Senin, 18 Oktober 2021

Penjelasan Tentang Menjaga Diri Dan Keluarga Dari Api Neraka


Banyak orang yang mendambakan kebahagiaan, mencari ketentraman dan ketenangan jiwa raga sebagaimana usaha menjauhkan diri dari sebab-sebab kesengsaraan, kegoncangan jiwa dan depresi khususnya dalam rumah dan keluarga.

Akhir-akhir ini kita sering mendengar dan membaca baik melalui media elektronik maupun media cetak, tentang meningkatnya kejahatan yang dilakukan sekelompok orang terhadap orang lain,kejahatan seseorang terhadap orang lain; seoarang ibu membunuh anaknya atau anak membunuh orang tuanya, ada juga yang terlibat tawuran, terjerumus obat-obat terlarang bahkan ada seorang bapak kandung yang tega menggauli anak gadisnya hingga hamil, nau’zu billah suma na’uzu billah. Tentu saja hal ini membuat kita miris mendengarnya, takut kalau-kalau kita atau keluarga kita terjerumus akan pergaulan yang tidak baik yang akan menyeretnya masuk ke dalam api nereka. Konon katanya menurut pakar komunikasi, bergejolaknya kemelut di dalam keluarga, di antaranya disebabkan pengaruh pergaulan, lingkungan, media, baik tontonan ataupun bacaan. 

Akibatnya terjadilah dehumanisasi, demoralisasi, dan desakralisasi, terhadap pendidikan si anak dalam keluarga. Bahkan yang lebih parah penyebab terjadinya hal tersebut adalah kurangnya pengetahuan agama si anak, lantaran minimnya pendidikan agama yang diperoleh dari orangtuanya sehingga terjadi dekadensi moral.
Firman Alloh Subhanahu Wata'ala

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ 


Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia men­ciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. (QS Ar-Rum Ayat-20)

Yakni tanda-tanda yang menunjukkan kebesaran dan kekuasaan-Nya yang Mahasempurna ialah bahwa Dia telah menciptakan bapak moyang kalian (Adam) dari tanah liat.

{ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ}

kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. (Ar-Rum: 20)

Asal mula kalian dari tanah liat, kemudian dari air yang hina, lalu menjadi 'alaqah, kemudian menjadi segumpal daging, lalu menjadi tulang-tulang yang berbentuk manusia, setelah itu Allah memakaikan daging kepadanya dan meniupkan roh ke dalamnya, maka tiba-tiba ia menjadi manusia yang mempunyai pendengaran dan penglihatan. Kemudian ia keluar dari perut ibunya dalam keadaan kecil lagi lemah. Selanjutnya setiap kali bertambah usianya, maka bertambah kekuatannya, dan bertambah kuat pula gerakannya. Pada akhirnya ia menjadi manusia yang sempurna dan mampu membangun kota-kota dan benteng-benteng serta mengadakan perjalanan ke berbagai kawasan, menempuh jalan laut menaiki perahu dan keliling dunia. Dia mampu berusaha dan mengumpulkan harta. Dia mempunyai akal, berwawasan, serta mempunyai daya nalar, berpengetahuan, dan berilmu dalam menganalisis perkara-perkara duniawi dan ukhrawi, masing-masing dianugerahi oleh Allah sesuai dengan kemampuannya. Mahasuci Allah Yang telah membuat mereka berkemampuan, menjadikan mereka dapat menyesuaikan diri dan mempunyai kepandaian dalam menjalani roda kehidupan dan aneka ragam mata pencaharian. Allah telah membeda-bedakan di antara mereka dalam hal ilmu, pemikiran, bentuk, dan rupa. Ada yang tampan, ada yang buruk, juga ada yang kaya, ada yang miskin, serta ada yang bahagia, ada pula yang sengsara. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

{وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ}

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia men­ciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. (Ar-Rum: 20)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وغُنْدَر، قَالَا حَدَّثَنَا عَوْف، عَنْ قَسَامَةَ بْنِ زُهَيْرٍ، عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم: "إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ آدَمَ مِنْ قَبْضَةٍ قَبَضَهَا مِنْ جَمِيعِ الْأَرْضِ، فَجَاءَ بَنُو آدَمَ عَلَى قَدْرِ الْأَرْضِ، جَاءَ مِنْهُمُ الْأَبْيَضُ وَالْأَحْمَرُ وَالْأَسْوَدُ وَبَيْنَ ذَلِكَ، وَالْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ، وَالسَّهْلُ وَالْحَزَنُ، وَبَيْنَ ذَلِكَ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id dan Gundar. Mereka berdua mengatakan, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Qasamah ibnu Zuhair, dari Abu Musa yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari segenggam tanah yang Dia ambil dari semua penjuru bumi, maka jadilah anak-anak Adam sesuai dengan kadar dari tanah itu; di antara mereka ada yang berkulit putih, ada yang berkulit merah, dan ada yang berkulit hitam serta ada yang campuran di antara warna-warna tersebut; ada pula yang buruk, yang baik, yang mudah, dan yang susah serta yang campuran di antara perangai-perangai tersebut.

Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Auf Al-A'rabi dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.‎

Diantara hal yang terpenting yang mempengaruhi terwujudnya kebahagian pada individu dan masyarakat adalah pembinaan keluarga yang istiqamah diatas ajaran Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah telah menjadikan rumah tangga dan keluarga sebagai tempat yang disiapkan untuk manusia merengkuh ketentraman, ketenangan dan kebahagiaan sebagai anugerah terhadap hambaNya.

Untuk itulah Allah berfirman,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”(Qs. Ar-Rum [30]:21)

Seperti orang yang penat dengan kesibukan dan kebisingan siang lalu menemukan kenyamanan dan ketenangan dalam kegelapan malam. Surat Yunus ayat 67 :

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَالنَّهَارَ مُبْصِرًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ

Artinya : “Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya (litaskunu fihi) dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar”.

Manusia mengetahui bahwa mereka mempunyai perasaan-perasaan tertentu terhadap jenis yang lain. Perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran itu ditimbulkan oleh daya tarik yang ada pada masing-masing mereka, yang menjadikan yang satu tertarik kepada yang lain, sehingga antara kedua jenis pria dan wanita itu terjalin hubungan yang wajar. Mereka melangkah maju dan bergiat agar perasaan-perasaan itu dan kecenderungan-kecenderungan antara laki-laki dan wanita itu tercapai. Puncak dari semuanya itu ialah terjadinya perkaw nan antara laki-laki dan perempuan itu. Dalam keadaan demikian bagi laki-laki hanya istrinya itulah wanita yang paling cantik dan baik, sedang bagi wanita itu, hanya suaminyalah laki-laki yang menarik hatinya. Masing-masing mereka merasa tenteram hatinya dengan ada pihak yang lain itu. Semuanya ini merupakan modal yang paling berharga dalam membina rumah tangga bahagia. Kemudian dengan adanya rumah tangga yang berbahagia jiwa dan pikiran menjadi tenteram, tubuh dan hati mereka menjadi tenang serta kehidupan dan penghidupan menjadi mantap, kegairahan hidup akan timbul, dan ketenteraman bagi laki-laki dan wanita secara menyeluruh akan tercapai. Khusus mengenai kata-kata "mawaddah" (rasa kasih) dan "rahmah" (sayang), Mujahid dan Ikrimah berpendapat bahwa yang pertama adalah sebagai ganti dari kata "nikah" (bersetubuh, bersenggama) dan yang kedua sebagai kata ganti "anak". Jadi menurut Mujahid dan Ikrimah, maksud perkataan Tuhan: "Bahwa Dia menjadikan antara suami dan istri rasa kasih sayang ialah adanya perkawinan sebagai yang disyariatkan Tuhan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dari jenisnya sendiri, yaitu jenis manusia, akan terjadilah persenggamaan yang menyebabkan adanya anak-anak dan keturunan. Persenggamaan adalah merupakan suatu keharusan dalam kehidupan manusia, sebegaimana adanya anak-anak adalah merupakan suatu keharusan yang umum pula. Ada yang berpendapat bahwa: "mawaddah" bagi anak muda, dan "rahmah" bagi orang tua. Sehubungan dengan mawaddah itu Allah mengutuk kaum Lut yang melampiaskan nafsunya dengan melakukan homosex, dan meninggalkan istri-istri mereka yang seharusnya kepada istri-istri itulah mereka melimpahkan rasa kasih sayang dan dengan merekalah seharusnya bersenggama. 

Ayat ini Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا}

Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepada­nya. (Al-A'raf: 189)

Yang dimaksud adalah ibu Hawa. Allah menciptakannya dari Adam, yaitu dari tulang rusuknya yang terpendek dari sebelah kirinya.
Seandainya Allah menjadikan semua Bani Adam terdiri dari laki-laki, dan menjadikan pasangan mereka dari jenis lain yang bukan dari jenis manusia, misalnya jin atau hewan, maka pastilah tidak akan terjadi kerukunan dan kecenderungan di antara mereka dan tidak akan terjadi pula perkawinan. Bahkan sebaliknya yang terjadi adalah saling bertentangan dan saling berpaling, seandainya mereka berpasangan bukan dari makhluk sesama manusia.

Termasuk di antara rahmat Allah yang sempurna kepada anak-anak Adam ialah Dia menjadikan pasangan (istri) mereka dari jenis mereka sendiri, dan menjadikan rasa kasih dan sayang di antara pasangan-pasangan itu. Karena adakalanya seorang lelaki itu tetap memegang wanita karena cinta kepadanya atau karena sayang kepadanya, karena mempunyai anak darinya, atau sebaliknya kerena si wanita memerlukan perlindungan dari si lelaki atau memerlukan nafkah darinya, atau keduanya saling menyukai, dan alasan lainnya.

Apalagi bila hubungan ini ditambah dengan pembinaan dan pendidikan anak-anak dalam naungan orang tua yang penuh dengan rasa kasih sayang. Adakah nuansa dan pemandangan yang lebih indah dari ini? Hal ini menjadi penting karena perintah Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ ناراً وقودها النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عليها مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدادٌ لاَّ يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Qs. At-Tahrim [66]:6)

Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari seorang lelaki, dari Ali ibnu Abu Talib r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya:peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.(At-Tahrim: 6) Makna yang dimaksud ialah didiklah mereka dan ajarilah mereka.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.(At-Tahrim: 6) Yakni amalkanlah ketaatan kepada Allah dan hindarilah perbuatan-perbuatan durhaka kepada Allah, serta perintahkanlah kepada keluargamu untuk berzikir, niscaya Allah akan menyelamatkan kamu dari api neraka.

Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (At-Tahrim: 6) Yaitu bertakwalah kamu kepada Allah dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk bertakwa kepada Allah.

Qatadah mengatakan bahwa engkau perintahkan mereka untuk taat kepada Allah dan engkau cegah mereka dari perbuatan durhaka terhadap­Nya. Dan hendaklah engkau tegakkan terhadap mereka perintah Allah dan engkau anjurkan mereka untuk mengerjakannya serta engkau bantu mereka untuk mengamalkannya. Dan apabila engkau melihat di kalangan mereka terdapat suatu perbuatan maksiat terhadap Allah, maka engkau harus cegah mereka darinya dan engkau larang mereka melakukannya. 

Hal yang sama telah dikatakan oleh Ad-Dahhak dan Muqatil, bahwa sudah merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim mengajarkan kepada keluarganya—baik dari kalangan kerabatnya ataupun budak-budaknya — hal-hal yang difardukan oleh Allah dan mengajarkan kepada mereka hal-hal yang dilarang oleh Allah yang harus mereka jauhi.

Semakna dengan ayat ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Turmuzi melalui hadis Abdul Malik ibnur Rabi' ibnu Sabrah, dari ayahnya, dari kakeknya yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلَاةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِينَ، فَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِينَ فَاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا"

Perintahkanlah kepada anak untuk mengerjakan salat bila usianya mencapai tujuh tahun; dan apabila usianya mencapai sepuluh tahun, maka pukullah dia karena meninggalkannya.

Ini menurut lafaz Abu Daud. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. Imam Abu Daud telah meriwayatkan pula melalui hadis Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Rasulullah Saw. hal yang semisal. Ulama fiqih mengatakan bahwa hal yang sama diberlakukan terhadap anak dalam masalah puasa, agar hal tersebut menjadi latihan baginya dalam ibadah, dan bila ia sampai pada usia balig sudah terbiasa untuk mengerjakan ibadah, ketaatan, dan menjauhi maksiat serta meninggalkan perkara yang mungkar.

Firman Allah Swt.:

{وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}

yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.(At-Tahrim: 6)
Waqud artinya bahan bakarnya yang dimasukkan ke dalamnya, yaitu tubuh-tubuh anak Adam.

{وَالْحِجَارَةُ}

dan batu. (At-Tahrim: 6)

Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan batu adalah berhala-berhala yang dahulunya dijadikan sesembahan, karena ada firman Allah Swt. yang mengatakan:

{إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ}

Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah adalah umpan Jahanam. (Al-Anbiya: 98)

Ibnu Mas'ud, Mujahid, Abu Ja'far Al-Baqir, dan As-Saddi mengatakan bahwa batu yang dimaksud adalah batu kibrit (fosfor).
Mujahid mengatakan bahwa batu itu lebih busuk baunya daripada bangkai.

Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan hal ini, dia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Sinan Al-Minqari, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz (yakni Ibnu Abu Daud) yang mengatakan bahwa telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah Saw. membaca ayat ini, yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (At-Tahrim: 6) sedangkan di hadapan beliau terdapat para sahabatnya yang di antara mereka terdapat seorang yang sudah lanjut usianya, lalu orang tua itu bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah batu Jahanam sama dengan batu dunia?"Nabi Saw. menjawab:

"وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَصَخرة مِنْ صَخْرِ جَهَنَّمَ أعظمُ مِنْ جبَال الدُّنْيَا كُلِّهَا".

Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, sesungguhnya sebuah batu Jahanam lebih besar daripada semua gunung yang ada di dunia.

Lalu orang tua itu jatuh pingsan karena mendengarnya, maka Nabi Saw. meletakkan tangannya di jantung orang tua itu dan ternyata masih berdegup, berarti dia masih hidup. Maka beliau Saw. menyerunya (menyadarkannya) seraya bersabda, "Hai orang tua, katakanlah, 'Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah'." Maka orang tua itu membacanya sepuluh kali, dan Nabi Saw. menyampaikan berita gembira masuk surga kepadanya. Maka para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah di antara kita?" Rasulullah Saw. mengiakan dan beliau membaca firman-Nya:

{ذَلِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِي وَخَافَ وَعِيدِ}

Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan takut kepada ancaman-Ku. (Ibrahim: 14)
Hadis ini mursal lagi garib.
Sebuah seruan dari Dzat Yang Maha Agung kepada orang-orang yang beriman, berisi perintah dan peringatan berikut kabar tentang bahaya besar yang mengancam. Seruan ini ditujukan kepada insan beriman, karena hanya mereka yang mau mencurahkan pendengaran kepada ajakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang dengan perintah-Nya dan mengambil manfaat dari ucapan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan mereka agar menyiapkan tameng untuk diri mereka sendiri dan untuk keluarga mereka guna menangkal bahaya yang ada di hadapan mereka serta kebinasaan di jalan mereka. Bahaya yang mengerikan itu adalah api yang sangat besar, tidak sama dengan api yang biasa kita kenal, yang dapat dinyalakan dengan kayu bakar dan dipadamkan oleh air. Api neraka ini bahan bakarnya adalah tubuh-tubuh manusia dan batu-batu. Ia berbeda sama sekali dengan api di dunia. Bila orang terbakar dengan api dunia, ia pun meninggal berpisah dengan kehidupan dan tidak lagi merasakan sakitnya pembakaran tersebut. Beda halnya bila seseorang dibakar dengan api neraka, na’udzubillah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا

“Setiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi nyalanya bagi mereka.” (Al-Isra’: 97)

كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ

“Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka terus merasakan azab.” (An-Nisa’: 56)

لَا يُقْضَى عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمْ مِنْ عَذَابِهَا

“Mereka tidak dibinasakan dengan siksa yang dapat mengantarkan mereka kepada kematian (mereka tidak mati dengan siksaan di neraka bahkan mereka terus hidup agar terus merasakan siksa) dan tidak pula diringankan azabnya dari mereka.” (Fathir: 36)

Orang yang masuk ke dalam api yang sangat besar ini tidak mungkin dapat lari untuk meloloskan diri, karena yang menjaganya adalah para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka serta selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

{عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ}

penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras. (At-Tahrim: 6)

Yakni watak mereka kasar dan telah dicabut dari hati mereka rasa belas kasihan terhadap orang-orang yang kafir kepada Allah. Merekajuga keras, yakni bentuk rupa mereka sangat keras, bengis, dan berpenampilan sangat mengerikan.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Syabib, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Hakam ibnu Aban, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa apabila permulaan ahli neraka sampai ke neraka, maka mereka menjumpai pada pintunya empat ratus ribu malaikat penjaganya, yang muka mereka tampak hitam dan taring mereka kelihatan hitam legam. Allah telah mencabut dari hati mereka rasa kasih sayang; tiada kasih sayang dalam hati seorang pun dari mereka barang sebesar zarrah pun. Seandainya diterbangkan seekor burung dari pundak seseorang dari mereka selama dua bulan terus-menerus, maka masih belum mencapai pundak yang lainnya. Kemudian di pintu itu mereka menjumpai sembilan belas malaikat lainnya, yang lebar dada seseorang dari mereka sama dengan perjalanan tujuh puluh musim gugur. Kemudian mereka dijerumuskan dari satu pintu ke pintu lainnya selama lima ratus tahun, dan pada tiap-tiap pintu neraka Jahanam mereka menjumpai hal yang semisal dengan apa yang telah mereka jumpai pada pintu pertama, hingga akhirnya sampailah mereka ke dasar neraka.

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menjelaskan, “Penjaganya adalah para malaikat Zabaniyah yang hati mereka keras, kaku, tidak mengasihi jika dimohon kepada mereka agar menaruh iba…

Kata شِدَادٌ maksudnya keras tubuh mereka. Ada yang mengatakan, para malaikat itu kasar ucapannya dan keras perbuatannya. Ada yang berpendapat, malaikat tersebut sangat kasar dalam menyiksa penduduk neraka, keras terhadap mereka. Bila dalam bahasa Arab dinyatakan:

فُلاَنٌ شَدِيْدٌ عَلَى فُلاَنٍ,

maksudnya Fulan menguasainya dengan kuat, menyiksanya dengan berbagai macam siksaan.

Ada pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan غِلَاظٌ adalah sangat besar tubuh mereka, sedangkan maksud شِدَادٌ adalah kuat.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Jarak antara dua pundak salah seorang dari malaikat tersebut adalah sejauh perjalanan setahun. Kekuatan salah seorang dari mereka adalah bila ia memukul dengan alat pukul niscaya dengan sekali pukulan tersebut tersungkur 70.000 manusia ke dalam jurang Jahannam.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 18/128)

Al-‘Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata menafsirkan ayat ke-6 surah At-Tahrim di atas, “Jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka, yang disebutkan dengan sifat-sifat yang mengerikan. Ayat ini menunjukkan perintah menjaga diri dari api neraka tersebut dengan ber-iltizam (berpegang teguh) terhadap perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, menunaikan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan bertaubat dari perbuatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala murkai serta perbuatan yang menyebabkan azab-Nya. Sebagaimana ayat ini mengharuskan seseorang menjaga keluarga dan anak-anak dari api neraka dengan cara memberikan pendidikan dan pengajaran kepada mereka, serta memberitahu mereka tentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang hamba tidak dapat selamat kecuali bila ia menegakkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan terhadap dirinya dan orang-orang yang di bawah penguasaannya, baik istri-istrinya, anak-anaknya, dan selain mereka dari orang-orang yang berada di bawah kekuasaan dan pengaturannya.

Dalam ayat ini pula Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan neraka dengan sifat-sifat yang mengerikan agar menjadi peringatan terhadap manusia jangan sampai meremehkan perkaranya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“…Yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…”(At-Tahrim: 6)

Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُونَ

“Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah (patung-patung) adalah bahan bakar/kayu bakar Jahannam, kalian sungguh akan mendatangi Jahannam tersebut.” (Qs Al-Anbiya: 98)

Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras. Yaitu akhlak mereka kasar dan hardikan mereka keras. Mereka membuat kaget dengan suara mereka dan membuat ngeri dengan penampilan mereka. Mereka melemahkan penghuni neraka dengan kekuatan mereka dan menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap penghuni neraka, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memastikan azab atas penghuni neraka ini dan mengharuskan azab yang pedih untuk mereka.

Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Di sini juga ada pujian untuk para malaikat yang mulia dan terikatnya mereka kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala serta ketaatan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam seluruh perkara yang diperintahkan-Nya.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 874)

Firman Allah Swt.:

{لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ}

yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan­Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (At-Tahrim: 6)

Maksudnya, apa pun yang diperintahkan oleh Allah kepada mereka, maka mereka segera mengerjakannya tanpa terlambat barang sekejap pun, dan mereka memiliki kemampuan untuk mengerjakannya: tugas apa pun yang dibebankan kepada mereka, mereka tidak mempunyai kelemahan. Itulah Malaikat Zabaniyah atau juru siksa, semoga Allah melindungi kita dari mereka.

Firman Allah Swt.:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ}

Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan. (At-Tahrim: 7)

Yaitu dikatakan kepada orang-orang kafir kelak di hari kiamat, bahwa janganlah kalian mengemukakan alasan, karena sesungguhnya tidak akan diterima hal itu dari kalian, dan tidaklah kalian dibalasi melainkan menurut apa yang telah kalian perbuat. Dan sesungguhnya pada hari ini kalian hanya dibalasi menurut amal perbuatan kalian. Dalam firman selanjutnya disebutkan:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا}

Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. (At-Tahrim: 8)

Yakni tobat yang sebenar-benarnya lagi pasti, maka akan terhapuslah semua kesalahan yang terdahulu. Dan tobat yang sebenarnya dapat merapikan diri pelakunya dan menyegarkannya kembali serta menjadi benteng bagi dirinya dari mengerjakan perbuatan-perbuatan yang rendah.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Sammak ibnu Harb, bahwa ia pernah mendengar An-Nu'man ibnu Basyir mengatakan dalam khotbahnya bahwa ia pernah mendengar Umar ibnul Khattab r.a. membaca firman-Nya Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. (At-Tahrim: 8) Lalu Umar mengatakan bahwa seseorang melakukan perbuatan dosa, kemudian tidak mengulanginya lagi.

As-Sauri telah meriwayatkan dari Sammak, dari An-Nu'man, dari Umar yang mengatakan bahwatobat nasuha ialah bila seseorang bertobat dari perbuatan dosa, kemudian tidak mengulanginya lagi, atau tidak berkeinginan mengulanginya lagi.

Abul Ahwas dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari Sammak, dari An-Nu'man, bahwa Umar pernah ditanya tentang tobat nasuha. Maka Umar menjawab, "Tobat yang nasuha ialah bila seseorang bertobat dari perbuatan buruk, kemudian tidak mengulanginya lagi selama-lamanya."

Al-A'masy telah meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwas, dari Abdullah sehubungan dengan makna firman-Nya: dengan tobat yang semurni-murninya. (At-Tahrim: 8) Bahwa seseorang bertobat (dari perbuatan dosanya), kemudian tidak mengulanginya lagi.
Hal ini telah diriwayatkan secara marfu';

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَاصِمٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمُ الهَجَري، عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "التَّوْبَةُ مِنَ الذَّنْبِ أَنْ يَتُوبَ مِنْهُ، ثُمَّ لَا يَعُودُ فِيهِ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Asim, dari Ibrahim Al-Hijri, dari Abul Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tobat dari dosa ialah bila seseorang bertobat darinya, kemudian tidak mengulanginya lagi.

Hadis diriwayatkan secara tunggal oleh Imam Ahmad melalui jalur Ibrahim ibnu Muslim Al-Hijri, sedangkan dia orangnya daif, dan riwayat yang ‎mauquf lebih sahih predikatnya, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Karena itu, para ulama mengatakan bahwa tobat yang murni ialah bila seseorang menghentikan dirinya dari perbuatan dosa di saat itu juga, kemudian ia menyesali apa yang telah dilakukannya di masa lalu, dan bertekad di masa mendatang ia tidak akan mengerjakan hal itu lagi.

Kemudian jika hak yang dilanggarnya berkaitan dengan hak Adami, maka ia diharuskan mengembalikannya dengan cara yang berlaku.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Abdul Karim, telah menceritakan kepadaku Ziad ibnu Abu Maryam, dari Abdullah ibnu Mugaffal yang mengatakan bahwa ia masuk bersama ayahnya ke rumah Abdullah ibnu Mas'ud. Kemudian ia bertanya, "Apakah engkau pernah mendengar Nabi Saw. bersabda bahwa penyesalan itu adalah tobat?" Ibnu Mas'ud menjawab, "Ya." Di lain kesempatan ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar beliau Saw. bersabda:

"النَّدَمُ تَوْبَةٌ".

Penyesalan adalah tobat.

Demikianlah menurut riwayat Imam Ibnu Majah dari Hisyam ibnu Ammar, dari Sufyan ibnu Uyainah, dari Abdul Karim alias Ibnu Malik Al-Jazari dengan sanad yang sama.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepadaku Al-Walid ibnu Bukair Abu Janab, dari Abdullah ibnu Muhammad Al-Abdi, dari Abu Sinan Al-Basri, dari Abu Qilabah, dari Zur ibnu Hubaisy, dari Ubay ibnu Ka'b yang mengatakan bahwa pernah dikatakan kepada kami (para sahabat) banyak hal yang akan terjadi di penghujung umat ini di saat kiamat telah dekat. Antara lain lelaki menyetubuhi istrinya atau budak perempuannya pada liang anusnya. Yang demikian itu termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, juga dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya. Antara lain lelaki mengawini sesamajenisnya, yang demikian itu merupakan perbuatan yang diharamkan dan dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya. 

Dan antara lain ialah perempuan mengawini sesamajenisnya, padahal yang demikian itu merupakan perbuatan yang dimurkai dan diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak diterima salatnya selama masih tetap melakukan perbuatannya yang terkutuk itu, sampai mereka bertobat kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. Zur mengatakan bahwa lalu ia bertanya kepada Ubay ibnu Ka'b, "Apakah yang dimaksud dengan tobat yang semurni-murninya?" Maka Ubay ibnu Ka'b menjawab, bahwa ia pernah menanyakan hal itu kepada Rasulullah Saw., dan Rasulullah Saw. menjawab:

"هُوَ النَّدَمُ عَلَى الذَّنْبِ حينَ يَفرطُ مِنْكَ، فتستغفرُ اللَّهَ بِنَدَامَتِكَ مِنْهُ عِنْدَ الْحَاضِرِ، ثُمَّ لَا تَعُودُ إِلَيْهِ أَبَدًا"

Penyesalan atas perbuatan dosa manakala kamu telah mengerjakannya, lalu kamu memohon ampunan kepada Allah dengan penyesalanmu itu di waktu seketika, kemudian kamu bertekad untuk tidak mengulanginya lagi selama-lamanya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Abu Amr ibnul Ala; ia pernah mendengar Al-Hasan mengatakan bahwa tobat yang semurni-murninya ialah bila kamu berbalik membenci dosa sebagaimana kamu menyukainya sebelum itu, lalu kamu memohon ampun kepada Allah bila kamu teringat kepadanya. Apabila seseorang telah bertekad untuk tobat dan meneguhkan pendiriannya pada tobatnya, maka sesungguhnya tobatnya itu dapat menghapus semua dosa yang sebelumnya. 

Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadis sahih, yaitu:

"الْإِسْلَامُ يَجُب مَا قَبْلَهُ، وَالتَّوْبَةُ تَجُبُّ مَا قَبْلَهَا"

Islam menghapuskan semua dosa yang sebelumnya, dan tobat menghapuskan dosa yang sebelumnya.

Apakah syarat tobat yang semurni-murninya itu mempunyai pengertian keberlangsungan dalam keadaan demikian sampai mati, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadis dan asar, kemudian tidak mengulanginya lagi untuk selama-lamanya? Ataukah cukup hanya dengan tekad bahwa ia tidak akan memikirkan masa lalunya, hingga manakala ia terjerumus lagi ke dalam perbuatan dosa sesudah tobatnya itu, maka hal tersebut tidak mempengaruhi penghapusan dosa yang telah dilakukannya? Sebab makna umum yang terkandung di dalam sabda Nabi Saw. mengatakan: Tobat dapat menghapuskan dosa yang sebelumnya.

Bagi pendapat yang pertama, dalil yang menguatkannya disebutkan di dalam kitab sahih pula, yaitu:

"مَن أحسنَ فِي الْإِسْلَامِ لَمْ يُؤاخَذ بِمَا عَمِلَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، وَمَنْ أَسَاءَ فِي الْإِسْلَامِ أُخِذَ بِالْأَوَّلِ وَالْآخِرِ"

Barang siapa yang berbuat baik dalam Islam, maka ia tidak akan dihukum karena apa yang telah dilakukannya di masa Jahiliah. Dan barang siapa yang berbuat buruk dalam masa Islamnya, maka ia dihukum karena perbuatan buruk di masa awal dan akhirnya.

Untuk itu apabila hal ini dalam Islam lebih kuat daripada tobat, maka terlebih lagi dalam masalah tobat; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Firman Allah Swt.:

{عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ}

mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. (At-Tahrim: 8)

Kalau lafaz 'asa yang artinya mudah-mudahan bila dari Allah berarti suatu kepastian.

{يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ}

pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia.(At-Tahrim: 8)
Yakni Allah tidak mengecewakan mereka yang bersama dengan Nabi di hari kiamat.

{نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ}

sedangkan cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka. (At-Tahrim: 8)
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam tafsir surat Al-Hadid.

{يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}

sambil mereka mengatakan, "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (At-Tahrim: 8)

Mujahid, Ad-Dahhak, Al-Hasan Al-Basri, dan lain-lainnya mengatakan bahwa inilah perkataan orang-orang mukmin ketika mereka melihat di hari kiamat cahaya orang-orang munafik padam.

وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْحَاقَ الطَالَقَانِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ يَحْيَى بْنِ حَسَّانَ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي كِنَانَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفَتْحِ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: "اللَّهُمَّ، لَا تُخْزِنِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ishaq At-Taliqani, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Yahya ibnu Hassan, dari seorang lelaki dari kalangan Bani Kinanah yang mengatakan bahwa ia pernah salat di belakang Rasulullah Saw. pada hari penaklukan Mekah, lalu ia mendengar beliau Saw. membaca doa berikut, yaitu: Ya Allah, janganlah Engkau hinakan aku pada hari kiamat.

قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ الْمَرْوَزِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ الْمَرْوَزِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، أَخْبَرَنَا ابْنِ لَهِيعة، حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا ذَرٍّ وَأَبَا الدَّرْدَاءِ قَالَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أنا أَوَّلُ مَنْ يُؤْذَنُ لَهُ فِي السُّجُودِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَأَوَّلُ مَنْ يُؤْذَنُ لَهُ بِرَفْعِ رَأْسِهِ، فأنظرُ بَيْنَ يَدَيّ فَأَعْرِفُ أُمَّتِي مِنْ بَيْنِ الْأُمَمِ، وَأَنْظُرُ عَنْ يَمِينِي فَأَعْرِفُ أُمَّتِي مِنْ بَيْنِ الْأُمَمِ، وَأَنْظُرُ عَنْ شِمَالِي فَأَعْرِفُ أُمَّتِي مِنْ بَيْنِ الْأُمَمِ". فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ تَعْرِفُ أُمَّتَكَ مِنْ بَيْنِ الْأُمَمِ. قَالَ: "غُرٌّ مُحجلون مِنْ آثَارِ الطُّهور وَلَا يَكُونُ أَحَدٌ مِنَ الْأُمَمِ كَذَلِكَ غَيْرُهُمْ، وَأَعْرِفُهُمْ أَنَّهُمْ يؤتَون كُتُبَهُمْ بِأَيْمَانِهِمْ، وَأَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ، وَأَعْرِفُهُمْ بِنُورِهِمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ"

Muhammad ibnu Nasr Al-Marwazi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muqatil Al-Marwazi, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepadaku Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepadaku Yazid ibnu Abu Habib, dari Abdur Rahman ibnu Jubair ibnu Nafir, bahwa ia pernah mendengar Abu Zar dan Abud Darda mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Aku adalah orangyang mula-mula diberi izin baginya untuk bersujud di hari kiamat, dan orang yang mula-mula diberi izin untuk mengangkat kepalanya, lalu aku memandang ke arah depanku, maka aku mengenal umatku di antara umat-umat lainnya. Dan aku melihat ke arah kananku, maka aku mengenal umatku di antara umat-umat lainnya. Dan aku memandang ke arah kiriku, maka aku mengenal umatku di antara umat-umat lainnya. Maka ada seorang lelaki yang bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah engkau mengenal umatmu di antara umat-umat lainnya?" Rasulullah Saw. menjawab: Anggota tubuh mereka kelihatan bercahaya kemilauan karena bekas air wudu, dan hal itu tidak dimiliki oleh seorang pun dari kalangan umat lain yang selain mereka. Dan aku mengenal mereka karena kitab-kitab catatan amal perbuatan mereka diberikan dari arah kanannya. Dan aku mengenal mereka melalui tanda yang ada pada kening mereka dari bekas sujudnya. Dan aku mengenal mereka karena nur (cahaya) nya bersinar di hadapan mereka.

Ayat ke enam surat At-Tahrim diatas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus bermula di rumah. Ini berarti kedua orangtua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas kelakuannya. Ayahatau ibu sendiri tidak cukup untuk menciptakan satu rumah tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang harmonis.

Berikut adalah beberapa pelajaran yang dapat diambil dari surat at-tahrim ayat 6:

1.    Perintah Taqwa Kepada Allah SWT dan berdakwah
Dalam ayat ini firman Allah ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, yaitu memerintahkan supaya mereka, menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah Allah, dan mengajarkan kepada keluarganya supaya taat dan patuh kepada perintah Allah untuk menyelamatkan mereka dari api neraka. Api neraka disediakan bagi para kafir / pendurhaka yang tidak mau taat kepada Allah dan yang selalu berbuat maksiat.

Oleh karena itu kita diwajibkan oleh Allah untuk taat kepada-Nya supaya selamat daripada siksa-Nya. Caranya membina diri kita terlebih dahulu dalam mendalami akidah dan adab islam kemudian setelah kita mampu melaksanakan maka kita wajib mendakwahkan kepada yang lain yaitu orang-orang terdekat kita / keluarga yaitu orang tua, istri, anak, adik, kakak dan karib kerabat.

2.    Anjuran menyelamatkan diri dan keluarga dari api neraka
Banyak sekali amalan shalih yang menjadikan seseorang masuk surga dan dijauhkan dari api neraka, misalnya bersedekah, berdakwah, berakhlaq baik, saling tolong menolong dalam kebaikan dan sebagainya. Di antara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan shalat dan bersabar.

3.    Pentingnya pendidikan islam sejak dini 
Anak adalah aset bagi orang tua dan di tangan orangtualah anak-anak tumbuh dan menemukan jalan-jalannya. Banyak orang tua “salah asuh” kepada anak sehingga perkembangan fisik yang cepat diera globalisasi ini tidak diiringi dengan perkembangan mental dan spiritual yang benar kepada anak sehingga banyak prilaku kenakalan-kenalakan oleh para remaja.

4.    Keimanan kepada para malaikat 
Ayat diatas mengandung pelajaran keimanan kita kepada sifat para malaikat yang suci dari dosa dan tidak pernah membangkang apa yang diperintahkan oleh Allah SWT. Berbeda dengan manusia dan jin yang kadang taat kadang pula melanggar bahkan ada juga yang tidak pernah taat sama sekali atau selalu berbuat maksiat.

Dari rumah tangga telah dimulai menanamkan iman dan memupuk Islam. Karena dari rumah tangga itulah akan terbentuk umat. Dan dalam umat itulah akan tegak masyarakat Islam. Masyarakat Islam ialah suatu masyarakat yang bersamaan pandangan hidup, bersamaan penilaian terhadap alam.

Oleh sebab itu, maka orang yang beriman tidak boleh pasif, artinya berdiam diri menungu saja. Dan tanggung jawab yang terletak diatas pundak tiap-tiap orang menurut apa yang ditanggungjawabinya akan ditanya tentang kepemimpinannya terhadap ahlinya, yaitu istri dan anak-anaknya. Supaya diri seseorang mempunyai pengaruh, berwibawa, dan disegani, hendaklah perangai dan tungkah lakunya dapat dijadikan contoh oleh anak dan istrinya. Hendaknya dia jadi kebanggaan bagi keluarga.

Ini semua menjadi tanggung jawab kita semua, sebab kita semua adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالأَمِيْرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَّةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّت) متفق عليه

“Kalian semua adalah pemimpin dan seluruh kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin. Penguasa adalah pemimpin dan seorang laki-laki adalah pemimpin, wanita juga adalah pemimpin atas rumah dan anak suaminya. Sehingga seluruh kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin.”(Muttafaqun alaihi)

Dalam hadits diatas, jelaslah Allah telah menjadikan setiap orang menjadi pemimpin baik skala bangsa, umat, istri dan anak-anaknya. Setiap orang akan dimintai pertanggung jawabannya dihadapan Allah. Ingatlah tanggung jawab anak dan istri adalah tanggung jawab besar disisi Allah, hal ini dengan menjaga mereka dari api neraka dan berusaha menggapai kesuksesan didunia dengan mendapatkan sakinah, mawaddah dan rahmat dan di akherat dengan masuk kedalam syurga. Inilah sesungguhnya target besar yang harus diusahakan untuk diwujudkan.

Tanggung jawab orang tua yang akan ditanyakan dihari kiamat, sebagaimana dijelaskan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّاحَرَّمَاللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

“Tidak ada seorang hamba yang Allah berikan memimpin yang meninggal pada hari meninggalnya dlm keadaan berbohong kepada rakyatnya kecuali Allah haramkan surga atasnya.” (HR Muslim)
Oleh karena itu agama Islam memberikan perhatian khusus dan menetapkan kaedah dan dasar yang kokoh dalam pembentukan keluarga muslim. Islam memberikan kaedah dan tatanan utuh dan lengkap sejak dimulai dari proses pemilihan istri hingga memberikan solusi bila rumah tangga tidak dapat dipertahankan kembali.

Pembinaan keluarga ini semakin mendesak dan darurat sekali bila melihat keluarga sebagai institusi dan benteng terakhir kaum muslimin yang sangat diperhatikan para musuh. Mereka berusaha merusak benteng ini dengan aneka ragam serangan dan dengan sekuat kemampuan mereka. Memang sampai sekarang masih ada yang tetap kokoh bertahan namun sudah sangat banyak sekali yang gugur dan hancur berantakan. Demikianlah para musuh islam tetap dan senantiasa menyerang kita dan keluarga kita. Allah berfirman,

وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al-baqarah [2]:217)‎

Hal ini diperparah keadaan kaum muslimin dewasa ini yang telah memberikan perhatian terlalu besar kepada ilmu-ilmu dunia, namun lupa atau melupakan ilmu agama yang jelas lebih penting lagi. Ilmu yang menjadi benteng akhlak dan etika seorang muslim dalam hidup, dan menggunakan kemampuannya dalam mengarungi samudera kehidupan yang penuh dengan gelombang ujian dan fitnah ini. Mereka lupa membina dirinya, keluarganya dan anak-anaknya dengan ajaran syari’at Islam yang telah membentuk para salaf kita terdahulu menjadi umat terbaik didunia ini.

Memang muncul satu fenomena bahwa urgensi dan tugas orang tua sekarang hampir-hampir menjadi sempit hanya sekedar mengurusi masalah pangan dan sandang saja. Ditambah lagi bapak sibuk dan ibupun tidak kalah sibuknya dalam memenuhi sandang pangan dan mencapai karier tertinggi. Akhirnya anak-anak terlantar dan tidak jelas arah pembinaan dan pendidikannya.

Penjagaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Keluarganya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai uswah hasanah bagi orang-orang yang beriman telah memberikan arahan dan peringatan kepada kerabat beliau dalam rangka menjaga mereka dari api neraka. Tatkala turun perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat:
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

“Berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat.” (Asy Syu’ara: 214)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi bukit Shafa dan menaikinya, lalu menyeru manusia untuk berkumpul. Maka orang-orang pun berkumpul di sekitar beliau. Sampai-sampai yang tidak dapat hadir mengirim utusannya untuk mendengarkan apa gerangan yang akan disampaikan oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memanggil kerabat-kerabatnya, “Wahai Bani Abdil Muththalib! Wahai Bani Fihr! Wahai Bani Lu’ai! Apa pendapat kalian andai aku beritakan kepada kalian bahwa ada pasukan berkuda dari balik bukit ini akan menyerang kalian. Adakah kalian akan membenarkan aku?” Mereka serempak menjawab, “Iya.” Beliau melanjutkan, “Sungguh aku memperingatkan kalian sebelum datangnya azab yang pedih.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

Aisyah radhiyallahu ‘anha memberitakan bahwa ketika turun ayat di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit seraya berkata, “Wahai Fathimah putri Muhammad! Wahai Shafiyyah putri Abdul Muththalib! Wahai Bani Abdil Muththalib! Aku tidak memiliki kuasa sedikit pun di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menolong kalian kelak. (Adapun di kehidupan dunia ini) maka mintalah harta dariku semau kalian.” (HR. Muslim)

Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa bila hendak shalat witir, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membangunkan Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu:

رَحِمَ اللهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ، وَرَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَصَلَّى فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ

“Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan istrinya lalu si istri mengerjakan shalat. Bila istrinya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah istrinya. Semoga Allah merahmati seorang wanita yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan suami lalu si suami mengerjakan shalat. Bila suaminya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah suaminya.” (Sanad hadits ini shahih kata Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam tahqiqnya terhadap Al-Musnad)

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha mengabarkan, suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbangun dari tidur beliau. Beliau pun membangunkan istri-istri beliau untuk mengerjakan shalat. Kata beliau:

أَيْقِظُوْا صَوَاحِبَ الْحُجْرِ

“Bangunlah, wahai para pemilik kamar-kamar (istri-istri beliau yang sedang tidur di kamarnya masing-masing)!” (HR. Al-Bukhari)

Tidak luput pula putri dan menantu beliau juga mendapatkan perhatian beliau. Suatu malam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah Ali dan Fathimah radhiyallahu ‘anhuma. Beliau berkata, “Tidakkah kalian berdua mengerjakan shalat malam?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu)

‎Sudah menjadi keharusan bagi kita untuk mengetahui garis besar singkat ketentuan pendidikan di masa salaf ash-Sholih agar kita teladani di masa kita sekarang ini. Juga agar kemulian yang telah lalu dan kejayaan yang telah hilang kembali lagi kepada kita. Sebab tidak ada jalan untuk demikian kecuali dengan kembali kepada ajaran agama yang pernah difahami dan diamalkan para salaf ash-Sholih. Kembali kepada agama kita yang hanif dan ajaran-ajarannya. Inilah yang dijelaskan Rasululloh ketika menyampaikan solusi kejayaan umat ini setelah menderita kehinaan dalam sabda beliau,

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

“Apabila kamu telah berjual beli dengan ‘Ienah (rekayasa riba), kalian memegangi ekor-ekor sapi, kalian ridho dengan pertanian dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Dia tidak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR Abu Daud dan dinilai Syeikh al-Albani sebagai hadits shohih dengan berkumpulnya jalan-jalan periwayatannya (Shohih Bi Majmu’ Thuruqihi) dalam silsilah al-Ahadits ash-Shohihah no. 11)
Kembali kepada agama dalam hadits ini dijabarkan dan dijelaskan Rasululloh dalam hadits Abu Laits al-Waaqidi yang berbunyi,

إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ قَالُوْا وَ كَيْفَ نَفْعَلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ فَرَدَّ يَدَهُ إِلَى الْبِسَاطِ فَأَمْسَكَ بِهِ فَقَالَ : تَفْعَلُوْنَ هَكَذَا ! وَذَكَرَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ يَوْمًا : إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ فَلَمْ يَسْمَعُهُ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَقَالَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ : آلاَ تَسْمَعُوْنَ مَا يَقُوْلُ رَسُوْلُ اللهِ ؟! فَقَالُوْا: مَا قَالَ ؟ قَالَ : إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَة . قَالُوْا فكَيْفَ لنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟فَكَيْفَ نَصْنَعُ؟ قَالَ : تَرْجِعُوْا إِلَى أَمْرِكُمُ الأَوَّلِ

“Sesungguhnya akan terjadi fitnah. Para sahabat bertanya: Lalu bagaimana kami berbuat wahai Rasululloh? Lalu beliau mengembalikan tangannya ke permadani dan memegangnya lalu berkata: ‘Berbuatlah demikian!’

Pada satu hari Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka, ‘Sungguh akan terjadi fitnah.’

Namun banyak orang yang tidak mendengarnya. Maka Mu’adz bin Jabal mengatakan, ‘Tidakkah kalian mendengar perkataan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Mereka menjawab, ‘Apa sabdanya?’ Maka beliau berkata, ‘Sesungguhnya akan terjadi fitnah.’ Mereka bertanya, ‘Bagaimana dengan kami wahai Rasululloh? Bagaimana kami berbuat?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Kalian kembali kepada urusan kalian yang pertama.'” (HR Ath-Thobrani dan sanadnya dinilai Shohih oleh Syeikh ‘Ali Hasan dalam at-Tashfiyah wa at-Tarbiyah)

Alangkah butuhnya kita dizaman ini untuk kembali kepada ajaran Rasululloh dan pemahaman para sahabat, khususnya dalam pendidikan.  Kita juga butuh untuk menjalankan dan komitmen dengan adab-adabnya dan cara mereka mengajari anak-anak mereka dan menjadikannya sebagai pedoman dan metode perilaku kita. Hal ini tidak akan terealisasi kecuali setelah kita bersandar total kepada metode al-Qur’ani dan metode Nabi n dalam ilmu, belajar dan mengajar yang telah diamalkan para salaf sholih tersebut dengan menjadikannya sebagai dasar dan menerapkannya secara benar dan menyeluruh.

Takhtimah ‎

Seorang suami sebagai kepala rumah tangga selain menjaga dirinya sendiri dari api neraka, ia juga bertanggung jawab menjaga istri, anak-anaknya, dan orang-orang yang tinggal di rumahnya. Satu cara penjagaan diri dan keluarga dari api neraka adalah bertaubat dari dosa-dosa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat nashuha. Mudah-mudahan Rabb kalian menghapuskan kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya, sedang cahaya mereka memancar di depan dan di sebelah kanan mereka, seraya mereka berdoa, ‘Wahai Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu’.” (At-Tahrim: 8)

Seorang suami sekaligus ayah ini bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya, taubat yang murni, kemudian ia membimbing keluarganya untuk bertaubat. Taubat yang dilakukan disertai dengan meninggalkan dosa, menyesalinya, berketetapan hati untuk tidak mengulanginya, dan mengembalikan hak-hak orang lain yang ada pada kita. Taubat yang seperti ini tentunya menggiring pelakunya untuk beramal shalih. Buah yang dihasilkannya adalah dihapuskannya kesalahan-kesalahan yang diperbuat, dimasukkan ke dalam surga, dan diselamatkan dari kerendahan serta kehinaan yang biasa menimpa para pendosa dan pendurhaka.

Melakukan amal ketaatan dan menjauhi maksiat harus diwujudkan dalam rangka menjaga diri dari api neraka. Seorang kepala rumah tangga menerapkan perkara ini dalam keluarganya, kepada istri dan anak-anaknya. Ia punya hak untuk memaksa mereka agar taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak berbuat maksiat, karena ia adalah pemimpin mereka yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala kelak dalam urusan mereka, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Ia harus memaksa anaknya mengerjakan shalat bila telah sampai usianya, berdasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنٍ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka telah berusia tujuh tahun dan pukullah mereka bila enggan melakukannya ketika telah berusia sepuluh tahun serta pisahkanlah di antara mereka pada tempat tidurnya.” (HR. Abu Dawud dari hadits Abdullah ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud, “Hadits ini hasan shahih.”)

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا

“Perintahkanlah keluargamu untuk mengerjakan shalat dan bersabarlah dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132)

Seorang ayah bersama seorang ibu harus bekerja sama untuk menunaikan tanggung jawab terhadap anak, baik di dalam maupun di luar rumah. Anak harus terus mendapatkan pengawasan di mana saja mereka berada, dijauhkan dari teman duduk yang jelek dan teman yang rusak. Anak diperintahkan untuk mengerjakan yang ma’ruf dan dilarang dari mengerjakan yang mungkar.

Orangtua harus membersihkan rumah mereka dari sarana-sarana yang merusak berupa video, film, musik, gambar bernyawa, buku-buku yang menyimpang, surat kabar, dan majalah yang rusak.

Seluruh perkara yang telah disebutkan di atas dilakukan dalam rangka menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Karena, bagaimana seseorang dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka bila ia meninggalkan shalat padahal shalat adalah tiang agama dan pembeda antara kafir dengan iman?

Bagaimana seseorang dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka bila ia selalu melakukan perkara yang diharamkan dan mengentengkan amalan ketaatan? Bagaimana seseorang dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka bila ia selalu berjalan di jalan neraka, siang dan malam?

Hendaknya ia tahu bahwa neraka itu dekat dengan seorang hamba, sebagaimana surga pun dekat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْجَنَّةُ أَدْنَى إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ شِرَاكِ نَعْلِهِ وَالنَّارُ مِثْلُ ذَلِكَ

“Surga lebih dekat kepada salah seorang dari kalian daripada tali sandalnya dan neraka pun semisal itu.” (HR. Al-Bukhari dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Maksud hadits di atas, siapa yang meninggal di atas ketaatan maka ia akan dimasukkan ke dalam surga. Sebaliknya, siapa yang meninggal dalam keadaan bermaksiat maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka. (Al-Khuthab Al-Minbariyyah, 2/167)

Bagaimana seseorang dapat menjaga keluarganya dari api neraka sementara ia membiarkan mereka bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan kewajiban?

Bagaimana seorang ayah dapat menyelamatkan anak-anaknya dari api neraka bila ia keluar menuju masjid sementara ia membiarkan anak-anaknya masih pulas di atas pembaringan mereka, tanpa membangunkan mereka agar mengerjakan shalat? Atau anak-anak itu dibiarkan asyik dengan permainan mereka, tidak diingatkan untuk shalat?

Anak-anak yang seyogianya merupakan tanggung jawab kedua orangtua mereka, dibiarkan berkeliaran di mal-mal, main game, membuat kegaduhan dengan suara mereka hingga mengusik tetangga, kebut-kebutan di jalan raya dengan motor ataupun mobil. Sementara sang ayah tiada berupaya meluruskan mereka. Malah ia penuhi segala tuntutan duniawi si anak. Adapun untuk akhirat mereka, ia tak ambil peduli. Sungguh orangtua yang seperti ini gambarannya tidaklah merealisasikan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah At-Tahrim di atas.

Maka, marilah kita berbenah diri untuk menjaga diri kita dan keluarga kita dari api neraka. Bersegeralah sebelum datang akhir hidup kita, sebelum datang jemputan dari utusan Rabbul Izzah, sementara kita tak cukup ‘bekal’ untuk bertameng dari api neraka, apatah lagi meninggalkan ‘bekal’ yang memadai untuk keluarga yang ditinggalkan. Allahumma Sallimna wal muslimin

Penjelasan Tentang Salah Mendidik Anak Merupakan Fitnah


Ajaran agama Islam memandang bahwa anak adalah amanat Allah SWT. Amanat wajib dipertanggung jawabkan. Tanggung jawab orang tua terhadap anak tidaklah kecil. Secara umum inti tanggung jawab orang tua adalah penyelenggaraan pendidikan anak-anak dalam rumah tangga. Kewajiban orang tua ini wajar (natural), karena Allah SWT menciptakan naluri orang tua untuk mencintai anaknya. Jadi, pertama hukumnya wajib, kedua memang orang tua mempunyai naluri senang dalam mendidik anak-anaknya.

Namun hendaknya orang tua sadar bahwa kecintaan dan kebanggaan terhadap anak yang berlebihan dapat menyebabkan mereka lupa terhadap Allah SWT dan ajaran rasul-Nya. Kadang-kadang karena orang tua merasa anaknya cerdas, kuat, pemberani, juara dalam segala bidang, maka mereka merasa puas dan merasa hidupnya aman. Oleh karena itu mereka mulai tidak bergantung kepada Allah SWT, dan akhirnya sedikit demi sedikit mereka meninggalkan eksistensi Tuhan dalam hidupnya.

Orang tua juga kadang dapat menjadi “budak” dari anak-anaknya. Dalam realitas keseharian mereka sibuk mengurus anak-anaknya sampai dewasa, bekerja mati-matian mencari uang untuk memenuhi segala permintaan dan keinginannya tanpa perhitungan. Kewibawaan orang tua hilang, ia sering dibentak-bentak anaknya karena tidak mampu memenuhi permintaannya. Bila ia hendak menyuruh anaknya sholat subuh, ia tidak berani membangunkannya, takut anaknya kaget dan khawatir anaknya akan marah.

Orang tua juga sering dipusingkan dengan kasus kenakalan anak-anaknya di luar rumah, seperti pertengkaran pelajar, pencurian, berjudi, minum minuman keras, mengkonsumsi narkoba bahkan pembunuhan. Perbuatan mereka sudah termasuk perbuatan kriminalitas, secara Islami agaknya berawal dari terjadinya destabilitas internal pribadi seseorang. Tuntutan syahwat tidak lagi terkontrol dan terkendalikan, sehingga hilanglah keseimbangan dirinya. Penglihatan, pendengaran dan pikirannya tidak lagi berfungsi dengan baik, sehingga menyebabkan mereka lupa daratan, gelap mata, lepas kontrol dan nekat melakukan perbuatan apapun demi memenuhi keinginan nafsunya.

Ada dua persepsi awal yang berbeda dalam pemahaman term “anak salah didik”. Pertama, dipahami bahwa yang salah dan yang patut disalahkan adalah orang tua dalam mendidik anaknya. Kedua, adalah problematika dan realitas profil dari anak salah didik yang ada dalam al Qur’an. Agar pembahasan tersebut tuntas dan tidak meluas, maka kami harus menentukan satu fokus bahasan.
Berangkat dari dua persepsi diatas, maka penulis mengambil satu tema dalam al-Qur’an yang berhubungan dengan profil anak yang salah didik, yakni problematika mendidik anak perspektif al-Qur’an. Agar pembahasan tema tersebut lebih sistematis, maka kami meminjam istilah Quraish Shihab, yang telah mengambil dari Al-Hayyi al-Farmawi, dalam menentukan sistematika tafsir tematik antara lain: Menentukan tema yang dibahas (seperti diatas), menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan tema, menyusun ayat sesuai dengan asbab an-nuzul, memahami korelasi antar ayat, menyusun kerangka pembahasan, melengkapi dengan ayat atau hadits yang relevan, mempelajari seluruh ayat-ayat yang dihimpun.
Al-Qur’an memperingatkan adanya fitnah istri, anak-anak dan harta benda yang bisa menjadi sebab kelalaian dalam mewujudkan ketaatan, dan terkadang menjerumuskan ke dalam kemaksiatan. Sangat sesuai dengan konteks ini bila Allah memerintahkan ketakwaan dan infak di jalan Allah, sebab tindakan tersebut menjadi modal manusia dan jalan untuk membahagiakan dirinya di dunia dan akhirat, Setiap penyakit memiliki obatnya, sedangkan obat bagi penyimpangan adalah bersegera mewujudkan sikap istiqamah dan menetapi jalan lurus amal dan ketaatan. Sebagaimana dijelaskan oleh ayat-ayat berikut,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (١٤) إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ (١٥) فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لأنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (١٦) إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ (١٧) عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu, dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu, dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun. Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taghaabun: 14-18).

Allah Swt. berfirman, menceritakan tentang istri-istri dan anak-anak, bahwa di antara mereka ada yang menjadi musuh suaminya dan orang tuanya. Dikatakan demikian karena di antara mereka ada yang melalaikannya dari amal saleh, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman Allah Swt. yang mengatakan:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ}

Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-Munafiqun: 9)

Karena itulah dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:

{فَاحْذَرُوهُمْ}

maka berhati-hatilah kamu. (At-Taghabun: 14)
Menurut Ibnu Zaid, disebutkan bahwa maka berhati-hatilah terhadap agamamu. Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini:

{إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ}

sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. (At-Taghabun: 14)

karena mendorong seseorang untuk memutuskan tali persaudaraan atau berbuat suatu maksiat terhadap Tuhannya, karena cintanya kepada istri dan anak-anaknya terpaksa ia menaatinya dan tidak kuasa menolaknya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Khalaf As-Saidalani, telah menceritakan kepada kami Al-Faryabi, telah menceritakan kepada kami Israil, telah menceritakan kepada kami Sammak ibnu Harb, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang telah ditanya oleh seorang lelaki tentang makna firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. (At-Taghabun: 14) Bahwa ada sejumlah lelaki yang telah masuk Islam di Mekah; ketika mereka hendak bergabung dengan Rasulullah Saw. di negeri hijrah, maka istri-istri dan anak-anak mereka tidak mau ditinggalkan. Pada akhirnya setelah mereka datang kepada Rasulullah Saw. (sesudah penaklukan Mekah), mereka melihat orang-orang telah mendalami agama mereka. Kemudian mereka melampiaskan kemarahannya kepada istri-istri dan anak-anak mereka yang menghalang-halangi mereka untuk hijrah. Dan ketika mereka hendak menghukum istri-istri dan anak-anak mereka, Allah menurunkan firman-Nya: dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (At-Taghabun: 14)

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Turmuzi, dari Muhammad ibnu Yahya Al-Faryabi alias Muhammad ibnu Yusuf dengan sanad yang sama. Hasan mengatakan bahwa hadis ini sahih. Ibnu Jarir danTabrani meriwayatkan hadis ini melalui Israil dengan sanad yang sama. Telah diriwayatkan pula melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu Abbas hal yang semisal, dan hal yang sama dikatakan pula oleh Ikrimah (bekas budak Ibnu Abbas).

Firman Allah Swt.:

{إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ}

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); di sisi Allah-lah pahala yang besar. (At-Taghabun: 15)

Allah Swt. berfirman bahwa sesungguhnya harta dan anak-anak itu merupakan ujian dan cobaan dari Allah bagi makhluk-Nya, agar dapat dijelaskan siapa orang yang taat kepada-Nya dan siapa yang durhaka terhadap-Nya.

Banyak sekali ayat al-Qur’an yang membicarakan mengenai anak, namun secara spesifik dan mendetail belum ditemukan bagaimana cara mendidik anak yang baik dan benar. Ayat-ayat al-Qur’an mengenai pendidikan masih bersifat global dan membutuhkan penafsiran-penafsiran yang sesuai dengan tujuan pendidikan sebenarnya dalam Islam. Penafsiran dapat dilakukan melalui tekstual (al-Qur’an dan al-Hadits), maupun secara kontekstual.

Dalam perspektif al-Qur’an, anak merupakan amanat, rahmat dan anugerah bagi kedua orang tuanya. Begitu juga sebaliknya, anak juga bisa menjadi bencana, musuh dan fitnah bagi kedua orang tuanya. Oleh karena itu al-Qur’an telah memberikan peringatan kepada siapa pun yang menjadi orang tua untuk mendidik keluarga dan anak-anaknya, agar selamat di dunia dan di akhirat. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”. (QS. At-Tahrim: 6).

Pendidikan yang pertama dan yang utama dalam perspektif ayat tersebut adalah keluarga. Pemegang peran utama pendidikan keluarga adalah orang tua. Peran orang tua dalam mendidik anaknya dalam lingkungan keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap proses pendewasaan anak. Orang tua mampu untuk mengarahkan, membimbing dan membentuk anaknya sebagaimana yang mereka inginkan. Rasulullah saw., bersabda:

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ أَخْبَرَناَ يُوْنُسُ عَنْ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِيْ أَبُوْ سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَن أَنَّ أَباَ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجَّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُوْلُ أَبُوْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِطْرَةَ اللهِ الَّتِى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِك الدَّيْنُ الْقَيِّمُ

…dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: tiada seorang bayi pun dilahirkan, kecuali dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi, sebagaimana hewan melahirkan hewan seluruhnya. Apakah kamu melihat ada kekurangan atau cacat dalam fitrah itu? Kemudian Abu Hurairah membaca surat ar-Rum:30 … (HR. Bukhari).

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُوْنَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Ruum: 30)

Sejak manusia terlahir di dunia, dia dalam keadaan fitrah. Yang dimaksud fitrah adalah suatu kecenderungan hati yang diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka yang tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungannya. Al-Qur’an telah mengingatkan setiap orang tua (muslim) agar jangan sampai membunuh fitrah anak-anaknya yang berupa akidah untuk mengakui agama tauhid. Sebagaimana firman-Nya:

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya)”. (QS. Al-An’am: 151)

وَلاَ تَقْتُلُوْا أَوْلاَدَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيْرًا

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS. Al-Isra’: 31)

Faktor kemiskinan dalam dua ayat tersebut lebih mengarah pada kemiskinan rohani, yakni kehilangan akidah. Orang tua seharusnya mendahulukan pendidikan anak-anaknya pertama kali dengan memperkenalkan akidah Islam. Jangan sampai mereka tersesat, bahkan terjerumus dalam kemusyrikan.

Pendidikan akidah tidak boleh dipandang sebelah mata. Bimbingan arahan, pesan dan wasiat orang tua seharusnya selalu disampaikan kepada anak-anaknya agar tidak sampai jatuh kepada kemusyrikan. Karena kemusyrikan termasuk dosa yang sangat besar dan tidak akan menyelamatkan mereka dari siksa akhirat. Contoh teladan dapat dilihat dari kisah Luqman dalam menasehati anak-anaknya.

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ ِلابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS. Luqman: 13)

Dalam kisah tersebut, orang tua dinilai telah mampu menunjukkan rasa kasih sayangnya terhadap anak-anaknya apabila mereka mampu menanamkan akidah yang kuat sebagai pondasi agama. Siapapun yang berbuat syirik, dia termasuk orang yang zalim, karena dinilai tidak menempatkan segala sesuatu secara proporsional, yakni menganggap bahwa Allah SWT sama dengan makhluknya, bahkan lebih rendah dari patung dan berhala sesembahan mereka yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa.

Anak merupakan lambang generasi penerus dan pewaris dari orang tuanya. Anak-anak dapat menjadi sumber kebahagiaan, kesenangan bahkan kebanggaan orang tua. Anak dapat juga menjadi salah satu perhiasan kebahagiaan hidup di dunia. Allah SWT telah menganugerahkan rasa cinta dan sayang orang tua terhadap anak-anaknya, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali ‘Imron : 14)

Pada ayat yang lain Allah juga telah menjelaskan bahwa anak dapat menyejukkan pandangan mata dan menyenangkan hati kedua orang tuanya (qurratul a’yun). Anak yang demikian biasanya adalah yang telah memahami akidah dan pendidikan agama yang diberikan dengan baik.

وَالَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا

“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.(QS.Al-Furqon: 74)

Anak dapat menjadi musuh dan fitnah bagi orang tuanya, apabila mereka telah melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan syariat agama, menghardik kedua orang tuanya dan bahkan sampai membunuhnya. Al-Qur’an telah mengingatkan kepada orang tua agar berhati-hati terhadap fitnah ini.

Rosululloh Sholallohu 'Alaihi Wasallam Bersabda;

اَدِّبُوْا اَوْلَادَكُمْ عَلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ : حُبِّ نَبِيِّكُمْ وَحُبِّ اَهْلِ بَيْتِهِ وَ قِرَأَةُ الْقُرْأَنِ فَإِنَّ حَمْلَةَ الْقُرْأَنُ فِيْ ظِلِّ اللهِ يَوْمَ لَا ظِلٌّ ظِلَّهُ مَعَ اَنْبِيَائِهِ وَاَصْفِيَائِهِ

Artinya: “Didiklah anak-anak kalian dengan tiga macam perkara yaitu mencintai Nabi kalian dan mencintai keluarganya serta membaca Al-Qur’an, karena sesungguhnya orang yang menjunjung tinggi Al-Qur’an akan berada di bawah lindungan Allah, di waktu tidak ada lindungan selain lindungan-Nya bersama para Nabi dan kekasih-Nya” (H.R. Ad-Dailami dari Ali bin Abi Thalib).
Dalam tataran realitas yang ada kita tidak menutup mata bahwa kebanyakan faktor pendidikan lebih menekankan pada satu sisi, bagaimana orang tua mendidik anaknya. Apakah orang tua memang sudah benar-benar sesuai prosedur dalam membimbing anaknya, atau justru sebaliknya.

Pada sisi yang lain faktor anak juga perlu mendapat sorotan, apakah mereka sudah benar-benar belajar melalui pendidikan sesuai prosedur yang diharapkan oleh orang tuanya, atau justru sebaliknya. Terlalu dini untuk dapat menjustifikasi siapa sebenarnya yang patut untuk disalahkan. Apakah faktor orang tua, anak-anak didik atau bahkan lembaga pendidikannya.

Sejak awal masa kanak-kanak setiap individu bergantung pada orang dewasa (orang tua) dalam mengurus kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Ketika mulai tumbuh berkembang, ia merasa mampu melakukan segala-galanya menurut cara mereka sendiri. Keinginan tersebut kadang bertentangan dan sangat dibatasi oleh orang tuanya apabila dianggap sangat mengganggu. Keinginan ini kadang juga dianggap sebagai pembangkangan dan ketidak patuhan. Menurut mereka orang orang tua seperti ini dianggap ekstrem dan kolot. Akibatnya mereka menjadi berontak, tidak patuh bahkan sangat membenci orang tuanya.

Contoh kecil anak yang salah didik seperti ini sekarang banyak sekali kita jumpai di sekitar lingkungan kita. Kita melihat sikap orang tua yang selalu otoriter dan selalu memaksakan kepentingannya kepada anak dinilai sebagai embrio dari kenakalan anak yang mengarah pada kriminalitas. Begitu juga sebaliknya, orang tua yang selalu sibuk mengurusi kepentingan pribadinya tanpa menghiraukan pendidikan anak-anaknya, maka bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya.

Hal ini mengisyaratkan bahwa kegagalan dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan pada diri anak berawal dari kegagalan orang tua dalam mendidik masa kecilnya, dalam lembaga terkecil yaitu keluarga. Orang tua seharusnya memberikan perhatian secara dini mengenai masa depan anak-anaknya. Karena dinilai kegagalan tersebut sangat berpeluang untuk menjadikan anak tersebut tidak terkontrol (dalam segala aspek), ketika usia dewasa.

Al-Qur’an telah menegaskan:

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوْا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوْا اللهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلا سَدِيدًا

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar”. (QS. An-Nisa’: 9)

Menurut psikologi pendidikan, orang tua yang suka memanjakan dan menuruti segala keinginannya anak-anaknya, tanpa pertimbangan yang matang, akan membuat anak menjadi manja, tidak bisa mandiri dan selalu bergantung orang lain. Al-Qur’an telah memperingatkan:

فَلا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَلا أَوْلادُهُمْ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ (٥٥)

“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam Keadaan kafir”. (QS. At-Taubah: 55)

Cinta dan benci adalah dua aspek dari jaringan-jaringan jiwa yang begitu kompleks dan saling berlawanan. Manusia dewasa dan anak-anak pada hakekatnya ingin merasakan segala bentuk kesenangan materi. Mereka sangat ingin sekali unggul, kuat, berkemampuan lebih, mengalahkan yang lain, berkuasa, menjadi pusat perhatian, berumur panjang dan abadi. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ

“Dan sesungguhnya Dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta. (QS. Al-‘Adiyat: 8). 


Ada beberapa faktor pendukung yang menyebabkan anak menjadi salah didik, antara lain: pertama, factor intern yaitu faktor dari dalam ini disebabkan karena lemahnya aqidah, iman dan akhlaq. Mereka selalu memperturutkan hawa nafsunya. Kedua, faktor extern yaitu faktor dari luar dipengaruhi oleh: kesenjangan social ekonomi yang menimbulkan kecemburuan dan faktor keluarga yang tidak harmonis (broken home), ekonomi lemah, lapangan kerja terbatas yang menimbulkan kemiskinan dan penganguran, rangsangan media massa dan film yang memperlihatkan teknik-teknik melakukan kriminalitas, pergaulan bebas dan berinteraksi dengan para pelaku criminal, perjudian, pencurian, pemabuk dan pecandu narkoba, sanksi hukum yang ringan, tidak membuat pelaku jera.

Firman Allah Swt.:

{وَاللَّهُ عِنْدَهُ}

di sisi Allah-lah. (At-Taghabun: 15)
kelak di hari kiamat.

{أَجْرٌ عَظِيمٌ}

pahala yang besar. (At-Taghabun: 15)
Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Ali Imran: 14)
dan ayat yang berikutnya.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ، حَدَّثَنِي حُسَين بْنُ وَاقَدٍ، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيدة، سَمِعْتُ أَبِي بُرَيْدَةَ يَقُولُ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَجَاءَ الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَلَيْهِمَا قَمِيصَانِ أَحْمَرَانِ يَمْشِيَانِ وَيَعْثُرَانِ، فَنَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْمِنْبَرِ فَحَمَلَهُمَا فَوَضَعَهُمَا بَيْنَ يَدَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: "صَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ، إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ، نَظَرْتُ إِلَى هَذَيْنِ الصَّبِيَّيْنِ يَمْشِيَانِ وَيَعْثُرَانِ فَلَمْ أَصْبِرْ حَتَّى قَطَعْتُ حديثي ورفعتهما".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepadaku Husain ibnu Waqid, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Buraidah, bahwa ia pernah mendengar Abu Buraidah mengatakan, "Dahulu Rasulullah Saw. ketika sedang berkhotbah, datanglah Al-Hasan dan Al-Husain r.a. yang mengenakan baju gamis merah, keduanya berjalan dengan langkah yang tertatih-tatih. Maka Rasulullah Saw. langsung turun dari mimbarnya dan menggendong keduanya, lalu mendudukkan keduanya di hadapannya, kemudian bersabda: Allah dan Rasul-Nya benar, sesungguhnya harta dan anak-anak kalian hanyalah cobaan. Aku memandang kedua anak ini yang berjalan dengan langkah yang tertatih-tatih, maka aku tidak sabar lagi hingga terpaksa aku putuskan pembicaraanku dan, menggendong keduanya'.

Ahlus Sunan telah meriwayatkan hadis ini melalui Husain ibnu Waqid dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib, sesungguhnya kami mengetahui hadis ini hanya melalui hadisnya (Husain ibnu Waqid).'

وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُرَيج بْنُ النُّعْمَانِ، حَدَّثَنَا هُشَيْم، أَخْبَرَنَا مَجَالِدٌ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، حَدَّثَنَا الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ قَالَ: قَدِمْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَفْدِ كِنْدَةَ، فَقَالَ لِي: "هَلْ لَكَ مِنْ وَلَدٍ؟ " قُلْتُ: غُلَامٌ وُلِدَ لِي فِي مَخرجَي إِلَيْكَ مِنِ ابْنَةِ جَمْدٍ، وَلَوَددْتُ أَنَّ بِمَكَانِهِ: شبَعَ الْقَوْمِ. قَالَ: "لَا تَقُولَنَّ ذَلِكَ، فَإِنَّ فِيهِمْ قُرَّةَ عَيْنٍ، وَأَجْرًا إِذَا قُبِضُوا"، ثُمَّ قَالَ: "وَلَئِنْ قُلْتَ ذَاكَ: إِنَّهُمْ لَمَجْبَنَةٌ مَحْزنة"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih ibnun Nu'man, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari Asy-Sya'bi, telah menceritakan kepada kami Al-Asy'as ibnu Qais yang mengatakan bahwa aku datang menghadap kepada Rasulullah Saw. dalam delegasi Kindah, lalu beliau Saw. bertanya kepadaku, "Apakah engkau punya anak?" Aku menjawab, "Ya, seorang putra yang baru dilahirkan untukku dari anak perempuan Hamd sebelum keberangkatanku kepada engkau. Dan sesungguhnya aku berharap sekiranya kedudukannya diganti dengan kaum yang pemberani." Maka Nabi Saw. bersabda: Jangan sekali-kali kamu katakan demikian, karena sesungguhnya di antara mereka terdapat penyejuk hati dan pahala yang banyak bila mereka dicabut(nyawanya semasa kecil). Kemudian Nabi Saw. bersabda: Dan sesungguhnya jika kukatakan memang demikian, sesungguhnya mereka (anak-anak) itu benar-benar merupakan penyebab hati menjadi pengecut dan duka cita.

Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini secara munfarid.

قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ بَكْرٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ عِيسَى [بْنِ أَبِي وَائِلٍ] عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْوَلَدُ ثَمَرَةُ الْقُلُوبِ، وَإِنَّهُمْ مَجبنة مَبخلة مَحْزَنَةٌ"

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Bakar, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Isa, dari Ibnu Abu Laila, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Anak itu adalah buah hati, dan sesungguhnya mereka itu penyebab hati menjadi pengecut, sifat menjadi kikir, dan sumber kesedihan.

Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa kami tidak mengenal hadis ini kecuali melalui sanad ini.

قَالَ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ مَرْثَدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَيَّاشٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، حَدَّثَنِي ضَمْضَمُ بنُ زُرْعَةَ، عَنْ شُرَيْحِ بْنِ عُبَيْدٍ، عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَيْسَ عَدُوُّكَ الَّذِي إِنْ قَتَلْتَهُ كَانَ فَوْزًا لَكَ، وَإِنْ قَتَلَكَ دَخَلْتَ الْجَنَّةَ، وَلَكِنَّ الَّذِي لَعَلَّهُ عَدُوٌّ لَكَ وَلَدُكَ الَّذِي خَرَجَ مِنْ صُلْبِكَ، ثُمَّ أَعْدَى عَدُوٍّ لَكَ مالُك الَّذِي مَلَكَتْ يَمِينُكَ"

Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasim ibnu Marsad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Iyasy, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadakuDamdam ibnu Zur'ah, dari Syuraih ibnu Ubaid, dari Abu Malik Al-Asy'ari, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:Musuhmu itu bukanlah orang yang jika kamu bunuh, maka kemenangan bagimu; dan jika dia membunuhmu, maka kamu masuk surga. Tetapi barangkali yang menjadi musuhmu itu adalah anakmu yang keluar dari sulbimu sendiri. Kemudian musuh bebuyutanmu adalah harta yang kamu miliki.

Firman Allah Swt.:

{فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ}

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (At-Taghabun: 16)

Yakni menurut batas maksimal kemampuanmu, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

"إذا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَائْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَمَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ"

Apabila kuperintahkan kepada kalian suatu perkara, maka kerjakanlah hal itu olehmu menurut kesanggupanmu; dan apa saja yang aku larang kalian mengerjakannya, tinggalkanlah.

Sebagian ulama tafsir mengatakan bahwa sebagaimana yang telah di­riwayatkan oleh Malik dari Zaid ibnu Aslam yang mengatakan bahwa ayat ini merevisi ayat yang ada di dalam surat Ali Imran, yaitu firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Ali Imran: 102)

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zur'ah, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepadaku Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepadaku Ata alias Ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Ali Imran: 102) Bahwa ketika ayat ini diturunkan, kaum muslim beramal dengan sekuat-kuatnya. Mereka terus-menerus mengerjakan qiyam (salat sunat) hingga tumit kaki mereka bengkak dan kening mereka bernanah. Maka Allah menurunkan ayat ini untuk meringankan mereka (kaum muslim), yaitu firman-Nya: Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, (At-Taghabun: 16) Maka ayat ini merevisi pengertian yang terdapat pada ayat yang di atas tadi.

Telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari Abul Aliyah, Zaid ibnu Aslam, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan.

Firman Allah Swt.:

{وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا}

dan dengar serta taatlah. (At-Taghabun: 16)

Yaitu jadilah kamu orang-orang yang tunduk patuh kepada apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepadamu, dan janganlah kamu menyimpang darinya baik ke arah kanan maupun ke arah kiri. Dan janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, janganlah pula kamu ketinggalan dari apa yang diperintahkan oleh-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu mengerjakan apa yang dilarang oleh-Nya kamu mengerjakannya.

Firman Allah Swt.:

{وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لأنْفُسِكُمْ}

dan nafkahkanlah nafkah yang baik untukmu. (At-Taghabun: 16)

Yakni berinfaklah (belanjakanlah) dari sebagian harta yang Allah rezekikan kepadamu kepada kaum kerabat, orang-orang fakir, orang-orang miskin, dan orang-orang yang memerlukan bantuan. Dan berbuat baiklah kamu kepada sesama makhluk Allah sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu, niscaya hal ini lebih baik bagi kalian buat kehidupan dunia dan kehidupan akhiratmu. Jika kamu tidak melakukannya, maka menjadi keburukanlah bagimu dalam kehidupan dunia dan akhiratmu.

Firman Allah Swt.:

{وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ}

Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (At-Taghabun: 16)

Tafsir ayat ini telah dikemukakan dalam tafsir surat Al-Hasyr, dan telah disebutkan pula hadis-hadis yang berkaitan dengan makna ayat ini, sehingga tidak perlu diulangi lagi.

Firman Allah Swt.:

{إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ}

Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan (pembalasannya) kepadamu dan mengampuni kamu. (At-Taghabun: 17)

Yakni apa pun yang telah kamu infakkan, maka Dia akan mengganti­kannya; dan apa pun yang kamu sedekahkan, maka Dialah yang akan membalas pahalanya.

Hal ini diungkapkan dengan pengertian pinjaman, sama dengan ungkapan yang terdapat di dalam sebuah hadis di dalam kitab Sahihain, bahwa Allah Swt. berfirman dalam hadis Qudsi-Nya; "Barang siapa yang memberi pinjaman dengan tidak berbuat aniaya dan tidak pula meludeskan harta sendiri," hingga akhir hadis. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya, bahwa Dia akan melipatgandakan pahalanya bagimu. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah melalui firman-Nya:

{فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً}

maka Allah akan memperlipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245)

Adapun firman Allah Swt.:

{وَيَغْفِرْ لَكُمْ}

dan mengampuni kamu. (At-Taghabun: 17)

Maksudnya, menghapuskan kesalahan-kesalahanmu. Dalam firman berikutnya disebutkan:

{وَاللَّهُ شَكُورٌ}

Dan Allah Maha Pembalas Jasa. (At-Taghabun: 17)
Yakni membalas amal yang sedikit dengan pahala yang banyak.

{حَلِيمٌ}

lagi Maha Penyantun. (At-Taghabun: 17)

Yaitu Dia memaaf, mengampuni, menutupi dan menghapuskan dosa-dosa, kesalahan-kesalahan, keburukan-keburukan, dan kealpaan-kealpaan.

{عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ}

Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (At-Taghabun: 18)‎

وَاعْلَمُوْا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيْمٌ

“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”. (QS.Al-Anfal: 28)

Takhtimah 

Ayat 14 surat at-Taghabun menjelaskan bahwa anak-anak dan pasangan (suami/istri) kadang dapat menjadi musuh. Ayat ini diturunkan karena didahului oleh‎ asbab an-nuzul. Didukung dengan beberapa ayat yang menerangkan tentang ujian terbesar selain istri dan harta adalah anak. Anak yang salah didik dalam beberapa ayat akan musuh dan fitnah bagi orang tuanya.  “Musuh” dapat diartikan sebagai makna majazi dan makna hakiki, yakni anak dan pasangan bagaikan musuh atau memang benar-benar menjadi musuh. Contoh kasus seperti pertengkaran pelajar, pencurian, berjudi, minum minuman keras, mengkonsumsi narkoba bahkan pembunuhan. Perbuatan mereka sudah termasuk perbuatan kriminalitas.

Termasuk “musuh” dipakai al-Qur’an sebagai peringatan kepada manusia agar selalu berhati-hati menghadapinya. Jika manusia sabar dan ikhlas menghadapinya, maka ia akan memperoleh pahala yang besar di sisi-Nya. Kegagalan pertama dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan pada diri anak berawal dari kegagalan orang tua dalam mendidik masa kecilnya, dalam lembaga terkecil yaitu keluarga. Faktor-faktor penyebab kegagalan berikutnya dalam mendidik anak ada dua macam, yaitu faktor intern anak dan faktor ekstern, yang semuanya bersumber pada lemahnya iman dan memperturutkan hawa nafsu.
Salah satu yang  menjadi contoh  istri dan anak itu ada  yang menjadi musuh bagi seorang mukmin seperti yang disebutkan dalam akhir surat At-Tahrim tentang istri dari dua orang nabi, sebagaimana firman Allah Swt :

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ  (التحريم : 14)  

“Allah membuat istri Nuh dan istri Lut perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); "Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)”.(At-Tahrim : 14)

Secara korelatif tentang fitnah harta dan anak dalam surah At-Taghabun, Imam Ar-Razi dalam At-Tafsir Al-Kabir menyebutkan, karena anak dan harta merupakan fitnah, maka Allah memerintahkan kita agar senantiasa bertaqwa dan taat kepada Allah setelah menyebutkan hakikat fitnah keduanya, ”Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (At-Taghabun: 16). Apalagi pada ayat sebelumnya, Allah menegaskan akan kemungkinan sebagian keluarga berbalik menjadi musuh bagi seseorang, ”Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (At-Taghabun: 14)

Sedangkan tentang fitnah harta dan anak dalam surah Al-Anfal, Sayyid Quthb menyebutkan korelasinya dengan tema amanah ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (Al-Anfal: 27), bahwa harta dan anak merupakan objek ujian dan cobaan Allah swt yang dapat saja menghalang seseorang menunaikan amanah Allah dan Rasul-Nya dengan baik. Padahal kehidupan yang mulia adalah kehidupan yang menuntut pengorbanan dan menuntut seseorang agar mampu menunaikan segala amanah kehidupan yang diembannya. Maka melalui ayat ini Allah swt ingin memberi peringatan kepada semua khalifah-Nya agar fitnah harta dan anak tidak melemahkannya dalam mengemban amanah kehidupan dan perjuangan agar meraih kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat. Dan inilah titik lemah manusia di depan harta dan anak-anaknya. Sehingga peringatan Allah akan besarnya fitnah harta dan anak diiringi dengan kabar gembira akan pahala dan keutamaan yang akan diraih melalui sarana harta dan anak.

Lebih jauh, korelasi ayat di atas dapat ditemukan dalam beberapa ayat yang lain. Al-Qurthubi misalnya, menemukan korelasinya dengan surah Al-Kahfi: 46 yang bermaksud, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”, bahwa harta kekayaan dan anak wajar menjadi perhiasan dunia yang menetramkan pemiliknya karena pada harta ada keindahan dan manfaat, sedangkan pada anak ada kekuatan dan dukungan. Namun demikian kedudukan keduanya sebagai perhiasan dunia hanyalah bersifat sementara dan bisa menggiurkan serta menjerumuskan. Maka sangat tepat jika ayat “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (At-Taghabun: 15) dan ayat “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”.(Al-Munafiqun: 9) menjadi pengingat jika kemudian terjadi harta dan anak justru menjauhkan pemiliknya dari Allah swt.
Dari beberapa penjelasan diatas, maka pembahasan dalam penulisan ini adalah difokuskan pada tema mengenai anak yang menjadi musuh dan fitnah bagi orang tuanya.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...