Selasa, 12 Oktober 2021

Penjelasan Tentang Makna Al-Ummi Pada Diri Rosululloh SAW


Semua kaum muslimin sepakat, bahwa Nabi Akhir Zaman adalah seorang Nabi yang ummi, label ini melekat pada sosok agung Muhammad SAW dalam dua literatur utama; Al-Qur`an dan Hadits. Meski demikian, mereka kemudian berbeda pendapat untuk menentukkan makna dari kata ummi.

Mayoritas cendekiawan menterjemahkan kata ummi sebagai ketidakmampuan membaca dan menulis (buta huruf). Sementara sebagian lain berpendapat bahwa Rasulullah bukanlah seseorang yang buta huruf, ummi diterjemahkan dengan ketiadaan kitab suci, sehingga ummiyyun berarti umat yang tidak memiliki kitab suci, berbeda dengan Yahudi dan Nasrani.

Pendapat ini juga mendapatkan sokongan dari kaum orientalis memang tidak pernah berhenti untuk menyerang fondasi hukum Islam yang sudah mapan dalam bentuk al-Qur`an al-Karim. Dikhawatirkan mereka hendak menuju kepada tujuan orang-orang sebelum mereka yang mengatakan bahwa Al-Qur`an adalah bikinan Muhammad. Dan salah satu gerbang menuju kesana adalah dengan meruntuhkan keummian Rasulullah SAW dalam arti tidak mampu membaca dan menulis. Dengan demikian, kelak, mereka akan dengan mudah mengatakan bahwa Muhammad lah yang mengarang Al-Qur`an dengan kemampuannya.

Dalam Al-Quran Allah Swt. berfirman:

 هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

 “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumu’ah (62): 2) 

Ayat ini menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. adalah Rasul-Nya yang berasal dari kaum yang buta huruf. 

Imam Al Baidhawi Rahimahullah menjelaskan: 

{ هُوَ الذى بَعَثَ فِى الأميين } أي في العرب لأن أكثرهم لا يكتبون ولا يقرؤون . { رَسُولاً مّنْهُمْ } من جملتهم أمياً مثلهم

 (Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf) yaitu kepada kaum Arab karena sebagian besar mereka tidak menulis dan tidak membaca. (seorang rasul  di antara mereka) dari kumpulan mereka yang ummi sebagaimana mereka. (Anwarut Tanzil, 5/293. Mawqi’ At Tafasir) ‎

Secara bahasa, al-‘ummiy maknanya adalah :
نسبة إلى الأم أو الأمة ومن لا يقرأ ولا يكتب والعيي الجافي
“Merupakan nisbah kepada al-umm atau al-ummah dan orang yang tidak bisa membaca dan menulis. Juga dinisbatkan kepada orang yang susah bicara dan kasar perangainya” [Al-Mu’jamul-Wasiith, 1/58].
والأُمِّيّ الذي لا يَكْتُبُ قال الزجاج  الأُمِّيُّ الذي على خِلْقَة الأُمَّةِ لم يَتَعَلَّم الكِتاب فهو على جِبِلَّتِه وفي التنزيل العزيز ومنهم أُمِّيُّون لا يَعلَمون الكتابَ إلاّ أَمَانِيَّ ...... وكانت الكُتَّاب في العرب من أَهل الطائف تَعَلَّموها من رجل من أهل الحِيرة وأَخذها أَهل الحيرة عن أَهل الأَنْبار وفي الحديث إنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لا نَكْتُب ولا نَحْسُب أَراد أَنهم على أَصل ولادة أُمِّهم لم يَتَعَلَّموا الكِتابة والحِساب فهم على جِبِلَّتِهم الأُولى وفي الحديث بُعِثتُ إلى أُمَّةٍ أُمِّيَّة قيل للعرب الأُمِّيُّون لأن الكِتابة كانت فيهم عَزِيزة أَو عَديمة ومنه قوله بَعَثَ في الأُمِّيِّين رسولاً منهم
“Al-ummiy adalah orang yang tidak bisa menulis. Az-Zujaaj berkata : ‘Al-ummiy adalah orang yang berada pada kondisi awal umat (ketika dilahirkan) yang tidak mempelajari kitab dan tetap dalam keadaannya seperti itu (hingga dewasa)’. Dan dalam Al-Qur’an disebutkan : ‘Dan di antara mereka ada orang-orang ummiy (buta huruf), tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka’(QS. Al-Baqarah : 78).... Dulu, orang-orang yang dapat menulis dari kalangan bangsa ‘Arab dari penduduk Thaaif mempelajari ilmu tersebut dari laki-laki penduduk Hiirah, dimana penduduk Hiirah mengambil ilmu tersebut dari penduduk Anbaar. Dalam hadits disebutkan : ‘Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, tidak pandai menulis dan tidak pula berhitung’; maksudnya bahwa mereka (bangsa ‘Arab) berada dalam kondisi awal seperti saat dilahirkan oleh ibu mereka yang tidak belajar menulis dan berhitung, dan mereka tetap dalam kondisi mereka yang pertama tersebut (hingga dewasa). Dalam hadits disebutkan : ‘Aku diutus kepada umat yang ummiy’‎. Orang ‘Arab dikatakan sebagaial-ummiyyuun, karena pengetahuan menulis di sisi mereka merupakan sesuatu yang sangat jarang. Dari hal tersebut adalah firman-Nya :‘yang mengutus kepada kaum yang ummiy (buta huruf) seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri’ (QS. Al-Jumu’ah : 2)....” [Lisaanul-‘Arab, 12/22].
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr hafizhahullah mengatakan: 

الأمية: نسبة إلى الأميين، والمقصود بذلك كثير منهم، ولا يعني ذلك أنه لا توجد الكتابة والقراءة فيهم، بل كانت ففيهم ولكن بقلة، والحكم هنا الغالب، وقد كان النبي صلى الله عليه وسلم كذلك لا يقرأ ولا يكتب صلى الله عليه وسلم، وقد جاء بهذا القرآن الذي لو اجتمعت الإنس والجن على أن يأتوا بمثله لم يستطيعوا، وهو من عند الله عز وجل، وكونه أمياً لا يقرأ ولا يكتب هذا من أوضح الأدلة على أنه أتى بالقرآن من عند الله عز وجل، ولهذا يقول الله وجل: وَمَا كُنْتَ تَتْلُوا مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ [العنكبوت:48]، أي: لو أنه كان قارئاً كاتباً فيمكن أن يأتي به من عند نفسه، لكنه كان لا يقرأ ولا يكتب صلى الله عليه وسلم. 

Al Ummiyah: disandarkan kepada Al Ummiyyin, maksudnya adalah banyak di antara mereka, dan tidak berarti tidak ditemukan sama sekali tulisan dan bacaan pada mereka, bahkan hal itu ada pada mereka tapi sedikit, maknanya di sini menunjukkan yang umumnya. Nabi Saw. juga begitu, dia tidak membaca dan tidak menulis. Beliau datang dengan membawa Al-Qur’an, yang seandainya berkumpulnya manusia dan jin untuk mendatangkan yang sepertinya mereka tidak akan mampu membuatnya, dan Al-Qur’an adalah dari Allah ‘Azza wa Jalla,keadaan Beliau yang ummi tidak dapat membaca dan menulis merupakan di antara penjelasan yang menunjukkan bahwa Beliau datang dengan membawa Al-Qur’an dari sisi Allah ‘Azza wa Jalla, oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur’an) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu). (QS. Al Ankabut (29): 48) yaitu seandainya beliau bisa membaca dan menulis maka mungkin saja dia datang membawa Al-Qur’an yang berasal dari dirinya sendiri, tetapi beliau Saw. tidak bisa membaca dan tidak pula menulis.(Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, 12/498-499)
Begitulah umumnya keadaan orang ‘Arab dahulu. Bahkan ketika Islam datang, orang yang bisa membaca dan menulis hanya berjumlah 17 orang saja, diantaranya : ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy, Abu ‘Ubaidah, dan Yaziid bin Abi Sufyaan.
Oleh karenanya, sifat ummiy yang disandangkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak bisa membaca dan menulis. Banyak sekali dalil yang mendasarinya, antara lain :
1.     Allah ta’ala berfirman :
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأغْلالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul,Nabi yang ummiy yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung” [QS. Al-A’raaf : 157].
Qataadah rahimahullah ketika menafasirkan ayat : ‘(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummiy’, berkata :
وَهُوَ نَبِيُّكُمْ كَانَ أُمِّيًّا لا يَكْتُبُ
“Ia adalah nabi kalian (yaitu Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam) yang ummiy, tidak bisa menulis” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 13/157 no. 15205 & 13/163 no. 15223; sanadnya hasan].
Al-Baghawiy rahimahullah berkata :
قوله تعالى: { الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأمِّيَّ } وهو محمد صلى الله عليه وسلم. قال ابن عباس رضي الله عنهما هو نبيكم كان أميا لا يكتب ولا يقرأ ولا يحسب
“Dan firman-Nya : ‘(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummiy’; ia adalah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa berkata : ‘Ia adalah nabi kalian yang ummiy, tidak bisa menulis, membaca, dan berhitung” [Tafsiir Al-Baghawiy, 3/288].
2.     Allah ta’ala berfirman :
وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ
“Dan engkau tidak pernah membaca sebelumnya (Al Qur'an) sesuatu Kitab pun dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; apabila (engkau pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu)” [QS. Al-‘Ankabuut : 48].
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa ketika menafsirkan ayat di atas berkata :
لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ وَلا يَكْتُبُ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membaca dan menulis” [Diriwayatkan oleh Al-Baghawiy dalam As-Sunan Al-Kubraa, 7/42; sanadnya hasan].
Qataadah rahimahullah berkata :
كَانَ نَبِيُّ اللَّهِ لا يَقْرَأُ كِتَابًا قَبْلَهُ، وَلا يَخُطُّهُ بِيَمِينِهِ، قَالَ: كَانَ أُمِّيًّا، وَالأُمِّيُّ: الَّذِي لا يَكْتُبُ
“Nabiyullah tidak pernah membaca kitab sebelumnya, tidak pula menulis dengan tangan kanannya. Ia ada seorang yang ‎ummiy. Dan ummiy itu adalah orang yang tidak bisa menulis” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 20/50; sanadnya hasan].
Ath-Thabariy rahimahullah berkata :
يقول تعالى ذكره:(وَما كُنْتَ) يا محمد(تَتْلُوا) يعني: تقرأ (مِنْ قَبْلِهِ) يعني: من قبل هذا الكتاب الذي أنزلته إليك(مِنْ كِتَابٍ وَلا تخُطُّهُ بِيَمِينِكَ) يقول: ولم تكن تكتب بيمينك، ولكنك كنت أمِّيًّا(إذًا لارْتابَ المُبْطِلَونَ) يقول: ولو كنت من قبل أن يُوحَى إليك تقرأ الكتاب، أو تخطه بيمينك،(إذًا لارْتَابَ) يقول: إذن لشكّ -بسبب ذلك في أمرك، وما جئتهم به من عند ربك من هذا الكتاب الذي تتلوه عليهم- المبطلون القائلون إنه سجع وكهانة، وإنه أساطير الأوّلين
“Makna firman Allah ta’ala tersebut adalah: ‘Dan engkau, wahai Muhammad, tidak pernah membaca kitab sebelum kitab ini yang turun kepadamu. Dan engkau tidak pernah menulis dengan tangan kananmu, karena engkau seorang yang ummiy. ‘Apabila (engkau pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu)’ – maksudnya : seandainya engkau sebelum diwahyukan pernah membaca kitab atau menulisnya dengan tangan kananmu. ‘Niscaya benar-benar ragulah orang yang mengingkarimu’ – maksudnya : maka mereka sungguh akan ragu-ragu dengan sebab itu dalam urusanmu. Dan tidaklah engkau mendatangi mereka dengan kitab ini yang berasal dari sisi Rabbmu yang engkau bacakan kepada mereka, mereka akan mengingkari dengan mengatakan bahwa itu hanyalah sajak, dukun, dan dongeng orang-orang terdahulu” [Tafsiir Ath-Thabariy, 20/50].

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
ثم قال تعالى: { وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ } ، أي: قد لبثت في قومك -يا محمد -ومن قبل أن تأتي بهذا القرآن عُمرا لا تقرأ كتابا ولا تحسن الكتابة، بل كل أحد من قومك وغيرهم يعرف أنك رجل أمي لا تقرأ ولا تكتب. وهكذا صفته في الكتب المتقدمة، كما قال تعالى: { الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ } الآية [الأعراف: 157].
“Kemudian Allah ta’ala berfirman : ‘Dan engkau tidak pernah membaca sebelumnya (Al Qur'an) sesuatu Kitab pun dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu ; yaitu : sungguh engkau telah tinggal di kaummu – wahai Muhammad – sebelum diberikan Al-Qur’an ini kepadamu beberapa masa, engkau belum pernah membaca kitab dan engkau tidak pandai menulis. Bahkan, setiap seorang dari kaummu atau selain kaummu mengetahui bahwa engkau adalah seorang laki-laki yang ummiy, tidak bisa membaca dan menulis. Demikianlah sifatnya yang ada dalam kitab terdahulu, sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummiyyang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar’ (QS. Al-A’raaf : 157)” [Tafsiir Ibni Katsiir, 6/285].
3.     ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :
أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِي النَّوْمِ، فَكَانَ لَا يَرَى رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ، ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلَاءُ وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ، فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ وَهُوَ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا حَتَّى جَاءَهُ الْحَقُّ وَهُوَ فِي غَارِ حِرَاءٍ، فَجَاءَهُ الْمَلَكُ، فَقَالَ: اقْرَأْ، قَالَ: مَا أَنَا بِقَارِئٍ، قَالَ: فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ، ثُمَّ أَرْسَلَنِي، فَقَالَ: اقْرَأْ، قُلْتُ: مَا أَنَا بِقَارِئٍ، فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ، ثُمَّ أَرْسَلَنِي، فَقَالَ: اقْرَأْ، فَقُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ، فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ، ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ:ف " اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ { 1 } خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ { 2 } اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ { 3 } "........
“Wahyu yang pertama-tama datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamadalah berupa mimpi baik ketika tidur. Ketika itu, tidaklah beliau bermimpi kecuali tampak seperti terangnya pagi. Kemudian beliau mulai senang untuk menyendiri. Pada waktu itu beliau suka menyendiri di gua Hiraa’ dan melakukan tahannuts di sana -yaitu beribadah- selama beberapa malam sebelum akhirnya beliau pulang kepada keluarganya. Beliau pun telah menyiapkan bekal untuk itu. Kemudian beliau pulang menemui Khadiijah dan membawa bekal untuk kembali ke sana. Sampai suatu ketika datanglah kebenaran itu pada saat beliau berada di dalam gua Hiraa’. Malaikat datang kepadanya dan berkata : ‘Bacalah!’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : ‘Aku tidak bisa membaca’. Beliau menceritakan : Maka dia (malaikat) pun merengkuh badanku dan meliputi diriku hingga aku merasa tertekan. Lalu dia pun melepaskanku seraya berkata : ‘Bacalah’. Aku menjawab : ‘Aku tidak bisa membaca’. Lalu dia kembali merengkuh badanku dan meliputi diriku untuk kedua kalinya hingga aku merasa tertekan. Lalu dia pun melepaskanku seraya berkata : ‘Bacalah!’. Aku menjawab : ‘Aku tidak bisa membaca’. Lalu dia kembali merengkuh badanku dan meliputi diriku untuk ketiga kalinya lalu dia melepaskanku. Dia pun berkata : ‘Bacalah, dengan nama Rabbmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmu yang paling mulia……” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4].
4.     Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau pernah bersabda :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا، وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ، وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ

“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, tidak pandai menulis dan tidak pula berhitung. Satu bulan itu begini dan begini, yaitu kadang 29 hari, kadang 30 hari” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1913].
Dari keterangan di atas sangat jelas bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang ummiy, tidak bisa membaca dan menulis, sebagaimana umumnya keadaan masyarakat ‘Arab ketika itu. Ini bukanlah aib bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam – meski jika sifat itu ada pada orang lain akan menjadi aib - . Bahkan, menunjukkan kesempurnaan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau mampu membawa risalah meski tidak bisa membaca dan menulis, serta sebagai bukti bahwa apa yang disampaikan kepada beliau benar-benar wahyu Allah yang tidak beliau karang atau contek dari kitab Yahudi dan Nashrani.

Dalam keummi-annya,  Al Quran turun kepadanya. Ini justru menunjukkan keadaan tersebut adalah mu’jizat baginya. 

Imam Al ‘Aini menjelaskan:

 وكونه- عليه السلام- أميا من جملة المعجزة 

Dan keadaannya (Nabi Saw.) yang ummi termasuk di antara kumpulan mukjizat. (Imam Al ‘Aini, Syarh Sunan Abi Daud, 4/267. Cet. 1, 1999M-1420H. Maktabah Ar Rusyd) 

Jika ada yang bertanya, bukankah ada hadits yang berbunyi, 

ائْتُونِي بِالْكَتِفِ وَالدَّوَاةِ أَوْ اللَّوْحِ وَالدَّوَاةِ أَكْتُبْ لَكُمْ كِتَابًا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ أَبَدًا 

“Ambilkan untukku kertas dan tinta, aku tuliskan untuk kalian kitab yang setelahnya tidak membuat kalian tersesat selamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Apakah itu berarti Nabi Muhammad bisa membaca dan menulis? Bukankah ini berarti hadits shahih tersebut bertolak belakang dengan ayat Al-Qur’an atau hadits-hadits shahih lainnya? 

Dalam ilmu mukhtalif hadits, para ulama sudah menyiapkan jawaban atas hadits-hadits yang tampak saling bertentangan. 

Imam an-Nawawi berkata, “Mengetahui mukhtalif hadits merupakan bidang ilmu yang sangat penting, seluruh ulama dari semua golongan sangat perlu untuk mengetahuinya, yaitu adanya dua hadits yang tampaknya bertentangan kemudian digabungkan atau dikuatkan salah satunya. Hal ini dapat dilakukan secara sempurna oleh para ulama yang menguasai hadits dan fiqih serta ahli ushul yang mendalami makna hadits.” (At-Taqrib 2/651-652 -Tadrib Rawi-.) 

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, “Anggapan kontradiksi dan kerumitan itu hanyalah ada dalam pemahaman seorang, bukan dalam ucapan Nabi. Oleh karenanya, sewajibnya bagi setiap mukmin untuk menyerahkan hal yang dinilainya rumit tersebut kepada ahlinya dan hendaknya dia menyadari bahwa di atas seorang yang alim ada yang lebih tinggi darinya.” (Miftah Daar Sa’adah 3/383) 

Oleh karena itu, selain mengetahui hadits-hadits Nabi tersebut, kita juga sudah seharusnya membaca kitab-kitab penjelas isi hadits-hadits tersebut, seperti Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi dan Fathul Bari (Syarah Shahih Bukhari) karya Imam Ibnu Hajar. Yaitu agar tidak terjadi salah duga dan salah persepsi tentang dua hadits yang sepertinya tampak bertentangan padahal kenyataannya tidak. 

Dalam memahami hadits shahih di atas, Imam Nawawi mengatakan, 

أكتب لكم أي آمر بالكتابة ومنها أن الأمراض ونحوها لا تنافي النبوة ولا تدل على سوء الحال 

“(Saya tuliskan untuk kalian) yaitu perintah untuk membuat tulisan dan darinya merupakan berbagai cacat dan semisalnya yang tidak menafikan kenabiannya dan tidak pula menunjukkan buruknya keadaan.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 11/94) 

Pemahaman ini juga dikuatkan oleh riwayat lain bahwa jika Beliau ingin menulis maka sahabatnya yang menuliskannya. 

Abu Hurairah Ra. menceritakan bahwa ketika Rasulullah Saw. kembali menguasai Mekkah, beliau berkhutbah di hadapan manusia. Ketika beliau berpidato, berdirilah seseorang dari Yaman bernama Abu Syah, dan berkata:

 يارسول اللّه اكتبوا لي، فقال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: "اكتبوا لأبي شاه 

“Ya Rasulullah, tuliskanlah untukku.” Lalu Rasulullah bersabda: “Tuliskan untuk Abu Syah.” 

Al Walid (salah seorang perawi hadits ini) bertanya kepada Al Auza’i: 

ما قوله "اكتبوا لأبي شاهٍ؟" قال: هذه الخطبة التي سمعها من رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم 

Apa maksud sabdanya: “Tuliskan untuk Abu Syah.” Dia menjawab: “Khutbah yang dia (Abu Syah) dengar dari Rasulullah Saw.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At Tirmidzi, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, Ibnu Hibban, dan Ahmad) 

عن عائشة أم المؤمنين أنها قالت أول ما بدئ به رسول الله صلى الله عليه وسلم من الوحي الرؤيا الصالحة في النوم فكان لا يرى رؤيا إلا جاءت مثل فلق الصبح ثم حبب إليه الخلاء وكان يخلو بغار حراء فيتحنث فيه وهو التعبد الليالي ذوات العدد قبل أن ينزع إلى أهله ويتزود لذلك ثم يرجع إلى خديجة فيتزود لمثلها حتى جاءه الحق وهو في غار حراء فجاءه الملك فقال اقرأ قال ما أنا بقارئ قال فأخذني فغطني حتى بلغ مني الجهد ثم أرسلني فقال اقرأ قلت ما أنا بقارئ فأخذني فغطني الثانية حتى بلغ مني الجهد ثم أرسلني فقال اقرأ فقلت ما أنا بقارئ فأخذني فغطني الثالثة ثم أرسلني فقال اقرأ باسم ربك الذي خلق خلق الإنسان من علق اقرأ وربك الأكرم فرجع بها رسول الله صلى الله عليه وسلم يرجف فؤاده فدخل على خديجة بنت خويلد رضي الله عنها فقال زملوني زملوني فزملوه حتى ذهب عنه الروع فقال لخديجة وأخبرها الخبر لقد خشيت على نفسي فقالت خديجة كلا والله ما يخزيك الله أبدا إنك لتصل الرحم وتحمل الكل وتكسب المعدوم وتقري الضيف وتعين على نوائب الحق فانطلقت به خديجة حتى أتت به ورقة بن نوفل بن أسد بن عبد العزى ابن عم خديجة وكان امرأ قد تنصر في الجاهلية وكان يكتب الكتاب العبراني فيكتب من الإنجيل بالعبرانية ما شاء الله أن يكتب وكان شيخا كبيرا قد عمي فقالت له خديجة يا ابن عم اسمع من ابن أخيك فقال له ورقة يا ابن أخي ماذا ترى فأخبره رسول الله صلى الله عليه وسلم خبر ما رأى فقال له ورقة هذا الناموس الذي نزل الله على موسى يا ليتني فيها جذعا ليتني أكون حيا إذ يخرجك قومك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أومخرجي هم قال نعم لم يأت رجل قط بمثل ما جئت به إلا عودي وإن يدركني يومك أنصرك نصرا مؤزرا ثم لم ينشب ورقة أن توفي وفتر الوحي

Daripada Ummul Mu'minin Aisyah ranha, katanya: "Keadaan yang mula-mula sekali Rasulullah menerima wahyu dengannya adalah melalui mimpi yang baik di dalam tidur. Baginda tidak melihat satu mimpi pun melainkan berlalunya ia seperti cahaya subuh. Kemudian, hatinya telah dijadikan cinta kepada bersendirian, dan Baginda bersendirian mengasingkan diri dari orang ramai di gua Hiraa'. Maka, Baginda beribadat di dalamnya dan ia adalah peribadatan waktu malam-malam yang memiliki bilangan, sebelum Baginda merasa rindu kepada keluarganya. Baginda pun melakukan persiapan untuk itu dan kembali kepada Khadijah (isterinya), maka Baginda melakukan persiapan lagi untuk malam-malam seperti sebelumnya sehinggalah datang kepadanya kebenaran, sedangkan Baginda berada di dalam gua Hiraa'. Maka datanglah kepadanya Malaikat (Jibrail as) dan berkata: "Bacalah". Katanya: "Tidaklah aku pandai membaca". Katanya: "Maka dia memelukku dan melitupi diriku dengan sekuat-kuatnya, kemudian dia melepaskanku". Maka dia berkata (sekali lagi): "Bacalah". Aku menjawab: "Tidaklah aku pandai membaca". Maka dia memelukku dan melitupiku untuk kali kedua dengan sekuat-kuatnya, kemudian dia melepaskanku". Maka dia berkata (sekali lagi): "Bacalah". Aku menjawab: "Tidaklah aku pandai membaca". Maka dia memelukku dan melitupiku untuk kali ketiga dengan sekuat-kuatnya, kemudian dia melepaskanku". Kemudian dia berkata: "Bacalah dengan nama Tuhanmu. Yang menciptakan manusia daripada segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu yang Maha Pemurah". HR Bukhari

Hadis ini menjelaskan tentang bagaimana keadaan permulaan Rasulullah menerima wahyu, ketika Baginda mula-mula didatangi oleh Malaikat Jibrail as. Pada ketika itu, Baginda belum pandai menulis atau membaca. Baginda masih dalam keadaan buta huruf. Dengan ini, nampak sangatlah jelas, penulis artikel ini tidak mengerti zaman / waktu terjadinya peristiwa dalam hadis ini, sekaligus menyebabkan dia salah faham terhadap maksud kandungannya. Adapun perkataan penulis artikel setelahnya:

"Amatlah mengherankan jika Jibril memerintahkan Muhammad membaca, namun ternyata ia tidak dapat membaca."

Sebenarnya, perintah Jibrail as. supaya Rasulullah membaca, walaupun ketika itu Baginda tidak tahu membaca, hanyalah berniat untuk menegaskan kepentingan pembacaan dan memasukkan satu rasa semangat ke dalam jiwa Baginda supaya memerhatikan arahan pembacaan itu dengan sebaik-baiknya, bukanlah berniat untuk mengemukakan satu bentuk " al-amru " [ الأَمْرُ ] atau " perintah " yang mustahil dilakukan oleh orang yang diperintahkan, kerana seperti mana yang dapat difahami, Baginda masih tidak tahu membaca, maka tidak ada maksud arahan tersebut dikeluarkan untuk "memaksa" Baginda melakukan sesuatu yang dia sendiri tidak mampu melakukannya. Kemudian, ada satu maksud lain: Tujuan disebutkan sebanyak 3 kali arahan "bacalah", disertai dengan "pelukan" Jibrail as. kepada Baginda adalah untuk memasukkan kekuatan rohani dan pengajaran terhadap ilmu pembacaan tersebut, daripada Jibrail as, ke dalam jiwa Baginda. Maka, untuk memastikan penyampaian tersebut, dilakukan perbuatan "memeluk" itu.

Adapun setelah diturunkannya Al Qur’an maka para ulama telah berselisih tentang apakah Rasulullah saw tetap dalam keadaan tidak bisa membaca dan menulis ataukah beliau saw telah mempelajari baca tulis.

Sebagian ulama mengatakan bahwa ke-ummiyan-nya saw itu tidaklah berlanjut, berdasarkan dalil-dalil berikut :

1. Didalam ”Shahih Bukhori” dijelaskan bahwa beliau saw telah merubah didalam lembaran perjanjian Hudaibiyah satu kalimat yang menyebutkan ”Muhammad Rasulullah” menjadi ”Muhammad bin Abdullah” namun beliau belum begitu pandai dalam menulis.

2. Bahwa Rasulullah saw pernah membaca lembaran Uyainah bin Hishn serta menjelaskan maknanya.

3. Bahwa Rasulullah saw pernah mengatakan tentang al Masih ad Dajjal ”Terdapat tulisan diantara kedua matanya (dajjal) kafir”

Adapun jumhur ulama berpendapat bahwa Rasulullah saw tetap dalam keadaan ummiy dimana hikmah keummiyannya saw itu tetaplah ada sehingga tidak terdapat celah untuk menyerang kandungan yang ada didalam risalahnya maupun Al Qur’an yang telah diterimanya sebagai sebuah wahyu dari Allah swt selama diturunkannya secara berangsur-angsur hingga akhir hayatnya saw.

Sedangkan jawaban jumhur terhadap selain mereka adalah bahwa Nabi saw telah menulis sebagian kalimat tidaklah menghapuskan sifat keummiyannya saw. Banyak orang-orang yang ummiy pada hari ini yang mampu menulis namanya sendiri lalu menandatanganinya dan pada saat yang sama dirinya tidaklah bisa membaca apa yang ditandatanganinya itu, dan mereka tetaplah ummiy.

Begitulah, dan apabila keummiyan Rasulullah saw merupakan sifat yang memiliki kesempurnaan dan hikmah maka sesungguhnya keummiyan orang-orang yang berada ditengah-tengah kita adalah sifat yang harus kita hilangkan berdasarkan nash-nash yang banyak tentang anjuran untuk belajar dan mengajar. Membaca merupakan kunci yang paling utama untuk itu. Dan diantara petunjuk Rasulullah saw didalam tebusan tawanan perang badar adalah mengajarkan membaca dan menulis bagi sebagian anak-anak kaum Anshor. (Fatawa al Azhar juz VIII hal 176)
Wallohu A'lam Bisshowab‎

Penjelasan Jumlah Dan Nama Para Utusan Alloh


Nabi adalah manusia yang diberikan wahyu kepadanya dengan membawa syariat untuk diamalkan dan tidak diperintahkan untuk menyampaikannya. Sedangkan rasul adalah manusia yang diberikan wahyu kepadanya untuk diamalkan dan diperintahkan untuk menyampaikannya. Setiap rasul adalah nabi akan tetapi tidak setiap nabi adalah rasul. Muhamaad saw adalah nabi dan rasul, firman Allah swt :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا

Artinya : “Hai Nabi, Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan.” (QS. Al Ahzab : 45)

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

Artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab : 40)

Ayat ini menggabungkan antara dua sifat beliau yaitu kenabian dan kerasulan.
Dan terkadang suatu lafazh menempati lafazh yang lainnya, sebagaimana firman Allah swt :

وَكَمْ أَرْسَلْنَا مِن نَّبِيٍّ فِي الْأَوَّلِينَ ﴿٦﴾
وَمَا يَأْتِيهِم مِّن نَّبِيٍّ إِلَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِؤُون ﴿٧﴾

Artinya : “Berapa banyaknya nabi-nabi yang telah Kami utus kepada umat-umat yang terdahulu. Dan tiada seorang nabipun datang kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya.” (QS. Az Zukhruf : 6 – 7)

Adapun jumlah dari nabi dan rasul amatlah banyak, firman Allah swt :

Artinya : “Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.” (QS. Fathir : 24)

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ مِنْهُم مَّن قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُم مَّن لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ

Artinya : “Dan Sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (QS. Ghafir : 78)

Diantara nabi dan Rasul ada yang Allah sebutkan kisahnya dalam Al-Quran, dan banyak para nabi dan rasul yang tidak Allah kisahkan, Allah berfirman:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ

 “Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu…” [Al-Mu’min: 78]

Jumlah nabi dan rasul sangat banyak, karena pada tiap-tiap umat Allah telah utus rasul kepada mereka.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, [An-Nahl:36]

Bahkan dalam satu negeri bisa jadi Allah mengutus lebih dari seorang Rasul sebagaimana Allah kisahkan dalam surat Yasin tentang penduduk sebuah negeri yang Allah utus di tengah mereka tiga orang rasul-Nya.

وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلا أَصْحَابَ الْقَرْيَةِ إِذْ جَاءَهَا الْمُرْسَلُونَ – إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُونَ

“Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka; (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu”. [Yasin:13-14]

Tentang jumlah nabi dan Rasul, Abu Dzar Al-Ghifari Ra pernah bertanya kepada Rasulullah saw:

يَا رَسُوْلَ اللهِ كَمْ عِدَّةُ اْلاَنْبِيَاءِ ؟ قَالَ : مِائَةُ اَلْفٍ وَاَرْبَعَةٌ وَعِشْرُوْنَ اَلْفًا اَلرُّسُلُ مِنْ ذَالِكَ ثَلاَثَةُ مِائَةٍ وَخَمْسَةَ عَشَرَ جَمًّا غَفِيْرًا

 “Wahai Rasulullah berapa jumlah keseluruhan para nabi ? Rasul bersabda: “Jumlah seluruh nabi dan rasul seratus dua puluh empat ribu (124.000) nabi,diantara mereka yang termasuk rasul sejumlah tiga ratus lima belas, suatu jumlah yang banyak.” Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad dalam Al-Musnad, dishahihkan Al-Albani dalam Al-Misykah (3/1599no.5732) dan dalam Ash-Shahihah no. 2668.

Riwayat lain Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, berapakah jumlah rasul?” Beliau menjawab:

ثلاثمائة وبضعة عشر جمّاً غفيرا

“Sekitar tiga ratus belasan orang. Banyak sekali.” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 129 dan dishahihkan al-Albani dalam al–Misykah 5737).

Sabda Rasulullah SAW:

عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ إِلَى أَنْ قَالَ فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ كَمِ النَّبِيُّونَ؟ قَالَ :« مِائَةُ أَلْفِ نَبِىٍّ وَأَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ أَلْفِ نَبِىٍّ ». قُلْتُ : كَمِ الْمُرْسَلُونَ مِنْهُمْ؟ قَالَ :« ثَلاَثُمِائَةٍ وَثَلاَثَةَ عَشَرَ »(الحاكم ، والبيهقى فى شعب الإيمان) أخرجه الحاكم (2/652 ، رقم 4166) ، والبيهقى فى شعب الإيمان (1/148 ، رقم 131) . وأخرجه أيضًا : البيهقى فى السنن الكبرى (9/4 ، رقم 17489) .

Dari Abu Dzar r.a berkata, aku masuk ke masjid dimana beliau di sana, maka aku bertanya kepada Nabi , 'Berapakah jumlah Nabi semuanya?" Nabi menjawab, "Semuanya ada 124.000 nabi.” ”Dan berapakah jumlah Rasul?” beliau menjawab:” 313 Rasul.” ( HR. Hakim, Al Baihaqi)

Ada juga yang mengatakan 314 (sebagaimana pendapat Syeikh Al Malawi dalam Kifayatul Awwam) atau 315 orang rasul.
Sebahagian Ulama’ berpendapat bahawa Jumlah Rasul itu 314. Dari mana angka 314 tersebut ?
Maulana Syeikh menyatakan bilangan nabi 240,000 dan bilangan rasul 314 orang.
Dari kata (مُحَمَّدْ) yang terdiri dari 3 huruf mim ( م atau مِيْمْ atau م م ي), 1 huruf kha ( ح atau حاَatau ح ا) dan 1 huruf dal ( د atau دَالْ atau د ا ل) dan huruf arab itu mempunyai nilai numerik yaitu:

م = 40; ي = 10 maka مِيْمْ atau م ي م= 40+10+40 = 90

ح = 8; ا = 1 maka حاَ atau ح ا = 8+1=9

د = 4; ا = 1; ل = 30 maka دَالْ atau د ا ل = 4+1+30 = 35

Maka jumlah numeriknya = ( (90x3) + (9x1) + (35x1) = 270+9+35=314

Riwayat yang menyebutkan jumlah nabi dan Rasul juga kita dapatkan dari hadits Abu Umamah Ra. Diriwayatkan dalam hadits tersebut, seorang bertanya kepada Rasulullah saw. Wahai Rasulullah, apakah Adam seorang Nabi ? Beliau menjawab: Ya, beliau seorang nabi yang diajak bicara Allah ta’ala. Dia bertanya: Lalu berapa generasikah antara Adam dan Nuh ? Beliau menjawab: Sepuluh generasi. Wahai Rasulullah, berapakah jumlah Rasul ? beliau bersabda: Tigaratus limabelas.

Hadits ini diriwayatkan Ibnu Hibban dalamShahihnya, Ibnu Mandah dalam Kitabu At-Tauhid, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq, Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Al-Hakim berkata: “Hadits ini Shahih menurut syarat Muslim.” dan disepakati Adz-Dzahabi rahimahullah.

Jumlah mereka sangat banyak, karena umat manusia yang butuh nabi sangat banyak. Manusia butuh bimbingan wahyu dari Allah. Dan itu hanya bisa dilakukan melalui para nabi dan rasul yang mendapatkan wahyu. Allah berfirman,

وَإِنْ مِنْ أُمَّةٍ إِلَّا خَلَا فِيهَا نَذِيرٌ

“Tidak ada satupun umat, melainkan di lingkungan mereka telah ada sang pemberi peringatan.” (QS. Fathir: 24)

Dan dari sekian banyak nabi itu, tidak semua kita ketahui namanya maupun sejarahnya. Kita kembalikan ilmunya kepada Allah, dan tidak perlu ada upaya untuk berusaha menggalinya. Karena syariat tidak pernah membebani kita dengan mencari tahu masalah ghaib yang tidak ada penjelasannya dalam al-Quran maupun sunnah. Kecuali jika itu dibahas dalam rangka meluruskan mitos yang berkembang di masyarakat.

Masih banyak pendapat tentang hal ini dan tidak perlu disebutkan karena kita tidaklah dibebankan kecuali hanya sebatas mengetahui para rasul yang disebutkan didalam Al Qur’an al Karim yang berjumlah 25 orang, yang kebanyakan mereka disebutkan didalam firman Allah surat al An’am ayat 83 – 86 :

وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَّن نَّشَاء إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ ﴿٨٣﴾
وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَقَ وَيَعْقُوبَ كُلاًّ هَدَيْنَا وَنُوحًا هَدَيْنَا مِن قَبْلُ وَمِن ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ ﴿٨٤﴾
وَزَكَرِيَّا وَيَحْيَى وَعِيسَى وَإِلْيَاسَ كُلٌّ مِّنَ الصَّالِحِينَ ﴿٨٥﴾
وَإِسْمَاعِيلَ وَالْيَسَعَ وَيُونُسَ وَلُوطًا وَكُلاًّ فضَّلْنَا عَلَى الْعَالَمِينَ ﴿٨٦﴾

Artinya : “Dan Itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui. Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) Yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. semuanya Termasuk orang-orang yang shaleh. Dan Ismail, Ilyasa’, Yunus dan Luth. masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya).” (QS. Al An’am : 83 – 86)

Terkadang Allah ceritakan dalam al-Quran beberapa nabi tanpa menyebut nama sama sekali.

Diantaranya, firman Allah,

أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلَإِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلَّا تُقَاتِلُوا

“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah.” Nabi mereka itu menjawab: “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang.?” (QS. al-Baqarah: 246).

Dikisahkan dalam tafsir Ibnu Katsir, dari Wahb bin Munabih,

Setelah lama Bani Israil ditinggal mati Nabi Musa ‘alaihis salam, mereka melakukan berbagai macam pelanggaran syariat, hingga Allah menghukum mereka dengan munculnya kerajaan dzalim yang menjajah mereka. Banyak yang dijarah, dibunuh, hingga taurat dirampas mereka. Hingga ada seorang wanita hamil, yang berharap akan melahirkan anak lelaki calon nabi. Allah kabulkan harapan mereka, terlahirlah seorang anak lelaki yang diberi nama Syam’un, dalam riwayat lain Samuel, yang arti dari nama ini adalah “Allah mendengar.”

Setelah dewasa, nabi ini diminta oleh masyarakat Bani Israil, agar menunjuk seseorang sebagai pemimpin mereka, sehingga bisa dilakukan perang melawan penjajah. Lalu sang nabi menunjuk orang yangn soleh namanya Thalut. Hingga terjadilah perang melawan Jalut, dan Daud berhasil membunuh Jalut. (Tarsir Ibn Katsir, 1/665).

Tentang siapakah nama nabi itu, ada dua pendapat ulama. Ada yang mengatakan Syam’un dan ada yang mengatakan Syamuel. (Tarsir Ibn Katsir, 1/665)

Dalam Qashas al-Anbiya ketika menjelaskan persitiwa ini, dinyatakan,

قال أكثر المفسرين : كان نبي هؤلاء القوم المذكورين في هذه القصة هو شمويل وقيل شمعون وقيل هما واحد وقيل يوشع وهذا بعيد

Mayoritas ahli tafsir mengatakan, “Nabi dari bani israil yang disebut dalam kisah itu adalah Samuel. Ada yang mengatakan, Syam’un. Ada yang mengatakan, dua nama itu sama orangnya. Dan ada yang mengatakan, itu nabi Yusya, dan ini pendapat yang jauh.” (Qashas al-Anbiya, hlm. 447)

Kemudian Allah juga berfirman di surat Yasin,

وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلًا أَصْحَابَ الْقَرْيَةِ إِذْ جَاءَهَا الْمُرْسَلُونَ ( ) إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُونَ

Sampaikan kepada mereka permisalan yang terjadi, yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka ( ) (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang di utus kepadamu.” (QS. Yasin: 13 – 14)

Dalam ayat ini, Allah tidak menyebutkan siapa nama tiga Nabi yang diutus itu. Ibnu Katsir menyebutkan riwayat dari Ibnu Jurair, dari Wahb bin Sulaiman, dari Syuaib al-Juba’i, beliau mengatakan,

كان اسم الرسولين الأولين شمعون ويوحنا، واسم الثالث بولص، والقرية أنطاكية

Nama dua rasul yang pertama adalah Syam’un dan Yuhana. Sementara Rasul yang ketiga namanya Paulus. Dan negeri yang didatangi namanya Anthakiyah. (Tafsir Ibnu Katsir, 6/569).

Meskipun Ibnu Katsir juga menyebutkan riwayat lain dengan nama yang berbeda..

Kita mengimani keberadaan nabi yang Allah sebutkan dalam al-Quran itu, namun apakah namanya Syam’un? Tidak ada keterangan dari al-Quran maupun hadis tentang itu. Yang ada hanya riwayat dari para ulama.

313 NAMA RASUL ALLAH

Telah kita ketahui bersama bahwa nama-nama rasul yang wajib kita hafal dan ketahui ada 25. Sedangkan jumlah keseluruhan para rasul ada 313. Mungkin ini yang tidak banyak diketahui orang, yakni tentang nama-nama para rasul yang berjumlah 313.

Al-Alim al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani (kelahiran Tanara, Serang, Banten tahun 1813 M dan wafat di Mekkah tahun 1897 M), dalam kitabnya yang berjudul ats-Tsamaru al-Yani’ah fi Riyadh al-Badi’ah menjelaskan:

فمن كتب اسمائهم ووضعهم فى بيته او قراها اوحملها تعظيما لهم وتكريما لذواتهم واحتراما لنبوتهم واستمدادا من هممهم العالية واستغاثة بارواحهم المقدسة سهل عليه امورالدنيا والاخرة وفتح عليه ابواب الخيرات ونزول الرحمة والبركات ودفع عنه الشرور , وقال صلى الله عليه وسلم حياتهم ومماتهم سواء فهم متصرفون في الارض والسماء.

“Barangsiapa yang menulis nama-nama rasul dan meletakkannya di rumah atau membacanya atau membawanya dengan mengagungkan mereka, memuliakan keberadaan mereka, menghormati kenabian mereka, berharap dari keinginan mereka yang tinggi dan beristighatsah dengan ruh-ruh mereka yang suci, maka akan dimudahkan oleh Allah Swt. segala urusan di dunia dan akhirat. Dan akan dibukakan pintu-pintu kebaikan dan diturunkan rahmat, keberkahan serta menolak segala kejelekan. Rasulullah Saw. bersabda: “Hidup dan matinya mereka (para rasul) itu sama saja, tetap beraktivitas (hidup) di bumi dan di langit.”

والمشهور ان المرسلين ثلاثمائة وثلاثا عشر كما في حديث ابي ذر وهاهي اسماؤهم على ماروى عن انس : ادم , شيث, انوش, قيناق, مهيائيل, اختوخ, ادريس, متوشلخ, نوح, هود, عبهف, مرداريم, شارع, صالح, ارفخشذ, صفوان, حنظلة, لوط, عصان, ابراهيم, اسمعيل, اسحق, يعقوب, يوسف, شمائيل, شعيب, موسى, لوطان, يعوا, هرون, كليل, يوشع, دانيال, بونش, بليا, ارميا, يونس, الياس, سليمان, داود, اليسع, ايوب, اوس, ذانين, الهميع, ثابت, غابر, هميلان, ذوالكفل, عزير, عزقلان, عزان, الوون, زاين, عازم, هريد, شاذن, سعد, غالب, شماس, شمعون, فياض, قضا, سارم, عيناض, سايم, عوضون, بيوزر, كزول, باسل, باسان, لاخين, غلضات, رسوغ, رشعين, المون, لوغ,برسوا, الاظيم, رشاد, شريب, هيبل, ميلان, عمران, هرييب, جريت, شماع, صريخ, سفان, قبيل, ضعضع, عيصون, عيصف, صديف, برواء,حاصيم, هيان, عاصم, وجان, مصداع, عاريس, شرحبيل, خربيل, حزقيل, اشموئيل, غمصان, كببر, سباط, عباد بثلخ, ريهان, عمدان, مرقان, حنان, لوحنا, ولام, بعيول, بصاص, هبان, افليق, قازيم, نصير, اوريس, مضعس, جذيمة, شروحيل, معنائيل, مدرك, حارم, بارغ هرميل, جابد, زرقان, اصفون, برجاج, ناوى, هزرابن اشبيل, عطاف, مهيل, زنجيل, شمطان, القوم, حوبلد, صالح, سانوخ, راميل, زاميل, قاسم, باييل, بازل, كبلان, باتر, حاجم, جاوح, جامر, حاجن, راسل, واسم, رادن, سادم, شوشا, جازان, صاحد, صحبان, كلوان, صاعد,غفران, غاير, لاحون, بلدخ, هيدان, لاوى, هيراء, ناصى, حانك, حافيخ, كاشيخ, لافث, نايم, حاشم, هجام, ميزاد,اسيمان, رحيلا, لاطف, برطفون, ابان, عورائض, مهمتصر, عانين, نماخ, هندويل, مبصل, مضعتام, طميل, طابيح, مهمم حجرم, عدون, منبد, بارون, روان, معبن, مزاحم, يانيد, لامى, فردان,جابر, سالوم, عيص, هربان, جابوك, عابوج, مينات, قانوح, دربان, صاخم, حارض, حراض, حرقيا, نعمان, ازميل, مزحم, ميداس, يانوح, يونس, ساسان, فريم, فريوش, صحيب, ركن, عامر, سحنق, زاخون, حينيم, عياب, صباح, عرفون, مخلاد, مرحم, صانيد, غالب, عبدالله, ادرزين, عدسار, زهران, بايع, نظير, هورين, كايواشيم, فتوان, عابون, رباخ, صابح, مسلون, حجان, روبال, رابون, معيلا, سايعان, ارجيل, بيغين, متضح, رحين, محراس, ساخين, حرفان, مهمون, حوضان, البؤن, وعد, رخيول, بيغان, بتيحور, حوظبان, عامل, زحرام, عيس, صبيح, يطبع, جارح, صهيب, صبحان, كلمان, يوخى, سميون, عرضون, حوحر, يلبق, بارع, عائيل, كنعان, حفدون, حسمان, يسمع, عرفور, عرمين, فضحان, صفا, شمعون, رصاص, اقلبون, شاخم, خائيل, احيال, هياج, زكريا, يحيى, جرجيس, عيسى بن مريم, محمد صلى الله عليه وسلم عليهم اجمعين .

“Dan menurut pendapat yang masyhur, sesungguhnya para rasul itu berjumlah 313, seperti yang disebutkan dalam hadits riwayat Abu Dzar Ra. Dan inilah nama-nama rasul itu seperti yang diriwayatkan dari sahabat Anas Ra.:

1.      Adam As.
2.      Tsits As.
3.      Anuwsy As.
4.      Qiynaaq As.
5.      Mahyaa’iyl As.
6.      Akhnuwkh As.
7.      Idris As.
8.      Mutawatsilakh As.
9.      Nuh As.
10.  Hud As.
11.  Abhaf As.
12.  Murdaaziyman As.
13.  Tsari’ As.
14.  Sholeh As.
15.  Arfakhtsyad As.
16.  Shofwaan As.
17.  Handholah As.
18.  Luth As.
19.  Ishoon As.
20.  Ibrahim As.
21.  Isma’il As.
22.  Ishaq As.
23.  Ya’qub As.
24.  Yusuf As.
25.  Tsama’il As.
26.  Su’aib As.
27.  Musa As.
28.  Luthoon As.
29.  Ya’wa As.
30.  Harun As.
31.  Kaylun As.
32.  Yusya’ As.
33.  Daaniyaal As.
34.  Bunasy As.
35.  Balyaa As.
36.  Armiyaa As.
37.  Yunus As.
38.  Ilyas As.
39.  Sulaiman As.
40.  Daud As.
41.  Ilyasa’ As.
42.  Ayub As.
43.  Aus As.
44.  Dzanin As.
45.  Alhami’ As.
46.  Tsabits As.
47.  Ghobir As.
48.  Hamilan As.
49.  Dzulkifli As.
50.  Uzair As.
51.  Azkolan As.
52.  Izan As.
53.  Alwun As.
54.  Zayin As.
55.  Aazim As.
56.  Harbad As.
57.  Syadzun As.
58.  Sa’ad As.
59.  Gholib As.
60.  Syamaas As.
61.  Syam’un As.
62.  Fiyaadh As.
63.  Qidhon As.
64.  Saarom As.
65.  Ghinadh As.
66.  Saanim As.
67.  Ardhun As.
68.  Babuzir As.
69.  Kazkol As.
70.  Baasil As.
71.  Baasan As.
72.  Lakhin As.
73.  Ilshots As.
74.  Rasugh As.
75.  Rusy’in As.
76.  Alamun As.
77.  Lawqhun As.
78.  Barsuwa As.
79.  Al-‘Adzim As.
80.  Ratsaad As.
81.  Syarib As.
82.  Habil As.
83.  Mublan As.
84.  Imron As.
85.  Harib As.
86.  Jurits As.
87.  Tsima’ As.
88.  Dhorikh As.
89.  Sifaan As.
90.  Qubayl As.
91.  Dhofdho As.
92.  Ishoon As.
93.  Ishof As.
94.  Shodif As.
95.  Barwa’ As.
96.  Haashiim As.
97.  Hiyaan As.
98.  Aashim As.
99.  Wijaan As.
100.          Mishda’ As.
101.          Aaris As.
102.          Syarhabil As.
103.          Harbiil As.
104.          Hazqiil As.
105.          Asymu’il As.
106.          Imshon As.
107.          Kabiir As.
108.          Saabath As.
109.          Ibaad As.
110.          Basylakh As.
111.          Rihaan As.
112.          Imdan As.
113.          Mirqoon As.
114.          Hanaan As.
115.          Lawhaan As.
116.          Walum As.
117.          Ba’yul As.
118.          Bishosh As.
119.          Hibaan As.
120.          Afliq As.
121.          Qoozim As.
122.          Ludhoyr As.
123.          Wariisa As.
124.          Midh’as As.
125.          Hudzamah As.
126.          Syarwahil As.
127.          Ma’n’il As.
128.          Mudrik As.
129.          Hariim As.
130.          Baarigh As.
131.          Harmiil As.
132.          Jaabadz As.
133.          Dzarqon As.
134.          Ushfun As.
135.          Barjaaj As.
136.          Naawi As.
137.          Hazruyiin As.
138.          Isybiil As.
139.          Ithoof As.
140.          Mahiil As.
141.          Zanjiil As.
142.          Tsamithon As.
143.          Alqowm As.
144.          Hawbalad As.
145.          Solih As.
146.          Saanukh As.
147.          Raamiil As.
148.           Zaamiil As.
149.          Qoosim As.
150.          Baayil As.
151.          Yaazil As.
152.          Kablaan As.
153.          Baatir As.
154.          Haajim As.
155.          Jaawih As.
156.          Jaamir As.
157.          Haajin As.
158.          Raasil As.
159.          Waasim As.
160.          Raadan As.
161.          Saadim As.
162.          Syu’tsan As.
163.          Jaazaan As.
164.          Shoohid As.
165.          Shohban As.
166.          Kalwan As.
167.          Shoo’id As.
168.          Ghifron As.
169.          Ghooyir As.
170.          Lahuun As.
171.          Baldakh As.
172.          Haydaan As.
173.          Lawii As.
174.          Habro’a As.
175.          Naashii As.
176.          Haafik As.
177.          Khoofikh As.
178.          Kaashikh As.
179.          Laafats As.
180.          Naayim As.
181.          Haasyim As.
182.          Hajaam As.
183.          Miyzad As.
184.          Isyamaan As.
185.          Rahiilan As.
186.          Lathif As.
187.          Barthofun As.
188.          A’ban As.
189.          Awroidh As.
190.          Muhmuthshir As.
191.          Aaniin As.
192.          Namakh As.
193.          Hunudwal As.
194.          Mibshol As.
195.          Mudh’ataam As.
196.          Thomil As.
197.          Thoobikh As.
198.          Muhmam As.
199.          Hajrom As.
200.          Adawan As.
201.          Munbidz As.
202.          Baarun As.
203.          Raawan As.
204.          Mu’biin As.
205.          Muzaahiim As.
206.          Yaniidz As.
207.          Lamii As.
208.          Firdaan As.
209.          Jaabir As.
210.          Saalum As.
211.          Asyh As.
212.          Harooban As.
213.          Jaabuk As.
214.          Aabuj As.
215.          Miynats As.
216.          Qoonukh As.
217.          Dirbaan As.
218.          Shokhim As.
219.          Haaridh As.
220.          Haarodh As.
221.          Harqiil As.
222.          Nu’man As.
223.          Azmiil As.
224.          Murohhim As.
225.          Midaas As.
226.          Yanuuh As.
227.          Yunus As.
228.          Saasaan As.
229.          Furyum As.
230.          Farbusy As.
231.          Shohib As.
232.          Ruknu As.
233.          Aamir As.
234.          Sahnaq As.
235.          Zakhun As.
236.          Hiinyam As.
237.          Iyaab As.
238.          Shibah As.
239.          Arofun As.
240.          Mikhlad As.
241.          Marhum As.
242.          Shonid As.
243.          Gholib As.
244.          Abdullah As.
245.          Adruzin As.
246.          Idasaan As.
247.          Zahron As.
248.          Bayi’ As.
249.          Nudzoyr As.
250.          Hawziban As.
251.          Kaayiwuasyim As.
252.          Fatwan As.
253.          Aabun As.
254.          Rabakh As.
255.          Shoobih As.
256.          Musalun As.
257.          Hijaan As.
258.          Rawbal As.
259.          Rabuun As.
260.          Mu’iilan As.
261.          Saabi’an As.
262.          Arjiil As.
263.          Bayaghiin As.
264.          Mutadhih As.
265.          Rahiin As.
266.          Mihros As.
267.          Saahin As.
268.          Hirfaan As.
269.          Mahmuun As.
270.          Hawdhoon As.
271.          Alba’uts As.
272.          Wa’id As.
273.          Rahbul As.
274.          Biyghon As.
275.          Batiihun As.
276.          Hathobaan As.
277.          Aamil As.
278.          Zahirom As.
279.          Iysaa As.
280.          Shobiyh As.
281.          Yathbu’ As.
282.          Jaarih As.
283.          Shohiyb As.
284.          Shihats As.
285.          Kalamaan As.
286.          Bawumii As.
287.          Syumyawun As.
288.          Arodhun As.
289.          Hawkhor As.
290.          Yaliyq As.
291.          Bari’ As.
292.          Aa’iil As.
293.          Kan’aan As.
294.          Hifdun As.
295.          Hismaan As.
296.          Yasma’ As.
297.          Arifur As.
298.          Aromin As.
299.          Fadh’an As.
300.          Fadhhan As.
301.          Shoqhoon As.
302.          Syam’un As.
303.          Rishosh As.
304.          Aqlibuun As.
305.          Saakhim As.
306.          Khoo’iil As.
307.          Ikhyaal As.
308.          Hiyaaj As.
309.          Zakariya As.
310.          Yahya As.
311.          Jurhas As.
312.          Isa As.
313.          Muhammad Saw.

Semoga Bermanfaat 

Penjelasan Tentang Maaf Memaafkan

 

Rosululloh Sholallohu 'Alaihi Wasallam  telah menegaskan bahwa orang yang mampu menahan dirinya di saat marah dia sejatinya orang yang kuat. Rasulullah  bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيْدُ باِلصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

“Orang yang kuat bukan yang banyak mengalahkan orang dengan kekuatannya. Orang yang kuat hanyalah yang mampu menahan dirinya di saat marah.” (HR. Al-Bukhari no. 6114)

Berdasarkan sebuah penelitian, salah satu hal yang paling sulit dilakukan orang adalah meminta maaf dan memberi maaf kepada orang lain. Walaupun seseorang menyadari kesalahannya, meminta maaf kepada orang yang telah disakiti bukanlah perkara mudah. Ada rasa gengsi ataupun ego yang menghalangi seseorang untuk bisa berkata, “Aku telah bersalah. Aku meminta maaf atas tindakan yang telah kulakukan dan berharap kamu dapat memaafkan aku.”

Sama halnya meskipun seseorang sudah bisa menahan rasa sakit akibat kesalahan yang dibuat orang lain, memaafkan orang tersebut juga bukan perkara mudah. Rasa yang tergores seolah tak bisa lepas dari ingatan dan terus membekas. Dalam sebuah judul lagu disebutkan, “Forgiven not Forgotten”. Aku memaafkan tapi aku tidak bisa melupakan kesalahanmu. Apakah ini yang dinamakan memberi maaf?

Urusan meminta dan memberi maaf yang sulit ini tidak hanya terjadi antara seseorang dengan lingkungan sosialnya. Bahkan tak jarang seseorang sulit meminta dan memberi maaf kepada orang-orang terdekat yang hidup serumah sekalipun. Seorang anak sulit memaafkan orangtuanya, seorang suami enggan meminta maaf kepada istrinya, seorang adik tidak bisa melupakan kesalahan kakaknya.

Bagaimana semestinya kita menyikapi perilaku orang lain yang mengganggu kita? Jawaban pertama adalah kesabaran. Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَىْءٍ مِنَ اْلخَوْفِ وَاْلجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ اْلأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ

”Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu, dengan ketakutan, kelaparan, kehilangan harta dan jiwa. Namun, berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang yang apabila ditimpa musibah mengucapkan ‘sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) (QS al-Baqarah [2]: 155).

Seharusnya yang menjadi kepastian dalam diri kita adalah apapun yang terjadi, termasuk perilaku orang lain yang menyakitkan hati kita, terjadi karena Allâh ‘Azza wa Jalla mengizinkannya. Tidak mungkin suatu peristiwa terjadi kalau Allâh tidak mengizinkannya. Seekor nyamuk tak akan menyentuh kulit apalagi sampai menghisap darah kita kalau Allâh tidak mengizinkan. Tidak mungkin ada tamparan mendarat di muka kita kalau Allâh tidak mengizinkan. Kalau Allâh menghendaki atau mengizinkan suatu kerugian menimpa kita, pasti Allâh punya maksud. Maksud utamanya adalah menguji kita dengan cara memberi cobaan kepada kita. Bila punya cara berpikir ilahiyah sebagaimana di atas, maka kita akan sampai kepada pemahaman “ Allâh sedang menguji saya”. Orang yang mampu bersabar, maka Allâh bersamanya. Innallâha ma’a al-Shâbirîn.
Agama mengajarkan kita agar dengan lapang dada memberi maaf kepada orang yang telah berbuat salah. Bagaimanapun juga manusia sering lupa dan khilaf. Memberi maaf kepada orang atas ketidaksengajaannya adalah keutamaan buat orang yang sempat tersakiti. Dan memberi maaf atas tindakan buruk orang lain juga sebuah keutamaan jika itu bisa dilakukan.‎

Pada saat kesediaan kita untuk memaafkan juga tinggi. Kita memiliki semangat yang tinggi untuk memperoleh pahala dan menguras dosa-dosa kita. Maka, saat lebaran datang, kita bahkan mengobral pemaafan. Semoga pemaafan tidak hanya di bibir, tapi sampai di hati. Allâh ‘Azza wa Jalla melalui al-Qur’ân memberikan resep agar pemaafan tuntas, yakni memohonkan ampunan bagi mereka serta bermusyawarah.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى اْلأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ اْلمَتَوَكِّلِيْنَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allâh-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Ali ‘Imron [3]: 159)

Termasuk pengertian memohonkan ampun bagi mereka adalah mendoakan kebaikan bagi mereka, mengusahakan kebaikan bagi mereka, dan sebagainya. Melalui ayat tersebut, Allah juga memerintahkan manusia agar luka yang pernah ada jangan sampai semakin menganga dikarenakan munculnya sebab kemarahan, yaitu dengan bermusyawarah. Oleh karena itu, bermusyawarahlah sebagaimana disampaikan ayat di atas dimaksudkan agar dua orang atau lebih yang pernah konflik hendaknya membuat kesepakatan-kesepakatan sebelum bekerjasama lagi agar peristiwa yang menyakitkan hati tidak lagi terulang.

Adalah Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk senantiasa bersifat pemaaf. Ketika beliau melewati jalan dan sering diganggu oleh orang yang tidak suka dengannya, beliau selalu memaafkan. Sampai akhirnya ketika orang yang suka mengganggu itu sakit maka Rasulullah adalah orang pertama yang datang menjenguknya. Jika kita bicara sejarah lain dikisahkan bagaimana Nabi Muhammad mendapat perlakuan yang buruk dari masyarakat Thaif, sampai-sampai malaikat datang dan menanyakan apakah perlu masyarakat yang berlaku buruk tersebut dihukum, Nabi meminta untuk memaafkan mereka karena mungkin mereka belum tahu.

Memberi maaf bukanlah menunjukkan seseorang itu lemah atau tidak mampu membalas. Suka memaafkan justru menunjukkan sifat keutamaan dan kemuliaan seseorang karena ia belajar dari sifat Allah yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun seberapa besar pun kesalahan yang pernah dilakukan hamba-Nya. Sikap pemaaf menunjukkan seseorang memilih jalan yang dekat dengan keridhoan Allah ketika sebenarnya dia bisa menuntut balas atas kesalahan orang lain.

Tapi perlu diingat baik-baik, Islam mengajarkan bahwa siapapun yang mempunyai kesalahan terhadap orang lain, pernah menyakiti atau menzhalimi orang lain, maka bersegeralah meminta halal dan maaf dan jangan menunggu nanti penyelesaiannya di hadapan Allah Ta’ala. Karena nanti di hadapan-Nya yang ada hanyalah; “Terimalah ini pahala saya”, atau “Terimalah dosa orang yang pernah kamu zhalimi”, tidak ada emas dan perak untuk menyelesaikannya!

عنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَىْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ » .

Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang pernah mempunyai kezhaliman terhadap seseorang, baik terhadap kehormatannya atau apapun, maka minta halallah darinya hari ini!, sebelum tidak ada emas dan perak, (yang ada adalah) jika dia mempunyai amal shalih, maka akan diambil darinya sesuai dengan kezhalimannya, jika dia tidak mempunyai kebaikan, maka akan diambilkan dosa lawannya dan ditanggungkan kepadanya”. (Hadits riwayat Bukhari)

Allah (swt) berfirman tentang keutamaan memaafkan:
وإن تعفوا وتصفحوا وتغفروا فإن الله غفور الرحيم

"Dan jika kalian memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang" (Qs. At Taghobun: 14)
Dan Allah  berfirman:
وليعفوا وليصفحوا ألا تحبون أن يغفر الله لكم والله غفور رحيم

"Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah akan mengampuni kalian? Dan sesungguhnya Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang" (Qs. An Nur: 22)
Nabi bersabda:

من كظم غيظا وهو قادر على أن ينفذه دعاه الله - على رؤوس الخلائق حتى يخيره الله من الحور ما شاء

"Barangsiapa menahan kemarahan padahal ia mampu memuntahkannya, maka Allah kelak akan memanggilnya di hadapan makhluk-makhluk hingga Allah memperkenankan kepadanya untuk memilih bidadari yang dikehendakinya" (HR.Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah)
Hendaknya seorang muslim mengetahui bahwa dengan memberikan maaf ia akan mendapatkan kemuliaan dari Allah, dan semua orang akan menghormatinya serta orang yang menjelekkan akan datang kepadanya untuk meminta maaf.
ادفع بالتي هي أحسن فإذا الذي بينك وبينه عداوة كأنه ولي حميم

"Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-oleh telah menjadi teman setia" (Qs. Fussilat: 34)
Nabi  bersabda:
ما نقصت صدقة من مال, وما زاد الله عبدا بعفو إلا عزا, وما تواضع عبد لله إلا رفعه الله
 "Tidaklah shodaqoh itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan sifat memaafkan kecuali kemuliaan, serta tidaklah seorang hamba merendahkan diri karena Allah melainkan Allah meninggikan derajatnya". (HR. Muslim)
Dan Allah telah mendidik atau mengajari Rasul-Nya kepada akhlak yang agung ini, Allah berfirman kepada Rasul-Nya:
خذ العفو وأمر بالمعرف وأعرض عن الجاهلين‎

"Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma'ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh" (Qs.Al A'rof: 199)
Allah  berfirman:
فمن عفا وأصلح فأجره على الله‎

"Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah". (Qs. As Syuro: 40)

Rasulullah  telah memberikan kabar gembira kepada seseorang selama tiga hari berturut-turut bahwa ia akan masuk surga, padahal dia bukanlah orang memiliki banyak sholat, puasa dan shodaqoh, ia juga tidak banyak melaksanakan sholat sunnah pada malam hari juga sholat sunnah-shalat sunnah lainnya, akan tetapi ia diberitahukan bahwa dia akan masuk surga dan ia mendengar berita tersebut secara langsung. Ketika Ibnu Umar  meneliti kebenaran kabar tersebut, ia mendapatkan bahwa orang tersebut tidak tidur melainkan ia telah memaafkan kesalahan manusia semuanya, ia berkata:
اللهم إني قد تصدقت بعرضي على الناس وعفوت عمن ظلمني

"Ya Allah, sesungguhnya aku telah mensodaqohkan kehormatanku kepada manusia dan aku maafkan orang yang telah berbuat zalim kepadaku".
Hendaknya seorang muslim rendah hati, lemah lembut, murah hati, bertaqwa, mudah memaafkan, dekat dengan manusia, menyintai mereka, dermawan, memberi nasehat, menyadari uzur-uzur setiap orang lain melakukan kesalahan terhadap dirinya sambil berkata: Bilamana terdapat tindakan orang lain yang menimbulkan kemarahan bagi dirinya, maka hal dari syetan bukan dari mereka, bahkan syetanlah yang membujuknya dan dia juga yang mendorong terjadinya hal tersebut. Barangsiapa yang berusaha mendidik dirinya dengan ibadah seperti ini maka ia akan hidup tenang, tidur dan bangun dalam keadaan lega.

Hendaknya seorang muslim rendah hati, lemah lembut, murah hati, bertaqwa, mudah memaafkan, dekat dengan manusia, menyintai mereka, dermawan, memberi nasehat, menyadari uzur-uzur setiap orang lain melakukan kesalahan terhadap dirinya sambil berkata: Bilamana terdapat tindakan orang lain yang menimbulkan kemarahan bagi dirinya, maka hal dari syetan bukan dari mereka, bahkan syetanlah yang membujuknya dan dia juga yang mendorong terjadinya hal tersebut. Barangsiapa yang berusaha mendidik dirinya dengan ibadah seperti ini maka ia akan hidup tenang, tidur dan bangun dalam keadaan lega.
Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah berkata: Wahai Anak Adam!. Sesungguhnya diantara Allah dan dirimu terdapat berbagai kesalahan dan dosa-dosa yang mana tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia, dan sesungguhnya engkau senang apabila Allah mengampuni (dosa-dosa tersebut) bagimu, bilamana engkau senang jika Allah mengampuni (dosa-dosa tersebut) bagimu, maka maafkanlah kesalahan hamba-hambaNya. Bilamana engkau senang jika Allah mengampuni dosa-dosamu, maka ampunilah kesalahan hamba-hambaNya, sebab suatu balasan akan sesuai dengan jenis amal perbuatan….. jika engkau memberikan ampunan disini maka engkau akan diampuni di sana… bila engkau dendam di sini maka akan di balas di sana, bila engkau meminta hak disini maka dirimu akan dituntut di sana.
Bilamana Islam telah menetapkan hak bagi orang yang didzolimi untuk membalas orang yang berbuat dzalim, yaitu sebuah kejahatan dibalas dengan balasan yang sesuai dengan tuntutan keadilan, maka memberikan ampun dan maaf tanpa terdorong untuk membelas kedzaliman dan menuntut secara terus-menerus, maka itu lebih mulia dan lebih penyayang. Allah  berfirman:

والذين إذا أصابتهم البغي هم ينتصرون, وجزاء سيئة سيئة مثلها فمن عفا وأصلح فأجره على الله, إنه لا يحب الظالمين, ولمن انتصر بعد ظلمه فأولئك ما عليهم من سبيل, إنما السبيل على الذين يظلمون الناس ويبغون في الأرض بغير الحق أولئك لهم عذاب أليم, ولمن صبر وغفر إن ذلك من عزم الأمور

"Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka di perlakukan dengan zalim mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosapun atas mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di atas bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan". (Qs. As Syuro:39-43)
Maka firman Allah  "Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka di perlakukan dengan zalim mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa". Merupakan pembenaran terhadap hak orang-orang mukmin dalam membela diri-diri mereka bilamana mereka dizalimi, kemudian dilanjutkan dengan meletakkan batasan yang mengikat wujud bentuk membela diri ini, yaitu sebuah batasan tidak boleh dilanggar.
Kemudian Allah memperlihatkan kedudukan ihsan bahkan memberikan semangat untuk mengerjakannya, Allah berfirman: "Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah". lalu diikuti dengan pemberitaan terhalangnya orang-orang zalim dengan tidak mendapatkan kecintaan dari Allah: "Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim".Setelah itu nash atau ayat kembali memberitahukan hak orang-orang yang di zalimi untuk membela diri mereka, juga memberitahukan dengan sangat akan pentingnya orang-orang zalim mendapatkan balasan di dunia dan siksa yang pedih di akhirat. Allah berfirman: " Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosapun atas mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di atas bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih". Lalu ayat ini juga tidak meninggalkan untuk menjelaskan tingkatan keadilan, dimana semua pandangan secara umum tertuju kepadanya, bahkan mendorong untuk kedua kalinya kepada tingkatan ihsan dengan cara bersabar dan memaafkan, di mana dijelaskan bahwa tindakan itu teramsuk perkara diutamakan. "Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan".
Begitulah sifat ini diceritakan di dalam nas dengan gambaran yang sangat yang saling terkait dan berhubungan, di dalamnya terdapat penjelasan yang sangat indah dan menarik. Terlihat bahwa ayat tersebut sedang menanggulangi gelombang kejiwaan dengan sapaan yang lembut, pengarahan yang halus sambil mempertimbangkan penderitaan orang yang dizalimi, dan memandang keji dan kejam kepada orang yang zalim. Dan setelah itu ayat di atas menjelaskan tentang keberhakan orang yang dizalimi untuk membela diri mereka dengan hak, lalu kembali mendorong mereka dengan lembut untuk bersabar dan menganjurkan untuk memberikan maaf. Semua peristiwa di atas dibingkai dalam nilai keadilan dan ihsan.
Kemudian di dalam yang ayat lain, Al Qur'an menjelaskan tentang pahala bagi mereka yang memaafkan manusia di akhirat kelak:

وسارعوا إلى مغفرة من ربكم وجنة عرضها السموات والأرض أعدت للمتقين, الذين ينفقون في السراء والضراء والكاظمين الغيظ والعافين عن الناس والله يحب المحسنين

"Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhan-mu dan kepada surga yang luasnya seperti seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maipun di kala sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan". (Qs. Ali Imron: 133-134)
Memaafkan merupakan bukti bagi kemuliaan jiwa
Sesungguhnya orang-orang yang dermawan dalam memberikan maaf maka dia adalah seorang hamba, yang jiwanya mulia, semangatnya tinggi, dan memiliki sifat sabar dan santun yang besar. Muawiyah t berkata: "Hendaklah kalian bersikap santun dan bersabar sehingga kesempatan tersebut terbuka bagi kalian, bila aku memberikan kekuasaan kepada kalian, maka hendaklah kalian membekali diri dengan suka memberi maaf dan bersikap dermawan (dengan kebaikan).
Pada saat didatangkan kepada Abdul Malik bin Marwan beberapa tawanan Ibnu Atsasy, semasa terjadinya fitnah, Abdul Malik berkata kepada Roja' bin Hayawah: Bagaimana pendapatmu?". Ia menjawab: "Sesungguhnya Allah I telah memberikan bagimu apa yang engkau senangi dari kemenangan, maka persembahkanlah kepada Allah apa yang Dia senangi dari pemberian memberi maaf (kepada para tawanan), lalu beliau mengampuni mereka semua".
Imam Syafi'i rahimahullah berkata:
Mereka berkata: kau diam, kau dimusuhi. Ku katakan bagi mereka
Sesungguhnya membalas suatu kejelekan merupakan sebuah pintu
Sesungguhnya memaafkan orang bodoh atau tolol itu termasuk adab
Benar, sebab dengannya kemuliaan diri terjaga dan dapat diperbaiki
Sesungguhnya singa-singa itu sangat ditakuti padahal mereka terdiam
Walau anjing menjulurkan lidahnya, tetap di lempar saat menggonggong
Sesungguhnya tanda seorang mu'min yang sholeh, mudah mema'afkan, lemah lembut, menghendaki keridoan Allah dan balasan di akhirat, adalah senantiasa membersihkan jiwanya dari egoisme dan kepentingan-kepentingan pribadinya, mengutamakan keridhoaan Tuhannya, sangat ingin diampuni dosa-dosanya, dima'afkan kesalahan-kesalahannya. 

Maka dengan demikian ia telah diberi anugrah jiwa yang dirido'i, mendahulukan balasan dimasa yang akan datang (akhirat) dari balasan di masa sekarang (dunia), menembus dengan kekuatan menusuk hati manusia yang dalam, sehingga ia meminpin mereka untuk menegakkan kebenaran dan mempertahankannya, tegak berdiri dengan memuliakan dan mengagungkan orang yang senantiasa menjadikan ini sebagai petunjuk dan agamanya.
Wahai pemilik hati yang bersih, engkau adalah pilihan Allah, para shahabat telah bertanya kepada Rasulullah tentang orang yang paling utama, beliau menjawab:

كل مخموم القلب صدوق اللسان, قالوا: صدوق اللسان نعرفه: فما مخموم القلب؟ قال: التقي النقي الذي لا إثم فيه ولا بغى ولا غل ولا حسد.

"Setiap hati yang bersih, jujur lidahnya, Mereka berkata: Kami mengetahui orang yang jujur lidahnya: apa yang disebut dengan hati yang bersih? Beliau menjawab: Hati yang bertaqwa, suci, yang tidak ada dosa di dalamnya,tidak ada aniaya, iri dan dengki"  

Kemudian kami katakan: Sesungguhnya selamatnya hati merupakan salah satu sebab yang agung bagi diterimanya amal sholeh. Nabi  bersabda:

تعرض الأعمال كل يوم اثنين وخميس فيغفر الله U في ذلك اليوم لكل امرئ لا يشرك بالله شيئا إلا امرؤ كانت بينه وبين أخيه شحناء, فيقول: أنظروا هذين حتى يصطلحا

"Amal perbuatan diperlihatkan (dihadapan Allah) setiap hari senin dan kamis, kemudian pada hari itu Allah mengampuni dosa setiap orang yang tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun kecuali orang yang terdapat diantara dia dan saudaranya permusuhan, Allah berfirman: Tangguhkanlah dari kedua orang ini hingga keduanya berdamai". (HR.Muslim)


Terakhir saya akan sebutkan sebuah perkataan indah dari Abdullah bin Mas’ud (seorang shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ عَبْدِ الله بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه ، قَالَ : ( مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ فَإِنَّ الْحَي لَا تُؤْمَنُ عليه الْفِتْنَة ، أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وَسَلَّمَ ، كَانُوا أَفْضَلَ هذه الْأُمَّة ، أَبَرَّهَا قُلُوبًا ، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا ، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا ، قَوْمٌ اخْتَارَهُمُ الله لِصُحْبَة نَبِيِّه وَإِقَامَة دِينِه ، فَاعْرَفُوا لَهُمْ فَضْلَهُمْ ، وَاتَّبِعُوهُمْ في آثَارِهِمْ ، وَتَمَسَّكُوا بِمَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ أَخْلَاقِهِمْ وَدِينِهِمْ ، فَإِنَّهُمْ كَانُوا على الْهَدْى الْمُسْتَقِيمِ )

Artinya: ” Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa yang bersuri tauladan maka hendaklah bersuri tauladan dengan orang yang sudah meninggal, karena sesungguhnya orang yang masih hidup tidak aman dari tertimpa fitnah atasnya, merekalah para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka adalah orang-orang yang termulia dari umat ini, yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya dan paling sedikit untuk berbuat yang mengada-ngada, Allah telah memilih mereka untuk bershahabat dengan nabiNya, untuk menegakkan agamaNya, maka ketauhilah keutamaan mereka yang mereka mililki, ikutilah jalan-jalan mereka, dan berpegang teguhlah semampu kalian akan budipekertibudi pekerti mereka dan sepak terjang mereka, karena sesungguhnya mereka diatas petunjuk yang lurus”. (Diriwayatkan dengan sanadnya oleh Ibnu Abdil Barr di dalam Kitab Jami’ bayan Al ‘Ilmi wa Ahlih (2/97) dan disebutkan oleh Ibnu Atsir di dalam Jami’ Al Ushul Fi Ahadits Ar Rasul (1/292))

Dengan nama-nama Allah Yang Husna dan sifat-sifat-Nya yang ‘Ulya, semoga Allah Azza wa Jalla memberikan taufik-Nya kepada kita dan seluruh kaum muslim, untuk benar-benar berpuasa karena keimanan dan mengharapkan pahala dari-Nya. Allahumma amin. 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...