Kamis, 14 Oktober 2021

Penjelasan Hukum Puasa Bagi Wanita Hamil Dan Menyusui


Di antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi keringanan kepada wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih –misalnya takut kurangnya susu- karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.” [HR. An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4/347. ]
Puasa di bulan ramadhan adalah salah satu rukun islam yang wajib dikerjakan oleh setiap umat muslim. Para ulama telah sepakat bahwa bagi orang tua renta yang sudah tidak bisa menjalankan ibadah puasa karena udzur dan tidak mungkin menggantinya di hari yang lain maka baginya boleh tidak berpuasa di bulan ramadhan.‎

Namun, muncul pertanyaan bagaimana hukumnya puasa ramadhan bagi wanita hamil dan menyusui. Yang mana masih memungkinkan baginya untuk mengqadhanya di hari setelah dia tidak hamil dan menyusui lagi. Apakah wajib baginya qadha puasa saja ataukah juga harus membayar fidyah (memberi makan faqir miskin).
Dalam hal ini wanita yang hamil dan menyusui mengalami tiga macam keadaan. Yang Pertama adakalanya dia hanya khawatir terhadap dirinya sendiri jika berpuasa. Kemudian yang kedua adakalanya dia khawatir terhadap dirinya dan buah hatinya. Dan yang ketiga adakalanya dia hanya khawatir terhadap buah hatinya saja.
Mari kita simak langsung saja pemaparan para ulama 4 madzhab mengenai wanita yang hamil dan menyusui dibulan ramadhan.
Madzhab Hanafi
Ibnul Humam (w. 681 H) dalam kitab Fathul Qadir mengatakan bahwa seorang wanita yang hamil dan menyusui di bulan ramadhan jika dia khawatir terhadap dirinya atau anaknya maka boleh baginya tidak berpuasa dan hanya mengqadha di hari lain saja. Tidak perlu baginya membayar fidyah.
والحامل والمرضع إذا خافتا على أنفسهما أو ولديهما أفطرتا وقضتا دفعا للحرج . ولا كفارة عليهما لأنه إفطار بعذر ولا فدية عليهما خلافا للشافعي - رحمه الله - فيما إذا خافت على الولد، هو يعتبره بالشيخ الفاني. ولنا أن الفدية بخلاف القياس في الشيخ الفاني، والفطر بسبب الولد ليس في معناه لأنه عاجز بعد الوجوب، والولد لا وجوب عليه أصلا

Wanita yang hamil dan menyusui jika dia khawatir atas dirinya atau anaknya maka baginya untuk berbuka dan mengqadhanya dihari yang lain. Tidak wajib baginya membayar fidyah.

Ibnu Abdin (w. 1252 H) dalam kitab Radd Al-Muhtar ala Ad-Dur Al-Mukhtar mengatakan bahwa seorang wanita yang hamil dan menyusui di bulan ramadhan maka boleh baginya tidak berpuasa dan hanya mengqadha di hari lain saja. Tidak perlu baginya membayar fidyah. Dalam hal ini beliau sependapat dengan Ibnul Humam.
فصل في العوارض المبيحة لعدم الصوم وقد ذكر المصنف منها خمسة وبقي الإكراه وخوف هلاك أو نقصان عقل ولو بعطش أو جوع شديد ولسعة حية (لمسافر) سفرا شرعيا ولو بمعصية (أو حامل أو مرضع) لو جاء رمضان الثاني (قدم الأداء على القضاء) ولا فدية لما مر خلافا للشافعي

Faslun : hal hal yang dibolehkan untuk tidak berpuasa salah satunya adalah wanita hamil dan menyusui. Jika sampai datang bulan ramadhan berikutnya maka baginya cukup dengan mengqadha saja tanpa membayar fidyah. Berbeda dengan Imam Syafiiy.‎

Madzhab Maliki
Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) dalam kitab Al-Istidzkar mengatakan bahwa wanita yang hamil dan menyusui di bulan ramadhan boleh baginya tidak berpuasa dan hanya dibebani untuk membayar fidyah saja. Dan tidak perlu baginya mengqadha di hari yang lain.
أن الحامل والمرضع والشيخ الكبير والمفرط في رمضان حتى يدخل عليه رمضان آخر لا يؤمر واحد منهم بعتق ولا صيام مع القضاء وإنما يؤمر بالإطعام فالإطعام له مدخل من الصيام ونظائر من الأصول فهذا ما اختاره مالك وأصحابه

Sesungguhnya wanita hamil dan menyusui, orang tua renta yang tidak berpuasa hingga akhirnya dia melewati bulan ramadhan berikutnya maka baginya hanya membayar fidyah saja. Tidak wajib baginya mengqadha dihari yang lain. Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh imam Malik dan para sahabatnya.

Al-Qorofi (w. 684 H) dalam kitab Adz-Dzakhiroh membedakan antara ibu hamil dan ibu menyusui. Seorang ibu yang hamil boleh baginya tidak berpuasa dan baginya hanya mengqadha’ saja. Adapun ibu yang menyusui boleh baginya tidak berpuasa dan baginya hanya membayar fidyah saja.
الثالث خوف المرضع على ولدها في الكتاب إن لم يقبل غيرها أو قبله وعجزت عن إجارته أفطرت وأطعمت لكل يوم مسكينا مدا. الرابع الخوف على الحمل في الكتاب إن خافت على ولدها فأفطرت لا تطعم وتقضي لأنها مريضة

Yang ketiga : kekhawatiran seorang ibu yang menyusui anaknya jika bainya tidak mau disusui oleh orang lain atau mau disusui orang lain tapi sang ibu tidak mampu membayar biaya menyusui maka baginya boleh tidak berpuasa dan harus membayar fidyah satu mud kepada orang miskin. Ang keempat : seorang ibu yang khawatir terhadap kahamilannya maka boleh baginya tidak berpuasa dan harus mengqadha dihari yang lain tanpa harus membayar fidyah. Karena dia diibaratkan seperti orang yang sakit.‎
 ‎
Madzhab Asy-Syafi’i
Imam An-Nawawi (w. 676 H) dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab mengatakan bahwa wanita yang hamil dan menyusui di bulan ramadhan jika dia khawatir akan dirinya saja maka baginya boleh tidak berpuasa dan harus mengqadha dengan tanpa membayar fidyah. Dan jika dia khawatir terhadap dirinya dan buah hatinya maka boleh tidak berpuasa dan harus mengqodho dengan tanpa membayar fidyah. Namun jika dia hanya khawatir terhadap buah hatinya saja maka baginya harus mengqadha puasa dan wajib membayar fidyah.
قال أصحابنا: الحامل والمرضع إن خافتا من الصوم على أنفسهما أفطرتا وقضتا ولا فدية عليهما كالمريض وهذا كله لا خلاف فيه وإن خافتا على أنفسهما وولديهما فكذلك بلا خلاف صرح به الدارمي والسرخسي وغيرهما وإن خافتا على ولديهما لا على أنفسهما أفطرتا وقضتا بلا خلاف وفي الفدية هذه الأقوال التي ذكرها المصنف (أصحها) باتفاق الأصحاب وجوبها كما صححه المصنف وهو المنصوص في الأم والمختصر وغيرهما قال صاحب الحاوى: هو نصه في القديم والجديد

Ashabuna mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui jika dia khawatir akan dirinya saja maka baginya mangqadha tanpa membayar fidyah.dan jika dia khawatir akan dirinya dan buah hatinya maka baginya juga mengqadha tanpa membaar fidyah. Dan jika dia khawatir terhadap anaknya maka baginya wajib mengqadha dan membayar fidyah. Inilah yang dinaskan dalam kitab al-umm. Bahkan juga terdapat dalam qoul qodim dan qoul jadid.
Imam Abdurrahman al-Juzairi:‎

اَلشَّافِعِيَّةُ قَالُوا اَلْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا بِالصَّوْمِ ضَرَرًا لَا يُحْتَمَلُ سَوَاءٌ كَانَ الْخَوْفُ عَلَى أَنْفُسِهِمَا وَوَلِدَيْهِمَا مَعًا أَوْ عَلَى أَنْفُسِهِمَا فَقَطْ أَوْ عَلَى وَلَدَيْهِمَا فَقَطْ وَجَبَ عَلَيْهِمَا الْفِطْرُ وَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ فِي الْأَحْوَالِ الثَّلَاثَةِ وَعَلَيْهِمَا أَيْضًا اَلْفِدَيَةُ مَعَ الْقَضَاءِ فِي الْحَالَةِ الْأَخِيرَةِ وَهِيَ مَا إِذَا كَانَ الْخَوْفُ عَلَى وَلَدِهِمَا فَقَطْ

“Madzhab syafii berpendapat, bahwa perempuan hamil dan menyusui ketika dengan puasa khawatir akan adanya bahaya yang tidak diragukan lagi, baik bahaya itu membahayakan dirinnya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja. Maka dalam ketiga kondisi ini mereka wajib meninggalkan puasa dan wajib meng-qadla`nya. Namun dalam kondisi ketiga yaitu ketika puasa itu dikhawatirkan memmbayahakan anaknya saja maka mereka juga diwajibkan membayar fidyah”. (Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-2, h. 521).

Madzhab Hanbali
Ibnu Qudamah (w. 620 H) di dalam kitab Al-Mughni mengatakan bahwa wanita yang hamil dan menyusui jika khawatir terhadap buah hatinya maka baginya boleh tidak berpuasa dan harus mengqadha dan membayar fidyah. Namun jika keduanya hanya khawatir terhadap dirinya saja maka bagi mereka qadha puasa saja tanpa harus membayar fidyah.
مسألة: قال: (والحامل إذا خافت على جنينها، والمرضع على ولدها، أفطرتا، وقضتا، وأطعمتا عن كل يوم مسكينا) وجملة ذلك أن الحامل والمرضع، إذا خافتا على أنفسهما، فلهما الفطر، وعليهما القضاء فحسب. لا نعلم فيه بين أهل العلم اختلافا؛ لأنهما بمنزلة المريض الخائف على نفسه. وإن خافتا على ولديهما أفطرتا، وعليهما القضاء وإطعام مسكين عن كل يوم. وهذا يروى عن ابن عمر. وهو المشهور من مذهب الشافعي
Masalah : wanita yang hamil jika khawatir terhadap janinnya dan wanita menyusui khawatir terhadap anaknya maka baginya untuk tidak puasa dan harus mengqadha dan membayar fidyah.satu hari satu faqir miskin. Dan jika keduanya khawatir terhadap dirinya maka bagi keduanya untuk mengqadha saja.karena dalam hal ini seperti orang yang sedang sakit.‎

Madzhab Adz-Dzahiri
Ibnu Hazm (w. 456 H) berpendapat di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar bahwa wanita yang hamil dan menyusui jika khawatir akan buah hatinya maka baginya boleh tidak berpuasa tanpa harus mengqadha dan membayar fidyah.
مسألة: - والحامل، والمرضع، والشيخ الكبير كلهم مخاطبون بالصوم فصوم رمضان فرض عليهم، فإن خافت المرضع على المرضع قلة اللبن وضيعته لذلك ولم يكن له غيرها، أو لم يقبل ثدي غيرها، أو خافت الحامل على الجنين، أو عجز الشيخ عن الصوم لكبره: أفطروا ولا قضاء عليهم ولا إطعام، فإن أفطروا لمرض بهم عارض فعليهم القضاء

Masalah : wanita yang hamil, wanita yang menyusui dan orang tua renta wajib bagi mereka berpuasa. Jika wanita yang hamil dan menyusui khawatir terhadap buah hatinya maka bagi keduanya tidak perlu qadha dan tidak pula membayar fidyah. Tapi jika mereka tidak puasa itu karena sakit maka wajib bagi mereka untuk mengqadha.

Inilah pendapat para ulama pada tiap tiap madzhab mengenai wanita yang hamil dan menyusui di bulan ramadhan. Jika kita perhatikan ternyata pendapat Mahzhab Dzohiri ini sangat berbeda jauh sekali dibanding dengan madzhab-madzhab yang lain. Karena menurut pendapat Madzhab Dzohiri bahwa wanita yang hamil dan menyusui itu tidak wajib baginya puasa,qadha dan fidyah.

Perselisihan Ulama
Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa, apakah ada qodho’ ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan oleh para ulama.
Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Para ulama salaf telah berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat. ‘Ali berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib qodho’ jika keduanya tidak berpuasa dan tidak ada fidyah ketika itu. Pendapat ini juga menjadi pendapat Ibrahim, Al Hasan dan ‘Atho’. Ibnu ‘Abbas berpendapat cukup keduanya membayar fidyah saja, tanpa ada qodho’. Sedangkan Ibnu ‘Umar dan Mujahid berpendapat bahwa keduanya harus menunaikan fidyah sekaligus qodho’.”[Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, Beirut, 1405.‎]
Lengkapnya dalam masalah ini ada lima pendapat.
Pendapat pertama: wajib mengqodho’ (mengganti) puasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad. Namun menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jika wanita hamil dan menyusui takut sesuatu membahayakan dirinya (tidak anaknya), maka wajib baginya mengqodho’ puasa saja karena keduanya disamakan seperti orang sakit.
Pendapat kedua: cukup mengqodho’ saja. Inilah pendapat Al Auza’i, Ats Tsauriy, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Abu Tsaur dan Abu ‘Ubaid.
Pendapat ketiga: cukup memberi makan kepada orang miskin tanpa mengqodho’. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq, dan Syaikh Al Albani.
Pendapat keempat: mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Malik dan ulama Syafi’iyah.
Pendapat kelima: tidak mengqodho’ dan tidak pula memberi makan kepada orang miskin. Inilah pendapat Ibnu Hazm.[Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al Qurthubi Al Andalusi, hal. 276, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan ketiga, 1428 H;  Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 2/125-126, Al Maktabah At Taufiqiyah.‎]
Dalil Ulama yang Mengharuskan Penunaian Fidyah
Firman Allah Ta’ala,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184). Menurut ulama yang berpendapat seperti ini, mereka mengatakan bahwa kewajiban fidyah masih berlaku bagi orang yang sudah tua renta, juga bagi wanita hamil dan menyusui.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
رخص للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة في ذلك وهما يطيقان الصوم أن يفطرا إن شاءا ويطعما كل يوم مسكينا ولا قضاء عليهما ثم نسخ ذلك في هذه الاية : ( فمن شهد منكم الشهر فليصمه ) وثبت للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة لذا كانا لا يطيقان الصوم والحبلى والمرضع إذا خافتا أفطرتا وأطعمتا كل يوم مسكينا
“Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta, lalu mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika mereka mau dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang ditinggalkan, pada saat ini tidak ada qodho’ bagi mereka. Kemudian hal ini dihapus dengan ayat (yang artinya): “Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Namun hukum fidyah ini masih tetap ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka tidak mampu berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.” [Dikeluarkan oleh Ibnul Jarud dalam Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Lihat Irwa’ul Gholil 4/18‎]
Dalam riwayat Abu Daud,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا – قَالَ أَبُو دَاوُدَ يَعْنِى عَلَى أَوْلاَدِهِمَا – أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا.
Dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman Allah (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin,” ‎beliau mengatakan, “Ayat ini menunjukkan keringanan bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua renta dan mereka merasa berat berpuasa, mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa, namun mereka diharuskan untuk memberi makan setiap hari satu orang miskin sebagai ganti tidak berpuasa. Hal ini juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir –Abu Daud mengatakan: khawatir pada keselamatan anaknya-, mereka dibolehkan tidak berpuasa, namun keduanya tetap memberi makan (kepada orang miskin).”[HR. Abu Daud no. 2318. Ibnul Mulaqqin mengatakan bahwa hadits ini ‎shahih atau hasan sebagaimana dalam Tuhfatul Muhtaaj, 2/102.‎]
Dalam perkataan lainnya, Ibnu ‘Abbas menyamakan wanita hamil dan menyusui dengan tua renta yaitu sama dalam membayar fidyah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau dulu pernah menyuruh wanita hamil untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Beliau mengatakan,
أنت بمنزلة الكبير لا يطيق الصيام ، فأفطري وأطعمي عن كل يوم نصف صاع من حنطة
“Engkau seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa, maka berbukalah dan berilah makan kepada orang miskin setengah sho’ gandum untuk setiap hari yang ditinggalkan.”[Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq dengan sanad yang shahih‎]‎

Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Dari Nafi’, dia berkata,
كانت بنت لابن عمر تحت رجل من قريش وكانت حاملا فأصابها عطش في رمضان فأمرها إبن عمر أن تفطر وتطعم عن كل يوم مسكينا
“Putri Ibnu Umar yang menikah dengan orang Quraisy sedang hamil. Ketika berpuasa di bulan Ramadhan, dia merasa  kehausan. Kemudian Ibnu ‘Umar memerintahkan putrinya tersebut untuk berbuka dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.”[Lihat Irwa’ul Gholil, 4/20. Sanadnya shahih]
Dalil Ulama yang Mengharuskan Qodho’
Alasan pertama: Dari Anas bin Malik, ia berkata,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.” [HR. An Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29.]
Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan,
“Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka tidak dibolehkan mengqoshor shalat. … Keringanan puasa bagi wanita hamil dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. … Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa) karena Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.”[Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224‎]
Perkataan Al Jashshosh ini sebagai sanggahan terhadap pendapat keempat yaitu ulama yang berpendapat wajib mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.
Alasan kedua: Selain alasan di atas, ulama yang berpendapat cukup mengqodho’ saja (tanpa fidyah) menganggap bahwa wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa, ia pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula yang berlaku pada wanita hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)
Pendapat ini didukung pula oleh ulama belakangan
“الحامل والمرضع حكمهما حكم المريض ، إذا شق عليهما الصوم شرع لهما الفطر ، وعليهما القضاء عند القدرة على ذلك ، كالمريض ، وذهب بعض أهل العلم إلى أنه يكفيهما الإطعام عن كل يوم : إطعام مسكين ، وهو قول ضعيف مرجوح ، والصواب أن عليهما القضاء كالمسافر والمريض ؛ لقول الله عز وجل : ( فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ) البقرة/184” اهـ
“Hukum wanita hamil dan menyusui jika keduanya merasa berat untuk berpuasa, maka keduanya boleh berbuka (tidak puasa). Namun mereka punya kewajiban untuk mengqodho (mengganti puasa) di saat mampu karena mereka dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa cukup baginya untuk menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban qodho’ (mengganti puasa) karena keadaan mereka seperti musafir atau orang yang sakit (yaitu diharuskan untuk mengqodho’ ketika tidak berpuasa, -pen). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)

Sanggahan untuk Ulama yang Menggabungkan antara Fidyah dan Qodho’
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah ketika menjelaskan perselisihan ulama mengenai puasa wanita hamil dan menyusui, beliau mengatakan,
فمنهم من ذهب إلى أنهما تفطران وتطعمان وتقضيان من هؤلاء سفيان ومالك والشافعي وأحمد ، ولا أعلم لهذا الفريق دليلا من الكتاب والسنة
“Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak puasa, namun ia harus menggantinya dengan menunaikan fidyah dan mengqodh0’ (mengganti) puasanya. Yang berpendapat seperti ini adalah Sufyan, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad. Aku tidak mengetahui adanya dari Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah mengenai pendapat ini.”[Jaami’ Ahkamin Nisa’, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, 5/223-224, Darus Sunnah, cetakan pertama, 1413 H.‎]
Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa diharuskannya mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, maka disanggah oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Beliau mengatakan,
وقال مالك: أما المرضع فتفطر وتطعم عن كل يوم مسكنا وتقضى مع ذلك، وأما الحامل فتقضى ولا اطعام عليها ولا يحفط هذا التقسيم عن احد من الصححابة والتابعين
“Imam Malik berpendapat bahwa adapun wanita menyusui, maka ia dibolehkan untuk tidak berpuasa dan diharuskan untuk mengganti puasannya dengan menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, dan ia juga diharuskan untuk mengqodho’ puasanya. Sedangkan untuk wanita hamil ia cukup mengqodho’, tanpa menunaikan fidyah. Mengenai pembagian semacam ini sama sekali tidak diketahui adanya sahabat dan tabi’in yang berpegang dengannya.”[Al Muhalla, Ibnu Hazm, 6/264, Mawqi’ Ya’sub.‎]
Ibnu Rusyd Al Maliki rahimahullah mengatakan,
ومن أفرد لهما أحد الحكمين أولى – والله أعلم – ممن جمع كما أن من أفردهما بالقضاء أولى ممن أفردهما بالاطعام فقط، لكون القراءة غير متواترة فتأمل هذا، فإنه بين.
“Barangsiapa yang memilih qodho’ saja atau fidyah saja itu lebih utama –wallahu a’lam- daripada menggabungkan antara keduanya. Adapun memilih mengqodho’ saja itu lebih utama daripada memilih menunaikan fidyah saja. Alasannya karena qiro’ah (yang menyebabkan adanya hukum fidyah saja bagi wanita hamil-menyusui) adalah riwayat yang tidak mutawatir. Renungkanlah hal ini karena hal tersebut begitu jelas.” [Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, hal. 277.]
Sanggahan untuk Ulama yang Menyatakan Tidak Ada Qodho’ dan Tidak Ada Fidyah
Yang berpendapat semacam ini adalah Ibnu Hazm rahimahullah. Pendapat ini beralasan bahwa hukum asalnya adalah seseorang terlepas dari kewajiban. Ibnu Hazm rahimahullah –nama kunyahnya Abu Muhammad- berkata,
فلم يتفقوا على ايجاب القضاء ولا على ايجاب الاطعام فلا يجب شئ من ذلك إذ لا نص في وجوبه ولا اجماع
“Para ahli fiqih pun belum sepakat adanya kewajiban qodho’ dan fidyah (memberi makan pada orang miskin). Sehingga tidak ada sama sekali kewajiban (bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, -pen) karena tidak ada satu pun dalil yang mewajibkannya dan tidak ada pula klaim ijma’ (kesepakatan ulama) dalam hal ini.”[ Al Muhalla, 6/264]
Namun perkataan di atas dapat saja disanggah dengan kita katakan bahwa sesungguhnya perselisihan semata tidak bisa menggugurkan suatu dalil, namun hendaknya mengambil pendapat dari orang yang memiliki dalil yang lebih kuat. Seandainya setiap perselisihan yang terjadi antara ahli fiqh itu dijadikan sebab untuk menghukumi gugurnya suatu dalil yang menjadi sandaran hukum, niscaya tidak akan ada hukum syar’i yang bertahan kecuali sedikit.
Pendapat Ibnu Hazm juga disanggah 
فمن المسائل المنسوبة إليكم القول بسقوط القضاء والإطعام عن الحامل والمرضع مع أنه لا قائل من أهل العلم بسقوط القضاء والإطعام عنهما سوى ابن حزم في المحلى ، وقوله هذا شاذ مخالف للأدلة الشرعية ولجمهور أهل العلم فلا يلتفت إليه ولا يعول عليه ، مع العلم بأن أرجح الأقوال في ذلك وجوب القضاء عليهما من دون إطعام لعموم الأدلة الشرعية في حق المريض والمسافر ، وهما من جنسهما ، ولحديث أنس بن مالك الكعبي في ذلك .

“Tidak ada satu pun ulama yang berpendapat gugurnya qodho’ dan fidyah bagi wanita hamil dan menyusui selain Ibnu Hazm dalam Al Muhalla. Pendapatnya ini adalah pendapat yang syadz (menyimpang), yaitu menyelisihi dalil-dalil syar’i yang digunakan oleh mayoritas ulama. Oleh karena itu, pendapat tersebut tidak perlu diperhatikan dan tidak perlu diikuti. Pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah diwajibkan untuk qodho’ bagi wanita hamil dan menyusui, tanpa perlu menunaikan fidyah. Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits syar’i yang membicarakan wajibnya qodho’ bagi orang yang sakit dan musafir (ketika ia tidak berpuasa). Wanita hamil dan menyusui adalah semisal orang sakit dan musafir. Dasar dari hal ini disebutkan dalam hadits Anas bin Malik Al Ka’bi.”
Mengkritisi Pendapat Ibnu ‘Abbas
Sebagaimana yang telah kami nukilkan di awal tulisan, Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa hukum yang disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 184 belumlah dihapus yaitu masih disyariatkan fidyah pada wanita hamil dan menyusui. Inilah alasan ulama yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa cukup menunaikan fidyah saja, tanpa mengqodho’. Ayat yang dimaksud adalah,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184).
Namun pendapat yang benar, ayat di atas telah dinaskh (dihapus) dengan ayat,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185)‎
Surat Al Baqarah ayat 184 yang disebutkan di atas menerangkan bahwa orang yang mampu untuk berpuasa, maka ia punya pilihan untuk berpuasa ataukah menunaikan fidyah. Ayat ini telah dihapus dengan ayat setelahnya, yaitu ayat 185, yang menerangkan mengenai penegesan wajibnya puasa. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Salamah bin Al Akwa’. [Lihat Shahih Al Bukhari pada Bab firman Allah Ta’ala “Wa ‘alalladziina yuthiqunahu fidyah”.]
Namun kenapa Ibnu ‘Abbas berpendapat adanya fidyah bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa?
Ini berasal dari qiro’ah ayat 184 yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas. Sebagaimana disebutkan riwayat dalam Shahih Al Bukhari,
حَدَّثَنِى إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ) . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ ، هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

Dari ‘Atho’, ia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca ayat tersebut dengan bacaan,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang dibebani menjalankannya (yuthowwaquunahu) [Demikianlah maksudyuthowwaquunahu yaitu orang yang dibebani sedangkan ia tidak mampu. Berarti wanita hamil dan menyusui pun masih dikenakan fidyah berdasarkan qiro’ah Ibnu ‘Abbas ini. Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 8/180, Darul Ma’rifah, 1379.]  membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” Lantas Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Ayat ini tidaklah dimansukh (dihapus). Ayat ini masih berlaku pada laki-laki yang sudah tua renta, pada perempuan yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa. Maka mereka punya kewajiban untuk menunaikan fidyah, yaitu memberi makan pada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.[HR. Bukhari no. 4505, Bab firman Allah “Ayyamam Ma’duudaat …”]

Ibnu Hajar dalam Al Fath ketika menjelaskan riwayat di atas, beliau menerangkan,
هَذَا مَذْهَب اِبْن عَبَّاس ، وَخَالَفَهُ الْأَكْثَر ، وَفِي هَذَا الْحَدِيث الَّذِي بَعْده مَا يَدُلّ عَلَى أَنَّهَا مَنْسُوخَة
“Inilah yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas, namun qiro’ah ini diselisihi oleh kebanyakan ulama. Hadits yang disebutkan oleh Al Bukhari setelah ini menunjukkan bahwa ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 184) telah dimansukh.”[Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 8/180, Darul Ma’rifah, 1379.‎]
Selain berargumen dengan alasan di atas, mengenai pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui cukup menunaikan fidyah saja ketika tidak berpuasa, kita katakan bahwa pendapat tersebut hanyalah pendapat sahabat yaitu Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, dan bukanlah riwayat marfu’ sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Takhtimah
Setelah panjang lebar membahas dalil-dalil yang digunakan oleh masing-masing pihak dan menyanggah pendapat yang dinilai kurang tepat, maka kami menyimpulkan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui –ketika tidak berpuasa- cukup mengqodho’ tanpa menunaikan fidyah karena kuatnya dalil yang disampaikan oleh ulama yang berpegang dengan pendapat ini.
Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih mampu menunaikan qodho’. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untukk mengqodho’ puasa, karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya. Pada kondisi ini, ia bisa pindah pada penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada satu orang miskin setiap harinya.
Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa jika memang ia merasa kepayahan, kesulitan, takut membahayakan dirinya atau anaknya. Al Jashshosh rahimahullahmengatakan, “Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih baik ia berpuasa, dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak berpuasa.”[Ahkamul Qur’an, Al Jashshosh, 1/223.]

Untuk mengetahui apakah puasa perempuan yang sedang menyusui itu membahayakan atau tidak, dapat diketahui berdasarkan kebiasaan sebelum-sebelumnya, keterangan medis atau dugaan yang kuat. Hal ini sebagaimana dikemukakan as-Sayyid Sabiq:

مَعْرِفَةُ ذَلِكَ بِالتَّجْرِبَةِ أَوْ بِإِخْبَارِ الطَّبِيبِ الثِّقَةِ أَوْ بِغَلَبَةِ الظَّنِّ

“Untuk mengetahui apakah puasa tersebut bisa membahayakan (bagi dirinya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja)bisa melalui kebiasaan sebelum-sebelumnya, keterangan dokter yang terpecaya, atau dengan dugaan yang kuat” (As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Kairo-Fath al-I’lam al-‘Arabi, 2001, juz, 2, h. 373)

Setelah kita mengetahui kedudukan hukum berpusa bagi orang yang sedang menyusui. Lantas bagaimana dengan waktu pelaksanaan qadla` sekaligus pembayaran fidyah, jika ia meninggalkan puasa dengan alasan apabila tetap melakukan puasa akan membahayakan anaknya.

Bahwa alasan kewajiban untuk meninggalkan puasa bagi orang yang sedang menyusui adalah adanya kekhawatiran akan membahayakan dirinya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja.

Dari sini dapat dipahami bahwa kewajiban qadla`tersebut bisa dilakukan setelah bulan ramadlan dan di luar waktu menyusui. Sedang mengenai teknis pembayaran fidyah boleh diberikan kepada satu orang miskin. Misalnya jika yang ditinggalkan ada 10 hari maka ia wajib memberikan 10 mud. Sepuluh mud ini boleh diberikan kepada satu orang miskin atau faqir.

وَلَهُ صَرْفُ أَمْدَادٍ مِنْ الْفِدْيَةِ إلَى شَخْصٍ وَاحِدٍ لِأَنَّ كُلَّ يَوْمٍ عِبَادَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ

“Baginya boleh mendistribusikan semua jumlah fidyah kepada satu orang karena setiap hari adalah ibadah yang independen”. (Muhammad Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 1, h. 442)

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, dan semoga bermanfaat. Saran kami bagi Ibu yang sedang menyusui untuk selalu memperhatikan kesehatannya, begitu juga kesehatan sang buah hati. Dan jika merasa masih kuat berpuasa tetapi kemudian ada masalah kesehatan segeralah berkonsultasi kepada dokter. 

Penjelasan Hukum Keluarnya Darah Wanita Saat Berpuasa

 

Apa hukum darah yang keluar sebelum melahirkan, baik ketika itu keluar lendir dan darah atau darah saja? Apakah sudah dihukumi darah nifas? Dua atau tiga hari sebelum melahirkan sudah mengalami pembukaan pertama dan seterusnya, apakah ketika itu masih harus shalat?
Dalam ilmu kedokteran dikenal istilah “bloody show” yaitu darah bercampur lendir yang keluar ketika wanita akan melahirkan. Ini adalah salah satu tanda akan melahirkan yaitu terjadi pembukaan mulut rahim. Dan ini disertai rasa nyeri yang mengawali kelahiran sebagaimana yang terjadi pada wanita melahirkan umumnya.
Perbedaan Ulama

Mengenai darah yang keluar sebelum melahirkan, ada tiga pendapat dalam masalah ini:
Pertama, darah tersebut adalah darah fasad (darah rusak), hukumnya sama dengan hukum darah istihadhoh, yaitu darah kotor yang keluar bukan pada waktu haidh atau nifas, konsekuensinya tetap shalat dan puasa. Demikian madzhab Abu Hanifah dan Syafi’i. Dalam Al Hidayah disebutkan,
والدم الذي تراه الحامل ابتداء أوحال ولادتها قبل خروج الولد استحاضة
“Darah yang dilihat oleh wanita hamil di awal-awal atau saat melahirkan sebelum keluarnya bayi, dianggap darah istihadhoh.”
Kedua, darah tersebut adalah darah nifas. Demikian yang menjadi pendapat dalam madzhab Hambali. Dalam Kasyaful Qona’ disebutkan,
النفاس دم ترخيه الرحم مع ولادة وقبلها بيومين أو ثلاثة مع أمارة
“Nifas adalah darah yang keluar dari rahim bersama, atau dua atau tiga hari sebelum melahirkan di mana darah tersebut tanda akan lahir.”
Ketiga, darah sebelum melahirkan dihukumi darah haidh. Inilah madzhab Malikiyah. Al ‘Adawi dalam Hasyiyah-nya berkata,
النفاس: الدم الخارج لأجل الولادة، بعدها على الأصح، ومعها على قول الأكثر، وقبلها على قول مرجوح. والراجح أنه حيض
“Nifas adalah darah yang keluar karena sebab melahirkan, keluar setelah melahirkan menurut pendapat yang lebih kuat, atau pendapat kebanyakan ulama adalah bersama dengan melahirkan. Ada pula yang berpendapat darah nifas itu sebelum melahirkan, namun itu pendapat yang lemah. Yang tepat darah sebelum melahirkan dianggap haidh.”
Sebab perbedaan ulama dalam masalah ini karena perbedaan dalam mendefinisikan darah nifas.
Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah berpandangan bahwa darah nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan. Adapun darah yang keluar sebelum melahirkan digolongkan darah fasad (darah istihadhoh). Wanita dalam kondisi semacam itu masih dianggap suci. Namun ulama Syafi’iyah mengecualikan jika darah tersebut bersambung dengan haidhnya, maka dianggap sebagai darah haidh karena ulama Syafi’iyah menganggap wanita hamil bisa saja mengalami haidh.
Sedangkan ulama Hambali berpendapat bahwa darah nifas adalah darah yang keluar karena sebab melahirkan.
Adapun ulama Malikiyah berpendapat bahwa darah nifas adalah darah yang keluar saat melahirkan atau sesudahnya. Adapun sebelumnya dianggap sebagai dari haidh menurut pendapat terkuat di kalangan ulama Malikiyah.

Wanita yang mengalami istihadhah ini dihukumi sama seperti wanita suci, sehingga ia tetap harus shalat, puasa, dan boleh berhubungan intim dengan suami.

Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha :

 جَاءَتَ فاَطِمَةُ بِنْتُ اَبِى حُبَيْشٍ اِلَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَلَتْ ياَرَسُوْلُ اللهِ اِنِّى امْرَاَةٌ اُسْتَحَاضُ فَلاَ اَطْهُرُ، اَفَاَدَعُ الصَّلاَةَ؟ فَقَالَ ياَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ، اِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَاِذَااَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَاتْرُكِى الصَّلاَةَ، فَاِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فاَغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى

Fatimah binti Abi Hubaisy telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wania yang mengalami istihadhah, sehingga aku tidak bisa suci. Haruskah aku meninggalkan shalat?” Maka jawab Rasulullah SAW: “Tidak, sesungguhnya itu (berasal dari) sebuah otot, dan bukan haid. Jadi, apabila haid itu datang, maka tinggalkanlah shalat. Lalu apabila ukuran waktunya telah habis, maka cucilah darah dari tubuhmu lalu shalatlah.” [Muttafaqun 'Alaihi]

Kemudian Apakah Istihadhah itu?

و الإستحاضة : الدم الخارج في غير أيام الحيض و النفاس لا على سبيل الصحة من عرق في أدنى الرحم.
(إعانة المبتدين ببعض فروع الدين)

Istihadhah ialah darah yang keluar di luar hari-hari haid dan nifas, tidak dengan sebab sehat (suatu penyakit). Yang keluar dari otot dibawah Rahim.
(Lihat: I'anah al-Mubtadin bi Ba'dli Furu'i ad-Din hal 50)

Setelah kita mengetahui definisi istihadhah, alangkah baiknya kita mengetahui warna-warna darah yg keluar dari farji seorang wanita.

دماء الإستحاضة خمسة أسود و أحمر و أشقر و أصفر و أكدر. فالأسود قوي و الأحمر ضعيف بالنسبة لأسود قوي بالنسبة للأشقر و الأشقر أقوى من الأصفر و الأصفر أقوى من الأكدر.
(التقريرات السديدة ص 167)

Darah Istihadhah ada 5.
¤ Merah kehitaman (Coklat Tua)
¤ Merah
¤ Merah kekuningan
¤ Kuning
¤ Kuning keputih-putihan (Keruh)

Darah Merah kehitaman (Coklat Tua) adalah darah kuat. Darah Merah itu lemah bila di bandingkan pada darah Merah kehitaman (Coklat Tua), dan kuat bila dibandingkan darah Merah kekuningan. Darah Merah kekuningan lebih kuat dari darah Kuning. Darah Kuning lebih kuat dari darah Kuning keputih2an (Keruh).
(Lihat: Taqriroh as-Sadidah hal 167)

فالمستحاضات أربع.
الأولى : المميزة, و هي التي تعرف صفة الدم.
الثانية : المعتدة, و هي التي تحفظ عادتها و ليست بمميزة.
الثالثة : المبتدأة, و هي التي حاضت أول مرة فاستحيضت و استمر بها الدم.
الرابعة : المتحيرة, و هي الت نسيت عادتها و لا تمييز لها.
(الخلاصة المختصر و نقاوة المعتصر لحجة الإسلام و بركة الأنام الإمام أبي حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي ص 85)

 Wanita istihadhah/Mustahadhah ada 4.
Pertama : Mumayyizah, yaitu wanita yang mengetahui Sifat-sifat darah.
Kedua : Mu'tadah, yaitu wanita yg mengetahui adat/kebiasaannya/sudah pernah haid dan sudah pernah suci, tapi tidak Mumayyizah (tidak mengetahui Sifat2 darah)
Ketiga : Mubtadi_ah atau mubtada'ah, yaitu wanita yg Haid untuk pertama kali kemudian istihadhah dan darah tetap padanya.
Keempat : Mutahayirah, yaitu wanita yang lupa adat/kebiasaannya (dalam haid) juga tidak Mumayyizah (tidak mengetahui Sifat-sifat darah).
(Lihat : al-Khulasoh al-Mukhtashor wa Naqowah al-Mu'tashor karangan Hujjatul Islam dan Barakatul Anam Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghozali hal 85)‎

Bercak darah saat hamil muda bisa dijadikan sebagai bahaya serius bagi kehamilan. Bercak darah sering dialami oleh ibu hamil. Banyak ibu hamil yang tidak tahu apa saja yang bisa menyebabkan bercak darah. Bercak darah saat hamil muda bisa menjadi tanda bahwa ibu sedang hamil.

Bercak darah itu biasanya hanya sedikit dan muncul selama tiga hari saja. Banyak wanita yang menganggap jika bercak darah itu adalah tanda akan datangnya menstruasi, namun bercak darah yang dialaminya bisa menjadi pertanda kehamilan untuknya.

Penyebab

Bercak darah yang terjadi pada proses kehamilandisebut spotting. Selama spotting itu tidak dibarengi dengan gejala komplikasi lainnya bisa dikatakan bercak darah itu normal. Namun yang harus diwaspadai adalah perbedaan antara bercak darah dengan pendarahan.

Bercak darah sering terjadi saat kehamilan memasuki usia trimester pertama. Bercak darah itu bisa terjadi sebanyak 20 persen pada ibu hamil. Penyebab keluarnya bercak darah pada saat trimester pertama adalah sebagai berikut ini :

Rahim membesar – Rahim ibu hamil akan membesar pada trimester pertama. Rahim yang membesar itulah yang menyebabkan keluarnya bercak darah.
Adanya kantung kehamilan – Kantung kehamilan bisa menyebabkan ibu hamil mengalami bercak darah. Kantung kehamilan itu membuat rahim membesar dan terdesak.
Melekatnya embrio pada dinding rahim – Embrio yang melekat pada dinding rahim bisa menyebabkan bercak darah keluar dari vagina atau jalan lahir.
Hubungan seksual – Hubungan intim saat hamil bisa menyebabkan bercak darah keluar dari vagina. Penyebabnya adalah serviks menjadi lunak dan dikelilingi pembuluh darah.
Perubahan hormon – Ibu yang sedang hamil memiliki hormon meningkat dibandingkan sebelum kehamilan. Akibatnya adalah keluarnya bercak aatu flek darah dari organ intimnya.
Penyebab Bercak Darah Yang Serius

Bercak darah pada saat kehamilan bisa menjadi tanda bahaya serius pada kehamilannya. Tanda serius itu bisa terjadi pada siapa saja. Berikut ini penyebab bercak darah yang serius pada ibu hamil :

1. BO – Hamil BO adalah hamil kosong. Saat hamil muda ibu hamil yang mengalami bercak darah pada kehamilannya dan bercak darah saat hamil muda itu terjadi lebih dari satu minggu, bisa jadi ibu hamil mengalami hamil kosong.

2. Kehamilan ektopik – Hamil di luar kandungan juga ditandai dengan pendarahan dan bercak darah yang keluar terus menerus. Selain bercak darah yang keluar, ibu hamil merasakan nyeri hebat dan mulas.

3. Hamil anggur – Hamil anggur juga ditandai dengan adanya bercak darah yang keluar dari jalan lahir. Penyebab bercak darah itu keluar adalah plasenta yang tidak terbentuk dengan normal.

4. Luka leher rahim – Penyebab bercak darah dan menjadi indikasi serius adalah bercak darah itu merupakan indikasi dari luka yang ada di leher rahim. Ibu hamil yang mengeluarkan bercak darah saat berhubungan seksual bisa jadi serviks mengalami luka sehabis berhubungan seksual.

5. Infeksi rahim – Infeksi rahim yang diderita oleh ibu bisa menyebabkan ibu hamil mengalami bercak darah saat kehamilan.

6. Miom – di dalam rahim bisa mengeluarkan bercak darah. Penyebabnya adalah posisi miom itu terdesak dengan hadirnya kantung kehamilan di dalam rahim.

7. Kelainan plasenta – Kelainan plasenta juga bisa menyebabkan ibu hamil mengalami bercak darah. Kelainan plasenta yang bisa terjadi pada ibu hamil adalah sebagai berikut ini :

Plasenta previa. Plasenta ini memiliki kelainan dan terletak di rahim bagian bawah sehingga leher rahim akan tertutup.
Abrupsio plasenta. Plasenta ini terlepas dari rekatannya yaitu dinding rahim. Darah bisa keluar banyak atau sedikit disertai dengan nyeri perut yang hebat.
Partus permatur. Kelainan plasenta yang terjadi karena pelebaran serviks.
Ciri-Ciri

Sebaiknya ibu hamil tahu, apakah bercak darah yang dialaminya adalah bercak darah normal ataukah pendarahan yang patut untuk dicurigai. Bercak darah normal pada masa kehamilan disebut dengan pendarahan implantasi. Berikut ini adalah ciri-ciri bercak darah yang dialami oleh ibu hamil atau lebih dikenal dengan pendarahan implantasi :‎
 
1. Waktu

Pendarahan implantasi bisa dilihat dari waktunya. Pendarahan atau bercak darah tidak serta merta terjadi setiap waktu, namun ada waktu tertentu. Pendarahan implantasi akan terjadi saat 6 hari atau hari ke-12 saat ada proses ovulasi di dalam rahim. Bisa dikatakan bercak darah ini bisa muncul saattanda kehamilan awal, yang terjadi pada bulan pertama.

2. Volume Pendarahan

Bercak darah saat hamil muda atau pendarahan implantasi jumlahnya hanya sedikit saja, berbeda halnya dengan menstruasi. Pertama kali memang yang keluar sedikit namun hari ke hari bertambah banyak. Sedangkan pendarahan implantasi jumlah volume bercaknya hanya sedikit begitu pula dengan hari-hari berikutnya. Pendarahan ini biasanya akan terjadi satu hari saja dan paling banyak 3 hari dan kemudian berhenti.

3. Warna Darah

Pendarahan implantasi hanya ada dua warna saja yaitu warna merah muda sedangkan ada yang warnanya gelap atau cokelat. Yang harus diperhatikan adalah meski darah yang dikeluarkan merupakan warna merah muda, jumlahnya hanya sedikit saja.

4. Kram Ringan

Pendarahan implantasi bisa disertai dengan kram ringan. Kram ringan itu merupakan salah satu tanda atau indikasi menempelnya sel telur di dinding rahim. Kram ini merupakan kram yang berbeda dengan kram mau haid. Kram haid biasanya sakit dan menusuk-nusuk, sedangkan kram pada pendarahan implantasi adalah kram ringan dan tidak menimbulkan rasa sakit.

Pendarahan implantasi hanya terjadi pada sepertiga dari ibu hamil saja. Tidak semua wanita hamil mengalami pendarahan dengan jenis ini. Dilihat dari prosesnya pendarahan implantasi hanya sebentar saja dan tidak berkelanjutan.

Bahaya

Tidak selamanya bercak darah aman bagi kondisi ibu hamil. Ada kalanya bercak darah bisa menjadi kondisi membahayakan bagi ibu hamil dan kandungannya. Bercak darah yang berbahaya adalah bercak darah yang disertai dengan komplikasi-komplikasi. Berikut ini bercak darah yang harus diwaspadai bagi ibu hamil :

Bercak darah disertai dengan kram perut hebat. Ibu hamil yang mengeluarkan bercak darah disertai dengan kram perut yang hebat harus segera mendapatkan penanganan medis segera.
Bercak darah dengan rasa mulas. Rasa mulas bisa menjadi indikasi saat ibu hamil akan segera melakukan proses persalinan. Namun bercak darah yang disertai rasa mulas pada hamil muda bisa mengindikasikankeguguran.
Bercak darah dengan rasa pegal. Pegal juga merupakan indikasi ibu hamil akan melahirkan. Jika ibu hamil merasakan hal ini pada saat hamil muda, sebaiknya ibu hamil mulai curiga dan menemui dokter.
Volume darah banyak. Jika ibu hamil mengalami pendarahan dengan volume darah yang banyak dan darah yang keluar seperti menstruasi sebaiknya ibu hamil segera mencari prtolongan medis agar bisa mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Ibu hamil yang mengalami pendarahan dengan ciri-ciri di atas bisa membuat janin keguguran dan membahayakan keselamatan ibu hamil. Ibu hamil akan kekurangan darah dan terkena anemia secara tiba-tiba. Anemia jika tidak mendapatkan asupanmanfaat zat besi dengan cukup bisa membuat nyawa ibu hamil melayang.

Cara Mengatasi :
Mengatasi bercak darah saat hamil muda bisa dilakukan menggunakan hal-hal berikut ini :
Istirahat cukup – Saat ibu hamil merasakan perut mulas, pegal dan kram cobalah digunakan untuk berbaring. Gunakan untuk beristirahat.
Perhatikan gejala dan bercak – Saat bangun dari tidur, lihat dan rasakan. Apakah perut mulas, pegal dan kram telah hilang. Setelah itu apakah ibu hamil masih mengeluarkan bercak darah atau tidak.
Mengunjung dokter atau bidan – Masih atau tidaknya mengeluarkan bercak darah, ibu hamil harus periksa ke dokter. Hal itu untuk memastikan kandungannya baik-baik saja.‎
Pemeriksaan USG –  Bidan akan melakukan pemeriksaan menggunakan USG. 

Manfaat USG kehamilan itu untuk melihat apakah di dalam plasenta bayi ada gumpalan darah atau tidak, selain itu untuk melihat air ketuban dan kondisi janin baik-baik saja. Jika ada gangguan, bidan atau dokter kandungan akan memberikan obat penguat kandungan.

Pada saat kehamilan terjadi, ada beberapa hal yang boleh dilakukan dan ada beberapa yang tidak boleh dilakukan. Hal ini berkaitan dengan menjaga kesehatan ibu dan anak sehingga, tidak ada suatu hal yang membahayakan kesehatan mereka. Mengingat yang dipertaruhkan bukan hanya kesehatan ibu melainkan juga keselamatan anak, tentu membuat banyak orang bertanya-tanya apakah melakukan seks selama kehamilan diperbolehkan? Seks merupakan sebuah kebutuhan biologis dimana secara alami dibutuhkan oleh setiap orang terutama bagi mereka yang telah menikah. Untuk menjawab pertanyaan diperbolehkan tidaknya melakukan seks saat hamil, tentu anda harus mengetahui terlebih dahulu jika bayi di dalam kandungan tumbuh dan berkembang dengan dilindungi oleh semacam cairan yang bernama amniotik (air ketuban) di dalam rahim ibu. Cairan tersebut berperan sebagai pelindung bagi bayi termasuk didalamnya ketika melakukan hubungan seks. Dengan demikian, seks di kala kehamilan merupakan kegiatan yang tidak berbahaya.

Hubungan Seks Saat Hamil

Banyak pasangan di luar sana yang merasa khawatir akan mengalami keguguran jika melakukan seks di kala kehamilan. Perlu diketahui, jika keguguran dapat terjadi ketika ada kelainan pada kromosom serta masalah lain padaperkembangan bayi di dalam rahim. Waktu untuk melakukan hubungan seks yang tepat menurut para pakar seks adalah saat usia kehamilan menginjak trimester pertama hingga berjalan 7 bulan. Pada waktu itulah sang ibu sudah bisa menerima kehamilan dengan lebih rileks dan tubuh yang lebih enakan. Untuk trisemester pertama ada baiknya jika hubungan intim ditunda terlebih dahulu karena bisa saja terjadi kontraksi. Perlu diketahui jika pada saat itu, ari-ari bayi belumlah terbentuk sehingga memicu terjadinya keguguran jika mengalami kontraksi hebat.

Untuk usia kehamilan menginjak 7 hingga 9 bulan sebaiknya hubungan suami istri dikurangi intensitasnya hingga bayi yang dikandung menginjak usia 9 bulan. Hal ini dianggap berbahaya karena ketika terjadi kontraksi dapat berakibat pada ketuban yang pecah serta bayi terinfeksi. Waktu yang dianggap rentan dalam hal ini adalah adalah ketika kehamilan menginjak usia 7 hingga 8 bulan.

Apakah Sperma Bisa Menyebabkan Keguguran ??

Dalam berhubungan badan, yang harus diperhatikan adalah sperma. Sperma mengandung zat tertentu yang dapat berakibat pada reaksi sensitif di mulut rahim. Salah satu zat dalam sperma yang dianggap dapat memicu resiko kontraksi rahim serta membuat terbukanya mulut rahim adalah prostaglansin. Namun walau begitu, prostaglandin pada sperma pria tidaklah menjadi penyebab keguguran dan biasanya hanya menyebabkan mulas.  Dalam berhubungan intim dengan pasangan, sebaiknya sperma dikeluarkan di luar vagina atau juga bisa menggunakan kondom sebagai alat bantu saat berhubungan.

Di dalam sperma mengandung protein yang nyatanya tidak memiliki manfaat bagi pertumbuhan janin melainkan berdampak sebaliknya. Zat yang terdapat pada sperma memicu terjadinya reaksi kontraksi dini sehingga berakibat pada kelahiranprematur. Selain itu, sperma juga beresiko membuat ibu mengalami keguguran di usia hamil yang masih muda.‎
 
Hal yang perlu diperhatikan saat berhubungan badan

Kedua pasangan suami dan istri harus saling merasa nyaman dalam melakukannya
Lakukan posisi seks yang diinginkan sehingga memberikan kenyamanan pada pasangan saat berhubungan badan
Sebaiknya sperma dikeluarkan di luar atau bisa pula dengan menggunakan kondom sebagai alat bantu dalam berhubungan seks
Berapa kali melakukan hubungan seks dalam sehari dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini ada beberapa wanita yang lebih gemar berhubungan intim di kala kehamilan
Hubungan badan yang aman dapat dilakukan ketika memasuki trisemester pertama hingga usia hamil 7 bulan
Kurangi hubungan seks pada usia kehamilan 7 bulan ke atas
Hindari terlalu lelah pada ibu hamil
Sperma yang masuk pada vagina dapat menyebabkan dapat meningkatkan resiko keguguran pada kehamilan serta plasenta previa.
Pada saat berhubungan badan harus dipastikan jika ibu hamil dalam kondisi sehat dan tidak terdapat gangguan apapun. Ketika kehamilan beresiko keguguran sebaiknya hindari seks hingga kondisi benar-benar aman serta perhatikan beragam tips-tips di atas. Resiko lemahnya kandungan pada ibu hamil biasanya ditandai dengan kemunculan flek bercak darah saat hamil yang berasal dari vagina. Flek tersebut merupakan tanda jika janin anda tengah mengalami gangguan dan beresiko. Perlu diingat jika sperma tidaklah bermanfaat pada janin karena bayi di dalam rahim sudah dicukupi kebutuhannya berupa nutrisi serta zat-zat penting lainnya melalui plasenta.

Berhubungan seks dengan pasangan memiliki banyak fungsi seperti untuk memberikan keturunan serta ekspresi cinta pada tiap pasangan. Ekspresi cinta dalam berhubungan seks dapat membuat hubungan suami istri menjadi lebih harmonis serta tercukupinya kebutuhan secara biologis. Bagi yang merasa ragu-ragu dalam berhubungan badan, dapat berkonsultasi terlebih dahulu pada dokter. Selama dokter mengatakan jika kandungan tidak beresiko terjadi keguguran ari-ari janin berada di bawah atau mungkin pendarahan, maka biasanya hubungan seks masih aman untuk dilakukan.
Flek yang keluar saat hamil tidak membatalkan puasa, karena flek bukanlah Haid juga bukan Nifas juga bukan termasuk perkara-perkara yang membatalkan puasa yang dinyatakan oleh Dalil. Bagi seorang wanita, Haid memang membatalkan puasa karena Rasulullah SAW  melarang wanita yang Haid untuk berpuasa. Wanita yang berpuasa dalam keadaan Haid, maka puasanya tidak sah dan tidak diterima Allah. Dalil yang menunjukkan bahwa wanita Haid tidak berpuasa adalah hadis berikut;


صحيح البخاري (2/ 3)

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ  قال رسول الله صلى الله هليه وسلم…أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ

Dari Abu Sa’id Al-Khudry beliau berkata; Rasulullah SAW bersabda;…bukankah (kalian wahai para wanita) jika (salah seorang diantara kalian) Haid dia tidak sholat dan tidak berpuasa?”(H.R.Bukhari)

Karena itu jika seorang wanita sedang berpuasa Ramadhan misalnya, lalu ditengah-tengah puasa dia berhaid, maka seketika itu puasanya batal dan wajib mengqodho (mengganti) dihari lain, karena wanita yang sedang Haid tidak boleh berpuasa dan tidak sah puasanya.

Wanita yang sedang hamil, tidak mungkin keluar darah Haid, jadi semua darah yang keluar pada saat hamil tidak dihukumi darah Haid, tetapi darah Fasad (darah rusak) atau darah istihadhoh (darah penyakit) saja. Dalil yang menunjukkan bahwa wanita yang hamil tidak mungkin Haid adalah hadis berikut;

سنن أبى داود – مكنز (6/ 376، بترقيم الشاملة آليا)

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ وَرَفَعَهُ أَنَّهُ قَالَ فِى سَبَايَا أَوْطَاسٍ « لاَ تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً ».

Dari Abu Sa’id Al-Khudry dan beliau memarfu’kannya, bahwasanya beliau berkata; wanita (Sabaya  yang) hamil tidak disetubuhi sampai dia melahirkan dan (wanita Sabaya) yang tidak hamil (tidak pula disetubuhi) sampai dia berhaid satu kali”(H.R.Abu Dawud)

Hadis di atas sedang berbicara tentang perlakuan terhadap Sabaya  (tawanan wanita dan anak-anak) yang diperolah kaum muslimin dalam perang Authos. Dalam hukum Islam, tawanan wanita dan anak-anak boleh dijadikan budak. Wanita yang telah dijadikan budak, maka dia boleh disetubuhi sebagaimana menyetubuhi istri.

Namun, Rasulullah SAW  menentukan aturan, jika kaum muslimin hendak mensetubuhi Sabaya  wanita yang telah dijadikan sebagai budak, maka disyaratkan agar wanita tersebut tidak dalam kondisi hamil. Jika Sabaya  wanita tersebut dalam kondisi hamil, maka harus ditunggu dulu sampai melahirkan, baru sesudah itu boleh disetubuhi. Sabaya  yang tidak hamil pun tidak boleh langsung disetubuhi, tetapi harus ditunggu dulu sampai dia selesai berhaid sebanyak satu kali. Menunggu Sabaya  hamil sampai melahirkan dan Sabaya  tidak hamil sampai berhaid satu kali ini disebut para Fuqoha dengan istilahIstibro’/ Baro-atur Rohim. Istibro’/ Baro-atur Rohim hukumnya wajib bagi seseorang yang ingin mensetubuhi Sabaya  wanita.

Lalu darimana difahami dari hadis ini bahwa wanita hamil tidak mengalami Haid?

Jawabannya; Rasulullah SAW membedakan cara Istibro’ antara wanita hamil dengan wanita yang tidak hamil. Wanita hamil cara Istibro’nya dengan menunggu sampai melahirkan, sementara wanita yang tidak hamil cara Istibro’nya adalah dengan berhaid satu kali. Seandainya wanita hamil bisa Haid, maka tidak perlu ditunggu sampai melahirkan. Kapanpun muncul Haid pada saat hamil maka pada saat itu pula Istibro telah terealisasi. Jadi, ditetapkannya cara Istibro’ terhadap wanita hamil dengan menunggu sampai melahirkan, hal ini menunjukkan bahwa wanita hamil tidak mungkin Haid.

Riwayat lain yang menguatkan adalah hadis berikut;

صحيح مسلم (7/ 413)

عَنْ سَالِمٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ

أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فَذَكَرَ ذَلِكَ عُمَرُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلًا

“Dari Salim dari Ibnu Umar bahwasanya beliau mentalak istrinya sementara istrinya Haid, maka Umar melaporkan hal itu kepada Rasulullah SAW  maka beliau bersabda; perintahkanlah kepadanya agar Ruju’ dengan istrinya, lalu hendaklah dia mentalaknya dalam keadaan suci atau hamil” (H.R.Muslim)

Dalam hadis di atas dikisahkan bahwa Ibnu Umar putra dari Umar bin Al-Khattab telah mentalak istrinya dalam keadaan Haid. Lalu umar melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah SAW untuk menanyakan apakah cara mentalak demikian sudah benar apa belum. Ternyata Rasulullah SAW menyalahkan cara demikian, karena mentalak istri sementara istri dalam keadaan Haid adalah haram. Talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang sedang Haid adalah talak Bid’ah. Lalu Rasulullah SAW memerintahkan agar Ibnu Umar Ruju’ (menikahi kembali) istrinya, lalu jika ingin mentalaknya hendaknya mentalak dalam kondisi suci (tidak Haid) atau dalam kondisi hamil. Mentalak dalam salah satu dari dua kondisi inilah talak yang benar, syar’i, dan sesuai dengan petunjuk sunnah.

Wanita hamil boleh dijatuhi talak sebagaimana wanita yang sedang suci, hal ini menunjukkan bahwa kondisi wanita hamil sama dengan kondisi wanita suci yaitu tidak Haid. Karena itu dalil ini cukuip jelas menunjukkan bahwa wanita yang sedang hamil tidak mungkin mengalami Haid.

Lebih dari itu, para wanita justru menandai kehamilan dari terhentinya darah Haid. Perkembangan dunia kedokteran dan medis juga menguatkan bahwa wanita yang sedang hamil tidak mungkin Haid. Darah yang keluar saat hamil tidak sama struktur dan asal-usulnya dengan darah Haid. Umumnya jika ada flek atau pendarahan, maka darah yang keluar itu berasal dari luka, bukan peluruhan dinding rahim seperti saat Haid.

Atas dasar ini, maka flek yang keluar pada saat wanita hamil, bahkan pendarahan sekalipun, maka itu semua tidak dihukumi Haid tetapi dihukumi darah fasad (darah rusak) atau darah Istihadhoh. Karenanya wanita hamil yang sedang berpuasa lalu keluar flek puasanya tidak batal. Dia tetap melanjutkan puasanya, tetap wajib shalat lima waktu dan boleh disetubuhi suaminya kapanpun diinginkan (waktu yang dibenarkan oleh Syariat).

Takhtimah

يجب لنحو مستحاضة الوضوع لكل فرض و كذا غسل الفرج و إبدال القطنة التي بفمه و العصابة و إن لم تنتقل عن موضعها و إن لم يظهر الدم مثلا من جوانبها (إعانة الطالبين)

Wajib bagi wanita istihadhah, wudlu tiap ingin solat Fardlu, membasuh farji, dan (Maaf) menyumpal bibir kemaluan dengan Kapas/selainnya. Meskipun darah tak terlihat dari kanan kirinya. ‎(Lihat : I'anah at-Tholibin)

NB: Kecuali bila dia merasa sakit dgn hal itu atau sedang puasa maka tidak boleh (maaf) menyumpal farjinya karena hal ini dapat membatalkan puasa.

وطء المستحاضة جاءىز عند أبي حنيفة و الشافعي و مالك كما تصوم و تصلي و قال أحمد لا يجوز وطء المستحاضة في الفرج إلا أن يخاف زوجوها العنت و هو الزنا فيجوز في أصح الروايتين.
(رحمة الأمة في اختلاف الأءىمة)

Menjima' atau menyetubuhi wanita yg istihadhah itu boleh menurut Imam Abi Hanifah, Syafi', dan Malik seperti halnya puasa dan solat. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal tidak boleh.
Dan paling shohihnya 2 riwayat itu boleh.‎
(Lihat: Rohmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-A_immah)

{تنبيه مهم} يجب على المرأة تعلم ما تحتاج إليه من أحكام الحيض و الإستحاضة و النفاس. فإن كان زوجها عالما لزمه تعليمها و إلا فلها الخروج لسوأل العلماء بل يجب و يحرم عليه منعها إلا أن يسأل هو و يخبرها فتستغني بذلك. و ليس لها الخروج إلى مجلس ذكر أو تعلم خير إلا برضاه.
(مغني المحتاج الجزء 1 ص 120)

"Peringatan Penting" : Wajib bagi seorang perempuan belajar sesuatu yg dia butuhkan dari Hukum-hukum haid, istihadhah, dan nifas. Apabila suaminya alim/mengetahui maka wajib bagi sang suami untuk mengajarinya.

Dan bila sang suami tidak mengerti, maka boleh baginya keluar untuk bertanya pada ulama' bahkan wajib. Dan suami haram melarangnya, kecuali dia sendiri yg bertanya lalu memberi tahu istrinya sehingga dia tak perlu keluar rumah. Tidak boleh bagi istri keluar ke Majlis dzikir atau tempat belajar kebaikan kecuali dengan ridlo dari suami. ‎(Lihat: Mughni Muhtaj juz 1 hal 120)

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...