Rabu, 25 November 2020

Hukum Berfantasi Jima'


Naluri ketertarikan terhadap lawan jenis yang ada secara alami pada setiap manusia terkadang membuat seorang pemuda dan pemudi secara sengaja berfantasi berhubungan badan/seks dengan lawan jenis sebagai pemuasan sesaat. Pasangan suami istripun kadang juga yang melakukannya, baik yang dibayangkan adalah lawan jenis yang “pernah singgah” di hatinya, atau orang asing yang menarik secara fisik. Bagaimanakah sebenarnya pandangan Syariat terhadap masalah ini? ‎
Pembahasan

Memiliki  hati yang bersih dan suci, yang terbebas dari nafsu haram, yang terhindar dari fantasi seksual yang liar, yang “perawan” dari jamahan lelaki meski hanya dalam mimpi adalah nikmat yang hanya diberikan Allah  kepada hamba-hambaNya yang dikasihi, yang tidak bisa lagi digoda oleh manisnya dunia yang sementara, yang hatinya dipenuhi cinta hanya kepada Rabbnya, yang shalatnya, pengorbanannya, jiwa raganya, hidup matinya semuanya dipersembahkan hanya untuk penciptanya, Allah Robbul Izzati Dzul Jalali wal Ikrom. Merekalah hamba-hamba Allah yang menjadi Wali-WaliNya. Merekalah para kekasih-kakasihNya yang tidak pernah merasa takut dan duka cita. Merekalah hamba-hamba yang memiliki Himmah (semangat) raksasa dan memiliki pengendalian diri yang luar biasa. Merekalah pemilik jiwa-jiwa yang tenang yang disebut Allah dalam firmanNya;

{ يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي} [الفجر: 27 – 30]

27. Hai jiwa yang tenang.

28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.

29. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku,

30. masuklah ke dalam syurga-Ku. (Al-Fajr;27-30)

Allahumma ya Robbana jadikan kami termasuk golongan mereka.

Membayangkan berhubungan seksual, berfantasi melakukan hubungan intim, dan  berimajinasi melakukan persetubuhan dengan lawan jenis (apalagi sesama jenis) yang tidak halal termasuk perbuatan dosa tanpa membedakan apakah pelakunya belum menikah ataupun sudah menikah. Fantasi seorang suami yang membayangkan wanita lain ketika bersetubuh dengan istrinya, atau fantasi seorang istri yang membayangkan lelaki lain ketika bersetubuh dengan suaminya juga termasuk dosa. Namun dosa jenis ini tidak seperti dosa perzinaan secara langsung yang dihukumi dosa besar (Kaba-ir). Dosa jenis ini termasuk dosa yang disebut Al-Quran dengan istilah Lamam. Allah berfirman;

{ الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ} [النجم: 32]

 (yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari Lamam -kesalahan-kesalahan kecil- (An-najm;32)

Menurut As-Syaukani, makna asal Lamam secara bahasa adalah sesuatu yang sedikit dan kecil. As-Syaukani berkata;

فتح القدير للشوكاني (7/ 76، بترقيم الشاملة آليا)

وأصل اللمم في اللغة : ما قلّ وصغر ،

“Makna asal Lamam secara bahasa adalah; Sesuatu yang sedikit dan kecil (Fathu Al-Qodir, vol.7 hlm 76)

Jadi berdasarkan makna bahasa ini, Lamam adalah jenis dosa yang dianggap kecil dan sedikit. Penafsiran paling indah tentang makna Lamam diberikan oleh Ibnu Abbas sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim;

صحيح مسلم (13/ 124)

 عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَشْبَهَ بِاللَّمَمِ مِمَّا قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنْ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ النُّطْقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ

Dari Ibnu Abbas dia berkata; ‘Saya tidak mengetahui  sesuatu yang paling dekat dengan makna Lamam (dosa dosa kecil) selain dari apa yang telah dikatakan oleh Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam: “Sesungguhnya Allah `Azza Wa Jalla telah menetapkan pada setiap anak cucu Adam bagiannya dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Maka zinanya mata adalah melihat, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan zinanya hati adalah  berangan-anga dan berhasrat, namun kemaluanlah yang (menjadi penentu untuk) membenarkan hal itu atau mendustakannya.” (H.R.Muslim)

Jadi, berdasarkan riwayat ini berfantasi sex termasuk zina juga, namun bukan Zina hakiki. Berfantasi sex sebagaimana memandang dengan syahwat, atau mengucapkan kata-kata porno, atau meraba, mencium dan semisalnya termasuk zina Majazi yang dihukumi dosa, namun terkategori dosa Lamam. Imam An-Nawawi menafsirkan hadis Ibnu Abbas di atas sebagai berikut;
شرح النووي على مسلم (16/ 206)

معنى الحديث أن بن آدم قدر عليه نصيب من الزنى فمنهم من يكون زناه حقيقيا بادخال الفرج في الفرج الحرام ومنهم من يكون زناه مجازا بالنظر الحرام اوالاستماع إلى الزنى وما يتعلق بتحصيله او بالمس باليد بأن يمس أجنبية بيده او يقبلها او بالمشي بالرجل إلى الزنى اوالنظر او اللمس او الحديث الحرام مع اجنبية ونحو ذلك او بالفكر بالقلب فكل هذه انواع من الزنى المجازي

“Makna hadis tersebut adalah, bahwasanya anak Adam ditetapkan bagian zinanya. Diantara mereka ada yang perzinaannya secara hakiki yakni dengan memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan yang haram, dan diantara mereka ada yang perzinaannya Majazi, yakni dengan memandang yang haram, atau mendengar perzinaan –dan semua yang berhubungan dengn upaya mendapatkannya-, atau menyentuh dengan tangan –yakni menyentuh wanita asing dengan tangannya-, atau menciumnya, atau berjalan dengan kaki untuk berzina, atau memandang atau meraba, atau ngobrol haram dengan wanita asing dan yang semisal, atau berfantasi dengan hati. Semuanya termasuk varian-varian zina Majazi” (Syarah An-Nawawi ‘Ala Muslim, vol.16 hlm.206)

Atas dasar ini, haram berfantasi sex dengan orang yang tidak halal baginya karena termasuk zina majazi. Berfantasi sex hanya diizinkan dengan orang yang halal baginya (suami istri atau budak). Berfantasi sex dengan orang yang tidak halal termasuk dosa jenis Lamam sebagai mana dosa memandang dengan syahwat, menyentuh dengan syahwat, mencium, mendengar ucapan porno, berbicara mesum, berjalan untuk berzina dan yang semakna dengannya. Lamam akan diampuni Allah dan dihapuskan jika perzinaan hakiki dihindari karena rasa takut kepada Allah. Allah berfirman;

{ الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ} [النجم: 32]

(yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari Lamam (kesalahan-kesalahan kecil). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunanNya (An-Najm;32)

Berikut doa indah yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mensucikan diri dan hati;
صحيح مسلم (13/ 251)

عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ

لَا أَقُولُ لَكُمْ إِلَّا كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كَانَ يَقُولُ … اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا

Dari Zaid bin Arqam dia berkata; “Saya tidak akan mengatakan kepada kalian kecuali seperti apa yang pernah diucapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam doanya yang berbunyi: …. ALLOOHUMMA AATI NAFSII TAQWAAHAA, WAZAKKIHAA ANTA KHOIRU MAN ZAKKAAHAA, ANTA WALIYYUHAA WAMAULAAHAA, …..Ya Allah ya Tuhanku, berikanlah ketakwaan kepada jiwaku, sucikanlah ia, sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik Dzat yang dapat mensucikannya, Engkaulah yang menguasai dan yang menjaganya” (H.R.Muslim)

Ada tiga macam fantasi yang sering menghiasi pemikirang orang-orang yang sedang bercinta dengan pasangannya :

1. Berfantasi dengan tempat bercinta; artinya seorang yang sedang bercinta dengan pasangannya membawa fikirannya ke suatu tempat yang menurutnya bisa menambah gairah seksual didalam memberikan kepuasan kepada pasangannya. Suami atau istri membayangkan sebuah kamar di hotel berbintang dengan segala fasilitas didalamnya, vila yang mewah, desa yang indah, sebuah tempat di Eropa atau yang lainnya.

2. Berfantasi dengan waktu dan suasana bercinta; artinya seorang yang sedang bercinta dengan pasangannya membayangkan bahwa mereka berdua sedang berada dalam suatu momen atau suasana terindah, seperti membayangkan bahwa ia sedang berada dalam suasana malam pertama pernikahan, liburan panjang di suatu pulau yang hanya ada mereka berdua saja, atau yang lainnya.

3. Berfantasi dengan seseorang atau banyak orang dalam bercinta; artinya seorang yang sedang bercinta dengan pasangannya membayangkan bahwa dia sedang berhubungan dengan seorang wanita selain istrinya atau si istri membayangkan bahwa dia tengah berhubungan dengan laki-laki selain suaminya.

Untuk macam fantasi yang pertama dan kedua adalah boleh dan tidak dilarang menurut syari’at dikarenakan ia hanya mengkhayalkan tempat, waktu atau suasana.

Untuk macam yang ketiga para seksolog pada umumnya tidak melarang selama si suami atau si istri menyalurkan hasratnya kepada pasangannya yang sah meski dia membayangkan wanita atau lelaki lain. Bahkan hal ini mereka anggap sebagai sesuatu yang wajar dan normal bagi setiap manusia yang berhubungan untuk lebih menambah gairah bercintanya.

Untuk macam yang ketiga menurut pendapat para ulama :

Para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah seorang laki-laki yang membayangkan wanita yang diharamkann atasnya apakah dibolehkan atau dilarang. Jumhur ulama mengharamkan bagi seorang laki-laki yang membayangkan dirinya tengah bersenggama dengan wanita asing dikarenakan ini adalah penyimpangan fitrah. Efek yang bisa ditimbulkan darinya adalah bisa jadi orang itu akan meninggalkan istrinya pada masa yang akan datang. Demikian pula dengan seorang istri yang membayangkan seorang laki-laki yang bukan suaminya.

Sebagian ulama berpendapat bahwa hal yang demikian termasuk dalam zina maknawi yang dibolehkan, karena mata kadang berzina dan zinanya adalah memandang yang diharamkan, akal kadang berzina dan zinanya adalah menikmati khayalan yang diharamkan.

Para ulama berbeda pendapat tentang seorang suami yang menggauli istrinya sambil membayangkan wanita lain, demikian pula seorang istri yang sedang digauli suaminya sedangkan dia membayangkan laki-laki lain :

Sebagian besar ulama mengatakan bahwa hal yang demikian adalah haram, ini adalah pendapat para ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali dan sebagian Syafi’i, bahkan sebagian dari mereka menganggap hal itu adalah bagian dari zina.

Ibnul Hajj al Maliki mengatakan, “…Jika seorang laki-laki melihat seorang wanita yang menarik hatinya, kemudian laki-laki itu mendatangi istrinya (jima’) dan membayangkan wanita yang tadi dilihatnya hadir dikedua bola matanya maka ini adalah bagian dari zina. Seperti halnya perkataan ulama kita terhadap orang yang mengambil segelas air dan membayangkan air itu adalah khamr yang akan diminumnya maka air itu berubah menjadi haram baginya.. Hal ini tidak hanya untuk kaum lelaki saja akan tetapi juga untuk para wanita bahkan lebih kuat lagi. Hal seperti ini bisa lebih sering terjadi pada wanita di zaman sekarang dikarenakan seringnya ia keluar rumah dan memandang orang lain. Apabila seorang wanita melihat seorang laki-laki yang menarik perhatiannya dan ketika dia berjima’ dengan suaminya dia membayangkan laki-laki yang dilihatnya tadi maka dia telah berzina.. kita meminta perlindungan kepada Allah..” (Al Madkhol)

Ibnu Muflih al Hambali mengatakan, “Ibnu ‘Aqil menguatkan hal ini didalam bukunya “ar Riayah al Kubro” yaitu seandainya seorang suami membayangkan seorang wanita yang diharamkan baginya tatkala berjima’ maka dia berdosa.”

Ibnu Abidin al Hanafi—setelah menyebutkan perkataan Ibnu Hajar al Haitamiy asy Syafi’i—mengatakan “Aku tidak melihat seorang dari kami (dari kalangan Hanafi) yang menentang hal ini, dan dia mengatakan dalam “Ad Duror”, “… karena membayangkan dia sedang menyetubuhi wanita asing adalah memvisualkan kemaksiatan secara langsung terhadap fisik wanita itu…”

Sebagian ulama Syafi’i mengharamkannya dengan mengatakan,”al Iroqi menyebutkan didalam “Thorhut Tatsrib” yaitu seandainya seorang laki-laki menyetubuhi istrinya sementara di pikirannya ia sedang menyetubuhi wanita yang diharamkan baginya maka ini adalah haram dikarenakan ia memvisualkan yang haram.” 

Wallahu a'lam‎

 

Hukum Fidyah Bagi Wanita Hamil Dan Menyusui


Di antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi keringanan kepada wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih –misalnya takut kurangnya susu- karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi Sh‎allallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ

“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.”

Perselisihan Ulama

Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa, apakah ada qodho’ ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan oleh para ulama.

Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi   Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Para ulama salaf telah berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat. ‘Ali berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib qodho’ jika keduanya tidak berpuasa dan tidak ada fidyah ketika itu. Pendapat ini juga menjadi pendapat Ibrahim, Al Hasan dan ‘Atho’. Ibnu ‘Abbas berpendapat cukup keduanya membayar fidyah saja, tanpa ada qodho’. Sedangkan Ibnu ‘Umar dan Mujahid berpendapat bahwa keduanya harus menunaikan fidyah sekaligus qodho’.”

Lengkapnya dalam masalah ini ada lima pendapat.

Pendapat pertama: wajib mengqodho’ (mengganti) puasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad. Namun menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jika wanita hamil dan menyusui takut sesuatu membahayakan dirinya (tidak anaknya), maka wajib baginya mengqodho’ puasa saja karena keduanya disamakan seperti orang sakit.

Pendapat kedua: cukup mengqodho’ saja. Inilah pendapat Al Auza’i, Ats Tsauriy, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Abu Tsaur dan Abu ‘Ubaid.

Pendapat ketiga: cukup memberi makan kepada orang miskin tanpa mengqodho’. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq, dan Syaikh Al Albani.

Pendapat keempat: mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Malik dan ulama Syafi’iyah.

Pendapat kelima: tidak mengqodho’ dan tidak pula memberi makan kepada orang miskin. Inilah pendapat Ibnu Hazm.

Dalil Ulama yang Mengharuskan Penunaian Fidyah

Firman Allah Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184). Menurut ulama yang berpendapat seperti ini, mereka mengatakan bahwa kewajiban fidyah masih berlaku bagi orang yang sudah tua renta, juga bagi wanita hamil dan menyusui.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

رخص للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة في ذلك وهما يطيقان الصوم أن يفطرا إن شاءا ويطعما كل يوم مسكينا ولا قضاء عليهما ثم نسخ ذلك في هذه الاية : ( فمن شهد منكم الشهر فليصمه ) وثبت للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة لذا كانا لا يطيقان الصوم والحبلى والمرضع إذا خافتا أفطرتا وأطعمتا كل يوم مسكينا

“Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta, lalu mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika mereka mau dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang ditinggalkan, pada saat ini tidak ada qodho’ bagi mereka. Kemudian hal ini dihapus dengan ayat (yang artinya): “Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Namun hukum fidyah ini masih tetap ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka tidak mampu berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.”

Dalam riwayat Abu Daud,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا – قَالَ أَبُو دَاوُدَ يَعْنِى عَلَى أَوْلاَدِهِمَا – أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا.

Dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman Allah (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin," ‎beliau mengatakan, “Ayat ini menunjukkan keringanan bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua renta dan mereka merasa berat berpuasa, mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa, namun mereka diharuskan untuk memberi makan setiap hari satu orang miskin sebagai ganti tidak berpuasa. Hal ini juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir –Abu Daud mengatakan: khawatir pada keselamatan anaknya-, mereka dibolehkan tidak berpuasa, namun keduanya tetap memberi makan (kepada orang miskin).”

Dalam perkataan lainnya, Ibnu ‘Abbas menyamakan wanita hamil dan menyusui dengan tua renta yaitu sama dalam membayar fidyah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau dulu pernah menyuruh wanita hamil untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Beliau mengatakan,

أنت بمنزلة الكبير لا يطيق الصيام ، فأفطري وأطعمي عن كل يوم نصف صاع من حنطة

“Engkau seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa, maka berbukalah dan berilah makan kepada orang miskin setengah sho’ gandum untuk setiap hari yang ditinggalkan.”

Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Dari Nafi’, dia berkata,

كانت بنت لابن عمر تحت رجل من قريش وكانت حاملا فأصابها عطش في رمضان فأمرها إبن عمر أن تفطر وتطعم عن كل يوم مسكينا

“Putri Ibnu Umar yang menikah dengan orang Quraisy sedang hamil. Ketika berpuasa di bulan Ramadhan, dia merasa  kehausan. Kemudian Ibnu ‘Umar memerintahkan putrinya tersebut untuk berbuka dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.”

Dalil Ulama yang Mengharuskan Qodho’

Alasan pertama: Dari Anas bin Malik, ia berkata,

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ

“Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui."

Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan,

“Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka tidak dibolehkan mengqoshor shalat. … Keringanan puasa bagi wanita hamil dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. … Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.”

Perkataan Al Jashshosh ini sebagai sanggahan terhadap pendapat keempat yaitu ulama yang berpendapat wajib mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.

Alasan kedua: Selain alasan di atas, ulama yang berpendapat cukup mengqodho’ saja (tanpa fidyah) menganggap bahwa wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa, ia pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula yang berlaku pada wanita hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)

Pendapat ini didukung pula oleh ulama belakangan semacam Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah. Syaikh Ibnu Baz ‎rahimahullah berkata,

“Hukum wanita hamil dan menyusui jika keduanya merasa berat untuk berpuasa, maka keduanya boleh berbuka (tidak puasa). Namun mereka punya kewajiban untuk mengqodho (mengganti puasa) di saat mampu karena mereka dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa cukup baginya untuk menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban qodho’ (mengganti puasa) karena keadaan mereka seperti musafir atau orang yang sakit (yaitu diharuskan untuk mengqodho’ ketika tidak berpuasa, -pen). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)

Sanggahan untuk Ulama yang Menggabungkan antara Fidyah dan Qodho’

Syaikh Musthofa Al ‘Adawihafizhohullah ketika menjelaskan perselisihan ulama mengenai puasa wanita hamil dan menyusui, beliau mengatakan,

فمنهم من ذهب إلى أنهما تفطران وتطعمان وتقضيان من هؤلاء سفيان ومالك والشافعي وأحمد ، ولا أعلم لهذا الفريق دليلا من الكتاب والسنة

“Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak puasa, namun ia harus menggantinya dengan menunaikan fidyah dan mengqodh0’ (mengganti) puasanya. Yang berpendapat seperti ini adalah Sufyan, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad. Aku tidak mengetahui adanya dari Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah mengenai pendapat ini.”

Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa diharuskannya mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, maka disanggah oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Beliau mengatakan,

وقال مالك: أما المرضع فتفطر وتطعم عن كل يوم مسكنا وتقضى مع ذلك، وأما الحامل فتقضى ولا اطعام عليها ولا يحفط هذا التقسيم عن احد من الصححابة والتابعين

“Imam Malik berpendapat bahwa adapun wanita menyusui, maka ia dibolehkan untuk tidak berpuasa dan diharuskan untuk mengganti puasannya dengan menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, dan ia juga diharuskan untuk mengqodho’ puasanya. Sedangkan untuk wanita hamil ia cukup mengqodho’, tanpa menunaikan fidyah. Mengenai pembagian semacam ini sama sekali tidak diketahui adanya sahabat dan tabi’in yang berpegang dengannya."

Ibnu Rusyd Al Maliki rahimahullah mengatakan,

ومن أفرد لهما أحد الحكمين أولى – والله أعلم – ممن جمع كما أن من أفردهما بالقضاء أولى ممن أفردهما بالاطعام فقط، لكون القراءة غير متواترة فتأمل هذا، فإنه بين.

“Barangsiapa yang memilih qodho’ saja atau fidyah saja itu lebih utama –wallahu a’lam- daripada menggabungkan antara keduanya. Adapun memilih mengqodho’ saja itu lebih utama daripada memilih menunaikan fidyah saja. Alasannya karena qiro’ah (yang menyebabkan adanya hukum fidyah saja bagi wanita hamil-menyusui) adalah riwayat yang tidak mutawatir. Renungkanlah hal ini karena hal tersebut begitu jelas.”

Sanggahan untuk Ulama yang Menyatakan Tidak Ada Qodho’ dan Tidak Ada Fidyah

Yang berpendapat semacam ini adalah Ibnu Hazm rahimahullah. Pendapat ini beralasan bahwa hukum asalnya adalah seseorang terlepas dari kewajiban. Ibnu Hazm rahimahullah –nama kunyahnya Abu Muhammad- berkata,

فلم يتفقوا على ايجاب القضاء ولا على ايجاب الاطعام فلا يجب شئ من ذلك إذ لا نص في وجوبه ولا اجماع

“Para ahli fiqih pun belum sepakat adanya kewajiban qodho’ dan fidyah (memberi makan pada orang miskin). Sehingga tidak ada sama sekali kewajiban (bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, -pen) karena tidak ada satu pun dalil yang mewajibkannya dan tidak ada pula klaim ijma’ (kesepakatan ulama) dalam hal ini.”

Namun perkataan di atas dapat saja disanggah dengan kita katakan bahwa sesungguhnya perselisihan semata tidak bisa menggugurkan suatu dalil, namun hendaknya mengambil pendapat dari orang yang memiliki dalil yang lebih kuat. Seandainya setiap perselisihan yang terjadi antara ahli fiqh itu dijadikan sebab untuk menghukumi gugurnya suatu dalil yang menjadi sandaran hukum, niscaya tidak akan ada hukum syar’i yang bertahan kecuali sedikit.

Pendapat Ibnu Hazm juga disanggah oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullahdalam perkataannya,

فمن المسائل المنسوبة إليكم القول بسقوط القضاء والإطعام عن الحامل والمرضع مع أنه لا قائل من أهل العلم بسقوط القضاء والإطعام عنهما سوى ابن حزم في المحلى ، وقوله هذا شاذ مخالف للأدلة الشرعية ولجمهور أهل العلم فلا يلتفت إليه ولا يعول عليه ، مع العلم بأن أرجح الأقوال في ذلك وجوب القضاء عليهما من دون إطعام لعموم الأدلة الشرعية في حق المريض والمسافر ، وهما من جنسهما ، ولحديث أنس بن مالك الكعبي في ذلك .

“Tidak ada satu pun ulama yang berpendapat gugurnya qodho’ dan fidyah bagi wanita hamil dan menyusui selain Ibnu Hazm dalam Al Muhalla. Pendapatnya ini adalah pendapat yang syadz (menyimpang), yaitu menyelisihi dalil-dalil syar’i yang digunakan oleh mayoritas ulama. Oleh karena itu, pendapat tersebut tidak perlu diperhatikan dan tidak perlu diikuti. Pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah diwajibkan untuk qodho’ bagi wanita hamil dan menyusui, tanpa perlu menunaikan fidyah. Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits syar’i yang membicarakan wajibnya qodho’ bagi orang yang sakit dan musafir (ketika ia tidak berpuasa). Wanita hamil dan menyusui adalah semisal orang sakit dan musafir. Dasar dari hal ini disebutkan dalam hadits Anas bin Malik Al Ka’bi."

Mengkritisi Pendapat Ibnu ‘Abbas

Sebagaimana yang telah kami nukilkan di awal tulisan, Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa hukum yang disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 184 belumlah dihapus yaitu masih disyariatkan fidyah pada wanita hamil dan menyusui. Inilah alasan ulama yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa cukup menunaikan fidyah saja, tanpa mengqodho’. Ayat yang dimaksud adalah,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184).

Namun pendapat yang benar, ayat di atas telah dinaskh (dihapus) dengan ayat,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185) ‎Surat Al Baqarah ayat 184 yang disebutkan di atas menerangkan bahwa orang yang mampu untuk berpuasa, maka ia punya pilihan untuk berpuasa ataukah menunaikan fidyah. Ayat ini telah dihapus dengan ayat setelahnya, yaitu ayat 185, yang menerangkan mengenai penegesan wajibnya puasa. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Salamah bin Al Akwa’

Namun kenapa Ibnu ‘Abbas berpendapat adanya fidyah bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa?

Ini berasal dari qiro’ah ayat 184 yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas. Sebagaimana disebutkan riwayat dalam Shahih Al Bukhari,

حَدَّثَنِى إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ) . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ ، هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
Dari ‘Atho’, ia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca ayat tersebut dengan bacaan,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang dibebani menjalankannya (yuthowwaquunahu) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” Lantas Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Ayat ini tidaklah dimansukh (dihapus). Ayat ini masih berlaku pada laki-laki yang sudah tua renta, pada perempuan yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa. Maka mereka punya kewajiban untuk menunaikan fidyah, yaitu memberi makan pada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.

Ibnu Hajar dalam Al Fath ketika menjelaskan riwayat di atas, beliau menerangkan,

هَذَا مَذْهَب اِبْن عَبَّاس ، وَخَالَفَهُ الْأَكْثَر ، وَفِي هَذَا الْحَدِيث الَّذِي بَعْده مَا يَدُلّ عَلَى أَنَّهَا مَنْسُوخَة

“Inilah yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas, namun qiro’ah ini diselisihi oleh kebanyakan ulama. Hadits yang disebutkan oleh Al Bukhari setelah ini menunjukkan bahwa ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 184) telah dimansukh.”

Selain berargumen dengan alasan di atas, mengenai pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui cukup menunaikan fidyah saja ketika tidak berpuasa, kita katakan bahwa pendapat tersebut hanyalah pendapat sahabat yaitu Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, dan bukanlah riwayat marfu’ sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kritikan Lainnya Dari Sisi Riwayat

Terdapat riwayat dalam Al Mushannaf Abdurrazaq (4/218) bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu memiliki pendapat lain yaitu beliau mewajibkan qadha tanpa fidyah.

عن الثوري ، وعن ابن جريج عن عطاء عن ابن عباس قال : تفطر الحامل والمرضع في رمضان ، وتقضيان صياما ولا تطعمان

“Dari Ats Tsauri, dari Ibnu Juraij, dan Atha’, dari Ibnu Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”

Riwayat ini sanadnya shahih, semua perawinya tsiqah dan merupakan para perawi yang dipakai Bukhari-Muslim. Adapun Ibnu Juraij yang sering melakukan tadlis, karena dalam riwayat ini ia meriwayatkan secara ‘an’anah dari ‘Atha, maka dianggap sebagai sima’ dan tetap diterima. Sebagaimana diketahui dalam ilmu hadits, jika mudallis meriwayatkan dengan ‘an’anah dari orang yang ia biasa diambil haditsnya oleh perawinya, maka tetap diterima.

Karena tidak diketahui mana pendapat Ibnu ‘Abbas yang terakhir, maka dapat kita katakan bahwa dalam hal ini Ibnu ‘Abbas memiliki 2 pendapat.Wallahu’alam.

Terdapat juga riwayat lain dalam Sunan Al Kubra Al Baihaqi, dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau meralat pendapatnya. Beliau ruju’ kepada pendapat mewajibkan qadha saja tanpa fidyah.

عن ابن عمر أن امرأة حبلى صامت في رمضان فاستعطشت ، فسئل عنها ابن عمر : فأمرها أن تفطر وتطعم كل يوم مسكينا مدا ثم لا يجزيها فإذا صحت قضت

“Dari Ibnu Umar, ada seorang wanita hamil yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian ia kehausan. Wanita ini bertanya kepada Ibnu ‘Umar, lalu beliau memerintahkan wanita tersebut untuk tidak berpuasa dan membayar fidyah. Kemudian setelah itu, Ibnu ‘Umar tidak membolehkannya, ia memerintahkan jika ia sudah sehat ia wajib meng-qadha” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra, 4/230)

Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi menyatakan bahwa sanad riwayat tersebut terdapat kritikan. Karena dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Abdirrahman bin Abi Labibah. Ibnu Hajar berkata: “Ia lemah, sering memursalkan hadits” (Taqrib At Tahdzib, no.6080).

Terdapat penguat dari riwayat lain untuk riwayat Ibnu ‘Abbas dalam Al Muhalla (4/251) milik Ibnu Hazm:

كَمَا رُوِّينَا مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: تُفْطِرُ الْحَامِلُ، وَالْمُرْضِعُ فِي رَمَضَانَ وَيَقْضِيَانِهِ صِيَامًا وَلا إطْعَامَ عَلَيْهِمَا

“Sebagaimana yang kami riwayatkan, dari Abdurrazaq, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”

Menurut Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi, adanya kesamaan sanad antara riwayat ini dengan riwayat Ibnu ‘Umar dalam Sunanul Kubra Al Baihaqi, ada 2 kemungkinan:

Pertama, mungkin ‘Abdurrazaq salah dalam menyebut Ats Tsauri
Kedua, mungkin Ats Tsauri memiliki fatwa serupa dengan Ibnu ‘Abbas.‎
Ketiga. kemungkinan ini tidak menafikan keshahihan sanadnya.

Dengan demikian, pendapat yang menyatakan wajib qadha tanpa fidyah untuk semua keadaan didukung pula oleh Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, bahkan Ibnu ‘Abbas menyatakan meralat pendapatnya. Ini pun sekaligus membantah klaim sebagian ulama bahwa fatwa Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar tentang wajib fidyah saja adalah ijma’ sukuti.

Pihak – Pihak Yang Terkenai Hukum Fidyah

1. Orang yang sudah lanjut usia.

Orang yang lanjut usia, pria maupun wanita, yang masih sehat akalnya dan tidak pikun namun tidak mampu melakukan shaum. Maka diizinkan baginya untuk tidak bershaum pada bulan Ramadhan namun diwajibkan atasnya membayar fidyah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, :

ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ). قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ، هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا.

Shahabat Ibnu ‘Abbas membaca ayat ‘Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak bershaum) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” [Al-Baqarah : 184]; maka beliau berkata : “Ayat tersebut tidaklah dihapus hukumnya, namun berlaku untuk pria lanjut usia atau wanita lanjut usia yang tidak mampu lagi untuk bershaum (pada bulan Ramadhan). Keduanya wajib membayar fidyah kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ia tinggalkan (ia tidak bershaum). [HR. Al-Bukhari 4505]

2. Sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya

Seorang yang tidak mampu bershaum disebabkan sakit dengan jenis penyakit yang sulit diharapkan kesembuhannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan pula oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau juga berkata tentang ayat di atas :

لاَ يُرَخَّصُ فِي هَذَا إِلاَّ لِلَّذِي لاَ يُطِيْقُ الصِّيَامَ أَوْ مَرِيضٌ لاَ يُشْفَى

“Tidaklah diberi keringanan pada ayat ini (untuk membayar fidyah) kecuali untuk orang yang tidak mampu bershaum atau orang sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya. [An-Nasa`i]

3. Wanita hamil dan menyusui.

Para ‘ulama sepakat bahwa wanita yang sedang hamil atau menyusui diperbolehkan baginya untuk tidak bershaum di bulan Ramadhan jika dia tidak mampu untuk bershaum, baik ketidakmampuan tersebut kembali kepada dirinya sendiri atau kekhawatiran terhadap janin atau anaknya. Namun apabila dia mampu untuk bershaum maka tetap baginya kewajiban bershaum sebagaimana dijelaskan oleh Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam fatawa beliau jilid 1 hal. 497-498.

Sedangkan permasalahan hukum yang berlaku bagi wanita hamil atau menyusui jika dia tidak bershaum di bulan Ramadhan maka terjadi perbedaan pandang dikalangan para Ulama dalam beberapa pendapat :

Pendapat pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada kewajiban atas wanita hamil atau menyusui kecuali mengqadha` secara mutlak (tidak ada kewajiban atasnya membayar fidyah), baik disebabkan ketidakmampuan atau kekhawatiran terhadap diri sendiri jika bershaum pada bulan Ramadhan, maupun disebabkan kehawatiran terhadap janin atau anak susuannya. Dalil Pendapat Pertama ini adalah :

1. Firman Allah subhanahu wata’ala :

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا . البقرة: ١٨٤

“…Barang siapa dalam kondisi sakit …”

Bentuk pendalilan dari ayat ini adalah bahwa wanita hamil atau menyusui yang tidak mampu untuk bershaum sama dengan orang yang tidak mampu bershaum karena sakit. Telah kita ketahui bahwa hukum yang berlaku bagi seorang yang tidak bershaum karena sakit adalah wajib mengqadha`. Maka atas dasar itu berlaku pula hukum ini bagi wanita hamil atau menyusui.

2. Dalil mereka yang kedua adalah hadits yang diriwayatkan dari shahabat Anas bin Malik Al-Ka’bi radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :

… إِنَّ اللهَ وَضَعَ شَطْرَ الصَّلاَةِ -أَوْ نِصْفَ الصّلاَةِ- وَ الصَّومَ عَنِ الْمُسَافِرِ وَعَنِ الْمُرْضِعِ وَ الْحُبْلَى (رواه الخمسة)

“Sesungguhnya Allah memberikan keringanan setengah dari kewajiban sholat (yakni dengan mengqoshor) dan kewajiban bershaum kepada seorang musafir serta wanita hamil dan menyusui.” [HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, An Nasa’i dan Al-Imam Ahmad].

Sisi pendalilan dari hadits ini, bahwa Allah subhanahu wata’ala mengaitkan hukum bagi musafir sama dengan wanita hamil atau menyusui. Hukum bagi seorang musafir yang berifthar (tidak bershaum) di wajibkan baginya qadha`, maka wanita hamil atau menyusui yang berifthar (tidak bershaum) terkenai pada keduanya kewajiban qadha` saja tanpa fidyah sebagaimana musafir.

Pendapat kedua : bahwa wanita hamil atau menyusui yang berifthar ( tidak bershaum ) karena kekhawatiran terhadap janin atau anak susuannya,wajib atasnya untuk membayar fidyah, tanpa harus mengqadha`.

Di antara dalil mereka yaitu :

1. Atsar Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata :

الحَامِلُ وَالمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا عَلَى أَوْلاَدِهِمَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا [رواه أبو داود]

“Wanita hamil atau menyusui dalam keadaan keduanya takut terhadap anaknya boleh bagi keduanya berifthar ( tidak bershaum ) dan wajib bagi keduanya membayar fidyah. [HR Abu Dawud]

2. Juga atsar Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa beliau berkata :

إِذَا خَافَتِ الحَامِلُ عَلَى نَفْسِهَا وَالمُرْضِعُ عَلَى وَلَدِهَا فِي رَمَضَانَ، قَالَ : يُفْطِرَانِ وَيُطْعِمَانِ عَلَى كُلِّ يَوْمٍ مَسْكِيْنًا وَلاَ يَقْضِيَانِ صَوْمًا

(Ibnu Abbas ditanya), jika wanita hamil khawatir terhadap dirinya dan wanita menyusui khawatir terhadap anaknya berifthor di bula Ramadhan ) beliai berkata : kedianya boleh berifthor dan wajib keduanya membaya fidyah pada setiap harinya seorang miskin dan tidak ada qodho’ bagi keduanya.[Ath-Thabari]

Juga masih dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata kepada seorang wanita hamil atau menyusui :

أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِيْ لاَ يُطِيْقُ، عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِي مَكَانَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ

“Engkau posisinya seperti orang yang tidak mampu (bershaum). Wajib atasmu memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari (yang engkau tidak bershaum), dan tidak ada kewajiban qadha` atasmu.” [Ath-Thabari]

Semakna dengan atsar di atas, juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma oleh Al-Imam Ad-Daraquthni (no. 250).

3. Atsar Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata :

الحَامِلُ وَالمُرْضِعُ تُفْطِرُ وَلاَ تَقْضِي

“Wanita hamil dan menyusui berifthar (boleh tidak bershaum pada bulan Ramadhan) dan tidak ada (kewajiban) untuk mengqadha` atasnya.”

Pendapat ketiga adalah : Wajib atas wanita hamil dan menyusui yang tidak bershaum pada bulan Ramadhan untuk mengqadha` sekaligus membayar fidyah apabila yang menyebabkan dia tidak bershaum adalah kekhawatiran terhadap janin atau anak susuannya.

Namun apabila yang menyebabkan dia tidak bershaum adalah karena memang dia sendiri (wanita hamil atau menyusui) tidak mampu bershaum tanpa disebabkan kekhawatiran terhadap janin atau anak susuannya, maka wajib atasnya mengqadha` tanpa membayar fidyah.

Kadar Fidyah

Para ulama berselisih pendapat ukuran/kadar fidyah menjadi tiga pendapat:

Pertama: Sebagian ulama berpendapat ½ sha’ atau 2 mud (karena 1 sha’ adalah 4 mud) yang kira-kira ½ sha’ beratnya 1,5 kg dari makanan pokok.

Kedua: Sebagian yang lain berpendapat 1 mud dari makanan, yaitu kira-kira 750 gram menurut madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah sebagaimana diriwayatkan dalam atsar Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhu.

Dari Malik, dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang wanita hamil yang tidak berpuasa karena kuatir tentang anaknya beliau menjawab, “Dia boleh berbuka dan memberi makan setiap harinya satu orang miskin satu mud dari gandum.” (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalm Sunannya (4/230) dari jalannya Imam Syafi’e dengan sanad yang shahih)

Ketiga: Sebagian ulama lain berpendapat mengeluarkansatu porsi makanan yang masak beserta lauk pauknya, ini adalah pendapat Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhudimana ketika beliau usia lanjut memberi makan 30 fakir miskin dengan roti dan daging.

Jumhur ulama mewajibkan untuk dikeluarkan makanan berdasarkan nas Al-Qur’an diatas, namun madzhab Hanafiyah membolehkan membayarkan nilainya.

Lebih baik mengambil pendapat jumhur ulama, kecuali jika mengeluarkan sejumlah nilainya lebih mendatangkan maslahat maka tidak mengapa.

Telah disebutkan dalam fatwa Lajnah Daimah (10/198): ”Kapan saja dokter memutuskan bahwa penyakit yang diderita seseorang yang karenanya tidak berpuasa tidak bisa diharapkan kesembuhannya, maka dia boleh tidak berpuasa dan wajib memberi makan untuk setiap harinya satu orang miskin sejumlah setengah sha’ dari makanan pokok suatu negeri seperti kurma atau yang lainya, jika telah memberi makan seorang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan maka itu telah mencukupi, adapun uang maka tidak mencukupinya.”

Dan fidyah boleh dikeluarkan sekaligus dari awal bulan atau akhir bulan atau setiap hari yang ia tak berpuasa padanya. Boleh juga dengan membuat makanan lalu mengundang atau dikirimkan kepada fakir miskin sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Anas bin MalikRadhiallahu ’Anhu:

أنه ضعف عن الصيام عاما فصنع جفنة ثريد ودعا ثلاثين مسكينا وأشبعهم

“Bahwa beliau tidak mampu berpuasa selama setahun lalu beliau membuat satu nampan besar bubur dan mengundang tiga puluh orang miskin dan mengenyangkan mereka. (HR. Ad-Daruquthni (2/207/16) dan dishahihkan sanadnya oleh Syeikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ (4/21).”

Dari perbedaan ulama diatas kadar fidyah paling sedikit adalah 1 mud, tapi yang paling utama atau lebih berhati-hati kita mengeluarkan ½ sha' atau memberi satu porsi makanan masak kepada setiap miskin.

Waktu Pembayaran Fidyah

Seseorang dapat membayar fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak melaksanakan puasa. Atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau telah tua.
Yang tidak boleh dilaksanakan adalah pembayaran fidyah yang dilakukan sebelum Ramadhan. 
Misalnya:  Ada orang yang sakit yang tidak dapat diharapkan lagi kesembuhannya, kemudian ketika bulan Sya’ban telah datang, dia sudah lebih dahulu membayar fidyah. Maka yang seperti ini tidak diperbolehkan. Ia harus menunggu sampai bulan Ramadhan benar-benar telah masuk, barulah ia boleh membayarkan fidyah ketika hari itu juga atau bisa ditumpuk di akhir Ramadhan.

Cara Pembayaran Fidyah

Inti pembayaran fidyah adalah mengganti satu hari puasa yang ditinggalkan dengan memberi makan satu orang miskin. Namun, model pembayarannya dapat diterapkan dengan dua cara,

Memasak atau membuat makanan, kemudian mengundang orang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Anas bin Malik ketika beliau sudah menginjak usia senja (dan tidak sanggup berpuasa).

Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Alangkah lebih sempurna lagi jika juga diberikan sesuatu untuk dijadikan lauk.
Pemberian ini dapat dilakukan sekaligus, misalnya membayar fidyah untuk 20 hari disalurkan kepada 20 orang miskin. 

Atau dapat pula diberikan hanya kepada 1 orang miskin saja sebanyak 20 hari. Al Mawardi mengatakan, “Boleh saja mengeluarkan fidyah pada satu orang miskin sekaligus. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”

 

Hukum Fidyah Bagi Yang Telah Meninggal


Mayoritas ulama 4 madzhab bersepakat bahwasanya orang yang tidak berpuasa karena udzur tertentu seperti sakit atau dalam perjalanan, kemudian pada saat itu juga dia meninggal dunia maka tidak ada kewajiban apapun bagi wali atau ahli waris orang tersebut untuk mengganti puasanya atau membayarkan fidyah untuknya.

Sebab orang tadi tidak memiliki kesempatan untuk mengganti hutang puasa yang ditinggalkan sebelum meninggal dunia.

Namun mereka berbeda pendapat mengenai orang yang mempunyai hutang puasa, kemudian dia memiliki waktu untuk mengadha’ puasa tersebut, tetapi dia tidak memanfaatkan waktu itu. Dan ternyata dia meninggal sebelum sempat membayar hutang puasanya. Dalam kondisi ini apa yang wajib dilakukan oleh ahli waris orang tersebut? Berikut ini pendapat dari masing-masing ulama’ madzhab :
Pendapat dari Para Ulama Masing-Masing Madzhab

Madzhab Hanafi
Dalam madzhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwasanya wali orang yang meninggal berkewajiban untuk membayar fidyah saja dan tidak bisa digantikan dengan qadha’.

Al-Kasani (w. 587 H) dalam Badai’ As-Shanai’ fii Tartib As-Syarai’ berkata :
 
فَإِنْ بَرِئَ الْمَرِيضُ أَوْ قَدِمَ الْمُسَافِرُ وَأَدْرَكَ مِنْ الْوَقْتِ بِقَدْرِ مَا فَاتَهُ يَلْزَمُهُ قَضَاءُ جَمِيعِ مَا أَدْرَكَ، لِأَنَّهُ قَدَرَ عَلَى الْقَضَاءِ لِزَوَالِ الْعُذْرِ، فَإِنْ لَمْ يَصُمْ حَتَّى أَدْرَكَهُ الْمَوْتُ فَعَلَيْهِ أَنْ يُوصِيَ بِالْفِدْيَةِ وَهِيَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُ لِكُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا لِأَنَّ الْقَضَاءَ قَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ ثُمَّ عَجَزَ عَنْهُ بَعْدَ وُجُوبِهِ بِتَقْصِيرٍ مِنْهُ فَيَتَحَوَّلُ الْوُجُوبُ إلَى بَدَلِهِ وَهُوَ الْفِدْيَةُ.

“Namun jika dia telah sembuh dari sakitnya atau telah datang dari berpergian, kemudian memiliki kesempatan untuk mengganti puasa yang ditinggalkan, maka dia wajib mengganti semua puasa yang ditinggalkan. Karena pada waktu itu dia telah memiliki kesempatan untuk mengadha’ karena sudah tidak ada lagi udzur.

Kemudian jika dia tidak berpuasa pada kesempatan tersebut lalu meninggal maka orang itu dihukumi wajib untuk membayar fidyah. Bentuk fidyahnya adalah dengan memberi makan satu orang miskin untuk satu hari yang ditinggalkan. Karena dia telah memiliki kesempatan untuk mengadha’, namun dia tidak mampu melakukannya karena keteledorannya, sehingga hukum wajib berpuasa berganti ke penggantinya yaitu membayar fidyah.”
Al-Marghinani (w. 593 H) dalam Al-Hidayah Syarh Bidayah Al-Mubtadi berkata :
 
( وَإِذَا مَاتَ الْمَرِيضُ أَوْ الْمُسَافِرُ وَهُمَا عَلَى حَالِهِمَا لَمْ يَلْزَمْهُمَا الْقَضَاءُ ) لأَنَّهُمَا لَمْ يُدْرِكَا عِدَّةً مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ( وَلَوْ صَحَّ الْمَرِيضُ وَأَقَامَ الْمُسَافِرُ ثُمَّ مَاتَا لَزِمَهُمَا الْقَضَاءُ بِقَدْرِ الصِّحَّةِ وَالإِقَامَةِ ) لِوُجُودِ الإِدْرَاكِ بِهَذَا الْمِقْدَارِ

“Jika ada seorang yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa) kemudian meninggal ketika masih sakit atau berpergian maka dia tidak wajib mengadha’ puasanya. Karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengganti puasanya di hari yang lain.

Namun jika, orang yang sakit tadi telah sembuh atau musafir tadi telah tiba di perjalanan kemudian meninggal dan belum sempat mengganti puasanya di hari yang lain maka dia wajib mengadha’nya sesuai dengan kadar waktu sehat serta waktu tiba mereka. Hal ini karena mereka memiliki kesempatan untuk mengqadha’ puasanya pada kadar waktu tersebut.

Az-Zaila’iy (w. 743 H) dalam Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzi Ad-Daqa’iq berkata : 
 
ولنا قوله - عليه الصلاة والسلام - «لا يصوم أحد عن أحد ولا يصلي أحد عن أحد ولكن يطعم عنه» رواه النسائي عن ابن عباس وعن ابن عمر أنه - عليه الصلاة والسلام - قال «من مات وعليه صوم شهر فليطعم عنه مكان كل يوم مسكينا» قال القرطبي إسناده حسن ورواه ابن ماجه أيضا ولأنه لا يصوم عنه في حالة الحياة فكذا بعد الموت كالصلاة

“Dasar yang kami jadikan dasar dalam masalah ini (pendapat yang hanya mewajibkan fidyah) adalah :

Sabda Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam-, “Tidak boleh seseorang berpuasa untuk mengganti puasa orang lain, atau sholat untuk mengganti sholat orang lain. Namun dia hanya cukup membayar fidyah untuknya.”
An-Nasa’i meriwayatkan dari jalur Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda, “Orang yang meninggal dunia namun memiliki hutang puasa, maka dia wajib memberi maka satu satu miskin per-satu hari yang ditinggalkan.”
Al-Qurthubi berkata sanad hadits ini Hasan dan diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah.

Selain itu, tidak boleh seseorang mengganti hutang puasa orang lain dengan berpuasa pada saat orang itu masih hidup, maka begitu pula setelah dia meninggal dunia, sebagaimana dalam shalat.”
Madzhab Maliki
Dalam madzhab Al-Malikiyah tidak ada kewajiban apapun bagi ahli waris, baik itu mengadha’ ataupun membayar fidyah, kecuali jika orang yang meninggal tersebut berwasiat, maka harus ditunaikan. Namun bentuk penunaian wasiatnya adalah dengan membayar fidyah, bukan dengan mengadha’.

Imam Malik (w. 184 H) berkata dalam Al-Mudawwanah Al-Kubra ketika menjawab pertanyaan dalam masalah ini :
 
قُلْتُ: أَرَأَيْتَ إنْ فَرَّطَ رَجُلٌ فِي قَضَاءِ رَمَضَانَ ثُمَّ مَاتَ وَلَمْ يُوصِ بِهِ؟ فَقَالَ: قَالَ مَالِكٌ: ذَلِكَ إلَى أَهْلِهِ إنْ شَاءُوا أَطْعَمُوا عَنْهُ وَإِنْ شَاءُوا تَرَكُوا، وَلَا يُجْبَرُونَ عَلَى ذَلِكَ وَلَا يُقْضَى بِهِ عَلَيْهِمْ، قَالَ: وَكُلُّ شَيْءٍ مِمَّا أَوْجَبَ عَلَيْهِ مِنْ زَكَاةٍ أَوْ غَيْرِهِ ثُمَّ لَمْ يُوصِ بِهَا لَمْ تُجْبَرْ الْوَرَثَةُ عَلَى أَدَاءِ ذَلِكَ إلَّا أَنْ يَشَاءُوا.

“Bagaimana pendapat engkau Jika ada orang yang menyepelekan mengadha’ Ramadhan kemudian meninggal tanpa berwasiat agar dia mengganti puasa yang ditinggalkan?”

Imam Malik berkata : “Itu semua kembali kepada keluarganya, jika berkenan mereka boleh membayar fidyah untuknya dan jika berkenan mereka tidak membayarnya. Tidak ada kewajiban kepada keluarga orang yang meninggal untuk membayar fidyah maupun mengadha’ puasa untuknya.”

Al-Qarafi (w. 684 H) dalam Adz-Dzakhirah menjelaskan mengenai tidak wajibnya mengadha’ untuk orang yang sudah meninggal :
وَإِنْ مَاتَ وعَلَيْهِ صِيَامٌ لَمْ يَصُمْ عَنْهُ أَحَدٌ وَصَّى بِهِ أَمْ لَاعِنْدَ مَالِكٍ

“Jika seseorang meninggal dunia, kemudian dia memiliki tanggungan puasa maka tidak wajib untuk orang lain mengadha’ puasanya. Baik dia berwasiat untuk itu atau tidak berdasarkan pendapat Imam Malik…”

Ibnu Rusyd (w. 520 H) dalam Bidayah Al-Mujtahid menjelaskan mengenai wajibnya membayar fidyah jika orang yang meninggal berwasiat :
 
وَالَّذِينَ لَمْ يُوجِبُوا الصَّوْمَ قَالُوا: يُطْعِمُ عَنْهُ وَلَيُّهُ، وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا صِيَامَ وَلَا إِطْعَامَ إِلَّا أَنْ يُوصِيَ بِهِ، وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ.

“Para ulama yang berpendapat tidak wajib bagi wali untuk mengadha’ puasa orang yang meninggal berkata, “Walinya wajib membayarkan fidyah untuknya,” sebagaimana pendapat As-Syafi’i. Dan para ulama yang lain berkata, “Wali tidak wajib untuk mengadha’ ataupun membayarkan fidyah bagi orang yang meninggal kecuali jika orang tersebut berwasiat untuk itu..”
Madzhab Syafi’i
Terjadi perbedaan pendapat dalam madzhab As-Syafi’iyyah dalam masalah ini, hal ini karena terdapat Qaul Qadim dari Imam As-Syafi’i dan Qaul Jadid. Di mana Qaul Qadim menjelaskan mengenai boleh mengganti dengan fidyah atau qadha’. Sementara Qaul Jadid menjelaskan bahwasanya yang wajib hanya membayar fidyah, dan qadha' yang dilakukan oleh wali orang yang meninggal tidak bisa mengganti hutang puasa tersebut.

An-Nawawi (w. 676 H) sebagai mujtahid tarjih dalam madzhab menjelaskan dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab mengenai perbedaan pendapat ini sekaligus merajihkan salah satu pendapat :
 
قد ذكرنا فيمن مات وعليه صوم وتمكن منه فلم يصمه حتى مات إنه علي قولين 

الجديد: المشهور في المذهب وصححه اكثر الاصحاب انه يجب الاطعام عنه لكل يوم مد من طعام ولا يجزئ الصيام عنه

“Telah kami sebutkan mengenai hukum orang yang meninggal dan memiliki hutang puasa tetapi dia tidak membayarnya meskipun mampu melakukannya sampai dia meninggal dunia, ada dua pendapat dalam madzhab :

Yang pertama : Qaul Jadid, -ini adalah pendapat masyhur di madzhab dan dishahihkan oleh mayoritas ulama madzhab- Yaitu ahli waris orang yang meninggal tadi wajib membayar fidyah untuknya, dihitung per-hari yang ditinggalkan 1 mud makanan. Dan tidak sah puasa qadha’ yang dilakukan ahli waris untuk orang itu.”

والقول الثَّانِي : وَهُوَ الْقَدِيمُ أَنَّهُ يَجُوزُ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَصُومَ عَنْهُ وَلَا يَلْزَمُهُ ذَلِكَ، وَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ لَوْ أَطْعَمَ عَنْهُ جَازَ

Pendapat kedua : Qaul Qadim, Bahwasanya boleh bagi ahli waris untuk berpuasa qadha’ untuk orang yang meninggal, namun hukumnya tidak wajib. Sehingga menurut pendapat ini jika ahli waris menggantinya dengan memberi makan orang miskin hal tersebut dibolehkan.”

Kemudian beliau memilih merajihkan pendapat kedua :

قُلْتُ الصَّوَابُ الْجَزْمُ بِجَوَازِ صَوْمِ الْوَلِيِّ عَنْ الْمَيِّتِ سَوَاءٌ صوم رمضان والنذر وغيره من الصوم الواحب لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ السَّابِقَةِ وَلَا مُعَارِضَ لَهَا وَيَتَعَيَّنُ أَنْ يَكُونَ هَذَا مَذْهَبَ الشَّافِعِيِّ لِأَنَّهُ قَالَ إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَاتْرُكُوا قَوْلِي الْمُخَالِفَ لَهُ

Aku katakan bahwasanya pendapat yang paling benar dalam masalah ini adalah pendapat yang membolehkan seorang wali untuk berpuasa qadha’ untuk orang yang telah meninggal. Baik itu puasa Ramadhan, puasa nadzar dan puasa wajib yang lain.

Dalilnya adalah hadits-hadits shahih yang baru saja kami sebutkan, dan tidak ada dalil yang bertentangan dengannya. Sehingga pendapat inilah yang terpilih sebagai pendapat madzhab As-Syafi’i.

Sebab beliau telah berkata, “Jika hadits itu shahih maka itu adalah madzhabku, sehingga tinggalkanlah pendapatku yang bertentangan dengannya.”

Adapun di antara para ulama madzhab As-Syafi’iyyah yang merajihkan qaul qadim adalah :

Zakariya Al-Anshari (w. 926 H) dalam Asna Al-Mathalib berpendapat :
 
(فمن مات وعليه صوم قضاء أو نذرا أو كفارة بعد التمكن منه وجبت الفدية في تركته) سواء أترك الأداء بعذر أم بغيره

“…..Orang yang memiliki tanggungan puasa qadha’, nadzar atau kaffarah kemudian meninggal setelah memiliki kesempatan untuk mengganti (tetapi dia tidak menggantinya pada waktu itu) maka dia wajib membayar fidyah, baik dia meninggalkan puasa tadi karena udzur atau tidak.”

Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974) dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarh Al-Minhaj berkata :

.... فَإِذَا مَاتَ قَبْلَ تَمَكُّنِهِ مِنْ قَضَائِهِ فَلَا تَدَارُكَ وَلَا إثْمَ إنْ فَاتَ بِعُذْرٍ، أَوْ بَعْدَهُ فَاتَ بِعُذْرٍ أَمْ لَا وَجَبَ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ يُخْرِجُ عَنْهُمَا ...

“…Jika seseorang meninggalkan puasa karena udzur kemudian meninggal dunia sebelum dia memiliki waktu untuk mengadha’ puasa yag ditinggalkan maka dia tidak wajib mengganti puasanya dan tidak berdosa.

Namun jika dia meninggal setelah memiliki kesempataan untuk mengganti puasa yang ditinggalkan –baik sebab meninggalkan puasa karena udzur atau tidak- maka dia wajib membayar fidyah untuk setiap hari satu mud.”‎

Madzhab Hanbali
Pendapat dari madzhab Al-Hanabilah hampir senada dengan madzhab Al-Hanafiyah, yaitu tidak ada kewajiban bagi ahli waris untuk mengadha’ puasa yang ditinggalkan, melainkan hanya dengan membayar fidyah bagi orang yang meninggal di waktu dia memiliki kesempatan untuk mengadha’. Namun ada sedikit perbedaan pendapat dari Ibnu Tamiyah.
Ibnu Qudamah (w. 620 H) dalam Al-Mughni berkata :
 
وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ مِنْ رَمَضَانَ، لَمْ يَخْلُ مِنْ حَالَيْنِ؛ أَحَدُهُمَا، أَنْ يَمُوتَ قَبْلَ إمْكَانِ الصِّيَامِ، إمَّا لِضِيقِ الْوَقْتِ، أَوْ لِعُذْرٍ مِنْ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ، أَوْ عَجْزٍ عَنْ الصَّوْمِ، فَهَذَا لَا شَيْءَ عَلَيْهِ فِي قَوْلِ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ

“...Penjelasan hal tersebut adalah bahwa orang yang meninggal dunia dan memiliki tanggungan puasa terdapat dua kondisi :

Kondisi pertama : dia meninggal sebelum mampu mengganti puasa yang ditinggalkan baik karena sempitnya waktu atau udzur seperti sakit, safar atau tidak mampu berpuasa. Untuk kondisi ini menurut pendapat mayoritas ulama dia tidak wajib mengganti dengan apapun.”

الْحَالُ الثَّانِي، أَنْ يَمُوتَ بَعْدَ إمْكَانِ الْقَضَاءِ، فَالْوَاجِبُ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُ لِكُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينٌ. وَهَذَا قَوْلُ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ.

Kondisi Kedua : dia meninggal setelah memiliki kesempatan untuk mengadha’, maka wajib baginya untuk memberi makan satu orang miskin per-hari yang ditinggalkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.”‎

Ibnu Taimiyah (w. 728 H) dalam Majmu’ Al-Fatawa berkata ketika menjawab sebuah pertanyaan mengenai orang yang meninggal dunia karena sakit di bulan Ramadhan, sehingga memiliki hutang puasa :
إذَا اتَّصَلَ بِهِ الْمَرَضُ وَلَمْ يُمْكِنْهُ الْقَضَاءُ فَلَيْسَ عَلَى وَرَثَتِهِ إلَّا الْإِطْعَامُ عَنْهُ.

“Jika orang (yang meninggal) tersebut mengalami (sebelum meninggal) sakit terus menerus dan belum memiliki kesempatan untuk mengadha maka bagi para ahli warisnya hanya berkewajiban untuk menggantinya dengan memberi maka orang miskin.”

Dari jawaban di atas bisa dipahami bahwa Ibnu Taimiyah tidak membedakan antara orang yang memiliki kesempatan untuk mengganti dengan orang yang tidak memiliki kesempatan.

Al-Mardawi (w. 885 H) dalam Al-Inshaf berkata :
قَوْلُهُ (وَإِنْ أَخَّرَهُ لِعُذْرٍ، فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَإِنْ مَاتَ) . هَذَا الْمَذْهَبُ بِلَا رَيْبٍ

“Perkataan beliau “Jika seseorang mengakhirkan untuk mengadha’ puasa yang ditinggalkan karena sebuah udzur kemudian dia meninggal sebelum qadha’ maka dia tidak wajib menggantinya dengan apapun.” Tanpa diragukan lagi ini adalah pendapat resmi madzhab.”

وظاهر قوله (وَإِنْ أَخَّرَ لِغَيْرِ عُذْرٍ فَمَاتَ قَبْلَ رَمَضَانَ آخَرَ أُطْعِمَ عَنْهُ لِكُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينٌ) أَنَّهُ لَا يُصَامُ عَنْهُ، وَهُوَ صَحِيحٌ، وَهُوَ الْمَذْهَبُ

“ Makna yang terlihat dari perkataan beliau (Ibnu Qudamah) “Jika dia mengakhirkan puasa tanpa udzur kemudian meninggal sebelum datang Ramadhan yang lain maka harus ada yang mengganti puasa yang ditinggalkan dengan membayar fidyah memberikan makan satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan.”

Ini berarti tidak ada kewajiban untuk mengadha’ puasa orang tersebut bagi walinya. Dan ini adalah pendapat yang shahih dan pendapat resmi madzhab.”

Madzhab Dhahiri
Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam Al-Muhalla memiliki pendapat yang berbeda dari para ulama lainnya, yaitu beliau berpendapat bahwasanya bagi orang yang memiliki tanggungan puasa tidak boleh membayar fidyah, dan hanya wajib mengadha’nya, berikut kutipan perkataannya:

ومن مات وعليه صوم فرض من قضاء رمضان، أو نذر أو كفارة واجبة ففرض على أوليائه أن يصوموه عنه هم أو بعضهم، ولا إطعام في ذلك أصلا - أوصى به أو لم يوص به - فإن لم يكن له ولي استؤجر عنه من رأس ماله من يصومه عنه ولا بد - أوصى بكل ذلك أو لم يوص - وهو مقدم على ديون الناس. المحلى بالآثار

“Orang yang meninggal dunia dan memiliki tanggungan puasa fardhu baik puasa Ramadhan, nadzar atau kaffarah wajib, maka wajib bagi para walinya -baik sebagian atau seluruhnya- untuk mengadha’ puasanya. Tidak ada kewajiban sama sekali bagi mereka untuk menggantinya dengan fidyah, baik orang yang meninggal berwasiat untuk itu atau tidak.

Jika dia tidak memiliki waku maka harus ada yang menyewa orang untuk mengadha’ puasa untuknya diambil dari harta orang yang meninggal. Dan ini wajib dilakukan baik dia berwasiat untuk itu atau tidak, dan wajib didahulukan sebelum membayar hutangnya.‎

Sebab Perbedaan Pendapat

Sebab perbedaan pendapat yang terjadi adalah karena ada dua teks yang seakan-akan bertentangan maknanya, sehingga para ulama memiliki penafsiran yang berbeda dalam memahami hal tersebut.

Yang pertama adalah hadits riwayat ‘Aisyah dan Ibnu Abbas bahwasanya Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda :

«مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ، صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ نَحْوَهُ.

“Orang yang meninggal dan memiliki hutang puasa, maka wali orang tersebut harus mengadha’ puasanya.” (HR. A-Bukhari dan Muslim)

Hadits kedua adalah hadits riwayat Ibnu Umar bahwasanya Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda :

«مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ، فَلْيُطْعِمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا»

“Orang yang meninggal dunia dan memiliki hutang puasa satu bulan, maka walinya wajib memberi makan satu orang miskin per-hari yang ditiggalkan.” (HR. Ibnu Majah At-Tirmidzi)

Bagi yang berpendapat bolehnya mengadha’ untuk orang yang meninggal berdalil dengan hadits pertama, adapun hadits ke dua berdasarkan riwayat yang shahih adalah hadits mauquf, yaitu perkataan Ibnu Umar sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.

Adapun yang berpendapat tidak boleh mengadha’ dan cukup dengan fidyah berpendapat bahwa hadits ‘Aisyah di atas berkenaan dengan masalah puasa nadzar. Atau makna“Hendaknya walinya berpuasa untuknya” diartikan sebagai membayar fidyah sebagai ganti dari puasa.‎

Demikian pendapat para ulama beserta sebab perbedaan mereka dalam masalah ini. Semoga bermanfaat.

HUKUM MENGQADHA (QODHO) SHALAT ORANG SUDAH MENINGGAL DUNIA (WAFAT)

من مات وعليه صلاة فرض لم تقض ولم تفد عنه

Barangsiapa yang meninggal dunia dan mempunyai tanggungan sholat, maka sholat tersebut tidak dapat di qadha dan dibayarkan fidyahnya.

Sering kita jumpai di dalam sebuah keluarga yang salahsatu anggota keluarganya meninggal dunia. Sebelum si mayyit dimakamkan ada suatu diskusi antar mereka soal berapa fidyah yang harus dibayarkan pihak keluarga atas kelalaian si mayyit ketika masih hidupnya.

وفي قول أنها تفعل عنه – أوصى بها أم لا ما حكاه العبادي عن الشافعي لخبر فيه،

Dalam sebuah pendapat yang dikatakan oleh al-Imam al-‘Ubadi dari al-Imam asy-Syafi’i bahwa ;

"Shalat tersebut harus diqodlo’ oleh orang lain, baik si mayat berwasiat agar mengerjakan atau pun tidak (berwasiat). Hal ini didasarkan pada sebuah hadits."

وفعل به السبكي عن بعض أقاربه.

Al-Imam as-Subki juga melakukan hal yang demikian pada kerabat-kerabatnya beliau yang meninggal dunia.

Orang yang meninggalkan shalat karena sakit kemudian dia mati, maka menurut pendapat dalam madzhab Hanafi, hukumnya wajib membayar fidyah untuk setiap shalat yang ditinggalkan. Besarnya adalah 1 mud (1 mud = 675 gram atau 0.688 liter).

Berdasarkan hadits Nabi :
 لَا يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَا يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَكِنْ يُطْعِمُ

Artinya: Seseorang tidak harus berpuasa atau shalat untuk orang lain, akan tetapi hendaknya ia memberi makan (fidyah).

As-Sarakhsi dalam Al-Mabsuth mengatakan,


إذا مات وعليه صلوات يطعم عنه لكل صلاة نصف صاع من حنطة، وكان محمد بن مقاتل يقول أولا: يطعم عنه لصلوات كل يوم نصف صاع على قياس الصوم، ثم رجع فقال: كل صلاة فرض على حدة بمنزلة صوم يوم وهو الصحيح
 
Arti kesimpulan: Kalau orang meninggal punya hutang shalat, maka wajib membayar fidyah untuk setiap shalat yang ditinggalkan.

Abu Bakar Al-Ibadi Al-Hanafi mengatakan dalam Al-Jauharah


والصلاة حكمها حكم الصيام على اختيار المتأخرين، وكل صلاة بانفرادها معتبرة بصوم يوم هو الصحيح احترازا عما قاله محمد بن مقاتل أنه يطعم لصلوات كل يوم نصف صاع على قياس الصوم، ثم رجع عن هذا القول وقال: كل صلاة فرض على حدة بمنزلة صوم يوم هو الصحيح
 
Arti kesimpulan: Hukumnya shalat sama dengan hukumnya puasa. Yakni, harus membayar fidyah apabila ditingalkan.

Sebagian ulama madzhab Syafi'i juga berpendapat serupa. Dimyathi dalam Hasyiah I'anah at-Talibin mengatana

من مات وعليه صلاة فلا قضاء ولا فدية.. وفي وجه عليه كثيرون من أصحابنا أنه يطعم عن كل صلاة مدا
 
Artinya: Barangsiapa meninggal dunia dan punya hutang shalat maka tidak wajib qadha dan fidyah, akan tetapi menurut pendapat banyak ulama Syafi'i, wajib membayar fidyah 1 mud untuk setiap shalat yang ditinggalkan.

PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN QADHA SHALAT

Mayoritas ulama tidak membolehkan mengqadha-kan shalat orang yang meninggal. Namun sebagian ulama membolehkan berdasarkan pada hadits sahih riwayat Bukhari sbb:

أن ابن عمر رضى الله عنهما أمر امرأة جعلت أمها
على نفسها صلاة بقباء - يعنى ثم ماتت -فقال : صلى عنها

Artinya: Ibnu Umar pernah memerintahkan seorang perempuan yang bernadzar untuk shalat di Quba' kemudian meninggal (sebelum melaksanakan nadzar tersebut). Ibnu berkata: Shalatlah untuknya. 

Penjelasan:
Masalah qodlo terhadap shalat yang ditinggalkan mayyit terdapat Khilafiyah (perbedaan pendapat) dikalangan Ulama. Orang yang mati (mayyit) dan masih memiliki tanggungan shalat fardlu, maka shalat tersebut tidak bisa di qodlo dan tidak bisa dibayarkan fidyah, sebagaimana yang disebutkan diatas. Namun, di Indonesia ini Ahlusshunnah Waljama'ah yang bermadzhab Imam Syafi'i, dikatakan bahwa terdapat sebuah pendapat bahwa :

"Shalat harus diqadha' oleh orang lain, baik si mayyit berwasiat maupun tidak," berdasarkan pada sebuah hadits. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Ubadi dari Al-Imam Asy-Syafi'i.

Demikian juga Al-Imam As-Subki melakukan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Al-Imam Ubadi dari Al-Imam Asy-Syafi'i kepada kerabat-kerabatnya yang meninggalkan. Jadi, ketika kerabat Al-Imam As-Subki meninggal, beliau mengqodlo' sholat yang pernah di tinggalkan oleh kerabatnya.

Dijelaskan dalam Syarah kitab Fathul Mu'in ini (I'anah Tholibin), sebagai berikut.

وفي قول – كجمع مجتهدين – أنها تقضى عنه لخبر البخاري وغيره، ومن ثم اختاره جمع من أئمتنا، وفعل به السبكي عن بعض أقاربه

Dan menurut pendapat sebagian besar para Mujtahid bahwa bagi keluarganya tetap terkena beban (kewajiban membayar) karena ada hadits riwayat Imam Bukhari dan yang lainnya. Dan ternyata pendapat yang terakhir ini yang dipilih (diikuti) oleh ulama-ulama kami (Syafi'iyah) dan Al-Imam as-Subki juga melakukan hal yang demikian pada kerabat-kerabatnya beliau yang meninggal dunia.

. ونقل ابن برهان عن القديم أنه يلزم الولي إن خلف تركة أن يصلى عنه، كالصوم. وفي وجه ـ عليه كثيرون من أصحابنا ـ أنه يطعم عن كل صلاة مداً

Telah dinukil dari Ibnu Burhan dari Qoul Qadim (Madzhab Asy-Syafi'i) bahwa wajib bagi wali menshalatkan (mengqadha' sholat) yang ditinggalkan mayyit, seperti halnya puasa. Menurut sebagian besar Ashab kami (ulama-ulama Syafi'iiyah) bahwa sesungguhnya (mengganti dengan) memberi makan, untuk  setiap shalat dibayarkan satu mud (6 Ons).

Dari penjelasan diatas dapat kita disimpulkan bahwa sholat yang ditinggalkan mayyit dapat di bayar dengan beberapa cara, pertama ; Menggantinya dengan shalat (mengqadha' shalatnya) oleh keluarga mayyit, Sedangkan yang kedua ; dengan membayar fidyah (memberi makan) kepada faqir miskin, untuk setiap satu shalat maka dendanya satu Mud (6 Ons beras).

Didalam kitab Syarahnya juga dikatakan bahwa Al-Imam Ath-Thobari mengatakan.

يصل للميت كل عبادة تفعل، واجبة أو مندوبة

Setiap ibadah-ibadah yang dikerjakan akan sampai kepada mayyit baik ibadah wajib maupun ibadah sunnah

Dalam Madzhab Ahlus sunnah wal jamaah, (qoul) pendapat yang telah dipilih (Mukhtar), bahwa pahala dari amal, shalat dan yang lainnya yang diberikan akan sampai kepada mayyit. Sebab masalah sampai atau tidaknya pahala shalat, demikian juga membaca Al-Qur'an dan sebagainya adalah pembahasan yang panjang. 
Namun, untuk sekedar diketahui bahwa pahala dari semua itu sampai menurut pendapat yang lebih muktamad (kuat), agar lebih ahsan (bagus) kiranya sambil menghaturkan do'a memohon kepada Allah supaya pahalanya disampaikan kepada mayyit.

Wallahu a’lam bishshowab ‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...