Kamis, 14 Oktober 2021

Penjelasan Tentang Sholat Witir

 

Witir secara bahasa berarti ganjil. Hal ini sebagaimana dapat kita lihat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
“Sesungguhnya Allah itu Witr dan menyukai yang witr (ganjil).” (HR. Bukhari no. 6410dan Muslim no. 2677)
Sedangkan yang dimaksud witir pada shalat witir adalah shalat yang dikerjakan antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuknya waktu Shubuh), dan shalat ini adalah penutup shalat malam.
Mengenai shalat witir apakah bagian dari shalat lail (shalat malam/tahajud) atau tidak, para ulama berselisih pendapat. Ada ulama yang mengatakan bahwa shalat witir adalah bagian dari shalat lail dan ada ulama yang mengatakan bukan bagian dari shalat lail.
Hukum Shalat Witir
Menurut mayoritas ulama, hukum shalat witir adalah sunnah muakkad (sunnah yang amat dianjurkan).
Namun ada pendapat yang cukup menarik dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah bahwa shalat witir itu wajib bagi orang yang punya kebiasaan melaksanakan shalat tahajud. ‎Dalil pegangan beliau barangkali adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً
“Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)
Waktu Pelaksanaan Shalat Witir
Para ulama sepakat bahwa waktu shalat witir adalah antara shalat Isya hingga terbit fajar. Adapun jika dikerjakan setelah masuk waktu shubuh (terbit fajar), maka itu tidak diperbolehkan menurut pendapat yang lebih kuat. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir akan masuk waktu shubuh, hendaklah ia shalat satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalat yang telah dilaksanakan sebelumnya.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749, dari Ibnu ‘Umar)
Ibnu ‘Umar mengatakan,
مَنْ صَلَّى بِاللَّيْلِ فَلْيَجْعَلْ آخِرَ صَلاَتِهِ وِتْراً فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِذَلِكَ فَإِذَا كَانَ الْفَجْرُ فَقَدْ ذَهَبَتْ كُلُّ صَلاَةِ اللَّيْلِ وَالْوِتْرُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَوْتِرُوا قَبْلَ الْفَجْرِ »
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat malam, maka jadikanlah akhir shalat malamnya adalah witir karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal itu. Dan jika fajar tiba, seluruh shalat malam dan shalat witir berakhir, karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalat witirlah kalian sebelum fajar”. (HR. Ahmad 2/149. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Shalat witir adalah shalat yang dikerjakan secara ganjil sebagai penutup shalat malam, dikerjakan menurut kemampuan masing-masing; boleh dengan satu rakaat, tiga rakaat, lima rakaat, tujuh rakaat, sembilan rakaat, atau sebelas rakaat.

Bila tidak memberatkan, shalat witir disunnahkan untuk dikerjakan setiap malam, Abu Ayyub al-Anshari ra. menjelaskan:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فَمَنْ اَحَبَّ اَنْ يُوْتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ اَحَبَّ اَنْ يُوْتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ اَجَبَّ اَنْ يُوْتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ 

Rasulullah saw, bersabda: “witir itu adalah hak setiap muslim, siapa yang lebih suka witir lima rakaat, maka kerjakanlah, dan barang siapa yang lebih suka witir satu rakaat, maka kerjakanlah”. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيْمَا بَيْنَ اَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ اِلَى الْفَجْرِ اِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ 

Dari Aisyah ra. menjelaskan: “Nabi saw. shalat sebelas rakaat di antara shalat Isya’ sampai terbit fajar. Beliau salam setiap dua rakaat dan mengerjakan shalat witir dengan satu rakaat “. (HR. Muslim)

Meskipun shalat witir disebut sebagai penutup shalat malam, namun demikian tidak berarti harus selalu dikerjakan pada akhir malam, bisa juga dikerjakan pada awal atau tengah malam. Dalam hadits yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah ra. menyebutkan bahwa Rasulullah saw. mengerjakan shalat witir pada setiap malam, pernah berwitir pada permulaannya, pertengahannyam atau penghabisannya.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ اَوْتَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ اَوَّلِ اللَّيْلِ وَاَوْسَطِهِ وَاَخِرِهِ فَانْتَهَى وِتْرُهُ اِلَى السَّحَرِ 
Dari Aisyah ra. menerangkan: ”dari setiap malam, Nabi saw. pernah mengerjakan shalat witir pada permulaan malam, pertengahannya dan akhirannya, dan berakhir pada waktu subuh”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Lalu manakah waktu shalat witir yang utama dari waktu-waktu tadi?
Jawabannya, waktu yang utama atau dianjurkan untuk shalat witir adalah sepertiga malam terakhir.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَوْسَطِهِ وَآخِرِهِ فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ.
“Kadang-kadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan witir di awal malam, pertengahannya dan akhir malam. Sedangkan kebiasaan akhir beliau adalah beliau mengakhirkan witir hingga tiba waktu sahur.” (HR. Muslim no. 745)
Disunnahkan –berdasarkan kesepakatan para ulama-  shalat witir itu dijadikan akhir dari shalat lail berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً
“Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)
Yang disebutkan di atas adalah keadaan ketika seseorang yakin (kuat) bangun di akhir malam. Namun jika ia khawatir tidak dapat bangun malam, maka hendaklah ia mengerjakan shalat witir sebelum tidur. Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّكُمْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ ثُمَّ لْيَرْقُدْ وَمَنْ وَثِقَ بِقِيَامٍ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ آخِرِهِ فَإِنَّ قِرَاءَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَحْضُورَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ

“Siapa di antara kalian yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, hendaklah ia witir dan baru kemudian tidur. Dan siapa yang yakin akan terbangun di akhir malam, hendaklah ia witir di akhir malam, karena bacaan di akhir malam dihadiri (oleh para Malaikat) dan hal itu adalah lebih utama.” (HR. Muslim no. 755)
Dari Abu Qotadah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لأَبِى بَكْرٍ « مَتَى تُوتِرُ » قَالَ أُوتِرُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ. وَقَالَ لِعُمَرَ « مَتَى تُوتِرُ ». قَالَ آخِرَ اللَّيْلِ. فَقَالَ لأَبِى بَكْرٍ « أَخَذَ هَذَا بِالْحَزْمِ ». وَقَالَ لِعُمَرَ « أَخَذَ هَذَا بِالْقُوَّةِ ».

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Bakar, ” Kapankah kamu melaksanakan witir?” Abu Bakr menjawab, “Saya melakukan witir di permulaan malam”. Dan beliau bertanya kepada Umar, “Kapankah kamu melaksanakan witir?” Umar menjawab, “Saya melakukan witir pada akhir malam”. Kemudian beliau berkata kepada Abu Bakar, “Orang ini melakukan dengan penuh hati-hati.” Dan kepada Umar beliau mengatakan, “Sedangkan orang ini begitu kuat.” (HR. Abu Daud no. 1434 dan Ahmad 3/309.)

Bagi siapa yang khawatir tidak bangun di akhir malam, sebaiknya melakukan shalat witir sebelum tidur, sedangkan bagi mereka yang yakin bisa bangun di akhir malam untuk mengerjakan tahajjud, maka mengakhirkan shalat witir sebagai penutup shalat malam , cara inilah yang paling afdhal.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ مَنْ خَافَ اَنْ لَا يَقُوْمَ مِنْ اَخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ اَوَّلَهُ وَمَنْ طَمَعَ اَنْ يَقُوْمَ اَخِرَهُ فَلْيُوْتِرْ اَخِرَاللَّيْلِ مَشْهُوْدَةً وَذَلِكَ اَفْضَلُ 

Dari Jabir ra. menuturkan, “Rasulullah saw. bersabda: “barang siapa yang merasa tidak akan sanggup bangun pada akhir malam, hendaklah ia menyegerakan shalat witir pada permulaan malam, siapa yang merasa sanggup bangun pada akhir malam, berwitirlah pada akhir malam, karena shalat pada akhir malam itu dihadiri (para malaikat), dan itulah yang paling utama”.(HR. Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad). ‎

Jumlah Raka’at dan Cara Pelaksanaan
Witir boleh dilakukan satu, tiga, lima, tujuh atau sembilan raka’at. Berikut rinciannya.
Pertama: witir dengan satu raka’at.
Cara seperti ini dibolehkan oleh mayoritas ulama karena witir dibolehkan dengan satu raka’at. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلاَثٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ
“Witir adalah sebuah keharusan bagi setiap muslim, barang siapa yang hendak melakukan witir lima raka’at maka hendaknya ia melakukankannya dan barang siapa yang hendak melakukan witir tiga raka’at maka hendaknya ia melakukannya, dan barang siapa yang hendak melakukan witir satu raka’at maka hendaknya ia melakukannya.” (HR. Abu Daud no. 1422.)
Kedua: witir dengan tiga raka’at.
Di sini boleh dapat dilakukan dengan dua cara: [1] tiga raka’at, sekali salam, [2] mengerjakan dua raka’at terlebih dahulu kemudian salam, lalu ditambah satu raka’at kemudian salam.
Dalil cara pertama:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِثَلاَثٍ لاَ يَقْعُدُ إِلاَّ فِى آخِرِهِنَّ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berwitir tiga raka’at sekaligus, beliau tidak duduk (tasyahud) kecuali pada raka’at terakhir.” (HR. Al Baihaqi)
Dalil cara kedua:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى فِى الْحُجْرَةِ وَأَنَا فِى الْبَيْتِ فَيَفْصِلُ بَيْنَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ بِتَسْلِيمٍ يُسْمِعُنَاهُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di dalam kamar ketika saya berada di rumah dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memisah antara raka’at yang genap dengan yang witir (ganjil) dengan salam yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam perdengarkan kepada kami.” (HR. Ahmad 6/83. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketiga: witir dengan lima raka’at.
Cara pelaksanaannya adalah dianjurkan mengerjakan lima raka’at sekaligus dan tasyahud pada raka’at kelima, lalu salam. Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ لاَ يَجْلِسُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ فِى آخِرِهَا.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat malam sebanyak tiga belas raka’at. Lalu beliau berwitir dari shalat malam tersebut dengan lima raka’at. Dan beliau tidaklah duduk (tasyahud) ketika witir kecuali pada raka’at terakhir.” (HR. Muslim no. 737)
Keempat: witir dengan tujuh raka’at.
Cara pelaksanaannya adalah dianjurkan mengerjakannya tanpa duduk tasyahud kecuali pada raka’at keenam. Setelah tasyahud pada raka’at keenam, tidak langsung salam, namun dilanjutkan dengan berdiri pada raka’at ketujuh. Kemudian tasyahud pada raka’at ketujuh dan salam. Dalilnya akan disampaikan pada witir dengan sembilan raka’at.
Kelima: witir dengan sembilan raka’at.
Cara pelaksanaannya adalah dianjurkan mengerjakannya tanpa duduk tasyahud kecuali pada raka’at kedelapan. Setelah tasyahud pada raka’at kedelapan, tidak langsung salam, namun dilanjutkan dengan berdiri pada raka’at kesembilan. Kemudian tasyahud pada raka’at kesembilan dan salam.
Dalil tentang hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. ‘Aisyah mengatakan,
كُنَّا نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَطَهُورَهُ فَيَبْعَثُهُ اللَّهُ مَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَيَتَسَوَّكُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّى تِسْعَ رَكَعَاتٍ لاَ يَجْلِسُ فِيهَا إِلاَّ فِى الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يَنْهَضُ وَلاَ يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّى التَّاسِعَةَ ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ وَهُوَ قَاعِدٌ فَتِلْكَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَا بُنَىَّ فَلَمَّا أَسَنَّ نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَخَذَ اللَّحْمَ أَوْتَرَ بِسَبْعٍ وَصَنَعَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ مِثْلَ صَنِيعِهِ الأَوَّلِ فَتِلْكَ تِسْعٌ يَا بُنَىَّ

“Kami dulu sering mempersiapkan siwaknya dan bersucinya, setelah itu Allah membangunkannya sekehendaknya untuk bangun malam. Beliau lalu bersiwak dan berwudhu` dan shalat sembilan rakaat. Beliau tidak duduk dalam kesembilan rakaat itu selain pada rakaat kedelapan, beliau menyebut nama Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, kemudian beliau bangkit dan tidak mengucapkan salam. Setelah itu beliau berdiri dan shalat untuk rakaat ke sembilannya. Kemudian beliau berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, lalu beliau mengucapkan salam dengan nyaring agar kami mendengarnya. Setelah itu beliau shalat dua rakaat setelah salam sambil duduk, itulah sebelas rakaat wahai anakku. Ketika Nabiyullah berusia lanjut dan beliau telah merasa kegemukan, beliau berwitir dengan tujuh rakaat, dan beliau lakukan dalam dua rakaatnya sebagaimana yang beliau lakukan pada yang pertama, maka itu berarti sembilan wahai anakku.” (HR. Muslim no. 746)

Qunut Witir
Doa qunut nafilah yakni doa qunut dalam shalat witir termasuk amalansunnah yang banyak kaum muslimin tidak mengetahuinya. Karena tidak mengetahuinya banyak kaum muslimin yang membid’ahkan imam yang membaca doa qunut witir. Kadang-kadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai qunut dalam shalat witir dan terkadang tidak. Hal ini berdasarkan hadits:

كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقْنُتُ فِي رَكْعَةِ الْوِتْرِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang membaca qunut dalam shalat witir.” (HR. Ibnu Nashr dan Daraquthni dengan sanad shahih)

يَجْعَلُهُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ

“Beliau membaca qunut itu sebelum ruku.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud dan An-Nasa’i dalam kitab Sunanul Qubro, Ahmad, Thobroni, Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir dengan sanad shahih)

Adapun doa qunut tersebut dilakukan setelah ruku’ atau boleh juga sebelum ruku’. Doa tersebut dibaca keras oleh imam dan diaminkan oleh para makmumnya. Dan boleh mengangkat tangan ketika membaca doa qunut tersebut.‎

Do’a qunut (witir) adalah sesuatu yang disunnahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun biasa membaca qunut tersebut. Beliau pun pernah mengajari (cucu beliau) Al Hasan beberapa kalimat qunut untuk shalat witir. Ini termasuk hal yang disunnahkan. Jika engkau merutinkan membacanya setiap malamnya, maka itu tidak mengapa. Begitu pula jika engkau meninggalkannya suatu waktu sehingga orang-orang tidak menyangkanya wajib, maka itu juga tidak mengapa. Jika imam meninggalkan membaca do’a qunut suatu waktu dengan tujuan untuk mengajarkan manusia bahwa hal ini tidak wajib, maka itu juga tidak mengapa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan do’a qunut pada cucunya Al Hasan, beliau tidak mengatakan padanya: “Bacalah do’a qunut tersebut pada sebagian waktu saja”. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa membaca qunut witir terus menerus adalah sesuatu yang dibolehkan.
Do’a qunut witir yang dibaca terdapat dalam riwayat berikut.
Al Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu
اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِى شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

Allahummahdiini fiiman hadait, wa’aafini fiiman ‘afait, watawallanii fiiman tawallait, wabaarik lii fiima a’thait, waqinii syarrama qadlait, fainnaka taqdhi walaa yuqdho ‘alaik, wainnahu laa yadzillu man waalait, tabaarakta rabbana wata’aalait. 

(Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud no. 1425, An Nasai no. 1745, At Tirmidzi no. 464.)

Bacaan Qunut dalam witir

Para ulama berbeda pendapat  mengenai bacaan Qunut dalam shalat witir. Hal ini karena memang ditemukan adanyabeberapa riwayat dalam hadits-hadits mengenai lafadznya. Berikut diantaranya :

1.    Bacaan Qunut witir menurut Mazhab Hanafi dan Syafi’I :

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِينُكَ، وَنَسْتَهْدِيكَ، وَنَسْتَغْفِرُكَ، وَنَتُوبُ إِلَيْكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ، وَنَتَوَكَّل عَلَيْكَ، وَنُثْنِي عَلَيْكَ الْخَيْرَ كُلَّهُ، نَشْكُرُكَ وَلاَ نَكْفُرُكَ، اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ، وَلَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، نَرْجُو رَحْمَتَكَ، وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إِنَّ عَذَابَكَ الْجِدَّ بِالْكُفَّارِ مُلْحَقٌ، اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنَا فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنَا فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لَنَا فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنَا شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِل مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِعَفْوِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ، وَبِكَ مِنْكَ، لاَ نُحْصَى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Ya Allah, sesungguhnya kami bermohon pertolongan Mu, kami memohon petunjuk dari Mu, kami meminta ampun kepada Mu, kami beriman kepada Mu, kami berserah kepada Mu dan kami memuji Mu dengan segala kebaikan, kami mensyukuri dan tidak mengkufuri Mu.

Ya Allah, Engkau yang kami sembah dan kepada Engkau kami shalat dan sujud, dan kepada Engkau jualah kami datang bergegas, kami mengharap rahmat Mu dan kami takut akan azab Mu kerana azab Mu yang sebenar akan menyusul mereka yang kufur.

Ya Allah, berilah kami petunjuk sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Selamatkanlah kami dalam golongan orang-orang yang Engkau telah pelihara. Uruslah kami di antara orang-orang yang telah Engkau urus. Berkahilah kami dalam segala sesuatu yang Engkau telah berikan.

Hindarkanlah kami dari segala bahaya yang Engkau telah tetapkan. Sesungguhnya Engkaulah yang menentukan dan bukan yang ditentukan. Sesungguhnya tidak akan jadi hina orang yang telah Engkau lindungi. Engkau wahai Rabb kami adalah Maha Mulia dan Maha Tinggi.

"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari ancaman-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagai-mana yang Engkau sanjungkan pada Diri-Mu.”‎

2.    Bacaan Qunut witir menurut kalangan Hanbali :

اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنَا فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنَا فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لَنَا فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنَا شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِل مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
 ‎
3.    Doa-doa Qunut Witir lainnya dalam hadits-hadits :

اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَلَكَ نُصَلِّيْ وَنَسْجُدُ وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ وَنَرْجُوْ رَحْمَتَكَ رَبَّنَا وَنَخَافُ عَذَابَكَ الْجِدَّ إِنَّ عَذَابَكَ لِمَنْ عَادَيْتَ مُلْحِقٌ.

“ Ya Allah, hanya kepada-Mu kami beribadah, untuk-Mu kami melakukan shalat dan sujud, kepadamu kami berusaha dan bersegera, kami mengharapkan rahmat-Mu, kami takut siksaan-Mu. Sesungguhnya siksaan-Mu akan menimpa orang-orang yang memusuhi-Mu.”‎

اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَلَكَ نُصَلِّيْ وَنَسْجُدُ وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ نَرْجُوْ رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ إِنَّ عَذَابَكَ بِالْكَافِرِيْنَ مُلْحِقٌ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِيْنُكَ، وَنَسْتَغْفِرُكَ، وَنُثْنِيْ عَلَيْكَ الْخَيْرَ، وَلاَ نَكْفُرُكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ، وَنَخْضَعُ لَكَ، وَنَخْلَعُ مَنْ يَكْفُرُكَ.

“Ya Allah, kepada-Mu kami beribadah, untuk-Mu kami melakukan shalat dan sujud, kepada-Mu kami berusaha dan bersegera (melakukan ibadah). Kami mengharapkan rahmat-Mu, kami takut kepada siksaan-Mu. Sesungguh-nya siksaan-Mu akan menimpa pada orang-orang kafir. Ya Allah, kami minta pertolongan dan memohon ampun kepada-Mu, kami memuji kebaikan-Mu, kami tidak ingkar kepada-Mu, kami beriman kepada–Mu, kami tunduk kepada-Mu dan meninggalkan orang-orang yang kufur kepada-Mu.”‎

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ

“ Mahasuci Allah Raja Yang Mahasuci, Mahasuci Allah Raja Yang Mahasuci, Mahasuci Allah Raja Yang Mahasuci."‎

Dan ulama membolehkan menambahkan dengan doa-doa lain bahkan dengan redaksi buatan sendiri, yakni yang tidak diriwayatkan dari Nabi (ghairu ma`tsur). Dan tentu doa ma’tsur lebih utama untuk digunakan. Dan  kebolehan ini pun disertai syarat doa itu tak boleh menyalahi qur’an dan hadits.
Do’a Setelah Shalat Witir

أَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْاَلُكَ إِيْمَانًا دَاِئمًا وَنَسْأَلُكَ قَلْبًا خَاشِعًا وَنَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَنَسْأَلُكَ يَقِيْنًا صَادِقًا وَنَسْأَلُكَ عَمَلًا صَالِحًا وَنَسْأَلُكَ دِيْنًا قَيِّمًا وَنَسْأَلُكَ خَيْرًا كَثِيْرًا وَنَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَا فِيَةَ وَنَسْأَلُكَ تَمَّامَ الْعَافِيَّةِ وَنَسْأَلُكَ الشُّكْرَ عَلَى الْعَافِيَّةِ وَنَسْأَلُكَ الْغِنَى عَنِ النَّاسِ  أَللَّهُمَّ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صَلَاتَنَا وَصِيَا مَنَا وَقِيَا مَنَا وَتَخَشُعَنَا وَتَضَرُّعَنَا وَتَعَبُّدَنَا وَتَمِّمْ تَقْصِيْرَنَا يَا أَللهُ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

“Ya Allah, kami mohon pada-Mu, iman yang langgeng, hati yang khusyu’, ilmu yang bermanfaat, keyakinan yang benar,amal yang shalih, agama yang lurus, kebaikan yang banyak.kami mohon kepada-Muampunan dan kesehatan, kesehatan yang sempurna, kami mohon kepada-Mu bersyukur atas karunia kesehatan, kami mohon kepada-Mu kecukupan terhadap sesaama manusia. Ya Allah, tuhan kami terimalah dari kami: shalat, puasa, ibadah, kekhusyu’an, rendah diri dan ibadaha kami, dan sempurnakanlah segala kekurangan kami. Ya allah, Tuhan yang Maha Pengasih dari segala yang pengasih. Dan semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada makhluk-Nya yang terbaik, Nabi Muhammad s.a.w, demikian pula keluarga dan para sahabatnya secara keseluruhan. Serta segala puji milik Allah Tuhan semestra alam.

Penjelasan Hukum Sholat Di Dekat Pekuburan

 

Terjadi perbedaan pendapat di antara madzhab yang empat dalam ahlu sunnah tentang Hukum Shalat di pekuburan:

Ibnu Abidin dari madzhab hanafi berkata:

 " ولا بأس بالصلاة فيها - أي المقبرة - إذا كان فيها موضع أعد للصلاة ، وليس فيه قبر ولا نجاسة " .

“Tidak  mengapa shalat di dalamnya yaitu kuburan, jika di dalamnya disediakan tempat untuk shalat dan tidak di dalamnya /tempat tersebut kuburan atau najis.

Imam Malik berkata:

لا بأس بالصلاة في المقابر ، وبلغني أن بعض أصحاب النبي - صلى الله عليه وسلم - كانوا يصلون في المقبرة "

“Tidak mengapa shalat dipekuburan dan sampai kepadaku kabar bahwa sebagian para shahabt Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di pekuburan."

Imam Asy Syafie berkata:

" والمقبرة الموضع الذي يقبر فيه العامة ؛ وذلك كما وصفت مختلطة التراب بالموتى ، وأما صحراء لم يقبر فيها قط ، قبر فيها قوم مات لهم ميت ، ثم لم يحرك القبر فلو صلى رجل إلى جانب ذلك القبر أو فوقه ، كرهته له ولم آمره يعيد ؛ لأن العلم يحيط بأن التراب طاهر ، لم يختلط فيه شيء ، وكذلك لو قبر فيه ميتان أو موتى "

“Dan pekuburan adalah tempat yang dikubur di dalam kaum muslim secara umum, dan hal itu sebagaimana yang telah aku sifati ia adalah tanah bercampur dengan mayat, dan adapun padang pasir tidak pernah di kubur di dalamnya samasekali, telah dikubur di dalamnya suatu kaum yang telah meninggal seorang mayat, kemudian tidak digerakkan kuburan tersebut, jikalau seseorang shalat kea rah samping kuburan tersebut atau atasnya, maka aku membencinya dan aku tidak memerintahkannya untuk mengulangnya, karena ilmu menyebutkan bahwa tanah adalah suci, tidak bercampur dengannya sesuatu apapun, demikian pula jika dikubur di dalamnya dua orang mayat atau satu orang.”

Jika kita ingin menyimpulkan apa yang dikatakan Imam Asy Syiafi’ie adalah jika kuburan itu tergali maka shalat pekuburan tersebut najis dan tidak boleh shalat di dalamnya, tetapi jika kuburan itu tidak tergali maka tanahnya suci dan maka shalat padanya shahih.

Inilah pendapat pertama dari pendapat madzhab yang empat yaitu menyatakan hukum shalat di pekuburan (dengan berbagai macam redaksi pernyataa) sah tetapi dimakruhkan serta tidak perlu mengulang.

Ibnu Baththal berkata:

وكل من كره الصلاة من هؤلاء لا يرى على من صلى فيها إعادة

“Dan setiap yang memakruhkan shalat (di dalamnya) dari mereka, tidak berpendapat bahwa yang telah shalat di dalamnya harus diulang.”

Al Mardawi dari madzhab hambali berkata:

قال المرداوي في الإنصاف: (ولا تصح الصلاة في المقبرة والحمام والحش وأعطان الإبل . هذا المذهب . وعليه الأصحاب . قال في الفروع : هو أشهر وأصح في المذهب ، قال المصنف وغيره : هذا ظاهر المذهب ، وهو من المفردات)

Tidak sah shalat di pekuburan, kamar mandi, wc, dan kandang onta, ini adalah (pendapat) madzhab (hambali) dan inilah pendapat para ulama (madzhab). Ia berkata di dalam kitab Al Furu’: “Ia adalah pendapat yang lebih masyhur dan lebih benar di dalam madzhab”, Al Mushannif dan selainnya berkata: “inilah madzhab yang jelas dan ia adalah termasuk kosa kata (madzhab).”

Ibnu Qudamah berkata:

" وعن أحمد رواية أخرى : أن الصلاة في هذه - أي المقبرة والحش والحمام وأعطان الإبل - صحيحة ما لم تكن نجسة "

“Imam Ahmad memiliki riwayat pendapat lain yaitu bahwa shalat di dalamnya, yaitu kuburan, kebun, kamar mandi dan kandang onta adalah sah selama tidak najis.” Tetapi pendapat yang lebih masyhur dari Imam Ahmad dan pendapat madzhab hambali adalah tidak sah shalat di pekuburan dan shalatnya harus diulang.

Dan inilah pendapat kedua dari empat madzhab yaitu hukum shalat di pekuburan shalatnya tidak sah dan jika shalat yang dikerjakan di pekuburan itu adalah shalat wajib, maka belum jatuh kewajibannya dan harus di ulang di tempat selain pekuburan.

DALIL-DALIL:

Dalil Pendapat Pertama:

جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الأَنْبِيَاءِ قَبْلِى ، نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ ، وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا ، وَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِى أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ ، وَأُحِلَّتْ لِىَ الْغَنَائِمُ ، وَكَانَ النَّبِىُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً ، وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً ، وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ » .

Artinya: “Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku diberikan lima perkara, tidak seorangpun nabi-nabi sebelumku diberikan lima hal terserbut; aku diberi kemenangan dengan rasa takut yang dimiliki oleh musuh dalam perjalanan sebulan, dijadikan untukku bumi sebagai masjid dan suci siapa saja dari umatku yang mendapati shalat maka shalatlah (ditempat itu), dihalalkan untukku kambing, dahulu seorang nabi diutus kepada kaumnnya secara khusus, aku diutus kepada seluruh manusia dan diberikan kepadaku syafaat.”

Yang menjadi inti pendalilan adalah kalimat di dalam hadits:

وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا

“Dan dijadikan untukku bumi sebagai masjid dan suci.”

Sisi pendalilan adalah bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskn bahwa bumi seluruhnya adalah sebagai masjid untuk beliau, dapat dishalati di dalamnya dan ini termasuk kekhususan bagi umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Mari perhatikan perkataan Ibnu Abdil Barr:

: " . . . ففضائله - صلى الله عليه وسلم - لم تزل تزداد إلى أن قبضه الله ، فمن ههنا قلنا : إنه لا يجوز عليها النسخ ، ولا الاستثناء ، ولا النقصان "

“…keutamaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam selalu bertambah sampai diwafatkan oleh Allah, dari sinilah kita mengatakan: “Seungguhnya tidak boleh dibawakan hukum naskh atasnya, tidak juga dikecualikan atau dikurangi.”

Jadi bisa disimpulkan bahwa pendapat pertama yang menyatakan bahwa shalat di pekuburan hukumnya makruh tetapi shalatnya tetap sah, karena mereka memandang bahwa sebab larangan shalat adalah jikalau tanah di pekuburan terdapat najis, maka dilarang shalat di dalamnya.

Dalil Pendapat Kedua:

Hadits:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبُرَةَ وَالْحَمَّامَ ».

Artinya: “Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda: “Bumi sleuruhnya adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi.” [HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah]

Yang menjadi inti dalil adalah kalimat di dalam hadits:

إِلاَّ الْمَقْبُرَةَ وَالْحَمَّامَ

Sisi pendalilannya adalah: bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengecualikan kuburan dari bumi yang pantas digunakan untuk shalat, dan ini menunjukkan bahwa kuburan tidak sah digunakan shalat di dalamnya selain shalat jenazah.

   Hadits:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « اجْعَلُوا فى بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلاَتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا » .

Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jadikalan oleh kalian di dalam rumah-rumah kalian dari shalat-shalat kalian  dan janganlah kalian jadikan ia sebagai kuburan-kuburan.” HR. Bukhari.

Yang menjadi inti dalil adalah kalimat di dalam hadits:

وَلاَ تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا

“dan janganlah kalian jadikan ia sebagai kuburan-kuburan”

Sisi pendalilan, Imam Al baghawi berkata:

فدل على أن محل القبر ليس بمحل للصلاة.

“hal ini menunjukkab bahwa pekuburan bukanlah tempat untuk shalat: “

Dan bisa disimpulkan bahwa pendapat kedua yang menyatakan bahwa shalat di pekuburan hukumnya haram dan shalatnya tidak sah, karena memandang sebab dilarangnya shalat di pekuburan adalah larangan menyerupai kebiasaan kaum Yahudi dan Nashrani, yang mana kaum muslim diperintahkan untuk menyelisihi mereka dan dilarang menyerupakan diri dengan mereka. Dan sebab yang lain adalah karena shalat di kuburan dapat menjadi sarana untuk menyembah kepada selain Allah, karena di dalam shalat terdapat gerakan-gerakan yang tidak dapat ditujukan kecuali kepada Allah Taala, seperti ruku dan sujud.

Pendapat yang dipilih:

Haram shalat di pekuburan dan shalatnya tidak sah, kecuali shalat jenazah.

Hal ini berdasarkan:

Dalil-dalil yang kuat dan mutawatir tentang larangan untuk menjadikan kuburan sebagai masjid, dan sebagai tambahan atas dalil-dalil di atas adalah;
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ ».

Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah memerangi kaum Yahudi yang telah menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai masjid.” [HR. Bukhari]

أَنَّ عَائِشَةَ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ قَالاَ لَمَّا نَزَلَ بِرَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - طَفِقَ يَطْرَحُ خَمِيصَةً لَهُ عَلَى وَجْهِهِ ، فَإِذَا اغْتَمَّ بِهَا كَشَفَهَا عَنْ وَجْهِهِ ، فَقَالَ وَهْوَ كَذَلِكَ « لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ » . يُحَذِّرُ مَا صَنَعُوا .

Artinya: “Bahwa Aisyah dan Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Ketika sakit yang diderita Rasulullah bertambah parah, beliau sering meletakkan kain yang beliau miliki di atas wajahnya, jika merasa sesak nafasnya akibat itu, beliau membukanya dari wajahnya, lalu dalam keadaan demikian beliau bersabda: “Laknat Allah atas kaum Yahudi dan Nashrani yang telah menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai masjid.” Beliau memperingatkan dari apa yang telah mereka perbuat.” [HR. Bukhari]

عَنْ جُنْدَبٌ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ بِخَمْسٍ وَهُوَ يَقُولُ « ...وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ ».

Artinya: “Jundub radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku telah mendengar Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam lima hari sebelum kematian beliau bersabda: “…Dan sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kuburan-kuburan para mani mereka dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid, ingatlah, janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku telah melarang kalian akan hal itu.” [HR. Muslim]

عَنْ أَبِى عُبَيْدَةَ قَالَ آخِرُ مَا تَكَلَّمَ بِهِ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « ...وَاعْلَمُوا أَنَّ شِرَارَ النَّاسِ الَّذِينَ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ ».

Artinya: “Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Perkataan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling terakhir beliau ucapkan adalah: “Keluarkanlah kaum Yahudi dari bumi Hijaz dan kaum Najran dari Jazirah Arab dan ketauhilah bahwa seburuk-buruk manusia adalah orang-orang yang menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai masjid.” [HR. Ahmad]‎

Sebab dari larangan shalat di kuburan adalah ditakutkan sebagai sarana penghantar kesyirikan, dan bukan sebabnya karena najisnya tanah kuburan.
Jika ada larangan maka asal hukumnya berkonsekuensi kepada pengharaman kecuali ada dalil yang kuat dan shahih yang dapat menurunkannya menjadi makruh  dan sebuah pengharaman berkonsekuensi kepada rusaknya amalan tersebut.
Berhusnu zhan kepada para ulama yang berpendapat makruh shalat di pekuburan dan sah shalatnya, bahwa maksud mereka adalah makruh yang bermakna keharaman, sebagaimana kebanyakan pendapat para ulama terdahulu, jika memakai kata kamruh terkadang maknanya adalah haram. Hal ini karena tidak mungkin mereka melewatkan begitu saja hadits-hadits mutawatir yang menjelaskan bahwa Allah Ta’ala dan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, dan termasuk di dalamnya adalah shalat di pekuburan, karena shalat tempatnya bukan di pekuburan.  
Tidak Haram Sholat Di Dekat Pemakaman ‎

Berikut contoh lain dari mereka yang menuhankan pendapatnya sendiri atau menuhankan pendapat kaum mereka sendiri atau yang disebut dengan istibdad bir ro’yi yang dapat menjerumuskan mereka “menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah” (QS at-Taubah [9]:31 ) karena termakan hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi yang diakibatkan memahami Al Qur’an dan As Sunnah lebih bersandarkan secara otodidak (upaya atau belajar sendiri) dengan muthola’ah (menelaah) kitab berdasarkan pemahaman secara ilmiah dengan makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat atau memahaminya dengan metodologi “terjemahkan saja” dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja. Mereka kurang memperhatikan alat bahasa seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun kurang memperhatikan ilmu fiqih maupun ushul fiqih.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ، وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا

Laksanakanlah sebagian shalat kalian di rumah kalian dan janganlah kalian menjadikannya kuburan. (H.R. Bukhâri (I/528-529 no. 432) dari Ibn Umar radhiallahu ‘anhuma)

Hadits ini menerangkan agar rumah jangan dikosongkan dari shalat, sebab rumah yang tidak dipakai untuk shalat, terutama shalat sunnah, bagaikan kuburan yang memang bukan tempat untuk shalat.‎

‎Perkataan “bagaikan kuburan yang memang bukan tempat untuk shalat” adalah perkataan mereka sendiri karena tidak ada firman Allah Azza wa Jalla maupun perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mengharamkan sholat di kuburan.

Hal yang dilarang adalah sholat menghadap kuburan dalam arti menyembah kuburan.

Kesalahpahaman mereka terjadi karena mereka hanya berpegang pada makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat dan mereka mengingkari makna majaz atau makna dibalik yang tertulis atau makna yang tersirat.

Kalimat seperti “jangan shalat menghadap kuburan” atau “terlarang shalat menghadap ke arah kuburan” adalah kalimat majaz (kiasan) yang maknanya adalah “larangan menjadikan kuburan sebagai kiblat” alias  “larangan menyembah kuburan”.

Sedangkan kaum muslim sholat menghadap kiblat. Tidak terlarang sholat menghadap kiblat walaupun searah dengan kuburan atau arah kiblatnya kebetulan menghadap kuburan.   Sebaiknya jika memungkinkan kuburan dilewati dahulu sehingga sholat menghadap kiblat dan kuburan berada dibelakang untuk menghindari fitnah bagi orang lain yang melihatnya.
Begitupula sabda Rasulullah  “Jadikanlah shalat kalian di rumah kalian dan jangan jadikan rumah tersebut seperti kuburan” maupun “Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, sesungguhnya syetan itu akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al Baqarah.” (HR Muslim) bukanlah larangan sholat atau larangan membaca Al Qur’an di sisi kuburan.

Sabda Rasulullah yang artinya “Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan” adalah kalimat majaz yang maksudnya adalah “jangan rumah kalian sepi dari sholat maupun membaca Al Qur’an” . Jadi kedua hadits tersebut tidak ada kaitannya dengan kuburan dalam makna dzahir namun kuburan dalam makna majaz yang artinya sepi.

Dengan mereka melarang sholat atau melarang membaca Al Qur’an di sisi kuburan maka mereka dapat termasuk orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah At Tamim An Najdi  yang pernah menghardik Rasulullah karena mereka secara tidak langsung telah menghardik atau melarang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang melaksanakan sholat jenazah di sisi kuburan dan tentunya membaca Al Fatihah yang termasuk bacaan Al Qur’an.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الشَّيْبَانِيِّ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَاتَ إِنْسَانٌ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ فَمَاتَ بِاللَّيْلِ فَدَفَنُوهُ لَيْلًا فَلَمَّا أَصْبَحَ أَخْبَرُوهُ فَقَالَ مَا مَنَعَكُمْ أَنْ تُعْلِمُونِي قَالُوا كَانَ اللَّيْلُ فَكَرِهْنَا وَكَانَتْ ظُلْمَةٌ أَنْ نَشُقَّ عَلَيْكَ فَأَتَى قَبْرَهُ فَصَلَّى عَلَيْهِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad telah mengabarkan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Abu Ishaq Asy-Syaibaniy dari Asy-Sya’biy dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata: Bila ada orang yang meninggal dunia biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melayatnya. Suatu hari ada seorang yang meninggal dunia di malam hari kemudian dikuburkan malam itu juga. Keesokan paginya orang-orang memberitahu Beliau. Maka Beliau bersabda: Mengapa kalian tidak memberi tahu aku? Mereka menjawab: Kejadiannya malam hari, kami khawatir memberatkan anda. Maka kemudian Beliau mendatangi kuburan orang itu lalu mengerjakan shalat untuknya. (HR Bukhari 1170)

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ الشَّيْبَانِيُّ عَنْ عَامِرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَتَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرًا فَقَالُوا هَذَا دُفِنَ أَوْ دُفِنَتْ الْبَارِحَةَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَصَفَّنَا خَلْفَهُ ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا

Telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abu Bukair telah menceritakan kepada kami Za’idah telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq Asy-Syaibaniy dari ‘Amir dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata; Nabi Shallallahu’alaihiwasallam mendatangi kuburan. Mereka berkata; Ini dikebumikan kemarin. Berkata, Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma: Maka Beliau membariskan kami di belakang Beliau kemudian mengerjakan shalat untuknya. (HR Bukhari 1241)

Begitupula diriwayatkan Umar ra mengetahui bahwa Anas ra sholat di atas kuburan sehingga beliau menginjak kuburan. Lalu Umar berkata, “Al-qabr, al-qabr! (Kuburan, Kuburan!)” maka Anas ra melangkah (menghindari menginjak dalam batas kuburan), lalu meneruskan shalatnya. [Lihat Fathul Bari libni Hajar I:524, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379].

Dikarenakan batas kuburan sudah tidak jelas sehingga terinjak oleh Anas ra ketika sholat dan beliau hanya melangkah menghindari menginjak dalam batas kuburan lalu meneruskan sholatnya. Batas kuburan yang tidak boleh diduduki , diinjak , dikapur dan dibangun sesuatu di atasnya adalah sebatas tanah yang ditinggikan satu jengkal.

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dibuatkan untuk beliau liang lahad dan diletakkan di atasnya batu serta ditinggikannya di atas tanah sekitar satu jengkal” (HR. Ibnu Hibban)

Dari Sufyan at Tamar, dia berkata, “Aku melihat makam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuat gundukkan seperti punuk” (HR. al Bukhari III/198-199 dan al Baihaqi IV/3)

Imam Asy-Syafi’i berkata: “Aku menginginkan kuburan itu tidak dibangun dan tidak dikapur, karena perbuatan seperti itu menyerupai hiasan atau kesombongan, sedangkan kematian bukanlah tempat salah satu di antara dua hal tersebut. Aku tidak pernah melihat kuburan Muhajirin dan Anshar dikapur. Perawi berkata dari Thawus: ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburan dibangun atau dikapur.”

Imam Asy-Syafi’i berkata,”Aku menyukai kalau tanah kuburan itu sama dari yang lain, dan tidak mengapa jika ditambah sedikit saja sekitar satu jengkal”

Ummul mu’minin ‘Aisyah berkata, “Saya masuk ke dalam rumahku di mana Rasulullah dikubur di dalamnya dan saya melepas baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami dan ayahku. Ketika Umar dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah kecuali dengan busana tertutup rapat karena malu kepada ‘Umar”. (HR Ahmad).

Sudah jelas apa yang dicontohkan dengan kuburan Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang berada dalam bangunan kamar Sayyidah ‘Aisyah radiallahu ‘anha yang merupakan bangunan, beratap dan dikapur yang masih dia gunakan untuk tinggal, duduk, lalu lalang dan melakukan shalat-shalat fardhu, sunnah, membaca Al Qur’an dan kegiatan lainnya yang tentunya dilakukan di sisi kuburan.

Jelaslah tidak haram atau tidak terlarang sholat menghadap kiblat walaupun di sisi kuburan.

Janganlah mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau melarang yang tidak dilarangNya maupun mewajibkan yang tidak diwajibkanNya karena yang mengetahui perkara terkait dosa bagi manusia adalah Allah Azza wa Jalla yang menciptakan manusia.‎

Takhtimah

Jika dikatakan, shalat di kuburan atau di sisi kuburan bertentangan dengan seluruh dalil, lalu apakah di bawah ini bukan dalil?  
1.    Umat Islam dan seluruh ulamanya sejak masa akhir Sahabat telah ijma’ ‎(konsensus) atas bolehnya memasukkan kuburan Nabi s.a.w. ke dalam kawasan Masjid Nabawi.
2.    Nabi s.a.w. telah mengabarkan bahwa, kuburan dirinya akan berada di dalam masjid melalui sabdanya:
مَا بَيْنَ قَبْرِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ. (رواه أحمد)
“Apa yang ada di antara kuburanku dan mimbarku adalah taman dari taman-taman surga.” (HR. Ahmad, Nasa`i, Baihaqi, Thabarani, ath-Thahawi, Ibnu Abu Syaibah, dan lainnya)
Dalam Shahih Bukhari pada tema: ‘Keutamaan Tempat antara Kuburan dan Mimbar’ (Fadhl ma baina al-Qabr wa al-Mimbar) dan Sahih Muslim pada tema: ‘Apa yang Ada di antara Kuburan dan Mimbar adalah Taman dari Taman-taman Surga’ (Ma baina al-Qabr wa al-Mimbar Raudhah min Riyadh al-Jannah) redaksinya sedikit berbeda:
مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ. (صحيح البخاري ومسلم)
“Apa yang ada di antara rumahku dan mimbarku adalah taman dari taman-taman surga.” (Shahih Bukhari dan Muslim)
3.    Berbagai kitab sejarah, tafsir dan hadis menjelaskan bahwa Nabi Ismail a.s. dan beberapa nabi lainnya telah dimakamkan di dalam Masjidil Haram. 
Keterangan tentang masalah ini terdapat dalam banyak kitab seperti, kitab Akhbar Makkah karya al-Azraqi, Fadhail Makkah karya al-Fakihi,Syifa al-Gharam karya al-Hafizh Taqiuddin al-Fasi al-Makki, kitab ath-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad, Sirah ibnu Hisyam, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari, Tafsir Ibnu Abu Hatim, al-Mushannaf karya Abdurrazzaq, kitab al-Atsar karya Imam Muhammad ibnu Hasan asy-Syibani, kitabal-Mustadrak karya Imam al-Hakim dan lain sebagainya.
Dalam kitab Fadhail Makkah karya al-Fakihi dan kitab Syifa al-Ghraram karya al-Hafizh Taqiyuddin al-Fasi al-Makki disebutkan bahwa, di antara Rukun Yamani, Maqam Ibrahim dan Sumur Zamzam ada 99 Nabi yang telah dimakamkan di tempat itu. Sedangkan Kuburan Nabi Hud, Syu’aib, Shalih dan Ismail a.s. berada di dekat Hajar Aswad.[7]Imam Muhammad ibnu Hasan berkata dari Imam Abu Hanifah dari Salim al-Afthasi berkata, “Tidak seorang pun nabi yang lari dari kaumnya ke Ka’bah kecuali dia menyembah tuhannya, dan di sekitar Ka’bah ada sekitar 300 kuburan para Nabi.”
Al-Azraqi dalam kitabnya Akhbar Makkah, Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tafsir ath-Thabari, dan Ibnu Abu Hatim dalamTafsir Ibnu Abu Hatim telah mengeluarkan hadis dari Atha ibnu as-Sa`ib dari Sabith dari Nabi s.a.w. bersabda:
“كان النبي من بني الأنبياء إذا هلكت أمته لحق بمكة فيتعبد فيها النبي ومن معه حتي يموت فيها، فمات بها نوح وهود وصالح وشعيب، وقبورهم بين زمزم والحجر”
“Dahulu, seorang nabi jika umatnya binasa, maka dia mendatangi Ka’bah. Nabi dan orang-orang yang bersamanya itu beribadah di Ka’bah sampai meninggal dunia di tempat itu. Telah wafat di Ka’bah Nuh, Hud, Shalih dan Syu’aib. Kuburan-kuburan mereka ada di antara sumur Zamzam dan Hijr Ismail.” (Diriwayatkan oleh al-Azraqi, ath-Thabari dan Ibnu Abu Hatim)
Adapun redaksi dari Ibnu Jarir ath-Thabari begini:‎
“دحيت الأرض من مكة، وكانت الملائكة تطوف بالبيت، فهي أول من طاف به، وهي الأرض التي قال الله تعالي: إني جاعل في الأرض خليفة. وكان النبي إذا هلك قومه أو نجا هو والصالحون أتي هو ومن معه فعبدوا الله بها حتي يموتوا، فإن قبر نوح وهود وصالح وشعيب بين زمزم والركن والمقام.”
“Bumi telah dibentangkan dari Mekkah dan malaikat (ketika itu) thawaf di Ka’bah. Dialah yang pertama kali thawaf di Ka’bah. Dan Mekkah adalah tanah yang Allah s.w.t. telah berfirman, ‘Sesungguhnya aku membuat khalifah di bumi.’ Seorang nabi jika kaumnya binasa, atau dia selamat bersama orang-orang shalih, maka dia dan orang-orang yang bersamanya datang ke Ka’bah hingga mereka meninggal dunia. Sesungguhnya kuburan Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib ada di antara sumur Zamzam, Rukun Yamani dan Maqam Ibrahim.” (Diriwayatkan oleh al-Azraqi, ath-Thabari dan Ibnu Abu Hatim)
Sanad hadis ini mursal shahih, perawi dari Atha ibn as-Sa`ib dalam riwayat Abu al-Walid al-Azraqi dan Abu Hatim ar-Razi adalah Hammad ibnu Salamah. Hadis ini shahih, karena Hammad telah mendengarnya dari Atha sebelum ikhthilat (sering tertukar dalam meriwayatkan hadis). Sedangkan Ibnu Sabith di sini adalah, Muhammad ibnu Sabith, demikian menurut al-Azraqi.
4.    Telah jelas dan shahih bahwa, beberapa orang nabi telah dimakamkan di dalam Masjid Khaif, di Mina, Jazirah Arab. ‎Imam al-Bazzar dalam kitab Musnadnya ‎Kasyf al-Astar pada hadis 1177, juga Imam ath-Thabarani dalam Mu’jam al-Kabir, hadis no. 13525, ‎riwayat dari Ibrahim ibnu Thahman dari Manshur dari Mujahid dari Ibnu Umar dari Rasulullah s.a.w. bersabda:
فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ قُبِرَ سَبْعِيْنَ نَبِيًّا. (رواه الطبراني والبزار)
“Di dalam masjid al-Khaif telah dikuburkan tujuh puluh orang Nabi” ‎(HR. ath-Thabarani dan al-Bazzar)
Lalu Imam al-Bazzar berkata, “Kami tidak mengetahui riwayat Ibnu Umar yang lebih shahih dari ini, Ibrahim telah meriwayatkannya dari Manshur sendirian.”Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabMukhtshar Zawaid al-Bazzar pada hadis nomor 813 juga berkata, “Dia (hadis ini) sanadnya shahih.” al-Hafizh al-Haitsami dalam kitabnya Majma az-Zawaid pada jilid 3 halaman 297 juga berkata, “Hadis ini telah diriwayatkan oleh al-Bazzar dan para perawinya terpercaya.”
5.    Telah shahih, beberapa orang Sahabat telah membangun masjid di atas kuburan seorang Sahabat bernama Mujahid Abu Bashir r.a. dan Nabi s.a.w. membenarkan kejadian itu:
عن يونس بن بكير عن ابن إسحاق عن الزهري عن عروة بن الزبير عن المسور ومروان قالا في قصة الحديبية: “فقرأ أبو جندل كتاب رسول الله صلي الله عليه وسلم وأبو بصير مريض، فمات فدفنه أبو جندل وصلي عليه، وبني على قبره مسجدا.” (أخرج ابن الأثير في أسد الغابة 5/35)
“Dari Yunus ibnu Bukair dari Ibnu Ishaq dari az-Zuhri dari Urwah ibnu Zubair dari al-Miswar dan Marwan keduanya telah berkata tentang kisah Hudaibiyah: Maka Abu Jandal membacakan surat dari Rasulullah s.a.w.  di hadapan Abu Bashir yang sedang sakit. Lalu dia meninggal dunia. Maka Abu Jandal menguburkan dan menshalatkannya, lalu membangun di atas kuburannya sebuah masjid.”(HR. Ibnu al-Atsir)
“دفنه أبو جندل مكانه وجعل عند قبره مسجدا. (رواه البيهقي في دلائل النبوة 4/172)
“Abu Jandal telah menguburkannya (Abu Bashir) di tempatnya dan membangun sebuah masjid di kuburannya.” (HR. Baihaqi)
Hadis tentang kisah Abu Bashir r.a. ini juga diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam Mushannafnya, Ibnu Ishaq dalam as-Sirah an-Nabawiyyah dan Musa ibnu Uqbah dalam al-Maghazi.
Kitab al-Maghazi karya Musa ini merupakan kitab maghâzî (peperangan Nabi) yang paling shahih, sebagaimana disampaikan Imam Malik. Ketiga ulama ini (Ma’mar, Ibnu Ishaq dan Musa ibnu Uqbah) telah meriwayatkan hadis tersebut dari az-Zuhri, dari Urwah ibnu Zubair, dari al-Miswar ibnu Makhramah dan Marwan ibnul Hakam r.a., bahwa Abu Jandal ibnu Suhail ibnu Amr menguburkan jenazah Abu Bashir r.a., lalu membangun sebuah masjid di atas kuburannya yang terletak di Siful Bahr. Kejadian itu diketahui oleh Rasulullah s.a.w. dan tiga ratus sahabat lainnya, dan sanad riwayatnya adalah shahih. Semua perawi dalam silsilah sanadnya adalah tsiqah.
Para ahli sejarah juga telah menjelaskan peristiwa yang dialami Abu Jandal dengan mengatakan, “Suatu saat, sepucuk surat Rasulallah sampai ke tangan Abu Jandal. Waktu surat itu sampai, Abu Bashir (sahabat Nabi yang ditemani oleh Abu Jandal) tengah mengalami sakaratul maut. Beliau meninggal dengan posisi menggenggam surat Rasulallah s.a.w. Kemudian Abu Jandal mengebumikan Abu Bashir di tempat itu dan membangun masjid di atasnya.”
6.    Siti Aisyah r.a. selalu shalat di dalam rumahnya yang disitu ada kuburan Nabi Muhammad s.a.w.
كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يُحَدِّثُ وَيَقُولُ اسْمَعِي يَا رَبَّةَ الْحُجْرَةِ اسْمَعِي يَا رَبَّةَ الْحُجْرَةِ وَعَائِشَةُ تُصَلِّي فَلَمَّا قَضَتْ صَلَاتَهَا قَالَتْ لِعُرْوَةَ أَلَا تَسْمَعُ إِلَى هَذَا وَمَقَالَتِهِ آنِفًا إِنَّمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ حَدِيثًا لَوْ عَدَّهُ الْعَادُّ لَأَحْصَاهُ. (صحيح مسلم)
“Abu Hurairah pernah menyampaikan hadis (di samping kamar Aisyah) lalu berkata, ‘dengarkanlah wahai pemilik kamar, dengarkanlah wahai pemilik kamar’ dan Aisyah sedang shalat. Ketika Aisyah telah menyelesaikan shalatnyadia berkata kepada Urwah, ‘Tidakkah engkau mendengar (orang) ini dan ucapannya tadi? Sesungguhnya Nabi s.a.w. pernah menyampaikan hadis, (namun) jika dihitung (jumlahnya) oleh orang yang menghitungnya pasti bisa dihitung.’” (Shahih Muslim)
7.    Ketika masjid penuh dengan orang-orang yang akan shalat Jumat, para sahabat Nabi s.a.w. masuk ke kamar di mana beliau s.a.w. dikuburkan, untuk melakukan shalat Jumat. Hadis ini juga terdapat dalam kitabar-Radd ‘ala al-Akhna`i karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (tokoh idola Wahabi), pada halaman 121 Ibnu Taimiyah berkata:
“وقال أبو زيد: حدثنا القعنبي وأبو غسان عن مالك قال: كان الناس يدخلون حجر أزواج النبي صلى الله عليه وسلم ويصلون فيها يوم الجمعة بعد وفاة النبي صلى الله عليه وسلم، وكان المسجد يضيق بأهله.”
“Dan Abu Zaid berkata: Qa’nabi dan Abu Ghassan telah menyampaikan hadis kepadaku dari Malik, dia berkata: Orang-orang (para Sahabat Nabi) masuk ke kamar isteri-isteri Nabi s.a.w. (yang di dalamnya ada kuburan Nabi s.a.w.) dan shalat di dalamnya pada hari Jumat setelah wafatnya Nabi s.a.w., masjid pada saat itu penuh dengan pengunjungnya.”
8.    Ulama Islam dari berbagai mazhab Fikih telah sepakat (ijma’) atas bolehnya shalat di tempat yang di dalamnya ada kuburan jika aman dari najis.
Ulama Mazhab Hanafi misalkan, telah menghukuminya makruh tanzihiyah(makruh yang bukan haram, hanya kurang disukai saja).‎Mazhab Maliki menghukuminya boleh jika aman dari najis. ‎
Sedangkan Mazhab Syafii menghukuminya boleh jika kuburannya tidak terbongkar yang mengakibatkan adanya najis. Imam Syafi’i dalam Mukhtashar al-Muzanni berkata:
فلو صلى فوق قبر أو إلى جنبه ولم ينبش أجزأه.
“Maka jika dia shalat di atas kuburan atau ke sampingnya dan (kuburannya) tidak terbongkar maka mencukupinya."
Imam asy-Syirazi asy-Syafi’i dalam al-Muhadzdzab berkata:
فإن صلى في مقبرة نظر كانت مقبرة تكرر فيها النبش لم تصح صلاته، لأنه قد اختلط بالأرض صديد الموتى، وإن كانت جديدة لم تنبش كرهت صلاته فيها، لأنها مدفن النجاسة والصلاة صحيحة.
“Maka jika dia shalat di kuburan, dilihat (dahulu), (jika) kuburannya sering terbongkar yang di dalamnya ada najis, (maka) tidak sah shalatnya, karena cairan mayat sudah bercampur dengan tanah. Jika kuburannya baru (dan) tidak terbongkar, (maka) shalatnya di kuburan makruh, karena kuburan itu tempat terkubur najis, adapun (hukum) shalatnya sah.”
Bahkan Imam Nawawi berkata dalam al-Majmu:
إن تحقق أن المقبرة منبوشة لم تصح صلاته فيها بلا خلاف إذا لم يبسط تحته شيئاً ، وإن تحقق عدم نبشها صحت بلا خلاف ، وهي مكروهة كراهة تنزيه.
“Jika kuburannya didapati terbongkar, (maka) tidak sah shalatnya di kuburan tanpa diperselisihkan, (itu pun) jika tidak dialasi sesuatu di bawahnya (seperti tikar, plastik, kayu atau semisalnya). Jika didapati kuburannya tidak terbongkar,(maka) shalatnya sah tanpa diperselisihkan, namun makruh karahiyah tanzih."‎
Begitu juga dengan Mazhab Hanbali, menghukumi boleh shalat di kuburan jika tidak terdapat najis.
Jadi tidak benar jika “hadits-hadits tersebut melarang secara mutlak.” Lalu bagaimana dengan kenyataan tentang adanya banyak hadis yang menyatakan, Nabi dan para sahabatnya shalat di kuburan. Di antaranya adalah hadis ini:
قَالَ الشَّعْبِيَّ: أَخْبَرَنِي مَنْ مَرَّ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَبْرٍ مَنْبُوذٍ فَأَمَّهُمْ وَصَلَّوْا خَلْفَهُ قُلْتُ مَنْ حَدَّثَكَ هَذَا يَا أَبَا عَمْرٍو؟ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا. (صحيح البخاري ومسلم)
“Asy-Sya’bi berkata, ‘Orang-orang yang singgah bersama Rasulullah s.a.w. di pekuburan yang sedikit telah mengabarkanku (bahwa), Rasulullah telah mengimami mereka dan para sahabat berbaris di belakangnya (untuk bermakmum).’ Aku berkata, ‘siapa yang menyampaikan hadis ini wahai Abu Amr?’ Dia menjawab, ‘Ibnu Abbas.’ (HR. Bukhari dan Muslim)
Cukup banyak hadis-hadis shahih menyatakan bahwa, Nabi s.a.w. telah memerintahkan para sahabatnnya untuk membangun masjid di atas areal pekuburan, dan Nabi s.a.w. orang yang paling mengerti tentang tauhid, karena beliau diutus untuk itu. Di antara masjid-masjid yang dibangun di atas areal pekuburan adalah masjid Thaif, bahkan di atas pekuburan orang-orang kafir:
"عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَجْعَلَ مَسْجِدَ الطَّائِفِ حَيْثُ كَانَ طَوَاغِيتُهُمْ." (رواه أبو داود وابن ماجه والبيهقي والحاكم والطبراني وأبو نعيم)
“Dari Utsman ibnu Abu al-Ash bahwa, Nabi s.a.w. telah memerintahkannya untuk membangun Masjid Thaif di tempat para thagut (dikuburkan).” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Baihaqi, Hakim, Thabarani dan Abu Nuaim)
Selanjutnya, Nabi s.a.w. juga telah memerintahkan sahabatnya untuk membangun Masjid Nabawi di atas puing-puing pekuburan orang-orang musyrik Bani Najjar:
عَنْ اَنَسٍ اَنَّ النَّبِيّ ص كَانَ يُحِبُّ اَنْ يُصَلّي حَيْثُ اَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ. وَيُصَلّى فِى مَرَابِضِ اْلغَنَمِ. وَاَنَّهُ اَمَرَ بِبِنَاءِ اْلمَسْجِدِ، فَاَرْسَلَ اِلَى مَلَإِ مِنْ بَنِى النَّجَّارِ فَقَالَ: يَا بَنِى النَّجَّارِ، ثَامِنُوْنِى بِحَائِطِكُمْ هٰذَا. قَالُوْا: لاَ، وَاللهِ مَا نَطْلُبُ ثَمَنَهُ اِلاَّ اِلىَ اللهِ. فَقَالَ اَنَسٌ: وَكَانَ فِيْهِ مَا اَقُوْلُ لَكُمْ. قُبُوْرُ اْلمُشْرِكِيْنَ. وَفِيْهِ خَرِبٌ وَفِيْهِ نَخْلٌ. فَاَمَرَ النَّبِيُّ ص بِقُوُرِ اْلمُشْرِكِيْنَ فَنُبِشَتْ ثُمَّ بِالْخَرِبِ فَسُوّيَتْ، ثُمَّ بِالنَّخْلِ فَقُطِعَ. فَصَفُّوا النَّخْلَ قِبْلَةَ اْلمَسْجِدِ وَجَعَلُوْا عِضَادَتَيْهِ اْلحِجَارَةَ. وَجَعَلُوْا يَنْقُلُوْنَ الصَّخْرَ وَهُمْ يَرْتَجِزُوْنَ وَالنَّبِيُّ ص مَعَهُمْ. وَهُوَ يَقُوْلُ: اَللّهُمَّ لاَ خَيْرَ اِلاَّ خَيْرُ اْلآخِرَه، فَاغْفِرْ ِلـْلاَنْصَارِ وَاْلمُهَاجِرَه. (صحيح البخاري ومسلم)
“Dari Anas, ia berkata: Sesungguhnya Nabi SAW senang sekali shalat dimana beliau mendapatkan (waktu) untuk shalat itu. Dan beliau pernah shalat di kandang kambing. Dan sesungguhnya beliau menyuruh mendirikan masjid, lalu beliau menyuruh kepada para ketua Bani Najjar, dan bersabda, ‘Hai Bani Najjar, juallah kebunmu ini kepadaku!’ Mereka menjawab, ‘Demi Allah, kami tidak akan meminta harganya melainkan (kami berikan) kepada Allah.’ Lalu Anas berkata, ‘Di dalam kebun itu ada apa yang aku katakan kepada kalian, yaitu qubur orang-orang musyrik, ada lubang-lubang dan ada pohon kurmanya.’ Nabi s.a.w. menyuruh kuburan orang-orang musyrik dibongkar, lubang-lubang diratakan, dan pohon-pohon kurmanya dipotong. Kemudian para sahabat membariskan pohon-pohon kurma sebagai (dinding) qiblat masjid, dan mereka membuat dua tiang pintunya dari batu. Mereka memindahkan batu-batu sambil bersenandung (bernasid), sedang Nabi SAW bersama mereka, dan beliau pun mengucapkan (yang artinya), ‘Ya Allah, tiada kebaikan selain kebaikan akhirat, maka ampunilah sahabat-sahabat Anshar dan Muhajirin.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Ibnu Bathal dalam Syarh Shahih al-Bukhari berkata:
وقد تدل من الإسلام على كل مكان فاضل يطاع الله فيه كقبر رسول الله ، وحلق الذكر ، وجوامع الخير ، وقبور الصالحين لقوله صلى الله عليه وسلم: ما بين قبرى ومنبرى روضة من رياض الجنة.
“Hadis ar-Raudhah menunjukkan, di antara ajaran Islam (adanya) tempat utama yang Allah ditaati di dalamnya seperti, kuburan Rasulullah, halaqah-halaqah dzikir, majelis-majelis kebaikan dan kuburan-kuburan orang shalih, karena (adanya) sabda Rasulullah s.a.w., ‘Apa yang ada di antara kuburanku dan mimbarku adalah taman dari taman-taman surga.’”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam menjelaskan hadis tentang “Laknat Allah kepada orang-orang Yahudi yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masajid ‎(tempat-tempat sujud)” berkata:
فَوَجْه التَّعْلِيل أَنَّ الْوَعِيد عَلَى ذَلِكَ يَتَنَاوَل مَنْ اِتَّخَذَ قُبُورهمْ مَسَاجِد تَعْظِيمًا وَمُغَالَاة كَمَا صَنَعَ أَهْل الْجَاهِلِيَّة وَجَرّهمْ ذَلِكَ إِلَى عِبَادَتهمْ،... فَعُرِفَ بِذَلِكَ أَنْ لَا تَعَارُض بَيْن فِعْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَبْش قُبُور الْمُشْرِكِينَ وَاِتِّخَاذ مَسْجِده مَكَانهَا وَبَيْن لَعْنه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اِتَّخَذَ قُبُور الْأَنْبِيَاء مَسَاجِد لِمَا تَبَيَّنَ مِنْ الْفَرْق. (فتح الباري لابن حجر باب: هل تنبش قبور مشركي الجاهلية 2/147)
“Maka alasannya, bahwa ancaman itu bagi orang-orang yang menjadikan kuburan mereka sebagai masjid (tempat sujud) untuk pengagungan dan hal-hal yang berlebihan, seperti apa yang telah dilakukan orang-orang jahiliyah dan itu menarik mereka kepada penyembahan mereka (para nabi)... Maka dengan itu dipahami bahwa, tidak ada kontradiksi antara perbuatan Nabi s.a.w. dalam membongkar kuburan orang-orang musyrik dan membangun masjidnya di atas tempat tersebut dengan kecaman beliau s.a.w. terhadap orang yang menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid, karena jelas perbedaannya.”
Di antara sebab, kenapa Sayidina Ali ibnu Abu Thalib karramallahu wajhah sering dipanggil dengan gelaran “Abu Turab”(bapaknya debu) adalah, karena beliau sering berada di areal tanah pekuburan, beliau shalat, dzikir dan tidur di sana! Lantas, apakah Ali ibnu Abu Thalib r.a. ini sebagai ahlul bid’ah dan musyrik?!‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...