Rabu, 13 Oktober 2021

Penjelasan Tentang Kedholiman Akan Membawa Penderitaan Dunia Akhirat

 

Dewasa ini sudah tidak asing lagi ditengah-tengah masyarakat yang kebanyakan adalah orang-orang muslim dengan berbagai cara melakukan perbuatan yang mengarah kepada penganiayaan diri sendiri dan bahkan ada yang sengaja bunuh diri. Dimana semua tingkah polah orang-orang yang berbuat sedemikian sulit untuk diterima oleh akal sehat, apalagi oleh orang-orang yang beriman. Mereka yang melakukan penganiayaan terhadap diri mereka sendiri sebenarnya melakukannya dengan cara sadar namun sebenarnya mereka sangatlah bodoh, karena samasekali tidak ada manfaat yang diperoleh didalamnya kecuali kemudharatan yang mungkin akan dirasakan secara berkepanjangan. Penganiayaan terhadap diri sendiri di dalam syari’at islam dikenal pula dengan sebutan mendzalimi diri sendiri.

Sehingga, ketika seseorang melakukan perbuatan dosa, hakikatnya dia telah menganiaya dirinya, yakni menjatuhkan diri-nya sendiri kepada siksa-Nya. Allah subhana wa ta’ala berfirman:

وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَـكِن ظَلَمُواْ أَنفُسَهُمْ فَمَا أَغْنَتْ عَنْهُمْ آلِهَتُهُمُ الَّتِي يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ مِن شَيْءٍ لِّمَّا جَاء أَمْرُ رَبِّكَ وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ

Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.(QS. Huud : 101 )

Manusia adalah makhluk yang diberi akal oleh Allah swt, karenanyalah manusia disebut sebagai makhluk yang paling sempurna. Akal manusia digunakan untuk berfikir tentang segala hal yang ada. Termasuk tentang segala tindakan yang akan dilakukannya. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh cara berfikir mereka terhadap apa yang sedang mereka hadapi.

Kebiasaan-kebiasaan dalam bertindak menimbulkan tabiat dalam diri kita. Hal inilah yang akan disebut dengan kebiasaan baik atau kebiasaan buruk. Dalam bertindak buruk ada yang disebut dengan perbuatan zhalim. Zhalim ini ada yang mengartikan dengan tidak menempakan sesuatu pada tempanya, berbuat aniaya termasuk kepada diri sendiri.

Orang yang zalim adalah orang yang melanggar perintah Allah swt, berbuat apa yang bertentangan dengan hati nurani yang suci, berbuat kejam, tidak syukur ni’mat, menyia-nyiakan amanat, menghianati janji, berbuat menang sendiri, korupsi, penyalahgunaan jabatan, berbuat zina, menyekutukan Allah swt. Semua itu termasuk perbuatan zalim. Intinya segala perbuatan yang menerjang nilai-nilai agama dan nilai-nilai kemanusiaan disebut perbuatan zalim.

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ ٱفْتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبًا ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُعْرَضُونَ عَلَىٰ رَبِّهِمْ وَيَقُولُ ٱلْأَشْهَٰدُ هَٰٓؤُلَآءِ ٱلَّذِينَ كَذَبُوا۟ عَلَىٰ رَبِّهِمْ ۚ أَلَا لَعْنَةُ ٱللَّهِ عَلَى ٱلظَّٰلِمِينَ

Artinya : Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah? Mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka, dan para saksi akan berkata: “Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan mereka”. Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim, (QS. Hud [11] : 18)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

«اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنﱠ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »

“Jagalah diri kalian dari perbuatan zalim, karna sesungguhnya kezaliman itu akan menjadi kegelapan pada hari kiamat”.
(Hadits Shahih, Riwayat Ahmad. LihatShahiihul jaami’ no.101)

Hadist ini berisi peringatan dan bahaya perbuatan zalim sekaligus anjuran untuk berbuat adil (lawan dari zalim).

Definisi zalim adalah memposisikan sesuatu bukan pada tempatnya.
Dan perlu diketahui bahwa Islam tidak mengajarkan kezaliman. Akan tetapi Islam mengajarkan keadilan.

Sebagaimana firman Allah  :

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

” Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(QS. An-Nahl :90)

Bahkan Allah menafikkan sifat zalim pada diriNya dan melarang hambaNya dari hal tersebut. Sebesar-besar zalim adalah perbuatan syirik. Sebagaimana firman Allah :

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”(QS. Luqman : 13)

Dan sebesar-besar perbuatan adil adalah mentauhidkan Allah, baik dalam hal Rububiyah, Uluhiyah, maupun Asma wa Sifat.

Disini kita bisa simpulkan bahwa para nabi dan rasul yang diutus oleh Allah, mereka semua mengajarkan keadilan(yaitu tauhid) bukan kedzaliman (yaitu syirik.)

Dan termasuk larangan adalah berbuat zalim terhadap orang lain. Mungkin -di dunia- si pelaku bisa bebas bebuat zalim karena merasa memiliki kekuatan dan kemampuan.

Namun, di akhirat kelak, kekuasaan dan kekuatan secara mutlak hanya milik Allah semata. Dia-lah yang akan menegakkan keadilan dianatara hamba-hambaNya yang berbuat zalim. Yaitu dengan mengurangi pahala amalannya dan dipindah ke amalan pihak yang dizalimi sebagai balasan atas perbuatannya. Dan bila masih kurang, amalan buruk orang yang dizalimi akan berpindah padanya. Sungguh betapa gelap perasaannya disaat hal itu terjadi. Na’udzubillah min dzalik.

Penyebutan para pelaku dosa sebagai orang yang-orang yang mendzalimi diri mereka sendiri terdapat dalam beberapa ayat, antara lain firman Allah :
-
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا

Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk dita'ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.( QS. An Nisaa : 64 )

Selain itu ada pula yang menyebutkan sebagai tidak memberikan hak diri sendiri, seperti berpuasa terus menerus tanpa berbuka, melakukan shalat terus menerus tanpa tidur padahal tubuhnya sudah tidak kuat lagi, dan yang semisalnya.

Dari pengertian dzalim tersebut diatas,maka mendzalimi diri sendiri berarti adalah melakukan suatu perbuatan yang diarahkan pada dirinya sendiri namun perbuatan tersebut bukan pada tempatnya dilakukan. Kedzalimin terhadap diri merupakan suatu perbuatan atau tindakan yang kejam bahkan bengis, keji dan hina yang menyebab timbulnya kesengsaraan pada diri sendiri. Namun dzalim itu sendiri sebenarnya mempunyai arti kandungan yang luas, tetapi intinya adalah bahwa perbuatan dzalim itu adalah termasuk semua perbuatan yang dilarang oleh syari’at sehingga ia merupakan perbuatan dosa.

Dalam Al-Qur’an ada pula ayat yang menggambarkan tentang perbuatan dzalim pada diri sendiri yaitu orang yang mempunyai sifat angkuh sebagaimana firman Allah

وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَن تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا

Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, ( QS. Al Kahfi: 35 )

Sunnah secara bahasa adalah jalan yang sudah ditentukan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak akan berubah.

سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلُ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلاً (الأحزاب: 62)

“Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah”. (Al Ahzab: 62)

فَهَلْ يَنظُرُونَ إِلَّا سُنَّتَ الْأَوَّلِينَ فَلَن تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَبْدِيلاً وَلَن تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَحْوِيلاً (فاطر: 43)

“Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang Telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu”. (Fathir: 43)

Disini kita batasi istilah “Sunnatullah” dalam masalah kezaliman. Ahli bahasa mendeskripsikan zalim sebagai “wadl’u syai’ fi ghairi mahallihi” atau meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Menurut terminologi agama, para ulama’ tafsir menjelaskan makna kata الظلم dalam alquran adalah kema’shiyatan atau kesyirikan. Jadi, setiap orang yang berbuat ma’shiyat pada dasarnya ia telah berbuat kezhaliman. Dan kezhaliman yang paling besar di dunia ini adalah syirik.

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (لقمان: 13)

“Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar”. (Luqman: 13)

Kita melihat, betapa banyak manusia di dunia ini (termasuk sebagian umat islam) dizhalimi terkait dengan perut mereka, semua orang bergerak dan protes. Tetapi menghadapi kezaliman yang besar, yaitu syirik yang diiklankan, syirik menguasai dunia dan pemerintahan, sementara tidak sedikit orang yang hanya diam. Hal ini menunjukkan bahwa sikap sebagian kaum muslimin terhadap kezhaliman yang besar adalah diam.

Kezhaliman yang dilakukan oleh siapapun di dunia ini, pasti dicatat oleh Allah. Tidak ada satupun kezaliman yang dibiarkan oleh Allah Ta’ala. Hal ini dijelaskan Allah Ta’ala dalam surat Ibrahim ayat 42-47.

وَلاَ تَحْسَبَنَّ اللّهَ غَافِلاً عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الأَبْصَارُ  42} مُهْطِعِينَ مُقْنِعِي رُءُوسِهِمْ لاَ يَرْتَدُّ إِلَيْهِمْ طَرْفُهُمْ وَأَفْئِدَتُهُمْ هَوَاء

“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. Mereka datang bergegas-gegas memenuhi panggilan dengan mangangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong”. (Ibrahim: 42-43)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

 وَلاَ تَحْسَبَنَّ اللّهَ غَافِلاً عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ  

(dan janganlah sekali-kali kamu mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim). 

Menurut al-Raghib, kata al-ghaflah berarti al-sahwu (teledor, lalai). Dijelaskan Ahmad Mukhtar dalam Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, kata ghafala al-syay`a berarti tarakahu ihmâl[an] min ghayri nisyân (meninggalkan sesuatu karena ceroboh atau teledor, bukan karena lupa). Sedangkan al-zhulm (kezaliman) di sini menurut Abdurrahman al-Sa’di, mencakup seluruh bentuk kezaliman, baik terhadap Tuhannya, dirinya sendiri maupun terhadap sesama manusia.

Ayat ini memberikan penegasan agar kita tidak memiliki anggapan bahwa Allah Ta’ala itu lalai terhadap perbuatan orang-orang zalim. Hal ini bertujuan agar orang tidak meremehkan sebuah kezaliman, baik itu kezaliman yang dilakukan melalui media dan sebagainya. Karena kezaliman adalah haram terhadap siapapun. Allah Azza Wa Jalla tidak pernah berbuat zalim, padahal Ia adalah sang Khaliq, apalagi kita sebagai seorang makhluk. Jadi jangan sampai ada seorang muslim, meskipun terkadang niatnya baik, tetapi yang terjadi adalah sebuah kezaliman dengan lesannya, perbuatannya, keberpihakannya, TVnya, surat kabarnya, ceramahnya dan lain sebagainya. Karena semuanya akan dicatat oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tidak ada satu pun yang luput dari catatannya. Semua tindakan dan perbuatan mereka itu akan diberi balasan dengan balasan yang setimpal.

Mungkin pernah terbetik di dalam benak kita, kenapa kita yang seorang muslim, hidupnya jauh lebih sengsara, ketimbang mereka yang hidup di dalam kezaliman/kekafiran. Padahal seorang muslim hidup di atas ketaatan menyembah Allah Ta’ala, sedangkan orang kafir hidup di atas kekufuran kepada Allah.

Apa rahasia dibalik itu? Kenapa seolah-olah Allah Ta’ala membiarkan orang-orang yang berbuat zalim tersebut berkuasa berpuluh-puluh tahun, dan seolah-olah apa yang mereka lakukan adalah benar, sementara apa yang dilakukan kaum muslimin terkesan salah. Apa buktinya Allah Ta’ala tidak akan membiarkan orang zalim?

Jawabnya adalah mereka dibiarkan/ditangguhkan balasannya oleh Allah Ta’ala sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. Karena Allah Ta’ala tidak lalai atas perbuatan orang zalim, maka balasan atau hukuman itu pasti ditimpakan kepada pelakunya. Hanya saja, pelaksanaan hukuman itu tidak langsung ditimpakan.

Allah Ta’ala berfirman,

سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لاَ يَعْلَمُونَ

“Nanti Kami akan menghukum mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui”. (Al-Qalam: 44)

Maksud Istidraj adalah pemberian nikmat Allah kepada manusia yang mana pemberian itu tidak diridhaiNya. Allah membuat dia lupa untuk beristighfar, sehingga dia semakin dekat dengan adzab sedikit demi sedikit, selanjutnya Allah berikan semua hukumannya, itulah istidraj.

Dari Utbah bin Amir Radhiallahu Anhu, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ تَعَالى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ

“Apabila Anda melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu hakikatnya adalah istidraj dari Allah”.

Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam membaca firman Allah,

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

“Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”. (Al-An’am: 44) (HR. Ahmad, Thabrani dalam Al-Kabir)

Kedholiman Sulit Menerima Nasehat Kebenaran

وَأَنذِرِ النَّاسَ يَوْمَ يَأْتِيهِمُ الْعَذَابُ فَيَقُولُ الَّذِينَ ظَلَمُواْ رَبَّنَا أَخِّرْنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ نُّجِبْ دَعْوَتَكَ وَنَتَّبِعِ الرُّسُلَ أَوَلَمْ تَكُونُواْ أَقْسَمْتُم مِّن قَبْلُ مَا لَكُم مِّن زَوَالٍ

“Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang zalim: “Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami (kembalikanlah kami ke dunia) walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul”. (Kepada mereka dikatakan): “Bukankah kamu telah bersumpah dahulu (di dunia) bahwa sekali-kali kamu tidak akan binasa? (Ibrahim: 44)

Pada ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan agar memberi kabar yang menakutkan kepada orang-orang yang zalim, orang-orang musyrik Makkah, yaitu tentang keluhan dan rintihan yang keluar dari mulut mereka ketika adzab menimpa mereka di akhirat nanti sambil memohon: “Wahai Tuhan kami, berilah kepada kami kesempatan yang lain lagi walaupun beberapa saat saja untuk menaati seruan Engkau dan mengikuti ajaran Rasul Engkau dengan mengembalikan kami ke dunia. Jika kesempatan itu benar-benar diberikan kepada kami pasti kami akan mengikuti perintah Engkau dan menghentikan larangan Engkau, kami benar-benar akan memurnikan ketaatan kepada Engkau saja, kami tidak akan memperserikatkan Engkau lagi wahai Tuhan kami.”

Permohonan mereka itu dijawab oleh Allah Ta’ala dengan tegas: “Bukankah kamu semua, hai orang yang zhalim, dahulu semasa hidup di dunia telah bersumpah bahwa jika kamu mati nanti tidak akan dibangkitkan lagi tidak akan dihisab?”

Mereka itu semua dilukiskan dalam firman Allah:

وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَا يَبْعَثُ اللَّهُ مَنْ يَمُوتُ بَلَى وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: “Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati.” (Tidak demikian) bahkan (pasti Allah akan membangkitkannya) sebagai suatu janji yang benar dari Allah akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya”. (An Nahl: 38)

Jika kita benar-benar jujur kepada Allah Ta’ala, maka kita akan cepat merespon perintah dan laranganNya.

Tidak Bisa Mengambil Pelajaran Dari Peristiwa-Peristiwa Sebelumnya

وَسَكَنتُمْ فِي مَسَـاكِنِ الَّذِينَ ظَلَمُواْ أَنفُسَهُمْ وَتَبَيَّنَ لَكُمْ كَيْفَ فَعَلْنَا بِهِمْ وَضَرَبْنَا لَكُمُ الأَمْثَالَ

“Dan kamu telah berdiam di tempat-tempat kediaman orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri, dan telah nyata bagimu bagaimana Kami telah berbuat terhadap mereka dan telah Kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan”. (Ibrahim: 45)

Ayat ini memperingatkan Rasulullah dan orang-orang yang beriman, bahwa mereka pernah tinggal berdiam di negeri orang-orang yang pernah menganiaya diri mereka sendiri dan berbuat kebinasaan di muka bumi, seperti yang pernah dilakukan oleh kaum `Ad dan Tsamud, kaum Luth, Bani Isra’il, Fir’aun, Raja yang berkuasa pada masa nabi Ibrahim dan sebagainya telah jelas adzab yang ditimpakan Allah kepada mereka, bekas-bekas yang terdapat di negeri-negeri itu berdasarkan kisah-kisah yang tersebut dalam Alquran. Demikian pula Allah Ta’ala telah memberikan perumpamaan-perumpamaan bagi kaum Muslimin tentang akibat yang akan dialami oleh orang-orang yang zalim itu di dunia dan di akhirat kelak. Seandainya kaum Muslimin melakukan tindakan dan perbuatan seperti yang telah dilakukan orang-orang yang zhalim itu, pasti mereka akan ditimpa adzab pula seperti adzab yang telah ditimpakan kepada orang-orang dahulu yang zhalim itu. Karena itu, wahai kaum Muslimin, ambillah pelajaran dari kisah-kisah dan peristiwa orang-orang dahulu itu.

Membuat Makar Dan Tipudaya Terhadap Islam Dan Kaum Muslimin

وَقَدْ مَكَرُواْ مَكْرَهُمْ وَعِندَ اللّهِ مَكْرُهُمْ وَإِن كَانَ مَكْرُهُمْ لِتَزُولَ مِنْهُ الْجِبَالُ  {46} فَلاَ تَحْسَبَنَّ اللّهَ مُخْلِفَ وَعْدِهِ رُسُلَهُ إِنَّ اللّهَ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ

“Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya. Karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada rasul-rasul-Nya; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi mempunyai pembalasan”. (Ibrahim: 46)

Allah Ta’ala menerangkan dalam ayat ini bahwa orang-orang kafir Makkah telah membuat rencana jahat besar untuk mematahkan perjuangan kaum Muslimin dan penutup cahaya Islam dan kebenarannya dengan menegakkan kebatilan. Tetapi mereka tidak menyadari bahwa setiap rencana jahat mereka pasti diketahui Allah, tidak ada yang tersembunyi bagi Allah sedikit pun. Karena Allah menggagalkan setiap usaha mereka, sehingga cita-cita dan tujuan mereka itu tidak akan tercapai. Sebenarnya usaha mereka itu sangat besar sehingga jika rencana itu digunakan untuk menghancur-leburkan gunung yang sangat kokoh pun akan terlaksana. Tetapi segala rencana mereka betapa pun besarnya tidak akan dapat mengalahkan mukjizat Allah, tidak dapat menghapuskan ayat-ayat-Nya dan tidak mampu menghambat perkembangan agama Islam di muka bumi.

Ayat ini mengisyaratkan kemenangan kaum Muslimin dan kehancuran orang-orang musyrik Makkah dalam waktu yang dekat. Dan ayat ini berlaku juga bagi kaum Muslimin pada masa kini, asal saja mereka meningkatkan daya dan usaha mereka, selalu sabar dan tabah menghadapi berbagai penderitaan, cobaan yang ditimpakan oleh rencana jahat orang-orang kafir.

Dan tidak akan bisa (makar mereka itu) betapa pun besarnya (dapat melenyapkan gunung-gunung) pengertiannya ialah makar tersebut dibiarkan dan tidak memberikan mudharat melainkan hanya terhadap diri mereka sendiri. Yang dimaksud dengan pengertian gunung-gunung di sini, menurut suatu pendapat adalah hakiki, yakni gunung yang sesungguhnya, dan menurut pendapat yang lain bermaksud syariat-syariat Islam yang digambarkan seperti gunung-gunung dalam hal ketetapan dan keteguhannya.

Menurut suatu qiraat yang lain “litazuula” ini dibaca “latazuulu”, yakni dengan harakat fatah pada huruf lamnya kemudian akhir fi’ilnya dibaca rafa’, maka berdasarkan qiraat ini berarti huruf in di sini adalah bentuk takhfif atau keringanan daripada huruf inna yang ditasydidkan huruf nunnya, makna yang dimaksud adalah menggambarkan tentang besarnya makar orang-orang kafir itu terhadap diri Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Akan tetapi menurut pendapat yang lain dikatakan, yang dimaksud dengan lafal al-makru ialah kekafiran mereka. Makna yang terakhir ini sesuai pula dengan apa yang disebutkan di dalam firman Allah Ta’ala lainnya, yaitu,

“Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu (mendakwa Tuhan mempunyai anak), bumi belah, dan gunung-gunung runtuh”. (Maryam: 90)

Sedangkan pengertian yang pertama sesuai dengan bacaan yang tertera.

Sungguh Allah Ta’ala sekali-kali tidak akan memungkiri janji-Nya sekali pun betapa besarnya rencana jahat orang-orang kafir itu, janganlah dikira bahwa Allah akan menyalahi janji yang telah dibuat-Nya dengan para Rasul. Janji itu ialah Allah pasti menolong Rasul-rasul-Nya dan orang-orang yang beriman besertanya, sehingga mereka memperoleh kemenangan. Demikian pula Allah tidak akan menyalahi tafsirnya di waktu menafsirkan ayat ini, bahwa yang dimaksud dengan Allah dalam ayat ini ialah janji Allah mengadzab orang-orang kafir di akhirat nanti sebagaimana tersebut di dalam firman Allah Ta’ala dalam ayat sebelumnya:

إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ

“Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak”. (Ibrahim: 42)

Pada akhir ayat ini Allah Ta’ala menegaskan bahwa Dia Maha Perkasa dan Maha Keras siksa-Nya; tidak seorang pun yang sanggup menghindarkan diri dari tuntutan-Nya. Dia pasti membalas dan menyiksa orang-orang yang menghalang-halangi Rasul-rasul-Nya.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika makar mereka amat mudah digagalkan. Sebab, semua tipudaya itu berada dalam genggaman kekuasaan Allah Ta’ala.

Takhtimah

Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam menghendaki agar seluruh manusia dapat memperoleh kebahagian di dunia dan diakhirat. Sehingga seluruh perilaku manusia diarahkan agar memperoleh sebanyak mungkin kebaikan-kebaikan dan manfaat serta menjauhkan segala macam apa saja yang mendatangkan kemudharatan.

Sejalan dengan itu mengingat perbuatan mendzalimi ( menganiaya ) diri sendiri merupakan suatu perbuatan yang sangat merugikan baik secara jasmani maupun secara kejiwaan maka perbuatan tersebut dilarang oleh syari’at.


عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ : يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلىَ نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّماً، فَلاَ تَظَالَمُوا . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ  ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُوْنِي أَهْدِكُمْ . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُوْنِي أَطْعِمْكُمْ . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُوْنِي أَكْسُكُمْ . يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَناَ أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعاً، فَاسْتَغْفِرُوْنِي أَغْفِرْ لَكُمْ، يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضُرِّي فَتَضُرُّوْنِي، وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُوْنِي . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئاً . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئاً . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُوْنِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ وَاحِدٍ مَسْأَلَتَهُ   مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمَخِيْطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ .   يَا عِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعَمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوْفِيْكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ    وَجَدَ خَيْراً فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ .[رواه مسلم]

Dari Abu Dzar Al Ghifari radhiallahuanhu dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam sebagaimana beliau riwayatkan dari Rabbnya Azza Wajalla bahwa Dia berfirman: Wahai hambaku, sesungguhya aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku telah menetapkan haramnya (kezaliman itu) diantara kalian, maka janganlah kalian saling berlaku zalim. Wahai hambaku semua kalian adalah sesat kecuali siapa yang Aku beri hidayah, maka mintalah hidayah kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan kalian hidayah. Wahai hambaku, kalian semuanya kelaparan kecuali siapa yang aku berikan kepadanya makanan, maka mintalah makan kepada-Ku niscaya Aku berikan kalian makanan. Wahai hamba-Ku, kalian semuanya telanjang kecuali siapa yang aku berikan kepadanya pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku niscaya Aku berikan kalian pakaian. Wahai hamba-Ku kalian semuanya melakukan kesalahan pada malam dan siang hari dan Aku mengampuni dosa semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni. Wahai hamba-Ku sesungguhnya tidak ada kemudharatan yang dapat kalian lakukan kepada-Ku sebagaimana tidak ada kemanfaatan yang kalian berikan kepada-Ku. Wahai hambaku seandainya sejak orang pertama di antara kalian sampai orang terakhir, dari kalangan manusia dan jin semuanya berada dalam keadaan paling bertakwa di antara kamu, niscaya hal tersebut tidak menambah kerajaan-Ku sedikitpun. Wahai hamba-Ku seandainya sejak orang pertama di antara kalian sampai orang terakhir, dari golongan manusia dan jin di antara kalian, semuanya seperti orang yang paling durhaka di antara kalian, niscaya hal itu mengurangi kerajaan-Ku sedikitpun juga. Wahai hamba-Ku, seandainya  sejak orang pertama di antara kalian sampai orang terakhir semuanya berdiri di sebuah bukit lalu kalian meminta kepada-Ku, lalu setiap orang yang meminta Aku penuhi, niscaya hal itu tidak mengurangi apa yang ada pada-Ku kecuali bagaikan sebuah jarum yang dicelupkan di tengah lautan. Wahai hamba-Ku, sesungguhnya semua perbuatan kalian akan diperhitungkan untuk kalian kemudian diberikan balasannya, siapa yang banyak mendapatkan kebaikaan maka hendaklah dia bersyukur kepada Allah dan siapa yang menemukan selain (kebaikan) itu janganlah ada yang dicela kecuali dirinya. (Riwayat Muslim)

Pelajaran yang terdapat dalam hadits

Menegakkan keadilan di antara manusia serta haramnya kezaliman di antara mereka merupakan tujuan dari ajaran Islam yang paling penting.
Wajib bagi setiap orang untuk memudahkan jalan petunjuk dan memintanya kepada Allah ta’ala.
Semua makhluk sangat tergantung kepada Allah dalam mendatangkan kebaikan dan menolak keburukan terhadap dirinya baik dalam perkara dunia maupun akhirat.
Pentingnya istighfar dari perbuatan dosa dan sesungguhnya Allah ta’ala akan mengampuninya.
Lemahnya makhluk dan ketidakmampuan mereka dalam mendatangkan kecelakaan dan kemanfaatan.
Wajib bagi setiap mu’min untuk bersyukur kepada Allah ta’ala atas ni’mat-Nya dan taufiq-Nya.
Sesungguhnya Allah ta’ala menghitung semua perbuatan seorang hamba dan membalasnya.
Dalam hadits terdapat petunjuk untuk mengevaluasi diri (muhasabah) serta penyesalan atas dosa-dosa.

Termasuk kedalam makna dzalim yaitu orang-orang yang setelah diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dengan cara yang paling baik, mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap menyatakan permusuhan. Sebagaimana firman Allah ta’ala :

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنزِلَ إِلَيْنَا وَأُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ


Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka [1155], dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". (QS. Al’Ankabut: 46)

Yang dimaksud dengan "orang-orang yang zalim" ialah: orang-orang yang setelah diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dengan cara yang paling baik, mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap menyatakan permusuhan.

Selain Al-Qur’an yang membicarakan tentang perbuatan dzalim pada diri sendiri, beberapa hadits juga menyinggung tentang perbuatan dzalim pada diri sendiri sebagaimana sabda rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam:


سنن أبي داوود ١٣٠٠: حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الْمُغِيرَةِ الثَّقَفِيِّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ الْأَسَدِيِّ عَنْ أَسْمَاءَ بْنِ الْحَكَمِ الْفَزَارِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ كُنْتُ رَجُلًا إِذَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا نَفَعَنِي اللَّهُ مِنْهُ بِمَا شَاءَ أَنْ يَنْفَعَنِي وَإِذَا حَدَّثَنِي أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِهِ اسْتَحْلَفْتُهُ فَإِذَا حَلَفَ لِي صَدَّقْتُهُ قَالَ وَحَدَّثَنِي أَبُو بَكْرٍ وَصَدَقَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ
{ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ}
إِلَى آخِرِ الْآيَةِ

Sunan Abu Daud 1300: Telah menceritakan kepada Kami Musaddad telah menceritakan kepada Kami Abu 'Awanah dari Utsman bin Al Mughirah Ats Tsaqafi dari Ali bin Rabi'ah Al Asadi dari Asma` bin Al Hakam Al Fazari, ia berkata; aku mendengar Ali radliallahu 'anhu berkata; aku adalah seorang laki-laki yang apabila mendengar dari Rasulullah shallAllahu wa'alaihi wa sallam sebuah hadits maka Allah memberiku manfaat dari haditsnya sesuai dengan kehendakNya. Dan apabila ada seseorang diantara para sahabatnya menceritakan kepadaku maka aku memintanya agar bersumpah, apabila ia bersumpah maka aku membenarkannya. Ali berkata; telah menceritakan kepadaku Abu Bakr dan Abu Bakr radliallahu 'anhu telah benar bahwa ia berkata; aku mendengar Rasulullah shallAllahu wa'alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah seorang hamba melakukan dosa kemudian ia bersuci dengan baik, kemudian berdiri untuk melakukan shalat dua raka'at kemudian meminta ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya." Kemudian beliau membaca ayat ini: "Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui."

Perbuatan dzalim terhadap diri sendiri mengandung makna yang luas, tidak saja hanya terbatas kepada upaya yang dilakukan seseorang untuk menyiksa fisik anggota tubuhnya sendiri tetapi di dalamnya termasuk semua apa saja yang mendatangkan dosa bagi pelakunya.

Kedzaliman yang dilakukan oleh seseorang yang dilakukannya terhadap dirinya sendiri sesungguhnya adalah sebuah perbuatan yang tidak layak dilakukan karena yang bersangkutan telah melakukan sesuatu yang tidak pada tempatnya dan bertentangan dengan rasa keadilan dan hati nuraninya. Sehingga seyogyanya kedzaliman tersebut tidaklah perlu dilakukan mengingat keharamannya.Sedangkan apabila seseorang telah merasa berbuat kedzaliman pada dirinya sendiri maka segeralah bergegas meminta ampun dan bertaubat.

Sesungguhnya perbuatan dzalim itu merupakan perbuatan yang dilaknat Allah, karena perbuatan dzalim kepada diri sendiri itu hanyalah mendatangkan kemudharatan dan tidak akan sedikitpun mendatangkan kemaslahatan. Untuk itu bagi siapa saja yang suka berbuat dzalim pada dirinya sendiri dengan melakukan berbagai perbuatan yang diharamkan oleh syari’at segera menghentikan kebiasaan yang buruk tersebut

Dan termasuk larangan adalah perbuatan zalim seorang hamba terhadap dirinya sendiri yaitu dengan mengerjakan ma’siat dan meninggalkan ketaatan. Dia lebih memilih kesenangan dunia yang sesaat ketimbang nikmat akhirat yang haqiqi nan abadi. Sungguh merugi orang seperti ini.

Dan termasuk larangan adalah perbuatan zhalim seorang hamba terhadap dirinya sendiri yaitu dengan mengerjakan maksiat dan meninggalkan ketaatan. Dia lebih memilih kesenangan dunia yang sesaat ketimbang nikmat akhirat yang hakiki nan abadi. Sungguh merugi orang seperti ini.

Ketahuilah bahwa orang yang berbuat zhalim sudah dihukum oleh Allah di dunia dengan kegelapan yang hakiki. Yaitu kegelapan hati yang membuat hati itu buta, dimana ia melihat perkara yang mungkar menjadi ma’ruf, yang ma’ruf menjadi mungkar, tidak menerima nasehat, tidak bisa mengambil manfaat dari petunjuk Allah & Rasul-Nya.

Oleh karenanya, waspadalah terhadap perbuatan zhalim sekecil apapun, baik yang terkait hak Allah, hak makhluk, atau bahkan terkait dengan diri sendiri. Jangan sampai kegelapan meliputi kehidupan kita.

Penjelasan tentang Kebijaksanaan Akan Mengarahkan Jiwa Pada Kebenaran


Kita telah tahu bahwa ada dua sisi berbeda dari jiwa manusia, yang satu mengarah kepada kebaikan dan yang satunya lagi mengarah kepada kejahatan. Bijaksana atau tidaknya seseorang bergantung pada dua sisi jiwa orang itu. Al-Qur'an memberitahu kita bahwa tingkah laku yang mengikuti nafsu adalah tidak bijaksana. Sebaliknya, setia kepada sisi baik dari jiwa membawa kepada kebijaksanaan.

Semua nabi dan rasul, termasuk Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam diutus oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala supaya mengajarkan persoalan kebijaksanaan. Sebagaimana Firman Alloh dalam kitab Suci al-Qur’an:

كَمَا اَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ ايتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَالَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُونَ  [البقرة:151]‎
“Sebagaimana Kami telah mengutus seorang Rasul di antara kamu supaya membacakan ayat-ayat Kami, mensucikanmu dan mengajarkanmu al-kitab dan kebijaksanaan (al-hikmah) dan mengajarkanmu apa-apa yang belum kamu ketahui.” (QS: al-Baqarah; 151).

Seseorang yang menjadi budak dari hawa nafsunya tidak dapat mengisi hatinya dengan ingat kepada Allah, maka dengan segera dia kehilangan kebijaksanaan. Al-Qur'an merujuk orang-orang seperti ini sebagai orang-orang yang kehilangan kebijaksanaan. Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;

لَا يُقَاتِلُونَكُمْ جَمِيعًا إِلَّا فِي قُرًى مُحَصَّنَةٍ أَوْ مِنْ وَرَاءِ جُدُرٍ ۚ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ ۚ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّىٰ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ

Mereka tiada akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti.Al-Hasyr:14

Awalnya memang tak dapat dipahami. Sebab kebanyakan orang menganggap bahwa semua orang itu bijaksana dan menganggap bahwa kebijaksanaan itu tidak pernah berubah. Namun ada hal yang lebih membingungkan seputar perbedaan kebijaksanaan dan kecerdasan. Orang menganggap bahwa keduanya sama padahal berbeda. Setiap orang dapat memiliki kecerdasan tetapi kebijaksanaan hanya dimiliki oleh orang-orang yang beriman.

Dengan mengetahui bahwa sisi jahat jiwa dapat membuat seseorang kehilangan kebijaksanaan, maka kita harus tahu bagaimana cara memperoleh kebijaksanaan. Jawabannya jelas. Seseorang memperoleh kebijaksanaan ketika dia mematuhi kesadarannya yang memberinya cara untuk menghalangi sisi jahat dari jiwanya mengambil alih.

Kebijaksanaan sebagaimana diacu di dalam Al-Qur'an, merupakan gejolak yang dialami di dalam jiwa. Dalam lebih dari satu ayat diterangkan bahwa hati belajar untuk bijaksana. Dengan demikian kita mengetahui bahwa kebijaksanaan berbeda dari kecerdasan yang merupakan fungsi otak semata. Kebijaksanaan ada di dalam hati dan jiwa manusia. Al-Qur'an menjelaskan bahwa kebijaksanaan ada di dalam hati, dan orang yang tanpa kebijaksanaan, akan kurang pemahamannya karena hati mereka terkunci. Firman Alloh Subhanahu Wata'ala:

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
Apakah mereka yang mendustai Rasul itu tidak pernah bepergian di muka bumi ini, supaya hatinya tersentak untuk memikirkan kemusnahan itu, atau mengiang di telinganya untuk didengarkan? Sebenarnya yang buta bukan mata yang ada di kepala, tetapi hati yang ada di dalam dada. Al-Hajj:46
Yang dimaksud bukanlah buta mata, melainkan buta pandangan hati. Kendatipun pandangan mata seseorang sehat dan tajam, tetapi tidak dapat mencerna pelajaran-pelajaran dan tidak dapat menanggapi apa yang didengar. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh seorang penyair berikut sehubungan dengan pengertian ini. Dia adalah Abu Muhammad Abudullah ibnu Muhammad ibnu Hayyan Al-Andalusi Asy-Syantrini yang tutup usia pada tahun 517 Hijriah. Dia mengatakan seperti berikut:

يَا مَن يُصيخُ إِلَى دَاعي الشَقَاء، وقَد ... نَادَى بِهِ الناعيَان: الشيبُ والكبَرُ ...
إِنْ كُنتَ لَا تَسْمَع الذكْرَى، فَفِيمَ تُرَى ... فِي رَأسك الوَاعيان: السمعُ والبَصَرُ? ...
ليسَ الأصَمّ وَلَا الأعمَى سوَى رَجُل... لَمْ يَهْده الهَاديان: العَينُ والأثَرُ...
لَا الدَّهْرُ يَبْقَى وَلا الدُّنْيَا، وَلا الفَلَك الْـ ... أَعْلَى وَلَا النَّيّران: الشَّمْسُ وَالقَمَرُ ...
لَيَرْحَلَنّ عَن الدَّنْيَا، وَإن كَرِها فرَاقها، الثَّاوِيَانِ: البَدْو والحَضَرُ ...

Hai orang yang mendengar dengan patuh kepada penyeru yang mencelakakannya, padahal dua pembela sungkawa telah berseru kepadanya, yaitu uban dan usia yang lanjut.
Jika kamu tidak dapat mendengar peringatan, maka apakah kamu tidak melihat dua peringatan yang ada pada kepalamu, yaitu pendengaran dan penglihatan.
Sesungguhnya orang yang buta dan tuli itu hanyalah seorang lelaki yang tidak dapat memanfaatkan dua pemberi petunjuknya, yaitu mata dan jejak-jejak peninggalan (umat terdahulu).
Masa tidak dapat membuat­nya hidup kekal, begitu pula dunia, cakrawala yang tinggi, api, matahari, dan rembulan.
Ia pasti pergi meninggalkan dunia ini, sekalipun ia tidak menginginkannya; berpisah dengan dua tempat tinggalnya, yaitu tubuh kasar dan keramaian tempat tinggalnya.

Karenanya kebijaksanaan yang diacu dalam Al-Qur'an secara langsung berhubungan dengan hati dan jiwa.

Satu hal yang pantas untuk disebutkan di sini, kebijaksanaan tidaklah tetap namun berubah-ubah. Kecerdasan tetap dan tidak akan berubah kecuali kalau secara fisik terluka atau gila. Setiap orang memiliki IQ tetap. Sebaliknya kebijaksanaan dapat meningkat atau menurun, bergantung pada penguatan jiwa dan rasa takut kepada Allah (taqwa). Dalam hal ini seseorang memperoleh patokan yang dengan patokan itu dia dapat membedakan benar dan salah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

Hai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Allah, pasti Dia akan memberimu furqan Suatu petunjuk merupakan pelita hati yang dapat membedakan antara yang salah dan yang benar antara yang terang dan yang gelap dan sebagainya, akan menghapus segala kesalahanmu dan mengampunimu. Allah mempunyai karunia yang amat besar. Al-Anfal:29

Ibnu Abbas, As-Saddi, Mujahid, Ikrimah, Ad-Dahhak, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan serta ulama lainnya yang bukan hanya seorang telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:. Furqan. (Al-Anfal: 29) Bahwa yang dimaksud ialah jalan keluar. 
Menurut Mujahid di tambahkan di dunia dan akhirat. 
Menurut suatu riwayat dari Ibnu Abbas, yang dimaksiat dengan Furqan ialah keselamatan. Sedangkan menurut  riwayat yang lain —Juga dari Ibnu Abbas— yang dimaksud dengan furqan ialah pertolongan Allah.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa makna furqan ialah pemisah antara perkara yang hak dan yang batil. ‎

Tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Ishaq ini pengertiannya lebih mencakup daripada pendapat lainnya, dan memang apa yang dikemukakannya itu mencakup kesemuanya. Karena sesungguhnya orang yang bertakwa kepada Allah dengan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya berarti dia mendapat taufik untuk mengetahui perbedaan antara perkara yang hak dan yang batil. Maka yang demikian itu merupakan penyebab datangnya pertolongan Allah, jalan keselamatan, dan jalan keluar dari semua urusan dunia serta kebahagiaan di hari kiamat, penghapus segala dosa, beroleh ampunan dan disembunyikan dari semua orang serta menjadi penyebab beroleh pahala Allah yang berlimpah. Pengertiannya sama dengan apa yang disebutkan di dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيَجْعَلْ لَكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat­-Nya kepada kalian dua bagian, dan menjadikan untuk kalian cahaya yang dengan cahaya itu kalian dapat berjalan dan Dia mengampuni kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Hadid: 28)

Di samping itu Allah swt. menjanjikan kepada mereka itu akan menghapus segala kesalahan mereka dan mengampuni dosa-dosa mereka lantaran mereka itu bertakwa, dan diberi pula furqan, sehingga mereka dapat mengetahui mana perbuatan yang harus dijauhi karena dilarang Allah, serta dapat pula memelihara dirinya dari hal-hal yang menjatuhkan kepada kerusakan. Orang-orang yang mendapat pengampunan Allah berarti ia hidup bahagia. Hal yang demikian ini dapat mereka capai adalah karena karunia Allah semata. 

Di akhir ayat Allah swt. menegaskan bahwa Allah mempunyai karunia yang besar karena Dialah yang dapat memberikan keutamaan yang besar kepada makhluk-Nya, baik keutamaan yang merata kepada hamba-Nya di dunia atau pun magfirah dan surga-Nya yang diberikan kepada hamba-Nya yang dikasihi di akhirat.

Seseorang yang tidak takut kepada Allah sepenuhnya kehilangan patokan untuk membedakan antara benar dan salah. Seseorang bisa saja sangat cerdas. Dia mungkin seorang fisikawan hebat, ahli sosiologi, atau seseorang yang terhormat di masyarakat. Dia bisa saja memiliki prestasi yang luar biasa demi kabanggaannya. Namun jika dia tidak memiliki suara hati, dia akan kurang bijaksana. Dengan menjadi ilmuwan terkenal, dia mungkin menemukan misteri tubuh manusia tapi dia tidak memiliki semangat dan pengertian untuk memahami Pencipta dari tubuh itu. Ketimbang menunjukkan keheranan atas keajaiban penciptaan dan memuji penciptanya, dia lebih suka memuji dirinya sendiri atas penemuannya. Ilmuwan semacam ini adalah "orang yang telah mengambil nafsu menjadi tuhannya"; karenanya Allah sengaja membiarkannya tersesat.

Seseorang yang cerdas bisa saja kekurangan pengertian dan kemampuan untuk membedakan benar dan salah. Dia bisa jadi menemukan penemuan yang luar biasa, dia bisa jadi seorang usahawan yang berhasil, atau unggul dalam politik. Akan tetapi dia kurang pemahaman akan perkara benar dan perkara salah. Walaupun dia sudah diberitahu berulang-ulang, dia tetap buta dan tuli kepada pesan Al-Qur'an. Ini adalah akibat nyata dari kurangnya pengertian.

"Hati mereka terkunci sehingga mereka tidak dapat paham" adalah pernyataan penting di dalam Al-Qur'an yang menandakan berartinya hati dan pengertian.

Di dalam Al-Qur'an sejumlah ayat menerangkan hubungan antara hati dan kelakuan manusia. Hubungan ini dihadirkan dalam beberapa judul.

ALLAH HADIR ANTARA MANUSIA DAN HATINYA

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman! Perkenankanlah seruan Allah dan Rasul, bila kamu dipanggilnya ke jalan kehidupan rohaniahmu Maksudnya kehidupan yang kekal dengan kenikmatan yang abadi di akhirat. Dan ketahuilah bahwa Allah membuat batasan antara manusia dan hatinya Hati adalah pusat pengatur seluruh aktifitas jasmaniah dan rohaniah manusia, misalnya daya sadar, daya cipta, daya tindak dan sebagainya. Allah menghalangi kegiatan daya-daya tersebut, yang menjurus kepada kejahatan, dan bahwasanya kepada dialah kamu akan dikumpulkan. Al-Anfal:24 

Imam Bukhari mengatakan bahwa makna istajibu ialah penuhilah, dan limayuhyikum artinya sesuatu yang memperbaiki keadaan kalian. 

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ، حَدَّثَنَا رَوْحٌ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ: سَمِعْتُ حَفْصَ بْنَ عَاصِمٍ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي سَعِيدِ بْنِ الْمُعَلَّى قَالَ: كُنْتُ أُصَلِّي، فَمَرَّ بِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَدَعَانِي فَلَمْ آتِهِ حَتَّى صَلَّيْتُ، ثُمَّ أَتَيْتُهُ فَقَالَ: "مَا مَنَعَكَ أَنْ تَأْتِيَنِي؟ " أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ} ثُمَّ قَالَ: "لَأُعَلِّمَنَّكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ قَبْلَ أَنْ أَخْرُجَ"، فَذَهَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَخْرُجَ، فَذَكَرْتُ لَهُ -وَقَالَ مُعَاذٌ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ خُبَيْب بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، سَمِعَ حَفْصَ بْنَ عَاصِمٍ، سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذَا -وَقَالَ: " هِيَ {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} السَّبْعُ الْمَثَانِي"

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ishaq, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari khubaib ibnu Abdur Rahman yang mengatakan, "Saya pernah mendengar Hafs ibnu Asim menceritakan hadis berikut dari Abu Sa'd ibnu Al-Ma'la r.a. yang menceritakan bahwa ketika ia sedang salat, tiba-tiba Nabi Saw. lewat dan memanggilnya, tetapi ia tidak memenuhi panggilannya hingga ia menyelesaikan salatnya. Setelah itu barulah datang kepada beliau. Maka beliau Saw. bertanya,' Apakah gerangan yang menghalang-halangi dirimu untuk datang kepadaku? Bukankah Allah Swt. telah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan'Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian. (Al-Anfal: 24) Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu surat yang paling besar dari Al-Qur’an sebelum aku keluar dari Masjid ini.' Rasulullah Saw. bangkit untuk keluar dari masjid, lalu saya mengingatkan janji beliau itu."  Mu'az mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Khubaib ibnu Abdur Rahman, bahwa ia pernah mendengar Hafs ibnu Asim menceritakan hal berikut dari Abu Sa'id, bahwa ada seorang lelaki dari kalangan sahabat Nabi Saw. yang mengatakan surat yang dimaksud di atas, yaitu firman Allah Swt. yang mengatakan: Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (Al-Fatihah: 2)hingga akhir surat. Itulah yang dimaksud dengan sab’ul masani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dalam salat). 
Demikianlah menurut lafaz yang di­ketengahkannya berikut huruf-hurufnya tanpa ada yang dikurangi. Pembahasan mengenai hadis ini telah disebutkan dalam tafsir surat Al-Fatihah berikut semua jalur periwayatannya.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian. (Al-Anfal: 24) Yakni kepada perkara yang hak. 
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian. (Al-Anfal: 24) Maksudnya kepada Al-Qur'an ini; di dalamnya terkandung keselamatan, kelestarian, dan kehidupan. 
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian. (Al-Anfal: 24) Di dalam agama Islam terkandung kehidupan bagi mereka yang pada sebelumnya mereka mati karena kekafiran. ‎
Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Muhammad ibnu Ja'far ibnuz Zubair, dari Urwah ibnuz Zubair sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian. (Al-Anfal: 24) Yakni kepada peperangan yang menyebabkan Allah memenangkan kalian dengan melaluinya, sebelum itu kalian dalam keadaan terhina (kalah). Allah menjadikan kalian kuat karenanya, sebelum itu kalian dalam keadaan lemah. Dan Dia mencegah musuh kalian untuk dapat menyerang kalian, sebelum itu kalian kalah oleh mereka.

Firman Allah Swt.:

{وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ}

dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mendinding antara manusia dan hatinya.(Al-Anfal: 24)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah menghalang-halangi orang mukmin dan kekafiran, serta orang kafir dan keimanan. Demikianlah menurut riwayat Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya secara mauquf (hanya sampai pada Ibnu Abbas). Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih, tetapi keduanya (Bukhari dan Mus­lim) tidak mengetengahkannya. 

Imam Ibnu Murdawaih telah meriwayatkannya melalui jalur lain dengan sanad yang marfu' (sampai kepada Nabi Saw.), tetapi predikatnya tidak sahih, mengingat sanadnya lemah, justru yang berpredikat mauquf-lah yang sahih sanadnya. 

Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Sa'id Ikrimah, Ad-Dahhak, Abu Saleh, Atiyyah, Muqatil bin Hayyan, dan As-Saddi. 
Menurut riwayat lain, dari Mujahid, sehubungan dengan makna firman-Nya:mendinding antara manusia dan hatinya.(Al-Anfal: 24) Maksudnya yaitu hingga Allah meninggalkan (membiarkan)nya sampai dia tidak menyadarinya. 
Menurut As-Saddi, makna yang dimaksud ialah Allah menghalang-halangi antara seseorang dan hatinya, sehingga ia tidak dapat beriman —tidak pula kafir— kecuali hanya dengan seizin Allah.‎

Qatadah mengatakan bahwa ayat ini semakna dengan firman-Nya:

{وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ}

dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Qaf: 16)‎

Banyak hadis dari Rasulullah Saw. yang menerangkan hal yang selaras dengan pengertian ayat ini. ‎

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولُ: " يَا مُقَلِّب الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ". قَالَ: فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، آمَنَّا بِكَ وَبِمَا جِئْتَ بِهِ، فَهَلْ تَخَافُ عَلَيْنَا؟ قَالَ نَعَمْ، إِنَّ الْقُلُوبَ بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ تَعَالَى يُقَلِّبُهَا".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Abu Sufyan, dari Anas ibnu Malik r.a. yang menceritakan bahwa Nabi Saw. acapkali mengucapkan doa berikut: Wahai (Tuhan) yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu. Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Lalu kami bertanya, 'Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepadamu dan kepada apa yang engkau sampaikan, maka apakah engkau merasa khawatir terhadap iman kami?' Rasulullah Saw. menjawab: 'Ya, sesungguhnya hati manusia itu berada di antara dua jari kekuasaan Allah Swt. Dia membolak-balikkannya'.”

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Turmuzi di dalam pembahasan mengenai takdir, bagian dari kitab Jami-nya, dari Hannad ibnus Sirri, dari Abu Mu'awiyah Muhammad ibnu Hazim Ad-Darir (tuna netra), dari Al-A'masy yang namanya ialah Sulaiman ibnu Mahran, dari Abu Sufyan yang namanya Talhah ibnu Nafi', dari Anas, kemudian Imam Ahmad mengatakan bahwa hadis ini hasan. Telah diriwayatkan pula melalui berbagai perawi yang tidak hanya seorang, semuanya bersumber dari Al-A'masy. Dan sebagian dari mereka telah meriwayatkannya dari Abu Sufyan, dari Jabir, dari Nabi Saw. Tetapi hadis Abu Sufyan dari Anas lebih sahih sanadnya.
Hadis lain diriwayatkan oleh Abdu ibnu Humaid di dalam kitab Musnad-nya. Dia mengatakan bahwa: 
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ الْحَكَمِ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ بِلَالٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو: "يَا مُقَلِّب الْقُلُوبِ ثَبِّت قَلْبِي عَلَى دينك".

Telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Ibnu Abu Laila, dari Bilal r.a., bahwa Nabi Saw. pernah berdoa dengan doa berikut: Wahai (Tuhan) yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu.

Hadis ini jayyid sanadnya, hanya padanya terdapat inqita’. Tetapi sekalipun demikian predikat hadis ini sesuai syarat ahlus sunan, hanya mereka tidak mengetengahkannya.‎

Hadis yang lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa: ‎

حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ جَابِرٍ يَقُولُ: حَدَّثَنِي بُسْرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَضْرَمِيُّ: أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا إِدْرِيسَ الْخَوْلَانِيَّ يَقُولُ: سَمِعْتُ النَّوَّاسَ بْنَ سَمْعَان الْكِلَابِيَّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " مَا مِنْ قَلْبٍ إِلَّا وَهُوَ بَيْنُ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، إِذَا شَاءَ أَنْ يُقِيمَهُ أَقَامَهُ، وَإِذَا شَاءَ أَنْ يُزِيغَهُ أَزَاغَهُ". وَكَانَ يَقُولُ: "يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى دِينِكَ". قَالَ: "وَالْمِيزَانُ بِيَدِ الرَّحْمَنِ يَخْفِضُهُ وَيَرْفَعُهُ".

Telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Jabir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Bisyr ibnu Ubaidillah Al-Hadrami, ia mendengar dari Abu Idris Al-Khaulani yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar An-Nuwwas ibnu Sam'an Al-Kilabi r.a. mengatakan bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda:Tidak ada suatu hati pun melainkan berada di antara kedua jari kekuasaan Tuhan Yang Maha Pemurah, Tuhan semesta alam. Jika Dia menghendaki kelurusannya, maka Dia akan meluruskannya; dan jika Dia menghendaki kesesatannya, maka Dia akan menyesatkannya Dan tersebutlah bahwa Nabi Saw. acapkali mengucapkan doa berikut: Wahai (Tuhan) yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu. Nabi Saw. telah bersabda pula:Neraca itu berada di tangan kekuasaan Tuhan Yang Maha Pemurah; Dialah Yang merendahkan dan yang mengangkatnya.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Nasai dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Abdur Rahman ibnu Yazid ibnu Jabir, lalu disebutkan hal yang semisal.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Imam Ahmad menga­takan:
 
حَدَّثَنَا يُونُسُ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنِ الْمُعَلَّى بْنِ زِيَادٍ، عَنِ الْحَسَنِ؛ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: دَعَوَاتٌ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو بِهَا: "يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ". قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ تُكْثِرُ تَدْعُو بِهَذَا الدُّعَاءِ. فَقَالَ: "إِنَّ قَلْبَ الْآدَمِيِّ بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ، فَإِذَا شَاءَ أَزَاغَهُ وَإِذَا شَاءَ أَقَامَهُ

Telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Al-Ma'la ibnu Ziyad, dari Al-Hasan, bahwa Siti Aisyah pernah mengatakan bahwa di antara doa-doa yang sering diucapkan oleh Rasulullah Saw. ialah: Wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati. tetapkanlah hatiku pada agama-Mu. Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau sering sekali mengucapkan doa ini." Maka beliau Saw. menjawab: Sesungguhnya kalbu anak Adam itu berada di antara dua jari kekuasaan Allah jika Dia menghendaki kesesatannya (niscaya Dia membuatnya sesat), dan jika Dia menghendaki kelurusannya (niscaya Dia membuatnya lurus)‎
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa: ‎

حَدَّثَنَا هَاشِمُ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ، حَدَّثَنِي شَهْرٌ، سَمِعْتُ أُمَّ سَلَمَةَ تُحَدِّثُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكْثِرُ فِي دُعَائِهِ يَقُولُ: "اللَّهُمَّ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ". قالت: فقلت  يا رسول الله، أو إن الْقُلُوبَ لَتُقَلَّبُ  ؟ قَالَ: "نَعَمْ، مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ بَشَرٍ مِنْ بَنِي آدَمَ إِلَّا أَنَّ قَلْبَهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ، فَإِنْ شَاءَ أَقَامَهُ، وَإِنْ شَاءَ أَزَاغَهُ. فَنَسْأَلُ اللَّهَ رَبَّنَا أَنْ لَا يُزِيغَ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَانَا، وَنَسْأَلُهُ أَنْ يَهَبَ لَنَا مِنْ لَدُنْهُ رَحْمَةً إِنَّهُ هُوَ الْوَهَّابُ". قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا تُعَلِّمُنِي دَعْوَةً أَدْعُو بِهَا لِنَفْسِي؟ قَالَ: " بَلَى، قُولِي: اللَّهُمَّ رَبَّ النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ، اغْفِرْ لِي ذَنْبِي، وَأَذْهِبْ غَيْظَ قَلْبِي، وَأَجِرْنِي مِنْ مُضِلَّاتِ الْفِتَنِ مَا أَحْيَيْتَنِي"

Telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid, telah menceritakan kepadanya Syahr; ia telah mendengar Ummu Salamah menceritakan bahwa-di antara doa yang sering diucapkan oleh Rasulullah Saw. ialah:Ya Allah Wahai Tuhan Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu. Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah hati itu dapat dibolak-balikkan?" Rasulullah Saw. menjawab: Ya, tidak sekali-kali Allah menciptakan manusia dari Bani Adam melainkan kalbunya berada di antara dua jari kekuasaan Allah Swt. Jika Dia menghendaki kelurusannya (tentu Dia melurus­kannya), dan jika Dia menghendaki kesesatannya (tentu Dia menyesatkannya). Maka kami memohon kepada Allah Tuhan kami. semoga Dia tidak menyesatkan hati kami sesudah Dia menunjuki kami. DanJkami memohon kepada-Nya semoga Dia menganugerahkan kepada kami dari sisi-Nya rahmat yang luas. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi karunia. Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, sudikah kiranya engkau mengajarkan kepadaku suatu doa yang akan kubacakan untuk diriku sendiri?" Rasulullah Saw. bersabda: Tentu saja. Ucapkanlah, "Ya Allah, Tuhan Nabi Muhammad, ampunilah dosa-dosaku, lenyapkanlah kedengkian hatiku, dan lindungilah aku dari fitnah-fitnah yang menyesatkan selama Engkau membiarkan aku hidup.‎

Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa: 
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا حَيْوَةُ، أَخْبَرَنِي أَبُو هَانِئٍ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ الحُبَلي  أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو؛ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يَقُولُ: " إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ، كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّف كَيْفَ شَاءَ. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اللَّهُمَّ مُصَرِّف الْقُلُوبِ، صَرِّف قُلُوبَنَا إلى طاعتك".

Telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Haiwah, telah menceritakan kepadanya Abu Hani; ia pernah mendengar Abu Abdur Rahman Al-Habli mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Amr mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya hati Bani Adam itu berada di antara dua jari kekuasaan Tuhan Yang Maha Pemurah seperti halnya satu hati, Dia mengaturnya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Kemudian Rasulullah Saw. berdoa: Ya Allah, Tuhan Yang membolak-balikkan hati, arahkanlah hati kami untuk taat kepada Engkau.
Hadis ini diketengahkan oleh Imam Muslim secara munfarid dari Imam Bukhari. Dan ia meriwayatkannya bersama Imam Nasai melalui hadis Haiwah ibnu Syuraih Al-Misri.

Bagaimana juga perbedaan pendapat di kalangan para mufassir mengenai penafsiran ayat ini, tetapi hal yang tidak dapat disangkal ialah bahwa Allah swt. telah membuat bakat-bakat dalam diri seseorang. Bakat baik dan bakat buruk kedua-duanya dapat berkembang menurut sunah Allah yang telah ditetapkan bagi manusia. Berkembangnya bakat-bakat itu bergantung pada situasi, kondisi dan lingkungan. Apabila seseorang dididik dengan baik, niscaya jiwanya akan menjadi baik. Sebaliknya apabila jiwa itu dididik dengan jahat, atau berada dalam lingkungan yang jahat niscaya jiwa itu akan menjadi jahat. Hati adalah merupakan pusat dari perasaan, kemampuan serta kehendak seseorang yang dapat mengendalikan jasmaninya untuk mewujudkan amal perbuatan. 
Maka pantaslah kalau di dalam ayat ini dikatakan, bahwa Allah mendinding antara seseorang dengan hatinya, karena Allahlah Yang lebih mengetahui hati nurani seseorang. Dan Dialah Yang menguasai hati itu, karena Dialah pula yang menciptakan bakat-bakat yang terdapat dalam hati dan Dia pula yang paling dapat menentukan ke mana hati itu mengarah. 
Kemudian di akhir ayat Allah swt. menegaskan, bahwa sesungguhnya seluruh manusia itu akan dikumpulkan kepada Allah swt., yaitu mereka pada hari akhir akan dikumpulkan di padang Mahsyar untuk mempertanggungjawabkan segala macam amalnya dan menerima pembalasan yang setimpal dengan amal perbuatan mereka.

Selasa, 12 Oktober 2021

Penjelasan Tentang Memakai Sorban

 

Biasanya kalau ada orang sorbanan di kepala (udeng-udeng) orang langsung menganggap dia orang yang 'alim dan ahli ibadah. maka tak heran jika dihormati sedemikian rupa karena orang merasa sungkan. Memang di Indonesia umumnya orang yang menggunakan sorban yang dililitkan dikepala adalah habaib, para ulama', para kyai terutama kyai sepuh. Tapi tidak sedikit juga ustadz-ustadz muda kita menggunakan udeng-udeng. Contoh yang paling kongkrit (nyata) adalah KH. abdulloh Gymnastiar, atau yang akrab dipanggil AA Gym. Sudah menjadi ciri khas beliau kemana-mana, terutama dalam berdakwah pakai sorban dikepala.

Berbeda dengan sorban yag dililitkan dikepala, kalau sorban yang di selendangkan dibahu lebih populer lagi. Pada saat sholat jama'ah pun nampak banyak yang mempergunakannya, Yach emang sorban seperti itu sudah memasarakat. Jangankan wak kaji yang mau sholat, wong para wali kota pun buayak yang pakai sorban, tentu kita tidak usah repot utk menilai orang2 yang pake sorban, itu karena Alloh atau karena tujuan lain. Karena itu urusan mereka masing2 dgn Alloh dan ndak usah repot menilai ke iklasannya meraka.

Di samping sorban, masyarakat kita mengenal kopyah atau peci, justru yang ini lebih merakyat dan hampir seluruh umat islam di dunia memakainya. Bahkan waktu akad nikah jika ndak pakek kopyah ndak afdhol bahkan bisa dimarahin tu ama modin. hehehehe,...............

Sebagian masyarakat banyak yang bertanya-tanya apa sich hukunya dan manfaat menggunakan sorban atau penutup kepala seperti itu....???. dan apa ada dasar hukumnya...???! karena banyak di kalangan umat islam tidak memakai sorban bahkan tdk sama sekali menggunakan sorban, ada yg alasannya malu, belum pantas, atau tidak mengerti hkum dan manfaatnya.

Hadits-hadits tentang sorban

عَنْ أَبِى جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِىِّ بْنِ رُكَانَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّرُكَانَةَ صَارَعَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَصَرَعَهُ النَّبِىُّ -صلىالله عليه وسلم- قَالَ رُكَانَةُ وَسَمِعْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ« فَرْقُ مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُشْرِكِينَ الْعَمَائِمُ عَلَى الْقَلاَنِسِ».

Dari Abi Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali bin Rukanah dari ayahnya:”Sesungguhnya Rukanah bergulat dengan Nabi Saw.,maka Nabi Saw. pun membanting Rukanah. Rukanah berkata,’aku mendengar Nabi Saw bersabda:{Perbedaan antara kita dan antara orang-orang Musyrik adalah sorban di atas peci}.’”(HR Abu Dawud,at-Tirmidzi, ath-Thabrani, al-Hakim, al-Baihaqi)

Penjelasan:di dalam kitab Tanqih al-qaul dijelaskan bahwa jika memakai peci saja, makamenyerupai dengan kaum Musyrikin, karena kaum Musyrikin pun suka memakai pecitapi tidak mengenakan sorban di atas pecinya. Di dalam kitab ad-Di’amah juga disebutkan, karena banyak keterangan bahwa kita dilarang tasyabbuh (menyerupai)orang-orang kafir dalam berbagai keadaan, juga saat berpakaian pada waktu beribadah.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا اعْتَمَّ سَدَلَعِمَامَتَهُ بَيْنَ كَتِفَيْهِ. قَالَ نَافِعٌ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَسْدِلُ عِمَامَتهُ بَيْنَ كَتِفَيْهِ.

Dari Ibnu ‘Umar ia berkata :”Sesungguhnya Rasulullah Saw tatkala memakai sorban, dijuraikan (buntut) sorbannya itu diantara dua pundak/bahunya.”(HR. at-Tirmidzi dan al-Baihaqi)

حَدَّثَنِى شَيْخٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَعَوْفٍ يَقُولُ عَمَّمَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَسَدَلَهَا بَيْنَيَدَىَّ وَمِنْ خَلْفِى

Telah mengabarkan kepadaku seorang Syaikh dari penduduk Madinah ia berkata, aku mendengar ‘Abdurahman bin ‘Auf berkata:”Rasulullah Saw memakaikan sorban padaku,maka dijuraikanlah (buntut) sorban tersebut diantara kedua tanganku, dibelakangku.”(HR.Abu Dawud, Abi Ya’la dan al-Baihaqi)

عن جابر قال, قال رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم: رَكْعَتَانِ بِعَمَامةٍ خَيْرٌمِنْ سَبْعِينَ رَكْعَةً بِلاَ عِمَامَةٍ

Dari Jabir ia berkata,Rasulullah Saw bersabda:”Shalat dua raka’at dengan memakai sorban, lebih baik/utama dari pada shalat tujuh puluh raka’at tanpa memakai sorban.”HR.ad-Dailami,lihat kitab Syarah jami’ ash-Shagir oleh Syaikh al-Manawi juz 4 hadits no4468).Shalat adalah menghadap Sang Maha Raja, dan datang menghadap ke hadirat Sang Maha Raja tanpa berhias adalah menyalahi adab! (Kitab Tanqih al-Qaul)

قال صلى الله عليه وسلم: تَعَمَّموا فَإنَّ المَلائِكَةَ تَعَمَّمَتْ

Rasulullah Saw bersabda:”Bersorbanlah kalian, karena sesungguhnya para malaikat itu bersorban.”(Syaikh Nawawi al-Bantani, Tanqih al-qaul, babkeutamaan sorban)

بَلَى إِنْ تَصْبِرُواوَتَتَّقُوا وَيَأْتُوكُمْ مِنْ فَوْرِهِمْ هَذَا يُمْدِدْكُمْ رَبُّكُمْ بِخَمْسَةِآلَافٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُسَوِّمِينَ (125)

“ Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga,niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda. (S.Al Imran : 125).

Ibnu ‘Abbas berkata:”Tanda itu maksudnya adalah memakai sorban.” 

  وعن أبي هريرة معا ( إن لله عز وجل ملائكة وقوفا بباب المسجد يستغفرون لأصحاب العمائم البيض)

“Beberapa malaikat Allah akan berdiri di depan pintu mesjid dan memintakan ampun bagi mereka yang memakai sorban berwarna putih” (Hafizhas-Sakhawi Al-Maqaasidul Hasanah, Hal 466)

عَنِ ابْنِ الْمُغِيرَةِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَسَحَعَلَى الْخُفَّيْنِ وَمُقَدَّمِ رَأْسِهِ وَعَلَى عِمَامَتِهِ.

Dari Ibnu al-Mughirah dari Ayahnya: ”Bahwasannya  Nabi Saw mengusap dua sepatunya, bagian depan kepalanya, dan sorbannya (saat wudlu).”(HR. Muslim, AbuDaud)

Hadits tersebut di atas memberikan isyarat bahwa Rasulullah Saw. memakai sorban

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى أَصْحَابِ الْعَمَائِمِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ

Dari Abi Darda’ ia berkata,Rasulullah Saw bersabda:”Sesungguhnya Allah Swt dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang memakai sorban pada hari Jum’at).”(HR.ath-Thabrani dan Abu Nu’aim)

 وقال صلىالله عليه وسلم: صَلَّتِ المَلاَئِكَةُ عَلَى المُتَعَمِّمينَ يَوْمَ الجُمُعَة

Rasulullah Saw bersabda:”Malaikat memintakan rahmat untuk orang-orang yang memakai sorban pada hari Jum’at.” (Syaikh Nawawial-Bantani, Tanqih al-qaul, bab keutamaan sorban)

 (وقال صلى الله عليه وسلم: تَعَمَّمُوا فَإنَّ الشَّياطِينَ لاَ تَتَعمَّمُ) 

RasulullahSaw bersabda:”Bersorbanlah kalian , karena sesungguhnya setan tidak bersorban.”(Syaikh Nawawi al-Bantani, Tanqih al-qaul, bab keutamaan sorban)

 وقال صلىالله عليه وسلم: العَمَائِمُ سِيمَا المَلائِكَةِفَأرْسِلُوهاخَلْفَ ظُهورِكُمْ

RasulullahSaw bersabda:”Sorban adalah kekhususan/ciri malaikat, maka juraikanlah (buntutnya)di belakang punggung kalian.” (HR. Ibnu ‘Adi danal-Baihaqi dalam kitab khulashah)

 قال النبيصلى الله عليه وسلم: العَمَائِمُ تِيجانُ العَرَبِ فَإذَا وَضَعُواالعَمَائِمَ وَضَعُوا عِزَّهُمْ

Rasulullah Saw bersabda :”Sorban adalah mahkotanya orang Arab. Jika mereka meletakkan sorban, maka berarti mereka telah meletakkan kemuliannya.”(HR ad-Dailami)

 عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ بن أُسَامَةَ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَعْتِمُوا تَزْدَادُوا حِلْمًا.

Dari Abi al-Malih bin Usamah dari ayahnya ia berkata, Rasulullah Saw bersabda :Bersorbanlah kalian, niscaya kalian akan bertambah sabar.”(HR.at-Thabrani)

و حكى ابن عبد البرعن علي كرم الله وجهه أنه قال : ( تمام جمالة المرأة في خفها، وتمام جمال الرجل فيعمته)

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abdil Bar dari Imam ‘Ali Kw, sesungguhnya beliau berkata:” Kesempurnaan kecantikan wanita adapada selopnya, dan kesempurnaan ketampanan laki-laki ada pada sorbannya.” (Ibnu Muflih al-Hambali,  al-Adabu Syar’iyyah, juz 3, hal 354)

Pernyataan para ‘Ulama tentang sorban

54. قَدْ رَوَى الْبَيْهَقِيُّ فِيشُعَبِ الْإِيمَانِ عَنْ أَبِي عَبْدِ السَّلَامِ قَالَ سَأَلْت ابْنَ عُمَرَ كَيْفَ{ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَمُّ قَالَ كَانَ يُدِيرُالْعِمَامَةَ عَلَى رَأْسِهِ وَيَغْرِزُهَا مِنْ وَرَائِهِ وَيُرْسِلُ لَهَا مِنْ وَرَائِهِذُؤَابَةً بَيْنَ كَتِفَيْهِ }

“Telah meriwayatkan al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman dari Abi ‘Abdis Salam, ia bertanya kepada kepada Ibnu ‘Umar bagaimana sesungguhnya cara Rasulullah Saw memakai sorban. Ia berkata :”Sesungguhnya beliau Saw melilitkan sorbannya kekepalanya, menancapkan buntutnya ke bagian belakang, dan menjuraikan (buntutnya)ke belakang rambutnya diantara dua bahunya.”(Syaikh Sulaiman bin ‘Umar al-Jamal asy-Syafi’i, Hasyiyah Jamal, juz 6,hal 201)

وَيُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يَعْتَمَّ من وجبت عليه الجمعة....... وَلِقَوْلِهِ {صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} : الْعَمَائِمُ تِيجَانُ الْعَرَبِ .

“Dan disunnahkan baginya agar bersorban pada hari Jum’at………berdasarkan pada hadits Rasulullah Saw :”Sorban itu adalah mahkotanya orang Arab.”( Al-Qadlial-Mawardi asy-Syafi’i, al-Hawi, juz 2, hal 1031)

الْمُخْتَارُ لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْيَوْمِ مِنَ الزِّينَةِ ( يوم العيد ) ، وَحُسْنِالْهَيْئَةِ وَلُبْسِ الْعَمَائِمِ ، وَاسْتِعْمَالِ الطِّيبِ وَتَنْظِيفِ الْجَسَدِ، وَأَخْذِ الشَّعْرِ وَاسْتِحْسَانِ الثِّيَابِ.

“(Pendapat)yang terpilih bagi orang-orang pada saat hari ini (hari ‘Id) tentang berhiasadalah membaguskan rupa, memakai sorban, menatanya dengan baik, dan menjaga kebersihan badan. Juga menyisir rambut, merapihkan pakaian.” (Al-Qadlial-Mawardi asy-Syafi’i, al-Hawi, juz 2, hal 455)

(قوله: لخبر: إن الله وملائكته إلخ) أي ولخبر: صلاة بعمامة أفضل من خمس وعشرين بغيرعمامة، وجمعة بعمامة أفضل من سبعين بغير عمامة 

“(Dan perkataannya berdasarkan khabar: ’sesungguhnya Allah Swt dan para Malaikatnya…..’) dan berdasarkan khabar: 'shalat dengan memakai sorban lebih utama daripada solat dua puluh raka’at tanpa memakai sorban. Dan Shalat Jum’at dengan memakai sorban lebih utama daripada shalat jum’at tujuh puluh rakaat tanpa memakai sorban.”( Sayyid Syatha’ ad-Dimyati asy-Syafi’i,Hasyiyah i’anah ath-Thalibin, juz 2,hal95)

49.ثُمَّ الْعِمَامَةُ على صِفَتِهَا في السُّنَّةِ وَالرِّدَاءُ في الصَّلَاةِ مَطْلُوبٌشَرْعًا وهو أَنْ يَجْعَلَهُ على كَتِفَيْهِ

“Kemudian sorban atas sifatnya dalam sunnah dan rida’ dalam shalat,  yang dituntut secara syara’ dalam pemakaiannya adalah dengan menguraikan (buntutnya) di belakang pundaknya.”( Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami, Fatawa fiqhiyah kubra,  juz1,  hal 169)

50.وعبارة التحفة: وتسن العمامة للصلاة، ولقصد التجمل، للاحاديث الكثيرة فيها، واشتدادضعف كثير منها يجبره كثرة طرقها، وزعم وضع كثير منها تساهل، كما هو عادة ابن الجوزيهنا، والحاكم في التصحيح - ألا ترى إلى حديث: اعتموا تزدادوا حلما.
حيث حكم ابن الجوزي بوضعه، والحاكم بصحته، استرواحامنهما على عادتهما ؟ وتحصل السنة بكونها على الرأس أو نحو قلنسوة تحتها.

“Menurut Ibarat kitab Tuhfah:”dan disunnahkan memakai sorban untuk shalat, dan berhias,berdasarkan hadits-hadits yang banyak tentang hal tersebut. Dan kesangatan dla’if yang banyak dari padanya, dapat dinaikkan derajatnya dikarenakan oleh banyak thuruq (riwayatnya) dari jalur lain . Dan prasangka dugaan tentang banyak kepalsuan dari hadits-hadits tersebut adalah sikap yang terlalu merendahkan, seperti kebiasaan Ibnul Jauzi dalam hal ini dengan terlalu menganggap palsu suatu hadits. Dan kebiasaan al-Hakim dalam pentashihannya (menshahihkan).Lihatlah kepada hadits (اعتمواتزدادوا حلما/bersorbanlah kalian, niscaya kalian akan bertambah sabar  ). .”( Sayyid Syatha’ ad-Dimyatiasy-Syafi’i, Hasyiyah i’anah ath-Thalibin, juz 2, hal 95)

51.وفي خبر أنه كان له ثلاث قلانس : قلنسوة بيضاء ، مضرية ، وقلنسوة بردة حبرة ، وقلنسوةذات آذان يلبسها في السفر ، وربما وضعها بين يديه إذا صلى ، ويؤخذ من ذلك أن لبس القلنسوةالبيضاء يغني عن العمامة ، وبه يتأيد ما اعتاده بعض مدن اليمن من ترك العمامة من أصلها

“Dan di dalam suatu hadits bahwa Rasulullah Saw mempunyai tiga peci: peci putih, Mudlarriyah, dan peci Burdah Habarah. Peci tersebut terkadang dipakai dalam safar, dan terkadang ditaruhnya diantara kedua tangannya tatkala beliau Saw shalat. Dan dapat difahami dari hal tersebut, bahwa memakai peci putih itu sudah terkaya dari pada sorban. Dan dengannya jadi kuatlah kebiasaan orang-orang di sebagian kota-kota di negeri Yaman dari pada meninggalkan sorban sama sekali.”( Sayyid ‘Abdurahman al-Masyhur asy-Syafi’i, Bughyahal-Mustarsyidin, hal 87)

والعمامة مستحبة في هذا اليوم وروى واثلة بن الأسقع أن رسول الله صلى الله عليه و سلمقال إن الله وملائكته يصلون على أصحاب العمائم يوم الجمعة فإن أكربه الحر فلا بأس بنزعهاقبل الصلاة وبعدها ولكن لا ينزع في وقت السعي من المنزل إلى الجمعة ولا في وقت الصلاةولا عند صعود الإمام المنبر وفي خطبته 

“Dan sorban itu disunnahkan memakainya pada hari ini(Jum’at). Dan telah meriwayatkan Watsilah bin al-Asqa’ bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah Swt dan para Malaikatnya bershalawat kepada orang-orang yang memakai sorban di hari Jum’at. Maka jika cuaca panas merisaukannya, tidaklah mengapa sorban tersebut ditanggalkan sebelum shalat dan sesudahnya. Akan tetapi janganlah ditanggalkan di waktu berjalan dari rumah menuju shalat Jum’at,jangan pula di waktu shalat,dan jangan pula di waktu Khatib/Imam naik mimbar saat berkhutbah.”(al-Ghazali, Ihya’ ‘ulumid ad-din, juz 1, hal 181)

Petikan Hadis Tentang Bukti Rasulullah Mempunyai Syal (Rida’ – رِدَاءٌ)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنْتُ أَمْشِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ رِدَاءٌ نَجْرَانِيٌّ غَلِيظُ الْحَاشِيَةِ فَأَدْرَكَهُ أَعْرَابِيٌّ فَجَبَذَهُ بِرِدَائِهِ جَبْذَةً شَدِيدَةً نَظَرْتُ إِلَى صَفْحَةِ عُنُقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ أَثَّرَتْ بِهَا حَاشِيَةُ الرِّدَاءِ مِنْ شِدَّةِ جَبْذَتِهِ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ مُرْ لِي مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي عِنْدَكَ فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضَحِكَ ثُمَّ أَمَرَ لَهُ بِعَطَاءٍ . بِهَذَا الْحَدِيثِ وَفِي حَدِيثِ عِكْرِمَةَ بْنِ عَمَّارٍ مِنْ الزِّيَادَةِ قَالَ ثُمَّ جَبَذَهُ إِلَيْهِ جَبْذَةً رَجَعَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَحْرِ الْأَعْرَابِيِّوَفِي حَدِيثِ هَمَّامٍ فَجَاذَبَهُ حَتَّى انْشَقَّ الْبُرْدُ وَحَتَّى بَقِيَتْ حَاشِيَتُهُ فِي عُنُقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

1. Hadis Anas bin Malik r.a katanya, ; Pada suatu ketika aku berjalan bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat itu, beliau memakai selendang buatan Najran yang tebal pinggirnya. Tiba-tiba seorang Arab badui mendapatkan beliau, lalu ditariknya selendang Nabi tersebut sekuat-kuatnya, sehingga kulihat selendang tersebut membekas di leher Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena kuatnya tarikan. Kemudian orang tersebut berkata, “Wahai Muhammad, perintahkanlah kepada bendahara Tuan agar memberikan harta yang ada dalam pengawasan Tuan kepadaku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menoleh kepada orang itu sambil tertawa. Kemudian diperintahkanlah oleh beliau agar orang itu diberi sedekah.

Dalam hadits Ikrimah bin Ammar terdapat tambahan; “Kemudian laki-laki itu menarik dengan sekali tarikan hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertarik ke arahnya.” Dan dalam hadits Hammam; “Ia menarik selendang itu hingga sobek dan meninggalkan bekas pada leher Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

2. Diriwayatkan oleh Buraidah, ia mengatakan bahawa “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang solat dengan kain tanpa menyelepangkannya di atas bahu dan melarang solat dengan seluar tanpa mengenakan selendang (kain yang menutupi bahunya).” (Riwayat Muslim)
*maksud hadis ialah larangan solat tanpa berbaju. Jika tidak memakai baju, afdal kenakan selendang (rida) di badan.

وَعَنْ اَنَس اَنَّ النَّبِيّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: اِذَا قَامَ اَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلاَ يَبْزُقَنَّ قِبَلَ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ اَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ ثُمَّ اَخَذَ طَرَفَ رِدَائِهِ فَبَصَقَ فِيْهِ وَرَدَّ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَقَالَ اَوْ يَفْعَلُ هَكَذَا

3. Daripada Anas bahawa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu berdiri dalam solatnya maka jangan sekali-kali ia meludah ke depannya tetapi hendaklah ke kirinya atau ke bawah telapak kakinya” lalu ia (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) mengambil hujung selendangnya dan meludah di situ dan melipat sebahagian (hujung selendang) itu atas sebahagian lalu baginda bersabda: “Atau dia berbuat begini”. (Hadis Riwayat Ahmad dan Bukhari)

ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ فَلَمْ يَزَلْ يَدْعُوْ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ اِبْطَيْهِ ثُمَّ حَوَّلَ اِلَى النَّاسِ ظَهْرَهُ وَقَلَّبَ رِدَاءَهُ وَهُوَ رَافِعٌ يَدَيْهِ

4. “Kemudian baginda mengangkat kedua dua belah tangannya berdoa dan berdoa sehingga ternampak putih ketiaknya Kemudian baginda memalingkan belakangnya kepada manusia serta memalingkan selendangnya di kala beliau mengangkat kedua dua tangannya ….” (Hadis Riwayat Abu Daud)

ثُمَّ تَحَوَّلَ اِلَى الْقِبْلَةِ وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ فَقَلَّبَهُ ظَهْرَا لِبَطْنٍ وَتَحَوَّلَ النَّاسُ مَعَهُ

5. Kemudian baginda shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling ke arah kiblat dan beliau memalingkan selendangnya yang luar ke dalam dan orang ramai pun memalingkan selendang mereka bersama Rasulullah (Hadis Riwayat Ahmad)

اَنَّ النَّبِيَّ ص اِسْتَسْقَى وَعَلَيْهِ خَمِيْصَةٌ لَهُ سَوْدَاءٌ فَاَرَادَ اَنْ يَأْخُذَ اَسْفَلَهَا فَيَجْعَلُهُ اَعْلاَهَا فَثَقُلَتْ عَلَيْهِ فَقَلَّبَهَا الأَيْمَنِ عَلَى الأَيْسَرِ وَالأَيْسَرِ عَلَى الأَيْمَنِ

6. “Bahawasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta hujan. Baginda memakai kain hitam empat persegi (kain selendang) lalu beliau hendak mengambil bahagian sebelah bawah, hendak dijadikan bahagian atasnya tetapi beliau merasa berat lalu beliau membalikkan yang sebelah kanan ke atas sebelah kiri dan yang sebelah kiri ke atas sebelah kanan.” (Hadis Riwayat Ahmad dan Abu Daud)

Takhtimah

Pada prinsipnya, syariah Islam mewajibkan seorang muslim laki-laki untuk menutup aurat baik saat shalat atau di luar shalat yaitu antara pusar sampai lutut. 

Itu artinya, selagi aurat tertutup, maka sah shalatnya. Adapaun pakaian yang melebihi menutup aurat, maka itu terserah kepada masing-masing orang. Ia boleh memakainya atau tidak. Bagi seorang yang sedang shalat dianjurkan untuk berpakaian menurut kepantasan yang berlaku di suatu daerah tertentu. Kalau pantasnya memakai songkok, berbaju koko dan bersarung, maka dianjurkan untuk mengikuti tradisi tersebut. 

Dalam QS Al-A;raf 7:31 Allah berfirman

يا بني آدم خذوا زينتكم عند كل مسجد وكلوا واشربوا ولا تسرفوا , إنه لا يحب المسرفين 

Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

Ayat di atas menjadi dasar ulama untuk menyimpulkan bahwa saat shalat hendaknya memakai pakaian yang pantas. Salah satu kepantasan saat shalat adalah menutup kepala dengan memakai sorban atau serupa seperti songkok atau kopiah.

Dalam kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah dikatakan:

لا خلاف بين الفقهاء في استحباب ستر الرأس في الصلاة للرجل بعمامة وما في معناها، لأنه صلى الله عليه وسلم كان كذلك يصلي

Artinya: Tidak ada perbedaan (khilaf) ulama atas sunnah-nya menutup kepala saat shalat bagi laki-laki baik dengan sorban atau yang serupa dengan itu karena Nabi melakukan itu saat shalat. 

Jadi, menutup kepala itu sunnah dilakukan saat shalat baik penutupnya berupa sorban atau yang sama fungsinya seperti songkok putih, kopiah hitam, blangkon, dan lain-lain. Tentu saja seseorang hendaknya memakai penutup kepala yang dianggap paling pantas dibuat shalat menurut anggapan di masyarakat setempat. Artinya, tidak harus sorban. 

Adapun orang yang berpendapat sunnahnya sorban secara khusus mungkin berdasarkan pada atsar (perkataan Sahabat) Ibnu Umar di mana beliau konon mengatakan

صلاة بعمامة تعدل سبعين صلاة بلا عمامة. ، أو ما ورد عن أنس: بعشرة آلاف حسنة.

Artinya: Sekali shalat dengan memakai sorban itu sama dengan 70 kali shalat tanpa sorban. Atau berdasar riwayat dari Anas: sama dengan 10.000 kebaikan.

Atsar di atas menurut Ibnu Hajar statusnya maudhu' (palsu). Sinyalemen Ibnu Hajar ini diperkuat Al Manufi dalam kitab Al-Masnu' fi Makrifati Hadits Al-Maudhuk yang menyatakan bahwa hadits ini bukan hanya maudhuk tapi juga isinya batil 

( مَوْضُوعٌ . قَالَ الْمنوفِيُّ : فَذَلِكَ كُلُّهُ بَاطِلٌ).

“Para ulamak biasa menyebutkan pakaian-pakaian Rasulullah sehingga se’detail’nya. Para guru kami menyebutkan, pemakaian rida’ disunnahkan dan terdapat pelbagai cara memakainya. Malah para ulamak berbeza pendapat dalam memilih cara yang terbaik tanpa menafikan cara-cara yang lain. Kebanyakan guru kami mengajarkan supaya memakai rida’ dengan meletakkan kain di atas bahu kiri (atau kanan mengikut sebahagian guru lain). Ada juga yang meletakkan di atas bahu kiri kemudiannya ditarik di sebelah belakang dan keluar melalui bawah ketiak kanan dan diangkat ke belakang melalui bahu kanan. Ada juga yang menggantungkan sahaja di tengkuk dan membiarkan ke bawah dari kedua-dua bahu. Apapun yang kami dapati, semua cara tersebut boleh dilakukan, dan jika diniatkan kerana mencintai Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan amalan para ulamak, insyaAllah beroleh pahala. ”

Rasulullah memakai rida’

Memakai rida’ (semacam selendang) dan membalik posisi rida’ disunnahkan. Sebagai contoh dalil pemakaian rida’ / burdah shawl ini berlaku ketika Rasulullah saw menunaikan solat istisqa, iaitu dengan menaruh kain yang disebelah kiri ke sebelah kanan, dan kain yang ada di sebelah kanan ke sebelah kiri.
Hadis-hadis yang menyatakan dianjurkannya hal ini sangatlah banyak, diantaranya hadis Abu Hurairah, hadits Abdullah bin Zaid, hadis ‘Aisyah yang sudah disebutkan.

Pemakaian dan tindakan membalikan rida’ ini dapat dilakukan setelah berdoa, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, atau ketika hendak berdoa, sebagaimana hadits Abdullah bin Zaid Radhiallahu’anahu :

خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى المصلى فاستسقى . وحول ردائه حين استقبل القبلة

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam keluar menuju lapangan untuk istisqa’. Beliau membalik rida’-nya ketika mulai menghadap kiblat” (HR. Muslim, no.894)

Berkata Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar hal 7:

قالالعلماء من المحدثين والفقهاء وغيرهم :
 يجوز ويستحب العمل في الفضائل والترغيب والترهيببالحديث الضعيف ما لم يكن موضوعا.
وأما الأحكام كالحلال والحرام والبيع والنكاح والطلاق وغير ذلك فلا يعملفيها إلا بالحديث الصحيح أو الحسن إلا أن يكون في احتياط في شئ من ذلك ، كما إذا وردحديث ضعيف بكراهة بعض البيوع أو الأنكحة ، فإن المستحب أن يتنزه عنه ولكن لا يجب.

”Berkata para ulama dari kalangan Muhadditsin, Fuqaha, dan sebagainya, ”Dibolehkan dan disunahkan beramal dalam hal fadlail, targhib dan tarhib dengan hadits dla’if,selama ia bukan hadits yang maudlu. Adapun dalam hal-hal yang berkaitan dengan hukum seperti halal-haram,jual-beli, nikah-talaq, dan sebagainya, maka tidak dibolehkan mengamalkan/menetapkan didalamnya kecuali dengan sahih atau hasan.Kecuali hadits yang menyangkut masalah kehati-hatian dama suatu hal darimasalah tersebut. Semisal apabila ada suatu hadits dla’if yang menyebutkan makruh melakukan sebagian transaksi jual beli atau makruh melakukan sebagian nikah, maka hal tersebutkan disunahkan untuk dihindari, tetapi tidak bersifatwajib.” 

Dalam kitab Fatawa ar-Ramli 4:383 : “Diriwayatkan oleh Imam Nawawi dalam beberapa karangannya tentang kesepakatan para ahli hadits atas kebolehan beramal dengan hadits dla’if dalam fadlilah amal dan yang semisalnya.”

Dalam kitab Mawahib al-Jalil lil al-Khitab 17:1 dan Syarh al-Kharsyi ‘ala Khalil : “ Saya katakan,”sesungguhnya jika hadits setiap urusan penting….dst adalah dla’if, maka sesungguhnya telah sepakat para ulama tentang kebolehan beramal dengan hadits dla’if dalam fadlailul a’mal.”

Berkata ‘Ali al-Qari’ dalam kitab al-Hazhzh al-Aufar seperti yang disebutkan olehal-Laknawi  dalam kitab al-Ajwibatal-Fadlilah hal 36 : 
“Hadits dla’if mu’tabar dalam fadlailul a’mal menurut pandangan semua ulama yang dari kalangan orang-orang yang memiliki kesempurnaan pengetahuan.” Dan berkata juga ‘Alial-Qari’ dalam kitab al-Maudlu’at seperti disebutkan juga dalam kitabal-Ajwibat al-Fadlilah karya al-Laknawi hal 36 : “ Hadits dla’if boleh diamalkan dalam fadlilah ‘amal dan telah terjadi kesepakatan atas hal tersebut (ijma’)….dst.”

Berkata IbnuHajar al-Haitami dalam kitab syarah arba’in an-Nawawiyah hal 32 :

قد اتفق العلماء على جواز العمل بالحديث الضعيففي فضائل الأعمال؛لأنه إن كان صحيحا في نفس الأمر، فقد أعطي حقه من العمل به 

“ Para ulama sepakat atas pengamalan hadits dla’if dalam fadlailul a’mal. Jika ternyata hadits tersebut pada dasarnya sahih, maka seharusnya ia diamalkan. Jika ternyata seandainya tidak sahih, maka pengamalan terhadap hadits itu tidak akan mengakibatkan kerusakan (mafsadah) menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal, dan menyia-nyiakan hak orang lain.”

Berkata juga Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab fatawanya 2: 54  :

وقد تقرر أن الحديث الضعيفوالمرسل والمنقطع والمعضل والموقوف يعمل بها في فضائل الأعمال إجماعا

 “Telah ditetapkan/disepakati bahwa hadits dla’if yang Mursal, Munqothi’, Mu’dlal, dan mauquf boleh diamalkan dalam fadlailul a’mal.”

Dan dalam kitab Tathhir al-Janan hal 3, masih karangan Ibnu Hajar al-Haitami: “ Maka jika anda berkata bahwa hadits yang disebutkan ini sanadnya dla’if, bagaimanakah hukumnya kalau berhujah dengan hadits tersebut?.Saya (Ibnu Hajar) Katakan: Telah sepakat para imam kami dari kalangan Fuqaha, Ahli usul, dan para Hafizh bahwasannya hadits dla’if boleh dijadikan hujjah dalam hal manaqib sepertihalnya telah sepakat bahwa hadits dla’if boleh dijadikan hujjah dalam fadlailula’mal …”

Selain dari pada hal tersebut, banyak juga kelompok orang-orang yang salah faham terhadap mereka-mereka yang mengamalkan ibadah dengan pamrih mengharapkan pahala, seperti dalam masalah keutamaan memakai sorban dsb.

Mereka menganggap bahwa orang yang mengamalkan hadits fadlailul a’mal (keutamaan-keutamaan),berarti beribadah tanpa keikhlasan. Namun hal itu juga tidak tepat, karena dalam hal tertentu, beramal dengan pamrih mengharapkan pahala tidaklah menjadi masalah, sesuai dengan tingkatan-tingkatannya.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...