Rabu, 25 November 2020

Hukum Musik Dan Nyanyian


Islam merupakan sekumpulan aturan sebagai petunjuk bagi umatnya untuk menjalani kehidupan ini. Sehingga setiap laku manusia pasti ada hukumnya termasuk menciptakan atau mendengarkan musik. Musik adalah sebuah karya seni tempat mencurahkan hasil olah cipta rasa dan karsa. Oleh karenanya tentu ada hukumnya.
Definisi Seni
”Seni adalah  keindahan. Ia merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam manusia didorong oleh kecenderungan seniman kepada yang indah, apa pun jenis keindahan itu. Dorongan tersebut merupakan naluri manusia atau fitrah yang dianugrahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Di sisi lain al-Qur’an memperkenalkan agama yang lurus sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Sebagaimana firman Allâh,

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ  ذَلِكَ الدِّيْنُ اْلقَيِّمُ وَلاَكِنَّ أَكْثَرَالنَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ (۳۰)
 
”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. al-Rûm [30]: 30)
Merupakan suatu hal yang mustahil, bila Allah menganugerahkan manusia potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan, kemudian Dia melarangnya. Bukankah Islam adalah agama fitrah? Segala yang bertentangan dengan fitrah ditolaknya, dan mendukung kesuciannya ditopangnya. Kemampuan berseni merupakan salah satu perbedaan manusia dengan makhluk lain. Jika demikian, Islam pasti mendukung kesenian selama penampilan lahir dan mendukung fitrah manusia yang suci itu, dan karena itu pula Islam bertemu dengan seni dalam jiwa manusia, sebagaimana seni ditemukan oleh jiwa manusia di dalam Islam.
Tetapi mengapa selama ini ada kesan bahwa Islam menghambat perkembangan seni dan memusuhinya? Jawabannya boleh jadi ilustrasi berikut. Diriwayatkan bahwa Umar Ibn al-Khaththab pernah berkata, ”Umat Islam meninggalkan dua pertiga dari transaksi ekonomi karena khawatir terjerumus ke dalam haram –riba-.” ucapan ini benar adanya, dan agaknya ia juga dapat menjadi benar jika kalimat ”transaksi ekonomi” diganti dengan ”kesenian”. Boleh jadi  problem yang paling menonjol dalam hubungan dengan seni budaya dan Islam, sekaligus kendala utama kemajuannya adalah kekhawatiran tersebut.
Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama).

Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya. Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan.

Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:
Berdasarkan firman Allah, “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwa al-hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Q.S. Luqmân [31]: 6). 

Beberapa ulama menafsirkan maksud “lahwa al-hadits” ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud. Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Q.S. al-Najm [53]: 59-61; dan Q.S. al-Isrâ’ [17]: 64.
Hadits Abu Malik al-Asy’ari r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-Ma’azif).” (H.R. Bukhari)
Hadits Aisyah r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. (HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih).
Hadits dari Ibnu Mas’ud r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” (HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf).
Hadits dari Abu Umamah r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Orang yang bernyanyi, maka Allah S.W.T. mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).”
Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:
Firman Allah S.W.T., “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
Hadits dari Nafi’ r.a. katanya, aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar r.a. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah s.a.w.” (HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi).
Ruba’i Binti Mu’awwidz bin Afra berkata, Nabi s.a.w. mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata, “Di antara kita ada Nabi s.a.w. yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi s.a.w. bersabda, “Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” (HR. Bukhari)
Dari Aisyah r.a. dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah s.a.w. bersabda, “Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” (HR. Bukhari).
Dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata, “Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah s.a.w.)” (HR. Muslim)
Musik adalah nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga  mengandung irama, lagu dan keharmonisan. Musik telah lama dikenal manusia dan digunakan untuk berbagai keperluan selain hiburan, seperti pengobatan, mengobarkan semangat, bahkan menidurkan bayi.

Tinjauan Hukum

Tinjauan hukum nyanyian dan musik dari sudut Islam, bagi kaum Muslimin bahwa Syari’at Islam itu mempunyai koridor / batasan-batasan mana yang boleh dan mana yang terlarang terhadap suatu acara Hiburan. Jangan sampai seorang Muslim menganggap bahwa acara-acara Hiburan itu tidak ada kaitannya sama sekali (dikotomi) dengan dien (agama); karena anggapan yang demikian itu adalah dianggap  Sekulerisme.

I. Hukum tentang Nyanyian dan Musik

Bila diadakan penelitian, mungkin hanya segelintir orang saja yang tidak suka dengan Nyanyian dan Musik. Marilah kita coba telusuri status perkara “Nyanyian dan Musik” (yang di zaman sekarang ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai “gaya hidup modern”) apabila ia ditinjau dari Syari’at Islam berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Rosulullah   yang shohiihah serta berdasarkan pemahaman 3 generasi terbaik ummat Islam yang telah mendapat rekomendasi langsung dari Rosulullah sendiri, yakni: para Sahabat, At Taabi’in, dan Taabi’ut Taabi’in. Merekalah 3 (tiga) generasi yang dikatakan Rosulullah sebagai “sebaik-baik manusia”.

Allah berfirman dalam QS. At Taubah (9) ayat 100:

وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ 

Artinya :“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allooh ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”

Kemudian dalam Hadits Riwayat Al Imaam Al Bukhary no: 2652 dan Al Imaam Muslim no: 6635, dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata bahwa Rosulullah bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Artinya :“Sebaik-baik manusia adalah (orang yang hidup) pada masaku ini 
(yaitu generasi Sahabat), kemudian yang sesudahnya (generasi At Taabi’iin), kemudian yang sesudahnya (generasi Taabi’ut Taabi’iin).”

Dengan demikian kita dapat mengetahui hakekat perkara “Nyanyian dan Musik” secara benar, berdasarkan Iman dan ‘Ilmu; bukan diatas hawa nafsu, emosi serta ‘ashobiyyah yang merupakan ciri-ciri orang yang Jaahil dan Taqlid. Oleh karena ciri orang beriman itu adalah senantiasa memiliki sikap “sami’na wa atho’na” terhadap dalil yang didasarkan atas pemahaman yang benar dari kalangan Pendahulu Ummat yang shoolih. Bukan diatas hawa nafsu orang-orang di zaman sekarang yang notabene mereka itu tidak mendapat rekomendasi sebagai “calon surga” ataupun “generasi terbaik”, sebagaimana Pendahulu Ummat yang shoolih mendapatkan rekomendasi itu langsung dari Allah  dan Rosul-Nya.

Apabila kaum Muslimin hendak mengetahui kebenaran, maka carilah kebenaran itu dari orang yang “sudah pasti jaminannya” dari Allah dan Rosul-Nya, jangan mengambil ‘ilmu (dien) dari orang-orang yang mengutamakan hawa nafsu atau orang-orang yang berbicara tanpa ‘ilmu; karena sikap yang demikian itu hanya akan membawanya pada kesesatan.

Allah berfirman dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 285:

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
 
Artinya :“Rosuul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allooh, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rosuul-rosuul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rosul-rosul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami ta`at”. (Mereka berdo`a): “Ampunilah kami ya Robb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali”.

Juga firman-Nya dalam QS. Al Mu’minuun (23) ayat 71 :

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ

Artinya :“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Bahkan Kami telah memberikan peringatan kepada mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu.”

Sebelum memulai bahasan tentang Nyanyian dan Musik, hendaknya kita meletakkan landasan yang benar dalam memandang kehidupan kita di dunia ini terlebih dahulu, yakni bahwa:

1) Setiap Muslim semestinya menyadari bahwa hidupnya di dunia ini adalah serius, bukan perkara main-main belaka.

Jikalau seorang Muslim memahami ‘aqiidah ini, maka ia akan menyadari bahwa kehidupannya di dunia ini bukan untuk tertawa-tawa, bukan untuk bermain-main serta banyak menghibur diri belaka; tetapi hidupnya di dunia ini adalah sesuatu perkara yang serius yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah. Adakah ia tergolong orang yang beriman ataukah orang yang kafir.

Allah  berfirman dalam QS. Al Qiyamah (75) ayat 36 sebagai berikut:

أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى

Artinya : “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung-jawaban)?”

Hidup ini adalah untuk mujaahadah, untuk mengabdi sesuai dengan kehendak Allooh Robbul ‘alamiin; dan bukan sekedar sesuai selera, kepuasan serta kesenangan diri semata-mata.

Allah berfirman dalam QS. Adz Dzaariyat (51) ayat 56:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”

2) Setiap Muslim hendaknya sadar bahwa hidup di dunia yang fana ini adalah merupakan jembatan baginya menuju kehidupan akhirat yang abadi kelak.

Bila hal ini tidak disadari oleh seorang Muslim, maka tidak aneh jika kehidupannya itu tidak jauh berbeda dengan kehidupan hewan. Hewan itu rotasi kehidupannya hanya sekedar memenuhi pencariannya atas materi antara lain berupa makanan–minuman–tempat tinggal–bermain-main, lalu mencari pasangan (jantan / betina) untuk melepas syahwat serta beranak-pinak. Setelah materi itu didapatnya, maka dinikmatinya lah sampai kenyang, lalu tidurlah dia, dan apabila bangun dan sudah lapar lagi, maka dicarinyalah lagi materi itu. Demikian terus-menerus rotasi kehidupan hewan.

Apabila seorang Muslim hanya mempunyai tujuan sebatas mencari materi berupa makanan, minuman, rumah / tempat tinggal, kesenangan duniawi, mencari pasangan hidup dan memiliki keturunan belaka; maka apa beda kehidupannya dengan kehidupan hewan?

Agar tidak menjadi demikian; hendaknya kita menjadikan apa yang dituntunkan oleh Allah dan Rosul-Nya sebagai bagian dari kehidupan kita, yaitu jadikanlah dunia ini sebagai ladang untuk hari akherat kelak. Ladang adalah tempat kita menanam, tempat dimana kita berusaha agar tanaman yang kita tanam itu dapat tumbuh dengan subur dan baik. Jadi dunia ini hanyalah tempat bagi kita untuk menanam amalan-amalan yang shoolih agar ketika kita mati kelak maka kita akan menuai balasan kebajikan sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah  dan Rosuul-Nya. Berarti bukan di dunia ini balasannya, melainkan kelak di hari akherat lah kita berharap balasan tersebut dari Allah.

Allah berfirman dalam QS. Al Hadiid (57) ayat 20:

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Artinya : “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allooh serta keridhoan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”

Juga sebagaimana dikatakan oleh Ali bin Abi Tholib (yang dapat kita temui dalam Shohiih Al Bukhoory, Kitab “Ar Riqooq” Bab ke-4. “Fii Al Amaali Wa Thuulihii”) :

وَقَالَ عَلِيٌّ ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ ، وَلاَ حِسَابَ وَغَدًا حِسَابٌ ، وَلاَ عَمَلَ

Artinya :“Dunia pergi membelakangi, sedangkan akhirat datang menyambut, dan bagi masing-masingnya ada anak-anak (pecinta)-nya. Maka jadilah kalian termasuk ahli akhirat dan jangan menjadi ahli dunia. Hari ini (kehidupan dunia) adalah tempat beramal, bukan hisab; dan besok (kiamat) hanyalah ada hisab, tidak ada amal.”

3) Tuntunan Rosulullah itu harus dihidupkan, didzohirkan di muka bumi dan disemarakkan.

Di zaman ini, Sunnah Rosulullah justru terasing ditengah-tengah kaum Muslimin itu sendiri. Hal ini akibat merebaknya kejaahilan (kebodohan) kaum Muslimin atas ‘ilmu dien. Maka janganlah aneh kalau orang-orang kaafir tahu bagaimana mengeksploitasi titik-titik kelemahan manusia itu, lalu membidiknya secara tepat dengan menyajikan berbagai perkara yang memang disukai hawa nafsu dan syahwat manusia.

Laki-laki suka perempuan, maka disuguhkanlah wanita-wanita yang semakin hari dihias semakin cantik (tabarruj) dan diberikanlah mode-mode yang semakin terbuka aurotnya untuk meruntuhkan iman laki-laki. Manusia suka bersantai-santai, bermalas-malasan, terbuai dengan syahwat dan kenikmatan; maka diberilah berbagai perkara seperti musik, nyanyian-nyanyian yang melalaikan, khamr, dan lain sebagainya.

Namun dibalik semua itu, ada misi tersembunyi untuk meruntuhkan ‘aqiidah dan akhlaq kaum Muslimin. Maka bila kaum Muslimin itu sendiri lengah, dan tidak sadar-sadar juga; jangan heran kalau kemudian kaum Muslimin menjadi kalah dan harus menyerah. Na’uudzu billaahi min dzaalik.

Setelah memahami tiga perkara diatas, marilah kita perhatikan berbagai dalil berkenaan dengan “Nyanyian dan Musik” berikut ini:

Dalil berupa Ayat-Ayat Al Qur’an

1) Perhatikan firman Allah dalam QS. Al Israa’ (17) ayat 64 :

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِم بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي الأَمْوَالِ وَالأَوْلادِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلاَّ غُرُوراً
 
Artinya : “Dan perdayakanlah siapa saja diantara mereka yang engkau (iblis) sanggup dengan suaramu (yang memukau), dan kerahkanlah terhadap mereka, pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki, dan bersekutulah dengan mereka pada harta dan anak-anak lalu beri janjilah kepada mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaithoon kepada mereka melainkan tipuan belaka.”

Al Imaam Ibnu Katsir didalam Kitab Tafsiir-nya Jilid 9 halaman 40 mengatakan:

“Dan perdayakanlah siapa saja diantara mereka yang engkau (iblis) sanggup, dengan suaramu (yang memukau) – maknanya adalah Nyanyian (Al Ghinaa).”

Al Imaam Mujaahid bin Jabr, seorang ‘Ulama Ahlus Sunnah dari kalangan Taabi’iin (beliau hidup setelah masa Sahabat) mentafsirkan kata “bishoutika” (بِصَوْتِكَ) sebagai Al Ghinaa wal Mazamir (nyanyian dan seruling), dan ayat tersebut menurut beliau adalah berkenaan dengan Laghwun wa Ghinaa (sesuatu yang melalaikan dan Nyanyian). Sehingga sepertiga awal ayat itu (Nyanyian, seruling dan sesuatu yang melalaikan / lahwun) bila dikaitkan dengan sepertiga ayat terakhirnya adalah tergolong “Apa yang dijanjikan oleh Syaithoon, yang tidak lain hanyalah merupakan suatu tipudaya”.

Demikianlah tafsiir QS. Al Israa’ (17) ayat 64 menurut para ‘Ulama Ahlus Sunnah.

Kata orang zaman sekarang, bahwa musik itu menjadikan dirinya tenang, tentram dan puas. Bahkan sampai ada pernyataan bahwa menyiapkan bayi cerdas itu adalah dengan memperdengarkan alunan musik dekat kandungan ibunya. Padahal itu semua tidak lain hanyalah tipudaya syaitan. Semestinya, seorang wanita Muslimah itu justru banyak membaca ayat-ayat Al Qur’an dan mentadaburrinya ketika ia mengandung. Adapun perasaan tenang –tentram–puas ketika mendengarkan alunan musik itu justru merupakan perangkap syaithoon untuk mengalihkan manusia dari mendengarkan firman Allah. Seorang yang beriman itu tidak mungkin bisa ia merasa tenang–tentram–puas–bahagia dengan cara berma’shiyat kepada Allah. Hatinya justru akan tenang dan tentram bila ia berdzikir.

Hal ini adalah sebagaimana firman Allah  dalam QS. Ar Ro’d (13) ayat 28:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Artinya :“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan berdzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan berdzikir (mengingat) Allah-lah hati menjadi tenteram.”

2) Perhatikan firman Allah  dalam QS. Luqman (31) ayat 6:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
 
Artinya :“Tidak halal mengajari para penyanyi wanita, tidak boleh pula menjualnya, dan uang hasil penjualannya adalah Haram. Pada mereka lah Allah turunkan ayat: “Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna” (Wa minannaasi man yasytarii lahwal haditsi / وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ).”

Betapapun Al Imaam Ibnu Katsir men-dho’if-kan Hadits ini karena Ali bin Yazid, dan gurunya yaitu Al Qosim bin ‘Abdurohman, dan perawi darinya bernama ‘Ubaidullah bin Zahr semuanya adalah dho’iif.

Kemudian Al Imaam Ibnu Katsiir membawakan perkataan Al Imam Adh Dhohaaq  tentang “Wa minannaasi man yasytarii lahwal hadiitsi” (وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ), yang mana beliau (Al Imam Adh Dhohaaq) mengartikannya sebagai syirik.

Dimana penafsiran ini juga ditafsirkan oleh ‘Abdurrohman bin Zaid bin Aslaam.

Sedangkan Ibnu Jariir  mengartikannya sebagai “Setiap perkataan yang menghalangi manusia dari ayat Allah dan dari mengikuti jalan-Nya”.

Sampai disini adalah apa yang dapat disimpulkan dari tafsir Al Imam Ibnu Katsiir  dari QS. Luqman (31) ayat 6 ini.

Dengan demikian, maksud Hadits Abi Umamah  diatas adalah bahwa mengajari menyanyi, mengajari musik dan lagu, menyelenggarakan pertunjukan musik dan lagu, menjualnya sehingga orang-orang pun menikmatinya, lalu ia memperoleh keuntungan daripada penjualannya tersebut; maka itu adalah Harom.

Dan jelaslah pula bahwa yang dimaksud sebagai “Yasytari lahwal hadiitsi” (يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ) dalam ayat tersebut juga adalah membeli Al Qiyaan (para biduanita / penyanyi perempuan) dan Al Mughanni (para penyanyi laki-laki).

Kata “Yasytari” (يَشْتَرِي) artinya adalah ‘membeli’, yaitu mendapatkan sesuatu dengan membayar sebagai imbalannya. Maksud “membeli” dalam hal ini contohnya adalah membayar karcis untuk mendengarkan dan menonton pertunjukan lagu-lagu nyanyian, konser-konser musik (music concerts), atau membeli kaset-kaset lagu / piringan hitam, dan sejenisnya. Itulah yang dimaksud dengan “membeli” biduan dan biduanita.

Berarti ayat itu turun berkaitan dengan larangan Nyanyian. Hal ini dikarenakan manusia mengganti Al Qur’an dengan nyanyian dan seruling serta alat-alat musik yang lainnya. Al Qur’an ditinggalkan, sementara nyanyian dan musik dijadikan sebagai bagian dari kehidupannya.

Lalu ayat tersebut diakhiri dengan kalimat “Liyudhilla ‘an sabiilillaahi bi ghoiri ‘ilmin” (لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ), yang maknanya adalah: untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah  tanpa ilmu.

Sebagian orang di zaman ini ada yang berdalih dengan menyatakan bahwa nyanyian yang didengarnya itu adalah “Nyanyian Islami”. Yang patut direnungkan oleh orang tersebut adalah adakah ia dapat memahami Al Islam dari suatu nyanyian? Tentu tidak. Bila ia jujur pada dirinya maka ia akan mengakui bahwa yang lebih membekas dalam dirinya sebenarnya adalah dentingan nada-nada musik yang didengarnya; dan tidaklah ia bisa memahami tafsiir Al Qur’an melalui suatu nyanyian, tidaklah ia bisa memahami Al Hadiits melalui suatu nyanyian, dan tidaklah pula ia bisa memahami Hukum-Hukum / Syari’at Allah  melalui suatu nyanyian / musik.

Al Imaam Ibnu Katsiir  didalam Kitab Tafsiir-nya banyak menukil dari para ‘Ulama Ahlus Sunnah terdahulu dari kalangan Shohabat dan Tabi’iin yang pemahamannya terhadap ayat-ayat Al Qur’an adalah lebih jernih dan lebih bersih, karena mereka itu adalah berasal dari Generasi Terbaik Ummat yang merupakan kader-kader didikan langsung Rosulullah.

Berbeda dengan ‘Ulama-‘Ulama zaman sekarang yang tidak mendapat rekomendasi dari Rosulullah sebagai “sebaik-baik manusia”, yang mana pemahamannya terhadap suatu ayat telah berpotensi tercampur oleh Hawa Nafsunya. Oleh karena itu Al Imaam Ibnu Katsiir  tidak menukil dari ‘Ulama-‘Ulama zaman sekarang.

Dari Shohabat ‘Abdullooh bin Abbas, yang muridnya antara lain adalah Ikrimah, beliau menterjemahkan “Lahwal Hadiitsi” (لَهْوَ الْحَدِيثِ) sebagai “Al Ghinaa’u Wa Asbaabuhu” (الغناء وأسبابه),yaitu: Nyanyian dan yang sejenisnya.

Ada lagi dengan sanad yang lain dari Shohabat ‘Abdullooh bin Abbas رضي الله عنه, bahwa maksudnya adalah: Al Ghinaa Wanahwuuhu (الغناء ونحوه), yaitu: Nyanyian dan yang sejenis dengannya.

Juga Al Ghinaa Wa Al Istima’ ilaihi (الغناء والاستماع إليه), yaitu Nyanyian dan yang mendengarkan nyanyian.

Adapun dari Shohabat Jaabir bin ‘Abdillaah, beliau mengatakan bahwa yang dimaksud “Lahwal Hadiitsi” (لَهْوَ الْحَدِيثِ) adalah “Al Ghinaa Wal Istima’u Ilaihi” (الغناء والاستماع إليه), yaitu: Nyanyian dan yang mendengarkan nyanyian. Sama dengan penafsiran diatas. Kemudian beliau  juga menjelaskannya sebagai Al Ghinaa Wa Kullu Lahwin (الغناء كله لغو), yaitu: Nyanyian dan setiap sesuatu yang melalaikan.

Sedangkan Shohabat ‘Abdullooh bin Mas’uud, beliau mengatakan bahwa:

الغناء ينبت النفاق في القلب
 
Artinya : “Nyanyian dan musik itu menumbuhkan kemunafikan di hati orang“.

Perkataan beliau tersebut adalah sebagaimana dinukil oleh Al Imaam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah  dalam Kitab “Ighotsaatul Lahafan”.

Kemudian ‘Ulama Ahlus Sunnah lainnya yakni Ibrohiim An Nakhoo’i dalam Kitab “Adduur Al Mantsuur”, beliau  juga mengatakan perkataan yang sama seperti ‘Abdullooh bin Mas’uud  diatas.

Munaafiq itu bukan saja berarti orang yang bermuka-dua, akan tetapi juga meninggalkan sholat Shubuh dan Sholat ‘Isya berjama’ah tanpa udzur yang syar’ie, seperti yang disabdakan oleh Rosulullah  dalam Hadits Riwayat Al Imaam Muslim no: 651, dari Shohabat Abu Hurairah :

أَثْقَلُ الصَّلاَةِ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَصَلاَةُ الْفَجْرِ, وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا, َلأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا, وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ الْمُؤَذِّنَ فَيُؤَذِّنَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُوْنَ الصَّلَاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ
 
Artinya :“Sholat yang paling berat atas orang munaafiq adalah shalat ‘Isya’ dan sholat Shubuh. Seandainya mereka mengetahui (keutamaan) yang ada pada keduanya, niscaya mereka menghadirinya, meski dengan merangkak. Sungguh aku berkeinginan untuk memerintahkan sholat, lalu ia ditegakkan, kemudian aku perintahkan seseorang mengimami manusia, kemudian aku pergi bersama sekelompok orang yang membawa beberapa ikat kayu mendatangi kaum yang tidak mengerjakan sholat (berjama’ah), lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.”

Maka di zaman sekarang, orang yang menonton pertunjukan / konser musik, lalu misalnya ia meninggalkan / tidak sholat ‘Isya berjama’ah, maka yang demikian itu adalah bagian dari Nifaq (kemunafikan).

Kata beliau (‘Abdullah bin Mas’uud) selanjutnya bahwa: “Nyanyian merupakan ruqyatuzzina”.

Jadi, nyanyian dan musik itu dapat menggiring manusia kearah zina, campur aduknya laki-laki dan perempuan, seperti contohnya: dalam pertunjukan / konser-konser musik, dunia gemerlap (dugem/night-club), dunia joget; semuanya itu dari awal hingga akhirnya adalah zina. Zinanya mata karena saling memandang antar laki-laki dan perempuan yang bukan mahromnya, zinanya telinga karena mendengarkan musik dan nyanyian, zinanya kaki dan tangan dengan berjoget mengikuti alunan musik. Apalagi bila redaksi nyanyian itu ada yang bernada pornography, mengajak kepada perbuatan ma’ksiyat dan sejenisnya.

Hal ini adalah sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imam Muslim no: 2657, dari Shohabat Abu Hurairoh, bahwa Rosulullah bersabda :

كُتِبَ على بن آدَمَ نَصِيبُهُ من الزِّنَا، مُدْرِكٌ ذلك لا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذلك الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

Artinya :“Telah ditentukan atas setiap anak Adam bagiannya dari perbuatan zina, ia pasti melakukannya. Zina kedua mata adalah dengan memandang, zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan, zina lisan adalah dengan berbicara, zina kedua tangan adalah dengan menggenggam, dan zina kedua kaki adalah dengan melangkah, sedangkan hati berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluan mempraktekkan keinginan untuk berzina itu ataukah menolaknya.”

Al Imam Ibnu Katsiir berkata pula, bahwa yang disebut “Lahwal Hadiitsi” (لَهْوَ الْحَدِيثِ) itu termasuk alat musik yang dipukul, misalnya : genderang (drum).

Sangat disayangkan di negeri kita Indonesia, bahkan ada sekolah-sekolah Islam yang menyelenggarakan Drumband sebagai pelajaran ekstrakurikuler-nya.

Kalau kita teruskan lagi, dalam Tafsir Al Imaam Ibnu Katsiir  sebagai kelanjutan dari penjelasan beliau tentang QS. Luqman (31) ayat 6 diatas, maka beliau ketika menerangkan firman Allah  “Wa yattahidzuhaa huzuwaa” (وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً), beliau menukil perkataan Al Imam Mujaahid  yang mengatakannya sebagai: “Dan menjadikan jalan Allah  sebagai olok-olok dan ejekan.”

Sedangkan Qotaadah  mengatakannya sebagai, “Ayat Allah  (dijadikan) sebagai olok-olok.”

Qotaadah Ibnu Da’amah As Sadusi juga mengatakan bahwa yang disebut “Lahwal Hadiitsi” (لَهْوَ الْحَدِيثِ) itu adalah: Seseorang membeli permainan dan kebatilan. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al Imaam As Suyuthi dalam Kitab “Adduurul Mantsuur”

Bahkan Al Imaam Mujaahid  berkata bahwa “Lahwal Hadiitsi” (لَهْوَ الْحَدِيثِ) itu adalah: Nyanyian dan Setiap permainan yang melalaikan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Tafsiir ‘Abdur Rozaaq Ash Shon‘aany.

“Setiap permainan yang melalaikan” berarti ini lebih umum lagi, bukan hanya sekedar nyanyian dan musik saja.

Demikianlah pemahaman para ‘Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah dari kalangan Sahabat dan Tabi’in yang merupakan generasi didikan terdekat dari Rosulullah  berkenaan dengan Hukum Nyanyian dan Musik.

Berbeda dengan kita kaum Muslimin di Indonesia yang hidup di zaman sekarang, yang pola hidupnya kebanyakan berkiblat ke Barat dan ke Timur, yang notabene kebanyakan orang-orang Indonesia (bahkan sejak sebelum zaman kemerdekaan) itu belajarnya ke negeri Belanda–Amerika–Inggris– Perancis bahkan ke Cina ; yang semua itu adalah negeri-negeri sekuler, bahkan komunis, atheis dan kapitalis. Sehingga wajar lah jika teori-teori yang berkembang kebanyakan berasal dari orang-orang yang tidak beriman kepada Allah. Maka, ketika disampaikan Wahyu dari Allah  dan Rosul-Nya  berdasarkan pemahaman yang benar dari kalangan Shohabat dan Taabi’iin berkenaan dengan Hukum Nyanyian dan Musik, maka tidak jarang orang Indonesia yang merasa aneh atau keberatan, karena hal itu diluar dari apa yang mereka pelajari selama ini.

Tetapi dengan mengambil ‘ilmu dien dari “pintu-ilmu” yang benar seperti contohnya dari Tafsiir Ibnu Katsiir (yang seringkali juga disebut Tafsiir Klasik) ini, yang merupakan Kitab Tafsiir Al Qur’an yang banyak dijadikan pedoman oleh ummat Islam (antara lain oleh madzab Asy Syaafi’iy yang kebanyakan dianut oleh kaum Muslimin di Indonesia); maka diharapkan kejanggalan / perasaan aneh tersebut dapat ditepis.

Apalagi Kitab Tafsiir Ibnu Katsiir adalah salah satu kitab tafsiir terbaik karena ia mentafsirkan ayat Al Qur’an dengan satu atau lebih ayat Al Qur’an lainnya. Bila tidak memungkinkan, maka ditafsirkan dengan Hadits Rosulullah  yang shahih. Jika tidak ditemukan Hadits yang menjelaskannya, maka ditafsirkan dengan ucapan Shohabat yang telah menerima Al Qur’an langsung dari Rosulullah  secara bacaan maupun pemahaman, dimana mereka itu lah yang mengetahui makna-makna, maksud-maksud dan rahasia-rahasianya, karena kedekatan mereka dengan Rosulullah. Jika ucapan Shohabat tidak ditemukan, maka dengan ucapan Taabi’iin. Dan terakhir adalah ditafsirkan dengan menggunakan kaidah Bahasa Arab.

Sebagai tambahan, ‘Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah lainnya yakni Al Imaam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah didalam Kitabnya “Ighotsah Al-Luhfan” Jilid 1 halaman 350 mengatakan, “Hendaknya diketahui bahwa jika rebana, penyanyi wanita, dan nyanyian sudah berkumpul maka mendengarnya adalah Haram menurut semua Imam mazhab dan selain mereka dari para ‘Ulama kaum muslimin.”

Beliau juga berkata, “Asy-Syaafi’iy dan murid-murid seniornya serta orang-orang yang mengetahui mazhabnya, termasuk dari ‘Ulama yang paling keras ibaratnya dalam hal ini (terhadap pengharoman nyanyian dan musik - pent).”

3) Perhatikan firman Allah  dalam QS. Al Furqon (25) ayat 72 :


وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

Artinya :“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”

Al Imaam Ibnu Katsiir didalam Kitab Tafsiir-nya menyebutkan bahwa Muhammad Al Hanafiyah mengatakan bahwa “Azzuur” (الزُّورَ) yang dimaksudkan dalam QS. Al Furqon (25) ayat 72 itu adalah perkara yang melalaikan dan Nyanyian.

Sedangkan orang-orang yang dimaksudkan dalam ayat ini yang disebut dengan ‘Abdullah dan ‘Ibadurrohman, maka mereka itu adalah hamba Allah yang patuh beribadah. Mereka itu apabila melewati lahwun (perkara yang tidak berfaedah / tidak berguna) maka mereka tidak mau menyaksikan / mendengarkannya dan diantara perkara yang lahwun adalah Nyanyian.

Sedangkan didalam Tafsiir Ath Thobari, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “Azzuur” (الزُّورَ) adalah Nyanyian. Dijelaskan bahwa hukum asal dari “Azzuur” adalah menghias, memperindah sesuatu sehingga tidak sesuai dengan aslinya. Dan termasuk dalam perkara tersebut adalah Nyanyian, karena diperindah suaranya sehingga menawan pendengarnya.

Di dalam Kitab Tafsiir Ath Thobari, ketika menafsirkan “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu” {وَالّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزّورَ}, maka Al Imam Mujaahid berkata, “(yaitu) orang-orang yang tidak mendengarkan Nyanyian {لا يسمعون الغِناء}.”

Dalil berupa Hadiits-Hadiits

1) Rosulullah  bersabda dalam suatu Hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhary dalam Shahih-nya no: 5268, dari Sahabat Abu Maalik Al Asy’ary  sebagai berikut:

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
 
Artinya : “Akan dijadikan halal oleh ummatku emas, sutera, khamr dan Al Ma’aazif.”

Sebagian orang men-dho’if-kannya karena menganggap hadits tersebut adalah hadits mu’allaq (tergantung), padahal telah diwashulkan (disambungkan) oleh Al Imaam Ath Thobronyه serta dishahih-kan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany  dalam Kitab “Tahriim Allaati Ath Thorbi”. Dengan demikian Hadits ini memiliki banyak penguat.

Dalam bahasa Arab, kalau orang mendengar kata ‘Aazif, maka artinya adalah: Alat musik dan penyanyinya.

Al Imam Ibnu Hibban, Al Imam Isma’iily, Al Imam Ibnush Sholah, Al Imam Ibnu Hajar Al Asqolany, Al Imam Ibnu Taimiyah, Al Imam Ibnul Qoyyim, Al Imam Ash Shon’aany dan para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dalam Hadits diatas adalah Musik dan Nyanyian.

“Akan dijadikan halal oleh ummatku…..” sebagaimana dikatakan dalam Hadits Shohiih diatas itu menjelaskan bahwa dahulunya di masa Rosulullah Al Ma’aazif (musik, alat musik) itu adalah Harom; namun ummat Islam di zaman kita inilah yang menganggapnya halal.

Al Imam Ibnu Hajar Al Asqolany dalam Kitabnya Fathul Bari, yang merupakan penjelas dari Kitab Shohiih Imaam Al Bukhoory, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “Al Ma’aazif” dalam Hadits ini adalah:

1) Alat-alat Lahwun, yakni sesuatu yang tidak berfaedah dalam pandangan Syar’ie atau dalam pandangan Wahyu.

2) Dan dikatakan juga bahwa makna lain dari “Al Ma’aazif” adalah Aswat ‘alaa Malaahi, yaitu suara yang tidak ada faedahnya atau tidak terpuji.

3) Makna ketiga, adalah: Duf (rebana) dan selainnya yang dipukul (antara lain : genderang, drum, dll), yang selanjutnya dikenal sebagai Nyanyian.

Kata “Al Ma’aazif” yang kita kenal dalam Hadits tersebut adalah berkaitan dengan sabda Rosuulullsh dalam Hadits Riwayat Al Imam Al Bukhoory no: 5590, dari Sahabat Abu Maalik Al Asy’ary :

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ

“Layakununna min ummati aqwaamun yastahillun”.

Artinya :“Akan terjadi pada ummatku dimana mereka menghalalkan yang Haram”.

“Yastahillun” dalam ilmu Shorof bermakna “Menghalalkan”. Kalimat “Menghalalkan”, bisa dipahami dengan dua perkara:
- Pertama: Meyakini halalnya
- Kedua: Membiasakan dalam hidupnya bahwa seolah-olah itu halal

Jadi pengertian yang dapat dipetik dari Hadits tersebut adalah: “Ummatku kelak akan menganggap halal, apakah menganggap halal itu dengan keyakinannya bahwa itu adalah tidak harom, diyakini kehalalannya; ataukah ia tahu bahwa hal itu haram tetapi ia membiasakannya, karena menganggapnya boleh-boleh saja.”

Kedua pemahaman tersebut adalah menyimpang dari yang benar. Bahkan pemahaman pertama adalah sangat keliru dan bathil, karena apabila ada suatu nash yang mengharomkan perkara tersebut, lalu ia menyatakan halalnya, maka berarti ia telah mengubah hukum Allah dari Haram menjadi Halal. Dan itu menyebabkan seseorang menjadi Kufur. Hal ini bukan masalah yang kecil, karena berarti telah melanggar apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rosulullah.

2) Dalam Hadits Riwayat Al Imam At Turmudzy no: 1005, Hadits ini Hasan, dari Shohabat Jaabir bin ‘Abdillah, beliau berkata :

أخذ النبي صلى الله عليه و سلم بيد عبد الرحمن بن عوف فانطلق به إلى ابنه إبراهيم فوجده يجود بنفسه فأخذه النبي صلى الله عليه و سلم فوضعه في حجره فبكى فقال له عبد الرحمن أتبكي ؟ أولم تكن نهيت عن البكاء ؟ قال لا ولكن نهيت عن صوتين أحمقين فاجرين صوت عند مصيبة خمش وجوه وشق جيوب ورنة شيطان
 
Artinya : Bahwa Rosulullah  keluar bersama ‘Abdurrohman bin ‘Auf  ke sebuah kebun kurma. ‘Ibrohim (putra beliau) diletakkan di pangkuan beliau, lalu mata beliau pun berlinang menangis.

‘Abdurrohman bin ‘Auf  bertanya, “Ya Rosulullah, mengapa engkau menangis, padahal engkau melarang menangis?”

Beliau menjawab :

“Aku tidak melarang menangis, aku melarang dua suara yang dungu dan berdosa, yaitu suara saat ditimpa musibah sambil memukul wajah dan merobek baju, dan nada (suara) syaitan.”

3) Diriwayatkan oleh Al Imam At Turmudzy di dalam Sunannya, kitab “Al Fitan” Jilid 4/495 melalui salah seorang Shahabat bernama ‘Imron bin Husain. Juga Ibnu Abid Dunya, dalam kitabnya “Dzammul Malaa’hi” (“Tercelanya berbagai alat lahwun/alat-alat yang melalaikan”) melalui salah seorang Shohabat yakni Anas bin Malik, dan haditsnya dishahih-kan oleh syaikh Nasiruddin Al Albany dalam Silsilah Hadits Shahih no: 2203; bahwa Rosul Muhammad bersabda:

في هذه الأمة خسف ومسخ وقذف ” فقال رجل من المسلمين : يا رسول الله ، ومتى ذلك ؟ قال : ” إذا ظهرت المعازف وكثرت القيان وشربت الخمور

Artinya : “Di tengah-tengah ummat ini akan terjadi tanah longsor, tsunami dan lemparan dari atas langit.”

Salah seorang sahabat lalu bertanya, “Wahai Rosul, kapankah itu?”

Rosul menjawab, “Jika telah nampak musik, semakin banyak penyanyi wanita dan khomr (minuman keras) telah diminum.”

4) Dalam Hadits Riwayat Al Imam Ibnu Maajah no: 4020 , dishohiih-kan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany, dari Sahabat Abu Maalik Al Asy’ary, bahwa Rosulullah bersabda:

لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ ، يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا ، يُعْزَفُ عَلَى رُؤُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ ، وَالْمُغَنِّيَاتِ ، يَخْسِفُ اللَّهُ بِهِمُ الأَرْضَ ، وَيَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ

Artinya : “Sungguh akan ada orang-orang dari ummatku yang meminum khamr, yang mana mereka menamakannya dengan selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan (alunan suara) biduanita, maka Allooh akan membenamkan mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk sebagian mereka menjadi kera dan babi.”

5) Dalam Hadits Riwayat Al Imam Al Baihaqy dalam As Sunnan Al Kubro no: 21518, dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas, bahwa Rosulullah bersabda:

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَهُوَ الطَّبْلُ وَقَالَ كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

Artinya :“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada mereka khamr, judi, dan al-kuubah yaitu kendang.”

Dan kemudian beliau bersabda : “Setiap hal yang memabukkan adalah haram.”

6) Dalam Hadits Riwayat Al Imaam Ahmad no : 4535, di-Hasan-kan oleh Syaikh Syuaib Al Arnaa’uth

عن نافع مولى بن عمر : أن بن عمر سمع صوت زمارة راع فوضع إصبعيه في أذنيه وعدل راحلته عن الطريق وهو يقول يا نافع أتسمع فأقول نعم فيمضي حتى قلت لا فوضع يديه وأعاد راحلته إلى الطريق وقال رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وسمع صوت زمارة راع فصنع مثل هذا
 
Artinya :Dari Nafi’ yang berkata bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar suatu hari mendengar suara seruling yang ditiup oleh seorang penggembala, lalu beliau pun meletakkan kedua telunjuknya pada kedua telinganya (menutup telinganya), kemudian membelokkan untanya dari jalan tersebut (mencari jalan lain).

‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Wahai Nafi’, apakah engkau masih mendengarnya?”

Maka aku (Nafi’) berkata, “Ya.”

Maka ia (‘Abdullah bin ‘Umar) terus berlalu hingga aku menjawab, “Aku tidak mendengarnya lagi.”

Maka ‘Abdullah bin ‘Umarpun melepaskan kedua telunjuknya dari kedua telinganya dan kembali ke jalan tersebut sambil berkata, “Aku melihat Rosulullah ketika mendengar suara seruling, maka beliau melakukannya demikian (seperti yang aku lakukan tadi).”

Al Imam Al Qurthubi  memberikan komentar atas Hadits diatas ini dalam Kitab Tafsiir beliau yang berjudul “Al Jaami’u Li Ahkaamil Qur’an” sebagai berikut, “’Ulama-‘ulama Ahlus Sunnah mengatakan bahwa jika hal ini yang mereka (Rosulullah dan Shahabatnya) kerjakan disaat menghadapi suara yang tidak keluar dari pertengahan (maksudnya : suara musik / nyanyian yang masih merupakan perkara yang biasa dibandingkan dengan yang ada di zaman Al Imam Al Qurthubi–pent.), maka bagaimana lagikah (sikap) mereka terhadap nyanyian yang ada pada zaman sekarang?”

Bayangkan, komentar ini diberikan masih di zaman Al Imam Al Qurthubi, (sekitar tahun 600-an Hijriyah / 1200-an Masehi), dimana beliau saja sudah mengeluhkan keadaan nyanyian yang ada di zaman beliau; apalagi kita kaum Muslimin yang hidup di zaman sekarang dimana suara nyanyian dan musik bahkan ditawarkan hingga ke handphone-handphone kita. Tentu kita harus lebih waspada lagi.


Perkataan Para ‘Ulama Ahlus Sunnah

1) Berkata ‘Abdullah bin Mas’uud :
“Menyanyi itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan tanam-tanaman; dan dzikir itu menumbuhkan iman dalam hati sebagaimana air menumbuhkan tanam-tanaman.”
(Diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqy dalam Kitab “As Sunanul Kubro”)

2) ‘Umar bin Abdul ‘Aziiz (yang oleh Al Imam Asy Syaafi’iy  dikatakan sebagai Khalifah yang kelima setelah Ali bin Abi Tholib) berkata sebagai berikut:
“Permulaan Nyanyian adalah dari Syaitan, dan akan berakhir dengan murka dari Ar Rahman (Allah).”

Telah merupakan kesepakatan para ‘Ulama Ahlus Sunnah antara lain: Al Imam Al Qurthubi, Al Imam Ibnush Sholah dan Al Imam Ibnu Rojab Al Hambali  tentang Haram-nya mendengarkan nyanyian dan alat-alat musik.

3) Al Imam Al Qurthubi  berkata sebagai berikut, “Nyanyian adalah terlarang berdasarkan al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah.”

Dan dalam Kitab “Azzawajir An Ittirofil Kabaa’ir” yang ditulis oleh Al Imam Ibnu Hajar Al Haitsami, Al Imam Al Qurthubi berkata sebagai berikut,
“Adapun seruling, gitar dan kendang, tidak ada perselisihan diantara para ‘Ulama tentang keharaman mendengarkannya. Dan aku tidak mendengar seorang pun yang bisa dianggap mu’tabar dari kalangan Pendahulu Ummat ini dan para Imam yang datang belakangan yang membolehkan hal itu.

Bagaimana tidak disebut Haram, karena ia (Nyanyian dan Musik) menjadi ciri bagi mereka yang pekerjaannya minum khamr, orang yang fasiq, orang yang tenggelam dalam syahwat, orang yang tenggelam dalam kerusakan dan orang yang selalu menghindar dan menyelisihi Syari’at Allah. Yang demikian itu tidak diragukan lagi keharomannya. Dan tidak diragukan bahwa orang yang melakukannya adalah orang faasiq dan berdosa.”

4) Al Imam Ibnush Sholah , beliau adalah seorang yang terkenal dari kalangan Ahli Hadiits, dan bagi seorang yang membidangi ilmu dien maka nama beliau ini tidak asing lagi. Beliau berkata sebagai berikut,

“Sudah merupakan ijma’ terhadap Haramnya Nyanyian dan Musik. Tidak ada seorang pun yang kokoh yang bisa diambil perkataannya yang mengatakan bahwa Haramnya itu bukan merupakan Ijma’.”

5) Al Imam Al Hasan Al Bashri, beliau adalah Sayyidut Taabi’iin, berkata sebagai berikut,
“Kalau seandainya dalam Walimah (pernikahan) terdapat Nyanyian dan Musik, maka tidak perlu dihadiri undangan itu.”

6) Al Imam Ath Thobari , beliau adalah seorang Ahli Tafsiir Al Qur’an, berkata sebagai berikut,
“Telah sepakat para ‘Ulama dari berbagai penjuru (negeri), bahwa Nyanyian dan Musik adalah dibenci dan dilarang.”

7) Al Imam Al Auzaa’i, ‘Ulama Ahlus Sunnah dari kalangan Taabi’iin, berkata :
“Janganlah kalian masuk kedalam suatu Walimah, yang didalam Walimah itu terdapat kendang dan musik.”

8) Al Imam Abu Yusuf, murid dari Al Imaam Abu Hanifah, ketika ditanya tentang suara seruling maka beliau berkata,

“Kalau sebuah rumah dimasuki oleh seruling, maka masuklah engkau kedalam rumah itu tanpa izin lalu ingkarilah kemungkaran itu; karena mengingkari kemungkaran adalah fardhu.”

9) Al Imam Malik bin Anas melarang mendengarkan Nyanyian dan ketika beliau ditanya tentang Nyanyian dan memukul alat musik, maka beliau berkata,

“Apakah ada orang berakal yang mengatakan bahwa Nyanyian itu adalah kebenaran? Orang yang melakukan seperti itu adalah orang yang fasiq.”

10) Al Imam Asy Syaafi’iy  berkata, “Barangsiapa yang sering mendengarkan nyanyian, maka dia itu bodoh dan tidak diterima persaksiannya.”

Berarti madzab Asy Syaafi’iy mengingkari orang-orang yang menyatakan bahwa madzab Asy Syaafi’iy membolehkan Nyanyian. Yang mengingkari Nyanyian dari kalangan madzab Asy Syaafi’iy antara lain adalah Al Imam Aq Qodhi Abu Thoyib, Al Imam Ath Thobari, Syaikh Abu Ishaq dan masih banyak ‘Ulama Ahlus Sunnah lainnya.

Sebenarnya di dalam Kitab “Kifayatul Ahyar” halaman: 447 yang mendekati madzab Asy Syaafi’iy yang banyak dipelajari dan digunakan oleh sebagian kalangan pesantren di Indonesia, didalam Kitab itu pun telah dinyatakan bahwa Musik itu adalah Harom; namun sayangnya hal ini banyak dilanggar.

Adapun berbagai madhorot, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah tentang masalah Nyanyian dan Musik, adalah sebagai berikut:

1. Mukholafatul Qur’aani Was Sunnah, bukan lagi merupakan suatu Bid’ah, melainkan terang-terangan melawan apa yang telah diharomkan oleh Allah  dan yang diharamkan oleh Rosulullah.

2. Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati manusia. Nyanyian mengganggu para ahli ibadah. Mengganggu orang-orang yang tadinya tidak tergiur dengan masalah dunia, lalu karena mendengar suara musik dan nyanyian tersebut, maka mereka menjadi tergoda dan terpukau; lalu pada akhirnya menjadi orang yang tertarik dan cinta pada dunia dan melalaikan untuk mempelajari Al Qur’an dan hukum-hukum Allah. Dan ini adalah berbahaya.

3. Menjauhkan manusia dari jalan Allah. Orang yang tadinya mendengar dan betah terhadap Al Qur’an, maka dengan Nyanyian ia pun menjadi lebih terlena dengan suara musik dan nyanyiannya, lebih dekat pada hawa nafsunya. Sementara dalam Al Qur’an itu ada aturan kehidupan, tetapi manusia lalu menjadi tidak mau diatur oleh Allah dan lebih cenderung untuk mengikuti Hawa Nafsu dirinya.

4. Menjauhkan manusia dari keseriusan (Serius dalam ibadah, serius dalam mencari kebaikan dunia dan akhirat, serius berjihad, dsbnya). Tetapi Nyanyian itu akan membawa kepada ma’shiyat, dan ini seharusnya tidak boleh terjadi.

Karena besarnya kemadhorotan Nyanyian dan Musik, maka para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah sejak zaman dahulu sudah mewanti-wanti, memberi peringatan keras kepada kita agar tidak tergiur dengan Nyanyian dan Musik.

Maka waspadalah wahai kaum muslimin, bila kalian hendak menjaga dien kalian, hendaknya kalian mengikuti apa yang telah dinasehatkan baik didalam Al Qur’an dan Sunnah Rosulullah serta oleh para ‘Ulama Ahlus Sunnah yang muk’tabar.

II. Jawaban Terhadap Kebolehan Nasyid (Nyanyian) dan Memukul Rebana disaat Walimah

Berikut ini akan kita pelajari bagaimana kaidah “Dunia Hiburan dan Bersenang-senang” dalam koridor Al Islam, agar kaum Muslimin paham bagaimana Dunia Hiburan itu diletakkan dalam manhaj Rosulullah. Ada saat-saat dimana kaum Muslimin itu diperbolehkan mendengarkan Nasyid dan Memukul Rebana, dan hal ini adalah pada Hari-Hari Raya (‘Ied) serta ketika mengadakan Walimah.

Jadi memang ada Hiburan dalam Al Islam, tapi kaum Muslimin harus tahu kapan waktu-waktunya; karena kenyataannya di zaman kita sekarang ini bisa dikatakan persentase hiburannya adalah jauh lebih besar dibandingkan keseriusan dalam menjalani kehidupan yang semestinya dipersiapkannya sebagai ladang menanam amal shoolih untuk kehidupan Akherat serta ladang untuk berjuang menolong Al Islam agar Al Islam dzohir di muka bumi ini. Kenyataannya, kaum Muslimin kebanyakan bersenang-senangnya sehingga lalai dalam memperjuangkan Al Islam, maupun lalai dalam mempersiapkan diri bagi kehidupannya yang abadi di Akherat kelak.

Hadits-Hadits berikut ini menjadi penjelas bahwa di Hari-Hari Raya (‘Ied) kaum Muslimin, maupun ketika Walimah; maka diperbolehkan menabuh rebana dan ber-nasyid:

1) Dalam Hadits Riwayat Al Imam Al Bukhury no: 3529, dari ‘A’isyah, beliau berkata :

أن أبا بكر رضى الله تعالى عنه دخل عليها وعندها جاريتان في أيام منى تدففان وتضربان والنبي صلى الله عليه وسلم متغش بثوبه فانتهرهما أبو بكر فكشف النبي صلى الله عليه وسلم عن وجهه فقال دعهما يا أبا بكر فإنها أيام عيد وتلك الأيام أيام منى وقالت عائشة رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يسترني وأنا أنظر إلى الحبشة وهم يلعبون في المسجد فزجرهم عمر فقال النبي صلى الله عليه وسلم دعهم أمنا بني أرفدة يعني من الأمن

Artinya : “Bahwa Abu Bakar As Siddiq  masuk menemuinya, dan disaat itu disamping ‘Aa’isyah  ada dua orang anak perempuan yang sedang memukul duff (rebana) di hari Mina.

Adapun Nabi  waktu itu dalam keadaan menutup wajahnya dengan bajunya. Ketika melihat hal tersebut, maka Abu Bakar As Siddiq  membentak kedua anak perempuan tadi.

Nabi  kemudian membuka bajunya yang menutup wajahnya dan berkata : “Biarkan mereka wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya Mina”.

Pada waktu itu adalah hari-hari Mina.”

Dari Hadits diatas dapatlah dipetik pelajaran bahwa ketika bertepatan dengan Hari Raya yaitu Hari Mina, yang berlangsung selama 3 atau 4 hari mulai dari tanggal 10 Dzul Hijjah (‘Iedul Adha), kemudian 11,12 dan 13 Dzul Hijjah (Hari Tasyriq) maka diperbolehkan memukul rebana.

Kejadian diatas berlangsung ketika Rosulullah sedang berada di Madinah, bertepatan dengan tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzul Hijjah di tahun ketika Rosulullah  sedang tidak ber-Haji.

Al Imam At Turmudzy yang meriwayatkan Hadits tersebut dan meletakkan Hadits tersebut dalam Kitab Sunan At Turmudzy dengan mengatakan: “Keringanan dalam mendengarkan nyanyian (nasyid) dan memukul rebana pada hari ‘Ied.”

Jadi menurut Al Imam At Turmudzy diperbolehkan, dan ada keringanan bagi orang Islam untuk mendengarkan nasyid (nyanyian) dan memukul rebana di Hari Raya kaum Muslimin (Hari ‘Ied), karena sebagaimana Hadits diatas bahwa Rosulullah dan ‘A’isyah membiarkannya serta membolehkannya.

2) Dalam Hadits Riwayat Al Imam Al Bukhary no: 953 dan Al Imam Muslim no: 892 :

عَنْ عَائِشَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، قَالَتْ دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتِ الأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ- قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ – فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللهِ : وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا

Artinya : Dari ‘Aa’isyah , beliau berkata: “Telah masuk kerumahku Abu Bakar As Siddiq . Disampingku ada dua orang perempuan dari kalangan Anshor yang sedang menyanyi.

Abu Bakar pun mengingkarinya seraya berkata, “Apakah ada seruling syaitan di rumah Rosuulullah?”

Dan itu terjadi pada Hari Raya ‘Iedul Fithr.

Rosulullah pun menjawab, “Wahai Abu Bakar, setiap kaum punya hari raya dan ini hari raya kita.”

Dari Hadits diatas dapatlah diambil pelajaran bahwa Rosulullah  membolehkan dan membiarkan orang menyanyi (bernasyid) disaat Hari Raya ‘Iedul Fithr. Bahkan ketika Abu Bakar As Siddiq  hendak mengingkari nyanyian itu sebagai seruling syaithoon, maka hal itu ditepis oleh Rosulullah, dengan memberi pernyataan bahwa menyanyi (ber-nasyid) di Hari Raya kaum Muslimin (‘Iedul Fithr) adalah diperbolehkan.

Dari dua Hadits diatas jelaslah bahwa ada Hiburan didalam Al Islam. Alatnya adalah Rebana, dan ada pula unsur Nasyid (Nyanyian). Hanya waktunya hendaknya pada Hari Raya kaum Muslimin (‘Iedul Fithr, ‘Iedul Adha beserta Hari-Hari Tasyriq).

3) Al Imam Al Bukhary didalam Kitab Sahih-nya tentang masalah Khithbah yang diberi judul : “Bab ke-49. Memukul Rebana pada saat Menikah dan Walimah”.

Adapun judul Bab yang ditulis oleh Al Imam Al Bukhary , sebagaimana yang dikatakan para ‘Ulama, adalah merupakan Istinbath Fiqih Al Imam Al Bukhary.

Hal ini menunjukkan bahwa perkara ini yang didalamnya menjelaskan tentang memukul Rebana disaat Menikah dan Walimah, merupakan Hujjah bagi bolehnya kaum Muslimin melakukan hal tersebut.

Dan untuk lebih jelasnya tentang hal ini, maka dapat dijadikan rujukan Fatwa Lajnah Daa’imah untuk Pembahasan Ilmiyyah dan Fatwa yang dikeluarkan pada tahun 1421 H dengan no: 2/277, pada saat menjawab pertanyaan seseorang yang meminta Fatwa kepada Lajnah Daa’imah berkaitan dengan adanya paham yang tersebar di kalangan masyarakat akibat dari tulisan seorang Penulis yang menyatakan bahwa Rosulullah menganjurkan mendengarkan musik dan nyanyian; maka dalam Fatwa itu disebutkan jawaban sebagai berikut :

قد كذب الكاتب على النبي صلى الله عليه وسلم حيث نسب إليه أنه كان يستمع إلى الغناء والموسيقى ويأمر بهما في الأعياد والمناسبات كالزواج والأفراح،
فإن الثابت عنه صلى الله عليه وسلم أنه رخص للنساء خاصة فيما بينهن بضرب الدف والإنشاد المجرد من التطريب وذكر العشق والغرام والموسيقى وآلات اللهو مما تشمل عليه الأغاني الماجنة المعروفة الآن ، وإنما رخص بالإنشاد المجرد عن هذه الأوصاف القبيحة مع ضرب الدف خاصة دون الطبول وآلات المعازف لإعلان النكاح بل صح في الحديث عنه صلى الله عليه وسلم كما في صحيح البخاري أنه حرم المعازف بجميع أنواعها وتوعد عليها بأشد الوعيد ، كما في صحيح البخاري …
وقرن ذلك مع الزنا والخمر ولبس الرجال للحرير مما يدل على شدة تحريم الغناء وتحريم آلات اللهو

Artinya : “Setelah menjelaskan tentang Harom-nya Nyanyian dan Musik dalam poin ke-3, maka pada poin ke-4 dinyatakan:

“Sungguh Penulis telah berdusta terhadap Nabi, bahwa Nabi mendengarkan pada Nyanyian dan Musik dan menganjurkannya dalam Hari-Hari Raya, perayaan-perayaan tertentu seperti menikah dan hari bahagia lainnya. Justru yang shohiih dari Rosulullah adalah bahwa beliau memberi KERINGANAN KHUSUS diantara para WANITA untuk MEMUKUL REBANA dan NASYID yang BERSIH DARI IRAMA YANG DI DALAMNYA TERDAPAT MUSIK, lantunan suara yang memukau, termasuk alat-alat yang melalaikan yang didalamnya meliputi nyanyian-nyanyian yang tidak patut yang dikenal pada zaman sekarang.

Yang diperbolehkan adalah sekedar nasyiid yang bersih dari gambaran-gambaran yang buruk disertai dengan memukul rebana, TANPA KENDANG DAN ALAT-ALAT MUSIK LAINNYA dalam rangka mengiklankan nikah; hal ini karena shohiihnya Hadits dari Nabi, sebagaimana terdapat dalam shohiih Al Imam Al Bukhary bahwa beliau  meng-Haramkan Al Ma’aazif (nyanyian beserta alat-alat musik / alat-alat nyanyian) dengan seluruh jenisnya, dan mengancam dengan ancaman yang keras….

Bahkan disebutkan disana bahwa Haramnya Nyanyian dan Musik disetarakan dengan Zina, dengan Khamr dan Haramnya laki-laki memakai sutra; untuk menunjukkan bahwa Nyanyian dan Alat-Alat yang melalaikan adalah sangat di-Haromkan.”

Dari penjelasan Lajnah Daa’imah diatas, maka jelaslah bahwa yang diperbolehkan dalam Walimah itu hanyalah sekedar memukul rebana dan melakukan nasyid diantara para Wanita untuk mengiklankan pernikahan. Dimana nasyid-nya pun harus bersih / terbebas dari kendang dan alat-alat musik lainnya, serta terbebas dari lagu-lagu yang kata-katanya menggambarkan perkara-perkara yang tidak patut seperti percintaan, dll; yang seringkali justru hal ini lah yang banyak dilanggar oleh kaum Muslimin di zaman kita sekarang ini.‎

Kontroversi Suara dan Nyanyian 

Nyaris tidak ada yang mempermasalahkan suara laki-laki. Namun, begitu suara itu dinisbatkan pada perempuan, timbul berbagai pendapat ulama. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa suara perempuan adalah aurat, sementara mazhab Syafi’i tidak menganggapnya aurat. Demikian pula, suara perempuan menurut jumhur ulama bukanlah aurat, berdasarkan beberapa peristiwa yang menunjukkan bahwa istri-istri Nabi pun sering berbicara di hadapan para shahabat dalam rangka ta’lim atau keperluan lainnya yang dibolehkan oleh syara’.

Lain hukum suara, lain pula hukum nyanyian, walaupun nyanyian lahir dari suara. Dalam bab nyanyian, ikhtilaf lebih kentara. Pendapat para ulama pun terbagi dua, antara yang mengharamkan dan yang membolehkan. Ikhtilaf ini terjadi karena ada nash yang mencela nyanyian perempuan sementara ada juga nash yang menunjukkan kebolehan perempuan bernyanyi.

Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Imam Thirmidzi berbunyi, “Akan terjadi (di akhir zaman) penenggelaman bumi, hujan batu, dan pengubahan rupa. Ada seseorang dari umat Islam (sahabat) yang bertanya, “Kapankah hal itu akan terjadi? Maka beliau menjawab, “Apabila musik dan biduanita telah merajalela dan khamer telah dianggap halal.” 

Qur’an juga berbicara tentang suara perempuan, “Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dan berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (QS: al-ahzab:32).

Sementara itu, ada pula hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra : “Aku telah diziarahi oleh Abu Bakar r.a di  rumahku. Ketika itu di sampingku ada dua orang jariah yaitu gadis dari golongan Anshar, sedang mendendangkan syair golongan Anshar pada Hari Bu’as yaitu hari tercetusnya peperangan antara golongan Aus dan Khazraj. Aisyah berkata: ‘Sebenarnya mereka berdua bukanlah penyanyi.’ Abu Bakar r.a berkata: ‘Patutkah ada nyanyian syaitan di rumah Rasulullah s.a.w dan pada Hari Raya pula?’ Lalu Rasulullah s.a.w bersabda: ‘Wahai Abu Bakar! Sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai Hari Raya dan ini adalah Hari Raya kami.’”

Selain nash di atas, beberapa riwayat juga memperlihatkan penunjukkan yang sekilas kontradiktif.

Maka, para ulama pun terbagi dua. Imam Al Suddi, Ibnu Manzur, Ibnu Athir berpendapat bahwa suara perempuan adalah aurat jika digunakan untuk bernyanyi, bernasyid atau melunakkan suara di hadapan lelaki yang bukan mahram.

Dalam Adwaul Bayan, dijelaskan bahwa para ulama tafsir menyebut, suara perempuan yang dilagukan adalah termasuk dari kecantikan-kecantikan (yang tidak harus dipertonton dan diperdengarkan kepada lelaki bukan mahram), tiada khilaf dalam hal ini. Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Imam al Qurthubi berpendapat, kerana suara yang seperti ini akan menjadikan orang-orang lelaki munafiq dan ahli maksiat berfikir jahat (oleh karenanya nyanyian dilarang—pen).

Sedangkan beberapa ulama kontemporer membolehkan nyanyian perempuan dengan syarat. Dr Yusuf Qaradhawi dalam fatwanya membolehkan perempuan bernanyi dengan catatan harus berada dalam kerangka hukum Islam yang menjamin diterimanya bernyanyi tanpa adanya praktik yang dilarang seperti menari, meminum alkohol, dan mengumbar nafsu belaka Secara terpisah.

Ibrahim Salah al-Din al-Houdhud, cendikiawan lain asal Universitas Al-Azhar mengatakan aturan tentang diizinkannya Muslimah bernyanyi telah disahkan dengan sejumlah catatan seperti tidak boleh melakukan hal yang melanggar agama, tidak boleh bernyanyi ketika ada tarian dan alkohol dan tidak boleh ada kamera yang merekam. Sementara itu, cendekiawan lainnya mengatakan Muslimah harus bernyanyi dalam lingkungan jender non campuran.

Abdurrahman al-Baghdadi dalam  bukunya “Seni dalam Pandangan Islam” membolehkan nyanyian perempuan berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah mengizinkan dua perempuan budak bernyanyi di rumahnya (HR Bukhari).

Asy Syeikh Ahmad asy Syarbashi, salah seorang syeikh di Universitas al Azhar didalam bukunya “Mereka Bertanya Kepada Anda” menulis, “Hukum mendengar suara penyanyi perempuan bergantung keadaan suaranya. Apabila suaranya digetarkan dan dapat membangkitkan syahwat maka hal itu haram, diharamkan mendengarkannya”. Selain itu, kekhawatiran akan adanya fitnah akibat nyanyian juga dapat menjadi dasar pelarangan. Syeikh as-Shobuni berpendapat : sebaiknya kaum lelaki mencegah perempuan2 dari melakukan perkara yg membangkitkan fitnah dan tipu daya seperti memakai pakaian sempit, meninggikan suara, dan memakai wangi-wangian.

Ala kulli hal, pendapat-pendapat tersebut dapat kita pertemukan di satu titik yaitu nyanyian perempuan dapat jatuh kepada keharaman jika memang di dalamnya mengandung keharaman, karena pada asalnya suara perempuan itu sendiri bukanlah aurat.

Lirik yang mungkar dan mengajak maksiat menjadikan nanyian menjadi haram. Pakaian yang mengumbar aurat atau suara yang mendayu nan menggoda menjadikan nyanyian itu tidak boleh disimak. Sebaliknya, jika liriknya mengajak kepada kebaikan, mengingat Allah, suaranya wajar tidak mendayu, apalagi menyemangati jihad dan si penyanyi berpakaian syar’i serta tidak menggoyangkan tubuhnya untuk menarik perhatian lawan jenis, maka nyanyian tersebut menjadi boleh.

Persoalan Ikhtilat

Disamping permalasahan suara, pakaian dan lirik lagu, hendaknya kita tidak melupakan fakta sebenarnya dari pertunjukan-pertunjukan lagu pada hari ini, yaitu fakta konser musik yang di dalamnya ada sekumpulan penonton yang berkumpul di waktu dan tempat yang sama.

Dalam Islam, bercampur baurnya laki-laki dan perempuan dalam waktu dan tempat yang sama disebut ikhtilat. Para ulama mengharamkan ikhtilat ini, kecuali yang dibolehkan oleh syara’. Kebolehan tersebut jika kita teliti lebih karena kedaruratannya, dalam arti urgensi adanya pertemuan antara laki-laki dan perempuan yang sulit dihindari, misalnya dalam jual beli di pasar, di aktivitas pendidikan, pengadilan dan pengobatan.

Taqiyuddin an Nabhani menulis, “Adapun dalam kehidupan umum, hukum asalnya adalah terpisah dan tidak boleh ada interaksi antara pria dan perempuan. Kecuali pada perkara-perkara yang telah dibolehkan syariah, di mana syariah telah membolehkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan suatu aktivitas untuk perempuan; serta pelaksanannya menuntut adanya interaksi dengan pria. Baik interaksi ini terjadi dengan tetap adanya pemisahan, seperti di dalam masjid, atau dengan adanya ikhtilâth (campur-baur), sebagaimana dalam aktivitas ibadah haji atau jual-beli.” (Sistem Pergaulan dalam Islam, hal. 55)

Sedang dalam hal menyimak lagu atau menonton, tidak kita temukan rukhsah satu pun untuk berikhtilat. Semestinya ini membuat kita berhati-hati dalam menyikapi fakta pertunjukkan musik, konser, kontes dan sebagainya. Jika faktor pakaian, penyanyi, suara, lirik dan ikhtilat menentukan penilaian kita terhadap acara kontes musik, maka “kebolehan  bernyanyi asalkan pakaiannya syar’i” akan tampak pincang jika pada saat yang sama ia bernyanyi di hadapan orang-orang yang berikhtilat. 

Belum lagi jika kita tengok lirik lagunya, apakah ia mencerminkan ajakan kepada kebaikan? Padahal dalam acara-acara tersebut sudah dianggap biasa jika sang penyanyi membawakan lagu-lagu yang, bukannya berlirik mengingat Allah atau menyemangati ibadah dan amal sholeh, justru malah membawakan lagu-lagu dari Barat.

Satu lagi, faktor suara : betapa sulitnya kita menemukan kontes yang memenangkan kontestan perempuan dengan suara datar dan tidak menarik perhatian. Justru sebaliknya, kemenangan ditentukan oleh penilaian juri terhadap ‘keindahan’ suara si kontestan. Nah, jika keindahan suara itu dinilai, dinikmati oleh juri dan penonton yang notabene banyak yang bukan mahram, justru saat itulah fitnah yang dikhawatirkan oleh para ulama.

Mencermati fakta yang ada, tentu akan sangat sulit bagi kita memberi justifikasi syar’i dari keikutsertaan seorang muslim/muslimah dalam kontes-kontes musik di acara-acara televisi hari ini. Barangkali, hanya dalam kontes nasyid yang diselenggarakan oleh event organizer yang cukup memahami syariah untuk menyeleksi pakaian dan lirik yang dibawakan kontestan serta memisahkan tempat duduk perempuan dan laki-laki, maka justifikasi syar’i itu akan mudah diberikan. Namun, tentu konser-konser semacam itu tidak laku dijual di publik alias tidak bernilai komersil.

Sayang, di zaman ketika pelaksanaan syariah nyaris dilupakan, kita seringkali terjebak pada kompromi fikih: membolehkan sesuatu hanya dari satu sisi aktivitas saja, tanpa melihat ada sisi kemungkaran yang mengiringi aktivitas tersebut. Gejala kompromi fikih ini, adalah buah dari diterapkannya sekulerisme oleh negara yang memberikan pandangan dikotomis antara kehidupan agama dan kehidupab dunia. Sekali lagi, penulis tidak hendak menghakimi niat baik dari Pak Kiayi dan siapapun yang consern terhadap penjagaan moral generasi muda. Hanya saja, alangkah baiknya jika nasehat tersebut bersifat menyeluruh, meninjau juga faktor-faktor lain dari acara-acara konser dan kontes. Wallahu a’lam.*‎
Pendapat Ulama.
Ibnu Taimiyah: “Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia pasti akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat. Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan tatkala  mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al-Qur’an, hatinya pun menjadi lalai.”

Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik dalam kitab Mughni al-Muhtaj berpendapat bahwa mendengarkan musik hukumnya adalah makruh.

Imam As-Syaukani dalam Naylul Authar menyebutkan, masyarakat Madinah dan para ulama yang sependapat dengan mereka, serta ahli sufi, memberikan keringanan dalam hal lagu, meski menggunakan alat musik.

Abu Mansour al-Baghdadi al-Syafi’i dalam bukunya As-Simaa’ menyebutkan, Sahabat Abdullah bin Ja’far berpendapat tidak ada masalah dengan lagu, ia mendengarkan lagu-lagu yang dipetik hambanya. Hal itu Ia lakukan pada masa kekhalifahan Ali ra. Begitu juga sahabat lainnya, Kadhi Syureih, Sa’id bin al-Musayyab, Atha’ bin Abi Rabah, Az-Zuhri dan al-Sya’bi.

Imam al-Ghazali berpendapat: mendengarkan musik atau nyanyian tidak berbeda dengan mendengarkan perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari makhluk hidup atau benda mati. Setiap lagu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung nilai-nilai keagamaan, maka tidak jauh berbeda seperti mendengar ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga sebaliknya.

Al Qarafi (wafat 684H)

Ulama Malikiyah, beliau berkata,

وَلَا بَأْسَ بِالدُّفِّ وَالْكَبَرِ وَلَا يَجُوزُ الْغِنَاءُ فِي الْعُرْسِ وَلَا غَيْرِهِ إِلَّا كَمَا كَانَ يَقُولُ نسَاء الْأَنْصَار أَو الرجز الْخَفِيف مِنْ غَيْرِ إِكْثَارٍ

“Tidak mengapa duff (rebana) dan al kabar di acara pernikahan, dan tidak diperbolehkan alat musik baik di acara pernikahan maupun di luar acara pernikahan. Yang dibolehkan hanyalah apa yang dilakukan oleh sebagian wanita Anshar (yaitu bersyair) ataurajaz (semacam syair) yang ringan tanpa terlalu sering” (Adz Dzakhirah, 4/400)

Imam Ibnu Hazm mengatakan, “Jika belum ada perincian dari Allah S.W.T. maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak."

Analisa.
Al-Quran tidak menjelaskan hukum mendengarkan lagu atau musik secara tegas. Dalam hal muamalah, kaidah dasarnya adalah: al-ashlu fi al-asyaa al ibahah (segala sesuatu hukumnya adalah boleh). Batasan dari kaidah tersebut adalah selama hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam (syariat).

Para ulama yang mengharamkan musik mendasarkan argumennya pada surat Luqman ayat (6) yang menyebutkan bahwa orang yang mengucapkan perkataan yang tidak bermanfaat akan mendapatkan adzab yang pedih. Artinya, bahwa musik yang berupa suara yang keluar dari alat musik dan ber-ritme secara teratur bukanlah merupakan ucapan yang mengandung perkataan jelek. Yang mengandung perkataan adalah lagu. sedangkan lagu tidak semuanya mengandung kata-kata yang jelek atau mengarah pada perbuatan maksiat. 

Untuk lagu yang mengandung kata-kata yang tidak baik dan mengarah pada perbuatan maksiat tentu hukumnya haram, sedangkan lagu yang berisi lirik yang baik apalagi bernada syiar, maka hukumnya boleh. Jadi yang mempengaruhi hukum musik itu bukan musiknya, melainkan sesuatu yang lain di luar musik, seperti lirik lagu yang berisi kata-kata yang tidak baik.

Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, larangan tersebut tidak ditunjukkan pada alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amrun kharij). Di awal-awal Islam, kata al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras.Hal ini tentu dilarang.

Musik juga dapat menjadi makruh bahkan bisa haram ketika membuat orang yang membuat atau mendengarkannya menjadi lalai akan kewajibannya kepada Allah swt. Sama halnya dengan bermain game, jalan-jalan, nonton TV bahkan bekerja akan menjadi haram jika menjadikan seseorang lalai akan kewajibannya kepada Allah. Berbeda dengan judi, yang meskipun tidak mengganggu waktu shalat misalnya, tapi tetap diharamkan. Karena sekalipun al-Quran tidak menyatakan hukum judi secara tegas, tentu dilihat dari madharatnya, hukumnya adalah haram.
Di sisi lain, kita tidak dapat menghentikan arus globalisasi. Musik sudah terdengar di setiap sudut ruang kehidupan kita. Jika kita tidak membuat musik alternative yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt, seperti yang dilakukan oleh Opick,Wali dkk serta dari kalangan Pesantren, maka generasi kita hanya akan mendengarkan lagu-lagu cinta dan bahkan lagu-lagu dengan lirik yang tidak mendidik.

Kesimpulan.
Musik tidak haram, yang membuat haram adalah amrun khorij (faktor di luar) musik, seperti sebagai pengiring pesta miras, musik erotis, musik dengan lirik lagu porno. Jadi substansinya tidak haram.
Hukum mendengarkan musik adalah kondisional, tergantung dari untuk apa dan bagaimana efeknya. Jika dengan mendengarkan musik menjadi lupa shalat, membaca al-Qur’an dsb yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, maka hukumnya adalah haram. Tapi mubah jika sebaliknya.

Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.
Demikianlah penjelasan singkat tentang bagaimana hukum mendengarkan lagu atau musik dalam Islam. Semoga bermanfaat.

 

Hukum Adopsi Dalam Islam


Apalagi yang paling ditunggu-tunggu pasangan suami istri yang telah menikah selain kehadiran si buah hati. Dengan hadirnya anak ditengah-tengah keluarga, tentu akan membuat hubungan pernikahan terasa lebih sempurna. Tetapi ketika usia perkawinan menginjak tahun pertama, kedua hingga ketiga, rasa cemas akan muncul saat tidak kunjung hamil juga. Ini saya alami sendiri, di usia pernikahan yang menginjak 3 tahun, saya belum dikaruniai keturunan.  Pada dasarnya setiap pasangan suami istri butuh waktu yang berbeda-beda. Ada yang segera setelah satu tahun pertama menikah, ada yang 2 tahun, 3 tahun dan adapula yang sudah bertahun-tahun menikah belum atau baru dikarunia keturunan. Jika sudah bertahun-tahun tak kunjung hamil, ada tekanan yang tinggi yang dirasakan seorang istri atau pasangan menikah. Saat baru menikah banyak dicecar ‘harus punya anak’, hal tersebut justru akan memicu stress yang dapat mengganggu ovulasi sehingga berpengaruh pula mengapa anda tak kunjung hamil. Banyak yang bertanya "gimana udah punya momongan belum?", "Kapan punya anaknya?" dan bla.. bla... bla... mungkin itu tidak terlalu menyakitkan, akan tetapi kalau pertanyaan dari mereka di tambah dengan ucapan yang kurang enak didengar seperti, mungkin kamu mandul, atau kurang subur dan lain-lain, itu akan membuat dada menjadi sesak.

Kadang pasangan yang tidak segera memiliki buah hati, berkeinginan untuk mengadopsi anak dengan tujuan untuk memancing supaya sang istri cepat hamil. Adopsi sendiri artinya pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri, dalam bahasa Arab disebut At-tabanni. Mengadopsi anak sebagai pancingan agar cepat hamil, sudah banyak diyakini oleh sebagain besar masyarakat di Indonesia. Namun tepatkah solusi seperti itu? Jika anda kekeh ingin mengadopsi anak. coba pertimbangkan, sudah siapkah kita dari segi mental?. Alangkah baiknya persiapkan mental anda terlebih dahulu sebelum memutuskan tindakan tersebut. Anda perlu mempersiapkan diri bahwa anak yang hendak anda diadopsi mungkin tidak akan seperti yang anda harapkan, baik itu dari fisik sampai sifatnya, kecerdasan, perilaku maupun kesehatan. Ubah pola pikir anda bahwa tujuan anda mengadoposi anak bukanlah semata-mata memancing kehamilan agar lebih cepat namun tegakan niat baik yang meletarbelakangi proses adopsi tersebut, yaitu ingin menolong dan menyayangi anak-anak yang kurang beruntung. Hal tersebut penting agar ikatan batin anda dengan si anak tak akan mengalami pasang surut, apalagi dikemudian hari jika anak kandung anda lahir kedunia. Sebaiknya mulai bicarakan dan berikan pengertian pada sang anak agar hubungan keluarga anda tetap terjalin secara harmonis. Dengan persiapan mental yang kuat, kasih sayang anda akan terbagi sama rata jika dikemudian hari anak kandung anda lahir kedunia.

Yang paling penting juga adalah kita harus paham betul hukum mengadopsi.‎
Islam sangat berusaha keras untuk menjaga harga diri dan keturunan dari kerancuan. Diantara aturan yang ditetapkan oleh syari'at Islam dalam hal ini ialah larangan mengadopsi.

Anak angkat dalam pemahaman jahiliyah pemahaman jahiliyah itu dapat menerima warisan dan menghalangi keluarga dekat asli yang mestinya berhak menerimanya. Oleh karena itu, tidak sedikit keluarga yang sebenarnya merasa dengki terhadap orang baru yang bukan dari kalangan mereka ini, yang merampas hak milik mereka dan menghalangi warisan yang telah menjadi harapannya.

Tradisi mengadopsi anak telah terjadi dari zaman jahiliyah di mana seseorang dibolehkan memungut anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak kandung sendiri, dan berhak dibangsakan namanya kepada orang tua angkatnya, dan berikut berlaku hukum saling mewarisi antara anak angkat dan orang tua angkat. Inilah yang diharamkan.dalam Islam.
Islam mengharamkan mengadopsi anak karena mengadopsi anak bermakna mengambil (mengangkat) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri, sementara penisbatan Nasab kepada orang yang tidak ada hubungan Nasab dicela keras dalam Islam. Dalam kamus besar bahasa  Indonesia dinyatakan;‎

adop·si n 1 pengangkatan anak orang lain sbg anak sendiri; 2 Huk penerimaan suatu usul atau laporan (msl dl proses legislatif); 3 pemungutan;

meng·a·dop·si v 1 mengambil (mengangkat) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri; 2memungut: bahasa Indonesia banyak ~ kata asing;‎
peng·a·dop·si n orang yg mengadopsi;
peng·a·dop·si·an n proses, cara, perbuatan mengadopsi

Pengertian Adopsi

Mengadopsi atau mengangkat anak banyak dilakukan oleh masyarakat yang tidak memiliki keturunan. Satu sisi, praktik adopsi anak merupakan tindakan yang mulia karena tidak jarang anak yang diangkat adalah anak yatim piatu yang membutuhkan perawatan, namun di sisi lain, jika salah dalam mengambil sikap, justru akan berakibat pada perbuatan dosa. Ada dua pengertian adopsi atau pengangkatan anak yang berkembang di masyarakat:
1- Mengambil anak orang lain untuk diasuh seperti anaknya sendiri tanpa memberi status anak kandung kepada anak tersebut.‎
2- Mengambil anak orang lain untuk diasuh seperti anak sendiri sampai melekatkan nasab anak tersebut kepada orang tua angkat tersebut sehingga membuat hak-hak keperdataan seperti saling mewarisi, menjadi wali nikah (jika anak tersebut perempuan) dan hak orang tua kandung lainnya.‎

Dengan definisi adopsi sebagaimana dinyatakan diatas, jelaslah bahwa aktifitas adopsi adalah aktifitas mengangkat anak orang lain sebagai anak sendiri. Artinya, anak orang lain yang tidak ada hubungan Nasab dengan pihak yang mengadopsi diangkat secara sah dan dilindungi hukum untuk menjadi anaknya untuk memperoleh konsekuensi-konsekuensi hukum sebagaimana anak sendiri.

Adopsi dengan makna seperti ini jelas diharamkan Islam karena bermakna menyambungkan Nasab (garis keturunan) kepada orang yang tidak ada hubungan Nasab, padahal Islam sangat menjaga kejelasan Nasab dan melarang pencampuradukan Nasab. Allah berfirman;

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ} [الأحزاب: 4]‎

Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar) (Al-Ahzab;4).

Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa anak-anak angkat/adopsi tidak akan pernah menjadi anak kandung selamanya. Itu semua hanya klaim mulut saja yang tidak ada nilainya sama sekali di sisi Allah dan tidak bisa mengubah konsekuensi-konsekuensi hukum.

Asbabun Nuzul ayat ini sebenarnya terkait dengan adopsi anak yang dilakukan Rasulullah SAW. Sebelum turun ayat ini Rasulullah SAW pernah mengadopsi anak yang bernama Zaid bin Haritsah. Zaid sendiri asalnya adalah seorang budak milik Khadijah, istri Rasulullah SAW. Ketika Khadijah melihat Rasulullah SAW menyukainya, maka Khadijah menghadiahkan Zaid kepada beliau. Setelah Zaid jadi miliknya, Rasulullah SAW membebaskannya dari status budak kemudian mengangkatnya menjadi anak. Dengan pengadopsian itu maka Zaid bukan lagi dipanggil Zaid bin Haritsah tetapi menjadi Zaid bin Muhammad. Setelah dewasa Zaid dinikahkan dengan wanita yang masih terhitung kerabat Rasulullah SAW sendiri yaitu Zainab binti Jahsy.

Namun ternyata Allah tidak ridha dengan sistem adopsi ini, maka diturunkanlah ayat;

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ} [الأحزاب: 4]

Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar) (Al-Ahzab;4).

Kemudian Allah memerintahkan agar anak-anak adopsi/angkat itu dipanggil dengan Nasab yang disambungkan pada ayah asli/sejati mereka. Allah berfirman;

{ ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ} [الأحزاب: 5]

Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (Al-Ahzab;5)

Zaid, setelah turunnya ayat ini, jika sebelumnya dipanggil Zaid bin Muhammad maka setelah itu dipanggil dengan dinisbatkan kepada ayahnya yang asli yaitu Haritsah. Sehingga panggilannya kembali lagi menjadi Zaid bin Haritsah.

Allah juga menegaskan bahwa Muhammad Rasulullah SAW tidak pernah menjadi ayah bagi salah seorang lelakipun.

{مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ} [الأحزاب: 40]

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(Al-Ahzab;40)

Memang benar Rasulullah SAW pernah memiliki sejumlah anak lelaki seperti Al-Qosim, Abdullah dan Ibrahim. Namun semua putra Rasulullah SAW ini wafat dalam usia kecil, sehingga tidak ada satupun anak kandung –yang masih hidup-yang secara syar’i boleh bernasab kepada Rasulullah SAW.

Bahkan, untuk menegaskan aturan syariat tentang adopsi ini Allah berkehendak menikahkan Zainab binti Jahsy (istri Zaid bin Haritsah) dengan Rasulullah SAW setelah Zaid menceraikannya. Menikahi istri anak angkat hukumnya mubah, karena istri anak angkat bukan menantu yang terkategori Mahram. Anak angkat tetaplah orang lain, sehingga istrinyapun juga orang lain yang halal dinikahi.

{فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا} [الأحزاب: 37]

Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Aku kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (Al-Ahzab;37)‎

Menabrak adat istiadat, tradisi dan kebiasaan umum adopsi memang cukup berat. Karena itu Allah mengingatkan Rasulullah SAW agar tidak menuruti adat istiadat, tradisi dan kebiasaan umum yang dijaga kaum kafir dan munafiq itu. Allah mengingatkan agar Rasulullah SAW hanya berpegang teguh kepada wahyu saja tanpa memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang lain.

{يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللَّهَ وَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَالْمُنَافِقِينَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (1) وَاتَّبِعْ مَا يُوحَى إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (2) وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا } [الأحزاب: 1 – 3]

1. Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana,

2. dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhan kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

3. dan bertawakkallah kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pemelihara.(Al-Ahzab;1-3)

Nabi sendiri setelah itu, dengan tuntunan wahyu menegaskan larangan penisbatan Nasab kepada orang yang tidak ada hubungan Nasab dengan sabdanya;

صحيح البخاري (21/ 12)

عَنْ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

“Dari Sa’d beliau berkata; Aku mendengar Nabi SAW bersabda; Barangsiapa mengaku-ngaku bernasab kepada selain ayahnya sementara dia tahu dia bukan ayahnya, maka Surga haram baginya” (H.R.Bukhari)

Oleh karena itu, berdasarkan nash-nash di atas jelaslah bahwa Islam mengharamkan adopsi anak dengan pengertian menjadikan anak orang  lain sebagai anak sendiri yang diperlakukan sebagai anak sendiri dan dinisbatkan Nasabnya kepada Nasabnya sendiri.

Adapun mengadopsi anak dengan pengertian mengurus dan membiayai kebutuhan anak sampai mandiri, tanpa adanya penisbatan Nasab maka hal ini diperbolehkan bahkan dipuji karena aktifitas ini termasuk pengertian Kafalah (pengasuhan) bukan Tabanni (adopsi). Rasulullah SAW memuji orang yang bersukarela mengasuh anak yatim, yaitu mengurus dan membiayai kebutuhannya sampai dia mandiri.
صحيح البخاري (18/ 417)

عن سَهْل بْن سَعْدٍ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
 
“Dari Sahl bin Sa’d dari Nabi SAW beliau bersabda; Aku dan pengasuh anak yatim disurga seperti ini –beliau menunjukkan dua jarinya; telunjuk dan jari tengah- (untuk menunjukkan kedekatan)” (H.R.Bukhari)

Mengurus dan membiayai kebutuhan anak untuk meringankan beban orang lain juga termasuk keumuman perintah berbuat Ihsan (kebaikan) yang dinyatakan Allah dalam firmanNya;

{وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ } [النساء: 36]‎

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, Ibnu sabil  dan hamba sahayamu(An-Nisa; 36)‎

Atas dasar ini bisa disimpulan bahwa mengadopsi anak dengan makna mengambil (mengangkat) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri hukumnya haram sementara mengurus dan membiayai kebutuhan anak tanpa adanya penisbatan Nasab (Nasabnya tetap ke ayahnya yang asli) hukumnya sunnah. Perbedaan fakta adopsi ini perlu diperhatikan oleh seorang muslim jika ingin mengasuh seorang anak.

Patut diperhatikan pula, bahwa ketaatan terhadap syariat Islam secara ideal, pasti –tanpa diragukan lagi- akan menyelesaikan  masalah dan memblokir semua potensi masalah. Sebaliknya pelanggaran terhadap ketentuan Islam akan berakibat lahirnya masalah dan ruwetnya persoalan.

Mengangkat anak hukumnya Haram apabila, nasabnya dinisbatkan kepada orang tua yang mengangkatnya. Sedangkan mengangkat anak, apalagi anak yatim, yang tujuannya adalah untuk diasuh dan dididik tanpa menasabkan pada dirinya, maka cara tersebut sangat dipuji oleh Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikatakan sendiri oleh Rasulullah SAW. dalam hadits riwayat Bukhari, Abu Daud dan Turmudzi: ‘Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini, sambil beliau menunjuk jari telunjuk dari jari tengah dan ia renggangkan antara keduanya.’

Laqith atau anak yang dipungut di jalanan, sama dengan anak yatim, namun Yusuf Qardhawi menyatakan, bahwa anak seperti ini lebih patut dinamakan Ibnu Sabil, yang dalam Islam dianjurkan untuk memeliharanya. Asy-Syarbashi mengatakan bahwa para fuqaha menetapkan, biaya hidup untuk anak pungut diambil dari baitul-mal muslimin. Hal ini sebagaimana dikatakan Umar bin Khattab r.a. ketika ada seorang laki-laki yang memungut anak, ‘pengurusannya berada di tanganmu, sedangkan kewajiban menafkahinya ada pada kami.’

Ummat Islam wajib mendirikan lembaga dan sarana yang menanggung pendidikan dan pengurusan anak yatim. Dalam kitab Ahkam al-Awlad fil Islam disebutkan bahwa Syari’at Islam memuliakan anak pungut dan menghitungnya sebagai anak muslim, kecuali di negara non-muslim. Oleh karena itu, agar mereka sebagai generasi penerus Islam, keberadaan institusi yang mengkhususkan diri mengasuh dan mendidik anak pungut merupakan fardhu kifayah. 

Karena bila pengasuhan mereka jatuh kepada non-muslim, maka jalan menuju murtadin lebih besar dan ummat Islam yang tidak mempedulikan mereka, sudah pasti akan dimintai pertanggungjawaban Allah SWT. Karena anak angkat atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya, apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka yang dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat adalah, dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan meninggal dunia.
Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa kisah di atas sebagai latar belakang turunnya ayat tersebut. Berdasarkan analisis di atas, apabila kita mengadopsi anak orang lain untuk dicintai, diasuh, dididik, dibesarkan sebagaimana membesarkan anak sendiri, dan tidak memutuskan silaturahmi dengan orang tua kandungnya, serta tetap diberi status sebagai anak angkat, hukumnya mubah (boleh) bahkan bernilai ibadah kalau dilakukan dengan ikhlas lillahi ta’ala. 

Namun, jika kita mengadopsinya dengan memberi status sebagai anak kandung yang bisa saling mewarisi, bahkan memutuskan silaturahmi dengan orang tua kandungnya (dirahasiakan siapa orang tua kandungnya), hukumnya haram. Persoalan sensitif yang sering terjadi dalam kasus adopsi adalah masalah warisan. Menurut hukum Islam, antara anak angkat dan orang tua tidak bisa saling mewarisi. 

Alasannya, menurut para ahli hukum Islam ada tiga sebab seseorang bisa saling mewarisi. Pertama, al-qarabah (seketurunan/hubungan darah), kedua, al-mushaharah (karena hasil perkawinan yang sah), dan ketiga al-‘itqu (hubungan perwalian antara hamba sahaya dan wali yang memerdekakannya). 

Status anak angkat tidak masuk pada salah satu dari tiga sebab ini, maka disimpulkan bahwa anak angkat tidak bisa saling mewarisi dengan orang tua angkatnya. Anak angkat bisa menerima harta dari orang tua angkatnya melalui dua cara. 

Pertama, melalui hibah, yaitu pemberian mutlak dari orang tua angkat kepada anak angkat sehingga harta yang dihibahkan menjadi milik mutlak anak angkatnya. Jumlah hibah tidak dibatasi, berapapun bisa dihibahkan asal tidak menimbulkan kecemburuan dari keluarga lainnya, artinya harus bersikap adil. 

Kedua, melalui wasiat, yaitu pesan penyerahan/pemberian harta secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain (dalam konteks ini orang tua angkat kepada anak angkatnya) yang berlaku setelah orang itu wafat. Jadi, wasiat itu baru berlaku kalau orang yang berwasiatnya sudah wafat. 

Adapun jumlah wasiat, Para ulama sepakat berdasarkan hadits Nabi saw. bahwa batas maksimal harta yang boleh diwasiatkan adalah sepertiganya. Persoalan berikutnya menyangkut nama nasab dalam akte kelahiran atau ijazah. Banyak kasus, orang tua angkat menggantikan nama orang tua kandung anak angkatnya. Misalnya, kita punya anak angkat bernama Yayan, nama orang tua kandungnya Hidayat, sedangkan orang tua angkatnya bernama Kusnadi. 

Seharusnya di akte kalahiran Yayan bin Hidayat, karena Hidayat ayah kandungnya. Namun kenyataannya, namanya menjadi Yayan bin Kusnadi. Nah, cara seperti ini dilarang dalam Islam seperti diterangkan pada ayat di atas. Bagaimana kalau sudah telanjur? Bertaubat saja kepada Allah.Bukankah Allah swt. itu Maha Pengampun dan Penerima taubat? Bila anak angkat sudah dewasa, kita sebagai orang tua angkat harus berani menjelaskan duduk persoalannya kepadanya agar terhindar dari murka Allah. 

Lalu, bagaimana kalau tidak diketahui ayah kandungnya padahal nama ayah harus tercantum di akte kelahiran atau ijazahnya? Kalau kasusnya seperti ini, nggak masalah nama ayah angkatnya tercantum dalam akte. Namun tetap, suatu saat kalau anak itu sudah dewasa harus dijelaskan bahwa dia adalah anak angkat. Memang akan menyakitkan bagi anak dan orang tua angkat, namun inilah ketentuan Allah swt. yang harus kita laksanakan. 

KESIMPULAN DAN HIKMAH
Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita keharaman melakukan penisbatan nasab bukan kepada orang tuanya. Begitu pula dalam hal adopsi. Kita harus mengimani bahwa setiap larangan Allah pasti terdapat keburukan di dalamnya yang hendak dijauhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dari diri kita. Dan sebaliknya, yang diperbolehkan pasti terdapat hikmah kebaikan di dalamnya yang hendak dianugerahkan, atau bahkan ditambahkan, walaupun tanpa kita ketahui.

Mungkin saja, ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menganugerahkan seorang anak kepada pasangan suami isteri, Allah Subhanahu wa Ta'ala hendak menghindarkan pasangan tersebut dari kekufuran, sebagaimana Allah memerintahkan nabi al-Khadhir untuk membunuh seorang anak yang apabila besar akan menjadi kafir dan menyeret kedua orang tuanya kepada kekufuran, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَأَمَّا الْغُلاَمُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَآ أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا

"Dan adapun anak kecil itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang tuanya kesesatan dan kekafiran" [al-Kahfi/18:80] 

Dalam kenyataan hidup, kita sering menjumpai suatu pasangan yang tidak dikaruniai keturunan, kemudian berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Di antaranya dengan mengadopsi anak angkat. Akan tetapi, ternyata hidup mereka berubah, yang semula tenang dan tenteram, berbalik penuh bencana karena kedurhakaan sang anak angkat. Hingga akhirnya harta yang berlimpah milik pasangan tersebut benar-benar habis dan ludes. Ironisnya, ketika kedua orang tua angkat ini sudah tua renta, kemudian ditinggalkan begitu saja oleh sang anak angkat tersebut. 

Di sinilah letak ujian bagi keimanan kita kepada taqdir Allah dan kebijaksanaan-Nya, serta betapa penting kita berbaik sangka terhadap Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Adil.

Kesimpulannya, kita diperbolehkan mengadopsi anak untuk ikut mencintai, mendidik, dan membesarkannya dengan tidak memutuskan hubungan silaturrahmi dengan orang tua kandungnya, serta tetap menempatkannya sebagai anak angkat dalam hak waris, nasab, dll., dan haram mengadopsi anak dengan memberikan hak-hak anak kandung kepadanya.‎

Wallahu a’lam.‎

 

Hukum Wanita Haid Mengumpulkan Rambut


Wanita adalah makhluk  yang sangat kompleks dengan segala hal yang menjadi fitrahnya, haid adalah salah satu fitrah sebagai wanita, dan ada beberapa hal yang belum difahami oleh sebagian wanita tentang hukum mengumpulkan rambut pada saat haid, dan hal ini sangat penting, karena berkaitan dengan berbagai hal Ubudiyah. umumnya mereka belum mengetahui  landasan hukum yang pasti baik dari Al-Quran maupun Hadis, dimana keduanya merupakan sumber rujukan umat islam. Maka dari itu penulis berusaha untuk mendalami dengan cara men-takhrij hadis terkait dengan anjuran mengumpulkan rambut rontok bagi wanita yang sedang haid. 

Entah darimana sumbernya, barangkali seorang wanita Muslimah pernah mendengar  sekali atau dua kali tentang aturan yang mengharuskan dikumpulkannya rambut rontok  saat wanita sedang haid. Aturan tersebut juga mengingatkan, sedapat mungkin jangan memotong kuku selama haid dan kalaupun terpaksa harus dikumpulkan kemudian dimandikan Janabah jika waktu berhenti haid sudah tiba. Termasuk pula dilarang mencukur bulu kemaluan, mengeluarkan darah, atau memisahkan anggota tubuh dari badan dengan alasan yang sama. Bagaimanakah sebenarnya penjelasan masalah ini? Benarkah wanita wajib mengumpulkan rambutnya yang rontok saat haid?
Pembahasan

Tidak ada syariat mengumpulkan rambut yang rontok saat wanita dalam masa Haid.

Mengumpulkan rambut yang rontok, atau dicukur, atau dicabut termasuk mengumpulkan kuku yang dipotong atau yang semisal pada saat wanita sedang Haid adalah ketentuan yang tidak ada dasarnya baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.

Alasan bahwa wanita pada saat sedang Haid tubuhnya adalah najis sehingga jika ada bagian tubuh yang terpotong maka bagian tersebut harus disucikan, adalah alasan yang tidak bisa diterima karena seorang mukmin itu suci, dan tidak Najis baik dalam keadaan hidup maupun mati. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (1/ 474)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَقِيَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا جُنُبٌ فَأَخَذَ بِيَدِي فَمَشَيْتُ مَعَهُ حَتَّى قَعَدَ فَانْسَلَلْتُ فَأَتَيْتُ الرَّحْلَ فَاغْتَسَلْتُ ثُمَّ جِئْتُ وَهُوَ قَاعِدٌ فَقَالَ أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هِرٍّ فَقُلْتُ لَهُ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ يَا أَبَا هِرٍّ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ

Dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjumpa dengan aku padahal aku dalam keadaan junub. Beliau menggandeng tanganku hingga aku pun berjalan bersama beliau hingga beliau duduk. Aku lantas pergi diam-diam kembali ke rumah untuk mandi. Kemudian kembali lagi dan beliau masih duduk. Beliau lalu bertanya: “Kemana saja kamu tadi wahai Abu Hurairah?” Maka aku ceritakan pada beliau. Beliau lalu bersabda: “Subhanallah! Wahai Abu Hurairah, seorang Muslim itu tidaklah najis.”(H.R.Bukhari)

Alasan bahwa wanita pada saat sedang Haid tubuhnya terkena Janabah sehingga jika ada bagian tubuh yang terpotong maka bagian tersebut tetap dihukumi tubuh yang Junub yang harus disucikan juga tidak bisa diterima karena alasan ini adalah penetapan hukum Syara’ dengan Manthiq (logika), bukan Istinbath (penggalian hukum) Nash apa adanya. Hukum Syara’ tidak boleh ditetapkan dengan Manthiq, tetapi harus ditetapkan dengan Istinbath yang Syar’i.

Lagipula, Nash menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari badan seperti rambut dan daging tidak dihukumi Junub yang harus dimandikan sendiri seperti memandikan badan yang Junub. Abu Dawud meriwayatkan;

سنن أبى داود – م (1/ 139)

عَنْ عُثَيْمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّهُ جَاءَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ قَدْ أَسْلَمْتُ. فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ ». يَقُولُ احْلِقْ. قَالَ وَأَخْبَرَنِى آخَرُ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لآخَرَ مَعَهُ « أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ ».

Dari ‘Utsaim bin Kulaib dari Ayahnya dari kakeknya bahwasanya dia pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata; Saya masuk Islam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Buanglah rambut kafirmu”. Maksudnya beliau bersabda: “Cukurlah”. Dan perawi lain telah mengabarkan kepadaku bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada orang lain yang bersamanya: “Cukurlah rambut kafirmu dan berkhitanlah (H.R.Abu Dawud)“.

Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang baru masuk Islam diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mencukur rambutnya dan berkhitan. Mencukur rambut bermakna memisahkan sebagian rambut dari tubuh. Berkhitan bermakna memisahkan sebagian daging dari tubuh. Perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada orang yang baru masuk islam untuk mencukur rambut dan berkhitan sebelum mandi besar menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari badan tidak dihukumi Junub sehingga harus dimandikan dulu sebelum terpisah dari tubuh. Oleh karena itu hadis ini menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari badan oleh orang yang terkena Janabah tidak dihukumi Junub yang harus dimandikan tersendiri.

Yang lebih menguatkan lagi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan Aisyah untuk bersisir padahal dalam kondisi Haid. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (2/ 24)

عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ

أَهْلَلْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَكُنْتُ مِمَّنْ تَمَتَّعَ وَلَمْ يَسُقْ الْهَدْيَ فَزَعَمَتْ أَنَّهَا حَاضَتْ وَلَمْ تَطْهُرْ حَتَّى دَخَلَتْ لَيْلَةُ عَرَفَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ لَيْلَةُ عَرَفَةَ وَإِنَّمَا كُنْتُ تَمَتَّعْتُ بِعُمْرَةٍ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي وَأَمْسِكِي عَنْ عُمْرَتِكِ فَفَعَلْتُ فَلَمَّا قَضَيْتُ الْحَجَّ أَمَرَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ لَيْلَةَ الْحَصْبَةِ فَأَعْمَرَنِي مِنْ التَّنْعِيمِ مَكَانَ عُمْرَتِي الَّتِي نَسَكْتُ

Dari ‘Urwah bahwa ‘Aisyah berkata, “Aku bertalbiyah (memulai haji) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada haji Wada’. Dan aku adalah di antara orang yang melaksanakannya dengan cara Tamattu’ namun tidak membawa hewan sembelihan.” Aisyah menyadari bahwa dirinya mengalami Haid dan belum bersuci hingga tiba malam ‘Arafah. Maka ‘Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, malam ini adalah malam ‘Arafah sedangkan aku melaksanakan Tamattu’ dengan Umrah lebih dahulu?” Maka bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya: “Urai dan sisirlah rambut kepalamu, lalu tahanlah Umrahmu.” Aku lalu laksanakan hal itu. Setelah aku menyelesaikan haji, beliau memerintahkan ‘Abdurrahman pada malam Hashbah (Malam di Muzdalifah) untuk melakukan Umrah buatku dari Tan’im, tempat dimana aku mulai melakukan Manasikku.”(H.R.Bukhari)

Wanita yang bersisir secara alami akan membuat sebagian rambutnya rontok. Seandainya mengumpulkan rambut saat Haid dengan maksud disucikan tersendiri disyariatkan, niscaya nabi akan mengajarkan hal tersebut kepada aisyah. Kenyataannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak menyinggung sama sekali masalah pengumpulan rambut. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada syariat pengumpulan rambut, atau kuku, atau daging yang terpisah dari badan saat orang dalam keadaan Junub seperti sedang hadis atau setelah berhubungan suami istri.

Adapun larangan memotong rambut atau kuku dengan alasan bahwa orang yang Junub jika memotong rambutnya atau kukunya, maka di akhirat seluruh bagian tubuhnya akan kembali kepadanya, dan pada hari Kiamat dia akan berdiri dalam keadaan tubuhnya mengandung Janabah dengan kadar sesuai dengan bagian tubuh yang dihilangkan dalam kondisi Junub ketika di dunia, dan setiap rambut akan mengandung Janabah sesuai dengan kadar rambut yang dihilangkan dalam keadaan Junub di dunia yang mana rambut berjanabah tersebut akan menuntut pemiliknya,misalnya seperti rekomendasi Al-Ghazzali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin;

إحياء علوم الدين (2/ 51)

ولا ينبغي أن يحلق أو يقلم أو يستحد أو يخرج الدم أو يبين من نفسه جزءا وهو جنب إذ ترد إليه سائر أجزائه في الآخرة فيعود جنبا ويقال إن كل شعرة تطالبه بجنابتها

“Tidak seyogyanya mencukur rambut,memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, mengeluarkan darah, atau memisahkan anggota tubuh dalam keadaan Junub, karena seluruh anggota tubuh akan dikembalikan di akhirat, sehingga kembalinya dalam keadaan junub. Konon, setiap satu rambut kan menuntut hamba karena Janabahnya itu” (Ihya Ulumuddin, vol.2 hlm 51)

Teks – teks kitab yang redaksinya berbeda dengan redaksi kitab Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien.

Berikut ini adalah kutipan masing-masing dari teks-teks kitab ulama madzhab Syafi’i yang menyatakan kesunahan, dan redaksi yang di pakai adalah “يُسَنُّ” atau “نُدِبَ” (yang artinya: di sunnahkan), tidak lagi menggunakan kata “لا يَنْبَغِي” (la yanbaghi). Kesunahan yang dikehendaki adalah kesunahan untuk supaya tidak menghilangkan sebagian anggota tubuh di waktu sedang berhadats besar, baik penghilangan tersebut dengan semisal mencukur rambut kepala, bulu kumis, berbekam, memotong kuku ataupun dengan cara yang lain.
Adapun penyebutan kutipan-kutipan ini, adalah kami maksudkan untuk memperoleh sebuah gambaran dari ketegasan atau kemantapan hukum, dan agar supaya redaksinya kitab  Ihya’ yang menyatakan “لا يَنْبَغِي” (la yanbaghi) tidak dipahami sebagai hukum keharaman secara mutlak.
a) Kitab Hāsiyah as-Syarqāwi (juz: 01, hal: 74)
 
وَيُسَنُّ كَمَا قَالَ فِى الِإحْيَاءِ لِمَنْ لَزِمَهُ غُسْلٌ أَنْ لَايُزِيْلَ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ دَمًّا وَشَعْرًا وَظُفْرًا حَتَّى يَغْتَسِلَ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِى الآخِرَةِ فَيَعُودُ جُنُبًا تَبْكِيْتًا لَهُ ثُمَّ يَزُوْلُ عَنْهُ مَاعَدَا الأَجْزَاءَ الأَصْلِيَّةَ وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجَنَابَتِهَا (حاشية الشرقاوى: ج 1 / ص 74 )

“Dan disunahkan―sebagaimana telah dikatakan di dalam kitab Ihya’―bagi orang berkewajiban mandi besar, agar supaya tidak menghilangkan sebagian dari anggota tubuhnya, walaupun berupa darah, rambut, dan kuku, sehingga dirinya mandi wajib terlebih dulu. Sebab, kelak di akhirat seluruh bagian anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam keadaan junub, untuk mengecam dengan keras dirinya. Lantas organ-organ tubuh tersebut yang tersisa hanyalah organ yang asli. Seraya dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut akan status jinabatnya.” (Hāsiyah as-Syarqāwi. Juz: 01, hal: 74)
b) Kitab Fathu al-‘Allām (juz: 01, hal: 349)
 
يُسَنُّ لِمَنْ ذُكِرَ أَنْ لَايُزِيْلَ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ دَمًّا أَوْ شَعْراً أَوْ ظُفْراً قبل الْغُسْلِ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِى الآخِرَةِ. لَكِنَّ الأَجْزَاءَ الأَصْلِيَّةَ البَاقِيَةَ مِنْ أَوَّلِ العُمْرِ إِلَى آخِرِهِ تَعُودُ مُتَّصِلَةً. وَأَمَّا نَحْوُ الشَّعْرِ وَالظُّفْرِ الّذِيْ أُزِيْلَ قَبْلَ المَوْتِ، فَيَعُودُ لَهُ إِلَيْهِ مُنْفَصِلاً عَنْ بَدَنِهِ، فَلَوْ أَزَالَهُ قَبْلَ الْغُسْلِ عَادَ، وَعَلَيْهِ الحَدَثُ الأَكْبَرُ لِتَبْكِيْتِهِ أَيْ تَوْبِيْخِهِ حَيْثُ أُمِرَ بِأَنْ لَايُزِيْلَهُ حَالَةَ الجَنَابَةِ أَوْ نَحْوِهَا. وَيُقَالُ: إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجَنَابَتِهَا. وَيَنْبَغِي كَمَا قَالَ الشَّبْرَامُلْسِى: أَنَّ مَحَلَّ ذَلِكَ حَيْثُ قَصَّرَ كَأَنْ دَخَلَ وَقْتُ الصَّلَاةِ وَلَمْ يَغْتَسِلْ وَإِلَّا فَلَا، كَأَنْ فَجَأَهُ المَوْتُ. (فتح العلام: ج 1 / ص 349)

“Bagi orang-orang yang telah disebutkan (yakni orang junub, wanita haid dan nifas), agar supaya tidak menghilangkan  sebagian dari anggota tubuhnya, walaupun berupa darah, rambut, atau kuku, sebelum melaksanakan mandi wajib. Dikarenakan, semua anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi kepadanya, di akhirat kelak. Akan tetapi, anggota tubuh yang asli, yang masih utuh semenjak permulaan kelahiran sampai meninggal, dikembalikan lagi dalam keadaan tersambung. Sedangkan semisal rambut dan kuku, yang sempat ia potong sebelum meninggal, dikembalikan lagi dalam keadaan terpisah dari tubuhnya. Jadi, andaikan ia hilangkan (potong) sebelum mandi wajib, maka akan dikembalikan lagi dalam kondisi menanggung hadats besar, untuk mengecam dengan keras dirinya, karena telah ceroboh melanggar perintah supaya tidak menghilangkannya (memotongnya) pada saat jinabat. Seraya dikatakan, sesungguhnya setiap helai rambut menuntut akan status jinabatnya. Seyogyanya―sebagaimana dikatakan oleh Imam as-Syubromulsi―bahwa kecaman keras tersebut berlaku bagi orang yang ceroboh, sebagaimana waktu sholat telah masuk dan dirinya belum mandi wajib―dan jika tidak ceroboh, maka tidak dikecam―lantas ajal menjemput secara mendadak. (Fathu al-‘Allām .juz: 01, hal: 349)
c) Kitab Busyro al-Karim (juz: 01, hal: 39)
 
وَنُدِبَ لِنَحْوِ جُنُبٍ أَنْ لَايُزِيْلَ شَيْئاً مِنْ بَدَنِهِ إِلَّا بَعْدَ الْغُسْلِ لِأَنَّ الْأَجْزَاءَ تَعُوْدُ اِلَيْهِ فِي الآخِرَةِ فَيَعُودُ جُنُبًا تَبْكِيْتًا لَهُ ثُمَّ تَزُولُ عَنْهُ مَا عَدَا الْأَجْزَاءَ الْأَصْلِيَّةَ  وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجَنَابَتِهَا. (بشرى الكريم: ج 1 / ص 39)

“Dan disunahkan bagi semisal orang yang sedang junub agar supaya tidak menghilangkan sebagian dari anggota tubuhnya kecuali setelah selesai mandi wajib. Sebab, kelak di akhirat seluruh bagian anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam keadaan junub, untuk mengecam dengan keras dirinya. Lantas organ-organ tubuh tersebut yang tersisa hanyalah organ yang asli. Seraya dikatakan, sesungguhnya setiap helai rambut menuntut akan status jinabatnya.” (Busyro al-Karīm. Juz: 01, hal: 39)

d) Kitab Nihayah az-Zain (hal: 31)
وَمَنْ لَزِمَهُ غُسْلٌ يُسَنُّ لَهُ أَلَّا يُزِيْلَ شَيْئاً مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ دَمّاً أَوْ شَعْراً أَوْ ظُفْراً حَتَّى يَغْتَسِلَ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِي الآخِرَةِ فَلَوْ أَزَالَهُ قَبْلَ الْغُسْلِ عَادَ عَلَيْهِ الحَدَثُ الأَكْبَرُ تَبْكِيْتاً لِلشَّخْصِ. (نهاية الزين: 31)

“Barangsiapa berkewajiban mandi besar, maka disunahkan agar supaya tidak menghilangkan sebagian dari anggota tubuhnya walaupun berupa darah, rambut, atau pun kuku, kecuali setelah selesai mandi besar. Oleh karena setiap anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi kelak di akhirat. Jadi, andaikan ia hilangkan sebelum mandi besar maka kembali pula hadats besarnya, untuk mengecam dengan keras dirinya. (Nihayah az-Zain. Hal: 31)

Adapun hadits-hadits mengenai masalah ini adalah sebagai berikut:
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali berkata, telah menceritakan kepada kami Al Harits bin Wajih berkata; telah menceritakan kepada kami Malik bin Dinar dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: ” Di bawah setiap lembar rambut adalah junub, maka basuhlah rambut dan bersihkanlah kulit.” (H.R. Tirmidzi No. 99)
Tirmidzi berkata : Dalam bab ini juga ada riwayat dari Ali dan Anas yaitu hadits berikut ini :
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali telah menceritakan kepada saya Al-Harits bin Wajih telah menceritakan kepada kami Malik bin Dinar dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  bersabda; Sesungguhnya di bawah setiap rambut ada junub, maka basuhlah rambut dan cucilah kulit. (H.R. Abu Daud No. 216)
Abu Isa berkata; “Hadits Al Harits bin Wajih adalah hadits gharib (diriwayatkan dari satu jalur saja) yang kami tidak mengetahui kecuali darinya, sedangkan ia adalah seorang syaikh yang lemah.
Abu Isa mengatakan : “Tidak sedikit para ulama yang meriwayatkan darinya, namun ia meriwayatkan hadits ini dengan sendirian, dari Malik bin Dinar. Terkadang ia disebut dengan nama Al Harits bin Wajih dan kadang dengan nama Ibnu Wajbah.”
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Adam telah menceritakan kepada kami Syarik dari Khasif berkata; telah menceritakan kepadaku seorang lelaki semenjak tiga puluh tahun yang lalu dari Aisyah berkata; “Ketika saya menganyam rambutku, lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadaku: ‘Wahai Aisyah, apakah engkau tahu bahwa setiap rambut itu ada junubnya’.” (H.R. Ahmad No. 24970)
Ini adalah hadits dha’if/lemah (yaitu satu atau dua perawinya dla’if) Abu Dawud berkata; Al-Harits bin Wajih haditsnya munkar dan dia dha’if.
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali Al Jahdlami berkata, telah menceritakan kepada kami Al Harits bin Wajih berkata, telah menceritakan kepada kami Malik bin Dinar dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya di bawah setiap rambut itu terdapat janabah, maka basuhlah rambut dan bersihkan kulit wajah kalian.” (H.R. Ibnu Majah No. 589)
Hadits di atas juga hadits dha’if karena perawinya bernama Harits bin Wajih dinyatakan sebagai perawi dla’if oleh Abu Daud, Nasa’iy, Ibnu Hajar Asqolani dan Adz Dzahabi.
Andai katapun hadits-hadits di atas ini kita ambil sebagai dalil (walaupun dla’if) maka maksud dari perkataan “di bawah setiap rambut terdapat janabat” bukanlah seperti yang disangkakan orang bahwa harus mengumpulkan dan mencuci rambut yang rontok. Jika konsekuen dengan penafsiran dan persangkaan seperti di atas, maka tidak hanya rambut dan kuku, melainkan kulit pun tidak boleh rontok. Padahal menurut ilmu pengetahuan setiap hari ada 3 juta sel kulit kita yang rontok dan berganti sel kulit baru. Bagaimana mungkin agama Islam menjadi agama yang menyulitkan bagi umatnya seperti disangkakan oleh mereka?
Selain itu dalam sebuah hadits shahih diceritakan bahwa Aisyah r.a. ketika melaksanakan haji lalu tiba-tiba datang haid malah disuruh menyisir rambutnya oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Abdullah Telah menceritakan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah bin Jubair dari Aisyah radliallahu ‘anha dia berkata; “Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada haji wada`, kami bertalbiyah dengan umrah, …. Lalu saya masuk Makkah dalam keadaan haid, saya tidak thawaf di Ka`bah dan tidak juga melakukan sai’ antara shofa dan marwah. Lalu saya melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “lepaskan ikatan rambut kepalamu, bersisirlah, dan niatkanllah untuk berhaji, serta tinggalkan umrah.” Aisyah berkata; “Saya melakukannya hingga ketika kami selesai berhaji. (H.R. Bukhari No. 4044 Muslim No. 2108, Abu Daud No. 1515, Ahmad No. 24269, Muwatha Imam Malik No. 820)
Makna dari “di bawah setiap rambut terdapat janabat/junub”, adalah pada keterangan kalimat selanjutnya “Maka basuhlah rambut itu dan bersihkan kulit wajah kalian” adalah agar ketika mandi janabat atau mandi wajib (baik setelah junub karena senggama atau karena selesai haid) agar menyeka semua bagian tubuh dengan seksama termasuk ke sela-sela rambut dan mencuci muka. Hal ini sebagai penegasan agar hal itu tidak terlewatkan.
Maka konteks waktu dan situasi dari perkataan “di bawah setiap rambut terdapat janabat/junub”, adalah ketika mandi junub dan bukan ketika sebelum mandi atau selama haid. Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
KESIMPULAN-KESIMPULAN
1-Setelah menelusuri beberapa refrensi utama kitab-kitab Syafi’iyyah sebagaimana yang telah penulis kelompokkan di atas—walaupun sebenarnya masih banyak kitab-kitab Syafi’iyyah yang belum penulis telaah—penulis belum memukan satu pun pendapat yang menghukumi haram pemotongan kuku atau mencukur rambut di saat seseorang dalam kondisi hadats besar
.
2-Redaksi kitab Ihya’ yang berbunyi وَلا يَنْبَغِي yakni, sighot yang dalam penggunaannya  memiliki dua kemungkinan arti, bisa berarti haram ataupun makruh tinggal melihat indikasi (qorinah) yang ada, sejauh pengamatan penulis dari refrensi-refrensi yang kami sebutkan sebelumnya, belum penulis temukan tafsiran sighot tersebut yang diartikan haram.

3-Dalam kitab Nihayah az-Zain, Fathu al-‘Allam dan Busyro al-Karim redaksi yang ada justru menjelaskan bahwa pemotongan semisal kuku, rambut atau mengeluarkan darah dalam kondsi junub (hadats besar) hukumnya adalah sunnah. Dengan demikian, bila hal itu tetap dilakukan tentunya tidak sampai pada tataran hukum haram. Lebih terang lagi redaksi yang dipakai oleh kitab as-Syarqawi, redaksi kitab Ihya’ yang berbunyi لا يَنْبَغِي diartikan dengan يُسَنُّ ... disunnahkan ..., atau sebagaimana redaksinya kitab Busyro al-Karīm نُدِبَ yang artinya juga ...disunnahkan. Ketegasan pernyataan sunnah agar supaya tidak mencukur rambut dan memotong kuku sebelum mandi wajib, juga kami temukan di dalam kitab “al-Fiqh ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah”, pada saat memaparkan pendapat ulama Syafi’iyyah tentang kesunahan-kesunahan mandi.

4-Dari data-data yang kami kumpulkan, sebagaimana yang telah kami paparkan di atas, belum kami temukan keterangan yang menyatakan keharaman pemotongan semisal kuku, rambut atau mengeluarkan darah dalam kondsi junub (hadats besar). Sebaliknya, yang kami temukan adalah keterangan-keterangan yang menjelaskan hukum makruh―sebagaimana dalam pandangan ulama madzhab Hanafi―atau boleh (mubah) secara mutlak―sebagaimana pandangan ulama madzhab Hambali dan fatwa-fatwa ulama kontemporer―dengan memandang hukum asalnya. 
Atau redaksi-redaksi yang menyatakan ke-sunahan untuk tidak melakukan pemotongan semisal kuku, rambut atau mengeluarkan darah dalam kondsi junub (hadats besar), sebagaimana kami temukan dalam kitab Hāsiyah as-Syarqāwi (juz: 01, hal: 79), Fathu al-‘Allām (juz: 01, hal: 339), Busyro al-Karīm (juz: 01, hal: 39), dan Nihāyah az-Zain (hal: 31). Data-data yang kami suguhkan dari selain madzhab Syafi’i memang harus kami akui bila tidak seberapa. Dengan begitu, kesimpulan yang kami ambil tentunya masih membuka pintu dan ruang lebar adanya diskusi berkelanjutan ke depan.

5-Walaupun kesimpulan kajian kita ini tidak sampai menyatakan keharaman dari tindakan tersebut, adalah bijaksana bila kita mengambil sikap kehati-kehatian dalam hal ini. Dalam arti mencukur rambut, atau memotong kuku atau yang semisalnya, selagi masih dimungkinkan untuk dilakukan sehabis mandi besar adalah lebih baik untuk ditunda terlebih dulu. Lain halnya menyisir rambut yang kusam, tentu untuk yang satu ini tanpa harus menunggu sehabis mandi besar.

6-Keterangan yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’nya memang tidak sedikit yang menyangsikannya atau mengkritiknya. Memang, bila ditinjau dari kajian ilmiyah kontemporer pernyataan semacam itu rentan dari kritikan, karena memang tidak disertai dengan dalil pijakan yang menguatkannya (melegitimasi). Dan bila dilacak sumber-sumber hadits yang menjelaskannya, yang ada justru hadits-hadits yang dlo’if atau bahkan dinilai maudlu’. Kendatipun demikian, kita tidak dibenarkan bersikap tidak sopan pada sosok ulama seperti beliau Imam al-Ghazali, dengan mencemooh atau sikap-sikap kurang ajar lainnya. Sebab sikap buruk ini di samping kontrproduktif dan tidak ilmiyah di satu sisi, juga merupakan prilaku yang tidak selaras dengan budi pekerti mulia (akhlak karimah) di sisi yang lain.
Maka keyakinan  ini adalah keyakinan yang tidak bisa dipegang. Kepercayaan ini tidak didasarkan pada riwayat yang shahih dan tidak dinyatakan dalam Al-Quran dan Assunnah baik secara eksplisit maupun implisit. Imam Al-Ghazzali sendiri mengutip statemen tersebut tanpa menjelaskan asal-usul riwayat berikut sanadnya.  Ibnu ‘Utsaimin dalam “Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darbi” berpendapat bahwa larangan bersisir saat Haid, atau memotong kuku hanya dinyatakan dalam kitab-kitab Ahli Bid’ah seperti Muhammad Yusuf Al-Ibadhy dalam kitabnya “Syarhu An-Nail Wa Syifa’-u Al-‘Alil”. ‎

Wallahu a’lam ‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...