Jumat, 15 Oktober 2021

Penjalasan Tentang Penggunaan Bahasa Non Arab Dalam Doa dalam Sholat

 

Tidak perlu diragukan lagi, memang sepantasnya seorang muslim mencintai bahasa Arab dan berusaha menguasainya. Allah telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an karena bahasa Arab adalah bahasa yang terbaik yang pernah ada sebagaimana firman Allah ta’ala:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Surat Yusuf Ayat-2)

Keutamaan bahasa Arab amatlah jelas karena bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an Al-Karim. Cukup alasan inilah yang jadi alasan besar kenapa kita harus mempelajari bahasa Arab. Keistimewaan bahasa Arab disebutkan dalam Al-Qur’an lebih dari sepuluh tempat, di antaranya pada ayat,
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ . قُرْآنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِي عِوَجٍ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Quran ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran. (Ialah) Al Quran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa.” (QS. Az-Zumar: 27-28)‎
Jika seseorang berdoa dalam shalat -misal ketika sujud atau saat tasyahud akhir sebelum salam- di mana doa tersebut dibuat-buat sendiri dengan selain bahasa Arab, seperti itu tidak dibolehkan bahkan shalatnya batal.
Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i. Oleh karena itu, baiknya memang doa dalam shalat adalah doa yang ma’tsur yang berasal dari Al Quran dan As Sunnah, itu lebih selamat.
Berikut penjelasan dari Imam Nawawi rahimahullah di mana beliau bagi menjadi dua pembahasan yaitu hukum untuk doa ma’tsur (yang ada nash dari Al Quran dan As Sunnah) dan hukum untuk doa yang tidak ma’tsur. Beliau ‎rahimahullah berkata,‎
[Untuk doa ma’tsur]
Adapun jika doanya itu ma’tsur (berasal dari Al Quran dan As Sunnah), maka ada tiga pendapat dalam masalah ini di kalangan ulama Syafi’iyah.
Pendapat pertama, bagi yang tidak mampu berbahasa Arab, maka ia boleh membaca terjemah dari doa tersebut. Namun bagi yang mampu berbahasa Arab, tidak dibolehkan baginya membaca terjemahnya. Jika ia mampu berbahasa Arab dan tetap memakai terjemah, shalatnya batal.
Pendapat kedua, boleh membaca terjemah bagi yang bisa berbahasa Arab ataukah tidak.
Pendapat ketiga, tidak dibolehkan membaca terjemah baik yang mampu berbahasa Arab ataukah tidak karena pada saat itu tidak disebut darurat.
[Untuk doa yang tidak ma’tsur]
Untuk doa yang tidak ma’tsur (tidak berasal dari Al Quran dan As Sunnah) dengan selain bahasa Arab, maka tidak dibolehkan dan ini tidak ada khilaf dalam madzhab Syafi’i dan shalatnya bahkan menjadi batal. Hal ini berbeda jika seseorang membuat-buat doa dengan bahasa Arab, maka seperti itu dibolehkan dalam madzhab Syafi’i tanpa ada khilaf. (Al Majmu’, 3: 181).
Salah seorang ulama Syafi’iyah, Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini rahimahullah berkata,
فَإِنَّ الْخِلَافَ الْمَذْكُورَ مَحَلُّهُ فِي الْمَأْثُورِ .أَمَّا غَيْرُ الْمَأْثُورِ بِأَنْ اخْتَرَعَ دُعَاءً أَوْ ذِكْرًا بِالْعَجَمِيَّةِ فِي الصَّلَاةِ فَلَا يَجُوزُ كَمَا نَقَلَهُ الرَّافِعِيُّ عَنْ الْإِمَامِ تَصْرِيحًا فِي الْأُولَى ، وَاقْتَصَرَ عَلَيْهَا فِي الرَّوْضَةِ وَإِشْعَارًا فِي الثَّانِيَةِ ، وَتَبْطُلُ بِهِ صَلَاتُهُ .
“Perbedaan pendapat yang terjadi adalah pada doa ma’tsur. Adapun doa yang tidak ma’tsur (tidak berasal dalil dari Al Quran dan As Sunnah), maka tidak boleh doa atau dzikir tersebut dibuat-buat dengan selain bahasa Arab lalu dibaca di dalam shalat. Seperti itu tidak dibolehkan sebagaimana dinukilkan oleh Ar Rofi’i dari Imam Syafi’i sebagai penegasan dari yang pertama. Sedangkan dalam kitab Ar Roudhoh diringkas untuk yang kedua. Juga membaca doa seperti itu dengan selain bahasa Arab mengakibatkan shalatnya batal.” (Mughnil Muhtaj, 1: 273).
Terkhusus lagi bagi mereka (yang berdoa) dengan menggunakan bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Quran, walaupun ia mengalami kesulitan untuk mengucapkannya. Dan Allah menyukai doa tersebut jika terpenuhi syarat-syarat (terkabulnya doa) dan terhindar dari penghalang-penghalangnya. Bisa jadi Allah menyegerakan (doa tersebut) baginya, atau Allah menjadikan doanya itu sebagai simpanan (kelak di hari akhirat), atau bahkan Allah mengaplikasikan doanya tersebut dengan menghindarkannya dari berbagai macam musibah dan memberikan perlindungan kepadanya.
Dari sahabat Sa’id al-Khudri radhiyalllahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ، إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ: إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا قَالُوا: إِذاً نُكْثِرُ؟ قَالَ: اللهُ أَكْثَرُ
“Tidaklah seorang muslim berdoa dengan doa yang tidak ada di dalamnya dosa atau tujuan untuk memutus tali silaturahim, kecuali Allah akan memberikan kepadanya salah satu dari tiga hal: “Allah akan segera mengabulkan doanya tersebut, Allah akan menyimpan doanya tersebut baginya di akhirat kelak, atau bahkan Allah akan menghindarkannya dari kejelekan yang semisal.” Para sahabat bertanya: “Bagaimana jika kami memperbanyak doanya? ” Beliau menjawab: “Allah akan memperbanyak pula (balasannya)”.” (HR Ahmad, al-Bukhari, al-Hakim, dan Ibnu Abi Syaibah).
Jadi berdasarkan pendapat dalam madzhab Syafi’i, berdoa dengan selain bahasa Arab tidak dibolehkan dan membuat shalat menjadi batal.

Penjelasan Trend Bahasa Dalam Pergaulan


Dewasa ini ,bahasa merupakan instrumen terpenting dalam kehidupan manusia.Manusia tidak bisa hidup tanpa bahasa,baik secara lisan maupun tulisan .Bahasa sebagai alat komunikasi sosial dalam kehidupan manusia. Bahasa adalah simbol–simbol yang digunakan untuk menyatakan  gagasan, ide dan perasaan orang kepada orang lain. Sejak lahir manusia sudah diajarkan berbahasa dalam  kehidupan sehari-hari mulai saat bagun pagi-pagi sampai menginjak malam waktu beristirahat, manusia tidak pernah lepas  memakai bahasa. Maka bahasa sangatlah berguna bagi manusia untuk melakukan aktifitasnya.‎Bahasa lisan merupakan bahasa yang interaksinya secara langsung. Adanya bahasa lisan dapatdikaitkan dengan berbicara karena merupakan simbol dari bahasa lisan. Sedangkan bahasa tulisan merupakan bahasa yang digunakan secara tidak langsung ,seperti  yang terdapat pada jejaring sosial bahasa tulisan melalui jejaring sosial yaitu situs pertemanan di facebook ataupun twitter.Pada zaman teknologi yang semakin maju ,mulailah bahasa lisan ataupun bahasa tulisan menjadi semakin naik daun terutama dalam hal gaya bahasa dijejaring  sosial.Istilah bahasa tersebut adalah bahasa alay yang banyak digunakan oleh para remaja. Berkaitan dengan jejaring sosial macam facebook ataupun twitter yang merupakan bahasa yang banyak  digunakan oleh manusia terutama kalangan remaja.Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi jarak jauh dengan internet melalui jejaring sosial ini.

Di samping itu, perkembangan era globalisasi ini  yang menuntut anak remaja selalu up date juga disinyalir menjadi salah satu penyebab pesatnya penyebaran virus alay. Nggak alay, nggak gaul. Hal ini dipengaruhi juga oleh  semakin berkembangnya teknologi, terutama berkembangnya situs jejaring sosial, seperti facebook dan twitter .Dan semakin lama bahasa alay tersebut terus berkembang dan berganti tren. bahasa ini muncul dikalangan remaja, yang disebut dengan bahasa “Alay”. Kemunculannya dapat dikatakan fenomenal, karena cukup menyita perhatian. Bahasa baru ini seolah menggeser penggunaan bahasa Indonesia dikalangan segelintir remaja. ‎Sehubungan dengan semakin maraknya penggunaan bahasa gaul yang digunakan oleh kalangan remaja dan sudah terdengar norak dimasyarakat luas tapi masih saja digunakan para remaja untuk menulis dijejaring sosial,sehingga  perlu adanya tindakan dari semua pihak yang peduli terhadap eksistensi kesantunan berbahasa.Dari sejak lahir hingga kini,bahasa masih tetap terasa kesulitan untuk berbahasa yang indah dan santun.Modifikasi bahasa dalam bentuk alay ternyata membawa sinyal ancaman serius terhadap bahasa terutama dikalangan remaja.

Hal tersebut sangatlah memperhatinkan karena remaja adalah generasi bangsa apabila bahasa mereka alay ini semakin marak maka akan berdampak pada bahasa yang tidak baik dan kurang sopan sekaligus pertanda semakin merosotnya kemampuan berbahasa Indonesia di kalangan generasi muda.

Allah   berfirman:

يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُوااتَّقُوااللَّهَوَقُولُواقَوْلًاسَدِيدًايُصْلِحْلَكُمْأَعْمَالَكُمْوَيَغْفِرْلَكُمْذُنُوبَكُمْۗوَمَنيُطِعِاللَّهَوَرَسُولَهُفَقَدْفَازَفَوْزًاعَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenengan yang besar” [Al-Ahzab : 70-71]‎‎

Dari ayat diatas terlihat jelas bahwa Alloh memerintahkan kita berkata (berbahasa ) dengan benar,sehingga dapat disimpulkan bahwa bahasa alay merupakan bahasa yang tidak baik dan kurang benar karena secara tidak sadar bahasa alay dalam dunia maya ( jejaring sosial) akan dapat mempengaruhi terhadap dunia nyata terutama pada perkembangan bahasa indonesia yang baik dan benar dikalangan remaja .Dan dizaman sekarang kebutuhan akan berbahasa yang baik dan benar sangatlah diperlukan bagi warga negara indonesia , karena bahasa indonesia adalah bahasa nasional yang harus dipertahankan dan dilestarikan sebagai identitas bangsa  terutama untuk generasi selanjutnya.‎

Mempelajari bahasa asing, demi sebuah kemaslahatan menghindari makar [tipu daya) musuh-musuh Islam, maka hal ini diperbolehkan.

Jika ada kalangan yang menganggap bahwa orang-orang kafir Barat sebagai penjajah atau musuh bagi umat Islam, justru bagian dari strategi agar selamat dari kejahatan mereka seharusnya menguasai bahasa mereka.

Salah satu manfaatnya, dengan menguasai bahasa mereka. para aktivis bisa mendapatkan informasi-informasi penting, guna menangkal makar [tipu daya) mereka.

Rosululloh Sholallohu  ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَنْ خَارِجَةَ بْنِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِيهِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَتَعَلَّمَ لَهُ كَلِمَاتِ كِتَابِ يَهُودَ. قَالَ « إِنِّى وَاللَّهِ مَا آمَنُ يَهُودَ عَلَى كِتَابٍ ». قَالَ فَمَا مَرَّ بِى نِصْفُ شَهْرٍ حَتَّى تَعَلَّمْتُهُ لَهُ قَالَ فَلَمَّا تَعَلَّمْتُهُ كَانَ إِذَا كَتَبَ إِلَى يَهُودَ كَتَبْتُ إِلَيْهِمْ وَإِذَا كَتَبُوا إِلَيْهِ قَرَأْتُ لَهُ كِتَابَهُمْ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit, dari ayahnya; Zaid bin Tsabit, ia berkata: “Rasulullah ShalAllahu alaihi wa sallam menyuruhku untuk mempelajari -untuk nya- kalimat-kalimat [bahasa) dari buku [suratnya) orang Yahudi, nya berkata: “Demi Allah, aku tidak merasa aman dari [pengkhianatan) yahudi atas suratku.” Maka tidak sampai setengah bulan aku sudah mampu menguasai bahasa mereka. Ketika aku sudah menguasainya, maka jika nya menulis surat untuk yahudi maka aku yang menuliskan untuk nya. Dan ketika mereka menulis surat untuk nya maka aku yang membacakannya kepada nya.” Abu Isa mengatakan hadits ini hasan shahih. [HR. At Tirmidzi no. 2933).

Dalam riwayat lain:

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَعَلَّمَ السُّرْيَانِيَّةَ

“Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempelajari bahasa Suryani.” [HR. At-Tirmidzi: 2639).

Al-Allamah Al-MubMirasfuri berkata:

قال القارىء قيل فيه دليل على جواز تعلم ما هو حرام في شرعنا للتوقي والحذر عن الوقوع في الشر  كذا ذكره الطيبي في ذيل كلام المظهر وهو غير ظاهر إذ لا يعرف في الشرع تحريم تعلم لغة من اللغات سريانية أو عبرانية أو هندية أو تركية أو فارسية وقد قال تعالى ومن آياته خلق السماوات والأرض واختلاف ألسنتكم أي لغاتكم بل هو من جملة المباحات نعم يعد من اللغو ومما لا يعني وهو مذموم عند أرباب الكمال إلا إذا ترتب عليه فائدة فحينئذ يستحب كما يستفاد من الحديث انتهى

“Al-Qari menyatakan bahwa di dalam hadits ini terdapat dalil atas bolehnya mempelajari sesuatu yang haram dalam syariat kita untuk berhati-hati dan berjaga-jaga dari terjatuh dalam keburukan. Demikianlah disebutkan oleh Ath-Thibi dalam dzail ucapan Al-Mudzhir. Ucapan nya ini tidak jelas karena tidak diketahui dalam syara’ ini sebuah dalil yang yang mengharamkan mempelajari satu bahasa pun dari bahasa-bahasa Suryani, Ibrani, India, Turki ataupun Persia. Dan Allah U berfirman: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan lisanmu” maksudnya adalah bahasa-bahasa kamu. Bahkan itu [mempelajari bahasa-bahasa Ajam) termasuk dari perkara mubah. Benar, itu bisa dianggap sesuatu yang sia-sia sehingga mempelajarinya adalah tercela menurut orang-orang yang menginginkan kesempurnaan. Kecuali jika terdapat faidah yang berturut-turut dari mempelajarinya maka ketika itu dianjurkan [mempelajarinya) sebagaimana faidah yang dapat diambil dari hadits ini. Selesai.” [Tuhfatul Ahwadzi: 7/413).

Ulama Hadits, Syeikh Sulaiman bin Nashir Al-Ulwan berkata tentang hadits di atas,

وهو دليل على جواز تعلم اللغة الأجنبية للمصلحة والحاجة وهذا لا ينازع فيه أهل العلم

Ini adalah dalil dibolehkannya mempelajari bahasa asing untuk kemaslahatan dan adanya kebutuhan, ahlu ilmipun tidak memperdebatkan hal ini.

Bahasa sebagai wasilah dalam berdakwah kepada umat manusia, maka mempelajari bahasa asing juga diperbolehkan. Sebab, para da’i seyogyanya berdakwah kepada mereka yang tidak memahami bahasa Arab dengan menggunakan bahasa kaumnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. Ibrahim: 4).

Al-Imam Qatadah [seorang ulama tabiin) berkata:

قوله:[وما أرسلنا من رسول إلا بلسان قومه) ، أي بلغة قومه ما كانت . قال الله عز وجلّ:[ليبين لهم) الذي أرسل إليهم ، ليتخذ بذلك الحجة

“Firman Allah: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya” maksudnya adalah dengan bahasa kaumnya apapun bahasanya. Dan firman Allah: “supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” maksudnya adalah agar ia [penjelasan tersebut) dijadikan sebagai hujjah.”[HR. Ibnu Jarir: 16/517]‎

Secara umum bahasa dapat didefinisikan sebagai lambang atau simbol. Pengertian lain dari bahasa adalah alat komunikasi yang dihasilkan oleh alat ucap pada manusia. Perlu diketahui bahwa bahasa terdiri dari kata-kata atau kumpulan kata. Masing-masing mempunyai makna, yaitu hubungan abstrak antara kata sebagai lambang dengan objek atau konsep yang diwakili kumpulan kata atau kosakata itu. Pada waktu kita berbicara atau menulis, kata-kata yang kita ucapkan atau kita tulis tidak tersusun begitu saja, melainkan mengikuti aturan yang ada. Untuk mengungkapkan gagasan,pikiran atau perasaan ita harus memiliki kata-kata yang tepat barulah kita mulai menyusunnya.‎

Secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu yang terlintas di dalam hati. Namun, lebih jauh bahasa bahasa adalah alat untuk beriteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan. Dalam studi sosiolinguistik, bahasa diartikan sebagai sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi.

Bahasa pun mepunyai beberapa pengertian yang didefinisikan oleh para ahli, berikut ini mengenaipenjelasan pengertian dari beberapa ahli mengenai bahasa.         .
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Bahasa adalah sistem bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.

Menurut Carrol, Bahasa adalah sebuah sistem berstruktural mengenai bunyi dan urutan bunyi bahasa yang sifatnya manasuka, yang digunakan, atau yang dapat digunakan dalam komunikasi antar individu oleh sekelompok manusia dan yang secara agak tuntas memberi nama kepada benda-benda, peristiwa-peristiwa, dan proses-proses dalam lingkungan hidup manusia. ‎

Pada waktu kita berbicara atau menulis, kata-kata yang kita ucapkan atau kita tulis tidak tersusun begitusaja, melainkan mengikuti aturan yangada.Untuk mengungkapkan gagasan, pikiran atau perasaan, kitaharus memilih kata-kata yang tepat dan menyusun kata-kata itu sesuai dengan aturan bahasa. Seperangkataturan yang mendasari pemakaian bahasa, atau yang kita gunakan sebagai pedoman berbahasa inilah yangdisebut tata bahasa.


Makna Alay

Alay berasal dari kata Anak Layangan. Bahasa Alay bisa dikatakan bahasa kampungan, karena memang bahasa tersebut sungguh-sungguh tidak mengenal etika berbahasa dan biasanya yang bermain layangan adalah anak-anak kampung (orang kota juga sering, namun kota pinggiran). Apabila kalangan remaja mengunakan bahasa Alay secara tidak langsung telah melecehkan lawan bicara mereka baik secara tulisan  ataupun lisan Pada umumnya bahasa alay lebih  nampak dalam bentuk tulisan.

Alay, Alah lebay, Anak Layu, atau Anak kelayapan yang menghubungkannya dengan anak Jarpul (Jarang Pulang). Tapi yang paling santera adalah anak layangan. Dominannya, istilah ini untuk menggambarkan anak yang sok  keren, secara fashion, karya (musik) maupun kelakuan secaraumum.Konon asal usulnya, alay diartikan “anak kampong” karena anak kampung yang rata-rata berambut merah dan berkulit sawo gelap karena kebanyakan main layangan.

Salah satu cirri dari alay tersebut adalah tulisannya yang aneh dan di luar nalar serta akal sehat. Di sini Penulis akan mengklasifikasikan alay-alay kebeberapa tingkatan atau strata menurut dari tulisan mereka (di sini saya bukan mau membahas alay dari wajah atau penampilannya, wajah adalah pemberian dari Tuhan yang merupakan anugerah untuk manusia. Kalau tulisan emang biasanya dibuat oleh para alay itu sendiri).

Tulisan gaya alay biasa dengan mudah ditemukan diblog dan forum di internet. Semua kata dan kalimat ‘dijungkir balikkan’ begitu saja dengan memadukan huruf dan angka.Penulisan gaya alay atau anak lebay tidak membutuhkan standar baku atau panduan khusus, semua dilakukan suka-suka dan bebas saja.Sepertinya inilah tren generasi alay.

Berikut adalah pengertian alay menurut beberapa ahli;

Menurut definisi Koentjara Ningrat, Alay adalah gejala yang dialami pemuda-pemudi Indonesia, yang ingin diakui statusnya diantara teman-temannya. Gejala ini akan mengubah   gaya tulisan, dan gaya berpakain, sekaligus meningkatkan kenarsisan, yang cukup mengganggu masyarakat dunia maya            (baca:   Pengguna internet sejati,kayak blogger dan kaskuser). Diharapkan sifat ini segera hilang, jika tidak akan mengganggu masyarakat sekitar.

Alay adalah singkatan dari Anak layangan, Alah lebay, Anak layu atau Anak kelayapan yang menghubungkannya dengan anak jarpul (Jarang Pulang). Tapi yang paling terkenal adalah Anak layangan.Dominannya,istilah ini menggambarkan anak yang menganggap dirinya keren secara gaya busananya.

Pesatnya perkembangan  teknologi dizaman modern ini ,penggunaan jejaring sosial lewat internet ini banyak diminati kalangan remaja. Jumlah pengguna bahasa Alay menunjukkan semakin akrabnya genersai muda Indonesia dengan dunia maya tersebut. Munculnya bahasa Alay juga menunjukkan adanya perkembangan zaman yang dinamis, karena suatu bahasa harus menyesuaikan dengan masyarakat penggunanya agar tetap eksis.

Akan tetapi, munculnya bahasa Alay juga merupakan sinyal ancaman yangsangat serius terhadap bahasa Indonesia dan pertanda semakin buruknya kemampuan berbahasa generasi muda zaman sekarang. Dalam ilmu linguistik memang dikenal adanya beragam-ragam bahasa baku dan tidak baku. Bahasa baku biasnya digunakan dalm acara-acara yang kurang formal. Akan tetapi bahasa Alay merupakan bahasa gaul yang tidak mengindah.
Tata bahasa indonesia pada saat ini sudah banyak mengalami perubahan. Masyarakat Indonesia khususnya para remaja, sudah banyak kesulitan dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Perubahan tersebut terjadi dikarenakan adanya penggunaan bahasa baru yang mereka anggap sebagai kreativitas . Jika mereka tidak menggunakannya, mereka takut dibilang ketinggalan zaman atau tidak gaul. Salah satu dari penyimpangan bahasa tersebut diantaranya adalah digunakannya bahasa Alay. Sehingga banyak aspek yang harus segera diperbaiki dan dibenahi.
Bahasa Alay secara langsung maupun tidak telah mengubah masyarakat Indonesia untuk tidak mempergunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

“Tiap generasi atau masa selalu muncul bahasa sandi yang berlaku dalam suatu komunitas kecil atau besar. Bahasa sandi suatu komunitas bisa berumur pendek, tetapi bisa juga berumur panjang.”

Saran

Sebaiknya bahasa Alay dipergunakan pada situasi yang tidak formal seperti ketika kita sedang berbicara dengan teman. Atau  pada komunitas yang mengerti dengan sandi bahasa Alay tersebut. Kita boleh menggunakannya, akan tetapi jangan sampai menghilangkan budaya berbahasa Indonesia. Karena bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi kenegaraan dan lambang dari identitas nasional, yang kedudukannya tercantum dalam Sumpah Pemuda dan UUD 1945 Pasal 36 sebagai bahasa Pesatuan bahasa Indonesia.

Sebenarnya sah-sah saja bagi mereka (terutama remaja) yang menggunakan bahasa alay, karena hal tersebut merupakan bentuk kreatifitas yang mereka buat. Namun sebaiknya penggunaan bahasa alay dapat digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi atau tidak digunakan pada situasi-situasi yang formal. Misalnya pada saat berbicara dengan teman. Teman disini adalah mereka yang mengetahui dan mengerti bahasa alay tersebut. Tetapi juga jangan sampai menghilangkan budaya berbahasa Indonesia kita. Karena biar bagaimanapun bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa kebanggaan kita dan wajib untuk dijaga serta dilestarikan.‎

Mempelajari bahasa asing hanya sekedar mengikuti trend, maka hal ini jelas dilarang. Mengingat di era globalisasi sekarang ini, westernisasi terjadi secara massif. Budaya Barat yang bertentangan dengan Islam, diadopsi oleh para remaja, seperti life style yang akrab dengan maksiat dan mode berpakaian seksi, termasuk cara berbicara.

Umar bin Al-Khaththab -RadhiyAllahu ‘anhu- berkata:

لاَ تَعَلَّمُوا رَطَانَةَ الأَعَاجِمِ وَلاَ تَدْخُلُوا عَلَى الْمُشْرِكِينَ فِى كَنَائِسِهِمْ يَوْمَ عِيدِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَنْزِلُ عَلَيْهِمْ.

“Janganlah kalian mempelajari ‘rathanah’ [bercakap-bercakap) bahasa Ajam. Dan janganlah kalian memasuki gereja-gereja orang-orang musyrik ketika hari raya mereka karena murka [Allah) turun kepada mereka.” [HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra: 19333 [9/234), Abdur Razzaq dalam Mushannafnya: 1609 [1/411) dan isnadnya di-shahih-kan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidla’ Shirathil Mustaqim: 199).

Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar -RadhiyAllahu ‘anhuma- berkata:

أنه كره رطانة الأعاجم

“Bahwa Ia [Ibnu Umar) membenci bercakap-cakap dengan bahasa Ajam.” [Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Kitabul Adab: 53 [1/64) dari Ibnu Numair dari Al-Umari dari Nafi’).

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah -Rahimahullah- berkata:

وأما اعتياد الخطاب بغير العربية التي هي شعار الإسلام ولغة القرآن حتى يصير ذلك عادة للمصر وأهله ولأهل الدار وللرجل مع صاحبه ولأهل السوق أو للأمراء أو لأهل الديوان أو لأهل الفقه فلا ريب أن هذا مكروه فإنه من التشبه بالأعاجم وهو مكروه كما تقدم

“Dan adapun membiasakan berbicara dengan selain bahasa Arab yang merupakan syi’ar Al-Islam dan bahasa Al-Quran sampai bahasa tersebut menjadi adat [kebiasaan) bagi suatu negeri dan penduduknya, juga bagi penghuni rumah tangga, juga antara seseorang dengan temannya, bagi penduduk pasar, bagi pemerintahan atau dinas pemerintah atau menjadi kebiasaan bagi ahli fikih, maka tidak diragukan lagi bahwa ini [membiasakan selain bahasa Arab) adalah dibenci karena termasuk tasyabbuh dengan orang-orang Ajam dan perkara tersebut adalah dibenci sebagaimana keterangan terdahulu.” [Iqtidla’ Shirathil Mustaqim: 206).

Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mempelajari bahasa asing tidak secara mutlak diharamkan. Terkadang mempelejari bahasa asing bahkan menjadi kebutuhan, demi kemaslahatan, mencegah makar dan mendakwahkan agama Islam.

Namun, mempelajari bahasa asing hanya sekedar mengikuti trend Barat sehingga jauh dari mendatangkan manfaat, maka jelas hal ini adalah haram.

Oleh sebab itu, maka seyogyanya kaum Muslimin memiliki niat yang lurus dalam mempelajari bahasa asing, agar terhindar dari dosa. Hal ini sebagaimana dalam hadits Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam,

عن عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ – رضى الله عنه – قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Dari Umar bin Khathab berkata : “Saya mendengar Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu tergantung terhadap apa yang dia niatkan, maka barang siapa yang  hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu untuk Allah dan Rasul Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia maka dia akan mendapatkannya atau hijrahnya untuk seorang wanita maka dia akan mekawininya, maka hijrahnya itu tergantung pada apa yang dia hijrah untuknya.” [HR. Bukhori 1, Muslim 1907).

Jika bahasa asing saja kita dianjurkan, maka untuk bahasa Arab, bahasa Al-Quran, umat Islam justru sangat dianjurkan, lebih-lebih soal bacaan Al-Quran, bacaan Shalat dan doa. Syeikh Sholeh Al Munajjid pernah mengatakan, mempelajari bahasa Arab adalah wajib. Sebagaimana para ulama sering mengemukakan suatu kaedah “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajibun (Sesuatu yang tidaklah sempurna sesuatu yang wajib kecuali dengannya maka sesuatu tersebut menjadi wajib).”

Terutama kewajiban untuk bacaan dan lafal dalam shalat. Sangat tidak mungkin bagi penuntut ilmu memahami Al Qur’an dan As Sunnah kecuali dengan jalan mempelajari bahasa Arab.

Kaum Mukmin Janganlah Seperti Keledai

 

Di dalam al-Qur’an, Allah swt. menyebutkan satu jenis binatang bernama keledai yang menjadi simbol kebodohan. Allah swt. menyebutkannya, agar manusia mengambil pelajaran daripadanya dan tidak memiliki sikap hidup seperti yang dicontohkan seekor keledai. Adapun sikap bodoh keledai itu adalah; 
Seekor keledai selalu menjadi tunggangan dan pemikul beban manusia. Hal itu seperti disebutkan Allah dalam surat an-Nahl [16]: 8

وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (Surat aN-Nahl Ayat-8)

Seekor keledai dengan senang dan bangga mengantarkan manusia dari suatu tempat ke tempat lain dengan memikulnya di atas punggung, atau memikul beban manusia ke sutau tempat yang diinginkan manusia itu. Namun, setelah manusia sampai ke tujuannya atau setelah beban manusia sampai ke tempat dimaksud, keledai yang dengan susah payah menanggung beban tidak lagi disebut jasanya, bahkan nyaris dilupakan begitu saja.

Begitulah sutau bentuk kebodohan yang dicontohkan keledai. Memang, orang bodoh biasanya selalu menjadi tunggangan dan kendaraan bagi yang lain untuk mencapai maksudnya. Namun, ketika mereka telah sampai kepada maksud atau apa yang diinginkanya, manusia yang sebelumnya ditunggangi dan dijadikan kendaraan tidak lagi disebut dan dengan mudah dilupakan. Bahkan, yang lebih ironis mereka terkadang menjadi korban kesusuksesan manusia lain. 

Lihatlah dalam percaturan politik atau sebuah pergerakan, para politisi dan penguasa menjadikan kelompok masyarakat tertentu sebagai kendaraan mereka, agar bisa sampai ke puncak kekuasaan. Setelah mereka memperoleh kekuasaan, kelompok yang mereka tunggangi dan telah berjuang dengan darah dan keringat mereka, dengan mudah dilupakan dan tidak mendapatkan apa-apa selain penderitaan. Tentu saja kelompok yang mau ditunggangi sepeerti itu adalah kelompok yang “bodoh” seperti keledai. 

Seekor keledai kadang kala memikul sesuatu yang sangat berharga, namun ia tidak bisa mengambil manfaat dari apa yang berada di pundaknya itu. Begitulah yang disebutkan Allah swt. dalam surat al-Jumu’ah [62]: 5

‎مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Surat Jum'ah Ayat-5)

Allah Swt. berfirman, mencela orang-orang Yahudi yang telah diberi kitab Taurat dan telah Dia bebankan kepada mereka kitab Taurat itu untuk diamalkan. Kemudian mereka tidak mengamalkannya, perumpamaan mereka dalam hal ini sama dengan keledai yang dipikulkan di atas punggungnya kitab-kitab yangtebal. Makna yang dimaksud ialah keledai itu tidak dapat memahami kitab-kitab yang dipikulnya dan tidak mengetahui apa yang terkandung di dalamnya, karena keledai hanya bisa memikulnya saja tanpa dapat membedakan muatan apa yang dibawanya.

Demikian pula halnya dengan mereka yang telah diberi Al-Kitab, mereka hanya dapat menghafalnya secara harfiyah, tetapi tidak memahaminya dan tidak pula rfiengamalkan pesan-pesan dan perintah-perintah serta larangan-larangan yang terkandung di dalamnya. Bahkan mereka menakwilkannya dengan takwilan yang menyimpang dan menggantinya dengan yang lain. Keadaan mereka jauh lebih buruk daripada keledai, karena keledai adalah hewan yang tidak berakal, sedangkan mereka adalah makhluk yang berakal, tetapi tidak menggunakannya. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain:

{أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ}

Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebihsesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Al-A'raf: 179)

Dan dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:

{بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ}

Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (Al-Jumu'ah: 5)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَير، عَنْ مُجَالِدٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ تَكَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ، فَهُوَ كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا، وَالَّذِي يَقُولُ لَهُ "أنصت"، ليس له جمعة"

Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Namir, dari Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Ibnu Abbas yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang berbicara pada hari Jumat, padahal imam sedang berkhotbah, maka perumpamaannya sama dengan keledai yang memikul kitab-kitab yang tebal. Dan orang yang berkata kepadanya, "Diamlah!" Maka tiada(pahala) Jumat baginya.

Adalah sebuah kebodohan, jika kita tinggal di negeri yang subur dan kaya raya, namun kita hidup dalam kemiskinan dan kelaparan. Begitu juga, teramat bodoh jika kita tinggal di lingkungan orang-orang pintar dan berilmu, sementara kita tetap berada dalam kebodohan dan keterbelakangan. Jika ada seorang manusia atau sekelompoik orang dalam keadaan seperti perumpamaan di atas, mereka adalah seperti keledai atau bahkan lebih bodoh dari keledai. Sebab, keledai begitu karena tidak memiliki akal, sementara manusia dilengkapi akal yang bisa digunakan untuk berfikir dan mengembangkan diri. 

Keledai adalah binatang yang berbadan kecil bila dibandingkan binatang sejenisnya seperti kuda dan baghal. Begitu juga, keledai adalah binatang yang bodoh seperti yang telah disebutkan. Akan tetapi, keledai memiliki suara dan ringkikan yang lebih kuat dan nyaring bila dibandingkan dengan suara kuda, baghal atau gajah sekalipun. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat Luqman[ 31]: 19

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”

Begitulah gambaran manusia yang paling bodoh. Mereka tidak memiliki ilmu dan wawasan, berfikiran kerdil, sempit dan picik, akan tetapi memiliki “bualan/ota” yang besar. Mereka adalah orang yang bodoh, namun berlagak lebih hebat dari orang pintar. Mereka adalah orang yang tidak tahu apa-apa, namun tidak sadar dengan ketidaktahuannya. Inilah kelompok manusia yang paling berbahaya, “Orang yang tidak tahu, dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu”. Begitulah salah satu ungkapan filsafat tentang pembagian manusia.

Sebuah Pasal tentang Sikap Angkuh
 
عَنْ أَبِي لَيْلَى، عَنِ ابْنِ بُرَيْدة، عَنْ أَبِيهِ مَرْفُوعًا: "مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ"

Diriwayatkan dari Ibnu Abu Laila, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya secara marfu': Barang siapa yang menyeret kainnya dengan sikap sombong, maka Allah tidak mau melihatnya (kelak di hari kiamat).

Ibnu Abu Laila telah meriwayatkan yang semisal melalui Ishaq ibnu Ismail, dari Sufyan, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar secara marfu'.

وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّار، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي الزِّنَادِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا: "لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ". وَ"بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ فِي بُرْدَيْهِ، أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ، خَسَفَ اللَّهُ بِهِ الْأَرْضَ، فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ"

Telah menceritakan pula kepada kami Muhammad ibnu Bakkar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari ayahnya, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah secara marfu': Allah tidak akan memandang orang yang menyeret kainnya kelak di hari kiamat. Dan ketika seorang lelaki sedang melangkah dengan angkuhnya memakai baju burdah dua lapis seraya merasa besar diri, (tiba-tiba) Allah membenamkannya ke dalam tanah, dan dia terus terbenam ke dalam bumi sampai hari kiamat nanti.

Az-Zuhri telah meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya, bahwa ketika seorang lelaki, hingga akhir hadis.

Keledai adalah binatang yang berbadan kecil bila dibandingkan binatang sejenisnya seperti kuda dan baghal. Begitu juga, keledai adalah binatang yang bodoh seperti yang telah disebutkan. Akan tetapi, keledai memiliki suara dan ringkikan yang lebih kuat dan nyaring bila dibandingkan dengan suara kuda, baghal atau gajah sekalipun. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat Luqman[ 31]: 19

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”

Begitulah gambaran manusia yang paling bodoh. Mereka tidak memiliki ilmu dan wawasan, berfikiran kerdil, sempit dan picik, akan tetapi memiliki “bualan/ota” yang besar. Mereka adalah orang yang bodoh, namun berlagak lebih hebat dari orang pintar. Mereka adalah orang yang tidak tahu apa-apa, namun tidak sadar dengan ketidaktahuannya. Inilah kelompok manusia yang paling berbahaya, “Orang yang tidak tahu, dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu”. Begitulah salah satu ungkapan filsafat tentang pembagian manusia. 

Keledai adalah binatang yang selalu “nyengir” menampakan giginya dalam kondisi dan situasi apapun. Ketika memikul beban atau sedang istirahat sekalipun, seekor keledai akan tetap “nyengir”. Ketika dibelai atau dimarahi bahkan dipukul sekalipun, seekor keledai akan tetap “nyengir”. 

Begitulah gambaran manusia yang bodoh. Mereka tidak bisa membedakan antara pujian dan amarah. Tidak bisa membedakan antara kebahagiaan dan kesedihan. Mereka selalu tertawa dalam setiap keadaan termasuk ketika dimarahi sekalipun. 
Manusia yang cerdas adalah mansuai yang mengerti situsi dan kondisi serta mampu menempatkan diri, menjaga sikap dan ucapan sesuai keadaan yang dihadapi. Bahkan, mereka mengerti dan memahami sesuatu dari orang lain, sekalipun dalam bentuk isyarat atau kedipan mata. 

Dalam ungkapan filosofi masyarakat Minangkabau disebutkan, bahwa manusia yang pintar adalah “Alun takilek alah kalam, takilek ikan di laut alah tau jantan batinonyo”. Maksudnya, manusia yang pintar adalah manusia yang mengerti sesuatau, sebelum orang lain mengatakannya dengan bahasa tegas atau kasar. Bahkan, isyrat berupa kedipan mata orang lain, dia sudah mengetahui maksudnya. Saking bijaksananya, seekor ikan di laut yang melintas secepat kilat di hadapannya, sudah dia ketahui jenis kelaminnya. 

Penjelasan Hukum Makan Daging Keledai


Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa makanan mempunyai pengaruh yang dominant bagi diri orang yang memakannya, artinya : makanan yang halal, bersih dan baik akan membentuk jiwa yang suci dan jasmani yang sehat. Sebaliknya, makanan yang haram akan membentuk jiwa yang keji dan hewani. Oleh karena itulah, Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi makanan yang haram. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ { يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ } وَقَالَ { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ } ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah baik, tidak menerima kecuali hal-hal yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mu’min sebagaimana yang diperintahkan kepada para rasul, Allah berfirman : “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Dan firmanNya yang lain : “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”. Kemudian beliau mencontohkan seorang laki-laki, dia telah menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut serta berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit : “Ya Rabbi ! Ya Rabbi! Sedangkan ia memakan makanan yang haram, dan pakaiannya yang ia pakai dari harta yang haram, dan ia meminum dari minuman yang haram,dan dibesarkan dari hal-hal yang haram, bagaimana mungkin akan diterima do’anya” [Hadits Riwayat Muslim no. 1015]

Allah juga berfirman.

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” [Al-A’raf : 157]

Makna الطَّيِّبَاتِ (at-Thoyyibaat) bisa berarti lezat/enak, tidak membahayakan, bersih atau halal. [Lihat Fathul Bari (9/518) oleh Ibnu Hajar]

Sedangkan makan الْخَبَائِثَ (al-Khabaaits) bisa berarti sesuatu yang menjijikan, berbahaya dan haram. Sesuatu yang menjijikan seperti barang-barang najis, kotoran atau hewan-hewan sejenis ulat, kumbang, jangkrik, tikus, tokek/cecak, kalajengking, ular dan sebagainya sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan Syafi’i. [Lihat Al-Mughni (13/317) oleh Ibnu Qudamah]. Sesuatu yang membahayakan seperti racun, narkoba dengan aneka jenisnya, rokok dan sebagainya. Adapun makanan haram seperti babi, bangkai dan sebagainya.

KAIDAH PENTING TENTANG MAKANAN
Sebelum melangkah lebih lanjut, perlu kita tegaskan terlebih dahulu bahwa asal hukum segala jenis makanan baik dari hewan, tumbuhan, laut maupun daratan adalah halal. Allah berfirman.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” [Al-Baqarah : 168]

Tidak boleh bagi seorang untuk mengharamkan suatu makanan kecuali berlandaskan dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang shahih. Apabila seorang mengharamkan tanpa dalil, maka dia telah membuat kedustaan kepada Allah, Rabb semesta alam. FirmanNya.

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan lebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [An-Nahl : 116]

MAKANAN HARAM
Karena asal hukum makanan adalah halal, maka Allah tidak merinci dalam Al-Qur’an satu persatu, demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya. Lain halnya dengan makanan haram, Allah telah memerinci secara detail dalam Al-Qur’an atau melalui lisan rasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Allah berfirman.

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” [Al-An’am : 119]

Perincian penjelasan tentang makanan haram, dapat kita temukan dalam surat Al-Maidah ayat 3 sebagai berikut ;

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya” [Al-Maidah : 3]

Dari ayat di atas dapat kita ketahui beberapa jenis makanan haram yaitu :

1. Bangkai
Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu. Hukumnya jelas haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan badan manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang mengendap sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Bangkai ada beberapa macam sebagai berikut.

a. Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja atau tidak.
b. Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik.
c. Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi atau jatuh ke dalam sumur sehingga mati
d. An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya [Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim 3/22 oleh Imam Ibnu Katsir]

Sekalipun bangkai haram hukumnya tetapi ada yang dikecualikan yaitu bangkai ikan dan belalang berdasarkan hadits.

أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Dari Ibnu Umar berkata: ” Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa.” [Shahih. Lihat takhrijnya dalam Al-Furqan hal 27 edisi 4/Th.11]

Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda.

هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُأَخْرَجَهُ الأَرْبَعَةُ وَابْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِيْذِيُّ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ

” Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” [Shahih. Lihat takhrijnya dalam Al-Furqan 26 edisi 3/Th 11]‎

Hukum Islam Mengenai Daging Keledai

Keledai (equus asinus) adalah mamalia dari keluarga Equidae. Hewan jinak ini biasa digunakan untuk hewan angkut dan kerja yang lain, seperti menarik kereta kuda atau membajak ladang.

Keledai bisa memiliki anak campuran dengan kuda. Anak kuda betina dengan keledai jantan disebut bagal. Anak keledai betina dengan kuda jantan disebut hinny. Bagal lebih umum dan sering digunakan sebagai hewan angkut bagi manusia dan benda.

Pada masyarakat jahiliyah hingga datangnya islam mereka masih memakan daging keledai. Dan hal tersebut dilakukan sebelum adanya larangan dari Rasullah SAW. Sejak zaman dulu keledai digunakan symbol yang memiliki makna tertentu, sebagian besar symbol tersebut memiliki makna yang negative. Orang yang suka berbohong juga di simbolkan oleh hewan keledai, bahkan dislah satu hadis beliau menyebutkan  keledai sebagai terputusnya shalat.
Hukum memakan daging Keledai dalam islam yaitu ada 2 yaitu daging keledai jinak haram di makan kerena najis dan daging keledai liar halal untuk di makan. Berikut dalil yang menyatakan daging keledai jinak haram untuk di makan

Keledai piaraan (jinak)
Mayoritas ulama berpendapat bahwa keledai jinak itu haram untuk dimakan. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Anas bin Malik,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتْ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتْ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُفْنِيَتْ الْحُمُرُ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى فِي النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ فَأُكْفِئَتْ الْقُدُورُ وَإِنَّهَا لَتَفُورُ بِاللَّحْمِ
“Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata, “Daging keledai telah banyak di konsumsi. ” Selang beberapa saat orang tersebut datang lagi sambil berkata, “Daging keledai telah banyak di konsumsi.” Setelah beberapa saat orang tersebut datang lagi seraya berkata, “Keledai telah binasa.” Maka beliau memerintahkan seseorang untuk menyeru di tengah-tengah manusia,sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian mengkonsumsi daging keledai jinak, karena daging itu najis.” Oleh karena itu, mereka menumpahkan periuk yang di gunakan untuk memasak daging tersebut.” (HR. Bukhari no. 5528 dan Muslim no. 1940)
- عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضي الله عنه - قَالَ: - لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ, أَمَرَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَبَا طَلْحَةَ, فَنَادَى: "إِنَّ اَللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ اَلْحُمُرِاَلْأَهْلِيَّةِ, فَإِنَّهَا رِجْسٌ" - مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Artinya : Dari Anas bin Malik r.a., beliau berkata : Pada ketika perang Khaibar, Rasulullah SAW memerintah Abu Thalhah untuk menyeru, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian memakan daging keledai kampung, karena ia adalah najis. (Muttafaqun ‘alaihi)

Menurut keterangan Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, telah terjadi perbedaan pendapat ulama mengenai hukum memakan daging keledai kampung dalam beberapa pendapat, yaitu :

1. Jumhur Sahabat, Tabi’in dan ulama sesudah mereka, berpendapat haram daging keledai kampung, berdasarkan penjelasanyang sharih dari hadits-hadits shahih, salah satunya adalah hadits di atas

2. Ibnu Abbas mengatakan, tidak haram

3. Ada tiga riwayat dari Malik, yaitu :

- Yang lebih masyhur, makruh tanzih syadidah

- Haram

- Mubah

Yang benar adalah pendapat yang pertama sebagaimana pendapat Jumhur. Golongan yang berpendapat halal daging keledai kampung berargumentasi dengan hadits riwayat Abu Daud berbunyi :

عَنْ غَالِب بْن أَبْجَرَ قَالَ : أَصَابَتْنَا سَنَة فَلَمْ يَكُنْ فِي مَالِي شَيْء أُطْعِم أَهْلِي إِلَّا شَيْء مِنْ حُمُر ، وَقَدْ كَانَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَرَّمَ لُحُوم الْحُمُر الْأَهْلِيَّة ، فَأَتَيْت النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْت : يَا رَسُول اللَّه أَصَابَتْنَا السَّنَة فَلَمْ يَكُنْ فِي مَالِي مَا أُطْعِم أَهْلِي إِلَّا سِمَان حُمُر ، وَإِنَّك حَرَّمْت لُحُوم الْحُمُر الْأَهْلِيَّة ، فَقَالَ : أَطْعِمْ أَهْلَك مِنْ سَمِين حُمُرك ، فَإِنَّمَا حَرَّمْتهَا مِنْ أَجْل جَوَّال الْقَرْيَة

Artinya : Dari Ghalib bin Abjar, berkata : Selama satu tahun kami ditimpa bencana, aku tidak mempunyai sesuatupun yang dapat dimakan keluargaku kecuali keledai, padahal Rasulullah SAW telah mengharamkan daging keledai kampung. Maka aku datangi Nabi SAW dengan berkata : “Ya Rasulullah, selama satu tahun kami ditimpa bencana, aku tidak mempunyai sesuatupun yang dapat dimakan keluargaku kecuali beberapa keledai gemuk, padahal engkau telah mengharamkan daging keledai kampung.” Lalu Rasulullah SAW bersabda : “Berikanlah keluargamukeledaimu yang gemuk itu, sesungguhnya aku haramkan keledai itu adalah karena ia binatang kampung pemakan kotoran (H.R. Abu Daud)

Imam Nawawi menjelaskan bahwa hadits ini sangat goyang sanadnya (muzhtharib) dan kalaupun seandainya sahih sanadnya, maka kandungan hadits ini diposisikan pada ketika mudharat.
Sedangkan keledai liar itu halal untuk dimakan dan hal ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan) ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya pun memakannya, sebagaimana terdapat riwayat yang shahih mengenai hal ini. Abu Qotadah menceritakan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ حَاجًّا ، فَخَرَجُوا مَعَهُ فَصَرَفَ طَائِفَةً مِنْهُمْ ، فِيهِمْ أَبُو قَتَادَةَ فَقَالَ خُذُوا سَاحِلَ الْبَحْرِ حَتَّى نَلْتَقِىَ . فَأَخَذُوا سَاحِلَ الْبَحْرِ ، فَلَمَّا انْصَرَفُوا أَحْرَمُوا كُلُّهُمْ إِلاَّ أَبُو قَتَادَةَ لَمْ يُحْرِمْ ، فَبَيْنَمَا هُمْ يَسِيرُونَ إِذْ رَأَوْا حُمُرَ وَحْشٍ ، فَحَمَلَ أَبُو قَتَادَةَ عَلَى الْحُمُرِ ، فَعَقَرَ مِنْهَا أَتَانًا ، فَنَزَلُوا فَأَكَلُوا مِنْ لَحْمِهَا ، وَقَالُوا أَنَأْكُلُ لَحْمَ صَيْدٍ وَنَحْنُ مُحْرِمُونَ فَحَمَلْنَا مَا بَقِىَ مِنْ لَحْمِ الأَتَانِ ، فَلَمَّا أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّا كُنَّا أَحْرَمْنَا وَقَدْ كَانَ أَبُو قَتَادَةَ لَمْ يُحْرِمْ ، فَرَأَيْنَا حُمُرَ وَحْشٍ فَحَمَلَ عَلَيْهَا أَبُو قَتَادَةَ ، فَعَقَرَ مِنْهَا أَتَانًا ، فَنَزَلْنَا فَأَكَلْنَا مِنْ لَحْمِهَا ثُمَّ قُلْنَا أَنَأْكُلُ لَحْمَ صَيْدٍ وَنَحْنُ مُحْرِمُونَ فَحَمَلْنَا مَا بَقِىَ مِنْ لَحْمِهَا .
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama mereka (para sahabat) berangkat untuk menunaikan haji. Lalu sebagian rombongan ada yang berpisah, di antaranya adalah Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, kepada rombongan ini: “Ambillah jalan menyusuri tepi pantai hingga kita bertemu”. Maka mereka mengambil jalan di tepian pantai. Ketika mereka hendak berangkat, semua anggota rambongan itu berihram kecuali Abu Qatadah. Ketika mereka sedang berjalan, mereka melihat ada seeokor keledai liar. Maka Abu Qatadah menghampiri keledai itu lalu menyembelihnya yang sebagian dagingnya dibawa ke hadapan kami. Maka mereka berhenti lalu memakan daging keledai tersebut. Sebagian dari mereka ada yang berkata: “Apakah kita boleh memakan daging hewan buruan padahal kita sedang berihram?”. Maka kami bawa sisa daging tersebut. Ketika mereka berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, kami sedang berihram sedangkan Abu Qatadah tidak. Lalu kami melihat ada keledai-keledai liarkemudian Abu Qatadah menangkapnya lalu menyembelihnya kemudian sebagian dagingnya dibawa kepada kami, lalu kami berhenti dan memakan dari daging tersebut kemudian diantara kami ada yang berkata: “Apakah kita boleh memakan daging hewan buruan padahal kita sedang berihram?”. Lalu kami bawa sisa dagingnya itu kemari”. Beliau bertanya: “Apakah ada seseorang diantara kalian yang sedang berihram menyuruh Abu Qatadah untuk memburunya atau memberi isyarat kepadanya?”. Mereka menjawab: “Tidak ada”. Maka Beliau bersabda: “Makanlah sisa daging yang ada itu”.” (HR. Bukhari no. 1824 dan Muslim no. 1196)

Daging Keledai Liar Hukumnya Halal Karena daging keledai piaraan (jinak) telah diharamkan maka mafhum mukhafalah-nya (kebalikan) berarti daging keledai liar adalah boleh untuk dimakan. Hal ini sudah menjadi ijma' Ulama. Konsumsi daging ini telah diriwayatkan dari Nabi dan para sahabat beliau.
Daging keledai jinak di haramkan untuk dimakan hal ini karenakan pada waktu perang khibar para sahabat menyembelih  hewan kuda, bighal dan khimar (keledai). Datanglah utusan Rasullah Saw memberitahukan bahwa daging keledai itu tidak boleh dimakan di karenakan najis.  Daging Keledai  najis karena keledai memakan kotoran manusia dan ini merupakan illat diharamkannya keledai. Adanya najis pada daging keledai maka di perkuat bahwa daging keledai tersebut haram dan sesuatu yang najis itu haram untuk di makan.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...