Minggu, 29 November 2020

Penjelasan Tentang Keutamaan Sepertiga Malam Yang Akhir


Di antara doa yang mustajab (mudah diijabahi atau dikabulkan) adalah doa di sepertiga malam terakhir. Namun kita sering melalaikan hal ini karena waktu malam kita biasa diisi dengan tidur lelap. Cobalah kita bertekad kuat untuk mendapatkan waktu tersebut. Malamnya kita isi dengan shalat tahajjud dan memperbanyak do’a pada Allah atas setiap hajat kita.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
إِنَّ فِى اللَّيْلِ لَسَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ
 
“Di malam hari terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah berkaitan dengan dunia dan akhiratnya bertepatan dengan waktu tersebut melainkan Allah akan memberikan apa yang ia minta. Hal ini berlaku setiap malamnya.” (HR. Muslim no. 757)

Umumnya orang menggunakan waktu sahurnya hanya untuk makan, minum, nonton TV, dst. padahal waktu sahur adalah waktu yang sangat istimewa untuk beribadah.

Mengapa istimewa, karena Allah mendekat ke seluruh hamba-Nya, menawarkan kepada semua hamba-Nya yang hendak bersimpuh di hadapan-Nya.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

“Pada setiap malam, Allah Ta’ala turun kelangit dunia, ketika tersisa sepertiga malam terakhir, Allah berfirman:’ Siapa yang berdoa kepada-Ku akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku beri. Dan Siapa yang memohon ampunan kepada-Ku akan aku ampuni.” (HR. Bukhari 1145 dan Muslim 758).‎

Ibnu Hajar menjelaskan, “Bab yang dibawakan oleh Al Bukhari menerangkan mengenai keutamaan berdoa pada waktu tersebut hingga terbit fajar Shubuh dibanding waktu lainnya.” (Fathul Bari, 11/129)
Ibnu Baththol berkata, “Waktu tersebut adalah waktu yang mulia dan terdapat dorongan beramal di waktu tersebut. Allah Ta’ala mengkhususkan waktu itu dengan nuzul-Nya (turunnya Allah). Allah pun memberikan keistimewaan pada waktu tersebut dengan diijabahinya doa dan diberi setiap  yang diminta.” (Syarh Al Bukhari, 19/118)
Ada suatu pelajaran menarik dari Imam Al Bukhari. Beliau membawakan Bab dengan judul “Doa pada separuh malam”. Padahal hadits yang beliau bawakan setelah itu berkenaan dengan doa ketika sepertiga malam terakhir. Mengapa bisa demikian?
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan bahwa Al Bukhari mengambil judul Bab tersebut dari firman Allah,
قُمِ اللَّيْلَ إِلاَّ قَلِيلاً نِصْفَهُ أَوِ انقُصْ مِنْهُ قَلِيلاً
“Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit.” (QS. Al Muzzamil: 2-3). 

Judul bab tersebut diambil oleh Al Bukhari dari ayat Al Qur’an di atas. Dalam hadits sendiri menunjukkan bahwa waktu terijabahnya doa adalah pada sepertiga malam terakhir. Ini menunjukkan bahwa hendaknya seorang muslim benar-benar memperhatikan waktu tersebut dengan ia bersiap-siap sebelum masuk sepertiga malam terakhir yang awal. Hendaklah setiap hamba bersiap diri dengan kembali pada Allah kala itu agar mendapatkan sebab ijabahnya doa. Setiap muslim hendaklah memperhatikan waktunya di malam dan siang hari dengan doa dan ibadah kepada AllahTa’ala. (Syarh Al Bukhari,  19/119)

Di saat itulah, Allah menyebarkan rahmat, dan ampunan-Nya bagi umat manusia. Selayaknya kita manfaatkan untuk bersimpuh di hadapan Allah dan tidak hanya dihabiskan untuk menyantap makanan.

Imam Nawawi mengatakan,

وفيه تنبيه على أن آخر الليل للصلاة والدعاء والاستغفار وغيرها من الطاعات أفضل من أوله

Dalam hadis ini terdapat pelajaran bahwa waktu akhir malam lebih afdhal digunakan untuk shalat, berdoa, beristighfar, dan melakukan ketaatan lainnya, dari pada waktu awal malam. (Syarh Shahih Muslim, 6/38).

Ibnu Hajar juga menjelaskan hadits di atas,

أن آخر الليل أفضل للدعاء والاستغفار ويشهد له قوله تعالى والمستغفرين بالأسحار وأن الدعاء في ذلك الوقت مجاب

“Bahwa akhir malam sangat afdhal untuk berdoa dan beristighfar. Dalilnya firman Allah (yang artinya) ‘yaitu orang-orang yang rajin beristighfar di waktu sahur.’ Dan bahwa doa di waktu sahur itu mustajab.” (Fathul Bari, 3/31).

Oleh karena itu, kebiasaan orang soleh di masa silam, mereka banyak memanfaatkan waktu sahur untuk semakin mendekat Allah, bersimpuh di hadapan-Nya, berdoa dan memohon ampunan kepada-Nya. Allah berfirman, menceritakan tentang sifat ahli surga

الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

“Merekalah orang-orang yang penyabar, jujur, tunduk, rajin berinfak, dan rajin istighfar di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17)

Ibnu Katsir mengatakan:

دل على فضيلة الاستغفار وقت الأسحار. وقد قيل: إن يعقوب، عليه السلام، لما قال لبنيه: {سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّي} [يوسف:98 ] أنه أخرهم إلى وقت السحر

‘Ayat ini menunjukkan keutamaan memperbanyak istighfar di waktu sahur.’‎
Diriwayatkan, bahwa Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam menasehati anaknya:‎
“Saya akan memohonkan ampun kepada Rabbku untuk kalian.” (QS. Yusuf: 98)‎
Kemudian Nabi Ya’kub mengakhirkan permohonan ampun itu di waktu sahur. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/23)

Kaum muslimin pembaca yang budiman, jangan sia-siakan kesempatan besar ini. Allah telah menawarkan diri-Nya kepada para hamba-Nya untuk memberikan ampunan kepada siapa yang memohon ampun kepada-Nya di waktu sahur. Sungguh sangat disayangkan jika kesempatan ini hanya kita habiskan untuk menyantap makanan atau menonton televisi. Lebih-lebih menghabiskan sebatang rokok yang itu akan memakan waktu cukup lama. Gunakan sisa waktu anda setelah sahur untuk banyak memohon ampunan kepada Allah. Semoga dengan ini Allah mengampuni kita semua.

Waktu sahur adalah salah satu waktu istimewa di bulan Ramadhan. Umat muslim, para shaimin, ditawarkan keberkahan pada makan di waktu tersebut untuk puasa besok harinya (makan sahur). Di waktu tersebut terdapat saat-saat istimewa untuk mohon ampun (istighfar) dan doa. Maka jangan rusak waktu tersebut dengan melihat tontonan perusak hati dan aktifitas tak berarti.‎

Allah telah memuji para hamba-Nya yang gemar beristighfar pada waktu tersebut,

الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

“Orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17)

Imam Ibnu Katsir berkata tentang kalimat “وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ”: menunjukkan keutamaan istghfar di waktu sahur (penghujung malam). Ada pendapat mengatakan, saat Nabi Ya’kub‘alaihis salam berkata kepada anak-anaknya, “pasti aku akan mintakan ampun kepada tuhanku untuk kalian” (QS. Yusuf: 98), beliau mengakhirkan pelaksanaannya sampai waktu sahur.

Waktu sahur adalah waktu di penghujung malam menjelang Shubuh. Keutamaannya tidak didapatkan pada waktu-waktu selainnya. Kesempurnaan istighfar di waktu ini diawali dengan kegiatan shalat malam. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ آَخِذِينَ مَا آَتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Al-Dzariyaat: 15-18)

Syaikh Al-Sa’di –dalam tafsirnya- menjelaskan tentang prakteknya, “Maka mereka memperpanjang shalat sampai waktu sahur. Kemudian mereka menutup shalat malamnya dengan duduk beristighfar kepada Allah layaknya istighfar seorang mudznid (pendosa) untuk dosanya. Istighfar di waktu sahur ini memiliki keutamaan dan keistimewaan yang tidak dimiliki waktu selainnya.”

Keutamaan istighfar pada waktu sahur ini karena saat itu Allah Subhanahu Wa Ta'ala turun di langit dunia. Allah membuka selebar-lebarnya pintu rahmah, ampunan, dan kemurahan-Nya bagi hamba-Nya yang mau berdoa dan memohon ampun.

Diterangkan dalam Shahihain, dari sejumlah sahabat, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Rabb kami Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia setiap malam saat tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku kabulkan doanya, siapa yang meminta kepada-Ku maka Aku akan beri permintaannya, dan siapa yang memohon ampunan kepada-Ku niscaya Aku ampuni dia.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Allah menawarkan ampunan, pemberian, kebaikan, dan pengabulan doa kepada hamba di sepertiga malam tersebut. Maka siapa berdiri di hadapan Allah, bertaqarrub & bermunajat kepada-Nya, lalu diikuti dengan berdoa dan beristighfar kepada-Nya, niscaya ia akan memperoleh hajatnya dan ampunan atas dosa-dosanya. Maka jangan sia-siakan waktu yang sangat istimewa ini!

Keutamaan Sholat Malam

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di dalam al-Qur-an pada banyak ayat dan juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits tentang besarnya pahala yang diperoleh dari melaksanakan shalat malam. Bahkan, ketahuilah wahai pembaca yang budiman –sebelum kami memaparkan ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut– bahwa shalat yang paling baik setelah shalat wajib adalah shalat malam, dan hal ini telah menjadi ijma' (kesepakatan) ulama.
Ayat-Ayat Tentang Keutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya
Di dalam banyak ayat, Allah Subhanahu wa Ta’ala menganjurkan kepada Nabi-Nya yang mulia untuk melakukan shalat malam. Antara lain adalah:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ

"Dan pada sebagian malam hari shalat Tahajjud-lah kamu...." [Al-Israa'/17: 79]

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلًا وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا 

"Dan sebutlah nama Rabb-mu pada (waktu) pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari." [Al-Insaan/76: 25-26].

وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَأَدْبَارَ السُّجُودِ

"Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai shalat." [Qaaf/50: 40].

وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا ۖ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَإِدْبَارَ النُّجُومِ 

"Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabb-mu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu ketika kamu bangun berdiri, dan bertasbihlah kepada-Nya pada be-berapa saat di malam hari dan waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar)." [Ath-Thuur/52: 48-49]

Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan memerintahkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah selesai melakukan shalat wajib agar melakukan shalat malam,hal itu sebagaimana terdapat pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ 

"Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Rabb-mu-lah hendaknya kamu berharap." [Asy-Syarh/94 : 7-8)

Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memuji para hamba-Nya yang shalih yang senantiasa melakukan shalat malam dan bertahajjud, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ 

"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)." [Adz-Dzaariyaat/51: 17-18]

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan, "Tak ada satu pun malam yang terlewatkan oleh mereka melainkan mereka melakukan shalat walaupun hanya beberapa raka'at saja."

Al-Hasan al-Bashri berkata, "Setiap malam mereka tidak tidur kecuali sangat sedikit sekali."

Al-Hasan juga berkata, "Mereka melakukan shalat malam dengan lamanya dan penuh semangat hingga tiba waktu memohon ampunan pada waktu sahur."

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam memuji dan menyanjung mereka:

تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ 

"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkah-kan sebagian dari rizki yang Kami berikan ke-pada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." [As-Sajdah/32: 16-17]

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, "Yang dimaksud dengan apa yang mereka lakukan adalah shalat malam dan meninggalkan tidur serta berbaring di atas tempat tidur yang empuk."

Al-'Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Cobalah renungkan bagaimana Allah membalas shalat malam yang mereka lakukan secara sembunyi dengan balasan yang Ia sembunyikan bagi mereka, yakni yang tidak diketahui oleh semua jiwa. Juga bagaimana Allah membalas rasa gelisah, takut dan gundah gulana mereka di atas tempat tidur saat bangun untuk melakukan shalat malam dengan kesenangan jiwa di dalam Surga."

Dari Asma' binti Yazid Radhiyallahu anha, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَمَعَ اللهُ اْلأَوَّلِيْنَ وَاْلآخِرِيْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، جَاءَ مُنَادٍ فَنَادَى بِصَوْتٍ يَسْمَعُ الْخَلاَئِقُ: سَيَعْلَمُ أَهْلُ الْجَمْعِ اَلْيَوْمَ مَنْ أَوْلَى بِالْكَرَمِ، ثُمَّ يَرْجِعُ فَيُنَادِي: لِيَقُمَ الَّذِيْنَ كاَنَتْ (تَتَجَافَى جُنُوْبُهُمْ) فَيَقُوْمُوْنَ وَهُمْ قَلِيْلٌ.

"Bila Allah mengumpulkan semua manusia dari yang pertama hingga yang terakhir pada hari Kiamat kelak, maka datang sang penyeru lalu memanggil dengan suara yang terdengar oleh semua makhluk, 'Hari ini semua yang berkumpul akan tahu siapa yang pantas mendapatkan kemuliaan!' Kemudian penyeru itu kembali seraya berkata, 'Hendaknya orang-orang yang 'lambungnya jauh dari tempat tidur' bangkit, lalu mereka bangkit, sedang jumlah mereka sedikit." Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya'la dalam al-Musnadul Kabiir (IV/373).

Di antara ayat-ayat yang memuji orang-orang yang selalu melakukan shalat malam adalah firman Allah:

أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ

"(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya?..." [Az-Zumar/39: 9].

لَيْسُوا سَوَاءً ۗ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ

"Mereka itu tidak sama, di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (shalat)." [Ali ‘Imraan/3: 113]

وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا

"Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka." [Al-Furqaan/25: 64]

سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ

"Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud...." [Al-Fat-h/48: 29]

الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

"(Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur." [Ali-'Imran/3: 17].

Dan lain sebagainya dari ayat-ayat al-Qur-an.

Saya katakan, "Barangsiapa yang menginginkan pengetahuan yang bermanfaat dan faidah yang banyak, hendaknya menelaah penafsiran ayat-ayat ini dalam kitab-kitab tafsir, karena di sana terdapat manfaat dan faidah yang amat besar. Saya sengaja tidak memaparkannya di sini, semata karena komitmen saya untuk membahas secara ringkas dan tidak mendalam."

Hadits-Hadits Tentang Keutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menganjurkan kepada para Sahabatnya untuk melakukan shalat malam dan membaca al-Qur-an di dalamnya. Hadits-hadits yang mengungkapkan tentang hal ini sangat banyak untuk dapat dihitung. Namun kami hanya akan menyinggung sebagiannya saja, berikut panda-ngan para ulama sekitar masalah ini.

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ صَلاَةِ الْمَفْرُوْضَةِ، صَلاَةُ اللَّيْلِ.

"Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat yang dilakukan di malam hari". HR. Muslim, kitab ash-Shiyaam bab Fadhli Shaumil Mu-harram, (no. 1163).

Al-Bukhari rahimahullah berkata: "Bab Keutamaan Shalat Malam." Selanjutnya ia membawakan hadits dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa ia berkata: "Seseorang di masa hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bermimpi menceritakannya kepada beliau. Maka aku pun berharap dapat bermimpi agar aku ceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat aku muda aku tidur di dalam masjid lalu aku bermimpi seakan dua Malaikat membawaku ke Neraka. Ternyata Neraka itu berupa sumur yang dibangun dari batu dan memiliki dua tanduk. Di dalamnya terdapat orang-orang yang aku kenal. Aku pun berucap, 'Aku berlindung kepada Allah dari Neraka!' Ibnu 'Umar melanjutkan ceritanya, 'Malaikat yang lain menemuiku seraya berkata, 'Jangan takut!' Akhirnya aku ceritakan mimpiku kepada Hafshah dan ia menceritakannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda:

نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللهِ، لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ.

'Sebaik-baik hamba adalah ‘Abdullah seandainya ia melakukan shalat pada sebagian malam.'

Akhirnya 'Abdullah tidak pernah tidur di malam hari kecuali hanya beberapa saat saja." HR. Al-Bukhari, kitab al-Jumu'ah, bab Fadhli Qiyaamul Lail, (hadits no. 1122) dan Muslim, kitab Fadhaa-ilish Sha-haabah bab Fiqhi Fadhaa-ili ‘Abdillah bin ‘Umar c, (hadits no. 2479).

Ibnu Hajar berkata: "Yang menjadi dalil dari masalah ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 'Sebaik-baik hamba adalah 'Abdullah seandainya ia melakukan shalat pada sebagian malam.' Kalimat ini mengindikasikan bahwa orang yang melakukan shalat malam adalah orang yang baik."

Ia berkata lagi, "Hadits ini menunjukkan bahwa shalat malam bisa menjauhkan orang dari adzab."

‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukan shalat malam hingga kedua telapak kakinya pecah-pecah."

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ: عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيْلٌ فَارْقُدْ! فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللهَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ تَوَضَّأَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ صَلَّى اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَأَصْبَحَ نَشِيْطًا طَيِّبَ النَّفْسِ، وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيْثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ.

"Syaitan mengikat di pangkal kepala seseorang darimu saat ia tidur dengan tiga ikatan yang pada masing-masingnya tertulis, 'Malammu sangat panjang, maka tidurlah!' Bila ia bangun lalu berdzikir kepada Allah, maka satu ikatan lepas, bila ia berwudhu’ satu ikatan lagi lepas dan bila ia shalat satu ikatan lagi lepas. Maka di pagi hari ia dalam keadaan semangat dengan jiwa yang baik. Namun jika ia tidak melakukan hal itu, maka di pagi hari jiwanya kotor dan ia menjadi malas." HR. Al-Bukhari, kitab at-Tahajjud, bab 'Aqdisy Syaithaani 'alaa Qaafiyatir Ra'-si idzza lam Yushshalli bil Lail, (hadits no. 1142) dan Muslim, kitab Shalaatil Musaafiriin, bab Maa Warada fii man Naamal Laila Ajma'a hatta Ashbaha, (hadits no. 776).‎

Ibnu Hajar berkata: "Apa yang terungkap dengan jelas dalam hadits ini adalah, bahwa shalat malam memiliki hikmah untuk kebaikan jiwa walaupun hal itu tidak dibayangkan oleh orang yang melakukannya, dan demikian juga sebaliknya. Inilah yang diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:

إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا

"Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu') dan bacaan di waktu itu lebih terkesan." [Al-Muzzammil/73: 6]

Sebagian ulama menarik kesimpulan dari hadits ini bahwa orang yang melakukan shalat malam lalu ia tidur lagi, maka syaitan tidak akan kembali untuk mengikat dengan beberapa ikatan seperti semula."‎


Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْـدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ.

"Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah (berpuasa pada) bulan Allah yang mulia (Muharram) dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam."‎

An-Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini menjadi dalil bagi kesepakatan ulama bahwa shalat sunnah di malam hari adalah lebih baik daripada shalat sunnah di siang hari."‎

Ath-Thibi berkata: "Demi hidupku, sungguh, seandainya tidak ada keutamaan dalam melakukan shalat Tahajjud selain pada firman Allah:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

"Dan pada sebagian malam hari bershalat ta-hajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Rabb-mu mengang-katmu ke tempat yang terpuji." [Al-Israa’/17: 79]

Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ 

"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata..." [As-Sajdah/32: 16-17].

Juga ayat-ayat yang lainnya, maka hal itu sudah cukup menjadi bukti keistimewaan shalat ini."‎

Dari 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash Radhiyallahu anhuma ia menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللهِ صَلاَةُ دَاوُدَ، وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ: كاَنَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُوْمُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَيَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا.

"Shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Nabi Dawud Alaihissallam dan puasa yang paling dicintai Allah juga puasa Nabi Dawud Alaihissallam. Beliau tidur setengah malam, bangun sepertiga malam dan tidur lagi seperenam malam serta berpuasa sehari dan berbuka sehari."‎

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Al-Mahlabi mengatakan Nabi Dawud Alaihissallam mengistirahatkan dirinya dengan tidur pada awal malam lalu ia bangun pada waktu di mana Allah menyeru, 'Adakah orang yang meminta?, niscaya akan Aku berikan permintaannya!' lalu ia meneruskan lagi tidurnya pada malam yang tersisa sekedar untuk dapat beristirahat dari lelahnya melakukan shalat Tahajjud. Tidur terakhir inilah yang dilakukan pada waktu Sahur. Metode seperti ini lebih dicintai Allah karena bersikap sayang terhadap jiwa yang dikhawatirkan akan merasa bosan (jika dibebani dengan beban yang berat,-ed) dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

إِنَّ اللهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوْا.

'Sesungguhnya Allah tidak akan pernah merasa bosan sampai kalian sendiri yang akan merasa bosan.'

Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin selalu melimpahkan karunia-Nya dan memberikan kebaikan-Nya."‎

Dari Jabir bin 'Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ فِي اللَّيْلِ لَسَاعَـةً، لاَ يُوَافِقُهَا رَجُـلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ، وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ.

"Sesungguhnya di malam hari terdapat waktu tertentu, yang bila seorang muslim memohon kepada Allah dari kebaikan dunia dan akhirat pada waktu itu, maka Allah pasti akan memberikan kepadanya, dan hal tersebut ada di setiap malam."‎

An-Nawawi rahimahullah berkata, "Hadits ini menetapkan adanya waktu dikabulkannya do’a pada setiap malam, dan mengandung dorongan untuk selalu berdo’a di sepanjang waktu malam, agar mendapatkan waktu itu."‎

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَحِمَ اللهُ رَجُـلاً، قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى، وَأَيْقَظَ اِمْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِيْ وَجْهِهَا الْمَاءَ، وَرَحِمَ اللهُ اِمْرَأَةً، قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ، وَ أَيْقَظَتْ زَوْجَهَا، فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِيْ وَجْهِهِ الْمَاءَ.

"Semoga Allah merahmati seorang suami yang bangun di waktu malam lalu shalat dan ia pun membangunkan isterinya lalu sang istri juga shalat. Bila istri tidak mau bangun ia percikkan air ke wajahnya. Semoga Allah merahmati seorang isteri yang bangun di waktu malam lalu ia shalat dan ia pun membangunkan suaminya. Bila si suami enggan untuk bangun ia pun memercikkan air ke wajahnya."‎

Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ اسْتَيْقَظَ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا، كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ.

"Barangsiapa yang bangun di waktu malam dan ia pun membangunkan isterinya lalu mereka shalat bersama dua raka'at, maka keduanya akan dicatat termasuk kaum laki-laki dan wanita yang banyak berdzikir kepada Allah."‎

Al-Munawi berkata, "Hadits ini seperti dikemukakan oleh ath-Thibi menunjukkan bahwa orang yang mendapatkan kebaikan seyogyanya menginginkan untuk orang lain apa yang ia inginkan untuk dirinya berupa kebaikan, lalu ia pun memberikan kepada yang terdekat terlebih dahulu."‎

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ، صَحَّابٍ فِي اْلأَسْوَاقِ، جِيْفَةٍ بِاللَّيْلِ، حِمَارٍ بِالنَّهَارِ، عَالِمٍ بِأَمْرِ الدُّنْيَا جَاهِلٍ بِأَمْرِ اْلآخِرَةِ.

"Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang perilakunya kasar, sombong, tukang makan dan minum serta suka berteriak di pasar. Ia seperti bangkai di malam hari dan keledai di siang hari. Dia hanya tahu persoalan dunia tapi buta terhadap urusan akhirat.'"‎

Dari Anas Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

جَعَلَ اللهُ عَلَيْكُمْ صَلاَةَ قَوْمٍ أَبْرَارٍ يَقُوْمُوْنَ اللَّيْلَ وَيَصُوْمُوْنَ النَّهَارَ، لَيْسُوْا بِأَثَمَةٍ وَلاَ فُجَّارٍ.

“Allah telah menjadikan pada kalian shalat kaum yang baik; mereka shalat di waktu malam dan berpuasa di waktu siang. Mereka bukanlah para pelaku dosa dan orang-orang yang jahat.”‎

Dari 'Abdullah bin Salam Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Yang pertama kali aku dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sabda beliau:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا اْلأَرْحَـامَ، وَصَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ.

"Wahai manusia, tebarkan salam, berilah makan, sambunglah tali silaturahmi dan shalatlah di malam hari saat manusia tertidur, niscaya kalian akan masuk ke dalam Surga dengan selamat."‎

'Abdullah bin Qais mengatakan, bahwa ‘Aisyah Radhiyallahun anhuma berkata: "Janganlah kalian meninggalkan shalat malam karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya. Jika beliau sakit atau malas, beliau shalat dalam keadaan duduk."‎

Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَضْلُ صَلاَةِ اللَّـيْلِ عَلَى صَلاَةِ النَّهَارِ، كَفَضْلِ صَدَقَةِ السِّرِّ عَلَى صَدَقَةِ الْعَلاَنِيَةِ.

"Keutamaan shalat malam atas shalat siang, seperti keutamaan bersedekah secara sembunyi atas bersedekah secara terang-terangan."‎


Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu ia menuturkan pula, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ إِنَّ اللهَ يَضْحَكُ إِلَى رَجُلَيْنِ: رَجُلٌ قَـامَ فِيْ لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ مِنْ فِرَاشِهِ وَلِحَافِهِ وَدِثَارِهِ، فَتَوَضَّأَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ، فَيَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لِمَلاَئِكَتِهِ: مَا حَمَلَ عَـبْدِيْ هَذَا عَلَى مَا صَنَعَ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: رَبُّنَا رَجَاءً مَا عِنْدَكَ وَشَفَقَةً مِمَّا عِنْدَكَ، فَيَقُوْلُ: فَإِنِّي قَدْ أَعْطَيْتُهُ مَا رَجَا وَأَمَّنْتُهُ مِمَّا يُخَافُ.

"Ketahuilah, sesungguhnya Allah tertawa terhadap dua orang laki-laki: Seseorang yang bangun pada malam yang dingin dari ranjang dan selimutnya, lalu ia berwudhu’ dan melakukan shalat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada para Malaikat-Nya, 'Apa yang mendorong hamba-Ku melakukan ini?' Mereka menjawab, 'Wahai Rabb kami, ia melakukan ini karena mengharap apa yang ada di sisi-Mu dan takut dari apa yang ada di sisi-Mu pula.' Allah berfirman, 'Sesungguhnya Aku telah memberikan kepadanya apa yang ia harapkan dan memberikan rasa aman dari apa yang ia takutkan.'"‎

Masih banyak lagi hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang keutamaan shalat malam, dorongan terhadapnya dan kedudukan orang-orang yang senantiasa melakukannya.

Atsar Sahabat Dan Kaum Salaf Tentang Keutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Sesungguhnya di dalam Taurat tertulis, 'Sungguh Allah telah memberikan kepada orang-orang yang lambungnya jauh dari tempat tidur apa yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia, yakni apa yang tidak di-ketahui oleh Malaikat yang dekat kepada Allah dan Nabi yang diutus-Nya.'"‎

Dari Ya’la bin ‘Atha' ia meriwayatkan dari bibinya Salma, bahwa ia berkata, "'Amr bin al-'Ash berkata, 'Wahai Salma, shalat satu raka'at di waktu malam sama dengan shalat sepuluh raka'at di waktu siang."‎

'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata, "Seandainya tidak ada tiga perkara; seandainya aku tidak pergi berjihad di jalan Allah, seandainya aku tidak mengotori dahiku dengan debu karena ber-sujud kepada Allah dan seandainya aku tidak duduk bersama orang-orang yang mengambil kata-kata yang baik seperti mereka mengambil kurma-kurma yang baik, maka aku merasa senang berjumpa dengan Allah."‎

Saat menjelang wafatnya Ibnu 'Umar, ia berkata, "Tidak ada sesuatu yang sangat aku sedihkan di dunia ini selain rasa dahaga di siang hari dan kelelahan di malam hari."

Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, "Kemulian seseorang terletak pada shalatnya di malam hari dan sikapnya menjauhi apa yang ada pada tangan orang lain."‎

Thalhah bin Mashraf berkata, "Aku mendengar bila seorang laki-laki bangun di waktu malam untuk melakukan shalat malam, Malaikat memanggilnya, 'Berbahagialah engkau karena engkau telah menempuh jalan para ahli ibadah sebelummu.'" Thalhah mengatakan lagi, "Malam itu pun berwasiat kepada malam setelahnya agar membangunkannya pada waktu di mana ia bangun." Thalhah mengatakan lagi, "Kebaikan turun dari atas langit ke pembelahan rambutnya dan ada penyeru yang berseru, 'Seandainya seorang yang bermunajat tahu siapa yang ia seru, maka ia tidak akan berpaling (dari munajatnya).’”‎

Dari al-Hasan al-Bashri berkata, “Kami tidak mengetahui amal ibadah yang lebih berat daripada lelahnya melakukan shalat malam dan menafkahkan harta ini.”‎

Al-Hasan juga pernah ditanya, “Mengapa orang yang selalu melakukan shalat Tahajjud wajahnya lebih indah?” Ia menjawab, “Sebab mereka menyendiri bersama ar-Rahman (Allah), sehingga Allah memberikan kepadanya cahaya-Nya.”‎

Syuraik berkata, “Barangsiapa yang banyak shalatnya di malam hari, maka wajahnya akan tampak indah di siang hari."‎

Yazid ar-Riqasyi berkata, "Shalat malam akan menjadi cahaya bagi seorang mukmin pada hari Kiamat kelak dan cahaya itu akan berjalan dari depan dan belakangnya. Sedangkan puasa seorang hamba akan menjauhkannya dari panasnya Neraka Sa'ir."‎

Wahab bin Munabih berkata, "Shalat di waktu malam akan menjadikan orang yang rendah kedudukannya, mulia, dan orang yang hina, berwibawa. Sedangkan puasa di siang hari akan mengekang seseorang dari dorongan syahwatnya. Tidak ada istirahat bagi seorang mukmin tanpa masuk Surga."‎

Al-Awza'i berkata, "Aku mendengar barangsiapa yang lama melakukan shalat malam, maka Allah akan meringankan siksanya pada hari Kiamat kelak."‎

Ishaq bin Suwaid berkata, "Orang-orang Salaf memandang bahwa berekreasi adalah dengan cara puasa di siang hari dan shalat di malam hari."‎

Saya katakan, "Dari pemaparan terdahulu jelaslah bahwa shalat malam memiliki keutamaan yang besar dan hanya orang yang merugi yang meninggalkannya."

Kita berlindung kepada Allah dari kerugian dan hanya Dia-lah tempat memohon pertolongan.

Penjelasan Tentang Waktu Sholat Wajib


Shalat sebagai kewajiban yang diwajibkan Allah kepada ummat Islam, sebanyak lima kali sehari semalam, ditetapkan dengan berwaktu. Hal ini ditegaskan-Nya dalam firman-Nya sbb:

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
 
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring, kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. an-Nisa 103)

Berkata Asy-Syinqithiy rahimahullah :

ذكر في هذه الآية الكريمة أن الصلاة كانت ولم تزل على المؤمنين كتابا، أي: شيئا مكتوبا عليهم واجبا حتما موقوتا

“Dalam ayat yang mulia ini, Allah ta’ala menyebutkan bahwa shalat telah dan akan senantiasa menjadi kewajiban bagi orang-orang mukmin, yaitu : sesuatu yang ditetapkan atas mereka dengan wajib dan sesuai dengan ketentuan waktunya” [Adlwaaul-Bayan, 1/279].

Pelaksanaan shalat tersebut telah diatur oleh Allah baik dari segi waktu, tata-cara pelaksanaan dan bacaannya sehingga umat Islam tidak diberi hak untuk merubah, yang sering disebut dengan ibadah mahdlah (khusus). Waktu-waktu yang ditentukan itu, dalam fiqih Islam dikenal dengan:
1.    Dhuhur
2.    Ashar
3.    Maghrib
4.     Isya
5.    Subuh

Dalam menentukan waktu-waktu shalat, kemudian kita dapat mencari dengan menggunakan melihat sinar matahari berdasar rotasi bumi, yang melahirkan bayangan dan cahaya beraneka ragam. Hal ini ditegaskan dalam al- Quran, yang diperjelas oleh hadis-hadis Rasulullah saw. 

Di dalam Al-Quran sesungguhnya sudah ada sekilas tentang penjelasan waktu-waktu shalat fardhu, meski tidak terlalu jelas diskripsinya. Namun paling tidak ada tiga ayat di dalam Al-Quran yang membicarakan waktu-waktu shalat secara global.

Kaum muslimin sepakat bahwa sholat lima waktu harus dikerjakan pada waktunya, dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu/wajib yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. [ QS. An Nisa’ (4) : 103]‎

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ

"Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang dan pada bahagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat"(QS. Huud: 114)

Menurut para mufassriin, di ayat ini disebutkan waktu shalat, yaitu kedua tepi siang, yaitu shalat shubuh dan ashar. Dan pada bahagian permulaan malam, yaitu Maghirb dan Isya`.‎

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan Qur`anal fajri. Sesungguhnya Qur`anal fajri itu disaksikan (QS. Al-Isra`: 78)

Menurut para mufassrin, di dalam ayat ini disebutkan waktu shalat yaitu sesudah matahari tergelincir, yaitu shalat Zhuhur dan Ashar. Sedangkan gelap malam adalah shalat Maghirb dan Isya` dan Qur`anal fajri yaitu shalat shubuh.

Dalam menentukan batasan-batasan waktu sholat, para fuqoha’ berpedoman pada ayat-ayat Qur’an dan hadist Nabi, diantaranya:

     وسبح بحمد ربك قبل طلوع الشمس وقبل غروبها ومن انائ اليل فسبح واطرف النهار لعلك ترضىى

“dan bertasbihlah  dengan memuji nama tuhanmu, sebelum terbir matahari (subuh) dan sebelum terbenamnya (ashar dan dhuhur), dan bertasbih pulalah di waktu-waktu malam hari (isya’), dan ujung siang (maghrib), supaya kamu merasa senang”.(Q.S.Thaha:130)‎

عن عبد الله بن عمر ورضي الله عنهما قال,ان النبي صلى الله عليه وسلم قال:وقت الظهراذا زلت الشمس وكان ظل الرجل كطوله مالم يحضر العصر,ووقت العصرما لم تصفرالشمس, ووقت صلاة المغرب مالم يغب الشفق, ووقت صلاةالعشاء الى نصف الليل الاوسط, ووقت الصلاة الصبح من طلوع الفجر ما لم تطلع الشمس. (رواه مسلم)

Dari Abdullah ibn Amar ra. Berkata: “bersabda Rasul SAW: Waktu dhuhur ialah apabila tergelincir matahari ke arah barat dan terus berlanjut sehingga menjadi bayangan seseorang sama panjangnya, selama belum lagi datang waktu ashar. Dan waktu ashar sejak habisnya waktu dhuhur hingga matahari belum kuning. Dan waktu maghrib, selama belum hilang mega merah dan waktu isya hingga separuh malam yang pertama dan waktu subuh dari terbit fajar selama belum lagi terbit matahari,” (HR.muslim)

عن جابر بن عبدالله قال ان النبى صلى الله عليه وسلم جاءه جبريل عليه السلام  فقال له قم فصله فصلى الظهر حتى زالت الشمس ثم جاءه العصر فقال قم فصله فصلى العصر حين صار ظل كل شيئ مثله ثم جاءه المغرب فقال قم فصله فصلى المغرب حين وجبت الشمس ثم جاءه العشاء فقال قم فصله فصلى العشاء حين غاب الشفق ثم جاءه الفجر فقال قم فصله فصلى  الفجر حين برق الفجر وقال سطع البحر ثم جاءه بعد  الغد للظهر فقال قم فصله فصلى الظهر حين صار ظل كل شيئ مثله ثم جاءه العصر فقال قم فصله فصلى العصر حين صار ظل كل شيئ مثله ثم جاءه المغرب وقتا واحدا لم يزل عنه ثم جاءه العشاء حين ذهب نصف الليل او قال ثلث الليل فصلى العشاء حين جاءه حين اسفر جدا فقال قم فصله فصلى الفجر ثم قال ما بين هذين الوقتين وقت (رواه احمد والنسائ والترمذى ينحوه)

“Dari jabir bin Abdullah r.a berkata; telah datang kepada nabi SAW. Jibril a.s lalu berkata kepadanya: bangunlah! Lalu bersembayanglah, kemudian nabi shalat dhuhur di kala matahari tergelincir,kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu ashar lalu berkata kepadanya: bangunlah! Lalu bersembayanglah, kemudian nabi shalat ashar di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu maghrib lalu berkata kepadanya: bangunlah! Lalu bersembayanglah, kemudian nabi shalat maghrib di kala matahari terbenam. Kemudian ia datang lagi di waktu isya’ lalu berkata kepadanya: bangunlah! Lalu bersembayanglah, kemudian nabi shalat isya’ di kala  mega merah telah terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu fajar lalu berkata kepadanya: bangunlah! Lalu bersembayanglah, kemudian nabi shalat fajar di kala fajar menyingsing, atau ia berkata di waktu fajar bersinar. Kemudian ia datang pula esok harinya pada waktu dhuhur, lalu berkata kepadanya: bangunlah! Lalu bersembayanglah, kemudian nabi shalat di kala  bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian datang lagi kepadanya di waktu ashar lalu berkata kepadanya: bangunlah! Lalu bersembayanglah, kemudian nabi shalat ashar di kala bayang – bayang matahari dua kali sesuatu itu. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu maghrib dalam waktu yang sama, tidak bergeser dari waktu yang sudah. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu isya’ di kala telah lalu separoh malam, atau ia berkata: telah hilang sepertiga malam. Kemudian nabi shalat isya’. Kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah bercahaya benar dan ia lalu berkata kepadanya: bangunlah! Lalu bersembayanglah, kemudian nabi shalat fajar. Kemudian jibril berkata: saat dua waktu itu adalah waktu shalat.” HR Ahmad. Nasai. Tirmidzi.

دَّثَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
جَاءَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ زَالَتْ الشَّمْسُ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ الظُّهْرَ حِينَ مَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا كَانَ فَيْءُ الرَّجُلِ مِثْلَهُ جَاءَهُ لِلْعَصْرِ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ الْعَصْرَ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا غَابَتْ الشَّمْسُ جَاءَهُ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ الْمَغْرِبَ فَقَامَ فَصَلَّاهَا حِينَ غَابَتْ الشَّمْسُ سَوَاءً ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا ذَهَبَ الشَّفَقُ جَاءَهُ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ الْعِشَاءَ فَقَامَ فَصَلَّاهَا ثُمَّ جَاءَهُ حِينَ سَطَعَ الْفَجْرُ فِي الصُّبْحِ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ فَقَامَ فَصَلَّى الصُّبْحَ ثُمَّ جَاءَهُ مِنْ الْغَدِ حِينَ كَانَ فَيْءُ الرَّجُلِ مِثْلَهُ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ جَاءَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام حِينَ كَانَ فَيْءُ الرَّجُلِ مِثْلَيْهِ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ جَاءَهُ لِلْمَغْرِبِ حِينَ غَابَتْ الشَّمْسُ وَقْتًا وَاحِدًا لَمْ يَزُلْ عَنْهُ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ جَاءَهُ لِلْعِشَاءِ حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الْأَوَّلُ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ فَصَلَّى الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَهُ لِلصُّبْحِ حِينَ أَسْفَرَ جِدًّا فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ فَصَلَّى الصُّبْحَ فَقَالَ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ وَقْتٌ كُلُّهُ

Artinya: Jabir bin Abdullah meriwayatkan, bahwa Nabi Saw pernah didatangi Jibril alaihis salam, ketika matahari sudah tergelincir, lalu ia berkata kepada Nabi: Berdirilah hai Muhammad, shalat dhuhurlah ketika matahari sudah tergelincir. Lalu ia berhenti, hingga ketika bayangan seseorang itu sudah setinggi badannya, ia pun datang lagi untuk shalat ashar, seraya berkata: Berdirilah hai Muhammad, shalat asharlah. Lalu ia diam, hingga apabila matahari sudah terbenam, ia datang lagi seraya mengatakan: Berdirilah untuk shalat maaghrib. Nabi Saw pun berdiri, lalu shalat maghrib ketika matahari sudah benar-benar terbenam dengan sempurna. Kemudian ia diam, hingga apabila cahaya merah sudah hilang ia datang lagi seraya mengatakan: Berdirilah untuk shalat isya. Lalu Nabi Saw pu berdiri untuk mengerjakan shalat isya. 

Kemudian ia datang lagi ketika fajar subuh menyingsing, seraya mengatakan:
Berdirilah hai Muhammad untuk shalat. Lalu Nabi Saw berdiri untuk shalat subuh. Kemudian esoknya Jibril datang lagi ketika bayangan seseorang setinggi badannya, seraya mengatakan: Berdirilah hai Muhammad untuk shalat. Lalu beliau shalat dhuhur. Kemudian esoknya Jibril datang lagi ketika bayangan seseorang setinggi badannya, seraya mengatakan: Berdirilah hai Muhammad untuk shalat. Lalu beliau shalat ashar. Kemudian Jibril datang lagi pada waktu maghrib yaitu ketika matahari sudah terbenam dalam satu waktu (sama dengan kemarennya), tanpa meninggalkan tempat, seraya mengatakan: Berdirilah untuk shalat, lalu beliau pun shalat maghrib. Kemudian ia datang lagi waktu isya ketika sepertiga malam yang pertama telah berlalu, seraya mengatakan: Berdirilah untuk shalat, lalu Nabi Muhammad Saw shalat isya. Kemudian ia datang lagi subuh ketika cahaya pagi sudah terang benderang, seraya mengatakan: Berdirilah untuk shalat, lalu beliau shalat subuh. Akhirnya Jibril mengatakan: Antara dua inilah waktu (shalat) itu seluruhnya. (HR an-Nasai no. 523).

Rasulullah SAW bersabda :

اَمَّنِيْ جِبْرِيْلُ عِنْدَالْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ فَصَلّٰى بِيَّ الظُّهْرَحِيْنَ زَالتِ الشَّمْسُ وَالْعَصْرَحِيْنَ كَانَ ظِلُّ الشَّيْءِمِثْلِهُ وَالْمَغْرِبَ حِيْنَ وَجَبَتِ الشَّمْسُ وَالْعِشَاءَحِيْنَ غَابَ الشَفَقُ وَالْفَجْرَحِيْنَ سَطَعَ الْفَجْرُفَلَمَّاكَانَ الْغَدُصَلّٰى بِيَّ الظُّهْرَحِيْنَ صَارَظِلُّ كُلِّ شَيْءٍمِثْلَهُ وَالْعَصْرَحِيْنَ صَارَظِلُّ كُلِّ شَيْءٍمِثْلَيْهِ وَالْمَغْرِبَ حِيْنَ اَفْطَرَالصَّائِمُ والْعِشَاءَعِنْدَثُلُثِ اللَّيْلِ وَالْفَجْرَحِيْنَ اَصْفَرَوَقَالَ هٰذَاوَقْتُ الْاَنْبَيَاءِمِنْ قَبْلِكَ وَالْوَقْتُ مَابَيْنَ هٰذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ. رواه أبوداودوغيره

Artinya : “Saya telah dijadikan imam oleh Jibril di Baitullah dua kali, maka ia shalat bersama saya; shalat dzuhur ketika tergelincir matahari, shalat asar ketika bayang-bayang sesuatu menyamainya, shalat maghrib terbenam matahari, shalat isya ketika terbenam syafaq, dan shalat subuh ketika fajar bercahaya. Maka besoknya shalat pulalah ia bersama saya; shalat dzuhur ketika bayang-bayang sesuatu menyamainya, shalat asar ketika bayang-bayang sesuatu dua kali panjangnya, shalat maghrib ketika orang berbuka puasa, shalat isya ketika sepertiga malam, dan shalat subuh ketika menguning cahaya pagi. Lalu Jibril berkata, ‘Inilah waktu shalat nabi-nabi sebelum engkau, dan waktu shalat ialah antara dua waktu ini’.” (Riwayat Abu Dawud dan lain-lainnya)

وَقْتُ الظُّهْرِاِذَازَلَتِ الشَّمْسُ مَالَمْ يَحْضُرِالْعَصْرِ. رواه مسلم.

Artinya: “Waktu Dzuhur ialah apabila tergelincir matahari ke sebelah barat, selama belum datang waktu Asar.” (Riwayat Muslim)

وَقْتُ الْعَصْرِمَالَمْ تَغْرُبِ الشَّمسُ. رواه مسلم.

Artinya: “Asar waktunya sebelum terbenam matahari.” (Riwayat Muslim)

وَقْتُ الْمَغْرِبِ مَالَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ. رواه مسلم.

Artinya: “Maghrib waktunya sebelum hilang syafaq.” (Riwayat Muslim)

لَيْسَ فِى النَّوْمِ تَفْرِيْطٌ اِنَّمَاالتَّفْرِيْطُ عَلٰى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَحَتّٰى يَدْخُلِ وَقْتُ الْاُخْرٰى. رواه مسلم.

Artinya: “Tidur itu tidak sia-sia, tetapi sesunguhnya yang sia-sia ialah orang yang tidak shalat hingga masuk pula waktu shalat yang lain.” (Riwayat Muslim)

Pengertian hadis ini ialah, apabila habis waktu Dzuhur datanglah waktu Asar, dan seterusnya, kecuali antara Subuh dengan shalat Dzuhur, karena ada dalil yang lain.

Rasululla SAW bersabda :

وَقْتُ صَلَاةِ الصُبْحِ مِنْ الطُلُوْعِ الْفَجْرِمَالَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ. رواه مسلم.

Artinya: “Waktu shalat Subuh ialah dari terbit fajar selama belum terbit matahari.” (Riwayat Muslim)

Yang lebih utama hendaklah mengerjakan shalat di awal waktunya, dan haram men-ta-khir-kan (melalaikan) shalat sampai habis waktunya; makruh tidur sesudah masuk waktu shalat, sedang ia belum shalat.

Adapun perinciannya adalah sebagai berikut :

Shalat Dhuhur

Makna Dhuhur adalah waktu zawal (tergelincirnya matahari). Dan yang dimaksud dengan zawal adalah :

ميل الشمس عن كبد السماء إلى المغرب.

“Tergelincirnya matahari dari pusat/tengah langit ke arah barat” [Mishbaahul-Muniir,Majmuu’ 3/24, dan Al-Mughniy 1/372 – melalui ‎Shahih Fiqhis-Sunnah 1/237].

Waktu mulai tergelincirnya matahari adalah waktu dimulainya shalat Dhuhur. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Dinamakan ‘Dhuhur’ karena ia merupakan shalat pertama yang dilakukan oleh malaikat Jibril bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana hadits Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu :

أن جبريل أتى النبي صلى الله عليه وسلم يعلمه مواقيت الصلاة فتقدم جبريل ورسول الله صلى الله عليه وسلم خلفه والناس خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى الظهر حين زالت الشمس

“Bahwasannya Jibril pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan kepada beliau tentang waktu-waktu shalat. Lalu Jibril maju ke depan (mengimami) dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di belakang beliau (untuk melaksanakan shalat berjama’ah), dan para shahabat berdiri di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shalat Dhuhur saat matahari telah tergelincir” [Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy no. 513; shahih].

Para ulama berbeda pendapat mengenai berakhirnya waktu Dhuhur. Yang rajih adalah ketika bayangan benda sama dengan tingginya, sebagaimana hadits ‘Abdullah bin ‘Amr ‎radliyallaahu ‘anhuma di atas.

Mengenai hadits Jaabir bin ‘Abdillah Al-Anshariy radlyallaahu ‘anhuma :

خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى الظهر حين زالت الشمس وكان الفيء قدر الشراك ثم صلى العصر حين كان الفيء قدر الشراك وظل الرجل

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk melaksanakan shalat Dhuhur saat matahari telah tergelincir dimana panjang bayangan sama dengan tali sandal, lalu beliau mengerjakan shalat ‘Ashar saat panjang bayangan sama dengan tali sandal dan tinggi orang” [Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy no. 524; shahih].

Maka maksud hadits tersebut adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat Dhuhur di akhir waktu dan selesai pada panjang bayangan sama dengan tingginya. Saat itulah waktu ‘Ashar masuk.

Mengakhirkan pelaksanaan shalat Dhuhur – asal tidak sampai keluar dari waktunya – adalah disunnahkan saat cuaca panas, sebagaimana hadits Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم في سفر، فأراد المؤذن أن يؤذن للظهر، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (أبرد). ثم أراد أن يؤذن، فقال له: (أبرد). حتى رأينا فيء التلول، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (إن شدة الحر من فيح جهنم، فإذا اشتد الحر فأبردوا بالصلاة).

“Kami pernah bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan. Muadzdzin ketika itu ingin mengumandangkan adzan untuk shalat Dhuhur. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tunggulah hingga (suhu/cuaca) dingin”. Kemudian muadzdzin ingin mengumandangkannya lagi, beliau pun kembali bersabda : “Tunggulah hingga (suhu/cuaca) dingin”. Hingga kami melihat bayangan bukit. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya panas yang amat sangat (di waktu siang) berasal dari uap neraka Jahannam. Apabila siang terasa teramat panas, maka tundalah shalat hingga dingin” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 539, Muslim no. 616, Ibnu Khuzaimah no. 328, At-Tirmidzi no. 158, dan yang lainnya].

Shalat ‘Ashar

‘Ashar : Dimutlakkan untuk waktu sore hingga matahari berwarna kemerah-merahan, yang saat itu merupakan akhir waktu siang. Shalat ini juga disebut sebagai shalat Wusthaa.


Allah ta’ala berfirman :

حَافِظُواْ عَلَى الصّلَوَاتِ والصّلاَةِ الْوُسْطَىَ وَقُومُواْ للّهِ قَانِتِينَ

“Peliharalah shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karean Allah (dalan shalatmu) dengan khusyu” [QS. Al-Baqarah : 238].

Dari Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda saat perang Khandaq :

ملأ الله عليهم بيوتهم وقبورهم نارا كما شغلونا عن صلاة الوسطى حتى غابت الشمس

”Semoga Allah memenuhi kuburan dan rumah mereka dengan api neraka, sebagaimana mereka membuat kita ketinggalan mengerjakan shalat wusthaa hingga matahari terbenam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4111].

Dalam lafadh Muslim disebutkan :

شغلونا عن الصلاة الوسطى صلاة العصر ملأ الله بيوتهم وقبورهم نارا ثم صلاها بين المغرب والعشاء

”Mereka membuat kita ketinggalan mengerjakan shalat wusthaa; (yaitu) shalat ‘Ashar. Semoga Allah memenuhi rumah dan kuburan mereka dengan api neraka. Kemudian beliau mengerjakannya antara Maghrib dan ‘Isya”. [Diriwayatkan oleh Muslim no. 627].‎

Awal waktu ‘Ashar adalah dimulainya panjang bayangan sama dengan tinggi benda. Ini adalah madzhab jumhur ‘ulama, berdasarkan dalil di atas. Abu Hanifah mempunyai pendapat lain ketika ia menyatakan bahwa waktu ‘Ashar dimulai ketika panjang bayangan dua kali tinggi benda.

Asy-Syinqithiy menukil :

وشذ أبو حنيفة رحمه الله من بين عامة العلماء فقال: يبقى وقت الظهر حتى يصير الظل مثلين، فإذا زاد على ذلك يسيرا كان أول وقت العصر..... قال ابن عبد البر: خالف أبو حنيفة في قوله هذا الآثار والناس، وخالفه أصحابه، فإذا تحققت أن الحق كون أول وقت العصر عندما يكون ظل كل شيء مثله، من غير اعتبار ظل الزوال.

“Abu Hanifah rahimahullah mempunyai pandangan tersendiri yang berbeda dengan para ulama secara umum, dimana ia berkata : ‘Waktu Dhuhur berlaku hingga panjang bayangan dua kali tinggi benda. Apabila panjang bayangan itu bertambah sedikit saja, maka telah masuk waktu ‘Ashar”……. Berkata Ibnu ‘Abdil-Barr : ‘Abu Hanifah telah menyelisihi dalam perkataannya terhadap atsar-atsar dan ulama-ulama, dimana para shahabatnya tidak sejalan dengannya. Telah jelas bahwa yang benar mengenai awal waktu ‘Ashar adalah saat panjang bayangan sesuatu seukuran tingginya, tanpa memperhatikan bayangan zawal” [Adlwaaul-Bayan, 1/283-284, dengan peringkasan].

Para ulama berbeda pendapat mengenai batas akhir waktu ‘Ashar. Yang rajih adalah sampai matahari menguning atau memerah – sebagaimana hadits ‘Abdullah bin ‘Amr ‎radliyallaahu ‘anhuma yang disebutkan di awal. 

Dan juga hadits Abu Musa radliyallaahu ‘anhu :

أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى في اليوم الأول العصر والشمس مرتفعة، وفي اليوم الثاني أخر العصر فانصرف منها والقائل يقول : احمرَّت الشمس....

“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat ‘Ashar pada hari pertama yang saat itu matahari masih tinggi. Dan pada hari kedua, beliau mengakhirkan shalat ‘Ashar hingga ada yang berkata : ‘Matahari telah berwarna kemerah-merahan….” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 614, Abu Dawud no. 395, dan An-Nasa’iy no. 523].

Inilah pendapat Ahmad, Abu Tsaur, dan satu riwayat dari Malik.

Adapun waktu daruratnya sampai matahari terbenam. Hal ini didasarkan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

من أدرك من الصبح ركعة قبل أن تطلع الشمس فقد أدرك الصبح، ومن أدرك ركعة من العصر قبل أن تغرب الشمس فقد أدرك العصر.

“Barangsiapa yang mendapatkan satu raka’at shalat Shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah mendapatkan shalat Shubuh. Dan barangsiapa mendapatkan satu raka’at shalat ‘Ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan shalat ‘Ashar”[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 579, Muslim no. 608, At-Tirmidzi no. 186, Ibnu Majah no. 699, Ibnu Khuzaimah no. 985, Ad-Daarimiy no. 1258, Ibnu Hibban no. 699, dan yang lainnya].

Oleh karena itu, seorang muslim – pada asalnya – dilarang menyengaja untuk mengakhirkan pelaksanaan shalat ‘Ashar hingga menjelang matahari tenggelam. Hal ini didasarkan oleh hadits :

تلك صلاة المنافقين يجلس يرقب الشمس حتى إذا كانت بين قرني الشيطان قام فنقرها أربعا لا يذكر الله فيها إلا قليلا

“Itu adalah cara shalat orang-orang munafiq yang duduk dan memperhatikan matahari sampai saat matahari berada di antara dua tanduk syaithan. Maka ia berdiri dan mengerjakanya empat raka’at. Tidaklah ia mengingat Allah kecuali hanya sedikit saja”[Diriwayatkan oleh Muslim no. 622, At-Tirmidzi no. 160, An-Nasa’iy no. 511, Al-Baihaqiy 1/443-444, Ibnu Khuzaimah no. 333, Ibnu Hibban no. 262].

Dalam hadits ini terdapat dalil yang melarang mengakhirkan shalat ‘Ashar hingga matahari berwarna kekuning-kuningan/kemerah-merahan atau lebih dari itu.‎

Catatan :

§ Disunnahkan untuk mensegerakan pelaksanaan shalat ‘Ashar saat matahari masih tinggi.

عن أنس بن مالك قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي العصر والشمس مرتفعة، فيذهب الذاهب إلى العوالي فيأتيهم والشمس مرتفعة، وبعض العوالي من المدينة على أربعة أميال أو نحوه.

Dari Anas bin Maalik ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat ‘Ashar pada waktu matahari masih tinggi. Kemudian ada seseorang yang pergi ke Al-‘Awaaliy (setelah shalat ‘Ashar), dan ia tiba di sana saat matahari masih agak tinggi – dimana jarak antara Al-‘Awaaliy dan Madinah kira-kira 4 mil” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 550, Muslim 621, Ibnu Hibban no. 1518-1519, dan yang lainnya].

§ Disunnahkan untuk mensegerakan pelaksanaan shalat ‘Ashar saat cuaca gelap/mendung.

عن أبي المليح قال : كنا مع بريدة في غزوة في يوم ذي غيم. فقال : بكِّروا بصلاة العصر، فإن النبي صلى الله عليه وسلم قال : من ترك صلاة العصر فقد حبط عمله.

Dari Abu Al-Maliih ia berkata : “Kami pernah bersama Buraidah pada satu peperangan yang waktu itu cuaca berawan/gelap. Ia berkata : ‘Kerjakanlah shalat ‘Ashar di awal waktu, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :‘Barangsiapa yang meninggalkan shalat ‘Ashar, sungguh telah hilang semua amalnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 553, An-Nasa’iy no. 474, Ath-Thayalisiy no. 810, Ibnu Abi Syaibah 1/343 dan 2/237, Al-Marwaziy dalam ‎Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah no. 903, Ibnu Khuzaimah no. 336, Al-Baihaqiy 1/444, Al-Baghawiy no. 369, dan yang lainnya].

Shalat Maghrib

Maghrib secara asal bermakna : terbenamnya matahari, atau ketika matahari akan tenggelam. Dimutlakkan menurut bahasa pada makna waktu dan tempat terbenamnya matahari. Pada waktu itulah shalat Maghrib dilaksanakan.

Pada masyarakat ‘Arab dahulu, orang-orang sering menyebut Maghrib dengan ‘Isya’. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya melalui sabdanya :

لا تغلبنكم الأعراب على اسم صلاتكم المغرب ! قال : وتقول الأعراب : هي العشاء.

“Janganlah kalian dipengaruhi oleh orang-orang ‘Arab baduwi dalam menyebut nama shalat kalian, yaitu Maghrib. Orang-orang Arab Baduwi menyebutnya : ‘Isya’” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 563].

Awal waktu Maghrib adalah ketika matahari terbenam dan hilang secara sempurna. Para ulama telah bersekapat mengenai hal ini.

عن سلمة بن الأكوع أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي المغرب إذا غربت الشمس وتوارت بالحجاب.

Dari Salamah bin Al-Akwa’ ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat Maghrib saat matahari telah terbenam dan tidak nampak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 561, Muslim no. 636, Ibnu Majah no. 688, Ahmad 4/54, dan yang lainnya].

Tanda lain yang juga bisa diketahui adalah : Hilangnya mega dari atas gunung dan datangnya gelap malam dari arah timur, serta munculnya bintang-bintang.

Adapun akhir waktu Maghrib, para ulama berselisih pendapat. Yang raajih adalah pendapat yang mengatakan bahwa akhir waktu Maghrib adalah ketika mega merah telah hilang di sebelah barat, sebagaimana hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma yang disebutkan di awal.

Disunnahkan untuk mensegerakan pelaksanaan shalat Maghrib, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

لا تزال أمتي بخير أو قال على الفطرة ما لم يؤخروا المغرب إلى أن تشتبك النجوم

“Senantiasa umatku berada di atas kebaikan –atau beliau bersabda : ‘di atas fithrah’ – selama mereka tidak mengakhirkan shalat Maghrib hingga bermunculan bintang-bintang” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 418, Ibnu Khuzaimah no. 339, Ibnu Majah no. 689, Ahmad 5/421, dan yang lainnya; hasan].

Shalat ‘Isya’

‘Isya’ adalah nama dari awal kondisi gelap dari terbenamnya matahari hingga benar-benar gelap di waktu malam. Dinamakan shalat ‘Isya’ karena ia dilakukan pada waktu tersebut.

Shalat ‘Isya’ disebut juga Shalaatul-Aakhirah, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

أيما امرأة أصابت بخورا، فلا تشهد معنا العشاء الآخرة

“Wanita mana saja yang memakai wewangian, maka janganlah ia menghadiri Shalatul-Aakhirah (shalat ‘Isya’) bersama kami “[Diriwayatkan oleh Muslim no. 444, Abu Dawud no. 4175, An-Nasa’iy no. 5128 dan 5263, Abu ‘Awaanah 2/17, Al-Baihaqiy 3/333, serta Al-Baghawiy no. 861].

Selain itu, shalat ‘Isya’ juga dinamakan dengan shalat ‘atamah, sebagaimana sabda Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

لو يعلم الناس ما في النداء والصف الأول، ثم لم يجدوا إلا أن يستهموا لاستهموا عليه. ولو يعلمون ما في التهجير لاستبقوا إليه، ولو يعلمون ما في العتمة والصبح لأتوهما ولو حبوا

“Sekiranya orang-orang mengetahui keutamaan menyambut seruan adzan dan berada di shaff pertama kemudian hal tersebut hanya dapat diraih dengan mengundi, niscaya mereka akan mengundi demi mendapatkannya. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan at-tahjiir (shalat di awal waktunya), niscaya mereka akan berlomba mengerjakannya. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan shalat ‘atamah (‘Isya’) dan Shubuh, niscaya mereka akan mendatanginya meskipun harus merangkak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 615, 653, 720, 2689; Muslim no. 437; At-Tirmidziy no. 225-226, An-Nasa’iy no. 540, 671; Ibnu Khuzaimah no. 391, 1475, 1554; Abu ‘Awaanah 1/333, 2/37; Ibnu Hibban no. 1659, 2153; dan yang lainnya].

Namun penyebutan shalat ‘atamah tersebut adalah makruh, karena telah ada larangan dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

لا تغلبنكم الأعراب على اسم صلاتكم. ألا إنها العشاء. وهم يعتمون بالإبل

“Janganlah kalian dipengaruhi oleh orang-orang ‘Arab baduwi dalam penyebutan shalat kalian. Ketahuilah bahwa sebutannya adalah ‘Isya’ (bukan ‘atamah). Karena mereka mengisi waktu ‘atamah untuk memerah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 644, An-Nasa’iy no. 542, ‘Abdurrazzaq no. 2151-2152, Abu Dawud no. 4984, Al-Baghawiy no. 377, Ibnu Hibban no. 1532, Ahmad 2/144, dan yang lainnya].

Awal waktu ‘Isya’ adalah saat syafaq (mega merah) telah benar-benar hilang. Para ulama tidak berbeda pendapat mengenai hal ini.

Adapun akhir waktu ‘Isya’, para ulama berselisih pendapat.

Pendapat pertama mengatakan akhir waktu ‘Isya’ adalah akhir sepertiga malam pertama. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’iy dalam al-qaulul-jadid-nya, Abu Hanifah, serta yang masyhur dari madzhab Malikiyyah. ‎Dalil mereka adalah hadits imamah malikat Jibril terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana telah lalu, dimana di dalamnya disebutkan :

أنه صلاها بالنبي صلى الله عليه وسلم في اليوم الثاني ثلث الليل.

“Bahwa sesungguhnya ia melaksanakan shalat bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada hari kedua saat sepertiga malam pertama”.

Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu ‘Isya’ adalah hingga pertengahan malam. Ini merupakan pendapat Ats-Tsauriy, Ibnul-Mubaarak, Ishaq (bin Rahawaih), Abu Tsaur, dan ashhaabur-ra’yi. Asy-Syafi’iy dalam al-qaulul-qadiim-nya mengatakan boleh mengerjakan shalat ‘Isya’ setelah waktu tersebut, namun hal itu makruh. Ia berpendapat bahwa waktu tersebut adalah waktu pilihan (waqtul-ikhtiyaar) dimana seseorang masih boleh mengerjakannya hingga waktu fajar. Demikian pula pendapat Ibnu Hazm. Dalil mereka adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma sebagaimana disebutkan di awal, dan juga hadits Anas ‎radliyallaahu ‘anhu secara marfu’ :

أخر النبي صلى الله عليه وسلم صلاة العشاء إلى نصف الليل،

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan pelaksanaan shalat ‘Isya’ hingga pertengahan malam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 572].

Pendapat ketiga mengatakan bahwa akhir waktu ‘Isya’ adalah hingga munclnya fajar shaadiq – walaupun seseorang tidak dalam kondisi darurat. Ini merupakan pendapat ‘Atha’, Thaawus, ‘Ikrimah, Dawud Adh-Dhaahiriy, dan teriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah. Pendapat ini merupakan pilihan Ibnul-Mundzir. ‎Dalil mereka di antaranya adalah hadits Abu Qatadah, bahwasannya Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إنما التفريط على من لم يصل الصلاة حتى يجيء وقت صلاة أخرى

“Sikap peremehan itu hanya ada pada orang yang tidak melaksanakan shalat hingga datang waktu shalat berikutnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 311, Abu Dawud no. 441, Ibnul-Jaarud no. 681, Ibnu Khuzaimah no. 681, Ibnu Hibban no. 1460, An-Nasa’iy no. 615-616, Ad-Daaruquthniy 1/386, Al-Baihaqiy 1/404, dan yang lainnya].

Juga hadits :

عن عائشة؛ قالت: أعتم النبي صلى الله عليه وسلم ذات ليلة. حتى ذهب عامة الليل. وحتى نام أهل المسجد. ثم خرج فصلى. فقال "إنه لوقتها. لولا أن أشق على أمتي"

Dari ‘Aisyah ia berkata : “Suatu malam Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengakhirkan shalat hingga (hampir) habis waktu malam, dan hingga para jama’ah jama’ah yang ada di masjid tertidur. Kemudian beliau keluar untuk shalat dan bersabda :‘Sesungguhnya inilah waktunya (yang paling utama) jika saja tidak memberatkan bagi umatku” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 638, Ahmad 6/150, ‘Abdurrazzaq no. 2114, Al-Baihaqiy 1/450, Ibnu Khuzaimah no. 348, Ishaq bin Rahawaih dalam Al-Musnad no. 1037, dan yang lainnya].

Yang raajih dari tiga pendapat tersebut adalah pendapat kedua (hingga pertengahan malam) – karena penunjukan dalilnya sangat jelas. Hadits Abu Qatadah menunjukkan perbuatan maksiat dari seorang hamba yang menunda-nunda shalat. Selain itu, jika hadits tersebut dipahami sebagaimana pemahaman pendapat ketiga, konsekuensinya adalah semua waktu shalat adalah saling bersambung. Tentu saja ini tidak bisa diterima, karena pemahaman ini tidak berlaku untuk waktu shalat Shubuh. Begitu pula yang seharusnya dipahami untuk waktu shalat ‘Isya’. Adapun waktu dari tengah malam hingga fajar adalah waktu ikhtiyaar dimana seseorang masih bisa mengerjakan shalat ‘Isya’ di waktu ini pada saat mendesak/darurat.

Sedangkan hadits ‘Aisyah yang terdapat perkataan : ‘hingga (hampir) habis waktu malam’ ; maknanya adalah sebagian besar waktu malam. Dan perkataan : ‘sesungguhnya inilah waktunya (yang paling utama)’ ; harus dita’wil – bahwa waktu tersebut tetap tidak boleh keluar setelah waktu pertengahan malam. Hal itu dikarenakan tidak ada satu pun ulama yang memahami bahwa mengakhirkan pelaksanaan shalat ‘Isya’ hingga setelah pertengahan malam – atau bahkan mendekati fajar – lebih utama. Hal ini selaras dengan riwayat lain yang berbunyi :

لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم أن يؤخروا العشاء إلى ثلث الليل أو نصفه

“Jika saja tidak memberatkan umatku, sungguh akan aku perintahkan mereka untuk mengakhirkan pelaksanaan shalat ‘Isya’ hingga sepertiga malam atau pertengahan malam” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 167, Ibnu Majah no. 691, dan Ahmad 2/245; shahih].

Catatan :

§ Disunnahkan untuk mengakhirkan perlaksanaan shalat ‘Isya’ sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.

§ Dimakruhkan tidur sebelum shalat ‘Isya’, sebagaimana terdapat dalam hadits :

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يؤخر العشاء إلى ثلث الليل ويكره النوم قبلها

“Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan pelaksanaan shalat ‘Isya’ hingga sepertiga malam, dan membenci tidur sebelumnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 568 dan Muslim no. 647].

Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata :

ومن نقلت عنه الرخصة قيدت عنه في أكثر الروايات بما إذا كان له من يوقظه أو عرف من عادته أنه لا يستغرق وقت الاختيار بالنوم، وهذا جيد حيث قلنا إن علة النهي خشية خروج الوقت

“Di antara para ulama melihat ada keringanan mengecualikannya jika ada orang yang akan membangunkannya untuk shalat, atau diketahui dari kebiasaannya bahwa tidurnya tidak akan sampai melewatkan waktu shalat. Pendapat ini juga tepat, karena kita katakan bahwa alasan pelarangan tersebut adalah kekhawatiran terlewatnya waktu shalat” [Fathul-Baariy, 2/49].

§ Dimakruhkan ngobrol tanpa faedah setelah shalat ‘Isya’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لا سمر إلا لأحد رجلين : لمصل ولمسافر

“Tidak boleh ngobrol (pada malam hari setelah shalat ‘Isya’) kecuali dua orang : Orang yang akan shalat dan musafir” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/379, 412, 444, 463; ‘Abdurrazzaq no. 2130; Al-Baihaqiy 1/452; Abu Ya’la no. 5368; dan yang lainnya – shahih lighairihi].

عن عبد الله بن مسعود؛ - قال: جدب لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم السمر بعد العشاء. يعني زجرنا.

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan celaan kepada kami mengobrol setelah ‘Isya’ – yaitu melarang kami (untuk melakukannya)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 703, Ahmad 1/389, Ibnu Abi Syaibah 2/279, Ibnu Khuzaimah no. 1240, Ibnu Hibban no. 2031, dan Al-Baihaqiy 1/452; hasan lighairihi].‎

An-Nawawi berkata :

والمراد به الحديث الذي يكون مباحاً في غير هذا الوقت, وفعله وتركه سواء, فأما الحديث المحرم أو المكروه في غير هذا الوقت, فهو في هذا الوقت أشد تحريماً وكراهة. وأما الحديث في الخير كمذاكرة العلم وحكايات الصالحين, ومكارم الأخلاق, والحديث مع الضيف, ومع طالب حاجة, ونحو ذلك, فلا كراهة فيه, بل هو مستحب, وكذا الحديث لعذر وعارض لا كراهة فيه, وقد تظاهرت الأحاديث الصحيحة على كل ما ذكرته.

“Yang dimaksudkan adalah perbincangan yang hukum asalnya mubah (boleh) jika dilakukan di selain waktu tadi (yaitu waktu ‘Isya’), dimana antara melakukan dan meninggalkannya adalah sama. Adapun obrolan yang haram atau makruh jika dilakukan di selain waktu tadi, maka melakukannya pada waktu larangan ini lebih terlarang lagi. Adapun obrolan dalam kebaikan seperti mengulang-ulang pelajaran, menceritakan orang-orang shalih, atau tentang akhlak mulia, atau berbicara dengan tamu, atau orang yang membutuhkan sesuatu, dan yang lainnya; maka tidak apa-apa walaupun dilakukan dalam waktu yang dilarang tadi. Bahkan bisa jadi dianjurkan/disunnahkan. Demikian juga obrolan karena adanya udzur atau keperluan mendadak, maka tidak terlarang. Dan telah jelas hadits-hadits shahih yang menerangka apa yang telah aku sebutkan” [Riyaadlush-Shaalihiin, hal. 485].

Shalat Fajar/Shubuh

Fajar secara asal maknanya adalah : asy-syafaq (cahaya/mega yang berwarna kemerahan). Asy-syafaq yang muncul di akhir malam seperti asy-syafaq yang muncul di awal malam.

Fajar itu ada 2 (dua) :

§ Fajar Kadzib : adalah warna putih di arah timur, panjang yang menjulur ke atas seperti ekor serigala.

§ Fajar Shadiq : adalah warna merah yang naik dan muncul dari arah timur (setelah berlalunya Fajar Kadzib), sehingga terlihat jelas perbedaan antara malam dan siang.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الفجر فجران فأما الأول فإنه لا يحرم الطعام ولا يحل الصلاة واما الثاني فإنه يحرم الطعام ويحل الصلاة

“Fajar itu ada dua macam : Adapun fajar yang pertama, tidak diharamkan makan dan tidak dibolehkan mengerjakan shalat (shubuh); sedangkan fajar yang kedua, diharamkan makan dan dibolehkan mengerjakan shalat shubuh” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 1927; shahih].

Para ulama bersepakat bahwa awal waktu fajar adalah munculnya fajar shaadiq dan akhir waktunya adalah terbitnya matahari.

Jumhur ulama – seperti Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur - berpendapat bahwa pelaksanaan shalat Shubuh yang paling utama adalah pada saat kegelapan akhir malam yang bersamaan telah munculnya cahaya terang waktu Shubuh. Adapun dalil yang menjadi dasar pijakan adalah :

عن عائشة قالت كنا نساء المؤمنات، يشهدن مع رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة الفجر، متلفعات بمروطهن، ثم ينقلبن إلى بيوتهن حين يقضين الصلاة، لا يعرفهن أحد من الغلس.

Dari ‘Aisyah ia berkata : “Kami para wanita mukminin ikut menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berbalut kain bulu. Kemudian mereka (para wanita) kembali ke rumah mereka seusai melaksanakan shalat dalam keadaan mereka tidak mengenali seorang pun karena keadaan masih gelap” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 578, Muslim no. 230, Ath-Thahawiy 1/76, Abu Ya’la no. 4415, Ahmad 6/248, dan yang lainnya].

عن أنس، عن زيد بن ثابت رضي الله عنه قال: تسحرنا مع النبي صلى الله عليه وسلم، ثم قام إلى الصلاة، قلت: كم كان بين الأذان والسحور؟. قال: قدر خمسين آية.

Dari Anas, dari Zaid bin Tsabit bahwa dia pernah berkata : ”Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian kami berangkat shalat (shubuh).Maka aku (Anas) berkata : “Berapa lama jarak antara adzan dan makan sahur? Ia (Zaid) menjawab : خمسين آية (kira-kira bacaan lima puluh ayat dari Al-Qur’an)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 1097].

Sebagian ulama lain – seperti Ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan yang sepakat dengan keduanya – berpendapat waktu yang paling utama melaksanakan shalat Shubuh ketika cahaya telah terang. Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

أسفروا بالفجر، فإنه أعظم للأجر

“Laksanakan shalat Shubuh hingga waktu isfar, karena pada waktu itu lebih besar pahalanya” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 424, At-Tirmidzi no. 154, An-Nasa’iy no. 548, dan Ibnu Majah no. 672; shahih lighairihi].

Namun pendalilan ini disanggah, sebagaimana dikatakan oleh Ibni Hibban :

أراد النبي صلى الله عليه وسلم بقوله أسفروا في الليالي المقمرة التي لا يتبين فيها وضوح طلوع الفجر لئلا يؤدي المرء صلاة الصبح إلا بعد التيقن بالإسفار بطلوع الفجر فإن الصلاة إذا أديت كما وصفنا كان أعظم للأجر من أن تصلى على غير يقين من طلوع الفجر

“Bahwa yang dimaksud oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya ‘asfiruu’ adalah pada saat cahaya bulan bersinar terang, sebab tidak diragukan lagi bahwa saat itu dalam cuaca terang karena sinarnya. Seseorang hendaknya tidak melaksanakan shalat Shubuh hingga merasa yakin bahwa fajar benar-benar telah bercahaya. Sebab, jika seseorang melaksanakan shalat sesuai dengan apa yang kita jelaskan, maka ia akan mendapat pahala yang besar daripada ia shalat dalam keadaan yang tidak yakin atas kemunculan Fajar (yaitu apakah fajar telah nampak atau belum)” [Shahih Ibni Hibban – di bawah no. 1491].

Dan itulah (pendapat jumhur) yang raajih, karena berkesesuaian dengan keumuman ayat :

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” [QS. Ali ‘Imraan : 133]‎

Semoga Bermanfaat

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...