Selasa, 12 Oktober 2021

Penjelasan Tentang Ujian Bagi Orang Beriman

 

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman ;

{مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ} [التغابن: 11]
Artinya: “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS. At Taghabun: 11.

Syaikh Abdurrahman bin Nashi As Sa’di rahimahullah berkata:

وقال تعالى: {وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ} [التغابن: 11] فهذه هداية عملية، هداية توفيق وإعانة على القيام بوظيفة الصبر عند حلول المصائب إذا علم أنها من عند الله فرضي وسلم وانقاد

“Firman Allah Ta’ala: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan pertunjuk kepada hatinya”, ini adalah petunjuk yang berupa amaliyah, petunjuk berupa taufik dan pertolongan untuk melakukan kewajiban sabar ketika datangnya musibah-musibah jika ia mengetahui bahwa hal itu berasal dari Allah, maka ia ridha, menerima dan taat.” Lihat kitab Taisir Al Lathif Al Manan Fi Khulashati Tafsir Al Quran, 1/49.

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Sesungguhnya besarnya balasan tergantung dari besarnya ujian, dan apabila Allah cinta kepada suatu kaum Dia akan menguji mereka, barangsiapa yang ridha, maka baginya keridhaan Allah; namun barangsiapa yang murka, maka baginya kemurkaan Allah.”

Sabda Rasulullah saw. ini ada dalam Kitab Sunan Tirmidzi. Hadits 2320 ini dimasukkan oleh Imam Tirmidzi ke dalam Kitab “Zuhud”, Bab “Sabar Terhadap Bencana”.

Hadits Hasan Gharib ini sampai ke Imam Tirmidzi melalui jalur Anas bin Malik. Dari Anas ke Sa’id bin Sinan. Dari Sa’id bin Sinan ke Yazid bin Abu Habib. Dari Yazid ke Al-Laits. Dari Al-Laits ke Qutaibah.‎

Alloh subhanahu wa ta’ala telah memberikan anugerah dan kenikmatan kepada kita berupa jalan yang lurus, yaitu jalannya para salafush-sholeh. Alloh telah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mempelajari Al-Quran dan sunnah Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, menghafal, memahami dan berusaha mengamalkannya dalam kehidupan kita di dunia ini. Selain itu juga, dengan mempelajari aqidah shohihah, tafsir, fiqh dan ilmu-ilmu syar’i lainnya, menyeru umat kepadanya dan membelanya serta senantiasa melazimi masjid-masjid sunnah, tempat yang paling dicintai oleh Alloh di muka bumi ini.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam hadits Abu Huroiroh ‎rodhiyalohu ‘anhu riwayat Musim:

أحب البلاد إلى الله مساجدها، وأبغض البلاد إلى الله أسواقها

“Negeri yang paling dicintai oleh Alloh adalah masjid-masjidnya dan yang paling dibenci oleh Alloh adalah pasar-pasarnya.”

Sementara kebanyakan manusia berada di jalan-jalan yang berdeda-beda dan berliku-liku, bergelimang dengan syubuhat dan syahawat, sibuk dengan urusan-urusan dunia mereka, bahkan sampai saling bermusuhan, saling bunuh-membunuh dan berperang hanya dalam rangka memperebutkan pangkat, jabatan dan harta dunia yang hina.

Ini semua merupakan kenikmatan yang besar bagi kita -wahai Ahlussunnah- yang mengharuskan kita untuk mengingat serta mensyukurinya dan senantiasa kita berdoa kepada Alloh agar menjaga kebaikan serta nikmat-Nya ini agar tidak sirna. Senantiasa berdoa memohon kepada-Nya agar meneguhkan diri-diri kita di atas al-haq, nikmat yang agung inibdi tengah-tengah manusia.

Ketahuilah, bahwa termasuk jalan terbaik dan paling dicintai yang mengantarkan seorang muslim kepada Alloh ta’ala dan jannah-Nya adalah tholabul ilmi, menuntut ilmu syar’iy dengan menghafal Al-Quran, hadits-hadits Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan bersabar dalam mengamalkannya serta memeganginya dengan kuat. Ini adalah jalannya para Nabi dan inilah yang diwariskan oleh mereka kepada kita. 

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
  
ومن سلك طريقا يلتمس فيه علما، سهل الله له به طريقا إلى الجنة

“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, niscaya Alloh akan memudahkannya jalan menuju jannah.” (HR. Muslim dari hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu)  

Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits Abu Darda’ rodhiyallohu ‘anhu riwayat Abu Dawud:  

وإن العلماء ورثة الأنبياء، وإن الأنبياء لم يورثوا دينارا، ولا درهما ولكن ورثوا العلم، فمن أخذه أخذ بحظ وافر

“Sungguh ulama itu pewaris para Nabi. Sungguh para Nabi itu tidaklah mewariskan harta benda (dinar dan dirham), akan tetapi mewariskan ilmu. Siapa yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (hadits shohih)  

Alloh ta’ala menyerukan kepada Nabi-Nya Musa‘alaihis salam:

وكتبنا له في الألواح من كل شيء موعظة وتفصيلا لكل شيء فخذها بقوة وأمر قومك يأخذوا بأحسنها

“Kami telah menuliskan untuk Musa dalam Taurot segala sesuatu yang ia perlukan dalam agamanya, hukum-hukum dan nasehat-nasehat serta perincian halal dan harom, perintah dan larangan, kisah-kisah, keyakinan serta berita-berita gaib. Maka Alloh berseru kepadanya: “Ambillah dan pegangilah (Taurot itu) dengan kuat dan sungguh-sungguh. Perintahkan kaummu untuk mengamalkan apa yang disyariatkan Alloh di dalamnya.” (Tafsir QS. Al-A’rof: 145) 

Setelah ia memegangi dan mengamalkannya dengan baik, maka ia menunjukkannya kepada manusia dan mengajak mereka kepada jalan itu. Ini adalah pahala yang besar. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من دعا إلى هدى، كان له من الأجر مثل أجور من تبعه، لا ينقص ذلك من أجورهم شيئا

“Siapa yang menyeru kepada hidayah (petunjuk agama yang haq), maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun.” (HR. Muslim dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu)

Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

فوالله لأن يهدى بك رجل واحد خير لك من حمر النعم

“Demi Alloh, kalaulah ada seseorang yang mendapatkan hidayah lantaran seruanmu, maka itu lebih baik bagimu daripada onta merah (harta termahal).” (HR. Bukhori dan Muslim dari Sahl bin Sa’d rodhiyallohu ‘anhu)

Ketahuilah dan sadarilah, bahwa orang-orang yang memegangi Kitab dan Sunnah serta menempuh jalan yang benar itu mesti akan ditimpa bala’ dan berbagai petaka serta ujian, baik berupa kefakiran, kesulitan hidup, penyakit-penyakit, gangguan-gangguan serta makar-makar, karena itu adalah jalan menuju jannah. Sedangkan jannah itu tertutupi dengan hal-hal yang tidak disukai jiwa. Waroqoh bin Naufal berkata kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam awal beliau diangkat menjadi Nabi:

نعم، لم يأت رجل بما جئت به إلا أوذي، وإن يدركني يومك حيا أنصرك نصرا مؤزرا

“Ya, tidaklah seseorang itu datang dengan apa yang engkau bawa berupa ajaran tauhid, melainkan akan diganggu dan disakiti. Jika aku masih hidup dan menemui harimu nanti, maka aku akan menolongmu dengan pertolongan yang sungguh-sungguh.” (HR. Bukhori) 

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

حفت الجنة بالمكاره، وحفت النار بالشهوات

“Jannah itu tertutupi dengan hal-hal yang tidak disukai dan neraka itu ditutupi dengan berbagai syahwat.” (HR. Muslim dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu)

Itu semua merupakan bentuk ujian dari Alloh ta’ala atas seorang hamba, bukan dalam rangka membinasakan hamba itu, tetapi agar diketahui dari seorang hamba itu akan kesabaran dan ketabahannya dalam menghadapi itu semua. Juga Alloh ta’ala akan membuktikan siapa yang terbaik amalannya di dunia ini. 

Firman Alloh ta’ala:

تبارك الذي بيده الملك وهو على كل شيء قدير * الذي خلق الموت والحياة ليبلوكم أيكم أحسن عملا وهو العزيز الغفور

“Telah banyak kebaikan Alloh dan kemurahan-Nya atas seluruh makhluk-Nya. Yang di tangan-Nyalah kerajaan dan kekuasaan dunia dan akherat. Perintah dan hukum-Nya berlaku pada keduanya dan Dia mahakuasa atas segala sesuatu. Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian -wahai manusia-, siapa yang terbaik dan terikhlas amalannya? Dia adalah Al-‘Aziz, yang tidak terkalahkan oleh siapapun, lagi Al-Ghofur, maha mengampuni siapa yang bertaubat dari hamba-Nya.” (Tafsir QS. Al-Mulk: 1-2) ‎

أم حسبتم أن تدخلوا الجنة ولما يعلم الله الذين جاهدوا منكم ويعلم الصابرين

“Wahai para sahabat Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, apakah kalian mengira akan masuk jannah, sedangkan kalian belumlah diuji dengan peperangan dan kegentingan?! Tidaklah kalian akan memasukinya, sebelum kalian diuji dan Alloh maha mengetahui dengan sebenarnya siapa yang berjihad di jalan-Nya dan bersabar dalam menghadapi musuh-musuhnya.” (Tafsir QS. Ali-Imron: 142)

Memang, itu semua harus kita hadapi dan ini merupakan sunnatulloh di alam ini. Wajib atas kita untuk menghadapinya dengan penuh kesabaran dan ketabahan serta rasa ridho, menerima segala cobaan. Tidak dengan sikap tasakkhut, tidak ridho akan takdir Alloh serta berkeluh kesah dan terjatuh kepada kemaksiatan bahkan kekufuran karenanya. 

Firman Alloh ta’ala:  

ومن الناس من يعبد الله على حرف فإن أصابه خير اطمأن به وإن أصابته فتنة انقلب على وجهه خسر الدنيا والآخرة ذلك هو الخسران المبين

“Diantara manusia itu ada yang memasuki Islam dengan kelemahan dan keraguan, sehingga ia beribadah kepada Alloh dengan kebimbangan dan keengganan, seperti seseorang yang berdiri di tepi gunung atau dinding tidak teguh dalam pendiriannya. Ia menambatkan agamanya dengan dunia. Jika ia hidup senang, sehat dan tercukupi, maka ia akan terus dalam ibadahnya. Jika tertimpa ujian atau cobaan dengan kesusahan dan sesuatu yang tidak disukainya, maka akan merasa sial terhadap agamanya, sehingga meninggalkannya dan tidak istiqomah lagi dalam memegangi agamanya. Maka ia pun menjadi merugi baik dunia maupun akheratnya, karena kekafirannya itu tidaklah bisa merubah apa yang telah ditakdirkan untuknya di dunia, sedangkan di akherat nanti, ia akan dimasukkan ke dalam neraka. Ini adalah kerugian yang nyata.” (Tafsir QS. Al-Hajj: 11)  

Akan tetapi bagi seorang muslim, ujian dan cobaan itu dengan kesabarannya dalam menghadapinya, akan menyebabkan dihapuskannya dosa-dosa dan menjadi sebab terangkatnya derajat dirinya di sisi Alloh ta’ala. 

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam ditanya:

يا رسول الله، أي الناس أشد بلاء؟ قال:الأنبياء ثم الأمثل فالأمثل، فيبتلى الرجل على حسب دينه، فإن كان دينه صلبا اشتد بلاؤه، وإن كان في دينه رقة ابتلي على حسب دينه، فما يبرح البلاء بالعبد حتى يتركه يمشي على الأرض ما عليه خطيئة

“Wahai Rosululloh, siapa yang paling berat ujiannya? Beliau menjawab: “Para Nabi, kemudian yang seperti mereka dan yang seperti mereka. Maka seseorang itu diuji sesuai dengan kadar agamanya. Jika agamanya kuat, maka akan berat cobaannya dan jika agamanya ringan atau lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kadar agamanya. Senantiasa ujian dan cobaan itu menimpa seorang hamba sampai ia berjalan di atas bumi ini dalam keadaan tidak mempunyai kesalahan.” (HSR. Tirmidzi dari hadits Sa’ad rodhiyallohu ‘anhu)  

Dalam hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha riwayat Bukhori dan Muslim, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ما من مصيبة يصاب بها المسلم، إلا كفر بها عنه حتى الشوكة يشاكها

“Tidaklah suatu musibah itu menimpa seorang muslim, melainkan akan menghapus dosa-dosanya, sampai-sampai sebuah duri yang menusuknya.”

Juga hendaknya kita senantiasa terus tegar dan tsabat dalam memegangi sunnah disertai dengan kembali kepada Alloh dengan penuh ketundukan kepada-Nya, banyak berdoa, istighfar serta bertawakkal hanya kepada-Nya semata tidak kepada selain-Nya. Karena musibah dan perkara yang tidak disenangi itu semua juga disebabkan dosa-dosa dan kesalahan kita semua. 

Alloh ta’ala berfirman:

وما أصابكم من مصيبة فبما كسبت أيديكم ويعفو عن كثير

“Apa yang menimpa kalian -wahai manusia-dari suatu musibah, baik pada agama maupun dunia kalian itu adalah akibat dari perbuatan dosa kalian sendiri dan Robb kalian mengampuni banyak dari dosa-dosa dan kejelekan-kejelekan itu, sehingga kalian tidak diadzab lagi.” (Tafsir QS. Asy-Syuro: 30)

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِيْنَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِيْنَ

“Sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sekalian agar Kami mengetahui orang-orang yang berjuang dan orang-orang yang sabar di antara kamu sekalian.” (QS. Muhammad : 31)


Abu Al Laits Nashir bin Muhammad As Samarqandi (w: 373) berkata:

 وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يعني: يصدق بالله على المصيبة، ويعلم أنها من الله تعالى، يَهْدِ قَلْبَهُ يعني: إذا ابتلي صبر، وإذا أنعم عليه شكر، وإذا ظلم غفر. وروي، عن علقة بن قيس: أن رجلاً قرأ عنده هذه الآية، فقال: أتدرون ما تفسيرها؟ وهو أن الرجل المسلم، يصاب بالمصيبة في نفسه وماله، يعلم أنها من عند الله تعالى، فيسلم ويرضى. ويقال: مَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ للاسترجاع يعني: يوفقه الله تعالى لذلك. وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ أي: عالم بثواب من صبر على المصيبة.

“Dan Barangsiapa yang beriman kepada Allah” maksudnya adalah mempercayai Allah dengan datangnya musibah dan mengetahui bahwa hal tersebut dari Allah Ta’ala, nicaya “Allah akan memberikan petunjuk kepada hatinya”, maksudnya adalah jika ia diuji maka ia bersabar dan jika ia diberi nikmat maka ia bersabar dan jika ia melakukan kezhaliman maka ia mengampuni, dan diriwayatkan, dari ‘Alqamah bin Qais bahwa pernah seseorang membaca dihadapannya ayat ini, lalu ‘Alqamah bin Qais bertanya: “Apakah kalian mengetahui tafsirannya?, ia adalah seorang muslim yang tertimpa musibah pada diri dan hartanya, ia mengetahui bahwa hal itu berasal dari Allah Ta’ala, maka ia akan menerima dan meridhainya, dan dikatakan (juga) bahwa makna “Barangsiapa yang beriman niscaya ia akan memberikan petunjuk kepada hatinya”, adalah untuk mengucapkan istirja’ (ucapan إنا لله وإنا إليه راجعون) yakni Allah Ta’ala akan memberikan petunjuk akan hal itu. Dan maksud dari “Dan Allah mengetahui segala sesuatu”, yaitu (Allah) Maha mengetahui akan pahala bagi seorang yang bersabar atas musibah.”  Lihat kitab Tafsir As Samarqandi, 3/457.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

    وما أصاب العبد من المصائب فعليه أن يسلم فيها لله، ويعلم أنها مقدرة عليه، كما قال/ تعالى : { مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ } [ التغابن : 11 ] قال علقمة ـ وقد روي عن ابن مسعود : هو الرجل تصيبه المصيبة فيعلم أنها من عند الله فيرضى ويسلم . فالعبد مأمور بالتقوي والصبر، فالتقوى : فعل ما أمر به . ومن الصبر، الصبر على ما أصابه، وهذا هو صاحب العاقبة المحمودة،

“Dan apa saja yang didapati oleh seorang hamba dari musiba-musibah, maka hendaklah ia menerimanya karena Allah dan mengetahui bahwa hal itu telah ditakdirkan atasnya, sebagaimana Firman Allah Ta’ala: “Tidak ada musibah yang didapati seorang hamba meainkan dengan izin Allah dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberikan petunjuka kepada hatinya.” QS. At Taghabun:11.  ‘Alqamah berkata: dan terlah diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata: “Ia adalah seseorang yang tertimpa musibah, lalu ia mengetahui bahwa hal tersebut berasal dari Allah maka ia ridah dan menerima.” Jadi, seorang hamba diperintahkan untuk bertakwa dan bersabar, takwa adalah mengerjakan apa yang diperintahkan dan termasuk dari kesabaran adalah bersabar atas apa yang menimpanya, dan ini adalah seorang yang mendapatkan ujuang yang terpuji.” Lihat kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, 5/113.

Sekarang, mari perhatikan hadits-hadits berikut:

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ كُنَّا عِنْدَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ إِحْدَى بَنَاتِهِ تَدْعُوهُ وَتُخْبِرُهُ أَنَّ صَبِيًّا لَهَا - أَوِ ابْنًا لَهَا - فِى الْمَوْتِ فَقَالَ لِلرَّسُولِ « ارْجِعْ إِلَيْهَا فَأَخْبِرْهَا إِنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَىْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَمُرْهَا فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ »

Artinya: “Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kami pernah bersama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, salah seorang anak perempuannya mengutus seseorang kepada beliau untuk memanggil beliau memberitahukan kepadanya bahwa anak bayinya –atau anak lelakinya- meninggal, maka Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada utusan tersebut: “Kembalilah kepadanya dan beritahukan kepadanya bahwa sesungguhnya Allah memiliki apa yang Ia ambil dan memiliki apa yang ia berikan dan setiap sesuatu telah di tentukan waktunya di sisi-Nya, maka perintahkan ia untuk bersabar dan berharap pahala darinya.” HR. Muslim.

Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan hadits di atas:

قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شيء عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمَّى مَعْنَاهُ الْحَثُّ عَلَى الصَّبْرِ والتسليم لقضاء الله تعالى وَتَقْدِيرُهُ أَنَّ هَذَا الَّذِي أَخَذَ مِنْكُمْ كَانَ لَهُ لَا لَكُمْ فَلَمْ يَأْخُذْ إِلَّا مَا هو له فينبغي أن لا تَجْزَعُوا كَمَا لَا يَجْزَعُ مَنِ اسْتُرِدَّتْ مِنْهُ وَدِيعَةٌ أَوْ عَارِيَّةٌ وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم وله ما أعطى معناه أَنَّ مَا وَهَبَهُ لَكُمْ لَيْسَ خَارِجًا عَنْ مِلْكِهِ بَلْ هُوَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَفْعَلُ فِيهِ مَا يَشَاءُ وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمَّى مَعْنَاهُ اصْبِرُوا وَلَا تَجْزَعُوا فَإِنَّ كُلَّ مَنْ يَأْتِ قَدِ انْقَضَى أَجَلُهُ الْمُسَمَّى فَمُحَالٌ تَقَدُّمُهُ أَوْ تَأَخُّرُهُ عَنْهُ فَإِذَا عَلِمْتُمْ هَذَا كُلَّهُ فَاصْبِرُوا وَاحْتَسِبُوا مَا نَزَلَ بِكُمْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ وَهَذَا الْحَدِيثُ مِنْ قَوَاعِدِ الْإِسْلَامِ الْمُشْتَمِلَةِ عَلَى جُمَلٍ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ وَفُرُوعِهِ وَالْآدَابِ

Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam “sesungguhnya Allah memiliki apa yang Ia ambil dan memiliki apa yang ia berikan dan setiap sesuatu telah di tentukan waktunya di sisi-Nya, maka perintahkan ia untuk bersabar dan berharap pahala dari-Nya, maknanya adalah perintah untuk sabar dan menerima terhadap takdir Allah Ta’ala, dan ungkapannya adalah bahwa sesuatu yang diambil dari kalian ini adalah milik-Nya bukan milik kalian, maka Dia tidak mengambil kecuali yang merupakan milik-Nya. Jadi semestinya kalian tidak gelisah sebagai seorang tidak gelisah dari seseorang yang memninta kembali darinya barang titipan atau pinjaman. Dan “Maksud dari “dan setiap sesuatu telah di tentukan waktunya di sisi-Nya” adalah bersabarlah dan jangan mengeluh, karen setiap yang datang telah ditentukan batas waktunya, maka mustahil pemdahuluannya atau pengakhirannya, maka jika kalian mengetahui hal ini seluruhnya, maka bersabarlah dan berharaplah pahala dari apa yang tertimpa pada kalian. Wallahu a’lam. Hadits ini termasuk dari pokok-pokok ajaran Islam yang mencakup pokok-pokok dan cabang serta adab-adabnya. Lihat kitab Al Minhaj Syarah An Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 6/225.

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar : 10)‎
                                             

مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah seorang muslim tertimpa kecelakaan, kemiskinan, kegundahan, kesedihan, kesakitan maupun keduka-citaan bahkan tertusuk duri sekalipun, niscaya Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan apa yang menimpanya itu.” (HR. Bukhari)

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيْبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ إِلَّا حَطَّ اللَّهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا

"Tidak ada seorang muslim yang tertimpa cobaan berupa sakit maupun selainnya, melainkan dihapuskan oleh Allah Ta'ala dosa-dosanya, seperti sebatang pohon yang menggugurkan daunnya." (HR. Muslim)

مَا يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ شَوْكَةٍ فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً أَوْ حَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيْئَةً

"Tidak ada satu pun musibah (cobaan) yang menimpa seorang muslim berupa duri atau yang semisalnya, melainkan dengannya Allah akan mengangkat derajatnya atau menghapus kesalahannya." (HR. Muslim)

مَا مِنْ مُصِيْبَةٍ يُصَابُ بِهَا الْمُسْلِمُ إِلَّا كُفِّرَ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا

"Tidak ada satu pun musibah (cobaan) yang menimpa seorang muslim, melainkan dosanya dihapus oleh Allah Ta'ala karenanya, sekalipun musibah itu hanya karena tertusuk duri." (HR. Muslim)

مَا مِنْ شَيْءٍ يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ حَتَّى الشَّوْكَةِ تُصِيْبُهُ إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِهَا حَسَنَةً أَوْ حُطَّتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيْئَةٌ

"Tidak ada satu pun musibah (cobaan) yang menimpa seorang mukmin walaupun berupa duri, melainkan dengannya Allah akan mencatat untuknya satu kebaikan atau menghapus satu kesalahannya." (HR. Muslim)

عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيْهِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً قَالَ اَلْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ فَإِنْ كَانَ فِي دِيْنِهِ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِي دِيْنِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيْئَةٍ

Dari Mush'ab bin Sa'd dari Ayahnya Sa'd bin Abu Waqash dia berkata, Saya bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling keras cobaannya?" beliau menjawab: "Para Nabi, kemudian kalangan selanjutnya (yang lebih utama) dan selanjutnya. Seorang hamba akan diuji sesuai kadar agamanya (keimanannya). Jika keimanannya kuat maka cobaannya pun akan semakin berat. Jika keimanannya lemah maka ia akan diuji sesuai dengan kadar imannya. Tidaklah cobaan ini akan diangkat dari seorang hamba hingga Allah membiarkan mereka berjalan di muka bumi dengan tanpa dosa." (HR. Ibnu Majah)

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُوعَكُ فَوَضَعْتُ يَدِي عَلَيْهِ فَوَجَدْتُ حَرَّهُ بَيْنَ يَدَيَّ فَوْقَ اللِّحَافِ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ مَا أَشَدَّهَا عَلَيْكَ قَالَ إِنَّا كَذَلِكَ يُضَعَّفُ لَنَا الْبَلَاءُ وَيُضَعَّفُ لَنَا الْأَجْرُ قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً قَالَ اَلْأَنْبِيَاءُ قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ الصَّالِحُوْنَ إِنْ كَانَ أَحَدُهُمْ لَيُبْتَلَى بِالْفَقْرِ حَتَّى مَا يَجِدُ أَحَدُهُمْ إِلَّا الْعَبَاءَةَ يُحَوِّيْهَا وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمْ لَيَفْرَحُ بِالْبَلَاءِ كَمَا يَفْرَحُ أَحَدُكُمْ بِالرَّخَاءِ

Dari Abu Sa'id Al-Khudri dia berkata, Aku pernah menjenguk Nabi saw. ketika beliau sedang sakit panas, aku meletakkan tanganku dan aku mendapati panasnya terasa hingga di atas selimut. Aku lalu berkata, "Wahai Rasulullah, alangkah panasnya sakit yang menimpa dirimu." Beliau bersabda: "Sesungguhnya begitulah kita, ketika dilipatgandakan cobaan bagi kita maka akan dilipatgandakan pula pahalanya." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat cobaannya?" Beliau menjawab: "Para Nabi." Aku bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, kemudian siapa lagi?" Beliau menjawab: "Kemudian orang-orang yang shalih, salah seorang di antara mereka ada yang dicoba dengan kefakiran sehingga tidak menemukan kecuali mantel untuk dia pakai, dan ada salah seorang dari mereka yang senang dengan cobaan sebagaimana salah seorang dari kalian senang dengan kemewahan." (HR. Ibnu Majah)

عِظَمُ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ

"Besarnya pahala sesuai dengan besarnya cobaan, dan sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan menguji mereka. Oleh karena itu, barangsiapa yang ridha (menerima cobaan tersebut) maka baginya keridhaan (Allah), dan barangsiapa murka maka baginya kemurkaan (Allah)." (HR. Ibnu Majah)

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَقُوْلُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ ابْنَ آدَمَ إِنْ صَبَرْتَ وَاحْتَسَبْتَ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى لَمْ أَرْضَ لَكَ ثَوَابًا دُوْنَ الْجَنَّةِ

Dari Nabi saw., beliau bersabda: Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman: "Hai anak Adam, jika kamu bersabar dan ikhlas saat tertimpa musibah, maka Aku tidak akan meridhai bagimu sebuah pahala kecuali surga." (HR. Ibnu Majah)

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ

“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang baik maka ditimpakan musibah (ujian) kepadanya.” (HR. Bukhari)

تَعَوَّذُوْا بِاللَّهِ مِنْ جَهْدِ الْبَلَاءِ وَدَرَكِ الشَّقَاءِ وَسُوْءِ الْقَضَاءِ وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ

"Mintalah perlindungan kepada Allah dari cobaan yang menyulitkan, kesengsaraan yang menderitakan, takdir yang buruk dan cacian musuh." (HR. Bukhari)

Dan dari buah manis dari beriman takdir adalah bersabar ketika datangnya musibah-musibah, maka seorang yang beriman dengan takdir ia tidak akan dikuasai sifat gelisah, resah dan tidak menyambutnya dengan menggerutu dan kepanikan, akan tetapi menyambut musibah-musibah setahun dengan sikap tegar, seperti teguhnya gunung-gunung, sungguh telah tetap pada leher-lehernya, Allah berfirman:

{مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (23) } [الحديد: 22 - 24]

Artinya: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lohmahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” QS. Al Hadid: 22-24.

Maka beriman kepada Al Qadar termasuk dari obat yang paling hebat yang menolong seorang beriman untuk menghadapi keadaan sulit, musibah dan bala, dan ini adalah salah satu buah dari buah yang paling agung dari beriman kepada takdir.” Lihat kitab Al Iman Bi Al Qadar.

Dan bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan doa kepada para shahabat radhiyallahu ‘anhum untuk menghadapi rasa gundah gelisah, resah dengan doa yang di dalamnya di kaitkan dengan beriman kepada takdir:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا أَصَابَ أَحَداً قَطُّ هَمٌّ وَلاَ حَزَنٌ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنِّى عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِى بِيَدِكَ مَاضٍ فِىَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِىَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِى كِتَابِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِى عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِى وَنُورَ صَدْرِى وَجَلاَءَ حُزْنِى وَذَهَابَ هَمِّى. إِلاَّ أَذْهَبَ اللَّهُ هَمَّهُ وَحُزْنَهُ وَأَبْدَلَهُ مَكَانَهُ فَرَجاً ». قَالَ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ نَتَعَلَّمُهَا فَقَالَ « بَلَى يَنْبَغِى لِمَنْ سَمِعَهَا أَنْ يَتَعَلَّمَهَا ».

Artinya: “Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang tertimpa rasa gundah, sedih, lalu ia mengucapkan:

اللَّهُمَّ إِنِّى عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِى بِيَدِكَ مَاضٍ فِىَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِىَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِى كِتَابِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِى عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِى وَنُورَ صَدْرِى وَجَلاَءَ حُزْنِى وَذَهَابَ هَمِّى

(Wahai Allah, sesungguhnya aku ini adalah hamba-Mu dan anak dari hamba-Mu (yang lelaki) dan anak dari hamba-Mu (yang perempuan), takdirku di tangan-Mu, keputusan-Mu telah tetap padaku dan qadha-Mu adalah adil untukku, aku memohon kepada-Mu, dengan setiap nama yang Engkau miliki, yang telah Engkau beri nama dengannya diri-Mu atau yang telah Engkau ajarkan nama tersebut kepada siapapun dari makhluk-MU atau yang telah Engkau turunkan di dalam kitab (suci)-Mu atau yang telah Engkau simpan di dalam Imu gaib milik-Mu, jadikanlah Al Quran sebagai penyejuk hatiku, cahaya di dalam dadaku dan penghilang kesedihanku serta pelenyap kegundahanku.” HR. Ahmad.
Ketahuilah, jika kita bersama Alloh, yakin akan pertolongan Alloh ta’ala, maka berbagai musibah itu pasti akan berlalu dan bersamaan dengan kesulitan itu akan datang kemudahan serta jalan keluar. Ini adalah janji Robb kita dan Dia tidaklah mengkhianati janji-Nya. 

Alloh ta’ala berfirman: 

فإن مع العسر يسرا * إن مع العسر يسرا

“Maka janganlah gangguan musuh-musuhmu itu membuat engkau bimbang dari menyebarkan risalah Robbmu. Sesungguhnya bersamaan dengan kesempitan itu ada jalan keluar. Sungguh, bersamaan dengan kesempitan itu ada jalan keluar.” (Tafsir QS. Asy-Syarh: 5-6)

Dalam hadits Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

واعلم أن في الصبر على ما تكره خيرا كثيرا، وأن النصر مع الصبر، وأن الفرج مع الكرب، وأن مع العسر يسرا

“Ketahuilah, bahwasanya pada kesabaran terhadap segala yang tidak engkau sukai itu terdapat kebaikan yang banyak. Sungguh, pertolongan itu bersama dengan kesabaran dan jalan keluar itu bersama dengan kesusahan. Bersamaan dengan kesulitan itu ada kemudahan.” (HR. Ahmad, hadits shohih; lihat Ash-Shohihah, no. 2382 dan Tahqiq Musnad Ahmad: 5/19)

Jika kita menghadapinya dengan penuh kesabaran, tetap teguh di atas al-haq, istighfar, khudhu’ (tunduk),tadhorru’ (memohon dan merendahkan diri), bertawakkal dankembali kepada Alloh tidak kepada selain-Nya, berdoa kepada-Nya semata dengan menengadahkan kedua tangan kepada-Nya, niscaya Alloh akan mengabulkan doa kita dan mengangkat bala’ tersebut karena terampuninya dosa-dosa kita dan menggantikannya dengan kenikmatan yang tiada tara, baik di dunia maupun akherat kelak, cepat ataupun lambat. 

Alloh ta’ala berfirman:

وإذا سألك عبادي عني فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان فليستجيبوا لي وليؤمنوا بي لعلهم يرشدون

“Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang-Ku -wahai Nabi-, maka jawablah: “Sesungguhnya Aku ini dekat dengan mereka. Aku mengabulkan doa seseorang jika ia berdoa kepada-Ku.Maka taatilah perintah-Ku dan jauhilah larangan-Ku serta berimanlah kepada-Ku, sehingga mereka mendapatkan petunjuk kepada kebaikan agama dan dunia mereka.” (Tafsir QS. Al-Baqoroh: 186) 

أمن يجيب المضطر إذا دعاه ويكشف السوء ويجعلكم خلفاء الأرض أإله مع الله قليلا ما تذكرون

“Apakah mengibadahi sekutu-sekutu Alloh itu lebih baik daripada dzat yang mengabulkan doa orang yang kesusahan ketika ia berdoa, menyingkap kejelekan yang turun padanya serta menjadikan kalian sebagai pengganti para pemimpin sebelum kalian di muka bumi ini?! Apakah ada sekutu Alloh yang memberikan kepada kalian berbagai kenikmatan ini?! Sedikit sekali kalian memikirkannya, sehingga kalian sekutukan Alloh dalam peribadahan dengan selain-Nya.” (Tafsir QS. An-Naml: 62)

Hendaknya kita senantiasa berprasangka baik terhadap Alloh ta’ala dan banyak mengingat-Nya dengan memperbanyak dzikir, karena denganhusnudzon kita kepada Alloh, maka Dia akan mendatangkan kebaikan kepada kita dan dengan banyak mengingat Alloh, maka hati kita menjadi tenang dan tuma’ninah. Dalam sebuah hadits qudsi, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن الله يقول: أنا عند ظن عبدي بي وأنا معه إذا دعاني

“Sesungguhnya Alloh ta’ala berkata: “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku dan Aku bersamanya jika ia berdoa kepada-Ku.” (HR. Muslim dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu)

Alloh ta’ala berfirman:

الذين آمنوا وتطمئن قلوبهم بذكر الله ألا بذكر الله تطمئن القلوب

“Dialah Alloh yang memberikan petunjuk kepada orang-orang yang tenang hatinya dengan bertauhid kepada Alloh dan mengingat-Nya. Ketahuilah, bahwa dengan ketaatan kepada Alloh dan mengingat-Nya, maka hati itu menjadi tenang.” (Tafsir QS. Ar-Ro’du: 28)

Oleh karena itu -wahai Ahlussunnah-, bersabarlah, bertaubatlah dan bertawakkallah hanya kepada Alloh semata, sibukkan kalian dengan menuntut ilmu dan beramal sholeh, sampai datangnya pertolongan Alloh dan jalan keluar dari-Nya. Sesungguhnya pertolongan dan jalan keluar itu dekat…

ومن يتق الله يجعل له مخرجا * ويرزقه من حيث لا يحتسب ومن يتوكل على الله فهو حسبه إن الله بالغ أمره قد جعل الله لكل شيء قدرا

“Siapa yang takut kepada Alloh dan mengerjakan apa yang diperintahkan atasnya serta menjauhi larangan-Nya, niscaya Alloh akan memberikan kepadanya jalan keluar dari segala kesempitan dan memudahkannya untuk mendapatkan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka dan dikiranya. Siapa yang bertawakkal hanya kepada Alloh, maka Dia akan mencukupi segala kebutuhan yang diinginkan. Sesungguhnya Alloh telah menyempurnakan perkaranya, tidak ada yang tertinggal sedikitpun dan tidak ada yang memberatkan-Nya. Sungguh Alloh telah menetapkan akhir dari segala sesuatu dan takdir yang tidak akan luput.” (Tafsir QS. Ath-Tholaq: 2-3)

 أم حسبتم أن تدخلوا الجنة ولما يأتكم مثل الذين خلوا من قبلكم مستهم البأساء والضراء وزلزلوا حتى يقول الرسول والذين آمنوا معه متى نصر الله ألا إن نصر الله قريب

“Apakah kalian mengira -wahai kaum mukminin- bahwa kalian akan masuk jannah,sedangkan kalian belum tertimpa cobaan seperti apa yang menimpa kaum mukminin sebelum kalian, berupa kefakiran, penyakit, rasa takut dan gentar serta tergoncang dengan berbagai ketakutan, sampai-sampai Rosul dan kaum mukminin yang bersamanya ketika itu -karena ingin segera mendapatkan pertolongan- mengatakan: “Kapan datangnya pertolongan Alloh itu?” Ketahuilah, sungguh pertolongan Alloh bagi kaum mukminin itu dekat…” (Tafsir QS. Al-Baqoroh: 214)‎

Takhtimah‎

Ketahuilah … Allah Taala akan menguji setiap hamba-Nya dengan berbagai musibah, dengan berbagai hal yang tidak mereka sukai, juga Allah akan menguji mereka dengan musuh mereka dari orang-orang kafir dan orang-orang munafiq. Ini semua membutuhkan kesabaran, tidak putus asa dari rahmat Allah dan tetap konsisten dalam beragama. Hendaknya setiap orang tidak tergoyahkan dengan berbagai cobaan yang ada, tidak pasrah begitu saja terhadap cobaan tersebut, bahkan setiap hamba hendaklah tetap komitmen dalam agamanya. Hendaknya setiap hamba bersabar terhadap rasa capek yang mereka emban ketika berjalan dalam agama ini.
Sikap seperti di atas sangat berbeda dengan orang-orang yang ketika mendapat ujian merasa tidak sabar, marah, dan putus asa dari rahmat Allah. Sikap seperti ini malah akan membuat mereka mendapat musibah demi musibah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan menguji mereka. Barang siapa yang ridho (terhadap ujian tersebut) maka baginya ridho Allah dan barang siapa yang marah (terhadap ujian tersebut) maka baginya murka-Nya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah At Tirmidzi berkata bahwa hadits ini Hasan Ghorib)
Dari Mush’ab bin Sa’id (seorang tabi’in) dari ayahnya berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً
“Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »
“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka dia akan mendapat ujian begitu kuat. Apabila agamanya lemah, maka dia akan diuji sesuai dengan agamanya. Senantiasa seorang hamba akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR. Tirmidzi. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih)
Semoga kita yang sedang mendapat ujian atau musibah merenungkan hadits-hadits di atas. Sungguh ada sesuatu yang tidak kita ketahui di balik musibah tersebut. Maka bersabarlah dan berusahalah ridho dengan taqdir ilahi. Sesungguhnya para Nabi dan orang sholeh dahulu juga telah mendapatkan musibah sebagaimana yang kita peroleh. Lalu kenapa kita harus bersedih, mengeluh dan marah? Bahkan orang sholeh dahulu -sesuai dengan tingkatan keimanan mereka-, mereka malah memperoleh ujian lebih berat. Cobalah kita perhatikan perkataan ulama berikut.
Al Manawi mengatakan, “Barangsiapa yang menyangka bahwa apabila seorang hamba ditimpa ujian yang berat, itu adalah suatu kehinaan; maka sungguh akalnya telah hilang dan hatinya telah buta (tertutupi). Betapa banyak orang sholih (ulama besar) yang mendapatkan berbagai ujian yang menyulitkan. Tidakkah kita melihat mengenai kisah disembelihnya Nabi Allah Yahya bin Zakariya, terbunuhnya tiga Khulafa’ur Rosyidin, terbunuhnya Al Husain, Ibnu Zubair dan Ibnu Jabir. Begitu juga tidakkah kita perhatikan kisah Abu Hanifah yang dipenjara sehingga mati di dalam buih, Imam Malik yang dibuat telanjang kemudian dicambuk dan tangannya ditarik sehingga lepaslah bahunya, begitu juga kisah Imam Ahmad yang disiksa hingga pingsan dan kulitnya disayat dalam keadaan hidup. … Dan masih banyak kisah lainnya.” (Faidhul Qodhir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, 1/518)
Semoga kita termasuk orang-orang yang bersabar ketika menghadapi musibah, baik dengan hati lisan atau pun anggota badan. Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang selalu ridho dengan taqdir-Mu.

Penjelasan Tidak Ada Nabi Dan Rosul Setelah Rosululloh Muhammad SAW

 

Gonjang-ganjing perkara Ahmadiyah telah menyita perhatian masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Ahmadiyah terpecah menjadi dua kelompok yakni Ahmadiyah Qadiyani dan Lahore. Ahmadiyah Qadiyani inilah yang mendaulat pendiri sekaligus Imam pertama mereka, Mirza Ghulam Ahmad al Kadzdzab, sebagai nabi setelah Rasulullah ‎Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sedangkan Ahmadiyah Lahore tidak menganggapnya sebagai nabi, hanya sebagai pembaharu dan imam mahdi. Namun, kitab suci mereka sama, yakni at Tadzkirah, yaitu campuran antara Al Quran dengan ucapan Mirza Ghulam Ahmad al Kadzdzab.

Sebenarnya, sejak awal keberadaannya (kurang lebih dua abad yang lalu), para ulama Islam telah membantah pemikiran mereka yang batil. Baik dari Ahlus Sunnah atau Syi’ah pun telah mengcounter aqidah mereka. Namun, karena dukungan penjajah Inggris saat itu, akhirnya keberadaan mereka bisa eksis sampai hari ini, termasuk di negeri nusantara.

Mirza Ghulam Ahmad al Kadzdzab bukanlah yang pertama, bukan pula yang terakhir. Ketika masa-masa akhir  kehidupan RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah ada nabi palsu bernama Musailimah al Kadzdzab di Yamamah, yang baru sempat diperangi pada masa khalifah Abu Bakar ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu dalam perang besar diYamamah. Masih pada akhir zaman Rasulullah juga, ada nabi palsu bernama Al Aswad Al ‘Ansidi Yaman lalu dibunuh oleh para sahabat sebelum wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu  pada masa kekhalifahan Abu Bakar ada Thulaihah bin Khuwalid dari bani Asad bin Khuzaimah, akhirnya tobat dan dia mati dalam keadaan Islam yang baik. Begitu pula Sijah at Tamimiyah dari Bani at Tamimi yang dinikahi oleh Musailimah, dia pun mengaku nabi, namun bertobat setelah matinya Musailamah al Kadzdzab. Ada pula Al Mukhtar bin Abi Ubaid ats Tsaqafi, ia menampakkan cintanya kepada Ahlul Bait serta menuntut darah Husein, yang berhasil mendominasi Kufah pada awal pemerintahan Ibnu Zubeir. Kemudian dia diperdaya syetan dan mengaku menjadi nabi dan menyangka Jibril mendatanginya. Ya’qub bin Sufyan meriwayatkan dengan sanad hasan, dari Asy Sya’bi bahwa Al Ahnaf bin Qais pernah melihat Al Mukhtar  dengan kitabnya yang menyebut dirinya sebagai nabi. Abu Daud meriwayatkan dalam As Sunan dari Ibrahim an Nakha’i, bahwa beliau bertanya kepada ‘Ubaidah bin Amru, “Apakah Al Mukhtar termasuk mereka (nabi-nabi palsu)?” ‘Ubaidah menjawab: “Dia termasuk pemimpinnya.” Al Mukhtar berhasil dibunuh sekitar tahun enam puluhan (hijriyah). Lalu ada pula Al Harits Al Kadzdzab, nabi palsu pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan, dan juga terbunuh saat itu.   Juga pada masa pemerintahan Al ‘Abbas juga ada para pembohong. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari,Kitab Al Manaqib Bab ‘Alamat an Nubuwah fil Islam, Juz. 10, hal. 410, No hadits. 3340)

Demikianlah sekelumit nabi palsu masa-masa klasik, yang jumlahnya sangat banyak, ada pun yang tertulis namanya hanyalah yang terkenal, ada pun selebihnya sangat banyak bahkan tak terhitung. Di Indonesia pun telah ada Lia Aminuddin dan  Ahmad Moshadeq. Sampai saat ini belum menampakkan tobatnya, bahkan Lia Aminuddin (Lia Eden) semakin menjadi-jadi kesesatannya, dia mencampurkan berbagai agama dan keyakinan.

Semoga Allah swt senantiasa menjaga umat ini dari finah para pendusta yang mengaku dirinya seorang Nabi setelah datangnya penutup para Nabi dan Rasul, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam Penutup Para Nabi dan Rasul

Sesungguhnya kenabian dan kerasulan telah ditutup dengan diutusnya Nabi dan Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan dalil-dalil al Qur’an dan Sunnah.

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا ﴿٤٠﴾

Artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab : 40)

Ibnu Katsir mengatakan bahwa makna firman Allah diatas seperti firman-Nya pula :
اللّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ سَيُصِيبُ

Artinya : “Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (QS. Al An’am : 124)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah, setelah ia mengutarakan berbagai hadits tentang kedudukan Rasulullah sebagai penutup para nabi, beliau berkata:

وقد أخبر تعالى في كتابه، ورسوله في السنة المتواترة عنه: أنه لا نبي بعده؛ ليعلموا أن كل مَنِ ادعى هذا المقام بعده فهو كذاب أفاك، دجال ضال مضل، ولو تخرق  وشعبذ، وأتى بأنواع السحر والطلاسم والنَيرجيَّات  ، فكلها محال وضلال عند أولي الألباب

“Allah Ta’ala telah mengabarkan melalui KitabNya, begitu pula RasulNya telah menyampaikan secara mutawatir (pasti benar) darinya: bahwa tidak ada nabi setelahnya. Agar manusia mengetahui bahwa setiap manusia yang mengaku memiliki kedudukan sebagai nabi setelah  beliau, maka orang itu adalah pendusta, dajjal yang sesat dan menyesatkan, walau dia memiliki kemampuan di luar kebiasaan dan mampu menipu penglihatan manusia, mendatangkan berbagai sihir dan kekuatan. Semuanya adalah tipuan dan kesesatan di mata Ulil Albab (orang-orang yang berpikir). “ (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz. 6, Hal. 431. Daru  Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’, Cet. 2. 1999M-1420H. Tahqiq: Sami bin Muhammad Salamah. Al Maktabah Asy Syamilah)

Para pengikut agama Ahmadiyah mengartikan Khaataman nabiyyin adalah cincinnya para nabi. Sementara para ulama Islam mengartikannya sebagai penutup para nabi (jika dibaca khaatiman nabiyyin) atau nabi yang terakhir (jika dibaca khaataman nabiyyin sebagai mana teks di atas). Jadi mau dibaca Khaatiman atau Khaataman, maknanya adalah sama yaitu tak ada nabi lagi setelahnya, karena dia sebagai penutup (khaatiman) dan nabi yang terakhir (khaataman).

Ayat ini merupakan sebuah nash bahwa tidak ada Nabi setelahnya. Dan jika tidak ada Nabi setelahnya maka tidak ada Rasul (pula) setelahnya menjadi lebih utama karena kedudukan kerasulan lebih khusus daripada kedudukan kenabian, karena sesungguhnya setiap Rasul adalah Nabi bukan sebaliknya.

Dalam hal ini terdapat beberapa hadits yang mutawatir dari sekelompok sahabat, sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dari At Thufail bin Ubay bin Ka’b dari Bapaknya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Perumpamaanku dari para Nabi adalah seperti seorang lelaki yang membangun rumah, dia memperindahnya dan melengkapinya, namun dia meninggalkan satu tempat sebesar batu bata dan dia tidak meletakkannya, maka orang-orang berkeliling mengitari bangunan dengan terkagum kagum sambil mengatakan, ‘seandainya tempat batu bata ini sempurna’, maka saya dari para Nabi itu seperti tempat batu bata itu.”. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Bundar dari Abi Amir al Al Aqadi, dan beliua (Tirmidzi) mengatakan,”Hasan Shahih” (Tafsir al Quran al Azhim juz VI hal 428)

Hal di atas dijelaskan oleh Imamul Mufassirin,Abu Ja’far bin Jarir ath Thabari, beliau berkata:

واختلفت القراء في قراءة قوله(وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ) فقرأ ذلك قراء الأمصار سوى الحسن وعاصم بكسر التاء من خاتم النبيين، بمعنى: أنه ختم النبيين. ذُكر أن ذلك في قراءة عبد الله(وَلَكِنَّ نَبِيًّا خَتَمَ النَّبيِّينَ) فذلك دليل على صحة قراءة من قرأه بكسر التاء، بمعنى: أنه الذي ختم الأنبياء صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم وعليهم، وقرأ ذلك فيما يذكر الحسن وعاصم(خَاتَمَ النَّبِيِّينَ) بفتح التاء، بمعنى: أنه آخر النبيين

Para Qurra (Ahli Pembaca Al Quran) berbeda pendapat tentang bacaan terhadap  ayatKhaataman nabiyyin. Para Qurra dari Al Amshar (kota besar) kecuali Al Hasan dan ‘Ashim, mereka mengkasrahkan huruf  ta’ menjadi (Khaatim an Nabiyyin) yang bermaknakhataman nabiyyin penutup para nabi (huruf kha’ pendek). Disebutkan bahwa itulah cara baca Abdullah bin Mas’ud (walakin nabiyyankhataman nabiyyin – tidak memanjangkan kha’ menjadi  khaataman). Ini adalah dalil atas benarnya pihak yang membaca dengan mengkasrahkan huruf ta’, maknanya: “Bahwa dia adalah penutup para nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wa ‘Alaihim. Adapun yang membaca dengan memfathahkan (Khaatam an Nabiyyin) sebagaimana yang telah disebutkan yakni Al Hasan dan ‘Ashim, maknanya: “Bahwa dia adalah akhir dari nabi – nabi.” (Imam Abu Ja’far bi Jarir ath Thabari, Jami’ al Bayan fii Ta’wil Al Quran, Juz. 20, Hal. 279. Mu’asasah ar Risalah, Cet. 1. 2000M – 1420H. Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir. Al Maktabah Asy Syamilah)

Imam Al Qurthubi berkata:

وقرأ الجمهور بكسر التاء بمعنى أنه ختمهم، أي جاء آخرهم.

“Mayoritas membaca dengan mengkasrahkan huruf ta’, bermakna bahwa dia adalah penutup mereka (para nabi) yaitu yang akhir datangnya di antara mereka.” (Imam Al Qurthubi, Jami’ Li Ahkam Al Quran, Juz. 14, Hal. 196. Dar Ihya ats Turats al ‘Araby, Beirut – Libanon. 1985M-1405H. Al Maktabah Asy Syamilah)

Imam Abu Muhammad Al Husein bin Mas’ud al Baghawi berkata dalam tafsirnya:

ختم الله به النبوة، وقرأ عاصم: “خاتم” بفتح التاء على الاسم، أي: آخرهم، وقرأ الآخرون بكسر التاء على الفاعل، لأنه ختم به النبيين فهو خاتمهم.

“Dengannya Allah telah menutup kenabian. ‘Ashim membacanya ‘Khaatam’ dengan fathah pada huruf ta’menjadi isim, yakni, “Akhirnya mereka (nabi-nabi).”  Sedangkan yang lain membaca dengan mengkasrahkan ta’ menjadifaa’il, karena dengannyalah menutup para nabi, dan dia penutup mereka.” (Imam al Baghawi,Ma’alimut Tanzil, Juz. 6 Hal. 358. Dar Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’, Cet. 4, 1997M-1417H. Al Maktabah Asy Syamilah)

Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin ‘Umar asy Syihi biasa disebut Al Khazin berkata dalam tafsirnya:

ختم الله به النبوة فلا نبوة بعده أي ولا معه

“Dengannya Allah telah menutup kenabian, maka tidak ada kenabian setelahnya, yaitu tidak pula bersamanya.” (Imam al Khazin, Lubab at Ta’wil fii Ma’ani at Tanzil, Juz. 5, Hal. 199. Al Maktabah Asy Syamilah)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu,bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُبْعَثَ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ قَرِيبًا مِنْ ثَلَاثِينَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ

“Kiamat tidak akan datang sampai datangnya para dajjal pendusta jumlahnya hampir tiga puluh, semuanya mengklaim dirinya sebagai Rasulullah.” (HR. Bukhari, Kitab Al Manaqib Bab ‘Alamat An Nubuwah fil Islam, Juz. 11, Hal. 441, No hadits. 3340. Muslim, Kitab Al Fitan wal Asyratus Sa’ah Bab Laa taquumus Sa’ah hatta yamurru ar rajul biqabri ar rajul …, Juz. 14, hal. 142. No hadits. 5205)

Jadi, adanya orang-orang yang mengaku nabi merupakan bagian dari tanda-tanda datangnya kiamat. Hal itu sudah sinyalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sejak empat belas abad silam. Namun selalu ada para ulama garda depan yang selalu siap mengcounter kebohongan mereka.

Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

وَقَدْ وُجِدَ مِنْ هَؤُلَاءِ خَلْق كَثِيرُونَ فِي الْأَعْصَار ، وَأَهْلَكَهُمْ اللَّه تَعَالَى ، وَقَلَعَ آثَارهمْ ، وَكَذَلِكَ يُفْعَل بِمَنْ بَقِيَ مِنْهُمْ .

“Mereka selalu ada pada masing-masing zaman, tetapi Allah Ta’ala binasakan mereka, dan Allah hilangkan pengaruhnya, hal itu juga terjadi pada sisa pengikut mereka.” (Imam An Nawawi,Syarah ‘Alash Shahih Muslim, Kitab Al Fitan wal Asyratus Sa’ah Bab Laa taquumus Sa’ah hatta yamurru ar rajul biqabri ar rajul …Juz. 9, hal. 309, No. 5205)

Imam Ibnu Hajar al Asqalani Rahimahullah berkata:‎

وَلَيْسَ الْمُرَاد بِالْحَدِيثِ مَنْ اِدَّعَى النُّبُوَّة مُطْلَقًا فَإِنَّهُمْ لَا يُحْصَوْنَ كَثْرَة لِكَوْنِ غَالِبهمْ يَنْشَأ لَهُمْ ذَلِكَ عَنْ جُنُون أَوْ سَوْدَاء وَإِنَّمَا الْمُرَاد مَنْ قَامَتْ لَهُ شَوْكَة وَبَدَتْ لَهُ شُبْهَة كَمَنْ وَصَفْنَا ، وَقَدْ أَهْلَكَ اللَّه تَعَالَى مَنْ وَقَعَ لَهُ ذَلِكَ مِنْهُمْ وَبَقِيَ مِنْهُمْ مَنْ يُلْحِقهُ بِأَصْحَابِهِ وَآخِرهمْ الدَّجَّال الْأَكْبَر

“Maksud hadits itu tidaklah berarti secara mutlak jumlahnya (mereka adalah tiga puluh), sebenarnya para nabi palsu ini tak terhitung jumlahnya, namun yang dimaksudkan  dengan pembatasan jumlah itu adalah mereka itulah yang mengaku nabi, memiliki kekuatan dan ajaran menyimpang, dan punya pengikut yang banyak serta terkenal di antara manusia. Lalu Allah Ta’ala binasakan mereka temasuk pengikutnya, hingga akhirnya datangnya dajjal besar.” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Manaqib Bab ‘Alamat an Nubuwah fil Islam, Juz. 10, hal. 410, No hadits. 3340)

Hadits lainnya, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي

“Dahulu Bani Israel dipimpin oleh para nabi, ketika wafatnya seorang nabi maka datanglah nabi setelahnya, namun tidak ada nabi lagi setelahku.” (HR. Bukhari, Kitab Ahadits al Anbiya Bab Maa dziku ‘an Bani Israil, Juz. 11, Hal. 271, No hadits. 3196. Muslim, Kitab Al Imarah Bab Wujub al Wafa’ bibai’ati al Khulafa’ wal Awal fal Awal, Juz.9,  Hal. 378, No hadits. 3429 )

Hadits lainnya, dari Tsauban Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda:

وَإِنَّهُ سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي كَذَّابُونَ ثَلَاثُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ بَعْدِي

“Sesungguhnya akan datang pada umatku tiga puluh pembohong, semuanya mengaku sebagai nabi, padahal akulah penutup para nabi (khaatam an nabiyyin), tak ada lagi nabi setelahku.” (HR. Abu Daud, Kitab Al Fitan wal Malahim Bab Dzikru Al Fitan wa Dalailuha, Juz. 11, Hal. 322, No hadits. 3710. At Tirmidzi,Kitab Al Fitan ‘an Rasulillah Bab Maa Ja’a Laa Taqumus Sa’ah hatta Yakruju Kadzdzabun, Juz. 8, Hal. 156, No hadits. 2145. Katanya:Hasan Shahih. Syaikh al Abany mengatakan:Shahih. Lihat Misykah al Mashabih, Juz. 3 hal. 173, No. 5406 )

Hadits ini membantah pemikiran Ahmadiyah yang menafsirkan Khaatam an nabiyyin adalah cincinnya para nabi. Sebab, dalam hadits ini ada penegas setelah kalimat khaatam an nabiyyin, yaitu kalimat laa nabiyya ba’diy (tak ada lagi nabi setelahku).

Hadits lainnya:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِعَلِيٍّ أَنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى إِلَّا أَنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي

Dari Jabir bin Abdullah, bahwa RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada Ali: “Engkau bagiku, seperti posisi Harun terhadap Musa, hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku.” (HR. At Tirmidzi, Kitab Al Manaqib ‘an Rasulillah Bab Al Manaqib ‘Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, Juz. 12, Hal. 192, No hadits. 3663. Katanya: hasan gharib. Tetapi pada hadits yang sama bunyinya no. 3664 dari jalur Sa’ad bin Abi Waqash, Imam At Tirmidzi  berkata: hasan shahih. Ibnu Majah,Kitab Al Muqaddimah Bab Fadhlu ‘Ali bin Abi Thalib, Juz. 1, Hal. 134, No hadits. 118, dari jalur Sa’ad bin Abi Waqash)

Sedangkan dalam hadits shahih lain juga disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مَثَلِي وَمَثَلَ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بَيْتًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلَّا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ لَهُ وَيَقُولُونَ هَلَّا وُضِعَتْ هَذِهِ اللَّبِنَةُ قَالَ فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتِمُ النَّبِيِّينَ

“Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda: “Sesungguhnya perumpamaan diriku di antara para nabi sebelumku, seperti perumpamaan seorang yang sedang membangun rumah dia memperbaikinya dan memperindahnya kecuali satu bata sebelah sudut yang kosong. Maka manusia mengitari rumah itu, mereka heran dengannya, dan mereka berkata: “Kenapa yang ini tidak?” Akhirnya diletakkanlah batu bata di bagian tersebut.” Dia bersabda: “Akulah batu bata tersebut, dan aku adalah penutup para nabi.”(HR. Bukhari, Kitab Al Manaqib Bab Khatim an Nabiyyin, Juz. 11, Hal. 336, No hadits. 3271. Muslim, Kitab Al Fadhail Bab Dzikru Kaunuhu Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wa Khatim an Nabiyyin, Juz. 11, Hal. 404, No hadits. 4239)

Imam Ibnu Hajar berkata:

وَفِي الْحَدِيث ضَرْب الْأَمْثَال لِلتَّقْرِيبِ لِلْأَفْهَامِ وَفَضْل النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى سَائِر النَّبِيِّينَ ، وَأَنَّ اللَّه خَتَمَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ ، وَأَكْمَلَ بِهِ شَرَائِع الدِّين .

Hadits ini memberikan perumpamaan  dalam rangka memudahkan pemahaman dan menunjukkan keutamaan Rasulullah Shallalalhu ‘Alaihi wa Sallam di atas nabi – nabi lainnya dan Allah ta’ala menutup kerasulan dengannya serta menyempurnakan syariatNya degannya pula.”(Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Manaqib Bab Khatim an Nabiyyin, Juz. 11, Hal. 336, No hadits. 3270)‎

Sebagai rasul yang terakhir, Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki kekhususan dibandingkan dengan nabi yang lain. Beliau juga memiliki hak-hak atas umat manusia. Di antara yang wajib diimani sebagai kekhususan Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah beliau menjadi penutup para nabi, tidak ada nabi setelah beliau. Beliau diutus untuk seluruh manusia sepanjang zaman hingga hari kiamat, sedangkan nabi dan rasul sebelumnya hanya diutus untuk umatnya masing-masing. Selain itu, wajib diimani pula bahwa syariat beliau menghapus syariat-syariat sebelumnya. Beliau  Shallallahu ‘alaihi wasallam juga memiliki beberapa kekhususan lainnya. Dalam ruang yang terbatas ini, mari kita melihat beberapa kekhususan Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam dan hak-hak beliau atas umatnya. Kita awali dengan pembahasan kekhususan beliau atas para nabi dan rasul.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallamadalah Khatamun Nabiyyin (Penutup Para Nabi)

Di antara kekhususan Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau adalah penutup para nabi, tidak ada lagi nabi dan rasul sesudahnya. Keyakinan bahwasanya Nabi Muhammad  Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penutup para nabi, merupakan keyakinan umat Islam seluruhnya, tanpa kecuali. Keyakinan ini adalah salah satu prinsip yang disepakati oleh seluruh ulama terdahulu dan yang belakangan. Banyak dalil, baik dalil-dalil naqli (nash al-Kitab dan as-Sunnah) maupun aqli (akal) yang menunjukkannya. Di antara dalil naqli adalah empat dalil berikut.

1. Dalam al-Qur’an secara tegas Allah Subhanahu wata’ala menyatakan bahwa Muhammad adalahkhatamun nabiyyin (penutup para nabi). Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

 “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, melainkan rasulullah dan penutup para nabi. Adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al-Ahzab: 40)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat ini adalah nash bahwa tidak ada nabi setelahnya. Jika tidak ada nabi setelahnya, berarti tidak ada rasul setelahnya. Kerasulan lebih pantas dan lebih layak untuk tidak ada, karena risalah (kerasulan) lebih khusus daripada nubuwah (kenabian). Semua rasul adalah nabi, namun tidak sebaliknya.” (Tafsir al-Qur’anul Azhim)

2. Diriwayatkan dalam hadits mutawatir dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الرِّسَالَةَ وَالنُّبُوَّةَ قَدِ انْقَضَتْ فَلاَ نَبِيَّ وَلاَ رَسُوْلَ بَعْدِي

“Sesungguhnya risalah kenabian itu telah habis, maka tidak ada nabi dan rasul sesudahku.” (HR. Ahmad)

3. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَثَلِي وَمَثَلُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى دَارًا بِنَاءً فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلاَّ مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ مِنْ زَوَايَاهُ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ لَهُ وَيَقُولُونَ: هَلَّا وُضِعَتْ هَذِهِ اللَّبِنَةُ؟ قَالَ: فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتِمُ الْأَنْبِيَاءِ

“Sesungguhnya perumpamaan diriku dengan nabi-nabi sebelumku seperti seseorang yang membuat sebuah rumah. Diperindah dan diperbagusnya (serta disempurnakan pembangunannya) kecualisatu tempat untuk sebuah batu bata di salah satu sudutbya. Orang-orang pun mengelilingi rumah dan mengaguminya lantas bertanya, “Mengapa batu bata ini belum dipasang?” Nabi pun berkata,“Sayalah batu bata (terakhir) itu, dan sayalah penutup para nabi.” (HR. al- Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Hibban)

4. Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَبْعَثَ دَجَّالُوْنَ كَذَّابُوْنَ قَرِيْبٌ مِنْ ثَلاَثِيْنَ كُلُّهُمْ يَزْعَمُ أَنَّهُ رَسُوْلُ اللهِ

“Tidak akan terjadi kiamat kecuali akan keluar (muncul) tiga puluh pendusta (penipu). Semuanya mengaku sebagai rasul Allah Subhanahu wata’ala.”(HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu)

Dalam riwayat lain, “… Dan sesungguhnya akan muncul pada umatku pendusta yang jumlahnya tiga puluh orang. Mereka semua mengaku sebagai nabi, padahal aku adalah penutup para nabi dan tidak ada nabi sepeninggalku.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dengan sanad yang sahih menurut syarat Muslim)

Inilah empat dalil naqli yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad  Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penutup para nabi. Adapun dalil-dalil aqli, yang menunjukkan keyakinan Ahlus Sunnah adalah dua dalil berikut.

1. Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan bahwa agama Islam telah sempurna sehingga syariat tidak perlu lagi penambahan atau pengurangan hingga hari kiamat. Artinya, tidak perlu diutus nabi atau rasul lagi. Tentang kesempurnaan syariat Islam, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ

“Pada hari ini Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah kucukupkan nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagi kalian.” (al-Maidah: 3)

2. Al-Qur’an dan as-Sunnah telah dijamin sebagai pembimbing hingga hari kiamat. Allah Subhanahu wata’ala juga menjamin akan menjaga keduanya sebagaimana dalam firman-Nya,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (al-Hijr: 9)

Jika al-Qur’an dan as-Sunnah telah dijaga hingga hari kiamat, tidak ada perubahan, cukuplah keberadaan Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallamsebagai rasul yang terakhir dengan risalah yang dijamin kemurniannya hingga hari kiamat. Oleh karena itulah, Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam menjamin kebaikan bagi mereka yang berpegang teguh dengan al-Kitab dan as-Sunnah dalam sabda beliau,

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا أَبَدًا، كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُوْلِهِ

“Aku tinggalkan dua hal pada kalian, jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, niscaya tidak akan tersesat selama-lamanya. Dua hal itu adalah al- Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. al-Imam Malik)

Hadits di atas menjelaskan bahwa cukup bagi umat Islam untuk menjadikan al-Qur’an dan sunnah Nabi sebagai pedoman hidupnya. Artinya, tidak perlu adanya nabi dan rasul sesudah Nabi Muhammad  Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, jika ada nabi lagi, pasti wahyu Allah Subhanahu wata’ala akan turun lagi. Akan ada lagi hadits-hadits dari nabi atau rasul yang baru tersebut,yang menambah atau mengurangi apa yang telah ada dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini sangatlah mustahil dan sangat bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wata’ala tentang kesempurnaan Islam. Jika ada yang meyakini diutusnya nabi setelah Nabi Muhammad  Shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti Ahmadiyah yang menetapkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi1, sungguh dia telah mencela Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul- Nya. Ia telah keluar dari barisan kaum muslimin. Asy-Syaikh Jamaluddin Muhammad al-Anshari berkata, “Merujuk kepada al-Qur’an dan hadis mutawatir di atas, kalau ada orang yang mengatakan masih akan ada nabi setelah nabi Muhammad  Shallallahu ‘alaihi wasallam atau ada orang yang mengaku menjadi nabi atau rasul, maka mereka telah sesat dan kafir.” (Lisanul Arab)

Sebagai penutup pembahasan, ada sebuah hal yang mungkin menjadi pertanyaan, “Bukankah di akhir zaman nanti Nabi Isa ‘Alaihisslam akan turun ke muka bumi? Apakah artinya ada nabi sesudah beliau  Shallallahu ‘alaihi wasallam?” Jawabannya, benar bahwa Nabi Isa ‘Alaihissalam akan turun ke muka bumi di akhir zaman sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat ini Nabi Isa q berada di langit. Akan tetapi, beliau turun tidak membawa syariat baru. Beliau turun untuk menegakkan syariat Nabi Muhammad  Shallallahu ‘alaihi wasallam. ‎

Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallamDiutus untuk Seluruh Manusia

Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam bukan hanya diutus untuk orang-orang Arab, bukan pula kepada manusia di masa beliau saja. Yang wajib kita yakini, beliau diutus untuk seluruh manusia sepanjang masa hingga hari kiamat. Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala juga mengutus beliau untuk kalangan jin. Berbeda halnya dengan nabi dan rasul yang lain, mereka diutus khusus untuk kaumnya. Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

… وَكَانَ  :  أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً ، وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً

“Aku diberi lima kekhususan yang tidak diberikan oleh Allah ‎kepada nabi sebelumku… di antaranya: setiap nabi hanya diutus kepada umatnya,sedangkan aku diutus kepada seluruh umat manusia.” (HR. al-Bukhari)

Ayat – ayat al – Qur ’ an pun menunjukkan bahwa syariat beliau bersifat universal, berlaku untuk seluruh alam hingga hari kiamat. Di antara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا

“Mahasuci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadipemberi peringatan kepada seluruh alam.” (al Furqan : 1)

Dalam ayat lain Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutusmu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (al-Anbiya’107 )

Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan Kami tidak mengutusmu kecuali kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (Saba’: 28)

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

“Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (al-A’raf : 158)

Syariat Beliau Menghapus Syariat- Syariat Sebelumnya

Dengan diutusnya Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam, terhapuslah semua syariat nabi sebelum beliau, dan tidak ada syariat lain yang diterima selain syariat yang beliau bawa. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barang siapa mencari agama selain Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”(Ali Imran: 85)

Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam menguatkan makna ini dalam sabda beliau,

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tak seorang pun dari umat ini yang beragama Yahudi dan tidak pula Nasrani, yang pernah mendengar tentangku lantas dia mati dalam keadaan tidak beriman kepada risalah yang aku bawa, kecuali dia menjadi penghuni neraka.” (HR. Muslim)

Takhtimah

Pada dasarnya, tertutupnya pinturisalah dan nubuwwah (kenabian) setelah wafatnya Nabi Mohammad saw merupakan perkara mutawatir, dan telah menjadi konsensus para shahabat ra (ijma’ shahabat).  Menyakini masalah ini merupakan bagian dari keimanan, dan siapa saja yang menyelisihinya telah terjatuh kepada kekafiran.   Sebab, perkara ini termasuk ma’lum min al-diin wa al-dlarurah, dan bagian dari aqidahal-Islaamiyyah. 
Sayangnya, masalah yang sudah jelas, sejelas matahari di siang hari ini masih saja dipermasalahkan oleh kaum zindiq yang merasa dirinya masih beriman dan menjadi bagian dari kaum muslim.   Muncullah kemudian, Nabi dan Rasul palsu yang mengaku-ngaku sebagai Nabi dan Rasul yang dipilih Allah swt.  Bahkan, sejak masa Nabi dan shahabat, banyak orang telah mengaku dirinya mendapatkan mandat risalah dan nubuwwah dari Allah swt.  Padahal, al-Quran dan sunnah tidak pernah mengisyaratkan datangnya Nabi dan Rasul setelah Nabi Mohammad saw. Sebaliknya, al-Quran dan sunnahjustru telah menafikan risalah dan nubuwwah setelah wafatnya Nabi Mohammad saw.
Akan tetapi, terlepas dari tendensi-tendensi culas di balik kemunculan nabi dan rasul baru ini, kita tetap wajib mengingatkan mereka dengan penjelasan yang jernih dan mendalam sebagai manifestai kewajiban kita kepada mereka, sekaligus untuk menunaikan hak mereka untuk mendapatkan nasehat dan petunjuk yang lurus.

Para ulama salaf dan khalaf telah sepakat, bahwa satu-satunya jalan untuk mengetahui hukum-hukum Allah harus melalui seorang Rasul.  Tidak ada jalan lain untuk mengetahui syariat Allah selain merujuk kepada informasi dari Rasul Allah swt.  Allah swt berfirman;
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلاَّ الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.“[TQS Al Baqarah (2):213]
Tatkala menjelaskan ayat di atas, Imam Qurthubiy menyatakan, satu-satunya jalan untuk mengetahuihukum-hukum Allah adalah melalui perantara para Rasul.  Barangsiapa berpendapat ada jalan lain selain melalui perantara Rasul Allah untuk mengetahui hukum-hukum Allah, maka artinya ia telah mengingkari keberadaan Rasul sebagai pembawa risalah dari Allah.  Orang semacam ini dihukumi kafir, wajib dibunuh, dan taubatnya tidak diterima.  Selain itu, jika ada jalan lain untuk mengetahui hukum-hukum Allah, sama artinya ia menyakini kemungkinan adanya Rasul baru setelah Nabi Mohammad saw. Padahal tidak ada Nabi dan Rasul setelah Nabi Mohammad saw.
Konsensus Shahabat Mengenaihukuman mati Bagi Orang-orang Zindiq Serta Nabi dan Rasul Palsu
Pada dasarnya, sejak masa Rasulullah saw sudah ada orang yang mengaku dirinya Nabi  Rasul, diantaranya adalah Musailamah al-Habib yang berasal dari Yamamah dan al-Aswad bin Ka’ab al-’Ansiy dari Shuna’a.   Hanya, saja Rasulullah saw belum memerangi mereka dikarenakan kesibukan beliau menangani urusan-urusan lain yang lebih penting.   Dalam Sirah Ibnu Hisyam dituturkan, bahwa Musailamah pernah menulis surat dan mengirim dua orang utusan kepada Rasulullah saw.[Ibnu Hisyam,al-Sirah al-Nabawiyyah, hal 866]   

Di dalam sebuah hadits dituturkan, bahwasanya setelah Nabi saw membaca surat Musailamah, beliau bertanya kepada dua utusan Musailamah,”Bagaimana pendapat kalian berdua?”  Dua utusan itu menjawab, “Pendapat kami seperti yang ia katakan.”   Mendengar ini Nabi saw bersabda: “Kalaulah tidak karena utusan-utusan tidak boleh dibunuh, niscaya telah kupenggal leher kalian.”[HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud]

Semoga tulisan ini bisa memantapkan keimanan sekaligus menjelaskan tipu daya musuh-musuh Allah para nabi palsu yang selalu ada di setiap zaman.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...