Selasa, 12 Oktober 2021

Penjelasan Tentang Akal

 

Segala puji bagi Allâh Azza wa Jalla , yang telah menganugerahkan kepada umat manusia hati nurani, yang dengannya mereka menjadi berakal, mampu berfikir, merenung, dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Allâh Azza wa Jalla berfirman : 

وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dialah yang menjadikan kalian memiliki pendengaran, penglihatan, dan hati, supaya kalian bersyukur [an-Nahl/16:78]

Ibnu Katsîr rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, "Allâh Azza wa Jalla memberikan mereka telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, dan hati -yakni akal yang tempatnya di hati- untuk membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan… Dan Allâh Azza wa Jalla memberikan umat manusia kenikmatan-kenikmatan ini, agar dengannya mereka dapat beribadah kepada Rabb-nya."

Allah Swt berfirman:

كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya (hukum-hukumNya) supaya kalian memahaminya”(QS. Al Baqarah 242)

يَادَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

“…maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS. Al Shaad 26)

Ada kesalahpahaman yang berkembang di masyarakat kaum muslimin, yakni menempatkan masalah akal pada tempat yang seharusnya ditempati oleh hawa nafsu. Sebagai contoh, ketika sebagian orang (ulama?) mengeluarkan fatwa yang membolehkan riba dengan dalil-dalil tertentu, maka ada orang yang menegur sang pemberi fatwa (mufti) itu dengan mengatakan, “Dalil yang anda gunakan itu bukan dari dalil syara’, tetapi dari akal”. Teguran tersebut kurang tepat. Sebab sang mufti itu tidak membawa dalil baik dari syara’ maupun dari akal, justru dia membawa dalil dari hawa nafsunya! Sebab orang yang berakal dan berbicara atas nama akan menolak sistem riba. Sebagaimana Aristoteles menyatakan bahwa uang itu tidak bisa bertelor!

Berikut ini sekilas mengenai akal dan betapa pentingnya akal dalam beragama. Lawan dari akal adalah jahl, atau sering pula diistilahkan dengan hawa nafsu. Kita semua tahu, ditinjau dari keberadaan akal dan nafsu, mahluk2 yang Allah karuniai kemampuan berpikir itu ada tiga jenis: malaikat, yang dikaruniai akal saja, tanpa nafsu; hewan, yang hanya dikaruniai nafsu, tanpa akal; dan manusia dan jin, yang Allah swt karuniai akal maupun nafsu.

Ayat-ayat Al Quran berikut dengan tegas memaksa kita untuk menyimpulkan bahwa hanya kaum Muslimin-Mu’minin lah yang menggunakan akalnya. Kaum yang lain, entah itu kafirin, musyrikin, munafikin, Nasrani, Yahudi, ataupun lainnya, oleh Al Quran dikatakan sebagai kaum yang tidak berakal (laa ya’qilun).

Al Baqarah: 164
إِنَّ فىِ خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ اخْتِلَافِ الَّيْلِ وَ النَّهَارِ وَ الْفُلْكِ الَّتىِ تجَْرِى فىِ الْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ النَّاسَ وَ مَا أَنزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِن مَّاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتهَِا وَ بَثَّ فِيهَا مِن كُلّ‏ِ دَابَّةٍ وَ تَصْرِيفِ الرِّيَحِ وَ السَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَ الْأَرْضِ لاََيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُون

“Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi; dan pertukaran malam dan siang; dan (pada) kapal-kapal yang belayar di laut dengan membawa benda-benda yang bermanfaat kepada manusia; demikian juga (pada) air hujan yang Allah turunkan dari langit lalu Allah hidupkan dengannya tumbuh-tumbuhan di bumi sesudah matinya, serta Ia biakkan padanya dari berbagai-bagai jenis binatang; demikian juga (pada) peredaran angin dan awan yang tunduk (kepada kuasa Allah) terapung-apung di antara langit dengan bumi; sesungguhnya ada tanda-tanda (yang membuktikan keesaan Allah, kekuasaanNya, kebijaksanaanNya, dan keluasan rahmatNya) bagi kaum yang menggunakan akal fikiran (liqaumiy ya’qiluun)”.‎

Fungsi Akal

Banyak sekalai ayat-ayat dalam Al Qur’an yang menebut kata-kata seputar akal atau penggunaanya, yaitu berfikir. Misalnya yang hadir dalam bentuk afala ta’qiluun (apakah kamu tdak mengerti) yang berulang sebanyak 13 kali. Atau dalam ungkapan “la’alakum ta’qiluun” (agar kalian memahaminya) berulang sebanyak 8 kali. Atau dalam ungkapan liqaumi ya’qiluun” (bagi kaum yang berfikir) sebanyak 8 kali. Juga dalam ungkapan “liqaumi yatafakkaruun” (bagi kaum yang memikirkan yang berulang sebanyak 7 kali. Semua ungkapan tentang akal dalam ayat-ayat tersebut berkonotasi positif.

Akal adalah nikmat besar yang Allah titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan Allah yang sangat menakjubkan. (Al-’Aql wa Manzilatuhu fil Islam, hal. 5)

Oleh karenanya, dalam banyak ayat Allah memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya), di antaranya:

وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ

“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (An-Nahl: 12).

وَفِي اْلأَرْضِ قِطَعٌ مُتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيْلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَى بِمَاءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي اْلأُكُلِ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ

“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ra’d: 4)

Sebaliknya Allah mencela orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya:

وَقَالُوْا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِيْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ

“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (Al-Mulk: 10)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “(Maknanya yaitu) tidak berakal dan tidak punya tamyiz (daya pemilah)… Bagaimanapun (hal itu) tidak terpuji dari sisi itu, sehingga tidaklah terdapat dalam kitab Allah Subhanahu wa ta’ala serta dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallampujian dan sanjungan bagi yang tidak berakal serta tidak punya tamyiz dan ilmu. Bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala telah memuji amal, akal dan pemahaman bukan hanya dalam satu tempat, serta mencela keadaan yang sebaliknya di beberapa tempat…” ‎

Kitapun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan beberapa bentuk kemuliaan terhadap akal, seperti:

1. Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan akal sebagai tempat bergantungnya hukum sehingga orang yang tidak berakal tidak dibebani hukum. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلىَ عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمُ

“Pena diangkat dari tiga golongan: orang yang gila yang akalnya tertutup sampai sembuh, orang yang tidur sehingga bangun, dan anak kecil sehingga baligh.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Ad-Daruquthni dari shahabat ‘Ali dan Ibnu ‘Umar)

2. Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara yang harus dilindungi yaitu: agama, akal, harta, jiwa dan kehormatan.

3. Allah Subhanahu wa ta’ala mengharamkan khamr untuk menjaga akal. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah: 90)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٍ

“Setiap yang memabukkan itu haram.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Musa Al-Asy‘ari)‎

Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan: “Dalam rangka menjaga akal maka wajib ditegakkan had bagi peminum khamr.” ‎

4. Tegaknya dakwah kepada keimanan berdasarkan kepuasan (kemantapan) akal. Artinya, keimanan tidak berarti mematikan akal, bahkan Islam menyuruh akal untuk beramal pada bidangnya sehingga mendukung kekuatan iman dan tidak ada ajaran manapun yang memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakannya, tidak menyepelekan dan tidak pula berlebihan. Sedangkan yang dilakukan para pengkultus akal yang mereka beritikad memuliakan akal, pada hakikatnya mereka justru menghinakan akal serta menyiksanya karena mambebani akal dengan sesuatu yang tidak mampu.

Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal adalah sesuatu yang berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yang lain, memiliki sifat lemah dan keterbatasan.

As-Safarini rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk berpikir dan Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan padanya batas yang ia harus berhenti padanya dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia akan tepat (menentukan) dengan ijin Allah. Tetapi jika ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yang Allah Subhanahu wa ta’ala telah tetapkan maka ia akan membabi buta…” (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah, hal. 1105)

Untuk itu kita perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya akal. Intinya bahwa akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib di balik alam nyata yang kita saksikan ini, seperti pengetahuan tentang Allah Subhanahu wa ta’aladan sifat-sifat-Nya, arwah, surga dan neraka yang semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَفَكَّرُوْا فِيْ أَلاَءِ اللهِ وَلاَ تَفَكَّرُوْا فِيْ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Berpikirlah pada makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir pada Dzat Allah.” (HR. Ath-Thabrani, Al-Lalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar, lihat Ash-Shahihah no. 1788)

وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (Al-Isra: 85)

Oleh karenanya, akal diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui hikmah di balik perintah itu. Karena, tidak semua hikmah dan sebab di balik hukum syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi, justru terlalu banyak hal yang tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk kepada syariat.

Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dengan syariat bagaikan kedudukan seorang awam dengan seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yang ingin meminta fatwa dan tidak tahu mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus ke mana minta fatwa), maka orang awam itu pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah mendapat fatwa, terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yang berfatwa dengan orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut. Tentunya bagi yang meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yang berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam tersebut karena orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia (mujtahid) lebih tahu (lebih berilmu). (Lihat Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)

Al-Imam Az-Zuhri rahimahullah mengatakan: “Risalah datang dari Allah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita menerima.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)

Orang yang menggunakan akal tidak pada tempatnya, berarti ia telah menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya. Sesungguhnya madzhab filasafat dan ahli kalam yang ingin memuliakan akal dan mengangkatnya –demikian perkataan mereka– belum dan sama sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa yang telah dicapai Islam dalam memuliakan akal -ini jika kita tidak mengatakan mereka telah berbuat jahat dengan sejahat-jahatnya terhadap akal. Di mana ia memaksakan akal masuk ke tempat yang tidak mungkin mendapatkan jalan ke sana. (Minhajul Istidlal, dinukil dari Al-’Aqlaniyyun hal. 21)
Akal yang terpuji dan akal yang tercela‎

Menengok penjelasan yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa penggunaan akal terkadang terpuji, yaitu ketika pada tempatnya. Dan terkadang tercela yaitu ketika bukan pada tempatnya. Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. Sedang akal yang tercela adalah sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yang menyebutkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:

1. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.
2. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, memahaminya serta mengambil hukum darinya.
3. Pendapat akal yang berakibat menolak asma (nama-nama) Allah Subhanahu wa ta’ala, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas (analogi) yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
4. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya As Sunnah.
5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik (dari dirinya) dan prasangka. (Lihat I’lam Muwaqqi’in, 1/104-106, Al-Intishar, hal. 21, 24, Al-’Aql wa Manzilatuhu)

Jadi, manakala kita mengambil sebuah kesimpulan dengan akal kita, kemudian ternyata hasilnya adalah salah satu dari lima yang tersebut di atas maka yakinlah bahwa itu pendapat yang tercela dan salah. Ia harus ditinggalkan dan menundukkan akal di hadapan kepada syariat.

Akal yang sehat tidak akan menyelisihi syariat‎

Disebutkan dalam kaidah ahlul kalam –ringkasnya– bahwa tatkala bertentangan antara akal dan wahyu maka mesti dikedepankan akal. (Asasuttaqdis, hal. 172-173)

Dengan prinsip ini, mereka menolak sekian banyak nash yang shahih dulu maupun sekarang. Tentu kita tahu bahwa pendapat mereka adalah salah dan sangat berbahaya. Untuk mengetahui bathilnya pendapat mereka dengan singkat dan mudah cukup dengan kita merujuk kepada lima hal yang disebutkan Ibnul Qayyim rahimahullah di atas.

Lebih rinci para ulama seperti Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan: Sesuatu yang diketahui dengan jelas oleh akal, sulit dibayangkan akan bartentangan dengan syariat sama sekali. Bahkan dalil naqli yang shahih tidak akan bertentangan dengan akal yang lurus, sama sekali. Saya telah memperhatikan hal itu pada kebanyakan hal yang diperselisihkan oleh manusia. Saya dapati, sesuatu yang menyelisihi nash yang shahih dan jelas adalah syubhat yang rusak dan diketahui kebatilannya dengan akal. Bahkan diketahui dengan akal kebenaran kebalikan dari hal tersebut yang sesuai dengan syariat. Kita tahu bahwa para Rasul tidak memberikan kabar dengan sesuatu yang mustahil menurut akal tapi (terkadang) mengabarkan sesuatu yang membuat akal terkesima. Para Rasul itu tidak mengabarkan sesuatu yang diketahui oleh akal sebagai sesuatu yang tidak benar namun (terkadang) akal tidak mampu untuk menjangkaunya.
Kita tahu bahwa akal merupakan karunia Allah kepada manusia yang membedakan dan melebihkannya dari seluruh makhluk yang lain. Dengan akal itulah Allah memuliakan anak cucu Adam As., ini atas kebanyakan ciptaanNya. Akal merupakan alat manusia untuk mentafakuri alam sehingga ia mendapat petunjuk untuk beriman kepada Allah dan RasulNya. Akal pulalah yang dipakai manusia sebagai alat untuk menggali ilmu-ilmu/sains eksperimental dan rahasia-rahasia alam untuk dimanfaatkan buat kepentingan manusia.

Dalam masalah-masalah diniyah (agama) akal berfungsi sebagai :
- Alat untuk memahami fakta (manath) dimana hukum syara’ diturunkan terhadapnya;
- Alat untuk memahami nash-nash syar’I (Kitab dan Sunnah) sekaligus menggali darinya hukum-hukum syara’.

Dalam poin ini akal tak melampaui batas kemampuannya. Ia tak mungkin mengubah fungsinya sendiri, yakni dari memahami nash-nash syara’ dan mengikatkan diri kepadanya, menjadi penilai dari nash-nash syara’ yang kemudian mengubah dan menggantinya. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh akal, sebab ia telah memahami nash-nash syara’ itu wahyu dari Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana yang tak mungkin terselip kebathilan. Akal menyadari bahwa dirinya lemah, penuh kekurangan dan bisa berbuat salah. Jika akal bertentangan dengan wahyu, dia menyadari bahwa wahyulah yang benar dan akallah yang salah, sehingga ia mengoreksi diri dan menundukkan diri dari wahyu. Ia pun menjadi tenteram dengannya. Jika anda melihat manusia yang merasa lebih tinggi dari wahyu dan menakwilkannya, mengoreksinya, lalu mengubahnya, ketahuilah bahwa yang berfungsi dalam diri orang tersebut pada waktu itu bukanlah akalnya melainkan hawa nafsunya.

Akal Tidak Ma’shum

Sekalipun akal cenderung kepada kebenaran, bukan berarti akal itu ma’shum, terbebas dari kesalahan. Justru ia bisa keliru dan salah. Akal terkadang berbuat salah sekalipun aktivitasnya terbatas di wilayahnya dan batas-batas jangkauannya. Oleh karena itu, orang yang berakal membutuhkan saran dan pendapat dari orang lain (yang berakal pula). Dan kalau nyata kebenaran (dari yang lain) ia mesti kembali kepadanya. Rasulullah Saw bersabda :“Tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah”

‎Ketika dalil bertentangan dengan akal
Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun terkadang muncul ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya shahih. Kalau terjadi hal demikian maka jangan salahkan dalil, namun curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari dalil tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yang sedang dibahas dengan benar. Sedangkan dalil, maka pasti benarnya.

Hal ini berangkat dari ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yang mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil. Demikian pula anjuran para shahabat yang berpengalaman dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengalami kejadian turunnya wahyu. Seperti dikatakan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab: “Wahai manusia, curigailah akal kalian terhadap agama ini.” (Riwayat Ath-Thabrani, lihat Marwiyyat Ghazwah Al-Hudaibiyyah, hal. 177, 301)

Beliau mengatakan demikian karena pernah membantah keputusan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pendapatnya, walaupun pada akhirnya tunduk. Beliau pada akhirnya melihat ternyata maslahat dari keputusan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu besar dan tidak terjangkau oleh pikirannya.

Oleh karenanya, Ibnul Qayyim mengatakan: “Jika dalil naqli bertentangan dengan akal, maka yang diambil adalah dalil naqli yang shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki, tempatkan di mana Allah meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya.” (Mukhtashar As-Shawa’iq, hal. 82-83 dinukil dari Mauqif Al-Madrasah Al-‘Aqliyyah, 1/61-63)

Abul Muzhaffar As-Sam’ani ketika menerangkan Aqidah Ahlus Sunnah berkata: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada Allah di mana Allah perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi jika tidak sesuai dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya dan mengambil Al Kitab dan As Sunnah kemudian menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya (Al Kitab dan As Sunnah) tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang hak sedang pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits hal. 99)‎
 ‎
Bila akal didahulukan‎

Jika akal didahulukan maka akan tergelincir pada sekian banyak bahaya:

1. Menyerupai Iblis –semoga Allah melaknatinya– ketika diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam alahissalam, kemudian ia membangkang dan menentang dengan akalnya.

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلاَّ تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍْ

“Allah berfirman: ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?’ Iblis menjawab: ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’.” (Al-A’raf: 12)

2. Menyerupai orang kafir yang menolak keputusan Allah dengan akal mereka, seperti penentangan mereka terhadap kenabian Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka katakan:

وَقَالُوْا لَوْلاَ نُزِّلَ هَذَا الْقُرْآنُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيْمٍ

“Dan mereka berkata: ‘Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’.” (Az-Zukhruf: 31)

3. Tidak mengambil faidah dari Rasul sedikitpun karena mereka tidak merujuk kepadanya pada perkara-perkara ketuhanan. Sehingga adanya Rasul menurut mereka seperti tidak ada. Keadaan mereka bahkan lebih jelek karena mereka tidak mengambil manfaat sedikitpun justru butuh untuk menolaknya.

4. Mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa. Allah berfirman:

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ

“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Qashash: 50)

5. Menyebabkan kerusakan di muka bumi, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim.

6. Berkata dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu.

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya.” (Al-Hajj: 8)

Ini termasuk larangan terbesar.

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوْا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’.” (Al-A’raf: 33)

7. Menyebabkan perbedaan dan perpecahan pendapat.

8. Terjatuh dalam keraguan dan bimbang. [Al-Mauqih, 1/81-92]

Pantaslah kalau Al-Imam Adz-Dzahabi mengatakan tentang orang-orang yang tetap mengedepankan akalnya: “Jika kamu melihat ahlul kalam ahli bid’ah mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari Al Qur’an dan hadits ahad dan tampilkan akal,’ maka ketahuilah bahwa ia adalah Abu Jahal.” (Siyar A’lamin Nubala, 4/472)‎
Hawa Nafsu Cenderung kepada Keburukan

Tidak terdapat kata ‘al Hawa’ dalam Al Qur’an melainkan dalam konotasi negatif. Sorang muslim tidak sempurna imannya, kecuali ia menundukkan hawa nafsunya -yang cenderung negatif itu- dan mengikatnya dengan syari’at Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda :
“tidak beriman salah seorang dari kalian, hingga ia mengikutkan (menundukkan) hawa nafsunya dengan (Islam) yang aku bawa” (HR. Imam An Nawawi dalam Kitab Al Arba’in An Nawawiyyah)

Dalam Al Qur’an terdapat kata ‘nafsu’ yang berarti ‘hawa’ atau ‘hawa nafsu’, seperti :

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ

“Karena sesunguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan”. (QS. Yusuf 54)
Juga dalam firman-Nya :

فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah”. (QS. Al Maidah 30)

Banyak di antara manusia yang berilusi bahwa sesuatu yang muncul dari hawa nafsunya ia anggap berasal dari akal mereka, lantaran mereka puas dengannya. Demikan pula mereka berilusi bahwa was-was (bisikan - bisikan buruk) yang dibuat syaitan (dari kalangan jin maupun manusia) dalam dirinya dan mereka puas dengannya, dia anggap dari akal mereka sendiri. Padahal pada hakikatnya mereka itu telah dihiasi oleh syaitan, sehingga memandang indah keburukan mereka dan merekapun menuruti hawa nafsu tanpa bukti (hujjah syar’iyyah) dari Rabb mereka sebagaimana firman-Nya :

أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ كَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ

“Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang syaitan menjadikan dia memandang baik perbuatannya dan mengikuti hawa nafsunya”. (QS. Muhammad 14)
وَقَدْ تَوَاتَرَتِ الأَخْبَارُ عَنْ رَسُوِلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثُبُوْتِ عَذَابِ الْقَبْرِ, وَنَعِيْمِهِ لِمَنْ كَانَ لِذَلِكَ أَهْلاً, وَسُؤَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ , فَيَجِبُ إِعْتِقَادُ ثُبُوْتِ ذَلِكَ , وَالإيْمَانُ بِهِ , وَلاَ نَتَكَلَّمُ فِي كَيْفِيَّتِهِ , إِذْ لَيْسَ لِلْعَقْلِ وُقُوْفٌ عَلَى كَيْفِيَّتِهِ, لِكَوْنِهِ لاَ عَهْدَ لَهُ بِهِ غَيْرُ هَذِهِ الدَّارِ, وَالشَّرْعُ لاَ يَأْتِي بِمَا تُحِيْلُهُ الْعُقُوْلُ , وَلَكِنَّهُ قَدْ يَأْتِي بِمَا تُحَارُ فِيْهِ الْعُقُوْلُ

Telah datang keterangan dalam banyak hadits yang telah mencapai derajat mutawatir, tentang adanya adzab kubur dan nikmatnya bagi orang yang berhak, serta pertanyaan kubur bagi mereka yang mukallaf. Maka itu wajib diyakini dan diimani kebenarannya, dan kita tidak boleh membicarakan tentang gambaran detailnya, karena memang akal tidak boleh menerka gambaran detailnya, demikian itu, karena akal tidaklah menyaksikan kecuali dunia yang ada ini. Dan Syariat tidak akan datang dengan sesuatu yang dimustahilkan akal, meski kadang datang dengan sesuatu yang membingungkannya.‎

Kita memohon kepada Allah Swt agar Dia melindungi kita dari buruknya hawa nafsu dan bisikan-bisikan syaitan. Juga kita memohon agar Dia menjadikan kita termasuk orang-orang yang berakal yang mendapat petunjuk ke jalan-Nya yang lurus (ash shiroth al mustaqiim), Aamin!

Penjelasan Tentang Istidroj

 

Dari Ubah bin Amir radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ تَعَالى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ

“Apabila Anda melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu hakikatnya adalah istidraj dari Allah.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah,

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

“Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44)

(HR. Ahmad, no.17349, Thabrani dalamAl-Kabir, no.913)

خَفْ مِنْ وُجُوْدِ إِحْسَانِهِ إِلَيْكَ وَدَوَامِ إِسَاءَتِكَ مَعَهُ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ إِسْتِدْرَاجًا لَكَ {سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُوْنَ}

Takutlah wahai murid! akan kebaikan-kebaikan Alah yang senantiasa tercurahkan kepadamu, akan tetapi engkau terus bermaksiat kepada-Nya dengan meninggalkan perintah-perintah-Nya dan mengerjakan larangan-larangan-Nya. Sesungguhnya itu adalah istidraj (penarikan Allah menuju kebinasaan).

Munculkanlah rasa takut di dalam hatimu akan nikmat-nikmat yang tidak diiringi dengan taat. Dan tidak ada yang merasa takut akan hal ini kecuali orang-orang mukmin. Orang-orang kafir sama sekali tidak merasa takut dengan istidraj Allah kepadanya.

Allah berfirman

سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لا يَعْلَمُونَ

Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan dari arah yang tidak mereka ketahui. (QS. al-Qolam: 44).

Sesungguhnya Allah telah melakukan istijraj kepada mereka, sementara mereka tidak merasakannya, sampai kebinasaan menjemputnya.

Allah berfirman,

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS. Al-An’am: 44).

Ketika mereka bersenang-senang dengan nikmat Allah, Allah membuat mereka lupa untuk bersyukur kepada-Nya. kenikmatan telah menghijabnya dari memandang kepada yang maha memberi nikmat.

Di antara hukuman Allah terhadap mereka yang menentang dan berusaha untuk mematikan  al haq serta orang – orang yang menjadi begundal dan anak buahnya iblis dari orang-orang munafiq, orang-orang kafir, orang-orang fasiq, orang-orang dholim adalah dengan cara mereka diberi oleh Allah berbagai macam pemberian berupa kekuasaan, harta benda, panjang umur dan pemberian lainnya, akan tetapi semua pemberi-an itu tidak karena rahmat dan kasih sayang dari Allah kepada mereka. Karena itu, hamba Allah yang shaleh tidak boleh tertipu dengan semua pemberian tersebut, karena ini adalah salah satu dari cara Allah untuk menghukum/mengadzab mereka. Inilah yang namanya Istidraj. Jadi Istidraj adalah suatu pemberian (Panglulon bhs jawa atau Panyungkun bhs Sunda) dari Allah untuk membuat celaka bagi seorang yang durhaka.  Jangan dikira bahwa orang yang ada kekuasaan, bermandi harta, panjang umur itu adalah bukti bahwa orang itu disayang Allah swt dan pasti baik. Cukuplah kiranya contoh orang-orang seperti ini: fir’aun, haman, qarun, kaum ‘ad, kaum tsamud dll.

Dalil-dalil tentang istidraj ini sebagai berikut:  
 
     وَ لاَ تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ  فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى

Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami uji mereka dengannya (Kesenangan). Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal. (Thaha 131)

   فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-ko-nyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. ( Al An’am 44 )

             وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ وَ أُمْلِي لَهُمْ إِنَّ  كَيْدِي مَتِينٌ

Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), de-ngan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepa-da mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh.( Al A’raf 182-183 )

           وَ لاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا وَلَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pembe-rian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Se-sungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghi-nakan. (Ali Imran 178 )

           أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَ بَنِينَ (55) نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لاَ يَشْعُرُونَ (56)

Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.      ( Al Mu’minun 55 )

Allah SWT berfirman :

فَذَرْنِي وَمَنْ يُكَذِّبُ بِهَذَا الْحَدِيثِ سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ (44)

Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan Perkataan ini (Al Quran). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, (QS 068 : 44)

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ (44)

Maka tatkala mereka melupakan peringatanyang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS 006 : 44)

Makna ayat-ayat diatas dapat diketahui bahwa ‘istidraj’ adalah pemberian Allah SWT kepada seseorang atas apa yang ia inginkan di dunia ini, agar ia menikmatinya dan tenggelam didalam lautan kesenangan, mereka tidak menyadari bahwa apa-apa yang mereka sangka kesenangan itu adalah sebuah hukuman yang diulur-ulur, agar ia semakin jauh dari Allah SWT. Terlalu banyak di negeri kita ini, orang-orang yang bila mendapatkan jabatan baru, lalu ia bersujud karenanya seolah-olah ia merasa telah mendapatkan karunia dari Allah SWT, ia tidak menyadari bahwa hal itu akan menyusahkannya dikemudian hari. Berbeda dengan para sahabat Nabi,saw., misalnya Salman al Farisi,ra, yang ditunjuk untuk menjabat sebagai gubernur di suatu daerah, ia menangis karenanya, khawatir bila ia tidak dapat menjalankan amanah itu dengan baik, dan tidak lama kemudian ia dicopot dari jabatannya, justru ia melakukan sujud syukur, karena lepas dari tanggung jawab yang sedemikian besar itu. Jadi istidraj adalah pisau yang bermata dua, satu sisi berupa sesuatu yang menggembirakan hati, sedangkan sisi yang lain berupa ketidak sadaran bahwa pemberian itu akan mencelakakannya. Oleh sebab itu bagi para salik, wajib hukumnya untuk selalu merapat kepada gurunya, guna mendapatkan bimbingan yang terus menerus, sehingga bila ada istidraj yang datang akan segera dapat diatasinya berkat barokah dari sang guru. Disebut istidraj, apapun bentuknya baik itu yang dhahir ataupun yang batin akan sulit dikenali. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Musibah adalah, bilamana seseorang diberi harta yang banyak lalu tidak mampu menggunakannya dijalan agama, diberikan pangkat yang tinggi namun tidak mampu menegakkan syariat, Allah SWT menyelipkan didalam hatinya istidraj.’ Dan beliau juga berkata : ‘Celakalah orang yang berdakwah merasa bagai orang suci, pandai berbicara dan mengajak orang lain untuk banyak beribadah, padahal dalam diri orang itu tidak banyak ibadahnya dan peribadatannya tidak bernilai tinggi. Dia menukar ilmunya dengan sesuatu yang bersifat duniawi, yang sejak dari rumah memang sudah diharapkannya. Jelas! Itu bukan peribadatan, itu adalah istidraj.’

Imam Abul Hasan an-Nuri, atau yang dikenal dengan Imam Nuri,qs., menceritakan kisahnya : ‘Bertahun-tahun aku berjuang, menahan diriku dalam penjara dan berpaling dari orang-orang lain. Betapapun wara-nya aku, jalan yang ingin kutempuh tidak juga terbuka untukku. Aku harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki diriku. Aku mendengar bahwa hati para mistik dapat mengetahui rahasia dari apa pun yang mereka lihat dan dengar. Sedangkan aku tidak begitu, aku berkata : ‘Benar apa yang diucapkan oleh para nabi dan para wali. Mungkin aku munafik dalam perjuanganku, dan kerusakannya berdampak pada diriku sendiri. Disini tak ada tempat bagi perbedaan pendapat.’ Aku melanjutkan, ‘Sekarang aku akan mencermati diriku sendiri dan mencari tahu apa yang salah.’ Aku memandangi diriku sendiri. Dan aku pun menemukan apa yang salah pada diriku, yakni jiwa badaniahku menyatu dengan hatiku. Bila jiwa badaniah menyatu dengan hati, itu namanya bencana, karena apapun yang berkilau di hati, jiwa badaniah akan mengambil bagiannya. Aku pun menyadari bahwa inilah penyebab dilemma yang aku hadapi, segala yang memasuki hatiku dari Istana Tuhan, jiwa badaniahku akan selalu mengambil bagiannya. Sejak saat itu, aku menjauhi apa pun yang memuaskan jiwa badaniyahku, dan mengambil sesuatu selainnya. Misalnya, jika salat atau puasa atau sedekah atau mengasingkan diri atau bergaul dengan para sahabatku memuaskan jiwa badaniahku, maka aku akan memotong dan mebuang jauh-jauh segala kepuasan itu. Akhirnya rahasia-rahasia mistis mulai terwujud dalam diriku. Lalu aku berjalan menyusuri sungai Tigris dan berdiri diantara dua sampan. ‘Aku takkan pergi, kataku, sampai seekor ikan terjerat jalaku.’ Akhirnya, seekor ikan terjerat jalaku. Saat aku mengambil ikan itu, akau memekik, ‘Segala puji bagi Allah, urusan-urusanku telah berjalan dengan baik!’ Aku pergi menemui Imam Junayd,ra., dan berkata padanya, ‘Sebuah karunia telah dianugerahkan padaku!’ ‘Abul Hasan,’ ujar Imam Junayd,ra., ‘Jika seekor ular yang terjerat jalamu, dan bukannya seekor ikan, itu baru suatu tanda karunia. Namun karena dirimu sendiri terlibat, itu adalah muslihat bukan karunia. Karena tanda dari suatu karunia adalah engkau tidak terlibat sama sekali.’

Kisah diatas sungguh hebat, istidraj tidak saja hinggap kepada orang awam, tetapi hinggap juga kepada penempuh jalan kesucian, namun kesadarannya dapat segera bangkit, karena mereka bersahabat dengan para sufi yang lain, yang mempunyai kedudukan yang mulia. Berkat persahabatannya dijalan Allah itu, maka yang satu dengan yang lain akan saling membantu dan mengingatkan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata kepada para murid-muridnya : ‘Jika engkau merasa sedang dalam tekanan kehidupan yang keras, lalu engkau berdoa agar segera berlalu, namun Allah malah menekannyalebih keras lagi, itu tanda sebuah karunia besar yang sedang engkau hadapi.’ Oleh karenanya Imam Sibly,qs., murid dari Imam Junayd,ra., pernah berdoa : ‘Yaa Allah aku berlindung kepada-Mu dari-Mu.’ Yakni, untuk dapat membedakan apakah pemberiaan dari Allah SWT itu merupakan istidraj atau anugerah. Jika imamnya para syaikh sufi saja berdoa seperti ini, bagaimana kita bisa mengenali sebuah istidraj yang datang kepada kita? Mari para sahabat, segera kita berlidung kepada Allah SWT dari fitnah-fitnah dunia ini, berharap kiranya Allah menghinggapkan nadam (daya sesal) atas dosa-dosa yang secara sengaja dilakukan ataupun yang tidak sengaja, yang terlihat maupun tidak terlihat dan yang terasa ataupun yang tidak terasa serta memberikankegagahan kepada kita didalam melakukan pertaubatan.

Sikap Para Ulama terhadap Istidraj

Abu Nuaim dlm "Hilyatul-Auliya'" (5/5/6215) meriwayatkan kisah Muhammad bin Suwaqah melewati jalur Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim, sampai ke Mas'ud bin Sahal, dia berkata,

نَظَرَ مُحَمَّدُ بْنُ سُوقَةَ فِي مَالِهِ فَوَجَدَ قَدِ اجْتَمَعَتْ لَهُ مِائَةُ أَلْفِ دِرْهَمٍ، فَأَقْبَلَ يَقُولُ: مَا اجْتَمَعَتْ مِنْ خَيْرٍ اسْتَدْرَجَتْ وَاسْتُدْرِجَتْ لَهُ لَئِنْ بَقِيَتْ لَهُ، قَالَ: فَلَمَّا دَارَتِ الْجُمُعَةُ وَعِنْدَهُ مِنْهَا مِائَةُ دِرْهَمٍ، قَالَ: وَاشْتَرَى مُحَمَّدُ بْنُ سُوقَةَ مِنْ غَزْوَانَ خَزًّا بِوَزْنٍ فَدَفَعَهُ إِلَيْهِ بِالْوَزْنِ الَّذِي اشْتَرَاهُ بِهِ، فَوَزَنَهُ فَوَجَدَهُ يَزِيدُ ثَلَاثَ مِائَةِ دِينَارٍ فَقَالَ مُحَمَّدٌ لِغَزْوَانَ: اشْتَرَيْتُ مِنْكَ كَذَا وَكَذَا مَنًّا فَوَجَدْتُهُ كَذَا وَكَذَا مَنًّا، فَقَالَ لَهُ غَزْوَانُ: لَا أَدْرِي مَا تَقُولُ اشْتَرَيْتَ كَذَا وَكَذَا مِنَّا، فَدَفَعْتُ إِلَيْكَ بِالْوَزْنِ الَّذِي اشْتَرَيْتُ، فَمَكَثَا يَتَرَدَّدَانِ الْكَلَامَ، مُحَمَّدُ بْنُ سُوقَةَ يُرِيدُ أَنْ يَرُدَّ الْفَضْلَ عَلَى غَزْوَانَ، وَغَزْوَانُ يَأْبَى أَنْ يَقْبَلَهُ، فَقَالَ لَهُ غَزْوَانُ: يَا هَذَا، إِنْ كَانَ لِي فَهُوَ لَكَ، وَإِنْ يَكُنْ لَكَ فَهُوَ لَكَ "

Muhammad bin Suwaqah melihat kepada hartanya, dia mendapati bhw dia tlh mengumpulkan (harta) sbnyk 1100 dirham, lantas dia berkata, 'Sy tlh byk mengumpulkan kebaikan, dan (sy takut kena) istidraj, seumpama sy mengumpulkan harta lbih byk. Maka, tatkala tiba hri Jum'at, dan di sisinya ad 100 dirham, maka dia (mksudny, Mas'ud berkata kembali) berkata, "Muhammad bin Suwaqah tlh membeli barang kain sutra dari Ghazwan di Wazan, maka diapun menjual kembali kepadanya di Wazan, yg padahal di situ tadi dia beli." Rupanya, tlh ada jual-beli, dia mendapat 300 dirham tambahan lagi. Maka, Muhammad berkata kpd Ghazwan, "Sy membeli kepadamu ini dan itu. " Ghazwan membalas, "Sy tdk tahu-menahu akan ap yg kau katakan pasal ap yg tlh kau beli dariku, tapi sy terimalah uang yg pasal kemarin jual beli." Maka, dua org ini saling merunding. Inginnya Muhammad itu adalah mengembalikan barang yg hasil dia jual beli, tapi Ghazwan menolak. Akhirnya, Muhammad berkata pula kpd Ghazwan, "Wahai, kalau memang ini kepunyaanku, maka ini adalah punyamu, begitu juga kalau ini punyamu, jadilah ini barang kepunyaanmu pula."

Memang, maksud atsar (kisah ulama) ini sedikit membingungkan. Maksudnya, Ibnu Suwaqah ini hendak membeli barang. Eh, gak taunya, dapat untung 300 dirham, karena takut kena istidraj, maka barang yg dibelinya itu tadi dikembalikannya, karena takut harta itu menjadi bumerang bagi dirinya sebagai istidraj.

Ibnu Abid-Dunya dlm "ar-Riqqatu wal-Buka'" (no.62) meriwayatkan melalui jalan periwayatannya hingga Abdul 'Aziz bin Ali ash-Sharraf:


أَنَّ حَسَّانَ بْنَ أَبِي سِنَانٍ قُدِّمَ لَهُ سُكَّرٌ مِنَ الْأَهْوَازِ , فَرَبِحَ فِيهِ مَالًا كَثِيرًا، فَدَخَلَ عَلَيْهِ قَوْمٌ مِنْ إِخْوَانِهِ يُهَنِّؤُونَهُ بِذَلِكَ، فَوَجَدُوهُ فِي نَاحِيَةِ الْحُجْرَةِ يَبْكِي، فَقَالُوا: يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذِهِ نِعْمَةٌ مِنَ اللَّهِ عَلَيْكَ، فَفِيمَ الْبُكَاءُ؟ قَالَ: «إِنِّي خَشِيتُ وَاللَّهِ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ سَكَرًا، فَاسْتِدْرَاجًا , وَإِنِّي [ص: 70] أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ مِنْ نِسْيَانِي مَا ذَكَّرَنِي بِهِ رَبِّي، وَمِنْ غَفْلَتِنَا عَنْ ذَلِكَ»

Bahwa Hassan bin Abi Sinan didatangkan (dikasih dgn pemberian berupa) gula (sukkar [Arab; سُكَّرٌ]: tebu) dari al-Ahwaz (sebuah kota Islam, sekarang letaknya di Iran -penerjemah), maka dia mendapatkan keuntungan yg cukup banyak darinya. Maka, masuklah sekelompok org yg masih bersaudaraan dgnnya itu mengucap selamat (dan kagum akan) dia yg mengambil keuntungan daripada gula itu. Maka, sekelompok org itu melihat Hassan menangis seraya meletakkan jari tangannya (di mata untuk menyeka air matanya itu). Mereka berkata, "Wahai Abdullah (nama asli Hassan kemungkinan), ini semua adalah nikmat Allah SWT. Lantas, knp kau menangis?" Dia menjawab, "Sungguh, ak takut Allah malah akan Menjadikan gula ini (sebagai jalan untuk) mengistidrajkan ak. Dan sy sungguh meminta ampun kpd Allah atas kelupaan saya. yg sdh sepatutnya dlm pasal ini, saya mengingat Tuhanku, atas semua kelengahan saya."
Sering-sering muhasabah antara nikmat dan istidraj

Dan sudah sepatutnya kita berilmu, yaitu bagaimana membedakan antara nikmat dan istidraj dengan sering-sering bermuhasabah. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah‎ rahimahullah berkata,

وأما تمييز النعمة من الفتنة: فليفرق بين النعمة التي يرى بها الإحسان واللطف، ويعان بها على تحصيل سعادته الأبدية، وبين النعمة التي يرى بها الاستدراج، فكم من مستدرج بالنعم وهو لا يشعر، مفتون بثناء الجهال عليه، مغرور بقضاء الله حوائجه وستره عليه!

“Adapun (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah, yaitu untuk membedakan antara kenikmatan yang Allah anugerahkan kepadanya -berupa kebaikan-Nya dan kasih-sayang-Nya, yang dengannya ia bisa meraih kebahagiaan abadi- dengan kenikmatan yang merupakan istidraj dari Allah. Betapa banyak orang yang terfitnah dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan, sehingga semakin jauh tersesat dari jalan Allah, Pen), sedangkan ia tidak menyadari hal itu. Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan kebutuhannya yang selalu terpenuhi dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allah.” (Madarijus salikin 1/189, Darul Kutub Al-‘Arabi, beirut, cet. III, 1416)

Ada beberapa tanda yang dapat menjadi isyarat bagi seorang hamba yang telah menerima hidayahdan taufiq dari Allah swt di antaranya: “Dalam segala persoalan yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah, ia selalu mendapat taufiq, hingga mudah mengerjakannya." Ia selalu mendapat kesempatan baik dan kelonggaran waktu untuk mencapai keridaan Allah dengan bermacam-macam amal ibadah. Selain itu si hamba selalu terhindar dari perbuatan maksiat ketika kakinya hendak tergelincir, atau kadang-kadang berkeinginan untuk perbuatan itu. Pemikirannya bersih dari kehendak dunia, serta mudah baginya untuk mendapatkan apabila ia berkehendak untuk itu. 

Sebaliknya, apabila seorang hamba telah diberi kesempatan oleh Allah swt untuk datang kepada-Nya, sedang ia mengetahui adanya isyarat Allah itu, akan tetapi ia makin menjauhi isyarat tersebut, bahkan ia enggan melaksanakan apa yang diharapkan bagi seorang hamba, maka si hamba telah kehilangan cahaya yang sebenarnya akan memberi petunjuk jalan baginya mencapai mardatillah, namun ia tidak berusaha mendekatinya. 

Orang seperti ini apabila tidak cepat-cepat mendapat hidayah dan taufiq dari Allah swt, maka akan mendapat kesukaran melakukan hubungan dengan Allah, dalam bentuk ibadah dan amal, walaupun ia berniat dan berusaha untuk mendekati dan melaksanakan ibadah. demikian juga mudah baginya tergelincir kepada perbuatan terlarang, berupa maksiat. Seperti perbuatan zina, berjudi, minum khamar, menipu, dan pekerjaanyang mendatangkan bahaya bagi dirinya dan merusak masyarakat. Si hamba dalam menghadapi persoalan seperti kadang-kadang ia sadar dan berusaha menjauhi dan menghindimi akan tetapi ia kehilangan kekuatan untuk meninggalkannya. Pintu tempat ia masuk menghubungkan dirinya dan menyampaikan hajatnya kepada Allah tertutup rapat, karena ia tidak merasa memerlult bantuan Allah swt dalam masalah yang diperlukannya. 

Para Sufiyah mengingatkan pula kepada hamba Allah tentang adab yang perlu dimiliki dan menjadi hiasan hidup orang beriman, baik terhadap Allah maupun dengan sesama manusia. Adab itu juga mampu memberi kekuatan kepada manusia agar lebih dekat kepada Allah termasuk kekuatan untuk menghindari maksiat. Mereka mengingakan: "Dalam semua persoalan selalu ada adabnya. Bagi waktu ada adai m tiap hal dan tempat ada adabnya, sehingga orang yang membiasakan dirinya dengan adab, ia akan sampai kepada kehendak yang dicarinya ia akan jauh dari perbuatan yang menghinanya. Adab bagi seorang hamba akan menghiasi pribadinya dan mendidik jiwa dan akhlaknya. Nabi Muhammad saw pun mengingatkan dalam sabda beliau: "AddabaniRabbi fa ahsana ta dibi Summa amarani bimakarimil akhlaq (Tuhanku telah mendidikku dengan didikan yang sangat baik, kemudi menyuruh aku berakhlak mulia.)" 

Adab kepada sesama manusia dan sesama hamba Alah, akan memberi jalan keluar kepada manusia dalam hal-hal yang menyulitkannya, akan terhindar dari manusia jahil yang umumnya suka mempengai manusia untuk berbuat maksiat. Allah swt berfirman: "Berilah maaf anjurkanlah kepada perbuatan baik (amalan taat), dan jauhilah orang - orang bodoh." 

Untuk mencapai tingkat kesempurnaan hidup yang dikehendaki Allah swt, dengan adab dan akhlak mulia, serta ketaatan, sehingga seorang hamba mendapatkan taufiq Allah, maka diperlukan riyadah dan mujahadah. 

Menghidupkan amal riyadah dan mujahadah dalam diri seorang hamba, agar ia mampu mendekati Allah dalam taqarrub yang lebih berarti daripada semata-mata mengingat. Taqarub berarti usaha untuk mencapai Allah swt terus menerus sampai cahaya Allah datang kepadanya, lalu memberinya kekuatan yang mampu memimpin dirinya kepada Allah, dan memimpin dirinya agar terhindar dari kemurkaan Allah swt.

Penjelasan Tentang Perkara Syubhat


Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ

“Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599)

Ada tiga jenis barang di dalam Islam, yaitu halal, haram dan syubhat (tidak jelas halal dan haramnya).

Halal itu jelas, syaratnya ada dua, yaitu: apa-apa yang baik, tidak dilarang syariat DAN diperoleh dengan cara yang haq pula. Dua syarat ini harus terpenuhi kedua-duanya.

Haram itu jelas, syaratnya ada dua, yaitu: apa-apa yang diharamkan oleh syariat ATAU apa-apa yang diperoleh tidak dengan cara yang haq. Dua syarat ini, jika terpenuhi salah satu saja, sudah cukup untuk membuat sesuatu itu menjadi haram.

Ketika dihadapkan kepada daging babi, biasanya seorang muslim dengan mudah menolaknya, dengan alasan haram. Sesuai dengan syarat keharaman yang pertama, yaitu apa-apa yang diharamkan oleh syariat. Di antaranya Allah berfirman:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2] : 173)

Tetapi ketika disodorkan buah Kurma, sebagian kaum muslimin ‘lupa’ untuk menimbang apakah ini halal atau haram. Hukum asal Kurma adalah halal, tapi bisa menjadi haram dimakan jika diperoleh dengan cara yang batil, seperti hasil curian atau sogokan kepada pejabat. Allah menegaskan larangan ini di dalam Quran:

…وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil …” (QS. Al-Baqarah [2] : 188)

Jadi kesimpulan tentang haramnya sesuatu, pertama: apabila wujud/asalnya benda itu memang haram (seperti daging babi). Kedua: (atau) apabila cara mendapatkannya bathil, meskipun wujud/asalnya halal (seperti kurma hasil sogokan).

Lain ceritanya jika itu dalam keadaan darurat, maka diperbolehkan seperlunya sampai keadaan daruratnya hilang. Syarat keadaan darurat pun tidak sembarangan, misalnya ketika nyawa terancam. Hal ini dijelaskan oleh Allah di dalam surah Al Baqarah ayat 173 di atas, bahwa situasinya terpaksa, dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas. Sehingga ulama merumuskan kaidah fiqih, keadaan darurat membolehkan yang haram/dilarang. Pembahasan darurat ini bab tersendiri, tapi mudah-mudahan cukuplah firman Allah di atas menjelaskan buat kita.

Jika halal dan haram itu jelas, maka syubhat adalah hal yang tidak jelas, hal yang meragukan. Berada di tengah-tengah antara halal dan haram. Gawatnya hal seperti ini tidak sedikit kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana sikap seorang muslim terhadap barang syubhat ini? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah mengajarkannya dalam sebuah hadits:

عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَأَهْوَى النُّعْمَانُ بِإِصْبَعَيْهِ إِلَى أُذُنَيْهِ إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ

Dari An-Nu’man bin Basyir dia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda -Nu’man sambil menunjukkan dengan dua jarinya kearah telinganya-: ‘Sesungguhnya yang halal telah nyata (jelas) dan yang haram telah nyata. Dan di antara keduanya ada perkara yang tidak jelas, yang tidak diketahui kebanyakan orang, maka barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang meragukan, maka selamatlah agama dan harga dirinya, tetapi siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman’.” (HR. Bukhari, Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa menikmati syubhat berarti jatuh kepada yang haram. Menjaga diri darisyubhat, berarti menjaga agama dan harga diri. Terjatuh ke dalam perkara syubhat, maka terjatuh kepada keharaman. Sengaja menerima uang tak jelas (atau pura-pura tidak tahu), berarti menerima uang haram. Jika ada manusia menerima dan menikmati uang tak jelas dengan argumen bahwa toh itu tidak haram (secara jelas), maka sama saja dengan menegaskan bahwa dia makan uang haram.

Di dalam hadits lain yang diriwayatkan dari cucu kesayangan beliau Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhuma, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan bagaimana cara menghadapi hal-hal yang meragukan ini. Kiat nabi saw amat sederhana: “tinggalkanlah.”

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ

“Tinggalkanlah apa yang meragukan kamu dan lakukan apa yang tidak meragukan kamu.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata hadits hasan shahih)

Setelah jelas bagi kita bahwa perkara syubhat atau meragukan itu jatuh ke jurang keharaman dan jelas pula kiat menghadapi hal itu, sekarang kita bahas apa akibatnya jika nekat tetap menikmati hal-hal yang haram itu.

Apa akibat memakan makanan haram (termasuk syubhat)? Bisakah uang haram digunakan untuk ‘mencuci dosa’ dengan melakukan ‘amal shalih’? Pernah seorang rekan kami yang memiliki posisi di pemerintahan menyatakan, bahwa ketika dia mengambil sesuatu yang bukan haknya itu, dia juga akan mengimbanginya dengan beramal, sehingga hidup seimbang, mengejar dunia sekaligus juga mempersiapkan akhirat. Bisakah demikian?

Yang jelas ada beberapa akibat yang bisa diterima manusia dengan memakan barang haram ini.
Pertama, jalan ke neraka.

Ya, memakan barang haram adalah persiapan yang bagus untuk masuk ke neraka jahannam (untuk yang berani tentunya). Tidak perlu kita berpanjang debat, tapi cukuplah hadits shahih yang diriwiyatkan oleh Imam Ad-Darimi rahimahullah berikut ini:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ

Dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram.” (HR. Darimi, sanadnya shahih)

Dalam sunan imam At-Tirmidzi rahimahullahdari jalur sahabat Ka’ab bin ‘Ujrah radliallahu ‘anhu sendiri disebutkan:

يَا كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لَا يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلَّا كَانَتْ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali Neraka lebih berhak atasnya.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata ini hadits hasan gharib)

Jadi jika ada manusia yang berani memakan makanan haram, atau menafkahi anak istrinya dengan barang haram (seperti hasil korupsi, suap, manipulasi surat perjalanan dinas, uang pelicin dan sejenisnya), maka sungguh mereka itu berani terhadap api neraka, seperti yang dikatakan Allah dalam Quran:
فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ

“Maka alangkah beraninya mereka terhadap api neraka.” (QS. Al-Baqarah [2] : 175)

Na’udzubillah min dzalik.

Kedua, tidak akan diterima amalannya.

Ada pertanyaan, bagaimana kalau uang haram atau syubhat itu digunakan untuk amal shalih? mulai dari berzakat atau sedekah, mendirikan masjid, naik haji atau mendanai kegiatan dakwah? Di zaman ini, tidak aneh ada orang korupsi atau merampok tapi dia rajin sedekah, menyumbang masjid, mensponsori kegiatan dakwah atau naik haji berkali-kali. Akankah diterima Allah amalnya? Akankah menjadi pengurang dosanya?

Pernah kami membaca seorang tersangka koruptor mengatakan, “amal saya diterima atau tidak itu urusan Tuhan, bukan manusia.”

Argumen seperti ini lazim dilontarkan oleh orang yang sudah biasa menikmati uang haram, ketika mereka tidak terima dinasehati. Betul, bahwa diterima atau tidaknya amal seorang manusia adalah hak prerogatif Allah, tapi dengan catatan itu memang amal yang haq. Misalnya, jika itu sedekah, maka itu sedekah dari uang halal. Bahkan, sedekah dengan uang halal pun belum tentu diterima Allah, misalnya kalau dengan niat membanggakan diri (ria) tentu tidak akan menjadi pahala.

Lalu bagaimana dengan sedekah atau kegiatan dakwah Islam dengan uang haram wa syubhat? Sekali lagi, diterima atau tidaknya suatu amal memang urusan Allah semata, tapi Allah melalui perantaraan lisan rasulNya sudah menegaskan penolakannya terhadap hal seperti ini. Mari kita simak hadits shahih berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا

Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu baik. Dia tidak akan menerima sesuatu melainkan yang baik pula.” (HR. Muslim)

Artinya sangat jelas bahwa Allah tidak akan menerima sesuatu dari yang tidak baik, seperti sedekah dari uang korupsi, kegiatan dakwah dari dana syubhat, dlsb.

Sah kah berhaji dari uang haram atau syubhat? Ada perbedaan pendapat ulama tentang hal ini. Sebagian ulama menyatakannya sah selama manasiknya benar tapi dia tetap berdosa. Imam Ahmadrahimahullah menyatakannya tidak sah (Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq).

Di sini, kami tidak akan membahas masalah khilafiyah ini panjang lebar. Mari ambil satu pendapat, katakanlah hajinya sah, jika dia sudah melakukan semua rukun haji secara baik dan benar. Tapi apakah akan diterima oleh Allah? Pertanyaan ini, jawabannya kita kembalikan kepada kegamblangan hadits di atas, yang disepakati shahih dari nabi ‎shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Allah itu baik dan tidak akan menerima kecuali yang baik. Dengan kata lain Allah hanya menerima yang baik. Jadi sungguh rugi repot-repot ke tanah suci padahal sudah ada kepastian ibadah hajinya tidak akan diterima Allah karena dibiayai dengan uang haram/syubhat. Sudah badan penat, keluar duit, haji tidak diterima, berdosa pula.

Pernah pula ada sebuah organisasi dakwah Islam membolehkan kader-kadernya menerima uang syubhat, dengan alasan lebih baik uang itu jatuh ke tangan mereka ketimbang ke tangan orang kafir, sebab jika di tangan mereka bisa menjadi amal shalih. Logika yang sekilas kelihatan masuk akal, tapi sungguh menyimpang dari ajaran Islam.Innalillahi wainna ilaihi roji’un. Ini sungguh suatu musibah. Mudah-mudahan hal itu terjadi karena kealpaan manusia saja, bukan karena sudah terlanjur enak menikmati uangsyubhat.

Ketiga, tidak akan dikabulkan doanya.

Kalau amaliyah dari uang haram (dan syubhat) tidak akan diterima oleh Allah, maka bagaimana dengan doa? Apakah doa orang yang terbiasa makan uang haram akan terkabulkan? Sebagian penikmat uang haram wa syubhat ini akan berargumen mirip dengan di atas, “diterima atau tidaknya doa saya itu urusan Allah, bukan manusia.”

Betul, memang hak prerogatif Allah untuk menerima doa seseorang atau tidak. Tapi sekali lagi, melalui perantaraan lisan nabiNya, Allah sudah menegaskan penolakan atas doa dari jiwa yang terbiasa dengan konsumsi haram ini. Mari kita simak lanjutan hadits di atas.

وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ{ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا }وَقَالَ{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ }ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

“Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya, ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih.’ Dan Allah juga berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah Kami rezekikan kepadamu.’ Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah lama berjalan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdoa: ‘Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.’ Padahal, makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dengan makanan yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan doanya?”. (HR. Muslim. Ayat yang dibacakan nabi adalah QS. Al-Mu’minuun [23] : 51 dan Al-Baqarah [2] : 172)

Bagian akhir dari hadits di atas menceritakan seorang musafir yang melakukan perjalanan jauh dan lama sehingga rambutnya kusut masai dan penuh debu. Mengapa harus disebutkan tentang musafir yang kusut masai? Dalam sebuah hadits lain diceritakan bahwa salah satu doa yang terkabulkan itu adalah doa orang yang sedang dalam perjalanan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ

Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu wa’alaihi wa sallam bersabda, “Tiga doa yang terkabulkan, yaitu: doa orang yang teraniaya, doa orang musafir, doa orang tua untuk anaknya.” (HR. Tirmidzi, beliau menyatakan ini hadits hasan)

Lalu bagaimana dengan laki-laki musafir pada hadits sebelumnya? Di mana ia sudah melakukan perjalanan sehingga rambutnya kusut masai penuh debu, menengadahkan tangan meminta kepada Allah tapi ternyata tidak dikabulkan. Mengapa Allah tidak mengabulkannya? Bukankah ia sudah berada dalam kondisi di mana doanya akan terkabulkan?

Oh, ternyata karena ia memakan makanan yang haram, meminum minuman yang haram, memakai pakaian yang dibeli dari uang haram dan dinafkahi dari uang haram pula. Sehingga kemudian nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempertanyakan, “maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan doanya?”

Mari kita renungkan, nabi saw memberikan gambaran tentang orang yang sudah berada pada kondisi di mana doanya terkabulkan (musafir), tapi ternyata tidak dikabulkan Allah karena mengkonsumsi barang haram. Apa lagi yang hanya duduk di rumah mewah atau mobil mewah menikmati barang haram (dan syubhat), lalu berdoa kepada Allah. Pikirkan dan renungkanlah wahai jiwa-jiwa yang berakal.

Keempat, dibiarkan Allah bersenang-senang sehingga semakin lalai sampai adzab tiba.

Para penikmat uang haram wa syubhat ini kadang tidak kehilangan akal untuk berargumentasi ketika menerima nasehat. Pernah kami mendengar seorang yang berada di ‘posisi basah’ di pemerintahan berkata, “ah siapa bilang doa saya tidak makbul, buktinya saya minta rezeki, Allah selalu datangkan rezeki”

Jadi dia merasa, doanya minta rezeki selama ini makbul, buktinya uangnya semakin banyak (karena rajin korupsi). Orang-orangngeyel begini persis seperti yang digambarkan oleh Allah di dalam Quran:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ

Dan bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab,  “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (QS. Al Baqarah [2] : 11-12)

Mereka merasa sudah berbuat kebaikan, tidak merasa salah me-mark-up anggaran, membuat surat perjalanan dinas fiktif, memeras peserta tender, menerima macam-macam uang syubhat, karena mereka juga mengadakan ‘perbaikan’, dan merasa doanya dikabulkan oleh Allah dengan semakin banyaknya ‘rezeki’.

Mereka tidak menyadari, kesenangan duniawi yang diberikan oleh Allah itu adalah sebuah bentuk istidraj. Apa itu istidraj? Istidraj adalah pemberian kesenangan duniawi oleh Allah kepada manusia yang durhaka kepadaNya, tidak menggunakan hal itu di jalan yang diridhoiNya, sehingga dibiarkan Allah dalam kesenangan duniawi, ditangguhkan adzabnya sampai tiba saatnya kelak. Ketika adzab itu datang, mereka tidak bisa mengelak lagi. Allah memang menangguhkan hukuman buat mereka yang berbuat zhalim. Dalam sebuah hadits shahih, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ قَالَ ثُمَّ قَرَأَ { وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ }

Dari Abu Musa radliallahu ‘anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta ‘ala akan menangguhkan siksaan bagi orang yang berbuat zhalim. Dan apabila Allah telah menghukumnya, maka Dia tidak akan pernah melepaskannya.” Kemudian Rasulullah membaca ayat yang berbunyi, “Begitulah adzab Tuhanmu, apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya adzab-Nya itu sangat pedih dan keras.” (HR. Bukhari Muslim. Ayat yang dibacakan nabi adalah Surat Huud [11] : 102)

Dalam hadits lain definisi istidraj ini diberikan secara gamblang:

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنْ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ }

Dari Uqbah bin Amir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Jika kalian melihat Allah memberikan dunia kepada seorang hamba pelaku maksiat dengan sesuatu yang ia sukai, maka sesungguhnya itu hanyalah merupakan istidraj.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan ayat, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”. (HR. Ahmad, salah satu perawinya dhaif -lihat catatan di bawah-. Ayat yang dibacakan nabi saw adalah QS. Al-An’am [6] : 44).

Hadits di atas, meskipun sanadnya lemah, kami tampilkan sebagai penjelas dari hadits shahih yang sebelumnya. Karena hadits ini menjelaskan definisi istidraj secara lebih gamblang. Banyak lagi dalil-dalil dari Quran dan hadits tentang istidraj ini. Seharusnya ini cukup sebagai kabar buruk atau peringatan kepada pelaku maksiat yang ke-geer-an, karena sejauh ini mereka merasa happy-happy saja dengan kemaksiatannya tanpa adanya siksa dari Allah.

Banyak contoh-contoh istidraj ini, yang mungkin saja menimpa kita tanpa kita sadari. Ada pejabat karir pemerintahan, merasa baik-baik saja dengan perilakunya memperkaya diri dengan korupsi, karena dia merasa Allah selalu memberkahi dia dengan kenaikan pangkat. Toh meskipun korupsi, dia juga berderma. Dia berkata, “Kalau Allah marah sama saya, pasti karir saya tidak akan sehebat ini.”

Ada pedagang yang mencurangi timbangan, lalu bisnisnya menjadi besar dari kecurangan itu, dan dia terus melakukan kecurangan, selain sering pula bersedekah dari hasil bisnis yang curang itu. Lalu dia merasa itu semua merupakan kenikmatan atau rezeki dari Allah.

Ada pula pejabat politik yang merasa baik-baik saja menjadi makelar anggaran atau me-mark-up anggaran, karena selama ini dia belum kena jerat hukum.

Ada sekelompok orang di organisasi politik yang merasa banyaknya suara pemilu mereka adalah pertolongan Allah meskipun cara berpolitik mereka sudah melanggar rambu-rambu syar’i. Mereka merasa tidak salah dengan penyimpangan-penyimpangan itu atau memanipulasinya dengan istilah ‘ijtihad’ (Ijtihad kok menyimpang dari rambu Quran dan sunnah?). Sebagian dari mereka berkata, “Allah menolong kami. Buktinya, perolehan suara pemilu kami naik.”

Na’udzubillah min dzalik. Mereka sudah tidak bisa membedakan yang mana pertolongan Allah, yang mana ‘pembiaran’ Allah (dalam bentuk istidraj) sampai suatu saat Allah sekonyong-konyong menimpakan adzab. Yang bisa jadi bukan hanya menimpa mereka, tapi seluruh kaum di negeri ini.

Dalam bahasa anak muda, “mereka geer.”

Jangan geer! Allah hanya menunda dan membiarkan mereka dalam kemaksiatan hingga saatnya tiba dengan adzab yang pedih. Kecuali tentunya jika mereka meninggalkan kemaksiatan itu dan bertobat dengan sungguh-sungguh sebelum ajal mereka tiba, yang mereka pun tidak tahu kapan tibanya.

Taktimah

Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi Rasulullah Saw memerintahkan kepada umatnya agar menjauhi dan meninggalkan perkara syubhat:

حدّثناَ أبُو مُوسَى الأنْصَارِي أَخْبَرناَ عبدُ اللهِ بنُ أدْرِيْسَ أَخْبَرناَ شُعْبَةَ عن بُرَيْدَ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ عن أبِي الْحَورَاءَ السَّعدِي قال قُلْتُ للحَسَنِ بن عَلِيّ ماَ حَفِظْتَ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه و سلم دَعْ ماَ يُرِيْبُكَ إِلَى ماَ لاَ يُرِيْبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَ إِنَّ الْكَذِبَ رِيْبَةٌ (رواه الترمذي)

Abu Musa al-Anshari merceritakan kepada kita, Abdullah bin Idris mengabarkan kepada kita, Syu’bah mengabarkan kepada kita dari Buraid bin Abi Maryam dari Abi al-Haura as-Sa’diy berkata: saya berkata kepada Hasan bib Ali: Apa yang engkau hafal dari Rasulullah? Hasan berkata (menjawab): yang saya hafal dari Rasulullah Saw: Tinggalkan perkara yang meragukanmu kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan. (HR. at-Turmudzi)

Dalil di atas merupakan pokok dalam hal meninggalkan syubhat dan memperingatkan dari berbagai jenis keharaman. Dalam hadist ini Rasulullah memerintahkan kepada umatnya untuk meninggalkan perkara yang meragukan dan memerintahkan kepada umatnya untuk mengambil perkara yang meyakinkan. Maka apabila seorang muslim mewujudkan apa yang dituntunkan Rasulullah dalam hadist di atas, maka ia telah menjaga kehormatannya dari celaan dan menjaga dirinya agar tidak jatuh ke dalam keharaman. Sebagaimana sabdanya: “Siapa menjaga dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya”. Dan perbuatan ini akan mengantarkannya kepada sikap wara’.

Maka sesuatu yang masih diragukan kehalalan atau keharamannya harus dibuktikan kebenaran akan halal atau haramnyasehingga seseorang menjadi jelas dan yakin untuk melakukannya apabila termasuk barang halal dan meninggalkan apabila itu telah jelas keharamannya. Sesuai dengan kaidah fiqih:

الْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِتلشَّكِّ

Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.

Menurut Ahmad Batahi al-Khatabi, hukum meninggalkan syubhat ada tiga, yaitu: wajib, sunah dan makruh. Jika yang syubhat itu diyakini membawa pada yang haram, maka meninggalkannya adalah wajib. Jika yang syubhat itu lebih berat kepada yang haram, maka meninggalkannya adalah sunah. Jika lebih berat kepada yang halal, maka meninggalkannya adalah makruh.

Mudah-mudahan ini bisa menjadi nasehat untuk kami dan para pembaca, agar berhati-hati terhadap apapun yang kita makan, kita belanjakan, kita nafkahkan kepada keluarga kita dan tak kalah pentingnya: bagaimana cara kita mendapatkannya.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...