Rabu, 13 Oktober 2021

Penjelasan Tentang Kaya Dan Miskin


Miskin dan kaya merupakan dua keniscayaan hidup. Untuk umat islam yang mendambakan surga sebagai tempat kembalinya, pilihan nya adalah menjadi manusia miskin dan bersabar atas kemiskinannya. Atau hidup menjadi manusia kaya dan bersyukur atas kekayaannya.

Walaupun secara naluriah memang manusia lebih menyukai kekayaan dibandingkan dengan kemiskinan, namun belum kita siap dengan kekayaan yang Allah berikan. (Lihat Q.S. Ali-Imron ayat 14-15).

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ (14) قُلْ أَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ ذَلِكُمْ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ (15) 

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah, "Inginkah aku kabarkan kepada kalian apa yang lebih baik dari yang demikian itu?" Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (ada pula) istri-istri yang disucikan serta keridaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Q.S. Ali-Imron ayat 14-15).

Allah Swt. memberitakan tentang semua yang dijadikan perhiasan bagi manusia dalam kehidupan di dunia ini, berupa berbagai kesenangan yang antara lain ialah wanita dan anak-anak. Dalam ayat ini dimulai dengan sebutan wanita, karena fitnah yang ditimbulkan oleh mereka sangat kuat.
 
Seperti apa yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:‎

«مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ»

Tiada suatu fitnah pun sesudahku yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki selain dari wanita.
Lain halnya jika orang yang bersangkutan bertujuan dengan wanita untuk memelihara kehormatannya dan memperbanyak keturunan, maka hal ini merupakan suatu hal yang dianjurkan dan disunatkan, seperti yang disebutkan oleh banyak hadis yang menganjurkan untuk nikah dan memperbanyak nikah. Sebaik-baik orang dari kalangan umat ini ialah yang paling banyak mempunyai istri (dalam batas yang diperbolehkan). Sabda Nabi Saw. yang mengatakan:

«الدُّنْيَا مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ، وَإِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِنْ غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ»

Dunia adalah kesenangan, dan sebaik-baik kesenangannya ialah istri yang saleh; jika suami memandangnya, maka ia membuat gembira suaminya; jika suami menyuruhnya, maka ia menaati suaminya; dan jika suami pergi, tidak ada di tempat, maka ia memelihara kehormatan dirinya dan harta benda suaminya.
Sabda Nabi Saw. dalam hadis yang lain, yaitu:

«حُبِّبَ إِلَيَّ النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ»

Aku dibuat senang kepada wanita dan wewangian, dan kesejukan hatiku dijadikan di dalam salatku.‎

Siti Aisyah menceritakan bahwa tiada sesuatu pun yang lebih disukai oleh Rasulullah Saw. selain wanita kecuali kuda. Menurut riwayat yang lain disebutkan 'selain kuda kecuali wanita'.
Senang kepada anak adakalanya karena dorongan membanggakan diri dan sebagai perhiasan yang juga termasuk ke dalam pengertian membanggakan diri. Adakalanya karena dorongan ingin memperbanyak keturunan dan memperbanyak umat Muhammad Saw. yang menyembah hanya kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Maka hal ini baik lagi terpuji, seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis, yaitu:‎

«تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang keibuan lagi subur peranakannya, karena sesungguhnya aku memperbanyak umatku karena kalian kelak di hari kiamat.
Cinta kepada harta adakalanya karena terdorong oleh faktor menyombongkan diri dan berbangga-banggaan, takabur terhadap orang-orang lemah, dan sombong terhadap orang-orang miskin. Hal ini sangat dicela. Tetapi adakalanya karena terdorong oleh faktor membelanjakannya di jalan-jalan yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan silaturahmi, serta amal-amal kebajikan dan ketaatan, hal ini sangat terpuji menurut syariat.
Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang kadar qintar yang disebut oleh ayat ini, yang kesimpulannya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan qintar adalah harta yang banyak dan berlimpah, seperti yang dikatakan oleh Ad-Dahhak dan lain-lainnya.
Menurut pendapat yang lain sejumlah seribu dinar, pendapat lainnya mengatakan seribu dua ratus dinar, pendapat yang lainnya mengatakan sejumlah dua belas ribu dinar, pendapat lain mengatakan empat puluh ribu dinar, pendapat yang lainnya lagi mengatakan enam puluh ribu dinar, dan ada yang mengatakan tujuh puluh ribu dinar, ada pula yang mengatakan delapan puluh ribu dinar, dan lain sebagainya.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ عَاصِمٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "القِنْطَارُ اثْنَا عَشَرَ ألْف أوقيَّةٍ، كُلُّ أوقِيَّةٍ خَيْر مِمَّا بَيْنَ السَّمَاءِ والأرْضِ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Asim, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Satu qintar adalah dua belas ribu auqiyah, tiap-tiap auqiyah lebih baik daripada apa yang ada di antara langit dan bumi.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Mu'az ibnu Jabal dan Ibnu Umar. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui Abu Hurairah dan Abu Darda, bahwa mereka (para sahabat) mengatakan, "Satu qintar adalah seribu dua ratus auqiyah."

ثُمَّ قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي زَكَرِيَّا بْنُ يَحْيَى الضَّرِيرُ، حَدَّثَنَا شَبَابَةُ، حَدَّثَنَا مَخْلَد بْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي مَيْمُونَةَ، عَنْ زِرّ بْنِ حُبَيْش عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "القِنْطَارُ ألْفُ أوقِيَّةٍ ومائَتَا أوقِيَّةٍ"

Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Yahya Ad-Darir (tuna netra), telah menceritakan kepada kami Syababah, telah menceritakan kepada kami Mukhallad ibnu Abdul Wahid, dari Ali ibnu Zaid, dari Ata dari Ibnu Abu Maimunah, dari Zurr ibnu Hubaisy, dari Ubay ibnu Ka'b yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Satu qintar adalah seribu dua ratus auqiyah.
Hadis ini berpredikat munkar, lebih dekat kepada kebenaran ialah yang mengatakan bahwa hadis ini berpredikat mauquf hanya sampai pada Ubay ibnu Ka'b (tidak sampai kepada Nabi Saw.), sama halnya dengan yang lainnya dari kalangan sahabat.

وَقَدْ رَوَى ابْنُ مَرْدُويَه، مِنْ طَرِيقِ مُوسَى بْنِ عُبَيْدة الرَبَذِي عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ يحنَّش أَبِي مُوسَى، عَنْ أُمِّ الدَّرْدَاءِ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ قَرَأ مِائَةَ آيةٍ لَمْ يُكْتَبْ مِنَ الْغَافِلِينَ، ومَنْ قَرَأ مِائَةَ آيةٍ إِلَى ألْف أصْبَح لَهُ قِنْطار مِنْ أجْرٍ عندَ اللَّهِ، القِنْطارُ مِنْهُ مِثلُ الجبَلِ العَظِيمِ".

Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Musa ibnu Ubaidah Ar-Rabzi, dari Muhammad ibnu Ibrahim, dari Musa, dari Ummu Darda, dari Abu Darda yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang membaca seratus ayat, maka ia tidak dicatat sebagai orang-orang yang lalai; dan barang siapa yang membaca seratus ayat hingga seribu ayat, maka ia akan memiliki satu qintar pahala di sisi Allah. Satu qintar pahala sama banyaknya dengan sebuah bukit yang besar.‎

Waki' meriwayatkan hal yang semakna dari Musa ibnu Ubaidah.
Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Abbas Muhammad ibnu Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Isa ibnu Zaid Al-Lakhami, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Amr ibnu Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Zuhair ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Humaid At-Tawil dan seorang lelaki lainnya, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai makna firman-Nya: harta yang berlimpah. (Ali Imran: 14) Maka Nabi Saw. bersabda:

«الْقِنْطَارُ أَلْفَا أُوقِيَّةٍ»

satu qintar adalah dua ribu auqiyah.

Hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Hakim.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dengan lafaz yang lain. Untuk itu ia mengatakan:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الرَّقِّي، حدثنا عمرو ابن أَبِي سَلَمَةَ، حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ -يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدٍ-حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ الطَّوِيلُ وَرَجُلٌ آخَرُ قَدْ سَمَّاهُ-يَعْنِي يَزِيدَ الرَّقَاشي-عَنْ أَنَسٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ: قِنْطَارٌ، يَعْنِي: "أَلْفَ دِينَارٍ"

telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman Ar-Riqqi, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Zuhair (yakni Ibnu Muhammad), telah menceritakan kepada kami Humaid At-Tawil dan seorang lelaki yang disebutnya bernama Yazid Ar-Raqqasyi, dari Anas, dari Rasulullah Saw. dalam sabdanya yang mengatakan:bahwa satu qintar adalah seribu dinar. 
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Tabrani, dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abu Maryam, dari Amr ibnu Abu Salamah, lalu ia menceritakan riwayat ini dengan sanad yang semisal.‎

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri, dari Anas ibnu Malik secara mursal atau mauquf hanya sampai kepadanya yang isinya menyatakan bahwa satu qintar adalah seribu dua ratus dinar. Hal ini merupakan suatu riwayat yang dikemukakan oleh Al-Aufi dari Ibnu Abbas.
Ad-Dahhak mengatakan bahwa sebagian orang Arab ada yang mengatakan satu qintar adalah seribu dua ratus dinar. Ada pula yang mengatakan dua belas ribu (dinar).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Arim, dari Hammad, dari Sa'id Al-Harasi, dari Abu Nadrah, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang mengatakan bahwa satu qintar adalah sepenuh kulit banteng berisikan emas.
Abu Muhammad mengatakan bahwa hal ini diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Musa Al-Harasi, dari Hammad ibnu Zaid secara marfu', tetapi yang mauquf lebih sahih.
Senang kuda ada tiga macam, adakalanya para pemiliknya memeliharanya untuk persiapan berjihad di jalan Allah; di saat mereka perlukan, maka mereka tinggal memakainya; mereka mendapat pahala dari usahanya itu. Adakalanya orang yang bersangkutan memelihara kuda untuk membanggakan diri dan melawan kaum muslim, maka pelakunya mendapat dosa dari perbuatannya. Adakalanya pula kuda dipelihara untuk diternakkan tanpa melupakan hak Allah yang ada padanya, maka bagi pemiliknya beroleh ampunan dari Allah Swt. Seperti yang akan dijelaskan nanti dalam tafsir firman-Nya:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِباطِ الْخَيْلِ

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang. (Al-Anfal: 60), hingga akhir ayat.
Yang dimaksud dengan al-musawwamah menurut Ibnu Abbas r.a. ialah kuda-kuda pilihan yang dipelihara dengan baik. Hal yang sama dikatakan pula menurut riwayat yang bersumber dari Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Abza, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, Abu Sinan, dan lain-lainnya.‎

Menurut Makhul, al-musawwamah ialah kuda yang memiliki belang putih. Menurut pendapat yang lainnya lagi dikatakan selain itu.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ سُوَيْد بْنِ قَيْسٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ حُدَيج، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "ليسَ مِنْ فَرَسٍ عَرَبِي إِلَّا يُؤذَنُ لَهُ مَعَ كُلِّ فَجْر يَدْعُو بِدَعْوَتَيْنِ، يَقُولُ: اللَّهُمَّ إنَّكَ خَوَّلْتَنِي مِنْ خَوَّلْتَني منبَنِي آدَم، فاجْعَلنِي مِنْ أحَبِّ مَالِهِ وأهْلِهِ إِلَيْهِ، أوْ أحَب أهْلِه ومالِهِ إليهِ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Abdul Hamid ibnu Ja'far, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Suwaid ibnu Qais, dari Mu'awiyah ibnu Khadij, dari Abu Zar r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tiada seekor kuda Arab pun melainkan diperintahkan kepadanya melakukan dua buah doa pada tiap fajar, yaitu: "Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah menundukkan aku kepada seseorang dari Bani Adam hingga aku tunduk kepadanya, maka jadikanlah aku tunduk kepadanya, maka jadikanlah aku termasuk harta dan keluarga yang paling dicintainya, atau keluarga dan harta benda yang paling dicintainya.

Firman Allah Swt.:
وَالْأَنْعامِ
dan binatang ternak. (Ali Imran: 14)‎
Yang dimaksud ialah unta, sapi, dan kambing.
وَالْحَرْثِ
dan sawah ladang. (Ali Imran: 14)
Yakni lahan yang dijadikan untuk ditanami (seperti ladang, sawah, serta perkebunan).
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا رَوْح بْنُ عُبَادَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو نَعَامَةَ الْعَدَوِيُّ، عَنْ مُسْلِمِ بْنِ بُدَيل عَنْ إياسِ بْنِ زُهَيْرٍ، عَنْ سُويد بْنِ هُبَيرة، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "خَيْرُ مَالِ امْرِئٍ لَهُ مُهْرة مَأمُورة، أَوْ سِكَّة مَأبُورة"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rauh ibnu Ubadah, telah menceritakan kepada kami Abu Na'amah Al-Adawi, dari Muslim ibnu Badil, dari Iyas ibnu Zuhair, dari Suwaid ibnu Hubairah, dari Nabi Saw. yang bersabda: Sebaik-baik harta seseorang ialah ternak kuda yang berkembang biak dengan pesat, atau kebun kurma yang subur.
Al-ma-burah, yang banyak keturunannya.As-sikkah, pohon kurma yang berbaris (banyak). Ma-buran artinya yang dicangkok (yakni subur).‎
Firman Allah Swt:
ذلِكَ مَتاعُ الْحَياةِ الدُّنْيا
Itulah kesenangan hidup di dunia. (Ali Imran: 14)
Artinya, itulah yang meramaikan kehidupan di dunia dan sebagai perhiasannya yang kelak akan fana.
وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik. (Ali Imran: 14)
Yakni tempat kembali yang baik dan berpahala, yaitu surga.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Ata, dari Abu Bakar ibnu Hafs ibnu Umar ibnu Sa'd yang menceritakan bahwa ketika diturunkan ayat berikut, yaitu firman-Nya:Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini. (Ali Imran: 14) Maka Umar ibnul Khattab berkata, "Sekaranglah, ya Tuhanku, karena Engkau telah menjadikannya sebagai perhiasan bagi kami." Maka turunlah firman-Nya: Katakanlah, "Inginkah aku kabarkan kepada kalian apa yang lebih baik daripada yang demikian itu?" Untuk orang-orang yang bertakwa. (Ali Imran: 15), hingga akhir ayat.
Karena itulah Allah Swt. berfirman:
قُلْ أَأُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ ذلِكُمْ
Katakanlah, "Inginkah aku kabarkan kepada kalian apa yang lebih baik daripada yang demikian itu?" (Ali Imran: 15)
Yakni katakanlah, hai Muhammad, kepada orang-orang, "Aku akan memberitahukan kepada kalian hal yang lebih baik daripada apa yang dihiaskan kepada manusia dalam kehidupan di dunia ini berupa kesenangan dan kegemerlapannya yang semuanya itu pasti akan lenyap." Sesudah itu Allah Swt. mengabarkan melalui firman-Nya:
لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ
Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. (Ali Imran: 15)
Yaitu yang menembus di antara sisi-sisinya dan bagian-bagiannya sungai-sungai dari berbagai macam rasa, ada sungai madu, sungai khamr, sungai susu, dan lain sebagainya yang belum pernah dilihat oleh mata manusia, belum pernah didengar oleh telinganya, dan belum pernah terdetik di dalam hatinya.
خالِدِينَ فِيها
mereka kekal di dalamnya. (Ali Imran: 15)
Yakni tinggal di dalamnya untuk selama-lamanya, dan mereka tidak mau pindah darinya.
وَأَزْواجٌ مُطَهَّرَةٌ
dan istri-istri yang disucikan. (Ali Imran: 15)
Maksudnya, disucikan dari kotoran, najis, penyakit, haid, nifas, dan lain sebagainya yang biasa dialami oleh kaum wanita di dunia.
وَرِضْوانٌ مِنَ اللَّهِ
serta keridaan Allah. (Ali Imran: 15)
Yakni mereka dinaungi oleh rida Allah, maka Allah tidak akan murka lagi terhadap mereka sesudahnya untuk selama-lamanya. Karena itulah Allah Swt. berfirman di dalam surat At-Taubah:
وَرِضْوانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ
Dan keridaan Allah adalah lebih besar. (At-Taubah: 72)
Artinya, lebih besar daripada semua nikmat kekal yang diberikan kepada mereka di dalam surga.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبادِ
Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Ali Imran: 15)
Yakni Dia pasti memberikan anugerah sesuai dengan apa yang berhak diterima oleh masing-masing hamba.‎

Satu hal yang perlu diyakini secara benar adalah bahwa dalam bab rizki, Allah telah membagi rizki kepada seluruh makhluknya tanpa kecuali (orang beriman ataupun kafir) sesuai dengan kehendaknya dan akan disempurnakan rizkinya masing-masing sampai menjelang wafatnya.

Kaya dan Miskin Bentuk Keadilan Allah

Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki.” (QS. An Nahl: 71)
Dalam ayat lain disebutkan,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
“Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27)
Ibnu Katsir rahimahullah lantas menjelaskan, “Seandainya Allah memberi hamba tersebut rezeki lebih dari yang mereka butuh, tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6: 553)
Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan lagi, “Akan tetapi Allah memberi rezeki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.” (Idem)

Ada yang Pantas Kaya dan Pantas Miskin

Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Al Isra’: 30)
Dalam ayat di atas, di akhir ayat Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya”. Ibnu Katsir menjelaskan maksud penggalan ayat terakhir tersebut, “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat manakah di antara hamba-Nya yang pantas kaya dan pantas miskin. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,‎
إِنَّ مِنْ عِبَادِى مَنْ لاَ يَصْلُحُ إِيْمَانُهُ إِلاَّ بِالغِنَى وَلَوْ أَفْقَرْتُهُ لَكَفَرَ، وَإِنَّ مِنْ عِبَادِى مَنْ لاَ يَصْلُحُ إِيْمَانُهُ إِلاَّ الفَقْر وَلَوْ أَغْنَيْتُهُ لَكَفَرَ
“Sesungguhnya di antara hamba-Ku, keimanan barulah menjadi baik jika Allah memberikan kekayaan padanya. Seandainya Allah membuat ia miskin, tentu ia akan kufur. Dan di antara hamba-Ku, keimanan barulah baik jika Allah memberikan kemiskinan padanya. Seandainya Allah membuat ia kaya, tentu ia akan kufur”. (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyah Al-Auliya’ 8: 318 lewat jalur Al-Hasan bin Yahya Al-Khasyniy, dari Shidqah bin ‘Abdillah, dari Hisyam Al Kanani, dari Anas. Hadits inidha’if). (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5: 71)
Kaya dan Miskin Sama-Sama Ujian

Dari Al-Hasan Al-Bashri, ia berkata,
كتب عمر بن الخطاب، رضي الله عنه، هذه الرسالة إلى أبي موسى الأشعري: واقنع برزقك من الدنيا، فإن الرحمن فَضَّل بعض عباده على بعض في الرزق، بل يبتلي به كلا فيبتلي من بَسَط له، كيف شُكره لله وأداؤه الحق الذي افترض عليه فيما رزقه وخوله؟ رواه ابن أبي حاتم
“Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhupernah menuliskan surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari yang isinya: Merasa cukuplah (qana’ah-lah) dengan rezeki dunia yang telah Allah berikan padamu. Karena Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih) mengaruniakan lebih sebagian hamba dari lainnya dalam hal rezeki. Bahkan yang dilapangkan rezeki sebenarnya sedang diuji pula sebagaimana yang kurang dalam hal rezeki. Yang diberi kelapangan rezeki diuji bagaimanakah ia bisa bersyukur dan bagaimanakah ia bisa menunaikan kewajiban dari rezeki yang telah diberikan padanya.” (HR. Ibnu Abi Hatim. Dinuki dari Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 696)

Kaya Bisa Jadi Istidraj (Jebakan Berupa Nikmat yang Disegerakan)

Bisa jadi ada yang mendapatkan limpahan rezeki namun ia adalah orang yang gemar maksiat. Ia tempuh jalan kesyirikan –lewat ritual pesugihan- misalnya, dan benar ia cepat kaya. Ketahuilah bahwa mendapatkan limpahan kekayaan seperti itu bukanlah suatu tanda kemuliaan, namun itu adalahistidraj. Istidraj artinya suatu jebakan berupa kelapangan rezeki padahal yang diberi dalam keadaan terus menerus bermaksiat pada Allah.
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ
“Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad 4: 145. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain).
Syaikh As Sa’di menyatakan, “Ketika mereka melupakan peringatan Allah yang diberikan pada mereka, maka dibukakanlah berbagi pintu dunia dan kelezatannya, mereka pun lalai. Sampai mereka bergembira dengan apa yang diberikan pada mereka, akhirnya Allah menyiksa mereka dengan tiba-tiba. Mereka pun berputus asa dari berbagai kebaikan. Seperti itu lebih berat siksanya. Mereka terbuai, lalai, dan tenang dengan keadaan dunia mereka. Namun itu sebenarnya lebih berat hukumannya dan jadi musibah yang besar.” (Tafsir As Sa’di, hal. 260).
Miskin Bisa Jadi Sebagai Hukuman atas Dosa

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Kekayaan yang diberikan pada sebagian orang bisa jadi sebagai bentuk istidraj (jebakan untuk mereka). Miskin pula sebagai hukuman atas dosa. Moga Allah melindungi kita dari kedua hal itu.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5: 71)
Kesulitan dalam hal rezeki bisa jadi sebagai bentuk hukuman atas dosa yang diperbuat. Bisa jadi karena lupa pada Allah dengan meninggalkan shalat, bisa pula sampai pada berbuat syirik pada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30).‎

Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina

Ketahuilah bahwa kaya dan miskin bukanlah tanda orang itu mulia dan hina. Karena orang kafir saja Allah beri rizki, begitu pula dengan orang yang bermaksiat pun Allah beri rizki. Jadi rizki tidak dibatasi pada orang beriman saja. Itulah lathif-nya Allah (Maha Lembutnya Allah). Sebagaimana dalam ayat disebutkan,

اللهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ القَوِيُّ العَزِيزُ

“Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezki kepada yang di kehendaki-Nya dan Dialah yang Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Asy Syura: 19)

Sifat orang-orang yang tidak beriman adalah menjadikan tolak ukur kaya dan miskin sebagai ukuran mulia ataukah tidak. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالُوا نَحْنُ أَكْثَرُ أَمْوَالًا وَأَوْلَادًا وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ (35) قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (36) وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِنْدَنَا زُلْفَى إِلَّا مَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا وَهُمْ فِي الْغُرُفَاتِ آَمِنُونَ (37)

“Dan mereka berkata: “Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak- anak (daripada kamu) dan Kami sekali-kali tidak akan diazab. Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya). Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang Tinggi (dalam syurga).” (QS. Saba’: 35-37)

Orang-orang kafir berpikiran bahwa banyaknya harta dan anak adalah tanda cinta Allah pada mereka. Perlu diketahui bahwa jika mereka, yakni orang-orang kafir diberi rizi di dunia, di akherat mereka akan sengsara dan diadzab. Allah subhanahu wa ta’ala telah menyanggah pemikiran rusak orang kafir tadi dalam firman-Nya,

نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَلْ لَا يَشْعُرُونَ

“Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 56)

Bukanlah banyaknya harta dan anak yang mendekatkan diri pada Allah, namun iman dan amalan sholeh. Sebagaiman dalam surat Saba’ di atas disebutkan,

وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِنْدَنَا زُلْفَى إِلَّا مَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا

“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh.” Penjelasan dalam ayat ini senada dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian” (HR. Muslim no. 2564, dari Abu Hurairah)

Kaya bisa saja sebagai istidroj dari Allah, yaitu hamba yang suka bermaksiat dibuat terus terlena dengan maksiatnya lantas ia dilapangkan rizki. Miskin pun bisa jadi sebagai adzab atau siksaan. Semoga kita bisa merenungkan hal ini.

Ibnu Katsir rahimahullah ketika menerangkan firman Allah,

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16)

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“. (QS. Al Fajr: 15-16); beliau rahimahullah berkata, “Dalam ayat tersebut, Allah Ta’alamengingkari orang yang keliru dalam memahami maksud Allah meluaskan rizki. Allah sebenarnya menjadikan hal itu sebagai ujian. Namun dia menyangka dengan luasnya rizki tersebut, itu berarti Allah memuliakannya. Sungguh tidak demikian, sebenarnya itu hanyalah ujian. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لا يَشْعُرُونَ

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 55-56)

Sebaliknya, jika Allah menyempitkan rizki, ia merasa bahwa Allah menghinangkannya. Sebenarnya tidaklah sebagaimana yang ia sangka. Tidaklah seperti itu sama sekali. Allah memberi rizki itu bisa jadi pada orang yang Dia cintai atau pada yang tidak Dia cintai. Begitu pula Allah menyempitkan rizki pada pada orang yang Dia cintai atau pun tidak.  Sebenarnya yang jadi patokan ketika seseorang dilapangkan dan disempitkan rizki adalah dilihat dari ketaatannya pada Allah dalam dua keadaan tersebut. Jika ia adalah seorang yang berkecukupan, lantas ia bersyukur pada Allah dengan nikmat tersebut, maka inilah yang benar. Begitu pula ketika ia serba kekurangan, ia pun bersabar.”‎

Sebab Bertambah dan Barokahnya Rizki

Takwa kepada Allah adalah sebab utama rizki menjadi barokah. Allahsubhanahu wa ta’ala menceritakan mengenai Ahli Kitab,

وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ مِنْهُمْ أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ سَاءَ مَا يَعْمَلُونَ

“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Rabbnya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. dan Alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.” (QS. Al Maidah: 66)

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ القُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al A’rof: 96)

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا , وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluark, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)

وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا

“Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).” (QS. Al Jin: 16)

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ

“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7)

Sebab Berkurang dan Hilangnya Barokah Rizki

Kebalikan dari di atas, rizki bisa berkurang dan hilang barokahnya karena maksiat dan dosa. Mungkin saja hartanya banyak, namun hilang barokah atau kebaikannya. Karena rizki dari Allah tentu saja diperoleh dengan ketaatan. Allah Ta’ala berfirman,

ظَهَرَ الفَسَادُ فِي البَرِّ وَالبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Rum: 41). Yang dimaksudkan kerusakan di sini—kata sebagian ulama–  adalah kekeringan, paceklik, hilangnya barokah (rizki). Ibnu ‘Abbasradhiyallahu ‘anhuma berkata, “Yang dimaksudkan kerusakan di sini adalah hilangnya barokah (rizki) karena perbuatan hamba. Ini semua supaya mereka kembali pada Allah dengan bertaubat.” Sedangkan yang dimaksud dengan kerusakan di laut adalah sulitnya mendapat buruan di laut. Kerusakan ini semua bisa terjadi karena dosa-dosa manusia.‎

Orang kaya yang berinfaq disamakan pahalanya dengan orang miskin yang jujur niatnya berinfaq meski belum mampu berinfaq,berdasarkan sabda Nabi ‎shallallahu ‘alaihi wa sallam:

«إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ، عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ المَنَازِلِ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا، فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ المَنَازِلِ، وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ»

“Sesungguhnya dunia untuk 4 jenis manusia, yaitu [1] hamba yang diberi Allah rezeki harta dan ilmu. Dengannya ia bertaqwa kepada Rabb-nya, menyambung silaturrahim, dan mengetahui hak Allah dalam harta tersebut, dan ini adalah kedudukan paling utama. [2] Hamba yang diberi Allah ilmu tetapi tidak diberi rezeki harta. Dengan niat yang jujur dia berkata, ‘Andai saya punya harta pasti aku beramal seperti fulan.’ Dia dengan niatnya itu dinilai sama pahala keduanya. [3] Hamba yang diberi Allah rezeki harta tetapi tidak diberi ilmu. Dia menghabiskan hartanya tanpa ilmu tanpa takut kepada Rabb-nya, tidak menyambung silaturrahim, dan tidak mengetahui hak Allah dalam harta tersebut. Inilah kedudukan yang paling buruk. [4] Hamba yang tidak diberi harta dan ilmu lalu berkata, ‘Andai aku memiliki harta, pasti aku akan melakukan seperti perbuatan fulan.’ Orang ini dengan niatnya dinilai sama dosa keduanya.” [Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 2325, IV/562), Ibnu Majah (no. 4228), dan Ahmad (no. 18024) dari Abu Kabsyah al-Anmari radhiyallahu ‘anhu]

Zhahir hadits ini mengabarkan bahwa orang kaya yang berinfak dan orang miskin yang memiliki niat jujur berinfaq meski belum memiliki uang, pahala mereka berdua sama tidak berbeda. Meski demikian, orang kaya dari sisi manfaatnya bagi orang Islam lebih luas, karena mereka bisa bersedekah membantu orang miskin, mengenyangkan orang kelaparan, menolong orang kesulitan, membangung jembatan, dan kebaikan lainnya yang tidak mampu dilakukan oleh orang miskin. Dari sisi manfaat sosial ini, orang kaya lebih utama.

Dalilnya sebuah riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa orang-orang miskin Muhajirin mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata:

ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلَى، وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ، فَقَالَ: «وَمَا ذَاكَ؟» قَالُوا: يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي، وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ، وَيَتَصَدَّقُونَ وَلَا نَتَصَدَّقُ، وَيُعْتِقُونَ وَلَا نُعْتِقُ، فَقَالَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَفَلَا أُعَلِّمُكُمْ شَيْئًا تُدْرِكُونَ بِهِ مَنْ سَبَقَكُمْ وَتَسْبِقُونَ بِهِ مَنْ بَعْدَكُمْ؟ وَلَا يَكُونُ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِنْكُمْ إِلَّا مَنْ صَنَعَ مِثْلَ مَا صَنَعْتُمْ» قَالُوا: بَلَى، يَا رَسُولُ اللهِ قَالَ: «تُسَبِّحُونَ، وَتُكَبِّرُونَ، وَتَحْمَدُونَ، دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ مَرَّةً» قَالَ أَبُو صَالِحٍ: فَرَجَعَ فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الْأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا، فَفَعَلُوا مِثْلَهُ، فَقَالَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:«ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ»

“Orang-orang kaya memborong derajat tinggi (beramal banyak) dan kenikmatan yang langgeng.” Beliau bertanya, “Ada apa?” Mereka berkata, “Mereka shalat seperti kami, mereka puasa seperti kami, tetapi mereka bersedekah dan kami tidak, dan mereka membebaskan budak dan kami tidak.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah kalian mau aku ajari sesuatu yang bisa mengejar orang  yang mendahului kalian dan melampaui orang-orang setelah kalian? Tidak ada orang yang lebih utama dari kalian kecuali yang melakukan seperti apa yang kalian lakukan?” Mereka menjawab, “Mau wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, ‎“Kalian bertasbih, bertakbir, dan bertahmid usai setiap shalat 33 kali.”Kemudian orang-orang miskin Muhajirin mendatangi Rasulullah ‎shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi seraya berkata, “Saudara-saudara  kami orang-orang kaya mendengar apa yang kami amalkan lalu mereka pun ikut mengamalkannya.” Rasulullah ‎shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” [HR. Muslim (no. 595, I/416), ath-Thabarani (no. 802) dalam al-Mu’jam ash-Shaghîr, dan Abu ‘Awanah (no. 2086) dalam Musnadnya]

Di dalam salah satu hadis, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk menjadi dermawan dan bukan menjadi peminta-minta.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فِيمَا قُرِئَ عَلَيْهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَذْكُرُ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ عَنْ الْمَسْأَلَةِ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَالْيَدُ الْعُلْيَا الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى السَّائِلَةُ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id dari Malik bin Anas -sebagaimana yang telah dibacakan kepadanya- dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di atas mimbar, beliau menyebut tentang sedekah dan menahan diri dari meminta-minta. Sabda beliau: “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang dibawah. Tangan di atas adalah tangan pemberi sementara tangan yang di bawah adalah tangan peminta-minta (HR. MuslimNo.1715)

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Menurut para peneliti dan ahli ilmu bahwa keutamaan di antara orang kaya dan orang miskin tidak kembali pada miskin atau pun kayanya. Namun itu semua kembali pada amalan, keadaan, dan hakikatnya. … Keutamaan di antara keduanya di sisi Allah dilihat dari ketakwan, hakikat iman, bukan dilihat dari miskin atau kayanya. Karena Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (QS. Al Hujurat: 13)
Dalam ayat ini, Allah tidak mengatakan bahwa yang paling mulia adalah yang paling kaya di antara kalian atau yang paling miskin di antara kalian.” (Madarijus Salikin, 2/442)
Dalam shohih Bukhari dan Muslim, terdapat riwayat dari Abu Hurairah,
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، مَنْ أَكْرَمُ النَّاسِ قَالَ « أَتْقَاهُمْ » . فَقَالُوا لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ . قَالَ « فَيُوسُفُ نَبِىُّ اللَّهِ ابْنُ نَبِىِّ اللَّهِ ابْنِ نَبِىِّ اللَّهِ ابْنِ خَلِيلِ اللَّهِ » . قَالُوا لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ . قَالَ « فَعَنْ مَعَادِنِ الْعَرَبِ تَسْأَلُونَ خِيَارُهُمْ فِى الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِى الإِسْلاَمِ إِذَا فَقُهُوا »
Ada yang mengatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling mulia?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yang paling bertakwa.”
Kemudian mereka yang bertanya tadi berkata, “Bukan itu yang kami tanyakan.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “(Yang paling mulia adalah) Yusuf, Nabi Allah. Dia anak dari Nabi Allah (Ya’qub). Dia cucu dari Nabi Allah (Ishaq). Dan dia adalah keturunan kekasih Allah (Ibrahim).”
Kemudian mereka yang bertanya tadi berkata, “Bukan itu yang kami tanyakan.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Apakah mengenai barang tambang Arab yang kalian tanyakan? (Manusia adalah barang tambang), yang paling baik di antara mereka di masa Jahiliyah adalah yang paling baik di antara mereka di masa Islam, namun jika mereka memiliki ilmu.”

Inilah tabiat setiap mukmin sejati. Mereka tidak pernah lepas dari dua tugas itu, antara bersyukur ketika mendapat nikmat dan bersabar ketika musibah. Bahkan tabiat ini membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terheran dengan mereka. Dalam sebuah sabdanya, beliau memuji orang yang beriman,

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Sungguh mengherankan kondisi orang yang beriman, semua urusannya baik. Itu tidak dimiliki kecuali oleh orang yang beriman. Ketika dia mendapatkan kenikmatan, dia bersyukur, dan itu baik baginya. Dan ketika dia mendapatkan musibah, dia bersabar, dan itu baik baginya. (HR. Muslim 7692 dan Ibnu Hibban 2896)

Orang kaya minoritas penduduk surga karena kebanyakan penduduk surga orang miskin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

«اطَّلَعْتُ فِي الْجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءَ، وَاطَّلَعْتُ فِي النَّارِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ»

“Aku pernah mengintip surga dan ternyata kebanyakan penghuninya adalah orang-orang faqir dan aku mengintip neraka dan ternyata kebanyakan penduduknya adalah kaum wanita.” [HR. Muslim (no. 2737, IV/2096), at-Tirmidzi (no. 2602), dan Ahmad (no. 2086) dari Ibnu ‘Abbas ‎radhiyallahu ‘anhuma]

Ada banyak alasan mengapa banyak orang kaya yang masuk neraka dan sedikit di surga, di antaranya:

1. Kebanyakan penentang kebenaran adalah orang kaya karena merasa lebih mulia dari para nabi dan da’i yang kebanyakan miskin harta atau orang tidak terpandang. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

«وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ (34) وَقَالُوا نَحْنُ أَكْثَرُ أَمْوَالًا وَأَوْلَادًا وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ»

“Dan tidaklah Kami mengutus di suatu negeri seorang pemberi peringatan melainkan orang-orang kaya di negeri tersebut berkata, ‘Kami kafir terhadap apa yang kamu diutus.’ Mereka juga mengatakan, ‘Kami lebih banyak harta dan anak-anak, dan kami tidak akan disiksa.’” [QS. Saba` [34]: 34-35]

«وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِلِقَاءِ الْآخِرَةِ وَأَتْرَفْنَاهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا مَا هَذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يَأْكُلُ مِمَّا تَأْكُلُونَ مِنْهُ وَيَشْرَبُ مِمَّا تَشْرَبُونَ (33) وَلَئِنْ أَطَعْتُمْ بَشَرًا مِثْلَكُمْ إِنَّكُمْ إِذًا لَخَاسِرُونَ»

“Dan para pembesar dari kaumnya (Hud ‘alaihissalam) yang kafir dan mendustakan hari akhirat dan orang-orang yang Kami beri kekayaan dunia berkata, ‘Tidaklah orang ini kecuali hanya manusia seperti kalian yang makan seperti yang kalian makan dan minum seperti yang kalian minum. Jika kalian mengikuti manusia yang seperti kalian ini, tentu kalian benar-benar akan rugi.’” [QS. Al-Mu`minûn [23]: 33-34]

Mereka beralasan karena kemiskinan tanda kesesatan dan tidak dicintai Allah. Untuk itu, para pengikut Nabi Nuh ‘alaihissalam dan Nabi Muhammad ‎shallallahu ‘alaihi wa sallam dilecehkan karena mereka adalah orang-orang miskin:

«فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلَّا بَشَرًا مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ»

“Dan para pembesar orang-orang kafir dari kaumnya (Nuh) berkata, ‘Kami tidak melihatmu kecuali manusia biasa dan kami melihat para pengikutmu hanya orang-orang rendahan di kalangan kami yang sedikit akalnya. Kami juga melihat bahwa kalian tidak memiliki kelebihan apapaun atas kami dan kami yakin kalian hanya para pendusta.’” [QS. Hûd [11]: 27]

2. Kebanyakan orang kaya sombong dan orang miskin tawadhu’.  Fir’aun menentang dakwah Nabi Musa dan Harun ‘alaihi massalam bukan karena tidak mengakui Rabb semesta alam, tetapi karena rasa sombong di dalam dirinya atas kekayaan melimpah dan kerajaan besar yang dimilikinya sehingga tidak rela menjadi pengikut dan diatur siapa pun. Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan:

«وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا»

“Mereka (Fir’aun dan bala tentaranya) menentangnya (risalah Musa) padahal jiwa-jiwa mereka meyakininya (kebenaran risalah Musa), karena kezhaliman dan kesombongan.” [QS. An-Naml [27]: 14]

3. Orang-orang kaya dari umat Islam akan ditahan di sebuah tempat antara neraka dan surga untuk ditanyai (dimintai pertanggungjawaban) atas harta yang dimilikinya satu demi satu. Akhirnya mereka telat masuk surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

«لَا تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ، عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ، وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ»


“Telapak kaki anak Adam tidak akan bergeser di hari Kiamat dari sisi Rabb-nya hingga ditanya tentang 5 hal, yaitu tentang umurnya untuk apa dihabiskan, tentang masa mudanya untuk apa digunakan, tentang hartanya dari mana didapat dan untuk apa dibelanjakan, dan tentang amal atas apa yang diketahuinya.” [Hasan:HR. At-Tirmidzi (no. 2416, IV/612), ath-Thabarani (no. 760) dalam al-Mu’jam ash-Shaghîr, dan al-Bazzar (no. 1435) dalam Musnadnya dari Ibnu Mas’ud ‎radhiyallahu ‘anhu]

Ternyata 2 dari 5 pertanyaan berkaitan dengan harta. Sangat sulit mempertanggungjawabkan pertanyaan mencari rezeki dengan cara yang halal, kalaupun selamat masih ada pertanyaan ke-2 ke mana dibelanjakan. Sungguh amat sulit dan sedikit yang lolos dengan selamat.

4. Allah dan Nabi-Nya mensifati orang kafir dengan gemar makan, minum, dan bersenang-senang, dan ini umumnya tidak mampu dilakukan kecuali oleh orang kaya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

«وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ»

“Dan orang-orang kafir suka bersenang-senang dan makan seperti binatang ternak makan, sementara neraka adalah tempat tinggal mereka.”[QS. Muhammad [47]: 12]

«المُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ، وَالكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ»

“Orang beriman makan dengan satu usus dan orang kafir makan dengan 7 usus.” [Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5393, VII/71) dan Muslim (no. 2060) dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhum]‎


Penjelasan Tentang Mengapa Umat Islam Banyak Yang Miskin

 

Rosululloh Sholallohu 'Alaihi Wasallam Bersabda:

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ ، وَجَنَّةُ الكَافِرِ

“Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir” (HR. Muslim)

Kita terkadang mendengar pertanyaan mengapa orang kafir kaya-kaya sedangkan orang Islam yang sholat malah miskin-miskin? Sebenarnya orang muslim dan sholat yang kaya juga banyak. Namun lebih banyak lagi adalah orang kafir yang kaya. Penjelasan mengenai hal ini ada beberapa sebab  :

Karena Sifat Rahman Allah

Sesungguhnya Allah memiliki sifat Rahman dan Rahiim. Perbedaan antara Rahman dan Rahiim adalah bahwa sifat Rahman itu adalah kasih Allah pada semua manusia, tidak pandang ia beriman atau kafir. Namun Rahman  Allah itu hanya sebatas di dunia saja. Selama di dunia, orang beriman maupun orang kafir semuanya mendapatkan rezeki, semuanya mendapatkan udara dan sinar matahari gratis. Sedangkan Rahiim adalah kasing sayang Allah hanya untuk orang beriman saja kelak di akhirat.

كُلا نُمِدُّ هَؤُلاءِ وَهَؤُلاءِ مِنْ عَطَاءِ رَبِّكَ وَمَا كَانَ عَطَاءُ رَبِّكَ مَحْظُورًا

Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu  Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. (Q.S. Al-Israa’ [17] : 20)

Allah Swt. berfirman:
{كُلا}

Kepada masing-masing. (Al-Isra: 20)

Maksudnya, kepada tiap-tiap orang dari kedua golongan itu, yakni golongan yang mengharapkan dunia dan golongan yang mengharapkan akhirat, Kami berikan bantuan kepadanya,

{مِنْ عَطَاءِ رَبِّكَ}

dari kemurahan Tuhanmu. (Al-Isra: 20)

Yakni Dialah yang mengatur lagi memutuskan yang tidak pernah aniaya dalam keputusan-Nya. Maka Dia memberikan kepada tiap-tiap orang apa yang berhak diterimanya, yakni nasib bahagia dan nasib celakanya. Tiada yang dapat menolak keputusan-Nya, tiada yang dapat mencegah apa yang diberikan-Nya, dan tiada yang dapat mengubah apa yang dike-hendaki-Nya. Karena itulah Allah Swt. berfirman dalam ayat selanjutnya:

{وَمَا كَانَ عَطَاءُ رَبِّكَ مَحْظُورًا}

Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. (Al-Isra: 20)

Artinya, tiada seorang pun yang dapat mencegahnya dan tiada seorang pun yang dapat menolak apa yang dikehendaki-Nya.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. (Al-Isra: 20) Bahwa yang dimaksud dengan mahzura ialah dikurangi.

Sedangkan menurut Al-Hasan dan lain-lainnya, makna yang dimaksud ialah dicegah.

Perhatikanlah ayat di atas kedua golongan itu sama-sama diberi bantuan. Siapakah kedua golongan itu? Lihatlah 2 ayat sebelumnya.

Golongan pertama, adalah orang yang menginginkan kehidupan di dunia. Mereka bahkan disegerakan diberi keduniawaian sebagaimana yang mereka minta.

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا (18) وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا (19)

Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam kea­daan tercela dan terusir. Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.

Allah Swt. menyebutkan bahwa tidaklah setiap orang yang mencari duniawi dan kesenangan-kesenangannya dapat memperolehnya, melainkan dunia itu dapat diperoleh oleh orang yang dikehendaki oleh Allah untuk memperolehnya. Makna ayat ini mengikat kemutlakan makna yang terdapat dalam ayat-ayat lainnya. Karena sesungguhnya Allah Swt. telah mengatakan dalam firman-Nya:

{عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا}

maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam. (Al-Isra: 18)
Yakni di akhirat kelak.

{يَصْلاهَا}

ia akan memasukinya. (Al-Isra: 18)

Maksudnya, ia akan dimasukkan ke dalamnya sehingga neraka Jahannam meliputinya dari segala penjuru (yakni ia tenggelam di dalamnya).

{مَذْمُومًا}

dalam keadaan tercela. (Al-Isra: 18)

Ia masuk ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan tercela. Hal itu sebagai balasan dari sepak terjang dan amal perbuatannya yang buruk, karena ia lebih memilih dunia daripada akhirat yang kekal.

{مَدْحُورًا}

lagi dalam keadaan terusir. (Al-Isra: 18)

Yakni dijauhkan dari rahmat Allah lagi terhina dan terusir.

قَالَ الإمام أحمد: حدثنا حسين، حدثنا ذويد ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ زُرْعَة، عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الدُّنْيَا دَارُ مَنْ لَا دَارَ لَهُ، وَمَالُ مَنْ لَا مَالَ لَهُ، وَلَهَا يَجْمَعُ مَنْ لَا عَقْلَ لَهُ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Husain, telah menceritakan kepada kami Ruwaid, dari Abu Ishaq, dari Zar'ah, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Dunia ini adalah rumah bagi orang yang tidak punya rumah, dan harta bagi orang yang tidak berharta, dan hanya karena dunialah orang yang tidak berakal menghimpunnya.

Golongan kedua, adalah orang yang menginginkan akhirat dan berusaha sungguh2 ke arah itu. Mereka diberi kesenangan akhirat sebagaimana yang mereka minta.

Firman Allah Swt.:

{وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ}

Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat. (Al-Isra: 19)

Yaitu menginginkan kampung akhirat berikut segala kenikmatan dan kegembiraan yang ada padanya.

{وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا}

berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh. (Al-Isra: 19)

Maksudnya, dia mencari hal itu dengan menempuh jalannya dan selalu mengikuti Rasul Saw.

{وَهُوَ مُؤْمِنٌ}

sedangkan ia adalah mukmin. (Al-Isra: 19)

Yakni hatinya beriman dan membenarkan adanya pahala dan pembalasan di hari akhirat.

{فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا}

maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. (Al-Isra: 19)

Dan baik muslim maupun non-muslim,  yang satu dilebihkan rezekinya, dilebihkan kekuasaannya, dilebihkan kesenangannya dibanding yang lain. Artinya orang muslim ada yang miskin, setengah kaya, kaya dan kaya sekali. Demikian pula orang kafir juga ada yang miskin, setengah kaya, kaya dan kaya sekali.

انْظُرْ كَيْفَ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَلَلآخِرَةُ أَكْبَرُ دَرَجَاتٍ وَأَكْبَرُ تَفْضِيلا

Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya (Q.S. Al-Israa’ [17] : 21)

Dikatakan demikian karena perbedaan keadaan mereka di kampung akhi­rat jauh lebih mencolok daripada kedaan mereka ketika di dunia. Di antara mereka ada yang tinggal di dasar neraka Jahannam dalam keadaan terbelenggu oleh rantai-rantainya, ada pula yang tinggal pada kedudukan yang tertinggi bergelimangan dengan kenikmatan dan kegembiraan. Kemudian ahli neraka pun berbeda-beda pula tingkatan tempatnya, sebagaimana berbeda-bedanya tingkatan kedudukan ahli surga; karena sesungguhnya surga itu terdiri atas seratus derajat (tingkatan), jarak antara satu tingkatan ke tingkat yang lainnya sama dengan jarak antara bumi dan langit. Di dalam kitab Sahihain disebutkan:

"إِنَّ أَهْلَ الدَّرَجَاتِ الْعُلَى لَيَرَوْنَ أَهْلَ عِلِّيِّينَ، كَمَا تَرَوْنَ الْكَوْكَبَ الْغَابِرَ فِي أُفُقِ السَّمَاءِ"

Sesungguhnya penduduk surga tingkatan tinggi, benar-benar dapat melihat penduduk surga 'Illiyyin (yang lebih tinggi darinya)sebagaimana kalian melihat bintang-bintang yang terletak jauh di ufuk langit.

Karena itulah dalam ayat ini di sebutkan oleh firman-Nya: Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatannya dan lebih besar keutamaannya. (Al-Isra: 21)

Di dalam kitab Imam Tabrani melalui riwayat Zazan, dari Salman secara marfu' disebutkan hadis berikut:

«ما من عبد يريد أن يرتفع في الدنيا درجة فارتفع، إلا وضعه الله في الآخرة أكبر منها» ثم قرأ وَلَلْآخِرَةُ أَكْبَرُ دَرَجاتٍ وَأَكْبَرُ تَفْضِيلًا.

Tiada seorang hamba (Allah) pun yang menginginkan diangkat satu tingkat kedudukannya di dunia ini, lalu ia ditinggikan, melainkan merendahkannya di akhirat nanti ketingkatan bawah yang lebih rendah dari itu. Kemudian Salman membacakan firman-Nya: Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatannya dan lebih besar keutamaannya. (Al-Isra: 21)

Maka dalam sebuah hadits diceritakan bahwa betapa Allah itu sangat Rahman dan sabar atas kelaliman hambanya, karena setiap  hari manusia durhaka kepada Allah, dan kebanyakan manusia menyangka yang tidak benar kepada Allah namun Allah tetap memberi mereka rezeki :

Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah Telah menceritakan kepada kami Al A’masy dari Sa’id bin Jubair dari Abu Abdurrahman As Sulami dari Abu Musa ia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tidak ada yang lebih sabar atas suatu hinaan daripada Allah ‘azza wajalla. Dia dipersekutukan dan dituduh mempunyai anak, namun dengan kesemuanya Dia yang memberi kecukupan, menolak bala` dari mereka dan memberi rezeki pada mereka.” (H.R. Ahmad No. 18807)

Namun Allah mengingatkan bahwa yang pasti adalah kehidupan akhirat itu lebih tinggi dan lebih besar kesenangannya dibanding kehidupan dunia yang paling senang sekalipun. Kehidupan akhirat itu lebih nikmat daripada yang paling nikmat sekalipun.

Karena Dunia ini Remeh Di Mata Allah

Suatu hari Rasulullah s.a.w. bersama para sahabat melewati bangkai seekor keledai. Lalu Rasulullah s.a.w. bertanya : “Apakah kalian jijik dengan bangkai keledai itu?” Sahabat menjawab : “Ya”. Rasulullah SAW bersabda : “Seandainya bukan karena dunia ini dalam pandangan Allah lebih remeh dari pada bangkai keledai itu niscaya Allah tak akan rela memberikan dunia ini kepada orang kafir”

Demikianlah dunia di mata Allah ini amat sangat remeh dan menjijikkan maka janganlah kaum beriman iri dengan dunia yang berada dalam genggaman orang-orang kafir karena sesungguhnya itu adalah istidraj, yaitu penguluran waktu dan kesenangan yang sedikit.

Kedua karena remehnya dunia, maka Allah di sini berlaku rumus : siapa yang menginginkan dunia baik itu kafir atau muslim akan diberikan dunia sesuai dengan kadar usahanya, sesuai dengan kadar ikhtiarnya

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16) 

Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak mem­peroleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. (surat Hud 15-16)

Sehubungan dengan ayat ini Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya orang-orang yang suka riya (pamer dalam amalnya), maka pahala mereka diberikan di dunia ini. Demikian itu karena mereka tidak dianiaya barang sedikit pun. Ibnu Abbas mengatakan, "Barang siapa yang beramal saleh untuk mencari keduniawian, seperti melakukan puasa, atau salat, atau bertahajud di malam hari, yang semuanya itu ia kerjakan hanya semata-mata untuk mencari keduniawian, maka Allah berfirman, 'Aku akan memenuhi apa yang dicarinya di dunia, ini sebagai pembalasannya, sedangkan amalnya yang ia kerjakan untuk mencari keduniawian itu digugurkan, dan dia di akhirat nanti termasuk orang-orang yang merugi'."

Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mujahid, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.

Anas ibnu Malik dan Al-Hasan mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Mujahid dan lain-lainnya mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang suka riya.

Qatadah mengatakan, "Barang siapa yang dunia merupakan niat, dambaan, dan buruannya, maka Allah membalas kebaikannya di dunia ini. Dan bila ia datang ke akhirat, maka ia tidak lagi memiliki pahala amal kebaikan yang akan diberikan kepadanya. Adapun orang mukmin, maka amal kebaikannya dibalas di dunia ini, dan kelak di akhirat dia mendapat pahala dari amalnya itu." Dalam hadis yang marfu’ telah disebutkan hal yang semisal dengan ini.

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نزدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ}

Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya; dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat (Asy-Syura: 20)

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (144) وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ (145) وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ (146) وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (147) فَآتَاهُمُ اللَّهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الْآخِرَةِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (148)

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang. maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada doa mereka selain ucapan: "Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.(Q.S. Ali-Imran  [3] :144-148)

Setelah kaum muslim mengalami kekalahan dan terpukul mundur dalam perang uhud serta banyak yang gugur diantara mereka, maka setan berseru, "Ingatlah, sesungguhnya Muhammad telah terbunuh!"

Ibnu Qumaiah kembali kepada pasukan kaum musyrik, lalu berkata kepada mereka, "Aku telah membunuh Muhammad." Padahal sesungguhnya dia hanya memukul Rasulullah saw dan melukai kepala beliau. Tetapi seruan tersebut memang mempengaruhi sebagian besar pasukan kaum muslim sehingga mereka menyangka bahwa Rasulullah Saw. benar-benar telah terbunuh (gugur), dan mereka berkeyakinan bahwa terbunuh adalah suatu hal yang mungkin terjadi pada diri Rasulullah Saw. Seperti yang dikisahkan oleh Allah Swt. perihal nasib yang dialami oleh banyak nabi terdahulu. Maka mereka menjadi kendur semangatnya dan lemah serta mundur dari medan perang; sehubungan dengan peristiwa inilah diturunkan firman-Nya: 

{وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ}

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. (Ali Imran: 144), hingga akhir ayat.

Yakni dia mempunyai teladan pada mereka dalam hal kerasulan, juga dalam hal dapat terbunuh (sebagaimana banyak dari kalangan mereka yang dibunuh oleh kaumnya).

Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari ayahnya, bahwa seorang lelaki dari kalangan Muhajirin bersua dengan seorang lelaki dari kalangan Ansar (dalam medan perang), sedangkan orang Ansar itu tubuhnya dipenuhi oleh darah (dari lukanya). Lalu lelaki Muhajirin berkata kepadanya, "Hai Fulan, tahukah kamu bahwa Muhammad Saw. telah terbunuh?" Maka lelaki Ansar itu menjawab, "Jika Muhammad telah terbunuh, berarti beliau telah menyampaikan risalahnya. Karena itu, berperanglah kalian untuk membela agama kalian." Lalu turunlah firman-Nya: Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. (Ali Imran: 144)

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Baihaqi meriwayatkannya di dalam kitab Dalailun Nubuwwah; kemudian ia mengatakan bahwa hadis ini berpredikat munkar mengingat ada di antara perawinya yang daif. 
{أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ}

Apakah jika dia wafat atau dibunuh kalian berbalik ke belakang? (Ali Imran: 144)

Yakni kalian mundur ke belakang.

{وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ}

Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (Ali Imran: 144)

Yang dimaksud dengan 'orang-orang yang bersyukur' ialah mereka yang menjalankan ketaatan kepada-Nya, berperang membela agama-Nya, dan mengikuti Rasul-Nya, baik sewaktu beliau masih hidup ataupun sudah wafat.

Demikian pula telah ditetapkan di dalam kitab-kitab sahih serta kitab-kitab musnad, juga kitab-kitab sunnah serta kitab-kitab Islam lainnya sebuah hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur yang memberikan pengertian adanya suatu kepastian. Kami mengetengahkan hal tersebut di dalam kedua kitab Musnad Syaikhain, yaitu Abu Bakar dan Umar radiyallahu anhuma. Disebutkan bahwa ketika Rasulullah Saw. wafat, Abu Bakar As-Siddiq r.a. membacakan ayat ini.

قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَير، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقيل عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمة؛ أَنَّ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَخْبَرَتْهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَقْبَلُ عَلَى فَرَس مِنْ مَسْكنه بالسَّنْح حَتَّى نَزَلَ فَدَخَلَ الْمَسْجِدَ، فَلَمْ يُكلم النَّاسَ حَتَّى دَخَلَ عَلَى عَائِشَةَ فتيمَّم رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلموَهُوَ مُغَشى بِثَوْبٍ حِبَرَةٍ، فَكَشَفَ عَنْ وَجْهِهِ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] ثُمَّ أَكُبَّ عَلَيْهِ وقَبَّله وَبَكَى، ثُمَّ قَالَ: بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي. وَاللَّهِ لَا يَجْمَعُ اللَّهُ عَلَيْكَ موْتَتَين؛ أَمَّا الْمَوْتَةُ الَّتِي كُتبت عَلَيْكَ فَقَدْ مُتَّها.
وَقَالَ الزُّهْرِيُّ: وَحَدَّثَنِي أَبُو سَلمة عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ أَبَا بَكْرٍ خَرَجَ وَعُمَرُ يُحَدِّث النَّاسَ فَقَالَ: اجْلِسْ يَا عُمَرُ فَأَبَى عمرُ أَنْ يَجْلِسَ، فَأَقْبَلَ النَّاسُ إِلَيْهِ وَتَرَكُوا عُمَرَ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: أَمَّا بَعْدُ، مَنْ كانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ، وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيّ لَا يَمُوتُ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ} إِلَى قَوْلِهِ: {وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ} قَالَ: فَوَاللَّهِ لكَأنّ النَّاسَ لَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ هَذِهِ الْآيَةَ حَتَّى تَلَاهَا أَبُو بَكْرٍ، فَتَلَقَّاهَا النَّاسُ مِنْهُ كُلُّهُمْ، فَمَا سَمِعَهَا بَشَرٌ مِنَ النَّاسِ إِلَّا تَلَاهَا.
وَأَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ المُسَيَّب أَنَّ عُمر قَالَ: وَاللَّهِ مَا هُوَ إِلَّا أَنْ سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ تَلَاهَا فَعقرتُ حَتَّى مَا تُقِلُّنِي رِجْلَايَ وَحَتَّى هَوَيتُ إِلَى الْأَرْضِ.

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Aqil, dari Ibnu Syihab, telah menceritakan kepadaku Abu Salamah, bahwa Siti Aisyah menceritakan kepadanya bahwa Abu Bakar r.a. (di hari wafatnya Rasulullah Saw.) tiba memakai kendaraan kuda dari tempat tinggalnya yang terletak di As-Sanah, lalu ia turun dan masuk ke dalam Masjid (Nabawi). Orang-orang tidak ada yang berbicara, hingga Abu Bakar masuk menemui Siti Aisyah. Lalu menuju ke arah jenazah Rasulullah Saw. yang saat itu telah diselimuti dengan kain hibarah (kain yang bersalur). Kemudian ia Membuka penutup wajah Rasulullah Saw., lalu menangkupinya dan menciuminya seraya menangis. Setelah itu Abu Bakar berkata:  Demi Ayah dan Ibuku menjadi tebusanmu. Demi Allah, Allah tidak akan menghimpun dua kematian pada dirimu. Adapun kematian yang telah ditetapkan atas dirimu sekarang telah engkau laksanakan,

Az-Zuhri mengatakan telah menceritakan kepadaku Abu Salamah, dari Ibnu Abbas bahwa ketika Umar sedang berbicara dengan orang-orang, Abu Bakar keluar, lalu berkata, "Duduklah kamu, hai Umar." Lalu Abu Bakar berkata: Amma ba'du Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah wafat Dan barang siapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah hidup kekal dan tidak akan mati.
Kemudian Ia membacakan firman-Nya:Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul Sampai dengan firman-Nya: dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (Ali Imran: 144) Selanjutnya Ibnu Abbas mengatakan, "Demi Allah, seakan-akan orang-orang tidak menyadari bahwa Allah Swt. telah menurunkan ayat ini sebelum Abu Bakar membacakannya kepada mereka. Maka semua orang ikut membacakannya bersama bacaan Abu Bakar dan tidak ada seorang pun yang mendengarnya melainkan  ia ikut membacanya."

Telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnul Musayab bahwa sahabat Umar r.a. pernah mengatakan, "Demi Allah aku masih dalam keadaan belum sadar kecuali setelah aku mendengar Abu Bakar rnembacakannya, maka tubuhku penuh dengan keringat hingga kedua kakiku tidak dapat menopang diriku lagi karena lemas, hingga aku terjatuh ke tanah."

Abul Qasim At-Tabrani mengatakan telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Hammad ibnu Talhah Al-Qainad. telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Nasr dari samak ibnu Harb. dari ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa sahabat ali —-semasa Rasulullah Saw. masih hidup— pernah membacakan firman-Nya: Apakah jika dia wafat atau terbunuh  kalian berbalik ke belakang? (Ali lmran: 144), hingga akhir ayat. Lalu ia berkata: "Demi Allah. kami tidak akan berbalik mundur ke belakang setelah Allah memberi kami petunjuk. Demi Allah, sekiranya beliau wafat atau terbunuh, sungguh aku akan tetap bertempur meneruskan perjuangannya hingga tetes darah penghabisan. Demi Allah, sesungguhnya aku adalah saudaranya, walinya anak paman-nya, dan ahli warisnya. siapakah orangnya yang  lebih berhak terhadap beliau selain daripada diriku sendiri." 

Firman Allah Swt.:

وَما كانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتاباً مُؤَجَّلًا

Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. (Ali Imran: 145)


Artinya, tidak ada seorang pun yang mati melainkan berdasarkan takdir Allah dan setelah ia memenuhi waktu yang telah ditetapkan oleh Allah untuknya. Karena itulah dalam ayat ini diungkapkan: 

{كِتَابًا مُؤَجَّلا}

sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. (Ali Imran: 145)

Makna ayat ini sama dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:

وَما يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلَّا فِي كِتابٍ

Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuz).(Fathir: 11)

Seperti firman-Nya yang lain, yaitu:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ طِينٍ ثُمَّ قَضى أَجَلًا وَأَجَلٌ مُسَمًّى عِنْدَهُ

Dialah Yang menciptakan kalian dari tanah, sesudah itu ditentukan-Nya ajal (kematian kalian) dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan (untuk berbangkit) yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya). (Al-An'am: 2)

Ayat ini mengandung makna yang memberikan semangat kepada orang-orang yang pengecut dan membangkitkan keberanian mereka untuk berperang. Sesungguhnya maju dan menggeluti peperangan tidak dapat mengurangi atau menambah umur. 

Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnu Yazid Al-Abdi, bahwa ia pernah mendengar Abu Mu'awiyah meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Habib ibnu Zabyan yang mengatakan bahwa seorang lelaki dari kalangan pasukan kaum muslim yang dikenal dengan nama Hijr ibnu Addi berkata, "Apakah gerangan yang menghambat kalian untuk menyeberangi Sungai Tigris ini untuk menghadapi musuh kita, padahal seseorang tidak akan mati kecuali dengan seizin Allah menurut ketetapan waktu yang telah ditentukan-Nya." Selanjutnya lelaki itu maju, menyeberangi Sungai Tigris dengan kudanya. Ketika ia maju, maka semua pasukan kaum muslim mengikuti jejaknya. Ketika musuh melihat mereka berani menyeberangi sungai itu, maka musuh mereka menjadi kecut dan takut, lalu mereka lari.

Firman Allah Swt.: 

{وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا}

Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu; dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. (Ali Imran: 145)


Yakni barang siapa yang amalnya hanya untuk dunia saja, niscaya dia akan mendapatkannya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuknya, sedangkan di akhirat nanti ia tidak mendapat bagian apa pun. Barang siapa yang berniat dengan amalnya untuk pahala akhirat, niscaya Allah akan memberinya, juga diberikan apa yang telah dibagikan oleh Allah untuknya dalam kehidupan dunia ini. 

Bagi Yang Mengejar Dunia Akan Memperoleh Sesuai Ikhtiarnya

Bagi orang yang menginginkan dunia, maka baik kafir maupun muslim akan dikenai rumus yang sama. Yaitu akan diberi dunia sesuai dengan kadar usahanya, sesuai dengan kepandaian dan kerja kerasnya.

Maka wajar saja jika orang kafir mendapatkan lebih banyak karena mereka bekerja lebih banyak. Orang kafir bekerja siang malam untuk dunia, sedangkan orang muslim sholat

وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الأمُورِ (22) وَمَنْ كَفَرَ فَلا يَحْزُنْكَ كُفْرُهُ إِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ فَنُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (23) نُمَتِّعُهُمْ قَلِيلا ثُمَّ نَضْطَرُّهُمْ إِلَى عَذَابٍ غَلِيظٍ (24)

Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan. Dan barang siapa kafir, maka kekafirannya itu janganlah menyedihkanmu. Hanya kepada Kamilah mereka kembali, lalu Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras.(Q.S. Luqman[31] :22-24)

فَذَرْهُمْ يَخُوضُوا وَيَلْعَبُوا حَتَّى يُلَاقُوا يَوْمَهُمُ الَّذِي يُوعَدُونَ

Maka biarkanlah mereka tenggelam (dalam kebatilan) dan bermain-main sampai mereka menjumpai hari yang diancamkan kepada mereka (Q.S. Al-Ma’arij  [70] : 42)

Allah memberi rezeki kepada hambaNya sesuai dengan kegiatan dan kemauan kerasnya serta ambisinya. (H.R. Aththusi)

Demikian pula orang kafir menghalalkan segala cara, bisa menyogok, menipu, manipulasi yang penting mendapat untung lebih besar. Sedangkan orang beriman tak bisa melakukan segala cara, tak mau menipu, tak mau mengurangi timbangan, maka bisa jadi labanya lebih kecil namun lebih berkah.

Dari Abu Hurairah r.a. katanya Nabi s.a.w. bersabda : “dunia ini penjara bagi orang beriman (karena dibatasi kesenangannya) dan surga bagi bagi orang kafir (karena bebas menuruti hawa nafsunya)”.  (H.R. Muslim Jilid 2 No. 308)

Sebagian Keunggulan Itu Karena Ketetapan Allah

Sebagian dari keunggulan orang kafir itu sebagai sebuah ketetapan Allah dan skenario Allah. Namun itu pun tidak berarti akan selamanya demikian. Apabila kebatilan itu merajalela dan kekafiran memiliki kekuasaan, itu hanyalah istidraj yang akhirnya kebatilan itu akan dikalahkan dan kekafiran itu pun akan dilenyapkan.

وَلَقَدْ آتَيْنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ

Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil Al Kitab (Taurat), kekuasaan dan kenabian dan Kami berikan kepada mereka rezki-rezki yang baik dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya). (Q.S. Al-Jatsiyah [45] :16)

Bani Israil dilebihkan atas bangsa-bansa lain karena itu ketetapan Allah namun kelebihan ini ternyata tidak dimanfaatkan untuk urusan yang baik bahkan sebaliknya mereka menyombongkan diri dan menggunakan kelebihan mereka untuk berbuat kerusakan di muka bumi, maka ini adalah istidraj

Sebagian Keunggulan Itu Karena Pergiliran

Jika saat ini dikatakan orang kafir lebih unggul dari pada orang beriman, diantaranya karena sunatullah dimana kemenangan dan kekalahan, kejayaan dan kemunduran itu dipergilirkan antara orang beriman dan orang kafir.

قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُروا كَيْفَ كانَ عاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (137) هَذَا بَيانٌ لِلنَّاسِ وَهُدىً وَمَوْعِظَةٌ لِلْمُتَّقِينَ (138) وَلا تَهِنُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (139) إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُداوِلُها بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَداءَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ (140) وَلِيُمَحِّصَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَمْحَقَ الْكافِرِينَ (141)أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ (142) وَلَقَدْ كُنْتُمْ تَمَنَّوْنَ الْمَوْتَ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَلْقَوْهُ فَقَدْ رَأَيْتُمُوهُ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ (143)

Sesungguhnya   telah   berlalu   sebelum   kalian   sunnah-sunnah Allah Karena itu. berjalanlah kalian di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Al-Qur'an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Janganlah kalian bersikap lemah, dan jangan (pula) kalian bersedih hati, padahal kalianlah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kalian orang-orang yang beriman. Jika kalian (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kalian dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim, dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir. Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, pada¬hal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kalian, dan belum nyata orang-orang yang sabar. Sesungguhnya kalian mengharapkan mati (syahid) sebelum kalian menghadapinya; (sekarang) sungguh kalian telah melihatnya dan kalian menyaksikannya. (Q.S. Ali Imran [3] :137-143)

Pada masa Rasulullah SAW, Romawi dan Persia adalah 2 super power yang menguasai dunia. Lalu bandul beralih ke pihak kaum muslimin. Lebih dari 7 abad umat Islam menguasai  peradaban dunia, keunggulan materi maupun ilmu pengetahuan  dan spiritual berada di tangan umat Islam. Tapi memasuki abad ke-19 sampai abad ke 21 ini bandul kembali beralih ke arah kaum kafir. Namun semua umat itu ada ajalnya baik muslim maupun non muslim.

Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu  maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya (Q.S. Al-A’raaf [7] :34)

Maka nanti akan datan kembali giliran umat Islam untuk meraih kemenangan dan memimpin dunia

Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar(Q.S. Al-Israa’ [17] : 7)

Walau Berbeda Namun Kekafiran Bersatu Melawan Kaum Beriman

Orang kafir itu semakin kaya dan bahkan diberi kekuasaan oleh Allah maka mereka dengan kekayaan dan kekuasaannya itu digunakan untuk mendukung kebathilan dan digunakan untuk membuat kekafiran semakin kukuh di muka bumi ini.  Benar, hal ini telah disadari oleh Allah bahkan Allah berfirman bahwa harta orang kafir itu akan digunakan untuk menyokong kekafiran mereka.

Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan (Q.S. Al-Anfal [8] : 36)

Orang kafir itu bermacam-macam, ada yang tak percaya Tuhan sama sekali, atheis, ada juga kaum musyrik penyembah api, dewa-dewa, dan ada juga ahlul kitab yang telah jauh dari ajaran aslinya. Walaupun berbeda-beda ideologinya namun mereka merasa memiliki musuh bersama yaitu muslim.

Dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain (Q.S. Al-Jatsiyah [45] : 19)

Sebagian Ujian Bagi Orang Beriman

Salah satu hikmah dibalik diberinya kekuatan, kekayaan dan kekuasaan kepada orang kafir dan musuh-musuh Allah adalah karena mereka diperankan oleh Allah sebagai ujian bagi orang yang beriman dan musuh bagi kebenaran.

Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. (Q.S. Ali Imran [3] : 186)

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (Q.S. Al-Ankabut  [29] : 2)

Dengan ujian ini Allah menyisihkan orang yang munafik dari orang yang beriman, emas sepuhan dari emas murni dan loyang dari besi.

“Allah Sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, hingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dengan yang baik (mu’min)…” (Q.S. Ali Imran [3] : 179)

Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta (Q.S. Al-Ankabut  [29] : 3)

Sebagian Sparing Partner (Lawan) Orang Beriman

Allah menjadikan orang-orang kafir itu musuh bagi orang beriman sehingga dengan itu orang beriman mendapatkan pahala dakwah, pahala jihad bahkan pahala syahid. Maka bagaimana mungkin orang kafir itu bisa menjadi  musuh (lawan) dan ujian bagi orang  beriman jika mereka tidak memiliki keunggulan, kekayaan dan kekuasaan ?

demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin (Q.S. Al-An’aam [6] :112)

Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa (Q.S. Al-Furqon [25] :31)

Demikianlah maka orang berdosa pun mereka mendapatkan rezeki bahkan semakin bertambah kekayaan mereka sebagai ujian bagi orang beriman. Tentu sebagai konsekuensinya orang-orang yang berdosa itu kemudian berfoya foya dan bersenang-senang  dengan kekayaan yang melimpah itu.

Seorang mukmin meskipun dia masuk ke dalam lubang biawak, (tetap saja) Allah akan menentukan baginya orang yang akan mengganggunya (H.R. Al-Bazzaar)

Karena Istidraj

Orang kafir diberi rezeki berlimpah diantaranya karena istidraj, yaitu sebuah uluran waktu akan adzab yang akan menimpanya di akhirat kelak akibat kekafirannya. Maka Allah biarkan mereka bersenang-senang dengan dunia, karena dunia ini surga bagi orang kafir sedangkan di akhirat sudah pasti berakhir di  neraka.

Umar bin Khattab r.a. berkata pada Rasulullah s.a.w. : “Berdoalah wahai Rasulullah untuk kelapangan umatmu karena orang Persia dan Romawi telah dilapangkan bagi mereka, padahal mereka tidak menyembah Allah” Beliau s,a,w, meluruskan duduknya kemudian bersabda : “Apakah ada keraguan pada dirimu wahai Ibnul Khattab? Mereka adalah kaum yang disegerakan kesenangan mereka dalam kehidupan dunia (istidraj)”  (H.R. Ahmad No.  217)

Istidraj  Itu Harus Lebih Kaya Dunia Daripada Orang Beriman

Cobalah kita renungkan filosofi ini. Ketika kita memahami bahwa “istidraj” itu adalah sebuah penguluran dan tipuan dari Allah agar orang semakin lalai dan tenggelam dalam kesesatannya, maka adalah sebuah keniscayaan jika secara materi dan duniawi, orang yang “istidraj” lebih unggul daripada yang  “tidak istidraj”.

Maka janganlah harta dan anak-anak mereka (kaum musyrikin) membuatmu kagum. Sesungguhnya Allah bermaksud dengan hal itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia dan kelak akan mati dalam keadaan kafir (Q.S. Taubah [9] : 55)

Bagaimana tidak? Jika tujuan istidrah itu membuat orang lalai tentu harus dibuat bahwa yang memperoleh istidraj itu merasa lebih baik tetap dalam kekafirannya ketimbang menjadi orang beriman. Jika orang yang beriman itu selalu lebih unggul secara materi duniawi, maka istidraj itu menjadi kehilangan fungsinya. Orang kafir akan sadar dan insyaf jika melihat bahwa orang yang beriman selalu lebih sejahtera di dunia. Maka mengertilah kita, justru karena Allah menghendaki dibukakan dunia itu menjadi istidraj, maka pasti dia lebih unggul daripada orang beriman.

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (Q.S. An-Nisaa [4] : 32)

Takhtimah

Imam Ibnu Abil Iz mengatakan,

والمحققون من أهل السنة يقولون : الإرادة في كتاب الله نوعان : إرادة قدرية كونية خلقية وإرادة دينية أمرية شرعية فالإرادة الشرعية هي المتضمنة للمحبة والرضى والكونية هي المشيئة الشاملة لجميع الموجودات

"Para ulama di kalangan ahlus sunnah mengatakan, 'Iradah (kehendak Allah) dalam Alquran ada dua: iradah qadariyah kauniyah khalqiyah dan iradah diniyah amriyah syar'iyah. Adapun iradah syar'iyah adalah kehendak yang mengandung cinta dan ridha, sedangkan iradah kauniyah kehendak Allah yang meliputi semua makhluk yang ada." (Syarh Aqidah Thahawiyah, 1:113)

Syekhul Islam Ibn Taimiyah mengatakan,

وقد ذكر الله في كتابه الفرق بين " الإرادة " و " الأمر "...بين الكوني الذي خلقه وقدره وقضاه ؛ وإن كان لم يأمر به ولا يحبه ...وبين الديني الذي أمر به وشرعه وأثاب عليه...

“Allah telah menyebutkan dalam kitab-Nya tentang perbedaan antara iradah dengan perintah .... Antara kauni, yang Allah ciptakan, Allah takdirkan, dan Allah tetapkan, meskipun tidak dia perintahkan dan tidak dia cintai ... Antara ad-din, yang Allah perintahkan, Dia syariatkan, dan Allah berikan pahala bagi orang yang melaksanakannya ....” Kemudian beliau menyebutkan penjelasan tentang iradah kauniyah dan iradah syar'iyah. (Al-Furqan bayna Auliya Ar-Rahman wa Auliya Asy-Syaithan, hlm. 149)

Sebagai motivasi bagi kita cukuplah hadits berikut jadi pelajaran berharga bagi kita yang hidup dalam kesusahan

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya :

حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ فَيَقُولُ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ فَيَقُولُ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ قَطُّ وَلَا رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ

Amr an-Naqid menuturkan kepada kami. Dia berkata; Yazid bin Harun menuturkan kepada kami. Dia berkata; Hammad bin Salamah memberitakan kepada kami dari Tsabit al-Bunani dari Anas bin Malik, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

“Pada hari kiamat nanti akan didatangkan penduduk neraka yang ketika di dunia adalah orang yang paling merasakan kesenangan di sana. Kemudian dia dicelupkan di dalam neraka sekali celupan, lantas ditanyakan kepadanya, ‘Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kebaikan sebelum ini? Apakah kamu pernah merasakan kenikmatan sebelum ini?’. Maka dia menjawab, ‘Demi Allah, belum pernah wahai Rabbku!’. Dan didatangkan pula seorang penduduk surga yang ketika di dunia merupakan orang yang paling merasakan kesusahan di sana kemudian dia dicelupkan ke dalam surga satu kali celupan. Lalu ditanyakan kepadanya, ‘Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kesusahan sebelum ini? Apakah kamu pernah merasakan kesusahan sebelum ini?’. Maka dia menjawab, ‘Demi Allah, belum pernah wahai Rabbku, aku belum pernah merasakan kesusahan barang sedikit pun. Dan aku juga tidak pernah melihat kesulitan sama sekali.’.” (HR. Muslim dalam Kitab Shifat al-Qiyamah wa al-Jannah wa an-Naar)

Hadis Riwayat Ahmad Bin Hanbal 

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ دَرَّاجٍ عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّ مُوسَى قَالَ أَيْ رَبِّ عَبْدُكَ الْمُؤْمِنُ مُقَتَّرٌ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا قَالَ فَيُفْتَحُ لَهُ بَابُ الْجَنَّةِ فَيَنْظُرُ إِلَيْهَا قَالَ يَا مُوسَى هَذَا مَا أَعْدَدْتُ لَهُ فَقَالَ مُوسَى أَيْ رَبِّ وَعِزَّتِكَ وَجَلَالِكَ لَوْ كَانَ أَقْطَعَ الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ يُسْحَبُ عَلَى وَجْهِهِ مُنْذُ يَوْمَ خَلَقْتَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَكَانَ هَذَا مَصِيرَهُ لَمْ يَرَ بُؤْسًا قَطُّ قَالَ ثُمَّ قَالَ مُوسَى أَيْ رَبِّ عَبْدُكَ الْكَافِرُ تُوَسِّعُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا قَالَ فَيُفْتَحُ لَهُ بَابٌ مِنْ النَّارِ فَيُقَالُ يَا مُوسَى هَذَا مَا أَعْدَدْتُ لَهُ فَقَالَ مُوسَى أَيْ رَبِّ وَعِزَّتِكَ وَجَلَالِكَ لَوْ كَانَتْ لَهُ الدُّنْيَا مُنْذُ يَوْمَ خَلَقْتَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَكَانَ هَذَا مَصِيرَهُ كَأَنْ لَمْ يَرَ خَيْرًا قَطُّ (رواه احمد)

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ishaq berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah dari Darraj dari Abu Al Haitsam dari Abu Sa'id Al Khudri dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda: "Sesungguhnya Musa berkata: 'Ya Rabb, mengapa hamba-Mu yang beriman hidup di dunia dalam keadaan miskin? '" beliau bersabda: "Lalu pintu surga dibukakan untuk Musa hingga ia dapat melihat ke dalamnya, kemudian Allah berfirman: 'Wahai Musa, inilah yang telah Aku persiapkan untuknya! ' maka Musa pun berkata; 'Wahai Rabb, demi kemuliaan dan keagungan-Mu, kalaupun sekiranya kedua tangan dan kakinya terpotong dan dia berjalan dengan mukanya semenjak Engkau menciptakannya hingga hari kiamat nanati, jika tempat kembalinya adalah sepeti ini maka dia tidak akan rugi sedikitpun." Beliau bersabda: "Kemudian Musa berkata: 'Mengapa hamba-Mu yang kafir Engkau lapangkan kehidupannya di dunia? ' beliau bersabda: "Lalu pintu neraka dibukakan untuk Musa kemudian dikatakan kepadanya: 'Wahai Musa, inilah yang telah Aku persiapkan untuknya.' Maka Musa pun berkata; 'Wahai Rabb, demi kemuliaan dan keagungan-Mu, sekiranya ia telah memiliki dunia semenjak Engkau ciptakan, jika tempat kembalinya adalah seperti ini maka tidak ada kebaikan sedikitpun baginya." (HR. Ahmad)

Jadi, kesimpulannya, Kenapa Orang Kafir hidupnya kaya dan berkecukupan, sedang Orang Islam rata-rata hidup Miskin? Itu karena bagi orang yang tidak mempercayai Tuhan atau percaya pada Tuhan tapi menyembah yang selain-Nya, seperti berhala, patung dan sebagainya hanya mendapat kesenangan di dunia saja, sedang Muslim telah dipersiapkan kehidupan yang penuh kenikmatan di Surga kelak.

Bukan berarti, setelah tahu isi hadis ini kita kemudian hidup berleha-leha karena alasan Takdir'. Sebab walaupun demikian, itu sebenarnya hanya gambaran keseluruhan antara kehidupan yang dialami oleh orang Islam dan orang Kafir, tapi tidak menutup kemungkinan anda juga akan bernasib baik dengan memperoleh kekayaan yang melimpah berkat kerja keras dan bekerja pintar dalam mencari penghidupan yang layak. 

Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan dimudahkan untuk beramal sholeh.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...