diperintahkan untuk ditumpahkan, karena air termasuk harta yang dilarang untuk dibuang sia-sia.
Mensucikan sesuatu adakalanya karena najis atau hadats, sedangkan bejana tidak mungkin ada hadatsnya, maka perintah mensucikan bejana tersebut tidak ada lain karena adanya najis.
Mulut adalah anggota tubuh yang paling bagus, jika mulut bagian tubuh yang paling bagus pada anjing dinilai najis, maka bagian tubuh lainnya lebih patut dinilai najis.‎

Imam an-Nawawi mengatakan :

قال البيهقي: أجمع المسلمون على نجاسة بول الكلب” وكذلك بول وغائط جميع الحيوانات مما لا يؤكل لحمه

“Imam al-Baihaqi mengatakan, “ Para ulama sepakat (ijma’) atas najisnya kencing anjing “, demikian juga kencing dan kotoran semua hewan yang haram dimakan dagingnya “.

Adapun hadits :

 كَانَتِ الْكِلَابُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي الْمَسْجِدِ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ

“Konon anjing-anjing di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kencing dan berlalu di masjid, para sahabat tidak ada yang memercikkan sedikitpun dari itu semua “.

Maka jawabannya adalah : Najis anjing sudah ijma’ para ulama. Sedangkan kasus di atas adalah begini; asal bumi ini adalah suci, maka kapan saja kita tidak mengetahui, apakah bumi masjid itu terkena najis anjing atau tidak, maka kita hukumi dengan yakin yaitu tidak adanya wujud najis tersebut, bumi telah Allah jadikan sebagai masjid (layak untuk tempat sujud). Dan kita tidak dibebankan untuk meneliti bekas-bekas anjing di dalamnya.

Dalam hadits sahih Muslim pun disebutkan :

 أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم أَصْبَحَ يَوْمًا وَاجِمًا، فَقَالَتْ مَيْمُونَةُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ لَقَدِ اسْتَنْكَرْتُ هَيْئَتَكَ مُنْذُ الْيَوْمِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم : ” إِنَّ جِبْرِيلَ كَانَ وَعَدَنِي أَنْ يَلْقَانِي اللَّيْلَةَ فَلَمْ يَلْقَنِي أَمَ وَاللَّهِ مَا أَخْلَفَنِي “، قَالَ : فَظَلَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم يَوْمَهُ ذَلِكَ عَلَى ذَلِكَ ثُمَّ وَقَعَ فِي نَفْسِهِ جِرْوُ كَلْبٍ تَحْتَ فُسْطَاطٍ لَنَا، فَأَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهِ مَاءً، فَنَضَحَ مَكَانَهُ فَلَمَّا أَمْسَى لَقِيَهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ لَهُ قَدْ كُنْتَ وَعَدْتَنِي أَنْ تَلْقَانِي الْبَارِحَةَ قَالَ أَجَلْ وَلَكِنَّا لَا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ فَأَصْبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ فَأَمَرَ بِقَتْلِ الْكِلَابِ حَتَّى إِنَّهُ يَأْمُرُ بِقَتْلِ كَلْبِ الْحَائِطِ الصَّغِيرِ وَيَتْرُكُ كَلْبَ الْحَائِطِ الْكَبِيرِ

“Sesungguhnya pada suatu pagi Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam kelihatan diam karena susah dan sedih. Maimunah berkata; “Ya, Rasululloh! Aku heran melihat sikap Anda sehari ini. Apa yang telah terjadi?” Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Jibril berjanji akan datang menemuiku malam tadi, ternyata dia tidak datang. Ketahuilah, dia pasti tidak menyalahi janji denganku! ‘ Demikianlah Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam senantiasa kelihatan susah dan sedih sehari itu. Kemudian beliau melihat seekor anak anjing di bawah tempat tidur kami, lalu beliau menyuruh keluarkan anak anjing itu. Kemudian diambilnya air lalu dipercikinya (bekas-bekas) tempat anjing itu. Ketika hari sudah petang, Jibril datang menemui beliau. Kata beliau kepada Jibril: ‘Anda berjanji akan datang pagi-pagi.’ Jibril menjawab; ‘Benar! Tetapi kami tidak dapat masuk ke rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar-gambar.’ Pada pagi harinya Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam memerintahkan supaya membunuh semua anjing, sampai anjing penjaga kebun yang sempit, tetapi beliau membiarkan anjing penjaga kebun yang luas.’ (HR. Muslim)

Dari hadits di atas, diketahui bahwa seandainya anjing tidak najis, maka Nabi tidak akan memercikkan bekas-bekas tempat anjing tersebut dengan air.

Dengan ini bagi kami yang paling rajih adalah pendapat yang menghukumi kenajisan seluruh bagian anjing jika disentuhnya dalam keadaan basah salah satunya. Maka tidak sepatutnya memaksa kami mengikuti pendapat sebalilknya, apatah lagi kaum muslimin Malaysia, Indonesia dan lainnya mayoritas mengikuti pendapat Syafi’iyyah, sepatutnya mereka menghormati pendapat ini yang sudah dipegang selama puluhan tahun secara turun menurun. Apakah pengikut Syafi’iyyah atau Hanbaliyyah boleh memaksakan penduduk Libia yang mayoritas bermadzhab Maliki untuk mengikuti pendapatnya saat berada di Libia ? tentu akan terjadi konflik bila hal ini terjadi.

Kalau pun masing-masing pendapat masih samar mana yang rajih, maka yang patut dipegang dan diambil adalah pendapat yang lebih mendekati kehati-hatian dalam Agama. Karena melaksakan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

دع ما يريبك إلى ما لا يريبك

“Tinggalkan apa yang membuatmu ragu kepada apa yang tidak membuatmu ragu “. (HR. At-Turmudzi)

HUKUM MENYENTUH ANJING TANPA ADA KEPERLUAN‎

Lalu bagaimana hukumnya jika menyentuh anjing tanpa adanya hajat atau keperluan ?

Jika kita yakin tangan kita atau anjing itu tidak basah alias kering, maka hukumnya tidak najis dan boleh namun makruh. Namun jika tangan kita basah dan sengaja menyentuh anjing, maka jelas hukumnya najis dan haram karena ada unsur kesengajaan menyentuh najis. Imam al-Malibari mengatakan :

(ولا يجب اجتناب النجس) في غير الصلاة ومحله في غير التضمخ به في بدن أو ثوب فهو حرام بلا حاجة

“– Dan tidak wajib menjauhi Najis – di selain sholat dan tempatnya, kecuali di selain melumurkan najis pada badan atau pakaian, maka perbuatan itu adalah haram “.
Imam An-Nawawi al-Bantani mengatakan :

والمقصد الرابع  من مقاصد الطهارة إزالة النجاسة وإزالتها واجبة إلا في النجاسة المعفو عنها وهي على الفور إن عصى بها كأن تضمخ بها لغير حاجة

“Tujuan yang keempat dari tujuan-tujuan bersuci adalah menghilangkan najis. Menghilangkan najis hukumnya wajib kecuali pada najis yang dimaafkan, dan mensucikan najis itu dilakukan dengan segera jika terkena najis dengan berdosa seperti melumurkan dengan najis tanpa adanya hajat “.

HUKUM MEMELIHARA ANJING‎

Memelihara anjing hukumnya haram kecuali jika ada tujuan-tujuan yang dibenarkan Syare’at seperti menjaga tanaman, ternak atau buruan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنِ اقْتَنَى كَلبًا إِلاَّ كَلْبَ مَا شِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَيْدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمِ قِيْرَاطُ

"Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak dan anjing untuk berburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak satu qirâth (satu qirâth adalah sebesar gunung Uhud).” [HR. Muslim no. 2941].

Imam an-Nawawi mengatakan :

رخص النبي صلى الله عليه وسلم في كلب الصيد وكلب الغنم، وفي الرواية الأخرى وكلب الزرع ونهى عن اقتناء غيرها، وقد اتفق أصحابنا وغيرهم على أنه يحرم اقتناء الكلب لغير حاجة، مثل أن يقتني كلباً إعجاباً بصورته أو للمفاخرة به، فهذا حرام بلا خلاف

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringangan pada anjing buruan dan anjing penjaga ternak, dalam riwayat yang lain, anjing penjaga tanaman dan melarang memelihara anjing dari selain tujuan itu. Para sahabat kami dan lainnya telah sepakat bahwa haram memelihara anjing tanpa ada hajat (keperluan) seperti memelihara anjing karena kagum dengan bentuknya atau karena untuk bangga-banggaan, maka ini semua haram tanpa khilaf “.

Al-Hafidz Ibnu Hajar menaqal pendapat Ibnu Abdil Barr yang menghukumi makruh menjadikan anjing untuk selain kepentingan seperti dalam hadits, namun sebenarnya itu diqiyaskan pada makna buruan dan sesuatu yang dapat menarik manfaat dan mencegah bahaya, kemudian Ibnu Abdil Barr melanjutkan:‎

 وفي قوله : نقص من عمله – أي من أجر عمله – ما يشير إلى أن اتخاذها ليس بمحرم ، لأن ما كان اتخاذه محرما امتنع اتخاذه على كل حال سواء نقص الأجر أو لم ينقص ، فدل ذلك على أن اتخاذها مكروه لا حرام

“Dan ucapan ; “ Berkurang dari amalnya “ maksudnya dari pahala amalnya “, ini mengisyaratkan bahwa menjadikannya (binatang peliharaan) tidaklah haram, karena setiap yang menjadikannya dihkumi haram, maka dilarang juga menjadikannya dalam keadaan apapun, sama ada pahalanya berkurang ataupun tidak. Maka hal itu menunjukkan bahwa menjadikannyanya hukumnya adalah makruh bukan haram “.

Akan tetapi al-Hafidz Ibnu Hajar membantahnya :‎
 
وما ادَّعاه من عدم التحريم واستند له بما ذكره ليس بلازمٍ ، بل يحتمل أنْ تكون العقوبة تقع بعدم التوفيق للعمل بمقدار قيراط مما كان يعمله من الخير لو لم يتخذ الكلب. ويحتمل أن يكون الاتخاذ حراماً، والمراد بالنقص أن الإثم الحاصل باتخاذه يوازي قدر قيراط أو قيراطين من أجر فينقص من ثواب المتَّخذ قدر ما يترتب عليه من الإثم باتخاذه وهو قيراط أو قيراطان

“Apa yang diklaim Ibnul Abdil Barr dari tidak haramnya hal itu dan bersandar dengan apa yang telah ia sebutkan tadi, tidaklah lazim. Bahkan berkemungkinan hukuman (kurang satu atau dua qirath) terjadi dengan tidak mendapat taufiq untuk beramal pada kadar satu qirath daripada amalam-amalan baiknya walau tidak memelihara anjing sekalipun. Dan berkemungkinan memelihara anjing itu adalah haram, dan apa yang dikehendaki dengan pengurangan ialah dosa yg terhasil dengan memelihara anjing adalah bersamaan kadar satu atau dua qirath daripada pahala, maka pahala pemelihara anjing berkurang pada kadar apa yang ditetapkan ke atasnya daripada dosa kerana memeliharanya iaitu satu atau dua qirath.“

Maka kesimpulannya adalah memelihara anjing tanpa adanya hajat seperti yang disebutkan dalam hadits yaitu untuk menjaga ternak, tanaman atau untuk berburu atau untuk sesuatu yang semakna misal menjaga rumah, maka pendapat yang mu’tamad dan diikuti mayoritas ulama hukumnya adalah haram.

Sebuah penelitian kedokteran membuktikan bahwa anjing dapat menyebarkan banyak penyakit ; Prof. Thabârah dalam kitab Rûh ad-Dîn al-Islâmi menyatakan, “ Di antara hukum Islam bagi perlindungan badan adalah penetapan najisnya anjing. Ini adalah mu’jizat ilmiyah yang dimiliki Islam yang mendahului kedokteran modern. Kedokteran modern menetapkan bahwa anjing menyebarkan banyak penyakit kepada manusia, karena anjing mengandung cacing pita yang menularkannya kepada manusia dan menjadi sebab manusia terjangkit penyakit yang berbahaya, bisa sampai mematikan. Sudah ditetapkan bahwa seluruh anjing tidak lepas dari cacing pita sehingga wajib menjauhkannya dari semua yang berhubungan dengan makanan dan minuman manusia “.

Rasulullah bersabda :

طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Sucinya bejana di antara kalian yaitu apabila anjing menjilatnya adalah dengan dicuci tujuh kali dan awalnya dengan tanah.” (HR. Muslim no. 279)

Ada hadist lain mengatakan hal yang serupa...

إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى الإِنَاءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ فِى التُّرَابِ
 “Jika anjing menjilat (walagho) di salah satu bejana kalian, cucilah sebanyak tujuh kali dan gosoklah yang kedelapan dengan tanah (debu)” (HR. Muslim no. 280).‎

Rasullullah SAW mengajarkan kita beretika dalam berinteraksi dengan anjing lewat hadist-hadist tersebut. Jika seekor anjing yang kita pelihara ingin makan dan minum, maka berilah dia wadah sendiri yang hanya dipergunakan untuk anjing, menurut pendapat saya, apapun binatang tersebut saya kira sangat tidak baik jika binatang makan/minum dari wadah/bejana yang kita gunakan sehari-hari. Maka ada makna lain dari hadist Rasulullah tersebut yaitu masalah etika dalam berinteraksi dengan binatang atau pendeknya interaksi antar spesies.

Secara umum liur anjing sama dengan liur mahluk-mahluk hidup lainnya, betul bahwa liur anjing kotor dan najisnya berat maka dari itu Rasulullah memerintahkan kita untuk mencuci bejana kita yang terjilat oleh anjing dengan hukum 7 kali tersebut, namun jika mengenai anggota tubuh kita maka kita bisa membersihkannya seperti biasa, tidak ada ketentuan hukum cuci 7 kali untuk hal ini. Jika liur anjing merupakan sesuatu hal yang fatal maka Rasulullah SAW akan secara tegas melarangnya untuk mengenai anggota tubuh kita secara tegas seperti halnya beliau secara tegas memerintahkan kita untuk mencuci bejana yang terjilat anjing dengan hukum cuci sebanyak 7 kali dan 1 kali diantaranya menggunakan media tanah. 
Terdapat hal yang menarik dari liur anjing, bahwa ada pernyataan ilmu sains dimana sebenarnya liur anjing mengandung antibiotik yang dapat menyembuhkan luka setidaknya luka pada anjing itu sendiri.

"People often ask about dogs licking their wounds, and whether that promotes healing or gets in the way of proper healing. There’s nothing quite so pitiful as an injured dog wearing one of those big conical collars to prevent them from doing what they most want to do by nature – lick their wounds." (source: http://www.dogguide.net/blog/2008/02/licking-wounds/)

Canines had consistently lower averages of bacteria growth compared to humans, and very few reachedthe highest category of growth (growth in all three segments) whereas most humans reached the highestcategory. Humans all had growth on day three, but 28% of dogs had no growth at all on day three. Unlikemost.‎

Tapi dengan adanya hal itu saya katakan BUKAN BERARTI liur anjing bersih... secara logis tetaplah kotor, karena liur dihasilkan oleh kelenjar ludah yang berfungsi untuk memudahkan proses makan dan pencernaan. Jangankan anjing, hewan lain pun sama, bahkan manusia, namun penelitian-penelitian banyak dilakukan dewasa ini sehingga banyak hal-hal baru yang tadinya kita tidak tahu, menjadi tahu.  Mengapa saya katakan bahwa hanya liur anjing yang mengenai bejana saja yang diwajibkan untuk disucikan dengan hukum 7 kali tersebut? Ada hal yang memperkuat hal tersebut yaitu :

يَسْـَٔلُونَكَ مَاذَآ أُحِلَّ لَهُمْ ۖ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ ۙ وَمَا عَلَّمْتُم مِّنَ ٱلْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ ٱللَّهُ ۖ فَكُلُوا۟ مِمَّآ أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَٱذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ عَلَيْهِ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ

Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. (QS Al-maidaah 4)

Ada hubungan yang mempertegas mengenai ayat dari surat Al-Maidaah ayat 4 tersebut yaitu dari perkataan Rasulullah SAW yang berbunyi :

و حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمِعْرَاضِ فَقَالَ إِذَا أَصَابَ بِحَدِّهِ فَكُلْ وَإِذَا أَصَابَ بِعَرْضِهِ فَقَتَلَ فَإِنَّهُ وَقِيذٌ فَلَا تَأْكُلْ وَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْكَلْبِ فَقَالَ إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُلْ فَإِنْ أَكَلَ مِنْهُ فَلَا تَأْكُلْ فَإِنَّهُ إِنَّمَا أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ قُلْتُ فَإِنْ وَجَدْتُ مَعَ كَلْبِي كَلْبًا آخَرَ فَلَا أَدْرِي أَيُّهُمَا أَخَذَهُ قَالَ فَلَا تَأْكُلْ فَإِنَّمَا سَمَّيْتَ عَلَى كَلْبِكَ وَلَمْ تُسَمِّ عَلَى غَيْرِهِ و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ قَالَ وَأَخْبَرَنِي شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ قَالَ سَمِعْتُ الشَّعْبِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عَدِيَّ بْنَ حَاتِمٍ يَقُولُا سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمِعْرَاضِ فَذَكَرَ مِثْلَهُ و حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ نَافِعٍ الْعَبْدِيُّ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي السَّفَرِ وَعَنْ نَاسٍ ذَكَرَ شُعْبَةُ عَنْ الشَّعْبِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عَدِيَّ بْنَ حَاتِمٍ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمِعْرَاضِ بِمِثْلِ ذَلِكَ

Jika kamu melepas anjing buruanmu setelah menyebut nama Allah, maka makanlah buruan tersebut, selagi anjing buruanmu tak memakannya. Dan telah menceritakan kepadaku Yahya bin Ayyub telah menceritakan kepada kami Ibnu 'Ulayyah berkata; & telah mengabarkan kepadaku, Syu'bah dari Abdullah bin Abu As Safar berkata; saya telah mendengar Asy Sya'bi berkata; saya mendengar dari 'Adi bin Hatim berkata; saya bertanya kepada Rasulullah tentang mi'radl, lalu menyebutkan sama di atas. Dan telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Nafi' Al 'Abdi telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan .kepada kami. (HR. Muslim 3562)

Disitu tersirat sebuah riwayat dimana kita boleh memakan daging hasil buruan anjing, tidak ada perintah untuk mencuci 7 kali daging tersebut. Lalu dengan apa anjing berburu? Tentunya tidak dengan busur panah, pasti menggunakan moncongnya untuk menangkap mangsanya. Bukan anjing gila yg menangkap buruan tsb melainkan anjing yang terlatih. Jadi itulah faktanya, liur anjing dikatakan najis ketika menjilat bejana (wadah) yang dipakai oleh manusia sehari-hari dan diperintahkan untuk mencuci bejana yang terjilat tersebut dengan hukum 7 kali sesuai hadist rasulullah, ketika Liur anjing mengenai anggota tubuh kita serta benda lain selain bejana maka tidak perlu hukum 7 kali karena hukum 7 kali tersebut berlaku hanya untuk bejana yang terjilat anjing atau terkena liurnya saja.

Takhtimah

Jadi apa yang menghalangi umat muslim untuk memelihara anjing? Semua sudah ada faktanya, sudah kita lihat kebenarannya dari dalil-dalil yang ada. Anjing boleh dipelihara dengan suatu tujuan dan bermanfaat, dalam memelihara anjing diperlukan sebuah komitmen karena memelihara anjing sama dengan merawat anak, mereka mahluk hidup, lucu pada saat masih kecil (puppy), menggemaskan pada saat remaja, gagah dan cantik pada saat dewasa, dan akhirnya tidak menarik lagi secara visual pada saat sudah tua. Islam melarang kita memelihara anjing dengan tujuan sekedar hobby atau gaya-gayaan semata, atau bahkan karena gengsi, sehingga pemeliharaannya mendatangkan kemudharatan bagi kita, dan juga bagi si anjing nya sendiri.

Banyak pemilik anjing yang mencampakkan anjingnya karena sudah tua, sudah lamban, sudah dinilai tidak berguna....atau karena hobby barunya, atau karena ingin memelihara anjing jenis lain sesuai trend. Inilah yang salah! di shelter sana banyak sekali kasus2 anjing yang dibuang karena berbagai hal seperti membuang anjing dengan alasan penyakit. Saya kira adalah hal yang kekanak-kanakan. Sebagai owner yang bertanggung jawab kita harus menjamin kesehatan anjing yang kita pelihara karena mereka adalah mahluk hidup juga. Lalu, jika anjing yang kita pelihara tidak mau nurut, cobalah kita introspeksi apakah kita sudah cukup punya waktu untuk melatih anjing? 

Apakah kita memberikan kebaikan pada anjing kita? Apakah kita memperlakukan anjing tidak pada semestinya? (memanusiakan anjing, terlalu memanjakan anjing sehingga timbul sifat-sifat dominan pada anjing) sebelumnya sudah kita bahas mengenai tujuan dan niat kita selaku umat muslim dalam memelihara anjing itu untuk apa. Lalu adakalanya anjing yang kita pelihara sudah tua dan dinilai lamban, apakah kita tega membuangnya? Membuang anjing tidak menyelesaikan permasalahan malah menambah masalah baru yang berkaitan dengan populasi anjing-anjing terlantar diluar sana. Sikap seperti inilah yang bertentangan dengan Islam. Apakah seorang muslim yang baik dibenarkan untuk menelantarkan mahluk hidup? Memperlakukannya secara tidak baik? 

Binatang akan ikut bersaksi pada saat hisab kita nanti seperti dalam hadist rasulullah saw yang berbunyi :

“Sesungguhnya berita yang akan disampaikan oleh bumi ialah bumi menjadi saksi terhadap semua perbuatan manusia, sama ada lelaki ataupun perempuan terhadap apa yang mereka lakukan di atasnya. Bumi akan berkata: Dia telah melakukan itu dan ini pada hari itu dan ini. Itulah berita yang akan diberitahu oleh bumi.” (HR. Imam Tirmizi).

Jadi perlakukanlah anjing dengan baik karena mereka mahluk hidup seperti kita...banyak peristiwa-peristiwa heroik dimana anjing dapat mencium hal-hal yang tidak beres, kemudian menyelamatkan nyawa manusia. Intinya adalah niat kita memelihara anjing, dan anjing tersebut haruslah memberikan manfaat bagi kita. Jadi siapa bilang orang muslim dilarang untuk memelihara anjing? Silakan direnungkan, dan seperti yang saya katakan pada awal tulisan ini bahwa tulisan ini bukanlah suatu doktrinasi melainkan pandangan saya pribadi mengenai anjing.  Islam akan tetap sama dan sesuai dengan perkembangan zaman karena Islam merupakan penyempurnaan dari ajaran-ajaran sebelumnya. Islam adalah agama yang penuh dengan kemudahan. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah 185 yang berbunyi :

شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًۭى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍۢ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍۢ فَعِدَّةٌۭ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.‎‎

Penjelasan Tentang Haramnya Anjing


Dalam malam  ini kami akan menjelaskan bahwa makanan yang diharamkan bukan sebatas yang disebutkan dalam Al Qur’an saja. Sebagian kaum muslimin ada yang memahaminya seperti itu. Sehingga akibatnya mereka nyatakan bahwa anjing itu halal karena tidak diharamkan dalam Al Qur’an. 

Dalil mereka adalah ayat berikut ini, 

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ 

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al An’am: 145). 

Berdasarkan ayat ini ada dua kesimpulan dari mereka. 
Pertama, hukum asal setiap makanan itu halal karena ayat ini jelas menyatakan, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya”. 
Kedua, yang dikecualikan dari pernyataan halal sebelumnya artinya menjadi haram adalah empat macam yaitu bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Jadi ada empat saja yang terlarang. 

Dalam ayat ini tidak disebutkan anjing, maka asalnya anjing itu halal. Baiklah, apakah pemahaman semacam ini dibenarkan? Itu yang insya Allah akan kita bahas. 

Intinya, kami akan memaparkan bahwa hadits nabi seharusnya jadi pegangan dan jangan hanya memperhatikan Al Qur’an Al Karim saja. Karena hadits Nabawi itu berfungsi sebagai penjelas dan pelengkap Al Qur’an, maka hukum yang ditetapkan dalam hadits pun harus diambil. 

Lebih lanjut mari kita simak pembahasan berikut ini. Petunjuk Nabimu Tidak Boleh Diabaikan Jika ada yang menanyakan, “Apakah makanan atau hewan yang diharamkan hanya sebatas yang disebutkan dalam Al Qur’an?” Jawabannya, tidak hanya terbatas dalam Al Qur’an saja. Karena kita pun diperintahkan untuk mentaati perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang tetap kita jauhi. Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

 فَعَلَيْنَا أَنْ نَتَّبِعَ الْكِتَابَ وَعَلَيْنَا أَنْ نَتَّبِعَ الرَّسُولَ وَاتِّبَاعُ أَحَدِهِمَا هُوَ اتِّبَاعُ الْآخَرِ ؛ فَإِنَّ الرَّسُولَ بَلَّغَ الْكِتَابَ وَالْكِتَابُ أَمْرٌ بِطَاعَةِ الرَّسُولِ . وَلَا يَخْتَلِفُ الْكِتَابُ وَالرَّسُولُ أَلْبَتَّةَ كَمَا لَا يُخَالِفُ الْكِتَابُ بَعْضُهُ بَعْضًا 

“Wajib bagi kita untuk mengikuti Al Qur’an, begitu pula wajib bagi kita mengikuti petunjuk Rasul. Mengikuti salah satu dari keduanya (Al Qur’an dan hadits Rasul), berarti mengikuti yang lainnya. Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bertugas untuk menyampaikan isi Al Qur’an. Dalam Al Qur’an sendiri terdapat perintah untuk menaati Rasul. Perlu juga dipahami bahwa Al Qur’an dan petunjuk Rasul sama sekali tidak saling bertentangan sebagaimana halnya isi Al Qur’an tidak saling bertentangan antara ayat satu dan ayat lainnya.”

Kita dapat melihat bahwa dalam beberapa ayat, Allah memerintahkan untuk menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Ayat pertama,

 قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ 

“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imron: 32). 
Ayat ini menunjukkan dengan jelas kita harus menaati Rasul.

 Ayat kedua,

 فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ 

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nur: 63). 
Ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menyelisihi perintah Rasul akan mendapat ancaman. Hal ini menunjukkan bahwa perintah beliau pun harus tetap diikuti.

 Ayat ketiga,

 وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ 

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab: 36). 
Ayat ini menunjukkan orang mukmin tidak lagi punya pilihan jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menetapkan hukumnya.

 Ayat keempat, 

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ 

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).” (QS. An Nisa’: 59). 
Ayat ini menunjukkan agar mengembalikan perselisihan kepada Allah dan Rasul-Nya. 

Ayat kelima,‎

 فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ “

Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”(QS. An Nisa’: 59).
 Ayat ini menunjukkan bahwa kita diperintahkan untuk mengembalikan perselisihan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sini menunjukkan benarnya dan menunjukkan konsekuensi dari keimanan.‎

Berbagai hadits pun menunjukkan untuk menaati Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits pertama, 

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

 “Maka, hendaklah kalian berpegang dengan sunahku, sunah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham.” (HR. Abu Daud no. 4607, At Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 42, Ahmad 4/126. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) 

Hadits kedua, 

دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

 “Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian, hanyasanya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka gemar bertanya dan menyelisihi nabi mereka, jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337, dari Abu Hurairah) 

Hadits ketiga,

أَلاَ إِنِّى أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلاَ يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلاَلٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ أَلاَ لاَ يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الأَهْلِىِّ وَلاَ كُلُّ ذِى نَابٍ مِنَ السَّبُعِ وَلاَ لُقَطَةُ مُعَاهِدٍ إِلاَّ أَنْ يَسْتَغْنِىَ عَنْهَا صَاحِبُهَا وَمَنْ نَزَلَ بِقَوْمٍ فَعَلَيْهِمْ أَنْ يَقْرُوهُ فَإِنْ لَمْ يَقْرُوهُ فَلَهُ أَنْ يُعْقِبَهُمْ بِمِثْلِ قِرَاهُ

 “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al -Qur’an dan yang semisal bersamanya (As Sunnah). Lalu ada seorang laki-laki yang dalam keadaan kekenyangan duduk di atas kursinya berkata, “Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Al-Qur’an! Apa yang kalian dapatkan dalam Al-Qur’an dari perkara halal maka halalkanlah. Dan apa yang kalian dapatkan dalam Al-Qur’an dari perkara haram maka haramkanlah. Ketahuilah! Tidak dihalalkan bagi kalian daging keledai jinak, daging binatang buas yang bertaring dan barang temuan milik orang kafir mu’ahid (kafir dalam janji perlindungan penguasa Islam, dan barang temuan milik muslim lebih utama) kecuali pemiliknya tidak membutuhkannya. Dan barangsiapa singgah pada suatu kaum hendaklah mereka menyediakan tempat, jika tidak memberikan tempat hendaklah memberikan perlakukan sesuai dengan sikap jamuan mereka.” (HR. Abu Daud no. 4604. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Perhatikan baik-baik kalimat  dalam hadits ketiga ini. Seakan-akan apa yang dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar terjadi saat ini. Ternyata saat ini sebagian umat Islam hanya mau mengambil apa yang telah disebutkan dalam Al Qur’an saja. Sehingga karen anjing tidak disebut dalam Al Qur’an kalau itu haram, maka mereka pun tidak mengharamkannya. Sungguh inilah bukti nubuwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk menataati Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diperintahakan untuk mengikuti petunjuk beliau secara mutlak dan dalam perintah tersebut tidak dikaitkan dengan syarat apa pun. Oleh karena itu mengikuti beliau sama halnya dengan mengikuti Al Qur’an. Sehingga tidak boleh dikatakan, kita mau mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam asalkan bersesuaian dengan Al Qur’an. Sungguh perkataan semacam ini adalah perkataan orang yang menyimpang.”

Ringkasnya dari pembahasan dan dalil-dalil yang kami kemukakan: Walaupun tidak ada larangan atau perintah dalam Al Qur’an, namun jika Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan atau melarang, maka seruan beliau tetap harus dipatuhi.‎

Dalil Najisnya Air Liur Anjing

Adapun dalil dari sunnah yang telah diterima semua ulama tentang najisnya air liur anjing adalah sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَال إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا. صحيح البخاري – (ج 1 / ص 298)

Dari Abu Hurairah, berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Apabila Anjing minum pada bejana salah seorang dari kamu, maka cucilah tujuh kali. (HR Al-Bukhariy)‎

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إذا شرب الكلب في إناء أحدكم فليغسله سبعا. متفق عليه

ولأحمد ومسلم: طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله سبع مرات أولاهن بالتراب

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali." Dan menurut riwayat Ahmad dan Muslim disebutkan salah satunya dengan tanah." (HR Muslim 279, 91, Ahmad 2/427)

Maka seluruh ulama sepakat bahwa air liur anjing itu najis, bahkan levelnya najis yang berat (mughallazhah). Sebab untuk mensucikannya harus dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan menggunakan tanah.

Siapa yang menentang hukum ini, maka dia telah menentang Allah dan rasul-Nya. Sebab Allah SWT dan Rasulullah SAW telah menegaskan kenajisan air liur anjing itu.

Khilaf Dalam Penetapan Najisnya Tubuh Anjing

Seluruh ulama telah membaca hadits-hadits di atas, tentunya mereka semua sepakat bahwa air liur anjing itu najis berat.

Namun yang disepakati adalah kenajisan air liurnya. Lalu bagaimana dengan kenajisan tubuh anjing, dalam hal ini umumnya ulama mengatakan bahwa karena air liur itu bersumber dari tubuh anjing, maka otomatis tubuhnya pun harus najis juga. Sangat tidak masuk akal kalau kita mengatakan bahwa wadah air yang kemasukan moncong anjing hukumnya jadi najis, sementara tubuh anjing sebagai tempat munculnya air liur itu kok malah tidak najis.

Namun kita akui bahwa ada satu pendapat menyendiri yang mengatakan bahwa tubuh anjing itu tidak najis. Yang najis hanya air liurnya saja. Karena hadits-hadits itu hanya menyebut air liurnya saja, tidak menyebutkan bahwa badan anjing itu najis. Pendapat ini dikemukakan oleh para ulama kalangan mazhab Malikiyah. Meski kurang masuk akal, namun kita hormati pendapat mereka dengan alur logika berfikirnya.

Namun yang pasti, ulama kalangan mazhab Maliki tidak pernah menolak dalil dari sunnah nabawiyah. Mereka bukan ingkarussunnah yang hanya memakai Quran lalu kafir kepada hadits. Mereka adalah mazhab fiqih yang beraliran ahlussunnah wal jamaah juga.

Lebih dalam tentang bagaimana perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kenajisan anjing ini, kita bedah satu persatu sesuai apa yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih rujukan utama.

a. Mazhab Al-Hanafiyah

Dalam mazhab ini sebagaimana yang kita dapat dikitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 64, kitab Al-Badai` jilid 1 halaman 63, disebutkan bahwa
yang najis dari anjing ada tiga, yaitu: air liur, mulut dan kotorannya.

Sedangkan tubuh dan bagian lainnya tidak dianggap najis. Kedudukannya sebagaimana hewan yang lainnya, bahkan umumnya anjing bermanfaat banyak buat manusia. Misalnya sebagai hewan penjaga atau pun hewan untuk berburu. Mengapa demikian?

Sebab dalam hadits tentang najisnya anjing, yang ditetapkan sebagai najis hanya bila anjing itu minum di suatu wadah air. Maka hanya bagian mulut dan air liurnya saja (termasuk kotorannya) yang dianggap najis.

b. Mazhab Al-Malikiyah

Seperti sudah disebutkan di atas, nazhab inimengatakan bahwa badan anjing itu tidak najis kecuali hanya air liurnya saja. Bila air liur anjing jatuh masuk ke dalam wadah air, wajiblah dicuci tujuh kali sebagai bentuk ritual pensuciannya.

Tetapi karena dalil sunnah nabawiyah tidak menyebutkan najisnya tubuh anjing, maka logika fiqih mereka mengantarkan mereka kepada pendapat bahwa tubuh anjing tidak najis.

Mereka berpendapat demikian dengan merujuk kepada hadis-hadis Rasulullah s.a.w. lainnya yang membenarkan penggunaan anjing terlatih untuk berburu dan tidak ada seekor anjing pemburu pun yang membunuh mangsanya melainkan melalui gigitan mulutnya. Hewan yang ditangkap oleh anjing buruan tersebut adalah tetap suci untuk dimakan seluruhnya berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala:

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya”. )QS. Al-Maidah: 4)

Apa-apa yang digigit oleh anjing tersebut adalah halal dimakan. Maka, di manakah letak kenajisan anjing itu?

Berdasarkan ayat di atas dan hadis-hadis yang membenarkan penggunaan anjing terlatih untuk berburu, mazhab Maliki berpendapat bahwa mulut, lidah dan air liur anjing bukanlah najis.

(ketiga pendapat di atas dapat dilihat dalam Al-Fiqhul Al-Islamiy I : 153-154 , Subulus-Salam I : 17, 22, 23 , Ibanatul-Ahkam I : 32)

c. Mazhab As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah

Kedua mazhab ini sepakat mengatakan bahwa bukan hanya air liurnya saja yang najis, tetapi seluruh tubuh anjing itu hukumnya najis berat, termasuk keringatnya. Bahkan hewan lain yang kawin dengan anjing pun ikut hukum yang sama pula. Dan untuk mensucikannya harus dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.

Logika yang digunakan oleh mazhab ini adalah tidak mungkin kita hanya mengatakan bahwa yang najis dari anjing hanya mulut dan air liurnya saja. Sebab sumber air liur itu dari badannya. Maka badannya itu juga merupakan sumber najis. Termasuk air yang keluar dari tubuh itu juga,air kencing, kotoran dan juga keringatnya.

Pendapat tentang najisnya seluruh tubuh anjing ini juga dikuatkan dengan hadits lainnya antara lain:

Dalil pertama adalah berdasarkan kaidah qiyas:

Sabda Rasulullah S.A.W untuk membasuh bekas yang diminum oleh anjing adalah dalil bagi menunjukkan najisnya lidah, air liur dan mulut anjing. Memperhatikan lidah dan mulut merupakan anggota utama hewan dan dikategorikan sebagai najis maka sudah barang tentu anggota tubuh yang lainnya, yakni seluruh badannya – adalah najis juga. Sebab sumber air liur itu dari badannya. Maka badannya itu juga merupakan sumber najis. Termasuk air yang keluar dari tubuh itu juga, baik kencing, kotoran dan juga keringatnya.

Dalil kedua adalah berdasarkan sebuah hadis:

أَنَّه صَلَّى الله عليه وسلم دُعِيَ إِلَى دَارِ قَوْمٍ فَأَجَابَ ثُمَّ دُعِيَ إِلَى دَارٍ أُخْرَى فَلَمْ يُجِبْ فَقِيْلَ لَهُ فِى ذَلِكَ فَقَالَ: إِنَّ فِى دَارِ فُلاَنٍ كَلْبًا قِيْلَ لَهُ : وَ إِنَّ فِى دَارِ فُلاَنٍ هِرَّةً, فَقاَلَ : إِنَّ اْلهِرَّةَ لَيْسَتْ بِنَجَسَةٍ. (رواه الدارقطنى و الحاكم)

Bahwa Rasululah SAW diundang masuk ke rumah salah seorang kaum dan beliau mendatangi undangan itu. Di kala lainya, kaum yang lain mengundangnya dan beliau tidak mendatanginya. Ketika ditanyakan kepada beliau apa sebabnya beliau tidak mendatangi undangan yang kedua, beliau bersabda, “Di rumah yang kedua ada anjing sedangkan di rumah yang pertama hanya ada kucing. Dan kucing itu itu tidak najis.” (HR Al-Hakim dan Ad-Daruquthuny  )

Dari hadits ini dapat dipahami bahwa kucing itu tidak najis, sedangkan anjing itu najis.‎

Bukti Haramnya Anjing Dalam Hadits Nabawi 

Berikut kami bawakan beberapa bukti tentang haramnya anjing dalam berbagai hadits Nabawi. 

Pertama: Hadits yang menerangkan larangan memakan binatang yang bertaring dan taringnya digunakan untuk memangsa binatangnya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ

“Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim no. 1933) 

Dari Abi Tsa’labah, beliau berkata,

 أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ . 

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring.” (HR. Bukhari no. 5530 dan Muslim no. 1932) 

Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

 نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ 

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934) 

An Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Syarh Muslim,

 قَالَ أَصْحَابنَا : الْمُرَاد بِذِي النَّاب مَا يُتَقَوَّى بِهِ وَيُصْطَاد 

“Yang dimaksud dengan memiliki taring adalah –menurut ulama Syafi’iyah-, taring tersebut digunakan untuk berburu (memangsa).”
Dari definisi ini, anjing berarti termasuk dari hewan yang diharamkan untuk dikonsumsi. 

Kedua: Anjing termasuk hewan fasik yang boleh dibunuh. 

Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِى الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ ، وَالْعَقْرَبُ ، وَالْحُدَيَّا ، وَالْغُرَابُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ

“Ada lima jenis hewan fasiq (berbahaya) yang boleh dibunuh ketika sedang ihram, yaitu tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak dan kalb aqur (anjing galak).” (HR. Bukhari no. 3314 dan Muslim no. 1198) 

An Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan, “Makna fasik dalam bahasa Arab adalah al khuruj (keluar). Seseorang disebut fasik apabila ia keluar dari perintah dan ketaatan pada Allah Ta’ala. Lantas hewan-hewan ini disebut fasik karena keluarnya mereka hanya untuk mengganggu dan membuat kerusakan di jalan yang biasa dilalui hewan-hewan tunggangan. Ada pula ulama yang menerangkan bahwa hewan-hewan ini disebut fasik karena mereka keluar dari hewan-hewan yang diharamkan untuk dibunuh di tanah haram dan ketika ihram.”

Sedangkan yang dimaksud dengan “kalb aqur” sebenarnya bukan maksudnya untuk anjing semata, inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama. 

Namun sebenarnya kalb aqur yang dimaksudkan adalah setiap hewan yang pemangsa (penerkam) seperti binatang buas,macan, serigala, singa, dan lainnya. Inilah yang dikatakan oleh Zaid bin Aslam, Sufyan Ats Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan selainnya.

Ketiga: Upah jual beli anjing adalah upah yang haram, sehingga anjing haram untuk dimakan. 

Dari Abu Mas’ud Al Anshori, beliau berkata,

 أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ 

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh melarang dari upah jual beli anjing, upah pelacur dan upah tukang ramal.” (HR. Bukhari no. 2237) 

Dari Abu Az Zubair, ia berkata bahwa ia mengatakan pada Jabir bin ‘Abdillah mengenai upah jual beli anjing dan kucing. Jabir lantas menjawab,

 زَجَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari upah jual beli anjing dan kucing.” (HR. Muslim no. 1569) 

Perlu ingat pula kaedah, “Jika Allah melarang memakan sesuatu, maka pasti upah hasil jual belinya haram.” 

Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ 

“Sungguh jika Allah mengharamkan suatu kaum untuk mengkonsumsi sesuatu, Allah pun melarang upah hasil penjualannya.” (HR. Abu Daud no. 3488 dan Ahmad 1/247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) 

Dari sini jelaslah pula haramnya jual beli anjing karena anjing itu haram untuk dimakan.

Banyak Yang Keliru Dalam Memahami Surat Al An’am Ayat 145 

Sebagian orang salah dalam memahami surat Al An’am ayat 145 berikut,

 قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

 “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” 

Kesimpulan mereka bahwa yang diharamkan hanyalah yang disebutkan dalam ayat ini saja. 

Berikut kami bawakan sanggahan dari ulama besar yang hidup 200 tahun silam, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani rahimahullah (terkenal dengan Imam Asy Syaukani). Ketika menafsirkan surat Al An’am ayat 145 dalam Fathul Qodir, beliau memberikan penjelasan yang berisi sanggahan yang sangat bagus terhadap pendapat semacam tadi: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengabarkan pada mereka bahwa tiadalah ia peroleh dalam wahyu sesuatu yang diharamkan kecuali yang disebutkan dalam ayat ini. Maka ayat ini menunjukkan bahwa yang diharamkan sebatas yang disebutkan dalam ayat ini seandainya ayat ini adalah Makiyah. Namun setelah surat ini, turunlah surat Al Maidah (ayat 3) di Madinah dan ditambahkan lagi hal-hal lain yang diharamkan selain yang disebutkan dalam ayat ini. Seperti yang disebutkan terlarang adalah al munkhoniqoh (hewan yang mati dalam keadaan tercekik), al mawquudzah (hewan yang mati karena dipukul dengan tongkat), al mutaroddiyah (hewan yang mati karena lompat dari tempat yang tinggi), dan an nathihah (hewan yang mati karena ditanduk). Juga disebutkan dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai haramnya setiap binatang buasa yang bertaring dan setiap burung yang memiliki cakar (untuk menerkam mangsa). Begitu juga disebutkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai haramnya  keledai piaraan, anjing dan lainnya. Secara global (yang dimaksud surat Al An’am ayat 145), keumuman yang ada berlaku jika kita lihat dari hewan yang dimakan sebagaimana yang dimaksudkan dalam konteks ayat dan terdapat nantinya istitsna’ (pengecualian). 

Namun hewan-hewan yang mengalami pengecualian sehingga dihukumi haram tetap perlu kita tambahkan dengan melihat dalil lainnya dari Al Quran dan As Sunnah yang menunjukkan masih ada hewan lain yang diharamkan. 

Tetapi kenyataannya diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, dan ‘Aisyah, mereka menyatakan bahwa tidak ada hewan yang haram kecuali yang disebutkan dalam surat Al An’am ayat 145. 
Imam Malik pun berpendapat demikian. Namun ini adalah pendapat yang sangat-sangat lemah. Karena ini sama saja mengabaikan pelarangan hewan lainnya setelah turunnya surat Al An’am ayat 145. 
Pendapat ini juga sama saja meniadakan hewan-hewan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hewan yang haram untuk dimakan, yang beliau menyebutkan hal tersebut setelah turunnya surat Al An’am ayat 145. 
Peniadaan yang dilakukan oleh mereka-mereka tadi tanpa adanya sebab dan tanpa ada indikator yang menunjukkan diharuskannya peniadaan tersebut.”

Ringkasnya, pendapat yang menyatakan bahwa yang diharamkan hanyalah yang disebutkan dalam surat Al An’am ayat 145 adalah pendapat yang lemah dilihat dari beberapa sisi: 

Pengecualian dalam ayat tersebut mesti melihat dari dalil lain dalam Al Quran dan Hadits Nabawi. Dalam surat Al Maidah ayat 3 masih disebutkan adanya hewan tambahan yang diharamkan. 

Dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disebutkan adanya hewan lain yang diharamkan yang tidak disebutkan dalam Al Quran semacam keledai piaraan, anjing, dan binatang buas yang bertaring. Kalau ini dikatakan sebagai pendapat Ibnu ‘Abbas, maka perlu ditinjau ulang karena Ibnu ‘Abbas meriwayatkan hadits mengenai terlarangnya binatang buas yang bertaring. Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934) 

Sebagian ulama katakan bahwa surat Al An’am ayat 145 telah dinaskh (dihapus) dengan surat Al Maidah ayat 3.

Meskipun demikian, bukan berarti apa yang Allah ciptakan adalah sia-sia atau tidak ada manfaatnya. Karena Allah menciptakan alam semesta ini dengan tujuan yang haq (benar), dan Allah hendak menguji dari hamba-hambaNya siapa yang terbaik perbuatannya, dan Allah menguji siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang masih ragu-ragu. Lalu apa manfaat anjing? binatang yang satu ini dapat dimanfaatkan untuk menjaga hewan ternak atau juga bisa dijadikan hewan pemburu.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

 مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَيْدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ"

"Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak dan anjing untuk berburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak satu qiroth (satu qiroth adalah sebesar gunung uhud)." [HR. Muslim].

'Abdullah mengatakan bahwa Abu Hurairah juga mengatakan, "Atau anjing untuk menjaga tanaman." Jadi anjing dapat dimanfaatkan untuk menjaga binatang ternak dan khusus untuk berburu setelah dilatih terlebih dahulu. "Jika kamu melepas anjingmu, maka sebutlah asma' Allah atasnya (Bissmillah), maka jika anjing itu menangkap untuk kamu dan kamu dapati dia masih hidup, maka sembelihlah." [HR. Bukhari dan Muslim]‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...