Rabu, 25 November 2020

Hukum Menikah Wanita Yang Sedang Hamil


Pergaulan di kalangan remaja dan anak muda sekarang sudah sangat mengkhawatirkan. Tidak sedikit di antara mereka yang terjebak dalam pergaulan bebas yang diakibatkan salah satunya penyalah gunaan penggunaan fasilitas teknologi seperti internet. Sehingga tidak heran jika banyak remaja yang masih usia sekolah datang ke Pengadilan Agama untuk mengajukan dispensasi kawin karena harus secepatnya menikah demi status anak yang ada dalam kandungan hasil dari perbuatan zina.

Pada dasarnya, wanita baru boleh menikah jika ia sudah tidak dalam masa Iddah (masa tunggu setelah bercerai dengan suami). Salah satu macam iddah adalah bagi wanita yang hamil ialah sampai ia melahirkan. Sebagaimana Firman Allah swt dalam surat at-Talak ayat 4:

“Dan wanita-wanita yang hamil, iddah mereka itu adalah sampai ia melahirkan kandungannya“.

Lalu bagaimana hukumnya jika hamil akibat zina? apakah ia harus menunggu melahirkan baru boleh menikah seperti iddahnya wanita yang hamil karena menikah?
Hukum Menikahi Wanita/Pria pezina

Yang dimaksud pezina di sini adalah yang memang zina menjadi kebiasaannya (seperti pelacur atau lelaki hidung belang).

Para ulama membagi hukumnya menjadi dua bagian:
Pertama, jika yang menikahi adalah orang baik-baik (mukmin, shalih), maka hukumnya haram, kecuali si pezina itu tobat dahulu.

Larangan ini berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:

1. Al-Quran

Al-Maidah ayat ayat 5:

“Pada masa ini Dihalalkan bagi kamu (memakan makanan) Yang lezat-lezat serta baik-baik. dan makanan (sembelihan) orang-orang Ahli Kitab itu adalah halal bagi kamu, dan makanan (sembelihan) kamu adalah halal bagi mereka (tidak salah kamu memberi makan kepada mereka). dan (dihalalkan bagi kamu mengawini) dengan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya – di antara perempuan-perempuan yang beriman, dan juga perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya dari kalangan orang-orang Ahli Kitab dahulu daripada kamu apabila kamu beri mereka maskawinnya, sedang kamu (dengan cara yang demikian), bernikah bukan berzina, dan bukan pula kamu mengambil mereka menjadi perempuan-perempuan simpanan.”

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

لا يحل للرجل أن يتزوج بزانية، ولا يحل للمرأة أن تتزوج بزان، إلا أن يحدث كل منهما توبة

“Tidak halal bagi seorang pria menikahi wanita pezina, dan tidak halal seorang wanita menikahi seorang pria pezina, kecuali jika ia bertaubat.” 
Setelah itu Syaikh Sayyid Sabiq menjadikan ayat di atas sebagai dalil. 

Tentang ayat di atas Syaikh Sayyid Sabiq juga berkata:

أي أن الله كما أحل الطيبات، وطعام الذين أوتوا الكتاب من اليهود والنصارى، أحل زواج العفيفات من المؤمنات، والعفيفات من أهل الكتاب، في حال كون الازواج أعفاء غير مسافحين ولا متخذي أخدان

“Yakni sesungguhnya Allah sebagaimana Dia menghalalkan yang baik-baik, dan makanan orang-orang yang beri Al Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, (maka) Dia menghalalkan menikahi wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan mukminat, dan juga wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan Ahli kitab, dengan keadaan bahwa mereka sebagai suami istri yang sebelumnya sama-sama menjaga kehormatan, tidak berzina, dan tidak pernah sebagi gundik (simpanan).”

Imam Ibnu Katsir berkata tentang ayat, “dan (dihalalkan bagi kamu mengawini) dengan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya – di antara perempuan-perempuan yang beriman,”

أي: وأحل لكم نكاح الحرائر العفائف من النساء المؤمنات

“Yakni dihalalkan bagi kalian menikahi wanita merdeka yang menjaga kehormatan dari kalangan wanita beriman.”

Imam Abu Ja’far Ath-Thabari berkata tentang ayat tersebut:

أحل لكم، أيها المؤمنون، المحصنات من المؤمنات – وهن الحرائر منهن- أن تنكحوهن

“Dihalalkan bagi kalian, wahai orang-orang beriman, wanita-wanita merdeka dari kalangan beriman, untuk kalian menikahi mereka ..” 

Jadi, yang halal bagi orang baik-baik hanyalah menikahi wanita yang beriman yang menjaga kehormatannya, bukan pezina.

An-Nuur ayat 3:

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”

Ayat ini jelas-jelas menyebutkan bahwa yang layak menikahi pezina adalah pezina juga, tidak sepatutnya orang beriman menikahi orang pezina atau musyrik. Mereka pezina dan musyrik hanya layak dinikahi dengan pezina dan musyrik juga.


Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah tentang ayat ini:

ومعنى ينكح: يعقد. وحرم ذلك، أي وحرم على المؤمنين أن يتزوجوا من هو متصف بالزنا أو بالشرك، فانه لا يفعل ذلك إلا زان أو مشرك.

“Makna dari ‘mengawini’ adalah mengadakan akad. Yang demikian itu diharamkan, yaitu diharamkan atas orang-orang beriman menikahi orang-orang yang disifati sebagai pezina atau musyrik, karena tidak ada yang menikahi mereka kecuali pezina dan musyrik juga.”

2. As-Sunnah

Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya:

أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِي مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقُ وَكَانَتْ صَدِيقَتَهُ قَالَ جِئْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْكِحُ عَنَاقَ قَالَ فَسَكَتَ عَنِّي فَنَزَلَتْ :وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ.  فَدَعَانِي فَقَرَأَهَا عَلَيَّ وَقَالَ لَا تَنْكِحْهَا

Bahwa Martsad bin Abi martsad al Ghanawi dahulu dia membawa keluarganya ke Mekkah, di Mekkah ada seorang pelacur bernama ‘Anaq, dia adalah teman dari Martsad. Dia (Martsad) berkata: Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah, bolehkah aku nikah dengan ‘Anaq?”, dia berkata: Rasulullah mendiamkan saya, maka turunlah ayat “Wanita pezina tidaklah menikah kecuali dengan laki-laki pezina atau musyrik.”
Lalu Rasulullah memanggil saya dan membacakan kepada saya, lalu bersabda: “Jangan kau menikahinya!”

Hadits ini tegas melarang pria baik-baik menikahi wanita pezina (pelacur). 

Dalam Aunul Ma’bud disebutkan:

فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّهُ لَا يَحِلّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَتَزَوَّج بِمَنْ ظَهَرَ مِنْهَا الزِّنَا

“Di dalamnya terdapat dalil, bahwa tidak halal bagi pria menikahi wanita yang terang-terangan darinya perzinaan (pelacur).” 

Hadits lainnya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْكِحُ الزَّانِي الْمَجْلُودُ إِلَّا مِثْلَهُ

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Pezina laki-laki yang didera, tidaklah menikah kecuali dengan yang semisalnya.”

Dalam Fiqhus Sunnah disebutkan:

قال الشوكاني: هذا الوصف خرج مخرج الغالب باعتبار من ظهر منه الزنا.
وفيه دليل على أنه لا يحل للرجل أن يتزوج بمن ظهر منها الزنا.
وكذلك لا يحل للمرأة أن تتزوج بمن ظهر منه الزنا.

Berkata Asy Syaukani: Ini adalah sifat yang telah nampak dari kebiasaan, yaitu orang yang memang terbiasa berbuat zina. Dan di dalamnya terdapat dalil bahwa tidak halal bagi laki-laki menikahi wanita yang biasa melakukan zina, demikian pula tidak dihalalkan bagi wanita menikahi laki-laki yang terbiasa berzina.

Berkata penulis Aunul Ma’bud:

قَالَ الْعَلَّامَة مُحَمَّد بْن إِسْمَاعِيل الْأَمِير فِي سُبُل السَّلَام : فِي الْحَدِيث دَلِيل عَلَى أَنَّهُ يَحْرُم عَلَى الْمَرْأَة أَنْ تُزَوَّج بِمَنْ ظَهَرَ زِنَاهُ ، وَلَعَلَّ الْوَصْف بِالْمَجْلُودِ بِنَاء عَلَى الْأَغْلَب فِي حَقّ مَنْ ظَهَرَ مِنْهُ الزِّنَا . وَكَذَلِكَ الرَّجُل يَحْرُم عَلَيْهِ أَنْ يَتَزَوَّج بِالزَّانِيَةِ الَّتِي ظَهَرَ زِنَاؤُهَا

“Berkata Al ‘Allamah Muhammad bin Ismail Al Amir dalam Subulus Salam: “Di dalam hadits terdapat dalil bahwa haram bagi wanita menikah dengan laki-laki yang telah nampak perzinaannya, dan penyifatannya dengan mendapatkan dera, dikarenakan zina telah menjadi hal yang dominan (kebiasaan) baginya secara nyata. Demikian pula bagi laki-laki diharamkan baginya menikahi wanita yang telah nampak perzinaannya.” 

Dari uraian ini, maka jelaslah haramnya orang baik-baik, mu’min, shalih, menikahi orang yang terbiasa zina (pelacur).
Hukum Pernikahan Dua Orang yang Berzina

Masalah pernikahan dua orang yang berzina, tetapi mereka bukan pelacur atau bukan laki-laki hidung belang ini adalah yang paling banyak terjadi. Mereka berzina karena rayuan setan, dan tidak mampu menjaga diri, akibat pergaulan bebas (baca: pacaran). Namun, mereka bukanlah pezina dalam artian orang yang menjadikan zina adalah kebiasaan seperti pelacur, germo, atau laki-laki hidung belang. Apakah mereka berdua boleh dinikahkan?

Berkata Imam Asy-Syaukani Rahimahullah:

وقد اختلف في جواز تزوّج الرجل بامرأة قد زنى هو بها ، فقال الشافعي ، وأبو حنيفة : بجواز ذلك . وروي عن ابن عباس ، وروي عن عمر ، وابن مسعود ، وجابر : أنه لا يجوز . قال ابن مسعود : إذا زنى الرجل بالمرأة ثم نكحها بعد ذلك فهما زانيان أبداً ، وبه قال مالك

“Telah terjadi perbedaan pendapat tentang kebolehan seorang laki-laki menikah dengan wanita yang pernah berzina dengannya. Imam Asy Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat: boleh. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan Jabir mereka berpendapat: tidak boleh. Berkata Ibnu Mas’ud: Jika laki-laki berzina dengan wanita, lalu dia menikahinya setelah itu, maka mereka berdua adalah pezina selamanya!, ini juga pendapat Imam Malik.” 

Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, dan Imam Ibnu Hazm, juga menguatkan pendapat yang mengharamkan.

Sebenarnya golongan yang mengharamkan, pada akhirnya membolehkan juga, dengan syarat pelakunya sudah bertaubat.

Imam Ahmad membolehkan dengan syarat dia bertaubat, dan masa iddahnya selesai. Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i berpendapat boleh mengawininya tanpa menunggu masa iddah. Bahkan Imam Asy Syafi’i membolehkan mengawini wanita zina sekalipun sedang hamil, sebab hamil semacam itu (karena pelakunya adalah laki-laki yang akan menikahinya) bukan alasan haramnya kawin. 

Wanita yang berzina, lalu menikah dan si Laki-Laki bukanlah pelakunya.
Ini berbeda dengan kasus di atas, ini yang menikahi wanita tersebut bukanlah laki-laki yang pernah berzina dengannya tetapi, laki-laki lain. Bolehkah pernikahan mereka berdua?

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Nikahnya orang zina itu haram hingga ia bertaubat, baik dengan pasangan zinanya atau dengan orang lain. Inilah yang benar tanpa diragukan lagi. Demikianlah pendapat segolongan ulama salaf dan khalaf, di antara mereka yakni Ahmad bin Hambal dan lainnya.

Tetapi kebanyakan ulama salaf dan khalaf membolehkannya, yaitu pendapat Imam Yang tiga, hanya saja Imam Malik mensyaratkan rahimnya bersih (kosong/tidak hamil).

Abu Hanifah membolehkan akad sebelum istibra’ (bersih dari kehamilan) apabila ternyata dia hamil, tetapi jika dia hamil tidak boleh jima’ (hubungan badan) dulu sampai dia melahirkan.

Asy Syafi’i membolehkan akad secara mutlak akad dan hubungan badan, karena air sperma zina itu tidak terhormat, dan hukumnya tidak bisa dihubungkan nasabnya, inilah alasan Imam Asy-Syafi’i.

Abu Hanifah memberikan rincian antara hamil dan tidak hamil, karena wanita hamil apabila dicampuri, akan menyebabkan terhubungnya anak yang bukan anaknya, sama sekali berbeda dengan yang tidak hamil.”

Nikahnya Wanita Hamil

Harus dirinci sebagai berikut:

1. Hamil karena suaminya sendiri, tetapi suaminya meninggal atau wafat, dia jadi janda. Bolehkah menikah dan dia masih hamil?

Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas ‘iddahnya. Dan ‘iddah-nya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS.Ath-Tholaq: 4)

Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:

وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ

“Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya.” (QS. Al-Baqarah: 235)

Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini: “Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas ‘iddah-nya.” Kemudian beliau berkata: “Dan para ‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘iddah.”‎


Sepakat kaum muslimin seluruhnya, wanita hamil dan dia menjanda ditinggal mati suami atau cerai, hanya baru boleh nikah setelah masa iddahnya selesai, yaitu setelah kelahiran bayinya. Tidak boleh baginya nikah ketika masih hamil, karena ‘iddahnya belum selesai.

2. Gadis Hamil karena berzina, bolehkah dia menikah?

Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi di seputarnya. Maka dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari Allah ‎Al-‘Alim Al-Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut: Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan pendapat dikalangan para ‘ulama.

Secara global para ‘ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.

Syarat yang pertama: Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.

Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para ‘ulama:

Satu: Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu ‘Ubaid.

Dua: Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy dan Abu Hanifah.

Tarjih

Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa32/109: “Menikahi perempuan pezina adalah haramsampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan.”

Tarjih di atas berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin.” (QS.An-Nur: 3)

Dan dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata:

أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِيْ مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ وَكَانَتْ صَدِيْقَتَهُ. قَالَ: فَجِئْتُ إِلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ عَنَاقًا ؟ قَالَ: فَسَكَتَ عَنِّيْ فَنَزَلَتْ: ((وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ)) فَدَعَانِيْ فَقَرَأَهَا عَلَيَّ. وَقَالَ: لاَ تَنْكِحْهَا

Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata: “Maka saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, Saya nikahi ‘Anaq?” Martsad berkata: “Maka beliau diam, maka turunlah (ayat): “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata: “Jangan kamu nikahi dia.” (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalamAl-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul)

Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum haramtersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya.” (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)

Adapun para ‘ulama yang mengatakan bahwa kalimat ‘nikah’ dalam ayat An-Nur ini bermakna jima’ atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima’ atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakanharam nikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalamAdwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115.

Dan lihat permasalahan di atas dalam: Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar ‘Alamil Kutub), danAl-Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.

Catatan:

Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125 kelihatan condong ke pendapat ini.

Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564 berpendapat lain, beliau berkata: “Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak halal berkhalwatdengan Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur’an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya untuk berzina?”

Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat:

1. Ikhlash karena Allah.‎
2. Menyesali perbuatannya.‎
3. Meninggalkan dosa tersebut.‎
4. Ber‘azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.‎
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.

Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A’lam.

Syarat Kedua: Telah lepas ‘iddah.

Para ‘ulama berbeda pendapat apakah lepas ‘iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat:

Pertama: Wajib ‘iddah.

Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.

Kedua: Tidak wajib ‘iddah.

Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi’iy boleh untuk melakukanakad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh ber-jima’ dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima’ dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber-jima’ sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.

Tarjih

Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini:

1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authos:

لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعُ وَلاَ غَيْرُ حَامِلٍ حَتَّى تَحِيْضَ حَيْضَةً

“Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali.” (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin ‘Abdullah An-Nakha’iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187)

2. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabishollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ

“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.”(HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137)

3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabishollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:

أَنَّهُ أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيْدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوْا نَعَمْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ.

Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda: “Barangkali orang itu ingin menggaulinya?” (Para sahabat) menjawab: “Benar.” Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda: “Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya.”

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: “Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina.”

Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A’lam.

Catatan:

Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini ‘iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah ‘Azza wa Jalla:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS.Ath-Tholaq: 4)

Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, ‘iddahnya diperselisihkan oleh para ‘ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para ‘ulama mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan ‘ulama yang lainnya berpendapat: tiga kali haid yaitu sama dengan‘iddah perempuan yang ditalak.

Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry di atas. Dan ‘iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur’an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ

“Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid).”(QS. Al-Baqarah: 228)


Status Anak Dari Perbuatan Zina

Ada pun status anaknya adalah para ulama membagi dua kategori:

Jika lahirnya bayi tersebut setelah enam bulan pernikahan, maka laki-laki yang menikahinya boleh menjadi ayahnya secara nasab, sehingga boleh menjadi wali (jika anak itu perempuan), dan berhak mendapatkan waris.

Jika lahirnya bayi tersebut sebelum enam bulan pernikahan, maka bayi itu tidak bisa dinasabkan ke ayahnya, hanya ke ibunya. Konsekuensinya ayahnya tidak bisa menjadi wali (jika anak itu perempuan), dan tidak pula saling mewarisi.

Dua kategori di atas disampaikan oleh umumnya para ulama, kecuali Imam Abu Hanifah yang mengatakan sama saja, kapan pun bayi itu lahir, maka dia bisa dinasabkan kepada ayahnya itu. Wallahu A’lam.

Kesimpulan Pembahasan:

1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas ‘iddah-nya.

2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‎‘iddah adalah sebagai berikut:

• Kalau ia hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.

• Kalau ia belum hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.

Lihat pembahasan di atas dalam: Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu’ 17/348-349, Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa32/109-134, Zadul Ma’ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan 6/71-84 dan Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.

2. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina,‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan para ‘ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddahadalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa ‘iddahmaka keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny11/242.

Kalau ada yang bertanya: “Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah lepas masa ‎‘iddah?”

Jawabannya adalah ada perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama.

Jumhur (kebanyakan) ‘ulama berpendapat: “Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas ‘iddah-nya.”

Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram ‎baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan dengan atsar ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ‎yang menunjukkan hal tersebut. Dan pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat dulu dari Imam Syafi’iy tapi belakangan beliau berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar ‘Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas ‘iddah. Wal ‘Ilmu ‘Indallah.‎

3. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya tahu tentang ‎haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka berdua tetap melakukan jima’ maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar ‎bagi perempuan tersebut.

Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan hamil maka ini dianggap nikah ‎syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan.

Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallambersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتُحِلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا

“Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan) maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali.” (HR. Syafi’iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalamAl-Umm 5/13,166, 7/171,222, ‘Abdurrazzaq dalamMushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalamAl-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalamMusnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa’id bin Manshur dalam Sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar3/7, Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu ‘Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840)

Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di masa ‘iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.

Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.

Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkanmahar atasnya berdasarkan keumuman firman AllahTa’ala:

وَآتُوا النِّسَاءَ صُدَقَاتِهِنَّ نِحْلَةً

“Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa`: 4)

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً

“Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban.” (QS. An-Nisa`: 24)‎
Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A’lam.

 

Hukum Mencukur Rambut Kemaluan Serta Hikmahnya


Terkadang membicarakan masalah organ intim menjadi sesuatu hal yang sangat tabu. Padahal hal itu bisa menyangkut kepentingan yang sangat mendesak dalam agama. Sebab itulah banyak orang yang tidak benar-benar mengetahui kebenarannya.

Termasuk salah satu hal yang jarang dibicarakan mengenai bulu kemaluan. Ada orang yang mempunyai bulu kemaluan lebat tapi ragu-ragu ketika hendak mencukurnya. Keraguan tersebut muncul karena ketidaktahuan tentang hukum mencukur bulu kemaluan.

Bulu kemaluan merupakan satu sign atau tanda yang menerangkan bahwa telah datangnya kematangan (pubertas) pada seorang laki-laki atau perempuan. Hal ini dikarenakan adanya perubahan dan pertambahan hormon menjelang masa peralihan atau transisi dari remaja ke dewasa. Hadirnya rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan, sebenarnya bukan suatu masalah karena hal tersebut merupakan kodrat alamiah yang dialami oleh semua orang. Akan tetapi kadang-kadang untuk sebagian orang (khususnya wanita) hadirnya bulu di sekitar kemaluan membuat mereka tidak nyaman dan risih. Sehingga ada sebagian wanita yang berusaha untuk menghilangkan bulu kemaluannya dengan cara mencukur atau mengobatinya secara permanen, sehingga tidak bisa tumbuh lagi.
Sebenarnya bukan tidak boleh mencukur atau membersihkan bulu kemaluan, apalagi dalam Agama Islam, Nabi mengajurkan kita untuk selalu menjaga kebersihan diri, salah satu nya adalah mencukur rambut kemaluan secara teratur. Akan tetapi menghilangkannya sama sekali juga tidak baik, kenapa? Karena hadirnya bulu atau rambut di sekitar kemaluan ternyata mempunyai banyak fungsi untuk kesehatan kita.
Seperti halnya rambut yang mempunyai banyak manfaat untuk tubuh kita, maka demikian juga halnya bulu bulu yang tumbuh di sekitar kemaluan kita.

 Adapun beberapa manfaat atau fungsi dari tumbuhnya bulu-bulu disekitar kemaluan kita diataranya:
1. Memberikan kehangatan
2. Sebagai penampakan dari proses kematangan seksual (pubertas)
3. Mengurangi gesekan saat berhubungan intim
4. Pelindung wilayah disaerah tempat tumbuhnya rambut kemaluan ini karena wilayah ini cukup sensitif (terutama vagina)
5. Pengumpulan dari pengeluaran feromon (zat kimia yang mengatur perilaku seks)
Meski letak dari rambut kemaluan bisa dikatakan tersembunyi (private area) bukan berarti rambut di area kemaluan lepas dari perhatian seperti kita merawat rambut di daerah lainnya seperti rambut kepala atau bulu ketiak. Cowo terutama cewe, kebersihan dan kerapian rambut kemaluan harus dijaga sebaik mungkin melihat fungsi dari rambut kemaluan tadi. Tentunya caranya tidak boleh semaunya.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merawat bulu atau rambut di kemaluan yakni ;
1.Tidak dianjurkan untuk mencabut atau mencukur dengan cara yang tidak tepat pada rambut kemaluan karena dengan mencabut atau mencukur rambut kemaluan bisa menimbulkan lubang kecil (luka iritasi) akibat perlakuan tersebut. Lubang atau luka kecil ini akan menjadi pintu masuk kuman atau jamur (terutama pada cewe yang mudah sekali mengalami lembab di vagina) yang nantinya bisa menyebabkan infeksi di kulit daerah intim Anda.
2.Bulu kemaluan yang terlalu lebat (tidak pernah dirapikan) juga dapat menjadi tempat tumbuhnya kutu, bakteri atau kuman, serta jamur yang pada akhirnya menimbulkan berbagai macam penyakit. Merapikan di sini artinya cukup memendekkan saja. Misalnya, dipendekkan sekira setengah sentimeter dengan menggunakan gunting, atau apabila Anda hendak mencukurnya bisa menggunakan busa sabun terlebih dahulu, serta menggunakan alat cukur khusus yang lembut sebelumnya sudah dicuci dahulu dengan sabun dan disiram dengan air panas. Setelah digunakan, alat cukur wajib dicuci kembali dan disimpan di tempat yang bersih dan kering. Jangan disimpan di tempat yang lembap, karena bisa ditumbuhi jamur dan bakteri. Selain itu, jangan menggunaan alat cukur secara bergantian.
3.Kesehatan bulu atau rambut di kamaluan (bulu pubis) juga sangat tergantung pada kondisi kesehatan kulit. Jika timbul keluhan gatal, nyeri, perih, kemerahan, sisik, bentol/bintil, atau perubahan kulit sekitarnya berarti kondisi kesehatan kulit sedang tidak baik. Hal ini akan berakibat pula pada kondisi bulu pubis. Sebaiknya jika timbul hal demikian segera konsultasikan kepada dokter spesialis kulit untuk penanganan lebih lanjut.
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa, bulu-bulu yang tumbuh di sekitar tubuh kita, ternyata bukan tidak memiliki fungsi dan manfaat, karena Tuhan sudah menetapkan untuk apa fungsi dari masing masing bulu atau rambut yang ada pada tubuh kita. Demikian juga halnya dengan rambut - rambut yang lain, tentunya bukan tidak memiliki fungsi dan manfaat.

Rambut bisa berfungsi sebagai mahkota atau untuk keindahan tubuh, selain juga memiliki fungsi-fungsi untuk kesehatan juga. Lantas, bagaimana dengan rambut-rambut yang tumbuh di bagian-bagian tubuh yang tersembunyi alias pribadi? Apakah juga memiliki fungsi khusus?

Kalau Anda perhatikan tubuh Anda, maka di setiap tempat yang 'rawan' dan perlu dilindungi akan ditumbuhi rambut/bulu. Misalnya kepala, yang perlu dijaga agar tak terbentur, pecah, dan sangat rawan di bagian ubun-ubunnya. Sehingga saat masih bayi, rambut paling tebal di bagian tersebut.
Kemudian pada sekitar mata juga ditumbuhi rambut, di bagian atas ada bulu mata agar debu, cairan, atau benda asing tak mudah singgah ke dalam mata.
Ketika belum menggunakan baju, kemungkinan besar seluruh tubuh ditumbuhi rambut yang lebih jarang dan di tempat rawan ditumbuhi rambut yang lebih lebat dan menutupi tempat tersebut. Dengan pertumbuhan manusia, perubahan jaman dan evolusi manusia, maka tersisa yang paling penting yang menjaga bagian-bagian rawan tersebut dengan rambut.

Nah, ilustrasi di atas mungkin bisa memberikan gambaran tentang pentingnya rambut-rambut 'tersembunyi', seperti rambut kemaluan dan rambut ketiak. Fungsi rambut yang menutupi bagian tubuh tersebut adalah untuk menjaga kelembabannya. Karena selain sensitif, pada bagian bawah organ tersebut tersimpan kelenjar yang sangat penting bagi tubuh.
Mungkin pada saat manusia masih belum mengenal pakaian, keberadaan bulu-bulu tersebut sangat dibutuhkan. Namun seiring dengan ditemukannya pakaian sebagai pelindung tubuh, maka fungsi rambut bisa terbantu oleh pakaian tersebut, sehingga tak menjadi masalah atau bahkan dianjurkan untuk memotong (memendekkan) rambut kemaluan ataupun mencabuti rambut di ketiak Anda, untuk alasan kebersihan maupun estetika.
Sebenarnya untuk soal jumlah, tempat tumbuhnya dan bentuk rambut merupakan ciri khas masing-masing manusia, yang tentunya berbeda satu sama lain. Selain sidik jari, banyaknya dan tempat tumbuhnya rambut juga bisa menunjukkan data orang tersebut. Rambut juga merupakan identifikasi dan daya tarik seksual tersendiri bagi pasangan Anda.

Lalu apa sebenarnya hukum mencukur bulu kemaluan dalam Islam, apakah ada dalil yang mengatur hal tersebut?

Mencukur Rambut Kemaluan itu Fitrah
Mencukur bulu kemaluan termasuk diantara sunnah fitrah yang dianjurkan oleh Islam dan semua syareat telah bersepakat. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhoori (5890) dan Muslim (261) dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma sesungguhnya Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

( مِنْ الْفِطْرَةِ : حَلْقُ الْعَانَةِ ، وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ ، وَقَصُّ الشَّارِبِ ).

“Daintara fitrah adalah mencukur bulu kemaluan, mencukur kuku dan memendekkan kumis.”

Sunnah juga telah menunjukkan tidak diperkenankan membiarkan lebih dari empat puluh malam, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim (258) dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu berkata:

(وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ وَنَتْفِ الْإِبِطِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ أَنْ لَا نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً )

“Kami diberi waktu dalam memendekkan kumis, mencukur kuku, mencabut bulu ketia dan mencukur bulu kemaluan agar tidak dibiarkan lebih dari empat puluh malam.”

قال الشوكاني رحمه الله : " المختار أنه يضبط بالأربعين التي ضبط بها رسول الله صلى الله عليه وسلم فلا يجوز تجاوزها ، ولا يعد مخالفا للسنة من ترك القص ونحوه بعد الطول إلى انتهاء تلك الغاية " انتهى من "نيل الأوطار" (1/143).‎

Syaukani rahimahullah mengatakan, “Yang menjadi pilihan adalah mematok empat puluh sebagaimana yang telah ditentukan oleh Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam maka tidak diperbolehkan melebihi dari (empat puluh malam). Dan tidak termasuk menyalahi sunnah, orang yang membiarkan memotong atau semisalnya setelah tumbuh sampai selesai batasan tersebut.” Selesai dari ‘Nailul Authar, (1/143).

Dari sini, maka anda diperbolehkan membiarkan tidak mencukur bulu kemaluan dengan waktu tidak melebihi dari empat puluh. Kalau lebih dari empat puluh, maka tidak dipebolehkan. Seharusnya orang muslim itu mengagungkan hukum-hukum Allah Ta’ala, Allah berfirman:

(وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ) الحج/30

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” SQ. Al-Hajj: 30.

وقال تعالى : (وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوب) الحج/32

Dan firman Allah Ta’ala, “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” SQ. Al-Hajj: 32.

ومن العجيب أن تستمتع المرأة بعدم نظافة زوجها ، ومشابهته للحيوانات ، فضلا عن مخالفة ذلك للشرع والعقل والفطرة السوية المستقيمة ، فإن مما يقصد من خصال الفطرة (ومنها : الاستحداد) : نظافة البدن ، ومراعاة شعور من يخالطه الإنسان ،‎

Yang mengherankan, seorang wanita menikmati dengan ketidak bersihan suaminya. Dan meniru hewan apalagi menyalahi agama, akal dan fitrah yang lurus. Sesungguhnya diantara maksud perangai fitrah (diantaranya mencukur bulu kemaluan) adalah membersihkan badan, dan memperhatikan perasaan orang yang dipergaulinya.

قال الحافظ ابن حجر رحمه الله في "فتح الباري" : 
"وَيَتَعَلَّق بِهَذِهِ الْخِصَال (يعني : خصال الفطرة) مَصَالِح دِينِيَّة وَدُنْيَوِيَّة ، تُدْرَك بِالتَّتَبُّعِ , مِنْهَا : تَحْسِين الْهَيْئَة , وَتَنْظِيف الْبَدَن جُمْلَة وَتَفْصِيلًا , وَالِاحْتِيَاط لِلطَّهَارَتَيْنِ , وَالْإِحْسَان إِلَى الْمُخَالَط وَالْمُقَارَن بِكَفٍّ مَا يَتَأَذَّى بِهِ مِنْ رَائِحَة كَرِيهَة , وَمُخَالَفَة شِعَار الْكُفَّار مِنْ الْمَجُوس وَالْيَهُود وَالنَّصَارَى وَعُبَّاد الْأَوْثَان , وَامْتِثَال أَمْر الشَّارِع , وَالْمُحَافَظَة عَلَى مَا أَشَارَ إِلَيْهِ قَوْله تَعَالَى : (وَصُوَّركُمْ فَأَحْسَنَ صُوَركُمْ) لِمَا فِي الْمُحَافَظَة عَلَى هَذِهِ الْخِصَال مِنْ مُنَاسَبَة ذَلِكَ , وَكَأَنَّهُ قِيلَ قَدْ حَسُنَتْ صُوَركُمْ فَلَا تُشَوِّهُوهَا بِمَا يُقَبِّحهَا , أَوْ حَافِظُوا عَلَى مَا يَسْتَمِرّ بِهِ حُسْنهَا , وَفِي الْمُحَافَظَة عَلَيْهَا مُحَافَظَة عَلَى الْمُرُوءَة وَعَلَى التَّآلُف الْمَطْلُوب , لِأَنَّ الْإِنْسَان إِذَا بَدَا فِي الْهَيْئَة الْجَمِيلَة كَانَ أَدْعَى لِانْبِسَاطِ النَّفْس إِلَيْهِ , فَيُقْبَل قَوْله , وَيُحْمَد رَأْيه , وَالْعَكْس بِالْعَكْسِ" انتهى . 

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam ‘Fathul Bari’ berkata, “Yang terkait dengan perangai ini (maksudnya perangai fitrah) kemaslahatan agama dan dunia, hal itu didapati dengan mencarinya diantaranya, memperbaiki penampilan, membersihkan badan secara keseluruhan, berjaga dari dua kebersihan, berbuat baik kepada orang yang dipergauli, dengan mencegah dari bau yang tidak bagus, berbeda dengan syiar kalangan orang kafir baik Majusi, Yahudi, Nasroni dan penyembah berhala, merealisasikan perintah agama. Serta menjaga apa yang diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya ‘Dan menciptakan dengan sebaik-baik ciptaan’ dari penjagaan terhadap perangai ini agar sesuai. Seakan dikatakan ‘Sungguh telah indah penciptaan kamu semua, maka jangan diubah dengan sesuatu yang membuat jelek. Atau jagalah untuk kelangsungan keindahannya, dengan menjaganya, (berarti) menjaga akan harga diri dan persatuan yang diinginkan. Karena kalau seseorang terlihat dari sisi penampilan yang indah, maka jiwa seseorang akan lebih terbuka, sehingga ucapannya diterima, disanjung pikirannnya dan begitu juga sebaliknya.”

فالواجب نصح هذه الزوجة ، أن تعود لفطرتها السوية ، وتعظم أحكام الشرع ، وعليها أن توقن أن هذه الأحكام شرعها الله تعالى للمؤمنين ، لينالوا بها سعادة الدنيا والآخرة ، ولا يمكن أن يكون غيرها مساوياً لها أو أحسن منها ، قال الله تعالى : (أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنْ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ) المائدة/50 ، أي : لا أحد أحسن حكما من الله تعالى . 
فمن ظن أن غير حكم الله أفضل من حكم الله فليراجع إيمانه . 
نسأل الله العافية .

Maka seharusnya memberikan nasehat kepada istri ini, agar kembali ke fitranya yang lurus, mengagungkan hukum agama. Hendaknya dia meyakini bahwa hukum-hukum yang disyareatkan oleh Allah kepada orang-orang mukmin. Agar mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan yang selain dari itu tidak mungkin sama atau lebih baik darinya. 

Allah Ta’ala berfirman:

(أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنْ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ) المائدة/50

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” SQ. Al-Maidah: 50.

Maksudnya tidak ada yang lebih baik hukumnya daripada  Allah Ta’ala. Siapa yang menyangka bahwa hukum selain Allah itu lebih baik dari hukum Allah, maka hendaknya dia mengevaluasi keimanannya. Kami memohon kebaikan kepada Allah.

Bolehkah seorang teman yang mencukur??

Tidak bermanfaat ketika diperbolehkan, (meskipun) teman dekat anda disumpah agar tidak memberitahukan kepada seorangpun terhadap apa yang dilihatnya. Kalau sekiranya ini diperbolehkan karena terpaksa, maka ibunya lebih layak untuk mencukur rambut di sekitar kemaluannya.

Telah ada nash-nash yang shoheh dan jelas yang mengharamkan seorang lelaki melihat aurat lelaki lainnya. Dan wanita melihat (aurat) wanita lainnya. Dan para ulama’ telah bersepakat (ijma’) akan pengharaman hal ini.

Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

( لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَا تَنْظُرُ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ ) .
رواه مسلم ( 338 ) .

“Orang lelaki tidak diperbolehkan melihat aurat lelaki (lainnya) dan wanita tidak diperbolehkan melihat (aurat) wanita lainnya.” HR. Muslim, 338.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sementara lelaki dengan lelaki lainnya, maka masing-masing diperbolehkan melihat temannya yang bukan aurat. Hukum wanita dengan wanita seperti hukum lelaki dengan lelaki. “Al-Mugni, (7/80).

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, "Dan ini pembatas wanita dari lelaki, dan pembatas lelaki dari lelaki dan wanita dari wanita khusus terkait dengan aurat. Sebagaimana sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam: “Orang lelaki tidak diperbolehkan melihat aurat lelaki (lainnya) dan wanita tidak diperbolehkan melihat (aurat) wanita lainnya.” Sebagaimana Sabda beliau juga:

( احفظ عورتك إلا عن زوجتك أو ما ملكت يمينك ، قلت : فإذا كان القوم بعضهم في بعض ؟ قال : إن استطعت أن لا يرينها أحد فلا يراها ، قلت : فإذا كان أحدنا خاليا ؟ قال : فالله أحق أن يستحيى منه )

“Jagalah aurat anda kecuali dari istri dan (budak) yang engkau miliki. Saya bertanya, “Bagaimana kalau suatu kaum dengan kaum lainnya? Beliau menjawab, “Kalau anda bisa jangan ada seorangpun yang melihatnya. Saya bertanya, “Bagaimana kalau salah satu diantara kita sendirian? beliau menjawab, “Maka Allah lebih berhak untuk anda malu dari-Nya.

( ونهى أن يفضي الرجل إلى الرجل في ثوب واحد ، والمرأة إلى المرأة في ثوب واحد )

“Beliau juga melarang lelaki berkumpul dengan lelaki lainnya dalam satu baju. Dan wanita dengan wanita lainnya dalam satu baju.”

Beliau berkata terkait dengan anak-anak:

( مروهم بالصلاة لسبع واضربوهم عليها لعشر وفرِّقوا بينهم في المضاجع )

“Perintahkan (anak-anak) mereka untuk shalat (ketika) berumur tujuh tahun, dan pukullah ketika (meninggalkan shalat) sementara dia berumur sepuluh tahun. Dan pisahkan diantara mereka ranjangnya.”

Maka dilarang melihat dan menyentuh aurat yang dilihatnya. Karena hal itu termasuk kejelekan dan tabu. Sementara lelaki dengan wanita karena ada syahwat nikah (jima’). Ini adalah dua jenis, sementara dalam shalat termasuk jenis yang ketiga. “Majmu’ Fatawa, (22/113).

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Dan ini termasuk yang tidak ada perbedaan di dalamnya. Begitu juga lelaki (melihat) aurat wanita, dan wanita melihat aurat lelaki termasuk haram secara ijma’ (consensus para ulama’). Dan wanita (melihat) aurat wanita lainnya dengan cara lebih utama. Dikecualikan suami istri, masing-masing (diperbolehkan) melihat aurat pasangannya. ‘Fathul Barie, (9/338, 339).

Kesimpulannya, anda tidak dihalalkan meminta teman dekat anda untuk mencukur rambut di sekitar kemaluan. Dan jangan anda berikan kesempatan untuk melakukan hal itu. Kalau sekiranya anda melanggarnya dan melakukan hal ini, maka anda dan dia terjatuh dalam dosa, dan anda tidak ada uzur dalam masalah ini. Karena mudah untuk mendapatkan cara yang gampang untuk menghilangkan rambut itu. Dengan mempergunakan alat cukur yang terkenal. Jikalau anda tidak mampu mempergunakan dengan memakai silet. Perbuatan semacam ini diperbolehkan karena terpaksa (dhorurat) karena tidak mampu bergerak, sakit, hilang ingatannya atau uzur semisal itu yang tidak memungkinkan lelaki dan wanita untuk mencukur rambut sekitar kemaluan.”‎

Hikmah Mencukur Bulu Kemaluan Bagi Kesehatan
Sunnah fitrah ini jika dilakukan sangat banyak manfaatnya bagi kesehatan. Area sekitar kemaluan yang ditumbuhi rambut jika dibiarkan jorok atau tidak dicukur maka kuman bisa masuk dan berakibat timbul peradangan.

Agar Tidak Iritasi Saat Mencukur Bulu Kemaluan
Sebagian orang baik pria maupun wanita enggan mencukur bulu kemaluan disebabkan karena setiap kali mencukurnya akan timbul iritasi. Beberapa diantaranya seperti gatal, perih, lembab, gerah dan sebagainya.

Jika Anda mengalami hal yang sama, maka lakukan tips mencukur bulu kemaluan agar tidak iritasi berikut ini:

-Lakukan pembersihan untuk menghindari pengelupasan kulit, caranya bisa mengolesinya dengan campuran gula dan minyak almond.‎
-Gunakan air hangat untuk membasuhnya sehingga kulit sekitar kemaluan akan melunak ketika dicukur tidak sakit.
-Gunakan pisau cukur yang tajam untuk menghindari timbulnya iritasi dan benjolan-benjolan kecil sekitar permukaan kulit.
-Aplikasikan gel atau krim cukur yang sejuk untuk melindungi kulit sensitif Anda, juga agar pertumbuhan rambut tidak terbalik.
-Minyak kelapa sebagai alternatif pelembab dan pelindung, tapi jika tidak cocok biasanya akan sebabkan timbul jerawat.
-Mencukur searah tumbuhnya rambut, jangan berlawanan karena akan lebih menyakitkan.‎
-Jika rambut panjang, gunting terlebih dahulu baru dibersihkan dengan pisau cukur.
Demikian beberapa tips agar tidak iritasi saat mencukur bulu kemaluan. Intinya baik pria maupun wanita, rambut kemaluan itu dianjurkan untuk dicukur. Secara syariat maupun kesehatan hal itu sangat bermanfaat.

Adapun cara cara mencukur kemaluan adalah sebagai berikut:

* Menggunakan pisau cukur
Ini bisa menyebabkan gatal kalau dicukur sampai habis. Namun jika ingin, coba pakai krim pencukur agar tidak perih. Lakukan perlahan sebab Anda tentu tak mau melukai aset paling berharga itu.
* Krim penghilang bulu
Bagaimana mencukur bulu kemaluan bagi pria? Ini hati-hati, tak semua krim itu bagus untuk daerah kemaluan sebab bisa menyebabkan iritasi. Sebaiknya sebelum melakukannya, konsultasikan pada dokter.

* Waxing
Menggunakan lilin panas, bulu kemaluan bisa dihilangkan. Sebaiknya dilakukan di salon atau spa, namun ini berbahaya sebab bisa membakar kulit. Selain itu tidak semua pria mau melakukan hal ini di hadapan orang lain yang tidak dikenal.

* Laser
Ini tentu mahal dan harus dilakukan ahlinya. Sesudah memakai laser, kulit bisa kemerahan dan agak bengkak. Sebaiknya konsultasi dengan dokter untuk menggunakan laser.

* Electrolysis
Ini metode yang mencabut bulu sampai habis secara permanen. Harganya juga lumayan mahal. Untuk ini juga harus konsultasi dengan dokter.

Sejumlah cara di atas bisa diaplikasikan, tapi ingat, harus hati-hati dalam pelaksanannya. Sebab, jangan sampai kulit menjadi iritasi dan mengganggu kegiatan sehari-hari. Ingat, mencukur bulu kemaluan tidak mencegah penyakit menular seksual dan tak ada manfaat kesehatan sama sekali, ini murni untuk "penampilan" dan kebersihan saja.

Sedangkan manfaat mencukur bulu kemaluan adalah:

1. Menjaga Kebersihan
Bulu kemaluan yang dipotong dengan teratur dan rapi akan lebih bersih daripada yang tidak. Karena bulu kemaluan yang dibiarkan panjang dan dibiarkan tidak terawat akan menjadi tempat bagi bakteri yang dapat menimbulkan berbagai penyakit.

2. Mengoptimalkan Ukuran Penis
Penis yang tidak memiliki bulu kemaluan yang terpotong pendek dan rapi akan terlihat lebih besar pada saat ereksi sehingga mampu mengoptimalkan ukuran penis.

3. Memberikan Kesan Sehat
Jika sobat rajin memotong bulu kemaluan sobat, maka penis sobat akan terlihat lebih sehat karena tidak tertutupi bulu kemaluan yang lebat dan tidak terawat. Selain itu bila ada lecet atau hal lain pada penis, dapat segera diketahui karena tidak tertutup bulu kemaluan yang lebat.

4. Menarik Bagi Pasangan
Salah satu manfaat mencukur bulu kemaluan bagi pria yang utama adalah untuk menarik pasangan. Penis yang tercukur rapi bulu kemaluannya akan terlihat lebih menarik dan bersih di mata pasangan. Hal ini akan menjadikan hubungan seksual lebih leluasa dan nyaman.‎

 

Hukum Memelihara Dan Mencukur Jenggot


Dewasa ini banyak muncul tulisan (terutama kalangan Salafi-Wahabi) yang membahas tentang kewajiban memelihara jenggot dan menganggap haram dan bid’ah mencukurnya. Sebenarnya isi tulisan tersebut tidak perlu dipersoalkan selama masih dalam koridor ijtihad masing-masing umat Islam dan itu didukung oleh argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun kita tidak sependapat dengan kesimpulan argumentasi yang dikemukakannya. Namun ini menjadi masalah ketika orang yang berpendapat wajib  memelihara jenggot dan menganggap haram dan bid’ah mencukurnya mengklaim bahwa pendapat tersebut merupakan ijmak ulama, dimana konsekwensinya, maka barangsiapa yang menyalahinya, maka ia telah menyalahi ijmak, pelaku bid’ah dan kemungkaran yang wajib dicegah serta merupakan pendapat sesat dan menyesatkan. 

Ini tentu sangat berbahaya bagi akidah umat Islam, karena itu, melalui tulisan ini penulis mencoba menempatkan masalah ini (hukum memelihara dan mencukur jenggot) pada posisi yang sebenarnya dengan mengutip pendapat ulama-ulama mazhab dan ahli ilmu. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi bermanfaat bagi kita semuanya, Amin ....

Perintah Nabi Agar Memelihara Jenggot

Hadits pertama, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى
 
“Potong pendeklah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.”(HR. Muslim no. 623)

Hadits kedua, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
 
“Selisilah orang-orang musyrik. Potong pendeklah kumis dan biarkanlah jenggot.” (HR. Muslim no. 625)

Hadits ketiga, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
أَنَّهُ أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ.
 
“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong pendek kumis dan membiarkan (memelihara) jenggot.” (HR. Muslim no. 624)

Hadits keempat, dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
 
“Pendekkanlah kumis dan biarkanlah (perihalah) jenggot dan selisilah Majusi.” (HR. Muslim no. 626)

Hadits kelima, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْهَكُوا الشَّوَارِبَ ، وَأَعْفُوا اللِّحَى
 
“Cukur habislah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.”(HR. Bukhari no. 5893)

Hadits keenam, dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ ، وَفِّرُوا اللِّحَى ، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
 
“Selisilah orang-orang musyrik. Biarkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis.” (HR. Bukhari no. 5892)


Pendapat Para Ulama Madzhab Empat 

Para ulama Salafusshaleh dalam kitab kuning berbeda pendapat mengenai hukum mencukur jenggot. Dr Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa ulama Malikiyah dan Hanabilah mengharamkan mencukur jenggot, sedangkan Hanafiyah menganggapnya sebagai makruh tahrim (mendekati haram) dan makruh tanzih menurut Syafi’iyah. 

Pernyataan Wahbah Zuhaili tersebut dapat dilihat dalam kitabnya, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, sebagai berikut :

اما إرخاء أو إعفاء اللحية: فهو تركها وعدم التعرض لها بتغيير، وقد حرم المالكية والحنابلة حلقها، ولا يكره أخذ ما زاد على القبضة، ولا أخذ ما تحت حلقه، لفعل ابن عمر ويكره حلقها تحريماً عند الحنفية، ويكره تنزيهاً عند الشافعية، فقد ذكر النووي في شرح مسلم عشر خصال مكروهة في اللحية، منها حلقها، إلا إذا نبت للمرأة لحية، فيستحب لها حلقها.
ِ
Artinya : Menurunkan dan membiarkan jenggot, yaitu membiarkannya serta tidak melakukan perubahan, maka ulama Malikiyah dan Hanabilah  mengharamkan mencukurnya dan tidak memakruhkan memotong yang lebih dari genggaman dan juga tidak memakruhkan memotong yang dibawah halqum seseorang, karena mengikuti perbuatan Ibnu Umar. menurut ulama Hanafiyah makruh tahrim mencukurnya dan makruh tanzih di sisi ulama Syafi’iyah. Al-Nawawi dalam Syarh Muslim telah menyebut sepuluh perkara yang makruh pada jenggot, sebagiannya mencukurnya kecuali apabila tumbuh jenggot itu pada seorang perempuan, maka disunnahkan mencukurnya.


a.        Ulama Hanafiyah :
1.      Kitab Radd al-Muhtar ‘ala Dar al-Mukhtar, karangan Ibnu Abidin :

وَلِذَا يَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ قَطْعُ لِحْيَتِهِ

Artinya : Karena itu, haramlah atas laki-laki memotong jenggotnya.

2.      Kitab Badaa-i’ al-Shanaa-i’ fi Tartib al-Syara-i’, karangan Abu Bakar al-Kasany

أَنَّ حَلْقَ اللِّحْيَةِ مِنْ بَابِ الْمُثْلَةِ

         Artinya : Sesungguhnya mencukur jenggot termasuk dalam bab mutslah.

b.        Ulama Malikiyah :
1.      Kitab Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarh al-Kabir, karya Muhammad al-Dusuqi :

يَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ حَلْقُ لِحْيَتِهِ

Artinya : Haram atas laki-laki mencukur jenggot.

2.      Kitab Bulghah al-Saalik li Aqrab al-Masalik, karya Syekh Ahmad al-Shawi :

قوله : ( بحلق لحيته و لا تسخيم وجهه ) : أي يحرم ذلك

Artinya : (Tidak dita’zir dengan mengukur jenggot dan tidak menghitamkan mukanya) artinya haram yang demikian itu.

Qadhi ‘Iyazdh, salah seorang ulama terkemuka dari kalangan Malikiyah berpendapat bahwa mencukur jenggot merupakan perbuatan makruh, bukan haram sebagaimana pendapat yang masyhur dikalangan Malikiyah. 
Hal ini sebagaimana disebut dalam kitab Tharh al-Tatsrib karangan al-Hafizh al-‘Iraqi sebagai berikut :

قال القاضي عياض يكره حلقها وقصها وتحريقها

Artinya : Qadhi ‘Iyazh mengatakan : makruh mencukur, memotong dan membakar jenggot.

c.         Ulama Hanabilah
1.    Kitab al-Furu’, karangan Ibnu Muflih :

وَيُعْفِي لِحْيَتَهُ ، وَفِي الْمَذْهَبِ مَا لَمْ يُسْتَهْجَنْ طُولُهَا وَيَحْرُمُ حَلْقُهَا ذَكَرَهُ شَيْخُنَا

Artinya : Dibiarkan jenggotnya, di dalam mazhab selama tidak dikuatirkan buruk panjangnya dan haram mencukurnya, itu disebut oleh guru kami.

2.    Kitab Kasyf al-Qana’ ‘an Matn al-Iqna’ :

( وَيُحَرَّمُ ) التَّعْزِيرُ ( بِحَلْقِ لِحْيَتِهِ ) لِمَا فِيهِ مِنْ الْمُثْلَةِ

Artinya : Haram ta’zir dengan cara mencukur jenggotnya, karena hal itu termasuk mutslah.

d.        Ulama Syafi’iyah
Sedangkan ulama Syafi’iyah berbeda pendapat dalam menentukan hukum mencukur jenggot, namun yang mu’tamad(dibuat pegangan) yang dianggap sebagai madzhab adalah pendapat yang menyatakan makruh, sebagaimana terlihat dalam kutipan kitab-kitab Syafi’iyah di bawah ini :

a.     Kitab Fathul Mu’in karangan Zainuddin al-Malibari :

ويحرم حلق لحية، وخضب يدي الرجل ورجليه بحناء، خلافا لجمع فيهما. وبحث الاذرعي كراهة حلق ما فوق الحلقوم من الشعر.وقال غيره إنه مباح.

Artinya : Haram mencukur jenggot dan mewarnai dua tangan seorang laki-laki dan dua kakinya dengan inai/pacar, khilaf dengan sekelompok ulama pada masalah keduanya. Al-Adzra’i telah membahas makruh mencukur bulu di atas halqum, sedangkan lainnya mengatakan mubah.

b.      Al-Nawawi dalam Syarah Muslim telah menyebut perkara-perkara yang makruh pada jenggot, sebagiannya yaitu :

الثانية عشر حلقها الا إذا نبت للمرأة لحية فيستحب لها حلقها

Artinya : Yang kedua belas adalah mencukurnya kecuali apabila tumbuh jenggot itu pada seorang perempuan, maka disunatkan mencukurnya.

c.    Kitab I’anah al-Thalibin, karangan Syekh al-Bakri al-Dimyathi dalam mengomentari pernyataan pengarang Fathul Mu’in di atas menyebutkan :

المعتمد عند الغزالي وشيخ الإسلام وابن حجر في التحفة والرملي والخطيب وغيرهم: الكراهة

Artinya : Pendapat yang mu’tamad di sisi al-Ghazali, Syekh Islam, Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib dan lainnya adalah makruh.


d.   Kitab Asnaa al-Mathalib, karangan Syekh Zakariya al-Anshari :

(وَ) يُكْرَهُ (نَتْفُهَا) أَيْ اللِّحْيَةِ أَوَّلَ طُلُوعِهَا إيثَارًا لِلْمُرُودَةِ وَحُسْنِ الصُّورَةِ

Artinya : Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, untuk nampak seperti orang yang baru tumbuh jenggot dan untuk tampilan yang bagus.

e.    Kitab Tuhfah al-Muhtaj, karangan Al-Imam  Ibnu Hajar al-Haitamy :

ذَكَرُوا هُنَا فِي اللِّحْيَةِ وَنَحْوِهَا خِصَالًا مَكْرُوهَةً مِنْهَا نَتْفُهَا وَحَلْقُهَا

Artinya : Mereka (ulama) telah menyebut di sini berkenaan dengan jenggot dan seumpamanya tentang perkara-perkara yang dimakruhkan, di antaranya mencabut dan mencukur jenggot.

f.     Kitab Mughni al-Muhtaj, karangan Syekh Khatib Syarbaini :

و يُكْرَهُ نَتْفُْ اللِّحْيَةِ أَوَّلَ طُلُوعِهَا إيثَارًا لِلْمُرُودَةِ

Artinya : Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, untuk nampak seperti orang yang baru tumbuh jenggot.

g.    Kitab Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj:

(قَوْلُهُ أَوْ يَحْرُمُ كَانَ خِلَافَ الْمُعْتَمَدِ إلَخْ) قَالَ فِي شَرْحُ الْعُبَابِ فَائِدَةٌ قَالَ الشَّيْخَانِ يُكْرَهُ حَلْقُ اللِّحْيَةِ وَاعْتَرَضَهُ ابْنُ الرِّفْعَةُ فِي حَاشِيَةِ الْكَافِيَةِ بِأَنَّ الشَّافِعِيَّ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - نَصَّ فِي الْأُمِّ عَلَى التَّحْرِيمِ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَكَذَا الْحَلِيمِيُّ فِي شُعَبِ الْإِيمَانِ وَأُسْتَاذُهُ الْقَفَّالُ الشَّاشِيُّ فِي مَحَاسِنِ الشَّرِيعَةِ

Artinya : (Perkataan mushannif : “atau haram, maka pendapat yang menyalahi yang mu’tamad”), dikatakan dalam Syarh al-‘Ubab : “Faedah :  Kedua Syekh (yaitu Nawawi dan Rāfi'ī) menganggap makruh mencukur jenggot. Ibnu Ar-Rifa'ah menentang pendapat mereka dalam Hasyiyah al-Kāfiyah karena ada nash dari Imam Syafi'i r.a. dalam kitabnya, al-Umm haram mencukur jenggot. Az-Zarkasyī menyatakan bahwa hal yang sama dinyatakan oleh Al-Hulaimi dalam kitabnya, Syu'ab Al-Iman, serta gurunya Al-Qaffāl Ash-Syasyi dalam Mahasin Asy-syari'ah.

Apabila kita perhatikan kutipan-kutipan di atas, maka dapat diterangkan di sini bahwa kebanyakan ulama Syafi’iyah berpendapat makruh mencukur jengggot, bukan haram, yaitu al-Imam al-Ghazali, al-Imam al-Nawawi, al-Imam al-Rafi’i, Syekh Islam (Zakariya al-Anshari), Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib, dan lainnya. Sedangkan yang menyatakan haram adalah Ibnu al-Rifa’ah, al-Hulaimy dan al-Qafal al-Syasyi. Kita berkesimpulan bahwa pendapat makruh mencukur jengggot, yaitu pendapat al-Ghazali, al-Nawawi, al-Rafi’i, Syekh Islam (Zakariya al-Anshari), Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib merupakan pendapat mu’tamad dalam mazhab Syafi’i karena berdasarkan kesepakatan ulama Syafi’iyah mutaakhiriin bahwa yang menjadi ikutan dalam mazhab Syafi’i adalah pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi dan al-Rafi’i, kemudian Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, Zakariya al-Anshari, al-Khatib dan kemudian ulama-ulama lainnya yang berada di bawahnya. Dalam Fathul Mu’in disebutkan :

إعلم أن المعتمد في المذهب للحكم والفتوى ما اتفق عليه الشيخان، فما جزم به النووي فالرافعي فما رجحه الاكثر فالاعلم فالاورع.

Artinya : Ketahuilah bahwa sesungguhnya yang mu’tamad(yang Kuat) dalam madzhab untuk penetapan hukum dan fatwa adalah apa yang menjadi kesepakatan dua syaikh (al-Nawawi dan al-Rafi’i), kemudian yang dipastikan oleh al-Nawawi, kemudian oleh al-Rafi’i, kemudian hukum yang ditarjih oleh kebanyakan, kemudian yang lebih ‘alim dan kemudian yang lebih wara’. 

Syaikh Al-Bakri al-Dimyathi dalam I’anah al-Thalibin (kitab hasyiah bagi kitab Fathul Mu’in di atas) menjelaskan :

واعلم أنه إذا اختلف كلام المتأخرين عن الشيخين - كشيخ الاسلام وتلامذته - فقد ذهب علماء مصر إلى اعتماد ما قاله الشيخ محمد الرملي، خصوصا في نهايته، لانها قرئت على المؤلف إلى آخرها في أربعمائة من العلماء فنقدوها وصححوها. وذهب علماء حضرموت وأكثر اليمن والحجاز إلى أن المعتمد ما قاله الشيخ أحمد بن حجر في كتبه، بل في تحفته لما فيها من الاحاطة بنصوص الامام مع مزيد تتبع المؤلف فيها، ولقراءة المحققين لها عليه الذين لا يحصون، ثم إذا لم يتعرضا بشئ فيفتي بكلام شيخ الاسلام، ثم بكلام الخطيب، ثم بكلام الزيادي، ثم بكلام ابن قاسم، ثم بكلام عميرة، ثم بكلام ع ش، ثم بكلام الحلبي، ثم بكلام الشوبري، ثم بكلام العناني، ما لم يخالفوا أصول المذهب.

Artinya : Ketahuilah bahwa sesungguhnya apabila khilaf(perbedaan pendapat) kalam muatakhirin mengenai pendapat dua syeikh (al-Nawawi dan al-Rafi’i) seperti Syeikh Islam(zakariya al-ansory) dan murid-muridnya, maka ulama Mesir berpegang kepada pendapat yang dipegang oleh Syeikh Muhammad al-Ramli, terutama dalam kitab al-Nihayah, karena kitab tersebut sudah dibaca kepada pengarangnya hingga akhirnya pada empat ratus ulama dimana mereka mengkritik dan mentashihnya. Ulama Hadzramaut dan kebanyakan ulama Yaman dan Hijaz berpedapat bahwa yang mu’tamad adalah pendapat Syeikh Ahmad Ibnu Hajar dalam semua kitabnya, bahkan terutama dalam Tuhfah, karena dalamnya diperhatikan nash-nash imam serta lebih teliti pengarangnya serta juga karena telah dibaca para ulama muhaqiqin yang tidak terbatas banyaknya. Kemudian apabila keduanya (Ibnu Hajar dan al-Ramli) tidak mengemukakan pendapat apapun, maka difatwakan dengan kalam Syeikh Islam, kalam al-Khatib, al-Ziyadi, Ibnu Qasim, ‘Amirah, ع ش  (‘Ali Syibran al-Malusi), al-Halabi, al-Syaubari, dan kemudian kalam al-‘Inaani, selama mereka itu tidak menyalahi ushul madzhab.

Hal senada dengan di atas, juga telah dikemukakan oleh Sayyid ‘Alawi bin Ahmad al-Saqaf(assegaf) dalam kitabnya, al-Fawaid al-Makkiyah dan al-Faqih al-Muhaqqiq Sayyid Ahmad Miqaari Syumailah al-Ahdal dalam kitabnya, Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila ma’rifah Rumuz al-Minhaj dan lainnya.

Kesimpulan‎

1. Masalah mencukur jenggot bukanlah merupakan ijmak (kesepakatan) ulama sebagaimana dakwaan sebagian umat Islam dewasa ini, bahkan hanya merupakan masalah furu’iyah (cabang pembahasan hukum) dan khilafiyah (perbedaan pendapat ulama) sehingga tidak boleh sebagian umat Islam menuduh sesat yang lainnya hanya karena tidak menyetujui pendapatnya.
2. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat haram mencukur jenggot
3. Ulama Malikiyah berpendapat haram mencukur jenggot, namun Qadhi ‘Iyazh salah seorang ulama Malikiyah berpendapat makruh
4. Pendapat kebanyakan dan yang mu’tamad(kuat) di kalangan Syafi’iyah adalah makruh, sebagiannya berpendapat haram.

Bantahan terhadap bebarapa syubhat
1.        Mereka mengatakan keharaman mencukur jenggot merupakan ijmak ulama. Mereka beralasan dengan keterangan sebagai berikut :

a.       Keterangan Ibn Hazm dalam kitabnya, Maratib al-Ijma’, sebagai berikut :

واتفقوا أن حلق جميع اللحية مثلة لا تجوز

Artinya : Mereka sepakat bahwa mencukur jenggot merupakan perbuatan mutslah yang tidak dibolehkan.
Bantahan :
Dakwaan Ibn Hazm ini tidak dapat diterima, karena jelas sekali bertentangan  dengan kenyataan bahwa status hukum mencukur jenggot terjadi khilaf/perbedaan pendapat di antara ulama Islam sebagaimana terlihat pada penjelasan di atas. Seandainya keterangan Ibn Hazm ini benar adanya, tentunya ulama besar sekaliber al-imam al-Ghazali, al-Nawawi, al-Rafi’i,  Ibnu Hajar, al-Ramli, Zakariya al-Anshari, Qadhi ‘Iyazh dan al-Khatib  tidak akan berfatwa dengan fatwa yang menyalahi ijma’, apalagi ini bukan hanya difatwa oleh satu orang atau dua orang ulama, bahkan oleh kebanyakan ulama yang menjadi ikutan dikalangan pengikut Syafi’i plus Qadhi ‘Iyazh dari kalangan Malikiyah.

Perlu dicatat bahwa Ibn Hazm ini sebagaimana dimaklumi adalah pengikut Mazhab DZhahiriyah (Abu daud Adzhahiri) dimana fatwanya dalam bidang agama sering dianggap syadz (ganjil) dan tidak dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam bab mura’ah (memelihara) khilaf dalam fiqh. Imam Haramain mengatakan :

ان المحققين لا يقيمون لخلاف اهل الظاهر وزنا

Artinya : Sesungguhnya ulama muhaqqiq tidak menjadi timbangan bagi khilaf Ahlu Zhahir.

Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan :

فَلَوْ فُرِضَ أَنَّ دَاوُد قَائِلٌ بِحِلِّ ذلك لم يُلْتَفَتُ إلَيْهِ على أَنَّ كَثِيرِينَ من أَصْحَابِنَا مَنَعُوا من تَقْلِيدِهِ كَسَائِرِ الظَّاهِرِيَّةِ لِأَنَّهُمْ لِإِنْكَارِهِمْ الْقِيَاسَ الْجَلِيَّ يَرْتَكِبُونَ السَّفْسَافَ من الْآرَاءِ فلم يُعْتَدَّ بِآرَائِهِمْ

Artinya : Seandainya ditaqdirkan bahwa Daud (daud Adzahiri) berpendapat dengan demikian itu (boleh nikah tanpa wali dan saksi), maka tidak boleh memperhatikannya karena kebanyakan ashab kita melarang taqlidnya sebagaimana halnya golongan DZhahiriyah lainnya, karena mereka mengingkari qiyas jalii (qiyas yang terang) dan mereka dihinggapi pikiran yang buruk, sehingga tidak diperhitungkan pendapat mereka.

b.      Keterangan al-Kamal bin al-Himam dalam kitab Fathul Qadir, sebagai berikut :

وَأَمَّا الْأَخْذُ مِنْهَا وَهِيَ دُونَ ذَلِكَ كَمَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ الْمَغَارِبَةِ وَمُخَنَّثَةُ الرِّجَالِ فَلَمْ يُبِحْهُ أَحَدٌ

Artinya : Adapun memotong jenggot yang panjangnya kurang dari genggaman sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang Moroko dan para laki-laki banci, maka tidak seorangpun yang mengatakan mubah.
Bantahan
Perkataan Ibn al-Himam “tidak seorangpun yang mengatakan mubah” bukanlah harus diartikan dengan haram, tetapi berkemungkinan juga mengandung pengertian meniadakan mubah, sehingga perkataan tersebut masih berkemungkinan bermakna yang mencakup makruh dan haram. Pengertian terakhir ini haruslah menjadi makna dari perkataan tersebut mengingat banyak ulama-ulama besar dalam madzhab yang berpendapat makruh mencukur jenggot disamping banyak juga yang berpendapat haram. Dengan demikian perkataan Ibn al-Himam ini tidak menjadi keterangan bahwa beliau berpendapat telah terjadi ijma’(kesepakatan Ulama) haram mencukur jenggot.

2.        Mereka mengatakan Imam Syafi’i sendiri mengatakan hukum mencukur jenggot tidak dibolehkan, alias haram, sebagaimana tersebut dalam kitab al-Um, yaitu sebagai berikut :

والحلاق ليس بجناية لان فيه نسكا في الرأس وليس فيه كثير ألم وهو وإن كان في اللحية لا يجوز فليس كثير ألم ولا ذهاب شعر لانه يستخلف

Artinya : Mencukur rambut bukanlah jinayat, karena ada ibadah pada mencukurkan kepala dan juga karena tidak ada rasa sakit yang berlebihan padanya. Mencukur, meskipun jenggot tidak dibolehkan, namun tidak ada rasa sakit yang berlebihan dan tidak menyebabkan hilang rambut karena ia akan tumbuh lagi.

 Bantahan

Pernyataan Imam Syafi’i “laa yajuz” di atas, memang dzhahirnya bisa bermakna haram, tetapi masih berkemungkinan bermakna nafi al-jawaz al-mustawi baina al-tharfaini (menafikan boleh dengan makna menafikan sama antara dua sisi perbuatan, yaitu sisi melakukan atau tidak melakukannya) sehingga perkataan Syafi’i tersebut masih berkemungkinan bermakna yang mencakup makruh dan haram sebagaimana penjelasan terhadap perkataan Ibn al-Himam di atas. Mencakup makruh, karena makruh lebih rajih(unggul) kepada tidak melakukan suatu perbuatan. Penjelasan yang mirip seperti ini juga pernah dilakukan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam mengomentari perkataan al-Hulaimy : “la yahillu zalika” (tidak halal yang demikian itu, yaitu mencukur jenggot). Al-Haitamy mengatakan :

وَلَا يُنَافِيهِ قَوْلُ الْحَلِيمِيِّ لَا يَحِلُّ ذَلِكَ لِإِمْكَانِ حَمْلِهِ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ نَفْيُ الْحِلِّ الْمُسْتَوِي الطَّرَفَيْنِ

Artinya : Perkataan al-Hulaimy “tidak halal yang demikian” tidak menafikan kemakruhan mencabut dan mencukur jenggot, karena masih mungkin menempatkan maksudnya itu adalah nafi halal yang sama dua sisi perbuatan.
              
Lalu apa arti perkataan Imam Syafi’i “laa yajuz” apakah bermakna haram atau makruh ?. Keterangan-keterangan di atas menjelaskan kepada kita bahwa ulama-ulama besar yang menjadi ikutan kalangan pengikut Syafi’i, kebanyakan mereka memaknai dengan makruh.

 

Hukum Mencukur Alis Dalam Islam


Dalam beberapa adat pernikahan yang ada di Indonesia, kita mungkin pernah atau bahkan sering menjumpai pengantin wanita mencukur habis alisnya karena harus menyesuaikan dengan riasan pengantin di wajahnya. Tidak hanya itu, mencukur alis sampai habis pun sering kali dilakukan oleh banyak wanita yang bekerja di luar rumah untuk mempercantik diri, dengan alasan penampilan adalah penunjang keberhasilan karir mereka.

Padahal sesungguhnya perbuatan mencukur alis ini adalah salah satu perbuatan yang dilarang dan diharamkan dalam syariat Islam. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَعَنَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلّم النَّامِصَةَ وَالمُتَنَمِّصَةَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang menghilangkan bulu alis dan yang meminta dihilangkan bulu alisnya.” (HR. Abu Dawud, dan terdapat hadits pendukung yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari & Muslim)

Ketika diusir oleh Allah, Iblis bersumpah di hadapan Rab semesta alam untuk menyesatkan seluruh hamba-Nya.

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ ( ) إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

“Iblis berkata: Aku bersumpah dengan Keagungan-Mu ya Allah, sungguh akan aku sesatkan mereka semua, kecuali para hamba-Mu diantara mereka yang baik imannya.” (QS. Shad: 82 – 83).

Salah satu diantara misi besar iblis untuk menyesatkan manusia adalah memerintahkan mereka untuk mengubah ciptaan Allah,

وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ

“Sungguh aku akan perintahkan mereka untuk mengubah ciptaan Allah.” (QS. An-Nisa: 119)

Namun sebagian besar yang terjebak dalam larangan ini adalah para wanita. Allah jadikan, bagian dari keindahan wanita,  tidak ada bulu di wajah selain alis dan bulu mata. Untuk menjaga dari ulah mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang mencukur bulu alisnya.

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

لَعَنَ اللَّهُ الوَاشِمَاتِ وَالمُوتَشِمَاتِ، وَالمُتَنَمِّصَاتِ وَالمُتَفَلِّجَاتِ، لِلْحُسْنِ المُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ

“Allah melaknat tukang tato, orang yang ditato, al-mutanamishah, dan orang yang merenggangkan gigi, untuk kecantikan, yang mengubah ciptaan Allah.” (HR. Bukhari 4886, Muslim 2125, dan lainnya).

Makna Al-Mutanamishah

Al-Mutanamishah adalah para wanita yang minta dicukur bulu di wajahnya. Sedangkan wanita yang menjadi tukang cukurnya namanya An-Namishah. (Syarh Muslim An-Nawawi, 14/106).

An-Nawawi juga menegaskan, bahwa larangan dalam hadis ini tertuju untuk bulu alis,

وأن النهي إنما هو في الحواجب وما في أطراف الوجه

“Larangan tersebut adalah untuk alis dan ujung-ujung wajah..” (Sharh Shahih Muslim, 14/106).

Ibnul Atsir mengatakan,

النمص: ترقيق الحواجب وتدقيقها طلبا لتحسينها

“An-Namsh adalah menipiskan bulu alis untuk tujuan kecantikan…”

Ibnul Allan mengatakan dalam Syarh Riyadhus Shalihin,

وَالنَّامِصَةُ”: الَّتي تَأخُذُ مِنْ شَعْرِ حَاجِبِ غَيْرِهَا، وتُرَقِّقُهُ لِيَصِيرَ حَسَناً. “وَالمُتَنَمِّصَةُ”: الَّتي تَأمُرُ مَنْ يَفْعَلُ بِهَا ذَلِكَ

“An-Namishah adalah wanita yang mencukur bulu alis wanita lain atau menipiskannya agar kelihatan lebih cantik. Sedangkan Al-Mutanamishah adalah wanita yang menyuruh orang lain untuk mencukur bulu alisnya.” (Dalil al-Falihin, 8:482).

Mencukur atau merapikan bulu alis dengan mencukur bagian-bagian tertentu untuk memperindah alis mata dan mempercantik wajah seperti yang dilakukan sebagian kaum wanita hukumnya haram. Karena hal itu termasuk mengubah ciptaan Allah swt dan mengikuti syaitan yang selalu memperdaya manusia supaya mengubah ciptaan Allah.Firmannya, sebagai berikut :

وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا

Dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya. Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (QS. An-Nisa’ (4) : 119)

 Adapun hadis Nabi saw mengenai larangan an-namsh diriwayatkan dalam Kitab as-Shahih dari Ibnu Mas’ud r.a bahwa ia berkata :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ :لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ.  فقالت أُمُّ يَعْقُوبَ: ما هذا ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ : وَمَا لِى لاَ أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى كِتَابِ اللَّهِ ؟ فَقَالَتْ : لَقَدْ قَرَأْتُ مَا بَيْنَ اللوحين فَمَا وَجَدْتُهُ فَقَالَ : واللَّه لَئِنْ كُنْتِ قَرَأْتِيهِ لَقَدْ وَجَدْتِيهِ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا)

Semoga Allah melaknat wanita-wanita yang mentato dirinya atau meminta ditatokan, yang mencukur bulu alisnya atau meminta dicukurkan, yang mengikir giginya supaya kelihatan indah dan mengubah ciptaan Allah. Kemudian beliau berkata : Mengapa aku tidak melaknat orang-orang yang telah dilaknat oleh Rasulullah saw dalam Kitabullah, yakni firman Allah : Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (QS. al-Hasyr (59) : 7)

Hadis ini menegaskan bahwa perempuan-perempuan yang mentato dirinya atau meminta ditato, yang mencukur bulu alisnya atau meminta dicukurkan, yang mengikir giginya supaya kelihatan indah akan dilaknat karena merubah ciptaan Allah dengan alasan keindahan dan kecantikan, yang dimaksudkan bukan masalah mencukur sedikit atau banyak. Jadi seandainya ada seorang wanita mencukur sedikit saja alisnya maka sama saja dia akan mendapat laknat dari Allah, karena dia telah melakukan perbuatan yang diancam laknat oleh Allah swt.

Beberapa ulama yang mengarang kitab kumpulan dosa-dosa besar, seperti Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-Kabair, demikian pula Al-Haitami dalam kitabnya Az-Zawajir ‘an Irtikab Al-Kabair menyebutkan bahwa salah satu diantara dosa yang masuk daftar dosa besar adalah mencukur atau menipiskan bulu alis. Karena terdapat hadis yang menyebutkan bahwa Allah melaknat para wanita yang mencukur bulu asli di wajahnya, seperti bulu alis, meskipun itu untuk tujuan kecantikan.

Menghilangkan bulu alis maksudnya adalah mencabut bulu alis atau mencukur bulu alis atau mengerik bulu alis, dan bisa saja dilakukan sendiri baik itu sebagian maupun seluruhnya, dengan alat ataupun dengan tanpa alat. Perbuatan menghilangkan bulu alis ini termasuk perbuatan merubah ciptaan Allah. Karena itu hendaknya setiap wanita menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Namun bila seorang wanita menemukan rambut atau bulu yang seharusnya tidak tumbuh pada wajah seorang wanita, seperti kumis dan jenggot, maka ia boleh menghilangkannya karena kumis dan jenggot tadi dapat memberikan mudharat dan memperburuk rupanya.

Kodrat seorang wanita adalah ingin selalu tampil cantik, namun tampil cantiknya seorang wanita haruslah dalam koridor syariat. Dimana kecantikan seorang wanita adalah hak suaminya, dan hanya boleh dilihat oleh orang-orang yang menjadi mahramnya. Dan seorang wanita mukminah adalah wanita yang selalu menjaga kehormatan dirinya dan menjaga hak-hak suaminya.

Ada sebagian ulama’ yang hanya mengharamkan mencukur alis saja ada juga sebagian ulama lain yang hanya mengharamkan mencukur bulu-bulu wajah saja. Sedangkan bila mengamalkan hadis secara mutlak makakeduanya haram dan tidak boleh bagi wanita apalagi laki-laki untuk mencabut (mencukur) bulu badannya, kecuali bulu-bulu yang memang disuruh mencukur seperti bulu kemaluan, bulu ketiak dan sebagian kumis.

Sebuah kasus, Jika suaminya memerintahkan istrinya untuk mencukur alis, maka suaminya saat itu tidak perlu ditaati, karena perbuatan tersebut termasuk merubah ciptaan Allah dan termasuk perbuatan syaitan (perbuatan maksiat). Seseorang tidak boleh mentaati makhluk dalam bermaksiat kepada Allah, ketaatan hanya dalam kebaikan saja. Jadi seorang istri mematuhi perintah suaminya hanya dalam hal-hal yang bersifat positif dan amar ma’ruf nahi munkar. Hal tersebut tidak khusushanya pada suami saja tetapi pada semua orang yang memerintahkan kita pada kemunkaran, maka kita wajib menolaknya sekalipun kedua orang tua, apabila orang tua memerintahkan untuk berbuat syirik pada Allah maka kita wajib menolaknya.

Adapun rambut pada wajah tidak boleh dihilangkan kecuali jika membuat wajah menjadi jelek atau buruk rupa, disini hukum akan menjadi berganti dari haram menjadi mubah atau boleh. Hukum mencukur bulu alis bisa menjadi mubah atau boleh, jika pada wajah wanita tumbuh banyak bulu, kumis dan jenggot, maka ketika itu boleh dihilangkan atau boleh mencukurnya. Akan tetapi batas mencukurnya hanya pada bagian-bagian yang memang terdapat banyak bulu.

Menurut pendapat saya bahwa mencukur bulu alis adalah haram dan perbuatan itu akan mendapatkan laknat, seperti dalam hadis :Rasulullah saw melaknat perempuan-perempuan yang mencukur alisnya atau minta dicukurkan alisnya. (Riwayat Abu Daud) Jika mencukur bulu alis niatnya untuk mempercantik dan memperindah bentuk wajah dan juga hal tersebut merupakan perbuatan merubah ciptaan Allah. Sesuatu yang telah diberikan Allah kepada kita harusnya kita mensyukuri, karena Allah memberi kepada hambanya pasti itu yang terbaik buat hambanya. Akan tetapi jika tidak mencukur bulu alis akan menimbulkan banyak madharat, seperti timbulnya penyakit, gatal-gatal, alergi dll maka hukum haram itu berubah menjadi mubah (boleh) malah dianjurkan, karena untuk menolak kemadharatan.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...