Rabu, 13 Oktober 2021

Penjelasan Tentang Hukum Bangkai

 

Masalah fikih memang kontroversi. Tidak hanya antar mazhab, bahkan dalam satu mazhab pun terjadi perbedaan pendapat. Meski demikian, tidak menjadi masalah besar karena perbedaan pendapat dalam fikih (dalam satu mazhab) bisa dimaknai sebagai khazanah. Karena itu, wajar jika kemudian ada ulama yang mengatakan boleh kemudian ulama lainnya, yang satu mazhab, menyatakan tidak.

Dalam fikih Ahlussunnah, di antara empat mazhab besar: Maliki, Hanbali, Hanafi, dan Syafii terdapat perbedaan. Meski keempatnya merujuk pada sumber yang sama. Perbedaan di antara mereka lebih dominan pada metode dalam memaknai teks agama kemudian pemahaman kondisi sosio-historis (teks agama) serta penyimpulan.

Tentu dalam hal ini setiap orang akan memiliki pendapat dan komenter tersendiri berkaitan dengan masalah sesuatu. Jika orang biasa dengan ilmu yang seadanya bisa berbeda pendapat, tentunya para ulama yang dinilai memiliki ilmu dan pengetahuan pun sangat terjadi perbedaan pendapat. Apalagi ini didukung dengan argumentasi, dalil, dan metode sehingga akan sangat beragam pendapat yang muncul dari setiap ulama.

Dalil dari kaedah di atas adalah firman Allah Ta’ala,

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya.” (QS. Al An’am: 145)

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَىْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ ، فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ

“Kaum muslimin yang paling besar dosanya adalah yang bertanya tentang sesuatu, lantas sesuatu tersebut diharamkan karena pertanyaannya, padahal sebelumnya tidak diharamkan.” (HR. Bukhari no. 7289 dan Muslim no. 2358)

Dalil di atas menunjukkan bahwa asal segala sesuatu itu halal sampai ada dalil yang mengharamkannya, Setelah memahami kaedah ini, kita akan masuk ke pembahasan inti.

‎PENGERTIAN BANGKAI.

Bangkai dalam bahasa Arab disebut Al Mayyitah. Pengertiannya, yaitu yang mati tanpa disembelih Sedangkan menurut pengertian para ulama syari'at, Al Mayyitah (bangkai) adalah hewan yang mati tanpa sembelihan syar'i, dengan cara mati sendiri tanpa sebab campur tangan manusia. Dan terkadang dengan sebab perbuatan manusia, jika dilakukan tidak sesuai dengan cara penyembelihan yang diperbolehkan.

Dengan demikian definisi bangkai mencakup:
1. Yang mati tanpa disembelih, seperti kambing yang mati sendiri.
2. Yang disembelih dengan sembelihan tidak syar'i, seperti kambing yang disembelih orang musyrik
3. Yang tidak menjadi halal dengan disembelih, seperti babi disembelih seorang muslim sesuai syarat penyembelihan syar'i.

Para ulama berpendapat, anggota tubuh (daging) yang dipotong dari hewan yang masih hidup, masuk dalam kategori bangkai, dengan dasar sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam

مَا قُطِعَ مِنْ الْبَهِيمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ فَمَا قُطِعَ مِنْهَا فَهُوَ مَيْتَةٌ

“Semua yang dipotong dari hewan dalam keadaan masih hidup adalah bangkai" Dengan demikian hukumnya sama dengan hukum bangkai.

NAJISNYA BANGKAI.

Menilik keadaan hewan bangkai, maka dibagi menjadi tiga bagian:

1. Yang ada diluar kulit, seperti bulu dan rambutnya serta sejenisnya.
Hukumnya suci tidak najis, didasarkan pada firman Allah :

وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَىٰ حِينٍ

“Dan (dijadikannya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu)” [Al Nahl/16 : 80]

Ayat ini bersifat umum, yakni meliputi hewan yang disembelih dan tidak disembelih. Allah juga menyampaikan ayat ini untuk menjelaskan karuniaNya terhadap hambaNya yang menunjukkan kehalalannya.

2. Bagian bawah kulitnya seperti daging dan lemak. 
Hukumnya najis secara ijma' dan tidak dapat disucikan dengan disamak. Berdasarkan firman Allah Ta'ala.

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ 

“Katakanlah:"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang disembelih atas nama selain Allah".[Al An'am/6 :145]

Dikecualikan dalam hal ini, yaitu.

[a]. Bangkai ikan dan belalang, didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Dihalalkan bagu kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati (lever) dan limpa. [HR Ibnu Majah no. 3314]

[b]. Bangkai hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti lalat, lebah, semut dan sejenisnya, didasarkan kepada sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً

“Apabila seekor lalat hinggap di minuman salah seorang kalian, maka hendaknya ia menenggelamkannya kemudian membuangnya, Karena, pada salah satu dari kedua sayapnya terdapat penyakit dan pada (sayap) yang lainnya (terdapat) obatnya (penawar)” [HR Al Bukhori no. 3320]

[c]. Tulang, tanduk dan kuku bangkai. Ini semuanya suci sebagaimana dijelaskan Imam Al Bukhori dari Al Zuhri tentang tulang bangkai, seperti gajah dan lainnya, dengan sanad mu'allaq dalam shohih Al Bukhori (1/342). 

Imam Al Zuhri menyatakan : “Aku telah menemui sejumlah orang dari ulama salaf menggunakannya sebagai sisir dan berminyak dengannya, Mereka memperbolehkannya” ‎ 

[d]. Bangkai manusia dengan dasar sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَنْجُسُ

“Maha suci Allah Sesungguhnya seorang muslim itu tidak najis” [HR Al-Bukhori]

“(Pengertian) ini umum mencakup yang hidup dan yang mati.”. Imam Al-Bukhori berkata, Ibnu Abas berkata : ”Seorang muslim itu tidak najis, baik masih hidup atau setelah mati” Imam Al-Bukhari juga membuat bab dalam kitab Shahih Bukhari, yaitu bab yang menerangkan bahwa muslim itu tidak najis.

Adapun tubuh orang kafir terjadi perselisihan tentang kesuciannya. Yang rojih, yaitu pendapat mayoritas ulama yang menyatakan kesuciannya, berdasarkan dibolehkannya menikahi wanita Ahlu Kitab ; padahal jelas akan bersentuhan dan tida dapat dielakkan, khususnya ketika berhubungan badan. Adapun firman Allah: 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis” [At-Taubah/9 : 28]. Maka, najis di sini karena keyakinan dan jorok mereka. Wallahu A'lam.

3. Kulitnya. 
Hukum najisnya mengikuti hukum bangkainya. Apabila bangkai hewan tersebut suci maka kulitnyapun suci dan bila tersebut najis, maka kulitnyapun najis. Diantara contoh yang suci adalah ikan dengan dasar firman Allah.

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu” [Al-Maidah/5 : 96]

Ibnu Abas menyatakan: ‘shoydul bahri” adalah yang diambil hidup-hidup dan “wa tho’amuhu” adalah yang diambil sudah mati. Sehingga kulitnya pun suci.

HUKUM MEMAKAN BANGKAI.

Syariat islam telah mengharamkan memakan bangkai. Dasar pengharaman bangkai ini, terdapat dalam Al Qur'an dan Sunnah. 

Pengharaman bangkai dalam Al Qur'an ada dalam beberapa ayat, diantaranya.

Firman Allah:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ 

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah” [Al Baqarah/2 :173]

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya” [Al Maidah/5 : 3]

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

“Katakanlah:"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang disembelih atas nama selain Allah". [Al An'am/6 :145]

Adapun di dalam Sunnah Rasulullah, adalah hadits Ibnu Abas Radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata.

وَجَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاةً مَيِّتَةً أُعْطِيَتْهَا مَوْلَاةٌ لِمَيْمُونَةَ مِنْ الصَّدَقَةِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلَّا انْتَفَعْتُمْ بِجِلْدِهَا قَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةٌ قَالَ إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati seekor bangkai kambing yang diberikan dari shodaqah untuk Maula (bekas budak) milik Maimunah lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Mengapa tidak kalian manfaatkan kulitnya?”. Mereka menjawab. “ Ini adalah bangkai”. Beliau bersabda : “Yang diharamkan hanyalah memakannya” [Muttafaqun 'Alaihi]

Oleh karena itu kaum muslimin sepakat tentang larangan memakan bangkai dalam keadaan tidak darurat.

YANG DIHALALKAN DARI BAGKAI

Semua hukum memakan bangkai diatas berlaku pada semua bangkai kecuali dua jenis.

1. Bangkai hewan laut. 

Berdasarkan firman Allah.

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ 

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu” [Al-Maidah/5 : 96]

Dan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi.

سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

“Seseorang bertanya kepada Rasulullah searaya berkata : “Wahai Rasululloh! Kami mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air. Apabila kami berwudhu dengannya (air itu), maka kami kehausan. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut?” Rasululloh Shallallahu ‘alaihi was allam menjawab : “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” [HR Sunan Al Arba'ah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban]

Juga sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam

أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Dihalalkan bagi kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati (lever) dan limpa”

Dalil Tentang Hewan Air

Allah Ta’ala berfirman,

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.” (QS. Al Maidah: 96)

Yang dimaksud dengan air di sini bukan hanya air laut, namun juga termasuk hewan air tawar. Karena pengertian “al bahru al maa’ “ adalah kumpulan air yang banyak. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan air dalam ayat di atas adalah setiap air yang di dalamnya terdapat hewan air untuk diburu (ditangkap), baik itu sungai atau kolam.”

Dalam perkatan yang masyhur dari Ibnu ‘Abbas, yang dimaksud “shoidul bahr” dalam ayat di atas adalah hewan air yang ditangkap hidup-hidup, sedangkan yang dimaksud “tho’amuhu” adalah bangkai hewan air. ‎Yang dimaksud bangkai hewan air adalah yang mati begitu saja, tanpa diketahui sebabnya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,

سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ ».

“Seseorang pernah menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kami pernah naik kapal dan hanya membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya, maka kami akan kehausan. Apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Air laut itu suci dan bangkainya pun halal.” (HR. Abu Daud no. 83, An Nasai no. 59, At Tirmidzi no. 69.)

عَن ابنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا المَيْتَتَانِ: فَالْجَرَادُ والْحُوتُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ: فَالطِّحالُ وَالْكَبِدُ». أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ، وَابْنُ مَاجَهْ، وَفِيهِ ضَعْفٌ.

Dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Telah dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah, adapun dua macam bangkai adalah: (bangkai) belalang dan ikan, dan dua macam darah adalah limpa dan hati.”

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah dan di dalam sanadnya terdapat kelemahan.

 Takhrijul Hadits.

Riwayat Ahmad (2/97) dan Ibnu Majah (No.: 3314 dan 3218) dan lain-lain secara marfu’ akan tetapi sanadnya dlaif karena hanya diriwayatkan dari jalur periwayatan  Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari Zaid bin Aslam dari Ibnu Umar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Abdurrahman bin Zaid ini adalah seorang perawi yang dla’if . Abdullah bin Ahmad bin Hambal menjelaskan tentang Abdurrahman ini dengan menyatakan:

سَمِعْتُ أَبِيْ يُضَعِّفُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ، وَقَالَ: رَوَى حَدِيْثاً مُنْكَراً: «أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ»

Aku mendengar Ayahku melemahkan Abdurrahman ini dan berkata: Ia meriwayatkan hadits mungkar : Telah dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah.

Demikian juga dihukumi sebagai perawi lemah oleh Ibnu al-Madini, an-Nasaa’i, Abu Zur’ah dan lain-lainnya.

Ibnu Khuzaimah menyatakan:

لَيْسَ هُوَ مِمَنْ يَحْتَجُّ أَهْلُ الْعِلْمِ بِحَدِيْثِهِ لِسُوْءِ حِفْظِهِ، هُوَ رَجُلٌ صِنَاعَتُهُ الْعِبَادَةُ وَالتَّقَشُّفُ، لَيْسَ مِنْ أَحْلاَسِ الْحَدِيْثِ

Dia bukanlah termasuk orang yang haditsnya dijadikan hujjah oleh para ulama karena jelek hafalannya, ia seorang ahli ibadah dan zuhud, bukan termasuk pakar hadits.

Kemudian imam ad-Daraquthni dan imam Baihaqiy (1/254) meriwayatkan dari jalan Ibnu Wahb (ia berkata): Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal, dari Zaid bin Aslam, dari Abdullah bin Umar, secara mauquf.

Berkata Baihaqiy:

وَهَذَا إِسْنَادٌ صَحِيْحٌ، وَهُوَ فِيْ مَعْنَى الْمُسْنَدِ

 “Isnadnya shahih sedangkan maknanya musnad (terhukum marfu’). Anak-anak Zaid (bin Aslam) menjadikannya hadits marfu’ dari bapak mereka.” (Sunan al-Kubro 1/254).

Imam Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyah menyatakan:

هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ، وَهَذَا الْمَوْقُوْفُ فِيْ حُكْمِ الْمَرْفُوْعِ؛ لأَنَّ قَوْلَ الصَّحَابِيْ: أُحِلَّ لَنَا كَذَا، وَحُرِّمَ عَلَيْنَا، يَنْصَرِفُ إِلَى إِحْلاَلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَحْرِيْمِهِ

Ini hadits hasan dan mauqufnya ada pada hukum marfu’, karena ucapan shahabat : (diharamkan bagi kami dan diharamkan atas kami) difahami pada penghalalan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan pengharamannya. (Zaad al-Ma’ad 3/392)

Kesimpulan: Hadits di atas adalah hadits yang lemah dengan sanad yang marfu’. Sedangkan dengan sanad yang mauquf, shahih akan tetapi hukumnya marfu’. Hadits di atas masuk dalam istilah: “Mauquflafazh-nya, marfu’ hukumnya.”

Apakah Semua Hewan Air Halal?

Pembahasan mengenai hewan air dibagi menjadi dua:
Pertama: Hewan yang hanya hidup di air saja.
Kedua: Hewan yang hidup di dua alam (di air dan di darat).

Para ulama berselisih pendapat mengenai hewan air menjadi empat pendapat:
Pendapat pertama: Seluruh hewan air itu halal. Inilah pendapat ulama Malikiyah dan pendapat ulama Syafi’iyah yang lebih tepat.

Pendapat kedua: Seluruh hewan air itu halal kecuali katak, buaya dan ular. Inilah pendapat ulama Hambali. Mereka menganggap bahwa buaya terlarang karena termasuk hewan buas dan memakan manusia. Sedangkan ular air terlarang karena khobits (menjijikkan). Sedangkan katak dilarang karena terdapat dalil larangan untuk membunuhnya.

Pendapat ketiga: Seluruh hewan air haram dimakan kecuali ikan. Setiap ikan di air boleh dimakan kecuali ikan yang mati begitu saja lalu mengapung di atas air. Pendapat ini dipilih oleh ulama Hanafiyah dan salah satu pendapat dari Syafi’iyah. Pendapat ini pun mengharamkan katak, kepiting dan ular air karena dianggap khobits (menjijikkan)

Pendapat keempat: Hanya ikan yang boleh dimakan. Sedangkan selain ikan boleh dimakan jika memang memiliki kesamaan dengan hewan darat yang sama-sama boleh dimakan seperti hewan air yang mirip sapi, kambing dan semacamnya. Sedangkan hewan air yang mirip dengan hewan darat yang tidak boleh dimakan seperti babi dan anjing, maka hewan air semacam ini tidak boleh dimakan. Inilah salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i dan salah satu pendapat dalam madzhab Hambali.

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan,

وَلَا خِلَاف بَيْن الْعُلَمَاء فِي حِلّ السَّمَك عَلَى اِخْتِلَاف أَنْوَاعه ، وَإِنَّمَا اُخْتُلِفَ فِيمَا كَانَ عَلَى صُورَة حَيَوَان الْبَرّ كَالْآدَمِيِّ وَالْكَلْب وَالْخِنْزِير وَالثُّعْبَان

“Tidak ada perselisihan para ulama bahwa ikan adalah sesuatu yang dihalalkan. Yang terdapat perselisihan di antara mereka adalah hewan air yang memiliki bentuk yang sama dengan hewan darat seperti manusia, anjing, babi dan ular.”

Penulis ‘Aunul Ma’bud mengatakan,

أَنَّ جَمِيع حَيَوَانَات الْبَحْر أَيْ مَا لَا يَعِيش إِلَّا بِالْبَحْرِ حَلَال ، وَبِهِ قَالَ مَالِك وَالشَّافِعِيّ وَأَحْمَدُ ، قَالُوا مَيْتَات الْبَحْر حَلَال وَهِيَ مَا خَلَا السَّمَك حَرَام عِنْد أَبِي حَنِيفَة وَقَالَ الْمُرَاد بِالْمَيْتَةِ السَّمَك كَمَا فِي حَدِيث ” أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ السَّمَك وَالْجَرَاد ” وَيَجِيء تَحْقِيقه فِي مَوْضِعه إِنْ شَاءَ اللَّه تَعَالَى

“Seluruh hewan air yaitu yang tidak hidup kecuali di air adalah halal. Inilah pendapat Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad. Ulama-ulama tersebut mengatakan bahwa bangkai dari hewan air adalah halal. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hewan air selain ikan itu haram.”

Pendapat terkuat dalam masalah ini adalah pendapat pertama dari ulama Malikiyah, yaitu halalnya seluruh hewan yang hidup di air. Alasannya karena keumuman dalil berikut.

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.” (QS. Al Maidah: 96)

Juga keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Air laut itu suci dan bangkainya pun halal.”

Sedangkan ulama yang mengharamkan kepiting, ular, dan semacamnya berdalil dengan ayat,

وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

“Diharamkan bagi kalian yang khobits (menjijikkan).” (QS. Al A’rof: 157). 

Pendalilan seperti ini tidaklah tepat. Karena semata-mata klaim khobit (menjijikkan) bukanlah dalil tegas. 

Apakah Hewan Air yang Ditemukan Mati Mengapung atau Terseret Hingga ke Pinggiran Halal?

Jika hewan air mati dengan sebab yang jelas, misalnya: karena ditangkap (dipancing), disembelih atau dimasukkan dalam kolam lalu mati, maka hukumnya adalah halal berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama).

Jika hewan air mati tanpa sebab yang jelas, hanya tiba-tiba diketemukan mengapung di atas air, maka dalam hukumnya ada perselisihan pendapat. Pendapat mayoritas ulama yaitu Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad, mereka menyatakan bahwa hukumnya tetap halal. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa hewan semacam itu tidak halal.

Dalil dari pendapat jumhur (mayoritas) ulama adalah firman Allah Ta’ala,

وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ وَمِنْ كُلٍّ تَأْكُلُونَ لَحْمًا طَرِيًّا

“Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar.” (QS. Fathir:12)

Juga keumuman firman Allah Ta’ala,

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.” (QS. Al Maidah: 96). 
Yang dimaksud dengan “tho’amuhu” dalam ayat ini adalah bangkainya, artinya mati begitu saja tanpa diketahui sebabnya. Dalam perkataan lain, Ibnu ‘Abbas menafsirkan “tho’amuhu” adalah hewan air yang mati dan terlempar hingga ke pinggiran (pantai atau sungai).‎Tafsiran ini menjadi pendapat mayoritas ulama.

Juga dalil dari pendapat jumhur adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata,

غَزَوْنَا جَيْشَ الْخَبَطِ وَأُمِّرَ أَبُو عُبَيْدَةَ ، فَجُعْنَا جُوعًا شَدِيدًا فَأَلْقَى الْبَحْرُ حُوتًا مَيِّتًا ، لَمْ نَرَ مِثْلَهُ ، يُقَالُ لَهُ الْعَنْبَرُ ، فَأَكَلْنَا مِنْهُ نِصْفَ شَهْرٍ ، فَأَخَذَ أَبُو عُبَيْدَةَ عَظْمًا مِنْ عِظَامِهِ فَمَرَّ الرَّاكِبُ تَحْتَهُ . فَأَخْبَرَنِى أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرًا يَقُولُ قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ كُلُوا . فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « كُلُوا رِزْقًا أَخْرَجَهُ اللَّهُ ، أَطْعِمُونَا إِنْ كَانَ مَعَكُمْ » . فَأَتَاهُ بَعْضُهُمْ { بِعُضْوٍ } فَأَكَلَهُ .

“Kami pernah berperang bersama pasukan Khabath (pemakan daun-daunan) yang pada waktu itu Abu Ubaidah diangkat sebagai pemimpin pasukan. Lalu kami merasa lapar sekali. Tiba-tiba laut melemparkan ikan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Ikan itu disebut al Anbar. Kami makan dari ikan itu selama setengah bulan. Kemudian Abu Ubaidah mengambil salah satu bagian dari tulangnya dan dia pancangkan. Hingga seorang pengendara bisa lewat dibawah tulang itu. Telah mengabarkan kepadaku Abu Az Zubair bahwasanya dia mendengar Jabir berkata; Abu ‘Ubaidah berkata; ‘Makanlah oleh kalian semua! Tatkala kami sampai di Madinah, kami hal itu kami beritahukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau bersabda, “Makanlah, itu adalah rizki yang telah Allah berikan. Jika masih tersisa, berilah kami!” Maka sebagiannya di bawakan kepada beliau dan beliau pun memakannya.” (HR. Bukhari no. 4362)

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menjelaskan, “Dari hadits ini, jelaslah bahwa bangkai dari hewan air itu halal, baik ia begitu saja (semisal ditemukan mengapung begitu saja di air, pen) atau mati dengan diburu (ditangkap atau dipancing). Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Sedangkan ulama Hanafiyah memakruhkan hal ini.”

Dalil lain tentang halalnya hewan air yang mati tanpa sebab adalah hadits Ibnu ‘Umar,

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ

“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah.Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang.” (HR. Ibnu Majah no. 3314,shahih)

Ketika menjelaskan hadits di atas yang terdapat dalam kitab Bulughul Marom, Ash Shon’ani mengatakan,

وَكَذَلِكَ يَدُلُّ عَلَى حِلِّ مَيْتَةِ الْحُوتِ عَلَى أَيِّ صِفَةٍ وُجِدَ ، طَافِيًا كَانَ أَوْ غَيْرَهُ

“Hadits tersebut juga menunukkan bahwa bangkai ikan itu halal dalam berbagai kondisi, baik ia mati tanpa sebab lalu mengapung atau dengan cara lainnya.”
Adapun dalill ulama yang memakruhkan memakan hewan air yang mati mengapung atau ditemukan di pinggiran (pantai atau sungai) tanpa diketahui sebab matinya adalah dalil berikut.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَلْقَى الْبَحْرُ أَوْ جَزَرَ عَنْهُ فَكُلُوهُ وَمَا مَاتَ فِيهِ وَطَفَا فَلَا تَأْكُلُوهُ

Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang didamparkan oleh laut atau yang tersingkap darinya maka makanlah, dan apa yang mati padanya dalam keadaan mengapung maka janganlah engkau makan.” (HR. Abu Daud no. 3815 dan Ibnu Majah no. 3247). 

Setelah Abu Daud membawakan hadits tersebut dalam kitab sunannya, beliau rahimahullah mengatakan, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Sufyan Ats Tsauri dan Ayyub serta Hammad dari Abu Az Zubair mereka menyandarkannya kepada Jabir. Dan hadits ini juga di sandarkan dengan sanad yang lemah, dari jalur Ibnu Abu Dzi`b dari Abu Az Zubair dari Jabir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Penulis Subulus Salam, Muhammad bin Isma’il Ash Shon’ani rahimahullah mengatakan,

بِأَنَّهُ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ بِاتِّفَاقِ أَئِمَّةِ الْحَدِيثِ

“Hadits Jabir di atas adalah hadits yang dho’if (lemah) berdasarkan kesepakatan ulama pakar hadits.”

An Nawawi rahimahullah mengatakan,

فَحَدِيث ضَعِيف بِاتِّفَاقِ أَئِمَّة الْحَدِيث ، لَا يَجُوز الِاحْتِجَاج بِهِ لَوْ لَمْ يُعَارِضهُ شَيْء ، كَيْف وَهُوَ مُعَارَض بِمَا ذَكَرْنَاهُ ؟

”Hadits Jabir adalah hadits dho’if (lemah). Tidak boleh berargumen dengan hadits tersebut seandainya tidak ada dalil yang menentangnya. Lantas bagaimana lagi jika ada dalil penentang?!”

Intinya, pendapat jumhur ulama dinilai lebih kuat, yaitu meskipun hewan air tersebut mati begitu saja lalu mengapung di air atau terseret sehingga menepi ke daratan, tetap dihukumi halal. Namun jika hewan seperti itu sudah lama mengapung dan dikhawatirkan dapat memberikan bahaya ketika dikonsumsi, maka sudah seharusnya ditinggalkan.

Bagaimana dengan Ikan Hiu?

Ikan hiu sudah kita ketahui bersama termasuk hewan yang bertaring dan ia menggunakan taringnya untuk berburu mangsanya. Jika ada yang menanyakan tentang ikan hiu, maka jawabannya adalah halal karena kembali ke dalil-dalil yang menghalalkan seluruh hewan yang ada di air, sebagaimana firman AllahTa’ala,

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan dari laut.” (QS. Al Maidah: 96).

2.Belalang.

Berdasarkan pada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi.

أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Dihalalkan bagi kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati (lever) dan limpa”

Hal inipun didukung oleh perbuatan Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang memakan belalang seperti dikisahkan Abdullah bin Abi 'Aufa.

غَزَوْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعَ غَزَوَاتٍ أَوْ سِتًّا كُنَّا نَأْكُلُ مَعَهُ الْجَرَادَ 

“Kami berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tujuh atau enam peperangan. Kami memakan belalang bersama beliau” [HR Al Jamaah kecuali Ibnu Majah]

Demikian juga para ulama sepakat membolehkan memakan belalang.

HUKUM MENJUAL BANGKAI

Syari'at Islam melarang menjual bangkai, sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya.

إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لَا هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ 

“Sesungguhnya Allah dan RasulNya telah mengharamkan jual beli khomr (minuman keras), bangkai, babi dan patung berhala. Lalu ada yang berkata : “Wahai Rasululloh! Bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai, karena ia dapat digunakan untuk mengecat (mendempul) perahu, meminyaki kulit dan untuk bahan bakar lampu”. Maka beliau menjawab : Tidak boleh! Itu haram”. Kemudian Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika itu : Semoga Alah mencelakakan orang Yahudi, Sungguh Allah telah mengharamkan lemaknya, lalu mereka meleburnya (menjadi minyak) kemudian menjualnya dan memakan hasil penjualannya” [HR Al Jama'ah]

Larangan ini bersifat umum pada semua bangkai, termasuk manusia, kecuali hewan laut dan belalang. Larangan menjual bangkai manusia mencakup muslim dan kafir. Oleh karena itu Imam Al-Bukhari menulis sebuah bab dalam kitab shohihnya dengan judul: Bab Thorhu Jaif Al-Musyrikin Wala Yu'khodz Lahum Tsaman. Yaitu bab yang menjelaskan membuang bangkai orang-orang musyrikin dan tidak mengambil untuknya tebusan harta.

Ibnu Hajar memberikan penjelasan terhadap bab ini, bahwa pernyataan Imam Al-Bukhori : “Tidak mengambil untuknya tebusan harta”, (ini) mengisyaratkan kepada hadits Ibnu Abas yang berbunyi:

أَنَّ الْمُشْرِكِينَ أَرَادُوا أَنْ يَشْتَرُوا جَسَدَ رَجُلٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَأَبَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَهُمْ إِيَّاهُ (أخرجه الترمذي وغيره) 

“Sungguh kaum musyrikin ingin membeli jasad seorang musyrik, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam enggan menjualnya kepada mereka” [HR Al Tirmidzi dan selainnya]. 

Adapun Ibnu Ishaaq dalam kitab Al Maghazi menyebutkan 

أَنَّ الْمُشْرِكِينَ سَأَلُوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَهُمْ جَسَدَ نَوْفَلَ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْمُغِيْرَةِ , وَكَانَ اقْتَحَمَ الْخَنْدَقَ ; فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ حَاجَةَ لَنَا بِثَمَنِهِ وَلاَ جَسَدِهِ 

“Sungguh kaum musyrikin meminta Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjual kepada mereka jasad Naufal bin Abdillah bin Al Mughiroh. Ia dulu ikut menyerang Khondak.’, Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Tidak butuh dengan nilai harganya dan tidak juga jasadnya”

Ibnu Hisyam berkata, “ Telah sampai kepada kami dari Az-Zuhri, bahwa mereka telah mengeluarkan sepuluh ribu untuk itu”

Imam Bukhori mengambil sisi pendalilan atas hadits bab dari sisi adat menguatkan, bahwa menjadikan hadits diatas sebagai dalil dalam bab ini lantaram berdasarkan kebiasaan bahwa kelurda orang Kafir terbunuh dalam perang Badr, seandainya mengetahui uang tebusan mereka akan diterima untuk mendapatkan jasad-jasad mereka (yang terbunuh), tentu mereka akan mengeluarkan sebanyak mungkin untuk itu. Ini sebagai penguat atas hadits Ibnu Abas walaupun sanadnya tidak kuat.

HIKMAH PENGHARAMAN BANGKAI.

Sebagian ulama menyampaikan beberapa hikmah pengharaman bangkai, diantaranya:

1. Pada umumnya, bangkai itu berbahaya karena mati,sakit, lemah atau karena mikroba, bakteri dan virus serta sejenisnya yang mengeluarkan racun. Terkadang mikroba penyakit bertahan hidup dalam bangkai tersebut cukup lama.

2. Tabiat manusia menolaknya dan menganggapnya jijik dan kotor

3. Adanya darah jelek yang tertahan tidak keluar yang tidak keluar dan tidak hilang kecuali dengan sembelihan syar'i.

Demikian, berkaitan dengan hukum bangkai, mudah-mudahan membuat kita semakin berhati-hati dalam memilih makanan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [Al-Mu’minun/23 : 51]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu …” [Al-Baqarah/2 : 172]

Penjelasan Tentang Air Mani


Mani atau cairan semen adalah cairan yang keluar ketika mimpi basah atau berhubungan intim. Ciri-ciri mani adalah warnanya keruh, memiliki bau yang khas, keluar dengan syahwat, keluar dengan memancar dan membuat lemas. Bedanya madzi dan mani, madzi adalah cairan tipis dan putih, keluar tanpa syahwat, tanpa memancar, tidak membuat lemas dan keluar ketika muqoddimah hubungan intim. Madzi itu najis, sedangkan mengenai status mani apakah najis ataukah suci terdapat perselisihan di kalangan ulama.
 At-Taqrirot as-Sadidah, hal. 115-116‎

الفرق بين المني والمذي والودي
المني : ماء أبيض يتدفق حال خروجه ويخرج بشهوة ويعقب خروجه فتور
المذي : ماء أبيض رقيق لزج يخرج عند ثوران الشهوة بلا شهوة كاملة
الوذي : ماء أبيض ثخين كدر يخرج بعد البول أو عند حمل شيئ ثقيل
الحكم عند خروج أحدها
المني : يوجب الغسل ولا ينقض الوضوء وهو طاهر
المذي والودي : حكمهما كالبول : فينقضان الوضوء وهما نجسان
علامات المني: يجب الغسل إذا وجد إحدى هذه العلامات ولا يشترط كلها. والمرأة مثل الرجل في ذلك. وهي ثلاثة
التلذذ بخروجه أي يخرج بشهوة
التدفق أي يخرج على دفعات
الرائحة : إذا كان رطبا كرائحة العجين أو الطلع. وإذا كان جافا كرائحة بياض البيض
فليس من علامات المني كونه أبيضا أو يعقب خروجه فتور ولكن هذا على سبيل الغالب

Perbedaan sifat antara mani, madzi, dan wadi adalah:

1. Mani : Cairan yang keluar dari alat kelamin dengan ciri-ciri; berwarna putih, memancar (muncrat) saat keluar, keluarnya dengan syahwat, dan akan terasa lemas setelah keluar.

2. Madzi : Cairan yang keluar dari alat kelamin dengan ciri-ciri; berwarna putih, encer dan lengket, dan keluarnya ketika bergejolaknya syahwat, namun syahwatnya belum sempurna (memuncak).

3. Wadi : Cairan yang keluar dari alat kelamin dengan ciri-ciri; berwarna putih, kental dan keruh, biasanya keluar setelah kencing atau ketika membawa barang yang berat.

Sedangkan perbedaan hukumnya:

1. Keluarnya mani mewajibkan mandi besar, namun tidak mewajibkan wudhu, dan mani dihukumi sebagai benda yang suci.

Keluarnya mani mewajibkan mandi besar besar jika ditemui salah satu dari 3 tanda berikut ini:

A. Terasa enak saat keluar, karena keluarnya saat syahwat telah memuncak.

B. Keluarnya memancar, maksudnya keluar sedikit demi sedikit.

C. Ketika masih basah baunya seperti adonan roti atau mayang kurma, sedangkan jika sudah kering baunya seperti putih telur.

Jadi warna putih dan lemasnya badan saat keluar bukanlah ciri-ciri utama mani, namun kebanyakan memang warnanya putih dan terasa lemas saat keluar. 

2. Hukum madzi dan wadi sebagaimana hukumnya air kencing, keduanya membatalkan wudhu dan dihukumi najis.

Kewajiban mandi besar bagi orang yang mengeluarkan mani didasarkan pada beberapa hadits diantaranya hadits yang diriwayatkan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau mengisahkan;

جَاءَتْ أَمُّ سُلَيْمٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ اللهِ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ، فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا احْتَلَمَتْ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «نَعَمْ، إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ»

“Ummu Sulaim dating kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia berkata; “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tak pernah “malu” dalam hal kebenaran, apakah wanita diharuskan mandi apabila ia mimpi basah?” Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wasallam menjawab; “Ya, (wanita tersebut wajib mandi), jika ia melihat ada air (keluar maninya),” (Shahih Bukhari, no.282 dan Shahih Muslim, no.313)

Sedangkan dalil tidak diwajibkannya wudhu ketika seseorang mengeluarkan madzi berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ali karromallahu wajhah, beliau menceritakan;

كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِي أَنْ أَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ: «يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ»

"Aku adalah lelaki yang sering keluar madzi, tetapi aku malu untuk bertanya Nabi Shallallahu'alaihiwasallam karena puteri beliau adalah istriku sendiri. Maka kusuruh al-Miqdad bin al-Aswad supaya bertanya beliau, lalu beliau bersabda, "Hendaklah dia membasuh kemaluannya dan berwudhu."(Shahih Bukhari, no.209 dan Shahih Muslim, no. 303)

Imam Nawawi menjelaskan, bahwa hadits ini merupakan dalil bahwa madzi tidak mewajibkan mandi, namun mewajibkan wudhu.

Adapun mengenai alasan tidak wajibnya mandi bagi orang yang mengeluarkan wadi adalah sebab  tidak adanya dalil yang mewajibkan mandi ketika mengeluarkan wadi, karena kewajiban sesuatu harus ada dalilnya, selain itu jika madzi tidak mewajibkan mandi, padahal madzi mendekati sifat-sifat mani, tentunya wadi juga tidak mewajibkan mandi, karena sifat-sifat wadi lebih dekat dengan sifat-sifat air kencing. 

Diriwayatkan dari Zur'ah Abu Abdurrohaman, beliau berkata;

سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ: الْمَنِيُّ وَالْوَدْيُ وَالْمَذْيُ، أَمَّا الْمَنِيُّ: فَهُوَ الَّذِي مِنْهُ الْغُسْلُ، وَأَمَّا الْوَدْيُ وَالْمَذْيُ فَقَالَ: اغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ

"Aku mendengar Ibnu Abbas menjelaskan mengenai mani, madzi dan wadi, beliau berkata; "(Keluarnya) Mani mewajibkan mandi", sedangkan mengenai (keluarnya) wadi dan madzi beliau berkata; "Basuhlah dzakar (kemaluan)mu, dan wudhulah sebagaimana engkau wudhu ketika hendak sholat." (Sunan Baihaqi, no.800).
Hukum Mani‎

Dalil-dalil yang berkaitan dengan hal ini adalah

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: { كُنْت أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَذْهَبُ فَيُصَلِّي فِيهِ }. رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلَّا الْبُخَارِيَّ
Dari ‘Aisyah, ia berkata: Aku pernah menggosok mani dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan akar rumput idzkir. Lalu ia pergi, kemudian ia shalat dengan pakaian itu. (HR Jama’ah , kecuali Bukhari, Nailur Authar No. 41 )

وَلِأَحْمَدَ { كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْلُتُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِهِ بِعِرْقٍ الْإِذْخِرِ ، ثُمَّ يُصَلِّي فِيهِ وَيَحُتُّهُ مِنْ ثَوْبِهِ يَابِسًا ثُمَّ يُصَلِّي فِيهِ }

Dan bagi Ahmad (dikatakan) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menghilangkan mani dari pakaiannya dengan akar idzkhir, kemudian ia shalat dengan pakaian itu dan mengerik mani dari pakaiannya dalam keadaaan kering, lalu ia shalat dengan pakaian itu.
وَفِي لَفْظٍ مُتَّفَقٍ عَلَيْهِ . { كُنْت أَغْسِلُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَخْرُجُ إلَى الصَّلَاةِ وَأَثَرُ الْغَسْلِ فِي ثَوْبِهِ بُقَعُ الْمَاءِ }

Dan dalam lafadz hadist yang di riwayatkan Bukhari, Muslim dan Ahmad, “Aku pernah mencuci mani dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam”, lalu ia keluar untuk shalat, sedang bekas cuciannya itu masih nampak pada bajunya, yaitu basah-basahnya air itu.

وَلِلدَّارَقُطْنِيِّ عَنْهَا : { كُنْت أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا كَانَ يَابِسًا وَأَغْسِلُهُ إذَا كَانَ رَطْبًا }
Dan bagi Daraquthni, dari ‘Aisyah : Aku biasa mengerik mani dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan mencucinya kalau basah.

وَعَنْ إِسْحَاقَ بْنِ يُوسُفَ قَالَ : حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَطَاءِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : { سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمَنِيِّ يُصِيبُ الثَّوْبَ ، فَقَالَ : إنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُخَاطِ وَالْبُصَاقِ وَإِنَّمَا يَكْفِيك أَنْ تَمْسَحَهُ بِخِرْقَةٍ أَوْ بِإِذْخِرَةٍ } . رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ وَقَالَ : لَمْ يَرْفَعْهُ غَيْرُ إِسْحَاقَ الْأَزْرَقِ عَنْ شَرِيكٍ
Dari Ishaq bin Yusuf, ia berkata: Telah memberitahu kepadaku, Syarik, dari Muhammad bin Abdirrahman, dari Atha dari Ibnu Abbas ra, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang mani yang mengenai pakaian, ia menjawab : “Sebenarnya mani itu seperti dahak/lendir dan air liur, karena itu cukup bagimu mengusapnya dengan kain atau rumput idzkhir” HR Riwayat Daraquthni dan ia berkata: Tidak ada yang memarfu’kan hadist ini selain Ishaq al Azraq dari Syarik. (Nailur Authar No. 42)

Ada yang mengatakan bahwa mani itu najis seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya.
Dalil ulama yang menyatakan bahwa mani itu najis adalah riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَغْسِلُ الْمَنِىَّ ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى الصَّلاَةِ فِى ذَلِكَ الثَّوْبِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى أَثَرِ الْغَسْلِ فِيهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencuci bekas mani (pada pakaiannya) kemudian beliau keluar untuk melaksanakan shalat dengan pakaian tersebut. Aku pun melihat pada pakaian beliau bekas dari mani yang dicuci tadi.”‎
Sedangkan ulama lainnya menganggap bahwa mani itu suci. Ulama yang berpendapat seperti ini adalah para pakar hadits, Imam Asy Syafi’i, Daud Azh Zhohiri, dan salah satu pendapat Imam Ahmad.Dalil yang mendukung pendapat kedua ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa ‘Aisyah pernah mengerik pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkena mani. ‘Aisyah ‎radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
“Aku pernah mengerik mani tersebut dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dalam lafazh lainnya, dari ‘Alqomah dan Al Aswad, mereka mengatakan,
أَنَّ رَجُلاً نَزَلَ بِعَائِشَةَ فَأَصْبَحَ يَغْسِلُ ثَوْبَهُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ إِنَّمَا كَانَ يُجْزِئُكَ إِنْ رَأَيْتَهُ أَنْ تَغْسِلَ مَكَانَهُ فَإِنْ لَمْ تَرَ نَضَحْتَ حَوْلَهُ وَلَقَدْ رَأَيْتُنِى أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَرْكًا فَيُصَلِّى فِيهِ.
“Ada seorang pria menemui ‘Aisyah dan di pagi hari ia telah mencuci pakaiannya (yang terkena mani). Kemudian ‘Aisyah mengatakan, “Cukup bagimu jika engkau melihat ada mani, engkau cuci bagian yang terkena mani. Jika engkau tidak melihatnya, maka percikilah daerah di sekitar bagian tersebut. Sungguh aku sendiri pernah mengerik mani dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat dengan pakaian tersebut.”
Penulis Kifayatul Akhyar, Taqiyuddin Abu Bakr Ad Dimaysqi rahimahullah mengatakan, “Seandainya mani itu najis, maka tidak cukup hanya dikerik (dengan kuku) sebagaimana darah (haidh) dan lainnya. Sedangkan riwayat yang menyatakan bahwa mani tersebut dibersihkan dengan dicuci, maka ini hanya menunjukkan anjuran dan pilihan dalam mensucikan mani tersebut. Inilah cara mengkompromikan dua dalil di atas. Dan menurut ulama Syafi’iyah, hal ini berlaku untuk mani yang ada pada pria maupun wanita, tidak ada beda antara keduanya.”
“Sudah maklum bahwa para sahabat pasti pernah mengalami mimpi basah di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pasti pula mani tersebut mengenai badan dan pakaian salah seorang di antara mereka. Ini semua sudah diketahui secara pasti. Seandainya mani itu najis, maka tentu wajib bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk menghilangkan mani tersebut dari badan dan pakaian mereka sebagaimana halnya perintah beliau untuk beristinja’ (membersihkan diri selepas buang air), begitu pula sebagaimana beliau memerintahkan untuk mencuci darah haidh dari pakaian, bahkan terkena mani lebih sering terjadi daripada haidh. Sudah maklum pula bahwa tidak ada seorang pun yang menukil kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan salah seorang sahabat untuk mencuci mani yang mengenai badan atau pakaiannya. Dari sini, diketahui dengan yakin bahwa mencuci mani tersebut tidaklah wajib bagi para sahabat. Inilah penjelasan yang gamblang bagi yang ingin merenungkannya.”
Yang dimaksud dengan mengerik di sini adalah menggosok dengan menggunakan kuku atau pengerik lainnya.Seseorang bisa membersihkan badan atau pakaian yang terkena mani dengan cara mengerik jika mani tersebut dalam keadaan kering. Dan jika hanya dikerik masih banyak tersisa, maka lebih baik dengan dicuci.
Ada beberapa dalil dari hadits nabi tentang hukum mani, diantaranya adalah sebagai berikut :‎

كنت أغسله من ثوب رسول الله - صلى الله عليه وسلم - فيخرج إلى الصلاة وإن بقع الماء في ثوبه

“dulu saya (aisyah) pernah mencuci mani yang menempel pada pakaian rosululloh. Kemudian rosululloh langsung pergi sholat walaupun ada bekas air di pakaiannya” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Dan juga hadits lain menyebutkan :

أنه - صلى الله عليه وسلم - كان يغسل المني ثم يخرج إلى الصلاة في ذلك الثوب وأنا أنظر إلى أثر الغسل فيه

Sesungguhnya rosululloh mencuci air mani kemudian langsung sholat dengan pakaiannya. Dan saya melihat bekas cucian mani tersebut).”(H.R. Muslim)

Dan juga hadits lain menyebutkan :‎

عن عمار بن ياسر قال «أتى علي رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وأنا على بئر أدلو ماء في ركوة قال: يا عمار ما تصنع؟ قلت: يا رسول الله بأبي وأمي أغسل ثوبي من نخامة أصابته، فقال: يا عمار إنما يغسل الثوب من خمس: من الغائط والبول، والقيء، والدم، والمني، يا عمار ما نخامتك ودموع عينك والماء الذي في ركوتك إلا سواء

Rosululloh SAW bersabda : “ wahai ammar ,,sesungguhnya pakaian itu dicuci karena 5 perkara : karena kotoran,air kencing,muntah,darah dan air mani.”.( HR. Ad-Daruqutni )

Dan juga hadits lain menyebutkan :

أنه سئل عن المني يصيب الثوب فقال: إنما هو بمنزلة المخاط أو البزاق، وقال: إنما يكفيك أن تمسحه بخرقة أو إذخرة

Nabi pernah ditanya tenang air mani, beliau bersabda : air mani itu seperi ingus atau air ludah. Cukup bagimu untuk menghilangkannya dengan kain.” (HR. Ad-Daruqutni)
Dari sinilah muncul perbedaan pendapat di kalangan para ulama fiqih mengenai hukum air mani. Berikut ini akan saya paparkan beberapa pendapat ulama fiqih pada tiap tiap madzhab mengenai hukum air mani.
Madzhab Hanafi
Ibnul Humam (w. 681 H) dalam kitab Fathul Qadir mengatakan secara tegas bahwa air mani itu hukumnya najis.
والمني نجس يجب غسله إن كان رطبا (فإذا جف على الثوب أجزأ فيه الفرك) لقوله - عليه الصلاة والسلام - لعائشة «فاغسليه إن كان رطبا وافركيه إن كان يابسا» وقال الشافعي - رحمه الله -: المني طاهر، والحجة عليه ما رويناه

Air mani hukumnya najis dan wajib mencucinya jika masih basah, jika air mani tersebut sudah kering maka cukup dengan mengeriknya.

Ibnu Abdin (w. 1252 H) dalam kitab Radd Al-Muhtar ala Ad-Dur Al-Mukhtar mengatakan bahwa air mani termasuk benda najis mugholadzoh. Akan tetapi dalam madzhab hanafi istilah najis mugholadzoh tidak sama seperti istilah mugholadzoh dalam madzhab syafii. Karena yang dimaksud dengan najis mugholadzoh dalam madzhab hanafi adalah najis yang secara tegas dalilnya disebutkan oleh syara’.
نجاسة المني عندنا مغلظة

Kenajisan air mani menurut pendapat kami adalah termasuk najis mugholadzoh.

Madzhab Maliki
Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) dalam kitab Al-kafi Fi Fiqhi Ahli Al-Madinah mengatakan bahwa air mani termasuk benda najis. Karena menurut beliau sesuatu yang keluar dari kemaluan adalah termasuk benda najis. Termasuk juga disini air mani.
والنجاسات كل ما خرج من مخرجي بني آدم

Najis adalah sesuatu yang keluar dari dua jalan kemaluan.
Al-Qarafi (w. 684 H) dalam kitab Adz-Dzakhirah berpendapat bahwa air mani hukumnya najis.
وكل رطوبة أو بلل يخرج من السبيلين فهو نجس ومنه المني

Dan setiap benda basah yang keluar dari kemaluan termasuk benda najis. Diantaranya adalah air mani.
Madzhab Asy-Syafi’i
Imam An-Nawawi (w. 676 H) dalam kitab Roudhotu At-Tholibiin Wa Umdatu Al-Muftiin mengatakan bahwa air mani hukumnya suci.
وأما المني، فمن الآدمي طاهر

Adapun air mani anak adam hukumnya suci.
Asy-Syirbiniy (w. 977 H) penulis kitab Mughni Al-Muhtaj syarh Al-Minhaj mengatakan bahwasanya air mani itu suci. Dalam hal ini beliau sependapat dengan Imam An-Nawawi.
 

وأما مني الآدمي فطاهر على الأظهر لحديث عائشة - رضي الله تعالى عنها - «أنها كانت تحك المني من ثوب رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ثم يصلي فيه

Adapun air mani anak adam hukumnya adalah suci. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh aisyah. dia telah mengerik mani dari pakaian rosululloh kemudian rosululloh sholat.‎

Madzhab Hanbali
Ibnu Qudamah (w. 620 H) di dalam kitab Al-Mughni mengatakan bahwa air mani hukumnya suci. Bahkan ini adalah salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang paling masyhur.

والمني طاهر. وعن أبي عبد الله، رحمه الله رواية أخرى، أنه كالدم اختلفت الرواية عن أحمد في المني، فالمشهور: أنه طاهر. وعنه أنه كالدم، أي أنه نجس. ويعفى عن يسيره. وعنه: أنه لا يعفى عن يسيره. ويجزئ فرك يابسه على كل حال. والرواية الأولى هي المشهورة في المذهب. ولنا، ما روت عائشة - رضي الله عنها - قالت: «كنت أفرك المني من ثوب رسول الله - صلى الله عليه وسلم -، فيصلي فيه» . متفق عليه. وقال ابن عباس: امسحه عنك بإذخرة أو بخرقة، ولا تغسله، إنما هو كالبزاق والمخاط

Air mani itu hukumnya suci. Dan ada dua riwayat dari imam Ahmad, akan tetapi yang paling masyhur adalah air mani itu suci. Dan ini pendapat masyhur dalam madzhab. Hal ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah : aku telah mengerik mani dari pakaian nabi kemudian nabi sholat. Dan berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh ibnu Abbas : hilangkanlah air mani itu dengar kain. Dan jangan kamu cuci. Karena air mani itu seperti air ludah dan ingus.

Ibnu Taimiyah (w. 728 H) mengatakan di dalam kitabnya Al-Fatawa Al-Kubro bahwa air mani hukumnya ada tiga pendapat. Namun beliau lebih condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa air mani itu tidak najis. Hanya saja air mani termasuk benda yang menjijikkan.
 
الفصل الثاني في مني الآدمي وفيه أقوال ثلاثة

أحدها: إنه نجس، كالبول، فيجب غسله رطبا ويابسا من البدن والثوب. وهذا قول مالك، والأوزاعي، والثوري، وطائفة. وثانيها: إنه نجس، يجزئ فرك يابسه، وهذا قول أبي حنيفة، وإسحاق، ورواية عن أحمد

ثم هنا أوجه قيل يجزئ فرك يابسه، ومسح رطبه من الرجل دون المرأة؛ لأنه يعفى عن يسيره، ومني الرجل يتأتى فركه ومسحه، بخلاف مني المرأة، فإنه رقيق كالمذي، وهذا منصوص أحمد

وقيل: يجزئ فركه فقط منهما، لذهابه بالفرك، وبقاء أثره بالمسح

وقيل: بل الجواز مختص بالفرك من الرجل دون المرأة، كما جاءت به السنة كما سنذكره. وثالثها: إنه مستقذر، كالمخاط، والبصاق، وهذا قول الشافعي، وأحمد في المشهور عنه، وهو الذي نصرناه

Ada tiga pendapat dalam masalah air mani. Pendapat pertama mengatakan bahwa air mani termasuk benda najis yang harus dicuci bersih. Ini adalah pendapat imam Malik, Al-Auzaiy, dan Tsauriy. Pendapat kedua mengatakan bahwa air mani juga najis. Tapi cara mensucikannya hanya cukup dengan mengerik air mani tersebut. ini adalah pendapat imam Abu Hanifah, ishaq dan salah satu riwayat Ahmad. Adapun pendapat yang ketiga adalah air mani termasuk benda yang menjijikkan seperti air ludah dan ingus. Dan ini adalah pendapat imam Syafii dan imam Ahmad yang masyhur. Dan pendapat ini pula yang kami unggulkan.‎
Ibnu Hazm (w. 456 H) berpendapat di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar bahwa air mani hukumnya suci. Bahkan tidak diwajibkan bagi seseorang untuk menghilangkannya atau mencucinya.
والمني طاهر في الماء كان أو في الجسد أو في الثوب ولا تجب إزالته، والبصاق مثله ولا فرق
Air mani itu hukumnya suci. Baik berada di air atau yang menempel pada tubuh atau pada pakaian. Dan tidak diwajibkan untuk menghilangkannya. Begitu juga dengan air ludah dan yang semisalnya.
Jadi kesimpulan dari tulisan ini bahwasanya hukum air mani itu berbeda beda. Ada diantara para ulama yang mengatakan bahwa air mani itu najis. Dan ini adalah pendapat dari kalangan madzhab Hanafi dan Maliki. Adapun madzhab Syafii, Hanbali dan Dzohiri mereka berpendapat bahwa air mani itu hukumnya suci. 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...