Kamis, 14 Oktober 2021

Penjelasan Hukum Koruptor

 

Menengok keadaan saat ini, betapa banyak orang yang melakukan perbuatan yang amat tercela ini. Bahkan hampir kita dapati dalam semua lapisan masyarakat, dari masyarakat yang paling bawah, menengah sampai kalangan atas. Khalayak pun kemudian menggolongkan para pelaku korupsi ini menjadi berkelas-kelas. Mulai koruptor kelas teri sampai kelas kakap. Dalam lingkup masyarakat bawah, mungkin pernah atau bahkan banyak kita jumpai, seseorang yang mendapat amanah untuk membelanjakan sesuatu, kemudian setelah dibelanjakan, uang yang diberikan pemiliknya masih tersisa, tetapi dia tidak memberitahukan adanya sisa uang tersebut, meskipun hanya seratus rupiah, melainkan masuk ke ‘saku’nya, atau dengan cara memanipulasi nota belanja. Adapun koruptor kelas kakap, maka tidak tanggung-tanggung yang dia ‘embat’ sampai milyaran bahkan triliyunan. Sejauh mana bahaya perbuatan ini? Kami mencoba mengulasnya dengan mengambil salah satu hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini. Semoga bermanfaat, dan kita dapat menghindari ataupun mewaspadai bahayanya.

Penyakit Korupsi sendiri telah muncul sejak Nabi saw. Secara umum, korupsi masa Nabi terbagi dua bagian : korupsi ghanimahdan non-ghanimah. Beberapa contoh kasus korupsi pada zaman Rasulullah saw. misalnya :
1. Kasus Korupsi Beludru Merah

Sunan Abu Daud no. 3457 :

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا خُصَيْفٌ حَدَّثَنَا مِقْسَمٌ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَانَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ }فِي قَطِيفَةٍ حَمْرَاءَ فُقِدَتْ يَوْمَ بَدْرٍ فَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ لَعَلَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَهَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ{ وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ }إِلَى آخِرِ الْآيَةِ

Qutaybah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami, Abdul wahid bin Ziyad telah menceritakan kepada kami, Khushaif telah menceritakan kepada kami, Miqsam (budak yang dimerdekakan ibn Abbas) telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Abbas berkata: Ayat ini ( maa kaana linabiyyin an Yaghulla ) diturunkan turun mengenai kasus beludru merah yang hilang ketika perang badar. Sebagian orang mengatakan: barangkali Rasulullah saw. mengambilnya,  maka Allah menurunkan ayat ini ( maa kaana linabiyyin an yaghulla … ) sampai akhir ayat.

2. Kasus Korupsi Ghanimah (Harta Rampasan Perang)

Sahih Bukhari no. 2845

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ كَانَ عَلَى ثَقَلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ كِرْكِرَةُ فَمَاتَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ فِي النَّارِ فَذَهَبُوا يَنْظُرُونَ إِلَيْهِ فَوَجَدُوا عَبَاءَةً قَدْ غَلَّهَا قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ قَالَ ابْنُ سَلَامٍ كَرْكَرَةُ يَعْنِي بِفَتْحِ الْكَافِ وَهُوَ مَضْبُوطٌ كَذَا

Aly bin Abdullah telah menceritakan kepada kami, Sufyan telah menceritakan kepada kami, dari ‘Amr dari Salim bin Abi al-Ja’d dari Abdullah bin ‘Amr ia berkata: Pada rombungan Rasulullah saw. terdapat seorang laki-laki yang bernama Karkarahyang mati di medan perang. Rasulullah saw bersabda: ia masuk neraka. Para sahabat bergegas pergi melihatnya, kemudian mereka mendapati mantel yang ia curi  dari ampasan perang.
3. Kasus Korupsi Manik-Manik

Sunan Ibnu Majah no. 2838

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ أَنْبَأَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ عَنْ أَبِي عَمْرَةَ عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنْ أَشْجَعَ بِخَيْبَرَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَأَنْكَرَ النَّاسُ ذَلِكَ وَتَغَيَّرَتْ لَهُ وُجُوهُهُمْ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ قَالَ إِنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ زَيْدٌ فَالْتَمَسُوا فِي مَتَاعِهِ فَإِذَا خَرَزَاتٌ مِنْ خَرَزِ يَهُودَ مَا تُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ

Muhammad bin Rumh telah menceritakan kepada kami, al-Laits bin Sa’d telah memberitahukan kepada kami, dari Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Yahya bin Hibban dari Abi ‘Amrah dari Zaid bin Khalid al-Juhany ia berkata: seseorang dari dari Bany Asyja’ meninggal pada waktu penaklukan Khaibar, lalu Rasulullah saw. bersabda: “ Shalatkanlah kawanm itu. Lalu terheran dan berubahlah wajah orang-orang karena perkataan tersebut. Tatkala Rasulullah melihathal tersebut, beliau bersabda: Sesungguhnya kawanmu telah melakukan ghulul dalam perang. Zaid mengatakan bahwa kemudian para sahabat memeriksa barang-barangnya, lalu ditemukan manic-manik (mutiara) milik orang Yahudi yang harganya di bawah dua dirham.  

4. Korupsi Berupa Pemberian Hadiah

Sahih Bukhari no. 6464.

اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ الْلَّتَبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ خَطَبَنَا فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ وَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَهُ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطِهِ يَقُولُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ بَصْرَ عَيْنِي وَسَمْعَ أُذُنِي

Rasulullah saw. mengangkat seorang laki-laki bernama Ibn al-‘Atbiyah untuk menjadi pejabat pemungut zakat di Bani Sulaim. Ketika ia datang menghadap Nabi untuk melapor, beliau memeriksanya. Ia berkata: ” ini harta zakatmu (Nabi/negara) dan ini adalah hadiah (untuku). Lalu Rasulullah saw. bersabda: jika engkau benar, maka apakah jika engkau duduk di rumah ayah atau ibumu, hadiah itu akan datang kepadamu ? Kemudian Rasulullah berpidato menucapkan tahmid dan dan memuji Allah, lalu berkata: amma ba’du ; aku mengangkat salah seorang diantara kamu untuk melakukan suatu tugas yang merupakan bagian dari apa yang telah dibebankan oleh Allah kepadaku. Lalu orang ini datang dan berkata: ini harta zakatmu (Nabi/negara) dan ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku. Jika ia memang benar, maka apakah jika ia duduk di rumah ayah atau ibunya, hadiah itu akan datang kepadanya ?. Demi Allah, begitu seseorang mengambil sesuatu dari hadiah itu tanpa hak, maka kelak di hari kiamat ia akan menemui Allah dengan membawa hadiah itu,lalu aku akan mengenali seseoran diantara kamu ketika menemui Allah itu, ia memikul unta di atas pundaknya dengan suara melengkik atau sapi yang mengeluh, atau kambing yang mengembek. Kemudian Rasulullah mengangkat tangannya sehingga terlihat bulu ketiaknya yang putih seraya berkata: “ Yaa Allah apakah telah ku sampaikan pandangan mataku dan pendengaran telingaku “. 

Hal ini juga diperkuat dengan hadits Nabi lainnya yang menyatakan :

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ

Ishaq bin ‘Isa telah menceritakan kepada kam, Isma’il bin ‘Ayyasy telah menceritakan kepada kami, dari Yahya bn Sa’id dari ‘Urwah bin Zubair dari Abi Humaid al-Sa’idy bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Hadiah ( yang diterima ) para pejabat adalah korupsi

Demikianlah beberapa contoh ragam kasus korupsi pada masa Rasulullah saw. yang secara umum terbagi dua ragam korupsi, ghanimah, seperti kasus beludru dan manic-manik dan non-ghanimah, yaitu kasus korupsi pemberian hadiah. Lantas Bagaimanakah tata cara Nabi menyelesaikan kasus ini ?

Penyelesaian Rasulullah Terhadap Kasus Korupsi

Dalam beberapa hadits Nabi, dapat kita temukan bagaimana penanganan langsung Rasulullah terhadap ghulul yang secara keseluruhan bersifat moralitas dan teologis. Diantaranya adalah :

1. Tertolaknya Sedekah Hasil korupsi

Sahih Muslim no. 329

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَأَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِيُّ وَاللَّفْظُ لِسَعِيدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ قَالَدَخَلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَلَى ابْنِ عَامِرٍ يَعُودُهُ وَهُوَ مَرِيضٌ فَقَالَ أَلَا تَدْعُو اللَّهَ لِي يَا ابْنَ عُمَرَ قَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

Sai’d bin Manshur, Qutaibah bin Sa’id, dan Abu Kamil al-Jahdary (dengan redaksi milik Sa’id), mereka berkata: Abu ‘Awwanah telah menceritakan kepada kami dari Simak bin Harb dari Mus’ab bin Sa’d, ia berkata: Abdullah bin Umar masuk ke rumah Ibn ‘Amir untuk menjenguknya karena sedang sakit. Ibn ‘Amir berkata: mengapa engkau tidak berdo’a kepada Allah untuk kesembuhanku, hai Ibn Umar ?, Ibn Umar lalu berkata: Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “ shalat tanpa bersuci tidak akan diterima dan begitu juga shadaqah dari hasil ghulul (korupsi ).

2. Korupsi Menghalangi Masuk Surga

Sunan Tirmidzy no. 1497

حَدَّثَنِي قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَاتَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ دَخَلَ الْجَنَّةَ

Qutaybah bin Sa’id telah menceritakan kepadaku, Abu ‘Awwanah telah menceritakan kepadaku, dari Qatadah dari Salim bin Abi al-Ja’d dari Tsauban ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan terbebas dari tiga hal ; dosa besar, korupsi, dan hutang, maka ia akan masuk surga.
3. Melindungi koruptor sama dengan pelaku korupsi

Sunan Abu Daud no. 2341‎

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دَاوُدَ بْنِ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ قَالَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى أَبُو دَاوُدَ قَالَ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سَعْدِ بْنِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِيهِ سُلَيْمَانَ بْنِ سَمُرَةَ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ أَمَّا بَعْدُ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ كَتَمَ غَالًّا فَإِنَّهُ مِثْلُهُ

Muhammad bin Daud bin Suffyan telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Yahya bin Hassan telah menceritakan kepada kami, ia berkata Sulaiman bin Musa Abu Daud  telah menceritakan kepada kami, ia berkata Ja’far bin Sa’d bin Samurah bin Jundab telah menceritakan kepada kami, Khubib bin Sulaiman telah menceritakan kepadaku dari ayahnya, sulaiman bin Samurah dari Samurah bin Jundab ia berkata: amma ba’du .. Rasulullah saw. bersabda: barangsiapa yang menyembunyikan koruptor, maka ia sama dengannya.‎

4. “ Memukul “ dan Membakar Harta Korupsinya

Sunan Abu Daud no.2340

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَوْفٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ أَيُّوبَ قَالَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ حَرَّقُوا مَتَاعَ الْغَالِّ

Muhammad bin ‘Auf telah menceritakan kepada kami, ia berkata Musa bin Ayyub telah menceritakan kepada kami, ia berkata al-Walid bin Muslim telah menceritakan kepada kami, ia berkata Zuhair bin Muhammad telah menceritakan kepada kami, dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw., Abu Bakar dan ‘Umar membakar harta-benda orang yang korupsi dan memukulnya.

Untuk hadits terakhir, para ulama hadits menilainya sebagai hadits dla’if, karena dalam rangkaian sanadnya terdapat Zuhair bin Muhammad dari ‘Amr bin Syu’aib, yang dinilai ulama sebagai perawi yang dla’if.

Demikianlah diantara cara penyelesaian Rasulullah terhadap pelakughulul yang seluruhnya tidak ada tindakan fisik ( jika hadits nomer empat benar-benar dla’if ) melainkan lebih kepada hukuman moral-teologis saja.  
Korupsi termasuk dari perampasan hifdzu mal (al-ikhtilas) merupakan salah satu tindak kejahatan perampasan hak milik, yaitu memakan harta manusia dengan cara yang batil sebagaimana dijelaskan allah dalam QS. 2:188,

وَلاَتاَءْكلُلُوْااَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِاْلبَاطِلِ وَتَدلوابِهَااِلَى اْلحُكَامِ لِتاَءْكُلُوْافَرِيْقٌاًمِنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ (البقرة: 188)

"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.
Dimana penyalahgunaan harta negara, perusahaan, atau masyarakat, demi kepentingan pribadi ataupun kelompok.
Tindak kejahatan berupa korupsi tampaknya sudah diingatkan pula oleh para Ulama Indonesia masa lalu yang kini mereka sudah wafat. Bahkan sampai diberi contoh kasusnya, pejabat menandatangani kontrak dengan pihak lain lalu mendapatkan komisi, maka itu korupsi namanya. Hal itu sudah dijelaskan dalam hadits, yang dalam kasus ini Imam Ibnu Katsir mengemukakan beberapa hadits dalam menafsiri QS. Ali-‘Imran [3] ayat 161.

وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ [آل عمران/161]

Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. (QS. Ali-‘Imran [3] : 161)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini dalam tafsirnya dengan mengemukakan beberapa hadits tentang ancaman neraka.

عَنْ أَبِى مَالِكٍ الأَشْجَعِىِّ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَعْظَمُ الْغُلُولِ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ذِرَاعٌ مِنَ الأَرْضِ تَجِدُونَ الرِّجْلَيْنِ جَارَيْنِ فِى الأَرْضِ أَوْ فِى الدَّارِ فَيَقْتَطِعُ أَحَدُهُمَا مِنْ حَظِّ صَاحِبِهِ ذِرَاعاً فَإِذَا اقْتَطَعَهُ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ».

Dari Abi Malik Al-Asyja’i dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Ghulul (pengkhianatan/ korupsi) yang paling besar di sisi Allah adalah korupsi sehasta tanah, kalian temukan dua lelaki bertetangga dalam hal tanah atau rumah, lalu salah seorang dari keduanya mengambil sehasta tanah dari bagian pemiliknya. Jika ia mengambilnya maka akan dikalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi pada hari Qiyamat. (HR Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhiib wt Tarhiib II/ 380 nomor 1869)

Hadits-hadits lain yang berhubungan dengan korupsi sangat jelas:

حَدِيثُ سَعِيدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنِ اقْتَطَعَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ ظُلْمًا طَوَّقَهُ اللَّهُ إِيَّاهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ

Diriwayatkan dari Said bin Zaid bin Amr bin Nufail radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara dhalim, maka Allah akan mengalungkan di lehernya pada Hari Kiamat nanti dengan setebal tujuh lapis bumi. (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw pernah bersabda:

(( مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَل ، فَكَتَمَنَا مِخْيَطاً فَمَا فَوْقَهُ ، كَانَ غُلُولاً يَأتِي به يَومَ القِيَامَةِ ))

Barangsiapa di antaramu kami minta mengerjakan sesuatu untuk kami, kemudian ia menyembunyikan satu alat jahit (jarum) atau lebih dari itu, maka perbuatan itu ghulul (korupsi) harus dipertanggung jawabkan nanti pada Hari Kiamat. (HR. Muslim)

عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ قَالَ حَدَّثَنِى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَالَ لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ أَقْبَلَ نَفَرٌ مِنْ صَحَابَةِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالُوا فُلاَنٌ شَهِيدٌ فُلاَنٌ شَهِيدٌ حَتَّى مَرُّوا عَلَى رَجُلٍ فَقَالُوا فُلاَنٌ شَهِيدٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كَلاَّ إِنِّى رَأَيْتُهُ فِى النَّارِ فِى بُرْدَةٍ غَلَّهَا أَوْ عَبَاءَةٍ ».

ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا ابْنَ الْخَطَّابِ اذْهَبْ فَنَادِ فِى النَّاسِ إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلاَّ الْمُؤْمِنُونَ ». قَالَ فَخَرَجْتُ فَنَادَيْتُ « أَلاَ إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلاَّ الْمُؤْمِنُونَ ». رواه مسلم

Abdullah bin Abbas berkata, Umar bin Al-Khatthab menceritakan kepadaku, ia berkata: “Bahwa pada perang Khaibar beberapa sahabat menghadap Rasulullah seraya mengatakan: Fulan mati syahid dan Fulan mati syahid sehingga mereka datang atas seorang lelaki maka mereka berkata: Fulan mati syahid. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Tidak, sesungguhnya saya melihatnya ada di neraka, karena ia menyembunyikan sehelai burdah (baju) atau aba’ah. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Wahai Ibnul Khatthab, pergilah maka serukan kepada orang-orang bahwa tidak masuk surga kecuali orang-orang mu’min.” Ia (Umar) berkata: Maka aku keluar lalu aku serukan: Ingatlah sesungguhnya tidak masuk surga kecuali orang-orang mu’min. (HR. Muslim)

 حَدِيثُ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ الْأَسْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ اللُّتْبِيَّةِ عَمْرٌو وَابْنُ أَبِي عُمَرَ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا لِي أُهْدِيَ لِي قَالَ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ مَا بَالُ عَامِلٍ أَبْعَثُهُ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي أَفَلَا قَعَدَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ فِي بَيْتِ أُمِّهِ حَتَّى يَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَنَالُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةٌ لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةٌ تَيْعِرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَيْ إِبْطَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ مَرَّتَيْنِ *

Diriwayatkan dari Abu Humaid as-Saaidi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi tugas kepada seorang lelaki dari Kaum al-Asad yang dikenali sebagai Ibnu Lutbiyah. Ia ikut Amru dan Ibnu Abu Umar untuk urusan sedekah. Setelah kembali dari menjalankan tugasnya, lelaki tersebut berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: Ini untuk Anda dan ini untukku karena memang dihadiahkan kepadaku. Setelah mendengar kata-kata tersebut, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar. Setelah mengucapkan puji-pujian ke hadirat Allah, beliau bersabda: “Adakah patut seorang petugas yang aku kirim untuk mengurus suatu tugas berani berkata: Ini untuk Anda dan ini untukku karena memang dihadiahkan kepdaku? Kenapa dia tidak duduk di rumah bapak atau ibunya (tanpa memegang jabatan apa-apa) sehingga ia menunggu, apakah dia akan dihadiahi sesuatu atau tidak? Demi Dzat Muhammad yang berada di tangan-Nya, tidaklah salah seorang dari kalian mengambil sesuatu darinya kecuali pada Hari Kiamat kelak dia akan datang dengan memikul di atas lehernya (jika yang diambil itu seekor unta maka) seekor unta itu akan mengeluarkan suaranya, atau seekor lembu yang melenguh atau seekor kambing yang mengembek. “ Kemudian beliau mengangkat kedua-dua tangannya tinggi-tinggi sehingga nampak kedua ketiaknya yang putih, dan beliau bersabda: “Ya Allah! Bukankah aku telah menyampaikannya,” sebanyak dua kali * (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَذَكَرَ الْغُلُولَ فَعَظَّمَهُ وَعَظَّمَ أَمْرَهُ ثُمَّ قَالَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ يَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ فَرَسٌ لَهُ حَمْحَمَةٌ فَيَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ شَاةٌ لَهَا ثُغَاءٌ يَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ نَفْسٌ لَهَا صِيَاحٌ فَيَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ رِقَاعٌ تَخْفِقُ فَيَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ صَامِتٌ فَيَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada bersama kami, beliau menceritakan dengan begitu serius tentang orang yang suka menipu dan khianat. Kemudian beliau bersabda: Pada Hari Kiamat nanti, aku akan bertemu dengan salah seorang dari kamu datang dengan memikul seekor unta yang sedang melenguh di atas tengkuknya dan berkata: Wahai Rasulullah! Tolonglah aku. Lalu aku katakan kepadanya: Aku sudah tidak berwewenang apa-apa lagi untuk (menolong)mu, semuanya telah aku sampaikan (larangan itu) kepadamu. Pada Hari Kiamat nanti, aku juga akan bertemu dengan salah seorang dari kamu datang dengan memikul seekor kuda yang sedang meringkik di atas tengkuknya. Dia berkata: Wahai Rasulullah! Tolonglah aku. Lalu aku katakan kepadanya: Aku sudah tidak mempunyai wewenang apa-apa lagi untuk (menolong)mu, semuanya sudah aku sampaikan kepadamu. Seterusnya pada Hari Kiamat nanti, aku akan bertemu dengan salah seorang dari kamu datang dengan memikul seekor kambing yang sedang mengembek di atas tengkuknya. Dia berkata: Wahai Rasulullah! Tolonglah aku. Maka aku katakan kepadanya: Aku sudah tidak mempunyai wewenang apa-apa untuk (menolong)mu, semuanya sudah aku sampaikan kepadamu. Begitu juga pada Hari Kiamat nanti, aku akan bertemu dengan salah seorang dari kamu datang dengan memikul seorang manusia yang sedang menjerit di atas tengkuknya. Dia berkata: Wahai Rasulullah! Tolonglah aku. Lalu aku katakan kepadanya: Aku sudah tidak mempunyai wewenang apa-apa untuk(menolong)mu, semuanya sudah aku sampaikan kepadamu. Pada Hari Kiamat nanti, aku juga akan bertemu dengan salah seorang dari kamu datang dengan membawa selembar pakaian yang compang-camping di atas tengkuknya dan dia berkata: Wahai Rasulullah! Tolonglah aku. Maka aku katakan kepadanya: Aku sudah tidak mempunyai wewenang apa-apa untuk(menolong)mu, semuanya sudah aku sampaikan kepadamu. Begitu juga pada Hari Kiamat nanti, aku akan bertemu dengan salah seorang dari kamu datang dengan memikul sejumlah harta terdiri dari emas dan perak di atas tengkuknya dan berkata: Wahai Rasulullah! Tolonglah aku. Maka aku katakan kepadanya: Aku sudah tidak mempunyai wewenang apa-apa untuk (menolong)mu, semuanya telah aku sampaikan kepadamu * (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

 حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى خَيْبَرَ فَفَتَحَ اللَّهُ عَلَيْنَا فَلَمْ نَغْنَمْ ذَهَبًا وَلَا وَرِقًا غَنِمْنَا الْمَتَاعَ وَالطَّعَامَ وَالثِّيَابَ ثُمَّ انْطَلَقْنَا إِلَى الْوَادِي وَمَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَبْدٌ لَهُ وَهَبَهُ لَهُ رَجُلٌ مِنْ جُذَامَ يُدْعَى رِفَاعَةَ بْنَ زَيْدٍ مِنْ بَنِي الضُّبَيْبِ فَلَمَّا نَزَلْنَا الْوَادِي قَامَ عَبْدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحُلُّ رَحْلَهُ فَرُمِيَ بِسَهْمٍ فَكَانَ فِيهِ حَتْفُهُ فَقُلْنَا هَنِيئًا لَهُ الشَّهَادَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلَّا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ إِنَّ الشَّمْلَةَ لَتَلْتَهِبُ عَلَيْهِ نَارًا أَخَذَهَا مِنَ الْغَنَائِمِ يَوْمَ خَيْبَرَ لَمْ تُصِبْهَا الْمَقَاسِمُ قَالَ فَفَزِعَ النَّاسُ فَجَاءَ رَجُلٌ بِشِرَاكٍ أَوْ شِرَاكَيْنِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَصَبْتُ يَوْمَ خَيْبَرَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شِرَاكٌ مِنْ نَارٍ أَوْ شِرَاكَانِ مِنْ نَارٍ *

Diriwayatkan daripada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju ke Khaibar. Allah memberikan kemenangan kepada kami, tetapi kami tidak mendapatkan harta rampasan perang berupa emas atau perak. Kami hanya memperoleh barang-barang, makanan dan pakaian. Kemudian kami berangkat menuju ke sebuah lembah dan terdapat seorang hamba bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam milik beliau yang diberikan oleh seorang lelaki dari Judzam. Hamba itu bernama Rifa’ah bin Zaid dari Bani Ad-Dhubaib. Ketika kami menuruni lembah, hamba Rasulullah itu berdiri untuk melepaskan pelananya, tetapi dia terkena anak panah dan ternyata itulah saat kematiannya. Kami berkata: Ketenanganlah baginya dengan Syahid wahai Rasulullah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidak mungkin! Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, sesungguhnya sehelai baju yang diambilnya dari harta rampasan perang Khaibar, yang tidak dimasukkan dalam pembahagian akan menyalakan api Neraka ke atasnya. Abu Hurairah berkata: Maka terkejutlah orang-orang Islam. Lalu datanglah seorang lelaki dengan membawa seutas atau dua utas tali pelana, lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku mendapatkannya semasa perang Khaibar. Lalu Rasulullah s.a.w bersabda: Seutas atau dua utas tali pelana itu dari Neraka. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Demikianlah ayat dan hadits-hadits yang tegas ancamannya atas orang-orang yang menggelapkan harta, korupsi dan sebagainya. Harta-harta itu akan menjerumuskan ke neraka dan dikalungkan di leher pelakunya. Bila yang dikorupsi atau diambil secara dhalim itu bumi maka sampai tujuh lapis bumi dikalungkan. Masih pula pelaku korup itu minta tolong kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam namun dijawab tidak ada pertolongan untuknya karena peringatan tentang larangan korupsi dan semacamnya itu sudah disampaikan semuanya!

Sadarlah wahai para manusia. Bertaubatlah, dan kembalikanlah harta-harta yang kalian peroleh tanpa jalan yang benar; sebelum nyawa dicabut oleh malaikat maut dan kemudian kelak masuk neraka dengan apa saja yang kalian korup itu akan dikalungkan di leher kalian di akherat kelak. 

Yang diperlakuakan dalam ajaran islam bagi seorang KORUPTOR adalah :
1. Harus melunasi tanggungannya/mengembalikan harta yang ia korupsi
2. Dihukum dengan potong tangan bahkan hingga hukuman mati.

ثم رأيت فى منهاج العابدين للغزالى أن الذنوب التى بين العباد إما فى المال ويجب رده عند المكنة فإن عجز لفقر استحله فإن عجز عن استحلاله لغيبته أو موته وأمكن التصدق عنه فعله وإلا فليكثر من الحسنات ويرجع إلى الله ويتضرع إليه فى أن يرضيه عنه يوم القيامة .اهـ

“Kemudian aku melihat dalam kitab Minhaj al-‘Aabidiin karya al-Ghozaly dikatakan : Bahwa dosa yang terjadi antar sesama hamba-hamba Allah adakalanya berhubungan dengan harta benda Dan wajib mengembalikan harta tersebut (pada pemilik harta) bila dalam kondisi berkemungkinan, bila tidak mampu karena kefakirannya maka mintalah halal darinya, bila tidak mampu meminta halal karena ketiadaannya atau telah meninggalnya dan (pemilik tanggungan) berkemungkinan bersedekah, maka bersedekahlah dengan atas namanya, dan bila masih tidak mampu maka perbanyaklah berbuat kebajikan, kembalikan segalanya pada Allah, rendahkanlah diri dihadapanNya agar kelak dihari kiamat Allah meridhoi beban tanggungan harta (yang masih belum tertuntaskan)”.Hasyatul Jamal V/388
_________________________

التعزير هو التأديب بنحو حبس وضرب غير مبرح كصفح ونفى وكشف رأس وتسويد وجه – إلى أن قال – أما التعزير لوفاء الحق المالى فإنه يحبس إلى أن يثبت إعساره وإذا امتنع من الوفاء مع القدرة ضرب إلى أن يؤديه أو يموت لأنه كالصائل .اهـ

Ta’zir adalah bentuk pembelajajaran tatakrama agar bisa menimbulkan efek jera, dapat dilakukan dengan semacam memenjarakan, memukul dengan tanpa merusakkan anggauata tubuh seperti dengan menampar, mengisolisir, membuka penutup kepala dan mencorengi hitam mukanya...Sedang ta’zir yang diberlakukan atas pengembalian harta benda dilakukan dengan mengekangnya hingga ia jatuh miskin, bila dalam kondisi mampu namun tidak mau mengembalikan harta tanggungannya dengan dipukuli hingga menyakitkannya atau membuatnya mati karena ia seperti SHO’IL (orang yang menjarah hak orang lain). Tanwirul Qulub hal. 392
__________________________

وَقَالَ مَالِكٌ إنْ كَانَ غَنِيًّا ضَمِنَ وَإِلَّا فَلَا ، وَالْقَطْعُ لَازِمٌ بِكُلِّ حَالٍ وَلَوْ أَعَادَ الْمَالَ الْمَسْرُوقَ إلَى الْحِرْزِ لَمْ يَسْقُطْ الْقَطْعُ وَلَا الضَّمَانُ

Imam Malik berkata “Jika pelaku tindak pencurian merupakan orang kaya, maka ia menanggung pengembaliannyadan jika buka orang kaya maka tidak harus.Dan hukuman potongan tangan tetap berlaku pada semua kondisi, bila ia mengembalikan uang curia ketempat penyimpanan uang (semula) maka juga tidak menggugurkan hukuman potong tangan dan tanggiungjawab mengembalikannya. Hasyiyah al-Jamal 21/188
_______________________

والخلاصة: أنه يجوز القتل سياسة لمعتادي الإجرام ومدمني الخمر ودعاة الفساد ومجرمي أمن الدولة، ونحوهم.

Dan kesimpulannya adalah sungguh boleh menghukum mati sebagai kebijakan bagi orang-orang yang sering melakukan tindakan kriminal, pecandu minuman keras, para penganjur tindakan kejahatan dan pelaku tindakan subversif yang mengancam keamanan negara dan semisalnya. Al-Fiqh al-Islaam VII/518‎

Penjelasan Hukum Bagi Pencuri

 

Salah satu kebutuhan pokok yang harus ada dalam setiap tatanan kehidupan manusia, dari kehidupan yang terkecil sampai yang terbesar adalah adanya peraturan dengan segala konsekuensinya yang dijadikan sebagai pijakan bagi semuanya. Karenanya, di setiap lini kehidupan pasti ada peraturan atau undang-undang yang berlaku, baik tertuang ataupun tidak, tertulis ataupun tidak.

Begitu pula dengan agama ini yang berfungsi sebagai rambu-rambu bagi seluruh manusia, yang telah Allah Azza wa Jalla pilihkan untuk makhluk-Nya. Allah Azza wa Jalla adalah Dzat yang Maha Adil, Maha Mengetahui dan Maha Penyayang kepada para makhluk-Nya. Apa saja yang telah diatur dan dipilihkan-Nya buat manusia, tidak mungkin akan menyengsarakan mereka.

Di antara peraturan yang telah ditegaskan Allah Azza wa Jalla demi kemaslahatan seluruh manusia adalah peraturan tentang hal pencurian, yang berupa sangsi tegas dengan hukuman potong tangan bagi para pelakunya.

Menurut bahasa pencurian adalah:
السرقة هي اخذ المال المتقو ملك للغير فى حرز مثله خفية         
               
Artinya: Pencurian adalah mengambil harta orang lain yang bernilai secara diam-diam dari tempatnya yang tersimpan”.
Sedangkan menurut syara’, pencurian adalah:
السرقة هي أخذ المكلف خفية قدر عشرة دراهم فضروبة محرزة أو خافظ  بلا شبهة .                                                                                  
Artinya: pencurian adalah mengambil harta orang lain yang oleh mukallaf secara sembunyi-sembunyi dengan nisab 10 dirham yang dicetak, disimpan pada tempat penyimpanan yang biasa digunakan atau dijaga oleh seorang penjaga dan tidak ada syubhat.

Adapun pencuri, maka wajib untuk dipotong tangan kanannya berdasarkan Al-Kitab (Al-Qur’an), As-Sunnah, dan ijma’. Allah ta’ala telah berfirman :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ * فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barang siapa bertobat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Maaidah : 38-39].
Setelah adanya ketetapan hukum hadd - baik dengan adanya bukti atau dengan adanya ikrar pengakuan - tidak boleh untuk mengakhirkan pelaksanaan hukumannya; baik  dengan dipenjara, uang tebusan, atau yang lainnya. Akan tetapi ia harus dipotong tangannya pada waktu-waktu yang diagungkan dan selainnya. Hal itu dikarenakan penegakan hukuman hadd termasuk ibadah, seperti halnya jihad fii sabiililah. Maka, sudah sepantasnyalah untuk diketahui menegakkan huduud merupakan rahmat dari Allah bagi hamba-hamba-Nya.Oleh karena itu, seorang pemimpin harus bersikap tegas dalam penegakan hukum hadd. Tidak boleh ada rasa kasihan dalam menegakkan agama Allah hingga ia kemudian meniadakannya. Tidak lain dari tujuannya dalam penegakan hukum hadd tersebut adalah rasa kasih sayang terhadap makhluq dengan cara menahan manusia dari perbuatan-perbuatan munkar. Bukan sebagai obat terhadap rasa amarahnya ataupun keinginan berlaku sombong atas makhluk. (Tujuan penegakan hukuman hadd) adalah sebagaimana kedudukan seorang ayah menghukum anaknya. Jika saja ayah itu menahan untuk menghukum anaknya – sebagaimana dikatakan ibu, karena rasa sayang dan belas kasih - , niscaya rusaklah keadaan si anak. Seorang ayah menghukum anaknya hanyalah sebagai perwujudan rasa kasih sayang kepadanya dan upaya memperbaiki keadaan dirinya. (Ia tetap menghukumnya) meskipun sangat mencintainya dan mengutamakan agar jangan sampai ia memberikan hukuman kepadanya. (Tujuan penegakan hukuman hadd tadi) juga seperti kedudukan seorang dokter kepada orang sakit dengan memberikan minum obat yang pahit, mengamputasi anggota tubuh yang membusuk, membekamnya, memotong urat dengan cara mengirisnya, dan yang sejenisnya. Bahkan, hal itu seperti halnya seseorang yang minum obat yang sangat pahit dan apa saja dari hal yang tidak disukai yang ia masukkan dalam tubuhnya yang bertujuan untuk memperoleh kesegaran/kesehatan.
Demikianlah disyari’atkannya huduud, dan demikian pula sepatutnya niat seorang pemimpin dalam menegakkannya. Sebab, selama niatnya itu bertujuan untuk kebaikan rakyatnya dan mencegah perbuatan-perbuatan munkar, dengan mendatangkan manfaat bagi mereka, menahan kemudlaratan dari mereka, mengharap dengannya wajah Allah ta’ala­, dan mentaati perintahnya; niscaya Allah akan lunakkan hati-hati manusia baginya, memudahkan baginya sebab-sebab (datangnya) kebaikan, mencukupkannya dari hukuman kemanusiaan, dan kadangkala hal itu menyebabkan orang yang ditegakkan hukum ‎hadd padanya ridla ketika hukuman itu dijalankan padanya.
Namun jika tujuan pemimpin tersebut adalah untuk berlaku sombong atas manusia dan menegakkan kekuasaannya agar manusia mengagungkannya atau agar manusia mau berkorban untuknya dari harta benda; niscaya tujuannya itu akan berlawanan atasnya. Diriwayatkan dari ’Umar bin ’Abdil-’Aziz ‎radliyallaahu ’anhu – bahwasannya sebelum menjabat khalifah, ia adalah seorang wakil/gubernur Al-Waliid bin ’Abdil-Malik di Madinah. Ia telah memimpin penduduk Madinah dengan kepemimpinan yang sangat baik. Satu ketika, datanglah Al-Hajjaaj (bin Yusuf Ats-Tsaqafiy) dari ’Iraaq dimana ia telah memperlakukan mereka (yaitu penduduk Madinah) dengan siksaan yang buruk. Maka ia bertanya kepada penduduk Madinah perihal ’Umar : ”Bagaimana kewibawaannya di tengah-tengah kalian ?”. Mereka menjawab : ”Kami tidak sanggup untuk memandang (mata)-nya”. Al-Hajjaj kembali bertanya : ”Bagaimana kecintaan kalian kepadanya ?”. Mereka menjawab : ”Ia lebih kami cintai daripada keluarga kami sendiri”. Ia kembali bertanya : ”Bagaimana cara ia menghukum di tengah-tengah kalian ?”. Mereka menjawab : ”Antara tiga hingga sepuluh kali cambukan”. Akhirnya Al-Hajjaj berkata :
هذه هيبته، وهذه محبته، وهذا أدبه، هذا أمر من السماء
”Inilah kewibawaannya. Inilah hukuman yang ia tegakkan. Dan inilah perintah yang datang dari langit”.
Apabila tangan seorang pencuri telah dipotong, maka dianjurkan agar (tangan yang terpotong tersebut) digantungkan di lehernya.[Ini merupakan pendapat madzhab Syafi’iyyah dan Hanaabilah. Adapun pendapat madzhab Hanafiyyah adalah tidak dianjurkan untuk menggantungnya. Hal itu diserahkan pada imam. Jika ia melihat padanya ada kemaslahatan, maka hal itu dilakukan. Jika tidak, maka tidak dilakukan.] Jika ia mencuri untuk kedua kalinya, maka dipotong kaki kirinya.
[ Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha dan ahli ilmu dari empat madzhab. Ibnu ’Abdil-Barr berkata :
ثبت عن الصحابة رضي الله عنهم قطع الرجل بعد اليد وهم يقرءون وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
”Telah tetap dari para shahabat radliyallaahu ’anhu bahwasannya mereka memotong kaki setelah (memotong) tangan dimana waktu itu mereka membaca ayat : ”Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” [Dinukil melalui perantaraan Shahih Fiqhis-Sunnah 4/131].
Dari ’Amru bin Dinar bahwasannya Najdah bin ’Aamir pernah menulis surat kepada Ibnu ’Abbas : ”Seorang pencuri yang mencuri, maka ia dipotong tangannya. Kemudian jika ia mengulanginya, apakah ia dipotong tangannya yang lain ?. Allah ta’ala telah berfirman (yang artinya) : ”Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”. Maka Ibnu ’Abbas menjawab :
بلى، ولكن ورجله من الخلاف
”Benar (apa yang yang kamu katakan tentang ayat tersebut), akan tetapi (jika ia mengulanginya maka yang dipotong adalah) kakinya yang sebelah kiri” [Dikeluarkan oleh ’Abdurrazzaq 10/185 dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa 11/354 dengan sanad shahih].] 
Jika ia mencuri untuk ketiga dan keempat kalinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat yang ternukil dari para shahabat dan para ulama setelahnya. Pendapat pertama, dipotong tangan dan kaki sisanya pada pencurian yang ketiga dan keempat. Ini merupakan pendapat Abu Bakr radliyallaahu ’anhu, Asy-Syaafi’i, dan Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat darinya. Pendapat kedua, bahwasannya ia dipenjara. Ini merupakan pendapat ’Aliy radliyallaahu ’anhu, para ulama Kuffah, dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain.
[Kami lebih condong pada adalah pendapat pertama yang merupakan pendapat jumhur ’ulama. Namun kemudian mereka berbeda pendapat pada pencurian yang kelima. Jumhur ahli ilmu yang memegang pendapat ini mengatakan bahwa ia dihukum ta’zir dan dipenjara. Sebagian yang lain mengatakan ia dibunuh pada kali yang kelima berdasarkan hadits :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبدِ اللهِ قَالَ : جِيءَ بِسَارِقٍ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : "اقْتُلُوهُ". فَقَالُوا : "يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّمَا سَرَقَ". فَقَالَ : "اقْطَعُوهُ". قَالَ : فَقُطِعَ، ثُمَّ جِيءَ بِهِ الثَانِيَةَ فَقَالَ : "اقْتُلُوهُ". فَقَالُوا : "يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّمَا سَرَقَ". فَقَالَ : "اقْطَعُوهُ". قَالَ : فَقُطِعَ، ثُمَّ جِيءَ بِهِ الثَّالِثَةَ فَقَالَ : "اقْتُلُوهُ". فَقَالُوا : "يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّمَا سَرَقَ". فَقَالَ : "اقْطَعُوهُ". ثُمَّ أُتِيَ بِهِ الرَّابِعَةَ فَقَالَ : "اقْتُلُوهُ". فَقَالُوا : "يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّمَا سَرَقَ". فَقَالَ : "اقْطَعُوهُ". فَأُتِيَ بِهِ الْخَامِسَةَ فَقَالَ : "اقْتُلُوهُ". قَالَ چَابِرٌُ : فَانْطَلَقْنَا بِهِ فَقَتَلْنَاهُ، ثُمَّ اجْتَرَرْنَاهُ فَأَلْقَيْنَاهُ فِي بِئْرٍِ، وَرَمَيْنَا عَلَيْهِ 
الْحِجَارَةَ
Dari Jaabir bin ’Abdillah ia berkata : ”Didatangkan seorang pencuri kepada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka beliau bersabda : ’Bunuhlah ia’. Para shahabat berkata : ’Wahai Rasulullah, ia hanya mencuri’. Maka beliau bersabda : ’Potonglah (tangannya kanan)-nya’. Jabir berkata : ”Maka dia pun dipotong tangannya. Kemudian orang itu dibawa untuk yang kedua kalinya, maka beliau bersabda :’Bunuhlah ia’. Para shahabat berkata : ’Wahai Rasulullah, ia hanya mencuri’. Maka beliau bersabda : ’Potonglah (kaki kiri)-nya’. Jabir berkata : ”Maka dia pun dipotong (kakinya). Kemudian ia dibawa untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda : ’Bunuhlah ia’. Para shahabat berkata : ’Wahai Rasulullah, ia hanya mencuri’. Maka beliau bersabda : ’Potonglah (tangan)-nya’. Kemudian ia dibawa untuk yang keempat kalinya, maka beliau bersabda : ’Bunuhlah ia’. Para shahabat berkata : ’Wahai Rasulullah, ia hanya mencuri’. Maka beliau bersabda :’Potonglah (kaki)-nya’. Kemudian ia dibawa untuk yang kelima kalinya, maka beliau bersabda : ’Bunuhlah ia’. Jabir berkata : ”Maka kami pun membawanya dan membunuhnya. Lalu melemparkannya ke dalam sebuah sumur dan melemparinya dengan batu” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4410, An-Nasa’iy no. 4993, dan Al-Baihaqiy 8/272]
Para ulama berbeda pendapat mengenai penerimaan hadits ini. Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits ini dla’if sebagaimana dikatakan oleh An-Nasaa’iy, Ibnu ’Abdil-Barr, dan yang lainnya. Akan tetapi sebagian yang lain mengatakan hasan dengan syawahid-nya – dan memang dhahir sanad hadits ini adalah dla’if - ; sebagaimana pendapat Asy-Syafi’i, Al-Albaaniy (Irwaaul-Ghaliil 8/86-88), Al-Hilaaly (Iiqaadhul-Himaam hal. 200).  Jikalau hadits ini maqbul (diterima – karena berderajat shahih/hasan), maka pendapat yang menyatakan dibunuhnya seseorang pada pencurian yang kelima adalah pendapat yang kuat. Lain halnya jika hadits ini ghairu maqbul.]
Dan pencurian itu hanyalah dipotong apabila memenuhi nishab pencurian [Madzhab Dhahiriyyah menyelisihi ketetapan ini dimana mereka berpendapat tidak ada nishab dalam pencurian. Sedikit atau banyak barang yang diambil harus ditegakkan hukum potong tangan. Mereka berdalil dengan firman Allah (yang artinya) : ” Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”. Di sini tidak ada batasannya, baik yang dicuri itu sedikit atau banyak. Mereka berdalil pula dengan sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam :
لَعَنَ اللهُ السَّارِقَ، يَسْرِقُ الْبَيضَةَ فَتُقَْْعُ يَدُهُ، وَيَسْرِقُ الْحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ
”Allah melaknat pencuri yang mencuri sebutir telur kemudian tangannya dipotong, dan mencuri seutas tali kemudian tangannya dipotong” [HR. Al-Bukhaariy no. 6783 dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu].
Namun pendapat ini lemah karena bertentangan dengan dalil-dalil yang begitu banyak yang menetapkan nishab pencurian. QS. Al-Maaidah ayat 38 adalah dalil yang bersifat muthlaq yang harus dibawa kepada dalil muqayyad jika berkesesuaian sebab dan hukum. Dan dalil-dalil yang bersifat muqayyad ini ada (banyak) sebagaimana dibawakan oleh Syaikhul-Islam selanjutnya. Adapun hadits Abu Hurairah ‎radloyallaahu ’anhu di atas, Asy-Syaikh ’Abdullah bin ’Abdirrahman Ali Bassam menjawab :
فالمراد بذلك بيان سخف وضعف عقل السارق وخساسته ودناءته، فإنه يخاطر بقطع يده للأشياء الحقيرة التافهة
”Maksudnya adalah sebagai penjelasan kelemahan akal pencuri dan kehinaannya karena dia menjerusmuskan tangannya kepada sesuatu yang hina dan rendah. Ungkapan ini termasuk jenis balaghah, yang di dalamnya ada istilahtanfir, tabsyi’, penggambaran perbuatan orang durhaka dengan suatu gambaran yang buruk dan hina” [Taisirul-’Allam Syarh ’Umdatil-Ahkaam 2/483 no. 351 – Daar Ibnil-Haitsam, Cet. Th. 1425].], 
Yaitu ¼ (seperempat) dinar atau 3 (tiga) dirham menurut jumhur ulama dari kalangan ahli hijaaz, ahli hadits, dan selain mereka seperti Maalik, Asy-Syaafi’iy, dan Ahmad. Sebagian mereka ada yang mengatakan (bahwa nishab pencurian itu) adalah 1 (satu) dinar atau 10 (sepuluh) dirham.
[Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan pengikutnya. Mereka berdalil dengan hadits :
لا يقطع السارق إلا في عشرة دراهم
”Tidak dipotong (tangan) seorang pencuri kecuali bila mencapai sepuluh dirham”[Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni no. 3428;dla’if].
قطع رسول الله صلى الله عليه وسلم يد رجل في مجن قيمته دينار أو عشرة دراهم
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam memotong tangan seorang laki-laki yang mencuri perisai seharga satu dinar atau sepuluh dirham” [HR. Abu Dawud no. 4387 dan An-Nasa’i no. 4947; dla’if].
Dan beberapa atsar dari shahabat dan tabi’in yang tidak sepi dari kritik [lihat Sunan Ad-Daruquthni, Kitaabul-Huduud no. 3421-3432 – Muassasah Ar-Risalah, Cet. 1/1424].] 
Barangsiapa yang mencuri senilai satu nishab, maka ia dipotong berdasarkan kesepakatan. Dalam Shahihain dari shahabat Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma ‎
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَطَعَ فِي مِجَنٍ ثَمَنُهُ ثَلاَثَةُ دَرَاهِمَ
”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam memotong (tangan seorang pencuri) yang mencuri perisai yang harganya tiga dirham”.
Dalam lafadh Muslim disebutkan :
قَطَعَ سَارِقاً فِي مِجَنٍ قِيْمَتُهُ ثَلاَثَُ دَرَاهِمَ
”Dipotong (tangan) seorang pencuri yang mencuri perisai seharga tiga dirham”.

Dalam Shahihain dari ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa, ia berkata : Telah berkata Rasulullah ‎shallallaahu ’alaihi wasallam :
تُقْطَعُ الْيَدُ فِي رُبُعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِداً
”Dipotong tangan (seorang pencuri) karena (mencuri) seperempat dinar atau lebih”.
Dalam lafadh Muslim disebutkan :‎
لاَ تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلَّا فِي رُبُعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِداً
”Tidaklah dipotong tangan seorang pencuri kecuali (jika ia telah mencuri sesuatu) senilai seperempat dinar atau lebih”.
Dalam riwayat Al-Bukhari, beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اقْطَعُوا فِي رُبُعِ دِينَارٍ، وَلاَ تَقْطَعُوا فِيمَا هُوَ أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ
“Potonglah karena (mencuri sesuatu senilai) seperempat dinar, dan jangan dipotong karena (mencuri) sesuatu yang kurang dari itu”.
Seperempat dinar pada waktu itu adalah senilai tiga dirham; dan satu dinar itu senilai dengan duabelas dirham.
Dan tidaklah seseorang itu disebut pencuri hingga ia mengambil harta dari tempat simpanannya. Adapun harta yang hilang dari pemiliknya, buah-buahan yang berada di pohon di padang pasir tanpa pagar, binatang ternak tanpa penggembala di sisinya, atau yang semisalnya; maka (orang yang mengambilnya) tidaklah dipotong. Akan tetapi baginya hukum ta’zir, yaitu digandakan (dua kali lipat) baginya denda, sebagaimana terdapat dalam hadits.

Para ahli ilmu (ulama) telah berbeda pendapat dalam penggandaan denda dua kali lipat ini. Diantara yang berpendapat demikian adalah Ahmad dan yang lainnya. Telah berkata Raafi’ bin Khadiij : ”Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
لا قَطْعَ فِي ثَمَرٍ وَلا كَثَرٍ
”Tidak ada (hukum) potong tangan dalam (pencurian) tsamar dan katsar (tandan kurma) ” [Diriwayatkan oleh Ahlus-Sunan].
Dari ’Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya radliyallaahu ’anhu ia berkata :
سَمِعْتُ رَجُلاً مِنْ مُزَيْنَةَ يَسْأَلُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ، جِئْتُ أَسْأَلُكَ عَنِ الضَّالَةِ مِنَ الْإِبِلِ. قَالَ : ((مَعَهَا حِذَاؤُهَا وَسِقَاؤُهَا، تَأْكُلُ الشَّجَرَ، وَتَرِدُ الْمَاءَ، فَدَعْهَا حَتَّى يَأْتِيْهَا بَاغِيهَا)). قَالَ : فَالضَّالَةُ مِنَ الْغَنَمِ ؟. قَالَ : ((لَكَ أَوْ لِأَخِيْكَ أَوْ لِذِئْبٍِ، تَجْمَعُهَا حَتَّى يَأْتِيْهَا بَاغِيْهَا)). قَالَ : فَالْحَرِيْسَةُ الَّتِي تُأْخَذُ مِنْ مَرَاتِعِهَا ؟. قَالَ : ((فِيْهَا ثَمَنُهَا مَرَّتَيْنِ وَضَرْبٌ نَكَالٌ. وَمَا أُخِذَ مِنْ عَطَنِهِ، فَفِيهِ الْقَطْعُ إِذَا بَلَغَ مَا يُأْخَذُ مِنْ ذَلِكَ ثَمَنَ الْمِجَنِّ)). قَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ، فَالثَّمَرُ وَمَا أُخِذَ مِنْ أَكْمَامِهَا ؟. قَالَ : ((مَنْ أَخَذَ بِفَمِهِ، وَلَمْ يَتَّخِذْ خُبْنَةً، فَلَيْسَ عَلَيْهِ شَيْءٌ، وَمَنِ احْتَمَلَ فَعَلَيْهِ ثَمَنُهُ مَرَّتَيْنِ، وَضَرْبٌ نَكَالٌ، وَمَا أُخِذَ مِنْ أَجْرَانِهِ فَفِيْهِ الْقَطْعُ إِذَا بَلَغَ مَا يُأْخَذُ مِنْ ذَلِكَ ثَمَنَ الْمِجَنِ، وَمَا لَمْ يَبْلُغْ ثَمَنَ الْمِجَنِّ ، فَفِيْهِ غَرَامَةُ مِثْلَِيْهِ وَجِلْدَاتٌ نَكَالٌ)).
”Aku mendengar seorang laki-laki dari Muzainah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Ia berkata : ’Wahai Rasulullah, aku bertanya kepada engkau mengenai unta yang tersesat’. Beliau menjawab : ’Onta itu membawa sepatunya, membawa tempat minumnya, memakan pepohonan, dan meminum air’. Maka biarkanlah ia hingga ada orang yang mencarinya (yaitu pemiliknya) datang’. Ia bertanya kembali : ’Bagaimana halnya dengan kambing yang tersesat ?’. Maka beliau menjawab : ’Ia adalah untukmu, untuk saudaramu, dan untuk serigala. Kumpulkanlah kambing-kambing itu hingga ada orang yang mencarinya (yaitu pemiliknya) datang’. Ia kembali bertanya : ’Bagaimana halnya dengan kambing yang diambil dari tempat gembalaannya ?’. Beliau menjawab : ’Ia dikenakan denda dua kali lipat dari harga kambing itu dan dihukum cambuk. Dan apa-apa yang diambil dari tempat menderum unta, maka hukumannya adalah dipotong apabila yang diambil itu mencapai dengan harga perisai (yaitu seperempat dinar)’. Ia bertanya kembali : ’Wahai Rasulullah, bagaimana dengan buah-buahan dan apa saja yang diambil dari tangkainya ?’. Maka beliau menjawab : ’Barangsiapa yang mengambil dengan mulutnya (yaitu ia makan) tanpa mengantonginya, maka tidak ada hukuman atasnya. Barangsiapa yang membawanya, maka baginya denda dua kali lipat dari harganya dan hukum cambuk. Dan apa saja yang diambil dari tempat penjemurannya, maka baginya hukum potong apabila yang diambil itu mencapai harga perisai.Dan apa saja (yang diambil) yang tidak mencapai harga perisai, maka baginya hukuman denda dua kali lipat dan dihukum beberapa kali cambukan” [Diriwayatkan oleh Ahlus-Sunan, akan tetapi ini merupakan redaksi An-Nasaa’iy].

[Hadits ini men-takhshish hadits sebelumnya (yaitu hadits Raafi’ bin Khaadiij), dimana seseorang yang mencuri tsamar yang sudah tersimpan dalam tempat pengeringan (jariin) tetap dipotong tangannya jika telah mencapainishab harga perisai (seperempat dinar). Senada dengan keterangan Ibnu Taimiyyah sebelumnya. Ath-Thahaawiy berkata :
بذلك أيضا ففرق رسول الله صلى الله عليه وسلم في الثمار المسروقة بين ما أواه الجرين منها وبين ما لم يأوه وكان في شجره فجعل فيما أواه الجرين منها القطع وفيما لم يأوه الجرين الغرم والنكال
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam membedakan buah yang dicuri antara buah yang disimpan di tempat pengeringan dengan buah yang belum disimpan yaitu yang masih berada di pohon. Dan menetapkan hukum potong tangan dalam pencurian buah yang telah disimpan. Adapun buah yang belum disimpan, maka sanksinya adalah denda dan hukuman” [Syarh Ma’anil-Aatsaar 3/173].]

Oleh karena itu lah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
لَيْسَ عَلَى الْمُنْتَهِبِ وَلا عَلَى الْمُخْتَلِسِ وَلا الْخَائِنِ قَطْعٌ
”Tidak ada hukum potong tangan pada muntahib (perampas), mukhtalis (pencopet), dan khaain (pengkhianat)”.

Muntahib adalah orang yang merampas sesuatu (milik orang lain) sedangkan orang-orang melihatnya. Mukhtalis adalah orang yang menarik/mengambil sesuatu (milik orang lain), dan ia mengetahui barang tersebut sebelum mengambilnya. Adapun tharaar - ia adalah orang yang merobek kantong, sapu tangan, tempat simpanan, dan sejenisnya – maka ia dipotong tangannya menurut pendapat yang shahih.

KEJAMKAH HUKUM POTONG TANGAN ITU?‎

Tudingan bahwa agama Islam kejam, melanggar hak asasi manusia, terbelakang dan sangat primitive dalam penerapan hukuman, sudah lama dihembuskan oleh orang-orang yang dungu dan tidak mau berfikir jauh ke depan. Yaitu berupa emosi sesaat dan hanya memperhatikan kepentingan kelompok kecil yang bersalah dan yang berhak atas hukuman tersebut serta menutup mata dan telinga mereka terhadap masa depan masyarakat banyak dan orang-orang yang telah dirugikan dari pencurian ini.

Perlu di ingat, bahwa harta sangat berharga bagi manusia. Sehingga, dalam hal ini perhatian Islam kepada harta sangatlah besar, begitu pula perintah untuk menjaganya. Rasulullah n menyandingkan keharamannya dengan permasalahan nyawa.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَ الَكُمْ وَأَعْرَا ضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامُ، كَحُرْ مَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِيْ بَلَدِ كُمْ هَذَا، فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَأ

Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian diharamkan atas kalian, sebagaimana diharamkannya hari kalian pada saat ini, di tempat ini, dan di bulan ini [HR. Bukhâri]

Pernahkah mereka berpikir, bagaimanakah perasaan orang-orang yang kehilangan harta mereka? Terlebih bila harta yang terambil adalah harta yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun, kemudian disimpan ditempat yang dianggap aman, ternyata hilang begitu cepat. Berpikirkah mereka, bagaimana dahsyatnya efek jera yang akan memberi keamanan bagi masyarakat luas setelahnya, dari hukuman potong tangan yang mereka anggap sebagai pelanggar norma kehidupan mereka? Hak asasi siapakah yang mereka perjuangkan?

Dalam kasus pencurian ini, syariat Islam berusaha menjaga kepentingan orang banyak daripada menjaga kepentingan si pencuri. Memberi hukuman yang berat berupa memotong tangan bertujuan membasmi sesuatu yang menjadikan kecemasan manusia pada harta mereka. Sehingga Allah Azza wa Jalla menjadikannya sebagai cambuk untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar dibandingkan dengan kepentingan si pencuri yang hanya sesaat dan banyak menimbulkan kerusakan. Ini adalah hukuman yang setimpal yang penuh faedah dan hikmah. Bila seseorang mau berpikir, hukuman setimpal bukan berarti menzhalimi si pelaku, tetapi ini merupakan keadilan dalam peraturan Allah Azza wa Jalla yang pasti baik bagi makhluk-Nya karena hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatunya. Bila hukuman ini dibiarkan diatur oleh seorang mujtahid atau seorang hakim atau kelompok tertentu, pasti akan menyebabkan saling bertentangan. Dan hasilnya tidak dapat dipastikan akan dapat mewujudkan suatu keadilan yang dapat dirasakan oleh manusia, sehingga merasa tenang dari kezhaliman dan kekerasan orang lain.

SETIMPALKAH HUKUMAN POTONG TANGAN DENGAN BARANG YANG DICURI?
Ibnu Jauzi rahimahullah dan Abdul Wahhâb al-Maliki rahimahullah, mengomentari beratnya hukuman yang diberlakukan dalam had pencurian, bila dibandingkan antara harta yang tidak seberapa dengan hukuman potong tangan yang harganya bisa jadi berlipat-lipat, mereka mengatakan, “Ketika tangan tersebut dapat dijaga maka ia adalah sesuatu yang berharga, namun bila ia berkhianat maka itu akan menjadi murah”.‎

PERAMPASAN BARANG APAKAH BERLAKU HUKUMAN POTONG TANGAN?
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ,”Penerapan hukum potong tangan bagi pencuri senilai tiga dirham dan tidak diterapkannya kepada pelaku pencopetan, perampasan dan pemaksaan merupakan kesempurnaan hikmah syariat. Juga karena seorang pencuri sulit untuk dicegah karena ia masuk rumah orang lain secara sembunyisembunyi, merusak tempat penyimpanan dan kunci. Dan tidak memungkinkan pemilik barang melakukan penyimpanan lebih dari itu. Kalau seandainya potong tangan tidak disyariatkan, maka akan terjadi saling mencuri antar manusia, kerusakan akan membesar, semakin berbahaya. Berbeda dengan pelaku pencopetan dan perampasan, karena dia mengambil secara terangterangan dengan penglihatan manusia, yang memungkinkan mereka dapat mengambilnya kembali dari kedua tangannya dan mengembalikan hak orang yang dizhalimi atau bersaksi di hadapan hakim.‎

Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim bahwa Qâdhi Iyâd rahimahullah berkata:”Allah Azza wa Jalla menjaga harta dengan mewajibkan potong tangan bagi pencuri, dan tidak memberlakukannya pada selain pencurian seperti penjambretan, pemalakan, atau pemaksaan karena perbuatan-perbuatan tersebut lebih sedikit/ringan daripada pencurian. Dan juga korbannya dimungkinkan bisa mengambil kembali dengan meminta tolong kepada penguasa serta lebih mudah untuk ditegakkan bukti atasnya dibandingkan dengan kasus pencurian, karena jarang sekali ada bukti. Maka, pencurian itu dianggap merupakan perkara yang besar dan hukumannya lebih berat untuk lebih membuat jera.

DI ANTARA FAEDAH HUKUMAN POTONG TANGAN‎

Bila hukuman ini dilaksanakan, maka akan menghasilkan empat hal:
1. Keimanan terhadap Islam, baik dalam akidah, syariah atau manhaj.
2. Terwujudnya syariat Allah Azza wa Jalla pada seluruh hukumhukumnya, baik secara politik, ekonomi maupun sosial.
3. Membuktikan faedah yang dihasilkan dari hokum hudûd kepada akal dan kehidupan nyata.
4. Semangat untuk mewujudkan kemaslahatan bagi orang banyak daripada kebaikan perorangan.‎

SEBAB DAN SYARAT HUKUM POTONG TANGAN‎

Yang menjadi sebab dapat dijatuhkan hokum potong tangan kepada seseorang adalah karena pencurian. Sebagaimana di firmankan oleh Allah Azza wa Jalla yang artinya ,

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [al-Mâidah/5:38]

Pencurian yang dimaksud di sini adalah pengambilan harta dari pemiliknya, atau wakilnya dengan cara sembunyi sembunyi.

Harta yang dimaksud di atas tidak termasuk harta yang ditiadakan oleh syariat. Walaupun secara bahasa dianggap sebagai harta. Seperti arak, anjing, dll. Sehingga apabila seseorang mencuri anjing maka tidak akan dikenakan hukum potong tangan. Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan, “….dan mereka telah sepakat bahwa seorang Muslim bila ia mencuri khamer dari saudaranya maka ia tidak dipotong (tangannya)…..”

Dari pengertian di atas dapat dipahami pula bahwa kalimat “pemiliknya atau wakilnya” tidak memasukkan pencurian selain harta yang bukan miliknya, seperti harta yang masih menjadi milik orang lain dari hasil merampas , korupsi, dll. Apabila ada orang yang mencurinya maka tidak sampai kepada hukum potong tangan.

Apakah ini berarti diperbolehkan mencuri dari seorang yang zhalim atau orang yang telah melakukan perampasan? Dalam hal ini ada dua keadaan, bila niatnya adalah untuk mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya, maka tidak mengapa. Namun bila untuk kepentingan pribadi atau keluarganya sendiri, maka jelas tidak diperbolehkan.

SYARAT DILAKSANAKANNYA HUKUMAN PENCURIAN‎

Hukum potong tangan bukanlah hukuman yang asal dilakukan tanpa ada kriteria tertentu. Namun ia adalah hukuman yang adil, yang harus dipenuhi kriterianya, sehingga pelakunya benar-benar berhak untuk dipotong tangannya supaya menghasilkan efek jera baginya dan bagi orang lain, tanpa mengabaikan hak si pelakunya.

Syarat yang harus dipenuhi dari pelaku pencurian itu sendiri, antara lain:

• Ia seorang yang mukallaf, berniat untuk mencuri, tidak terpaksa dalam mencuri, tidak didapati adanya hubungan antara pencuri dengan yang dicuri dan tidak ada syubhat dalam melakukan pencurian. Yang dimaksud dengan mukallaf adalah seorang yang baligh dan berakal.

• Tidak terpaksa, bukan seorang yang dipaksa oleh orang lain untuk melaksanakan pencurian, dengan ancaman yang membahayakan nyawanya.

• Tidak didapati adanya hubungan kekerabatan, di sini pengertiannya adalah harta yang dicuri bukan harta anaknya sendiri. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “ Kamu dan harta kamu adalah milik bapak kamu”, atau harta bapak atau orang tuanya sendiri (menurut pendapat mayoritas para ulama). Karena anaknya adalah bagian dari orang yang akan mewarisi hartanya dan ia masih bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepadanya, atau dari harta suaminya atau istrinya. Adapun hubungan keluarga/kekerabatan yang lainnya maka tidak ada pengaruhnya .

• Tidak ada syubhat dalam melakukan pencurian. Maksudnya adalah tidak dalam kondisi terpaksa dalam melakukannya, misalnya ia lapar, sangat membutuhkan harta, dan sebagainya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Ini adalah syubhat yang kuat yang dapat memalingkan hukum had karena ia sangat membutuhkannya. Ini adalah (alasan) yang lebih kuat dibandingkan dengan syubhat yang disebutkan oleh banyak para ulama…)

Di antara syarat yang harus dipenuhi dalam kriteria pencurian hukuman potong tangan, yang berkaitan dengan barang yang dicuri antara lain:

1. Pencurian dilakukan dari tempat /penyimpanan yang terjaga. Ibnu Mundzir rahimahullah berkata,”Mereka sepakat bahwa potong tangan diberlakukan kepada orang yang mencuri dari tempat penyimpanan.”Yang dimaksud tempat penyimpanan/yang terjaga di sini adalah tempat penunjang yang dapat menjaga harta yang dimaksudkan dengan aman; misalnya rumah yang terkunci, lemari, atau toko yang ditutup dan semisalnya.

Pengarang Ar-Raudhah Nâdiyah (2/277) berkata: “Al-hirzu/tempat simpanan adalah yang dianggap masyarakat sebagai tempat penyimpanan harta tersebut, seperti lumbung untuk menyimpan gabah, kandang untuk menyimpan binatang dan keranjang untuk menyimpan buah-buahan.”

Tempat ini berbeda antara daerah/negara satu dengan yang lainnya; disesuaikan dengan bentuk barang, tempat yang biasa digunakan untuk penyimpanan. Bila pencurian yang dilakukan bukan pada tempat yang terjaga, seperti uang yang ditaruh di depan pintu rumah, maka pelakunya tidak sampai terkena hukuman potong tangan.

2. Harta yang dicuri adalah harta yang terhormat, punya pemiliknya atau wakilnya.

3. Barang yang dicuri mencapai nishâbnya ketika diambil dari tempatnya.

Yang dimaksudkan nishâb di sini adalah adalah nishâb/batasan minimal dalam masalah pencurian,, yaitu tiga dirham atau seperempat dinar atau yang senilai dengan salah satu dari keduanya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadist ‘Aisyahx, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidak dipotong tangan (pencuri) terkecuali pada seperempat dinar atau lebih”

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukum potong tangan terhadap pencurian perisai yang senilai tiga dirham [HR. Muslim:1687), Tirmidzi (1446)]

Bila dinilai dengan uang rupiah maka bisa dilihat dengan harga emas yang sekarang berlaku. Syaikh Utsaimîn berkata:”Jumlah seperempat dinar yang dimaksudkan pada zaman sekarang, sedikit sekali, yakni dinar sebesar mitsqâl–dinar Islam-, kemudian ia menanyakan orang pemilik emas, berapa ukuran mitsqâl/berat dari emas? Sedikit sekali yakni sekitar dua puluh riyal. (satu riyal sekitar dua ribu sampai tiga ribu rupiah). Lihat Liqâ‘ Maftûh (28/201).

4. Terbuktinya pencurian oleh si pelaku. Baik dengan cara bukti dua orang saksi yang menyatakan bahwa pelakulah yang mengambil atau dengan cara pengakuan dari si pelaku. Dalam masalah saksi tidak diperbolehkan adanya saksi wanita, walaupun bersaksi terhadap dua orang wanita atau lebih dengan seorang laki laki. Karena dalam masalah hukum hudûd , saksi wanita tidak di gunakan.

SIAPAKAH YANG MELAKSANAKAN HUKUMAN INI?
Yang melaksanakannya adalah penguasa/ pemerintah atau orang yang ditugasi untuk menjalankannya.

APAKAH TANGANNYA YANG TELAH TERPOTONG DIGANTUNGKAN?
Imam Syafi‘i rahimahullah dan Ahmad rahimahullah berpendapat bolehnya dalam hal ini, bila dimaksudkan untuk membuat jera, berdasarkan riwayat dari at-Tirmidzi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika didatangkan kepadanya seorang pencuri yang telah terpotong tangannya, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengalungkannya di lehernya.‎

BAGAIMANA CARA PELAKSANAAN HUKUMAN POTONG TANGAN?
Dinukil oleh Syaikh Abdul Adzîm Badawi, dari penulis kitab Ar-Raudhatun Nâdiyah: para Ulama sepakat; seorang pencuri pada pencurian yang pertama dipotong tangan sebelah kanannya. Bila ia mencuri kedua kalinya, maka dipotong kaki kirinya. Kemudian mereka berbeda pendapat bila ia mencuri untuk ketiga kalinya; setelah dipotong tangan kanan dan kaki kirinya, mayoritas mereka berpendapat dipotong tangan kirinya. Dan bila ia mencuri lagi setelahnya maka dipotong kaki kanannya. Kemudian bila mencuri lagi, maka ia dihukum ta‘zîr dan dikurung.‎

TERHINDARNYA PENCURI DARI POTONG TANGAN‎

Seorang pencuri yang dimaafkan oleh orang yang dicurinya dan belum sampai diangkat perkara/diajukan ke hakim, maka hal ini dapat menghindarkan si pencuri dari hukuman potong tangan.‎

Akhirnya, apa yang dibutuhkan manusia adalah apa yang telah ditetapkan oleh Dzat yang telah menciptakan mereka. Karena tidak ada hukum yang lebih baik dari hukum-Nya. Dan dalam melaksanakan konsekuensi ini, seorang seharusnya tidak hanya mengedepankan pikiran pendeknya dan perasaan yang bukan pada tempatnya. Tetapi lebih mengedepankan kepastian hasil yang akan didapat bila benar-benar dijalankan sesuai dengan prosedur dan tata cara yang diatur dalam agama ini. Allah Azza wa Jalla berfirman:‎‎

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Diwajibkan atas kalian berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian; dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.“‎[al-Baqarah/2/216]‎

Penjelasan Tentang Hukum Rajam Bagi Pezina

 

Saat ini kita hidup dalam zaman era globalisasi yang amat sangat terbuka terjadi hampir di seluruh dunia serta tekhnologi semakin canggih. Tetapi kebanyakan orang menggunakan tekhnologi yang semakin canggih ini di gunakan untuk hal-hal yang tidak sadar akan adanya orang atau pihak lain yang dirugikan bahkan sangat berpengaruh bagi anak masa depan atau generasi penerus bangsa di masa yang akan datang, seperti sekarang adanya internet yang sangat mudah untuk di akses oleh semua orng bahkan anak-anak kecil sudah mengenal apa itu internet. Oleh karena itu pengawasan orang tua sangat di perlukan untuk membimbing anaknya supaya tidak terjerumus ke jalan yang salah atau pergaulan yang tidak di sukai oleh masyarakat yang semakin terbuka dan setiap orng mudah untuk bergabung atu menirunya. 

Bahkan karena terlalu terbukanya pergaulan dalam masyarakat, nilai-nilai agama pun mulai ditinggalkan. Lihat saja sekarang, dengan mudah kita dapat menemukan berbagai kemaksiatan di sekitar kita. Bahkan hal-hal yang menjurus pada perbuatan zina terpampang di sekitar kita.

Anak-anak muda zaman sekarang seakan-akan berlomba dalam hal ini. Begitu banyak gadis-gadis yang mempertontonkan kemolekan tubuhnya secara bebas, hubungan dengan lawan jenis yang melewati batas, dan banyak lagi hal-hal yang membuat perzinahan seakan-akan menjadi sesuatu yang wajar-wajar saja. Ditambah lagi dengan lemahnya iman dan ilmu agama yang dimiliki, membuat perzinaan semakin merajalela.

Padahal, jelas-jelas islam telah melarang kita untuk melakukan perbuatan zina. Jangankan melakukannya, mendekati saja kita sudah tidak boleh. Tentunya perintah untuk tidak mendekati dan melakukan perbuatan zina bukanlah tanpa sebab. Perbuatan zina merupakan sebuah perbuatan yang keji, yang dapat mendatangkan kemudharatan bukan hanya kepada pelakunya, namun juga kepada orang lain.

Memahami Islam hendaknya juga menjadikan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai rujukan dan pedoman hidup. Sebagaimana yang pasti yang kita yakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merupakan Rasul yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membawa Syariat Islam yang hanif dan menjadi pedoman bagi umat manusia agar tidak tersesat. Didalam hadits kita akan banyak menemukan bagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menerapkan hukum rajam bagi para pelaku zina, dan perbuatan Nabi ini tentu merupakan syariat yang patut untuk ditaati dan diamalkan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. an-Nisa’: 59)

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (Q.S. Ali-Imran: 132)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (Q.S. Muhammad: 33)

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.” (Q.S. Ali-Imran:32)

Didalam ayat-ayat tersebut sangat jelas Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kita untuk mentaati Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dalam hal ini Rasulullah mensyariatkan hukum razam bagi para pelaku zina muhshan, maka umat Islam haruslah taat terhadap ketentuan yang telah Rasulullah contohkan ini berdasarkan perintah ayat-ayat diatas.

Firman Alloh Subhanahu Wata'ala 

سُورَةٌ أَنزلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنزلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (1) الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (2) 

(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam) nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kalian selalu mengingatinya. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. [An-Nur 1-2]

Firman Allah Swt. yang mengatakan bahwa 'ini adalah suatu surat yang Kami turunkan' mengandung pengertian yang mengisyaratkan perhatian Allah Swt. kepada surat ini, tetapi bukan berarti surat-surat lainnya tidak diperhatikan-Nya.

{وَفَرَّضْنَاهَا}

dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam) nya (An-Nur: 1)

Mujahid dan Qatadah mengatakan bahwa makna ayat ialah Kami telah menjelaskan halal, haram, perintah, larangan, dan batasan-batasan (hukum) di dalamnya.

Imam Bukhari mengatakan bahwa orang yang membacanya dengan bacaan Faradnaha, maka artinya, 'Kami wajibkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya kepada kalian, juga kepada orang-orang yang sesudah kalian'.

{وَأَنزلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ}

dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas. (An-Nur: 1)

Yaitu ayat-ayat yang jelas dan gamblang maknanya.
{لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ}

agar kalian selalu mengingatnya.  (An-Nur: 1)

Kemudian Allah Swt. berfirman:

{الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ}

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (An-Nur: 2)

Yakni ayat yang mulia ini di dalamnya terkandung hukum had bagi orang yang berzina. Para ulama membahas masalah ini dengan pembahasan yang terinci berikut segala perbedaan pendapat di kalangan mereka. Akan tetapi pada kesimpulannya pezina itu adakalanya seorang yang belum pernah menikah dan adakalanya seorang yang muhsan(yakni orang yang pernah melakukan persetubuhan dalam ikatan nikah yang sahih sedangkan dia telah akil balig).

Jika seseorang belum pernah menikah, lalu melakukan zina, maka hukuman had-nya seratus kali dera, seperti yang disebutkan oleh ayat yang mulia ini. Dan sebagai hukuman tambahannya ialah dibuang selama satu tahun jauh dari negerinya, menurut pendapat jumhur ulama. Lain halnya dengan pendapat Imam Abu Hanifah ‎rahimahullah; ia berpendapat bahwa hukuman pengasingan ini sepenuhnya diserahkan kepada imam. Dengan kata lain, jika imam melihat bahwa si pelaku zina harus diasingkan, maka ia boleh melakukannya; dan jika ia melihat bahwa pelaku zina tidak perlu diasingkan, maka ia boleh melakukannya.

Alasan jumhur ulama dalam masalah ini ialah sebuah hadis yang telah ditetapkan di dalam kita Sahihain melalui riwayat Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud, dari Abu Hurairah dan Zaid ibnu Khalid Al-Juhani tentang kisah dua orang Badui yang datang menghadap kepada Rasulullah Saw.

Salah seorang mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak laki-lakiku ini pernah menjadi pekerja orang ini, dan ternyata anak laki-lakiku ini berbuat zina dengan istrinya. Maka aku tebus anak laki-lakiku ini darinya dengan seratus ekor kambing dan seorang budak perempuan. Kemudian aku bertanya kepada orang-orang yang 'alim, maka mereka mengatakan bahwa anakku dikenai hukuman seratus kali dera dan diasingkan selama satu tahun, sedangkan istri orang ini dikenai hukuman rajam."
Maka Rasulullah Saw. menjawab:

"وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ: الْوَلِيدَةُ وَالْغَنَمُ رَدٌّ عَلَيْكَ، وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وتغريبُ عَامٍ. وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ -لِرَجُلٍ مِنْ أَسْلَمَ -إِلَى امْرَأَةِ هَذَا، فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا"

Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, sungguh aku akan melakukan peradilan di antara kamu berdua dengan berdasarkan Kitabullah. Budak perempuan dan ternak kambingmu dikembalikan kepadamu, dan anak laki-lakimu dikenai hukuman seratus kali dera dan diasingkan selama satu tahun. Sekarang pergilah kamu, hai Unais -seorang lekuki dari Bani Aslam yang ada di majelis itu-kepada istri lelaki ini. (Tanyailah dia) jika dia mengaku, maka hukum rajamlah dia.

Maka Unais berangkat menemui istri lelaki Badui itu dan menanyainya. Akhirnya wanita itu mengakui perbuatannya, lalu ia dihukum rajam (dengan dilempari batu-batu sebesar genggaman tangan hingga mati).

Di dalam hadis ini terkandung dalil yang menunjukkan adanya hukuman pengasingan selama satu tahun bagi pezina yang belum pernah kawin sesudah menjalani hukuman dera sebanyak seratus kali. Jika dia adalah seorang muhsan(yakni seorang yang pernah melakukan persetubuhan dalam nikah yang sahih, sedang dia merdeka, akil dan balig), maka hukumannya adalah dirajam dengan batu.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Imam Malik. Ia mengatakan telah menceritakan kepadaku Ibnu Syihab, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud; Ibnu Abbas pernah mengatakan kepadanya bahwa Khalifah Umar pada suatu hari berdiri di atas mimbarnya, lalu mengucapkan puji dan sanjungan kepada Allah Swt., kemudian mengatakan:

أَمَّا بَعْدُ، أَيُّهَا النَّاسُ، فَإِنَّ اللَّهَ بَعَثَ مُحَمَّدًا بِالْحَقِّ، وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ، فَكَانَ فِيمَا أَنْزَلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ، فَقَرَأْنَاهَا وَوَعَيْناها، وَرَجمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجمْنا بَعْدَهُ، فَأَخْشَى أَنْ يُطَولَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ: لَا نَجِدُ آيَةَ الرَّجْمِ فِي كِتَابِ اللَّهِ، فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ قَدْ أَنْزَلَهَا اللَّهُ، فَالرَّجْمُ فِي كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى، إِذَا أُحْصِنَ، مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ، إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ، أَوِ الْحَبَلُ، أَوْ الِاعْتِرَافُ.

Amma Ba'du. Hai manusia, sesungguhnya Allah Swt. telah mengutus Muhammad Saw. dengan hak dan menurunkan kepadanya Al-Qur’an. Maka di antara yang diturunkan kepada­nya ialah ayat rajam, lalu kami membacanya dan menghafalnya. Rasulullah Saw. telah memberlakukan hukuman rajam dan kami pun memberlakukannya pula sesudah beliau tiada. Aku merasa khawatir dengan berlalunya masa pada manusia, lalu ada seseorang yang mengatakan bahwa kami tidak menemukan ayat rajam di dalam Kitabullah. Akhirnya mereka sesat karena meninggalkan suatu perintah fardu yang telah diturunkan oleh Allah Swt. Hukum rajam benar ada di dalam Kitabullah ditujukan kepada orang yang berbuat zina bila ia telah muhsan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan kesaksian telah ditegakkan terhadapnya atau terjadi kandungan atau pengakuan.

Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahih masing-masing melalui hadis Malik secara panjang lebar. Sedangkan yang kami kemukakan ini merupakan petikan dari sebagiannya yang di dalamnya terkandung dalil yang kita maksudkan.
Dari Abu Nujaid ‘Imran bin Al Hushain Al Khuza’i, ia berkata,
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ أَتَتْ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهِىَ حُبْلَى مِنَ الزِّنَى فَقَالَتْ يَا نَبِىَّ اللَّهِ أَصَبْتُ حَدًّا فَأَقِمْهُ عَلَىَّ فَدَعَا نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلِيَّهَا فَقَالَ « أَحْسِنْ إِلَيْهَا فَإِذَا وَضَعَتْ فَائْتِنِى بِهَا ». فَفَعَلَ فَأَمَرَ بِهَا نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَشُكَّتْ عَلَيْهَا ثِيَابُهَا ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَرُجِمَتْ ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا فَقَالَ لَهُ عُمَرُ تُصَلِّى عَلَيْهَا يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَقَدْ زَنَتْ فَقَالَ « لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ وَهَلْ وَجَدْتَ تَوْبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى »
Ada seorang wanita dari Bani Juhainah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan ia dalam keadaan hamil karena zina. Wanita ini lalu berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, aku telah melakukan sesuatu yang perbuatan tersebut layak mendapati hukuman rajam. Laksanakanlah hukuman had atas diriku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memanggil wali wanita tersebut lalu beliau berkata pada walinya, “Berbuat baiklah pada wanita ini dan apabila ia telah melahirkan (kandungannya), maka datanglah padaku (dengan membawa dirinya).”
Wanita tersebut pun menjalani apa yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu, beliau meminta wanita tersebut dipanggil dan diikat pakaiannya dengan erat (agar tidak terbuka auratnya ketika menjalani hukuman rajam, -pen). Kemudian saat itu diperintah untuk dilaksanakan hukuman rajam. Setelah matinya wanita tersebut, beliau menyolatkannya. ‘Umar pun mengatakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Engkau menyolatkan dirinya, wahai Nabi Allah, padahal dia telah berbuat zina?” Beliau bersabda, “Wanita ini telah bertaubat dengan taubat yang seandainya taubatnya tersebut dibagi kepada 70 orang dari penduduk Madinah maka itu bisa mencukupi mereka. Apakah engkau dapati taubat yang lebih baik dari seseorang mengorbankan jiwanya karena Allah Ta’ala?” (HR. Muslim no. 1696).
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Wanita tersebut termasuk sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi orang sholih pun masih ada kemungkinan untuk terjerumus dalam zina.
2- Zina termasuk dosa besar.
3- Hukuman rajam dijalani dengan melempar batu hingga mati, batu di sini tidaklah terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Hukuman raja mini dikenakan pada muhshon, yaitu orang yang sudah menikah lantas berzina.
4- Orang yang dikenai hukuman raja mini atas hikmah dari Allah tidaklah diperintahkan dipenggal dengan pedang. Namun ia dilempari batu sehingga ia bisa merasakan siksa sebagai timbal balik dari kelezatan zina yang haram yang telah ia rasakan. Karena orang yang berzina telah merasakan kelezatan yang haram dengan seluruh badannya, jadi jasadnya disiksa sekadar dengan nikmat haram yang ia rasakan.
5- Boleh seseorang mengakui dirinya telah berzina pada penguasa untuk membersihkan dosanya dengan menjalani hukuman had, bukan untuk maksud menyebarkan aibnya. Jika seseorang ingin menyebarkan aibnya sendiri bahwa ia telah menzinai orang lain, maka dosa ini tidak dimaafkan. Dari Abu Hurairah, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan dalam bermaksiat. Yaitu seseorang yang telah berbuat dosa di malam hari lantas di pagi harinya ia berkata bahwa ia telah berbuat dosa ini dan itu padahal Allah telah menutupi dosanya. Pada malam harinya, Allah telah menutupi aibnya, namun di pagi harinya ia membuka sendiri aib yang telah Allah tutupi.” (HR. Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 2990).
6- Apakah seseorang harus melaporkan tindakan zinanya pada penguasa sehingga mendapat hukuman had atau ia sebaiknya menyembunyikannya sembari bertaubat?

Dalam hal ini ada beberapa rincian;

Rincian pertama: jika seseorang yang berzina dapat melakukan taubat nashuha (taubat yang tulus), ia betul-betul menyesali dosanya dan bertekad tidak akan melakukannya lagi, maka lebih baik ia tidak pergi pada penguasa untuk melaporkan tindakan zina yang telah ia lakukan dan ia melakukan taubat secara sembunyi-sembunyi. Moga Allah menerima taubatnya.

Rincian kedua: jika seseorang sulit melakukan taubat nashuha, ia takut terjerumus lagi dalam dosa yang sama, maka lebih baik ia mengakui perbuatan zinanya dengan melapor pada penguasa atau pada qodhi (hakim), lantas ia dikenai hukuman had.
7- Wanita hamil tidak dikenai hukuman had sampai ia melahirkan kandungannya. Jika hukuman cambuk dilaksanakan bagi orang yang belum menikah lantas berzina, maka menunggu sampai wanita itu suci dari nifasnya. Bila hukuman rajam dijalankan maka menunggu sampai kebutuhan susu pada anak tersebut sudah tercukupi walau dengan penyusuan pada wanita lain.
8- Hukuman dunia bisa menghapuskan dosa orang yang berbuat maksiat asal disertai dengan taubat dan penyesalan.
وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَحِيمًا

“Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (An-Nisaa’:16)

Ibnu Abbas berkata,

كان الحكم كذلك، حتى أنزل الله سورة النور فنسخها بالجلد، أو الرجم.
وكذا رُوي عن عِكْرِمة، وسَعيد بن جُبَيْر، والحسن، وعَطاء الخُراساني، وأبي صالح، وقتادة، وزيد بن أسلم، والضحاك: أنها منسوخة. وهو أمر متفق عليه.

“Yakni dengan mencaci maki, mempermalukan, dan memukul dengan sandal. Hukum demikian terus berlanjut hingga Allah menasakhnya (Menghapusnya) dengan hukum cambuk dan rajam.”  (Tafsir Ibnu Katsir (2/233)
Hukum razam bagi para pelaku zina memang pernah diterapkan dizaman para Nabi-nabi terdahulu sebelum kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Walaupun demikian, bukan berarti hukuman razam yang diberlakukan bagi para pelaku zina muhshan pada masa Nabi dan hari ini mengambil atau merujuk pada kitab-kitab terdahulu, namun tetap merujuk kepada ketentuan hukum yang berlaku pada Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber yang sempurna dan membenarkan kitab-kitab sebelumnya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

 نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ

“Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.” (Ali Imran: 3)

Sebagai bukti bahwa Rasulullah menerapkan syariat berdasarkan petunjuk Kitabullah (wahyu) ialah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

حَدَّثَنَا سُرَيْجُ بْنُ النُّعْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا مُجَالِدٌ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ فَقَرَأَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ فَقَالَ أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِيِِِِ

Telah bercerita kepada kami Suraij bin An-Nu’man berkata; telah bercerita kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepada kami Mujalid dari Asy-Sya’bi dari Jabir bin Abdullah ‘Umar bin khatab menemui Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam dengan membawa tulisan yang dia dapatkan dari Ahli Kitab. Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam terus membacanya dan marah seraya bersabda: ”Bukankah isinya hanya orang-orang yang bodoh Wahai Ibnu Khottob?. Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, saya datang kepada kalian dengan membawa cahaya yang terang. Janganlah kalian bertanya kepada mereka tentang sesuatu! Bagaimana jika mereka mengabari kalian kebenaran lalu kalian mendustakannya atau mereka (menyampaikan) kebatilan lalu kalian membenarkannya?. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa alaihissalam hidup maka tidak ada jalan lain selain dia mengikutiku.” (H.R. Ahmad No. 15156 (23/349)
Rasulullah Saw. pernah memerintahkan agar dilakukan hukum rajam terhadap seorang wanita istri seorang lelaki yang mempekerjakan seorang buruh, lalu buruh itu berbuat zina dengan si istri. Rasulullah Saw. pernah pula melakukan hukum rajam terhadap Ma'iz dan seorang wanita dari Bani Gamidiyah.

Para perawi tersebut tidak menukil dari Rasulullah Saw. bahwa beliau mendera mereka yang berbuat zina sebelum dirajam. Sesungguhnya semua hadis sahih yang saling memperkuat satu sama lainnya dengan berbagai lafaz mengatakan bahwa Rasulullah Saw. hanya merajam mereka, dan tidak disebutkan dalam hadis-hadis tersebut adanya hukuman dera. Karena itulah maka hal ini dijadikan pegangan oleh pendapat jumhur ulama; dan berpegangan kepada dalil ini pula berpendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafii.

Imam Ahmad berpendapat, diwajibkan penggabungan dua jenis sangsi hukuman terhadap pezina muhsan antara hukuman dera karena berlandaskan sunnah dan hukuman rajam karena berlandaskan sunnah. Telah diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali ibnu Abu Talib r.a., bahwa ketika dihadapkan kepadanya seorang wanita yang bernama Sirajah yang telah berbuat zina, sedangkan dia telah muhsan, maka Ali r.a. menderanya pada hari Kamis dan merajamnya pada hari Jumat. Lalu Ali r.a. berkata: Saya menderanya berdasarkan (hukum) Kitabullah dan merajamnya berdasarkan (hukum) sunnah Rasulullah Saw.

Imam Ahmad, para pemilik kitab sunnah yang empat orang, dan Imam Muslim telah meriwayatkan melalui Qatadah, dari Al-Hasan, dari Hattan ibnu Abdullah Ar-Raqqasyi, dari Ubadah ibnus Samit yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"خُذُوا عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا البِكْر بالبِكْر، جَلْد مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ، جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ"

Terimalah keputusanku, terimalah keputusanku, sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi mereka (kaum wanita) jalan keluar; orang yang belum pernah kawin (yang berzina) dengan orang yang belum pernah kawin didera seratus kali dan diasingkan satu tahun, dan orang yang sudah kawin (yang berzina) dengan orang yang sudah kawin didera seratus kali dan dirajam.

Terakhir saya bawakan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar kita senantiasa waspada terhadap orang-orang jahil yang tidak kredibel didalam masalah agama, namun terkesan sok paling pintar didalam menyuarakan masalah agama.

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ قُدَامَةَ الْجُمَحِيُّ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ أَبِي الْفُرَاتِ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

Abu Bakr bin Abi Syaibah menuturkan kepada kami. Dia berkata; Yazid bin Harun menuturkan kepada kami. Dia berkata; Abdul Malik bin Qudamah al-Jumahi menuturkan kepada kami dari Ishaq bin Abil Farrat dari al-Maqburi dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, dia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (H.R. Ibnu Majah)

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...