Sabtu, 28 November 2020

Penjelasan Tentang Mursyid Dan Tawassul


Didalam Al-quran pun diceritakan bahwa Nabi Musa berguru kepada Nabi Hidir As., hal ini memberikan pelajaran kepada kita tentang pentingnya berguru dengan patuh dan taat atas apa yang diperintahkan oleh guru, sabar dan istiqamah dalam mengikutinya.

قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"(Al-Kahfi 66).

Sabda Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam 

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيْعٍِ أخْبَرَنَا أبِيْ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ عَنْ سَالِمٍِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ أنَّهُ اِسْتَأ ْذَنَ النَّبِيَّ صلعم فِى الْعُمْرَةِ فَقَالَ أَيْ أُخَيَّ اَشْرِكْنَا فِى دُعَائِكَ وَلاَ تَنْسَنَا

Menceritakan kepada kami Sofian bin Waki’, mengabarkan kepada kami Bapakku dari Sofian, dari `Ashim bin Ubaidillah, dari Salim, dari Ibnu Umar, dari Umar bin Khattab, bahwa sesungguhnya Umar bin Khattab pada waktu minta ljin kepada Nabi SAW untuk melaksanakan ibadat Umrah, maka Nabi bersabda : “Wahai saudaraku Umar, ikut sertakan aku/hadirkan aku,pada waktu engkau berdo’a nanti, dan jangan engkau lupakan aku”. (Hadits ini adalah hadits Hasan Sahih). (HR. Abu Daud dan Turmuzi).

Demikian pula menurut riwayat Saidina Abu Bakar r.a. dan Saidina Ali r.a. menyampaikan kepada Rasulullah SAW bahwa mereka tidak pernah lupa, tetapi selalu teringat kepada Rasulullah pada setiap melaksanakan ibadat bahkan sampai pada waktu di kamar kecil. Rasulullah membenarkan apa yang telah mereka alami itu.‎

Pengertian Kedudukan mursyid atau pemimpin peramalan dalam suatu tarikat menempati posisi penting dan menentukan. Seorang mursyid bukan hanya memimpin, membimbing dan membina murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah dan pergaulan sehari-hari supaya tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam dan terjerumus kedalam maksiat seperti berbuat dosa besar atau dosa kecil, tetapi juga memimpin, membimbing dan membina murid-muridnya melaksanakan kewajiban yang ditetapkan oleh syara’ dan melaksanakan amal-amal sunnah untuk bertaqarrub mendekatkan diri kepada Allah SWT. 

Disamping memimpin yang bersifat lahiriah tersebut, seorang mursyid adalah juga pemimpin kerohanian bagi murid-muridnya, menuntun dan membawa murid-muridnya kepada tujuan tarikat guna mendapatkan ridla Allah SWT. Oleh sebab itu seorang mursyid pada hakikatnya adalah sahabat rohani yang sangat akrab sekali dengan rohani muridnya yang bersama-sama tak bercerai-cerai, beriring- iringan, berimam-imaman melaksanakan zikrullah dan ibadat lainnya menuju ke hadirat Allah SWT. 

Persahabatan itu tidak saja semasa hidup di dunia, tetapi persahabatan rohaniah ini tetap berlanjut sampai ke akhirat, walaupun salah seorang telah mendahului berpulang ke rahmatullah, dan telah sederetan duduknya dengan para wali Allah yang saleh. 

As Syekh Muhammad Amin Al Kurdi dalam bukunya yang terkenal “Tanwirul Qulub” menjelaskan bahwa seorang murid/salik dalam usahanya menuju ke hadirat Allah SWT yang didahului dengan tobat, membersihkan diri rohani, kemudian mengisinya dengan amal-amal saleh haruslah mempunyai Syekh yang sempurna pada zamannya, yang melaksanakan ketentuan syariat berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadis, dan mengikuti peramalan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW secara berkesinambungan yang diteruskan oleh para ahli silsilah sampai pada zamannya. 

Seorang mursyid yang silsilahnya berkesinambungan sampai dengan Nabi Muhammad SAW, haruslah mendapatkan izin atau statuta dari mursyid sebelumnya. Dengan demikian seorang mursyid haruslah telah mendapatkan pendidikan yang sempurna, sudah arif billah, seorang wali yang mendapat izin atau statuta dari mursyid sebelumnya. Seorang murid/salik yang bertarikat tanpa Syekh maka mursyidnya adalah syetan. (Amin Al Kurdi, 1994 : 353). Artinya : “Orang yang tidak mempunyai Syekh Mursyid, maka syekh mursyidnya adalah syetan.” Mursyid itu bukan wasilah, tapi Mursyid itu adalah pembawa wasilah atau hamilul wasilahatau wasilah carrier,menggabungkan wasilah itu kepada wasilah yang telah ada pada rohaniah Rasulullah SAW. 

Sebagai pemimpin rohani mursyid mempunyai sifat-sifat kerohanian yang sempurna, bersih dan kehidupan batin yang murni. Mursyid adalah orang yang kuat sekali jiwanya, memiliki segala keutamaan, dan mempunyai kemampuan makrifat. Mursyid merupakan kekasih Tuhan. Secara khusus mendapat berkah daripada-Nya, dan sekaligus menjadi pembawa wasilah dari hamba kepada Tuhannya. Pada dirinya terkumpul makrifat sempurna tentang syariat Tuhan, mengetahui berbagai penyakit rohani dan tahu cara pengobatannya. Sebagai kekasih Allah, Mursyid mendapat anugerah kemampuan untuk mendatangkan maunah-maunah atau karamah-karamah. Syekh Mursyid dalam melaksanakan tugasnya mempunyai predikat-predikat sesuai dengan tingkat dan bentuk pengajaran yang diberikan kepada murid-muridnya. 

Predikat-predikat itu dapat saja terkumpul dalam diri satu orang atau ada pada beberapa orang. Predikat itu antara lain : 

(1) Syaikh al-Iradah, yaitu tingkat tertinggi dalam tarikat yang iradahnya (kehendaknya) telah bercampur dan bergabung dengan hukum Tuhan, sehingga dari syekh itu atau atas pengaruhnya orang yang meminta petunjuk menyerahkan jiwa dan raganya secara total. 

(2) Syaikh al-Iqtida’, yaitu guru yang tindak tanduknya sebaiknya ditiru oleh murid, demikian pula perkataan dan perbuatannya seyogyanya diikuti. 

(3) Syaikh at-Tabarruk, yaitu guru yang selalu dikunjungi oleh orang-orang yang meminta petunjuk, sehingga berkahnya melimpah kepada mereka. 

(4) Syaikh al-Intisab, ialah guru yang atas campur tangan dan sifat kebapakannya, maka orang yang meminta petunjuknya akan beruntung, lantaran bergantung kepadanya. Dalam hubungan ini orang itu akan menjadi khadamnya (pembantunya) yang setia, serta rela menerima berbagai perintahnya yang berkaitan dengan tugas-tugas keduniaan. 

(5) Syaikh at- Talqin, adalah guru kerohanian yang membantu setiap individu anggota tarikat dengan berbagai do’a atau wirid yang selalu harus diulang-ulang. 

(6) Syaikh at-Tarbiyah, adalah guru yang melaksanakan urusan-urusan para pemula dalam suatu lembaga tarikat. Tempat tinggal syekh biasanya disebut Zawiyah, dan di tempat itu dia dibantu oleh para khadam dalam menjalankan tugasnya.

Dalam pandangan ilmu tasawwuf guru mursyid mempunyai peranan besar dalam membentuk manusia ketingkat realisasi tertinggi dalam menempuh perjalanan spiritual, karena dimensi Al-quran telah tertanam dalam dirinya.  Hanya saja persoalan ini jarang dikupas dan diteliti karena guru mursyid hanya dimengerti oleh hati yang terbuka dan jiwa yang telah disucikan.

Guru Mursyid sebagai Keharusan Rasional

Ia adalah seorang guru yang mendapatkan Nur Ilahi sehingga ia dapat dikatakan sebagai guru mursyid, dan kata mursyid tersebut dapat diartikan sebagai nur ilahi.

نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ

Cahaya diatas cahaya. Tuhan akan menuntun cahaya-Nya. Siapa yang dikehendaki-Nya (Qs. An-Nur; 35)

Jadi hakikatnya mursyid itu tidak berwujud, akan tetapi setelah masuk kedalam rumah wujud barulah ia memiliki wujud. Dan mursyid itu tidaklah banyak, yang banyak adalah badan ragawi yang disinggahi, ibarat pancaran sinar matahari yang masuk ke berbagai lubang sehingga kelihatannya banyak namun pada hakikatnya hanya satu. Dan untuk dapat bermanfaat dalam mendekatkan diri dengan Allah maka nur tersebut harus dimasukkan kedalam jiwa (bukan kedalam akal dan pikiran).
Memasukkan Nur Ilahi kedalam diri tentu tidaklah mudah, harus ada metodologinya, dan metodologi tersebut ada dalam tarekatullah yang hak dan harus melalui petunjuk seorang guru yang mursyid, (setelah itu barulah manusia dapat ber-tajalli dengan Tuhan) karena guru mursyid adalah kholifah rosul yang mampu mengajarkan segala sesuatu yang telah diwariskan oleh Rasul yang secara historis dan dalam konteks ilmiah mewarisi Nur Ilahi secara langsung dari Rasulullah saw.

Rasulullah SAW bersabda :

كن مع الله فإن لم تكن مع الله كن مع من مع الله فإنه يصيلك الى الله

“Jadikanlah dirimu beserta dengan Allah, jika kamu belum bisa menjadikan dirimu beserta dengan Allah maka jadikanlah dirimu beserta dengan orang yang telah beserta dengan Allah, maka sesungguhnya orang itulah yang menghubungkan engkau (rohanimu) kepada Allah” (H.R. Abu Daud).‎‎

Keutamaan Berguru

Salah satu fungsi dan sifat guru adalah menyebarluaskan bimbingan batin kepada manusia. Ini bukanlah sekedar bimbingan lahir dalam persoalan-persoalan hukum dan syariat, ini adalah posisi (maqom) yang agung dan mulia, yang telah dilimpahkan oleh Allah kepada orang-orang pilihan diantara makhluk-Nya, orang-orang pilihan ini dapat mempengaruhi pemikiran dan kehidupan batin manusia. Mereka menerangi ummat dengan pengetahuan batin dan membantu mereka untuk memperhalus jiwa dan perjalanan batinnya, maka menjadi kewajiban manusia untuk mengikuti dan menyatukan dirinya dengan mereka melalui bimbingan yang disediakannya, sehingga mencegah manusia agar tidak terjerumus kedalam lubang keinginan-keinginan intuitif dan kecenderungan terhadap penyelewengan-penyelewengan batin.

Mursyid adalah orang yang menduduki posisi tertinggi dalam kehidupan spiritual, dan dipercaya untuk mengemban tugas pembimbingan spiritual,   ia adalah saluran kasih sayang Allah yang mengalir kepadanya berkat pancaran suprasensible (diatas jangkauan indera). Al-quran mengkhususkan kondisi jabatan imam dengan pernyataan;

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami. (As-Sajdah; 24)

وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ

Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah,(Al Anbiya; 73)

يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُولَئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا
 
(ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan Barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya Maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. (Al-Isra ; 71)

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (Al Baqarah; 124)

Kesimpulannya ayat-ayat tersebut mengidentifikasikan bahwa imamah/khalifah adalah ikatan ilahiyah yang hanya diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki oleh Allah yang dalam hal ini keturunan Ibrahim as. Tidak diragukan lagi bahwa hamba Allah yang paling sempurna diantara keturunan Ibrahim as. adalah Nabi Muhammad saw., dan para imam yang ma’sum/mahfudz,  sehingga mereka dianggap sebagai imam yang diberi kepercayaan dengan tugas bimbingan batin dan pengetahuan Ladunny.

Syaikh Abu Yazid Al-Bustomi memberikan pandangannya tentang kewajiban berguru

قَالَ أَبُو يَزِيْدِ البُسْطَامِى مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَّيْطَانُ (وَقَالَ) أَبُو سَعِيْدٍ مُحَمَّدٍ الْخَادَمِى مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَيَكُوْنُ مُسَخَّرَةً لِلشَّيْطَانِ(خزينة الأسرار ص 189)

"Abu Yazid Al Bustomi berkata: barang siapa yang tidak memiliki guru, maka gurunya adalah syetan. Dan berkata Abu Sa'id Muhammad Al Khodami: barang siapa yang tidak memiliki guru maka ia akan di tundukkan oleh syetan."

Didalam Al-quran pun diceritakan bahwa Nabi Musa berguru kepada Nabi Hidir As., hal ini memberikan pelajaran kepada kita tentang pentingnya berguru dengan patuh dan taat atas apa yang diperintahkan oleh guru, sabar dan istiqamah dalam mengikutinya.

قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"(Al-Kahfi 66).


WASILAH dan ROBITOH
Sebagaimana halnya masalah mursyid, masalah wasilah dan robitoh dalam suatu tarekat pada waktu melaksanakan zikir dan ibadah menempati posisi penting dan menentukan. Seluruh sufi yang bertarekat pasti bermursyid, berwasilah dan merobitohkan rohaniahnya dalam beramal dan beribadah, Allah SWT. Berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maa-idah 35)
‎‎
Dalam Kamus al Munjid dikatakan :

اَلْوَسِيْلَةُ مَا يَتَقَرَّبُ إلىَ الْغَيْرِ

“Wasilah adalah sesuatu yang mendekatkan kepada yang lain.”

Ibnu Abbas menegaskan :

اَلْوَسِيْلَةُ هِيَ الْقَرَابَةُ

“Wasilah adalah suatu pendekatan “

Dalam Tafsir Ibnu Katsir II :52-53 pada waktu menafsirkan QS Al Maidah :35 , menyatakan :


اَلْوَسِيْلَة هِيَ الَّتِى يُتَوَصَّلُ بِهَا إلَى تَحْصِيْلِ الْمَقْصُوْدِ

“Wasilah itu ialah sesuatu yang menyampaikan kepada maksud”

Syekh Sulaiman Zuhdi pada waktu menafsirkan QS.Al Maidah:35 menyatakan :

اَلْوَسِيْلَةُ عَامٌُ لِكُلِّ مَا يَتَوَصَلُ بِهِ إلَ الْمَقْصُوْدِ وَالنَّبِيُّ صلعم اَقْرَبُ الْوَسَا ئِلِ إلىَ اللهِ تَعَالىَ ثُمَّ تَوَائِبُهُ صلعم مِنَ الْمُسْتَكْمِلِيْنَ الْوَاصِلِيْنَ إلىَ اللهِ تَعَالىَ فِيْ كُلِّ قَرْنٍِ

“Pengertian umum dari wasilah adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kita kepada suatu maksud atau tujuan. Nabi Muhammad SAW adalah wasilah yang paling dekat untuk sampai kepada Allah SWT, kemudian kepada penerusnya-penerusnya yang Kamil Mukammil yang telah sampai kepada Allah SWT yang ada pada tiap-tiap abad atau tiap-tiap masa”

Dalam ilmu balaghah dikenal istilah “Majaz Mursal :

مِنْ إطْلاَقِ الْمَحَلِّ وَإرَادَةِ الْحَال

artinya menyebut wadah, sedangkan sebenarnya yang dimaksud adalah isinya. Disebutkan pula Nabi Muhammad sebagai wasilah, tetapi yang dimaksud sebenarnya adalah Nuurun ala nuurin yang ada pada rohani Rasulullah SAW.

Wasilah itu ialah :

نُوْرٌُ عَلىَ نُوْرٍِ يَهْدِاللهُ لِنُوْرِهِ مَنْ يَشَآءُ

“Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki “(QS An-Nur :35).

Wasilah itu telah ditanamkan ke dalam diri rohani Arwahul Muqaddasah Rasulullah SAW yang merupakan sentral penghubung antara Rasulullah SAW dan ummatnya menuju kehaderat Allah SWT.
Para Sahabat dan ummat Rasulllah SAW harus mendapatkan wasilah ini di samping menerima Alquran dan As-Sunah.
Bahwa Adam pun sebagai bapak manusia berwasilah kepada Nabi Muhammad Saw sebelum lahir, untuk diterima taubatnya, karena ia telah melanggar perintah Allah yaitu supaya tidak memakan buah khuldi sewaktu ia dengan istrinya berada di surga. Karena melanggar larangan itulah mereka dikeluarkan dari surga. Ia mengakui segala kesalahannya di hadapan Allah.

لَمَّا اقْتَرَفَ اَدَمُ الْخَطِيْئَةَ قَالَ يَا رَبِّ أَسْئَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ اِلاَّ غَفَرْتَ لِى فَقَالَ الله ُتَعَالَى يَا اَدَمَ كَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ اَخْلُقْهُ قَالَ يَا رَبِّ لَمَّا خَلَقْتَنِى رَفَعْتُ رَأْسِى فَرَأَيْتُ عَلَى قَوَائِمِ الْعَرْشِ مَكْتُوْباً لاَ اِلَهَ اِلاَّ الله ُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فَعْلِمْتُ اَنَّكَ لَمْ تَضِفْ اِلَى اَسْمَائِكَ اِلاَّ اَحَبُّ الْخَلْقِ اِلَيْكَ فَقَالَ الله ُتَعَالَى صَدَقْتَ يَا اَدَمَ اِنَّهُ َلاَحَبُّ الْخَلْقِ اِلَيَّ وَاِذَا سَئَلْتَنِى بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ وَلَوْلاَ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتَكَ فَهُوَ اَخِرُ اْلاَنْبِيَاءِ مِنْ ذُرِيَتِكَ

Tatkala nabi Adam mengakui kesalahannya, dia berkata “Wahai Tuhan, saya mohon kepada-Mu bihaqqi (dengan kebenaran) Muhammad Saw, ampunilah dosaku!.” Allah berfirman, “Adam, bagaimana mungkin anda mengenal Muhammad, padahal ia belum Ku-jadikan?” Adam menjawab, “Wahai Tuhan, sesungguhnya tatkala Engkau menciptakan aku, kuangkat kepalaku, maka kulihat di atas tiang-tiang Arasy bertulis   لا اله الا الله  محمد رسول اللهmengertilah aku bahwa Engkau tidak menyandarkan sesuatu kepada nama-Mu, melainkan orang yang paling dikasihi makhluk.” Allah pun berfirman pula, “Benar anda Adam, sesungguhnya Muhammad Saw itu paling kasih sayang kepada-Ku. Apabila anda memohon dengan berkat kebenarannya, maka sesungguhnya Ku-ampuni dosamu. Dan kalaulah tidak karena Muhammad, tidaklah Ku-jadikan anda dan dia adalah nabi yang terakhir dari keturunanmu.” (HR. al Baihaqi, al Hakim dan at Thabrani)

Khalifah Umar bin Khattab pernah meminta hujan kepada Allah melalui paman Rasul, Abbas bin Abdul Muththalib. Dalam bertawassul, khalifah Umar mengatakan:

اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا ، قَالَ: فَيُسْقَوْنَ

Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami lantas Engkau beri kami hujan. Sekarang kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi kami maka beri kami hujan. Dan (perawi) berkata: maka mereka diberi hujan. (HR. Bukhari 2/27)

Suatu saat seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Usman bin Affan agar memenuhi hajatnya. Saat itu, Utsman tidak menanggapi kedatangannya dan tidak pula memperhatikan hajatnya. Lalu lelaki itu pergi dan ditengah jalan bertemu Utsman bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu lantas Usman bin Hunaif mengatakan kepadanya:Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat. Seusainya maka katakanlah:

اللهم إني أسألك و أتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلي ربي فتقضي لي حاجتي

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (perantaraan) Nabi kami Muhammad, Nabi pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkanlah hajatku …. [HR. Ahmad ( 4/138), at-Tirmidzi (5/569), Ibnu Majah (1/441), Al Hakim dalam Al Mustadrak (1/313) dia mengatakan hadis ini sanadnya sahih, dan disepakati oleh adz Dzahaby)

Mayoritas Ahli Fiqh (Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah yang akhir, dan Hanabilah) membolehkan tawassul dg nabi saw, baik saat beliau hidup maupun sesudah beliau wafat.‎ Al Qashtalani meriwayatkan bahwa Imam Malik membolehkan juga, ketika ditanya kemana menghadap saat berdo’a, ke kiblat atau ke kubur Rasulullah SAW? Maka Imam Malik menjawab:

وَلِمَ تَصْرِفْ وَجْهَك عَنْهُ وَهُوَ وَسِيلَتُك وَوَسِيلَةُ أَبِيك آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَل يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ بَل اسْتَقْبِلْهُ وَاسْتَشْفِعْ بِهِ فَيُشَفِّعُهُ اللَّهُ

Mengapa (harus) engkau palingkan wajahmu darinya, sedangkan dia adalah wasilahmu dan wasilah Adam bapakmu kepada Allah SWT pada hari kiamat? Akan tetapi menghadaplah kepadanya (kubur Nabi), dan mintalah dengannya (wasilah nabi saw, yakni wasilah kecintaan kepada nabi saw) maka Allah akan menolong engkau. Dan Imam Nawawi juga berpandangan seperti ini.

Tawassul Kepada Allah Subhanahu Wa ta’ala Dengan Doa Orang yang Shalih Yang Masih Hidup.

Jika seorang Muslim menghadapi kesulitan atau tertimpa musibah besar, namun ia menyadari kekurangan-kekurangan dirinya dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala, sedang ia ingin mendapatkan sebab yang kuat kepada Allah, lalu ia pergi kepada orang yang diyakinim keshalihan dan ketakwaannya, atau memiliki keutamaan dan penmgetahuan tentang al-Qur’an serta as-Sunnah, kemudian ia meminta kepada orang shalih itu agar mendoakan dirinya kepada Allah supaya ia dibebaskan dari kesedihan dan kesusahan, maka cara demikian ini termasuk tawassul yang dibolehkan, seperti :

P e r t a m a , hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ‎radlyallhu’anhu :

صحيح البخاري ٩٥٨: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَاإِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شَرِيكٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ الْمَسْجِدَ يَوْمَ جُمُعَةٍ مِنْ بَابٍ كَانَ نَحْوَ دَارِالْقَضَاءِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ يَخْطُبُفَاسْتَقْبَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا ثُمَّ قَالَ يَارَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتْ الْأَمْوَالُ وَانْقَطَعْتِ السُّبُلُ فَادْعُ اللَّهَيُغِيثُنَا فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ ثُمَّ قَالَاللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا قَالَ أَنَسٌ وَلَا وَاللَّهِ مَانَرَى فِي السَّمَاءِ مِنْ سَحَابٍ وَلَا قَزَعَةً وَمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ سَلْعٍمِنْ بَيْتٍ وَلَا دَارٍ قَالَ فَطَلَعَتْ مِنْ وَرَائِهِ سَحَابَةٌ مِثْلُالتُّرْسِ فَلَمَّا تَوَسَّطَتْ السَّمَاءَ انْتَشَرَتْ ثُمَّ أَمْطَرَتْ فَلَاوَاللَّهِ مَا رَأَيْنَا الشَّمْسَ سِتًّا ثُمَّ دَخَلَ رَجُلٌ مِنْ ذَلِكَ الْبَابِفِي الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ يَخْطُبُفَاسْتَقْبَلَهُ قَائِمًا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتْ الْأَمْوَالُوَانْقَطَعَتْ السُّبُلُ فَادْعُ اللَّهَ يُمْسِكْهَا عَنَّا قَالَ فَرَفَعَ رَسُولُاللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلَاعَلَيْنَا اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِالشَّجَرِ قَالَ فَأَقْلَعَتْ وَخَرَجْنَا نَمْشِي فِي الشَّمْسِ
قَالَ شَرِيكٌ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ أَهُوَ الرَّجُلُ الْأَوَّلُ فَقَالَ مَاأَدْرِي

Shahih Bukhari 958: dari Anas bin Malik bahwa ada seorang memasuki masjid pada hari Jum'at dari pintu yang menghadap Darul Qadla' (rumah 'Umar bin Al Khaththab). Saat itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang berdiri menyampaikan khutbah, orang itu lalu berdiri menghadap Rasulullah seraya berkata, "Wahai Rasulullah, harta benda telah habis dan jalan-jalan terputus. Maka mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan buat kami!" Anas bin Malik berkata, "Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya seraya berdoa: "Ya Allah berilah kami hujan, Ya Allah berilah kami hujan, Ya Allah berilah kami hujan." Anas bin Malik melanjutkan, "Demi Allah, sebelum itu kami tidak melihat sedikitpun awan baik yang tebal maupun yang tipis. Juga tidak ada antara tempat kami dan bukit itu rumah atau bangunan satupun. Tiba-tiba dari bukit itu tampaklah awan bagaikan perisai. Ketika sudah membumbung sampai ke tengah langit, awan itupun menyebar lalu turunlah hujan." Anas bin Malik berkata, "Demi Allah, sungguh kami tidak melihat matahari selama enam hari. Kemudian pada Jum'at berikutnya, ada seorang laki-laki masuk kembali dari pintu yang sama sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang beridiri menyampaikan khutbahnya. Orang itu lalu berdiri menghadap beliau seraya berkata, "Wahai Rasulullah, harta benda telah binasa dan jalan-jalan pun terputus. Maka mintalah kepada Allah agar menahan hujan dari kami!" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun mengangkat kedua tangannya seraya berdoa: "Ya Allah turunkanlah hujan di sekitar kami saja dan jangan membahayakan kami. Ya Allah turunkanlah di atas bukit-bukit, dataran tinggi, jurang-jurang yang dalam serta pada tempat-tempat tumbuhnya pepohonan." Anas bin Malik berkata, "Maka hujan pun berhenti. Lalu kami keluar berjalan-jalan di bawah sinar matahari." Syarik berkata, "Aku bertanya kepada Anas bin Malik, 'Apakah laki-laki tadi juga laki-laki yang pertama? ' Dia menjawab, 'Aku tak tahu'."

K e d u a , hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radlyallahu’anhu:

صحيح البخاري ٩٥٤: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَامُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُالْمُثَنَّى عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍأَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَاللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَبِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ

Shahih Bukhari 954: dari Anas bin Malik bahwa 'Umar bin Al Khaththab radliallahu 'anhu ketika kaum muslimin tertimpa musibah, ia meminta hujan dengan berwasilah kepada 'Abbas bin 'Abdul Muththalib seraya berdo'a, "Ya Allah, kami meminta hujan kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami, kemudian Engkau menurunkan hujan kepada kami. Maka sekarang kami memohon kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami,, maka turunkanlah hujan untuk kami." Anas berkata, "Mereka pun kemudian mendapatkan hujan."

Seorang mukmin dapat pula minta didoakan oleh saudaranya untuknya seperti ucapannya, “ Berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan kesemalatan bagiku atau memenuhi permintaanku “. Dan yang serupa dengan itu . Sebagaimana Rasulullah ‎shalallahu’alaihi wa sallam meminta kepada seluruh umatnya untuk mendoakan beliau, seperti bershalawat kepada beliau setelah azan atau memohon kepada Allah agar beliau diberikan wasilah, keutamaan dan kedudukan yang terpuji yang telah dijanjikan oleh-Nya. Sebagaimana hadits sebagai berikut :‎

سنن أبي داوود ٤٣٩: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا ابْنُوَهْبٍ عَنْ ابْنِ لَهِيعَةَ وَحَيْوَةَ وَسَعِيدِ بْنِ أَبِي أَيُّوبَ عَنْكَعْبِ بْنِ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِبْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ
أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْالْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّىعَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ عَزَّوَجَلَّ لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍمِنْ عِبَادِ اللَّهِ تَعَالَى وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ اللَّهَلِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَّفَاعَةُ

Sunan Abu Daud 439: dari Abdullah bin Amru bin Al-'Ash, bahwasanya dia pernah mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila kalian mendengar muadzin mengumandangkan adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkannya kemudian bacalah shalawat untukku, karena sesungguhnya orang yang membaca shalawat sekali untukku, maka Allah akan menganugerahkan sepuluh shalawat (rahmat) kepadanya, lalu mohonlah kepada Allah Azza wa Jalla Washilah (kedudukan yang tinggi) untukku. Karena washilah itu suatu kedudukan yang tinggi dalam surga, yang tidak pantas kecuali bagi seseorang di antara hamba hamba Allah Ta'ala, dan saya berharap semoga sayalah yang akan menempatinya. Barangsiapa yang memohonkan wasilah kepada Allah untukku, niscaya dia akan mendapat syafaat.‎
Doa yang dimaksud adalah doa sesudah azan yang diajarkan oleh Nabi‎

صحيح البخاري ٥٧٩: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ حَدَّثَنَاشُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرِ بْنِعَبْدِ اللَّهِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ حِينَيَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِآتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِيوَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Shahih Bukhari 579: dari Jabir bin 'Abdullah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa berdo'a setelah mendengar adzan: ALLAHUMMA RABBA HAADZIHID DA'WATIT TAMMAH WASHSHALAATIL QAA'IMAH. AATI MUHAMMADANIL WASIILATA WALFADLIILAH WAB'ATSHU MAQAAMAM MAHMUUDANIL LADZII WA'ADTAH (Ya Allah. Rabb Pemilik seruan yang sempurna ini, dan Pemilik shalat yang akan didirikan ini, berikanlah wasilah (perantara) dan keutamaan kepada Muhammad. Bangkitkanlah ia pada kedudukan yang terpuji sebagaimana Engkau telah jannjikan) '. Maka ia berhak mendapatkan syafa'atku pada hari kiamat."

Sesungguhnya masih banyak lagi dalil-dalil al Qur’an maupun al Hadits ataupun perbuatan para sahabat yang melaksanakan amalan, do’a dengan berwasilah. Kiranya kuranglah bijaksana kalau kita paparkan satu demi satu karena amat banyak dan panjangnya dalam buku yang amat terbatas ini. Kiranya cukup jelas dan gamblang sekali dalil-dalil, alasan-alasan tersebut untuk membatalkan anggapan kalangan orang-orang yang melarang berwasilah secara mutlak, baik berwasilah kepada orang hidup maupun berwasilah kepada orang yang sudah mati. Dengan demikian batal pulalah anggapan kalangan orang-orang yang melarang berwasilah kepada selain Rasulullah Saw.
Perbuatan dan ucapan para sahabat, khulafaurrosyidin menjadi hujjah dalam masalah hukum agama dan keagamaan. Sabda Rasulullah Saw:

اِقْتَدُوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى اَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ فَاِنَّهُمَا حَبْلُ اللهِ الْمَمْدُوْدُ مَنْ تَمَسَّكَ بِهِمَا فَقَدْ تَمَسَّكَ بِالْعَرْوَةِ الْوثْقَى لانْفِصَامَ لَهَا
 
Ikutilah oleh kamu dua orang sesudahku Abu Bakar dan Umar. Sesungguhnya kedua orang tersebut adalah tali Allah yang dipanjangkan. Barang siapa yang berpegang teguh kepada keduanya, niscaya dia berpegang teguh kepada tali yang kuat yang tidak akan terputus. (HR. Thabrani)‎

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ

Hendaklah kamu ikuti sunahku dan sunah khulafaurrosyidin yang selalu mendapat hidayah dari Allah. (al Hadits)
Berwasilah (Tawassul) yang dilarang ‎

‎Tawassul dengan hak makhluk‎
Tawassul ini pun tidak dibolehkan, karena dua alasan :
P e r t a m a , bahwa Allah subhanahu wa ta’ala, tidak wajib memenuhi hak atas seseorang, tetapi justeru sebaliknya Allah lah yang menganugerahi hak tersebut kepada makhluk-Nya. Sebagaimana firmannya :
 
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ هَلْ مِنشُرَكَائِكُم مَّن يَفْعَلُ مِن ذَلِكُم مِّن شَيْءٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّايُشْرِكُونَ
 
Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan. ( QS. Ar Ruum : 40)
Orang yang ta’at berhak mendapatkan balasan kebaikan dari Allah karena anugerahdab nikmat bukan karenab alasan setara sebagaimana makhluk dengan makhluk yang lain.
K e d u a , hak yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya adalah hak khusus bagi diri hamba tersebut dan ada tidak kaitannya dengan orang lain dalam hak tersebut. Jika ada yang bertawassul dengannya, padahal dia tidak mempunyai hak berarti dia bertawassul dengan perkara yang asing yang tidak ada kaitannya anta dirinya denganhal tersebut dan itu tidak bermanfaat untuknya samasekali.
Adapun hadits yang berbunyi : “ Aku memohon kepada-Mu dengan hak orang-orang yang memohon… “hadits ini dha’if sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
TAWASSUL SYIRIK

Tawassul yang syirik, yaitu menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam ibadah seperti berdoa kepada mereka, meminta hajat atau memohon pertolongan sesuatu kepada mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
 
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَانَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِيمَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar ( QS.Az-Zumar : 3 )
Tawassul dengan meminta doa kepada orang mati tidak diperbolehkan bahkan perbuatan ini adalah syirik akbar. Karena mayity sudah tidak bisa berdoa seperti ketika ia masih hidup. Demikian juga meminta syafa’at kepada orang mati, karena Umar bin Khattab radlyallahu’anhu, Mu’awiyah bin Abi Sufyan radlyallahu’anhu dan para sahabat yang bersama mereka, juga para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, ketika ditimpa kekeringan mereka memohon diturunkannya hujan, bertwassul dan meminta syafaat kepada orang yang masih hidup, seperti kepada Abbas bin Abdul Muthalib dan Yasid bin al-Aswad. Mereka tidak bertawassul,meminta diturunkannya hujan melalui Nabi Muhammad ‎shalallahu’alaihi wa sallam, baik di kuburan beliau ataupun dikuburan orang lain, tetapi mereka mencari pengganti dengan orang masih hidup.
 
صحيح البخاري ٩٥٤: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَامُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُالْمُثَنَّى عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍأَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَاللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَبِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ

Shahih Bukhari 954: dari Anas bin Malik bahwa 'Umar bin Al Khaththab radliallahu 'anhu ketika kaum muslimin tertimpa musibah, ia meminta hujan dengan berwasilah kepada 'Abbas bin 'Abdul Muththalib seraya berdo'a, "Ya Allah, kami meminta hujan kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami, kemudian Engkau menurunkan hujan kepada kami. Maka sekarang kami memohon kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami,, maka turunkanlah hujan untuk kami." Anas berkata, "Mereka pun kemudian mendapatkan hujan."
Mereka menjadikan al-‘Abbas ‎radlyallahu’anhu sebagai pengganti dalam bertawassul ketika mereka tidak lagi bertwassul kepada Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam sesuai dengan yang disyari’atkan sebagaimana yang telah mereka lakukan sebelumnya. Padahal sangat mungkin bagi mereka untuk datang ke kubur Nabi shalallahu’alahi wa sallam dan bertwassul melalui beliau, jika itu memang hal itu dibolehkan. Mereka (para sahabat) meninggalkan praktek-praktek tersebut merupakan bukti tidak diperbolehkannya bertawassul dengan orang mati, baik meminta doa maupun syafa’at kepada mereka . Seandainya meminta doa atau syafa’at, baik kepada orang mati atau maupun yang masih hidup itu sama saja, tentu mereka tidak berpaling dari Nabi ‎shalallahu’alaihi wa sallam kepada orang yang lebi rendah derajatnya ( dalam hal ini al-‘Abbas bin Muthalib. 

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاء وَلَا الْأَمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَن يَشَاءوَمَا أَنتَ بِمُسْمِعٍ مَّن فِي الْقُبُورِ
Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang ma ti. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar ( QS.Faathir : 22 )‎

Bai'at‎

Bai’at adalah pelantikan, peresmian, penobatan (tahbis) seorang yang memiliki keseriusan dalam menempuh jalan pengetahuan (makrifat) Allah melalui seorang Mursyid yang diyakini memiliki hubungan khusus secara jasmani dan ruhani kepada Rasulullah Saw. Bai’at, talqin, pemberian ijazah atau inisiasi spiritual dikaitkan dengan peristiwa Bai’atur Ridwan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat. Ketika itu para sahabat menyatakan janji setia dalam kondisi apapun untuk mengabdi kepada Allah dan Rasul-Nya. Peristiwa ini dilukiskan dalam Al-Quran:

لَّقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا ﴿الفتح:١٨

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).

Di zaman Rasulullah Saw, bai’at diberlakukan terhadap mereka yang hendak masuk  agama Islam serta bagi yang berkeinginan menunaikan pekerjaan-pekerjaan (perintah) agama. Di antara bai’at yang ada waktu itu adalah bai’at untuk taat dan patuh kepada Rasulullah Saw.‎

Berbai’at untuk berlaku taat merupakan perintah syar’i dan Sunnah Rasulullah Saw meskipun telah beriman terlebih dahulu. Karena bai’at merupakan pembaharu janji setia serta penguat jalinan kepercayaan beragama.‎

Ada yang memiliki persepsi keliru bahwa bai’at hanya dilakukan di saat peperangan sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah Saw dan para sahabatnya ketika menghadapi kaum kafir Mekah. Padahal asbabun nuzul (sebab turunnya) kedua ayat tersebut menunjukkan disyari’atkannya bai’at dan tidak ada penjelasan bahwa bai’at hanya dilakukan pada saat peperangan saja. Kebijakan syari’at bai’at dilakukan pada setiap zaman untuk membangun kepemimpinan.‎

Makna Bai’at

Secara etimologi Bai’at adalah Isim mashdar dari baa-ya’a-yubaaya’a-bay’atun [بايع – يبايع - بيعة]. Asalnya sama dengan baayi’un (transaksi)‎. Makna bai’at itu sendiri adalah sumpah setia dengan suatu kepemimpinan. Sehingga ada jalinan hubungan yang kuat antara yang memimpin dan yang dipimpin. Dengan prosesi bai’at terjalinlah ikatan hukum berupa hak dan kewajiban serta tanggung jawab kedua belah pihak secara adil dan proporsional. Adanya hak dan kewajiban ini merupakan hasil dari bai’at.

Bai’at lebih merupakan pernyataan komitmen spiritual secara formal di depan mursyid untuk menjalani hidup yang benar dan lurus. Bai’at dapat menjadi terapi kaget (shock theraphy) menuju untuk hijrah kepada susasana batin yang baru dan memberikan motivasi berkomitmen dalam kehidupan yang benar. D‎ari akar kata tersebut diketahui bahwa kata  bai’at pada mulanya dimaksudkan sebagai pertanda kesepakatan atas suatu transaksi jual beli antara dua pihak. Kesepakatan itu biasanya dilakukan dengan berjabatan tangan. Istilah ini kemudian berkembang sebagai ungkapan bagi kesepakatan terhadap suatu perjanjian  antara dua pihak secara umum.‎

Bai’at di dunia tarekat bisa diperbarui seandainya seseorang memerlukan pengisian kembali (recharging ) energi spiritual dari mursyid. Namun perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa mursyid bukan santo atau lembaga pastoral yang dapat atas nama Tuhan memberikan pengampunan dosa terhadap jamaah. Fungsi mursyid sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya hanya berfungsi sebagai motivator dan tutor yang dipercayai salik. 
Hak dan Kewajiban

Hak Imam (Mursyid) adalah ditaati. Kewajibannya membimbing pengikutnya kepada jalan yang lurus. Jalan yang lurus merupakan anugerah besar yang hanya dibawa oleh orang-orang pilihan-Nya. Dan anugerah tersebut bukan berasal dari manusia atau makhluk-Nya.

Anugerah atas manusia pilihan Allah tersebut adalah Kenabian dan Kerasulan, di dalamnya terdapat kepemimpinan. Termasuk di dalamnya adalah Al-’Ulama, pewaris Nabi yang melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan selanjutnya.

Orang-orang pilihan Allah tersebut membawa panji-panji Ilahiyyah yang berisi kebijakan yang lurus dalam menggapai Keridhaan Allah SWT.

Hak Murid adalah dipimpin, dibimbing, diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Posisi Mursyid adalah sebagai konsultan yang menampung persoalan atau problematika muridnya. B‎anyak cara orang untuk memperoleh ketenangan dan sekaligus motivasi untuk menggapai rasa kedekatan diri dengan Allah. Salah satu di antaranya ialah menyatakan komitmen spiritual kepada Allah di depan atau melalui mursyid yang dipilih. Jika pada suatu saat mengalami krisis spiritual, ia merasa sangat terbantu oleh kehadiran sahabat spiritual yang berfungsi sebagai konsultan spiritualnya. Murid memiliki hak untuk bertanya terhadap persoalan yang belum (tidak mampu) dipecahkannya.

Kewajiban murid adalah Sami’na wa Atho’na. Tidak ada pilihan melainkan bersikap taat dan turut perintah. Hal ini disebabkan karena telah terbangun keimanannya kepada Mursyid yang telah dipilih Allah dan diyakini mendapatkan mandat Ilahiyyah yang membawa kebijakan Allah SWT. Modal itulah yang melandasi sikap Sami’na wa Atho’na. Sikap ini bukan taqlid yang dilakukan tanpa dilandasi ilmu pengetahuan, tapi didasarkan atas kesadaran dan keimanan.

Adanya hak dan kewajiban ini membuktikan konsep keadilan kepemimpinan dalam Islam. Keadilan inilah yang mendekatkan diri kepada nilai ketaqwaan.

Kelak akan ada pengikut yang melaknat pemimpinnya, sebagaimana yang diinformasikan dalam Al-Quran:

وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا ﴿الأحزاب: ٦٧﴾

Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).

Istilah Bai’at disebut juga dengan talqin. Talqin dipakai oleh para Ahli Tarekat, sedangkanBai’at sering digunakan dalam Fiqh Siyasah (Politik Islam).

Bagian pengabdian seorang Utusan baik kalangan Nabi atau penerusnya adalah sebagai pendidik (mu’allim) umatnya. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ ﴿الجمعة: ٢﴾

Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

Bai’at juga disebut juga dengan Ijazah. Ijazah mengandung arti memberikan suatu amalan atau wirid (kepada murid). Dalam kebijakan Al-Idrisiyyah Al-Islamiyyah, ketiga istilah ini (Bai’at– Talqin dan Ijazah) dipadukan dalam satu kesatuan. Bai’at mengandung kesepakatan terhadap kepemimpinan yang di dalamnya mengandung pendidikan atau pengajaran sekaligus adanya pemberian amalan (wirid).

Wiridan dalam Ijazah mesti dilakukan oleh setiap murid untuk mengikat batin, agar tercipta kelangsungan bimbingan dari seorang Guru kepada murid-muridnya. Karena bimbingan Islam tidak dibatasi waktu dan tempat. Kapanpun dan di manapun bimbingan (tarbiyyah) ruhiyyah bisa dirasakan. Seorang murid mesti memiliki daya juang (mujahadah) untuk mendapatkan hubungan tarbiyyah berjalan dengan baik, salah satunya dengan melaksanakan awrad (formula dzikir) yang diterimanya.

Apabila seorang Mursyid dengan tanggungjawabnya senantiasa memperhatikan keselamatan dan kebahagiaan murid-muridnya di dunia dan akhirat, dan Allah memberikan kekuatan berupa Nur Ilahi-Nya, kemudian muridnya melakukan mujahadah dalam awrad ijazahnya maka akan tersambunglah hubungan tersebut.

Firman Allah SWT:

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَىٰ نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا ﴿الفتح: ١٠﴾

Bahwasanya orang-orang yang bersumpah setia kepada kamu sesungguhnya mereka bersumpah setia kepada Allah. Kekuasaan Allah di atas kekuasaan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.‎

Terjemah bebas: Barang siapa yang membatalkan janji (tidak komitmen) atas sumpah setianya maka sesungguhnya dia telah membatalkan perjanjian pada dirinya sendiri, tidak pada Allah, Rasul dan para Khalifahnya. Alias yang rugi di pihak dirinya sendiri. Sebaliknya barang siapa yang sungguh-sungguh pasca bai’at, ijazah dan talqin dengan mencurahkan seluruh pikiran, ingin memperbaiki diri, masuk ke dalam bimbingan yang paripurna maka Allah berjaniji akan memberikan kepadanya pahala yang agung.

Inilah ajaran syari’at yang sangat penting untuk membangun kecerdasan umat, tapi sayang sekali sebagian besar umat Islam tidak memahami makna syari’at ini. Sehingga kebanyakan mereka tidak dalam kapasitas terbimbing. Orang yang berbai’at akan mendapatkan kekuasaan dari Allah SWT berdasarkan ungkapan Yadullaaha fawqo aydiihim. Karena orang yang berbai’at kepada Petugas Allah berarti berbai’at kepada Allah. Allah secara langsung membimbing, memberikan kekuatan, meneguhkan atasnya. Kekuasan dan Kekuatan Allah di atas kekuasaan dan kekuatan manusia.

Ketika berbai’at, seseorang akan mendapatkan keridhaan-Nya, dosa-dosanya ditolerir sejalan dengan ungkapan laqod rodhiyallaahu [sungguh Allah telah meridhai]. ‎Seorang yang sering membuat jengkel orang tua dengan berbagai kelakuan buruknya, ketika mendapatkan ridha dari orang tuanya, maka orang tuanya akan melupakan segala apa yang telah dilakukan oleh anaknya itu. Sebaliknya jika seseorang sedang merasa benci seseorang, maka ia lupa akan segala kebaikannya. Yang dilihat adalah sisi buruknya saja. Jika ia seorang suami yang sedang dibenci, akan berubahlah wajah suaminya yang sebelumnya kelihatan ganteng menjadi buruk rupa.

Seorang Mursyid bertugas (ibadah) melakukan bimbingan, mencurahkan pikiran dan strategi, membuat berbagai metodologi dan inovasi, supaya kebijakan yang dibawanya bisa direspon dan diamalkan oleh murid pada khususnya dan umat pada umumnya. Tanggung jawab seorang Mursyid itu begitu besar, karena berupa Risalah Al-Islamiyyah yang pernah ditawarkan kepada seluruh makhluk lain sebelum manusia, mereka tidak sanggup memikulnya.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا ﴿الأحزاب: ٧٢﴾

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,

Tanggung jawab seorang Mursyid bersifat internal dan eksternal. Skalanya sangat luas. Sedangkan seorang murid minimal mempertanggungjawabkan dirinya masing-masing. Kewajiban yang diistiqamahkan akan menghasilkan kualitas diri yang baik. Bahkan diharapkan menjadi hamba pilihan.

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ ... إلخ ﴿آل‌عمران: ١١٠﴾

Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,

Supaya menjadi suri tauladan bagi manusia, sebagai kewajiban internal dan eksternal. Murid yang telah berbai’at, mendapatkan bimbingan lahir batin, wawasan keislaman yang luas, pendalaman dan penghayatan tentang agama, akan menghasilkan pribadi-pribadi yang berkualitas, serta menjadi contoh di hadapan umat manusia.

Pada umumnya manusia memiliki cita-cita yang pendek, sedangkan pribadi yang berkualitas (khoyro ummah) memiliki visi jauh ke depan, cita-cita yang tinggi, harapan jangka panjang hingga kepada kebahagiaan di kehidupan yang kekal.

Ijazah adalah proses pembentukan diri. Formula dzikir yang diberikan saat menerima Ijazah, bai’at atau talqin bisa berubah (mengalami inovasi) sesuai kondisi zamannya. Perubahan tersebut adalah bagian dari kebijakan Allah yang dinamis. Allah senantiasa melakukan Perbuatan-Nya (Fa’-’aalul limaa yuriid). Sebagai murid mesti memanfaatkan waktu dalam mewujudkan penghambaan diri kepada-Nya. Waktu menurut filsafat ibarat air mengalir yang tidak pernah berhenti. Waktu terus bergulir seiring pergerakan matahari dan bulan. Waktu tidak akan berhenti apalagi mundur. ‎

Semoga Bermanfaat 
Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq‎

Penjelasan Tentang Sifat Yakin


Yakin artinya nyata dan terang. Yakin itu ialah lawan dari syak dan ragu-ragu. Maka tidaklah akan hilang syak dan ragu-ragu itu kalau tidak ada dalil atau alasan yang cukup. Dan datangnya yakin itu setelah memperoleh bukti-bukti yang terang. Keyakinan setelah datang menyelidiki, kadang-kadang tidak diselidiki lagi karena dalil itu cukup terbentang di hadapan mata. Cara mencapai dalil itu tidaklah sama di antara manusia. Banyak perkara yang diyakini oleh seorang, masih diragui oleh yang lain, sebab belum mendapat dalilnya. Tetapi dalam perkara yang terang misalnya alasan bahwa hari telah siang, atau dua kali dua empat, lekas orang meyakininya.

Syaikh Al-Jurjani menjelaskan;

اليقين : في اللغة: العلم الذي لا شك معه، (التعرفات : 85)
اليقين : في الاصطلاح: اعتقاد الشيء بأنه كذا مع اعتقاد أنه لا يمكن إلا كذا،مطابقاً للواقع غير ممكن الزوال (التعرفات : 85)

Bahwa Yakin menurut istilah adalah meyakini sesuatu itu seperti itu dan meyakini bahwa hal itu tidak mungkin kecuali seperti itu, serta senantiasa akan sesuai dengan kenyataan.

واليقين هو سكون النفس وثلج الصدر بما علم (الفروق اللغوية - (1 / 374))

Abu Hilal al-Askari mendefinisikan bahwa yakin adalah tetapnya jiwa dan dadanya merasa tenteram dengan apa yang ia ketahui.


Al-Baidhowi (W. 691 H) mengatakan bahwa yakin adalah mengokohkan ilmu dengan meniadakan keraguan dan kesamaran tentangnya dengan cara Nadzr (berfikir mendalam) dan Istidlal (menunjukkan dalil)

Makna Yakin Dalam Al-Qur’an

Allah Swt telah menunjukkan tanda-tanda kekuasaannya kepada manusia di langit dan di bumi, Dia telah menundukkan matahari dan bulan, sehingga keduanya beredar dengan waktu yang ditentukan, Dia pun mengurus pergantian siang dan malam. Semua tanda-tanda yang telah Allah perlihatkan kepada manusia seharusnya menjadikan dirinya semakin Yakin kepada Allah dan kepada semua yang diterangkannya dalam Kitab-Nya. Allah berfirman

اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى يُدَبِّرُ الْأَمْرَ يُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لَعَلَّكُمْ بِلِقَاءِ رَبِّكُمْ تُوقِنُونَ [الرعد/2]

Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.

وَفِي خَلْقِكُمْ وَمَا يَبُثُّ مِنْ دَابَّةٍ آَيَاتٌ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ [الجاثية/4]

Dan pada penciptakan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini,

وَفِي الْأَرْضِ آَيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ [الذاريات/20]

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.

Sesuatu yang tidak ada keraguan

Ketika orang-orang Yahudi ingin menangkap Nabi Isa as, Allah telah menyerupakan murid Nabi Isa yang berkhianat menjadi seperti Nabi Isa. Kemudian Allah mengangkat nabi Isa kepadaNya. Sehingga yang mereka salib itu bukanlah Nabi Isa, dan ternyata mereka ketika menyalibnya pun ada dalam keraguan. Tidaklah mereka merasa yakin. Sebagaimana telah diceritakan oleh Allah dalam Al-Qur’an.  

وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا [النساء/157]

Dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.

Ketika burung Hud-hud terbang berkelana ke Negeri Saba, ia melihat penduduk negeri itu dipimpin oleh seorang ratu bernama balqis. Dia memperhatikan perbuatan penduduk saba itu dengan mata kepala sendiri, bahwa mereka menyembah matahari. Kemudian ia pulang menuju kerajaan Nabi Sulaiman untuk mengabarkan yang dia lihat kepada Nabi Sulaiman.

فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ [النمل/22]

Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.

        Dengan makna kematian

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ [الحجر/99]

dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).

حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ  [المدثر/47]

hingga datang kepada kami kematian."

Tentang lafadz yakin dalam ayat ini, ada beberapa ulama memberi arti kemenangan, tetapi banyak ulama yang memahaminya dalam arti kematian. Jika kata tersebut dipahami dalam arti kemenangan, dapat timbul kesan bahwa perintah melaksanakan shalat dan beribadah berakhir dengan datangnya kemenangan. Berbeda halnya jika ia difahami dalam arti kematian. Kematian dipersamakan dengan keyakinan karena ia adalah sesuatu yang pasti, tidak seorang pun meragukannya. Setiap saat terlihat ia terlihat, walau sekian banyak pula orang yang lengah menyangkut keadaannya.

Ayat diatas menggambarkan datangnya kematian dengan kalimat “sampai datang kepadamu keyakinan”. Itu berarti bukan manusia yang pergi menemuinya karena memang semua manusia enggan mati dan, kalaupun dia berusaha mengakhiri hidupnya, dia tidak akan berhasil jika seandainya kematian belum datang menemuinya. Namun demikian, suka tau tidak suka, cepat atau lambat, maut pasti datang menemui kita. Ia diibaratkan dengan anak panah yang telah dilepas dari busurnya, ia terus akan mengejar sasarannya, dan begitu ia tiba pada sasaran, saat itu pula kematian yang ditujunya tiba. Kecepatan anak panah itu jauh melebihi kecepatan melaju makhluk hidup sehingga betapa kencangnya ia berlari pada akhirnya anak panah itu mengenainya juga.

Ayat di atas juga membuktikan bahwa shalat dan ibadah harus dilaksanakan sepanjang hayat. Ia tidak boleh terhenti kecuali dengan kematian. Jangankan manusia biasa, Rasulullah saw pun yang demikian suci jiwanya dan demikian dekat lagi dicintai Allah swt. masih diperintahkan oleh ayat ini untuk terus shalat dan beribadah, apalagi selain beliau.

Yakin itu diharuskan oleh Allah SWT pada orang-orang beriman

Allah Swt telah menunjukkan tanda-tanda kekuasaannya kepada manusia di langit dan di bumi, Dia telah menundukkan matahari dan bulan, sehingga keduanya beredar dengan waktu yang ditentukan, Dia pun mengurus pergantian siang dan malam. Semua tanda-tanda yang telah Allah perlihatkan kepada manusia seharusnya menjadikan dirinya semakin Yakin kepada Allah dan kepada semua yang diterangkannya dalam Kitab-Nya. Allah berfirman

اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى يُدَبِّرُ الْأَمْرَ يُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لَعَلَّكُمْ بِلِقَاءِ رَبِّكُمْ تُوقِنُونَ [الرعد/2]

Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.

وَفِي خَلْقِكُمْ وَمَا يَبُثُّ مِنْ دَابَّةٍ آَيَاتٌ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ [الجاثية/4]

Dan pada penciptakan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini,

وَفِي الْأَرْضِ آَيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ [الذاريات/20]

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.

    Orang yang termasuk golongan orang-orang yang yakin

وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ [الأنعام/75]

Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin.

Kata al-Muqiniin adalah bentuk jamak dari kata muqin, yang terambil dari kata yakin. kata ini mengandung makna pengetahuan yang tidak disentuh oleh keraguan sedikitpun. Iman atau kepercayaan, apalagi pada tahap-tahap awal, sering kali dibarengi oleh tanda tanya dan keraguan. Nabi ibrahim as. Pernah mengalami hal itu. Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 260 diuraikan permintaan Nabi Ibrahim as kepada Allah swt. agar di tunjukkan kepada beliau bagaimana yang mahakuasa menghidupkan yang mati. Ketika ditanya;“Apakah engkau belum beriman?” Beliau menjawab: “Aku sudah beriman, tetapi permintaanku itu adalah untuk menenangkan hatiku."

Ketika menafsirkan ayat ini, Quraish Shihab mengemukakan bahwa agaknya tidak keliru bila kta berpendapat bahwa, saat menyampaikan permohonan itu, Nabi Ibrahim as. Belum sampai pada satu tingkat keimanan yang meyakinkan sehingga-ketika itu- masih ada semacam pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak beliau. Kalaupun ketika itu beliau telah yakin, itu baru sampai pada tingkat ‘Ilm al-Yakin, belum ‘Ain al-Yakin, apalagi Haqq al-Yakin. Beliau baru sampai pada tingkat keyakinan yang sempurna setelah malakut as-Samawati wa al-Ardh ditunjukkan kepadanya oleh Allah, sebagaimana firmannya di atas.

Sifat yakin dan keteguhan hati adalah satu hal penting yang selalu dirindukan oleh orang yang berakal sehat, sebagai penenang hati dalam kesunyian, pemberi kekuatan saat ditimpa kelemahan, menjadi penerang dalam kegelapan, penghilang dahaga saat kehausan. Ringkasnya, keteguhan hati menyimpan banyak makna.

Barangsiapa memiliki sifat ini, maka ia akan memperoleh kewibawaan dan kemuliaan, meski ia bukan dari keturunan bangsawan. Sifat ini tidak bisa dibeli dengan harta dan tidak pula diraih dengan kekuatan. Sifat inilah yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan beliau tidak memerintahkan kita kecuali kepada kebaikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَلُوْا اللهَ اليَقِينَ وَالمُعَافَاةَ، فَإِنَّهُ لَمْ يُؤْتَ أَحَدٌ بَعْدَ اليَقِيْنُ خَيْرًا مِنَ المَعَافَاةِ

Mohonlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaketeguhan hati dan keselamatan. Sungguh, seseorang tidak diberi sesuatu yang lebih baik daripada keselamatan setelah diberi keteguhan hati. (HR. Ahmad)

Dalam keyakinan yang benar yaitu keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sesuai pemahaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, iman itu tidak cukup keyakinan dalam hati, tetapi harus diucapkan di lisan dan dibuktikan dalam amal perbuatan anggota badan. Jadi, ada tiga komponen di dalam iman. Jika seseorang mengucapkan laa ilaha illallah, namun tiada amalan dalam hidupnya, seperti enggan untuk shalat sama sekali, maka pengakuannya sebagai muslim hanyalah pengakuan yang dusta.

Dalam hadits dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

“Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.” (HR. Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35).

Cabang Iman

Iman secara bahasa berarti tashdiq (membenarkan). Sedangkan secara istilah syar’i, iman adalah perkataan di lisan, keyakinan dalam hati, amalan dengan anggota badan, bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.

Disebutkan dalam hadits di atas bahwa cabang iman yang tertinggi ialah kalimat ‘laa ilaha illalah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah). Kalimat tersebut adalah pokok Islam dan Iman. Kalimat tersebut merupakan rukun pertama dari Islam dan yang bisa membuat seseorang masuk Islam.

Sedangkan cabang iman yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, yang dimaksud di sini adalah menyingkirkan setiap gangguan apa pun. Sedangkan meletakkan gangguan di jalanan termasuk sesuatu yang terlarang. Semisal memarkir mobil di tengah jalan dan mengganggu kendaraan yang lalu lalang, ini termasuk meletakkan gangguan di jalan. Mengalirkan air sehingga mengganggu orang lain di jalan, ini pun termasuk yang terlarang. Begitu pula meletakkan batu sehingga mengganggu di jalan, ini pun terlarang. Apalagi jika sampai meletakkan bom di jalanan, meskipun disebut sebagai jihad! Jika seseorang menyingkirkan gangguan-gangguan tadi dari jalanan, itu menunjukkan keimanannya.

Malu pun termasuk cabang iman. Seseorang yang memiliki sifat malu, maka dirinya akan semakin mempesona dengan akhlaknya yang mulia tersebut. Malu ada dua macam sebagaimana dijelaskan oleh guru kami, 

1- Malu yang terpuji: Malu yang bisa mengantarkan pada kebaikan dan mencegah dari kejelekan.
2- Malu yang tercela: Malu yang menghalangi seseorang dair berbuat baik, dari menuntut ilmu dan malu bertanya dalam perkara yang dibingungkan.
Cabang iman sebenarnya amatlah banyak, sebagaimana disebutkan ada 60 atau 70 sekian cabang. Bahkan Imam Al Baihaqi memiliki karya tulis dalam masalah cabang-cabang iman ini, yaitu dalam kitab Syu’abul Iman dan kitab ringkasannya pun sudah ada yang tercetak (dalam versi Arabic).

Beberapa Keyakinan dalam Masalah Iman

1- Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Iman adalah keyakinan dalam hati, perkataan dalam lisan dan amalan dengan anggota badan.

Dalil yang menunjukkan keyakinan ahlus sunnah adalah hadits Abu Hurairah yang telah disebutkan di atas. Perkataan ‘laa ilaha illallah’ menunjukkan bahwa iman harus dengan ucapan di lisan. Menyingkirkan duri dari jalanan menunjukkan bahwa iman harus dengan amalan anggota badan. Sedangkan sifat malu menunjukkan bahwa iman harus dengan keyakinan dalam hati, karena sifat malu itu di hati. Inilah dalil yang menunjukkan keyakinan ahlu sunnah di atas. Sehingga iman yang benar jika terdapat tiga komponen di dalamnya yaitu (1) keyakinan dalam hati, (2) ucapan di lisan, dan (3) amalan dengan anggota badan.

Secara jelas keyakinan Ahlus Sunnah mengenai iman termaktub dalam perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah di mana beliau berkata,

فَصْلٌ : وَمِنْ أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ أَنَّ الدِّينَ وَالْإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ ، قَوْلُ الْقَلْبِ وَاللِّسَانِ ، وَعَمَلُ الْقَلْبِ وَاللِّسَانِ وَالْجَوَارِحِ ، وَأَنَّ الْإِيمَانَ يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ ، وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَةِ .

“Fasal: Di antara pokok akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwa agama dan iman terdiri dari: perkataan dan amalan, perkataan hati dan lisan, amalan hati, lisan dan anggota badan. Iman itu bisa bertambah dengan melakukan ketaatan dan bisa berkurang karena maksiat.”

2- Murji’ah: Iman adalah keyakinan dalam hati dan ucapan di lisan saja.
3- Karomiyah: Iman adalah ucapan di lisan saja.
4- Jabariyyah: Iman adalah pengenalan dalam hati saja.
5- Mu’tazilah: Iman adalah keyakinan dalam hati, ucapan dalam lisan dan amalan anggota badan. 

Namun ada sisi yang membedakan Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah. Mu’tazilah menganggap bahwa pelaku dosa besar hilang darinya cap iman secara total dan kekal di neraka. Sedangkan Ahlus Sunnah, pelaku dosa besar masih diberi cap iman, akan tetapi ia dikatakan kurang imannya dan tidak kekal dalam neraka jika memasukinya.

Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq

 

Penjelasan Tentang Sifat Waro'


Ketenangan hidup di dunia adalah dambaan setiap orang. Akan tetapi betapa banyak manusia yang hidupnya penuh dengan kegelisahan, gundah gulana, kecemasan, ketakutan, adanya kebencian dengan orang lain, dan keadaan lainnya yang tidak diinginkannya. Di antara hal terbesar untuk mendapatkan ketenangan hidup adalah ketika kita hidup di tengah-tengah manusia dalam keadaan dicintai Allah dan juga dicintai manusia. Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam telah menunjukkan kepada kita suatu amalan yang akan mendatangkan kecintaan Allah dan juga kecintaan manusia kepada kita.
Dari Abul 'Abbas Sahl bin Sa'd As-Sa'idiy radhiyallahu 'anhu berkata:
 
 جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، دُلَّنِيْ عَلَى عَمَلٍ
إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ، فَقَالَ: اِزْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ
 
"Datang seseorang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu dia berkata, 'Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku akan suatu amalan yang apabila aku mengerjakannya niscaya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia?' Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Zuhudlah terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa-apa yang dimiliki oleh manusia niscaya manusia mencintaimu'." (Shahih, HR. Ibnu Majah)

Al-wara’ menurut bahasa berasal dari kata "wara'a yara'u war'an wa wara'an wa wari'atan", artinya menjaga dan menghindari dari hal-hal yang diharamkan dan perbuatan menahan diri dari hal halal yang mubah. Pelakunya disebut wari'un wa mutawarri'un. lafazh wari'a yaura'u wa yauri'u artinya menjadi orang yang wara'. tawarra'a minal-amri artinya menjauhinya. al-wara' dapat menggerakkan ketakwaan.

Menurut pengertian terminologis, al-wara' artinya menahan diri dari hal-hal yang dapat menimbulka mudharat lalu menyeretnya kepada hal-hal yang haram dan syubhat, karena syubhat ini dapat menimbulkan mudharat.

Allah Ta’ala berfirman:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu ibadahi selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu, dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kamu selama-lamanya, sampai kamu mau beriman kepada Allah semata’.” (Al-Mumtahanah: 4)‎

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى  الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ  لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ   مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ  أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
[رواه البخاري ومسلم]

Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati “.
(Riwayat Bukhori dan Muslim) 
Di antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara' adalah kehati-hatian mereka yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan tidak adanya keberanian mereka untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Dan dalam hal itu, Rasulullah saw bersabda:‎

إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ, فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ.
 
"Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya." (HR. al-Bukhari, kitab al-Iman, no. 52, dan Muslim, kitab al-Musaqah, no. 1599 dan 107.)
 
Dan barangsiapa yang bertindak berani di tempat-tempat yang diragukan, niscaya bertambahlah keberaniannya terhadap sesuatu yang lebih berat: "Dan sesungguhnya orang yang bercampur keraguan, hampir-hampir ia berani (kepada yang diharamkan)." (Sunan Abu Daud, kitab buyu' (jual beli), bab ke-3 no. 3329.)

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :

من حسن إسلام المرء تركه مالا يعنيه

“Dari kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.” [Hasan : Sunan Tirmidzi]

Makna hadits ini mencakup setiap yang tidak bermanfaat dari ucapan, penglihatan, pendengaran, ayunan tangan, berjalan, berpikir dan seluruh gerak yang tampak ataupun yang tidak (batin). Hadits ini telah mencakup semua makna  yang terkandung dalam lafazh wara’.
Mengenai keutamaan sifat wara’ telah disebutkan oleh Nabi kita  shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
فضل العلم خير من فضل العبادة وخير دينكم الورع‎

“Keutamaan menuntut ilmu itu lebih dari keutamaan banyak ibadah. Dan sebaik-baik agama kalian adalah sifat wara’” (HR. Ath Thobroni dalam Al Awsath, Al Bazzar dengan sanad yang hasan‎).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan nasehat berharga pada Abu Hurairah,

يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ وَكُنْ قَنِعًا تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا وَأَحَسِنْ جِوَارَ مَنْ جَاوَرَكَ تَكُنْ مُسْلِمًا وَأَقِلَّ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ

“Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi sebaik-baiknya ahli ibadah. Jadilah orang yang qona’ah (selalu merasa cukup dengan pemberian Allah), maka engkau akan menjadi orang yang benar-benar bersyukur. Sukailah sesuatu pada manusia sebagaimana engkau suka jika ia ada pada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi seorang mukmin yang baik. Berbuat baiklah pada tetanggamu, maka engkau akan menjadi muslim sejati. Kurangilah banyak tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah no. 4217‎).
Sangat sederhana sekali apa yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah  mengenai pengertian wara’, beliau cukup mengartikan dengan dalil dari sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah Rohimahulloh menjelaskan,

وقد جمع النبي الورع كله في كلمة واحدة فقال : من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه فهذا يعم الترك لما لا يعني : من الكلام والنظر والاستماع والبطش والمشي والفكر وسائر الحركات الظاهرة والباطنة فهذه الكلمة كافية شافية في الورع

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghimpun makna wara’ dalam satu kalimat yaitu dalam sabda beliau, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang yaitu meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” Hadits ini dimaksudkan untuk meninggalkan hal yang tidak bermanfaat yaitu mencakup perkataan, pandangan, mendengar, bertindak anarkis, berjalan, berpikir, dan aktivitas lainnya baik lahir maupun batin. Hadits tersebut sudah mencukupi untuk memahami arti wara’.” (Madarijus Salikin, 2: 21).
Dinukil dari Madarijus Salikin (di halaman yang sama), Ibrahim bin Adham berkata,
 
الورع ترك كل شبهة وترك ما لا يعنيك هو ترك الفضلات

“Wara’ adalah meninggalkan setiap perkara syubhat (yang masih samar), termasuk pula meninggalkan hal yang tidak bermanfaat untukmu, yang dimaksud adalah meninggalkan perkara mubah yang berlebihan.”
Sahl At Tursturiy berkata, “Seseorang tidaklah dapat mencapai hakikat iman hingga ia memiliki empat sifat: (1) menunaikan amalan wajib dengan disempurnakan amalan sunnah, (2) makan makanan halal dengan sifat wara’, (3) menjauhi larangan secara lahir dan batin, (4) sabar dalam hal-hal tadi hingga maut menjemput.”
Sahl juga berkata, “Siapa yang makan makanan haram dalam keadaan ingin atau tidak, baik ia tahu atau tidak, maka bermaksiatlah anggota badannya. Namun jika makanan yang ia konsumsi adalah halal, maka patuhlah anggota badannya dan akan diberi taufik melakukan kebaikan.” (Dinukil dari Sholahul Ummah fii ‘Uluwwil Himmah, 4: 326)
Yunus bin ‘Ubaid berkata, “Wara’ adalah keluar dari syubhat (perkara yang samar) dan setiap saat selalu mengintrospeksi diri.” (Dinukil dari Sholahul Ummah fii ‘Uluwwil Himmah, 4: 326)
Ibnu Rajab mengutarakan pengertian wara’ dengan mengemukakan hadits,
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك

“Tinggalkan hal yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu.” (HR. An Nasai dan Tirmidzi‎)
Ibnu Rajab berkata bahwa sebagian tabi’in berkata,

تركت الذنوب حياء أربعين سنة ، ثم أدركني الورع

“Aku meninggalkan dosa selama 40 tahun lamanya. Akhrinya, aku mendapati sifat wara’.” (Fathul Bari, Ibnu Rajab, Asy Syamilah, 1: 51).
Lihatlah bagaimana sikap Imam Nawawi rahimahullah dalam menyikapi apabila ada keragu-raguan dalam masalah suatu hukum, halal ataukah haram. Beliau berkata,

فَإِذَا تَرَدَّدَ الشَّيْء بَيْن الْحِلّ وَالْحُرْمَة ، وَلَمْ يَكُنْ فِيهِ نَصّ وَلَا إِجْمَاع ، اِجْتَهَدَ فِيهِ الْمُجْتَهِد ، فَأَلْحَقهُ بِأَحَدِهِمَا بِالدَّلِيلِ الشَّرْعِيّ فَإِذَا أَلْحَقَهُ بِهِ صَارَ حَلَالًا ، وَقَدْ يَكُون غَيْر خَال عَنْ الِاحْتِمَال الْبَيِّن ، فَيَكُون الْوَرَع تَرْكه ، وَيَكُون دَاخِلًا فِي قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( فَمَنْ اِتَّقَى الشُّبُهَات فَقَدْ اِسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضه )

“Jika muncul keragu-raguan akan halal dan haramnya sesuatu, sedangkan tidak ada dalil tegas, tidak ada ijma’ (konsensus  ulama); lalu yang punya kemampuan berijtihad, ia berijtihad dengan menggandengkan hukum pada dalil, lalu jadinya ada yang halal, namun ada yang masih tidak jelas hukumnya, maka sikap wara’ adalah meninggalkan yang masih meragukan tersebut. Sikap wara’ seperti ini termasuk dalam sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Barangsiapa yang selamat dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” (Syarh Muslim, 11: 28).

Wara' harus dengan Ilmu

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
“Dari kesempurnaan wara’ adalah hendaknya seseorang mengetahui yang terbaik dari dua kebaikan dan yang terburuk dari dua keburukan, mengetahui bahwa landasan syariat adalah mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakan nya, serta mengeliminasi kerusakan dan meminimalkan nya. 

Maka barangsiapa yang tidak menyeimbangkan antara mengerjakan dan meninggalkan maslahat dan mudharat, mungkin saja dia meninggalkan yang wajib dan melakukan yang haram, dan memandang sikap tersebut sebagai sikap wara’, seperti orang yang tidak ikut serta berjihad bersama pemimpin yang zhalim, lalu melihat hal tersebut sebagai sikap wara’. Misalnya, datang pasukkan tentara Islam kepada pemimpin yang belum bisa diganti, pada diri pemimpin tersebut terdapat sifat kefasikan namun dia berjihad melawan orang-orang kafir. Salah seorang dari mereka berkata : “Saya menahan diri (wara’) untuk tidak berjihad dibelakang orang fasik ini.” Maka apa yang akan terjadi? Pasti musuh akan dapat membinasakan negeri kaum muslimin dan kaum muslimin akan terjerumus dalam kekalahan.

Salah seorang dari mereka bapaknya meninggal dunia, bapaknya itu memiliki harta yang termasar kehalalan nya dan dia memiliki hutang. Ketika orang-orang datang untuk menagih hak mereka, salah seorang anaknya berkata : “Kami menahan diri (wara’) untuk melunasi hutang bapak kami dengan harta yang syubhat ini.” Ini adalah sikap wara’ yang batil dan pelakunya adalah orang yang bodoh.

Jadi kebodohan membuat sebagian orang meninggalkan kewajiban dengan anggapan bahwa dia bersikap wara’, meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjamaah dibelakang imam ahli bid’ah atau pelaku dosa dan menganggap bahwa tindakan tersebut sebagai sikap wara’, menolak untuk menerima persaksian hamba, tidak mau menerima ilmu seorang alim karena pada diri orang tersebut terdapat bid’ah yang tersembunyi, lalu memandang bahwa tidak mau menerima kebenaran yang wajib didengarnya sebagai sikap wara’.”

Tingkatan wara’

Sebagian Ulama membagi wara’ kepada tiga tingkatan :
Pertama : Wajib, yaitu meninggalkan yang haram. Dan ini umum untuk seluruh manusia.
Kedua : Menahan diri dari yang syubhat, ini dilakukan oleh sebagian kecil manusia.
Ketiga : Meninggalkan kebanyakan perkara yang mubah, dengan mengambil yang benar-benar penting saja, ini dilakukan oleh para Nabi, orang-orang yang benar (shiddiqin), para syuhada’ dan orang-orang shalih.
Wara’ dari perkara yang mubah maksud nya wara’ dari perkara mubah yang dapat mengantarkan nya kepada yang haram. Bukan didalam hal yang jelas-jelas kemubahan nya. Bahkan perkara mubah bisa menjadi ibadah apabila diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Misalnya, seseorang makan dengan niat untuk mendapatkan tenaga agar bisa beribadah kepada Allah, atau tidur agar bisa melaksanakan shalat malam, menikah dengan niat memberikan nafkah kepada isteri dan mengikuti sunnah Rasulullah dan semisalnya.

Potret sikap wara’ orang-orang shaleh
Wara’nya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersikap wara’ terhadap buah kurma yang didapatkan dirumahnya. Hasan bin Ali mengambil kurma zakat dan memasukkan kedalam mulutnya, maka Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Kuhk, Kuhk..” yakni agar memuntahkan nya, kemudian beliau bersabda : “Tidakkah kamu menyadari bahwa kita tidak makan dari harta zakat.” [Shahih Bukhari dan Muslim]
Wara’nya Abu Bakar Radhiyallahu’anahu
Beliau memiliki seorang budak yang membayar upeti kepadanya. Abu Bakar makan dari upeti tersebut. Suatu hari budak itu membawa makanan, maka Abu Bakr menahan nya. Setelah itu budak tersebut berkata : “Tahukah apa yang telah kamu makan?” Abu Bakar bertanya : “Apa itu?” Dia berkata : “Dulu aku pernah menjadi dukun untuk seseorang dimasa jahiliyah. Sesungguhnya aku tidak pandai berdukun, tetapi aku mau menipunya. Dia menemuiku dan memberikan sesuatu kepadaku dan itulah yang engkau makan.” Maka Abu Bakar memasukkan tangan nya kedalam mulutnya dan memuntahkan seluruh yang ada dalam perutnya.” [Shahih bukhari]
Wara’ nya Umar bin Khaththab Radhiyallahu’anhu
Umar bin Khaththab membagikan pakaian kepada para wanita Madinah, maka tersisa pakaian yang bagus. Sebagian orang yang ada disisinya bertanya : “Wahai Amirul Mukminin, berikan ini kepada puteri Rasulullah yang ada disisimu.” Yang mereka maksud adalah Ummu Kaltsum yakni Puteri Ali yang dinikahi Umar, dia adalah cucu Rasulullah, maka Umar berkata : “Ummu Salith lebih berhak.” Ummu Salith adalah wanita Anshar yang berbai’at kepada Nabi karena dia menjahit bagi kami tempat air pada waktu perang Uhud.” [Shahih Bukhari]

Perjalana spiritual yang dilakukan seorang sufi dalam menemukan hakikat dan ma’rifat tersebut kadang-kadang mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda. Sebagian orang yang menekuni dunia kema’rifatan ia meninggalkan hal yang diragukan halalnya karena khawatir terjerumus kedalam dosa. Ia meninggalkan hal yang bersifat subhat karena khawatir terjerumus kedalam maksiat. Itulah sifat wara’, penghati-hati, sifat yang positif penuh mawas diri. Menjaga diri dari perbuatan dosa terhadap hal yang diragukan halal-haramnya. 

Sebagian gejala orang yang ma’rifat ia hidup zuhud, tidak rakus terhadap dunia, tidak terkelabuhi oleh gemerlap mayapada. Apa pun yang mengganggu ibadahnya ia singkiri, ia hindari sejauh-jauhnya. Zuhud bukan berarti “nyingkor kadonyan”, menjauhi dunia, hidup menderita. Bukan! Zuhud berarti “hidup prihatin” mengabdi Tuhan. Pola cara hidupnya sederhana, demi Ar-Rahman. 

Gejala orang yang ma’rifat juga termasuk faqr,. Tidak meminta lebih dari pada yang menjadi haknya, tidak banyak memohon rezeki, kecuali hanya menjalankan kewajiban-kewajibannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. ‎‎

Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...