Rabu, 13 Oktober 2021

Penjelasan Tentang Harta Kekayaan

 


Dewasa ini masih terdapat anggapan bahwa Islam menghambat kemajuan. Beberapa kalangan mencurigai Islam sebagai factor penghambat pembangunan  (an obstacle to economic growth). Pandangan ini berasal dari para pemikir Barat. Meskipun demikian, tidak sedikit intelektual muslim yang juga menyakininya.

Kesimpulan yang agak tergesa-gesa ini hampir dapat dipastikan timbul karena kesalah pahaman terhadap Islam. Seolah-olah Islam merupakan agama yang hanya berkaitan dengan masalah ritual, bukan sebagai suatu system yang komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk masalah pembangunan ekonomi serta industri perbankan sebagai salah satu motor penggerak roda perekonomian.

Manusia adalah khalifah di muka bumi. Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah kepada sang khalifah agar dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Untuk mencapai tujuan suci ini, Allah memberikan petunjuk melalui para rasul-Nya. Petunjuk tersebut meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan manusia baik akidah, akhlak, maupun syariah.‎

Seluruh Alam adalah Milik Allah yang Diciptakan untuk Manusia
Al-Qur’an telah menjelaskan bahwasannya seluruh alam beserta isinya ini adalah milik Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya :
أَلا إِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ أَلا إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لا يَعْلَمُونَ
”Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan di bumi. Ingatlah, sesungguhnya janji Allah itu benar, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui(nya).”[QS. Yunus : 55].
أَلا إِنَّ لِلَّهِ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ وَمَا يَتَّبِعُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ شُرَكَاءَ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ
“Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allahsemua yang ada di langit dan di bumi. Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu keyakinan). Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka-prasangka belaka, dan mereka hanyalah menduga-duga” [QS. Yunus : 66].
Dan Allah ta’ala menciptakan semuanya itu untuk kepentingan manusia, sebagaimana firman-Nya :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا
”Dia-lah Allah, yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu….” [QS. Al-Baqarah : 29].
Dan semua apa-apa yang diciptakan Allahta’ala di alam ini untuk manusia merupakan rahmat dari-Nya yang diberikan kepada segenap umat manusia, sebagaimana firman-Nya :
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
”Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir” [QS. Al-Jaatsiyyah : 13].
Oleh karena penciptaan alam semesta dan seisinya ini sebagai rahmat yang Allah ta’aladiberikan kepada manusia, jangan sampai manusia menggunakannya dalam jalan-jalan kebathilan. Hal ini adalah sebagaimana firman-Nya :
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 188].
Status Harta Bagi Manusia
Di atas telah dijelaskan bahwasannya semua yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah ta’ala. Termasuk dalam hal ini adalah harta benda. Pada hakikatnya, manusia dikaruniai oleh Allah ta’ala harta benda adalah sebagai titipan dan amanah yang harus dipergunakan sebagaimana mestinya. Hal ini dijelaskan dalam firman-Nya :
آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
”Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman diantara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar” [QS. Al-Hadid : 7].
Harta merupakan perhiasan dunia yang Allahta’ala jadikan sebagai salah satu ujian keimanan/cobaan bagi manusia, sebagaimana firman-Nya :
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلا
”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” [QS. Al-Kahfi : 46].
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar” [QS. Al-Anfaal : 28].
Harta bukanlah tujuan, namun tidak lebih hanya sebagai salah satu sarana dan bekal untuk beribadah kepada Allah ta’ala. Allahta’ala telah berfirman dalam salah satu ayatnya :
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
”Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” [QS. At-Taubah : 41].
Selain QS. At-Taubah : 41 di atas, masih banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menempatkan harta sebagai salah satu wasilahdalam ibadah. Allah ta’ala memerintahkanshadaqah, infak, dan zakat; yang kesemuanya itu dengan menggunakan harta. Allah ta’alatelah mewajibkan haji bagi yang mampu. Itu pun juga menggunakan harta. Untuk mewujudkankannya, Allah ta’ala telah mewajibkan manusia untuk mencari nafkah yang berupa harta yang halal; yang dengan harta itu ia juga bisa menunaikan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak istri, anak, dan keluarganya. Allah ta’ala telah berfirman :
وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
”Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada Allah” [QS. Al-Qashshash : 73].
اعْمَلُوا آلَ دَاوُدَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
”Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih” [QS. Sabaa’ : 13].
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ ذَلُولا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
”Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan” [QS. Al-Mulk : 15].
Tentunya, semua perbuatan ma’ruf dan ibadah yang dilakukan oleh manusia hanya diharapkan untuk keridlaan Allah dan balasan kelak di negeri akhirat berupa kenikmatan Jannah (surga).
Nikmat harta adalah nikmat yang harus disyukuri sebagaimana firman-Nya ta’ala :
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
”Katakanlah : Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalahuntuk Allah, Tuhan semesta alam” [QS. Al-An’aam : 162].
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
”Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” [QS. Ibrahim : 7].
Allah Telah Mengingatkan Manusia Agar Tidak Tamak terhadap Dunia dan Harta
Allah ta’ala telah menciptakan manusia dalam tabiat cinta terhadap harta. Akan tetapi, Allahta’ala mencela pada orang yang berlebihan mencintai harta hingga menyebabkan dirinya menjadi seorang yang bakhil, sombong, dan lupa terhadap Allah. Allah ta’ala telah berfirman mengenai hal tersebut :
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا
”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan” [QS. Al-Fajr : 20].
إِنَّ الإنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ * وَإِنَّهُ عَلَى ذَلِكَ لَشَهِيدٌ * وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
”Dan sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya. Dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya. Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta” [QS. Al-‘Aadiyaat : 6-8].
كَلا إِنَّ الإنْسَانَ لَيَطْغَى * أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى
”Ketahuilah ! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,karena melihat dirinya serba cukup” [QS. Al-‘Alaq : 6-7].
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الأرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
”Dan jikalau Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya, tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi. Tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat” [QS. Asy-Syuura : 27].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi” [QS. Al-Munaafiquun : 9].
Cinta yang berlebihan terhadap harta menyebabkan dia lupa mati sampai dirinya dibungkus kain kafan dan dimasukkan ke liang lahad. Allah ta’ala telah berfirman :
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ * حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ * كَلا سَوْفَ تَعْلَمُونَ * ثُمَّ كَلا سَوْفَ تَعْلَمُونَ * كَلا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ * لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ * ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ * ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
”Bermegah-megahan telah melalikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul-yaqiin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)” [QS. At-Takaatsur : 1-8].
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ * الَّذِي جَمَعَ مَالا وَعَدَّدَهُ * يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ
”Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya” [QS. Al-Humazah : 1-3].
Mengapa Kita Menjadi Orang yang Miskin Harta ?
Bagi orang-orang yang muslim, cobaan atas sempitnya rizki dan kekurangan harta dapat disebabkan oleh :
1. Hukuman/balasan atas perbuatan dosa dan maksiat yang ia kerjakan.
Allah ta’ala telah berfirman :
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” [QS. Asy-Syuura : 30].
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
”Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud) padahal telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada Perang Badar) kamu berkata : “Dari mana datangnya kekalahan ini?”. Katakanlah : “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri” [QS. Aali Imran : 165].
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ
”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih maka itu untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan” [QS. Al-Jaatsiyyah : 15].
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلامٍ لِلْعَبِيدِ
”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri. Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya” [QS. Fushshilat : 46].
2. Sebagai ujian dan cobaan atas keimanannya.
الم * أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ * وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
”Alif Laam Miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka diniarkan (saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi ? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” [QS. Al-Ankabuut : 1-3].
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”[QS. Al-Baqarah : 155].
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaandan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar” [QS. Al-Anfaal : 28].
Pandangan Ulama' Tentang Harta
Dalam pengertian umum, (bukan dalam Fiqh Islam) harta dipahami sebagai sesuatu yg memiliki nilai ekonomis, baik yg berupa benda ataupun manfaat/jasa. Dg kata lain harta adalah sesuatu yang dapat dikumpulkan, dimanfaatkan dan dimiliki oleh manusia. Dari definisi ini maka : buah-buahan seperti anggur, apel, mangga, alpukat adalah harta. Binatang ternak atau piaraan seperti ayam, kambing, sapi bahkan babi juga termasuk harta. Minuman seperti teh, kopi, sirup, bir, tuak dan minuman keras juga termasuk harta, karena semua itu memiliki nilai ekonomis dan dapat dikuasai. Ini adalah pandangan ekonomi non Islam (konvensional) tentang harta.

Sedangkan dalam Fiqh Islam, ada beberapa definisi tentang harta yang disampaikan oleh para ulama :

الموسوعة الفقهية الكويتية (36/ 32)

وَعَرَّفَ الزَّرْكَشِيُّ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ الْمَال بِأَنَّهُ مَا كَانَ مُنْتَفَعًا بِهِ، أَيْ مُسْتَعِدًّا لأِنْ يُنْتَفَعَ بِهِ . وَحَكَى السُّيُوطِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ قَال: لاَ يَقَعُ اسْمُ الْمَال إِلاَّ عَلَى مَا لَهُ قِيمَةٌ يُبَاعُ بِهَا، وَتَلْزَمُ مُتْلِفَهُ، وَإِنْ قَلَّتْ، وَمَا لاَ يَطْرَحُهُ النَّاسُ، مِثْل الْفَلْسِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ

Imam Zarkasyi dari madzhab Syafii mendefinisikan bahwa harta adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan atau siap untuk dimanfaatkan. Imam Suyuthi, meriwayatkan bahwa Imam Syafii berkata bahwa : Tidak disebut dengan harta, kecuali benda itu memiliki nilai yang bisa dijual karena adanya nilai tersebut, dan bagi orang yang merusaknya maka wajib menanggungnya, walaupun sedikit, dan benda itu tidak termasuk sesuatu yang dibuat oleh orang pada umumnya.

Sedangkan Imam Suyuthi yang juga dari madzhab Syafii mengatakan : Tidak disebut dengan harta kecuali sesuatu itu memiliki nilai yang menyebabkan sesuatu itu bisa dijual, diwajibkan bagi yang merusaknya untuk mengganti.

Imam Ibnu Abdiin dari Ulama Hanafiah mendefinisikan harta sebagai berikut :

الدر المختار وحاشية ابن عابدين (رد المحتار) (4/ 501(

الْمُرَادُ بِالْمَالِ مَا يَمِيلُ إلَيْهِ الطَّبْعُ وَيُمْكِنُ ادِّخَارُهُ لِوَقْتِ الْحَاجَةِ، وَالْمَالِيَّةُ تَثْبُتُ بِتَمَوُّلِ النَّاسِ كَافَّةً أَوْ بَعْضِهِمْ، وَالتَّقَوُّمُ يَثْبُتُ بِهَا وَبِإِبَاحَةِ الِانْتِفَاعِ بِهِ شَرْعًا؛ …..وَحَاصِلُهُ أَنَّ الْمَالَ أَعَمُّ مِنْ الْمُتَمَوَّلِ؛ لِأَنَّ الْمَالَ مَا يُمْكِنُ ادِّخَارُهُ وَلَوْ غَيْرَ مُبَاحٍ كَالْخَمْرِ، وَالْمُتَقَوِّمُ مَا يُمْكِنُ ادِّخَارُهُ مَعَ الْإِبَاحَةِ، فَالْخَمْرُ مَالٌ لَا مُتَقَوِّمٌ، فَلِذَا فَسَدَ الْبَيْعُ بِجَعْلِهَا ثَمَنًا،

Yang dimaksud dengan al-maal (harta) adalah sesuatu yang disukai oleh tabiat manusia, dan dapat disimpan sampai waktu diperlukan,baik manusia secara keseluruhan atau sebagian. Tetapi harta akan dianggap memiliki nilai (qiimah/ mutaqawwam) apabila sesuatu itu dicintai oleh manusia dan boleh dimanfaatkan menurut syariah…. kesimpulannya: pengertian harta lebih luas dari istilah “mutaqawwam” atau “mutawwal”. Harta adalah setiap sesuatu yang bisa disimpan walaupun tidak halal seperti khamr, sedangkan mutaqawwam adalah sesuatu yang bisa disimpan dan diperbolehkan untuk dimanfaatkannya. Karena itu khamr termasuk harta yang tidak mutaqawwam atau tidak memikiki nilai, sehingga tidak boleh diperjual belikan.

DR Wahbah Az-zuhayli menjelaskan bahwa secara garis besar, dalam Fiqh Islam ada dua tentang pengertian harta, yaitu pengertian harta menurut jumhur ulama dan pengertian harta menurt madzhab hanafi, beliau menjelaskan sbb :

الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي (4/ 2875)

أما في اصطلاح الفقهاء ففي تحديد معناه رأيان:

أولاً ـ عند الحنفية: المال: هو كل ما يمكن حيازته وإحرازه وينتفع به عادة، أي أن المالية تتطلب توفر عنصرين:

-1 إمكان الحيازة والإحراز: فلا يعد مالاً: ما لايمكن حيازته كالأمور المعنوية مثل العلم   والصحة والشرف والذكاء، وما لا يمكن السيطرة عليه كالهواء الطلق وحرارة الشمس وضوء القمر.

2 - إمكان الانتفاع به عادة: فكل ما لا يمكن الانتفاع به أصلاً كلحم الميتة والطعام المسموم أو الفاسد، أو ينتفع به انتفاعاً لا يعتد به عادة عند الناس كحبة قمح أو قطرة ماء أو حفنة تراب، لا يعد مالاً، لأنه لا ينتفع به وحده. والعادة تتطلب معنى الاستمرار بالانتفاع بالشيء في الأحوال العادية، أما الانتفاع بالشيء حال الضرورة كأكل لحم الميتة عند الجوع الشديد (المخمصة) فلا يجعل الشيء مالاً، لأن ذلك ظرف استثنائي.

وتثبت المالية بتمول الناس كلهم أو بعضهم ، فالخمر أو الخنزير مال لانتفاع غير المسلمين بهما. وإذا ترك بعض الناس تمول مال كالثياب القديمة فلا تزول عنه صفة المالية إلا إذا ترك كل الناس تموله.

وقد ورد تعريف المال في المادة (621) من المجلة نقلاً عن ابن عابدين الحنفي (3) وهو: «المال: هو ما يميل إليه طبع الإنسان، ويمكن ادخاره إلى وقت الحاجة، منقولاً كان أو غير منقول».

ولكنه تعريف منتقد؛ لأنه ناقص غير شامل، فالخضروات والفواكه تعتبر مالاً، وإن لم تدخر لتسرع الفساد إليها. وهو أيضاً بتحكيم الطبع فيه قلق غير مستقر؛ لأن بعض الأموال كالأدوية المرة والسموم تنفر منها الطباع على الرغم منأنها مال. وكذلك المباحات الطبيعية قبل إحرازها من صيود ووحوش وأشجار في الغابات تعد أموالاً ولو قبل إحرازها أو تملكها.

ثانياً ـ وأما المال عند جمهور الفقهاء غير الحنفية: فهو كل ما له قيمة يلزم متلفهبضمانه. وهذا المعنى هو المأخوذ به قانوناً، فالمال في القانون وهو كل ذي قيمة مالية.

Intinya adalah bahwa harta menurut :

Jumhur Ulama menyatakan bahwa harta adalah sesuatu yang memilkiki nilai , dan diwajibkan bagi pihak yang merusakkannya untuk bertanggung jawab atas perbuatannya, definisi dari jumhur inilah yang dipakai dalam perundang-undangan, jadi harta adalah segala sesuatu yang memiliki nilai ekonomis.
Hanafiah : Harta akan disebut sebagai harta jika memuhi dua unsur yaitu (1) bisa didapatkan (ihroozuhu) dan dimiliki/dikuasai (hiyazatuhu/ saytharah ’alaihi). Hal-hal yang tidak termasuk harta adalah seperti kesehatan, kecerdasan,ilmu dan pengetahuan, cahaya matahari, cahaya bulan purnama, udara yang lepas. Sedangkan unsur ke (2) nya adalah boleh dimanfaatkan.
Dr Abdul Salam Daud Al-Ubuudy mendefiniskan:Sesuatu yang disisi manusia memiliki nilai material dan dibenarkan oleh syarak  pemanfaatannnya dalam kelapangan dan pilihan.

Dari beberapa kutipan di atas saya simpulkan bahwa pengertian harta yang dimaksudkan dalam Fiqh Islam, adalah harta yang memiliki nilai secara syariah atau yang disebut dengan “maalun mutaqawwam”. Maalun mutaqawwam inilah harta yang menjadi obyek dalam kajian fiqh mu’amalat, yang memiliki konsekwensi hokum dan boleh ditransaksikan, sedangkan harta yang tidak mutaqawwam atau tidak memiliki nilai menurut syariah maka dia tidak menjadi obyek kajian dalam fiqh mu’amalat, ketentuan-ketentuan mengenai harta dalam Islam tidak berlaku untuk harta yang tidak mutaqawwam seperti khamr dan daging babi.

Maksud dari beberapa ketentuan islam tentang harta adalah seperti : kewajiban mengeluarkan zakatnya, perintah untuk menginfakkan sebagiannya, larangan mencuri dari orang lain serta memindahkan kepemilikannya melalui berbagai akad dalam fiqh Islam. Semua contoh ketentuan ini hanya berlaku bagi maalun mutaqawwam. Contohnya adalah seseorang yang memiliki khamr dalam jumlah yang banyak, maka dia tidak diwajibkan mengeluarkan zakatnya, tidak diperintahkan untuk menginfakkan sebagian khamr kepada orang lain, tidak dianggap mencuri jika ada orang lain yang merusak/mengambil tanpa ijin, (hukumannya bukan sebagai pencuri, meskipun boleh jadi dianggap melakukan pelanggaran tetapi tidak dianggap sebagai pencuri yang hukumannya adalah potong tangan), dan tidak boleh diperjual belikan.

Selain khamr, contoh lainnya adalah pakaian yg mempertontonkan aurat, ataupun alat-alat ma'siat lain seperti VCD porno, musik porno, alat-alat perjudian, dan menyewakan tempat untuk maksiat.   Menurut ekonomi konvemsioal alat-alat maksiat yang saya contohkan tersebut akan dikategorikan sebagai harta karena memiliki nilai ekonomis, akan tetapi dalam fiqh islam dia tidak dapat disebut sebagai harta, atau disebut harta tetapi tidak memiliki nilai   (maalun ghoiru mutaqawwam) sehingga nilai akutansinya adalah nol, karena benda-benda tersebut tidak halal dimanfaatkan, dan tidak boleh ditransaksikan.

Ada beberapa ketentuan dan pandangan mengenai harta, berikut saya sampaikan beberapa pandangan Islam tentang harta :

Semua harta yang ada di langit dan dibumi adalah milik Allah swt yang diciptkan untuk kemakmuran manusia. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah untuk mengelola alam semesta guna tercapainya tujuan penciptaan manusia. Oleh karena semua yang ada di bumi adalah milik Allah swt maka manusia harus mengenal dan melakukan pendekatan diri kepada Allah sebelum berusaha untuk mendapatkan harta, agar cara memeperoleh dan mengelolanya sesuai dengan aturan Allah swt. Manusia       tidak memiliki kebebasan secara mutlak dalam mengelola harta yang didapatkannya. Harta yang didapat oleh manusia adalah amanah dari Allah yang harus dikelola sesuai dengan keinginan (aturan) yang memberikan amanah.
           لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ   البقرة / 284.‎

Milik Allah-lah segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. QS   2: 284.

{هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (29) } [البقرة: 29]

Dia-lah Allah swt yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kalian, kemudian Dia menuju ke langit , lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui terhadap segala sesuatu. QS AL-Baqarah 2: 29.

Bahwa secara fitrah manusia itu mencintai harta, kecintaan kepada harta tidak selamanya negatif, dan juga tidak selamanya positif. Cinta kepada harta bisa membawa kebaikan dan keburukan. Agar kecintaan kepada harta tidak menjadi sesuatu yang negatif, maka kecintaan kepada harta tidak boleh mengalahkan kecintaan kepada Dzat yang memiliki, membagi dan mengatur harta, yaitu Allah swt begitu pula dalam hal menafkahkan harta, manusia tidak boleh menyalahi aturan Dzat yang memberikan harta sebagai amanah. Allah swt berfirman;
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ (14)} [آل عمران: 14]

Dijadikan indah dalam pandangan manusia, cinta terhadap apa yang diinginkan, yang berupa wanita,anak, harta benda yg bertumpuk seperti emas, perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hdup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik. (QS Ali Imran 3: 14)

وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ (8)} [العاديات: 8]

Dan sessungguhnya kecintaannya (manusia) kepada harta benda benar-benar berlebihan; QS Al-aadiyat 100:8.

Dalam dua aya tersebut Allah memberitahukan bahwa manusia itu diciptakan dalam kondisi cinta kepada harta, hanya saja kecintaan manusia terhadap harta, banyak yang berlebihan, itulah cinta harta yang negatif. Kesalahannya adalah ketikan manusia cinta berlebihan, bukan ketika cinta secara wajar dan bukan merupakan kesalahan kalau seseorang memiliki harta yang banyak, jika tujuannya adalah positif sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut :

نَّهُ سَمِعَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا عَمْرُو نِعْمَ المال الصالح مع الرجل الصالح

Amru bin Ash berkata, saya mendengar rasulullah saw bersabda : Wahai Amru, sebaik-baik harta yang saleh adalah yang bersama (dimiliki) oleh orang yang saleh. HR Ibnu Hibban.

Oleh karena tujuan utama/ ghoyah penciptaan manusia dan jin adalah untuk beribadah kepada Allah, maka penciptaan Allah swt terhadap mahluk yang lain harus menjadi sarana yang memudahkan terwujudnya tujuan utama itu. Harta yang diberikan oleh Allah swt kepada manusia harus dijadikan sarana untuk meningkatkan kwalitas ibadah. Cara mencari dan menggunakan harta harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah itu sendiri. Karena Ibadah adalh segala sesuatu yang dicintai dan diridloi oleh Allah swt maka cara mencari dan menggunakan harta terikat kepada aturan Allah swt. Yang terpenting bukanlah banyak atau sedikitnya harta yang kita miliki, tetapi halal dan keberkahan rizki yang kita dapatkan, biar banyak yang penting halal.
{وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56) } [الذاريات: 56، 57]

Dan Aku tidak menciptkan Jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKU. (QS Adz-dzaariyat   51: 56).

اسم جامع لما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والأعمال الظاهرة.

Ibadah adalah nama untuk sesuatu yang menyeluruh, mencakup semua ucapan dan perbuatan yang nampak, yang dicintai dan diridloi oleh Allah swt . 

Agar upaya seseorang dalam mencari harta adalah benar-benar bernila ibadah maka dia harus memiliki niat yang benar dan cara yang benar dalam mencari dan mengelolaharta yang dimilikinya. Dengn cara pandang demikikan, maka seorang muslim tidak perlu miskin untuk menjadi seorang yang zuhud.

Allah telah menjamin rizki untuk setiap mahluknya, karena itu manusia wajib mengambil jatah rizki yang telah disiapkan oleh Allah swt. Dia akan membagikan rizki kepada setiap hambaNya. Tidak ada mahluk yang tidak memiliki jatah rizki, karena itu manusia wajib berusaha sendiri untuk mencari harta guna mencukupi kebutuhan ibadahnya dan untuk kebahagiaan dunia akhirat, manusia diwajibkan berusahan dan diharamkan meminta atau mengemis kepada manusia lain :
{وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ (6)} [هود: 6]

Dan tidak ada mahluk satupun yang berjalan di bumi kecuali dijamin oleh Allah rezekinya, Dia mengetahui tempat diamnya dan tempat menyimpannya. Semua itu tertulis dalam kitab yang jelas (lauhul mahfudz). QS Huudh 11:6.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا، فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرَ جَهَنَّمَ، فَلْيَسْتَقِلَّ مِنْهُ أَوْ لِيُكْثِرْ»

Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah sawbersabda : Siapa yang meminta harta orang lain untuk memperkaya dirinya, sesungguhnya dia hanyalah sedang meminta bara api neraka jahannam, sialhkan dia hendak memperbanyak atau meminimalisir bara api itu. HR Ibnu Majah.

Takhtimah
Ada pandangan yang sedikit berbeda mengenai harta. Sebagian besar orang memandang positif terhadap harta, namun ada sebagian kecil yang bepandangan bahwa harta itu adalah merupakan sesuatu yang negative. Dua pandangan yg berbeda ini barangkali muncul dari pemahaman yang berbeda terhadap ayat-ayat Al-Quran maupun hadits-hadits nabi tentang harta.

Diantaranya adalah firman Allah swt :
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ (28)} [الأنفال: 28]

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan, dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. QS Al-Anfaal (8):28.
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ (15) } [التغابن: 15، 16]

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar. QS AT-Taghabun (64):15.

Dari ayat ini sebagian orang memandang bahwa harta adalah merupakan fitnah yang sebaiknya dihindari, seorang muslim tidak boleh banyak berhubungan dengan urusan harta, tidak boleh terlalu sibuk mencari dan mengumpulkan harta karena dia merupakan fitnah yang berbahaya. Hidup miskin lebih baik daripada kaya harta.Wallahu a’lam, bagaimana kelompok ini memandang anak-anak mereka sendiri, apakah mereka menganggap anak-anak mereka sebagai fitnah ataukah karunia Allah swt??.

Saya sendiri memilih untuk mengikuti pendapat ulama’ yg berpendapat bahwa, harta dan anak bisa menjadi fitnah namun juga bisa menjadi anugerah, bisa positif bisa negative, bergantung kondisinya. Anak yang soleh adalah anugerah dari Allah swt yang kita idamkan, dia adalah permata hati yang menjadi dambaan setiap muslim, namun sebaliknya, anak yang tidak baik apalagi yang tidak beriman kepada Allah adalah merupakan fitnah besar.

Begitu pula dengan harta, harta yg halal dan barokah menurut saya adalah rizki atau anugrah yg harus disyukuri. Harta yang barokah adalah harta yang menjadikan kita bersyukur, makin dekat dan cinta kepada Allah swt. Harta yang barokah adalah harta yang sudah kita keluarkan zakatnya dan selebihnya kita pergunakan untuk hal-hal yang positif.

Adapun harta yang menjadikan seseorang lupa diri, makin banyak dosa dan maksiat, meninggalkan perintah agama dan makin jauh kepada Allah, makin sombong atau takabbur maka ini adalah fitnah yang harus kita hindari. Dengan bahasa sederhana kalau harta menjadikan kita seperti Abu bakar maka itu adalah positif, tetapi kalau harta menjadikan kita seperti Abu Jahal atau Qarun maka itu adalah negative.‎

Terkait dengan harta yg positif, rasulullah saw bersabda :
فقد قال صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فيما رواه الإمام أحمد في "مسنده " (17763) من حديث عمرو بن العاص رفعه "نعم المال الصالح للرجل الصالح" وإسناده صحيح.

Rasul bersabda : Sebaik baik harta yang soleh adalah yang dimiliki oleh orang yang soleh.

HR Ahmad dan Ibnu Hibban. (Musnah Ahmad 29/16 hadits 17763 dan sohih Ibnu Hibban 8/6) Dijelaskan bahwa hadits ini adalah sohih
Saya memahami dari hadits ini, bahwa sebaiknya kekayaan di muka bumi ini hanya dikuasai oleh orang-orang soleh, sehingga harta itu akan digunakan untuk hal-hal yang positif seperti membangun masjid, membangun panti anak yatim, memberikan bea pendidikan buat orang-orang yang menghafal Al-Quran, untuk beaya orang yang berjuang menegakkan agama Allah dsb, orang-orang baik seharusnya menjadi orang kaya sehingga mereka lebih berdaya guna.
Betapa banyak kita lihat orang-orang soleh yang tidak bisa berbuat banyak untuk masyarakat dan lingkungan serta agamanya. Untuk membangun masjid pun susah apalagi untuk membiayai pendidikan anak-anak dalam mengahafal Al-quran, serta membiayai pendidikan yang berkwalitas bagi mereka.
Dalam hadits yang sudah sangat popular, dijelaskan bahwa iri dan dengki merupakan sesuatu yang negative dan tidak boleh ada pada diri seorang muslin, akan tetapi ada dua hal yang kita boleh “iri” pada orang lain, yaitu seperti yang tersebut dalam hadits di bawah ini :‎

عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا، فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً، فَهُوَ يَقْضِي بِهَا، وَيُعَلِّمُهَا النَّاسَ "

Dari Ibnu Mas’ud ra berkata, saya mendengar rasulullah saw bersabda : Tidak ada hasad (iri) kecuali dalam 2 hal, seorang yang telah diberi harta kemudian dia habiskan dalam kebenaran, dan seorang yag diberikan hikmah (ilmu) dan dia menunaikannya serta mengajarkannya kepada manusia.     HR Ahmad. (Musnad Ahmad 6/162).‎

Hadits ini menjelaskan bahwa harta bisa menjadi hal yang positif, jika digunakan untuk hal yang positif, seperti menegakkan kebenaran dan melakukan kebaikan. Kita tahu bahwa untuk menegakkan kebenaran seperti mengadakan ceramah di masjid pun butuh beaya, apalagi untuk mengumpulkan ribuan orang agar mendengarkan kebenaran lewat media cetak dan elektronik seperti TV. Jika orang-orang saleh tidak menguasai harta dan kekayaan maka seperti yang kita lihat saat ini, acara TV didominasi oleh acara-acara kebathilan. Untuk memerangi kejahatan seperti miras, narkoba dan korupsi juga diperlukan dana yang tidak sedikit.‎

Intinya, harta akan menjadi fitnah manakala digunakan untuk hal yang negative karena dikuasai oleh orang-orang jahat, dan harta akan menjadi sumber kebaikan jika dimiliki oleh orang-orang yang baik untuk kegiatan yang positif.‎

Selain hadits ini, ada juga hadits lain yang menjelaskan bahwa harta yang soleh bagi orang soleh akan menjad 1 dari 3 sumber pensiunan pahala atau “ the real passive income”, karena ketika seseorang sudah wafat dan berada dalam kuburnya, dia masih bisa mendapatkan tambahan pahala . Sabda nabi :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ، انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ صَدَقَةٍ تَجْرِي لَهُ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ "

[تعليق المحقق] إسناده صحيح

Dari Abu Hurairah ra berkata ,Nabi saw bersabda : Apabila manusia telah meninggal dunia maka terputuslah (pahala) amalnya kecuali dari 3 hal, yaitu: Ilmu yang dimanfaatkan, sodakoh yang mengalir untuknya atau anak soleh yang mendoakan untuk kebaikannya. HR Ad-Darimi dan tirmidzi.   (Sunan Darimi 1/462 dan sunan tirmidzi 3/53.. Sanadnya sohih.)
Maksudnya, bahwa seseorang yang telah meninggal dunia, dia tidak bisa lagi melakukan amal soleh, pahalanya sudah tidak bisa bertambah lagi karena dia sudah tidak bisa beramal atau berbuat baik, namun ada 3 amal atau perbuatan yang pahalanya masih mengalir terus, pelakunya masih mendapatkan tambahan pahala walaupun sudah berada di dalam kuburnya yaitu: (1) ilmu yang bermanfaat, misalnya para ulama’ yang mengumpulkan hadits nabi menjadi kitab-kitab yang sangat berguna seperti Imam bukhori, imam Muslim, Imam Nawawi dll, (2) wakaf atau sedekah jariyah seperti membangun masjid, pesantren, sekolah islam, lembaga pendidikan islam lain seperti TPA, pesantren dan majlis ta’lim, tempat wudlu untuk umum, asrama santri, panti asuhan dll, manakala gedung yang kita bangun masih berdiri dan memberikan manfaat kepada masyarakat maka pahala kita akan terus bertambah. Dan (3) adalah anak soleh yang mendoakan kepada orang tuanya.

Penjelasan Tentang Larangan Mengemis

 

Al-Qur'an dan As-sunnah adalah pedoman bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan. Al-qur’an didalamnya membahas tentang berbagai hal, tidak hanya membahas mengenai manusia saja tapi juga membahas tentang hewan, tumbuhan serta makhluk ciptaan Alloh lainnya. Al-qur’an memberi tahu apa yang belum dialami ataupun yang belum diketahui oleh akal pikiran manusia. 

Didalamnya mengatur seluruh hal yang ada pada manusia mulai dari hal yang kecil sampai hal yang besar tak ada yang terlupakan. Manusia diperintahkan untuk mentaati semua perintah Alloh dan untuk menjauhi segala larangan-Nya. Dalam hal larangan, manusia harus mampu menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela, perkataan buruk maupun perbuatan tercela. Nabi Muhammad SAW menjadi tauladan bagi kita semua agar menjadi manusia yang lebih baik. Perkatan, sifat serta perbuatan Nabi Muhammad SAW harus diterapkan dalam diri manusia.
            
Banyak orang dari kita yang bermalas-malasan tak ingin susah. Dengan demikian mereka mengambil jalan yang mudah bagi mereka tanpa memeperdulikan itu hal yang baik atau hal yang buruk. Sebenarnya mereka mampu jasmani dan rohaninya untuk melakukan sesuatu, namun terkadang godaan datang dengan rayuan hebat menjadikan manusia merasakan malas. Disekitar kita di lingkungan masyarakat banyak orang lebih memilih meminta-minta kepada orang lain daripada memperoleh hasil dari keringat sendiri. Mereka beranggapan dengan begitu mereka akan lebih mudah untuk memperoleh harta. Itu sebab karena mereka tidak memahami ajaran islam serta tidak memahami isi dari al-Qur’an. Sebagai seorang hamba manusia wajib memahami serta mentaati perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya agar menjadi manusia yang termasuk golongan yang mulia disisi Alloh SWt.
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ ؛ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، وَهُوَ يَذْكُرُ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ عَنِ الْمَسْأَلَةِ : اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى. وَالْيَدُ الْعُلْيَا اَلْمُنْفِقَةُ. وَالسُّفْلَى اَلسَّائِلَةُ         

“Hadits riwayat Abdullah bin Umar Radhiyallahu’anhu: Bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam ketika berada di atas mimbar, beliau menuturkan tentang sedekah dan menjaga diri dari meminta. Beliau bersabda: Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah. Tangan yang di atas adalah yang memberi dan yang di bawah adalah yang meminta”.

Dari hadis diatas dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang memberi lebih baik dari pada orang yang meminta-minta, karena perbuatan meminta-minta merupakan perbuatan yang mengakibatkan seseorang menjadi tercela dan hina. Sebenarnya meminta-minta itu boleh dan halal, tetapi boleh disini diartikan bila seseorang dalam keadaan tidak mempunyai apa-apa pada saat itu. Dengan kata lain yaitu dalam keadaan mendesak atau sangat terpaksa sekali. Dan perbuatan meminta-minta itu dikatakan hina jika orang yang melakukan pekerjaan itu dalam keadaan cukup, sehingga akan merendahkan dirinya baik di mata manusia maupun pada pandangan Allah swt di akhirat nanti.

Orang yang memberi lebih utama dibandingkan orang yang meminta-minta saja. Jadi bagi mereka yang memperoleh banyak harta harus diamalkan bagi orang yang membutuhkan,sebab islam telah memberi tanggung jawab kepada orang muslim untuk memelihara orang-orang yang karena alasan tertentu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu melalui zakat, maupun sedekah. Dan islam tidak menganjurkan hidup dari belas kasihan orang lain atau dengan kata lain islam tidak menyukai  pengangguran dan mendorong manusia untuk berusaha.  Membuka jalan atas dirinya untuk meminta-minta dalam arti kata meminta dengan ketiadaan mudharat maka Allah akan membuka pintu kemiskinan atas dirinya.   ‎

Kehidupan Individualis Dikhwatirkan Melanda Umat Islam

Manusia adalah makhluk sosial yang tak lepas dari bantuan orang lain. Oleh karena itu islam mengajarkan untuk selalu menolong orang lain yang mana manusia saling bertukar pikiran, berhubungan, dan saling menolong.

Dalam pandangan islam seseorang tidaklah sempurna imannya sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Yang dimaksud dengan saudara bukanlah sanak familinya saja, melainkan kaum muslimin.

Dalam pandangan islam juga mengajarkan bahwa muslimin bagaikan satu tubuh. Apabila dikalangan umat islam banyak yang bersifat individualisme maka tak jarang terjadi pencurian, pembunuhan, pemerkosaan dan lain-lain.

Dalam hadits Rasulullah juga menjelaskan tentang sifat buruk individualisme

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَ نَفَّسَ اللهُ عَنْ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَاللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَاكَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيْهِ. (أخرجه مسلم)

“Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: barang siapa melepaskan dari seorang muslim satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan di dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan dihari kiamat. Dan barang siapa memberi kelonggaran kepada orang yang susah, niscaya Allah akan memberi kelonggaran baginya di dunia dan akhirat; dan barang siapa menutupi aib seorang muslim,  niscaya Allah menutupi aib dia didunia dan akhirat. Dan Allah selamanya menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya menolong saudaranya. (H.R.Muslim).

Hadits di atas mengajarkan kepada umat islam untuk selalu memberi partolongan kepada orang yang mesti di tolong, dan juga menutupi aib orang lain, dan sesuai dengan hadits di atas terdapat empat poin penting yaitu:

Membantu kesusahan sesama muslim, dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan tentang manfaat menolong sesama muslim.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ.

“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.’’(QS. Muhammad : 7)

Dalam ayat di atas menerangkan bahwa apabila menolong agama Allah termasuk muslimin maka Allah juga akan menolongnya.‎
Memudahkan kesulitan orang lain, adakalanya kesulitan tersebut hanya bisa diatasi oleh seseorang yang bersangkutan, terhadap masalah seperti ini seorang muslim ikut memberi solusi meskipun ia sendiri tidak dapat mengatasinya sendiri, dengan cara seperti ini seseorang yang kesulitan pasti akan melonggarkan kesulitannya.‎

Menutupi aib orang lain dan mencegah orang berbuat dosa, sebagai orang islam, kita wajib menjaga aib orang lain yang mana orang tersebut pasti akan malu apabila aibnya tersebar kepada orang lain. Dalam Hadits menjelaskan yang artinya “barang siapa yang menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya”.

Menutupi aib orang lain bukan berarti menutupi kesalahan orang lain, kebanyakan orang sekarang sudah menyamakan antara aib dan kesalahan.‎

Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya, seseorang yang menolong orang lain denagn materi hendaknya ia tidak boleh merasa khawatir akan jatuh miskin, sebaliknya Allah akan menggantikan jauh kali lipat apabila dia ikhlas karena Allah maha kaya, pengasih lagi maha penyayang.

Pada hakikatnya Allah menjadikan adanya perbedaan seseorang dengan yang lainnya yaitu untuk saling melengkapi, saling membantu, saling tolong menolong. Sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an:

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ.

Artinya : “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’’

Pengemis

Profesi mengemis bagi sebagian orang, lebih diminati daripada profesi-profesi lainnya, karena cukup hanya dengan mengulurkan tangan sambil keliling masyarakat, dia bisa mendapatkan sejumlah uang yang cukup banyak tanpa harus bersusah payah.

Melihata fenomena ‘ngemis’ pada umumnya, kebanyakan masyarakat memandang bahwa pengemis itu identik dengan orang yang berpenampilan tidak rapi, rambutnya tidak terawat, wajahnya kusam, pakaiannya serba kumal atau robek-robek, yang dengannya dapat dijadikan sarana untuk mengungkapkan ‘kesengsaraan hidupnya’, serta menarik rasa belas kasihan masyarakat kepada dirinya.

Sebut saja, ‘model’ pengemis di atas adalah gaya pengemis konvensional. Di zaman beredarnya iPhone saat ini, pengemis tidak lagi berpenampilan kuno seperti itu. Pengemis telah berubah model dan penampilan, dengan target penghasilan yang lebih besar. Mereka berpakaian rapi, memakai jas berdasi dan sepatu, bahkan kendaraannya pun lumayan bagus. Ada yang menjalankannya sendirian dan ada pula yang berupa team pencari dana. Yang lebih mengherankan, sebagian orang bersemangat mencari sumbangan atau bantuan dana demi memperkaya diri dan keluarganya dengan cara membuat proposal-proposal untuk kegiatan tertentu, baik nyata atau fiktif. Setelah memperoleh dana, mereka tidak menyalurkan sebagaimana mestinya, tetapi justru digunakan untuk kepentingannya sendiri. Apapun itu, mereka semua statusnya sama, pengemis.

Minta-minta atau mengemis adalah meminta bantuan, derma, sumbangan, baik kepada perorangan atau lembaga. Mengemis itu identik dengan penampilan pakaian serba kumal, yang dijadikan sarana untuk mengungkapkan kebutuhan apa adanya. Hal-hal yang mendorong seseorang untuk mengemis –salah satu faktor penyebabnya- dikarenakan mudah dan cepatnya hasil yang didapatkan. Cukup dengan mengulurkan tangan kepada anggota masyarakat agar memberikan bantuan atau sumbangan.

FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG SESEORANG UNTUK MENGEMIS DAN MINTA-MINTA
Ada banyak faktor yang mendorong seseorang mencari bantuan atau sumbangan. Faktor-faktor tersebut ada yang bersifat permanen, dan ada pula yang bersifat mendadak atau tak terduga. Contohnya adalah sebagai berikut:

1. Faktor ketidakberdayaan, kefakiran, dan kemiskinan yang dialami oleh orang-orang yang mengalami kesulitan untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Karena mereka memang tidak memiki gaji tetap, santunan-santunan rutin atau sumber-sumber kehidupan yang lain. Sementara mereka sendiri tidak memiliki keterampilan atau keahlian khusus yang dapat mereka manfaatkan untuk menghasilkan uang. Sama seperti mereka ialah anak-anak yatim, orang-orang yang menyandang cacat, orang-orang yang menderita sakit menahun, janda-janda miskin, orang-orang yang sudah lanjut usia sehingga tidak sanggup bekerja, dan selainnya.

2. Faktor kesulitan ekonomi yang tengah dihadapi oleh orang-orang yang mengalami kerugian harta cukup besar. Contohnya seperti para pengusaha yang tertimpa pailit (bangkrut) atau para pedagang yang jatuh bangkrut atau para petani yang gagal panen secara total. Mereka ini juga orang-orang yang memerlukan bantuan karena sedang mengalami kesulitan ekonomi secara mendadak sehingga tidak bisa menghidupi keluarganya. Apalagi jika mereka juga dililit hutang yang besar sehingga terkadang sampai diadukan ke pengadilan.

3. Faktor musibah yang menimpa suatu keluarga atau masyarakat seperti kebakaran, banjir, gempa, penyakit menular, dan lainnya sehingga mereka terpaksa harus minta-minta.

4. Faktor-faktor yang datang belakangan tanpa disangka-sangka sebelumnya. Contohnya seperti orang-orang yang secara mendadak harus menanggung hutang kepada berbagai pihak tanpa sanggup membayarnya, menanggung anak yatim, menanggung kebutuhan panti-panti jompo, dan yang semisalnya. Mereka ini juga adalah orang-orang yang membutuhkan bantuan, dan biasanya tidak punya simpanan harta untuk membayar tanggungannya tersebut tanpa uluran tangan dari orang lain yang kaya, atau tanpa berusaha mencarinya sendiri walaupun dengan cara mengemis.

JENIS-JENIS PENGEMIS‎

Ketika kita membahas tentang fenomena pengemis dari kacamata kearifan, hukum, dan keadilan, maka kita harus membagi kaum pengemis menjadi dua kelompok:

1. Kelompok pengemis yang benar-benar membutuhkan bantuan
Secara riil (kenyataan hidup) yang ada para pengemis ini memang benar-benar dalam keadaan menderita karena harus menghadapi kesulitan mencari makan sehari-hari.

Sebagian besar mereka ialah justru orang-orang yang masih memiliki harga diri dan ingin menjaga kehormatannya. Mereka tidak mau meminta kepada orang lain dengan cara mendesak sambil mengiba-iba. Atau mereka merasa malu menyandang predikat pengemis yang dianggap telah merusak nama baik agama dan mengganggu nilai-nilai etika serta menyalahi tradisi masyarakat di sekitarnya. Allah Ta’ala berfirman:

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

"(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui" [al-Baqarah/2 : 273].

2. Kelompok pengemis gadungan yang pintar memainkan sandiwara dan tipu muslihat
Selain mengetahui rahasia-rahasia dan trik-trik mengemis, mereka juga memiliki kepiawaian serta pengalaman yang dapat menyesatkan (mengaburkan) anggapan masyarakat, dan memilih celah-celah yang strategis. Selain itu mereka juga memiliki berbagai pola mengemis yang dinamis, seperti bagaimana cara-cara menarik simpati dan belas kasihan orang lain yang menjadi sasaran. Misalnya di antara mereka ada yang mengamen, bawa anak kecil, pura-pura luka, bawa map sumbangan yang tidak jelas, mengeluh keluarganya sakit padahal tidak, ada yang mengemis dengan mengamen atau bermain musik yang jelas hukumnya haram, ada juga yang mengemis dengan memakai pakaian rapi, pakai jas dan lainnya, dan puluhan cara lainnya untuk menipu dan membohongi manusia.

PANDANGAN SYARIAT TERHADAP MINTA-MINTA (MENGEMIS)
Islam tidak mensyari’atkan meminta-minta dengan berbohong dan menipu. Alasannya bukan hanya karena melanggar dosa, tetapi juga karena perbuatan tersebut dianggap mencemari perbuatan baik dan merampas hak orang-orang miskin yang memang membutuhkan bantuan. Bahkan hal itu merusak citra baik orang-orang miskin yang tidak mau minta-minta dan orang-orang yang mencintai kebajikan. Karena mereka dimasukkan dalam golongan orang-orang yang meminta bantuan. Padahal sebenarnya mereka tidak berhak menerimanya, terlebih kalau sampai kedok mereka terungkap.

Banyak dalil yang menjelaskan haramnya meminta-minta dengan menipu dan tanpa adanya kebutuhan yang mendesak. Diantara hadits-hadits tersebut ialah sebagai berikut.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah ‎shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya“. (Shohih. HR. Bukhari no. 1474, dan Muslim no. 1040 ).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallah ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

“Barangsiapa meminta-minta kepada manusia harta mereka untuk memperbanyak hartanya, maka sesungguhnya dia hanyalah  sedang  meminta  bara  api. Maka  silahkan  dia  kurangi ataukah dia perbanyak ”. (Shohih. HR. Muslim II/720 no.1041, Ibnu Majah I/589 no. 1838, dan Ahmad II/231 no.7163).

Diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah s‎hallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ

“Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api“. (HR. Ahmad IV/165 no.17543, Ibnu Khuzaimah IV/100 no.2446, dan Thabrani IV/15 no.3506).

و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُسْلِمٍ أَخِي الزُّهْرِيِّ عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَزَالُ الْمَسْأَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ و حَدَّثَنِي عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنِي إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ أَخِي الزُّهْرِيِّ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ مُزْعَةُ
Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abu Syaibah] telah menceritakan kepada kami [Abdul A'la bin Abdul A'la] dari [Ma'mar] dari [Abdullah bin Muslim] saudaranya Zuhri, dari [Hamzah bin Abdullah] dari [bapaknya] bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah salah seorang dari kalian yg terus meminta-minta, kecuali kelak di hari kiamat ia akan menemui Allah sementara di wajahnya tak ada sepotong daging pun. Dan telah menceritakan kepadaku Amru An Naqid telah menceritakan kepadaku Isma'il bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari saudaranya Az Zuhri dgn isnad ini, namun ia tak menyebutkan muz'ah (sepotong). [HR. Muslim No.1724].
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَوَاصِلُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ‎

Telah menceritakan kepada kami [Abu Kuraib] dan [Washil bin Abdul A'la] keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami [Ibnu Fudlail] dari [Umarah bin Al Qa'qa'] dari [Abu Zur'ah] dari [Abu Hurairah] ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yg meminta-minta kepada orang banyak untuk menumpuk harta kekayaan, berarti dia hanya meminta bara api. Sama saja halnya, apakah yg diterimanya sedikit atau banyak. [HR. Muslim No.1726].‎

Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

َالْـمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ، إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِيْ أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ.

"Minta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat perlu" ‎

Bolehnya kita meminta kepada penguasa, jika kita dalam kefakiran. Penguasa adalah orang yang memegang baitul maal harta kaum Muslimin. Seseorang yang mengalami kesulitan, boleh meminta kepada penguasa karena penguasalah yang bertanggung jawab atas semuanya.

Namun, tidak boleh sering meminta kepada penguasa. Hal ini berdasarkan hadits Hakiim bin Hizaam Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: Aku meminta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas beliau memberiku. Kemudian aku minta lagi, dan Rasulullah memberiku. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَا حَكِيْمُ، إِنَّ هَذَا الْـمَـالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْه ِ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيْهِ ، وَكَانَ كَالَّذِيْ يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ. الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى.

"Wahai Hakiim! Sesungguhnya harta itu indah dan manis. Barang siapa mengambilnya dengan berlapang hati, maka akan diberikan berkah padanya. Barang siapa mengambilnya dengan kerakusan (mengharap-harap harta), maka Allah tidak memberikan berkah kepadanya, dan perumpamaannya (orang yang meminta dengan mengharap-harap) bagaikan orang yang makan, tetapi ia tidak kenyang (karena tidak ada berkah padanya). Tangan yang di atas (yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang meminta)".

Kemudian Hakîm berkata: "Wahai Rasulullah! Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak menerima dan mengambil sesuatu pun sesudahmu hingga aku meninggal dunia”.

Ketika Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu menjadi khalifah, ia memanggil Hakîm Radhiyallahu 'anhu untuk memberikan suatu bagian yang berhak ia terima. Namun, Hakîm tidak mau menerimanya, sebab ia telah berjanji kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika ‘Umar menjadi khalifah, ia memanggil Hakîm untuk memberikan sesuatu namun ia juga tidak mau menerimanya. Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata di hadapan para sahabat: "Wahai kaum Muslimin! Aku saksikan kepada kalian tentang Hakîm bin Hizâm, aku menawarkan kepadanya haknya yang telah Allah berikan kepadanya melalui harta rampasan ini (fa’i), namun ia tidak mau menerimanya. Dan Hakîm Radhiyallahu 'anhu tidak mau menerima suatu apa pun dari seorang pun setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai ia meninggal dunia”.

Hadits ini menunjukkan tentang bolehnya meminta kepada penguasa. Akan tetapi tidak boleh sering, seperti kejadian di atas, yaitu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menasihati Hakîm bin Hizâm. Hadits ini juga menerangkan tentang ta’affuf (memelihara diri dari meminta kepada manusia) itu lebih baik. Sebab, Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu 'anhu pada waktu itu tidak mau meminta dan tidak mau menerima.

Jangan Manjakan Pengemis
Kami hanya nasehatkan jangan manjakan pengemis apalagi pengemis yang malas bekerja seperti yang berada di pinggiran jalan. Kebanyakan mereka malah tidak jelas agamanya, shalat juga tidak, begitu pula hanya sedikit yang puasa. Carilah orang yang sholeh yang lebih berhak untuk diberi, yaitu orang yang miskin yang sudah berusaha bekerja namun tidak mendapatkan penghasilan yang mencukupi kebutuhan keluarganya. Dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِى تَرُدُّهُ الأُكْلَةُ وَالأُكْلَتَانِ ، وَلَكِنِ الْمِسْكِينُ الَّذِى لَيْسَ لَهُ غِنًى وَيَسْتَحْيِى أَوْ لاَ يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا
“Namanya miskin bukanlah orang yang tidak menolak satu atau dua suap makanan. Akan tetapi miskin adalah orang yang tidak punya kecukupan, lantas ia pun malu atau tidak meminta dengan cara mendesak.” (HR. Bukhari no. 1476)

ORANG-ORANG YANG DIBOLEHKAN MEMINTA-MINTA‎

Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ : رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ : لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْش ٍ، –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.

“Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: 
(1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, 
(2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan 
(3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. 
Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”.

KEUTAMAAN TIDAK MEMINTA-MINTA DAN ANJURAN UNTUK BERUSAHA

Firman Allah dalam  QS.Al-Baqarah : 168

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ.


“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;” (QS. Al-Baqarah : 168)
            
 Bekerja merupakan salah satu perintah Allah swt. yang harus dilakukan oleh manusia dalam kehidupannya. Hal itu terihat dari rincinya aturan yang diberikan Allah dan Rosul tentang tata cara bekerja atau berusaha yang sesuai dengan tuntunan Islam.
Dalam QS. Al-Jumu’ah ayat 10:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.

“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

Dari ayat Al-Qur’an diatas dapat kita ketahui bahwa Allah memerintahkan kepada manusia untuk berusaha mencari rezki Allah kemana dan dimana saja. Allah telah menciptakan seluruh isi alam ini untuk dapat dimanfaatkan oleh manusia. Semua itu harus dicari dan diupayakan untuk mendapatkannya.

Allah dalam Al-Qur’an telah memberikan jaminan bahwa setiap hambaNya ditanggung rezkinya. Di sisi lain, ada perintah  untuk bekerja untuk mendapatkan rezki yang telah dijanjikan itu. Untuk mengetahui lebih jauh tentang  pekerjaan yang dapat dilakukan dan bahkan mendapatkan peniaian khusus dari Rosulullah saw. dapat dilihat hadis berikut:

عن ر فعة بن رافع ان النبي صلى اللّٰه عليه و سلم وسٔل أي اْلكَسْبِ اَطْيَبُ قَاَل عَمَل الرَّ جُلُ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ.

 “Rifa’ah bin Rafi’ mmenyatakan bahwa Rosulullah saw. pernah ditanya tentang pekerjaan yang paling baik. Rosul menjawab pekerjaan yang paling baik adalah pkerjaan yang dilakukan dengan tenaga atau dengan tangan sendiri (memproduksi sesuatau) dan jual beli yang mabrur (bersih dari tipu daya).”(HR. Al-Bazzar )‎

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haditsnya menganjurkan kita untuk berusaha dan mencari nafkah apa saja bentuknya, selama itu halal dan baik, tidak ada syubhat, tidak ada keharaman, dan tidak dengan meminta-minta. Kita juga disunnahkan untuk ta’affuf (memelihara diri dari minta-minta), sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya.

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

"(Apa yang kamu infakkan adalah) untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari minta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak minta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui" [al-Baqarah/2 ayat 273].

Diriwayatkan dari az-Zubair bin al-‘Awwâm Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ.

"Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka memberinya atau tidak memberinya".
Islam sendiri memerintahkan pada kita untuk bekerja keras dan meminta-minta alias pengemis adalah suatu pekerjaan yang hina.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
“Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya dibanding dengan seseorang yang meminta-minta (mengemis) lantas ada yang memberi atau enggan memberi sesuatu padanya.” (HR. Bukhari no. 2074)
Bekerja keras dengan menggunakan tangan, itu adalah salah satu pekerjaan terbaik bahkan inilah cara kerja para nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam. Dari Al Miqdam, dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda;
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ ، وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ دَاوُدَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidak ada seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari makanan hasil kerja keras tangannya sendiri. Dan Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya.” (HR. Bukhari no. 2072)
Seseorang yang menjual kayu bakar yang ia ambil dari hutan adalah lebih baik daripada ia harus meminta-minta kepada orang lain. Nabi n menjelaskan jalan yang terbaik karena meminta kepada orang lain hukumnya haram dalam Islam, baik mereka (orang yang dimintai sumbangan) itu memberikan atau pun tidak. Tetapi yang terjadi pada sebagian kaum muslimin dan thâlibul-‘ilmi (para penuntut ilmu) adalah meminta kepada orang lain, dan menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa dan wajar. Padahal, hal ini hukumnya haram dalam Islam. Jadi, yang terbaik ialah kita mencari nafkah, kemudian setelah itu kita makan dari nafkah yang kita dapat, baik sedikit maupun banyak, dan sesuatu yang kita dapat itu lebih mulia daripada minta-minta kepada orang lain.

Seorang anak yang minta kepada kedua orang tuanya, atau orang tua kepada anaknya, atau isteri kepada suaminya, ini tidak termasuk dalam hadits ini. Karena, orang tua wajib memberikan nafkah kepada anaknya. Jadi, kalau anak meminta kepada orang tuanya, tidak termasuk dalam hadits ini, begitu pun sebaliknya. Karena pada hakikatnya harta anak itu milik orang tuanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَنْتَ وَمَالُكَ ِلِأَبِيْكَ.

"Engkau dan hartamu adalah milik bapakmu".

Sebagian dari para sahabat adalah orang-orang miskin, tetapi mereka tidak meminta-minta kepada orang lain walaupun mereka sangat membutuhkan. Tetapi, orang-orang yang tidak mengetahui menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya disebabkan mereka menjaga kehormatan diri mereka dengan tidak meminta-minta kepada orang lain.

Orang yang paling berbahagia dan yang paling beruntung dalam hidup ini adalah orang yang merasa cukup dengan apa yang Allah berikan. Contohnya, orang yang hanya mendapat rizki Rp 5000,- (Lima ribu rupiah) sehari, kemudian ia merasa cukup dengannya, maka ia adalah orang yang paling beruntung dan bersyukur kepada Allah Ta’ala dengan apa yang Allah berikan kepadanya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ.

"Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rizki yang cukup, dan dia merasa puas dengan apa yang Allah berikan kepadanya".

Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ فَاقَتُهُ ، وَمَنْ أَنْزَلَهَا بِاللهِ أَوْشَكَ اللهُ لَهُ بِالْغِنَى: إِمَّا بِمَوْتٍ عَاجِلٍ أَوْ غِنًى عَاجِلٍ.

"Barang siapa yang ditimpa suatu kesulitan lalu ia mengadukannya kepada manusia, maka tidak akan tertutup kefakirannya. Dan barangsiapa yang mengadukan kesulitannya itu kepada Allah, maka Allah akan memberikannya salah satu diantara dua kecukupan: kematian yang cepat atau kecukupan yang cepat".

Dalam hadits ini dijelaskan bahwa seorang yang mendapat kesulitan dan kesusahan, namun ia selalu berharap kepada orang lain, maka kefakirannya tidak akan tertutupi. Kita dapat saksikan betapa banyaknya kaum Muslimin yang tertimpa musibah dan kesulitan mereka adukan semuanya kepada orang lain, baik dengan mengatakan bahwa ia sedang sakit atau sedang bangkrut usahanya atau selainnya. Tetapi, apabila mereka sedang mendapatkan senang dan mendapat keuntungan, mereka tidak mengadukannya kepada orang lain. Seseorang yang mengadukan kefakiran dan kesulitannya agar orang lain merasa kasihan kepadanya, maka hal itu tetap tidak akan menutup kefakirannya. Namun jika ia merasa cukup dengan karunia yang Allah Ta’ala berikan, dan ia mengadukan segala kesulitannya kepada Allah, maka Dia akan menutupi kefakirannya itu dan akan menambah karunia yang telah diberikan-Nya kepadanya. Apabila Allah Ta’ala mentakdirkan kita mengalami kesulitan, lalu kita adukan kesulitan yang kita alami kepada Allah, maka Dia akan memberikan kepada kita jalan keluar yang baik dan rizki, baik cepat maupun lambat.

Kita harus mengimani, memahami, dan mengamalkan hadits ini dalam kehidupan kita. Kita harus yakin bahwa hanya Allah-lah yang mendengar kesulitan kita. Adapun manusia, mereka tidak suka mendengar kesulitan orang lain. Islam menganjurkan kita untuk berusaha, berdasarkan ayat-ayat dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan usaha ini tidak mengurangi waktu kita, baik dalam menuntut ilmu maupun mengajar dan mendakwahkan ilmu.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...