Kamis, 14 Oktober 2021

Penjelasan Hukum LGBT


Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender (LGBT) merupakan penyimpangan orientasi seksual yang bertentangan dengan fitrah manusia, agama dan adat masyarakat Indonesia. Menurut wikipedia, lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan. Istilah ini juga merujuk kepada perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional, atau secara spiritual. Sedangkan Gay adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan untuk merujuk orang homoseksual atau sifat-sifat homoseksual. Sedikit berbeda dengan bisexual, biseksual (bisexual) adalah individu yang dapat menikmati hubungan emosional dan seksual dengan orang dari kedua jenis kelamin baik pria ataupun wanita. Lalu bagaimana dengan Transgender?

Transgender merupakan ketidaksamaan identitas gender seseorang terhadap jenis kelamin yang ditunjuk kepada dirinya. Seseorang yang transgender dapat mengidentifikasi dirinya sebagai seorang heteroseksual, homoseksual, biseksual maupun aseksual. Dari semua definisi diatas walaupun berbeda dari sisi pemenuhan seksualnya, akan tetapi kesamaanya adalah mereka memiliki kesenangan baik secara psikis ataupun biologis dan orientasi seksual bukan saja dengan lawan jenis akan tetapi bisa juga dengan sesama jenis.
Walaupun kelompok LGBT mengklaim keberadaannya karena faktor genetis dengan teori “Gay Gene” yang diusung oleh Dean Hamer pada tahun 1993. Akan tetapi, Dean sebagai seorang gay kemudian meruntuhkan sendiri hasil risetnya. Dean mengakui risetnya itu tak mendukung bahwa gen adalah faktor utama/yang menentukan yang melahirkan homoseksualitas. Perbuatan LGBT sendiri ditolak oleh semua agama bahkan dianggap sebagai perbuatan yang menjijikan, tindakan bejat, dan keji.

Dalam Islam LGBT dikenal dengan dua istilah, yaitu Liwath (gay) dan Sihaaq (lesbian). Liwath (gay) adalah perbuatan yang dilakukan oleh laki-laki dengan cara memasukan dzakar (penis)nya kedalam dubur laki-laki lain. Liwath adalah suatu kata (penamaan) yang dinisbatkan kepada kaumnya Luth ‘Alaihis salam, karena kaum Nabi Luth ‘Alaihis salam adalah kaum yang pertama kali melakukan perbuatan ini (Hukmu al-liwath wa al-Sihaaq, hal. 1). Allah SWT menamakan perbuatan ini dengan perbuatan yang keji (fahisy) dan melampui batas (musrifun). Sebagaimana Allah terangkan dalam al Quran:
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ ( ) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ ( )
 
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (TQS. Al ‘Araf: 80 – 81)
Sedangkan Sihaaq (lesbian) adalah hubungan cinta birahi antara sesama wanita dengan image dua orang wanita saling menggesek-gesekkan anggota tubuh (farji’)nya antara satu dengan yang lainnya, hingga keduanya merasakan kelezatan dalam berhubungan tersebut (Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah,Juz 4/hal. 51).
Kisah Khudzaifah –Radhiyallahu ‘anhu– yang bertanya tentang kejelekan karena khawatir akan menimpa dirinya, di dalam “Ash-Shahih” (no. 3606) dan “Shahih Muslim” (no. 4890) dari hadits Huzaifah Ibnul Yaman, beliau –semoga Allah meridhainya- berkata:

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِى. فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِى جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ، فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ، فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ «نَعَمْ». قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ «نَعَمْ، وَفِيهِ دَخَنٌ». قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ «قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِى تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ». قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ «نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ، مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا». قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ «هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا» قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِى إِنْ أَدْرَكَنِى ذَلِكَ قَالَ «تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ». قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ قَالَ «فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ».

“Dahulu orang-orang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang kebaikan, dan aku ketika itu bertanya kepadanya tentang kejelekan (karena) takut akan menimpaku. Maka aku katakan: “Wahai Rasulullah sesungguhnya kami dahulu di zaman jahiliyyah (penuh) kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kepada kami kebaikan ini, maka apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan”. Beliau berkata: “Iya”. Aku berkata: “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan?” Beliau berkata: “Iya, dan padanya dakhan (kekaburan)”. Aku berkata: “Apa itu ‎dakhan? Beliau berkata: “Suatu kaum yang mereka berpetunjuk dengan yang bukan petunjukku, kamu mengenal mereka dan kamu mengingkari”. Aku berkata: Apakah setalah itu ada kebaikan dari kejelakan? Beliau berkata: “Iya, ada da’i-da’i yang menyeru kepada pintu-pintu jahannam, barangsiapa memenuhi seruan itu maka akan terjerumus ke dalamnya”. Aku berkata: “Wahai Rasulullah sifatkanlah kepada kamu! Beliau berkata: “Mereka dari kalangan kita dan berbahasa dengan bahasa kita” Aku berkata: “Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku mendapatinya yang demikian itu? Beliau berkata: “Engkau komitmen dengan jama’ah kaum muslimin dan imam mereka”. Aku berkata: “Bagaimana kalau tidak ada pada mereka jama’ah dan tidak pula ada imam? Beliau berkata: “Tinggalkan firqah (kelompok-kelompok) semuanya walaupun kamu menggigit akar kayu sampai kematian menjemputmu dan kamu dalam keadaan demikian itu”.

Lihatlah Khuzaifah ibnul Yaman tidak hanya bertanya tentang kejelakan itu, namun beliau bertanya pula tentang bagaimana cara mengantisipasi dan membendung supaya kejelakan tersebut tidak mengenainya, lihat pertanyaannya “Apa yang mesti saya perbuat jika mengalami keadaan seperti itu?”Tidak kita terbetik dalam hati kita untuk berprinsip seperti shahabat yang mulia Khuzaifah ibnul Yaman? Apakah kita sudah merasa aman terhadap segala kejelekan yang selalu mengintai kita disetiap saat dan setiap tempat?

Dan berkata seorang penyair:

عرفت الشر لا للشر لكن لتوقيه  ومن لم يعرف الشر من الخير يقع فيه

Aku mengetahui kejelekan bukan untuk berbuat jelek akan tetapi untuk menjauhinya

Dan siapa yang tidak mengetahui kejelekan dari kebaikan maka akan terjatuh ke dalamnya.

Terhadap pelaku homoseks, Allah swt dan Rasulullah saw benar-benar melaknat perbuatan tersebut. Al-Imam Abu Abdillah Adz-Dzahabiy -Rahimahullah- dalam Kitabnya “Al-Kabair” [hal.40] telah memasukan homoseks sebagai dosa yang besar dan beliau berkata: “Sungguh Allah telah menyebutkan kepada kita kisah kaum Luth dalam beberapa tempat dalam Al-Qur’an Al-Aziz, Allah telah membinasakan mereka akibat perbuatan keji mereka. Kaum muslimin dan selain mereka dari kalangan pemeluk agama yang ada, bersepakat bahwa homoseks termasuk dosa besar”.
Hal ini ditunjukkan bagaimana Allah swt menghukum kaum Nabi Luth yang melakukan penyimpangan dengan azab yang sangat besar dan dahsyat, membalikan tanah tempat tinggal mereka, dan diakhiri hujanan batu yang membumihanguskan mereka, sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Hijr ayat 74:
 
فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ سِجِّيل.
 
“Maka kami jadikan bagian atas kota itu terbalik ke bawah dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras”
Sebenarnya secara fitrah, manusia diciptakan oleh Allah swt berikut dengan dorongan jasmani dan nalurinya. Salah satu dorongan naluri adalah naluri melestarikan keturunan (gharizatu al na’u) yang diantara manifestasinya adalah rasa cinta dan dorongan seksual antara lawan jenis (pria dan wanita). Pandangan pria terhadap wanita begitupun wanita terhadap pria adalah pandangan untuk melestarikan keturunan bukan pandangan seksual semata. Tujuan diciptakan naluri ini adalah untuk melestarikan keturunan dan hanya bisa dilakukan diantara pasangan suami istri. Bagaimana jadinya jika naluri melestarikan keturunan ini akan terwujud dengan hubungan sesama jenis? Dari sini jelas sekali bahwa homoseks bertentangan dengan fitrah manusia.
Oleh karena itu, sudah dipastikan akar masalah munculnya penyimpangan kaum LGBT saat ini adalah karena ideologi sekularisme yang dianut kebanyakan masyarakat Indonesia. Sekularisme adalah ideologi yang memisahkan agama dari kehidupan (fash al ddin ‘an al hayah).
Masyarakat sekular memandang pria ataupun wanita hanya sebatas hubungan seksual semata. Oleh karena itu, mereka dengan sengaja menciptakan fakta-fakta yang terindera dan pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual di hadapan pria dan wanita dalam rangka membangkitkan naluri seksual, semata-mata mencari pemuasan. Mereka menganggap tiadanya pemuasan naluri ini akan mengakibatkan bahaya pada manusia, baik secara fisik, psikis, maupun akalnya. Tindakan tersebut merupakan suatu keharusan karena sudah menjadi bagian dari sistem dan gaya hidup mereka (al Nizham al Ijtima’i fi al Islam, hal. 22). Tidak puas dengan lawan jenis, akhirnya pikiran liarnya berusaha mencari pemuasan melalui sesama jenis bahkan dengan hewan sekalipun, dan hal ini merupakan kebebasan bagi mereka. Benarlah Allah swt berfirman:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
 
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (TQS Al ‘Araf : 179)‎

PENGERTIAN LIWATH (GAY)‎

Liwath (gay) adalah perbuatan yang dilakukan oleh laki-laki dengan cara memasukan dzakar (penis)nya kedalam dubur laki-laki lain. Allah –Ta’ala– berkata dalam surat Al-A’raf ayat 81:

إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ.

“Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”.

Liwath adalah suatu kata (penamaan) yang dinisbatkan kepada kaumnya Luth –‘Alaihis salam-, karena kaum Nabi Luth –‘Alaihis salam– adalah kaum yang pertama kali melakukan perbuatan ini, Allah –Ta’ala- menamakan perbuatan ini dengan fahisy(keji/jijik), sebagaimana perkataan Allah –Ta’ala– dalam surat Al-A’raf ayat 80:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ.

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?”. Liwath merupakan dosa yang paling besar dan lebih keji dari pada zina.

KISAH KAUM LUTH DALAM AL-QUR’AN
Allah –Ta’ala– berkata dalam surat Huud ayat 77 sampai 83:

وَلَمَّا جَاءَتْ رُسُلُنَا لُوطًا سِيءَ بِهِمْ وَضَاقَ بِهِمْ ذَرْعًا وَقَالَ هَذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ (77) وَجَاءَهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوا يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ قَالَ يَا قَوْمِ هَؤُلَاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ (78) قَالُوا لَقَدْ عَلِمْتَ مَا لَنَا فِي بَنَاتِكَ مِنْ حَقٍّ وَإِنَّكَ لَتَعْلَمُ مَا نُرِيدُ (79) قَالَ لَوْ أَنَّ لِي بِكُمْ قُوَّةً أَوْ آَوِي إِلَى رُكْنٍ شَدِيدٍ (80) قَالُوا يَا لُوطُ إِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَصِلُوا إِلَيْكَ فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا امْرَأَتَكَ إِنَّهُ مُصِيبُهَا مَا أَصَابَهُمْ إِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ أَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ (81) فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ (82) مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ (83).

“Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit. Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.” Luth berkata: “Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).” Para utusan (malaikat) berkata: “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Rabbmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?. Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim”

Ketika kaum Nabi Luth membujuk Nabi Luth –‘Alaihis salam– agar menyerahkan tamunya, maka Allah menimpakan kepada mereka azab, Allah –Ta’ala– berkata dalam surat Huud ayat 37 sampai 39:

وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلَا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ (37) وَيَصْنَعُ الْفُلْكَ وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلَأٌ مِنْ قَوْمِهِ سَخِرُوا مِنْهُ قَالَ إِنْ تَسْخَرُوا مِنَّا فَإِنَّا نَسْخَرُ مِنْكُمْ كَمَا تَسْخَرُونَ (38) فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ مَنْ يَأْتِيهِ عَذَابٌ يُخْزِيهِ وَيَحِلُّ عَلَيْهِ عَذَابٌ مُقِيمٌ (39).

“Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku. Dan sesungguhnya pada esok harinya mereka ditimpa azab yang kekal.Maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.”

Pada saat Nabi Luth –‘Alaihis salam– menyeru mereka kepada kebaikan dan mengingkari kemungkaran mereka, mereka langsung mengambil sikap terhadap beliau –‘Alaihis salam-, Allah kisahkan Al-A’raf ayat 80 sampai 84:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ (80) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (81) وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ (82) فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ (83) وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ (84).
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.” Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu”.

Allah –Ta’ala– juga sebutkan sikap mereka yang mendustakan Nabi-Nya sehingga layak untuk mendapatkan azab surat Asy-Syuraa’ ayat 160 sampai 173:

كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوطٍ الْمُرْسَلِينَ (160) إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ لُوطٌ أَلَا تَتَّقُونَ (161) إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ (162) فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ (163) وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ (164) أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ (165) وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ (166) قَالُوا لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ يَا لُوطُ لَتَكُونَنَّ مِنَ الْمُخْرَجِينَ (167) قَالَ إِنِّي لِعَمَلِكُمْ مِنَ الْقَالِينَ (168) رَبِّ نَجِّنِي وَأَهْلِي مِمَّا يَعْمَلُونَ (169) فَنَجَّيْنَاهُ وَأَهْلَهُ أَجْمَعِينَ (170) إِلَّا عَجُوزًا فِي الْغَابِرِينَ (171) ثُمَّ دَمَّرْنَا الْآَخَرِينَ (172) وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَسَاءَ مَطَرُ الْمُنْذَرِينَ (173).

“Kaum Luth telah mendustakan rasul-rasul, ketika saudara mereka Luth, berkata kepada mereka: mengapa kamu tidak bertakwa?” Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semeta alam. Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.” Mereka menjawab: “Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang yang diusir”Luth berkata: “Sesungguhnya aku sangat benci kepada perbuatanmu.” (Luth berdoa): “Ya Tuhanku selamatkanlah aku beserta keluargaku dari (akibat) perbuatan yang mereka kerjakan.” Lalu Kami selamatkan ia beserta keluarganya semua, kecuali seorang perempuan tua (isterinya), yang termasuk dalam golongan yang tinggal. Kemudian Kami binasakan yang lain. Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu) maka amat jeleklah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu”.
PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK DARI KISAH

Diantara faedah dan pelajaran yang bisa dipetik dari kisah tersebut adalah:

–         Bahwa yang pertama kali melakukan perbuatan homoseks adalah kaum nabi Luth –‘Alaihis Salam-.

–         Homoseks merupakan metode atau prilaku orang-orang bodoh dan akan ditiru serta akan dipraktekan oleh orang-orang yang taqlid buta.

Berkata Abul Abbas dalam tulisannnya yang berjudul “Hizbiyyah Berlagak Jahiliyyah”: Berkata Al-Imam Al-Bukhariy –Rahimahullah- dalam “Shahih”nya (7320): “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdil ‘Aziz, beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Umar Ash-Shan’aniy –dari Yaman-, dari Zaid bin Aslam dari ‘Atha’ bin Yasar dari Abi Sa’id Al-Khudriy, dari Nabi –Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam-, beliau berkata:

«لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ». قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ «فَمَنْ».

“Sungguh kalian akan mengikuti metode (prilaku) orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai walaupun mereka masuk di lubang dhobb (hewan semisal biawak) kalian pun ikut masuk”. Kami (para shahabat) berkata: Wahai Rasulullah apakah (yang engkau maksudkan adalah) Yahudi dan Nashara? Beliau berkata: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)!”.

Demikian keadaan umat ini, maka tidak heran kalau kemudian ada dari hizbiyyin mengikuti metode dan tingkah laku orang-orang jahil dari umat-umat terdahulu, Allah Ta’ala berkata dalam surat Al-A’raf ayat 80-82:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ (80) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (81) وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ (82)

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun sebelum kalian?” Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawaban kaumnya tidak lain hanya mereka mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri“.

Apa yang dikatakan oleh kaum nabi Luth tidak ada jauhnya dengan apa yang dikatakan oleh para hizbiyyin, ketika ada penasehat dari ahlussunnah memberikan nasehat dan peringatan kepada mereka, mereka pun bertingkah seperti kaum nabi Luth, apa karena ada dari ustadz dan kawan mereka yang luthi(gay) jadi mereka terbawa dan terkontaminasi serta terungkap kata-kata seperti apa yang dikatakan oleh kaum homoseks seperti perkataan kaum Luth?! Ataukah mungkin karena mereka merasa mayoritas dalam suatu perkampungan jadi sok mau berlagak simisal Fir’aun, maunya usir-usiran? Sekedar contoh manusia rendahan yang jahil semisal Abu Salwa Zaid Al-Buthoniy –Qatalahullah– saudara kandung “waria” bercadar Abu Abayah La Tapa alias Abu Salman Mushthafa Al-Buthony yang keduanya diustadzkan oleh orang-orang jahil dari hizbiyyin datang dari pulau Buton ke pulau Seram-Maluku langsung sok berlagak kaisar di dusun Hanunu dengan seenaknya melakukan pengusiran terhadap ahlussunnah.

PENGERTIAN SIHAAQ (LESBIAN)
Sihaaq (lesbian) adalah hubungan cinta birahi antara sesama wanita dengan image dua orang wanitasaling menggesek-gesekkan anggota tubuh (farji’)nya antara satu dengan yang lainnnya, hingga keduanya merasakan kelezatan dalam berhubungan tersebut [“Shohih Fiqhus Sunnah” Juz 4/Hal. 51). Dan ini hukumnya adalah haram berdasarkan ijma’ `ulama, dengan dalil hadits  Abu Said Al-Khudriy yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 338), At-Tirmidzi (no. 2793) dan Abu Dawud (no. 4018) bahwa Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata:

«لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ».

“Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita melihat aurat wanita lain. Dan janganlah seorang laki-laki memakai satu selimut dengan laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita memakai satu selimut dengan wanita lain.”

Al-Imam An-Nawawy dalam “Syarh Shohih Muslim” beliau berkata: Hadits ini adalah dalil tentang haramnya menyentuh aurat orang lain (yang haram untuk disentuh). Dan di dalam “Shahih Muslim” Al-Imam An-Nawawy –Rahimahullah– membuat bab khusus yaitu:

باب تَحْرِيمِ النَّظَرِ إِلَى الْعَوْرَاتِ.

“Bab haramnya memandang aurat-aurat (orang lain)”.‎

HUKUMAN BAGI YANG MELAKUKAN SIHAQ‎

Al-Imam Malik –Rahimahullah- berpendapat bahwa wanita yang melakukan sihaq hukumannya dicambuk seratus kali. Jumhur ulama berpendapat bahwa wanita yang melakukan sihaq tidak ada haddbaginya, hanya saja ia di-ta‘zir, karena hanya melakukan hubungan yang memang tidak bisa dengan dukhul (menjima’i pada farji), dia tidak akan di-hadd sebagaimana laki-laki yang melakukan hubungan dengan wanita tanpa adanya dukhul pada farji, maka tidak ada had baginya. Dan ini adalah pendapat yang rojih (yang benar) [Lihat “Shohih Fiqhus Sunnah” Juz 4/Hal. 51)].

JENIS-JENIS HOMOSEKS‎

Para ahli di bidang kesehatan telah melakukan penelitian dan peninjauan tentang jenis-jenis homoseks berdasarkan penyebabnya ada tiga, yaitu:

Yang pertama: Biogenik yaitu homoseksual yang disebabkan oleh kelainan di otak atau kelainangenetik. Jenis ini yang paling sulit untuk disembuhkan karena sudah melekat dengan eksistensi hidup bagi yang melakukannya. Mereka sejak lahir sudah membawa kecenderungan untuk menyukai orang lain yang sejenis, sehingga benar-benar ini di luar kontrol dan keinginan sadar mereka.

Kedua: Psikogenetik yaitu homoseksual yang disebabkan oleh kesalahan dalam pola asuh atau mereka mengalami pengalaman dalam hidupnya yang mempengaruhi orientasi seksualnya di kemudian hari. Kesalahan pola asuh yang dimaksud adalah ketidak tegasan dalam mengorientasikan sejak dini kecenderungan perilaku berdasarkan jenis kelamin. Pengalaman yang dapat membentuk perilaku homoseks diantaranya adalah pengalaman pernah disodomi atau waktu kecil orang itu mencoba-coba melakukan hubungan seks dengan temannya yang sejenis. Pengalaman-pengalaman seperti ini berpengaruh cukup besar terhadap orientasi seksual tersebut di kemudian hari.

Ketiga: Sosiogenetik yaitu orientasi seksual yang dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya. Kaum Nabi Luth yang melakuan homoseks adalah contoh dalam sejarah umat manusia bagaimana faktor sosial-budaya homosexual oriented mempengaruhi orang yang ada dalam lingkungan tersebut untuk berperilaku yang sama.
SEBAB UTAMA ADANYA HOMOSEKS DAN FREE SEX
Tidak diragukan lagi bahwa sebab utama seseorang terjatuh dalam kemaksiatan seperti homoseks danfree sex adalah karena beberapa faktor, diantaranya:

Tidak bepegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shohihah di atas bimbingan salaful ummah. Di dalam Al-Qur’an dalam banyak ayat memerintahkan kita untuk menjaga diri, menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan, di dalam As-Sunnah pun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas memerintahkan kita ketika akan tidur di antara sesama jenis agar membuat pembatas yang akan menghalangi kita ketika diluar kesadaran dalam tidur.
Tidak memahami makna yang terkandung di dalam kalimatut tauhid “Laa Ilaha Illallah” serta tidak melaksanakan konsekuensi yang terkandung dalam makna tersebut.
Bodoh terhadap Islam dan hukum-hukum yang ada di dalamnya, bodoh terhadap syari’at adalah pemicu utama seseorang untuk berani berbuat dosa, dan merupakan perkara yang disepakati bagi orang yang memiliki akal sehat.
Mempelajari agama bukan pada ahlinya, dan pemicu utama kerusakan terbesar dan kebinasaan karena bermuara pada bergampangan menimba ilmu dari orang yang tidak jelas jati dirinya, hingga sampai ada yang menghalalkan homoseks dan berbagai kemaksiatan lainnya, jika apabila dipelajari ilmu dari orang semacam ini maka kemungkinan terjatuh pada perbuatan tersebut akan mudah karena sudah diyakini boleh-boleh saja.
Mengikuti hawa nafsu. Hawa nafsu adalah kecenderungan jiwa kepada perkara yang haram. Dinamakan hawa karena menyeret pelakunya di dunia kepada kehancuran dan di akhirat kepada neraka Hawiyah”. (“Mufradat Alfazhil Qur’an” (hal. 848)]. Allah –‘azza wa jalla- berkata dalam surat Yusuf ayat 53:
إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ.

“Sesungguhnya hawa nafsu itu selalu menyeruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku”.

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di –Rahimahullah– berkata dalam “Taisîr Al-Karîmirrahmān” (hal. 400): “Kebanyakan hawa nafsu itu menyuruh pengekornya kepada kejahatan, yaitu kekejian dan seluruh perbuatan dosa”.

Dan hukuman yang di segerakan bagi pengekor hawa nafsu adalah sebagaimana perkatan Allah “Azza wa jalla– dalam surat Al-Mukminun ayat 55 sampai 56:

أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ (55) نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَلْ لَا يَشْعُرُونَ (56).

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan pada mereka (menunjukkan bahwa) Kami bersegera memeberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar”.

Allah –‘Azza wa jalla– juga berkata dalam surat Al-Isra’ ayat 18:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا.

“Barangsiapa menhendaki kehidupan dunia, maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami kehendaki baginya neraka Jahannam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir”.

Allah –‘Azza wa jalla– berkata dalam surat Ali Imran ayat 196 sampai 197:

لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ (196) مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ (197).

“Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam,dan Jahannam itulah seburuk-buruk tempat kembali”.

Allah –‘Azza wa jalla– berkata dalam surat Al-Jatsiyah ayat 23:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ.

“Pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”

Allah –‘Azza wa jalla– berkata dalam surat Al-Isra’ ayat 16:

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا.

“Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya ketentuan Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”.

Allah –‘Azza wa jalla– berkata dalam surat Al-A’raf ayat 176:

وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ.

“Dan mereka memperturutkan hawa nafsunya, maka perumpamaanya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya mengulurkan lidahnya. Dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga)”.

Ibnu Muqfi’ berkata sebagaimana dalam “Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an” (Juz 16/Hal. 166): Sesungguhnya hawa nafsu itu hina, Jika kamu ikut, maka kamu menjadi hina.

Orang yang senang dengan melakukan maksiat (homoseks, free sex, dan semisalnya) maka itu merupakan buah dari hawa nafsu yang akan melahirkan kehinaan dan kehinaan tidak akan lenyap kecuali dengan cara kembali kepada agama dan berpegang teguh dengannya, Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata: “Jika kalian berjual beli dengan system ‘ienah, kalian tersibukkan dengan ternak dan ladang kalian dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian kehinaan. Allah tidak akan mencabut kehinaan tersebut sampai kalian kembali kepada agama kalian”. [HR. Abu dawud (no. 3462) dan di shahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam “Ash-Shahihah” (no. 11)].

Al-Imam Ibnu Qayyim –Rahimahullah– berkata dalam “Ad-Da’ wad-Dawa’” (hal. 94): “Kemaksiatan akan mewariskan kehinaan, karena kemuliaan itu hanya dapat diraih dengan ketaatan kepada Allah”.

Orang yang menjerumuskan dirinya kedalam perbuatan yang hina seperti homoseks maka dia telah lalai dan telah lupa terhadap peringatan Rabbnya dalam surat Al-Baqarah ayat 195:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ.

“Janganlah kamu menjatuhkan dirimu kedalam kebinasaan”.

Sebagaimana telah lewat keterangan tentang akibat dari berbuat homoseks khususnya dan maksiat pada umumnya yang telah menjerumuskan kepada kebinasaan dan mengakibatkan banyak korban. Diantara pula ratap tangis para pengekor hawa nafsu adalah perkataan Allah –‘Azza wa jalla– dalam surat As-Sajdah ayat 12:

وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ.

“Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang berdosa itu menundukkan kepalanya dihadapan Rabbnya. (Mereka berkata): “Wahai Rabb kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikan kami (kedunia). Kami akan mengerjakan amal shalih. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin”.

Allah –‘Azza wa jalla– berkata dalam surat Az-Zukhruf ayat 77:

وَنَادَوْا يَا مَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ قَالَ إِنَّكُمْ مَاكِثُونَ.

“Mereka menyeru: “Hai Malik, biarlah Rabbmu membunuh kami saja, “Dia menjawab: “Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini)”.

Allah –‘Azza wa Jalla– berkata dalam surat Ghafir ayat 47:

وَإِذْ يَتَحَاجُّونَ فِي النَّارِ فَيَقُولُ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا نَصِيبًا مِنَ النَّارِ.

“Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantahan dalam neraka. Orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: “Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu mengidandarkan kami sebagian api neraka?”

Al-Hafidz Ibnu Katsir –Rahimahullah- berkata dalam “Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim” (Juz 4/hal. 84): “Orang yang lemah yaitu para pengikut akan berkata kepada orang yang sombong yaitu pembesar dan tokohnya: “Kami di dunia mentaati seruanmu berupa kekufuran dan kesesatan, maka dapatkah kamu mengambil siksaan Allah ini sekalipun hanya sedikit.”

Al-Hafidz Ibnu Katsir –Rahimahullah– berkata dalam “Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim” Juz 3/Hal. 540: “Allah akan membalas kamu disebabkan perbuatanmu. Masing-masing akan membalas kamu disebabkan perbuatanmu. Masing-masing akan disiksa sesuai dengan kezhalimannya.”

Allah –‘Azza wa jalla– berkata dalam surat Al-Mulk ayat 6 sampai10:

وَلِلَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (6) إِذَا أُلْقُوا فِيهَا سَمِعُوا لَهَا شَهِيقًا وَهِيَ تَفُورُ (7) تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِ كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ (8) قَالُوا بَلَى قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا فِي ضَلَالٍ كَبِيرٍ (9) وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ (10).

“Dan orang-orang yang kufur kepada Rabbnya, (mereka memperoleh) azab jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. Apabila mereka mendengar suara neraka yang mengerikan, sedang mereka menggelagak, hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali dilemparkan kedalam sekumpulan (orang-orang yang kufur), penjaga-penjaga neraka itu bertanya kepada mereka: “Apakah belum pernah datang kepadamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?” Mereka menjawab: “Benar ada, Sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan(nya) dan kami katakan: “Allah tidak menurunkan sesuatu pun” Kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar.” Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penhuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”.

Allah –‘Azza wa jalla– berkata dalam surat Al-Ahzab ayat 66 sampai 67:

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا (66) وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا (67).

“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan ke dalam neraka, mereka berkata: ‘Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul. Dan mereka berkata: ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang lurus)”.

Tasyabbuh (menyerupai) sesama jenis, khususnya ini terjadi pada “waria” yang awalnya mereka adalah laki-laki namun kemudian mereka melelang harga diri mereka dan berdandan seperti wanita yang akibatnya berani melakukan liwath.
Membujang. Hidup membujang memiliki nilai tersendiri dikalangan sufyisme, yang tidak mau kalah tanding dengan para biarawan dan biarawati, tidak heran jika di dapati ada dari mereka “tidak hanya terjangkiti” bahkan pemain utama homoseks.
Merasa bahwa dirinya aman dari fitnah. Orang yang merasa dirinya aman dari fitnah alias “PD” bahwa ia tidak mungkin akan terjatuh pada perbuatan semisal homoseks maka ini bertanda kalau justru ia yang akan condong ke arah sana, karena ini bentuk sikap bangga diri, angkuh dan sombong, apabila sifat seperti ini telah merasuki dirinya maka ia akan jauh dari muhasabah(intropeksi) diri, dan dia merasa seolah-oleh tidak butuh lagi dengan hidayah dari Allah ‘Azza wa jalla. Sekadar contoh betapa banyak orang yang dahulu istiqomah di atas manhaj salaf dan mereka merasa kalau diri-diri mereka akan terus konsisten namun ternyata justru mereka yang berjungkir balik terlebih dahulu dari orang yang biasa-biasa saja, Wallahul musta’an.
Diantara wasilah utama terjerumusnya seseorang ke jurang homoseks, free sex dan semisalnya karena berawal dari ikhtilath. Sekali ber-ikhtilath setelahnya akan tergoreskan satu titik hitam pada hati seseorang, yang goresan tersebut berasal dari pandangan mata. Dan akan semakin besar goresan hitam pada hati tersebut apabila semakin terus terulang atau apabila sampai menyentuh apa yang harom untuk disentuh maka akan memperparah keruhnya goresan.  Nas-alullahas salamah wal ‘afiyah. 

Berkurangnya keimanan. Sudah menjadi keyakinan bagi setiap muslim, bahwasanya iman bertambah dan berkurang, bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan maksiat. Dan lenyapnya keimanan kaum Luth terhadap Allah dan Nabi-Nya (Luth ‘Alaihis salam) disebabkan karena berbuat fahisy (homoseks).
Hilangnya rasa takut kepada Alloh ‘Azza wa Jalla, apabila rasa takut telah lenyap dari seseorang maka ia akan semakin gagah berani berbuat dosa walaupun terang-terangan melakukannya, baik dosa kecil maupun dosa besar ia terjang tanpa peduli apapun akibatnya.

Tidak menundukkan pandangan. Pandangan adalah faktor yang paling mendominasi adanya keinginan untuk berbuat yang diingini oleh hati,homoseks berawal dari pandangan dan kemudian berakhir dengan pembenaran dengan seks.

Tasyabbuh dengan orang-orang kafir. Pelaku utama homoseks adalah dari orang-orang yang kafir kepada Allah, berawal dari zaman nabi Luth ‘Alaihis salam hingga di zaman ini, kemudian banyak dari kaum muslimin terbawa arus perkembangan teknologi, mereka menyaksikan para homoseks di sinetron, di internet dan di berbagai macam media yang kemudian menuntut mereka untuk memperaktekkannya. Nasalullahassalamah wal ‘afiyah.

Meremehkan dosa homoseks.

Adanya keyakinan bahwa ia sudah terbebas dari beban syari’at, ia boleh melakukan apa saja yang ia kehendaki. Apabila keyakinan semacam ini telah menjalar pada diri seseorang maka dosa sebesar apapun teranggap suatu mainan biasa yang tidak ada apa-apanya.

Merasa dirinya pasti akan diampuni walaupun terus menerus di atas maksiat dengan dalil hadits Mu’adz bin Jabal: …….dan hak hamba atas Alloh adalah Allah tidak akan mengazab orang yang tidak menyekutukan dengan-Nya seseuatu apapun.”Akhirnya dengan pemahamannya yang dangkal terhadap dalil tersebut ia semakin giat bermaksiat yang pada akhirnya iapun binasa.

Kebiasaan menjima’i isteri pada dubur (anal), yang kemudian disaat-saat tidak ada istrinya iapun mencari pengganti dengan prinsip “yang penting berdubur atau berlubang” yang akibatnya laki-laki lain, anak-anak, orang tua jompo, binatang bahkan sesuatu yang berlubang menjadi obyek prakteknya.

Putus asa, merupakan pemicu utama seseorang semakin giat berbuat homoseks, sebagaimana hal ini terjadi pada waria, karena mereka telah diperdaya oleh keadaan yang pada akhirnya mereka putus asa dan kemudian mereka meneruskan pekerjaan keji mereka dengan terus menerus.

Jauh-jauh hari sebelumnya kita telah diperingatkan dengan untaian kata yang sangat berharga yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi –Rahimahullah- dengan sanad hasan dari hadits Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya-:

إن العبد إذا أخطأ خطيئة نكتت في قلبه نكتة سوداء فإذا هو نزع واستغفر وتاب سقل قلبه وإن عاد زيد فيها حتى تعلو قلبه وهو الران الذي ذكر الله {كلا بل ران على قلوبهم ما كانوا يكسبون}

“Seorang mukmin jika berbuat satu dosa, maka ternodalah hatinya dengan senoktah warna hitam. Jika dia bertaubat dan beristighfar, hatinya akan kembali putih bersih. Jika ditambah dengan dosa lain, noktah itu pun bertambah hingga menutupi hatinya. Itulah karat yang disebut-sebut Allah dalam ayat: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.”Berkata At-Tirmidzi: Ini adalah hadits hasan shahih.

Allah ‘azza wa jalla menciptakan manusia dengan tujuan untuk mentaati-Nya dan tidak memaksiati-Nya dengan sesuatu apapun, Allah ‘Azza wa Jalla berkata surat Adz-Dzariyat ayat 56:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ.

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu”.

Pada ayat tersebut Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan bahwa maksud dari penciptaan manusia dan jin adalah hanya untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla semata. Dalam rangka menunaikan tugas ibadah tersebut, manusia diperintahkan untuk taat dan tunduk kepada semua perintah Allah ‘Azza wa Jalla, baik yang langsung Allah ‘Azza wa Jallakatakan dalam Al-Qur’an, maupun yang disampaikan melalui perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah). Oleh sebab itulah di dunia ini hanya terdapat dua golongan manusia. Golongan pertama adalah mereka yang selalu taat pada segala perintah Allah ‘Azza wa Jalla dan sunnah RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan golongan kedua adalah mereka yang ingkar kepada dua hal tersebut. Perbuatan ingkar itulah yang disebut dengan maksiat dan setiap perbuatan maksiat itu adalah dosa.

Al-Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah menyatakan: “Bahwa kebanyakan orang-orang tolol mengandalkan rahmat dan ampunan Allah ‘Azza wa Jalla sehingga mereka mengabaikan perintah dan larangan-Nya serta lupa dengan azab-Nya yang pedih dan bahwa Dia tidak akan segan-segan untuk menyiksa orang-orang yang berdosa. Barangsiapa yang mengandalkan ampunan-Nya tetapi tetap berbuat dosa, dia sama dengan orang-orang yang membangkang”.‎

Nasib Para Pelaku Homoseks di Zaman Dahulu

Al-Qur’an dalam beberapa ayat telah banyak menceritakan kejadian dan bahaya yang ditimbulkan dari perbuatan homoseks. Cerita tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat-buat atau dongeng, apalagi cerita bohong untuk sekadar menakut-nakuti manusia, namun ia benar-benar terjadi dan menjadi tragedi bagi umat manusia.

Lihatlah apa yang menyebabkan terjungkir baliknya kampung kaum Luth ‘Alaihis salam kemudian dihujani dengan batu? Sekali lagi, kisah tersebut benar terjadi. Dan penyebab turunnya azab Allah ‘azza wa jallatersebut tidak lain adalah karena perbuatan maksiat sehingga semua menjadi pelajaran bagi umat manusia hingga hari kiamat.

Diantara pengaruh homoseks adalah:
Homoseks Menghalangi Ilmu

Ilmu adalah cahaya yang dipancarkan ke dalam hati. Namun ia bisa lenyap dari hati manakala di dalam hati sudah terdapat noda-noda hitam homoseks. Ketika Al-Imam Malik melihat kecerdasan dan kekuatan hafalan muridnya yakni Al-Imam Syafi’y yang begitu luar biasa, beliau (Al-Imam Malik) berkata, “Aku melihat kalau Allah telah menyiratkan cahaya di hatimu, wahai anakku. Janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan maksiat”.

Maksiat secara umum telah mempengaruhi hati dengan terpadamnya cahayanya, bagaimana jikalau maksiat semisal homoseks yang ikut mewarnai hati tentu akan lebih padam dan bahkan bisa hati akan mati dan gelap bagaikan semut hitam di atas batu yang sangat hitam pada waktu malam yang gelap gulita.

Homoseks Menghalangi Rezki

Ketaqwaan adalah penyebab datangnya rizki. Maka meninggalkannya berarti menimbulkan kefakiran. Allah Ta’ala berkata dalam surat Ath-Thalaq ayat 2 sampai 3:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا, وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ.

“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah maka Allah akan menjadikan (memberi) jalan keluar baginya dan memberinya rezki dari arah yang tidak dia sangka-sangka’.

Realita telah konkrit bahwa setiap pelaku homosekspasti ia akan terusir dari kalangan orang-orang yang masih memiliki fitroh kejiwaan, dengan keterusiran tersebut bukankah itu sebab utama sebagai penghambat datangnya rezki dan manjauhnya ilmu dan kebaikan?.‎

Homoseks Menjauhkan Pelakunya dengan Orang Lain

Homoseks menjauhkan pelakunya dari orang lain, terutama dari golongan yang orang-orang yang masih memiliki fitroh yang jernih mereka akan jijik ketika berkumpul dengan pelaku homoseks. Sehingga semakin berat tekanannya, maka semakin jauh pula jaraknya hingga berbagai manfaat dari orang yang baik terhalangi. Kesunyian dan kegersangan ini semakin menguat hingga berpengaruh pada hubungan dengan keluarga, anak-anak dan hati nuraninya sendiri.

Seorang Salaf berkata: “Sesungguhnya aku bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka aku merasakan pengaruhnya pada perilaku kenderaan dan isteriku.”
Homoseks Menyulitkan Urusan

Homoseks akan mengundang kegundahan dan kegelisahan pada pelakunya, Ibnu AbbasRadhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya perbuatan baik itu mendatangkan kecerahan pada wajah dan cahaya pada hati, kekuatan badan dan kecintaan. Sebaliknya, perbuatan buruk itu mengundang ketidakceriaan pada raut muka, kegelapan di dalam kubur dan di hati, kelemahan badan, merosotnya rizki dan kebencian makhluk”.‎

Homoseks Melemahkan Hati dan Badan

Kekuatan seorang mukmin terpancar dari kekuatan hatinya. Jika hatinya kuat maka kuatlah badannya. Di dalam “Ash-Shahihain” dari hadits An-Nu’man bin Basyir –Radhiyallahu ‘anhu- beliau berkata: Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wa sallam berkata:

«أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ».

“Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu terdapat segumpal darah, jika dia bagus maka bagus pula semuanya (yang ada di jasad), jika dia rusak maka rusak pula semuanya. Ketahuilah bahwa dia itu adalah hati”.

Tapi bagi pelaku homoseks meskipun badannya kuat, sesungguhnya dia sangat lemah jika kekuatan itu sedang dia tunjukkan, hingga kekuatan pada dirinya sering menipu dirinya sendiri. Lihatlah bagaimana kekuatan fisik kaum Luth yang Allah binasakan dengan diputar balikkan pemukiman mereka kemudian dihujani dengan batu!
Homoseks Menghalangi untuk Berbuat Ketaatan

Orang yang melakukan homoseks akan cenderung untuk memutuskan ketaatan. Seperti selayaknya orang yang sekali makan tetapi mengalami sakit berkepanjangan dan menghalanginya dari memakan makanan lain yang lebih baik.
Homoseks Memperpendek Umur dan Menghapus Keberkahan

Pada dasarnya, umur manusia dihitung dari masa hidupnya. Sementara itu tidak ada yang namanya hidup kecuali jika kehidupan itu dihabiskan dengan ketaatan, ibadah, cinta dan dzikir kepada Allah Ta’alaserta mementingkan keridhaan-Nya. Lihatlah pelaku homoseks umur mereka terbatasi dengan disegerakannya azab atau kalau tidak disegerakan azab Allah Ta’ala mengulur-ulurnya dengan kenikmatan sesaat yang ujung-ujungnya malah melumpuhkan dan membinasakan mereka di dunia dan di akhirat.
Homoseks Menumbuhkan Maksiat Lain

Seorang ulama Salaf berkata bahwa jika seorang hamba melakukan kebaikan, maka hal tersebut akan mendorong dia untuk melakukan kebaikan yang lain dan seterusnya. Dan jika seorang hamba melakukan keburukan, maka dia pun akan cenderung untuk melakukan keburukan yang lain sehingga keburukan itu menjadi kebiasaan bagi si pelaku.

Tidak heran jika kita dapati para homoseks khususnya waria mereka pun berani bunuh diri karena melihat diri mereka benar-benar di atas kehinaan di dunia ini.
Homoseks Menghilangkan Kebaikan dan Mendatangkan Dosa

Jika seseorang sudah terbiasa berbuat homoseks, maka ia tidak lagi memandang buruk perbuatan itu, sehingga homoseks itu menjadi figur dan pendidikan jasmaninya. Ia pun tidak lagi mempunyai rasa malu melakukannya, bahkan memberitakannya kepada orang lain tentang perbuatannya itu. Dosa yang dilakukannya dianggapnya ringan dan kecil. Padahal dosa itu adalah paling  besar di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla.‎

Homoseks Menimbulkan Kehinaan dan Mewariskan Kehinadinaan

Kehinaan itu tidak lain adalah akibat perbuatan maksiatnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla sehingga Allah ‘Azza wa Jalla pun menghinakannya, AllahTa’ala berkata dalam surat Al-Hajj ayat 18:

وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ

“…dan barang siapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki”.

Sedangkan kemaksiatan itu akan melahirkan kehinadinaan, karena kemuliaan itu hanya akan muncul dari ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalladalam surat Fathir ayat 10:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا

“Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah lah kemuliaan itu …”.

Seorang Salaf pernah berdoa: “Ya Allah, anugerahilah aku kemuliaan melalui ketaatan kepada-Mu, dan janganlah Engkau hina dinakan aku karena aku bermaksiat kepada Mu.”‎

Homoseks Merusak Akal‎

Seandainya seseorang itu masih berakal sehat, maka akal sehatnya itulah yang akan mencegahnya dari berbuat homoseks yang menjijikan itu. Kalaupun ada orang yang pernah melakukan homoseks terlihat cerdas, pandai dalam bertutur kata atau pandai merangkul pengikut maka jangan tertipu sewaktu-waktu akan tampak kehinaan dan kerendahannya baik tampaknya itu dengan sebab karena dia memaksa-maksakan diri dalam membuat hukum, baik dia itu mendakwahkan kepada bid’ah baik bid’ah hizbiyyah atau bid’ah jam’iyyah atau menghalalkan yang haram semisal menghalalkan minta-minta atau menghalalkan wasilah kepada kesesatan atau memaksa-maksakan diri seakan-akan sebagai seorang mujtahid mutlak.
Homoseks Menutup Hati

Allah ‘Azza wa Jalla berkata dalam surat Al-Muthaffifin ayat 14:

كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ.

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka”.

Al-Imam Hasan –Rahimahullah- mengatakan hal itu sebagai dosa yang berlapis dosa. Ketika dosa dan maksiat telah menumpuk maka hatinya pun telah tertutup.‎

Homoseks Dilaknat Oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam melaknat perbuatan maksiat secara umum diantaranya melakukan perbuatan homoseksual. (Lihat pembahasan yang telah lewat).‎

Homoseks Menghalangi Syafaat Rasul dan Malaikat

Kecuali bagi mereka yang benar-benar bertaubat dan kembali ke pada jalan yang lurus, Allah ‘Azza wa Jalla berkata dalam surat Ghafir ayat 7-9:

الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ (7) رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آَبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (8) وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (9).

“(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabbnya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyla-nyala. Ya Rabb kami, dan masukkanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang sholeh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Al-‘Aziz (Yang Maha Perkasa) lagi Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana). Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan) kejahatan pada hari itu Maka Sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan Itulah kemenangan yang besar”.
Homoseks Melenyapkan Malu

Bila seseorang sudah kecanduan dengan perbuatan homoseks maka tentu perasaan malunya pasti telah sirna, kalau pun dia masih ada sedikit perasaan malunya kalau kejijikannya itu dituduhkan kepadany dia pun akan mengingkari baik pengingkarannya itu dengan bersumpah palsu. Dan bila seseorang itu sudah kecanduan dengan perbuatan homoseks maka dia pun tidak malu-malu lagi berbuat homosekswalaun di keramaian manusia mereka tetap akan melampiaskan nafsu birahinya.
Homoseks Meremehkan Allah

Jika seseorang berbuat homoseks, disadari atau tidak, rasa untuk mengagungkan Allah ‘Azza wa Jalla perlahan-lahan lenyap dari hati. Jika perasaan itu masih ada, tentulah ia akan mencegahnya dari berlaku homoseks. Awalnya dia menganggap remeh dosa kemudian berani meremehkan Allah ‘Azza wa Jalla.
Homoseks Memalingkan Perhatian Allah

Allah ‘Azza wa Jalla akan membiarkan orang yang terus-menerus berbuat homoseks berteman dengan syaithan-syaithannya. Allah ‘Azza wa Jalla berkata dalam surat Al-Hasyr ayat 19:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik”.

Homoseks Melenyapkan Nikmat dan Mendatangkan Azab

Allah ‘Azza wa Jalla berkata dalam surat Asy-Syuraa ayat 30:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ.

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”.

Amirul Mu’minin Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Tidaklah turun bencana malainkan karena dosa. Dan tidaklah bencana lenyap melainkan karena taubat.”
Homoseks Memalingkan untuk Istiqamah

Orang yang hidup di dunia ini bagaikan seorang pedagang. Pedagang yang cerdik tentu akan menjual barangnya kepada pembeli yang sanggup membayar dengan harga tinggi. Allah ‘Azza wa Jalla yang akan membeli barang itu dan dibayarnya dengan kehidupan yang abadi dan penuh kenikmatan. Jika seseorang menjualnya dengan imbalan kehidupan dunia yang fana, ketika itulah ia tertipu.‎‎

Homoseks akan menggiring pelakunya untuk tidak lagi berbuat ketaatan dan bahkan menggiringnya pada perbuatan kufur.

TAUBAT PARA HOMOSEKS‎

Pintu taubat akan selalu terbuka bagi siapa saja yang pernah melakukan dosa, baik itu dosa kecil ataupun dosa besar, dan bahkan setiap orang yang melakukan dosa wajib baginya untuk segera bertaubat. Al-Imam An-Nawawy Rahimahullah dalam “Riyadhus Sholihin Bab Taubat” berkata: “Taubat itu wajib bagi setiap [orang yang berbuat] dosa”.

Hal ini berdasarkan perintahnya Allah kepada kaum mukminah agar mereka menjaga kehormatan mereka, kemudian Allah –Ta’ala– memerintahkan untuk benar-benar bertaubat, Allah –Ta’ala– berkata dalam surat An-Nuur ayat 31:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.

Dan diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ary –Radhiyallahu ‘anhu-: Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata:

«إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا».

“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada waktu malam supaya orang-orang yang berbuat dosa pada siang hari bertaubat, juga Allah membentangkan tangannya pada siang hari, supaya bertaubat orang-orang yang berbuat dosa pada waktu malam hari. Allah akan terus membentangkan tangan-Nya sampai matahari terbit dari barat”.

Juga Allah –Ta’ala– tegaskan dalam Al-Qur’an pada surat Huud ayat 3:

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِير.

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat”.

Mengingat kita belum mendapatkan tentang sirah (perjalan hidup) orang-orang yang terdahulu yang pernah melakukan homoseks kemudian ada keterangan bahwa mereka bertaubat, maka dari sini bagi yang melakukan homoseks agar seharusnya benar-benar dan bersungguh-sungguh dengan kesungguhan yang paling puncaknya kesungguhan untuk bertaubat kepada Allah dan memohon kepada Allah –Ta’ala– kekuatan iman dan tekad. Sebagai penghibur dan kabar gembira Allah –Ta’ala– berkata dalam surat At-Tahrim ayat 8:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

RENTETAN SEJARAH HOMOSEKS‎

Berikut ini kami paparkan rentetan sejarah homoseksmenurut sejarahwan dari kalangan Barat yangnotabene-nya dari kaum kafir, bahwa homoseksmemiliki rentetan sejarah, yaitu:‎

A. Masa Prasejarah (8000-5000 SM)

Gua Val Camonica di Itali, memiliki gambar-gambar tentang hubungan gay di masa prasejarah. Menurut para ahli hal ini terjadi karena pada masa itu, jabatan keluarga belum sejelas saat ini, bahkan balum ada bahasa untuk kata ‘ayah’. Seorang wanita bukan sebuah obyek sex seperti saat ini, mereka sangat menghormati wanita, karena dianggapnya ‘Creators of life‘.‎

B. Sumerian (4000-2000 SM)

Bangsa Sumeria tercatat dalam sejarah memiliki jabatan Imam yang harus gay, karena si imam tidak boleh berhubungan dengan wanita. Mereka menyebut imamnya Assinu, dalam terjemahannya berarti pria yang memiliki rahim.
C. Sodom Gomora “Kaum Nabi Luth” (3000 SM)

Kisah kota gay yang paling terkenal karena ada dalam kitab suci Al-Qur’an. Kota terbesar di dunia pada masa itu, dengan kebudayaan teknologi yang paling maju dalam irigasi dan pertanian, tiba-tiba hilang dari peradaban karena bencana alam. Kota ini dalam catatan sejarah suka sekali membeli budak, terutama budak anak laki-laki. Dalam budaya mereka, penduduk kota ini suka sekali menangkap seorang musafir, atau orang asing bagi mereka (biasanya pria muda), dengan tuduhan mata-mata kemudian dihukum dengan dipermainkan dan diperkosa beramai-ramai di depan umum (De Abrahamo, 1996)
D. Mesir (1500 SM)

Ratu Hatsepsut menggusur Fira’un yang berkuasa dengan marah tanpa diketahui sebabnya, kemudian sang Ratu memerintah sendiri negeri itu, dan menjuluki dirinya ‘Son of the Son‘. Padahal sang Ratu memang memiliki kuasa lebih tinggi dari Firaun yang hanya bertugas memerintah dan mengatur rakyat. Kenapa Ratu begitu marah dan menjuluki dirinya ‘anak lelaki dari anak lelaki’? Menurut cerita, Ratu Hatsepsut cemburu pada Firaun yang gay dan tidak menyukai wanita, sehingga ia marah dan melakukan hal tersebut. Tahun 1380 SM, masih di Mesir muncul seorang raja yang tidak jelas kelaminnya, bernama Akhnaton (mungkin banci pada masa kini). Pada masa pemerintahannya, ia mengharuskan rakyat Mesir hanya menyembah dewa yang memiliki dua kelamin yaitu Alton.
E. Yunani (700-600 SM)

Masa kejayaan gay dan homoseksual terjadi di peradaban ini. Awalnya Yunani terkenal dengan para pahlawannya yang sangat perkasa, cerita-cerita legendaris tentang peperangan dan dewa perang muncul di jaman ini. Prajurit Yunani-lah yang pertama kali menggunakan tombak dan perisai dalam peperangan. Sejarah mengatakan Persia terus mengalami kekalahan melawan Yunani walaupun tentara Persia berjumlah 10 kali lipat dari tentara Yunani. Di kerajaan para dewa ini intelektual dan kekuatan dipuja-puja. Seni dan filsafat lahir dari mereka, yang menjadi ibu segala pengetahuan yang kita pelajari di sekolah. Peradaban gay Yunani menciptakan tempat-tempat pria untuk “merawat dan mempercantik diri”, seperti Salon, Barber, Sauna, dan Gymnasium. Budaya mencukur kumis dan jenggot serta memotong rambut pendek, ditemukan para gay untuk mempercantik dirinya. Bila melihat hasil-hasil karya seni mereka dalam patung dan lukisan, kita akan melihat bagaimana mereka lebih memuja lekuk tubuh pria daripada tubuh wanita.‎

F. Roma (520 M)‎

Romawi adalah pewaris dari kebudayaan Yunani yang juga mencatat kebudayaan gay. Kaisar Nero yang diktator, memiliki seorang kekasih pria. Namun di akhir kejayaan kekaisaran romawi setelah masa Konstantin yang mengubah Romawi menjadi kerajaan Kristen,homoseksual dan gay dilarang. Mengakibatkan Uskup dari Rhodes, dan Uskup dari Diaspolis dihukum mati karena tuntutan tersebut. Sejak saat itu (520) budaya Kekristenan telah mengakhiri kebudayaan gay, sebuah hubungan sex harus dalam koridor perkawinan yang direstui gereja.‎

TANGGAPAN:

Berbicara tentang masalah prasejarah merupakan suatu masalah yang sudah dikenal dikalangan orang-orang yang terpelajar khususnya, yang masa prasejarah tersebut juga dikenal dengan masa-masa dimana manusia belum mengenal tulisan. Dimana juga dikatakan (sebagaimana dalam rentetan sejarahhomoseks di atas) di zaman itu: “Jabatan keluarga belum sejelas saat ini, bahkan belum ada bahasa untuk kata ‘ayah’”.

Apakah benar demikian? Terus bagaimana dengan bapak manusia (Adam ‘Alaihis salam) yang Alloh ciptakan, kemudian di susul dengan isterinya Hawa, dan dia mengetahui bahwa Hawa adalah  wanita dan kemudian diperistri oleh Adam? Juga kemudian diajarkan tentang apa yang ada di muka bumi kepada Abul Basyar Adam dan istrinya?

Apakah benar bahwa sebelum kaum Luth sudah ada yang melakukan homoseks sebagaimana yang termaktub dalam rentetan sejarah tersebut? Bagi orang yang pernah membuka lembaran-lembaran Al-Qur’an pasti akan mengingkari kalau di zaman sebelum Nabi Luth (atau zaman prasejarah) sudah ada yang melakukan homoseks, karena dengan tegas Alloh kisahkan tentang nabi-Nya Luth –‘Alaihis salam dalam surat Al-Ankabut ayat 28:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ

“Dan Luth ketika berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya kalian telah melakukan fahisy yang belum pernah seorang pun melakukannya sebelum kalian di alam ini.”

Ini menunjukkan batilnya teori-teori yang menjelaskan masa-masa prasejarah, ditambah lagi bukti kebatilannya, Alloh tidak menindir masalah prasejarah dalam Al-Qur’an juga dalam hadits juga tidak ada kisah yang menjelaskannya melalui rentetan jalur (sanad), apalagi tentang manusia purba. sekadar contoh tentang batilnya mcerita masa-masa prasejarah adalah teori evolusi yang di kemukakan oleh anak cucunya kera Charles Darwin –La’anahullah-, dalam “The Origin of Species” Darwin menjelaskan: “Jika teori saya benar, pasti pernah terdapat jenis-jenis bentuk peralihan yang tak terhitung jumlahnya, yang mengaitkan semua spesies dari kelompok yang sama…Sudah tentu bukti keberadaan mereka di masa lampau hanya dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan fosil”.

Teori Darwin sama sekali tidak didasarkan pada penemuan ilmiah yang nyata sebagaimana yang diakuinya, jadi ini hanya sekadar “dugaan dan khayalan”. Di samping itu, sebagaimana yang diakui Darwin dalam satu bab panjang berjudul “Difficulties of the Theory (Kesulitan-Kesulitan Teori Ini)” dalam buku “The Origin of Species” di mana ia mengatakan: “…Jika suatu spesies memang berasal dari spesieslain melalui perubahan sedikit demi sedikit, mengapa kita tidak melihat sejumlah besar bentuk transisi di manapun? Mengapa alam tidak berada dalam keadaan kacau balau, tetapi justru seperti kita lihat, spesies-spesies hidup dengan bentuk sebaik-baiknya?… Menurut teori ini harus ada bentuk-bentuk peralihan dalam jumlah besar, tetapi mengapa kita tidak menemukan mereka terkubur di kerak bumi dalam jumlah yang tidak terhitung?… Dan pada daerah peralihan, yang memiliki kondisi hidup peralihan, mengapa sekarang tidak kita temukan jenis-jenis peralihan dengan kekerabatan yang erat? Telah lama kesulitan ini sangat membingungkan saya.”

Ini menunjukkan bukti terkuat bahwa: Allah tidak menciptakan makhluk hidup melalui proses evolusi! Allah Ta’ala berkata dalam Al-A’laa ayat 1 sampai 3:

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى (1) الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى (2) وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى (3).

“Sucikanlah nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.

Semoga dengan tulisan yang ringkas ini sebagai sebab adanya keinginan untuk kita beramal sholih, merealisasikan perintah dan meninggalkan larangan walaupun pahit rasanya, betapa indahnya perkataan Al-Imam Ibnul Qayyim –Rahimahullah– dalam “Al-Fawa’id” (hal. 152): Ciri khas orang yang sehat akalnya adalah orang yang bersabar dengan penderitaan sesaat, dengan itu akan membuahkan kenikmatan yang besar dan kebaikan yang banyak. Dan ia akan menahan diri dari kenikmatan sesaat yang mengakibatkan kepedihan yang besar dan penderitaan yang berlarut-larut.‎

Kita memohon kepada Allah Yang Maha Membolak-balikan hati, semoga Allah –ta’ala- memberikan kekuatan kepada kita dan anak keturunan kita agar tidak terjerumus kedalam perbuatan dosa yang paling keji ini, dan semoga Allah –ta’ala- memberikan hidayah kepada mereka yang telah terlanjur berbuat agar bersegera untuk kembali kepada syari’at Allah –‘Azza wa jalla.

Perlu menjadi kesadaran bagi umat Islam di Indonesia, bahwa LGBT merupakan penyimpangan orientasi seksual yang dilarang oleh semua agama terlebih lagi Islam. Selain karena perbuatan keji ini akan merusak kelestarian manusia, yang lebih penting Allah swt dan Rasulullah melaknat perbuatan kaum Nabi Luth ini. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk melawan segala jenis opini yang seolah atas nama HAM membela kaum LGBT akan tetapi sesungguhnya mereka membawa manusia menuju kerusakan yang lebih parah.
Disinilah urgensitas penerapan syariah Islam dalam bingkai Khilafah Islam dengan seperangkat aturan dan konsep dalam mengatur hubungan diantara pria dan wanita. Aturan Islam akan senantiasa membentuk ketaqwaan individu, memberi dorongan kepada masyarakat untuk saling menasihati dan menciptakan lingkungan Islami serta negara yang menindak tegas para pelaku LGBT sebagai fungsi pencegah dan penebus dosa.

Penjelasan Hukum Banci Dalam Pandangan Islam

 

Salah satu kebanggaan kita sebagai kaum Muslimin ialah syariat Islam itu sendiri. Kita bangga karena memiliki syariat paling lengkap di dunia. Syariat yang mengatur segalanya, dari perkara yang paling besar hingga yang paling sepele. Semua yang menyangkut kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat tak lepas dari tinjauan syariat. Laki-laki, perempuan, tua, muda, besar, kecil, penguasa, rakyat jelata; semuanya diatur secara adil dan bij aksana. Bahkan kaum banci pun tak lepas dari pembahasan.

Benar, kaum banci yang sering menjadi ledekan dan bahan tertawaan, ternyata tidak diabaikan oleh syariat begitu saja, sebab ia juga manusia mukallaf sebagaimana lelaki dan wanita normal. Karenanya, dalam fiqih Islam, kita mengenal istilah mukhannats (banci/bencong), mutarajjilah (wanita yang kelelakian), dan khuntsa (interseks/berkelamin ganda).

Masing-masing dari istilah ini memiliki definisi dan konsekuensi berbeda. Akan tetapi, dua istilah yang pertama biasanya berkonotasi negatif, baik di mata masyarakat maupun syariat. Sedangkan yang ketiga belum tentu demikian.

Laki-laki yang sengaja menyerupai wanita dalam berpakaian, berdandan, bertingkah laku, berbicara, bergaya dan sebagainya adalah haram. Demikian pula wanita yang menyerupai laki-laki.

Di antara yang terlarang adalah memakai pakaian yang menjadi ciri khas wanita. Bahkan terlarang pria menyerupai wanita secara umum.
Sebagaimana kita saksikan sendiri sebagian publik figur sering mencontohkan bergaya seperti itu. Ada yang memakai rok dan memakai pakaian wanita lainnya. Begitu pula yang nampak pada para banci/ bencong yang bergaya seperti wanita. Bergaya seperti ini terkena larangan sekaligus laknat sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits berikut ini.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Bukhari no. 5885).
Dalam lafazh Musnad Imam Ahmad disebutkan,
لَعَنَ اللَّهُ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
“Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita, begitu pula wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Ahmad no. 3151, 5: 243. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيّ ص اَنَّهُ لَعَنَ اْلمُتَشَبّهَاتِ مِنَ النّسَاءِ بِالرّجَالِ، وَ اْلمُتَشَبّهِيْنَ مِنَ الرّجَالِ بِالنّسَاءِ. ابو داود 4: 60، رقم: 4097

Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi SAW, bahwasanya beliau mela’nat wanita yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai wanita. [HR. Abu Dawud juz 4, hal. 60, no. 4097]

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: لَعَنَ النَّبِيُّ ص اْلمُخَنَّثِيْنَ مِنَ الرّجَالِ وَ اْلمُتَرَجّلاَتِ مِنَ النّسَاءِ. وَ قَالَ: اَخْرِجُوْهُمْ مِنْ بُيُوْتِكُمْ. البخارى 7: 55

Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata  : Rasulullah SAW mela’nat para laki-laki yang bergaya seperti wanita dan para wanita yang bergaya seperti laki-laki. Dan beliau bersabda, “Keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kalian”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 55]

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ ص الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ اْلمَرْأَةِ، وَ اْلمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ. ابو داود 4: 60، رقم: 4098

Dari Abu Hurairah, ia berkata, "Rasulullah SAW mela’nat orang laki-laki yang memakai pakaian wanita, dan wanita yang memakai pakaian laki-laki". [HR. Abu Dawud juz 4, hal. 60, no. 4098].

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ امْرَأَةً مَرَّتْ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ ص مُتَقَلّدَةً قَوْسًا، فَقَالَ النَّبِيُّ ص: لَعَنَ اللهُ اْلمُتَشَبّهَاتِ مِنَ النّسَاءِ بِالرّجَالِ وَ اْلمُتَشَبّهِيْنَ مِنَ الرّجَالِ بِالنّسَاءِ. الطبرانى فى الاوسط 5: 14، رقم: 4015

Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya ada seorang wania berselempang busur panah lewat di depan Rasulullah SAW, maka Nabi SAW bersabda, “Allah mela’nat para wanita yang menyerupai laki-laki dan para laki-laki yang menyerupai wanita”. [HR. Thabraniy dalam Al-Ausath, juz 5, hal. 14, no. 4015, hadits ini dla’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama‘Ali bin Sa’id Ar-Raaziy]
Begitu pula dalam hadits Abu Hurairah disebutkan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَعَنَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لُبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لُبْسَةَ الرَّجُلِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita, begitu pula wanita yang memakai pakaian laki-laki” (HR. Ahmad no. 8309, 14: 61. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim, perowinya tsiqohtermasuk perowi Bukhari Muslim selain Suhail bin Abi Sholih yang termasuk perowi Muslim saja). Dalam hadits terakhir ini yang dilaknat adalah gaya pakaiannya. Sedangkan hadits di atas adalah mode bergaya secara umum.manakah yang menjadi gaya dan pakaian wanita, di sini tergantung pada masing-masing daerah. Karena ada yang menjadi gaya wanita di sebagian tempat, namun tidak menjadi masalah bahkan menjadi budaya berpakaian di tempat lainnya.
Imam al-Manawi (w. 1031 H) berkata;

فيه كما قال النووي حرمة تشبه الرجال بالنساء وعكسه لأنه إذا حرم في اللباس ففي الحركات والسكنات والتصنع بالأعضاء والأصوات أولى بالذم والقبح فيحرم على الرجال التشبه بالنساء وعكسه في لباس اختص به المشبه بل يفسق فاعله للوعيد عليه باللعن

“Dalam hadits ini terdapat pelajaran -sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawawi- haramnya laki-laki menyerupai wanita dan sebaliknya, karena apabila penyerupaan dalam pakaian itu diharamkan maka penyerupaan dalam gerakan, diam, gaya tubuh dan suara lebih pantas untuk dicela dan dijelekkan, sehingga diharamkan atas laki-laki menyerupai wanita dan sebaliknya dalam pakaian yang khusus bagi yang diserupai tersebut, bahkan pelakunya dihukumi fasik (pelaku dosa besar) karena adanya ancaman laknat atasnya.” [Faidhul Qodiir, 5/343]

Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud di sini bukan hakikat laknat melainkan suatu penolakan semata agar siapa saja yang mendengar larangan ini menahan diri dari perbuatan seperti itu dan hal itu pun mengandung kedudukan sebagai seruan untuk menjauhinya.

Dan dikatakan pula bahwa jika al-Mushthafa -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- melaknat pelaku maksiat maka hal itu sebagai peringatan bagi mereka sebelum melakukan perbuatan yang terlarang tersebut, sehingga jika mereka menurutinya maka beliau -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- memohonkan ampunan baginya dan menyeru mereka untuk bertaubat, adapun siapa saja yang berbuat durhaka kepadanya maka laknat beliau -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- baginya merupakan pendidikan atas perbuatan tersebut.

Dan kata la’ana mashdar-nya adalah ‎al-la’nu yakni al-ta’dzîb (siksaan), Imam al-Azhari (w. 370 H) memaknai (لعنه الله) yakni Allah menjauhkannya.  Al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H) menjelaskan:

وَأَصْلُ اللَّعْن: الطَّرْد والإبْعاد مِنَ اللهِ، وَمِنَ الخَلْق السَّبُّ والدُّعاء

“Asal kata al-la’nu: terhempas dan terjauhkan  dari Allah, dan dari makhluk-Nya berupa celaan dan do’a keburukan.” (Al-Nihâyah fii Ghariib al-Hadiits wa al-Atsar (IV/255)). ‎‎

Semacam di Arab, para pria mengenakan pakaian ‘tsaub’, jubah putih panjang sampai di mata kaki. Layaknya seperti memakai daster di tempat kita, bahkan ditambah lagi mereka memakai penutup kepala (qutroh) seperti kerudung. Namun itu memang pakaian pria mereka. Sehingga adat berpakaian wanita ataukah bukan tergantung pada zaman dan tempat. Yang jelas jika pria memakai rok di tempat kita, sudah dianggap ia bergaya seperti wanita sebagaimana yang kita lihat pada gaya para ‘banci’. Dan inilah yang terkena laknat.

Laki-laki mengenakan celana, jubah, sarung atau pakaian apa saja yang menutupi mata kaki. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

وقد يتجه المنع فيه من جهة التشبه بالنساء وهو أمكن فيه من الأول وقد صحح الحاكم من حديث أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم لعن الرجل يلبس لبسه المرأة

“Bisa saja maksud pelarangan mengenakan pakaian yang menutupi mata kaki bagi laki-laki adalah dari sisi penyerupaan terhadap wanita, dan ini adalah lebih mungkin dari makna yang pertama (yaitu dari sisi pemborosan), dan Al-Hakim telah men-shahih-kan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang mengenakan pakaian wanita.” [Fathul Baari, 10/263]

Secara bahasa, kata mukhannats berasal dari kata dasar khanitsa-yakhnatsu. Artinya, berlaku lembut. Dari istilah umum tersebut, maka istilah banci, bencong, waria cocok untuk mengartikan mukhannats. Sedangkan untuk istilah, mutarajjilah, mungkin terjemahan yang paling mendekati adalah “wanita tomboy”.

Dalam Syarahnya, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullâh mengatakan, bahwa laknat dan celaan Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam tadi khusus ditujukan kepada orang yang sengaja meniru lawan jenisnya. Adapun bila hal tersebut bersifat pembawaan (karakter asli), maka ia cukup diperintah agar berusaha meninggalkannya semaksimal mungkin secara bertahap. Bila ia tidak mau berusaha meninggalkannya, dan membiarkan dirinya seperti itu, barulah ia berdosa, lebih-lebih bila ia menunjukkan sikap ridha dengan perangainya tadi.

Adapun sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa mukhannats alami tidak dianggap tercela ataupun berdosa. Maksudnya ialah seseorang yang tidak bisa meninggalkan cara berbicara yang lembut dan gerakan gemulai setelah ia berusaha meninggalkannya. Sedangkan bila ia masih dapat meninggalkannya walaupun secara bertahap, maka ia dianggap berdosa bila melakukannya tanpa udzur.

Dari keterangan tadi, dapat disimpulkan bahwa banci terbagi menjadi dua.
Pertama: Banci alami. Yaitu seseorang yang ucapannya lembut dan tubuhnya gemulai secara alami, dan ia tidak dikenal sebagai orang yang suka berbuat keji. Maka orang seperti ini tidak dianggap fasik. Dia bukan orang yang dimaksud oleh hadits-hadits di atas sebagai objek celaan dan laknat.

Kedua: Banci karena sengaja meniru-niru kaum wanita, dengan melembutkan suara ketika berbicara, atau menggerakan anggota badan dengan lemah gemulai. Perbuatan ini adalah kebiasaan tercela dan maksiat yang menjadikan pelakunya tergolong fasik.

Pembagian ini juga berlaku bagi wanita yang menyerupai laki-laki (waria). Sebab pada dasarnya kaum wanita juga terkena perintah dan larangan dalam agama sebagaimana laki-laki, selama tidak ada dalil yang mengecualikannya.

Jadi, tindakan menyerupai lawan jenis yang disengaja bukanlah hal sepele. Tindakan itu tergolong dosa besar dan merupakan perbuatan tercela. Nantinya tidak hanya berpengaruh secara lahiriyah, namun juga merusak kejiwaan. Seorang banci memiliki fisik seperti laki-laki, namun jiwanya menyerupai wanita. Demikian pula waria yang fisiknya wanita, namun jiwanya laki-laki. Mereka sengaja mengubah fisik dan kejiwaan aslinya, sehingga hati mereka pun turut berubah dan rusak karenanya. Oleh sebab itu, kaum banci dan waria jarang sekali mendapat hidayah dan bertaubat dari dosa besar tersebut. Ini merupakan peringatan dari Allâh Ta’âla agar kita mengambil pelajaran darinya, dan bersyukur kepada-Nya yang telah menjadikan kita memiliki jiwa dan raga yang sehat wal afiat.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ قَالَ فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلَانًا وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلَانًا - رواه البخاري

Dari Ibnu Abbas ra berkata, bahwasanya Rasulullah SAW melaknat mukhannasin (laki-laki yang menyerupai perempuan) dan mutarajjilat (perempuan yang menyerupai laki-laki). Beliau bersabda, ”Keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kalian.” Maka Rasulullah SAW mengeluarkan Fulan dari rumahnya dan Umar juga mengeluarkan Fulan dari rumahnya. (HR. Bukhari)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :

1. Bahwa Allah menciptakan segala sesuatu di dunia ini secara berpasang-pasangan; ada siang dan malam, ada besar dan kecil ada terang dan gelap dst. Demikian juga ketika menciptakan manusia, Allah SWT menciptakannya secara berpasang-pasangan ; ada laki-laki dan juga ada perempuan, yang masing-masing memiliki fitrah tersendiri yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan fitrah antara laki-laki dan perempuan adalah untuk saling melengkapi, sekaligus sebagai tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah SWT. Allah SWT berfirman :

وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
 
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah. (QS. Ad-Dzariyat : 49)

2. Bahwa jenis manusia yang Allah ciptakan hanyalah jenis laki-laki dan perempuan saja, tidak ada jenis lainnya yang ketiga. Sehingga tidak benar manakala ada seseorang yang mengatakan bahwa dirinya secara psikologis adalah perempuan, namun secara fisik dia adalah laki-laki dan kemudian ia berperilaku layaknya seperti seorang perempuan (baca ; banci), ataupun sebaliknya. Demikianlah yang Allah gambarkan dalam Al-Qur’an :

وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَاْلأُنثَى 
Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan. (QS. An-Najm : 45)

3. Bahwa haram hukumnya bagi seorang laki-laki menyerupai perempuan dalam segala hal, baik dalam gerakan, cara bicara, gaya, penggunaan perhiasan, dalam berpakaian, dalam kebiasaan, maupun segala hal lainnya yang terkait dengan perempuan. Hadits di atas sangat jelas dan sangat tegas menggambarkan hal tersebut, bahkan pelarangannya dengan menggunakan bahasa “melaknat” seorang laki-laki yang menyerupai perempuan maupun perempuan yang menyerupai laki-laki. Di samping melaknat, hadits di atas juga memerintahkan untuk mengeluarkan (baca ; mengusir) mereka dari dalam rumah. Dalam riwayat lainnya disebutkan :

عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ - رواه البخاري

Dari Ikrimah dan Ibnu Abbas ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang meniru perempuan dan perempuan yang meniru laki-laki. (HR. Bukhari)

4. Larangan menyerupai atau tasyabbuh ini berlaku bagi setiap laki-laki (yang menyerupai perempuan) dan juga bagi perempuan (yang menyerupai laki-laki). Artinya bahwa laki-laki yang menyerupai wanita adalah terlaknat, sebagaimana perempuan yang menyerupai laki-laki juga terlaknat. Mereka derajatnya adalah sama-sama mendapatkan laknat. Dan dewasa ini kita melihat banyak sekali kaum laki-laki yang bergaya, berbicara, berdandan, berpakaian, berkebiasaan seperti perempuan. Mereka bahkan tampil di televisi, di panggung-panggung hiburan publik, dsb dengan tingkah polah sedemikian rupa dengan alasan hiburan dan entertaiment. Sementara di pihak lain masyarakat saat ini menganggapnya bahwa hal tersebut adalah biasa dan tidak apa-apa. Padahal hal tersebut merupakan perbuatan terlaknat, dan jangan-jangan bukan hanya pelakunya saja yang dilaknat, namun yang menyaksikannya pun juga bisa jadi juga terlaknat.

5. Bahwa bentuk larangan yang menggunakan kalimat “Rasulullah SAW melaknat”, memiliki makna yang mendalam. Ulama berpendapat, kata “dilaknat” dalam hadits di atas menunjukkan bahwa tasyabuh (baca ; menyerupai) perempuan bagi laki-laki ataupun menyerupai laki-laki bagi perempuan merupakan dosa besar. Hikmah diharamkannya tasyabuh ini adalah bahwa orang yang melakukan tasyabuh tersebut telah keluar dari fitrah dan watak pembawaannya sebagaimana yang telah diciptakan oleh Allah SWT. Berkenaan dengan lafaz “melaknat” sendiri, dalam Al-Qur’an Allah SWT menggambarkan tentang orang-orang yang dilaknat Allah SWT, bahwa kelak mereka akan mendapatkan azab yang pedih, dan mereka tidak akan mendapatkan orang atau sesuatu yang menolong mereka :

أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللّهُ وَمَن يَلْعَنِ اللّهُ فَلَن تَجِدَ لَهُ نَصِيراً 
Mereka itulah orang yang dilaknat Allah. Barangsiapa yang dilaknat Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya. (QS. An-Nisa’ : 52)

6. Bagaimana harus memperlakukan mukhannsin (laki-laki yang menyerupai perempuan) dan mutarajjilat (perempuan yang menyerupai laki-laki)? Dalam sebuah riwayat disebutkan bagaimana Rasulullah SAW memperlakukan seorang laki-laki yang menyerupai perempuan bahwa orang tersebut diasingkan ke tempat yang jauh dari pemukiman masyarakat sebagai berikut :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِمُخَنَّثٍ قَدْ خَضَّبَ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ بِالْحِنَّاءِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا بَالُ هَذَا فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَتَشَبَّهُ بِالنِّسَاءِ فَأَمَرَ بِهِ فَنُفِيَ إِلَى النَّقِيعِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نَقْتُلُهُ فَقَالَ إِنِّي نُهِيتُ عَنْ قَتْلِ الْمُصَلِّينَ - رواه أبو داود
Dari Abu Hurairah bahwasanya dibawa kepada Nabi SAW seorang laki-laki yang berlagak seperti wanita, dia memberi warna dengan hinna' (quitec) pada (kuku-kuku) kedua tangan dan kakinya. Maka Rasulullah SAW bertanya : "Kenapa orang ini ?" Ada sahabat yang menjawab, “Ya Rasulullah, orang laki-laki itu berlagak seperti wanita". Lalu diperintahkan (oleh Rasulullah) supaya orang tersebut diasingkan ke Naqi' (suatu tempat di daerah Muzainah, perjalanan dua malam dari Madinah), lalu ditanyakan kepada beliau, "Ya Rasulullah, apakah tidak kita bunuh saja orang itu ?" Beliau menjawab, "Sesungguhnya aku dilarang membunuh orang-orang yang shalat". (HR. Abu Daud)

7. Hikmah pelarangan dan bahkan keharusan untuk “mengasingkan” (baca ; mengusir) orang-orang yang menyerupai laki-laki dan perempuan, adalah agar “penyakit” seperti ini tidak menyebar dan tidak merusak banyak orang. Menurut ahli pendidikan Prof Arif Rahman, terkait dengan maraknya acara di televisi yang menampilkan para waria “Tayangan kebanci-bancian jika dibiarkan akan terjadi pembenaran dan ini bisa menular. Pada akhirnya akan terjadi suatu pembentukan masyarakat yang tidak sehat untuk Indonesia.”

Dan berdasarkan pengamatan “penulis” sendiri, ketika ada seseorang yang berkonsultasi kepada penulis dan ia mengakui bahwa dirinya “memiliki kecenderungan kebanci-bancian dan menyukai sesama jenis” bahwa asal muasal kecenderungan tersebut muncul ketika ia banyak “bergaul” dan berinteraksi dengan para banci, dan lama kelamaan ia pun memiliki kecenderungan yang sama.

PROFESI BANCI
Mungkin yang terlintas dalam benak kita ketika membayangkan profesi banci, bencong, waria, ialah seperti penata rias (salon), pengamen, pelawak, penjaja cinta (PSK) atau desainer busana. Akan tetapi, bila kita merujuk ke penjelasan para Salaf, ternyata ada juga yang mereka anggap sebagai profesi banci, dan kini banyak dilakoni oleh lelaki normal, bahkan terkesan sebagai profesi keren, seperti menjadi penyanyi.

Al-Marwazi rahimahullâh meriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullâh, bahwasanya beliau mengatakan: “Penghasilan orang banci adalah kotor, sebab ia mendapatkan uang lewat menyanyi, dan orang banci tidaklah menyanyikan sya’ir-sya’ir yang mengajak untuk zuhud; namun ia bernyanyi seputar cinta, asmara, atau meratapi kematian”. Dari sini, jelaslah bahwa Imam Ahmad rahimahullâh menganggap penghasilan seorang banci sebagai sesuatu yang makruh.

Bila dicermati, yang dimaksud ‘makruh’ oleh Imam Ahmad ialah karâhah tahrîm, alias makruh yang berarti haram. Sebab beliau mengaitkannya dengan hal-hal yang sifatnya haram, seperti bernyanyi seputar cinta, asmara, dan meratapi orang mati.

Jadi, seorang penyanyi yang nampak gagah di mata banyak orang hari ini, menurut para Salaf adalah orang banci, dan penghasilan mereka sifatnya haram, karena diperoleh melalui cara yang haram. Apalagi jika ia sengaja bertingkah laku seperti wanita (pura-pura banci), maka lebih haram lagi, sebagaimana yang sering dilakukan para pelawak.

Demikian pula banci yang bekerja di salon dan melayani wanita yang bukan mahramnya, ini juga makruh hukumnya bila ia seorang banci alami, sebab profesi ini justru melestarikan sifat bancinya, padahal ia diperintahkan untuk meninggalkan sifat tersebut. Namun bila ia sekedar pura-pura banci, maka pekerjaan ini jelas haram hukumnya.

Apalagi yang berprofesi sebagai bencong penjaja cinta dan akrab dengan tindak-tindak asusila, maka jauh lebih diharamkan lagi, karena mereka melakukan perbuatan kaum Luth yang sangat tercela dan berat sanksinya dalam agama. Bahkan saking bejatnya perbuatan ini, pelakunya tidak pantas dibiarkan hidup.

BEBERAPA KEBIASAAN BANCI‎

1. Memacari (Mewarnai) Tangan dan Kaki.
Imam Nawawi rahimahullâh mengatakan, “Mewarnai kedua tangan dan kaki dengan pacar (hena) dianjurkan bagi wanita yang bersuami. Hal ini berdasarkan sejumlah hadits yang masyhur dalam bab ini. Akan tetapi ia haram bagi kaum lelaki, kecuali bila digunakan sebagai obat dan semisalnya. Salah satu dalil yang menunjukkan keharamannya ialah sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahîh, bahwa Allâh melaknat kaum lelaki yang menyerupai perempuan dan kaum perempuan yang menyerupai lelaki. Demikian pula dalam hadits shahîh dari Anas, bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam melarang orang laki-laki menggunakan za’faran. (HR. al-Bukhari dan Muslim). Larangan ini berkenaan dengan warnanya, bukan dengan aromanya; sebab menggunakan sesuatu yang harum hukumnya sunnah bagi lelaki. Hena (pacar), dalam hal ini juga sama dengan za’faran (saffron).‎

Imam asy-Syaukani rahimahullâh mengatakan, “Telah dijelaskan bahwa mewarnai tangan dan kaki dengan pacar adalah perbuatan kaum wanita. Dan sebagaimana diketahui, hal ini dilakukan oleh lelaki yang ingin menyerupai wanita”.

2. Menabuh Gendang.‎

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh mengatakan, “Karena menyanyi, menabuh rebana, dan bertepuk tangan adalah perbuatan wanita; maka para salaf menamakan kaum lelaki yang melakukannya sebagai ‘banci’ (mukhannats). Mereka menamakan para penyanyi sebagai kaum banci, dan ini sangat populer dalam ucapan mereka.”‎

3. Menyanyi.‎

Syaikhul-Islam rahimahullâh juga mengatakan, “Salah satu perbuatan muhdats (baru; bid’ah) yang diadakan oleh mereka (kaum sufi) ialah mendengarkan nyanyian para banci yang terkenal sebagai biduan orang-orang fasik dan pezina. Atau terkadang mereka mendengarkan nyanyian bocah-bocah kecil berwajah tampan, atau kaum wanita jelita; sebagaimana kebiasaan pengunjung tempat-tempat hiburan…”.‎

4. Berjoget.
Menurut madzhab Hanafi, orang yang menghalalkan berjoget adalah kafir. Yang dimaksud joget di sini, artinya melakukan gerakan miring kesana kemari yang disertai membungkukkan dan mengangkat badan dengan cara tertentu, sebagaimana tarian tarekat sufi.‎

Adapun menurut ulama Syafi’iyyah, berjoget tidak diharamkan kecuali bila gerakannya lemah gemulai seperti orang banci.

Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, berjoget hukumnya makruh.

Ash-Shan’ani rahimahullâh mengatakan: “Berjoget dan bertepuk tangan adalah kebiasaan orang fasik dan bejat; bukan kebiasaan orang yang mencintai Allâh dan takut kepada-Nya…”.

5. Memangkas Jenggot Dan Mencukurnya.
Maksudnya, ialah jenggot yang panjangnya kurang dari satu genggam. Ibnu Abidin mengatakan, “Adapun memangkas jenggot yang panjangnya kurang dari satu genggam, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang Maghrib dan lelaki banci, maka tidak ada seorang alim pun yang membolehkannya.”‎

BEBERAPA ATURAN TERKAIT ORANG BANCI

1. MENJADI IMAM SHALAT
Jika yang bersangkutan banci alami, maka ia sah menjadi imam shalat. Dan ia tetap diperintahkan untuk berusaha meninggalkan sikap bancinya secara kontinyu dan bertahap. Bila ternyata belum bisa juga, maka tidak ada celaan baginya.

Adapun jika ia pura-pura banci, maka ia dianggap fasik. Dan orang fasik hukumnya makruh menjadi imam, demikian menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, Zhahiriyah, dan salah satu riwayat dalam madzhab Maliki.

Adapun menurut ulama Hanabilah dan Malikiyah dalam riwayat lainnya, orang fasik tidak sah menjadi imam shalat. Hal ini didasarkan kepada pendapat Imam az-Zuhri rahimahullâh yang mengatakan, “Menurut kami, tidak boleh shalat bermakmum di belakang laki-laki banci, kecuali dalam kondisi darurat yang tidak bisa dihindari lagi,” sebagaimana yang dinukil oleh Imam al-Bukhâri.

Ulama sepakat, posisi banci dalam shalat jamaah, berada diantara lelaki dan wanita. Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,

لا خلاف بين الفقهاء في أنه إذا اجتمع رجال، وصبيان، وخناثى، ونساء، في صلاة الجماعة، تقدم الرجال، ثم الصبيان، ثم الخناثى، ثم النساء

Tidak ada perselisihan diantara ulama bahwa apabila ada berbagai macam makmum, mulai dari lelaki, anak-anak, banci, dan wanita dalam shalat jamaah, maka lelaki dewasa di depan, kemudian anak-anak, kemudian banci, kemudian wanita. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 20/25).

Banci di posisikan antara lelaki dan wanita, karena banci berpeluang untuk menjelma menjadi kedua jenis itu. Dia bisa menjadi lelaki dan bisa menjadi wanita. Sehingga jenis kelaminnya ada dua kemungkinan, bisa lelaki, bisa wanita.

Mengingat lelaki dewasa tidak boleh diimami wanita, jumhur ulama berpendapat,

Banci tidak boleh mengimami lelaki, karena ada kemungkinan dia wanita
Banci tidak boleh menjadi imam sesama banci, karena ada kemungkinan si imam wanita sementara si makmum lelaki.‎
Banci boleh mengimami wanita. Karena wanita boleh menjadi imam wanita.
Dalam kitabnya al-Muhadzab, as-Saerozi – ulama Syafiiyah – mengatakan,

ولا تجوز صلاة الرجل خلف الخنثى الْمُشْكِلِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ امرأة, ولا صلاة الخنثى خلف الخنثى لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْمَأْمُومُ رَجُلًا وَالْإِمَامُ امرأة

Seorang lelaki tidak boleh shalat di belakang banci yang belum jelas, karena memungkinkan dia wanita. Banci tidak boleh shalat di belakang banci, karena bisa jadi makmumnya lelaki sementara imamnya wanita. (al-Muhadzab, 1/97).

Bahkan dalam madzhab Syafiiyah, makmum lelaki yang shalat di belakang banci karena tidak tahu, maka jika dia tahu, dia wajib mengulangi shalatnya. an-Nawawi mengatakan,

وان صلي رجل خلف خنثى أو خنثى خلف خنثي ولم يعلم انه خنثى ثم علم لزمه الاعادة

Jika ada lelaki yang shalat di belakang banci, atau banci shalat di belakang banci, karena tidak tahu bahwa dia banci, kemudian dia tahu, maka dia wajib mengulangi shalat. (al-Majmu’, 4/255).

Sejatinya dia hanya memiliki satu kelamin, lelaki. Dia lahir dan besar sebagai lelaki. Namun dia memiliki kecenderungan meniru gaya wanita. Bolehkah manusia semacam ini jadi imam?

Banci jenis ini ada dua macam,

Jenis pertama, banci yang dibuat-buat. Dia lelaki yang normal fisik dan mental, memiliki kecenderugan tertarik kepada lawan jenis (wanita). Namun dia sengaja meniru gaya wanita, bisa karena komunitas, atau karena tuntutan ngamen.

Banci jenis ini tergolong orang fasik. Dia melakukan dosa besar, karena tasyabbuh (meniru) wanita.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para lelaki yang meniru-niru kebiasaan wanita dan para wanita yang meniru-niru kebiasaan lelaki.” (HR. Bukhari 5885)

Sengaja meniru kebiasaan wanita, dan bahkan bangga dengan perbuatannya, menjadikan dirinya orang fasik. Tentang hukum, apakah dia boeh jadi imam, dijelaskan dalam Ensiklopedi Fiqh,

أما المتخلق بخلق النساء حركة وهيئة، والذي يتشبه بهن في تليين الكلام وتكسر الأعضاء عمدا، فإن ذلك عادة قبيحة ومعصية ويعتبر فاعلها آثما وفاسقا. والفاسق تكره إمامته عند الحنفية والشافعية، وهو رواية عند المالكية. وقال الحنابلة، والمالكية في رواية أخرى، ببطلان إمامة الفاسق

Lelaki yang meniru gaya wanita, meniru gerakannya, meniru gemulai suaranya, dan sengaja berlenggak-lenggok, merupakan perbuatan tercela dan kemaksiatan. Pelakunya tergolong orang fasik. Sementara orang fasik, makruh menjadi imam menurut Hanafiyah, Syafiiyah, dan salah satu riwayat dalam Malikiyah. Sementara Hambali dan salah satu riwayat dalam madzhab Malikiyah, berpendapat bahwa statusnya jadi imam itu batal. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 11/63).

Jenis kedua, banci karena kelainan mental.

Dia fisiknya lelaki, tapi mentalnya ‘kecipratan’ karakter wanita, dan itu di luar kesengajaannya. Bicaranya gemulai, gayanya seperti wanita. Statusnya sama dengan lelaki, dan sah jadi imam.

Dinyatakan dalam Ensiklopedi Fiqh,

المخنث بالخلقة، وهو من يكون في كلامه لين وفي أعضائه تكسر خلقة، ولم يشتهر بشيء من الأفعال الرديئة لا يعتبر فاسقا، ولا يدخله الذم واللعنة الواردة في الأحاديث، فتصح إمامته، لكنه يؤمر بتكلف تركه والإدمان على ذلك بالتدريج، فإذا لم يقدر على تركه فليس عليه لوم

Banci karena kelainan karakter, yaitu lelaki yang suaranya gemulai, dan gayannya seperti wanita sejak kecil, sementara dia tidak dikenal suka melakukan perbuatan buruk, maka dia tidak dihitung orang fasik. Tidak tidak mendapatkan celaan dan laknat, seperti yang disebutkan dalam hadis. Sah jadi imam, namun dia diperintahkan untuk meninggalkan tradisi gaya kewanitaannya, dan berusaha mengobati dirinya secara bertahap. Jika dia tidak mampu, dia tidak dicela. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 11/62).

2. BOLEHKAH SEORANG BANCI MEMANDANG WANITA ?‎

Masalah ini tidak lepas dari dua kondisi:
Pertama : Jika orang banci tersebut memiliki kecenderungan terhadap wanita, maka tidak ada khilaf dalam hal ini bahwa ia diharamkan dan termasuk perbuatan fasik.‎

Kedua : Ia seorang banci alami yang tidak memiliki kecenderungan terhadap wanita, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

1. Ulama Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Hanafiyah memberi rukhsah (keringanan) baginya untuk berada di tengah kaum wanita dan memandang mereka. Dalilnya ialah firman Allâh ketika menjelaskan siapa saja yang boleh melihat wanita, dan siapa saja yang kaum wanita boleh berhias di hadapannya, yaitu: أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الِإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ yang terjemahannya: “atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak bersyahwat (terhadap wanita)..”.

2. Ulama Syafi’iyah dan mayoritas Hanafiyah, berpendapat bahwa lelaki banci meskipun tidak bersyahwat terhadap wanita, tetap tidak boleh memandang kepada wanita. Dalam hal ini ia tetap dihukumi sebagai lelaki normal.

Dalilnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah berikut:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ عِنْدَهَا وَفِي الْبَيْتِ مُخَنَّثٌ، فَقَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ أَخِي أُمِّ سَلَمَةَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ، إِنْ فَتَحَ اللَّهُ لَكُمْ غَدًا الطَّائِفَ، فَإِنِّي أَدُلُّكَ عَلَى بِنْتِ غَيْلَانَ؛ فَإِنَّهَا تُقْبِلُ بِأَرْبَعٍ وَتُدْبِرُ بِثَمَانٍ! فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : لَا يَدْخُلَنَّ هَؤُلَاءِ عَلَيْكُنَّ

Sesungguhnya Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah bersamanya dan saat itu di rumahnya terdapat seorang banci, maka Si banci tadi berkata kepada Abdullâh saudara Ummu Salamah, “Hai Abdullâh, jika besok Allâh menaklukkan kota Thaif bagi kalian; maka akan kutunjukkan kepadamu puteri Ghailan yang dari depan menampakkan empat lipatan sedangkan dari belakang terlihat delapan,” maka Rasûlullâh bersabda, “Jangan sekali-kali mereka (orang-orang banci itu) masuk ke tempat kalian (kaum wanita)”.[ HR al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 5887.]

Hadits ini menunjukkan bahwa banci yang dilarang untuk masuk ke tempat wanita ialah banci yang memiliki kecenderungan (bersyahwat) terhadap wanita, sebab ia bisa menceritakan keindahan tubuh wanita yang pernah dilihatnya kepada lelaki. Sehingga dikhawatirkan ia akan membongkar aurat wanita muslimah bila dibiarkan keluar masuk ke tempat mereka. Adapun banci alami yang sama sekali tidak bersyahwat terhadap wanita, tidak akan melakukan hal tersebut.

Kesimpulannya : Pendapat yang râjih adalah pendapat pertama yang sesuai dengan zhahir al-Qur’ân.

3. KESAKSIAN ORANG BANCI‎

Menurut ulama Hanafiyyah, orang banci yang tertolak kesaksiannya ialah yang sengaja berbicara lemah-lembut dan kemayu (manja) seperti wanita. Adapun bila ia memiliki nada suara yang lembut dan fisiknya lembek secara alami, dan tidak dikenal sebagai orang bejat; maka kesaksiannya masih diterima.‎

Adapun ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menganggap bahwa menyerupai wanita adalah perbuatan haram yang menjadikan kesaksian seseorang tertolak. Tentunya, yang dimaksud bila sengaja menyerupai wanita, bukan karena pembawaannya.

Sedangkan menurut ulama Malikiyah, diantara yang tertolak kesaksiannya ialah seseorang yang tidak mempunyai rasa malu, dan termasuk sikap ini ialah bertingkah banci.

Kesimpulannya : Madzhab yang empat sepakat bahwa status kesaksian orang banci perinciannya seperti yang dijelaskan oleh ulama Hanafiyah.

4. SANKSI BAGI ORANG BANCI‎

Lelaki yang sengaja bertingkah seperti wanita (pura-pura banci) tidak lepas dari dua keadaan:

Pertama : Laki-laki yang sengaja bertingkah sebagai banci tanpa terjerumus dalam perbuatan keji, ini tergolong maksiat yang tidak ada had maupun kaffaratnya. Sanksi yang pantas diterimanya bersifat ta’zir (ditentukan berdasarkan pertimbangan hakim), sesuai dengan keadaan si pelaku dan kelakuannya. Dalam hadits disebutkan, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjatuhkan sanksi kepada orang banci dengan mengasingkannya atau mengusirnya dari rumah. Demikian pula yang dilakukan oleh para Sahabat sepeninggal beliau.

Adapun ta’zir yang diberlakukan meliputi:

1. Ta’zir berupa penjara. Menurut madzhab Hanafi, lelaki yang kerjaannya menyanyi, banci, dan meratapi kematian pantas dihukum dengan penjara sampai mereka bertaubat‎

2. Ta’zir berupa pengasingan. Menurut madzhab Syafi’i dan Hambali, seorang banci hendaklah diasingkan walaupun perbuatannya tidak tergolong maksiat (alias ia memang banci asli). Akan tetapi pengasingan tadi dilakukan untuk mencari kemaslahatan.

Ibnul-Qayyim rahimahullâh mengatakan, “Termasuk siasat syar’i yang dinyatakan oleh Imam Ahmad, ialah hendaklah seorang banci itu diasingkan; sebab orang banci hanya menimbulkan kerusakan dan pelecehan atas dirinya. Penguasa berhak mengasingkannya ke negeri lain yang di sana ia terbebas dari gangguan orang-orang. Bahkan jika dikhawatirkan keselamatannya, orang banci tadi boleh dipenjara”.

Kedua : Orang banci yang membiarkan dirinya dicabuli dan disodomi.
Orang banci seperti ini sanksinya diperselisihkan oleh para ulama. Banyak fuqaha’ yang berpendapat, ia pantas mendapat hukuman seperti pezina. Sedangkan Imam Abu Hanifah rahimahullâh berpendapat, hukumannya adalah ta’zir yang bisa sampai ke tingkat eksekusi, (seperti:) dibakar, atau dijungkalkan dari tempat yang tinggi. Sebab para sahabat juga berbeda pendapat tentang cara menghukumnya.‎

NASIHAT BAGI LELAKI BANCI
Sebagai penutup, kami nasihatkan kepada siapa saja yang tergolong banci, agar segera bertaubat kepada Allâh Ta’âla. Tekunlah belajar ilmu syar’i yang dapat mendorong untuk taat kepada Allâh Ta’âla dan menghindari maksiat. Bertemanlah dengan orang-orang yang baik agar mereka mendorong dan menolong dalam kebaikan.

Hendaklah disadari, bahwa orang yang paling merugi ialah mereka yang merugi di dunia dan akhirat. Ia harus banyak berdoa, sebab dengan doa, Allâh Ta’âla akan mewujudkan harapan dan menerima taubatnya.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...