Rabu, 25 November 2020

Hukum Mewarnai Rambut


Menyemir rambut pada masa sekarang sudah menjadi tren khususnya bagi kaum laki-laki terlebih lagi kaum hawa. Lifestyle ini sebenarnya pun sudah ada sebelum Islam datang. Masyarakat Arab sebelum Islam biasa menyemir rambutnya dengan warna hitam untuk menutupi ubannya. Lalu bagaimanakah menurut Islam hukumnya menyemir rambut?

Menyemir rambut dibolehkan dengan semua warna, kecuali warna hitam. Tidak ada bedanya dalam masalah ini, baik orang tua atau anak muda. Tidak mengapa menyemir rambut sebelum keluar uban.

Disebutkan dalam Fatwa Lajnah Daimah (5/168) soal berikut, "Saya melihat sebagian orang menggunakan sejumlah bahan untuk mewarnai rambutnya, apakah hitam atau merah. Ada pula yang menggunakan bahan-bahan tertentu untuk melembutkan rambut keriting. Apakah hal ini boleh, dan apakah ada bedanya antara anak muda dan orang tua?

Lajnah menjawab, "Merubah warna rambut selain dengan warna hitam tidak mengapa. Demikian pula halnya menggunakan zat pelembut rambut ikal. Hukum ini berlaku sama bagi pemuda dan orang tua. Jika tidak ada bahaya dan zatnya suci, maka hukumnya boleh. Adapun merubah warna rambut dengan warna hitam murni, maka tidak boleh bagi laki-laki maupun wanita. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

"غَيِّرُوا هَذَا الشَّيْبَ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ  (رواه مسلم)

"Rubahlah warna uban itu, dan jauhi warna hitam." (HR. Muslim, no. 2102)

Kemudian yang perlu diperhatikan untuk para pemuda yang ingin mewarnai rambutnya adalah:

Mewarnai rambut yang belum beruban bukanlah ibadah. Jadi hukumnya hanyalah mubah dan bukan sunnah. Karena yang menjadi sunnah dan ibadah adalah merubah warna rambut ketika beruban. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ، وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ

“Rubahlah warna uban ini dengan sesuatu dan jauhilah warna hitam” HR Muslim

Termasuk dalil yang menunjukkan pelarangan hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 4212, dari Ibnu Abbas, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِى آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لاَ يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ (والحديث صححه الألباني في صحيح أبي داود)

"Akan ada di akhir zaman, kaum yang menyemir rambutnya seperti bulu merpati, maka dia tidak mencium bau surga." (Hadits dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud)

Adapun dalil yang menunjukkan dibolehkannya menyemir dengan warna merah dan kuning, adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 4211, dari Ibnu Abbas, dia berkata, "Seorang yang menyemir rambutnya dengan hinna melewati Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka beliau berkata, 'Bagus sekali orang itu.'  Kemudian lewat lagi seseorang di depan beliau seorang yang menyemir rambutnya dengan hina dan katm, maka beliau berkata, 'Bagus sekali orang itu.' Kemudian lewat lagi seseorang yang menyemir rambutnya keemasan, maka beliau berkata, 'yang ini lebih baik dari yang lainnya.'

Pembicaraan dalam hadits ini tentang menyemir rambut dengan warna lain, bukan menyemir secara mutlak, walaupun tidak beruban.

Terkait dengan haditnya ini oleh Imam Albany dalam Kitab Misykatul Mashabih dikatakan jayid (baik).

Kedua:

Penting diperhatikan tentang kaidah umum soal perhiasan dan selainnya. Yaitu dilarang apabila mengandung penyerupaan yang diharamkan. Seperti menyerupai orang kafir dan orang fasik. Karena hal ini diharamkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

مَنْ تَشَبّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمِ (رواه أبو داود، رقم 4031 وصححه الألباني)

"Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia bagian dari mereka." (HR. Abu Daud, 4031, dishahihkan oleh Al-Albany)

Karena itu, sebelum masalah menyemir rambut yang diajukan penanya dihukumi boleh, penting dipastikan dahulu bahwa tindakannya tersebut tidak menyerupai orang kafir atau orang fasik atau siapa saja yang menjadi idola pemuda dari kalangan artis, atlit atau semacamnya.

Sebagaimana juga dilarang jika semiran rambut condong menyerupai kaum wanita, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang menyerupai wanita dan melaknat pelakunya (Bukhari, 5435)

Ketiga:

Adapun terkait dengan semiran Rasulullah shallalalhu alaihi wa sallam terhadap rambutnya, maka diperselisihkan apakah beliau menyemir rambutnya atau tidak. Ibnu Qayim rahimahullah berkata, 'Para shahabat berbeda pendapat tentang semirannya. Anas berkata, 'Beliau tidak menyemir rambutnya.' Abu Hurairah berkata, 'Beliau menyemir rambutnya.' Hammad bin Salamah meriwayatkan dari Humaid bin Anas, dia berkata, 'Aku melihat rambut Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam disemir.' Hamad berkata, 'Abdullah bin Muhammad bin Aqil mengabarkan kepadaku, dia berkata, 'Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di samping Anas bin Malik, rambutnya disemir."

Sebagian orang berkata, "Rasulullah shallallahu alaih wa sallam sering menggunakan minyak wangi sehingga rambutnya memerah, maka orang mengira beliau menyemir rambutnya, padahal beliau tidak menyemirnya."

Abu Ramtsah berkata, "Aku mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersama puteraku, lalu beliau bertanya, 'Apakah ini puteramu?' Aku katakan, 'Ya, aku bersaksi dengannya.' Beliau berkata, 'Engkau jangan menzaliminya dan dia tidak boleh menzalimimu.' Aku melihat ubannya memerah." Tirmizi berkata, 'Riwayat ini merupakan riwayat paling baik yang diriwayatkan dalam bab ini, karena riwayat-riwayat shahih menunjukkan bahwa Nabi tidak beruban. Hamad bin Salamah berkata dari Sammak bin Harb, dikatakan kepada Jabir bin Samurah, 'Apakah di kepala Nabi ada uban?' Dia berkata, 'Di rambutnya tidak ada uban kecuali beberapa helai rambut di tengah kepalanya jika beliau memakai minyak, dan aku melihat minyaknya." (Zaadul Ma'ad, 1/169)

Keempat:

Adapun keinginan untuk mengikuti Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam menyemir rambut, padahal tidak ada uban padanya, anda sudah mengetahui ada perbedaan yang kuat dalam hal apakah Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyemir rambutnya atau tidak.

Disamping bahwa menyemir rambut yang dikatakan sunah bukan dari sisi menyemirnya, akan tetapi dari sisi tujuannya, yaitu untuk merubah uban dan berbeda dari Yahudi dan Nashrani dalam masalah ini. Berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

غَيِّرُوا الشَّيْبَ وَلاَ تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ (رواه النسائي،  4986 والترمذي ، 1674)

"Rubahlah (warna) uban dan jangan serupakan Yahudi." (HR. Nasai, no. 4986, Tirmizi, no. 1674)

Dalam riwayat Musim (3924) disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, saat melihat uban di kepada bapak Abu Bakar, beliau berkata, "Rubahlah itu dengan sesuatu."

Sedangkan dalam riwayat Bukhari (5448) diriwayatkan beliau bersabda, "Sesungguhnya Yahudi tidak menyemir rambutnya, maka berbedalah dengan mereka."

Dengan demikian, maka menyemir rambut tanpa adanya uban tidak termasuk sunah dan tidak dianggap sebagai meneladani, karena tidak ada tuntutan untuk itu dan tidak ada maslahat syar'iah karena menyemir uban.

Paling tinggi derajatnya dia adalah mubah selama tidak ada unsur tasyabbuh (penyerupaan) atau bahaya kesehatan atau semacamnya. Maka jika demikian, diharamkan.

PENDAPAT ULAMA FIKIH EMPAT MAZHAB TENTANG SEMIR RAMBUT

1. SEMIR RAMBUT DENGAN WARNA SELAIN HITAM 

Ulama 4 mazhab (Syafi'i, Hanafi, Maliki, Hambali) sepakat atas bolehnya menyemir atau mewarnai rambut dengan warna coklat atau merah baik dengan bahan inai, katam, atau lainnya. Imam Nawawi (mazhab Syafi'i) dalam Al-Majmuk, hlm. 1/293-294, menyatakan:
 
يسن خضاب الشيب بصفرةٍ، أو حُمرةٍ، اتفق عليه أصحابنا، وممن صرَّح به الصيمري، والبغوى، وآخرون

Artinya: Sunnah mewarnai rambut uban dengan warna kuning atau merah, ulama mazhab Syafi'i sepakat atas hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Shaiari, Al-Baghawi dan yang lain.

Pendapat mazhab lain lihat: Mazhab Hanafi dalam Al-Fatawa Al-Hindiyah 44/45 dan Ad-Durrul Mukhtar 6/422. Mazhab Maliki dalam Al-Fawakih Ad-Dawani ala Risalati Abi Zaid Al-Qairuwani 8/191 dan Al-Istidzkar 8/439. Mazhab Hambali dalam Al-Mughni 1/105 dan Kashaful Qinak ala Matnil Iqnak 1/204.

2. SEMIR RAMBUT DENGAN WARNA HITAM

2.A. BOLEH UNTUK TUJUAN JIHAD MELAWAN KAFIR

Ulama empat mazhab sepakat atas bolehnya semir rambut dengan warna hitam dalam keadaan jihad (perang membela agama). Imam Syarwani (mazhab Syafi'i) dalam Hawasyi As-Syarwani 9/375 berkata:
وهو (أي صبغ الشَّعر) بالسَّواد حرامٌ، إلا لمجاهدٍ في الكفار، فلا بأس به

Artinya: Mengecat rambut dengan warna hitam adalah haram kecuali bagi mujahid (pelaku jihad) atas kaum kafir maka boleh. 

Pendapat serupa dari literatur klasik mazhab Syafi'i lihat dalam kitab Mughnil Muhtaj 4/293; Raudhah Talibin 1/364; Tuhfatul Muhtaj 41/203.

Pendapat dari mazhab lain atas bolehnya cat rambut warna hitam bagi mujahid lihat: Mazhab Hanafi dalam Al-Fatawa Al-Hindiyah 44/45; Mazhab Maliki dalam Al-Fawakih Ad-Dawani 8/191; Mazhab Hambali 

2.B. HARAM SEMIR WARNA HITAM DENGAN TUJUAN PENIPUAN

Ulama sepakat atas haramnya menyemir rambut dengan tujuan menipu. Seperti seorang lelaki tua menyemir rambut saat hendak menikah agar disangka masih muda oleh wanita yang akan dinikahinya. Ini juga berlaku bagi wanita yang menyemir rambut dengan tujuan agar dikira masih muda oleh lelaki yang akan menikahinya. Rerensi lihat: Mazhab Hanafi dalam Al-Fatawa Al-Hindiyah 44/45; Mazhab Maliki dlam Al-Fawakih Ad-Dawani 8/191; Mazhab Hambali dalam Matolib Ulin Nuha 1/195.

2.C. MAKRUH SEMIR RAMBUT WARNA HITAM DENGAN TUJUAN BUKAN PENIPUAN

Mayoritas ulama mazhab empat berpendapat makruh mengecat rambut uban dengan warna hitam dengan tujuan bukan penipuan (kalau penipuan haram). Ini adalah pendapat mazhab Hanafi, Maliki, dan sebagian ulama Syafi'i (sebagian lain mengharamkan), dan Hambali. Imam Nawawi dalam Al-Majmuk 1/294 menjelaskan perbedaan ulama mazhab Syafi'i dalam soal ini:

اتفقوا على ذم خضاب الرأس أو اللحية بالسَّواد، ثم قال الغزالي في الإحياء، والبغوى في التهذيب، وآخرون من الأصحاب، هو مكروه، وظاهر عباراتهم: أنه كراهة تنـزيه

Artinya: Ulama Syafi'iyah sepakat mencela semir rambut kepala atau jenggot dengan warna hitam. (Tapi) Al-Ghazali berkata dalam Ihya Ulumiddin dan Al-Baghawi dalam At-Tahdzib dan ulama Syafi'i yang lain bahwa hukumnya makruh tanzih.

Pendapat mazhab lain lihat: Mazhab Hanafi dalam Hasyiyah Ibnu Abidin 6/422; Mazhab Maliki dalam Al-Istidzkar 8/439; Mazhab Hambali dalam As-Syarhul Kabir 1/133.

2.D. SEMIR RAMBUT WARNA HITAM BOLEH

Al-Hafidh Ibnu Hajar menukil pembolehan dari sebagian ulama untuk menyemir rambut dengan warna hitam dalam keadaan tertentu, dimana beliau berkata :

وأن من العلماء من رخص فيه في الجهاد ومنهم من رخص فيه مطلقا وأن الأولى كراهته، وجنح النووي إلى أنه كراهة تحريم، وقد رخص فيه طائفة من السلف منهم سعد بن أبي وقاص وعقبة بن عامر والحسن والحسين وجرير وغير واحد واختاره ابن أبي عاصم في "كتاب الخضاب" له .... ومنهم من فرق في ذلك بين الرجل والمرأة فأجازه لها دون الرجل، واختاره الحليمي،.... واستنبط ابن أبي عاصم من قوله صلى الله عليه وسلم: "جنبوه السواد" أن الخضاب بالسواد كان من عادتهم.

”Sebagian ulama’ ada yang memberikan keringanan (menyemir dengan warna hitam) ketika berjihad. Sebagian lagi memberikan keringanan secara mutlak. Yang lebih utama hukumnya adalah makruh. Bahkan An-Nawawi menganggapnya makruh yang lebih dekat kepada haram. Sebagian ulama’ salaf memberikan keringanan (menyemir dengan warna hitam) misalnya Sa’d bin Abi Waqqash, ‘Uqbah bin ‘Aamir, Al-Hasan, Al-Husain, Jarir, dan lainnya. Inilah yang dipilih Ibnu Abi ‘Ashim sebagaimana dalam kitabnya Al-Khadlaab…. Mereka membolehkan untuk wanita dan tidak untuk pria, inilah yang dipilih oleh Al-Hulaimi…… Ibnu Abi ‘Ashim memahami dari hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :‘Jauhi warna hitam’, karena menyemir dengan warna hitam merupakan tradisi mereka” [Fathul-Baari 10/354-355 oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani].

Telah ada riwayat shahih yang menjelaskan bahwa Al-Hasan dan Al-Husain menyemir rambutnya dengan warna hitam [Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Jaami’ At-Tirmidzi 5/442, Kairo, Al-Madani, tanpa tahun; oleh Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al-Mubarakfuri].

Ibnul-Qayyim berkata,”Larangan menyemir rambut dengan warna hitam, bila (yang digunakan) adalah warna hitam pekat (murni). Apabila tidak hitam pekat seperti mencampur antara katam dengan hina’, maka tidak mengapa, karena akan membuat rambut menjadi merah kehitam-hitaman”.

Sebagian ulama non-mazhab menyatakan bahwa semir rambuat warna hitam hukumnya boleh sebagaimana dikutip oleh Yusuf Qardhawi di atas. 

Pendapat yang terpilih, hati-hati, dan selamat; hukum menyemir rambut dengan warna hitam minimal adalah makruh. Dan selayaknya itulah yang dipegang oleh setiap muslim untuk mengikuti Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.

 

Hukum Bercelak Mata Bagi Pria Dan Wanita


Anjuran Rasulullah tentang memakai celak mungkin sudah banyak terdengar dimana-mana. Bahkan banyak diantaranya yang menggunakan celak karena hal ini merupakan salah satu hal yang disunahkan oleh Rasulullah SAW.

Tidak heran bahwa sekarang banyak sekali wanita yang menggunakan celak karena selain menunjang penampilan, hal tersebut juga disunahkan oleh Rasulullah. Terlebih kepada mereka para wanita yang sudah bersuami.

Bercelak sendiri dibedakan menjadi dua macam. 

Yang pertama adalah bercelak untuk menguatkan pandangan, mengobati rabun, atau untuk membersihkan pandangan mata tanpa ada maksud berhias sedikit pun. Bahkan Rasulullah SAW pun menggunakan celak pada kedua mata beliau. Dan akan lebih baik lagi jika memakai itsmid.

Yang kedua adalah bercelak dengan tujuan untuk berhias diri. Jenis seperti ini biasanya dilakukan oleh para wanita. Karena anjuran seorang wanita untuk mempercantik dan berhias diri untuk suaminya.

Namun dalam hal ini ditegaskan bahwa terdapat larangan yang mana laki-laki tidak boleh meniru kebiasaan yang menyerupai perempuan. Begitu juga dengan sebaliknya. Jangan hanya dengan bercelak lantas dijadikan sebagai alasan untuk menyerupai perempuan.

Pada dasarnya, memakai celak dikatakan boleh. Karena justru hal tersebut lah yang disyari'atkan kepada kaum laki-laki maupun perempuan dengan kadar yang sama.

Dalam hadits lain dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Rasulullah SAW mempunyai bekas celak mata khas. Apabila mencelak matanya, Baginda SAW menyapu sebanyak tiga kali” (Ibnu Majah – At Tibbun Nabawi).

Jadi, ulama telah menetapkan bawasannya bercelak untuk laki-laki dan perempuan adalah diperbolehkan. Tidak ada yang melarangnya melainkan bila seorang tersebut tengah mengerjakan ibadah haji. Maka hukumnya adalah makruh.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwasanya celak dapat menyehatkan mata dan memperjelas penglihatan atau pandangan mata. Dan hal ini telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melalui sabdanya yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:

اكْتَحِلُوا بِالإِثْمِدِ فَإِنَّهُ يَجْلُو البَصَرَ، وَيُنْبِتُ الشَّعْرَ

“Celakilah mata kamu dengan itsmid, sesungguhnya dia dapat memperjelas penglihatan dan menyuburkan bulu mata” HR Tirmidzi

Akan tetapi celak lebih identik dengan kewanitaan, yakni “celak lebih banyak digunakan oleh para wanita”. Lantas bagaimanakah hukum penggunaan celak untuk para lelaki ??

Maka jawabannya adalah boleh. Karena nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam pun menggunakan celak setiap malam. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbbas:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ لَهُ مُكْحُلَةٌ يَكْتَحِلُ بِهَا كُلَّ لَيْلَةٍ ثَلَاثَةً فِي هَذِهِ، وَثَلَاثَةً فِي هَذِهِ

“Bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam memiliki celak. Dia bercelak setiap malam 3 kali pada mata yang ini dan 3 kali pada mata sebelahnya” HR Tirmidzi

Dalam riwayat lain, Rasulullah menggunakannya sebelum tidur.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْتَحِلُ بِالْإِثْمِدِ كُلَّ لَيْلَةٍ قَبْلَ أَنْ يَنَامَ، وَكَانَ يَكْتَحِلُ فِي كُلِّ عَيْنٍ ثَلَاثَةَ أَمْيَالٍ

“Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bercelak dengan itsmid setiap malam tatkala sebelum tidur, dan beliau bercelak tiga kali pada setiap mata” HR Ahmad

Hukum Bercelak 

Hadits 1:
Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi bersabda:

اكْتَحِلُوا بِالْإِثْمِدِ فَإِنَّهُ يَجْلُو الْبَصَرَ وَيُنْبِتُ الشَّعْرَ
 
“Bercelaklah kalian dengan itsmid, karena dia bisa mencerahkan mata dan menumbuhkan rambut.” (At Tirmidzi, 6/383/1679. Ahmad, 32/76/15341. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, 10/212/12325)

Status hadits:

Berkata At Tirmidzi: hasan gharib (ibid). Dishahihkan oleh Ibnu Hibban (Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 4/455. Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 16/223). Syaikh Al Albani menshahihkan dengan lafazh seperti ini saja, tanpa kalimat tambahan. (Shahih At Targhib wat Tarhib, 2/236/2104)

Hadits 2:

Dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالْإِثْمِدِ عِنْدَ النَّوْمِ فَإِنَّهُ يَجْلُو الْبَصَرَ وَيُنْبِتُ الشَّعَرَ

“Hendaknya kalian (bercelak) memakai itsmid ketika tidur, karena dia bia mencerahkan pandangan dan menumbuhkan rambut.” (HR. Ibnu Majah, 10/318/3487. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 5/430. Ini lafazh dari Ibnu Majah)

Status hadits:

Menurut Syaikh Al Albani: hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari. (Silsilah Ash Shahihah, 2/223/724)

Hadits 3:

Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi bersabda:

وَإِنَّ خَيْرَ أَكْحَالِكُمُ الْإِثْمِدُ يَجْلُو الْبَصَرَ وَيُنْبِتُ الشَّعْرَ

“Sebaik-baiknya celak kalian adalah istmid, dia bisa mencerahkan pandangan dan menumbuhkan rambut.” (HR. Abu Daud, 10/378/3380. An Nasa’i, 15/351/5024. Ibnu Majah, 10/319/3488. Ahmad, 5/141/2109. Ibnu Hibban, 22/380/5514)

Status Hadits:

Imam Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab shahihnya. Imam At Trmidzi mengatakan: hasan shahih. (Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim, ‘Aunul Ma’bud, 9/85)

Fiqih Hadits:

Itsmid dengan huruf hamzah dan mim dikasrahkan, adalah celak hitam. Dikatakan: dia adalah kata yang dipindahkan ke bahasa Arab. Berkata Ibnu Al Baithar dalam Al Minhaj: itu adalah celak dari daerah Ashfahan. Hal ini disukung oleh ucapan sebagian mereka, bahwa tsmid adalah barang tambang daerah masyriq (Timur). (Imam Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Ali Al Qayyumi, Al Mishbah Al Munir fi Gharibi Asy Syarh Al Kabir , 2/ 31)

As Sairafi mengatakan, Itsmid adalah serupa dengan batu untuk bercelak. (Murtadha Az Zubaidi, Tajjul ‘Aruus, Hal. 1912)

Itsmid dikenakan sebagai pelindung mata digosok di sekitar kelopak mata, sebagai obat dan penghias. (Mu’jam Lughah Al Fuqaha, Hal. 378)

Diceritakan bahwa itsmid merupakan batu hitam yang sudah dikenal, agak kemerahan, adanya di negeri Hijaz, namun yang paling bagus adalah dari Asbahan. Terjadi perselisihan, apakah itsmid itu merupakan nama batu yang diambil sebagai celak, atau dia adalah celak itu sendiri, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Sayyidih. Al Jauhari juga mengisyaratkan demikian, demikian pula dalam Fathul Bari. At Turbasyti mengatakan, itsmid adalah batu tambang dan disebutkan bahwa dia merupakan celak dari Ashfahan, yang mampu mengeringkan air mata dan bisul, menyehatkan mata dan pandangan, apalagi buat orang jompo dan anak-anak. (Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 4/455)

Makna ‘Rambut’ dalam hadits-hadits ini adalah Al Hudbu (bulu mata), yang tumbuh di asyfar (tempat tumbuhnya bulu mata). (Ibid)

Hadits-hadits ini menunjukkan sunahnya memakai celak, sebab diredaksikan dengan bahas perintah, yakni iktahiluu (bercelaklah kalian …) atau ‘Alaikum bil itsmid .. (hendaknya kalian menggunakan itsmid …). Ini semua menunjukkan anjurannya, termasuk buat laki-laki sebab kata perintah tersebut menggunakan dhamir untuk mudzakkar (MASKULIN) namun belum diketahui adanya ulama yang mengatakan wajib. Ada pun jika bercelak tujuannya untuk berhias seperti wanita, maka bukan hanya bercelak, yang lain pun tidak boleh jika dilakukan dengan tujuan menyerupai wanita.

Khusus bulan Ramadhan, para ulama berbeda pendapat, apakah dia bisa membatalkan puasa atau tidak, dan sebagian memakruhkannya, dan yang lain membolehkannya.

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

اكْتَحَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ صَائِمٌ

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bercelak ketika dia sedang puasa.” (HR. Ibnu Majah, 5/189/1668)

Hadits ini dhaif, lantaran dalam sanadnya terdapat Sa’id bin ‘Abdi Al Jabbar Az Zubaidi Al Himshi. Imam Az Zaila’i mengatakan bahwa dia telah disepakati kedhaifannya. Imam At Tirmidzi mengatakan dalam masalah ini tak satu pun hadits yang shahih. (Imam Az Zaila’i, Nashbur Rayyah, 4/435-436. Al Hafizh Ibnu Hajar, Bulughul Maram, Hal. 120. No. 556. Darul Kutub Al Islamiyah).

Imam An Nawawi mengatakan, dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab bahwa hadits ini dhaif, lantaran Said bin Abi Said ini seorang yang majhul (tidak dikenal). Namun, hal ini dibantah oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, bahwa Said bin Abi Said ini tidak majhul, namun dia dhaif. Ibnu ‘Adi membedakan antara Said bin Abi Said A Zubaidi, katanya: majhul, dengan Said bin Abdil Jabbar, katanya: dhaif. Padahal keduanya adalah orang yang sama. (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 3/19)

Dari Abu ‘Atikah, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ اشْتَكَتْ عَيْنِي أَفَأَكْتَحِلُ وَأَنَا صَائِمٌ قَالَ نَعَم

“Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dia berkata: “Mataku sakit, apakah aku boleh bercelak sedangkan aku berpuasa?” , Nabi menajwab: Ya.” (HR. At Tiirmidzi, 3/172/658)

Imam At Tirmidzi mengatakan, sanad hadits ini tidak kuat, dan tidak yang shahih dari nabi tentang Bab ini. Abu ‘Atikah ini didhaifkan. Para ulama berbeda pendapat tentang memakai celak bagi orang yang berpuasa. Sebagian ada yang memakruhkan, itulah pendapat Sufyan, Ibnul Mubarak, Ahmad, dan Ishaq. Sebagian lain memberikan keringanan bagi orang berpuasa untuk memakai celak, yakni Asy Syafi’i. (Ibid)

Tentang Abu ‘Atikah, telah disepakati kedhaifannya. Namun, dalam hadits ini menunjukkan kebolehan bercelak tanpa dimakruhkan, bagi orang berpuasa, dan ini pendapat kebanyakan ulama. (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/262)

Ibnu Abi Laila dan Ibnu Syubrumah mengatakan, bercelak bisa merusak puasa. Sementara yang lain mengatakan tidak. (Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam,)
Dan syaikh Ibnu Baaz juga pernah berfatwa akan kebolehan lelaki memakai celak. Beliau berkata dalam fatwanya:

أما الكحل فلا بأس؛ لأنه مشروع للرجال والنساء على حد سواء، فكونه يكحل عينيه فلا بأس، والكحل طيب نافع، «وكان النبي صلى الله عليه وسلم يكتحل » ، فلا بأس بذلك.

“Adapun celak maka tidak mengapa, karena celak disyariatkan untuk lelaki dan wanita dengan kadar yang sama. Dan celak adalah dzat yang baik dan bermafaat. Dan dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bercelak, maka tidak mengapa lelaki menggunakan celak” Majmu’ Fatawa 29/41

Sehingga dapat disumpulkan bahwasanya celak boleh digunakan oleh lelaki karena celak dapat menyehatkan mata.

Yang perlu dingat juga, bahwasanya celak tidak boleh digunakan oleh wanita tatkala keluar rumah karena hal ini termasuk tabarruj. Celak hanya boleh digunakan oleh wanita jika untuk suaminya atau digunakan didepan mahram-mahramnya saja. Adapun digunakan tatkala keluar rumah (yang mana para lelaki yang bukan mahram dapat melihatnya) maka hukumnya adalah haram.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوْ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي اْلإِرْبَةِ مِنْ الرِّجَالِ أَوْ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ

“Dan janganlah wanita menampakkan perhiasannya kecuali kepada suaminya, bapaknya, bapak dari suaminya, puteranya, putera dari suaminya, saudaranya, putera dari saudara laki-lakinya, putera dari saudara perempuannya, perempuan muslim (lainnya), hamba sahaya yang mereka miliki, pelayanan yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan” QS An Nur: 31

Jenis Celak Terbaik
Jenis-jenis celak bermacam-macam,namun yang terbaik adalah itsmid.Yaitu celak yang berasal dari batu celak berwarna hitam cenderung kemerahan.
Berkata Murtadha az Zabidiy: ” Itsmid adalah batu celak berwarna hitam kemerahan, berasal dari Ashbahan dan juga ada di Moroko namun lebih keras .Ia merupakan jenis celak terbaik” (Taajul Arus:4/468).
 Rasulullah bersabda:
إِنَّ خَيْرَ أَكْحَالِكُمُ الْإِثْمِدُ يَجْلُو الْبَصَرَ وَيُنْبِتُ الشَّعْرَ
 
” Sebaik-baik celak kalian adalah itsmid.Ia menerangkan pandangan dan menumbuhkan bulu mata” H.R.Abu Dawud:3878,An Nasa’iy:5113,Ibnu Majah:3497 dan dishahihkan oleh Syaikh al Baniy dalam shahih sunan Abu Dawud

Dalam riwayat lain Rasulullah memerintahkan agar bercelak dengan menggunakan celak itsmid:
 
اكْتَحِلُوا بِالإِثْمِدِ فَإِنَّهُ يَجْلُو البَصَرَ ، وَيُنْبِتُ الشَّعْرَ
 
“ Bercelaklah dengan Itsmid sebab ia sebaik-baik celak kalian.Ia menerangkan pandangan dan menumbukkan bulu mata”.H.R.At Tirmidziy:1757 dan dishahihkan oleh syaikh al Baniy dalam shahih sunan at Tirmidziy.
Dan dalam riwayat lain Rasulullah bersabda:
عَلَيْكُم بِالإِثْمِد فَإِنَّهُ مَنْبَتَةٌ للشَّعْرِ ، مَذْهَبَةٌ للقَذَى ، مَصْفَاةٌ لِلْبَصَرِ

“ Pakailah celak itsmid karena ia menumbuhkan bulu mata ,menghilangkan kotoran mata,menjernihkan pandangan”.H.R.Ath Thabraniy dalam Mu’jam al Kabir:183 dan dihasankan oleh al Mundziri, al Iraqiy dan Ibnu Hajar .
Disunnahkan Bercelak Tiga Kali Olesan
Disunnahkan apabila memakai celak dengan bercelak sebanyak tiga kali olesan karena inilah yang dilakukan oleh Nabi.
Berkata Anas bin Malik: “Sesugguhnya Nabi bercelak sebanyak tiga kali olesan pada matanya sebelah kanan  dan dua kali pada mata sebelah kirinya”.H.R Abu Dawud:3837 dan dishahihkan oleh syaikh Muhammad Nashiruddin dalam silsilah ahadits shahihah,no:633.
Berkata Ibnu Qudamah: “Disunnahkan untuk bercelak sebanyak tiga kali” (Al Mughniy:1/106)

Berkata Imam an Nawawiy: “Yang benar menurut para ulama’ ahli tahqiq adalah (memakai celak dengan ) hitungan ganjil di setiap mata” (Majmu’ syarh muhadzab:1/334)

Waktu Terbaik Untuk Bercelak

Seorang wanita ketika di hadapan suaminya atau mahramnya atau di rumahnya diperbolehkan untuk bercelak kapanpun juga ia menginginkannya,namun yang terbaik adalah ketika menjelang tidur.
Jabir bin Abdillah berkata, Rasulullah bersabda:
 عليكم بالإثمد عند النوم ، فإنه يجلو البصر ، ويُنبت الشّعر
 
“Pakailah celak itsmid ketika akan tidur,sebab ia menerangkan pandangan dan menumbuhkan bulu mata”.H.R.Ibnu Majah,ath Thabraniy dan dishahihkan syaikh Muhammad Nashiruddin al AlBaniy dalam shahihul jami:’ 4045
Berkata Ibnu Qayim:‎
“Celak dapat menjaga kesehatan mata,memperkuat cahaya mata,membersihkan unsur-unsur yang jelek dan mengeluarkannya dan di antara jenis dan macam-macamnya berfungsi sebagai hiasan dan ketika tidur memiliki kelebihan keutamaan karena mencakup atas celak dan gerakan yang tidak membahayakan”.(Zaadul Ma’ad:4/281)
Hukum Memakai  Celak  Bagi  Kaum Wanita Ketika Di Rumah
Celak merupakan hiasan mata yang sangat bermanfaat untuk menjaga kesehatan mata.
Berkata Ibnu Qayim:
 “Celak dapat menjaga kesehatan mata,memperkuat cahaya mata,membersihkan unsur-unsur yang jelek dan mengeluarkannya dan di antara jenis dan macam-macamnya berfungsi sebagai hiasan “.(Zaadul Ma’ad:4/281)
Adapun tentang hukum memakainya, syaikh Muhammad bin sholih  mengatakan:
Bercelak ada dua macam:
a.Untuk memperkuat mata,menjernihkan selaput mata dan  membersihkan dengan tanpa ada maksud berhias.Maka ini tidaklah mengapa bahkan sebaiknya dilakukan,terlebih lagi jika menggunakan celak itsmid karena Nabi bercelak di kedua belah mata Beliau.
b.Untuk hiasan dan mempercantik diri, maka bagi kaum wanita dianjurkan karena kaum wanita dianjurkan untuk berhias untuk suaminya.Adapun bagi kaum lelaki maka perlu adanya pertimbangan dan saya belum dapat memberikan hukum secara pasti.

Bisa jadi dibedakan antara pemuda yang apabila bercelak maka ditakutkan akan menyebabkan fitnah sehingga diharamkan dan antara orang tua yang tidaklah ditakutkan timbulnya fitnah karenanya sehingga tidak diharamkan”.(Majmu’ Fatawa syaikh Muhammad bin Shalih:11/73).
Hukum Memakai Celak Bagi Kaum Wanita Ketika Keluar Rumah

Seorang wanita ketika keluar dari rumahnya diwajibkan untuk menutupi perhiasannya dari lelaki asing (bukan mahramnya) berdasarkan firman Allah 
ta’ala:
 
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ

Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…” (An-Nur:31)
Perhiasan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah  celak,make up, permata dan lain-lainnya. 

Disebutkan dalam Fatwa Lajnah Daimah: “ menggunakan celak adalah disyari’atkan tetapi tidaklah diperkenankan menampakkan perhiasannya baik celak dan lainnya kepada selain suaminya atau mahramnya berdasarkan firman Allah (yang artinya):
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita ..An-Nur:31 (17/128).

Bercelak Ketika Wanita Di Masa Berkabung

 Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, maka ia wajib menjalani masa ihdaad (berkabung), di mana ketika itu ia tidak boleh berhias diri (termasuk memakai celak) dan tidak boleh memakai harum-haruman Mengenai masa ihdaad disebutkan dalam hadits,

لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

“‎Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung (menjalani masa ihdaad) atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491).‎

Ummu Athiyah radhiyallahu ‘anhaberkata,‎

كُنَّا نُنْهَى أَنْ نُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا وَلَا نَكْتَحِلَ وَلَا نَتَطَيَّبَ وَلَا نَلْبَسَ ثَوْبًا مَصْبُوغًا إِلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ وَقَدْ رُخِّصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ إِذَا اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ أَظْفَارٍ وَكُنَّا نُنْهَى عَنْ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ

“Kami dilarang ihdaad (berkabung) atas kematian seseorang di atas tiga hari kecuali atas kematian suami, yaitu selama empat bulan sepuluh hari. Selama masa itu kami tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai wewangian, tidak boleh memakai pakaian yang berwarna kecuali pakaian ashab. Dan kami diberi keringanan bila hendak mandi seusai haid untuk menggunakan sebatang kayu wangi. Dan kami juga dilarang mengantar jenazah.” (HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 2739). 

Pakaian ashab adalah: Jenis pakaian dari Yaman yang dicelup dengan cara benangnya diikat lalu dicelup dan setelah itu dilepas sehingga benang yang diikat masih tetap tampak putih tidak terkena celupan sehingga tampak sebagai hiasan (berwarna putih bergaris hitam )‎

Allahu ta’ala a’lam. Semoga bermanfaat.

 

Hukum Bermesraan Saat Berpuasa


DALAM bulan Ramadhan kita harus menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa, bukan hanya menahan makan dan minum, tapi juga harus bisa mengontrol syahwat kita. Apalagi dengan kehidupan rumah tangga, pasangan suami istri harus saling menjaga satu sama lainnya.

Tidak mengapa suami bermesraan dengan isterinya, atau isteri mengucapkan kata-kata mesra kepada sang suami saat puasa, dengan syarat keduanya merasa aman tidak keluar mani (akibat perbuatan tersebut). Jika keduanya tidak merasa aman dari keluarnya mani, seperti orang yang hasrat seksualnya tinggi dan dia khawatir apabila bermesraan dengan isterinya akan batal puasanya akibat keluar mani, maka tidak boleh baginya perbuatan itu, karena akan menyebabkan rusaknya puasa. Demikian pula halnya jika dia khawatir keluar mazi.

Bercumbu dengan istri ketika puasa adalah perkara yang diperbolehkan, namun bagaimanakah jika pada saat bercumbu dengan pasangan ternyata sampai keluar mani?

Bercumbu atau Mubasyaroh yang membatalkan puasa adalah dengan bersentuhan seperti ciuman tanpa ada pembatas, atau bisa pula dengan mengeluarkan mani lewat tangan (onani). Sedangkan jika keluar mani tanpa bersentuhan seperti keluarnya karena mimpi basah atau karena imajinasi lewat pikiran, maka tidak membatalkan puasa.

Adapun Di antara dalilnya adalah:

Pertama, dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan:

كان رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُ وهُو صَائِمٌ وَيُباشِر وَهُو صَائِمٌ ولَكِنَّه كَان أَملَكَكُم لأَرَبِه

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium dan bercumbu dengan istrinya ketika puasa, namun beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Kedua, dalam riwayat yang lain, Aisyah juga mengatakan:

كان رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُني وهُو صَائِمٌ وأنا صائمة

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menciumku ketika beliau sedang berpuasa dan aku juga berpuasa.” (Abu Daud dengan sanad sesuai syarat Bukhari)

Ketiga, Dalam hadis Ummu Salamah juga menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya ketika beliau sedang puasa (HR. Bukhari)

Pemahaman dan Kesimpulan Hadits;

-       Masalah jimak di siang hari Ramadan bagi orang yang terkena kewajiban puasa, sudah disepakati hukumnya haram dan membatalkan puasa dengan ketentuan khusus yang akan dibahas dalam hadits berikutnya.

-       Akan tetapi, terkait dengan hukum mencium isteri atau mencumbunya selain jimak. Para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa hukumnya makruh secara mutlak, adapula yang mengatakan haram secara mutlak, adapula yang menyatakan mubah (boleh) secara mutlak. Akan tetapi, pendapat yang dikuatkan adalah merinci berdasarkan kondisi pelakunya, yaitu jika orang yang melakukannya memiliki hasrat yang tinggi dan mudah terangsang, maka makruh baginya mencium isterinya saat puasa, seperti pasangan muda atau orang yang baru menikah. Akan tetapi bagi yang tidak mudah terangsang, maka hal tersebut dibolehkan baginya.


Hal ini berdasarkan perkataan Aisyahradhiallahu anha; وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ ِلإِرْبِهِ (akan tetapi dia adalah orang yang paling mampu menahan keinginannya di antara kalian) yang menunjukkan    bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang paling dapat menjaga keinginannya.

Sebagian ulama menganggap bahwa perkataan Aisyah radhiallahu anha menunjukkan kekhususan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam masalah ini. Karena hanya beliaulah yang dapat mengendalikan hawa nafsunya. Yang lain berpendapat bahwa perkataan Aisyah menunjukkan kebolehan bagi siapa saja yang dapat mengendalikan syahwatnya dan larangan bagi siapa saja yang tidak dapat mengendalikan syahwatnya. 

- Pendapat kedua ini lebih dikuatkan karena tidak petunjuk jelas yang menunjukkan hal tersebut sebagai kekhususan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Disamping,  pada kenyataannya memang ada orang yang dapat mengendalikan syahwatnya dan ada yang tidak. Juga berdasarkan riwayat bahwa Umar bin khattab yang pernah mengadu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa dia mencium isterinya saat berpuasa, maka beliau mengatakan bahwa hal itu tidak apa-apa, seperti orang yang berkumur saat berpuasa. (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Al-Arna'uth)

- Diluar perdebatan itu, tentu saja menghindari perbuatan ini, mencium dan mencumbu, lebih utama dan lebih terjaga dari hal-hal yang dapat merusak puasa.

-       Diperdebatkan pula terkait dengan hadits ini, apakah mencium atau mencumbu isteri dapat membatalkan puasa atau tidak. Sebagian berpendapat bahwa mencium isteri saat berpuasa membatalkan secara mutlak, dia harus mengqadha puasa hari itu setelah Ramadan. Sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa mencium dan mencumbu, selagi tidak keluar mani, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa. Pendapat terakhir ini yang dikuatkan sebagian ulama. Kurang lebih, landasan pendapat dan argumentasinya merujuk kepada hadits di atas.

-       Terkait dengan masalah keluar mani, para ulama membedakan masalahnya. Jika seseorang mengalami keluar mani karena perbuatan yang disengaja secara sadar seperti mencium, mencumbu, masturbasi, memandang terus menerus, dan semacamnya, maka jumhur ulama berpendapat bahwa hal tersebut membatalkan puasa. Dia harus mengqadha puasa hari itu. Namun tidak diwajibkan membayar kafarat sebagaimana halnya orang yang berjimak.

-       Adapun jika akibat perbuatan tersebut keluar mazi saja, para ulama berbeda pendapat. Sebagian menyatakan batal puasanya, sebagian lainnya menyatakan tidak. Pendapat terakhir (tidak membatalkan) dikuatkan oleh sejumlah ulama termasuk di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dan Al-Lajnah Da'imah dalam fatwanya (9222) juga menyatakan demikian.

-       Di luar itu, dia harus bertaubat atas tindakannya yang dapat merusak atau mengurangi pahala puasanya . Juga hendaknya bertaubat jika pebuatan yang dilakukan termasuk perkara yang diharamkan seperti masturbasi.

-       Adapun jika keluar mani tanpa perbuatan yang disengaja dan disadari, seperti mimpi junub di siang hari Ramadan, atau memandang sekilas tanpa diulangi lalu timbul syahwat hingga keluar mani. Maka keluar mani seperti ini tidak membatalkan puasa. Hanya saja orang tersebut wajib mandi junub untuk melakukan ibadah shalat dan lainnya.


Sementara syarat tidak boleh keluar mani adalah hadis yang menyebutkan keutamaan puasa. Dalam hadis tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan sifat orang yang berpuasa, dia tinggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya, dalam hadis qudsi tersebut Allah berfirman:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ: فَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ، إِلَّا الصِّيَامَ هُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، إِنَّهُ يَتْرُكُ الطَّعَامَ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي

“Semua amal Ibnu Adam itu miliknya, dan setiap ketaatan dilipatkan sepuluh kali sampai 700 kali. Kecuali puasa, yang itu milik-Ku dan aku sendirilah yang akan membalasnya. Dia tinggalkan makanan dan syahwatnya karena-Ku.” (HR. Ad-Darimi, At-Thabrani, Ibnu Khuzaimah, dll)

Allah sifati orang yang berpuasa adalah orang yang meninggalkan syahwatnya. Artinya jika dia sampai keluar mani ketika mencumbu istrinya maka dia telah menunaikan syahwatnya, sehingga puasanya batal.

Semakna dengan hadis ini adalah riwayat dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma bahwa Umar bin Khothab radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

هَشَشتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ

“Suatu hari nafsuku bergejolak maka aku-pun mencium (istriku) padahal aku puasa, kemudian aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata: Aku telah melakukan perbuatan yang berbahaya pada hari ini, aku mencium sedangkan aku puasa. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتُ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ

“Apa pendapatmu kalau kamu berkumur dengan air padahal kamu puasa?” Aku jawab: Boleh. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Lalu ‎kenapa mencium bisa membatalkan puasa?” (HR. Ahmad dan dishahihkan Syu’aib Al Arnauth)

Dalam hadis Umar di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meng-qiyaskan (analogi) antara bercumbu dengan berkumur. Keduanya sama-sama rentan dengan pembatal puasa. Ketika berkumur, orang sangat dekat dengan menelan air. Namun selama dia tidak menelan air maka puasanya tidak batal. Sama halnya dengan bercumbu. Suami sangat dekat dengan keluarnya mani. Namun selama tidak keluar mani maka tidak batal puasanya.

Pendapat Para Ulama

Muhammad Al Hishni rahimahullah berkata, “Termasuk pembatal jika mengeluarkan mani baik dengan cara yang haram seperti mengeluarkan mani dengan tangan sendiri (onani) atau melakukan cara yang tidak haram seperti onani lewat tangan istri atau budaknya.” Lalu beliau katakan bahwa bisa dihukumi sebagai pembatal karena maksud pokok dari hubungan intim (jima’) adalah keluarnya mani. Jika jima’ saat puasa diharamkan dan membuat puasa batal walau tanpa keluar mani, maka mengeluarkan mani seperti tadi lebih-lebih bisa dikatakan sebagai pembatal. Juga beliau menambahkan bahwa keluarnya mani dengan berpikir atau karena ihtilam (mimpi basah) tidak termasuk pembatal puasa. Para ulama tidak berselisih dalam hal ini, bahkan ada yang mengatakan sebagai ijma’ (konsensus ulama).” (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 251).

Al Baijuri menyebutkan bahwa keluarnya madzi tidak membatalkan puasa walau karena bercumbu. (Lihat Hasyiyah Al Baijuri, 1: 560).Sementara menurut Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata, “Diharamkan mencium pasangan saat puasa Ramadhan bagi yang tinggi syahwatnya karena hal ini dapat mengantarkan pada rusaknya puasa. Sedangkan bagi yang syahwatnya tidak bergejolak, maka tetap lebih utama ia tidak mencium pasangannya.” (Lihat Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344).

Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa bercumbu dengan istri diperbolehkan ketika puasa dengan syarat tidak sampai keluar mani, karena jika keluar mani maka akan membatalkan puasa. Oleh karena itu, untuk pasangan yang memiliki syahwat yang tinggi maka hindari bercumbu saat puasa, karena dikhawatirkan akan merusak puasanya. Sehingga untuk kehati-hatian, alangkah lebih baik jika kita tetap bersabar ‘melakukan itu’ sampai waktu berbuka puasa tiba. Waallahu’alam.

Adapun keadaan yang pertama (tidak  sampai  menjadikannya  keluar mani atau madzi), Ulama telah berbeda pendapat dalam hukum orang tersebut, dalam beberapa pendapat:

Pertama, Puasanya tidak menjadi batal. Dan dia diperbolehkan melakukan hubungan semisal mencium dan menggauli istrinya namun tidak sampai melakukan jima’.

Pendapat ini adalah pendapat Aisyah, Umar bin al-Khaththab, Abu Sa’id al-Khudri, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Hudzaifah, Ali bin Abi Thalib, Ummu Salamah, Atikah, Ikrimah, al-Hasan al-Bashri, Abu Salamah  bin  Abdurrahman  bin  ‘Auf,  Sa’id  bin  Jubair,  asy-Sya’bi  dan Masruq.

Dalil  sandaran  pendapat  ini  adalah  beberapa  dalil  dari  sunnah, diantaranya,

Hadist  Aisyah -radhiallahu  ‘anha-,  bahwa  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  mencium  dan berhubungan  dengan  istri  beliau,  disaat  beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  sedang  menjalankan puasa. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang paling sanggup mengendalikan dirinya.”

(HR. al-Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 777)

Dan juga hadits dari Aisyah -radhiallahu ‘anha-, beliau mengatakan, “Adalah  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian dari istri  beliau  disaat  beliau sedang berpuasa.”

(HR. al-Bukhari no. 1928)

Dan  hadits  Hafshah  -radhiallahu  ‘anha-,  beliau  berkata,  “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium -istrinya- disaat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berpuasa.”

(HR. Muslim no. 1107, an-Nasa`i 2/502 dan Ibnu Majah no. 1685)

Dan  Masruq  meriwayatkan  bahwa  dia  bertanya  kepada  Aisyah  -radhiallahu  ‘anha-,  “Apakah  yang  diperbolehkan  bagi  seorang  laki-laki terhadap istrinya disaat dia sedang berpuasa?”

Aisyah menjawab, “Segala sesuatu -dibolehkan- selain jima’.”

(HR. Abdurrazzaq 4/ no. 8439 dan Ibnu Abi Syaibah 3/63)

Dan dari Atha` bin Yasar dari seseorang dari kaum Anshar, bahwa dia mengabarkan kepadanya, “Bahwa dia telah mencium istrinya di zaman Nabi r sementara dia tengah berpuasa. Lalu dia menyuruh istrinya agar bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu.”

Maka  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Sesungguhnya  Rasulullah  melakukan  hal itu.”

Istri  orang  tersebut  lalu  mengabarkan  sabda  beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.  Maka suaminya  berkata,  “Sesungguhnya  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  telah  diberi  keringanan  pada beberapa hal. Kembalilah dan tanyakan hal itu kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Istrinya lalu kembali menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan perkataan suaminya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saya adalah yang paling bertakwa diantara kalian dan yang paling mengetahui akan hukum-hukum Allah.”

(HR. Abdurrazzaq 4/184)

Zhahir  hadits-hadits  diatas  menunjukkan  bahwa  beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  telah melakukan hal tersebut, yakni mencium dan menggauli istrinya selain jima’.

Dan  perbuatan  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan  pembolehan,  sedangkan  klaim pengkhususan hanya pada  diri  Nabi r juga  terbantahkan dengan hadits yang diriwayatkan dari Atha` bin Yasar dari seseorang sahabat Anshar.

Kedua, bahwa hubungan tersebut menggugurkan puasanya.

Pendapat  ini  adalah  mazhab  ulama  Malikiyah  dan  Hanafiyah.  Serta diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, Ibnu Umar, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Abu Qilabah, Ibnu al-Hanafiyah, Abu Rafi’, Masruq dan Ibnu Syabramah.

Mereka berdalilkan dengan beberapa dalil, diantaranya; Firman Allah ta’ala,

“Dan  sekarang  gaulilah  mereka  dan  carilah  segala  yang  Allah  telah haruskan  bagi  kalian.  Dan  makan  dan  minumlah  kalian  hingga  menjadi jelas  bagi  kalian  benarng  putih  dari  benang hitam  dari  fajar. Setelah itu sempurnakanlah puasa hingga waktu malam.” (al-Baqarah: 187)

Dan hadits Jabir bin Abdullah, dimana disebutkan bahwa Umar bin al-Khaththab berkata, “Saya telah terbawa luapan gembira hingga mencium istriku  sedangkan  saya  sedang  berpuasa.  Maka  saya  bertanya,  “Wahai Rasulullah, saya telah melakukan sebuah dosa besar pada hari ini, saya telah mencium istriku, sedangkan saya sedang berpuasa.”

Maka  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,  “Bagaimanakah  pendapat  anda  jika  anda berkumur-kumur dengan air disaat anda sedang berpuasa?”

Saya menjawab, “Tidak mengapa.” Beliau bersabda, “Lalu ada gerangan apa -dengan mencium istri- !?”

(HR. Abu Dawud no. 2385, Ahmad 1/21, 215, ad-Darimi no. 1724 dan Ibnu Khuzaimah no. 1999)

Dan juga dengan atsar Umar bin al-Khaththab, beliau berkata, “Saya melihat berjumpa dengan Rasulullah di saat saya mimpi di malam hari dan beliau sama sekali tidak menoleh kepadaku. Lantas saya berkata, “Wahai Rasulullah, ada apakah denganku?”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,  “Bukankah  engkau  telah  mencium  istrimu  disaat engkau sedang berpuasa?”

Maka  saya  berkata,  “Demi  yang mengutus  Anda  dengan  kebenaran,  saya tidak akan mencium istriku lagi setelah itu disaat saya berpuasa.”

(Disebutkan oleh Ibnu Hazm didalam al-Muhalla 4/342)

Ketiga, bahwa hubungan tersebut suatu yang makruh, secara mutlak.

Pendapat ini merupakan pendapat Imam Malik, dan juga diriwayatkan dari Sa’id  bin  al-Musayyab,  an-Nakha’i,  Abdullah  bin  al-Mughaffal,  Sa’id  bin Jubair, Urwah dan dari Ibnu Abbas.

Argumen yang dijadikan sandaran oleh ulama yang mengemukakan pendapat ketiga ini adalah hadits-hadits pada bab permasalahan ini. Dan mereka  menempuh  metode  penyelarasan  antara  hadits-hadits  itu,  bahwa kesemuanya menunjukkan hukum makruh. Wallahu a’lam.

Keempat, bahwa hubungan tersebut diperbolehkan bagi seorang yang telah berusia lanjut dan makruh bagi yang masih remaja.

Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Makhul, asy-Sya’bi, Atha` bin Rabah dan az-Zuhri.

Adapun argumentasi ulama pada pendapat yang keempat ini, adalah hadits  yang  diriwayatkan  dari  Abu  Hurairah  -radhiallahu  ‘anhu,  beliau berkata, “Bahwa seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menggauli istri bagi seorang yang sedang berpuasa, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan baginya.  Kemudian  datang  seorang  lainnya  yang  menanyakan  hal  yang sama, namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.

Dan  ternyata  yang  mendapatkan  keringanan  adalah  seorang  yang  telah berusia lanjut, sedangkan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang adalah seorang pemuda.”

(HR. Abu Dawud no. 2387)

Dan atsar Ibnu Abbas  -radhiallahu ‘anhuma- bahwa beliau ditanya tentang  hukum  mencium  istri  bagi  seorang  yang  sedang  berpuasa?Lalu beliau memberi keringanan bagi yang telah berusia lanju dan membencinya bagi seorang pemuda.

(HR. Malik didalam al-Muwaththa` 1/93)

Kelima, bahwa hubungan tersebut adalah kekhususan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalil yang dijadikan sandaran pada pendapat ini adalah hadits ‘Amru bin  Abi  Salamah  bahwa  dia  bertanya  kepada  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,  bolehkah seseorang mencium istrinya ketika sedang berpuasa?

Maka  beliau  Shallallahu ‘alaihi wa sallamr  bersabda  kepadanya, “Tanyakanlah  kepadanya -yaitu kepada Ummu Salamah-.” Maka Ummu Salamah mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu.

‘Amru bin Abi Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, dosa-dosa anda yang terdahulu dan yang akan datang telah terampuni.”

Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallamr  bersabda  kepadanya,  “Adapun  hal  tersebut,  demi  Allah, sesungguhnya  saya  adalah  yang  paling  bertakwa  kepada  Allah  diantara kalian dan yang paling takut kepada Allah diantara kalian.” (Telah disebutkan sebelumnya)

Dan juga dengan hadits Atha` bin Yasar terdahulu.

Keenam, bahwa bagi seseorang yang dapat menahan diri dan syahwatnya maka  berciuman dan berhubungan dengan istri selain jima’ diperbolehkan baginya. Sedangkan bagi yang tidak dapat menguasai dirinya, hal semacam itu tidak diperbolehkan.

Pendapat ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Imam asy-Syafi’i.

Mereka berargumen dengan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- yang telah disebutkan sebelumnya, tentang seseorang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang  hukum  menggauli  istri  bagi  seorang  yang  sedang berpuasa,  yang  kemudian  beliau  Shallallahu ‘alaihi wa sallam  memberi  keringana  kepadanya.  Dan seorang lainnya menanyakan hal yang sama, namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Dan  ternyata  yang  diberi  keringanan  adalah  seorang  yang  telah  berusia lanjut, sedangkan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang adalah seorang pemuda.

Mereka  mengatakan,  dikarenakan  seorang  yang  berusia  lanjut, syahwatnya telah berkurang, dan dapat mengendalikan dirinya untuk tidak tergelincir pada hal yang terlarang, berbeda halnya dengan seorang pemuda.

Pendapat yang rajih/lebih tepat -insya Allah- adalah pendapat yang pertama. Bahwa  mencium  disaat  seseorang  sedang  mengerjakan  puasa tidaklah sampai membatalkan ibadah puasa dan tidak ada kaffarah baginya dan juga tidak diharuskan mengqadha`. Baik yang melakukannya adalah seorang yang telah berusia lanjut maupun masih seorang pemuda, baik dia dapat mengontrol dirinya ataupun tidak, selama dia tidak melakukan jima’.

(hubungan intim) pada kemaluan istrinya. Pendapat ini yang didukung oleh dalil-dalil syara’.

Adapun ulama yang berpendapat bahwa hal tersebut makruh, hadits-hadits yang  ada  pada  bab  ini  adalah  sanggahan  terhadap  pendapat  tersebut.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya, dan tidaklah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan suatu perbuatan yang terbenci (makruh).

Sedangkan   ayat   yang   dijadikan   sandaran   oleh   ulama   yang menghukumi batalnya  puasa karena  mencium dan menggauli istri selain jima’, ayat tersebut bukanlah dalil bagi pendapat ini. Dan jikalau, inferensi ayat  tersebut  diandaikan  sesuai  pendapat  ini,  hal  itupun  hanya  sebatas menunjukkan  larangan  menggauli  istri.  Dan  kandungannya  sangatlah umum. Mencakup menggauli istri hingga jima’ dan tidak sampai melakukan jima’.   Dan   hadits-hadits   yang   shahih   diriwayatkan   dari   Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan  maksud  ayat,  bahwa  menggauli  istri  selain  jima’  tidaklah sampai membatalkan puasa.

Atsar  Umar  bin  al-Khaththab,  bahwa  beliau  bermimpi  bertemu dengan  Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam,    …  dan  seterusnya.  Al-‘Allamah  Ibnu  Hazm   -rahimahullah-   telah   mencela   bentuk   argumen   semisal   ini.   Beliau mengatakan,  “Syariat-syariat  Islam  tidaklah  disadur  dari  mimpi.  Terlebih Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah  berfatwa  kepada  Umar  disaat  beliau  sadar  dan Rasulullah r masih hidup, akan pembolehan mencium istri bagi seseorang yang  berpuasa.  Maka  termasuk  kebatilan,  jika  hukum  itu  terhapuskan hanya dengan mimpi belaka. Na’udzu billahi dari hal ini.”

Dan  beliau  -rahimahullah-  juga  mengatakan,  bahwa  pada  sanad  atsar tersebut terdapat perawi bernama Umar bin Hamzah bahwa dia perawi yang tidak dianggap sama sekali.

Hadist Jabir bin Abdillah, dapat dijawab sebagaimana perkataan anNawawi,  ” …  sabda  beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam,  “Bagaimana  pendapat  anda  jika  anda berkumur-kumur?”

Makna  hadits,  bahwa  berkumur-kumur  adalah  awal  mula  minum.  Dan anda  telah  mengetahui  bahwa  berkumur-kumur  tidaklah  membatalkan puasa, maka demikian halnya dengan mencium yang merupakan awal mula jima’ juga tidak membatalkan puasa.”

Sedangkan  ulama  yang  membedakan  antara  seorang  yang  telah berusia lanjut dan seorang pemuda, yang berargumen dengan hadits Abu Hurairah, dapatlah dijawab bahwa hadits yang menjadi sandaran hukum mereka adalah hadits yang dha’if, pada sanadnya terdapat Abu al-‘Anbas dia perawi yang majhul.

Imam Ibnu Hazm -rahimahullah- mengatakan, “Dan  yang  turut mendustakan  pendapat  yang  mengklaim  adanya  perbedaan,  bahwa  hal tersebut  makruh  bagi  pemuda  dan  dibolehkan  bagi  seorang  yang  telah berusia lanjut, adalah ‘Amru bin Abi Salamah seorang yang masih remaja dan dalam gejolak usia remaja beliau. Dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan ‘Amru bin Abi   Salamah   adalah   anak   Ummu   Salamah   ummul-Mukminin.   Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkannya denan putri Hamzah radhiallahu ‘anhu.

Dan juga telah dikemukakan sebelumnya bahwa Aisyah -radhiallahu ‘anhatelah  menyuruh  keponakannya  untuk  mencium  istrinya  Aisyah  binti Thalhah. Dimana keponakannya saat itu masihlah remaja.”

Sedangkan  ulama  yang  berpendapat  bahwa  hal  tersebut  berlaku khusus  hanya  bagi  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,  dapat  dijawab  dengan  hadits-hadits lainnya,  semisal  hadits  Aisyah -radhiallahu  ‘anha-  dan  selainnya  yang menunjukkan  pembolehan  hal  tersebut  bagi  selain  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Maka  klaim pengkhususan tersebut telah gugur dengan sendirinya.

(Lihat  didalam    al-Umm  2/84,  al-Minhaj  3/214,  al-Majmu’  6/323,  al-Muhalla 4/334-338 no. 753, al-Mughni 4/182-183, Zaad al-Ma’ad 2/57, al-Mawahib 3/331,  Kasysyaf   al-Qina’ 2/388-389,   Subul  as-Salam 2/877-879 dan Nail al-Authar 4/236-237)

SAMPAI MENJADIKANNYA KELUAR MANI ATAU MADZI (Tanpa Jima’)

Adapun keadaan yang kedua, jikalau hubungan intim tersebut, yakni mencium   atau   menggauli   istri   namun   tidak   sampai   terjadi   jima’ menyebabkan seseorang yang berpuasa tersebut mengeluarkan mani atau madzi, apakah membatalkan puasanya atau tidak?

Terdapat dua pendapat dikalangan ulama.

Pendapat sebagian besar ulama, yang juga merupakan mazhab Imam yang Empat, bahwa mencium dan menggauli istri selain jima’ hingga keluarnya mani  atau  madzi  dapat  membatalkan  puasa,  walau  mereka  berbeda pendapat hukum yang melakukan hal tersebut karena sengaja dan karena lupa.

Mereka  mengatakan,  karena  hal  tersebut  serupa  dengan  jima’. Sementara telah shahih diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta’ala berfirman, “Dia -seorang yang berpuasa- meninggalkan makan dan minumnya serta syahwatnya karena mengharapkan pahala dariku.” Dan amalan ini melazimkan adanya gejolak syahwat.

Sebagian  ulama  lainnya  berpendapat,  bahwa  hal  tersebut  tidaklah membatalkan   puasa,   baik   dia   melakukannya   dengan   niat   untuk mengeluarkan  mani  atau  madzi  ataukah  tidak.  Pendapat  ini  adalah pendapat yang dikuatkan oleh al-Faqih Ibnu Hazm, ash-Shan’ani dan asy-Syaukani  -rahimahumullah-. Karena hukum-hukum syara’  (puasa) dalam hal ini dikaitkan dengan jima’ semata.    Dan tidak terdapat satupun dalil dari al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma’ dan pendapat shahabat yang mendukung pendapat yang menyatakan batalnya puasa karena hal tersebut.

(Lihat al-Muhalla  4/masalah no.  753, al-Majmu’  6/322-323, al-Mughni 4/182-183, Subul as-Salam 2/877-879 dan Nail al-Authar 4/236-237)

2          Atsar  Ali  bin  Abi  Thalib,  diriwayatkan  dari  jalan  Urjufah  dari  Ali,  beliau mengatakan, “Bagi siapa yang berbuka dengan sengaja pada siang hari Ramadhan maka  dia  selamanya  tidak  mengqadha`nya,  sepanjang  tahun,  tidak  sebagaimana yang mereka katakan apabila seseorang berhubungan intim dengan istrinya pada siang hari Ramadhan.”

(HR. Ibnu Abi Syaibah didalam al-Mushannaf 2/no. 9785)

3       Atsar  Abdullah  bin  Mas’ud,  diriwayatkan  dari  jalan  Abdullah  al-Yasykuri,  dia

mengatakan,  Abdullah  berkata,  “Barang  siapa  yang  berbuka  pada  siang  hari Ramadhan dengan sengaja, tanpa -udzur- safar/bepergian jauh atau sakit, tidaklah dia selamanya mengqadha`nya, walau dia berpuasa setahun penuh.”

(HR. Ibnu Abi Syaibah 2/no. 9800 dan al-Baihaqi didalam as-Sunan al-Kubra 4/228)

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...