Rabu, 25 November 2020

Hukum Hewan Yang Diperbolehkan Untuk Qurban


Ada tiga syarat utama hewan kurban agar hewan yang dikurbankan sah sebagai hewan kurban secara Syar’i, yaitu pertama: berupa Bahimatul An’am, kedua; memenuhi usia minimal yang ditetapkan Syariat, dan ketiga; bebas dari aib/cacat.

Syarat pertama adalah hewan kurban harus berupa Bahimatul An’am. Yang dimaksud bahimatul An’am adalah empat macam hewan yaitu unta/الإِبِلُ / الْبَدَنَةُ/ camel, sapi/الْبَقَرَةُ /cows/cattle, kambing/الْغَنَمُ /الْمَعْزُ /goat, dan domba/biri-biri/ الضَّأْنُ / الْخَرُوْفُ / الْكَبْشُ /sheep. Dalil yang menunjukkan bahwa hewan kurban hanya empat macam hewan ini adalah firman Allah;

{وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ} [الحج: 34]

dan bagi tiap-tiap umat telah Aku syariatkan Mansak, supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka (Al-Hajj; 34)

Mansak dalam ayat di atas adalah aktivitas menyembelih hewan kurban. Ketika Allah mensyariatkan bagi umat Islam ibadah berkurban agar kaum muslimin menyebut nama Allah ketika menyembelihnya (tidak seperti orang-orang musyrik yang menyebut nama berhala ketika menyembelih kurban), Allah menyebut jenis hewan yang diberikan Allah kepada kaum muslimin untuk dijadikan hewan kurban yaitu Bahimatul An’am pada ujung ayat. Definisi bahimatul An’am adalah hewan ternak yang berupa unta, sapi dan kambing yang mencakup kambing biasa (dengan bulu lurus dan kasar) dan domba (dengan bulu wol). As-Syaukani berkata;

فتح القدير الجامع بين فني الرواية والدراية من علم التفسير (3/ 642)

بهيمة الأنعام وهي الإبل والبقر والغنم

Bahimatul An’am adalah unta, sapi dan kambing (Fathu Al-Qodir, vol.3 hlm 642)

Ayat ini mengandung isyarat bahwa hewan kurban hanyalah unta, sapi dan kambing sebagaimana yang dijelaskan as-Syaukani;

فتح القدير الجامع بين فني الرواية والدراية من علم التفسير (3/ 647)

وفيه إشارة إلى أن القربان لا يكون إلا من الأنعام دون غيرها

Di dalamnya ada isyarat bahwa berkurban tidak bisa kecuali dengan An’am (unta, sapi dan kambing), tidak bisa selainnya (Fathu Al-Qodir, vol.3 hlm 647)

As-Syafi’I berkata adalam Al-Umm;

الأم (2/ 223)

 قال الشَّافِعِيُّ ) رَحِمَهُ اللَّهُ الضَّحَايَا الْجَذَعُ من الضَّأْنِ والثنى من الْمَعْزِ وَالْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَلَا يَكُونُ شَيْءٌ دُونَ هذا ضَحِيَّةً

hewan-hewan kurban adalah Jadza’ah dari domba dan Tsaniyy dari kambing, unta dan sapi. Hewan apapun selain ini tidak bisa menjadi hewan kurban (Al-Umm, vol 2 hlm 223)

Oleh karena itu, yang sah menjadi hewan kurban hanyalah unta, sapi, kambing dan domba. Kerbau, banteng, kijang, jerapah, ayam, kelinci, merpati dan semua hewan yang tidak termasuk keempat macam ini tidak sah dijadikan sebagai hewan kurban. Hewan peranakan hasil persilangan silang antara hewan yang sah dijadikan berkurban dengan hewan yang tidak sah dijadikan berkurban juga tidak boleh dijadikan hewan kurban, karena persilangan tersebut membuat keturunannya tidak tercakup dalam definisi asal hewan induknya sebagaimana keturunan hasil persilangan antara  kuda dengan keledai disebut Bighal, dan tidak disebut kuda atau disebut keledai.

Syarat yang kedua adalah; hewan kurban harus memenuhi usia minimal tertentu yang ditetapkan oleh syariat. Yang menjadi ukuran adalah usia, bukan masalah  gemuk/ tidak atau ukuran-ukuran yang lainnya. Jika hewan kurban tidak memenuhi usia minimal yang ditetapkan oleh syariat, maka kurban yang dia persembahkan hukumnya tidak sah. Dalil yang menunjukkan ketidakabsahan berkurban jika hewannya tidak memenuhi syarat usia minimal adalah hadis berikut ini;
صحيح البخاري (17/ 263)

عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ

صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ مَنْ صَلَّى صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا فَلَا يَذْبَحْ حَتَّى يَنْصَرِفَ فَقَامَ أَبُو بُرْدَةَ بْنُ نِيَارٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَعَلْتُ فَقَالَ هُوَ شَيْءٌ عَجَّلْتَهُ قَالَ فَإِنَّ عِنْدِي جَذَعَةً هِيَ خَيْرٌ مِنْ مُسِنَّتَيْنِ آذْبَحُهَا قَالَ نَعَمْ ثُمَّ لَا تَجْزِي عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ

dari Al Bara` dia berkata; “Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat, setelah itu beliau bersabda: “Barangsiapa mengerjakan shalat seperti shalat kami, dan menghadap kiblat kami, hendaknya tidak menyembelih binatang kurban sehingga selesai mengerjakan shalat.” Lalu Abu Burdah bin Niyar berdiri dan berkata; “Wahai Rasulullah, padahal aku telah melakukannya.” Beliau bersabda: “Itu adalah ibadah yang kamu kerjakan dengan tergesa-gesa.” Abu Burdah berkata; “Sesungguhnya aku masih memiki Jadza’ah dan dia lebih baik daripada dua Musinnah, apakah aku juga harus menyembelihnya untuk berkurban? Beliau bersabda: “Ya, namun hal itu tidak sah untuk orang lain setelahmu.” (H.R.Bukhari)

Riwayat lain berbunyi;

صحيح البخاري (17/ 252)

عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ

ضَحَّى خَالٌ لِي يُقَالُ لَهُ أَبُو بُرْدَةَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عِنْدِي دَاجِنًا جَذَعَةً مِنْ الْمَعَزِقَالَ اذْبَحْهَا وَلَنْ تَصْلُحَ لِغَيْرِكَ ثُمَّ قَالَ مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَإِنَّمَا يَذْبَحُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ

dari Al Bara` bin ‘Azib radliallahu ‘anhu dia berkata; Pamanku yaitu Abu Burdah pernah menyembelih binatang kurban sebelum shalat (ied), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Kambingmu hanya berupa daging biasa (bukan daging kurban) Lantas pamanku berkata; “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku hanya memiliki seekor Jadza’ah.” Beliau bersabda: “Berkurbanlah dengan kambing tersebut, namun hal itu tidak sah untuk selain kamu.” Kemudian beliau melanjutkan sabdanya: “Barang siapa berkurban sebelum shalat (Iedul Adlha), dia hanya menyembelih untuk dirinya sendiri, dan barang siapa menyembelih setelah shalat (Iedul Adlha), maka sempurnalah ibadahnya dan dia telah melaksanakan sunnah kaum Muslimin dengan tepat.” (H.R.Bukhari)

Dalam hadis di atas dikisahkan bahwa seorang shahabat yang bernama Abu Burdah bin Niyar  telah menyembelih kurbannya sebelum shalat Ied dilakukan. Karena syarat sah penyembelihan harus dilakukan setelah shalat Ied, maka hal ini bermakna kurban Abu Burdah bin Niyar tidak sah. Karena itu ia ingin menyembelih lagi setelah shalat Ied. Namun, hewan yang ia punyai hanyalah Jadza’ah. Jadza’ah yang dimaksud dalam hadis ini adalah kambing yang berusia 6 bulan atau lebih tetapi belum genap satu tahun. Karena itu dia bertanya kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ apakah sah berkurban dengan kambing berusia 6 bulan itu. Ternyata Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab bahwa kurbannya sah, tetapi hanya untuk kasus sekali ini saja, khusus bagi Abu Burdah bin Niyar. Mafhumnya, bagi selain Abu Burdah bin Niyar, termasuk umat Islam yang hidup di zaman sekarang, tidak sah berkurban jika kambing usianya baru 6 bulan. Oleh karena itu, hadis ini adalah dalil bahwa hewan kurban disyaratkan memenuhi usia tertentu agar bisa menjadi hewan yang sah digunakan untuk berkurban.

Adapun perincian usia minimal hewan kurban, maka penjelasannya adalah sebagai berikut:

Domba (sheep), usia minimalnya adalah 6 (enam) bulan Hijriyyah
Kambing (goat), usia minimalnya adalah 1 (satu) tahun Hijriyyah
Sapi (cow), usia minimalnya adalah 2 (dua) tahun Hijriyyah
Unta (camel), usia minimalnya adalah 5 (lima) tahun Hijriyyah

Dalil yang menunjukkan ketentuan usia ini adalah hadis berikut ini;

صحيح مسلم (10/ 142)

عَنْ جَابِرٍ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنْ الضَّأْنِ

dari Jabir dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kamu sembelih hewan untuk berkurban, melainkan Musinnah.  Kecuali jika itu sulit kamu peroleh, sembelihlah Jadza’ah domba.” (H.R. Muslim)

Dalam hadis di atas, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan agar tidak menyembelih hewan kurban kecuali hewan kurbannya berupa Musinnah. Istilah Musinnah sama dengan istilah Tsaniyyah, yakni hewan dengan usia tertentu yang mencakup unta, sapi dan kambing. An-Nawawy berkata;

شرح النووي على مسلم (13/ 117)

قال العلماء المسنة هي الثنية من كل شئ من الابل والبقر والغنم فما فوقها

Para ulama berkata;  Musinnah adalah Tsaniyyah dari segala sesuatu yakni dari unta, sapi dan kambing atau lebih (Syarah An-Nawawi ‘Ala Muslim, vol 13 hlm 117)

Lebih rinci lagi, Tsaniyyah pada unta adalah semua unta yang usianya telah genap 5 (lima) tahun, Tsaniyyah pada sapi adalah semua sapi yang usianya telah genap 2 (dua) tahun, dan Tsaniyyah pada kambing adalah semua kambing yang usianya telah genap 1 (satu) tahun Hijriyyah. Dalam Mu’jam Lughoti Al-Fuqoha’ dinyatakan;

معجم لغة الفقهاء (1/ 188)

الثني : كل ما سقطت ثنيته من الحيوان ، ج ثناء وثنيان ، وهي ثنية ج ثنيات .

O من الإبل : ما أتم خمسة أعوام ، ومن البقر ما أتم حولين ، ومن الغنم ما أتم حولا

Five year old camel , two year old cow , one year old sheep

Tsaniyy adalah setiap hewan yang tanggal gigi serinya. Jamaknya Tsina’ dan Tsunyan. Bentuk lainya Tsaniyyah yang dijamakkan menjadi Tsaniyyat. Tsaniyy dari unta adalah unta yang genap berusia lima tahun, dari sapi yang genap dua tahun dan dari kambing yang genap satu tahun (Mu’jam Lughoti Al-Fuqoha’, vol 1/hlm 188)

Jadi, berdasarkan perintah menyembelih Musinnah dalam hadis di atas, bisa difahami bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mensyaratkan usia minimal unta adalah 5 tahun, sapi 2 tahun, dan kambing 1 tahun, karena Musinnah bermakna Tsaniyyah, sementara Tsaniyyah secara bahasa memiliki batasan usia sebagaimana yang telah dijelaskan.

Kemudian  Nabi menjelaskan, jika Musinnah tidak ada atau sulit di dapatkan, maka boleh menyembelih Jadza’ah domba. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda;

إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنْ الضَّأْنِ

Kecuali jika itu sulit kamu peroleh, sembelihlah Jadza’ah domba.” (H.R. Muslim)

Definisi Jadza’ah pada kambing adalah semua kambing yang usianya telah genap 6 (enam) bulan. Dalam Mu’jam Lughoti Al-Fuqoha’ dinyatakan;

معجم لغة الفقهاء (1/ 194)

الجذع : بفتح الجيم ثم الذال ، الشاب القوي وهو من الغنم ما كان عمره أكثر من ستة أشهر، ومن الابل ما أتم السنة الرابعة ودخل في الخامسة ، ومن البقر ما دخل في الثالثة

Six month ( and more) old sheep , and four year old he – camel

Al-Jadza’ah, dengan memfathahkan Jim dan Dzal adalah pemuda yang kuat. Jika dari kambing maka maknanya adalah kambing yang usianya lebih dari 6 bulan. Dari unta, yang genap berusia empat tahun dan masuk tahun ke lima. Dari sapi, yang masuk tahun ketiga (Mu’jam Lughoti Al-Fuqoha’, vol 1, hlm 194)

Jadi secara bahasa, Jadza’ah adalah kriteria usia yang bisa diterapkan pada kambing, sapi dan unta. Namun Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mensyaratkan kebolehan menjadikan Jadza’ah sebagai hewan kurban hanya untuk domba (الضَّأْنِ). Hal ini bermakna, yang sah menjadi hewan kurban untuk usia 6 bulan hanyalah domba (sheep). Kambing biasa (goat), tidak sah menjadi hewan kurban jika usianya baru 6 bulan. Kambing hanya sah menjadi hewan kurban jika dia telah berstatus sebagai Tsaniyyah, yakni telah genap 1 tahun Hijriyyah.

Ibrohim Al-Harby menjelaskan bahwa domba berusia 6 bulan disamakan dengan kambing berusia 1 tahun dalam hal keabsahan berkurban karena domba di usia tersebut sudah bisa menjadi pejantan sebagaimana kambing yang berusia 1 tahun.

Hanya saja, meskipun Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membolehkan domba sebagai hewan kurban dalam kondisi Musinnah tidak ada/sulit, hal ini tidak bermakna; selama Musinnah (unta 5 th, sapi 2th, atau kambing 1 th) masih ada, berarti domba tidak sah dijadikan hewan kurban. Tidak demikian, karena ada Nash yang jelas menunjukkan keabsahan domba sebagai hewan kurban meskipun Musinnah/Tsaniyyah/Tsaniyy ada. Abu Dawud meriwayatkan;

سنن أبى داود – م (3/ 53)

عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كُنَّا مَعَ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يُقَالُ لَهُ مُجَاشِعٌ مِنْ بَنِى سُلَيْمٍ فَعَزَّتِ الْغَنَمُ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقُولُ « إِنَّ الْجَذَعَ يُوَفِّى مِمَّا يُوَفِّى مِنْهُ الثَّنِىُّ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ وَهُوَ مُجَاشِعُ بْنُ مَسْعُودٍ.

dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, ia berkata; kami pernah bersama seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bernama Mujasyi’ dari Bani Sulaim. Lalu  kambing menjadi sulit didapat. Kemudian ia memerintahkan seseorang untuk menyeru bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Sesungguhnya Jazda’ah mencukupi (syarat sah berkurban) sebagaimana Tsaniyy mencukupi (syarat sah berkurban).” Abu Daud berkata; ia adalah Mujasyi’ bin Mas’ud. (H.R.Abu Dawud)

Maksud Jadza’ah dalam hadis di atas adalah Jadza’ah dari domba. Maknanya domba berusia 6 bulan memenuhi syarat keabsahan berkurban sebagaimana Tsaniyy memenuhi syarat keabsahan berkurban. Keabsahan yang dijelaskan dalam hadis ini bersifat mutlak tanpa diikat kondisi tertentu, misalnya; ketiadaan Tsaniyy. Karena itu domba tetap sah menjadi hewan kurban meskipun Tsaniyy/Musinnah masih ada.

Yang menguatakan adalah adanya riwayat yang dihasankan Syu’aib Arna’uth yang membolehkan Jadza’ah domba menjadi hewan kurban secara mutlak. Ahmad meriwayatkan;

مسند أحمد (55/ 22)

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ بَحْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو ضَمْرَةَ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي يَحْيَى مَوْلَى الْأَسْلَمِيِّينَ عَنْ أُمِّهِ قَالَ أَخْبَرَتْنِي أُمُّ بِلَالٍ ابْنَةُ هِلَالٍ عَنْ أَبِيهَا

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَجُوزُ الْجَذَعُ مِنْ الضَّأْنِ أُضْحِيَّةً

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Bahr telah menceritakan kepada kami Abu Dhamrah berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu Yahya bekas budak Al Aslamiyyin, dari Ibunya dia berkata, telah menceritakan kepadaku Ummu Bilal dari putrinya Hilal dari ayahnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Diperbolehkan berkurban dengan menyembelih Jadza’ah domba.” (H.R.Ahmad)

Uqbah bin ‘Amir juga meriwayatkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan para Shahabat berkurban dengan Jadza’ah dari domba. An-Nasa’i meriwayatkan;

سنن النسائي (13/ 362)

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ

ضَحَّيْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِجَذَعٍ مِنْ الضَّأْنِ

dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata; kami berkurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Jadza’ah domba. (H.R.An-Nasai)

Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ juga pernah memerintahkan Uqbah bin ‘Amir berkurban dengan Jadza’ah ketika yang dimiliki ‘Uqbah hanya hewan tersebut. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (17/ 237)

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ

قَسَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَصْحَابِهِ ضَحَايَا فَصَارَتْ لِعُقْبَةَ جَذَعَةٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَارَتْ لِي جَذَعَةٌ قَالَ ضَحِّ بِهَا

dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhani dia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membagi-bagikan binatang kurban kepada para sahabatnya, sementara ‘Uqbah sendiri hanya mendapatkan Jadza’ah, maka kataku selanjutnya; “Wahai Rasulullah, aku hanya mendapatkan Jadza’ah?” beliau bersabda: “Berkurbanlah dengannya.” (H.R.Bukhari)

Jadi riwayat-riwayat ini semakin menguatkan keabsahan berkurban dengan domba meskipun unta, sapi, dan kambing masih ada. Riwayat yang mengesankan bahwa domba hanya “jalan terakhir” untuk mempersembahkan hewan kurban, sejauh-jauh yang bisa difahami adalah keutamaan berkurban hukum asalnya adalah dengan Musinnah/Tsaniyyah/Tsaniyy, dan jika tidak ada baru domba, bukan syarat sah berkurban hanya dengan Musinnah, sementara domba hanya dalam kondisi darurat.

Syarat yang ketiga: hewan kurban harus bebas dari aib/cacat. Yang dimaksud dengan aib di sini adalah aib yang dinyatakan oleh Nash. Ada 4 (empat) aib utama yang dijelaskan dalam Nash yaitu ‘Aroj Bayyin (kepincangan yang jelas), ‘Awar Bayyin (buta sebelah yang jelas), Marodh Bayyin (sakit yang jelas), dan Huzal (kekurusan yang membuat sungsum hilang). Jika hewan kurban terkena salah satu atau lebih dari empat macam aib ini, maka hewan tersebut tidak sah dijadikan sebagai hewan kurban. Dalil yang menunjukkan adalah hadis berikut ini;

موطأ مالك – مكنز (3/ 381، بترقيم الشاملة آليا)

عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سُئِلَ مَاذَا يُتَّقَى مِنَ الضَّحَايَا فَأَشَارَ بِيَدِهِ وَقَالَ « أَرْبَعًا ». وَكَانَ الْبَرَاءُ يُشِيرُ بِيَدِهِ وَيَقُولُ يَدِى أَقْصَرُ مِنْ يَدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَاوَالْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَجْفَاءُ الَّتِى لاَ تُنْقِى ».

dari Al-Bara’ bin ‘Azib berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, ‘Apa yang harus dijauhi untuk hewan kurban? ‘ Beliau memberikan isyarat dengan tangannya lantas bersabda: “Ada empat.” Barra’ lalu memberikan isyarat juga dengan tangannya dan berkata; “Tanganku lebih pendek daripada tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: (empat perkara tersebut adalah) hewan yang jelas-jelas pincang kakinya, hewan yang jelas buta sebelah, hewan yang sakit dan hewan yang kurus tak bersumsum.” (H.R.Malik)

Abu Dawud meriwayatkan hadis senada;

سنن أبى داود – م (3/ 54)

عَنْ عُبَيْدِ بْنِ فَيْرُوزَ قَالَ سَأَلْتُ الْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ مَا لاَ يَجُوزُ فِى الأَضَاحِى فَقَالَ قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَصَابِعِى أَقْصَرُ مِنْ أَصَابِعِهِ وَأَنَامِلِى أَقْصَرُ مِنْ أَنَامِلِهِ فَقَالَ « أَرْبَعٌ لاَ تَجُوزُ فِى الأَضَاحِى الْعَوْرَاءُ بَيِّنٌ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ بَيِّنٌ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ بَيِّنٌ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرُ الَّتِى لاَ تَنْقَى ». قَالَ قُلْتُ فَإِنِّى أَكْرَهُ أَنْ يَكُونَ فِى السِّنِّ نَقْصٌ. قَالَ « مَا كَرِهْتَ فَدَعْهُ وَلاَ تُحَرِّمْهُ عَلَى أَحَدٍ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ لَيْسَ لَهَا مُخٌّ.

dari ‘Ubaid bin Fairuz, ia berkata; aku pernah bertanya kepada Al Bara` bin ‘Azib; sesuatu apakah yang tidak diperbolehkan dalam hewan kurban? Kemudian ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdiri diantara kami, jari-jariku lebih pendek daripada jari-jarinya dan ruas-ruas jariku lebih pendek dari ruas-ruas jarinya, kemudian beliau berkata: “Empat perkara yang tidak boleh ada di dalam hewan-hewan kurban.” Kemudian belau berkata; yaitu; buta sebelah matanya yang jelas kebutaannya, pincang yang jelas pincangnya, sakit yang jelas sakitnya, dan pecah kakinya yang tidak memiliki sumsum. ‘Ubaid berkata; aku katakan kepada Al Bara`; Aku tidak suka pada giginya terdapat aib. Ia berkata; apa yang tidak engkau sukai maka tinggalkan dan janganlah engkau mengharamkannya kepada seseorang. Abu Daud berkata; tidak ada sumsum padanya. (H.R.Abu Dawud)

Sebagian ulama menambahkan aib yang ke lima yaitu ‘Adhob (telinga/tanduk hilang lebih dari separuh) berdasarkan hadis riwayat Ibnu Majah dari Ali.  Ibnu Majah meriwayatkan;

سنن ابن ماجه (9/ 304)

حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ أَنَّهُ ذَكَرَ أَنَّهُ سَمِعَ جُرَيَّ بْنَ كُلَيْبٍ يُحَدِّثُ أَنَّهُ سَمِعَ عَلِيًّا يُحَدِّثُ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُضَحَّى بِأَعْضَبِ الْقَرْنِ وَالْأُذُنِ

Telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mas’adah telah menceritakan kepada kami Khalid bin Al Harits telah menceritakan kepada kami Sa’id dari Qatadah dia menyebutkan bahwa dirinya pernah mendengar Jurayy  bin Kulaib menceritakan bahwa dia mendengar Ali menceritakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang berkurban dengan hewan yang tanduk dan telinganya hilang lebih dari separuh (cacat).” (H.R.Ibnu Majah)

Riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan memeriksa mata dan telinga dipandang menguatkan  hadis ibnu Majah tersebut. Diantaranya adalah hadis riwayat An-Nasai;

سنن النسائي – بأحكام الألباني (7/ 217)

 أخبرنا محمد بن عبد الأعلى قال حدثنا خالد قال حدثنا شعبة أن سلمة وهو بن كهيل أخبره قال سمعت حجية بن عدي يقول سمعت عليا يقول : أمرنا رسول الله صلى الله عليه و سلم أن نستشرف العين والأذن

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdul A’la, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Khalid telah menceritakan kepada kami Syu’bah bahwa Salamah yaitu Ibnu Kuhail telah mengabarkan kepadanya, ia berkata; saya mendengar Hujayyah bin ‘Adi berkata; saya mendengar Ali berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami agar meneliti mata dan telinga. (H.R.An-Nasai)

Lafadz Ahmad berbunyi;

مسند أحمد بن حنبل (1/ 95)

 حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع ثنا سفيان عن سلمة عن حجية عن على رضي الله عنه قال : أمرنا رسول الله صلى الله عليه و سلم أن نستشرف العين والأذن

Telah menceritakan kepada kami Waki’ Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Salamah dari Hujaiyyah dari Ali, dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada kami agar mengecek bagian mata (hewan) dan telinganya.” (H.R.Ahmad)

Riwayat lain dari Ahmad;

مسند أحمد بن حنبل (1/ 128)

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع عن إسرائيل وعلى بن صالح عن أبي إسحاق عن شريح بن النعمان عن علي رضي الله عنه قال : أمرنا رسول الله صلى الله عليه و سلم ان نستشرف العين والأذن ولا نضحي بشرقاء ولا خرقاء ولا مقابلة ولا مدابرة

Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Israil dan Ali bin Shalih dari Abu Ishaq dari Syuraih bin An Nu’man dari Ali Radhiallah ‘anhu berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh kami untuk mengecek mata dan telinga, dan agar kami tidak menyembelih asy syarqa`, al kharqa`, al muqabalah dan al mudabarah.” (H.R.Ahmad)

Aib-aib yang semakna dengan hal-hal yang telah disebutkan diatas atau yang lebih parah seperti buta total, lumpuh, bagian tubuh terpotong dan sebagainya juga membuat hewan tidak sah digunakan untuk berkurban.

Adapun jika hewannya dikebiri, maka hal ini bukan aib yang membuatnya tidak sah dikurbankan. Jadi, boleh menjadikan hewan yang dikebiri sebagai hewan kurban. Dalil yang menunjukkan adalah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah berkurban dengan hewan yang dikebiri sebagaiman dinyatakan dalam riwayat Ibnu Majah;

سنن ابن ماجه (9/ 274)

عَنْ عَائِشَةَ وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ اشْتَرَى كَبْشَيْنِ عَظِيمَيْنِ سَمِينَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ مَوْجُوءَيْنِ فَذَبَحَ أَحَدَهُمَا عَنْ أُمَّتِهِ لِمَنْ شَهِدَ لِلَّهِ بِالتَّوْحِيدِ وَشَهِدَ لَهُ بِالْبَلَاغِ وَذَبَحَ الْآخَرَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَعَنْ آلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

dari Aisyah dan dari Abu Hurairah, bahwa apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak melaksanakan kurban, maka beliau membeli dua ekor domba yang besar, gemuk, bertanduk, berwarna putih (yang bercampur sedikit hitam) yang diremukkan pelirnya. Kemudian beliau menyembelih salah satunya untuk umatnya yang telah bersaksi akan keesaan Allah dan bersaksi atas risalah beliau, lalu menyembelih yang satunya untuk Muhammad dan keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (H.R. Ibnu Majah)

Lafadz Mauju’ dalam hadis di atas bermakna hewannya diremukkan buah pelirnya. Karena itu hewan yang dikebiri semakna dengan Mauju’ dalam hadis ini.

Hewan yang tidak bertanduk secara genetik, tidak berekor secara genetik, dan bertelinga kecil juga sah dijadikan hewan kurban, karena hal itu tidak termasuk aib yang dinyatakan oleh Nash. Demikian pula yang dilubangi telinganya, terbelah telinganya, atau telinga hilang tapi tidak sampai separuh. Semuanya saha menjadi hewan kurban karena tidak termasuk aib yang dijelaskan oleh Nash.

Hewan yang beraib bukan karena perbuatan manusia setelah ditetapkan sebagai hewan kurban sah dijadikan sebagai hewan kurban. Namun jika aibnya karena perbuatan manusia, maka tidak sah dan harus diganti dengan yang baru.

Adapun syarat jantan, maka tidak ada Nash yang menunjukkan bahwa hewan kurban harus berkelamin jantan. Ayat dalam Al-Quran malah menunjukkan bahwa hewan kurban bisa berjenis kelamin betina sebagaimana jantan. Allah berfirman;

{ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ مِنَ الضَّأْنِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْمَعْزِ اثْنَيْنِ} [الأنعام: 143]

 (yaitu) delapan binatang yang berpasangan, sepasang domba, sepasang dari kambing. (Al-An’am; 143)

{وَمِنَ الْإِبِلِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْبَقَرِ اثْنَيْنِ} [الأنعام: 144]

dan sepasang dari unta dan sepasang dari sapi. (Al-An’am; 143)

Yang dimaksud sepasang dalam ayat di atas adalah jenis jantan dan jenis betina. Penyebutan empat macam hewan kurban dalam ayat di atas yang mencakup jenis jantan dan betina menunjukkan betina sah menjadi hewan kurban sebagaiman jantan juga sah menjadi hewan kurban. Al Mawardi berkata;

الحاوى الكبير ـ الماوردى – دار الفكر (15/ 170)

وَالنَّعَمُ هِيَ الْإِبِلُ وَالْبَقَرُ وَالْغَنَمُ ، قَالَ الشَّافِعِيُّ : هُمُ الْأَزْوَاجُ الثَّمَانِيَةُ الَّتِي قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ مِنَ الضَّأْنِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْمَعْزِ اثْنَيْنِ [ الْأَنْعَامِ : 43 ] .  يَعْنِي ذَكَرًا وَأُنْثَى فَاخْتَصَّ هَذِهِ الْأَزْوَاجَ الثَّمَانِيَةَ مِنَ النَّعَمِ بِثَلَاثَةِ أَحْكَامٍ : أَحَدُهَا : وُجُوبُ الزَّكَاةِ فِيهَا .  وَالثَّانِي : اخْتِصَاصُ الْأَضَاحِيِّ بِهَا .  وَالثَّالِثُ : إِبَاحَتُهَا فِي الْحَرَمِ وَالْإِحْرَامِ

An-Na’am adalah unta, sapi, dan kambing. As-syafi’I berkata: Na’am adalah delapan macam yang dinyatakan oleh firman Allah; (yaitu) delapan binatang yang berpasangan, sepasang domba, sepasang dari kambing. (Al-An’am; 143) dan dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. (Al-An’am; 143). Yakni jenis jantan dan betina. Maka syariat mengkhususkan delapan macam dari An-Na’am ini dengan tiga hukum, pertama: wajib dizakati, kedua: berkurban hanya dengannya, dan ketiga: boleh disembelih dalam tanah suci dan saat Ihram. (Al-Hawi Al-Kabir, vol 15, hlm 170)

Mengutamakan jantan daripada betina berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkurban dengan Kabsy (domba jantan) juga masih kurang kuat penunjukan maknanya karena masih mungkin bahwa hal itu terjadi karena kebetulan. Sebagaimana As-Shon’ani juga melemahkan dalam kitabnya Subulus Salam keutamaan berwarna putih berdasarkan lafadz Amlah (warna putih dominan) karena hal itu masih mungkin hanya sebagai kebetulan.

Terkait dengan urutan afdholiyyah (gradasi yang paling utama) hewan kurban, maka yang paling utama adalah unta, kemudian disusul sapi, lalu kambing, dan terakhir domba. Dalil yang menunjukkan adalah hadis berikut ini;

صحيح البخاري (3/ 396)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ

dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mandi pada hari Jum’at sebagaimana mandi janabah, lalu berangkat menuju Masjid, maka dia seolah berkurban seekor unta. Dan barangiapa datang pada waktu (saat) kedua maka dia seolah berkurban seekor sapi. Dan barangiapa datang pada waktu (saat) ketiga maka dia seolah berkurban seekor kambing yang bertanduk. Dan barangiapa datang pada waktu (saat) keempat maka dia seolah berkurban seekor ayam. Dan barangiapa datang pada waktu (saat) kelima maka dia seolah berkurban sebutir telur. Dan apabila imam sudah keluar (untuk memberi khuthbah), maka para Malaikat hadir mendengarkan dzikir (khuthbah tersebut).” (H.R.Bukhari)

Nabi menjelaskan keutamaan mendatangi shalat jumat pada waktu sedini mungkin dengan mengumpamakan pahala berkurban. Pahala terbesar adalah yang mendatang paling dini yang diumpamakan berkurban dengan unta, kemudian disusul waktu berikutnya yang diumpamakan berkurban dengan sapi dst. Karena itu hadis ini menunjukkan bahwa berkurban dengan unta pahalanya lebih besar daripada sapi, kambing, dst karena pahala berkurban untuk lebih besar daripada pahala berkurban sapi, kambing dst. Kambing lebih utama dari pada domba didasarkan pada hadis yang didalamnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan menyembelih Musinnah, dan baru mencari Jadza’ah domba jika tidak mendapati/sulit mendapati Musinnah.

Adapun pendapat yang menyatakan bahwa domba lebih utama daripada hewan kurban yang lain karena Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkurban dengan domba, maka hal ini belum menunjukkan keutamaan domba. Karena hal yang tidak dilakukan Nabi bukan berarti tidak lebih utama daripada yang dilakukan dengan bukti Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjelaskan puasa yang paling utama adalah puasa Dawud, namun beliau tidak melakukannya. Apalagi masih mungkin difahami bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkurban dengan domba karena harta yang ada pada beliau waktu itu hanya cukup untuk membeli domba, bukan sapi atau unta.

Adapun riwayat yang menyatakan bahwa domba adalah sebaik-baik hewan kurban yaitu riwayat yang berbunyi;

سنن أبى داود – م (3/ 171)

 حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنِى ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِى هِشَامُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ حَاتِمِ بْنِ أَبِى نَصْرٍ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ نُسَىٍّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « خَيْرُ الْكَفَنِ الْحُلَّةُ وَخَيْرُ الأُضْحِيَةِ الْكَبْشُ الأَقْرَنُ».

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih, telah menceritakan kepadaku Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Hisyam bin Sa’dan dari Hatim bin Abu Nashr dari ‘Ubadah bin Nusai dari ayahnya dari ‘Ubadah bin Ash Shamit dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Sebaik-baik kafan adalah hullah (pakaian yang terdiri dari jubah, sarung dan serempang), dan sebaik-baik kurban adalah domba yang bertanduk.” (H.R. Abu Dawud)

Riwayat ini tidak bisa menjadi Hujjah karena termasuk riwayat Dhoif. Di dalamnya ada perawi yang bernama Hatim bin Abi Nashr yang Majhul dan ayah ‘Ubadah bin Nusayy yang juga Majhul.

Diutamakan hewan kurban adalah yang gemuk, bertanduk dan yang paling sempurna. Allah berfirman;

{ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ} [الحج: 32]

Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (Al-Hajj; 32)

Ibnu Abbas menafsirkan sebagaimana dikutip As-Syaukani bahwa yang dimaksud mengagungkan syiar Allah adalah mempergemuk hewan kurban, membuatnya jadi bagus dan membuatnya jadi besar.

فتح القدير الجامع بين فني الرواية والدراية من علم التفسير (3/ 647)

وأخرج ابن أبي شيبة وابن جرير وابن المنذر وابن أبي حاتم عن ابن عباس { ومن يعظم شعائر الله } قال : الاستسمان والاستحسان والاستعظام

Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Jarir, Ibnu Al-Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas; Barangsiapa mengagungkan Syi’ar-Syi’ar Allah  beliau menafsirkan; yakni menggemukkan, membaguskan, dan membesarkan (Fathu Al Qodir, vol 3, hlm 647)

Sebagian ulama berpendapat bahwa hewan berwarna putih lebih afdhol daripada yang berwarna hitam didasarkan hadis Ahmad yang dihasankan Albani dan dipakai Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni. Ahmad meriwayatkan;

مسند أحمد (19/ 78)

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي ثِفَالٍ الْمُرِّيِّ عَنْ رَبَاحِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَمُ عَفْرَاءَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ دَمِ سَوْدَاوَيْنِ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id berkata; telah menceritakan kepada kami Abdul ‘Aziz bin Muhammad dari Abu Tsifal Al Murri dari Rabbah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Darah hewan kurban berwarna putih  lebih aku sukai dari darah dua hewan kurban yang berwarna  hitam.” (H.R.Ahmad)

Dengan demikian, syarat-syarat hewan kurban adalah tiga; berupa Bahimatul An’am, memenuhi usia minimal yang ditetapkan Syariat, dan bebas dari aib/cacat. Tentu saja syarat ini harus terpenuhi setelah kepemilikan sempurna atas hewan kurban tersebut dengan akad yang syar’i, bukan kepemilikan yang tidak sah seperti hasil mencuri, Ghashab, menipu, atau masih terkait dengan hak orang seperti hewan yang masih tergadai. Yang paling utama dikurbankan adalah unta, disusul sapi, lalu kambing, dan terakhir domba. Disunnahkan hewan kurban yang gemuk, bertanduk, dan dalam kondisi paling baik. Wallahua’lam.

 

Hukum Qurban Secara Patungan


Kurban secara iuran (patungan) dalam istilah fiqih disebut dengan istilah “isytirak”, yaitu berserikatnya tujuh orang untuk mengumpulkan uang guna membeli sapi atau unta, lalu mereka menyembelihnya sebagai kurban dan masing-masing berhak atas sepertujuh dari kurban itu. (‎Al Mufashshal fi Ahkam Al Udhhiyyah, hlm. 88).

Tidak mengapa berkurban unta dan sapi dengan cara patungan /iuran /ditanggung bersama  antara 2 orang, 3,5, 6 dan maksimal sampai 7 (tujuh) orang, tanpa membedakan apakah anggota yang berpatungan itu satu rumah ataukah berbeda rumah, memiliki hubungan kerabat  maupun tidak. Semuanya sah selama hewan yang dikurbankan adalah unta atau sapi. Adapun jika hewan yang dikurbankan adalah kambing, maka hanya boleh untuk satu orang dan tidak sah jika dengan cara patungan. Terkait orang yang diikutkan/diserikatkan  dalam pahala, maka tidak ada batasan. Boleh  tujuh orang, sepuluh, seratus, sampai tak terbatas.

Yang yang maksud dengan patungan berkurban di sini adalah kesepakatan sejumlah orang  untuk bersama-sama membeli hewan kurban, kemudian hewan tersebut disembelih atas nama  mereka dengan niat berkurban. Mereka membeli hewan kurban itu dengan harta masing-masing sehingga kepemilikan atas hewan kurban itu adalah kepemilikan bersama (الْمِلْكُ الْمُشْتَرَكُ). Jika yang melakukan patungan adalah 5 orang, maka kepemilikan hewan kurban bagi masing-masing anggota adalah 1/5 hewan kurban tersebut, jika yang berpatungan 6 berarti kepemilikan masing-masing 1/6, jika yang berpatungan 7 orang berarti kepemilikan masing -masing 1/7 dan seterusnya. Berkurban dengan cara patungan seperti ini adalah berkurban yang sah selama hewan yang dikurbankan adalah unta atau sapi, dan anggota yang berpatungan maksimal berjumlah 7 (tujuh). 

Dalil yang menunjukkan keabsahannya adalah hadis berikut ini;

صحيح مسلم (6/ 476)

عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ اشْتَرَكْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ كُلُّ سَبْعَةٍ فِي بَدَنَةٍ فَقَالَ رَجُلٌ لِجَابِرٍ أَيُشْتَرَكُ فِي الْبَدَنَةِ مَا يُشْتَرَكُ فِي الْجَزُورِ قَالَ مَا هِيَ إِلَّا مِنْ الْبُدْنِ وَحَضَرَ جَابِرٌ الْحُدَيْبِيَةَ قَالَ نَحَرْنَا يَوْمَئِذٍ سَبْعِينَ بَدَنَةً اشْتَرَكْنَا كُلُّ سَبْعَةٍ فِي بَدَنَةٍ

dari Ibnu Juraij telah mengabarkan kepadaku Abu Zubair bahwa ia mendengar Jabir bin Abdullah berkata; “Kami bersekutu bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam haji dan umrah, yakni tujuh orang berkurban seekor Badanah (unta  yang  disiapkan untuk kurban saat haji) atau seekor Sapi.” Kemudian seorang laki-laki bertanya kepada Jabir, “Bolehkah bersekutu dalam Jazur (unta yang sudah siap disembelih) sebagaimana bolehnya bersekutu dalam Badanah (unta  yang  disiapkan untuk kurban saat haji) atau sapi?” Jabir menjawab, “Jazur itu sudah termasuk Badanah.” Jabir juga turut serta dalam peristiwa Hudaibiyah. Ia berkata, “Di hari itu, kami menyembelih tujuh puluh ekor Badanah. Setiap tujuh orang dari kami bersekutu untuk kurban seekor Badanah.” (H.R.Muslim)

Hadis ini menunjukkan dengan jelas bahwa berkurban unta bisa dilakukan dengan patungan sampai dengan tujuh orang. Badanah bermakna unta yang disiapkan untuk dikurbankan dalam Haji, sedangkan Jazur bermakna unta yang disiapkan untuk disembelih. Setiap Badanah  mestilah Jazur.

Dalil yang lain adalah hadis berikut ini;

مسند أحمد (47/ 425)

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ شَرَّكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّتِهِ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَفِي الْبَقَرَةِ عَنْ سَبْعَةٍ

dari Hudzaifah berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menserikatkan  tujuh orang diantara kaum muslimin untuk satu ekor sapi saat beliau haji. (H.R.Ahmad)

Hadis ini juga cukup jelas menunjukkan bahwa sapi bisa dikurbankan dengan cara patungan sampai dengan tujuh orang.  Riwayat-riwayat lain yang menguatkan adalah hadis-hadis berikut ini;

صحيح مسلم (6/ 473)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ

dari Jabir bin Abdullah ia berkata; “Kami pernah menyembelih kurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di tahun perjanjian Hudaibiyah, untuk kurban seekor unta atau seekor sapi, kami bersekutu tujuh orang.” (H.R.Muslim)

صحيح مسلم (6/ 475)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَجَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَحَرْنَاالْبَعِيرَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ

dari Jabir bin Abdullah ia berkata; “Kami naik haji bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu kami menyembelih seekor unta untuk  tujuh orang yang bersekutu, dan seekor sapi juga hasil dari tujuh orang yang bersekutu.” (H.R.Muslim)

سنن أبى داود (7/ 473)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْبَقَرَةُ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْجَزُورُ عَنْ سَبْعَةٍ

dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Satu ekor sapi untuk tujuh orang, dan satu ekor unta untuk tujuh orang.” (H.R.Abu Dawud)

Semua riwayat-riwayat ini dan yang semakna dengannya,  menguatkan bahwa berkurban dengan cara patungan untuk hewan unta dan sapi sah secara Syar’i asalkan anggota yang berpatungan tidak melampaui jumlah tujuh.

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa berkurban dengan cara patungan adalah tidak sah dengan berargumen riwayat Ibnu Syihab berikut ini;

موطأ مالك (3/ 694)

عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّهُ قَالَ مَا نَحَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ إِلَّا بَدَنَةً وَاحِدَةً أَوْ بَقَرَةً وَاحِدَةً

dari Ibnu Syihab berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menyembelih untuk dirinya dan keluarganya kecuali satu ekor unta atau satu ekor sapi.” (H.R.Malik)

Maka pendapat ini perlu ditinjau ulang berdasarkan sejumlah argumen;

Pertama; hadis di atas adalah hadis lemah karena keterputusan sanad antara Ibnu Syihab dengan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Ibnu Syihab bukan shahabat, sehingga tidak mungkin meriwayatkan langsung dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Al-Istidzkar menegaskan bahwa hadis ini tidak sah dijadikan sebagai Hujjah

Kedua; dengan asumsi riwayat Ibnu Syihab tersebut di terima, perbuatan yang tidak dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak bermakna dilarangnya perbuatan tersebut, terlebih jika perbuatan tersebut jelas ditunjukkan dalam Sunnah Qouliyyah. Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak melakukan Dawud  atau puasa Tasu’a tetapi Sunnah Qouliyyah menunjukkan bahwa puasa Dawud adalah ma’ruf sebagaimana puasa Tasu’a maka Sunnah Qouliyyah tersebut wajib diamalkan

Ketiga; Nash-Nash Shahih menunjukkan  bolehnya berpatungan untuk berkurban sehingga informasi Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ atau shahabat berkurban dengan satu unta atau satu sapi tanpa berpatungan dengan yang lain tidak bermakna dilarangnya untuk berpatungan, tetapi maksimal hanya menunjukkan kondisi afdhol. Maksudnya, berkurban yang afdhol adalah satu uinta atau satu sapi untuk satu orang, dan boleh satu unta/sapi untuk beberapa orang maksimal sampai tujuh.

Imam An-Nawawi berkata terkait keabsahan berkurban dengan cara patungan sebagai berikut;

شرح النووي على مسلم (9/ 67)

في هذه الاحاديث دلالة لجواز الاشتراك في الهدى …. وأجمعوا على أن الشاة لا يجوز الاشتراك فيها وفي هذه الاحاديث أن البدنة تجزى عن سبعة والبقرة عن سبعة

Dalam hadis-hadis ini ada penunjukan makna bolehnya berpatungan dalam berkurban….para ulama  juga bersepakat bahwa kambing tidak boleh dikurbankan dengan cara patungan. Dalam hadis-hadis ini juga bisa difahami bahwa  unta sah untuk berkurban tujuh orang sebagaimana sapi juga sah untuk tujuh orang (Sayarah An-Nawawy ‘Ala Shohih Muslim, vol 9, hlm 67)

Sebagian ulama seperti Ishaq bin Rohawaih, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hazm, dan Al-‘Itroh berpendapat untuk unta jumlah maksimalnya adalah sepuluh berdasarkan riwayat berikut ini;

سنن الترمذى – مكنز (4/ 41، بترقيم الشاملة آليا)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ. فَحَضَرَ الأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِى الْبَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِى الْجَزُورِ عَشَرَةً

dari Ibnu Abbas berkata; “Suatu ketika kami bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Hari Raya Idul Adha tiba. Kami menyembelih seekor sapi untuk tujuh orang dan seekor unta untuk sepuluh orang.” (H.R.At-Tirmidzi)

Riwayat Ibnu Hibban berbunyi;

صحيح ابن حبان – ث (9/ 318)

عن ابن عباس قال : كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم في سفر قحضر النحر فاشتركنا في البقرة سبعة وفي البعير سبعة أو عشرة

Dari Ibnu Abbas beliau berkata; kami  bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam sebuah perjalanan. Kemudian tiba waktu penyembelihan. Maka kami berserikat tujuh orang untuk sapi dan tujuh atau sepuluh untuk unta. (H.R.Ibnu Hibban)

Riwayat Ahmad berbunyi;

مسند أحمد (4/ 287)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَ النَّحْرُ فَذَبَحْنَا الْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَعِيرَ عَنْ عَشَرَةٍ

dari Ibnu Abbas, ia berkata; “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah perjalanan, tibalah waktu berkurban, maka kami menyembelih seekor sapi untuk  tujuh orang dan seekor unta untuk  sepuluh orang.” (H.R.Ahmad)

Riwayat Ibnu Majah berbunyi;

سنن ابن ماجه (9/ 287)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَ الْأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِي الْجَزُورِ عَنْ عَشَرَةٍ وَالْبَقَرَةِ عَنْ سَبْعَةٍ

dari Ibnu Abbas dia berkata, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan, kemudian beliau mendatangi hewan kurban (menyembelih). Maka kami turut berkurban dengan seekor unta untuk sepuluh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang.” (H.R.Ibnu Majah)

Hadis riwayat Rofi’ bin Khodij dianggap menguatkan batasan maksimal 10 ini. Hadisnya berbunyi;

صحيح البخاري (8/ 420)

عَنْ عَبَايَةَ بْنِ رِفَاعَةَ عَنْ جَدِّهِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ مِنْ تِهَامَةَ فَأَصَبْنَا غَنَمًا وَإِبِلًا فَعَجِلَ الْقَوْمُ فَأَغْلَوْا بِهَا الْقُدُورَ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَ بِهَا فَأُكْفِئَتْ ثُمَّ عَدَلَ عَشْرًا مِنْ الْغَنَمِ بِجَزُورٍ

dari ‘Abayah bin Rifa’ah dari kakeknya, Rafi’ bin Khadij radliallahu ‘anhu berkata; “Kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Dzul Hulaifah dari Tihamah lalu kami mendapatkan kambing dan unta (sebagai harta rampasan perang). Lalu orang-orang bersegera  menyembelih hewan-hewan tersebut hingga memenuhi kuali besar. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan memerintahkan agar kuali tersebut ditumpahkan isinya. Kemudian Beliau membagi rata dengan menyamakan  sepuluh kambing sama dengan satu ekor unta. “. (H.R.Bukhari)

Riwayat-riwayat di  atas menyebut bahwa jumlah maksimal untuk patungan unta  bukan tujuh tetapi sepuluh, sehingga difahami anggota patungan maksimal adalah sepuluh orang bukan tujuh orang. Hanya saja Jumhur ulama memandang hadis-hadis yang menerangkan jumlah maksimal tujuh lebih kuat dari riwayat-riwayat ini, sehingga riwayat yang menerangkan jumlah maksimal sepuluh  dipandang ada masalah dari sisi ketelitian sebagian perawinya. As-Syaukani yang menshahihkan riwayat-riwayat yang menerangkan jumlah maksimal 10 orang (sebagaimana juga Al-Albani) berusaha mengkompromikan dengan menjelaskan; Jika unta itu disiapkan untuk kurban bagi orang yang berhaji (unta sebagai Al-Hadyu) maka jumlah maksimal yang boleh patungan adalah tujuh orang.  Adapun jika unta itu dikurbankan oleh selain yang berhaji (unta sebagai Udh-hiyah) maka jumlah maksimalnya adalah sepuluh orang.

Adapun ketidak bolehan patungan untuk berkurban jika hewannya adalah kambing, maka hal itu dikarenakan tidak ada Nash yang menunjukkan bolehnya patungan untuk kambing sebagaimana bolehnya patungan untuk hewan kurban berupa unta dan sapi. Nash yang ada, pelaksanaan kurban dengan kambing di masa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan shahabat adalah satu kambing untuk satu orang, tanpa patungan. At-Tirmidzi meriwayatkan;

سنن الترمذى (5/ 465)

عُمَارَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَال سَمِعْتُ عَطَاءَ بْنَ يَسَارٍ يَقُولُ سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ

كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ حَتَّى تَبَاهَى النَّاسُ فَصَارَتْ كَمَا تَرَى

Umarah bin Abdullah ia berkata; Aku mendengar Atha bin Yasar berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abu Ayyub Al Anshari, bagaimana kurban yang dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”, ia menjawab; “Seorang laki-laki menyembelih seekor kambing untuk dirinya dan keluarganya, mereka makan daging kurban tersebut dan memberikannya kepada orang lain. Hal itu tetap berlangsung hingga manusia berbangga-bangga, maka jadilah kurban itu seperti sekarang yang engkau saksikan (hanya untuk berbangga-bangga).” (At-Tirmidzi)

Dalil lain yang semakna;

صحيح البخاري (22/ 153)

 أَبُو عَقِيلٍ زُهْرَةُ بْنُ مَعْبَدٍ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ هِشَامٍ

وَكَانَ قَدْ أَدْرَكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَهَبَتْ بِهِ أُمُّهُ زَيْنَبُ بِنْتُ حُمَيْدٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ بَايِعْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ صَغِيرٌ فَمَسَحَ رَأْسَهُ وَدَعَا لَهُ وَكَانَ يُضَحِّي بِالشَّاةِ الْوَاحِدَةِعَنْ جَمِيعِ أَهْلِهِ

Abu Uqail Zuhraj bin ma’bad dari kakeknya, Abdullah bin Hisyam, yang mana dia pernah bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ibunya, Zainab binti Muhammad, pernah membawanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam dan berujar; ‘Wahai Rasulullah, tolong bai’atlah dia.’ Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “dia masih kecil!” Maka Nabi mengusap kepalanya. Adalah Abdullah bin Hisyam  menyembelih satu kambing untuk semua keluarganya. (H.R.Bukhari)

Jadi, tidak adanya Nash yang menunjukkan bahwa berkurban dengan kambing boleh dengan cara patungan, juga praktek yang dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ termasuk para shahabat yang tidak pernah berpatungan untuk berkurban kambing, sementara ibadah adalah Tauqifi, semuanya menunjukkan bahwa khusus untuk kambing tidak boleh berkurban dilakukan dengan cara patungan. Jika kurban kambing dilakukan dengan cara patungan, maka kurban tersebut tidak sah secara Syar’i.

Ini adalah penjelasan hukum berkurban dengan cara patungan oleh beberapa orang yang masing-masing mengeluarkan harta untuk memperoleh hewan kurban.

Adapun terkait dengan ketentuan jumlah orang yang boleh diikutkan untuk diharapkan mendapatkan pahala berkurban, maka ini tidak ada batasan lagi. Seseorang yang berkurban dengan unta, sapi atau kambing, baik sendirian maupun patungan dengan yang lain, boleh meniatkan orang-orang tertentu dengan harapan orang tersebut juga mendapatkan pahala berkurban sebagaimana dirinya. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah berkurban dengan niat mengikutsertakan keluarga dan umatnya agar mendapat pahala berkurban yang beliau lakukan. Imam Muslim meriwayatkan;
صحيح مسلم (10/ 149)

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِي سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ

dari ‘Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyuruh untuk diambilkan dua ekor domba bertanduk yang di kakinya berwarna hitam, perutnya terdapat belang hitam, dan di kedua matanya terdapat belang hitam. Kemudian domba tersebut di serahkan kepada beliau untuk dikurbankan, lalu beliau bersabda kepada ‘Aisyah: “Wahai ‘Aisyah, bawalah pisau kemari.” Kemudian beliau bersabda: “Asahlah pisau ini dengan batu.” Lantas ‘Aisyah melakukan apa yang di perintahkan beliau, setelah di asah, beliau mengambilnya dan mengambil domba tersebut dan membaringkannya lalu beliau menyembelihnya.” Kemudian beliau mengucapkan: “Dengan nama Allah, ya Allah, terimalah ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan ummat Muhammad.” Kemudian beliau berkurban dengannya.” (H.R.Muslim)

Permohonan beliau agar Allah menerima amal berkurban dari beliau dengan  menyertakan keluarganya dan umatnya menunjukkan beliau mengikut sertakan sejumlah orang dengan bilangan yang tak terbatas agar juga mendapat bagian pahala.

Riwayat yang senada dari Abu Dawud berbunyi;

سنن أبى داود – م (3/ 56)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِىَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِيَدِهِ وَقَالَ « بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى ».

dari Jabir bin Abdullah, ia berkata; saya menyaksikan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Shalat Adha di lapangan, kemudian tatkala menyelesaikan khutbahnya beliau turun dari mimbarnya, dan beliau diberi satu ekor domba kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyembelihnya, dan mengucapkan: “BISMILLAAHI WALLAAHU AKBAR, HAADZA ‘ANNII WA ‘AN MAN LAM YUDHAHHI MIN UMMATI” (Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, ini (kurban) dariku dan orang-orang yang belum berkurban dari umatku). (H.R.Abu Dawud)

Riwayat lain dari Ahmad berbunyi;

مسند أحمد (52/ 356)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ اشْتَرَى كَبْشَيْنِ عَظِيمَيْنِ سَمِينَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ مَوْجُوأَيْنِ فَيَذْبَحُ أَحَدَهُمَا عَنْ أُمَّتِهِ مِمَّنْ شَهِدَ بِالتَّوْحِيدِ وَشَهِدَ لَهُ بِالْبَلَاغِ وَذَبَحَ الْآخَرَ عَنْ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَآلِ مُحَمَّدٍ

dari Abu Hurairah, apabila Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ingin berkurban, beliau membeli dua kambing besar, gemuk, warna putihnya lebih dominan, bertanduk, dan gemuk. Beliau menyembelih salah satu dari keduanya untuk umatnya yang bersaksi akan keesaan Allah dan bersaksi bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah menyampaikan Risalah, dan beliau menyembelih yang lainnya untuk Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam dan keluarga Muhammad.” (H.R.Ahmad)

Riwayat-riwayat shahabat yang berkurban untuk dirinya dan juga keluarganya semuanya bermakna seperti ini, yaitu bukan patungan dalam berkurban, tetapi diserikatkan/diikutkan dalam niat berkurban dengan harapan mendapat bagian pahala berkurban. Setiap muslim boleh meniatkan orang lain mendapatkan pahala kurbannya tanpa dibatasi jumlah angka tertentu.

Atas dasar ini, boleh hukumnya berkurban dengan cara patungan selama hewan yang dikurbankan adalah unta dan sapi dengan jumlah maksimal anggota tujuh orang. Kambing tidak boleh dikurbankan dengan cara patungan, dan boleh meniatkan berkurban dengan mengikutkan orang lain dengan harapan mereka mendapat bagian pahala berkurban.

Kesimpulan:

1.Berkorban seekor sapi dapat dilakukan dengan cara patungan, baik untuk tiga orang, lima orang ataupun tujuh orang. Tidak boleh lebih dari tujuh orang yang berpatungan;

2. Adapun kurban seekor kambing, tidak disyariatkan dengan cara patungan, karena tidak ada contoh dari Nabi Saw maupun dari sahabat. Namun demikian, bila seseorang berkorban seekor kambing diniatkan untuk dirinya dan sejumlah anggota keluarganya, maka hal itu dipandang sah, berapapun jumlah anggota keluarganya. Hal ini telah dijelaskan berdasarkan amalan sejumlah sahabat.

3.Mengenai hadis tentang doa Nabi saat menyembelih hewan kurban dengan ucapan “bismillah wallahu akbar, ini adalah kurban dariku dan dari umatku yang tidak (mampu) menyembelih kurban (بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى), maka hadis ini merupakankhususiyah (hanya berlaku) bagi Nabi Saw, karena tidak seorang sahabat pun yang mengikuti/mengamalkannya. 

4.Sedangkan kegiatan berkorban yang dilaksanakan di sekolahan atau di kalangan tertentu dengan menyembelih seekor kambing untuk satu kelas, atau patungan beberapa orang, sungguhpun tidak sesuai syariat, namun hal itu boleh saja dilakukan untuk sekedar pembelajaran. Insya Allah tetap mendapatkan pahala sedekah.

5. Adapun kurban dengan cara arisan, boleh-boleh saja asal telah memenuhi syarat-syarat berkorban.

Wallahu a’lam bishshowab !

Hukum 'Aqiqoh Setelah Baligh


Tidak ada aqiqah setelah baligh. Aqiqah disyariatkan hanya untuk bayi, bukan untuk yang sudah baligh atau dewasa. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda;

مَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ‎

“Barangsiapa diantara kalian ada yang suka berkurban (mengaqiqahi) untuk anaknya, maka silakan melakukan. Untuk satu putra dua kambing dan satu putri satu kambing” (H.R.Ahmad)

Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menganjurkan Aqiqah dalam Hadis di atas, beliau menyebut Aqiqah itu adalah untuk walad (anak) dengan ketentuan anak lelaki (ghulam) du kambing sementara anak wanita (Jariyah) adalah satu kambing. Penyebutan istilah Ghulam, dan Jariyah adalah istilah untuk menyebut anak yang belum baligh.

Aqiqoh disyariatkan pada hari ke tujuh. Abu Dawud meriwayatkan;

سنن أبى داود (8/ 17)

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

“Dari Samurah bin Jundub bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Setiap anak digadaikan dengan Aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur dan diberi nama (H.R.Abu Dawud)

Aisyah berpendapat Aqiqah bisa dilaksanakan sampai maksimal hari ke 21. Ishaq bin Rohawaih meriwayatkan;

مسند إسحاق بن راهويه (3/ 692)

 أخبرنا يعلى بن عبيد نا عبد الملك عن عطاء عن أبي كرز عن أم كرز قالت قالت امرأة من أهل عبد الرحمن بن أبي بكر إن ولدت امرأة عبد الرحمن غلاما نحرنا عنه جزورا فقالت عائشة : لا بل السنة عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة يطبخ جدولا ولا يكسر لها عظم فيأكل ويطعم ويتصدق يفعل ذلك في اليوم السابع فإن لم يفعل ففي أربع عشرة فإن لم يفعل ففي إحدى وعشرين

“Dari Ummu Karz beliau berkata; Seorang wanita dari keluarga Abdurrahman bin Abubakar berkata;Jika istri Abdurrahman melahirkan seorang putra maka kita akan menyembelihkan untuknya seekor unta. Maka Aisyah berkata; tidak, tetapi sunnahnya adalah; untuk putra dua kambing yang setara dan untuk putri satu kambing. Dimasak dalam keadaan sudah dipotong-potong dan tidak dipatahkan tulangnya. Lalu dimakan, dibuat menjamu, dan dishodaqohkan. Hal itu dilakukan pada hari ke-7, jika tidak maka hari ke-14 jika tidak maka hari ke 21″ (Musnad Ishaq bin Rahawaih)

Seandainya Aqiqah setelah dewasa disyariatkan maka tidak ada gunanya memberikan batasan hari ketujuh, atau maksimal 21 dalam ijtihad Aisyah. Seharusnya pula ada riwayat shahih yang lugas menunjukkan disyariatkannya Aqiqah setelah baligh. Masalahnya, tidak ada satupun Nash shahih yang menunjukkan disyariatkannya Aqiqah setelah baligh, sehingga bisa dikatakan tidak ada kesunnahan melakukan Aqiqah setelah baligh sebagaimana tidak ada anjuran mengaqiqahi diri sendiri.

Adapun riwayat Al-Bazaar yang menyebutkan bahwa Nabi mengaqiqahi dirinya sendiri setelah masa kenabian, yaitu riwayat yang berbunyi;

مسند البزار (2/ 345)

 عَن أَنَس ؛ أَن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما بعث نبيا.

Dari Anas; Bahwasanya Nabi saw mengaqiqahi dirinya sendiri sesudah diutus menjadi Nabi (H.R.Al-Bazzar)

riwayat ini tidak bisa dijadikan sebagai Hujjah karena ada perawi yang bernama Abdullah bin Al-Muharror. Al-Bazzar mengatakan; dia Dhaif Jiddan (sangat lemah). An-Nawawi mengatakan; Hadis ini bathil, Al-Baihaqy menilainya Munkar.

Adapun pendapat yang menshahihkan Hadis ini dengan memakai riwayat At-Thobarony dalam Al-Mu’jam Al-Ausath atau yang semisal dengannya, yakni riwayat yang berbunyi;

المعجم الأوسط (1/ 298)

حدثنا أحمد قال حدثنا الهيثم قال حدثنا عبد الله عن ثمامة عن أنس : أن النبي عق عن نفسه بعد ما بعث نبيا

Ahmad memberitahu kami, beliau berkata; Al Haitsam memberitahu kami, beliau berkata: Abdullah memberitahu kami dari Tsumamah dari Anas: Bahwasanya Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diutus menjadi Nabi (H.R.At-Thobarony dalam Al-Mu’jam Al-Ausath)

Maka penilaian shahih itu tidak dapat diterima berdasarkan sejumlah argumen;

Pertama:

Di dalam Sanadnya ada perawi yang bernama Al-Haitsam. Al-Haitsam yang dimaksud dalam Sanad ini adalah Abu Sahl Al-Haitsam bin Jamil Al-Baghdady. Perawi ini, meskipun dikategorikan sebagai perawi adil, namun sejumlah ulama dan kritikus Hadis mengkritiknya dari sisi kedhobitannya. Ibnu Ady mensifatinya sebagai berikut;

تهذيب التهذيب (11/ 81)

ليس بالحافظ يغلط على الثقات وارجو انه لا يتعمد الكذب

“Bukan Hafidh, melakukan kekeliruan terhadap para perawi tsiqot, dan aku berharap dia tidak sengaja berdusta” (Tahdzib At-Tahdzib, vol 11, hlm 81)

Ibnu Hajar mengutip penilaian Abu Nu’aim Al-Ashbahany sebagai berikut;

تهذيب التهذيب (11/ 81)

وقال أبو نعيم الاصبهاني أنه…متروك

“Abu Nu’aim Al-Ashbahani berkata bahwa dia itu Matruk -ditinggalkan- (Tahdzib At-Tahdzib, vol 11, hlm 81)

Ad-Dzahaby mengatakan dalam Al-Mughni Fi Adh-Dhu’afa’;

المغني في الضعفاء (2/ 716)

الهيثم بن جميل حافظ له مناكير وغرائب

“Al-Haitsam bin Jamil: Hafidh, meriwayatkan sejumlah Hadis Munkar dan Ghorib” (Al-Mughni Fi Adh-Dhu’afa, vol 2, hlm 716)

Dari penilaian para kritikus Hadis di atas, bisa difahami bahwa problem Al-Haitsam bin Jamil bukanlah dari sisi keadilannya, namun dari sisi kedhobitannya yang disifati Ibnu ‘Ady melakukan kekeliruan periwayatan dari para perawi Tsiqot dan disifati Adz-Dzahaby meriwayatkan sejumlah Hadis Ghorib dan Hadis-Hadis yang bertentangan dengan perawi yang lebih Tsiqoh. Perawi dengan kualifikasi seperti ini sulit untuk dijamin keamanannya dari sisi kemungkinan kekeliruan menisbatkan, membalik, menukar, menambahi, mengurangi, dan semua cacat-cacat yang terkait dengan persoalan hafalan. Bukhari memilih tidak memasukkannya dalam Shahihnya, dan hanya memakainya dalam kitabnya Al-Adab Al-Mufrod dan itupun oleh Al-Albani riwayatnya dari Muhammad bin Muslim dari Ibnu Abi Husain tentang doa istighfar  didhoifkan. Imam Ahmad, meskipun memberikan statemen positif terhadap Al-Haitsam, namun terkait riwayat Abdullah bin Al-Muharror yang meriwayatkan Hadis bahwa Nabi mengaqiqohi dirinya sendiri setelah diangkat menajdi Nabi, Imam Ahmad menilainya sebagai Hadis Munkar. Hal ini tidak mungkin terjadi jika Imam Ahmad menerima riwayat Al-Haitsam terkait Hadis ini. Seandainya beliau memang menerima riwayat Al-Haitsam, seharusnya riwayat Al-Haitsam dijadikan penguat riwayat Abdullah bin Al-Muharror sehingga statusnya bisa naik menjadi Hadis Hasan atau Shahih, bukan Munkar. Diamnya imam Ahmad terhadap riwayat Al-Haitsam tidak bisa ditafsiri bahwa beliau menerimanya, namun justru lebih dekat jika ditafsiri bahwa beliau menolaknya karena beliau tidak menjadikannya sebagai Syahid (penguat).

Kedua;

Di dalam Sanadnya ada perawi yang bernama Abdullah. Abdullah di sini yang dimaksud adalah Abdullah bin Al-Mutsanna bin Abdillah bin Anas bin Malik. Perawi ini level kedho'ifannya lebih perlu mendapat catatan daripada sebelumnya. 

Burhanuddin Abu Al-Wafa Al-Halaby dalam kitabnya Al-Ighthibath menukil penilaian Abu Dawud;

الاغتباط بمن رمي من الرواة بالاختلاط (ص: 326)

 محمد بن عبد الله بن المثنى الأنصاري قال أبو داود تغير تغيرا شديدا

“Muhammad bin Abdillah bin Al-Mutsanna al-Anshory, Abu Dawud mengomentarinya: berubah (hafalannya) secara drastis” (Al-Ighthibath Biman Rumiya min Ar-Ruwat bi Al-Ikhthilath, hlm 326)

Dalam kitab Ikmal Tahdzib Al-Kamal dinukil penilaian Abu Salamah;

إكمال تهذيب الكمال (8/ 163)

وفي كتاب أبي الفرج البغدادي قال أبو سلمة: كان ضعيفا في الحديث.

“dalam Kitab Abu Al-Faroj Al-Baghdady: Abu Salamah berkata: Beliau itu Dhoif dalam Hadis (Ikmal Tahdzib Al-Kamal, vol 8, hlm 163)

Dalam kita tersebut juga dinukil ucapan Al-Uqoily;

إكمال تهذيب الكمال (8/ 163)

وفي كتاب العقيلي: لا يتابع على أكثر حديثه، وقال أبو سلمة: ضعيف منكر الحديث

“Dalam kitab Al’Uqoily: mayoritas Hadisnya tidak disertai Mutaba’at.  Abu salamah berkata: Dho’if, Munkarul Hadits” (Ikmal Tahdzib Al-Kamal, vol 8, hlm 163)

Ibnu Hajar menukil ucapan An-Nasai;

تهذيب التهذيب (5/ 339)

ابن المثنى بن عبدالله …وقال النسائي ليس بالقوي

Ibnu Al-Mutsanna bin Abdillah….An-Nasa’I menilai: Tidak kuat” (Tahdzib At-Tahdzib, vol 5, hlm 339)

Juga ucapan Ibnu Hibban;

تهذيب التهذيب (5/ 339)

ابن المثنى بن عبدالله …وذكره ابن حبان في الثقات وقال ربما اخطأ

Ibnu Al-Mutsanna bin Abdillah….Ibnu Hibban menyebutkannya dalam barisan perawi Tsiqot dan menilainya: kadang-kadang melakukan kesalahan (Tahdzib At-Tahdzib, vol 5, hlm 339)

Juga sikap Abu Dawud;

تهذيب التهذيب (5/ 339)

ابن المثنى بن عبدالله …وقال الآجري عن أبي داود لا أخرج حديثه

Ibnu Al-Mutsanna bin Abdillah….Al Ajurry meriwayatkan Abu Dawud mengatakan; Saya tidak meriwayatkan Hadisnya (Tahdzib At-Tahdzib, vol 5, hlm 339)

Juga riwayat lain tentang ucapan Ibnu Ma’in;

تهذيب التهذيب (5/ 339)

ابن المثنى بن عبدالله …وقال ابن أبي خيثمة عن ابن معين ليس بشئ

Ibnu Al-Mutsanna bin Abdillah….Ibnu Abi Khoitsamah meriwayatkan dari Ibnu Ma’in yang menilainya: Bukan apa-apa –tidak bisa jadi tumpuan-  (Tahdzib At-Tahdzib, vol 5, hlm 339)

Juga ucapan As-Sajy;

تهذيب التهذيب (5/ 339)

ابن المثنى بن عبدالله …

وقال الساجي فيه ضعف لم يكن من اهل الحديث روى مناكير وبنحوه قال الازدي

Ibnu Al-Mutsanna bin Abdillah….As-Sajy berkata: beliau memiliki kelemahan, bukan termasuk Ahli Hadis, dan meriwayatkan sejumlah riwayat Munkar. Al-Azdy berpendapat senada (Tahdzib At-Tahdzib, vol 5, hlm 339)

Dari keterangan para kritikus Hadis di atas, bisa difahami bahwa problem Abdullah bin Al-Mutsanna juga terkait dengan kedho'ifan. Beliau dihitung lemah dari sisi kedho'ifan, meriwayatkan sejumlah Hadis-Hadis Munkar, mayoritas Hadisnya tidak dikuatkan dengan Mutabi’at dan bahkan dikatakan As-Sajy bukan ahli Hadis. Perawi  yang dijelaskan sebab kelemahannya lebih layak dinilai lemah daripada yang mentsiqohkannya.

Ketiga;

Sejumlah ahli Hadis menegaskan bahwa Abdullah bin Al-Muharror bertafarrud (bersendirian) dalam meriwayatkan Hadis berAqiqohnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  setelah diutus menjadi Nabi. Al Bazzar mengatakan;

مسند البزار (2/ 345)

 وحديثا عَبد الله بن محرر لا نعلم رواهما أحد ، عَن قَتادة ، عَن أَنَس غيره وهو ضعيف الحديث جِدًّا ، وَإنَّما يكتب من حديثه ما ليس عند غيره.

Dua Hadis Abdullah bin Al-Muharror ini, kami tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkannya dari Qotadah dari Anas selain dia. Dia sendiri sangat lemah. Dia adalah orang yang tidak lebih ditulis darinya Hadis yang tidak ada pada selainnya (Musnad Al-Bazzar)

Ibnu Al-Qoisarony memasukkan Hadis ini dalam kumpulan Hadis-Hadis Ghorib pada kitabnya Athrof Al-Ghoroib Wa Al-Afrod. Beliau juga menukil ucapan Syu’bah;

أطراف الغرائب والأفراد (2/ 159)

قال أبو قتادة هذا أفادناه شعبة عن هذا الشيخ يعني عبد الله عن قتادة وقال: ليس يروي هذا الحديث غيره

Abu Qotadah berkata: Ini adalah apa yang dinyatakan oleh Syu’bah tentang Syaikh ini, yakni Abdullah (bin Al Muharror) dari Qotadah. Beliau mengatakan; tidak ada yang meriwayatkan Hadis ini selain dia (Athrof Al-Ghoro-ib wa Al-Afrod, vol 2, hlm 159)

Al-Baihaqi telah menegaskan bahwa tidak ada jalur selain jalur Abdullah bin Al Muharror dari Qotadah dari Anas yang bisa dijadikan Hujjah. Artinya jalur Al-Haitsam bin Jamil juga tidak bisa dijadikan sebagai Hujjah. Al-Baihaqi berkata;

السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (9/ 300)

وَقَدْ رُوِىَ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْ قَتَادَةَ وَمِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْ أَنَسٍ وَلَيْسَ بِشَىْءٍ.

“Telah diriwayatkan dari jalur yang lain dari Qotadah, dan dari jalur yang lain dari Anas, dan itupun bukan apa-apa –tidak bisa jadi tumpuan- (As-Sunan Al-Kubro)

Di antara Qorinah-Qorinah lain yang menunjukkan kelemahan Hadis berAqiqoh setelah baligh adalah;

Pertama; Aisyah berfatwa bahwa waktu Aqiqoh maksimal adalah hari ke 21, bukan tanpa batasan. Seandainya memang ada syariat Aqiqoh setelah baligh, seharusnya tidak ada batasan waktu maksimal Aqiqoh. Adalah suatu hal yang sulit diterima jika aisyah tidak tahu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ,mengaqiqohi dirinya sendiri padahal beliau tinggal serumah dengan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam waktu yang lama dan bergaul rapat dengan Nabi.  Dan juga merupakan hal yang sulit diterima jika Aisyah berfatwa dengan sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan nabi,

Kedua;

Tidak ada riwayat Shahabat mengaqiqahi dirinya sendiri setelah masa tua, padahal mereka adalah kaum yang sangat haus dan bersemangat menjalankan Sunnah. Tidak ada riwayat Abubakar, tidakpula Umar, tidak pula Utsman dan tidak pula Ali. Hal ini menjadi hal yang aneh mengingat  Aqiqoh hukumnya sunnah Muakkadah, dan sebagaian ulama malah memandangnya sebagai kewajiban

Ketiga;

Riwayat Aqiqoh setelah dewasa bertentangan dengan riwayat-riwayat yang lebih shahih dan lebih kuat bahwa Aqiqoh disyariatkan untuk bayi pada hari ke tujuh, bukan untuk orang dewasa.

Sejumlah ulama Hadis telah melemahkan riwayat bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  mengaqiqohi dirinya setelah diangkat menajdi Nabi. Diantaranya adalah Al-Bazzar. Al-Bazzar mengatakan;

مسند البزار (2/ 345)

 وحديثا عَبد الله بن محرر لا نعلم رواهما أحد ، عَن قَتادة ، عَن أَنَس غيره وهو ضعيف الحديث جِدًّا ، وَإنَّما يكتب من حديثه ما ليس عند غيره.

Dua Hadis Abdullah bin Al-Muharrorini,  kami tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkannya dari Qotadah dari Anas selain dia. Dia sendiri sangat lemah. Dia adalah orang yang tidak lebih ditulis darinya Hadis yang tidak ada pada selainnya (Musnad Al-Bazzar)

Termasuk pula Al-Baihaqy;

السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (9/ 300)

وَقَدْ رُوِىَ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْ قَتَادَةَ وَمِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْ أَنَسٍ وَلَيْسَ بِشَىْءٍ.

“Telah diriwayatkan dari jalur yang lain dari Qotadah, dan dari jalur yang lain dari Anas, dan itupun bukan apa-apa –tidak bisa jadi tumpuan- (As-Sunan Al-Kubro)

Termasuk pula Ibnu Al-Qoisarony;

معرفة التذكرة (ص: 115)

 إن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما بعثه الله :  فيه عبد الله بن محرر هو متروك الحديث

Hadis; Sesungguhnya Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diutus Allah, di dalamnya terdapat Abdullah bin Al-Muharror dan dia Matrukul Hadits (Ma’rifah At-Tadzkiroh, hlm 115)

Termasuk pula An-Nawawi, bahkan beliau menilainya sebagai Hadis bathil;

المجموع شرح المهذب (8/ 431)

وأما) الحديث الذي ذكره في عق النبي صلى الله عليه وسلم عن نفسه فرواه البيهقي باسناده عن عبد الله ابن محرر بالحاء المهملة والراء المكررة عن قتادة عن أنس ان النبي صلى الله عليه وسلم (عق عن نفسه بعد النبوة) وهذا حديث باطل

Adapun Hadis yang disebutkan terkait Nabi Saw yang mengaqiqahi dirinya sendiri, maka Al-Baihaqy meriwayatkannya dari Abdullah bin Al-Muharror –dengan huruf Ha’ dan Ro’ yang diulang- dari Qotadah dari Anas yang lafadznya: bahwasanya Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri setelah jadi Nabi”. Dan ini adalah Hadis Bathil (Al majmu’ Syarah Al-Muhadz-Dzab, vol 8, hlm 431)

Termasuk pula Ibnu Al-Mulaqqin;

البدر المنير في تخريج الأحاديث والأثار الواقعة في الشرح الكبير (9/ 339)

رُوِيَ «أنَّه – صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم – [ عق ] عَن نَفسه بعد النُّبُوَّة» .

هَذَا الحَدِيث رَوَاهُ الْبَيْهَقِيّ فِي «سنَنه» من حَدِيث عبد الله بن مُحَرر – بالراء الْمُهْملَة المكررة فِي آخِره – عَن قَتَادَة ، عَن أنس «أَن النَّبِي – صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم – عق عَن نَفسه بعد النُّبُوَّة» . وَهُوَ حَدِيث ضَعِيف بِمرَّة

Diriwayatkan bahwasanya Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri setelah jadi nabi. Hadis ini diriwayatkan Al-Baihaqy dalam Sunannya dari Hadis Abdullah bin Al-Muharror –dengan memakai huruf Ro’ yang didobelkan pada akhir kata- dari Qotadah dari Anas dengan lafadz; bahwasanya Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri setelah jadi nabi”. Ini adalah Hadis yang sangat lemah.

Termasuk pula Ibnu Hajar Al-‘Asqolany;

فتح الباري – ابن حجر (9/ 595)

وكأنه أشار بذلك إلى أن الحديث الذي ورد أن النبي صلى الله عليه و سلم عق عن نفسه بعد النبوة لا يثبت وهو كذلك

Seakan-akan beliau memberi isyarat bahwa Hadis yang menyatakan bahwa Nabi Saw mengaqiqahi dirinya sendiri setelah menjadi Nabi adalah tidak shahih, dan memang benar demikian-bahwa Hadis itu tidak Shahih- (Fathu Al-Bary, vol 9, hlm 595)

Terkait tuduhan bahwa ucapan Ibnu Hajar dalam hal ini adalah kontradiktif, karena dalam kalimat lain Ibnu Hajar menyebut riwayat Al-Haitsam sebagai riwayat yang Qowiyyu Al-Isnad (kuat Sanadnya), maka tuduhan ini  tidak bisa diterima. Sikap Ibnu Hajar sudah jelas, yakni menilai Hadis itu tidak Shahih. Statemen Qowiyyul Isnad tidak bisa difahami bahwa Hadis tersebut selalu bisa dijadikan Hujjah karena kondisi Sanad belum menunjukkan kualitas Hadis secara final. Sanad yang shahih saja, bisa jatuh status Hadisnya menjadi Hadis Syadz yang terkategori Hadis lemah, jika matannya bertentangan dengan perawi yang lebih kuat, apalagi ungkapan Qowiyyul Isnad yang lebih rendah dari Shohihul Isnad karena bisa jatuh menjadi Hadis Munkar.  Lagi pula Ibnu Hajar menjelaskan sebab kenapa statemen Qowiyyul isnad itu belum cukup menunjukkan keshahihan Hadis, yakni karena adanya faktor Abdullah bin Al-Mutsanna. Ibnu Hajar setuju bahwa Abdullah bin Al-Mutsanna termasuk bertafarrud dalam Hadis ini sehingga tidak bisa diterima riwayatnya. Berikut pernyataan Ibnu Hajar yang menunjukkan bahwa beliau tidak menshahihkan riwayat Al-Haitsam karena faktor Abdullah bin Al-Mutsanna;

فتح الباري – ابن حجر (9/ 595)

فلولا ما في عبد الله بن المثنى من المقال لكان هذا الحديث صحيحا لكن قد قال بن معين ليس بشيء وقال النسائي ليس بقوي وقال أبو داود لا أخرج حديثه وقال الساجي فيه ضعف لم يكن من أهل الحديث روى مناكير وقال العقيلي لا يتابع على أكثر حديثه قال بن حبان في الثقات ربما أخطأ ووثقه العجلي والترمذي وغيرهما فهذا من الشيوخ الذين إذا انفرد أحدهم بالحديث لم يكن حجة

“seandainya bukan karena faktor Abdullah bin Al-Mutsanna yang diperbincangkan, niscaya Hadis ini Shahih. Masalahnya, Ibnu Ma’in telah menilainya; Dia bukan apa-apa. An-Nasai menilai; Tidak kuat. Abu Dawud bersikap: Aku tidak meriwayatkan Hadis darinya. As-Saji menilai; Dia memiliki kelemahan, bukan termasuk Ahli Hadis, dan meriwayatkan sejumlah riwayat Munkar. Al-Uqoili mengatakan; Mayoritas Hadisnya tidak dikuatkan dengan Mutaba’at. Ibnu Hibban menilainya dalam kitab Ats-Tsiqot; kadang-kadang melakukan kesalahan. Al-‘Ijly dan At-Tirmidzi mentsiqohkannya. Jadi, orang ini adalah termasuk Syaikh yang jika meriwayatkan Hadis secara sendirian maka dia tidak bisa menjadi Hujjah (Fathu Al-Bari, vol 9, hlm 595)

Demikian pula kritikan terhadap Ibnu Hajar yang memutlakkan kelemahan Abdullah bin Al-Mutsanna jika meriwayatkan Hadis secara bertafarrud, yakni dikritik; Seharusnya tidak boleh dimutlakkan karena Bukhari menerima riwayat Abdullah bin Al-Mutsanna jika meriwayatkan dari pamannya Tsumamah. Kritikan ini bisa dijawab; Bukhari memiliki syarat-syarat ketat, yang mana ketika menerima riwayat Abdullah bin Al-Mutsanna tidak mungkin beliau menerima riwayat orang yang diperbincangkan dari sisi kedho'ifan yang bertafarrud. Sudah diketahui bahwa Bukhari sangat perhatian dalam penguatan Sanad, yang mana Bukhari sering mengulang Hadis dengan maksud diantara fungsinya adalah menguatkan Sanad.

Termasuk klaim bahwa Abdullah bin Al-Mutsanna tidak bertafarrud karena ada Mutaba’ah dari Isma’il bin Muslim. Klaim ini tidak bisa diterima karena Isma’il bin Muslim sudah dijelaskan sendiri oleh Ibnu Hajar sebagai perawi Dhoif. Tingkat kekacauan Isma’il bin Muslim dalam menukil perawi cukup besar sehingga analisis dugaan Ibnu Hajar yang menduga riwayat nabi mengaqiqohi dirinya saat sudah diangkat jadi utusan itu ia dapatkan melalui  hasil mencuri  dari Abdullah bin Al-Muharror lebih kredibel untuk dipercaya. Ibnu Hajar menukil ucapan Sufyan terkait Isma’il bin Muslim;

تهذيب الكمال (3/ 201)

عن إسحاق بن أبي إسرائيل سمعت سفيان يقول وذكر إسماعيل بن مسلم فقال كان يخطئ في الحديث جعل يحدث فيخطئ أسأله عن الحديث من حديث عمرو بن دينار فلا يدري

Dari Ishaq bin Abi Isroil: Aku mendengar Sufyan mengatakan saat disebut Isma’il bin Muslim: dia melakukan kesalahan dalam Hadis. Dia meriwayatkan Hadis dan melakukan kesalahan. Aku menanyakan kepadanya tentang sebuah Hadis dari Hadis ‘Amr bin Dinar dan dia tidak tahu juga. (Tahdzib Al-Kamal, vol 3, hlm 201)

Ibnu Hajar menukil ucapan Abu Ahmad bin ‘Ady;
تهذيب الكمال (3/ 204)

وقال أبو أحمد بن عدي أحاديثه غير محفوظة عن أهل الحجاز والبصرة والكوفة إلا أنه ممن يكتب حديثه

Abu Ahmad bin ‘Ady menilai; Hadis-Hadisnya dari penduduk Hijaz, Bashroh, dan Kufah  tidak Mahfudh. Namun, Hadisnya boleh ditulis (Tahdzib Al-Kamal, vol 3, hlm 204)

Ibnu Hajar juga menukil ucapan Ibnu Hibban;

تهذيب التهذيب (1/ 289)

وقال ابن حبان كان فصيحا وهو ضعيف يروى المناكير عن المشاهير ويقلب الاسانيد

Ibnu Hibban mensifati: dia fasih namun Dhoif, meriwayatkan sejumlah Hadis-Hadis Munkar dari perawi-perawi Masyhur dan membolak-balik Sanad (Tahdzib At-Tahdzib, vol 1, hlm 289)

Dari penilaian sejumlah kritikus Hadis di atas, tampaklah bahwa Isma’il bin Muslim adalah perawi yang sungguh bermasalah dalam meriwayatakan Hadis dari sisi kedhobitan. Dia dikenal meriwayatkan Hadis-Hadis Munkar dari perawi-perawi masyhur, tidak bisa dipegang riwayat-riwayatnya dari penduduk Hijaz, Bashroh, dan Kufah, dan memebolak-balik Sanad. Bagaimana bisa perawi yang reputasinya dalam membolak-balik Sanad sudah dikenal dijadikan Mutaba’ah?

Oleh karena itu, benarlah Ibnu Hajar yang tidak menajdikan Isma’il bin Muslim sebagai Mutaba’ah dan tetap menilai riwayat Al-Haitsam sebagai Hadis yang lemah.

Dari sini, jelaslah, bahwa ulama-ulama besar Hadis dari berbagai masa telah menilai dhoif Hadis yang meriwayatkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengaqiqohi dirinya setelah diangkat menjadi Nabi. Para ulama-ulama Hadis besar ini bukanlah ulama yang tidak mengetahui jalur Al-Haitsam bin Jamil, namun justru karena kedalaman mereka terhadap ilmu Hadis dan penyelidiakan mereka yang teliti, justru ksimpulan akhirnya adalah riwayat Al-Haitsam termasuk riwayat yang lemah sebagaimana riwayat Abdullah bin Al-Muharror sehingga tidak bisa dijadikan sebagai Hujjah. Dari sisi kredibilitas, ulama-ulama terdahulu ini jauh lebih mumpuni dan krdibel dalam hal pengalaman menyeleksi dan menilai Hadis, sehingga penilaiannya lebih layak dijadikan tumpuan.

Terkait riwayat bahwa Ibnu Sirin, Qotadah, dan Al-Hasan Al-Bishry yang berpendapat bahwa Aqiqoh boleh dilakukan setelah baligh, maka ucapan manusia bukanlah dalil. Jika ucapan shahabat saja bukan dalil, tentu lebih utama selain shahabat tidak dipertimbangkan.

Dengan asumsi bisa diterimapun, Aqiqoh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ masih bisa difahami bentuk kekhususan beliau dengan bukti tidak ada shahabat yang meneladaninya.

Atas dasar ini, tidak ada Aqiqoh setelah baligh. Aqiqoh hanya untuk bayi. Waktu yang paling afdhol adalah hari ketujuh. Wallahu a'lam

Jika Luput dari Hari Ketujuh

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa akikah jadi gugur jika luput dari hari ketujuh.

Ulama Hambali berpendapat bahwa jika luput dari hari ketujuh, akikah dilaksanakan pada hari ke-14, jika tidak pada hari ke-21.

Sedangkan ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa akikah masih jadi tanggung jawab ayah hingga waktu si anak baligh. Jika sudah dewasa, akikah jadi gugur. Namun anak punya pilihan untuk mengakikahi diri sendiri. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 30: 279.

Penulis kitab Mughnil Muhtaj, Asy Syarbini rahimahullah berkata, “Jika telah mencapi usia baligh, hendaklah anak mengakikahi diri sendiri untuk mendapati yang telah luput.” (Mughnil Muhtaj, 4: 391).

Akikah Ketika Dewasa

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hukum akikah adalah sunnah mu’akkad. Akikah bagi anak laki-laki dengan dua ekor kambing, sedangkan bagi wanita dengan seekor kambing. Apabila mencukupkan diri dengan seekor kambing bagi anak laki-laki, itu juga diperbolehkan. Anjuran akikah ini menjadi tanggung jawab ayah (yang menanggung nafkah anak). 

Apabila ketika waktu dianjurkannya akikah (misalnya tujuh hari kelahiran, pen), orang tua dalam keadaan fakir (tidak mampu), maka ia tidak diperintahkan untuk akikah. Karena AllahTa’ala berfirman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian” (QS. At Taghobun: 16). Namun apabila ketika waktu  dianjurkannya akikah, orang tua dalam keadaan berkecukupan, maka akikah masih tetap jadi perintah bagi ayah, bukan ibu dan bukan pula anaknya.” (Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, kaset 214, no. 6)

Kesimpulan

Kesimpulan dari penulis, akikah ketika dewasa tidak perlu ada dengan alasan:
1- Akikah jadi gugur ketika sudah dewasa.
2- Mengakikahi diri sendiri tidaklah perlu karena tidak ada hadits yang mendukungnya, ditambah akikah menjadi tanggung jawab orang tua dan bukan anak.
3- Jika ingin mengakikahi ketika dewasa, maka tetap jadi tanggungan orang tua. Dilihat apakah saat kelahiran, orang tua dalam keadaan mampu ataukah tidak. Jika tidak mampu saat itu, maka tidaklah perlu ada akikah karena akikah tidaklah bersifat memaksa. Jika mampu saat itu, maka hendaklah orang tua menunaikan akikah untuk anaknya.

Pendapat Ulama Mengenai Mengakikahi Diri Sendiri setelah dewasa

Dalam madzhab Syafi’i, penulis kitab Fathul Qorib, Muhammad bin Qosim Al Ghozzi berkata, “Akikah tidaklah luput jika diakhirkan setelah itu. Jika akikah diakhirkan hingga baligh, maka gugurlah tanggung jawab akikah dari orang tua terhadap anak. Adapun setelah baligh, anak punya pilihan bisa untuk mengakikahi dirinya sendiri.”

Beberapa ulama menganjurkan mengakikahi diri sendiri seperti Ibnu Sirin dan Al Hasan Al Bashri. Ibnu Sirin berkata,
لو أعلم أنه لم يعق عني لعققت عن نفسي

“Seandainya aku tahu bahwa aku belum diakikahi, maka aku akan mengakikahi diriku sendiri.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf, 8: 235-236. Sanadnyashahih kata Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 2726).
Al Hasan Al Bashri berkata,
إذا لم يعق عنك ، فعق عن نفسك و إن كنت رجلا

“Jika engkau belum diakikahi, maka akikahilah dirimu sendiri jika engkau seorang laki-laki.” (Disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 8: 322. Sanadnya hasan kata Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 2726)

Imam Malik rahimahullah berpendapat tidak perlunya mengakikahi diri sendiri. Imam Malik berkata, “Tidak perlu mengakikahi diri sendiri karena hadits yang membicarakan hal tersebut dho’if. Lihatlah saja para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum diakikahi di masa jahiliyah, apakah mereka mengakikahi diri mereka sendiri ketika telah masuk Islam? Jelaslah itu suatu kebatilan.” (Al Mudawanah Al Kubro karya Imam Malik dengan riwayat riwayat Sahnun dari Ibnu Qosim, 5: 243. Dinukil dari Fathul Qorib, 2: 252).

Penulis lebih cenderung dengan alasan yang dikemukakan oleh Imam Nawawi bahwa tidak perlu mengakikahi diri sendiri. Alasan penulis menguatkan pendapat ini:
1- Hadits yang membicarakan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam mengakikahi diri sendiri adalah hadits dho’if (lemah).
2- Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum diakikahi di masa jahiliyah, tidak mengakikahi diri mereka sendiri ketika telah masuk Islam.
3- Akikah menjadi tanggung jawab orang tua dan bukanlah anak.
4- Hukum akikah menurut jumhur (mayoritas) ulama adalah sunnah dan bukanlah wajib.
Wallahua’lam.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...