Kamis, 14 Oktober 2021

Penjelasan Sholat Muthlaq Nisfu Sya'ban

 

Penjelasan Sholat Muthlaq Nisfu Sya'ban

Banyak orang menuduh shalat nisfu Sya’ban sebagai bid’ah. Mereka menuduh demikian bisa jadi dengan niat yang baik untuk membersihkan praktek ibadah dari Bid’ah dan mengembalikan agar ibadah yang dilakukan sesuai sunah Rasul. Alasannya sangat sederhana karena shalat Nisfu Sya’ban tidak pernah dikerjakan jaman Rasul. Benarkah shalat Nisfu Sya’ban bidah? Apakah nabi tidak pernah melakukannya?

Untuk lebih melengkapi khazanah kita, akan kami paparkan pula beberapa pertanyaan yang mengingkari shalat nisfu Sya’ban dari berbagai dialog. Antara lain:

Pertanyaan Pertama:

Tidak ada keistimewaan malam nisfu Sya’ban dibandingkan malam lainnya. Sehingga tidak perlu mengkhususkan ibadah pada malam tersebut. Beberapa Hadis yang menerangkan keutamaan nisfu Sya’ban adalah maudhu’ (palsu) dan dha’if. Sehingga tidak boleh diamalkan.

Para ulama semisal Ibnu Rajab, Ibnul Jauzi, Imam al-Ghazali, Ibnu Katsir dan yang lainnya, menyatakan hadits-hadits yang berbicara seputar keutamaan malam Nishfu Sya'ban ini sangat banyak jumlahnya. Hanya, umumnya hadits-hadits tersebut dhaif, namun ada juga beberapa hadits yang Hasan dan Shahih Lighairihi. Untuk lebih jelasnya, berikut di antara hadits-hadits dimaksud:

Hadis 1

عن علي بن إبي طالب عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((إذا كان ليلة نصف شعبان فقوموا ليلها, وصوموا نهارها, فإن الله تعالى ينزل فيها لغروب الشمس إلى سماء الدنيا, فيقول: ألا مستغفر فأغفرله, ألا مسترزق فأرزقه, ألا مبتلى فأعافيه, ألا كذا ألا كذا, حتى يطلع الفجر)) [رواه ابن ماجه والحديث ضعفه الألبانى]

Artinya: "Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah saw bersabda: "Apabila sampai pada malam Nishfu Sya'ban, maka shalatlah pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya, karena sesungguhnya Allah akan turun ke dunia pada malam tersebut sejak matahari terbenam dan Allah berfirman: "Tidak ada orang yang meminta ampun kecuali Aku akan mengampuni segala dosanya, tidak ada yang meminta rezeki melainkan Aku akan memberikannya rezeki, tidak ada yang terkena musibah atau bencana, kecuali Aku akan menghindarkannya, tidak ada yang demikian, tidak ada yang demikian, sampai terbit fajar" (HR. Ibnu Majah dan hadits tersebut dinilai Hadits Dhaif oleh Syaikh al-Albany).

Hadis 2

عن عائشة قالت: فقدت النبي صلى الله عليه وسلم فخرجت فإذا هو بالبقيع رافع رأسه إلى السماء, فقال: ((أكنت تخافين إن يحيف الله عليك ورسوله؟)) فقلت: يا رسول الله, ظننت أنك أتيت بعض نسائك. فقال: ((إن الله تبارك وتعالى ينزل ليلة النصف من شعبان إلى سماء الدنيا فيغفر لأكثر من عدد شعر غنم كلب)) [رواه أحمد والترمذى وابن ماجه وضعفه الألبانى فى ضعيف الترمذى].

Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Suatu malam saya kehilangan Rasulullah saw, lalu aku mencarinya. Ternyata beliau sedang berada di Baqi' sambil menengadahkan wajahnya ke langit. Beliau bersabda: "Apakah kamu (wahai Aisyah) khawatir Allah akan menyia-nyiakan kamu dan RasulNya?" Aku menjawab: "Wahai Rasulullah, saya pikir anda pergi mendatangi di antara isteri-isterimu". Rasulullah saw bersabda kembali: "Sesungguhnya Allah turun ke dunia pada malam Nishfu Sya'ban dan mengampuni ummatku lebih dari jumlah bulu domba yang digembalakan" (HR. Ahmad, Ibn Majah dan Turmidzi. Syaikh al-Albany menilai hadits riwayat Imam Turmudzi tersebut sebagai hadits Dhaif sebagaimana ditulisnya pada 'Dhaifut Turmudzi').

Kedua hadits tersebut adalah hadits yang dinilai Dhaif oleh jumhur Muhaditsin di antaranya oleh Syaikh Albany, seorang ulama yang tekenal sangat ketat dengan hadits.

Namun demikian, di bawah ini juga penulis hendak mengetengahkan Hadits Hasan dan Shahih Lighairihi yang berbicara seputar keutamaan malam Nishfu Sya'ban ini. Hadits-hadits dimaksud adalah:

Hadis 3

عن أبي موسى عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((إن الله ليطلع ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه, إلا لمشرك أو مشاحن)) [رواه ابن ماجه وحسنه الشيخ الألبانى فى صحيح ابن ماجه (1140)]

Artinya: "Dari Abu Musa, Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah muncul (ke dunia) pada malam Nishfu Sya'ban dan mengampuni seluruh makhlukNya, kecuali orang musyrik dan orang yang dengki dan iri kepada sesama muslim" (HR. Ibn Majah, dan Syaikh Albani menilainya sebagai hadits Hasan sebagaimana disebutkan dalam bukunya Shahih Ibn Majah no hadits 1140).

Hadis 4

عن عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((إن الله ليطلع إلى خلقه ليلة النصف من شعبان فيغفر لعباده إلا اثنين: مشاحن, أو قاتل نفس)) [رواه أحمد وابن حبان فى صحيحه]

Artinya: "Dari Abdullah bin Amer, Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya akan menemui makhlukNya pada malam Nishfu Sya'ban, dan Dia mengampuni dosa hamba-hambanya kecuali dua kelompok yaitu orang yang menyimpan dengki atau iri dalam hatinya kepada sesama muslim dan orang yang melakukan bunuh diri" (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban sebagaimana ditulisnya dalam buku Shahihnya).

Namun, Syaikh Syu'aib al-Arnauth menilai hadits tersebut hadits yang lemah, karena dalam sanadnya ada dua rawi yang bernama Ibn Luhai'ah dan Huyay bin Abdullah yang dinilainya sebagai rawi yang lemah. Namun demikian, ia kemudian mengatakan bahwa meskipun dalam sanadnya lemah, akan tetapi hadits tersebut dapat dikategorikan sebagai hadits Shahih karena banyak dikuatkan oleh hadits-hadits lainnya (Shahih bi Syawahidih).

Hadis 5

عن عثمان بن أبي العاص مرفوعا قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إذا كان ليلة النصف من شعبان نادى مناد: هل من مستغفر فأغفر له؟ هل من سائل فأعطيه؟ فلا يسأل أحد شيئا إلا أعطيه, إلا زانية بفرجها أو مشركا)) [رواه البيهقى]

Artinya: "Dari Utsman bin Abil Ash, Rasulullah saw bersabda: "Apabila datang malam Nishfu Sya'ban, Allah berfirman: "Apakah ada orang yang memohon ampun dan Aku akan mengampuninya? Apakah ada yang meminta dan Aku akan memberinya? Tidak ada seseorang pun yang meminta sesuatu kecuali Aku akan memberinya, kecuali wanita pezina atau orang musyrik" (HR. Baihaki).

Dengan memperhatikan, di antaranya, hadits-hadits di atas, maka tidak berlebihan apabila banyak ulama berpegang teguh bahwa malam Nishfu Sya'ban adalah malam yang istimewa, karena bukan hanya dosa-dosa akan diampuni, akan tetapi juga doa akan dikabulkan. Hadits-hadits yang dipandang Dhaif yang berbicara seputar keistimewaan malam Nishfu Sya'ban ini, paling tidak kedudukan haditsnya menjadi terangkat oleh hadits-hadits lain yang berstatus Hasan atau Shahih Lighairihi.

Atau boleh juga dikatakan, karena hadits-hadits dhaif yang berbicara seputar keutamaan malam Nishfu Sya'ban ini dhaifnya tidak parah dan tidak berat, maka satu sama lain menjadi saling menguatkan sehingga kedudukannya naik menjadi Hadits Hasan Lighairihi. Wallahu'alam.

Istimewanya malam Nishfu Sya'ban ini juga dikuatkan oleh atsar para sahabat. Imam Ali bin Abi Thalib misalnya, sebagaimana dikutip Ibnu Rajab, apabila datang malam Nishfu Sya'ban, ia banyak keluar rumah untuk melihat dan berdoa ke arah langit, sambil berkata: "Sesungguhnya Nabi Daud as, apabila datang malam Nishfu Sya'ban, beliau keluar rumah dan menengadah ke langit sambil berkata: "Pada waktu ini tidak ada seorang pun yang berdoa pada malam ini kecuali akan dikabulkan, tidak ada yang memohon ampun, kecuali akan diampuni selama bukan tukang sihir atau dukun". Imam Ali lalu berkata: "Ya Allah, Tuhannya Nabi Daud as, ampunilah dosa orang-orang yang meminta ampun pada malam ini, serta kabulkanlah doa orang-orang yang berdoa pada malam ini".

Sebagian besar ulama Tabi'in seperti Khalid bin Ma'dan, Makhul, Luqman bin Amir dan yang lainnya, juga mengistimewakan malam ini dengan jalan lebih mempergiat ibadah, membaca al-Qur'an dan berdoa. Demikian juga hal ini dilakukan oleh jumhur ulama Syam dan Bashrah.

Bahkan, Imam Syafi'i pun beliau mengistimewakan malam Nishfu Sya'ban ini dengan jalan lebih mempergiat ibadah, doa dan membaca al-Qur'an. Hal ini sebagaimana nampak dalam perkataannya di bawah ini:

بلغنا أن الدعاء يستجاب فى خمس ليال: ليلة الجمعة, والعيدين, وأول رجب, ونصف شعبان. قال: واستحب كل ما حكيت فى هذه الليالي

Artinya: "Telah sampai kepada kami riwayat bahwa dua itu akan (lebih besar kemungkinan untuk) dikabulkan pada lima malam: Pada malam Jum'at, malam Idul Fithri, malam Idul Adha, malam awal bulan Rajab, dan pada malam Nishfu Sya'ban. Imam Syafi'i berkata kembali: "Dan aku sangat menekankan (untuk memperbanyak doa) pada seluruh malam yang telah aku ceritakan tadi".

Dari pemaparan di atas nampak bahwa sebagian besar para ulama salaf memandang istimewa malam ini, karenanya mereka mengisinya dengan mempergiat dan memperbanyak ibadah termasuk berdoa, shalat dan membaca al-Qur'an.

Pertanyaan Kedua:

Shalat Nisfu Sya’ban Bid’ah karena tidak pernah dilakukan Rasul. Sehingga ibadah mereka tidak sesuai sunnah Rasul.

Nama panjang dari shalat Nisfu Sya’ban adalah “SHALAT MUTHLAQ yang dilakukan pada malam Nisfu Sya’ban”. Untuk memudahkan pengucapan, ulama menyebutnya shalat nisfu Sya’ban.

Karena termasuk jenis shalat Muthlaq, maka boleh dikerjakan kapan saja termasuk malam pertengahan Sya’ban selama dikerjakan tidak pada waktu yang dilarang. Kalau pada malam yang lain boleh melakukan shalat Muthlaq, maka pada malam nisfu Sya’ban juga boleh.

Membid’ahkan shalat nisfu Sya’ban sama dengan membid’ahkan shalat Muthlaq yang sunnah.

Apalagi ada hadis yang menyatakan bahwa Rasul menggiatkan qiyamul layl pada malam nisfu Sya’ban. Semakin kuat lah dasar shalat nisfu Sya’ban.

عَنِ الْعَلاَءِ بْنِ الْحَارِثِ اَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَامَ رَسُوْلُ الله  مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ، فَلَمَّا رَأَيْتُ ذَلِكَ قُمْتُ حَتَّى حَرَّكْتُ إِبْهَامَهُ فَتَحَرَّكَ فَرَجَعَ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ وَفَرَغَ مِنْ صَلاَتِهِ قَالَ: يَا عَائِشَةُ أَوْ يَا حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْتِ أَنَّ النَّبِيَّ قَدْ خَاسَ بِكِ؟ قُلْتُ: لاَ وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلَكِنِّي ظَنَنْتُ أَنْ قُبِضْتَ طُوْلَ سُجُوْدِكَ، قَالَ:أَتَدْرِي أَيَّ لَيْلَةٍ هَذِهِ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِيْنَ وَيَرْحَمُ الْمُسْتَرْحِمِيْنَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ، رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ. وَقَالَ هَذَا مُرْسَلٌ جَيِّدٌ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُوْنَ الْعَلاَءُ أَخَذَهُ مِنْ مَكْحُوْلٍ

“Dari 'Ala' bin Charits bahwa Aisyah berkata: “Rasulullah bangun di tengan malam kemudian beliau salat, kemudian sujud sangat lama, sampai saya menyangka bahwa beliau wafat. Setelah itu saya bangun dan saya gerakkan kaki Nabi dan ternyata masih bergerak. Kemudian Rasul bangkit dari sujudnya setelah selesai melakukan shalatnya, Nabi berkata “Wahai Aisyah, apakah kamu mengira Aku berkhianat padamu?”, saya berkata “Demi Allah, tidak, wahai Rasul, saya mengira engkau telah tiada karena sujud terlalu lama.” Rasul bersabda “Tahukauh kamu malam apa sekang ini?” Saya menjawab “Allah dan Rasulnya yang tahu”. Rasulullah bersabda “ini adalah malam Nishfu Sya’ban, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memperhatikan hamba-hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Allah akan mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, mengasihi orang-orang yang meminta dikasihani, dan Allah tidak akan memprioritaskan orang-orang yang pendendam”.(HR Al Baihaqi fi Syuab Al Iman no 3675, menurutnya hadits ini Mursal yang baik)

Catatan:

1. Letak ke-mursal-an hadits tersebut karena Al ‘Ala’ bin Al Charits adalah seorang Tabiin yang tidak pernah berjumpa dengan Aisyah, prediksi Al Baihaqi menyebutkan Al ‘Ala’ memperoleh hadits tersebut dari gurunya, Makchul. Imam Achmad menilai Al ‘Ala’ sebagai orang yang sahih haditsnya. Abu Chatim berkata: Tidak ada murid Makchul yang lebih terpercaya dari pada Al ‘Ala’. Ibnu Hajar menyebut Al ‘Ala’ sebagai orang yang jujur dan berilmu fikih, tetapi ia dituduh pengikut Qadariyah. (Mausu’ah Ruwat Al Hadits)

2.  Para Imam Madzhab, seperti Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal mengkategorikan hadis Mursal sebagai hadis yang dapat diterima (Hadis Maqbul) bila memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya Sahabat atau Tabiin yang digugurkan dari sanad merupakan seorang yang dikenal kredibilitasnya, tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih shahih, dan lain sebagainya, sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab Ulumul Hadits.

مجموع فتاوى ابن تيمية ج 2 ص 469
وَسُئِلَ عَنْ صَلاَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ؟ (الْجَوَابُ) فَأَجَابَ: إذَا صَلَّى اْلإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِيْ جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ أَحْسَنُ. وَأَمَّا اْلاِجْتِمَاعُ فِي الْمَسَاجِدِ عَلَى صَلاَةٍ مُقَدَّرَةٍ. كَاْلاِجْتِمَاعِ عَلَى مِائَةِ رَكْعَةٍ بِقِرَاءَةِ أَلْفٍ: {قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ} دَائِمًا. فَهَذَا بِدْعَةٌ لَمْ يَسْتَحِبَّهَا أَحَدٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ. وَاللهُ أَعْلَمُ.

“Ibnu Taimiyah ditanyai soal shalat pada malam nishfu Sya’ban. Ia menjawab: Apabila seseorang shalat sunah muthlak pada malam nishfu Sya’ban sendirian atau berjamaah, sebagaimana dilakukan oleh segolongan ulama salaf, maka hukumnya adalah baik. Adapun kumpul-kumpul di masjid dengan shalat yang ditentukan, seperti salat seratus raka’at dengan membaca surat al Ikhlash sebanyak seribu kali, maka ini adalah perbuata bid’ah yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama”. (Majmú' Fatáwá Ibnu Taymiyyah, II/469)

فيض القدير ج 2 ص 302
(تَنْبِيْهٌ) قَالَ المَجْدُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ لَيْلَةُ نِصْفِ شَعْبَانَ رُوِىَ فِى فَضْلِهَا مِنَ اْلأَخْبَارِ وَاْلأثَارِ مَا يَقْتَضِى أنَّهَا مُفَضَّلَةٌ وَمِنَ السَّلَفِ مَنْ خَصَّهَا بِالصَّلاَةِ فِيْهَا

“Ibnu Taimiyah berkata : Dari beberapa hadis dan pandapat para sahabat menunjukkan bahwa malam Nishfu Sya’ban memiliki keutamaan tersendiri. Sebagian ulama Salaf melaksanakan salat sunah secara khusus di malam tersebut”. (Faidl al-Qadír, II/302)

اعانة الطالبين ج 1 ص 271
قَالَ العَلاَّمَةُ الْكُرْدِى وَاخْتَلَفَ اْلعُلَمَاءُ فِيْهَا فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ لَهَا طُرُقٌ إذَا اجْتُمِعَتْ وَصَلَ الْحَدِيْثُ إلَى حَدٍّ يُعْمَلُ بِهِ فِى فَضَائِلِ اْلأَعْمَالِ وَمِنْهُمْ مَنْ حَكَمَ عَلَى حَدِيْثِهَا بِالْوَضْعِ وَمِنْهُمُ النَّوَوِى وَتَبِعَ الشَّارِحُ فِى كُتُبِهِ.

“Syeikh Al Kurdy berkata : Para Ulama berbeda pendapat mengenai hadis-hadis yang berhubungan dengan salat sunah malam Nishfu Sya’ban, diantara para ulama ada yang mengatakan bahwa hadis tersebut (meskipun Dloif) memiliki banyak jalur riwayat, yang secara keseluruhan (akumulasi) hadis tersebut boleh dilaksanakan dalam hal Fadlailul A’mal (naik peringkat menjadi hadis hasan lighairihi). Diantara ulama yang lain menghukuminya sebagai hadis palsu, seperti Imam Nawawi dan Syekh Zainuddin Al Malibary”. (I'ánah al-Thálibín, I/271)

Bahkan kalau kita menyandarkan pada hadis di atas, justru MEREKA YANG SHALAT PADA MALAM NISFU SYA’BAN IBADAHNYA SESUAI SUNNAH RASUL.

Pertanyaan Ketiga:

Shalat Nisfu Sya’ban saja Bid’ah, apalagi melakukannya secara berjamaah. Semakin jauh dari Islam. Kalaulah memang bagus mengapa Rasul dan sahabat tidak melakukan? Padahal Mereka adalah generasi terbaik.

Saudaraku, selama ada dalil umum yang membolehkan, maka mengenai tekhnisnya berjamaah atau tidak, dapat diatur menurut kondisi dan keadaan.

Pelaksanaan mengisi malam Nishfu Sya'ban diberjamaahkan ini pertama kali dilakukan oleh ulama tabi'in yang bernama Khalid bin Ma'dan, lalu diikuti oleh ulama tabi'in lainnya seperti Makhul, Luqman bin Amir dan yang lainnya. Bahkan terus berlanjut dan menjadi tradisi ulama Syam dan Bashrah sampai saat ini.

Meski tidak dilakukan pada masa Rasulullah saw dan para sahabatnya, kami lebih condong untuk mengatakan tidak mengapa dan tidak dilarang. Tidak semua yang tidak dipraktekkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya menjadi sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Selama ada hadits dan qaidah umum yang membolehkan, maka mengenai tehnis, apakah diberjamaahkan atau sendiri-sendiri, semuanya diserahkan kepada masing-masing dan tentu diperbolehkan. Hal ini sebagaimana tradisi takbir berjamaah pada malam hari raya.

Hal ini tidak dilakukan pada masa Rasulullah saw dan para sahabatnya. Rasulullah saw dan para sahabat hanya melakukannya di rumah masing-masing. Tradisi berjamaah membaca takbir pada malam Hari Raya ini pertama kali dilakukan oleh seorang ulama tabi'in yang bernama Abdurrahman bin Yazid bin al-Aswad. Dan tradisi ini pun sampai saat ini masih diberlakukan dan diamalkan hampir di seluruh negara-negara muslim.

Demikian juga dengan shalat Tarawih diberjamaahkan. Rasulullah saw hanya melakukannya satu, dua atau tiga malam saja secara berjamaah. Setelah itu, beliau melakukannya sendiri. Dan hal ini berlaku juga sampai masa khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq serta pada permulaan khalifah Umar bin Khatab. Setelah Umar bin Khatab masuk ke sebuah mesjid dan menyaksikan orang shalat tarawih sendiri-sendiri, akhirnya beliau melihat alangkah lebih baiknya apabila diberjamaahkan. Sejak itu, beliau manunjuk sahabat Rasulullah saw yang bernama Ubay bin Ka'ab untuk menjadi imam pertama shalat Tarawih diberjamaahkan. Tradisi ini juga berjalan dan terus dipraktekkan sampai sekarang ini.

Kalaulah shalat qiyamu Ramadhan (Tarawih) yang beliau lakukan selalu tidak berjamaah dengan sahabat, kecuali hanya 1-3 malam saja, boleh dilakukan secara berjamaah, lalu takbir malam ‘Ied juga boleh dilakukan secara berjamaah, mengapa shalat Muthlaq malam nisfu Sya’ban (untuk menyingkat selanjutnya disebut “shalat Nisfu Sya’ban”) tidak boleh dilakukan berjamaah? Tentu ini tidak fair.

Di zaman Rasul, para sahabat dengan melihat rasul qiyamul layl saja mereka sudah melakukannya. Namun di akhir zaman ini jika ada ustad berkata, “wahai umat Islam, shalat tarawih yang dilakukan Rasul tidak berjamaah dan dilakukan di tengah malam (bukan ba’da Isya langsung). Oleh karena itu shalatlah sendiri-sendiri nanti malam.” Yang shalat tarawih pasti sedikit. Kecuali instruksi itu untuk bangun malam dalam rangka menyaksikan final piala dunia antara Belanda Vs Spanyol insya Allah jamaahnya banyak meskipun jam 1.30 malam.

Jadi kondisi zaman mengarahkan untuk shalat tarawih secara berjamaah.

Begitu pula dengan shalat nisfu Sya’ban. Di akhir zaman ini, Kalau shalat Nisfu Sya’ban (apalagi jika 100 raka’at) dilakukan hanya boleh sendiri-sendiri, saya yakin sangat-sangat sedikit orang yang mau menghidupkan malam Nisfu Sya’ban. Namun kalau dilakukan secara berjamaah, satu sama lain dapat saling memotivasi sehingga lebih semangat.

Pertanyaan Keempat:

Terlebih lagi dalam shalat nisfu Sya’ban, mereka menetapkan jumlah 100 rakaat. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasul.

Ada beberapa alasan mengapa saya shalat nisfu Sya’ban 100 rakaat:

1. Karena shalat nisfu Sya’ban termasuk shalat Muthlaq, maka jumlahnya bebas. 10 rakaat boleh, 20, 30, bahkan 100 rakaat juga boleh. Kalau kita sanggup 1.000 rakaat juga tidak ada yang melarang, karena shalat Muthlaq. Mengapa kita berani melarang jumlah tertentu dalam shalat Muthlaq? Apakah kalau 99 rakaat boleh, 101 juga boleh lalu khusus 100 rakaat tidak boleh?

Nabi SAW pernah berkata kepada Bilal, sesudah mengerjakan shalat Shubuh sebagaimana berikut: “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku amalan yang engkau kerjakan dalam Islam yang penuh dengan pengharapan karena aku mendengar suara sandalmu di depanku di syurga”. Bilal menjawab tidak pernah aku melakukan suatu perbuatan yang saya harapkan kebaikannya, melainkan pasti aku bersuci dahulu, baik saatnya malam hari atau siang hari. Sesudah aku bersuci aku melakukan shalat sebanyak yang dapat kulakukan”. (HR. Imam Bukhari dan Muslim)

Jabir bin Hayyan, penemu ilmu Kimia sekaligus orang pertama memperoleh julukan Sufi, melakukan shalat Muthlaq 400 rakaat sebelum memulai penelitian.
Kalau ada seseorang menganjurkan untuk shalat nisfu Sya’ban 77 rakaat karena dia senang dengan angka 7, boleh saja. Namun daripada saya mengikuti dia, lebih baik saya mengikuti para ulama yang shalih.

2. Banyak ulama-ulama shalih yang ahli ma’rifat seperti syekh Abdul Qadir Jailani melakukan shalat nisfu Sya’ban 100 rakaat, begitu pula dengan imam Ghazali dan ulama lainnya. Maka tidak ada salahnya jika kita mengikuti beliau. (baca juga dasar hukum shalat Rajab, Nisfu Sya’ban dll di tqn-jakarta.org)
Dan ikutilah jalannya orang yang kembali kepadaKu (Luqman 31:15)

3. Jumlah 100 rakaat ada hadisnya. Meskipun banyak orang yang menolak hadis tersebut. Namun Imam Ahmad berkata, “hadis dhaif lebih aku sukai daripada pendapat pribadi seseorang".

Pertanyaan Kelima:

Bacaan dalam shalat Nisfu Sya’ban (al-Ikhlas 10 kali setelah al-Fatihah, sehingga dikallikan 100 rakaat menjadi 1.000 kali membaca al-Ikhlas) adalah bacaan yang mengada-ada. Tidak pernah dilakukan juga oleh Rasul.

Bacaan yang dibaca dalam shalat nisfu Sya’ban setelah al-Fatihah terserah. Ayat manapun termasuk al-Ikhlas boleh dibaca dalam shalat asalkan ayat al-Qur’an. Tidak ada juga ketentuan bahwa surat al-Ikhlas tidak boleh dibaca beberapa kali dalam satu rakaat.

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْءَانِ

karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an. (QS. Al-Muzammil:20)

Imam masjid Quba selalu membaca surat Al Ikhlas disetiap habis fatihah, ia selalu menyertakan surat Al Ikhlas lalu baru surat lainnya, lalu makmumnya protes, seraya meminta agar ia menghentikan kebiasaanya, namun Imam itu menolak, silahkan pilih imam lain kalau kalian mau, aku akan tetap seperti ini!, maka ketika diadukan pada Rasul saw, maka Rasul saw bertanya mengapa kau berkeras dan menolak permintaan teman temanmu (yg meminta ia tak membaca surat al ikhlas setiap rakaat), dan apa pula yg membuatmu berkeras mendawamkannya setiap rakaat?” ia menjawab : “Aku mencintai surat Al Ikhlas”, maka Rasul saw menjawab : “Cintamu pada surat Al Ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari hadits no. 741).

Kesimpulannya, shalat Muthlaq pada malam nisfu Sya’ban secara berjamaah sebanyak 100 rakaat dengan membaca surat al-Ikhlas 10 kali setiap bada Fatihah DIBOLEHKAN. Jangan sampai kita mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Kalau nabi saja tidak boleh apalagi kita. 

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ

HAI NABI, MENGAPA KAMU MENGHARAMKAN APA YANG ALLAH HALALKAN BAGIMU (QS. At-Tahrim:6)

Penjelasan Tentang Puasa Sya'ban


Puasa Sya’ban hukumnya Sunnah tanpa membedakan apakah dikerjakan pada paruh pertama bulan Sya’ban (tanggal 1-15 Sya’ban) maupun paruh kedua (tanggal 16-30 Sya’ban), dikerjakan sebulan penuh maupun sebagian besar saja, dikerjakan berselang-seling hari maupun berturut-turut, teratur maupun tidak, sedikit maupun banyak. Semuanya adalah amal ma’ruf  dan termasuk keumuman dalil yang menunjukkan Sunnahnya puasa Sya’ban tanpa dibatasi jumlah hari tertentu atau tanggal tertentu.

Dalil yang menunjukkan Sunnahnya puasa Sya’ban adalah puasa yang dilakukan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam di bulan Sya’ban. Aisyah menginformasikan bahwa beliau tidak pernah melihat Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam berpuasa Sunnah sebanyak yang beliau lakukan di bulan Sya’ban. Abu Dawud meriwayatkan;

سنن أبى داود – م (2/ 300)

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ فِى شَهْرٍ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ.

“dari Aisyah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa hingga kami mengatakan; beliau tidak berbuka, dan beliau berbuka hingga kami mengatakan; beliau tidak berpuasa. Dan tidaklah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyempurnakan puasa satu bulan sama sekali kecuali pada Bulan Ramadhan, dan tidaklah aku melihat beliau dalam satu bulan lebih banyak melakukan puasa daripada berpuasa pada Bulan Sya’ban”. (H.R.Abu Dawud)‎

Banyaknya puasa yang dilakukan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam di bulan Sya’ban menunjukkan bahwa puasa Sya’ban hukumnya Sunnah, dan sedapat mungkin dilakukan sebanyak-banyaknya.

Hanya saja, banyaknya puasa yang dilakukan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam di bulan Sya’ban tidak bermakna beliau berpuasa sebulan penuh, namun hanya menunjukkan seringnya  puasa yang dilakukan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam di bulan itu hingga seakan-akan berpuasa sebulan penuh.  Adapun riwayat yang mengesankan bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam berpuasa sebulan penuh di bulan Sya’ban. Misalnya riwayat-riwayat berikut ini;

صحيح مسلم (6/ 34)

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ صِيَامِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ صَامَ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ أَفْطَرَ وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dari Abu Salamah ia berkata, saya pernah bertanya kepada Aisyah radliallahu ‘anha tentang puasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ia pun berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering berpuasa hingga kami mengira bahwa beliau akan puasa seterusnya. Dan beliau sering berbuka (tidak puasa) sehingga kami mengira beliau akan berbuka (tidak puasa) terus-menerus. Dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa terus sebulan penuh kecuali Ramadlan. Dan aku juga tidak pernah melihat beliau puasa Sunnah dalam sebulan yang lebih banyak dariada puasanya di bulan Sya’ban. Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Beliau berpuasa Sya’ban hingga sisa harinya tinggal sedikit.” (H.R.Muslim)

سنن أبى داود (6/ 276)

 عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنْ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلَّا شَعْبَانَ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ

“Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau  tidak pernah berpuasa sunah satu bulan semuanya  kecuali Bulan Sya’ban, beliau menyambungnya dengan Ramadhan”. (H.R.Abu Dawud)

مسند أحمد (44/ 188)

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَامَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ يَصِلُ شَعْبَانَ بِرَمَضَانَ

“dari Ummu Salamah berkata; “Saya tidak pernah melihat Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut, kecuali ketika beliau menyambung puasa Sya’ban dengan puasa Ramadlan.” (H.R. Ahmad)

سنن الترمذى (3/ 189)

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلَّا شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ

“dari Ummu Salamah dia berkata, saya tidak pernah melihat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali pada bulan Sya’ban dan Ramadlan”. (H.R.At-Tirmidzi)

سنن النسائي (8/ 52)

عَائِشَةَ تَقُولُ كَانَ أَحَبَّ الشُّهُورِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَصُومَهُ شَعْبَانُ بَلْ كَانَ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ

‘Aisyah berkata; “Bulan Sya’ban adalah bulan yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berpuasa, bahkan beliau menyambungnya dengan Ramadlan.” (H.R.An-Nasa-i)

مسند أحمد (51/ 311)

عَنْ عَائِشَةَ قَالَ قُلْتُ أَيْ أُمَّهْ كَيْفَ كَانَ صِيَامُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ وَلَمْ أَرَهُ يَصُومُ مِنْ شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا بَلْ كَانَ يَصُومُهُ كُلَّهُ

“Dari Aisyah dia (Abu Salamah) Berkata; wahai ibu bagaimana puasa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam? (Aisyah) Berkata; “Beliau sedemikian sering melakukan puasa sehingga kami mengatakan bahwa beliau tidak pernah berbuka (tidak berpuasa), namun beliau juga sering berbuka (tidak puasa) sehingga kami mengatakan bahwa beliau jarang berpuasa. Dan saya tidak pernah melihat beliau lebih banyak melakukan puasa di suatu bulan daripada puasa beliau di bulan Sya’ban. beliau berpuasa Sya’ban kecuali sedikit, bahkan beliau berpuasa Sya’ban sebulan semuanya.” (H.R.Ahmad)

Maka riwayat-riwayat ini dan semisalnya adalah bentuk ungkapan Mubalaghoh (hal menyangatkan/ penyangatan) sebagai Majaz bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam banyak sekali berpuasa dibulan Sya’ban sampai seakan-akan berpuasa sebulan penuh.

Ibnu Al-Mubarok menginformasikan bahwa dalam bahasa yang dipakai oleh orang-orang Arab, berpuasa  pada sebagian besar hari-hari dalam satu bulan boleh diungkapkan dengan statemen “berpuasa seluruh bulan/semuanya”. At-Tirmidzi  menukil;

سنن الترمذى (3/ 189)

عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُ قَالَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ قَالَ هُوَ جَائِزٌ فِي كَلَامِ الْعَرَبِ إِذَا صَامَ أَكْثَرَ الشَّهْرِ أَنْ يُقَالَ صَامَ الشَّهْرَ كُلَّهُ وَيُقَالُ قَامَ فُلَانٌ لَيْلَهُ أَجْمَعَ وَلَعَلَّهُ تَعَشَّى وَاشْتَغَلَ بِبَعْضِ أَمْرِهِ

“dari Ibnu Al-Mubarak  bahwasanya dia berkata: Menurut kaedah bahasa arab, hukumnya boleh mengungkapkan “berpuasa  pada sebagian besar hari-hari dalm satu bulan” dengan ungkapan “berpuasa sebulansemuanya”, sebagaimana dikatakan fulan bertahajjud sepanjang malam (beraktifitas terus) padahal boleh jadi dia menyelanya dengan makan malam dan dan sibuk melakukan beberapa urusan” (H.R.At-Tirmidzi)

Dalil yang menguatkan adalah  riwayat Aisyah yang memnginformasikan bahwa beliau tidak pernah melihat Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam berpuasa sebulan penuh semenjak datang ke Madinah selain puasa Ramadhan. Imam Muslim meriwayatkan;

صحيح مسلم (6/ 32)

عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ

صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ صَامَ قَدْ صَامَ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ أَفْطَرَ قَدْ أَفْطَرَ قَالَتْ وَمَا رَأَيْتُهُ صَامَ شَهْرًا كَامِلًا مُنْذُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَمَضَانَ

“dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata; Saya pernah bertanya kepada Aisyah radliallahu ‘anha, mengenai puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Aisyah menjawab, “Beliau berpuasa beberapa hari hingga kami mengira bahwa beliau akan puasa terus. Dan beliau berbuka beberapa hari hingga kami mengira beliau akan berbuka terus. Sejak beliau tiba di Madinah, aku tidak pernah melihat beliau puasa sebulan penuh, kecuali Ramadlan.” (H.R.Muslim)

Lafadz lain berbunyi;

صحيح مسلم (4/ 104)

عن عائشة :… وَلَا أَعْلَمُ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ الْقُرْآنَ كُلَّهُ فِي لَيْلَةٍ وَلَا صَلَّى لَيْلَةً إِلَى الصُّبْحِ وَلَا صَامَ شَهْرًا كَامِلًا غَيْرَ رَمَضَانَ

“Dari Aisyah:…Setahuku  Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah membaca satu mushaf (keseluruhan Alquran) dalam satu malam, tidak pula shalat malam hingga subuh, tidak pula pula puasa sebulan penuh selain bulan Ramadhan.” (H.R.Muslim)

Ibnu Abbas juga memberikan informasi yang sama. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (7/ 81)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ

مَا صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا كَامِلًا قَطُّ غَيْرَ رَمَضَانَ وَيَصُومُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا وَاللَّهِ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا وَاللَّهِ لَا يَصُومُ

“dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata: ” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sekalipun melaksanakan shaum sebulan penuh kecuali puasa Ramadhan. Dan beliau seseorang yang sering puasa sehingga sehingga ada yang berkomentar; “Tidak, demi Allah, beliau belum pernah tidak puasa”. Namun sering-sering beliau juga tidak puasa sehingga ada seorang yang berkata; “Tidak, demi Allah, Beliau belum pernah puasa”. (H.R.Bukhari)

Riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas ini malah disertai lafadz “Qotthu” (sama sekali) yang menafikan secara total kemungkinan bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam pernah melakukan sekali atau beberapa kali berpuasa sebulan penuh selain Ramadhan. Memahami bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam pernah berpuasa sebulan penuh disatu waktu dan sementara di waktu yang lain beliau berpuasa sebagian besar hari-hari bulan Sya’ban bertentangan dengan riwayat-riwayat yang menafikan secara total bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam tdk pernah berpuasa sempurna sebulan penuh selain bulan Ramadhan saja, sebagaimana pemahaman tersebut juga tidak mendapatkan lafadz lain yang menguatkan.  Dengan mengkombinasikan riwayat yang menafikan bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam pernah berpuasa Sya’ban sebulan penuh dengan kaidah bahasa arab bahwa mayoritas/sebagian besar boleh diungkapkan dengan lafadz yang menunjukkan seluruhnya, maka bisa difahami bahwa maksud riwayat-riwayat yang mengesankan bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam berpuasa sebulan penuh pada bulan Sya’ban adalah sebagian besar hari-harinya bukan keseluruhan.

Namun, tidak pernahnya Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam berpuasa sebulan penuh di bulan Sya’ban tidak bermakna haramnya berpuasa sebulan penuh di bulan Sya’ban. Hal itu dikarenakan perbuatan yang tidak dilakukan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam tidak bermakna haram dilakukan. Perbuatan yang tidak dilakukan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam tetapi masih tercakup dalam kandungan makna Nash yang bersifat umum dan atau mutlak boleh dilakukan sebagaimana Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam yang tidak berpuasa Dawud namun umatnya tidak haram berpuasa Dawud karena ada Nash yang memujinya dan mensifatinya sebagai puasa terbaik. Karena itu, berpuasa sebulan penuh dibulan Sya’ban tidak dilarang karena masuk dalam keumuman Sunnahnya puasa Sya’ban, pujian amal shalih di bulan Sya’ban, dan pujian terhadap puasa-puasa mutlak yang bisa dikerjakan diwaktu apapun selain waktu-waktu yang dilarang Syara’.

Terkait  sebab banyaknya puasa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam di bulan Sya’ban, maka Nash menunjukkan bahwa sebabnya adalah karena di bulan Sya’ban amal-amal manusia diangkat/dilaporkan kepada Allah Rabbul ‘Alamin dan bulan tersebut banyak dilalaikan oleh umumnya manusia. An-Nasai meriwayatkan;

سنن النسائي (8/ 59)

 أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“Usamah bin Zaid berkata; Aku bertanya; “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam satu bulan sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban?” Beliau bersabda: “Itulah bulan yang manusia lalai darinya; -ia bulan yang berada- di antara bulan Rajab dan Ramadlan, yaitu bulan yang amal diangkat/dilaporkan kepada Rabb semesta alam, aku senang amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa.” (H.R.An-Nasa-i)

Adapun penjelasan yang mengatakan bahwa sebab banyaknya puasa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam di bulan Sya’ban adalah karena  beliau selalu berpuasa 3 hari setiap bulan yang kadang-kadang tidak selalu bisa dilakukan karena ada safar/udzur sehingga semuanya dikumpulkan dan diqodho’ dibulan Sya’ban, atau (banyaknya puasa dibulan Sya’ban) adalah untuk mengagungkan Ramadhan, atau karena bulan Sya’ban adalah bulan penentuan ajal selama setahun, maka penjelasan-penjelasan ini masih belum bisa diterima karena semuanya didasarkan pada hadis-hadis Dhaif (lemah).

Demikian pula penjelasan yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban untuk memberi kesempatan istrinya mengqodho puasa Ramadhan. Penjelasan ini malah bertentangan dengan riwayat yang menyatakan bahwa istri-istri Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam justru menunda mengqodho puasa Ramadhan (untuk melayani Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam ) sampai datangnya bulan Sya’ban karena tahu Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam banyak berpuasa di bulan itu.

Demikian pula penjelasan yang menyatakan bahwa sebab banyaknya puasa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dibulan Sya’ban adalah sebagai latihan menyongsong bulan Ramadhan, agar bisa merasakan manisnya puasa sehingga puasa Ramadhan bisa lebih semangat, diperlakukan seperti shalat Rawatib bagi shalat wajib, dan sebagainya…semuanya adalah alasan-alasan yang tidak dapat diterima karena tidak dinyatakan oleh dalil.

Terkait puasa Sya’ban setelah tanggal 15 Sya’ban (paruh kedua bulan Sya’ban) maka hukumnya juga Sunnah sebagaimana Sunnahnya puasa Sya’ban pada paruh pertama bulan  Sya’ban.  Adapun riwayat yang melarang puasa setelah tanggal 15 Sya’ban, misalnya riwayat berikut ini;

سنن أبى داود (6/ 278)

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ

قَدِمَ عَبَّادُ بْنُ كَثِيرٍ الْمَدِينَةَ فَمَالَ إِلَى مَجْلِسِ الْعَلَاءِ فَأَخَذَ بِيَدِهِ فَأَقَامَهُ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ إِنَّ هَذَا يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلَا تَصُومُوا

فَقَالَ الْعَلَاءُ اللَّهُمَّ إِنَّ أَبِي حَدَّثَنِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ

“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad, ia berkata; ‘Abbad bin Katsir datang ke Madinah kemudian ia datang ke Majelis Al ‘Ala` dan menggandeng tangannya dan mengajaknya berdiri, kemudian berkata; ya Allah, orang ini telah menceritakan dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Apabila telah berlalu setengah dari bulan Sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa!” kemudian Al ‘Ala` berkata; ya Allah, sesungguhnya ayahku telah menceritakan kepadaku dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti itu. ” (H.R.Abu Dawud)

Maka riwayat ini adalah riwayat Ghorib yang Syadz. Hadis Syadz termasuk hitungan hadis Dhoif sehingga tidak bisa dijadikan Hujjah.

Sorotan atas riwayat di atas adalah perawi yang bernama Al-‘Ala’ bin Abdurrohman. Untuk mengetahui bagaimana menilai Al-‘Ala’ bin Abdurrahman, maka perlu disajikan bagaimana  penilaian sejumlah kritikus hadis besar sebagai sampel.

Diantara kritikus hadis yang memuji; An-Nasa’i mengatakan: “Laisa bihi ba’sun” (beliau tidak bermasalah).  Ibnu Sa’ad mengatakan; “Kana Tsiqoh, katsirol Hadist, Tsabatan” (beliau orang kredibel, banyak meriwayatkan hadis dan terpercaya). Ibnu Hibban memasukkannya dalam daftar  orang-orang Tsiqoh (kredibel) dalam kitabnya.

Diantara kritikus hadis yang mengkritik; Yahya bin Ma’in mengatakan; ” Laisa Bidzaka, Lam Yazal An-Nas Yatawaqqouna Haditsahu” (tidak masuk hitungan, orang-orang masih terus menjauhi/berhati-hati terhadap hadisnya).  Dalam riwayat lain Ibnu Ma’in mengatakan; “Laisa Haditsuhu Bihujjah” (hadisnya bukan Hujjah). Abu Zur’ah Ar-Rozi mengatakan; “Laisa Huwa Biaqwa Maa Yakunu” (tidaklah beliau itu sekuat yang diharapkan). Abu Hatim Ar-Rozi mengatakan; “Sholih, Rowa ‘Anhu Ats-Tsiqot Walakinnahu Unkiro Min Haditsihi Asy-ya’ (shalih, sejumlah perawi tsiqot meriwayatkan darinya, namun sejumlah hadisnya diingkari).

Ibnu Hajar dalam Taqrib At-Tahdzib meringkas penilaian dua kubu kritikus hadis ini dengan statemen singkat “Shoduq, Rubbama Wahima” (jujur, kadang-kadang salah/kurang teliti). Dalam Taqrib At-Tahdzib dinyatakan;

تقريب التهذيب ـ م م (ص: 761)

العلاء بن عبد الرحمن بن يعقوب الحرقي بضم المهملة وفتح الراء بعدها قاف أبو شبل بكسر المعجمة وسكون الموحدة المدني صدوق ربما وهم

“Al-‘Ala’ bin Abdurrahman bin Ya’qub Al-Huroqi (dengan mendhommahkan Ha’ dan memfathahkan Ro’ sesudahnya), Abu Syibl (dengan mengkasrohkan Syin dan mensukunkan Ba’) Al Madani; Jujur, kadang-kadang keliru/kurang teliti” (Taqrib At-Tahdzib)‎

Dari paparan kritikus-kritikus hadis di atas bisa disimpulkan bahwa Al-‘Ala’ bin Abdurrahman adalah seorang perawi  adil nan jujur, namun memiliki level kedhabitan (ketelitian) dibawah kedhabitan ideal sehingga disifati Ibnu hajar dengan sebutan “Shoduq, Rubbama Wahima” (jujur, kadang-kadang salah/kurang teliti).

Ini adalah penjelasan kualitas perawi yang bernama Al-‘Ala’ bin Abdurrahman.

Adapun dari segi Matan (isi), maka Hadis yang dibawa Al-‘Ala’ bin Abdurrahman yang menjelaskan larangan berpuasa setelah tanggal 15 Sya’ban ini ternyata bertentangan dengan riwayat lain yang mmebolehkan puasa setelah tanggal 15 Sya’ban, yang mana perawinya lebih Tsiqoh, lebih Dhobit dan jalurnya lebih banyak.  Diantara contoh hadis yang berlawanan dengan  hadis  Al’Ala’ bin Abdurrahman adalah yang melarang berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan berikut ini;

صحيح البخاري (6/ 489)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ

“dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah seorang dari kalian mendahului bulan Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari kecuali apabila seseorang sudah biasa melaksanakan puasa (sunnat) maka pada hari itu dia dipersilahkan untuk melaksanakannya”. (H.R. Bukhari)

Lafadz riwayat Muslim berbunyi;

صحيح مسلم (5/ 358)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِإِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

“dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian mendahului Ramadlan dengan berpuasa sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang telah terbiasa berpuasa sebelumnya.” (H.R.Muslim)

Riwayat Abu Dawud berbunyi;

سنن أبى داود – م (2/ 272)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَقَدَّمُوا صَوْمَ رَمَضَانَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ صَوْمًا يَصُومُهُ رَجُلٌ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الصَّوْمَ ».

“dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Janganlah kalian mendahului puasa Ramadhan satu hari atau dua hari, kecuali puasa yang biasa dilakukan oleh seseorang, maka silahkan ia melakukan puasa tersebut!” (H.R.Abu Dawud)

Riwayat-riwayat ini dan yang semakna dengannya menunjukkan bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam hanya melarang berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan. Mafhumnya (makna implisitnya), berpuasa setelah tanggal 15 Sya’ban berarti diizinkan selama tidak sampai berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan. Kebolehan berpuasa setelah tanggal 15 Sya’ban yang difahami dari riwayat-riwayat ini maknanya jelas bertentangan dengan riwayat yang dibawa Al-‘Ala’ bin Abdurrahman yang melarang berpuasa setelah tanggal 15 Sya’ban.

Demikian pula riwayat-riwayat yang menunjukkan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam berpuasa hampir sebulan penuh dibulan Sya’ban, dan paling banyak berpuasa Sunnah dibulan Sya’ban (yang telah dipaparkan sebelumnya), riwayat-riwayat ini juga memberi pengertian yang cukup kuat bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam juga berpuasa setelah tanggal 15 Sya’ban.

Sampai disini, bisa difahami bahwa dalam kasus ini ternyata ada dua riwayat yang saling bertentangan. Riwayat Al-Ala’ bin Abdurrahman melarang puasa setelah tanggal 15 Sya’ban, sementara riwayat lain yang jalurnya banyak membolehkannya. Al-Ala’ bin Abdurrahman yang meriwayatkan hadis yang melarang adalah perawi Tsiqoh namun ketsiqohannya dibawah perawi yang meriwayatkan hadis yang membolehkannya. Oleh karena itu riwayat Al-‘Ala’ bin Abdurrahman dihukumi Syadz, karena definisi hadis Syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi Tsiqoh, namun bertentangan dengan hadis Shahih lain yang diriwayatkan perawi yang lebih Tsiqoh. Lawan dari hadis Syadz adalah hadis Mahfudh. Dengan demikian,  riwayat Al-‘Ala’ bin Abdurrahman yang melarang puasa setelah tanggal 15 Sya’ban adalah riwayat Syadz, sementara riwayat yang membolehkan adalah riwayat yang Mahfudh. Riwayat Syadz dihukumi sebagai hadis Dhoif sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dalil hukum.

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa riwayat Al-‘Ala’  bin Abdurrahman ada Mutabi’ yang menjadi penguatnya, yakni hadis yang diriwayatkan At-Thobaroni berikut ini;

المعجم الكبير للطبراني (19/ 186، بترقيم الشاملة آليا)

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بن مُحَمَّدِ بن نَافِعٍ , قَالَ: نا عُبَيْدُ اللَّهِ بن عَبْدِ اللَّهِ الْمُنْكَدِرِيُّ , قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بن يَعْقُوبَ الْحُرَقِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ , قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَأَفْطِرُوا”، لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ مُحَمَّدِ بن الْمُنْكَدِرِ، إِلا ابْنُهُ الْمُنْكَدِرُ، تَفَرَّدَ بِهِ: ابْنُهُ عَبْدُ اللَّهِ

“Kami diberitahu Ahmad bin Muhammad bin Nafi’, dia berkata; kami diberitahu Ubaidullah bin Abdillah Al-Munkadiri, dia berkata; Aku diberitahu ayahku, dari ayahnya dari kakeknya dari Abdurrahman bin ya’qub Al-Huroqi dari Abu Hurairah beliau berkata; Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam bersabda; Jika bulan Sy’aban telah mencapai separuh maka jangan berpuasa”.

Hadis ini tidak diriwayatkan dari Muhammad bin Al-Munkadir kecuali oleh putranya; Munkadir. Putranya Abdullah bertafarrud (bersendirian) dalam meriwayatkannya (H.R.At-Thobaroni)‎

Maka, argumen ini belum bisa diterima karena riwayat Al-‘Ala’ bin Abdurrahman adalah hadis Gharib.  Abu Dawud, An-Nasa-i, dan At-Tirmidzi menegaskan bahwa hadis larangan puasa setelah tanggal 15 Sya’ban adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh Al-‘Ala bin Abdurrahman saja. Abu Al-Fadhl bin Thohir Al-Maqdisi juga memasukkan riwayat Al-‘Ala’ bin Abdurrahman ini dalam deretan hadis-hadis Ghorib dalam kitabnya “Athrof Al-Ghoro-b Wa Al-Afrod”. Lagipula, hadis riwayat At-Thobaroni di atas tidak layak menjadi penguat karena mengandung perawi-perawi Dhoif, sehingga  hadisnya termasuk Dhoif. Ahmad bin Muhammad bin Nafi’ adalah perawi Majhul menurut keterangan Ad-Dzahabai dalam Mizan Al-I’tidal, dan menurut Ibnu Al-Jauzi para ahli hadis menuduhnya berdusta. Abdullah bin Al Munkadir juga bermasalah. Menurut Al-‘Uqoili: La yutaba’u Haditsuhu (hadisnya tidak ada yang menguatkan). Menurut Ad-Dzahabi, dia malah sedikit misterius dan meriwayatkan hadis Munkar. An-Nasai mengatakan; Dhoif.
Dengan demikian riwayat Al-‘Ala bin Abdurrahman tetap terkategori riwayat Syadz yang tidak dikuatkan oleh riwayat-riwayat lain, sehingga ditolak.

Berusaha mengkompromikan riwayat Al-‘Ala’ bin Abdurrahman dengan riwayat-riwayat yang bertentangan dengannya dengan memberi penjelasan misalnya; Hukum berpuasa setelah tanggal 15 Sya’ban adalah makruh bukan haram, adalah cara kompromi yang masih sulit diterima. Alasannya,  ucapan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam  bahwa seluruh bulan Sya’ban (bukan hanya separuh pertama) adalah bulan diangkat amal, perbuatan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam yang berpuasa sebagian besar Sya’ban, dan larangan hanya puasa sehari/dua hari sebelum  Ramadhan Dalalah (penunjukan maknanya)nya mengisyaratkan bahwa puasa setelah tanggal 15 termasuk yang dipuji, artinya dianjurkan untuk dilakukan.  Sementara riwayat  yang melarang menunjukkan puasanya tercela. Tidak mungkin Syara mensifati perbuatan yang sama dengan terpuji sekaligus tercela sementara sebabnya sama.

Demikian pula cara kompromi yang mengatakan bahwa yang terlarang hanya tanggal 16 Sya’ban (sementara tanggal 17 sampai akhir bulan tidak terlarang), larangan hanya berlaku hanya bagi yang lemah, larangan hanya berlaku bagi orang yang memulai puasa tanggal 16 sampai akhir bulan (bukan yang berpuasa sejak awal bulan), larangan berlaku hanya bagi mereka yang sengaja berpuasa setelah tanggal 15 Sya’ban (yang bukan karena kebiasaan dan tidak pula disambung dengan hari-hari sebelum tanggal 15 Sya’ban),dst…alasan-alasan ini tidak dapat diterima karena lafadz yang melarang bersifat umum dan mutlak yang tidak membedakan apakah dilakukan tanggal 16 saja ataukah disambung tanggal, 17, 18 dst sampai akhir bulan. Juga tidak membedakan apakah pelaku puasa kuat atau lemah, juga tidak membedakan apakah yang melakukannya karena kebiasaan atau tidak, disambung dengan hari-hari sebelumnya ataukah tidak, mengkhususkan ataukah tidak.

Pendapat yang mengharamkan puasa setelah tanggal 15 Sya’ban lebih sulit lagi diterima, karena tidak ada qorinah yang menunjukkan larangannya Jazim (pasti) sehingga difahami haram sebagaimana sikap tersebut juga tidak berusaha mengkompromikan dan justru  mengabaikan hadis-hadis yang menunjukkan kebolehannya.

Oleh karena itu mengkompromikan tetap sulit mendapatkan penguatan sehingga penolakan terhadap riwayat Al-‘Ala’ bin Abdurrahman dalam kapasitasnya sebagai hadis Syadz adalah sikap yang dipilih.

Riwayat Al-‘Ala’ bin Abdurrahman dilemahkan sejumlah ahli hadis seperti Ahmad, Ibnu Mahdi, Abu Zur’ah, Al-Atsrom, Ibnu Ma’in, Al-Baihaqi, At-Thohawi, An-Nasai, dan Al-Kholili. Sebagian dari mereka menilai riwayat Al-‘Ala’ bin Abdurrahman sebagai riwayat Syadz sementara sebagian yang lainnya malah menilainya Munkar.

Sebagian ahli hadis ada pula yang menshahihkan riwayat Al-‘Ala bin Abdurrahman seperti At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Hakim, At-Thohawi, Ibnu Abdil Barr,Ibnu Hazm, As-Suyuthi dan Al- Albani.  Namun menurut  Ibnu Rojab, ulama yang melemahkan tingkat kepakarannya lebih tinggi daripada yang menshahihkan. Ulama-ulama yang mengikuti penilaian ini (sehingga menerima hadis Al-‘Ala’ sebagai dalil) seperti Jumhur Syafi’iyyah dan sebagian Hanabilah memilih jalan kompromi, sehingga hasil akhir produk hukumnya adalah memakruhkan puasa setelah tanggal 15 Sya’ban namun tidak mengharamkannya, sehingga boleh jika dipakai untuk puasa Nadzar, puasa Qodho, puasa kebiasaan dan semisalnya. Pendapat ini adalah pendapat yang Islami yang tidak boleh dicela dan harus dihargai sebagai ijtihad dan bisa diikuti oleh kaum muslimin yang sepakat dengan penjelasan dalilnya.

Untuk puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan, maka hal ini terlarang berdasarkan hadis-hadis yang telah dipaparkan sebelumnya yaitu;

صحيح البخاري (6/ 489)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ

“dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah seorang dari kalian mendahului bulan Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari kecuali apabila seseorang sudah biasa melaksanakan puasa (sunnat) maka pada hari itu dia dipersilahkan untuk melaksanakannya”. (H.R. Bukhari)

Lafadz riwayat Muslim berbunyi;

صحيح مسلم (5/ 358)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِإِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

“dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian mendahului Ramadlan dengan berpuasa sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang telah terbiasa berpuasa sebelumnya.” (H.R.Muslim)

Riwayat Abu Dawud berbunyi;

سنن أبى داود – م (2/ 272)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَقَدَّمُوا صَوْمَ رَمَضَانَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ صَوْمًا يَصُومُهُ رَجُلٌ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الصَّوْمَ ».

“dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Janganlah kalian mendahului puasa Ramadhan satu hari atau dua hari, kecuali puasa yang biasa dilakukan oleh seseorang, maka silahkan ia melakukan puasa tersebut!” (H.R.Abu Dawud)

Namun, jika berpuasa sehari atau dia hari sebelum Ramadhan itu bertepatan dengan kebiasaannya seperti puasa Senin dan Kamis, puasa Dawud, atau puasa wajib seperti puasa Nadzar, puasa Qodho dan semisalnya, maka hal ini tidak mengapa. Dasarnya adalah pengecualian yang diberikan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam sendiri dalam hadis tersebut, yaitu –misalnya-lafadz yang berbunyi;

إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ

” kecuali apabila seseorang sudah biasa melaksanakan puasa (sunnat) maka pada hari itu dia dipersilahkan untuk melaksanakannya”. (H.R. Bukhari)

Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam pernah memerintahkan Imran bin Hushoin mengqodho puasa yang ia tinggalkan dua hari sebelum Ramadhan. Jika hal ini dikaitkan dengan pengecualian yang dijelaskan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam terhadap berpuasa sehari/dua hari sebelum Ramadhan, maka puasa Imran bin Hushain lebih dekat difahami sebagai puasa kebiasaannya. 

Imam Muslim meriwayatkan;

صحيح مسلم (6/ 59)

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ أَوْ لِآخَرَ أَصُمْتَ مِنْ سُرَرِ شَعْبَانَ قَالَ لَا قَالَ فَإِذَا أَفْطَرْتَ فَصُمْ يَوْمَيْنِ

“Dari Imran bin Hushain radliallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya atau kepada yang lain: “Apakah kamu telah berpuasa di hari-hari akhir bulan Sya’ban?” ia menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda: “Jika kamu telah usai menunaikan puasa Ramadlan, maka berpuasalah dua hari.” (H.R.Muslim)

Jadi, larangan berpuasa sehari/dua hari sebelum Ramadhan tidak bertentangan dengan kebolehan berpuasa Sya’ban sebulan penuh, karena larangan tersebut hanya berlaku bagi puasa yang bukan kebiasaan atau puasa dengan niat puasa wajib seperti puasa Qodho, puasa Nadzar dan semisalnya.

Terkait puasa dihari yang diragukan, misalnya akhir bulan Sya’ban yang diragukan  apakah sudah termasuk tanggal 1 Ramadhan ataukah masih tanggal 30 Sya’ban sebagai akibat langit tertutup awan/mendung, sehingga tidak bisa melihat Hilal (bulan sabit) yang menjadi tanda masuknya bulan baru, maka hal ini juga terlarang karena Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan menggenapkan Sya’ban menjadi 30 hari jika langit tertutup awan, bukan berpuasa dalam keadaan ragu. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (6/ 481)

 أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

“Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, atau katanya Abu Al Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh”. (H.R.Bukhari)

Ammar menilai orang yang berpuasa pada hari yang diragukan berarti telah mendurhakai/membangkang  Abu Al-Qosim (Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam ). An-Nasa-i meriwayatkan;

سنن النسائي (7/ 368)

عَنْ صِلَةَ قَالَ

كُنَّا عِنْدَ عَمَّارٍ فَأُتِيَ بِشَاةٍ مَصْلِيَّةٍ فَقَالَ كُلُوا فَتَنَحَّى بَعْضُ الْقَوْمِ قَالَ إِنِّي صَائِمٌ فَقَالَ عَمَّارٌ مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“dari Shilah dia berkata; kami berada di rumah Ammar, kemudian diberi kambing panggang, ia lalu berkata, “Makanlah”, namun ada sebagian orang yang menjauh. Ia berkata, “Aku sedang berpuasa.” Maka Ammar berkata; “Barangsiapa yang berpuasa di hari yang diragukan, maka sungguh ia telah mendurhakai Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam.” (H.R.An-Nasa-i)

Adapun puasa Senin-Kamis di bulan Sya’ban, puasa putih (tanggal 13.14, dan 15), puasa Dawud dan semisalnya maka hal ini tidak termasuk pembahasan puasa Sya’ban karena puasa-puasa tersebut kesunnahannya memiliki dalil tersendiri dan bisa dilakukan di bulan Sya’ban maupun di luar Sya’ban.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...