Kamis, 14 Oktober 2021

Penjelasan Hukum Ila' (Sumpah Suami Pada Istri)


‎Dalam berkehidupan masyarakat, terkadang ada kasus yang menimpa saudara muslim dengan isterinya. Salah satu kasus yag terjadi adalah ucapan sumpah dari lisan suami untuk tidak menyetubuhi isterinya dalam jangka waktu tertentu. Hal ini dapat terjadi karena suami marah terhadap isterinya, dan ia tidak bisa menjaga emosinya sehingga lisannya terlalu mudah mengucapkan ila’ namun terkadang ila’ yang dilakukan suami untu mendidik isteri juga sebagai salah satu alternatif bentuk hukuman di saat melihat kesalahan isteri.

Dengan dijatuhkan ilaa’ isteri akan merasakan beban psikis karena kebutuhan biologisnya tidak terpenuhi, sehingga diharapkan isteri akan menyadari kesalahannya kepada suami dan meminta maaf. Sedangkan si suamipun terhindar dari pemberian hukuman yang dzalim, seperti memukul keras yang menimbulkan bekas atau menampar wajah.

Meskipun demikian, efektif tidaknya ila’ sebagai bentuk didikan, harus disertai dengan pemahaman yang baik suami terhadap kondisi rumah tangganya dan sifat-sifat isterinya. Hal ini karena sifat wanita satu terkadang berbeda dengan sifat wanita yang lain. Konsekuensinya, jenis hukuman pun hendaknya disesuaikan dengan sifat-sifat wanita, sebagaimana yang dapat kita ketahui dalam buku-buku fiqih. Akan tetapi yang akan dikaji dalam makalah ini adalah tentang ila’.

Pengertian Ila’

Secara etimologi ila’ berasal dari masdar ‘ala-ya’li-laan yang artinya berarti melarang diri dengan menggunakan kata sumpah. Sedangkan secara istilah ila’ adalah bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya lagi dalam waktu empat bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya.

Atha’ mengatakan ilaa’ berarti bersumpah dengan nama Allah untuk tidak mencampuri isterinya selama empat bulan atau lebih. Jika tidak di iringi dengan sumpah maka tidak dikatakan dengan ila’’. Menurut An-Nakhai jika suami memurkai, mencelakai dan mengharamkan isterinya atau tidak lagi hidup bersama maka yang demikian itu telah termasuk ila’’

Ila’ menurut bahasa artinya ‎bersumpah takkan melakukan sesuatu, sedangkan menurut syara’ ‎yang dimaksud ila’ ialah bersumpah takkan menyetubuhi istri.

Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan islam ( 2000 : 180 ) ila adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan jaman jahiliyah untuk menyusahkan istrinya selama satu tahun atau dua tahun. Perbuatan ini tentu akan menyiksa istrinya dan menjadikan statusnya menjadi tidak jelas, yaitu hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.

Menurut Rasjid dalam bukunya fiqih islam ( 1996 : 410 ) ilaartinya sumpah suami tidak akan mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat bulan atau tidak menyebutkan jangka waktunya.

Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut, hendaklah ditunggu selama empat bulan. Kalau dia kembali baik kepada istrinya, sebelum sampai empat bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah ( kaparat ) saja. Tetapi sampai empat bulan dia tidak kembali baik dengan istrinya, hakim berhak menyuruhnya memilih dua perkara, yaitu membayar kaparat sumpah serta berbuat baik pada istrinya, atau menalak istrinya. Kalau suami itu tidak mau menjalani salah satu dari kedua perkara tersebut, hakim berhak menceraikan mereka secara terpaksa.

Sebagian ulama berpendapat, apabila sampai empat bulan suami tidak kembali ( tidak campur ), maka dengan sendirinya kepada istri itujatuh talak bain, tidak perlu dikemukakan kepada hakim.

Firman allah SWT dalam Q.S Al-baqarah ayat 226-227

.لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمُُ
وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ

“ Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh empat bulan ( lamanya ) kemudian jika mereka kembali ( kepada istrinya ), maka sesungguhnya Allah SWT maha pengampun lagi maha penyayang. Dan jika mereka berazam ( bertetap hari untuk ) talak, maka sesungguhnya Allah SWT maha mendengar lagi maha mengetahui.

Allah SWT bwrmaksud menghapuskan hukum yang berlaku pada kebiasaan orang-orang jahiliyah, dimana seorang suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya selama satu atau dua tahun, bahkan lebih Kemudian Allah SWT menjadikannya empat bulan saja. Waktu empat bulan telah ditetapkan Allah SWT dijadikan sebagai masa penangguhan bagi suami untuk merenungkan diri dan memikirkan, mungkin ia akan membatalkan sumpahnya dan kembali kepada istrinya atau menthalaqnya.

Ayat yang kemudian mempunyai keterkaitan dengan pembahasan ila’, dalam hal ini yang berkaitan yaitu mengenai esensi dari sumpah yang dilakukan, yakni terdapat dalam surat al-Baqaarah 224-225 :

وَلاَ تَجْعَلُواْ اللّهَ عُرْضَةً لِّأَيْمَانِكُمْ أَن تَبَرُّواْ وَتَتَّقُواْ وَتُصْلِحُواْ بَيْنَ النَّاسِ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ لاَّ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِيَ أَيْمَانِكُمْ وَلَكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ  

“Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia . Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha MengetahuiAllah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” (QS. al-Baqarah : 224-225)

Selain itu terdapat pula dalam surat al-Maidah ayat 89 tentang kafarat atas sumpah yang dilanggar tersebut :

لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS. al-Maidah : 89)

Sedangkan hadits yang berkaitan masih keterkaitan terhadap sumpah itu sendiri secara umum, yaitu :


مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang bersumpah, maka hendaklah dia bersumpah dengan (nama) Allah atau hendaklah dia diam” (HR. Mutafaqqun ‘alaih)

أَلاَ إنَّ الله يَنْهَا كُمْ أَنْ تَحْلِفُوْا بِاَبَائِكُمْ , فَمَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللهِ أوْلِيَصْمُتْ

“Ketahuilah, sesungguhnya Allah melarang kalian untuk bersumpah dengan nama bapak-bapak kalian. Barangsiapa bersumpah, maka hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah atau hendaknya diam”

Disebutkan hadits shahih pula bahwa orang yang bersumpah dengan selain Allah, berarti ia tidak bersumpah sesuai perintah Allah SWT, sehingga ia tidak bisa disebut orang yang bersumpah, sesuai sabda Nabi SAW :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dalam perkara (perintah) kami, maka ia tertolak”

مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ , فَرَأَى غَيْرَها خَيْرًا مِنْهَا فَتَرْكُهَا كَفَّارَتُهَا

“Barangsiapa yang bersumpah terhadap suatu hal, kemudian ia melihat sesuatu yang lebih baik daripada sumpahnya, maka lakukan apa yang lebih baik itu kemudian bayarlah kafarat sumpahnya” (HR. Muslim, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Menurut Ibnu Abbas,Ila' berarti bersumpah untuk tidak mencampuri istri selamanya. sedangkan Atha' mengatakan Ila' berarti bersumpah dengan nama Allah untuk tidak mencampuri istri selama empat bulan atau lebih. Jika tidak diiringi dengan bersumpah, maka bukan di sebut dengan Ila'.

Menurut Ibrahim An-Nakha'i "Jika seorang suami bersumpah untuk memurkai, mencelakai, mengharamkan istrinya atau tidak lagi hidup bersama, maka yang demikian itu telah termasuk Ila'." Al-Sya'abi mengatakan: "Segala macam sumpah yang memisahkan antara suami dengan istrinya, maka itu termasuk Ila'.
         
Abu Sya'sya' mengatakan: Jika seorang suami berkata kepada istrinya "Kamu haram bagiku, atau Kamu seperti ibuku sendiri atau Telah aku Thalak jika aku mendekatimu. Maka kesemuanya itu trmasuk Ila'.Jika seseorang bersumpah untuk Thalak, memerdekakan budak, menunaikan haji atau umrah atau puasa, maka kesemuanya itu telah di sebut dengan Ila'. Sedang apabila bersumpah nazar mengerjakan sholat atau Tawaf selama satu minggu atau bertasbih sebanyak seratus kali, maka yang demikian itu bukan termasuk Ila'."
       
Atha' pernah di tanya mengenai seseorang yang bersumpah untuk tidak mendekati istrinya selama satu bulan dan ternyata ia tidak mendekatinya selama lima bulan, maka ia pun menjawab yang demikian itu sudah termasuk Ila'. dan jika lebih dari empat bulan sebagaimana yang di firmankan Allah maka berarti ia bermaksud menthalaknya. 
       
Menurut Qathadah  seorang suami yang bersumpah tidak akan mendekati istrinya selama sepuluh hari, lalu ia meninggalkannya selama empat bulan, maka yang demikian itu termasuk Ila'. Adapun Hasan Basri mengatakan Jika seorang suami berkata " Demi Allah, aku tidak akan mendekati istriku selama satu malam, kemudian ia meninggalkannya selama empat bulan dan itu dimaksudkan sebagai sumpahnya, maka hal itu termasuk sebagai Ila'."
       
Imam Malik dan Imam Syafi'i, Abu Tsaur, Imam Ahmad dan sahabat-sahabat mereka berpendapat Sumpah yang menyatakan tidak akan mendekati istri selama empat bulan atau kurang dari itu bukan di sebut sebagai Ila' karena Ila' itu berlaku sebagai sumpah yang menyatakan tidaka akan mendekati istri selama lebih dari empat bulan.

Syarat Ila’

Menurut madzhab Hambali dan madzhab-madzhab yang lain menyebutkan empat syarat bagi ila’ yakni:
a)      Si suami bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan salah satu sifatnya, seperti yang maha kasih, dan tuhan sekalian alam, bahwa dia tidak menyetubuhi isterinya lebih dari empat bulan.
b)      Si suami bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan selama lebih dari empat bulan karena Allah SWT menjadikan orang yang mengucapkan sumpah menunggu selama empat bulan.
c)      Si suami bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan di bagian vagina.
d)     Yang dijadikan sebagai obyek sumpah adalah isteri, karena orang yang selain isteri tidak memiliki hak untuk disetubuhi oleh si suami, maka si suami tidak dapat melakukan ilaa’ kepada perempuan yang selain isteri.

SUAMI YANG BERILA' BOLEH KEMBALI ATAU MENCERAIKAN ISTRINYA

Ali Bin Abi Thalib mengatakan jika seorang suami mengila' istrinya tepat selama empat bulan, maka ia harus berhenti dari ila'nya dan selanjutnya ia harus memilih untuk kembali kepada istrinya atau menceraikannya. dalam hal ini ia harus di paksa. Sedangkan menurut Ibnu Umar seorang suami yang mengila' istrinya lalu diberhentikan setelah empat bulan maka selanjutnya ia boleh kembali kepada istrinya atau menceraikannya. Sulaiman Bin Yasar mengatakan "aku pernah mendengar beberapa laki-laki dari sahabat Rasulullah mengatakan bahwa Ila' itu dapat diberhentikan. Demikian ini juga menjadi pendapat Said Bin Musayyab, Thawus, Mujahid, Qasim Bin Muhammad Bin Abi Bakar, dimana mereka semua menyatakan bahwa Ila' seseorang itu diberhentikan dan selanjutnya diberi pilihan mau kembali atau menthalak istrinya.

Dari Umar Bin Abdul Aziz, Urwah Bin  Zubair, Abu Mujalas, dan Muhammad Bin ka'ab mereka mengatakan: "Ila' seseorang itu dapat diberhentikan." Sulaiman Bin Yasar mengatakan Aku pernah melihat sekumpulan orang menhentikan orang yang mengila' istrinya setelah lebih dari empat bulan. Selanjutnya ia boleh kembali kepadanya atau menceraikannya. Ini juga merupakan pendapat Imam Malik, Imam Syafi'i Abu Tsaur, Abu Ubaid,Ahmad, Ishak, Abu Sulaiman dan sahabat-sahabat mereka. Namun demikian Imam Malik dan Syafi'i dalam salah satu pernyataannya mengatakan  Jika suami tersebut menolaknya, maka Hakim yang akan menceraikannya.
        
Keduanya memang berbeda pendapat, dimana Imam Syafi'i mengatakan Suami tersebut boleh kembali kepada istrinya selama masih dalam masa iddahnya. Jika ia mencampurinya , maka yang demikian itu telah menggugurkan Ila'nya. Sedang apabila ia tidak mencampurinya maka Ila'nya harus dihentikan dan selanjutnya ia boleh memilih kembali kepadanya atau diceraikan oleh hakim, kemudian ia boleh rujuk lagi kepadanya, jika ia mencampurinya maka ila'nya tersebut gugur dan jika tidak mencampurinya maka ila'nya itu harus dihentikan setelah empat bulan, dan selanjutnya diceraikan oleh hakim. Setelah itu diharamkan bagi suaminya kembali kepada istrinya tersebut kecuali setelah istrinya menikah dengan laki-laki lain.

Apabila suami bersumpah tidak akan menyetubuhi istri dalam jangka waktu di bawah empat bulan, yang lebih baik bagi suami adalah (1) membatalkan sumpahnya, (2) membayar kaffarah (denda) sumpah, kemudian (3) kembali menyetubuhi istrinya. Saran ini datang dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam sendiri,

من حلف على يمين فرأى غيرها خيرا منها فليأت الذي هو خير وليكفر عن يمينه

Barangsiapa bersumpah atas suatu hal, lalu ia melihat yang selain sumpah tersebut lebih baik, datangilah yang dia lebih baik tersebut, dan hendaknya ia batalkan sumpahnya. (H.R Muslim)

Apabila suami tidak membatalkan sumpahnya, hendaknya istri bersabar hingga batas waktu ila’ yang dulu diucapkan suami berakhir.

empat bulan ke atas.

Adapun jika suami bersumpah tidak akan menyetubuhi istrinya selama-lamanya, atau dengan mengucapkan waktu tertentu yang lebih dari empat bulan, sang suami bisa membatalkan sumpahnya, memnayar kaffarah, setelah itu boleh kembali menyetubuhi istrinya. Namun, jika ia tidak membatalkan sumpahnya, istri menunggu sampai waktu ila’ habis hingga empat bulan. Setelah itu, istri meminta atau memberikan dua pilihan kepada suami untuk (1) menyetubuhinya atau (2) menceraikan dirinya saja.

Jika suami memilihi opsi (1), tentu saja berarti rumah tangga pasangan suami istri tersebut berlanjut kembali.

Jika suami memilih opsi (2), jatuhlah talak/cerai dari pihak suami.

Namun, bagaimana jika suami tidak memilih opsi (1) maupun (2). Artinya, ia tidak mau menyetubuhinya, tetapi tidak juga menceraikan istrinya tersebut? 

Jawabannya adalah JATUH TALAK secara OTOMATIS, meskipun suami tidak mengucapkan lafal talak

Perhatikan dalil di bawah ini:

Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah 226-227:

لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (226) وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (227)

“Para Laki-laki yang meng-ila istrinya, harus menunggu selama empat bulan. Kemudian, jika mereka kembali (kepada istrinya), sungguh Allah itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dan jika mereka berketetapan hati untuk menjatuhkan cerai, sungguh Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”
.
Dalam kitab Al-Muwatha’ (1021), Imam Malik menyebutkan riwayat dari Nafi’ dari Ibnu Umar:

أَيُّمَا رَجُلٍ آلَى مِنْ امْرَأَتِهِ فَإِنَّهُ إِذَا مَضَتْ الْأَرْبَعَةُ الْأَشْهُرِ وُقِفَ حَتَّى يُطَلِّقَ أَوْ يَفِيءَ وَلَا يَقَعُ عَلَيْهِ طَلَاقٌ إِذَا مَضَتْ الْأَرْبَعَةُ الْأَشْهُرِ حَتَّى يُوقَفَ

Siapa saja laki-laki yang meng-ila’ istrinya, sesungguhnya jika sudah sampai genap empat bulan, ia diminta ketegasan dari perkataannya, sampai ia menjatuhkan talak atau tidak.
Tidaklah terjadi talak ketika sudah genap 4 bulan tersebut, sampai ia mempertegas perkataannya.

 Bagaimana Membayar Kafarah (Denda) Ila’?

Setelah membaca keterangan di atas, barangkali akan muncul pertanyaan,
“Lalu bagaimana cara membayar kaffarah ila’ agar suami dapat menyetubuhinya lagi?”

Pada hakikatnya, ila’ adalah sumpah. Oleh karena itu, kaffarah ila’ adalah sebagaimana kaffarah sumpah yang disebutkan Allah ta’ala dalam surat Al-Maidah, ayat 59:

لا يؤاخذكم الله باللغو في أيمانكم ولكن يؤاخذكم بما عقدتم الأيمان فكفارته إطعام عشرة مساكين من أوسط ما تطعمون أهليكم أو كسوتهم أو تحرير رقبة فمن لم يجد فصيام ثلاثة أيام ذلك كفارة أيمانكم إذا حلفتم واحفظوا أيمانكم كذلك يبين الله لكم آياته لعلكم تشكرون

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka, kaffarahnya (denda pelanggaran sumpah) adalah memberikan makanan kepada sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian, atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak mampu melakukannya, berpuasalah tiga hari. Itulah kafarah sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kemu bersyukur (kepada-Nya).

Dari ayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kaffarah yang harus dibayar untuk menebus ila’ adalah:
1- Memberikan makan kepada sepuluh orang miskin, atau
2- Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
3- Memerdekakan seorang budak,
4- Kemudian, apabila tidak mampu melaksanakan salah satu dari ketiga alternatif di atas, kaffarahnya adalah berpuasa selama tiga hari. 

Catatan Penting: Orang yang ingin menebus kaffarah ila’ atau sumpah, TIDAK BOLEH langsung memilih alternatif keempat ini, apabila ia secara finansial atau fisik MASIH MAMPU melakukan salah satu dari tiga alternatif kaffarah di atas.

THALAK YANG JATUH KARENA ILA'
          
Menurut Abu Hanifah thalak yang terjadi karena Ila' merupakan thalak Ba'in. Karena jika Thalak itu Raj'i maka dimungkinkan bagi suami untuk untuk memaksanya ruju', sebab hal itu merupakan haknya. Dan demikian itu menghilangkan kepentingan istri dan dimana sang istri tidak dapat menghindarkan dari dari bahaya. Imam Malik, Imam Syafi'i , Said Bin Musayyab dan abu Bakar Bin Abdirrahman mengatakan bahwa ila'itu merupakan thalak Raj'i karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa ila' itu thalak Ba'in.

Ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 226-227 yang sebagai dasar dari perkara ila’ bermunasabah dengan ayat yang sebelumnya yakni ayat 225

لاَّ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِيَ أَيْمَانِكُمْ وَلَكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” (QS. al-Baqarah : 225)

Yang mana hadits sebelumnya ini, masih membahas mengenai sumpah yang hanya dilakukan dalam hati. Dan hal ini masih merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya mengenai penggunaan nama Allah dalam sumpah.

Sedangkan mengenai ayat setelahnya, al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 228 pun masih memiliki keterkaitan dengan ayat sebelumnya, ayat 227 yang merupakan penyelesaian perkaraila’ setelah empat bulan dengan memilih jalan talaq, sehingga kemudian dilanjutkan dengan pembahasan perihal talaq, mulai dari ayat 228 sampai ayat 232.

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلاَحاً وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكُيمٌ

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ . Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Baqarah : 228)

الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya . Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”(QS. al-Baqarah : 229)

Takhtimah

Firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 226-227 ini bermaksud untuk menghapuskan hukum yang berlaku pada kebiasaan orang – orang jahiliyah, dimana seorang suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya selama satu atau dua tahun, bahkan lebih. Kemudian Allah Swt menjadikan empat bulan saja untuk waktu maksimalnya, dalam waktu tersebut adalah waktu dijadikanya sebagai masa penangguhan bagi suami untuk merenungkan diri dan memikirkan, mungkin ia akan membatalkan sumpahnya dan kembali kepada istrinya atau mentalaknya.

Adanya ila’ sesungguhnya mempersulit seorang wanita, dengan membiarkan ia terkatung katung dalam kehidupan rumah tangganya yang posisinya adalah menjadi istri atau sebagai ibu rumah tangga, dalam kondisi ila’ akan mencekam pula kedudukan istri tersebut dimana wanita tersebut adalah sebagai istri namun juga tidak seperti wanita yang diceraikan dan bebas untuk menikah kembali dengan orang lain.

Dari penjelasan diatas kiranya dapat diambil sebuah kesimpulan mendasar, bahwa hukum asal ila’ itu dilarang atau haram dalam kategori pada masa jahiliyah dulu, karena ila’nya adalah sampai bertahun – tahun yang hal tersebut adalah membuat diri seorang isteri tersiksa dan terkatung nasibnya.

Kemudian setelah adanya islam datang, hal ini diperbolehkan asal sebelum empat bulan berlalu, sang suami berhak mersetubuh kembali atau istilah mengatakan adalah rujuk kepada sang istri, dan ketika suami bersih keras untuk meneruskan ila’nya, maka sang istripun juga harus bersabar demi kemaslakhatan bersama. Namun jika empat bulan telah berlalu, maka hendaknya sang suami membuat keputusan yaitu tetap atau kembali ruju’ pada sang istri atau menceraikanya.

Adapun kesimpulan dari penjelasan diatas, adalah sebagai berikut :

‎ila’ adalah bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya lagi dalam waktu empat bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya.

Ila’ ini disyaratkan untuk menyebut nama Allah, tidak mencampuri isterinya selama empat bulan, bersumpah tidak melakukan hubungan badan dan yang menjadi objek sumpah itu adalah si isteri. Dan juga mempunyai rukun yakni almauli, yang dijadikan sumpah adalah nama Allah, almaf’ul ‘alaih dan masa.

Pada masa ila’ isteri tidak boleh meminta untuk berjima’ dan mesti bersabar sampai waktu yang dietntukan. Dan apabila waktu ila’ itu telah tiba dalam artian ila’ masa ila’ sudah habis maka isteri boleh untuk meminta kembali kepada suaminya dan apabila suami menolak hal demikian maka si isteri boleh mengajukan kepada qadhi dan qadhi berhak untuk menjatuhkan talak.

Kemudian jika suami menyetubuhi isterinya maka ia diwajibkan membayar kifarat sebagai penembus sumpahnya.yakni memberikan makan 10 orang miskin, memberikan  pakaian bagi mereka dan memardekakan budak akan tetapi biaya tidak mencukupi ma ia diwajibkan berpuasa.

Ila ini belaku kepada suami yang mukallaf meskipun ada pendapat ulama yang mengatakan bahwa berlaku ila kepada suami non muslim karena mereka dianggap mampu untuk melakukan persetubuhan. Ila tidak berlaku kepada orang yang sakit, mempunyai penyakit berbahaya, pati jompo.

Ila’ adalah sumpah yang dialakukan seorang suami untuk tidak mencampuri istrinya, yang oleh pendapat jumhur ulama, sumpah itu adalah sumpah untuk tidak menyetubuhinya selama-lamanya, sehingga berdasarkan ayat ini maka seorang isteri berhak menyanyakan keputusan suaminya setelah menunggu selama empat bulan untuk merujuknya kembali atau memilih untuk men-talaqisterinya tersebut.

Masa selama 4 bulan ini disebut dengan masa menunggunya seorang isteri terhadap suaminya.

Keputusan seorang suami untuk kembali kepada isterinya oleh pendapat jumhur dilakukan dengan cara menyetubuhi kembali isterinya.

Seorang suami oleh pendapat jumhur juga, apabila memutuskan untuk untuk kembali kepada isterinya, dan membatalkan sumpah yang telah diucapkannya maka wajib membayar denda kafarat atas sumpah yang diucapkannya.

Ayat yang berkaitan dengan ini yaitu surat al-Maidah ayat 89 tentang kafarat sumpah, dan hadits yang membahas mengenai batasan-batasan dalam bersumpah.

Surat al-Baqarah ayat 226-227 ini bermunasabah dengan ayat 225, yang membahas mengenai sumpah, maupun ayat setelahnya, ayat 228-232, yang berkaitan dengan pembahasan talaq

Hukum yang terkandung yaitu wajib hukumnya seorang suami  yang bersumaph untuk tidak lagu menyetubuhi isterinya untuk menentukan pilihannya untuk meneruskan perkawinan mereka dengan jalan kembali kepada isterinya kembali atau menceraikannya

Ucapan Suami Pada Istri Bisa Jatuh Pada Hukum Dhihar

 

Memang tidak salah dikatakan, ‘mulutmu adalah harimaumu’. Karena, dari perkataan-perkataan yang timbul dari dalam mulut seseorang dapat membawa bahaya besar yang tidak pernah kita fikirkan sebelumnya, bahkan dari perkataan-perkataaan yang sederhana sekalipun. Seperti halnya Dhihar, yang kerap kali terjadi didalam suatu rumah tangga.

Zhihar (Ejaan lain: zhihar, dzihar, dhihar; Arab, الظهار) adalah suami menyerupakan istri dengan perempuan mahram dinikah baik mahram karena nasab seperti ibu, saudara perempuan kandaung, bibi; atau mahram karena perkawinan seperti ibunya istri; atau mahram karena sesusuan (radha'ah). Hukum zihar adalah haram dan pelaku zihar harus membayar kafarat atau tebusan agar dia kembali dapat melakukan hubungan intim dengan istrinya. Dari segi pengucapan (sighat) zihar ada dua macam yaitu zihar sharih (jelas/eksplisit) dan dhihar kinayah (kiasan / implisit). Sebagaimana talak, zihar sharih tidak memerlukan niat. Sedang zihar kinayah memerlukan niat. Perkataan suami pada istri: "Engkau haram bagiku" bisa disebut zihar kinayah kalau diniati zihar. Bisa berarti talak kalau diniati talak.

ZIHAR (DHIHAR) ERA ARAB JAHILIYAH

Dhihar atau zihar dalam pengertian bahasa adalah suami berkata pada istrinya: Kamu seperti punggung ibuku (أنت علي كظهر أمي). Kata dhihar (zihar) berasal dari kata dhahr atau zahr (Arab, الظهر) karena menyerupakan wanita dengan sesuatu yang dinaiki pada punggungnya. Karena suami menaikinya ketika hubungan intim. Walaupun saat menaiki pada perutnya bukan pada punggung. Perkataan ini pada zaman Arab pra Islam (Jahiliyah) memiliki akibat hukum yang serius yaitu suami dan pria lain haram berhubungan intim dengan istrinya selamanya.

Zihar pada masa Jahiliyah dipakai suami untuk mengharamkan menjimak (hubungan intim) istrinya. Hukumnya adalah haramnya hubungan badan selamanya baik antara perempuan itu dengan suaminya dan dengan pria lain.
ZIHAR (DHIHAR) MASA ISLAM

Setelah Islam datang, praktik zihar tidak dihapus total hanya saja ada beberapa perubahan. Islam menjadikan zihar sebagai hukum akhirat dan hukum duniawi sekaligus. Yang dimaksud dengan hukum akhirat adalah bahwa melakukan zihar adalah haram dan pelakunya berdosa. Sedangkan hukum duniawi adalah bahwa haram hukumnya melakukan hubungan intim dengan istri yang di-zihar kecuali setelah mengeluarkan tebusan (kafarat) sebagai pembelajaran bagi suami. 

Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim, terutama bagi mereka yang sudah berumah tangga, untuk memahami apa itu zihar dan akibat hukum yang terkait dengannya. Karena, tidak pantas menurut perspektif syariah seorang suami berkata pada istrinya: "Kamu bagiku seperti punggung ibuku" atau "Kamu bagiku seperti ibuku" atau "Kamu bagiku seperti saudara perempuanku" atau "Kamu bagiku seperti bibiku", dll. Karena kata-kata ini hukumnya haram dan berakibat adanya sanksi duniawi berupa kafarat yang relatif berat.
DALIL ZIHAR (DHIHAR)

Allah membahas masalah zihar dan hukumnya dalam beberapa ayat berikut:

Allah membahas masalah zihar dan hukumnya dalam beberapa ayat berikut:

- Haramnya Zihar (Dhihar) QS. Al-Mujadalah 58 : 2

الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَائِهِم مَّا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنكَراً مِّنَ الْقَوْلِ وَزُوراً وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ

Artinya: Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. 
Para ulama sepakat hukum dhihar adalah haram dengan dasar ayat di atas.

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدَةَ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ تَمِيمِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ تَبَارَكَ الَّذِي وَسِعَ سَمْعُهُ كُلَّ شَيْءٍ إِنِّي لَأَسْمَعُ كَلَامَ خَوْلَةَ بِنْتِ ثَعْلَبَةَ وَيَخْفَى عَلَيَّ بَعْضُهُ وَهِيَ تَشْتَكِي زَوْجَهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ تَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكَلَ شَبَابِي وَنَثَرْتُ لَهُ بَطْنِي حَتَّى إِذَا كَبِرَتْ سِنِّي وَانْقَطَعَ وَلَدِي ظَاهَرَ مِنِّي اللَّهُمَّ إِنِّي أَشْكُو إِلَيْكَ فَمَا بَرِحَتْ حَتَّى نَزَلَ جِبْرَائِيلُ بِهَؤُلَاءِ الْآيَاتِ { قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ }

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi ‘Ubaidah : Telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Al-A’masy, dari Tamiim bin Salamah, dari ‘Urwah bin Az-Zubair, ia berkata : Telah berkata ‘Aaisyah : “Maha Suci Allah yang pendengaran-Nya mencakup segala sesuatu. Sungguh, aku pernah mendengar perkataan Khaulah binti Tsa'labah ketika ia mengadu kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tentang suaminya, namun sebagian perkataan tidak aku dengar. Ia berkata : ‘Wahai Rasulullah, aku telah menghabiskan masa mudaku bersamanya dan melahirkan anak-anaknya dari rahimku. Namun ketika umurku telah senja dan tidak bisa lagi memberi anak, ia men-dhihar-ku. Ya Allah,… aku mengadukan ini kepadamu’. Tidak lama kemudian, turunlah Jibril dengan membawa beberapa ayat yang menyatakan : ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah….(QS. Al-Mujaadilah : 1)"  [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 2063. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jariir 28/5, Al-Haakim 2/481, Ibnu Abi ‘Aashim no. 625, dan yang lainnya; shahih – lihat Irwaaul-Ghaliil 7/175].

Dulu di masa Jahiliyyah, dhihar disamakan dengan thalaq. Namun setelah Islam datang, Allah ta’ala memberikan keringanan kepada umat Islam dengan tidak menghitung perbuatan tersebut sebagai thalaq, namun terhitung sebagai dosa (maksiat) yang mewajibkan suami untuk membayar kaffaratjika ia ingin kembali (menggauli) kepada istrinya. Maksudnya, jika ada seorang suami yang men-dhihar istrinya, maka istrinya tersebut haram baginya (tidak boleh digauli) sebelum membayar kaffarat.

حَدَّثَنَا أَبُو عَمَّارٍ الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الْحَكَمِ بْنِ أَبَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ ظَاهَرَ مِنْ امْرَأَتِهِ فَوَقَعَ عَلَيْهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ ظَاهَرْتُ مِنْ زَوْجَتِي فَوَقَعْتُ عَلَيْهَا قَبْلَ أَنْ أُكَفِّرَ فَقَالَ وَمَا حَمَلَكَ عَلَى ذَلِكَ يَرْحَمُكَ اللَّهُ قَالَ رَأَيْتُ خَلْخَالَهَا فِي ضَوْءِ الْقَمَرِ قَالَ فَلَا تَقْرَبْهَا حَتَّى تَفْعَلَ مَا أَمَرَكَ اللَّهُ بِهِ
Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ammaar Al-Husain bin Huraits : telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Muusaa, dari Ma’mar, dari Al-Hakam bin Abaan, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya ada seorang laki-laki datang menemui Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, bahwa ia telah mengucapkan katadhihar lalu menggaulinya. Ia bertanya : “Wahai Rasulullah, aku telah mengucapkan kata dhihar kepada isteriku namun aku menggaulinya sebelum membayar kaffarat”. Lalu beliau menjawab : "Apa yang mendorongmu melakukannya, semoga Allah merahmatimu?". Ia menjawab : “Aku melihat gelang kakinya pada sinar bulan”. Beliau bersabda :"Janganlah engaku menggaulinya hingga engkau mengerjakan apa yang diperintahkan Allah kepadamu (yaitu membayar kaffarat)"[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1199. Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud no. 2223 & 2225, Ibnu Maajah no. 2065, An-Nasaa’iy 6/167, Ibnul-Jaarud no. 747, Al-Haakim 2/204, dan Al-Baihaqiy 7/386; shahih – lihat Shahih Sunan At-Tirmidziy 1/613].
Allah ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ * فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Orang-orang yang mendhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih” [QS. Al-Mujaadilah : 3-4].
Turunnya ayat tentang dhihar.

Dhihar terambil dari kata dhahrun (punggung). Di jaman jahiliyah, apabila suami mengatakan kepada istrinya, “Kamu bagiku seperti punggung ibuku”, maka yang demikian itu sudah dianggap sama dengan menthalaq istrinya.
Pada waktu itu Khaulah binti Tsa’labah telah didhihar oleh suaminya (Aus bin Shamit), yaitu dengan mengatakan kepada istrinya,“Kamu bagiku sudah seperti punggung ibuku”. Dengan maksud dia tidak boleh lagi menggauli istrinya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya. Menurut adat jahiliyah, kalimat dhihar seperti itu sudah sama dengan menthalaq istrinya. Maka Khaulah mengadukan peristiwa yang dialaminya kepada Rasulullah SAW. Rasulullah dalam hal ini menjawab bahwa belum ada keputusan dari Allah.
Dan dalam riwayat yang lain Rasulullah SAW mengatakan, “Engkau telah diharamkan bersetubuh dengan dia”. Lalu Khaulah berkata, “Suamiku belum menyebut kata-kata thalaq”. Kemudian Khaulah berulang-ulang mendesak kepada Rasulullah supaya menetapkan suatu keputusan dalam hal ini.
Ibnu Majah meriwayatkan sebagai berikut :

قَالَتْ عَائِشَةُ: تَبَارَكَ الَّذِى وَسِعَ سَمْعُهُ كُلَّ شَيْءٍ. اِنّى َلاَسْمَعُ كَلاَمَ خَوْلَةَ بِنْتِ ثَعْلَبَةَ وَ يَخْفَى عَلَيَّ بَعْضُهُ، وَ هِيَ تَشْتَكِى زَوْجَهَا اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص وَ هِيَ تَقُوْلُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَكَلَ شَبَابِى وَ نَثَرْتُ لَهُ بَطْنِى حَتَّى اِذَا كَبِرَتْ سِنّى وَ انْقَطَعَ وَلَدِى ظَاهَرَ مِنّى. اَللّهُمَّ اِنّى اَشْكُوْ اِلَيْكَ. فَمَا بَرِحَتْ حَتَّى نَزَلَ جِبْرَائِيْلُ بِهؤُلاَءِ اْلايتِ: قَدْ سَمِعَ اللهُ قَوْلَ الَّتِيْ تُجَادِلُكَ فِيْ زَوْجِهَا وَ تَشْتَكِيْ اِلَى اللهِ. ابن ماجه 1: 666

‘Aisyah berkata : Maha Suci Tuhan yang Maha Luas Pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu. Sesungguhnya aku mendengar perkataan Khaulah binti Tsa’labah yang sebagiannya tersembunyi. Ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah SAW. Ia berkata, “Ya Rasulullah, ia telah menghabiskan masa mudaku, perutku telah banyak melahirkan anak untuknya, hingga ketika umurku sudah tua dan sudah tidak bisa melahirkan anak lagi, suamiku mendhiharku. Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu. Lalu tidak henti-hentinya Khaulah binti Tsa’labah mengadukan halnya kepada Allah sehingga malaikat Jibril turun dengan membawa ayat-ayat ini : Qad sami’alloohu qoulallatii tujaadiluka fii zaujihaa wa tasytakii ilallooh.[HR. Ibnu Majah juz 1, hal. 666]

Dari peristiwa yang menimpa Khaulah binti Tsa’labah tersebut akhirnya Allah menurunkan ayat sebagai berikut :

قَدْ سَمِعَ اللهُ قَوْلَ الَّتِيْ تُجَادِلُكَ فِيْ زَوْجِهَا وَ تَشْتَكِيْ اِلَى اللهِ وَ اللهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا، اِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ. المجادلة:1

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (1) Al-Mujadilah

الَّذِيْنَ يُظهِرُوْنَ مِنْكُمْ مّنْ نّسَآئِهِمْ مَّا هُنَّ اُمَّهتِهِمْ، اِنْ اُمَّهتُهُمْ اِلاَّ الّئِيْ وَلَدْنَهُمْ، وَ اِنَّهُمْ لَيَقُوْلُوْنَ مُنْكَرًا مّنَ اْلقَوْلِ وَزُوْرًا، وَ اِنَّ اللهَ لَعَفُوٌّ غَفُوْرٌ. المجادلة:2

Orang-orang yang mendzihar istrinya diantara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang munkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun (2). Al-Mujadilah

وَ الَّذِيْنَ يُظهِرُوْنَ مِنْ نّسَآئِهِمْ ثُمَّ يَعُوْدُوْنَ لِمَا قَالُوْا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مّنْ قَبْلِ اَنْ يَّتَمَآسَّا، ذلِكُمْ تُوْعَظُوْنَ بِه، وَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ. المجادلة:3

Dan orang-orang yang mendhihar istri-istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (3) Al-Mujadilah

فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَّتَمَآسَّا، فَمَنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ فَاِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا، ذلِكَ لِتُؤْمِنُوْا بِاللهِ وَ رَسُوْلِه، وَ تِلْكَ حُدُوْدُ اللهِ، وَ لِلْكفِرِيْنَ عَذَابٌ اَلِيْمٌ. المجادلة:4

Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksa yang sangat pedih (4). [QS. Al-Mujadalah]
Berkenaan dengan dhihar ini ada riwayat sebagai berikut :

عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ رَجُلاً اَتَى النَّبِيَّ ص قَدْ ظَاهَرَ مِنِ امْرَأَتِهِ، فَوَقَعَ عَلَيْهَا فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنِّى ظَاهَرْتُ امْرَأَتِى فَوَقَعْتُ عَلَيْهَا قَبْلَ اَنْ اُكَفّرَ، فَقَالَ: مَا حَمَلَكَ عَلَى ذلِكَ؟ يَرْحَمُكَ اللهُ. قَالَ: رَأَيْتُ خَلْخَالَهَا فِى ضَوْءِ اْلقَمَرِ. قَالَ: فَلاَ تَقْرَبَهَا حَتَّى تَفْعَلَ مَا اَمَرَكَ اللهُ. الخمسة الا احمد وصححه الترمذى

Dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas, bahwa sesungguhnya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW (menerangkan bahwa) ia telah mendhihar istrinya, lalu ia mencampurinya. Kemudian ia bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah mendhihar istriku, lalu aku mencampurinya sebelum aku membayar kafarat (maka apakah yang harus aku lakukan) ?”. Nabi SAW bertanya, “Semoga Allah merahmatimu. Apakah yang mendorongmu berbuat demikian itu ?”. Ia menjawab, “Aku melihat gelang kakinya dalam sinar bulan”. Nabi SAW bersabda, “Hendaklah engkau tidak mendekatinya sehingga engkau laksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadamu”. [HR. Khamsah kecuali Ahmad dan dishahihkan oleh Tirmidzi]

عَنْ اَبِى سَلَمَةَ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ صَخْرٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص اَعْطَاهُ مِكْتَلاً فِيْهِ خَمْسَةَ عَشَرَ صَاعًا فَقَالَ: اَطْعِمْهُ سِتّيْنَ مِسْكِيْنًا، وَ ذلِكَ لِكُلّ مِسْكِيْنٍ مُدٌّ. الدارقطنى و للترمذى معناه

Dari Abu Salamah dari Salamah bin Shakhr, bahwa sesungguhnya Nabi SAW memberinya seonggok (kurma) yang berisikan lima belas sha’, lalu ia bersabda, “Berikanlah kepada enam puluh orang miskin dan untuk setiap orang satu mud”. [HR. Daruquthni, dan Tirmidzi meriwayatkan yang semakna dengan itu]
Tartib kaffarat dhihar tersebut lebih jelas ada dalam kisah menarik Salamah bin Sakhr Al-Bayadliy radliyallaahu ‘anhu berikut :

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْمَعْنَى قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ قَالَ ابْنُ الْعَلَاءِ ابْنِ عَلْقَمَةَ بْنِ عَيَّاشٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ صَخْرٍ قَالَ ابْنُ الْعَلَاءِ الْبَيَاضِيُّ قَالَ كُنْتُ امْرَأً أُصِيبُ مِنْ النِّسَاءِ مَا لَا يُصِيبُ غَيْرِي فَلَمَّا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ خِفْتُ أَنْ أُصِيبَ مِنْ امْرَأَتِي شَيْئًا يُتَابَعُ بِي حَتَّى أُصْبِحَ فَظَاهَرْتُ مِنْهَا حَتَّى يَنْسَلِخَ شَهْرُ رَمَضَانَ فَبَيْنَا هِيَ تَخْدُمُنِي ذَاتَ لَيْلَةٍ إِذْ تَكَشَّفَ لِي مِنْهَا شَيْءٌ فَلَمْ أَلْبَثْ أَنْ نَزَوْتُ عَلَيْهَا فَلَمَّا أَصْبَحْتُ خَرَجْتُ إِلَى قَوْمِي فَأَخْبَرْتُهُمْ الْخَبَرَ وَقُلْتُ امْشُوا مَعِي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لَا وَاللَّهِ فَانْطَلَقْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ أَنْتَ بِذَاكَ يَا سَلَمَةُ قُلْتُ أَنَا بِذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَرَّتَيْنِ وَأَنَا صَابِرٌ لِأَمْرِ اللَّهِ فَاحْكُمْ فِيَّ مَا أَرَاكَ اللَّهُ قَالَ حَرِّرْ رَقَبَةً قُلْتُ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أَمْلِكُ رَقَبَةً غَيْرَهَا وَضَرَبْتُ صَفْحَةَ رَقَبَتِي قَالَ فَصُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ وَهَلْ أَصَبْتُ الَّذِي أَصَبْتُ إِلَّا مِنْ الصِّيَامِ قَالَ فَأَطْعِمْ وَسْقًا مِنْ تَمْرٍ بَيْنَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قُلْتُ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَقَدْ بِتْنَا وَحْشَيْنِ مَا لَنَا طَعَامٌ قَالَ فَانْطَلِقْ إِلَى صَاحِبِ صَدَقَةِ بَنِي زُرَيْقٍ فَلْيَدْفَعْهَا إِلَيْكَ فَأَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا وَسْقًا مِنْ تَمْرٍ وَكُلْ أَنْتَ وَعِيَالُكَ بَقِيَّتَهَا فَرَجَعْتُ إِلَى قَوْمِي فَقُلْتُ وَجَدْتُ عِنْدَكُمْ الضِّيقَ وَسُوءَ الرَّأْيِ وَوَجَدْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّعَةَ وَحُسْنَ الرَّأْيِ وَقَدْ أَمَرَنِي أَوْ أَمَرَ لِي بِصَدَقَتِكُمْ زَادَ ابْنُ الْعَلَاءِ قَالَ ابْنُ إِدْرِيسَ بَيَاضَةُ بَطْنٌ مِنْ بَنِي زُرَيْقٍ

Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Abi Syaibah dan Muhammad bin Al-‘Alaa’ secara makna, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Idriis, dari Muhammad bin Ishaaq, dari Muhammad bin ‘Amru bin ‘Athaa’ - Ibnul-‘Alaa’ berkata : Ibnu ‘Alqamah bin ‘Ayyaasy – , dari Sulaimaan bin Yasaar, dari Salamah bin Shakhr – Ibnul-‘Alaa’ berkata : Al-Bayaadliy – : “Aku dahulu seorang yang sering menggauli isteri tidak seperti orang selainku yang menggauli isterinya. Ketika telah masuk bulan Ramadlan, aku khawatir menggauli isteriku sehingga hal itu berlanjut hingga pagi hari. Maka aku men-dhihar isteriku hingga bulan Ramadlan berlalu. Ketika pada malam hari ia membantuku, tiba-tiba tersingkap sedikit auratnya. Maka tidak lama kemudian aku menggaulinya. Kemudian ketika pagi hari aku keluar menuju kepada kaumku dan mengkhabarkan hal tersebut kepada mereka. Aku berkata : ‘Pergilah kalian bersamaku kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam!’. Mereka berkata : ‘Tidak, demi Allah kami tidak akan pergi bersamamu’. Maka aku pergi kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan menceritakan hal tersebut kepada beliau. Kemudian beliau berkata :‘Wahai Salamah, apakah engkau melakukan hal ini?’. Aku berkata : ‘Aku melakukan hal ini -sebanyak dua kali-, dan aku bersabar terhadap terhadap keputusan Allah, maka putuskanlah terhadap diriku apa yang telah Allah perlihatkan kepada dirimu’. Beliau bersabda :‘Bebaskan budak’. Aku berkata : ‘Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran tidaklah saya memiliki budak selain dirinya’. Beliau bersabda : ‘Berpuasalah dua bulan berturut-turut!’. Aku berkata : ‘Tidaklah saya tertimpa sesuatu yang menimpaku kecuali ketika aku sedang berpuasa’. Beliau bersabda : ‘Berilah makan satu wasaq kurma enam puluh orang miskin’. Aku berkata : ‘Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, sungguh kami bermalam dalam keadaan tidak memiliki makanan’. Beliau berkata : ‘Pergilah kepada pengumpul shadaqah Bani Zuraiq, hendaknya ia memberikannya kepadamu dan berilah makan enam puluh orang miskin satu wasaq kurma, dan makanlah sisanya bersama keluargamu." Kemudian aku kembali kepada kaumku dan berkata : ‘Aku dapatkan di sisi kalian kesempitan serta pendapat yang buruk, dan aku dapatkan di sisi Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam kelapangan dan pendapat yang baik. Beliau telah memerintahkan agar aku diberi shadaqah kalian” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2213. Diriwayatkan juga oleh At-Tirmidziy no. 1198 & 3299, Ibnu Maajah no. 2062, Ad-Daarimiy no. 2319, Ahmad 2/86-87, Al-Haakim 2/203, dan Al-Baihaqiy 7/390; shahih – lihat Irwaaul-Ghaliil 7/176-179 no. 2091 dan Ghautsul-Makduud bi-Takhriiji Muntaqaa Ibnil-Jaaruud 3/63-64].

DEFINISI ZIHAR DALAM ISTILAH ULAMA FIKIH

Zihar (dhihar) menurut ulama madzhab Syafi'i adalah suami menyerupakan istrinya dengan wanita mahram dalam segi haramnya dinikah. 

Sedangkan menurut ulama madzhab Hanbali Zihar (dhihar) adalah suami menyerupakan istrinya dengan wanita lain yang haram baginya selamanya atau sementara, atau suami menyerupakan istrinya dengan salah satu anggota tubuh dari wanita yang mahram dengan suami baik mahram selamanya atau mahram sementara atau diserupakan dengan anggota tubuh yang selain punggung atau suami menyerupakan istrinya atau anggota tubuh istrinya dengan seorang laki-laki atau anggota tubuh laki-laki sama saja laki-laki itu kerabatnya suami atau orang lain. 
SYARAT DAN RUKUN ZIHAR (DHIHAR)
SYARAT ZIHAR (DHIHAR)

Syarat dan rukun zihar (dhihar) menurut ulama madzhab Syafi'i adalah sebagai berikut:

Syarat muzahir (mudhahir) atau pelaku zihar adalah : (a) suami, (b) berakal sehat alias tidak gila; (c) kehendak sendiri alias tidak terpaksa.

Syarat muzahar (mudhahar) minha atau perempuan yang di-zihar adalah: istri.

Syarat musyabbah bih (sosok yang dijadikan penyerupaan) ada tiga yaitu: 

(a) Harus perempuan. Apabila yang dijadikan penyerupaan itu laki-laki baik kerabat dekat atau jauh maka itu tidak sah alias sia-sia karena mereka bukan tempat untuk istimta'

(b) Harus perempuan mahram yang tidak halal dinikah karena nasab seperti ibu, anak permepuan, atau karena sesusuan (radha'ah) seperti ibu susuan atau yang menyusui ayahnya; atau karena kemertuaan seperti ibu istrinya atau istrinya.

(c) Wanita itu tidak halal sebelumnya. Seperti perempuan yang dinikah oleh ayahnya sebelum atau bersamaan dengan kelahirannya. Adapun wanita yang dinikah ayahnya setelah lahirnya dia maka wanita itu halal baginya sebelum dinikah oleh ayahnya. Contoh lain, istri dari anaknya. Maka ia halal baginya sebelum dinikah oleh anaknya. 

Syarat sighat (lafaz) adalah harus berupa kata atau kalimat yang mengandung arti zihar (dhihar).

Sighat (lafaz) Zihar ada dua macam: 

(a) Zihar sharih (ekplisit / jelas) yaitu kalimat yang sudah umum diketahui dipakai untuk arti zihar (dhihar) seperti "Kamu bagiku bagikan punggung ibuku" atau "Kepalamu bagiku seperti punggung ibuku" atau "... seperti tangan ibuku"

(b) Zihar kinayah (implisit / kiasan / implisit) yaitu kalimat yang tidak umum dipakai untuk zihar. Seperti "Engkau seperti ibuku" atau "Engkau seperti mata ibuku" dan kalimat lain yang bisa dipakai untuk zihar dan memuji. Zihar kinayah tidak terjadi kecuali dengan niat. 

Apabila suami berkata pada istri: "Engkau haram bagiku sebagaimana haramnya ibuku" ini termasuk zihar kinayah apabila niat zihar. Dan bisa juga menjadi talak kinayah apabila niat talak. 

Apabila penyerupaan itu dengan salah satu dari bagian dalam yang tidak bisa di-istimta' maka itu tidak disebut zihar (dhihar). Disyaratkan juga dalam bagian anggota tubuh tersebut tidak boleh berupa benda lebih seperti susu, mani, air ludah, dll. Kalau suami menyamakan air ludah istrinya dengan punggung istrinya maka ziharnya tidak sah. Sedangkan bagian tubuh yang bertambah maka hukumnya sah zihar dengannya seperti kuku, rambut dan gigi. Intinya, setiap sesuatu yang tampak maka sah dijadikan penyerupaan. Dan setiap bagian yang tidak tampak (batin) yang tidak bisa dinikmati (istimta') maka penyerupaan dengannya tidak disebut zihar (dhihar).
RUKUN ZIHAR (DHIHAR)

Jumhur ulama menyebutkan bahwa rukun dhihaar ada empat, yaitu :
1.    Al-Mudhaahir (orang yang mengucapkan lafadh dhihar, yaitu suami).
2.    Al-Mudhaahir minhaa (objek yang dijatuhi lafadh dhihaar, yaitu istri).
3.    Shiighah (lafadh dhihaar).
4.    Al-Musyabbah bihi (objek/orang yang diserupakan padanya dalam lafadh ‎dhihaar).‎
Dhihaar tidak akan jatuh kecuali dengan keberadaan empat hal ini.
Apakah Dhihar Hanya Dikhususkan dengan Kata “Ibu” dan Tidak Selainnya ?
Jumhur ulama berpendapat bahwa dhihar tidak terbatas dengan penggunaan kata ibu, namun juga pada mahram abadi suami (si pengucapdhihar), seperti nenek, bibi, saudara perempuan, dan yang lainnya. Perkataan ini semisal : “engkau bagiku seperti punggung bibiku” atau “engkau bagiku seperti punggung saudara perempuanku” dan yang lainnya. Sedangkan ulama lain (yaitu Dhahiriyyah) berpendapat bahwa dhihar hanya dikhususkan pada kata “ibu” saja. Yang raajih dalam hal ini adalah pendapat jumhur. Inilah pendapat yang diambil oleh Al-Hasan, ‘Atha’, Jaabir bin Zaid, Asy-Sya’biy, An-Nakha’iy, Az-Zuhriy, Ats-Tsauriy, Al-Auza’iy, Maalik, Ishaaq, Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur, dan ashhaabur-ra’yi. Inilah pendapat yang dipegang Hanaabilah dan Asy-Syaafi’iy dalam al-qaulul-jadiid-nya [Al-Mufashshal fii Ahkaamil-Mar’ah wal-Baitil-Muslim oleh Dr. ‘Abdul-Kariim Zaidaan, 8/293-294; Muassasah Ar-Risalah, Cet. 1/1413].
‘Illat pengharaman dhihar adalah karena penyerupaan terhadap orang yang haram dinikahi dan digauli selamanya. Oleh karena itu, penyebutan hukum dengan kata ‘ibu’ tidak menghalangi tetapnya hukum tersebut pada selain ibu jika memang serupa dengannya.
Apakah Dhihar Berlaku Jika Disebutkan Penyerupaan kepada Selain Punggung ?

Para ulama telah berbeda pendapat dalam hal ini.

Hanafiyyah berpendapat bahwa hal itu tidak terbatas pada punggung saja, namun juga bagian tubuh lain mahram yang tidak boleh dilihat oleh orang yang men-dhihar; seperti perut, paha, atau farji [Badaai’ush-Shanai’, 3/233].
Hanaabilah berpendapat bahwa dhihar juga berlaku jika suami menyamakan istrinya dengan bagian-bagian tubuh lain dari mahram abadinya. Misalnya ucapannya : ‘Engkau bagiku seperti punggung ibuku’ atau ‘seperti perut ibuku’ atau ‘seperti tangan ibuku’ atau‘seperti kaki ibuku’. Dikecualikan dalam hal ini anggota tubuh yang tidak tetap ‎seperti rambut dan kuku [Kasysyaaful-Qinaa’, 3/227].
Syaafi’iyyah berpendapat bahwa jika anggota tubuh (mahram abadi) tidak disebutkan untuk maksud pemuliaan secara kebiasaan/adat, dan ia mengharamkan untuk bersenang-senang dengannya; maka dhihar berlaku – seperti penyerupaan terhadap tangan. Namun jika suami menyebutkan anggota tubuh yang punya kemungkinan untuk maksud pemuliaan seperti mata ibu, maka ini tergantung dari niat di pengucap. Jika ia meniatkan dengan ucapannya itu untuk dhihar, maka dhihar itu berlaku. Jika tidak, maka tidak berlaku [Nihaayatul-Muhtaaj, 7/77].
Maalikiyyah berpendapat dhihar berlaku jika suami menyebutkan bagian tubuh mahram (abadi)-nya, meskipun sehelai rambut ataupun air ludah [Asy-Syarhul-Kabiir oleh Ad-Dardiir, 2/439-440].
Adapun Dhahiriyyah, maka mereka berpendapat dhihar hanya berlaku pada penyerupaan terhadap punggung ibu saja, tidak kepada yang lainnya [Al-Muhallaa, 10/50].
Dapat kita lihat bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa dhihar juga berlaku jika suami menyerupakan istrinya dengan anggota tubuh selain punggung. Namun mereka berbeda dalam perinciannya.
Dhihar dalam nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya terkait dengan penyamaan terhadap punggung. Inilah yang disepakati. Adapun anggota tubuh selain itu yang disebutkan dengan niat dhihar, maka ini permasalahan ijtihadiyyah. Asy-Syaikh Husain bin ‘Audah Al-‘Awaaisyah hafidhahullah menguatkan pendapat Ibnu Hazm rahimahulah [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah, 5/360]. Wallaahu a’lam.

Perkataan : ‘Engkau Bagiku Haram’ ; Apakah Terhitung Sebagai Dhihar ?
Tidak termasuk dhihar, karena tidak ada unsur penyerupaan. Ia hanya dihukumi sebagai sumpah. Jika ia ingin kembali menghalalakan istrinya (untuk digauli), maka ia harus membayar kaffarah sumpah. Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ * قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ وَاللَّهُ مَوْلاكُمْ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”[QS. At-Tahriim : 1-2].
عن ابن عباس قال: إذا حرم الرجل عليه امرأته فهي يمين يكفرها
Dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Apabila seorang laki-laki mengharamkan istrinya, maka ia termasuk sumpah yang ada kaffarat-nya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1473].
Peringatan : Jika ada orang yang mengatakan ‘engkau haram bagiku’ dengan niat thalaq, maka jatuh thalaq.
Jika Seorang Suami Mengatakan ‘Engkau Bagiku Seperti Punggung Ibuku’ dengan Niat Menthalaqnya, Apakah Pada Saat Itu Jatuh Thalaq ?
Tidak jatuh thalaq. Bahkan perbuatan ini termasuk perbuatan jahiliyyah yang telah dihapuskan oleh Islam. Bagaimanapun, jika ada seorang suami yang mengucapkan kalimat tersebut – meskipun ia berniat dengannya thalaq – maka ia hanya dihukumi sebagai ‎dhihar.
Panggilan Suami kepada Istrinya :‘Ummiy’, Apakah Termasuk Dhihar ?
Ia bukan lafadh termasuk jenis lafadh dhihar, baik yang sharih ataupun kinayah sebagaimana ‎ma’ruf dikenal para ulama. Tidak ada unsur penyerupaan padanya. Sudah menjadi pengetahuan dan kebiasaan di negeri kita bahwa seorang suami yang memanggil istrinya dengan sebutan ‘ummiy’ bukan untuk tujuan ‎dhihar dan panggilan terhadap ibu kandungnya, namun untuk tujuan pengajaran (terhadap anak-anaknya) dan kasih-sayang. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1 & 54 & 2529 & 5070 & 6689 & 6953, Muslim no. 1907, Ibnul-Mubaarak dalam ‎Az-Zuhd no. 188, Ath-Thayaalisiy no. 37, Al-Humaidiy no. 28, Ahmad 1/25 & 43, Abu Daawud no. 2201, Ibnu Maajah no. 4227, At-Tirmidziy no. 1647, dan yang lainnya].
Ucapan Istri kepada Suaminya : ‘Engkau Bagiku Seperti Punggung Ayahku’, Apakah Termasuk Dhihaar ?
Tidak termasuk dhihaar, karena dhihaar – menurut nash – hanya berlaku pada suami terhadap istrinya. Allah ta’ala berfirman :
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ
“Orang-orang yang mendhihar istrinya di antara kamu … [Al-Mujaadilah : 2].
Para ulama telah sepakat mengenai hal ini [lihat Ahkaamul-Qur’aan oleh Ibnul-‘Arabiy, 4/189].

KAFARAT ZIHAR (DHIHAR)

Zihar adalah haram dan berdosa. Perilaku ini harus dijauhi oleh suami. Bagi yang terlanjur melakukannya, maka diwajibkan membayar kafarat atau tebusan. Kafaran zihar ada tiga macam yaitu:

(a) Memerdekakan budak (hamba sahaya) kalau ada dan mampu; atau
(b) Puasa dua bulan berturut-turut tanpa putus satu hari pun kalau mampu; atau
(c) Memberi makan 60 (enampuluh) orang miskin.

Catatan:

Menurut madzhab Syafi'i seorang dianggap tidak mampu puasa dua bulan berturut-turut apabila memenuhi salah satu dari empat syarat yaitu: (a) menderita sakit yang menurut dokter akan terjadi selama dua bulan atau menurut kebiasaannya, apalagi kalau sakit parah yang sulit sembuh; (b) dikuatirkan sakitnya tambah parah karena puasa; (c) mengalami kesulitan berat kalau harus puasa selama 60 hari dalam arti tidak mampu menanggungnya; (d) memiliki kelemahan tertentu seperti tidak bisa menahan diri untuk melakukan hubungan intim selama masa puasa. Apabila demikian, maka kafarat pindah ke yang ketiga yaitu memberi makan 60 orang miskin.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...