Jumat, 27 November 2020

Menjaga Keutuhan Dan Keharmonisan Rumahtangga


Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash Shahihah no. 284)

Di dalam lafazh yang lain beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)-ku.”

Kedua hadits ini mengisyaratkan hendaknya kita meneladani Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam. Dalil umum untuk mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dalam segala hal sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al Ahzab: 21)

Di antara tujuan iblis adalah memecah belah rumah tangga

Banyak rumah tangga yang tidak harmonis disebabkan karena kurangnya ilmu pada pemiliknya. Dampak dari itu sangat berpengaruh terhadap psikologi anak sehingga kita lihat tidak sedikit kenakalan remaja (broken home) di antara faktornya adalah tidak harmonis rumah tangga orangtuanya.

Ingat bahwa hancurnya rumah tangga adalah target ibllis dan balatentaranya. Iblis sangat bergembira bila suami berpisah dari istrinya dan sangat senang bila anak terpisah dari orangtuanya. Sebagaimana hadits nabi Shallallahu’alaihi wasallam,

إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا. فَيَقُولُ: مَا صَنَعْتَ شَيْئًا. قَالَ: ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ. قَالَ: فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ: نِعْمَ أَنْتَ. قَالَ اْلأَعْمَشُ: أُرَاهُ قَالَ: فَيَلْتَزِمُهُ

“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya. Yang paling dekat kedudukannya dengan Iblis adalah yang paling besar fitnahnya. Datang kepadanya seorang tentaranya lalu berkata: ‘Aku telah berbuat demikian-demikian.’ Iblis berkata: ‘Engkau belum berbuat sesuatu.’ Dan kemudian salah seorang dari mereka datang lalu berkata: ‘Aku tidak meninggalkan orang tersebut bersama istrinya melainkan aku pecah belah keduanya.’‎
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Lalu iblis mendekatkan prajurit itu kepadanya dan berkata: ‘Sebaik-baik pasukan adalah kamu.’
Al A’masy berkata: ‘Aku kira, (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata: ‘Lalu iblis memeluknya.” (HR. Muslim no. 5302)

Bahkan dalam al Quran, Allah Subhanahu wata’ala menyebutkan syaithan dari kalangan jin sampai bekerjasama dengan syaithan dari kalangan manusia untuk bisa memisahkan suami dengan istrinya.

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin,” (al An’aam: 112)

Dan salah satu cara mereka, adalah kerjasamanya antara iblis dengan dukun memisahkan antara suami dengan istrinya dengan pengaruh sihir sebagaimana firman Allah Tabaroka wata’ala,

فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ

“Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya” (al Baqarah: 102)

Problema dalam rumah tangga

Permasalah rumah tangga memang suatu kemestian, setiap rumah tangga pasti pernah menghadapi problema, bahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam saja tidak luput dari problem rumah tangga yang sampai menggoncang rumah tangganya.

Sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam memisahkan diri dari istri-istrinya selama satu bulan. Demikian pula pertikaian rumah tangga terjadi pada putri beliau, yakni Fathimah dan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhum, dan problema rumah tangga juga menimpa orang-orang shalih.‎

Pertengkaran dalam rumah tangga, hampir pernah terjadi dalam semua keluarga. Tak terkecuali keluarga yang anggotanya orang baik sekalipun. Dulu keluarga Ali bin Abi Thalib dan Fatimah radhiyallahu ‘anhuma, juga pernah mengalami semacam ini.

Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah Fatimah radhiyallahu ‘anha, dan beliau tidak melihat Ali di rumah. Spontan beliau bertanya: “Di mana anak pamanmu?” ‘Tadi ada masalah dengan saya, terus dia marah kepadaku, lalu keluar. Siang ini dia tidak tidur di sampingku.’

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat tentang keberadaan Ali. ‘Ya Rasulullah, dia di masjid, sedang tidur.’ Datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke masjid, dan ketika itu Ali sedang tidur, sementara baju atasannya jatuh di sampingnya, dan dia terkena debu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap debu itu, sambil mengatakan,

قُمْ أَبَا تُرَابٍ، قُمْ أَبَا تُرَابٍ

“Bangun, wahai Abu Thurab… bangun, wahai Abu Thurab…” (HR. Bukhari 441 dan Muslim 2409)

Tentu tidak ada apa-apanya ketika keluarga kita dibandingkan dengan keluarga Ali dan Fatimah radhiyallahu ‘anhuma. Meskipun demikian, pertengkaranpun kadang terjadi diantara mereka. Sebagaimana semacam ini juga terjadi di keluarga kita. Hanya saja, pertengkaran yang terjadi di keluarga yang baik sangat berbeda dengan pertengkaran yang terjadi di keluarga yang tidak baik.‎

Keluarga yang tidak baik, mereka bertengkar tanpa aturan. Satu sama lain saling menguasi dan saling mendzalimi. Setitikpun tidak ada upaya untuk mencari solusi. Yang penting aku menang, yang penting aku mendapat hakku. Tak jarang pertengkaran semacam ini sampai menui caci-maki, KDRT, atau bahkan pembunuhan.

Berbeda dengan keluarga yang baik, sekalipun mereka bertengkar, pertengkaran mereka dilakukan tanpa melanggar aturan. Sekalipun mereka saling sakit hati, mereka tetap menjaga jangan sampai mendzalimi pasangannya. Dan mereka berusaha untuk menemukan solusinya dari pertengkaran ini. Umumnya sifat semacam ini ada pada keluarga yang lemah lembut, memahami aturan syariat dalam fikih keluarga, dan sadar akan hak dan kewajiban masing-masing.

Pertikaian rumah tangga merupakan musibah, dan musibah tidak akan turun melainkan karena kemaksiatan yang dilakukan oleh seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (asy syura: 30)

Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman,

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (an Nisa: 79)

Apapun kesedihan yang sedang kita alami, perlu kita pahami bahwa itu sejatinya bagian dari ujian hidup. Sebagai orang beriman, jadikan itu kesempatan untuk mendulang pahala.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi ‎shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidak ada satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung, sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di badannya, kecuali Allah jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari 5641).

Pahami bahwa bisa jadi pertengkaran ini disebabkan dosa yang pernah kita lakukan. Kemudian Allah memberikan hukuman batin dalam bentuk masalah keluarga. Di saat itu, hadirkan perasaan bahwa Allah akan menggugurkan dosa-dosa anda dengan kesedian yang anda alami…lanjutkan dengan bertaubat dan memohon ampun kepada-Nya.

Umar bin Abdul Aziz mengatakan,

مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إلَّا بِذَنْبِ وَلَا رُفِعَ إلَّا بِتَوْبَةِ

“Musibah turun disebabkan dosa dan musibah diangkat dengan sebab taubat.” (Majmu’ Fatawa, 8/163)

Selanjutnya, ada 3 hal yang wajib dihindari ketika terjadi pertengakaran. Semoga dengan menghindari hal ini, pertengkaran dalam keluarga muslim tidak berujung pada masalah yang lebih parah. Secara umum, aturan ini telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam hadis dari Hakim bin Muawiyah Al-Qusyairi, dari ayahnya, bahwa beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kewajiban suami kepada istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، أَوِ اكْتَسَبْتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْت

“Kamu harus memberi makan kepadanya sesuai yang kamu makan, kamu harus memberi pakaian kepadanya sesuai kemampuanmu memberi pakaian, jangan memukul wajah, jangan kamu menjelekannya, dan jangan kamu melakukan boikot kecuali di rumah.” (HR. Ahmad 20011, Abu Daud 2142 dan dishahihkan Al-Albani).

Hadis ini merupakan nasehat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para suami. Meskipun demikian, beberapa larangan yang disebutkan dalam hadis ini juga berlaku bagi wanita. Dari hadis mulia ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan untuk menghindari 3 hal:

Pertama, hindari KDRT

Dalam Al-Quran Allah membolehkan seorang suami untuk memukul istrinya ketika sang istri membangkang. Sebagaimana firman Allah di surat An-Nisa:

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan tidak tunduk, nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya..(QS. An-Nisa: 34)

Namun ini izin ini tidak berlaku secara mutlak. Sehingga suami bebas melampiaskan kemarahannya dengan menganiaya istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan batasan lain tentang izin memukul,

1. Tidak boleh di daerah kepala, sebagaimana sabda beliau, “jangan memukul wajah.” Mencakup kata wajah adalah semua kepala. Karena kepala manusia adalah hal yang paling penting. Ada banyak organ vital yang menjadi pusat indera manusia.

2. Tidak boleh menyakitkan

Batasan ini disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbah beliau ketika di Arafah.

إِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ

“Jika istri kalian melakukan pelanggaran itu, maka pukullah dia dengan pukulan yang tidak menyakitkan.” (HR. Muslim 1218)

Keterangan ini juga disebutkan Al-Bukhari dalam shahihnya, ketika beliau menjelaskan firman Allah di surat An-Nisa: 34 di atas.

Atha’ bin Abi Rabah pernah bertanya kepada Ibnu Abbas,

قلت لابن عباس : ما الضرب غير المبرح ؟ قال : السواك وشبهه يضربها به

Saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Apa maksud pukulan yang tidak menyakititkan?’ Beliau menjawab, “Pukulan dengan kayu siwak (sikat gigi) atau semacamnya.” (HR. At-Thabari dalam tafsirnya, 8/314).

Termasuk makna pukulan yang tidak menyakitkan adalah pukulan yang tidak meninggalkan bekas, seperti memar, atau bahkan menimbulkan luka dan mengeluarkan darah. Karena sejatinya, pukulan itu tidak bertujuan untuk menyakiti, tapi pukulan itu dalam rangka mendidik istri.

Namun, meskipun ada izin untuk memukul ringan, tidak memukul tentu jauh lebih baik. Karena wanita yang lemah bukanlah lawan yang seimbang bagi lelaki yang gagah. Anda bisa bayangkan, ketika ada orang yang sangat kuat, mendapatkan lawan yang lemah. Tentu bukan sebuah kehormatan bagi dia untuk meladeninya. Karena itu, lawan bagi suami yang sesunguhnya adalah emosinya. Suami yang mampu menahan emosi, sehingga tidak menyikiti istrinya, itulah lelaki hebat yang sejatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ

“Orang yang hebat bukahlah orang yang sering menang dalam perkelahian. Namun orang hebat adalah orang yang bisa menahan emosi ketika marah.” (HR. Bukhari 6114 dan Muslim 2609).

Seperti itulah yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. A’isyah menceritakan,

مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ، وَلَا امْرَأَةً، وَلَا خَادِمًا، إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul wanita maupun budak dengan tangan beliau sedikitpun. Padahal beliau berjihad di jalan Allah. (HR. Muslim 2328).

Maksud pernyataan A’isyah, “Padahal beliau berjihad di jalan Allah” untuk membuktikan bahwa sejatinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok yang pemberani. Beliau pemberani di hadapan musuh, bukan pemberani di hadapan orang lemah. Beliau tidak memukul wanita atau orang lemah di sekitarnya. Karena memukul orang lemah bukan bagian dari sifat ‘pemberani’.

Kedua, Hindari Caci-maki

Siapapun kita, tidak akan bersedia ketika dicaci maki. Karena itulah, syariat hanya membolehkan hal ini dalam satu keadaan, yaitu ketika seseorang didzalimi. Syariat membolehkan orang yang didzalimi itu untuk membalas kedzalimannya dalam bentuk cacian atau makian. Allah berfirman,

لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ

Allah tidak menyukai Ucapan buruk (caci maki), (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. (An-Nisa: 148)

Setidaknya, ketika dia tidak mampu memberi balasan secara fisik, dia mampu membalas dengan melukai hati orang yang mendzaliminya.

Dalam ikatan rumah tangga, syariat memotivasi kaum muslimin untuk menciptakan suasana harmonis. Sehingga sampaipun terjadi masalah, balasan dalam bentuk caci maki harus dihindarkan. Karena kalimat cacian dan makian akan menancap dalam hati, dan bisa jadi akan sangat membekas. Sehingga akan sangat sulit untuk bisa mengobatinya. Jika semacam ini terjadi, sulit untuk membangun keluarga yang sakinah.

Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan jangan sampai seseorang mencaci pasangannya. Apalagi membawa-bawa nama keluarga atau orang tua, yang umumnya bukan bagian dari masalah.

Beliau bersabda, “jangan kamu menjelekannya”

Dalam Syarh Sunan Abu Daud dinyatakan,

لَا تَقُلْ لَهَا قَوْلًا قَبِيحًا وَلَا تَشْتُمْهَا وَلَا قَبَّحَكِ اللَّهُ

“Jangan kamu ucapkan kalimat yang menjelekkan dia, jangan mencacinya, dan jangan doakan keburukan untuknya..” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 6/127).

Perlu kita ingat bahwa cacian dan makian kepada pasangan yang dilontarkan tanpa sebab, termasuk menyakiti orang mukmin atau mukminah yang dikecam dalam Al-Qur’an. Allah berfirman,

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

Orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 58)

Marah kepada suami atau marah kepada istri, bukan alasan pembenar untuk mencaci orang tuanya. Terlebih ketika mereka sama sekali tidak bersalah. Allah sebut tindakan semacam ini sebagai dosa yang nyata.

Ketiga, Jaga Rahasia Keluarga

Bagian ini penting untuk kita perhatikan. Hal yang perlu disadari bagi orang yang sudah keluarganya, jadikan masalah keluarga sebagai rahasia anda berdua. Karena ketika masalah itu tidak melibatkan banyak pihak, akan lebih mudah untuk diselesaikan. Terkait tujuan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,

وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْت

“jangan kamu boikot istrimu kecuali di rumah”

Ketika suami harus mengambil langkah memboikot istri karena masalah tertentu, jangan sampai boikot ini tersebar keluar sehingga diketahui banyak orang. Sekalipun suami istri sedang panas emosinya, namun ketika di luar, harus menampakkan seolah tidak ada masalah. Kecuali jika anda melaporkan kepada pihak yang berwenang, dalam rangka dilakukan perbaikan.

Agar tidak salah paham, berikut keterangan lebih rinci;

Ketika suami melakukan kesalahan, tidak selayaknya sang istri melaporkan kesalahan suami ini kepada orang tua istri. Tapi hendaknya dilaporkan kepada orang yang mampu mengendalikan suami, misalnya tokoh agama yang disegani suami atau orang tua suami. Demikian pula ketika sumber masalah adalah istri. Hendaknya suami tidak melaporkannya kepada orang tuanya, tapi dia laporkan ke mertuanya (ortu istri).

Solusi ini baru diambil ketika masalah itu tidak memungkinkan untuk diselesaikan sendiri antara suami-istri.

Hindari Pemicu Adu Domba

Bagian ini perlu kita hati-hati. Ketika seorang istri memiliki masalah dengan suaminya, kemudian dia ceritakan kepada orang tua istri, muncullah rasa kasihan dari orang tuanya. Namun tidak sampai di sini, orang tua istri dan suami akhirnya menjadi bermusuhan. Orang tua istri merasa harga dirinya dilecehkan karena putrinya didzalimi anak orang lain, sementara suami menganggap mertuanya terlalu ikut campur urusan keluarganya. Bukannya solusi yang dia dapatkan, namun masalah baru yang justru lebih parah dibandingkan sebelumnya.

Selanjutnya, jadilah keluarga yang bijak, yang terbuka dengan pasangannya dengan rasa cinta yang mendalam, karena ini akan memperkecil timbulnya dugaan buruk (suudzan) antar-sesama. Jika anda tidak memungkinkan menyampaikan secara langsung, sampaikan dalam bentuk email, atau sms.

Rasa cinta dan ketenangan dalam rumah tangga

Dan di antara kebaikan dari Allah Subhanahu wata’ala, adalah menciptakan ketenangan dalam pasangan hidup, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar Ruum: 21)

Rasa cinta yang tumbuh antara suami istri adalah anugerah dari Allah Ta’ala, dan cinta ini adalah sesuatu yg mubah dan naluri dan ini diperbolehkan karena cinta asmara kepada pasangan hidupnya yang sah, dan ini terpuji bahkan kesempurnaan yang harus dimiliki setiap suami istri.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling mulia dan sosok yang paling sempurna, dianugerahi rasa cinta kepada para istrinya. Beliau nyatakan dalam sabdanya:

حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُنْيَا النِّسَاءُ وَ الطِّيْبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِي الصَّلاَةِ

“Dicintakan kepadaku dari dunia kalian, para wanita (istri) dan minyak wangi, dan dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat.” (HR. Ahmad 3/128, 199, 285, An-Nasa`i no. 3939 kitab ‘Isyratun Nisa’ bab Hubbun Nisa`. Dihasankan Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i Rahimahullahu dalam Ash Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain (1/82))

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh shahabatnya yang mulia, ‘Amr ibnul ‘Ash Radhiallahu’anhu:

أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: عَائِشَةُ. فَقُلْتُ: مِنَ الرِّجَالِ؟ قَالَ : أَبُوْهَا

“Siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab: “Aisyah.” Aku (‘Amr ibnul Ash) berkata: “Dari kalangan lelaki?” “Ayahnya (Abu Bakar),” jawab beliau. (HR. Al Bukhari no. 3662, kitab Fadha`il Ashabun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bab Qaulin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Lau Kuntu Muttakhidzan Khalilan” dan Muslim no. 6127 kitab Fadha`ilush Shahabah, bab Min Fadha`il Abi Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘anhu)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah ingin menjadi perantara dan penolong seorang suami yang sangat mencintai istrinya untuk tetap mempertahankan istri yang dicintainya dalam ikatan pernikahan dengannya. Namun si wanita enggan dan tetap memilih untuk berpisah, sebagaimana kisah Mughits dan Barirah. Barirah adalah seorang sahaya milik salah seorang dari Bani Hilal. Sedangkan suaminya Mughits adalah seorang budak berkulit hitam milik Bani Al Mughirah. Barirah pada akhirnya merdeka, sementara suaminya masih berstatus budak. Ia pun memilih berpisah dengan suaminya diiringi kesedihan Mughits atas perpisahan itu. Hingga terlihat Mughits berjalan di belakang Barirah sembari berlinangan air mata hingga membasahi jenggotnya, memohon kerelaan Barirah untuk tetap hidup bersamanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada paman beliau, Al ’Abbas Radhiallahu ‘anhu:

يَا عَبَّاسُ, أَلاَ تَعْجَبُ مِنْ حُبِّ مُغِيْثٍ بَرِيْرَةَ، وَمِنْ بُغْضِ بَرِيْرَةَ مُغِيْثًا؟ فَقاَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ رَاجَعْتِهِ. قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ تَأْمُرُنِي؟ قَالَ: إِنَّمَا أَنَا أَشْفَعُ. قَالَتْ: لاَ حَاجَةَ لِي فِيْهِ

“Wahai paman, tidakkah engkau merasa takjub dengan rasa cinta Mughits pada Barirah dan rasa benci Barirah terhadap Mughits?”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Barirah: “Seandainya engkau kembali kepada Mughits.” Barirah bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkan aku?” “Tidak,” kata Rasulullah, “Akan tetapi aku hanya ingin menolongnya.” “Aku tidak membutuhkannya,” jawab Barirah (Lihat hadits dalam Shahih Al Bukhari no. 5280-5282, kitab Ath Thalaq, bab Khiyarul Amati Tahtal ‘Abd dan no. 5283, bab Syafa’atun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Zauji Barirah.)

Tiga macam cinta menurut al Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah Rahimahulloh

Perlu diketahui oleh sepasang suami istri, menurut al Imam al ’Allamah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakar yang lebih dikenal dengan Ibnu Qayyim al Jauziyyah Rahimahullahu, ada tiga macam cinta dari seorang insan kepada insan lainnya:

Pertama: Cinta asmara yang terpuji bahkan merupakan amal ketaatan.

Yaitu cinta seorang suami kepada istrinya, demikian pula sebaliknya. Ini adalah cinta yang bermanfaat. Karena akan mengantarkan kepada tujuan yang disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam pernikahan, akan menahan pandangan dari yang haram dan mencegah jiwa/hati dari melihat kepada selain istrinya. Karena itulah, cinta seperti ini dipuji di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan di sisi manusia.

Perlu diperhatikan: Tentu cinta antara suami istri yang seperti ini jangan sampai mengakibatkan lalainya dia dzikir kepada ar Rahman sebagaimana firman Allah Azza wajalla,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (al Munaafiquun: 9)

Jangan sampai karena saking cintanya ia kepada istri, membuat ia memutuskan hubungan dengan orangtua, ia rela mencuri, ia rela korupsi demi mencukupi kebutuhan istri tercinta, wal ‘iyadzubillah.

Allah Azza wajalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka” (at Taghaabuun: 14)

Dan yang lebih berhaya lagi jika kecintaan ia terhadap istinya melebihi cintanya kepada Allah dan rasul-nya. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (at Taubah: 24)

Oleh karena itu, hendaknya ia mencintai istrinya karena Allah Ta’ala, bukan karena syahwat dan birahi semata. Tetapi karena ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ثَلاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلإِيْماَنِ مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُماَ وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَماَ يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِيْ النَّارِ

“Tiga hal yang apabila ada pada seseorang, niscaya dia akan merasakan manisnya iman. (Yaitu) seseorang yang Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah. Dan dia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran itu, sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api.” (Shahih, HR. Al Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu)

Kedua: Cinta asmara yang dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala, dimurkai, bahkan dilaknat dan akan menjauhkan dari rahmat-Nya.

Yaitu cinta kepada sesama jenis, seorang lelaki mencintai lelaki lain (homo) atau seorang wanita mencintai sesama wanita (lesbian). Tidak ada yang ditimpa bala dengan penyakit ini kecuali orang yang dijatuhkan dari pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, hingga ia terusir dari pintu-Nya dan jauh hatinya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Penyakit ini merupakan penghalang terbesar yang memutuskan seorang hamba dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Cinta yang merupakan musibah ini merupakan tabiat kaum nabi Luth ‘alaihissalam hingga mereka lebih cenderung kepada sesama jenis daripada pasangan hidup yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan:

لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُونَ. فَأَخَذَتْهُمُ الصَّيْحَةُ مُشْرِقِينَ. فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ

“Demi umurmu (ya Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan. Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan terbit. Maka Kami jadikan bagian atas kota itu terbalik ke bawah dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras.” (al Hijr: 71-74)

Obat dari penyakit ini adalah minta tolong kepada Dzat Yang Maha membolak-balikkan hati, berlindung kepada-Nya dengan sebenar-benarnya, menyibukkan diri dengan berdzikir/mengingat-Nya, mengganti rasa itu dengan cinta kepada-Nya dan mendekati-Nya, memikirkan pedihnya akibat yang diterima karena cinta petaka itu dan hilangnya kelezatan karena cinta itu. Bila seseorang membiarkan jiwanya tenggelam dalam cinta ini, maka silahkan ia bertakbir seperti takbir dalam shalat jenazah. Dan hendaklah ia mengetahui bahwa musibah dan petaka telah menyelimuti dan menyelubunginya.

Ketiga: Cinta yang mubah yang datang tanpa dapat dikuasai.

Seperti ketika seorang lelaki diceritakan tentang sosok wanita yang jelita lalu tumbuh rasa suka di hatinya. Atau ia melihat wanita cantik secara tidak sengaja hingga hatinya terpikat. Namun rasa suka/ cinta itu tidak mengantarnya untuk berbuat maksiat. Datangnya begitu saja tanpa disengaja, sehingga ia tidak diberi hukuman karena perasaannya itu. Tindakan yang paling bermanfaat untuk dilakukan adalah menolak perasaan itu dan menyibukkan diri dengan perkara yang lebih bermanfaat. Ia wajib menyembunyikan perasaan tersebut, menjaga kehormatan dirinya (menjaga ‘iffah) dan bersabar. Bila ia berbuat demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya pahala dan menggantinya dengan perkara yang lebih baik karena ia bersabar karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjaga ‘iffah-nya. Juga karena ia meninggalkan untuk menaati hawa nafsunya dengan lebih mengutamakan keridlaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ganjaran yang ada di sisi-Nya. (ad Da`u wad Dawa`, hal. 370-371)

Berikut adalah di antara kiat-kiat menjaga keharmonisan rumah tangga dan tentu selain ini ada banyak kiat-kiat yang lainnya.

Kiat-kiat untuk mempererat cinta kasih suami istri dan menjaga keharmonisan di antara keduanya

1. Hendaknya saling memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing.

Jika masing-masing menjalankan kewajibannya niscaya keharmonisan akan terjalin, sebagaimana bimbingan dalam hadits yang mulia:

فَأَعْطِ كُلَّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ

“Berikanlah hak dari setiap pemilik hak.”

Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah memberikan bimbingan kepada shahabatnya, Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash Radhiyallahu ‘anhuma, untuk menjaga keseimbangan di antara hak-hak yang ada termasuk hak istri. Abdullah sendiri mengisahkannya untuk kita:‎
 

أَنْكَحَنِي أَبِي امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ، فَكَانَ يَتَعَاهَدُ كَنَّتَهُ، فَيَسْأَلُهَا عَنْ بَعْلِهَا. فَتَقُوْلُ: نِعْمَ الرَّجُلُ مِنْ رَجُلٍ لَمْ يَطَأْ لَنَا فِرَاشًا وَلَمْ يُفَتِّشْ لَنَا كَنَفًا مُنْذُ أَتَيْنَاهُ. فَلَمَّا طَالَ ذلِكَ عَلَيْهِ ذَكَرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: أَلْقِنِي بِهِ. فَلَقِيْتُهُ بَعْدُ

“Ayahku menikahkan aku dengan seorang wanita dari keturunan orang mulia. Beliau pernah mengunjungi menantunya ini lalu bertanya tentang keadaan suaminya. Maka si menantu (istri Abdullah) berkata: “Dia adalah sebaik-baik lelaki, hanya saja ia tidak pernah menginjak tempat tidur kami dan tidak pernah memeriksa pakaian yang menutupi kami sejak kami mendatanginya.” Ketika hal ini berlangsung lama, sang ayah mengadukannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun memerintahkan: “Pertemukan aku dengannya.” Abdullah pun menemui beliau setelah itu.

قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا عَبْدَ اللهِ! أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُوْمُ النَّهَارَ وَتَقُوْمُ الليْلَ؟ فَقُلْتُ: بَلَى، يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: فَلاَ تَفْعَلْ، صُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepadaku: “Wahai Abdullah, bukankah telah dikabarkan kepadaku bahwa engkau biasa puasa di (setiap) siang hari dan shalat di (sepanjang) malam hari?” “Iya, wahai Rasulullah,” jawabku. Beliau lalu memberikan nasihat: “Jangan engkau lakukan lagi. Puasalah dan berbukalah. Bangunlah untuk shalat dan tidurlah. Karena tubuhmu memiliki hak terhadapmu. Matamu pun punya hak terhadapmu. Demikian pula istrimu memiliki hak terhadapmu….” (HR. Al Bukhari no. 1975 dan Muslim no. 2722)

Di antara hak-hak istri yang musti ditunaikan suami:

(a) Mendapatkan nafkah, sebagaimana Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“…dan kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (al Baqarah: 233)

Demikian pula hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia mengabarkan bahwa Hindun bintu ‘Utbah Radhiallahu‘anha, istri Abu Sufyan Radhiyallahu ‘anhu datang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِي إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ. فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ

“Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan seorang yang pelit. Ia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya.” Bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ambillah dari harta suamimu sekadar yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. al Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 4452)

(b) Seorang suami harus bergaul dengan istrinya secara patut (ma’ruf) dan dengan akhlak mulia

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An Nisa`: 19)

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ .لَنْ تَسْتَقِيْمَ لَكَ عَلَى طَرِيقَةٍ . فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَ بِهَا عِوَجٌ. وَ إِن ْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا . وَ كَسْرُهَا طَلاقُهَا

“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Dia tidak akan lurus untukmu di atas satu jalan. Jika engkau bersenang-senang dengannya, maka engkau bisa melakukannya namun padanya ada kebengkokan. Bila engkau paksakan untuk meluruskannya maka engkau akan mematahkannya, dan patahnya itu adalah menceraikannya.” (HR. Al Bukhari no. 5184 Muslim no. 1468)

al Imam an Nawawi Rahimahullahu berkata:
“Dalam hadits ini (ada anjuran untuk) bersikap lembut kepada para istri, berbuat baik kepada mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak/perangai mereka serta bersabar dengan kelemahan akal mereka. Hadits ini juga menunjukkan tidak disukainya menceraikan mereka tanpa sebab dan tidak boleh terlalu bersemangat/ berlebihan untuk meluruskan mereka, wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 10/57)

2. Hendaklah suami dapat menjaga keharmonisan di rumah tangganya

Di antara beberapa hal yang dapat dilakukan suami untuk menjaga keharmonisan di daam rumah tangga dan juga untuk memperkuat ikatan cinta adalah:

(a) Pada saat datang dari safar jangan mengejutkan istrinya masuk ke rumah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu (kabarkan kalau engkau ingin pulang). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntunkan kepada para suami yang sekian lama berada di rantau atau safar keluar kota agar tidak mendadak pulang ke keluarga mereka tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, apalagi datang tiba-tiba di waktu malam. Shahabat yang mulia Jabir bin ‘Abdillah Radhiallahu ‘anhuma berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ أَنْ يَأْتِيَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ طُرُوْقًالَيْلاً

“Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci bila seorang lelaki/suami mendatangi keluarga/istrinya (dari safar yang dilakukannya) pada waktu malam.” (HR. Al Bukhari no. 5243)

Larangan ini dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

إِذَا أَطَالَ أَحَدُكُمُ الْغَيْبَةَ فَلاَ يَطْرُقْ أَهْلَهُ لَيْلاً

“Apabila salah seorang kalian sekian lama pergi meninggalkan rumah (safar) maka janganlah ia pulang (kembali) kepada keluarganya pada waktu malam.” (HR. Al-Bukhari no. 5244)

Bila orang yang pergi sekian lama ini datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, dikhawatirkan ia akan mendapatkan perkara yang tidak disukainya. Bisa jadi ia dapatkan istrinya tidak bersiap menyambut kedatangannya, belum membersihkan diri dan berhias/berdandan sebagaimana yang dituntut dari seorang istri. Sehingga hal ini akan menyebabkan menjauhnya hati keduanya. Bisa jadi pula ia dapatkan istrinya dalam keadaan yang tidak disukainya.

3. Sang suami dan juga istri hendaknya menunjukkan wajah yg berseri-seri (bermuka manis)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِقٍ

“Jangan sekali-kali engkau meremehkan perbuatan baik sedikitpun, walaupun hanya berupa memberikan wajah yang manis saat berjumpa dengan saudaramu.” (HR. Muslim)

Ini dalil umum, apalagi berjumpa dengan pasangan hidup kita.

4. Di antara menjaga keharmonisan rumah tangga adalah Saling memberi hadiah kepada pasangan hidupnya

Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

تَهَادُوْا تَحَابُّوْا

“Saling menghadiahilah kalian niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. al Bukhari dalam al Adabul Mufrad no. 594, dihasankan al Imam al Albani Rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1601)

5. Panggil istrimu dengan nama yang ia sukai

Sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam memanggil istrinya yakni Aisyah Radhiallahu’anha dengan Humairo (si merah delima). Maka bertanyalah kepada istrimu dengan nama apa yang ia sukai untuk dipanggil, demikain pula sebaliknya memanggil suami dengan nama panggilan yang ia sukai.

6. Jangan sering keluar rumah (sering bepergian meninggalkan rumah)

Luangkan waktu untuk berduaan dengan istri di rumah. Demikian pula istri berupaya bagaimana caranya agar suami betah di rumah. Keberadaan suami di rumah adalah zhahir dan bathin, artinya jangan hanya fisiknya di rumah namun ia tetap bekerja di rumah, sibuk dengan bisnis di rumah, ini juga tercela. Dengan demikian keberadaan suami di rumah adalah untuk bercengkerama dengan keluarga dan bermain-main bersama mereka.

7. Saling memberikan pujian

Terkadang manusia itu senangnya dipuji dan ini termasuk kebutuhan (tabiat). Hendaknya suami sering memuji istri demikian pula sebalilknya. Demikian pula hendaknya memuji pasangannya di hadapan orangtuanya, kerabatnya dan semisalnya dengan kebaikan-kebaikan yang dimilikinya. Misanya memuji masakannya yang enak, dan semacamnya. Dan anak-anak juga perlu diberikan pujian agar anak-anak senang kepada keluarganya.

8. Janganlah membanding-bandingkan pasangan hidupmu dengan orang lain

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ

“Lihatlah orang yang di bawah kalian dan jangan melihat orang yang di atas kalian karena dengan (melihat ke bawah) lebih pantas untuk kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang dilimpahkan-Nya kepada kalian.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

9. Hendaknya saling membantu dalam pekerjaan rumah tangga

Untuk menjaga keharmonisan suami istri hendaknya saling ada pengertian, dan saling membantu dalam pekerjaan rumah tangga, sebagaimana persaksian Aisyah Radhiyallahu ‘anha ketika ditanya tentang apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rumah? Aisyah Radhiyallahu ‘anha mengatakan:

كاَنَ يَكُوْنُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ – تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ – فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ

“Beliau biasa membantu istrinya. Bila datang waktu shalat beliau pun keluar untuk menunaikan shalat.” (HR. Al Bukhari no. 676)

Nabi Shallallahu’alaihi wasallam ikut turun tangan meringankan pekerjaan yang ada seperti kata istri beliau, Aisyah Radhiyallahu ‘anha:

كَانَ بَشَرًا مِنَ الْبَشَرِ، يَفْلِي ثَوْبَهُ وَيَحْلُبُ شَاتَهُ وَيَخْدُمُ نَفْسَهُ

“Beliau manusia sebagaimana manusia yang lain. Beliau membersihkan pakaiannya, memerah susu kambingnya, dan melayani dirinya sendiri.” (HR. Ahmad, 6/256. Lihat Ash Shahihah no. 671)

Sekiranya ada yang bisa dilakukan sendiri oleh suami maka lakukan saja sendiri, seperti mengambil gelas, piring, dan sebagaimana terlebih ketika melihat istrinya sedang sibuk mengurus anak.

10. Sekali-kali ajak istri jalan-jalan, piknik, atau rekreasi

Tentu pergi ke tempat-tempat yang dihalalkan, pergi berdua dan bersenang-senang berduaan. Terkadang berdua butuh untuk rihlah, kasihan istri sumpek di rumah terus.

11. Hendaklah saling memiliki empati (perhatian)

Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ

“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta dan berkasih sayang, mereka bagaikan satu jasad yang bila salah satu anggota badannya sakit, seluruh jasadnya merasakan sakit panas dan berjaga.” (HR. Al Imam Al Bukhari dan Muslim no. 2586 dari sahabat An Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhuma)

Dari hadits umum ini, terlebih dengan pasangan hidup kita, harus lebih merasa satu tubuh dan pengertian dan saling memperhatikan.

12. Saling menutup aib keluarga

Jangan menceritakan kekurangan pasangan hidup kita kepada orang lain, ini sangat tercela. Sebagaimana sabda nabi Shallallahu’alaihi wasallam,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فيِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ …

“Siapa yang melepaskan dari seorang mukmin satu kesusahan yang sangat dari kesusahan dunia niscaya Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan dari kesusahan di hari kiamat. Siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya Allah akan memudahkannya di dunia dan nanti di akhirat. Siapa yang menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aibnya di dunia dan kelak di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya….” (HR. Muslim no. 2699)

Dari hadits umum ini, terlebih dengan pasangan hidup kita, harus lebih menutup aib dan lebih menjaga kehormatan mereka.

13. Saling memberikan wasiat dan nasihat antara keduanya

Ketika suami hendak pergi kerja atau bepergian hendaknya saling mengingatkan dengan membaca doa naik kendaraan, membaca doa akan keluar rumah, dan berbagai bentuk nasihat dan wasiat lainnya antara suami istri.

14. Hendaknya suami berhias di hadapan istrinya sebagaimana ia menyukai istrinya berhias untuk dirinya.

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya.” (al Baqarah: 228)

Kata Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu, “Aku ingin sekali berhias untuk istriku sebagaimana aku menuntut istriku berhias untuk diriku.”

Ini di antara kiat-kiat menjaga keharmonisan rumah tangga dan tentu selain ini ada banyak kiat-kiat yang lainnya.‎

Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq ‎

Manusia Berhak Mencari Pasangan Hidupnya Namun Takdirlah Yang Menentukan Jodohnya


عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ   ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ      أَوْ سَعِيْدٌ.    فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ  الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا                              
[رواه البخاري ومسلم]

Mungkin sering kali diucapkan oleh kita atau teman-teman kita bahwa "JODOH ada ditangan Tuhan". lalu bener nggak sih begindang...eh begitu???

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, jodoh diartikan sebagai: orang yang cocok menjadi suami atau istri; pasangan hidup; dan imbangan. Jika melihat fakta di masyarakat, kata jodoh untuk manusia cenderung menunjukkan suami atau isteri, bukan pasangan yang belum menikah meski keduanya memiliki kecocokan. Misalnya si B diperisteri oleh si A, berarti si B adalah jodoh si A, sedangkan si C tidak jadi diperisteri oleh si A, berarti si C bukan jodoh si A. Ini terlepas dari apakah suatu pernikahan akan berlangsung langgeng atau retak di tengah jalan dengan perceraian, karena istilah jodoh dan bukan jodoh tidak lazim digunakan untuk pasangan yang bercerai setelah pernikahannya. Terlepas juga apakah perceraian terjadi dalam waktu yang singkat atau setelah berpuluh-puluh tahun setelah pernikahan.

Apabila kita hubungkan dengan pertanyaan di atas, maka arti yang tepat yang dimaksud oleh saudari penanya adalah pasangan hidup yang sah alias suami atau isteri. Sehingga pertanyaannya menjadi: apakah suami atau isteri kita nantinya sudah ditetapkan oleh Allah swt?
Selama ini tersebar pemahaman di tengah masyarakat bahwa pasangan hidup –baik suami mupun isteri– setiap manusia sudah ditetapkan oleh Allah swt. Anggapan ini antara lain disandarkan kepada dalil-dalil berikut.

وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ [الروم/21]

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari diri kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS Ar-Rum [30]: 21)
 

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ [النحل/72]

“Allah menjadikan bagi kalian isteri-isteri dari diri kalian dan menjadikan bagi kalian dari isteri-isteri kalian itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?.” (QS. An-Nahl [16]: 72)

Benar, Allah swt telah menciptakan ibunda Hawa’ dari bagian tubuh nabi Adam as yaitu tulang rusuk sebelah kiri, dan sekaligus Allah swt menetapkannya sebagai jodoh Beliau. Namun tidak berarti setiap wanita yang datang berikutnya juga diciptakan dari hal serupa, sehingga menganggap pasangan atau jodoh mereka adalah laki-laki pemilik tulang rusuk yang darinya mereka diciptakan. Penciptaan dari tulang rusuk tersebut hanya terjadi pada Hawa’, berdasarkan ayat:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا [النساء/1]

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisaa- [4]: 1)

Sedangkan manusia berikutnya -baik laki-laki maupun wanita-, diciptakan melalui percampuran antara Adam dan Hawa’. Dengan kata lain mereka tidak lagi diciptakan dari tanah liat dan tulang rusuk, melainkan dari air mani. Berdasarkan:

الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ * ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ [السجدة/7، 8]

“yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani).” (QS. As-Sajdah [32]: 7-8)

أَلَمْ نَخْلُقْكُمْ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ [المرسلات/20]

“Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina [air mani]?” (QS. Al-Mursalat [77]: 20)

Adapun redaksi ayat yang artinya “Dia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari diri kalian sendiri” maksudnya adalah: Dia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri. Berikut penjelasan Imam Ibn Katsir, terkait ayat di atas.

يذكر تعالى نعمه على عبيده، بأن جعل لهم من أنفسهم أزواجًا من جنسهم وشكلهم ، ولو جعل الأزواج من نوع آخر لما حصل ائتلاف ومودة ورحمة، ولكن من رحمته خلق من بني آدم ذكورًا وإناثا، وجعل الإناث أزواجا للذكور .

Allah swt menyebutkan nikmat-nikmatNya atas hambaNya, bahwa Dia telah menciptakan bagi mereka dari diri-diri mereka isteri-isteri dari jenis dan bentuk mereka. Jika saja Dia ciptakan isteri-isteri mereka tersebut dari jenis lain, niscaya tidak akan tercapai ketenangan, cinta, dan kasih sayang. Akan tetapi merupakan rahmat Allah swt menciptakan keturunan Adam (dalam bentuk) laki-laki dan perempuan, dan menjadikan yang perempuan sebagai pasangan bagi yang laki-laki. (Tafsir Ibn Katsir, vol IV, hlm 586)

Sampai di sini diketahui bahwa ayat-ayat Al-Qur'an yang disebut di atas bukan merupakan dalil untuk bisa mengatakan bahwa urusan jodoh sudah ditetapkan oleh Allah swt.

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ [النور/26]

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).” (QS. An-Nur [24]: 26)
Adapun ayat yang berbunyi Khobitsat adalah untuk Khobitsun, dan Khobitsun adalah buat Khobitsat (pula), dan Thoyyibat adalah untuk Thoyyibun dan Thoyyibun adalah untuk Thoyyibat (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga) (An-Nur; 26)
Maka ayat ini juga bukan ayat jodoh. Sebab As-babun Nuzul dari ayat ini adalah terkait dengan (حَدِيْثُ اْلإِفْكِ ) yakni peristiwa tuduhan atas Aisyah yang diisukan berbuat serong dengan seorang sahabat yang bernama Shofwan bin Mu’ath-thol. Karena itulah para mufassirin ketika menafsirkan ayat ini, mereka menukil penafsiran Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa yang dimaksud ( الْخَبِيْثَات ) dalam ayat ini adalah ucapan-ucapan yang buruk. Artinya ucapan-ucapan yang buruk (diantaranya adalah memfitnah wanita baik-baik berbuat zina) hanya akan muncul dari orang-orang yang buruk, yakni orang-orang munafik atau orang-orang yang hatinya ada penyakit. Bukannya orang shalih pasti akan menikah dengan wanita shalih dan lelaki shalih akan menikah dengan wanita shalihah. Karena itu wajar jika diceritakan dalam al-Qur’an bahwa Nabi Luth a.s beristri wanita yang tidak shalihah sebagaimana istri Fir’aun yang shalihah bersuami Fir’aun yang kafir. Hal ini dikarenakan urusan pernikahan adalah mu’amalah biasa bukan sesuatu yang telah ditetapkan sebagai mana rizki dan ajal. Jadi ayat ini tidak sah digunakan sebagai dalil bahwa persoalan jodoh adalah sesuatu yang ditakdirkan, atau Allah telah menentukan “kaidah umum” dalam pengaturan jodoh seseorang.

Dari sini bisa difahami, bahwa jodoh bukanlah perkara yang sudah ditetapkan di Lauhul Mahfudz tetapi takdir yang di rahasiakan Alloh, tetapi ia adalah mu’amalah biasa sebagaimana mu’amalah yang lain, yang berada di area yang dikuasai manusia dan manusia dihisab atasnya.

Namun pemahaman bahwa jodoh adalah sesuatu yang berada dalam area yang dikuasai manusia bukan berarti pengingkaran bahwa Allah adalah ( اْلمُدَبِّرُ ) yang bersifat Maha Mengatur dan ( الْحَاكِمُ ) yang Maha Memutuskan. Setiap Mukmin ketika melaksanakan suatu aktivitas dalam area yang dikuasainya kemudian ternyata apa yang terjadi di luar harapannya dan di luar dugaannya, maka ia harus ridlo terhadap hal itu dan mengimani bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Mengatur. Dan manusia Wajib Ikhtiar untuk mencari yang terbaik.
Adapun dari hadits, tidak ditemukan yang secara sharih menunjukkan hal tersebut. Yang ada adalah hadits-hadits yang menyebutkan ditetapkannya empat perkara bagi janin setelah usia kandungan melewati empat puluh hari ke-tiga, yaitu: ajal, rizqi, amal perbuatan, dan bahagia atau sengsara di dunia. Tidak disebutkan di situ ketetapan jodoh atau pasangannya.

Syara’ Menghendaki Manusia untuk mencari dan Memilih Sendiri Jodohnya

Berikut ini nash-nash yang menunjukkan bahwa jodoh adalah perkara ikhtiyari, bukan merupakan qadha’ Allah swt, kecuali pasangan Adam as dan Hawa di atas, dan pasangan-pasangan tertentu yang tidak diketahui.

    Nikah adalah amal shalih, syara’ memerintahkan kepadanya dan melarang dari ber-tabattul (sengaja membujang selamanya)

عن عبيد بن سعد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من أحب فطرتي فليستن بسنتي ومن سنتي النكاح . رواه أبو يعلى قال حسين سليم أسد : رجاله ثقات

Dari Ubaid bin Sa’ad, Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang menyukai fitrahku hedaknya ia bersunnah dengan sunnahku, dan termasuk sunnahku adalah menikah.” (HR. Abu Ya’la – Husain Salim Asad: rijalnya terpercaya)

عن عبد الله بن مسعود قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء . متفق عليه واللفظ لمسلم

Dari Abdullah bin Mas’ud ra, Rasulullah saw bersabda: “Wahai para pemuda, siapa-siapa di antara kalian yang mampu ba’ah (memberi tempat tinggal) hendaknya ia menikah, sungguh nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan siapa-siapa yang belum mampu ba’ah maka hendaknya ia berpuasa, sungguh puasa itu akan menjadi perisai baginya.” (Muttafaq ‘Alayh – lafazh milik Muslim)

عن الحسن عن سمرة : ان نبي الله صلى الله عليه و سلم نهى عن التبتل  . رواه أحمد . تعليق شعيب الأرنؤوط : رجاله ثقات

Dari Samurah ra, bahwa Rasulullah saw melarang dari tabattul (sengaja membujang untuk selamanya). (HR. Ahmad bin Hambal – Syu’aib Al-Arnauth: rijalnya terpercaya)

Karena tergolong amal shalih, maka manusia diberi pilihan antara melakukannya atau meninggalkannya dengan konsekwensinya masing-masing. Dengan menikah berarti melakukan sunnah Rasulullah saw, dan dengan ber-tabattul  berarti seseorang akan mendapatkan dosa.
Perintah untuk menikahi/menikahkan orang yang baik agamanya, penyayang, dan subur, dan larangan dari menikahi/menikahkan orang yang buruk agamanya. 

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ [البقرة/221]

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah [2]: 221)

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ [النور/3]

“Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An-Nur [24]: 3)

عن أبى هريرة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : تنكح المرأة لأربع لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك . رواه البخارى ومسلم

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Seorang wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena garis keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Pilihlah yang baik agamanya maka engkau akan beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim)‎
 
عن أبي هريرة قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إذا أتاكم من ترضون خلقه و دينه فانكحوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض . رواه الحاكم وقال هذا حديث صحيح الإسناد و لم يخرجاه

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Apabila datang kepada kalian siapa yang kalian ridhai akhlak dan agama nya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak kalian lakukan, niscaya akan menjadi fitnah dan muka bumi dan kerusakan yang luas.” (HR. Al-Hakim – sanadnya shahih)

عن أنس بن مالك قال : كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يأمر بالباءة وينهى عن التبتل نهيا شديدا ويقول تزوجوا الودود الولود اني مكاثر الأنبياء يوم القيامة . رواه أحمد بن حنبل . تعليق شعيب الأرنؤوط : صحيح لغيره , وهذا إسناد قوي

Dari Anas bin Malik ra; adalah Rasulullah saw memerintahkan untuk ba’ah (kemampuan memberi tempat tinggal) dan melarang perbujangan dengan larangan yang keras, Beliau bersabda: “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur (karena) aku akan melebihi para nabi (jumlah umatnya) di hari kiamat kelak.” (HR. Ahmad bin Hambal – Syu’aib Al-Arna’uth:  sanadnya kuat) 

Karena syara’ hanya menentukan kriteria-kriteria sebagaimana di atas, maka wanita non-mahram manapun dan siapapun yang baik agamanya pantas untuk dinikahi, dan sebaliknya wanita musyrikah (non-muslimah selain ahli kitab) dan pezina yang belum bertaubat manapun dan siapapun haram untuk dinikahi. Keduanya tidak akan luput dari hisab Allah swt di hari kiamat kelak. Ini menandakan Allah swt tidak menetapkan orang-orang tertentu menjadi jodoh orang-orang tertentu pula.

Sikap Seorang Muslim

Dengan demikian, maka sikap seorang muslim adalah menentukan jodoh atau calon pasangannya dengan sebaik mungkin, yaitu dengan mengacu kepada kriteria-kriteria yang telah ditentukkan syara’, serta tidak lupa pula mengiringinya dengan doa:

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا [الفرقان/74]

"Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqon [25]: 74)

Dan menjaga kesucian diri sendiri dari segala bentuk kemaksiatan, baik zhahir maupun bathin. Karena sebagaimana kita bisa memilih berdasarkan kriteria-kriteria yang baik tersebut, dipilihnya kita atau tidak juga akan ditentukan berdasarkan kriteria-kriteria yang sama.

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ [النور/26]

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).” (QS. An-Nur [24]: 26)
Oleh karenanya, dalam sebuah hadits ada ketentuan:

عن أبي هريرة قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إذا أتاكم من ترضون خلقه و دينه فانكحوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض . رواه الحاكم وقال هذا حديث صحيح الإسناد و لم يخرجاه

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Apabila datang kepada kalian siapa yang kalian ridhai akhlak dan agama nya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak kalian lakukan, niscaya akan menjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang luas.” (HR. Al-Hakim – sanadnya shahih)

Hadist di atas mengisyaratkan tentang cara memilih jodoh yang baik. Rasulullah menjelaskan bahwa ada empat kriteria wanita yang dinikahi. Keempat kriteria tersebut adalah harta, nasab, kecantikan dan agama. Eksplorasi lebih jauh atas hadis-hadis tentang mencari jodoh ternyata tidak demikian adanya. Ada hadis yang hanya mencukupkan tiga syarat yakni harta benda, kecantikan dan agama. Namun, kesemuanya sabda Nabi Muhammad saw. tersebut lebih mengutamakan kebaikan dari sisi agama.
Ulama banyak yang memberikan syarat-syarat tertentu dalam memilih jodoh dalam pernikahan. Tentu satu dengan yang lainnya berbeda dalam menginterpretasikah hadis di atas. Bahkan ada yang mencukupkan diri syarat wanita yang dinikahi adalah mempunyai akhlak yang baik. Pembahasna tersebut terutama dapat dijumpai dalam masalah perwalian dan kafaah (kesepadanan).
Pada suatu saat Nabi Muhammad saw. melarang perkawinan terhadap wanita yang dilandasi dengan kecantikan, dan harta benda. Lebih lanjut Rasulullah saw. memberikan penyelesaian yang terbaik dengan kriteria agama dengan mengibaratkan terhadap budak wanita yang hitam legam yang beriman lebih utama untuk dinikahi. Sifat perempuan yang baik juga pernah dituturkan oleh Nabi Muhammad saw. Nabi menggambarkan seorang wanita yang dapat menyenangkan suaminya ketika dipandang dan melakukan apa yang diperintah-kan suaminya adalah sosok wanita yang baik. Di samping itu wanita yang tidak pernah menyalahi terhadap suaminya dalam hal harta benda dan hal-hal yang dibenci suaminya.
Permasalahan tersebut menjadi penting karena calon mempelai merupakan sesuatu yang penting karena dari sinilah rumah tangga nanti dibangun. Sekilas nampak bahwa wanita sebagai obyek dari hadis tersebut. Namun, jika ditelusuri secara mendalam, terdapat hadis lain yang memfokuskan masalah dengan memilih jodoh yang berspektif gender di mana perempuan juga dapat beperan dalam menentukan jodohnya. Hadis yang terakhir tidak banyak diekspos dan dalam kajian fiqh cenderung dimasukkan dalam permasalah perwalian yang di mana hak tersebut disandang kaum laki-laki.
Untuk mendudukkan bagaimana tuntunan Islam tentang pencarian jodoh sebagaimana tersebut dalam hadis di atas, maka penelitian ini penting dilakukan. Karena sering seseorang melaksanakan pemilihan jodoh dengan melandasi pikirannya dengan landasan normatif seperti al-Qur’an dan hadis. Oleh karena itu, agar pembahasan menarik, maka penelitian ini juga mengakitkan berbagai persoalan dan perdebatan yang hangat di kalangan ulama fiqh dan dalam tradisi Jawa. Upaya tersebut untuk mendapatkan pemahaman hadis dalam konteks kekinian yang lebih bersperspektif dan berkeadilan gender. Kriteria Memilih Pasangan Hidup Menurut Islam

Setelah kita mengetahui tentang tujuan menikah maka Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk berhati-hati dalam memilih pasangan hidup karena hidup berumah tangga tidak hanya untuk satu atau dua tahun saja, akan tetapi diniatkan untuk selama-lamanya sampai akhir hayat kita.

Muslim atau Muslimah dalam memilih calon istri atau suami tidaklah mudah tetapi membutuhkan waktu. Karena kriteria memilih harus sesuai dengan syariat Islam. Orang yang hendak menikah, hendaklah memilih pendamping hidupnya dengan cermat, hal ini dikarenakan apabila seorang Muslim atau Muslimah sudah menjatuhkan pilihan kepada pasangannya yang berarti akan menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita yang akan menjadi istri atau ratu dalam rumah tangga dan menjadi ibu atau pendidik bagi anak-anaknya demikian pula pria menjadi suami atau pemimpin rumah tangganya dan bertanggung jawab dalam menghidupi (memberi nafkah) bagi anak istrinya. Maka dari itu, janganlah sampai menyesal terhadap pasangan hidup pilihan kita setelah berumah tangga kelak.‎

Kesimpulan;

Semoga Allah subhanahu wata'ala senantiasa meridhai semua usaha dan tindakan kita. Amin !

1. Meyakini takdir Allah subhanahu wata'ala adalah wajib dan merupakan salah satu rukun iman yang enam.

حديث جبريل لما سأل النبي صلى الله عليه وسلم عن الإيمان ، قال : " أن تؤمن بالله ، وملائكته ، وكتبه ، ورسله ، واليوم الآخر ، وتؤمن بالقدر خيره وشره " . [صحيح مسلم]

Dalam hadits kisah malaikat Jibril bertanya tentang keimanan, Rasulullah menjawab: "Iman adalah meyakini adanya Allah, para Malaikat, kitab suci, para Rasul, hari akhirat, dan meyakini takdir yang baik dan yang buruk." [Sahih Muslim]

عن جابر بن عبد الله قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " لا يؤمن عبد حتى يؤمن بالقدر خيره وشره ، حتى يعلم أن ما أصابه لم يكن لخيطئه ، وأن ما أخطأه لم يكن ليصيبه . قال الشيخ الألباني : صحيح [سنن الترمذي]

Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah bersabda: "Tidak dikatakan beriman seorang hamba sampai ia meyakini takdir yang baik dan yang buruk, sampai ia yakini bahwa apa yang telah ditakdirkan akan menimpanya tidak akan meleset darinya, dan apa yang telah ditakdirkan meleset darinya maka tidak akan menimpanya." [Sunan At-Tirmidzi: Sahih]

2. Jauhi pertanyaan yang di luar jangkauan manusia dalam masalah taqdir.

{لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ } [الأنبياء: 23]

"Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai." [Al-Anbiyaa':23]

3. Jangan suka berdebat dalam masalah takdir:

عن أبي هريرة قال : خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نتنازع في القدر فغضب حتى احمر وجهه حتى كأنما فقئ في وجنتيه الرمان فقال : " أبهذا أمرتم أم بهذا أرسلت إليكم ؟ إنما هلك من كان قبلكم حين تنازعوا في هذا الأمر ، عزمت عليكم عزمت عليكم ألا تتنازعوا فيه " . قال الشيخ الألباني : حسن [سنن الترمذي]

Abu Hurairah berkata: Suatu hari Rasulullah mendatangi kami yang sedang berselisih dalam masalah takdir, lalu Rasulullah marah sampai mukanya merah seolah-olah dikeluarkan dari pipinya biji delima seraya bersabda: "Apakah yang seperti ini kalian diperintahkan, atau yang seperti ini aku diutus kepada kalian? Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian hancul ketika mereka berselisih dalam masalah ini (takdir). Aku tegaskan pada kalain, aku tegaskan pada kalian untuk tidak berselisih dalam masalah takdir." [Sunan At-Tirmidzi: Hasan]

حديث : " إذا ذكر أصحابي فأمسكوا ، وإذا ذكرت النجوم فأمسكوا ، وإذا ذكر القدر فأمسكوا ." قال الشيخ الألباني : صحيح [صحيح الجامع رقم 545]

Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda: "Jika para sababatku disebutkan maka diamlah (jangan kalian menghinanya), dan jika perbintangan disebutkan maka diamlah, dan jika takdir disebutkan maka diamlah (jangan berdebat)." [Sahih Al-Jami' Ash-Shagiir]

4. Semua yang terjadi di alam semesta (termasuk jodoh) sudah ditakdirkan oleh Allah.

{إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ} [القمر: 49]

"Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran." [Al-Qamar:49]

{وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا} [الفرقان: 2]‎

"Dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya." [Al-Furqaan:2]

{وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ} [الرعد: 8]

"Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya." [Ar-Ra'd:8]

{قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا } [التوبة: 51]

Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang Telah ditetapkan Allah untuk kami." [At-Taubah:51]

{وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَلَا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْبَرَ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ} [يونس: 61]

"Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)." [Yunus:61]

{وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ} [الصافات: 96]

"Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat ". [Ash-Shaffaat:96]

حديث : إن الله تعالى صانع كل صانع و صنعته . قال الشيخ الألباني : ( صحيح ) [صحيح الجامع رقم 1777]

Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Allah menciptakan semua yang menciptakan beserta ciptaannya." [Sahih Al-Jami' Ash-Shagiir]

عن عبد الله بن عمر : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " كل شيء بقدر ، حتى العجز والكيس أو الكيس والعجز " . [صحيح مسلم]

Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah bersabda: "Segala sesuatu sudah ditakdirkan, sampai rasa lemah dan semangat, atau semangat dan lemah." [Sahih Muslim]

عن عبد الله بن عمرو بن العاص قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : " كتب الله مقادير الخلائق قبل أن يخلق السموات والأرض بخمسين ألف سنة " . [صحيح مسلم]

Dari Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash, Rasulullah bersabda: "Allah telah menetapkan takdir semua makhluk sebelum menciptakan langit dan bumi selama 50.000 tahun." [Sahih Muslim]

عن عبادة بن الصامت : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : " إن أول ما خلق الله القلم ، فقال له : اكتب ! قال : رب وماذا أكتب ؟ قال : اكتب مقادير كل شيء حتى تقوم الساعة " . إنى سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : " من مات على غير هذا فليس مني " . قال الألباني : صحيح [سنن أبي داود]

Dari Ubadah bin Ash-Shamit, Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya yang pertama diciptakan oleh Allah adalah pena, kemudian berkata kepadanya: Tulislah ! Sang Pena bertanya: Apa yang harus kutulis? Allah berkata: Tulislah takdir segala sesuatu sampa datang hari kiamat."

Ubadah berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang meninggal degan tidak meyakini hal ini maka ia bukan golonganku." [Sunan Abu Daud: Sahih]

5. Bukan berarti Allah telah menakdirkan segala sesuatunya kemudian manusia tidak punya pilihan.

{وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا} [الكهف: 29]

Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. [Al-Kahf:29]

{قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِلَّا مَنْ شَاءَ أَنْ يَتَّخِذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيلًا} [الفرقان: 57]

Katakanlah: "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhan nya." [Al-Furqaan:57]

{إِنَّ هَذِهِ تَذْكِرَةٌ فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيلًا} [المزمل: 19] [الإنسان: 29]

"Sesungguhnya Ini adalah suatu peringatan. Maka barangsiapa yang menghendaki niscaya ia menempuh jalan (yang menyampaikannya) kepada Tuhannya." [Al-Muzzammil:19]

{نَذِيرًا لِلْبَشَرِ . لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ} [المدثر: 36-37]

"Sebagai ancaman bagi manusia. (yaitu) bagi siapa di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur." [Al-Muddatstsir: 36-37]

Dan bukan berarti jodoh adalah takdir Allah terus kita tdk bisa memilih pasangan, karena takdir dan jodoh adalah "rahasia Allah".

6. Akan tetapi pilihan dan kehendak manusia bisa terjadi jika sesuai dgn kehendak Allah.

{إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ . لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ . وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ} [التكوير: 27 - 29]  

"Al-Qur'aan itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta Alam, (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam." [At-Takwiir: 27-29]

{كَلَّا إِنَّهُ تَذْكِرَةٌ . فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ . وَمَا يَذْكُرُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ هُوَ أَهْلُ التَّقْوَى وَأَهْلُ الْمَغْفِرَةِ} [المدثر: 54 - 56]

"Sekali-kali tidak demikian halnya. Sesungguhnya Al-Quran itu adalah peringatan. Maka barangsiapa menghendaki, niscaya dia mengambil pelajaran daripadanya (Al-Quran). Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran daripadanya kecuali (jika) Allah menghendakinya. Dia (Allah) adalah Tuhan yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun." [Al-Muddatstsir: 54-56]

عن عبد الله بن عمرو بن العاص أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : " إن قلوب بنى آدم كلها بين إصبعين من أصابع الرحمن كقلب واحد يصرفه حيث يشاء " . [صحيح مسلم]

Dari Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash, Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya hati anak cucu Adam semuanya berada di antara dua jari dari jari-jari Ar-Rahman (Allah), ibarat satu hati yang Allah palingkan sesuai kehendak-Nya" . [Sahih Muslim]

7. Sepertinya penulis "jodoh adalah pilihan" termotifasi dengan tulisannya karena kesalah-pahaman kebanyakan orang tentang salat istikharah.

Banyak orang menganggap bahwa salat istikharah hanya untuk cari jodoh (dilakukan sebelum nikah), meminta petunjuk Allah akan beberapa calon yang tidak bisa ia pilih, kemudian menunggu jawaban lewat mimpi atau yang lainnya.

Padalah anggapan ini adalah salah, salat istikharah bukan khusus dalam masalah jodoh.

Salat istikharah dilakukan setelah kita menentukan pilihan sesuai kadar ilmu dan kemampuan kita kemudian kita minta berdo'a dalam salat istikharah semoga pilihan kita sesuai dengan kehendak Allah, baik untuk dunia akhirat kita dan mendapat bantuan dari Allah hingga tercapai atau mendapat yang lebih baik.

Dan tidak perlu menunggu isyarat mimpi dan sebagainya, akan tetapi lakukan sesuai rencana, jika terlaksana dengan mudah berarti itulah takdir Allah, jika tidak maka itu juga sudah takdir Allah.

عن أبى هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " وإن أصابك شىء فلا تقل لو أنى فعلت كان كذا وكذا. ولكن قل قدر الله وما شاء فعل فإن لو تفتح عمل الشيطان " . [صحيح مسلم]

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: Dan jika sesuatu menimpamu maka jangan kau mengatakan "seandainya aku melakukan ini dan itu", akan tetapi katakanlah "Allah sudah menakdirkannya dan apa yang diinginkan Allah pasti terjadi". Karena sesungguhnya kata "seandainya" membuka pintu amalan syaitan." [Sahih Muslim]

8. Bukti kongkrit kalau jodoh adalah ketentuan Allah.
Banyak kita temui seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita tapi tidak bisa, seorang wanita ingin dinikahi seorang lelaki tapi tidak terjadi, kedua mempelai sudah setuju tapi keluarganya tidak merestui, atau semua setuju tapi musibah menghalangi mereka bersatu karena bukan jodoh.
Berapa banyak keinginan kita yang tidak tercapai?
Dan berapa banyak yang tidak kita inginkan namun terjadi?
Manusia punya rencana, tapi Allah juga lah yang menentukan !!!

9. Lalu untuk apa kita berusaha?

عن علي رضي الله عنه قال كان النبي صلى الله عليه وسلم في جنازة فأخذ شيئا فجعل ينكت به الأرض فقال : " ما منكم من أحد إلا وقد كتب مقعده من النار ومقعده من الجنة " قالوا : يا رسول الله أفلا نتكل على كتابنا وندع العمل ؟ قال : " اعملوا فكل ميسر لما خلق له ، أما من كان من أهل السعادة فييسر لعمل أهل السعادة ، وأما من كان من أهل الشقاء فييسر لعمل أهل الشقاوة " ثم قرأ { فأما من أعطى واتقى وصدق بالحسنى } الآية . [صحيح البخاري]

Ali radiyallahu 'anhu berkata: Suatu hari Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam menghadiri jenazah, dan beliau mengambil sesuatu dan mengkorek-korek tanah lalu bersabda: "Tidaklah seseorang dari kalian kecuali telah ditentukan tempatnya di neraka atau di surga". Sahabat bertanya: Ya Rasulullah, bagaimana kalau kita pasrah saja dengan takdir kita dan meninggalkan usaha? Rasulullah bersabda: Berusahalah, karena segala sesuatunya akan berjalan mudah sesuai dengan takdirnya. Adapun orang yang bahagia akan dimudahkan baginya jalan kebahagiaan, dan adapun orang yang susah akan dimudahkan baginya jalan kesusahan". Kemudian Rasulullah membaca firman Allah: "Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka kami akan memudahkan baginya jalan kemudahan (kebaikan). Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kami akan memudahkan baginya jalan kesusahan (keburukan)." [Al-Lail: 5-10] [Sahih Al-Bukhari]

10. Semua Telah Ditentukan oleh Alloh
 
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ   ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ      أَوْ سَعِيْدٌ.    فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ  الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا                             
[رواه البخاري ومسلم]
‎‎
 
Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radiallahuanhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan : Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara : menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tidak ada Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga  maka masuklah dia ke dalam surga. (Riwayat Bukhori dan Muslim).
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
1.     Allah ta’ala mengetahui tentang keadaan makhluknya sebelum mereka diciptakan dan apa yang akan mereka alami, termasuk masalah kebahagiaan dan kecelakaan.
2.     Tidak mungkin bagi manusia di dunia ini untuk memutuskan bahwa dirinya masuk surga atau neraka, akan tetapi amal perbutan merupakan sebab untuk memasuki keduanya.
3.     Amal perbuatan dinilai di akhirnya. Maka hendaklah manusia tidak terpedaya dengan kondisinya saat ini, justru harus selalu mohon kepada Allah agar diberi keteguhan dan akhir yang baik (husnul khotimah).
4.     Disunnahkan bersumpah untuk mendatangkan kemantapan sebuah perkara dalam jiwa.
5.     Tenang dalam masalah rizki dan qanaah (menerima) dengan mengambil sebab-sebab serta tidak terlalu mengejar-ngejarnya dan mencurahkan hatinya karenanya.
6.     Kehidupan ada di tangan Allah. Seseorang tidak akan mati kecuali dia telah menyempurnakan umurnya.
7.     Sebagian ulama dan orang bijak berkata  bahwa dijadikannya pertumbuhan janin manusia dalam kandungan secara berangsur-angsur adalah sebagai rasa belas kasih terhadap ibu. Karena sesungguhnya Allah mampu menciptakannya sekaligus.
Manusia hanya merencanakan tapi segala ketentuan berada  di tangan Allah, itu kalimat yang sering kita dengar bahkan kita ucapkan yang menggambarkan kelemahan manusia dan keperkasaan Allah. Memang manusia sangat tidak berdaya terhadap ketentuan hidupnya karena semuanya berada dalam genggaman yang Maha Kuasa, apakah ada kekuasaan manusia terhadap kelahiran, rezeki, jodoh dan  kematiannya, kita hanya sebagai wayang [pemain] yang menjalankan scenario kehidupan ini yang telah ditentukan Allah.
Banyak mungkin diantara kita yang masih berpendapat bahwa Rezeki, Ajal, serta jodoh telah ditetapkan oleh Allah semenjak kita masih di dalam kandungan. Pemikiran seperti ini mungkin telah mendarah daging di dalam diri kita.

Apalagi kiranya sejak kecil mungkin orang tua, guru, dan lingkungan masyarakat dimana tempat kita hidup pun kalimat ini sampai sekarang masih sangat familiar diulang-ulang.‎

Wallohu A'lam Bishshowab‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...