Rabu, 25 November 2020

Hukum Amalan Yang Berguna Bagi Orang Meninggal


Seseorang yang telah meninggal dunia masih dapat memperoleh tambahan pahala dalam buku catatan amal kebajikannya, walaupun ia sendiri sudah tidak bisa beramal lagi. Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal, diantaranya adalah karena sedekah jariyah yang ia lakukan semasa hidup, ilmu yang pernah ia ajarkan kepada sesorang atau doa yang selalu dipanjatkan oleh anaknya yang saleh.

Para ulama berbeda pendapat terkait dengan menghadiahkan pahala kepada orang yang sudah mati, apakah sampai pahalanya? Ada dua pendapat,

Pendapat pertama, bahwa semua amal saleh yang dihadiahkan kepada mayat akan sampai kepadanya, di antaranya bacaan Al-Qur’an, puasa, shalat dan ibadah-ibadah lainnya.

Pendapat kedua, bahwa tidak akan sampai amal saleh apapun kepada mayat kecuali ada dalil bahwa amal itu sampai ke mayat. Dan ini adalah pendapat yang kuat. Dalilnya adalah firman-Nya:

 وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلا مَا سَعَى  (سورة النجم: 39)

“Dan tidak ada (pahala) bagi manusia kecuali apa yang diusahakannya,” (QS. An-Najm: 39)

Dari ayat ini, sebagian ulama mengatakan bahwa usaha orang lain tidak akan bermanfaat bagi si mayit. Namun pendapat ini adalah pendapat yang kurang tepat. Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa ayat ini hanya menunjukkan bahwa manusia tidaklah mendapatkan manfaat kecuali apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Ini benar dan tidak ada perselisihan di dalamnya. Namun ayat ini tidak menunjukkan bahwa amalan orang lain tidak bermanfaat untuk dirinya yaitu ketika orang melakukan amalan untuknya. Sebagaimana pula seseorang memiliki harta yang ia kuasai saat ini. Hal ini tidak melazimkan bahwa dia tidak bisa mendapatkan harta dari orang lain melalui hadiah yang nanti akan jadi miliknya.
Jadi sebenarnya, amalan orang lain tetap bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana ditunjukkan pada dalil-dalil yang akan kami bawakan, seperti amalan puasa dan pelunasan utang.
Namun perlu diperhatikan di sini, amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit itu juga harus ditunjukkan dengan dalil dan tidak bisa dikarang-karang sendiri. Jadi tidak boleh seseorang mengatakan bahwa amalan A atau amalan B bisa bermanfaat bagi si mayit, kecuali jika jelas ada dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan hal tersebut.
Amalan-amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit adalah sebagai berikut.
Pertama: Do’a kaum muslimin bagi si mayit
Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat bagi si mayit. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
 
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
 
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang“.” (QS. Al Hasyr: 10) Ayat ini menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Do’a dalam ayat ini mencakup semua kaum mukminin, baik para sahabat yang terdahulu dan orang-orang sesudah mereka. Inilah yang menunjukkan keutamaan iman, yaitu setiap mukmin diharapkan dapat memberi manfaat satu dan lainnya dan dapat saling mendoakan.”
Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
 
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
 
“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi”.” Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia adalah di antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak mengetahuinya.

Banyak yang mengaplikasikan dengan cara Mujahadah Berjamaah seperti Tahlilan dll... Serta dengan mengadakan Kumpulan untuk mendoakan yang telah wafat secara Berjamaah.‎

Kedua: Siapa saja yang melunasi utang si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan seorang mayit yang masih memiliki utang, kemudian beliau bertanya, “Apakah orang ini memiliki uang untuk melunasi hutangnya?” Jika diberitahu bahwa dia bisa melunasinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyolatkannya. Namun jika tidak, maka beliau pun memerintahkan, “Kalian shalatkan aja orang ini.”
Tatkala Allah memenangkan bagi beliau beberapa peperangan, beliau bersabda.‎
 
أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ
 
“Aku lebih pantas bagi orang-orang beriman dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati, namun masih meninggalkan utang, maka aku lah yang akan melunasinya. Sedangkan barangsiapa yang mati dan meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya.” ‎
Hadits ini menunjukkan bahwa pelunasan utang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.
Sedangkan apakah pelunasan utang si mayit di sini wajib ataukah tidak, di sini ada dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah. Sebagian ulama mengatakan bahwa wajib dilunasi dari baitul maal. Sebagian lagi mengatakan tidak wajib.
Ketiga: Menunaikan qodho’ puasa si mayit
Pembahasan ini telah kami jelaskan pada tulisan kami yang berjudul “Permasalahan Qodho’ Ramadhan”. Pendapat yang mengatakan bahwa qodho’ puasa bermanfaat bagi si mayit dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.
Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,
 
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
 
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ” ‎Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris.‎
Masalah Qodho puasa sudah di bahas di artikel Sebelumnya (Hukum Fidyah Bagi Yang Telah Meninggal) 
Keempat: Menunaikan qodho’ nadzar baik berupa puasa atau amalan lainnya
Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan,
 
إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ
 
“Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,
اقْضِهِ عَنْهَا
“Tunaikanlah nadzar ibumu.”
Kelima: Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia
Allah Ta’ala berfirman,
 
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى‎
 
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Di antara yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang sholih.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
 
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
 
“Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.” ‎Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.
Namun sayang, orang tua saat ini melupakan modal yang satu ini. Mereka lebih ingin anaknya menjadi seorang penyanyi atau musisi –sehingga dari kecil sudah dididik les macam-macam-, dibanding anaknya menjadi seorang da’i atau orang yang dapat memberikan manfaat pada umat dalam masalah agama. Sehingga orang tua pun lupa dan lalai mendidik anaknya untuk mempelajari Iqro’ dan Al Qur’an. Memerintahkan untuk mencari ilmu pengetahuan tentang Agama.‎
Sungguh amat merugi jika orang tua menyia-nyiakan anaknya padahal anak sholih adalah modal utama untuk mendapatkan aliran pahala walaupun sudah di liang lahat.
Keenam: Bekas-bekas amalan sholih (seperti ilmu yang bermanfaat) dan sedekah jariyah yang ditinggalkan oleh si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
 
“Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak sholih yang mendo’akan orang tuanya.”

Dan pada riwayat Ibnu Majah dari Abu Qatadah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ مَا يُخَلِّفُ الرَّجُلُ مِنْ بَعْدِهِ ثَلاَثٌ : وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ وَصَدَقَةٌ تَجْرِي يَبْلُغُهُ أَجْرُهَا وَعِلْمٌ يُعْمَلُ بِهِ مِنْ بَعْدِهِ

"Sebaik-baik apa yang ditinggalkan oleh seseorang setelah kematiannya adalah tiga perkara: anak shalih yang mendo’akannya, shadaqah mengalir yang pahalanya sampai kepadanya, dan ilmu yang diamalkan orang setelah (kematian) nya".

Dan disebutkan pada hadits yang lain riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi dari Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لاِبْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ 

"Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan seorang mukmin yang akan menemuinya setelah kematiannya adalah: ilmu yang diajarkan dan disebarkannya, anak shalih yang ditinggalkannya, mush-haf yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah untuk ibnu sabil yang dibangunnya, sungai (air) yang dialirkannya untuk umum, atau shadaqah yang dikeluarkannya dari hartanya diwaktu sehat dan semasa hidupnya, semua ini akan menemuinya setelah dia meninggal dunia".

1- Shodaqoh Jariyah

Perngertian shadaqah jariyyah menurut Madzhab Empat ialah: Suatu pemberian untuk mencari pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ada pula yang mengatakan: Memberikan shadaqah yang tidak wajib, dengan cara menguasakan barang dengan tanpa ganti (gratis). Ada pula yang mengatakan: Harta yang diberikan dengan mengharap pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ada pula yang mengatakan: Harta “wakaf”, sedangkan pengertian wakaf itu sendiri yaitu: Apa-apa yang ditahan di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala .

Dari pengertian-pengertian di atas jelas bahwa shadaqah jariyyah adalah suatu ketaatan yang dilakukan oleh seseorang untuk mencari wajah Allah, sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, agar orang-orang umum bisa memanfaatkannya sepanjang waktu tertentu, sehingga pahalanya mengalir baginya sepanjang barang yang dishadaqahkan itu masih ada.

Di antara contoh shadaqah jariyyah yang telah dilakukan di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah : Kebun kurma yang dishadaqahkan oleh Abu Thalhah (seorang sahabat Nabi) ketika turun firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

لَن تّنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

"Dan tidaklah kamu bisa mendapatkan kebaikan sehingga kamu menginfakkan (shadaqahkan) sebagian apa-apa yang kamu sukai". [Ali-Imran: 92]

Kebun yang dishadaqahkan oleh Bani An-Najjar kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam rangka untuk pembangunan masjid di waktu Nabi datang di kota Madinah.

Sumur “ruumah” yang dibeli oleh sahabat Utsman Radhiyallahu 'anhu dan beliau shadaqahkan pada waktu kaum muslimin kekurangan air. 

Tanah/kebun yang dishadaqahkan oleh sahabat Umar Radhiyallahu 'anhu, yang merupakan harta yang berharga baginya (yang dinamakan tsamgh), beliau menshadaqahkan tanah tersebut, dengan syarat tidak boleh dijual, diberikan atau diwariskan, akan tetapi buahnya (kebun/tanah itu), dishadaqahkan untuk budak, orang-orang miskin, tamu, ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal) serta karib kerabat Rasulullah.

Di antara hadits-hadits yang menyebutkan shadaqah jariyyah, adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Sesungguhnya aku telah mendangar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

مَنْ بَنَى مَسْجِدًا يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ الهِّ بَنَى الهُب لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang membangun masjid untuk mencari wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga".

Di dalam riwayat Imam Tirmidzi dari Anas bin Malik: (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda):

مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا صَغِيرًا كَانَ أَوْ كَبِيرًا بَنَى الهُل لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

"Barangsiapa yang membangun masjid, kecil maupun besar, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga".

Pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda): 

مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا وَلَوْ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ أَوْ أَصْغَرَ, بَنَى الهُْ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

"Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah Subhanahu wa Ta'ala walaupun sebesar sarang burung atau lebih kecil darinya, niscaya Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga".

2. Ilmu Bermanfaat

Sesungguhnya di antara yang bisa memberikan manfaat bagi maytit setelah kematiannya adalah ilmu yang ia tinggalkan, untuk diamalkan atau dimanfaatkan. Sama saja, apakah dia mengajarkan ilmu tersebut kepada seseorang atau dia tinggalkan berupa buku yang orang-orang mempelajarinya setelah kematiannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari hadits Abu Hurairah:

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ

"Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan seorang mukmin yang akan menyusulnya setelah kematiannya adalah ilmu yang dia ajarkan dan sebarkan".

Ibnu Majah meriwayatkan dari Muadz bin Anas dari ayahnya, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا فَلَهُ أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهِ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الْعَامِلِ 

"Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun".

Al-Bazzar meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha dia berkata : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مُعَلِّمُ الْخَيْرِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلُّ شَيْءٍ حَتَّى الْحِيْتَانُ فِي الْبَحْرِ

"Orang yang mengajarkan kebajikan dimintakan ampunan oleh segala sesuatu, sampai ikan-ikan yang ada di dalam lautan".

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا 

"Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk (kebajikan), maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun".

3. Anak Shaleh Yang Mendoakan Orang Tuanya.
Anak itu termasuk usaha orang-tua, sehingga amalan-amalan sholeh yang diamalkan si anak, juga akan menjadikan orang-tua mendapatkan pahala amalan tersebut, tanpa mengurangi pahala anak tersebut sedikitpun.

Imam Turmudzi, Imam Nasai dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

ِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ 

"Sesungguhnya sebaik-baik yang kamu makan adalah yang (kamu dapatkan) dari usaha kamu, dan sesungguhnya anak-anakmu itu termasuk usaha kamu".

Hadits (di atas) mengkhususkan anak shaleh dan sudah ma’lum kedekatan anak shaleh dari pada yang lainnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, oleh karena itulah Nabi menyebutnya pada hadits itu. Di mana anak shaleh itu selalu berdzikir dan selalu menjaga hubungan baik kepada kepada Allah. Dan ia pun tidak lupa memanjatkan do’a untuk kedua orang tuanya setelah mereka tiada. Selain itu bahwa anak shaleh yang membiasakan diri di dalam mengerjakan amalan-amalan shaleh sewaktu kedua orang tuanya hidup, yang dia mempelajari amalan-amalan shaleh itu dari keduanya, maka kedua orang tuanya mendapatkan pahala dari amalan-amalan anaknya, tanpa mengurangi pahala si anak tersebut.

Seorang bapak membutuhkan waktu yang panjang untuk membentuk anak yang shaleh. Dia memulainya dengan memilih istri yang shalehah, supaya menjadi ibu bagi anak shaleh tersebut. Kemudian mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan syari’at. Dengan ini dia menjadi anak yang shaleh, walaupun kedua orang tuanya sudah wafat. 
Perlu diketahui juga bahwa keshalihan oran-tua, bisa menjadi sarana kebaikan anak, walaupun mereka telah meninggal dunia. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَكَانَ أَبُوْهُمَا صَالِحًا

"Dan dahulu kedua orang tuanya adalah orang yang shaleh". [Al-Kahfi: 82]

Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang ke lima, pernah berkata:

مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوْتُ إلاَّ حَفِظَهُ اللهُ فِي عُقْبِهِ وَعُقْبِ عُقْبِهِ

"Tidaklah seorang mukmin meninggal dunia kecuali Allah akan menjaga anaknya dan cucunya”.

Ibnul Munkadir berkata:

إِنَّ اللهَ لَيَحْفَظُ بِالرَّجُلِ الصَّالِحِ وَلَدَهُ وَوَلَدَ وَلَدِهِ

"Sesungguhnya Allah akan menjaga anak dan cucu seorang yang shalih”.

Ketujuh: Sedekah atas nama si mayit
Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
 
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
 
“Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’"

Shodaqoh bisa berbentuk uang ataupun yang lainnya. Namun ada dawuh Rosululloh SAW 
 
تصدقت لهما باطعم الطعام 
 
Bersedekah lah untuk kedua orang tua dengan memberikan makanan.
Cara pelaksanaan sedekah itu beragam... ada yg langsung diberikan pada orang lain atau pun pada hal lain nya yang berupa uang untuk pembangunan masjid dll.
Ada pula yang dengan mengadakan acara Haul dengan berbagai rangkaian acara yang kesemuanya sebagai aplikasi pelaksanaan Dawuh tentang birul walidain (Shodaqoh. Berdoa bersama. Bersilaturrohmi dengan kerabat almarhum dll)
Hukum Menghadiahkan Pahala Bacaan Al Qur’an untuk Si Mayit
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan, “Bagaimana dengan orang yang membaca Al Qur’an Al ‘Azhim atau sebagian Al Qur’an, apakah lebih utama dia menghadiahkan pahala bacaan kepada kedua orang tuanya dan kaum muslimin yang sudah mati, ataukah lebih baik pahala tersebut untuk dirinya sendiri?”
‎Beliau rahimahullah menjawab:
Sebaik-baik ibadah adalah ibadah yang mencocoki petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. 
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan dalam khutbahnya,
 
خَيْرُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
 
”Sebaik-baik perkataan adalah kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
 
خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
 
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka.”
Ibnu Mas’ud mengatakan,
 
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ ؛ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ
 
“Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para sahabat Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”
Jika kita sudah mengenal beberapa landasan di atas, maka perkara yang telah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin generasi utama umat ini (yaitu di masa para sahabat dan tabi’in, pen) bahwasanya mereka beribadah kepada Allah hanya dengan ibadah yang disyari’atkan, baik dalam ibadah yang wajib maupun sunnah; baik amalan shalat, puasa, atau membaca Al Qur’an, berdzikir dan amalan lainnya. 

Mereka pun selalu mendoakan mukminin dan mukminat yang masih hidup atau yang telah mati dalam shalat jenazah, ziarah kubur dan yang lainnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Allah. Telah diriwayatkan pula dari sekelompok ulama salaf  mengenai setiap penutup sesuatu ada do’a yang mustajab. Apabila seseorang di setiap ujung penutup mendoakan dirinya, kedua orang tuanya, guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat yang lainnya, ini adalah ajaran yang disyari’atkan. Begitu pula doa mereka ketika shalat malam dan tempat-tempat mustajab lainnya.
Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sedekah pada mayit dan memerintahkan pula untuk menunaikan utang puasa si mayit. Jadi, sedekah untuk mayit merupakan amal sholeh. Begitu pula terdapat ajaran dalam agama ini untuk menunaikan utang puasa si mayit.
Oleh karena itu, sebagian ulama membolehkan mengirimkan pahala ibadah maliyah (yang terdapat pengorbanan harta, semacam sedekah) dan ibadah badaniyah kepada kaum muslimin yang sudah mati. Sebagaimana hal ini adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah. Jika mereka menghadiahkan pahala puasa, shalat atau pahala bacaan Qur’an maka ini diperbolehkan menurut mereka. Namun, mayoritas ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa yang disyari’atkan dalam masalah ini hanyalah untuk ibadah maliyah saja.
Oleh karena itu, tidak kita temui pada kebiasaan para ulama salaf, jika mereka melakukan shalat, puasa, haji, atau membaca Al Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum muslimin yang sudah mati atau kepada orang-orang yang istimewa dari kaum muslimin. Bahkan kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan yang disyari’atkan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, setiap orang tidak boleh melampaui jalan hidup para salaf karena mereka tentu lebih utama dan lebih sempurna dalam beramal. Wallahu a’lam.” –Demikian penjelasan Syaikhull Islam Ibnu Taimiyah

Apakah Mayit Mendengarkan Bacaan Al Qur’an?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika ada yang mengatakan bahwa bermanfaat bagi si mayit ketika dia diperdengarkan Al Qur’an dan dia akan mendapatkan pahala jika mendengarnya, maka pemahaman seperti ini sungguh keliru. Karena Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda,
 
إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
 
“Jika manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali melalui tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak sholeh yang mendo’akan dirinya. ”
Oleh karena itu, setelah kematian si mayit tidak akan mendapatkan pahala melalui bacaan Al Qur’an yang dia dengar dan amalan lainnya. Walaupun memang si mayit mendengar suara sandal orang lain dan juga mendengar salam orang yang mengucapkan salam padanya dan mendengar suara selainnya. Namun ingat, amalan orang lain (seperti amalan membaca Al Qur’an,) tidak akan berpengaruh padanya.”‎

 

Hukum Kirim Doa Bagi Orang Meninggal


Apa yang terdapat di dalam al-Quran, al-Hadis, contoh yang boleh diambil dari perbuatan para sahabat dan amalan para ulama Ahli Sunnah wal Jamaah yang berpegang dengan manhaj salaf hanyalah amalan berupa doa.  Sememangnya doa orang-orang beriman diterima oleh Allah dan akan sampai kepada orang yang telah mati jika si Mati itu beriman. 

Mendoakan si Mati adalah sunnah hukumnya dan dibolehkan apabila mencontohi sunnah Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat baginda atau amalan orang-orang Salaf as-Soleh.  Kemudian terserah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk diterima atau ditolak.  Penjelasan ini adalah bersandarkan kepada ayat-ayat di bawah ini:

وَالَّذِينَ جاءُ وْا مِنْ  بَعْدِ هِمْ  يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْـفِرْلَنَا وَلاِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَ بِالاِيْمَانِ.
 
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka itu akan berkata: Wahai Tuhan kami!  Ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman sebelum kami". 
AL HASYR, 59:10.
 ‎
رَبَّنَا اغْفِرْلِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ يَقُوْمُ الْحِسَابِ.
 
"Ya Tuhan kami!  Berilah keampunan kepadaku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (Hari Kiamat)."
IBRAHIM, 14:41.
وَاسْتـَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ.
 “Dan minta ampunlah bagi dosa-dosamu dan bagi orang-orang yang beriman".
 MUHAMMAD, 47:19.
Memohon doa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana yang terdapat pada dua ayat di atas  termasuk perbuatan ibadah bukan bid’ah.  Walaupun ayat-ayat ini merupakan hujjah, tetapi ia tidak menerangkan atau mengajar bagaimana cara berdoa selain yang telah dikerjakan oleh Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in dan tabi’u at-tabi’in yang dikenali sebagai para Salaf as-Soleh. ‎

Menurut pendapat ahli sunnah pahala, doa dan sodaqoh bisa sampai kepada orang yang sudah meninggal dan dapat bermanfaat bagi mereka.
Kalangan Ahlusunnah berhujjah dengan beberapa firman Allah Swt dan beberapa hadits shohih diantaranya :

وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا وَاتَّبَعْهُمْ ذُرِّيَّتَهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا اَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْئٍ كُلُّ إمْرِئٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنٌ (تاطور ٣١)

Dan orang – orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap –tiap manusia terpikat dengan apa yang dikerjakannya.

Allah juga berfirman :

أَبَائُكُمْ وَأَبْنَائُكُمْ لَاتَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا (النساء :١١)

Tentang orang tuamu dan anak –anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.

Dalam sebuah hadist shohih disebutkan:

عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ رَجُلًا اَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ تُوْصِ وَاَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ اَفَلَهَا اَجْرٌ اِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ (رواه مسلم ،١٦٧٢)

“Dan ‘Aisyah RA, “Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW, “Ibu saya meninggal secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga seandainya ia dapat berwasiat, tentu ia akan bersedekah. Apakah ia akan mendapat pahala jika saya bersedekah atas namanya?” Nabi menjawab, “Ya”.” (HR.Muslim, :1672).

Dalam kitab Nail al Authar juz IV juga disebutkan sebuah hadits soheh yang berbunyi:

وَعَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ اِنَّ أَبِي مَاتَ وَلَمْ يُوْصِ أَيَنْفَعُهُ اِنْ اَتَصَدَّقُ عَنْهُ؟ قَالَ نَعَمْ، (رواه أحمد ومسلم والنساء وابن ماجه)

Dari Abu Hurairah, ia meriwayatkan: Ada laki-laki datang kepada Nabi lalu ia berkata: Ayahku telah meninggal dunia dan ia tidak berwasiat apa-apa. Apakah saya bias memberikan manfaat kepadanya jika saya bersedekah atas namanya? Nabi menjawab: Ya, dapat (HR. Ahmad, Muslim, Nasa’I, dan Ibnu Majah).

Hadits tersebut diatas menegaskan bahwa pahala shodakoh itu sampai kepada ahli kubur. Sementara di hadits shahih yang lain dijelaskan bahwa shodakoh tidak hanya berupa harta benda saja, tapi juga dapat berwujud bacaan dzikir seperti kalimat la illaha illallah,subhanallah,dan lain-lain sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih berikut ini:

عَنْ اَبِي دَرْأَنْ نَاسًا مِنْ اَصْحَابِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوْا لِلنَّبِي ص.م يَارَسُوْلَ اللهِ ذَهَبَ اَهْلِ الدُّثُوْرِ بِالْاُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا تُصَلَّى وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا تَصُوْمُ وَيَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ اَمْوَالِهِمْ قَالَ اَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُوْنَ اِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ (رواه مسبلم،١٦٧٤)

“Dari Abu Dzarr RA,ada beberapa sahabat berkata kepada Nabi SAW,” Ya Rosulullah, orang-oarng yang kaya bisa (beruntung) mendapatkan banyak pahala. (Padahal) mereka shalat seperti kami shalat. Mereka berpuasa seperti kami berpuasa. Mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka. Nabi SAW menjawab, “ Bukankah Allah SWT telah menyediakan untukmu sesuatu yang dapat kamu sedekahkan? Sesungguhnya setiap satu tasbih (yang kamu baca) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah.” (HR. Muslim :1674 ).‎

Dalam hadits lain disebutkan:

وَعَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ: تَصَدَّقُوْا عَلَى اَنْفُسِكُمْ وَعَلَى اَمْوَاتِكُمْ وَلَوْ بِشُرْبَةِ مَاءٍ فَاِنْ لَمْ تَقْدِرُوْا عَلَى ذَالِكَ فَبِأَيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ تَعَالَى فَاِنْ لَمْ تَعْلَمُوْا شَيْئًا مِنَ اْلقُرْآنِ فَادْعُوْا لَهُمْ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ فَاِنَّ اللهَ وَعَدَكُمُ اْلاِجَابَةِ.

Sabda Nabi: Bersedekahlah kalian untuk diri kalian dan orang-orang yang telah mati dari keluarga kalian walau hanya air setejuk. Jika kalian tak mmampu dengan itu, bersedekahlah dengan ayat-ayat suci al-Qur’an, berdoalah untuk mereka dengan memintakan ampunan dan rahmat. Sungguh, Allh telah berjanji akan mengabulkan doa kalian.

Adzarami dan Nasa’i juga meriwayatkan hadis tentang tahlil dari Ibnu ‘Abbas RA.

قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اَعَانَ عَلَى مَيِّتٍ بِقِرَائَةٍ وَذِكْرٍ اِسْتَوْجَبَ اللهُ لَهُ الْجَنَّةَ. (رواه الدارمى والنساء عن ابن عباس.)

Rasululloh bersabda: Siapa menolong mayit dengan membacakan ayat-ayat al-Qur’an dan Zikir, Alloh akan memastikan surga baginya.(HR.ad-Darimy dan Nasa’i dari Ibnu Abbas).

Hadis diatas juga didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh ad-Daroqutni dari Anas bin Malik:

رَوَى اَبُوْ بَكْرٍ النَحَادِ فِىْ كِتَابِ السُّنَنِ عَنْ عَلِى بْنِ اَبِي طَالِبِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ مَرَّ بَيْنَ اْلمَقَابِرِ فَقَرَأَ قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ اِحْدَى عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ وَهَبَ اَجْرَهَا لِلْاَمْوَاتِ أُعْطِيَ مِنَ اْلاَجْرِ بِعَدَدِ اْلاَمْوَاتِ.

Diriwayatkan oleh Abu Bakar an-Najjad dalam kitab Sunan bersumber dari Ali bin Abi Thalib, ia mengatakan , Nabi bersabda: Siapa lewat diantara batu nisan, lalu membaca surat al-Ikhlas 11 kali dan menghadiahkan pahalanya untuk yang meninggal maka Alloh akan mengabulkannya.

Dalil-dalil inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama tentang sampainya pahala bacaan al-Qur’an,tasbih, tahlil, shalawat yang dihadiahkan kepada orang yang meninggal dunia. Begitu pula dengan sedekah dan amal baik lainnya.
Masalah ini adalah bagian dari masalah khilafiyah yang sering menjadi perdebatan dan pertentangan di kalangan umat Islam, yang mana masing-masing kelompok itu sendiri sebetulnya mempunyai dalil/dasar yang dapat dijadikan pegangan dalam melaksanakan kegiatan ibadahnya

Bahkan Ibnu Taimiyah mengatakan dalam kitab Fatawa-nya, “sesuai dengan kesepakatan para Imam bahwa mayit dapat memperoleh manfaat dari semua ibadah, baik ibadah badaniyah seperti shalat, puasa, membaca al-Qur’an, ataupun ibadah maliyah seperti sedekah dan lain-lainnya. Hal yang sama juga berlaku bagi orang yang berdoa dan membaca istighfar untuk mayit.”(Hukm al-Syari’ah al-Islamiyah fi Ma’tam al_Arba’in,hal 36)

Mengutip dari kitab Syarh al-Kanz, Imam al-Syaukani juga mengatakan bahwa seseorang boleh menghadiahkan pahala perbuatan yang ia kerjakan kepada orang lain, baik berupa shalat, puasa, haji, shadaqah, bacaan al-Qur’an atau semua bentuk perbuatan baik lainya, dan perbuatan baik tersebut sampai kepada mayit dan memberi manfaat kepada mayit tersebut menurut ulama Ahlussunnah. (Nail al-Awthar, Juz IV, hal. 142)

Menurut Imam Ibnu Taimiyah : Sesungguhnya orang yang sudah meninggal itu dapat mengambil kemanfaatan dari bacaan-bacaan Al Qur`an sebagaimana kemanfaatan yang diterima dari ibadah maliyah seperti shodaqoh dan sejenisnya. Sedangkan pendapat beliau dalam kitab Ar Ruh dikatakan bahwa :

Sebaik-baik perkara yang dapat dihadiahkan kepada orang meninggal adalah shodaqoh, istighfar, do`a dan melaksanakan haji untuk orang yang sudah meninggal. Adapun bacaan Al Qur`an yang dibaca tanpa upah ( menurut mayoritas  Ulama bahwa ta`limul Qur`an diperbolehkan mengambil upah)  yang dikirimkan kepada orang yang sudah meninggal, pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji ( yang diqodlo` oleh keluarganya ).

Masih menurut Imam Ibnu Taimiyah dan dikuatkan oleh pendapatnya Imam Ibnu Qoyyim dalam kitab yang lain menyebutkan, bahwa pelaksanaan kirim do`a, shodaqoh dll sebagaimana diatas harus diniyati dihadiahkan pada orang yang sudah meninggal, walaupun tidak disyaratkan dengan talafudz / melafalkan. (Adapun apabila dilafalkan seperti :

اللهمّ اوصِلْ واهدِ ثواب ماقرأناه من القرأن العظيم وما صلينا وما سبّحنا وما هللنا ومااستغفرنا....

Allohumma aushil wa ahdi tsawaba ma qoro`nahu minal Qur`anil `Adhim wa ma sholaina wa ma sabahna wa ma hallalna wa mas taghfarna dst.  Maka lebih afdhol ).

 Seorang mufti negara Mesir Al `Allamah Syaich Hasanain Muhammad Mahluf telah mengutip pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, beliau berpendapat: Bahwa menurut madzhab Imam Abu Hanifah, sesungguhnya orang yang melakukan ibadah, baik shodaqoh, membaca Al Qur`an, atau amal baik yang lain, pahalanya dapat dihadiahkan pada orang lain, dan pahala itu akan sampai padanya. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Al Muhibbu At Thobary, bahwa akan sampai pahala ibadah yang dikerjakan semata-mata dihadiahkan pada orang yang sudah meninggal, baik ibadah wajib maupun sunnah. ( Menurut ihthiyat / kehati-hatian para Ulama apabila ada orang yang sudah meninggal masih meninggalkan sholat, maka sebaiknya keluarganya mengqodlo sholat tersebut, dengan niyat :

اصلّى فرض الظهر اربع ركعات عن ....... لله تعالى

Usholli fardlod dhuhri arba`a roka`atin an fulanin lillahi ta`ala ) .

Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, bahwa orang  meninggal yang masih memiliki tanggungan sholat, maka keluarga wajib membayar fidyah yang besarnya 1 mud tiap-tiap 1 kali sholat yang ditinggalkan.

          Demikian juga orang meninggal yang masih mempunyai tanggungan puasa Romadhon, maka wajib diqodlo keluarganya, sebagaimana sabda Rosululloh SAW :

من مات وعليه صيام صام عنه ولـيّه ( متّفق عليه )

“ Orang meninggal yang masih memiliki tanggungan puasa, maka wajib diqodlo oleh keluarganya “
Niyatnya sebagai berikut :

نويت أداء فرض الصوم عن ........ المرحوم لله تعالى

 
Adapun menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik , hanya wajib dibayar kifarat, sebgaimana Hadits Marfu` riwayat Ibnu Umar , Rosululloh bersabda :

 من مات وعليه صيام اُطعِمَ عنه مكان كلّ يومٍ مسكينٌ

“ Orang meninggal yang masih memiliki tanggungan puasa, maka wajib dibayarkan berupa makanan pokok kepada orang miskin, sebesar 1 mud sebagai ganti setiap 1 hari puasa ”

 
Didalam syarah Al Mukhtar disebutkan bahwa : Dibenarkan kepada setiap orang yang hendak menjadikan pahala sholat dan amal baik lainnya, untuk orang lain dan pahala tersebut akan sampai kepadanya. Sebagaimana pendapat Al `Alim Al `Allamah Syaich Muhammad Nawawi bin `Aroby yang menjadi pimpinan para Ulama Hijaz, dalam kitab Nihayatuz Zain, beliau berpendapat : Salah satu bentuk sholat sunnah adalah sholat 2 rokaat untuk  orang meninggal di dalam kubur. Pendapat ini didasarkan pada sabda Rosulloh SAW :

لايأتي على المـيّت أشدّ من الليلة الأولى فارحموا بالصدقة من يموت فمن لم يجد فليصلّ ركعتين , يقرأ فيهما اى في كلّ ركعة منهما فاتحة الكتاب مرّةً وأية الكرسيّ مرّةً وألهاكم التكاثر مرّةً وقل هوالله احد عشر مرّاتٍ , ويقول بعد السلام اللهمّ إنّي صليتُ هذه الصلاةَ وتعلم مااُريد , اللهمّ ابعث ثوابـها إلى قبر .....  فيـبعث الله من ساعته إلى قبره ألفَ ملكٍ مع كلّ ملك نورٌ وهديّةٌ يؤنّسونه إلى يوم يُنفخ في الصور

“ Paling berat siksaan bagi orang meninggal adalah keadaan malam pertama, maka belas kasihanilah dengan shodaqoh, apabila tidak ada maka sholatlah 2 roka`at yang mana pada tiap roka`atnya membaca Al Fatihah 1 x , ayat kursi 1 x , Alhakumut takatsur 1 x , dan Al Ihlas 10x , setelah salam berdo`a : Ya Alloh aku mengerjakan sholat ini, dan Engkau mengerti apa yang aku harapkan, Ya Alloh hadiahkan sholatku ini kepada ………….. “
 ‎
Di dalam kitab Fathul Qodir, diriwayatkan oleh Sayyidina Ali KW,

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من مرّ على المقابر وقرأ قل هوالله احد إحدى عشرة ثمّ وهب أجرها للأموات اُعطِي من الأجر بعدد الأموات

Rosululloh SAW bersabda : Barangsiapa lewat di pekuburan, lalu membaca Surat Al Ikhlash 11 x , kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang yang meninggal di dalam pekuburan tersebut, maka ia akan memperoleh pahala sejumlah orang yang meninggal . ( Hadits ini menunjukkan bahwa hadiah bacaan Al Qur`an itu bisa sampai pada orang meninggal, dan yang membacanya juga memperoleh pahala yang besar )

Sedangkan menurut riwayat Anas RA ,

أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلم سُئل فقال السائل : إنّـا تصدّق عن موتانا وتحُجَّ عنهم وتدعو لهم , هل يصل ذلك إليهم ؟ قال نعم إنّه لَيَصِلُ إليهم وانّهم ليفرحون به كما يفرح احدكم بالطَبْق اذا اُهدِيَ اليهم

Rosululloh pernah ditanya seseorang , Wahai Rosululloh, aku shodaqoh untuk keluargaku yang telah meninggal, aku juga menghajikan mereka, berdo`a untuknya, apakah bisa sampai pahala-pahala tersebut kepada mereka ? Rosululloh bersabda : Ya , sungguh itu semua sampai kepada mereka,  sedangkan mereka merasa bahagia sebagaimana seseorang yang sedang menerima bingkisan. 
 
Didalam kitab Washiyatul Musthofa,


أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلم قال : يا عليُّ تصدّقْ على موتاك فإنّ الله تعالى قد وكّل ملائكةً يحملون صدقات الاحياء إليهم فيفرحون بها اشدّ ما كانوا يفرحون في الدنيا 

Rosululloh bersabda: Wahai Ali, shodaqohlah untuk orang mati kalian, sesungguhnya Alloh akan mengirim Malaikat membawa shodaqo-shodaqoh orang hidup kepada mereka, sedangkan mereka akan bergembira sebagaimana bergembira ketika menerima bingkisan waktu di dunia.

Dalam Pandangan Mazhab

Menurut Madzhab Syafi`i, sesungguhnya shodaqoh itu pahalanya akan sampai pada orang yang telah meninggal secara pasti (tanpa batasan). Adapun membaca Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah lain, maka pendapat yang dipilih oleh beliau sebagaimana dalam syarah Al Minhaj, adalah sampainya pahala tersebut tapi perlu keyakinan dan kemantapan dalam niyat menyampaikannya, karena merupakan bentuk do`a ( ciri-ciri do`a adalah bisa dikabulkan dan bisa tidak )

 Menurut madzhab Maliki , sudah tidak ada ikhtilaf lagi tentang sampainya pahala shodaqoh pada orang meninggal, sedangkan untuk baca`an Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah lain, masih khilafiyah walaupun para Ulama Muta`akhirin lebih cenderung menerima pendapat diterimanya pahala membaca Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah lain, kepada orang yang telah meninggal. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Ibnu Farohun, beliau berpendapat bahwa  sampainya pahala membaca Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah lain, adalah pendapat yang paling rojih / unggul .

Menurut Imam Nawawi dalam kitab Al Majmu` bahwa Al Qodli Abu Thoyyib pernah ditanya tentang khataman Al Qur`an di pekuburan, Beliau menjawab: Pahalanya untuk yang membaca, sedangkan orang-orang yang meninggal seperti orang yang menghadiri acara khataman tersebut dengan berharap rahmat dan barokah dari Al Qur`an. Berdasar ini maka khotmil Qur`an di makam hukumnya boleh. Demikian juga berdo`a yang mengiringi khotmil Qur`an, maka lebih memungkinkan dan lebih mudah diijabahi, dan do`a tersebut akan memberi manfa`at pada orang yang meninggal. Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar yang mengambil referensi dari sebagian besar Ulama-Ulama Syafi`iyah, bahwa pahala membaca Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah lain, akan sampai pada orang meninggal. 
Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ulama-Ulama madzhab Ahmad bin Hanbal
 ‎
Menurut Imam Sya`rony dalam kitab Mizan Al Kubro, beliau berpendapat bahwa diterimanya pahala membaca Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah lain, memang ada ikhtilaf, dan masing-masing memiliki dasar / hujjah. Dan madzhab Ahlus Sunnah menyatakan bahwa seseorang bisa menjadikan pahala dari amal baiknya kepada orang lain, dan pendapat ini sesuai dengan Imam Ahmad bin Hanbal.
          
Imam Muhammad ibnu Al Mirwizy pernah mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : Apabila kalian memasuki area makam, bacalah Al Fatihah, Al Ikhlas dan Al Mu`awwidzatain, dan hadiahkan pahalanya untuk ahli kubur, maka akan sampai pahalanya. Dan setelah itu berdo`alah :Allohumma aushil wa ahdi tsawaba ma qoro`tuhu minal Qur`anil `Adhim ila man fi hadzihil maqbaroh, khususon ila ………..
          
Menurut  Al `Allamah Muhammad `Aroby dalam kitab Majmu` Tsalatsi Rosa`il, bahwa sesungguhnya membaca Al Qur`an untuk orang meninggal hukumnya boleh, dan pahalanya akan sampai padanya, walaupun dalam pembacaannya tersebut dengan upah. Pendapat ini yang dipakai pegangan para Ulama Fiqih madzhab Ahlus Sunnah, yang didasarkan pada hadits riwayat Abu Hurairah RA :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من دخل المقابر ثمّ قراء فاتحة الكتاب وقل هوالله احد وألهاكم التكاثر , ثمّ قال إنّي جعلتُ ثواب ما قرأتُ من كلامك لأهل المقابر من المؤمنين والمؤمنات كانوا شفعاءَ له الى الله تعالى

“ Barangsiapa memasuki area makam, kemudian membaca Al Fatihah, Al Ikhlas dan At Takatsur, lalu berdo`a menghadiahkan baca`annya kepada ahli kubur yang mukmin dan mukminat, maka kelak ahli kubur tersebut akan memohonkan pertolongan pada Alloh untuknya “
 
Kesimpulan :
Menurut Madzhab Syafi`i   : Pahala shodaqoh akan sampai pada orang yang meninggal secara pasti (tanpa batasan). Adapun membaca Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah lain, adalah sampainya pahala tersebut tapi perlu keyakinan dan kemantapan dalam niyat menyampaikannya, karena merupakan bentuk do`a
Menurut Madzhab Maliki   :    Tidak ada ikhtilaf lagi tentang sampainya pahala shodaqoh untuk orang meninggal
Menurut Madzhab Hanbali     :  Pahala membaca Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah lain, akan sampai pada orang meninggal.

Penjelasan Dalil yang digunakan oleh Ahli bid'ah

Kaitannya dengan firman Alloh dalam Sura an-Najm ayat 39 yang sering dijadikan sebagai dalail bagi orang yang mengatakan bahwa do’a atau pahala yang tidak sampai kepada mayit yaitu:

وَاَنْ لَيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعَى (النجم: ٣٩)

“Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”(QS,an-Najm:39)

Berikut ini beberapa penafsiran para ulama ahli tafsir mengenai ayat di atas:

1. Syekh Sulaiman bin Umar Al-‘Ajili menjelaskan

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ هَذَا مَنْسُوْخُ الْحُكْمِ فِي هَذِهِ الشَّرِيْعَةِ أَيْ وَإِنَّمَا هُوَ فِي صُحُفِ مُوْسَى وَاِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِمَا السَّلاَمِ بِقَوْلِهِ “وَأَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِيَّتَهُمْ” فَأُدْخِلَ اْلأَبْنَاءُ فِي اْلجَنَّةِ بِصَلَاحِ اْللأَبَاءِ. وَقَالَ عِكْرِمَةُ إِنَّ ذَلِكَ لِقَوْمِ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى عَلَيْهِمَا السَّلَامُ وَأَمَّا هَذِهِ اْلأُمَّةُ فَلَهُمْ مَا سَعَوْا وَمَا سَعَى لَهُمُ غَيْرُهُمْ (الفتوحات الإلهية,٤.٢٣٦)

“Ibnu Abbas berkata bahwa hukum ayat tersebut telah di-mansukh atau diganti dalam syari’at Nabi Muhammad SAW. Hukumnya hanya berlaku dalam syari’at Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS, kemudian untuk umat Nabi Muhammad SAW kandungan QS. Al-Najm 39 tersebut dihapus dengan firman Allah SWT وَأَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِيَّتَهُمْ Ayat ini menyatakan bahwa seorang anak dapat masuk surga karena amal baik ayahnya. Ikrimah mengatakan bahwa tidak sampainya pahala (yang dihadiahkan) hanya berlaku dalam syari’at Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS. Sedangkan untuk umat Nabi Muhammad SAW mereka dapat menerima pahala amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikan orang lain” (Al-Futuhat Al-Ilahiyyah, Juz IV, hal 236)

2. Menurut Mufti Mesir Syekh Hasanain Muhammad Makhluf :

وَأَمَّا قَوْلُهُ تَعَلَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ اِلاً مَاسَعَى فَهُوَ مُقَيًدٌ بِمَا إِذَالَمْ يَهَبِ الْعَامِلُ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ وَمَعْنىَ ألْاَيَةِ أَنًهُ لَيْسَ يَنْفَعُ الْإِنْسَانَ فِي الْأَخِرَةِ إِلًا مَا عَمِلَهُ فِي الدُّنْيَا مَالَمْ يَعْمَلْ لَهُ غَيْرُهُ عَمَلًا وَيَهَبَهُ لَه فَاِّنَهُ يَنْفَعُهُ كَذَلِكَ (حكم الشريعة الإسلامية في مأتم الأربعين : ٢٣-٢٤ )

“Firman Allah SWT وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ اِلاً مَاسَعَى perlu diberi batasan, yaitu jika orang yang melakukan perbuatan baik itu tidak menghadiahkan pahalanya kepada orang lain. Maksud ayat tersebut adalah, bahwa amal seseorang tidak akan bermanfaat di akhirat kecuali pekerjaan yang telah dilakukan di dunia bila tidak ada orang lain yang menghadiahkan amalnya kepada si mayit. Apabila ada orang yang mengirimkan ibadah kepadanya, maka pahala amal itu akan sampai kepada orang yang meninggal dunia tersebut” (Hukm Al-Syari’ah Al-Islamiyah fi Ma’tam Al-Arbai’n, 23-24)

3. Menurut Syekh Muhammad Al-Arabi:

أُرِيْدُ اْلِإنْسَانُ اْلكَافِرُ وَأَمَّا اْلمُؤْمِنُ فَلَهُ مَاسَعَى أَخُوْهُ (اسعاف المسلمين والمسامات,٤٧) 

“Yang dimaksud dengan kata “al-insan” ialah orang kafir. Sedangkan manusia yang beriman, dia dapat menerima usaha orang lain. (Is’af Al-Muslimin wa Al-Muslimat, 47).

Di antara sekian banyak tafsir QS. Al-Najm, 39 yang paling mudah dipahami, sekaligus dapat dijadikan landasan yang kuat untuk tidak mempertentangkan antara ayat dan hadits yang tegas menjelaskan bahwa seseorang yang meninggal dunia dapat menerima manfaat dari amalan orang yang hidup, adalah tafsir dari Abi Al-Wafa’ Ibnu ‘Aqil Al-Baghdadi Al-Hanbali (431-531 H) sebagai berikut:

اَلْجَوَابُ الْجَيِّدُ عِنْدِيْ أَنْ يُقَالَ أَلْإِنْسَانُ بِسَعْيِهِ وَحُسْنِ عُشْرَتِهِ إِكْتَسَبَ اَلْأَصْدِقَاءَ وَأَوْلَدَ اْلأَوْلَادَ وَنَكَحَ اْلأَزْوَاجَ وَأَسْدَى اْلخَيْرَوَتَوَدَّدَ إِلَى النَّاسِ فَتَرَحَّمُوْا عَلَيْهِ وَأَهْدَوْا لَهُ اْلعِبَادَاتِ وَكَانَ ذَلِكَ أَثَرُسَعْيِهِ (الروح, صحيفه: ١٤٥)

“Jawaban yang paling baik menurut saya, bahwa manusia dengan usahanya sendiri, dan juga karena pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak teman, melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik, serta menyintai sesama. Maka, semua teman-teman, keturunan dan keluarganya tentu akan menyayanginya kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika telah meninggal dunia). Maka hal itu pada hakikatnya merupakan hasil usahanya sendiri.” (Al-Ruh, 145). Dr. Muhammad Bakar Ismail, seorang ahli fiqh kontemporer dari Mesir menjelaskan:


وَلَا يَتَنَافَى هَذَا مَعَ قَوْلِهِ تَعَالَى فِى سُوْرَةِ النَّجْمِ وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّمَاسَعَى فَإِنَّ هَذَا التَّطَوُّعَ يُعَدُّ مِنْ قَبِيْلِ سَعْيِهِ فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ بَارًا بِهِمْ فِى حَيَاتِهِ مَا تَرَحَّمُوْا عَلَيْهَ وَلَاتَطَوَّعُوْا مِنْ أَجْلِهِ فَهُوَ فِى الْحَقِيْقَةِ ثَمْرَةٌ مِنْ ثِمَارِ بِرِّهِ وَإِحْسَانِهِ (الفقه الوضح,ج: ١,ص: ٤٤٩)

“Menghadiah pahala kepada orang yang telah mati itu tidak bertentangan dengan ayat وان ليس للإنسا الإماسعى karena pada hakikatnya pahala yang dikirimkan kepada ahli kubur dimaksud merupakan bagian dari usahanya sendiri. Seandainya ia tidak berbuat baik ketika masih hidup, tentu tidak akan ada orang yang mengasihi dan menghadiahkan pahala untuknya. Karena itu sejatinya, apa yang dilakukan orang lain untuk orang yang telah meninggal dunia tersebut merupakan buah dari perbuatan baik yang dilakukan si mayit semasa hidupnya.” (Al-Fiqh Al-Wadlih, juz I, hal 449). 

Dari penjelasan para ulama ahli tafsir di atas jelaslah bahwa QS. Al-Najm ayat 39 bukanlah dalil yang menjelaskan tentang tidak sampainya pahala kepada orang yang sudah meninggal, QS. Al-Najm ayat 39 tersebut bukanlah ayat yang melarang kita untuk mengirim pahala, do’a, shodaqoh kepada orang yang telah meninggal.

Adapun hadits Abu Hurairoh RA yang sering dijadikan dalil untuk melarang orang yang tahlilan, berdo’a, dan bersodaqoh untuk orang yang sudah meninggal yaitu hadits yang berbunyi:

عَنْ أَبِِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم قَالَ, إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ إِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (صحيح مسلم,ص:٣٠٨٤ )

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Jika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan kedua orang tuanya” (Shahih Muslim, 3084).‎

Yang dimaksud dengan ‘terputus’ dalam hadits di atas adalah amalnya sendiri, sedangkan amal orang lain tidak terputus.
Mengenai hadits tersebut Ibnu Al-Qayyim berpendapat:

فَإِنَّهُ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَقُلْ اِنْتِفَاعُهُ, وَإِنَّمَا أَخْبَرَ عَنِ انْقِطَاعِ عَمَلِهِ وَأَمَّا عَمَلُ غَيْرِهِ فَهُوَلِعَامِلِهِ فَإِنْ وَهَبَهُ لَهُ وَصَلَ إِليْهِ ثَوَابُ عَمَلِ الْعَامِلِ (الروح : ١٤٦)

“Dari hadits tersebut Rasulullah SAW tidak bersabda “ … akan terputus manfaatnya …”. Beliau hanya menjelaskan bahwa amalnya akan terputus. Amal orang lain adalah tetap menjadi milik pelakunya, tapi bila dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, maka pahala amalan itu akan sampai kepadanya. (Al-Ruh, 146).

Ibnu Hazm juga berpendapat:

أَنَّهُ لَايُفِيْدُ إِلَّا انْقِطَاعَ عَمَلِ الْمَيِّتِ لِنَفْسِهِ فَقَطْ وَلَيْسَ فِيْهِ دِلَالَةٌ عَلَى انْقِطَاعِ عَمَلِ غَيْرِهِ عَنْهُ أَصْلًا وَلَا اْلمَنْعَ مِنْ ذَلِكَ(حكم الشريعة الإسلامية في مأتم الأربعين : ٤٣ )

“Hadits itu hanya menjelaskan terputusnya amal orang yang telah meninggal dunia, namun sama sekali tidak menjelaskan terputusnya amal orang lain yang dihadiahkan kepadanya serta tidak juga melarang hal tersebut” (Hukm Al-Syari’ah Al-Islamiyah fi Ma’tam Al-Arba’in, 43)

Dari sini maka kita harus yaqin bahwa menghadiahkan pahala ibadah kepada orang yang meninggal dunia itu ada manfaatnya, karena dengan izin Alloh SWT akan sampai kepada orang yang dimaksud.
Wallahua’lam ‎

 

Hukum Jual Beli Pupuk Kandang


Bahan makanan adalah kebutuhan pokok manusia karena makanan adalah sumber energi utama bagi manusia. Dan pada awalnya, untuk memenuhi kebutuhannya itu manusia mencari dan mengumpulkan makanan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, seiring dengan bertambahnya umat manusia lama kelamaan mereka menjadi kesulitan untuk mendapatkan makanan sehingga mereka pun mencoba untuk bercocok tanam dan seiring dengan kemajuan jaman, manusia mulai mengenal teknologi pertanian sehingga bisa menghasilkan hasil pertanian yang melimpah.‎

Saat teknologi mulai maju, manusia mulai mengenal dan menggunakan bahan kimia untuk memupuk tanamannya. Namun lama-kelamaan manusia mulai sadar bahwa pupuk kimia dapat meracuni tubuh mereka sehingga mereka mulai mengembangkan dan menggunakan teknologi organik kembali disamping menggunakan pupuk kimia.

Sebenarnya pupuk kandang sudah digunakan sejak dulu dan pupuk organik/pupuk kandang sebagian besar berasal dari kotoran hewan ternak. Namun tidak semua petani memiliki binatang ternak sehingga mereka kesulitan untuk mendapatkan kotoran ternak dan mereka pun mendapatkannya dari para peternak.

Tetapi sekarang kotoran ternak sudah semakin sulit didapatkan sehingga terjadilah transaksi jual beli kotoran ternak dan kotoran ternak mulai diperjualbelikan. Di daerah saya para petani membeli kotoran ternak dari kandang ayam petelur untuk dijadikan pupuk kandang dan rata-rata mereka melakukannya saat akan mulai menanam benih.
Pengertian Pupuk Kandang

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa Pupuk adalah penyubur tanaman yang ditambahkan ke tanah untuk menyediakan senyawaan unsur yang diperlukan tanaman.  Sedangkan  Pupuk Kandang adalah : pupuk yang berasal dari kotoran hewan.
Di dalam kamus Wikipedia disebutkan bahwa Pupuk kandang ialah olahan kotoran hewan, biasanya ternak, yang diberikan pada lahan pertanian untuk memperbaiki kesuburan dan struktur tanah. Pupuk kandang adalah pupuk organik, sebagaimana kompos dan pupuk hijau.

Zat hara yang dikandung pupuk kandang tergantung dari sumber kotoran bahan bakunya. Pupuk kandang ternak besar kaya akan nitrogen, dan mineral logam, seperti magnesium, kalium, dan kalsium. Pupuk kandang ayam memiliki kandungan fosfor lebih tinggi. Namun, manfaat utama pupuk kandang adalah mempertahankan struktur fisik tanah sehingga akar dapat tumbuh secara baik.

Pemanfaatan kotoran sebagai pupuk sudah dikenal lama. Di masa sekarang, dengan kemajuan teknologi kotoran juga bisa disulap menjadi bahan bakar. Namun sebagian kaum Muslimin merasa bimbang terkait status kehalalannya. Tulisan ini berusaha mempersembahkan sedikit sumbangsih penjelasan hukum syara’nya.‎

Pembahasan

Mubah memanfaatkan pupuk (dalam bahasa arab disebut Simad/Zibl/Sirqin/Syirqin, Sirjin) (السِّمَادُ/الزِّبْلُ/السِّرْقِيْنُ/الشِّرْقِيْنُ/السِّرْجِيْنُ) sebagaimana Mubah pula memperjualbelikannya tanpa membedakan apakah pupuk tersebut berasal dari benda suci (seperti ‎kompos), benda najis (seperti kotoran manusia), benda yang tercampur najis (seperti kompos ‎dicampur kotoran manusia), maupun benda yang diperselisihkan kenajisannya (seperti kotoran unta, kambing, sapi dan semisalnya yakni hewan-hewan yang bisa dimakan dagingnya). Semuanya Mubah dimanfaatkan dan diperjual belikan berdasarkan argumentasi berikut;

Pertama; Allah menciptakan semua benda dibumi untuk dimanfaatkan manusia. Allah berfirman;

{هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا} [البقرة: 29]

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian (Al-Baqarah;29)

Pupuk termasuk keumuman benda yang diciptakan Allah di bumi. Tidak ada dalil khusus yang mengharamkannya seperti keharaman babi, darah, bangkai, Khomr. Karena itu pupuk termasuk keumuman Mubahnya benda yang bisa dimanfaatkan di bumi.

Kedua; Ijma’

Jual beli pupuk telah dilakukan di masa generasi awal tanpa ada yang mengingkarinya. Hal ini menunjukkan pemanfaatan pupuk termasuk memperjualbelikannya adalah Mubah. Seandainya pemanfaatan atau jual beli pupuk termasuk kebatilan dan kemungkaran niscaya tidak akan didiamkan.

Ketiga; Sebagian shahabat diriwayatkan telah terbiasa menggunakan pupuk untuk pertaniannya. Al-Baihaqi meriwayatkan;

السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (6/ 138)

 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَابَىْ هَكَذَا قَالَ يَزِيدُ قَالَ : كَانَ سَعْدٌ يَعْنِى ابْنَ أَبِى وَقَّاصٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ يَحْمِلُ مِكْتَلَ عُرَّةٍ إِلَى أَرْضٍ لَهُ.

“Dari Abdullah bin Babai, Yazid berkata; Sa’ad, yakni bin Abi Waqqash membawa keranjang pupuk (dari kotoran) ke tanah (pertanian) miliknya” (H.R. Baihaqi)

Seandainya hal tersebut dilarang, seharusnya ada pengingkaran dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Keempat; Memanfaatkan kulit bangkai adalah Mubah. At-Tirmidzi meriwayatkan;

سنن الترمذى – مكنز (7/ 40، بترقيم الشاملة آليا)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ ».

dari Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kulit apapun jika disamak, maka ia menjadi suci.” (H.R.At-Tirmidzi)

Sudah diketahui bahwa bangkai hukumnya haram dimakan dan dihukumi najis termasuk kulitnya. Namun ternyata Nabi membolehkan pemanfaatan kulit bangkai dengan mengajarakan cara mensucikannya. Beliau mengajarkan bahwa kulit bangkai jika disamak maka penyamakan tersebut bisa mensucikan status kenajisan kulit bangkai tersebut. Petunjuk cara mensucikan kulit bangkai yang najis menjadi dalil kemubahan memanfaatkan benda yang najis. Dengan asumsi bahwa ada pupuk yang terbuat dari benda yang najis, maka pupuk jenis ini juga boleh dimanfaatkan termasuk diperjualbelikan karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengizinkan pemanfaatan benda najis.

Kelima; Nabi mengizinkan meminum air kencing unta untuk pengobatan. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (1/ 390)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ

قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلِقَاحٍ وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا
 
Dari Anas bin Malik berkata, “Beberapa orang dari ‘Ukl atau ‘Urainah datang ke Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim Madinah hingga mereka pun sakit. Beliau lalu memerintahkan mereka untuk mendatangi unta dan meminum air seni dan susunya (H.R.Bukhari)

Air kencing unta adalah najis berdasarkan keumuman perintah membersihkan diri dari air kencing, namun Nabi mengizinkan diminum untuk pengobatan. Hal ini menunjukkan pemanfaatan benda najis diizinkan.

Adapun pendapat yang melarang jual beli pupuk berdasarkan ayat;

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ} [النساء: 29]

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (An-Nisa; 29)

Maka argumen ini tidak dapat diterima, karena maksud memakan harta dengan cara batil adalah cara yang dilarang Syara seperti judi, riba, mencuri, merampas dan semisalnya. Jual beli pupuk tidak dinyatakan keharamannya oleh satu Nash pun, oleh karena itu statusnya tetap halal karena termasuk keumuman halalnya jual beli dan termasuk keumuman halalnya seluruh benda dibumi.

Adapun riwayat yang berbunyi;

سنن أبى داود – م (3/ 298)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- جَالِسًا عِنْدَ الرُّكْنِ – قَالَ – فَرَفَعَ بَصَرَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَضَحِكَ فَقَالَ « لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ ». ثَلاَثًا « إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْهِمُ الشُّحُومَ فَبَاعُوهَا وَأَكَلُوا أَثْمَانَهَا وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ ».

Dari Ibnu Abbas ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk di Pojok (Ka’bah). Kemudian beliau mengangkat pandangannya ke langit seraya tertawa. Beliau bersabda: “Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi -Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali-, sesungguhnya Allah telah mengharamkan lemak atas mereka, kemudian mereka menjual dan memakan hasil penjualannya. Sungguh, jika Allah telah mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Allah pun mengharamkan hasil penjualannya.” (H.R.Abu Dawud)

Maka riwayat ini dan yang semakna dengannya tidak cukup digunakan sebagai dalil untuk mengharamkan pemanfaatan atau jual beli pupuk, karena dalam hadis tersebut sama sekali tidak ada penyebutan lafadz yang bermakna pupuk baik eksplisit ataupun implisit. Yang dilarang dalam hadis tersebut adalah menjual sesuatu yang dilarang Allah untuk dimakan seperti babi, darah, bangkai dan semisalnya. Pupuk tidak termasuk sesuatu yang dimakan, tidak dibahas dalam hukum makanan, dan tidak dinyatakan keharamannya oleh Nash apapun baik Al-Quran maupun As-Sunnah. Memang benar bahwa pupuk bisa berasal dari benda najis, namun najis tidak identik dengan haram sebagaimana haram tidak identik dengan najis. Patung, salib, piring emas adalah haram bagi seorang muslim tetapi tidak najis, semantara darah adalah najis tetapi tidak haram jika digunakan untuk tranfusi atau air kencing unta yang digunakan untuk pengobatan.

Atas dasar ini, Mubah hukumnya memanfaatkan pupuk dengan segala jenisnya termasuk memperjualbelikannya. Al-Hashfaky berkata dalam Ad-Durr Al-Mukhtar;

رد المحتار (19/ 238)

 وَيَجُوزُ بَيْعُ السِّرْقِينِ وَالْبَعْرِ وَالِانْتِفَاعُ بِهِ وَالْوُقُودُ بِهِ

“Boleh menjual pupuk, kotoran hewan, memanfaatkannya dan menjadikannya sebagai bahan bakar” (Ad-Durr Al-Mukhtar vol.19 hlm 238)

Pendapat Ulama

Menurut madzhab yang masyhur dari madzhab As-Syafi'iyyah dan madzhab Al-Hanafiyah maka seluruh kotoran hewan adalah najis baik hewan yang haram untuk dimakan maupun hewan yang halal dimakan. Oleh karenanya mereka mengharamkan pula penjualan kotoran hewan karena hal itu merupakan penjualan benda najis, dan penjualan benda najis hukumnya haram. Al-Mawardi berkata :

فَأَمَّا مَا كَانَ نَجِسَ الْعَيْنِ كَالْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالدَّمِ وَالْأَرْوَاثِ وَالْأَبْوَالِ ، فَلَا يَجُوزُ بَيْعُ شَيْءٍ مِنْهَا‎

"Adapun apa yang merupakan najis 'aini (nacis secara dzatnya) seperti khomr, bangkai, darah, dan kotoran-kotoran, serta kencing maka tidak boleh menjual sesuatupun dari hal-hal ini" (Al-Haawi Al-Kabiir 5/383)
Adapun madzhab Malikiyyah dan Al-Hananbilah juga sebagian pengikut madzhab As-Syafi'iyyah (sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmuu' 2/549 dan Roudhotut Toolibiin 1/125) maka mereka membedakan antara hewan yang halal dan hewan yang haram dimakan. Mereka berpendapat akan thohirnya (tidak najisnya) kotoran hewan yang halal dimakan, adapun hewan yang haram dimakan maka kotorannya adalah najis. 

Dalil Madzhab Hanafi dan Madzhab As-Syafi'i

Dalil madzhab Hanafi 
Madzhab Hanafi  berdalil dengan hadits Ibnu Mas'ud –radhiallahu 'anhu- dimana beliau –radhiallahu 'anhu- pernah berkata:‎

أتى النبي صلى الله عليه وسلم الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ وَالْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فلم أَجِدْهُ فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بها فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وقال هذا رِكْسٌ‎

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam buang air besar, maka beliau memerintahku untuk mendatangkan bagi beliau tiga buah batu. Akupun mendapatkan dua buah batu dan aku mencari batu yang ketiga, namun aku tidak mendapatkannya. Maka akupun mengambil kotoran lalu aku berikan kepada Nabi. Maka Nabipun mengambil kedua batu tersebut dan melempar kotoran tadi dan berkata, "Ini najis" (HR Al-Bukhari no 155)‎

Sisi pendalilan : Nabi membuang kotoran hewan tersebut karena najisnya, hal ini menunjukan bahwa seluruh kotoran hewan –termasuk hewan yang halal dimakan- adalah najis. (Lihat pendalilan Hanafiyah dengan hadits ini dalam kitab Al-Mabshuuth li As-Sarokhsi 1/108 dan badaai' As-Sonaai' 1/62)

Sebenarnya ada pandangan ulama madzhab Hanafi yang membolehkan proses jual beli kotoran-kotoran hewan tersebut, karena ada unsur manfaat di dalamnya. Adapun dasar pengambilan hukum yang kami gunakan adalah:
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh
 
وَلَمْ يَشْتَرِطْ الْحَنَفِيَّةُ هَذَا الشَّرْطَ فَأَجَازُوْا بَيْعَ النَّجَاسَاتِ كَشَعْرِ الْخِنْزِيْرِ وَجِلْدِ الْمَيْتَةِ لِلانْتِفَاعِ بِهَا إِلاَّ مَا وَرَدَ النَّهْيُ عَنْ بَيْعِهِ مِنْهَا كَالْخَمْرِ وَالْخِنْزِيْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالدَّمِ كَمَا أَجَازُوْا بَيْعَ الْحَيَوَانَاتِ الْمُتَوَحِّشَةِ وَالْمُتَنَجِّسِ الَّذِيْ يُمْكِنُ اْلانْتِفَاعُ بِهِ فِيْ اْلأَكْلِ وَالضَّابِطُ عِنْدَهُمْ أَنَّ كُلَّ مَا فِيْهِ مَنْفَعَةٌ تَحِلُّ شَرْعًا فَإِنَّ بَيْعَهُ يَجُوْزُ لِأَنَّ اْلأَعْيَانَ خُلِقَتْ لِمَنْفَعَةِ اْلإِنْسَانِ
 
Dan ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan syarat ini (barang yang dijualbelikan harus suci, bukan najis dan terkena najis). Maka mereka memperbolehkan jualbeli barang-barang najis, seperti bulu babi dan kulit bangkai karena bisa dimanfaatkan. Kecuali barang yang terdapat larangan memperjual-belikannya, seperti minuman keras, (daging) babi, bangkai dan darah, sebagaimana mereka juga memperbolehkan jualbeli binatang buas dan najis yang bisa dimanfaatkan untuk dimakan.Dan parameternya menurut mereka (ulama Hanafiyah) adalah, semua yang mengandung manfaat yang halal menurut syara.’, maka boleh menjual-belikannya. Sebab, semua makhluk yang ada itu memang diciptakan untuk kemanfaatan manusia.‎
Demikian jawaban yang bisa kami sampaikan. Mudah-mudahan dengan jawaban ini, kita lebih bijak dalam menjalani aktifitas hidup sehari-hari.‎‎

Dalil madzhab Syafi'i
Adapun madzhab As-Syafi'iyyah maka mereka berdalil dengan tiga sisi pendalilan 
Pertama : Mereka berdalil dengan keumuman hadits-hadits Nabi tentang najisnya air kencing. Seperti hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbaas‎

مَرَّ النبي صلى الله عليه وسلم بِقَبْرَيْنِ فقال إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وما يُعَذَّبَانِ في كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ من الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ‎

"Nabi –shallallahu 'alaihi wa sallam- melewati dua kuburan, lalu ia berkata, "Sesungguhnya kedua penghuni kuburan ini sedang disiksa, dan mereka berdua tidaklah disiksa karena perkara yang besar. Adapun salah satunya karena tidak menjaga diri dari air kencing dan yang kedua karena menyebarkan namimah" (HR Al-Bukhari no 215)‎

Sisi pendalilan : Air kencing disini disebutkan secara umum, maka mencakup seluruh air kencing termasuk air kencing hewan yang halal dimakan (lihat Al-Majmuu' 2/549)
Kedua : Mereka berdalil dengan firman Allah
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ‎

"Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk" (QS Al-A'roof : 157)
Sisi pendalilan : Tidak diragukan lagi bahwasanya kotoran adalah sesuatu yang buruk, dan orang-orang Arab menganggap jijik kotoran hewan yang halal dimakan (lihat Al-Majmuu' 2/549)
Ketiga : Mereka juga berdalil dengan qiyas, karena kotoran hewan yang haram dimakan hukumnya najis menurut ijmaa' (kesepakatan) para ulama maka demikian juga diqiaskan pada kotoran hewan yang halal dimakan juga najis. Hal ini karena seluruh kotoran sama-sama memiliki sifat kotor (jijik) menurut tabi'at manusia yang masih normal, dikarenakan bau yang busuk. (lihat Al-Majmuu' Syarhul Muhadzdzab 2/549 dan Fathul 'Aziz Syarhul Wajiiz 1/36)

Dalil madzhab Hanbali dan madzhab Maliki
Mereka berdalil dengan hukum asal, bahwasanya hukum asal sesutau adalah suci sampai ada dalil yang menunjukan kenajisannya (lihat As-Syarhul Mumti' 1/450), dan tidak ada dalil yang menunjukan akan kenajisannya. Bahkan ada dalil-dalil yang menunjukan akan kesuciannya. Diantaranya :
Pertama : Hadits tentang 'Uroniyyin. Dimana Nabi pernah memerintah orang-orang yang datang dari 'Uroinah yang sakit untuk berobat dengan meminum kencing onta.‎

وَأَنْ يَشْرَبُوا من أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا‎

"(Nabi memerintahkan) mereka untuk meminum dari kencing onta dan susu onta" (HR Al-Bukhari no 231)
Sisi pendalilan : Kalau kecinng onta itu najis tentunya Nabi tidak akan memerintakan mereka untuk berobat dengan meminum benda najis (Lihat Al-Mughni 2/492)
Kedua : Nabi pernah sholat di kandang kambing, bahkan memerintahkan untuk sholat di kandang kambing. (Lihat Al-Mughni 2/492)
Anas bin Malik berkata:
كان النبي صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي قبل أَنْ يُبْنَى الْمَسْجِدُ في مَرَابِضِ الْغَنَمِ
 
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sholat di kandang kambing sebelum dibangun mesjid" (HR Al-Bukhari no 232)‎

Seorang sahabat pernah bertanya kepada Nabi :‎
أُصَلِّي في مَرَابِضِ الْغَنَمِ قال : نعم
"Apakah aku sholat di kandang kambing?", Nabi berkata, "Iya" (HR Muslim no 360)‎

Dalam suatu hadits Nabi berkata,‎

صَلُّوا في مَرَابِضِ الْغَنَمِ ولا تُصَلُّوا في أَعْطَانِ الْإِبِلِ فَإِنَّهَا خُلِقَتْ من الشَّيَاطِينِ
 
"Sholatlah kalian di kandang kambing, dan janganlah kalian sholat di kandang onta karena onta diciptakan dari syaitan" (HR At-Thirmidzi no 348 dan Ibnu Majah no 769)
Sisi pendalilan : Kandang kambing pasti tidak lepas dari kotoran kambing dan kencingnya, akan tetapi Nabi sholat di situ. Hal ini menunjukan bahwa kotoran kambing dan kencing kambing tidak najis, karena tidak sah sholat seseorang di tempat najis dengan kesepakatan ulama.

Dialog‎

Madzhab As-Syafi'i : Nabi membolehkan untuk meminum kencing onta karena untuk berobat, karena dibolehkan berobat dengan benda-benda yang najis kecuali khomr  (lihat Al-Majmuu' 2/549 dan Fathul 'Aziz 1/38)
Madzhab Hanbali : Nabi telah dengan tegas melarang berobat dengan benda-benda yang najis. Abu Huroiroh berkata

نهى رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عن الدَّوَاءِ الْخَبِيثِ

"Rasulullah melarang dari obat yang khobiits" (HR Abu Dawud no 3870 dan Ibnu Majah no 3459, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Rasulullah juga bersabda :

إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ، فَتَدَاوَوْا، وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

"Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obat, maka berobatlah kalian, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram" (Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di As-Shahihah no 1633)‎

Kemudian kalau seandainya kencing onta itu najis dan dibolehkan untuk diminum karena pengobatan tentunya Nabi akan memerintahkan mereka untuk membersihkan dan mencuci tempat/bejana air kencing onta tersebut (lihat Al-Mughni 2/492)‎

Madzhab As-Syafi'i : Memang benar boleh sholat di kandang kambing akan tetapi kandang kambing yang bersih bukan yang terkotori dengan kencing dan tahi kambing. Imam As-Syafii berkata, "Maka Nabi memerintahkan untuk sholat di tempat tambatan kambing, yaitu –Wallahu A'lam- di tempat yang bisa dinamakan sebagai tempat tidurnya  kambing yang tidak ada tahi kambingnya dan tidak ada kencing kambingnya… barangsiapa yang sholat di tempat yang ada tahi onta atau kambing atau tahi sapi atau tahi kuda atau tahi keledai maka wajib baginya untuk mengulangi sholatnya" (Al-Umm 2/209)


Madzhab Hanbali : Imam As-Syafii telah mengkhusukan apa yang tidak dikhusukan oleh Nabi, dan beliau telah menyelisihi kesepakatan para ulama. Ibnul Mundzir berkata,

أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ الصَّلاَةَ فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ جَائِزَةٌ وَانْفَرَدَ الشَّافِعِيُّ فَقَالَ إِذَا كَانَ سَلِيْمًا مِنْ أَبْوَالِهَا
 
"Mereka berijma' (sepakat) bahwasanya sholat di kandang kambing boleh, dan As-Syafi'i bersedirian (menyelisihi mereka-pent), beliau berkata : (boleh) jika kandang tersebut bersih dari kencing kambing-kambing tersebut" (Al-Ijmaa' hal 38, dan ijmaa' ini dinukil oleh Ibnu Qudaamah dalam Al-Mughni 2/492)

Madzhab As-Syafii : Lantas bagaimana dengan keumuman tentang najisnya air kencing?
Madzhab Hanbali : Yang dimaksud dengan penyebutan kencing dalam hadits-hadits seperti hadits dua penghuni kubur yang disiksa adalah kencing manusia (kencing penghuni kubur itu sendiri), jadi tidak bisa dibawa ke makna umum (lihat As-Syarhul Mumti' 1/451)

Lantas bagaimana dengan hadits Ibnu Mas'ud dimana Nabi melempar kotoran hewan dan berkata : Ini 
najis?
Jawab : Lafal hadits sbb


فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بها
"Maka akupun mengambil sebuah kotoran, lalu aku membawanya ke Nabi"
Kalimat رَوْثَةً "kotoran" datang dalam bentuk nakiroh (bertanwin), dan dalam kadiah ushul fiqh bahwasanya jika kalimat nakiroh datang dalam konteks kalimat positif maka memberikan faedah muthlaq. Jadi kalimat رَوْثَةً tidaklah menunjukan keumuman yang mencakup seluruh kotoran, akan tetapi maksudnya kotoran tertentu. Maka kita bawakan kepada kotoran dari hewan yang haram dimakan. Wallahu A'lam‎

Untuk lebih jelasnya, perbedaan ulama di dalam menentukan status hukum memperjual-belikan pupuk najis adalah sebagai berikut :

Pendapat Pertama  : Boleh menggunakan dan memperjual-belikan  pupuk yang najis. Yang tidak boleh diperjual-belikan hanyalah kotoran manusia yang tidak tercampur dengan tanah. Ini adalah pendapat Hanafiyah dan sebagian dari ulama Malikiyah seperti Ibnu Majisyun.

Berkata as-Sarakhsi di dalam al- Mabsuth ( 24/ 27 ) :

وكذلك بيع السرقين جائز وإن كان تناوله حراما والسرقين محرم العين ومع ذلك كان بيعه جائزا

“ Begitu juga dibolehkan jual beli pupuk ( najis ), walaupun hal itu haram untuk dimakan, dan haram dzatnya, walaupun begitu, jual beli pupuk tersebut dibolehkan. “    
Dalil-dalil mereka sebagai berikut :

Pertama :  Pupuk tersebut sangat bermanfaat bagi para petani dan mereka sangat membutuhkannya.

Kedua : Penggunakan pupuk ini  sudah berlangsung lama secara turun temurun di masyarakat, dan tidak ada satupun yang mengingkarinya. Ini menunjukkan kebolehan.
Ketiga : Kaidah Fiqh yang berbunyi :
المشقة تجلب التيسير

“ Suatu kondisi yang susah bisa mendatangkan suatu kemudahan. 

Keempat : Kaidah Fiqh juga :

وإذا ضاق الأمر اتسع

 “ Suatu kondisi yang sempit bisa mendatangkan keluasan di dalam perbuatan “

Pendapat Kedua : Tidak boleh menggunakan pupuk najis, tetapi boleh menggunakan sesuatu yang mutanajis ( yang terkena najis ), seperti halnya pupuk najis yang dicampur dengan air, kemudian air tersebut disiramkan ke tanaman.  (Muhammad Ulays, Manhu al-Jalil:1/ 55-56 ).

Pendapat Ketiga : Tidak boleh memperjual-belikan kotoran hewan yang najis. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Malikiyah menurut riwayat yang masyhur, Syafi’iyah dan Hanabilah.
Untuk Syafi’iyah mereka berpendapat boleh menggunakan pupuk najis, tetapi tidak boleh memperjual-belikannya. Berkata Imam Nawawi di dalam al-Majmu’ ( 4/448 ) :
يجوز تسميد الارض بالزبل النجس

“ Dibolehkan memupuk  tanah dengan kotoran binatang yang najis. “

Beliau juga menyatakan di tempat yang sama tentang penggunaan barang-barang najis untuk keperluan umum  :

قد ذكرنا أن مذهبنا الصحيح جواز الانتفاع بالدهن المتنجس وشحم الميتة في الاستصباح ودهن السفن ويجوز أن يتخذ من هذا الدهن الصابون فيستعمله ولا يبيعه وله اطعام العسل المتنجس للنحل والميتة للكلاب والطيور الصائدة وغيرها واطعام الطعام المتنجس للدواب هذا مذهبنا وبه قال عطاء ومحمد بن جرير

“ Sudah kita sebutkan di atas, bahwa madzhab kami yang benar  ( Syafi’iyah ) : dibolehkan memanfaatkan minyak najis, lemak dari bangkai untuk penerangan lampu, dan untuk mengecat kapal. Dan dibolehkan juga memakai minyak ini untuk dibuat sabun dan dipakainya, tetapi tidak untuk diperjual-belikan. Dibolehkan juga memberikan madu yang terkena najis untuk lebah, dan bangkai untuk makanan anjing dan burung pemburu dn sejenisnya. Begitu juga dibolehkan memberikan makanan yang terkena najis untuk binatang-binatang. Ini adalah pendapat madzhab  kami ( Syafi’iyah ), dan ini juga pendapat ‘Atho’ dan Muhammad Jarir. “ 

Walaupun Syafi’iyah melarang jual-beli barang najis, tetapi mereka membolehkan untuk memberikannya kepada orang lain dengan mengambil upah, mereka menyebutnya dengan  isqath al-haq ( menggugurkan hak ) . Di dalam Hasyiatu asy-Syarwani dan al-Abadi( 4/235 )  disebutkan :

ويجوز نقل اليد عن النجس بالدراهم كما في النزول عن الوظائف وطريقه أن يقول المستحق له أسقطت حقي من هذا بكذا فيقول الآخر قبلت       
“ Dibolehkan memindahkan kepemilikan sesuatu yang najis dengan imbalan uang dirham, sebagaimana seseorang yang mengundurkan diri dari tugasnya, dan caranya :  pemiliknya  mengatakan : saya gugurkan hak-ku terhadap barang ini dengan imbalan sekian, yang menerima menjawab : saya terima. “

Berkata Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni  ( 4/ 327 ) :

ولا يجوز بيع السرجين النجس. وبهذا قال مالك والشافعي

“ Tidak boleh jual beli pupuk yang najis . Ini adalah pendapat Malik dan Syafi’I juga. “ 

Mereka beralasan bahwa pupuk  tersebut adalah sesuatu yang najis, seperti bangkai maka tidak boleh diperjualbelikan.
Kesimpulan ‎

Dari beberapa pandangan ulama di atas, maka pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah sebagai berikut :

Jika pupuk kandang dari binatang yang boleh dimakan dagingnya seperti unta,sapi, kambing dan ayam, maka boleh digunakan dan diperjual-belikan.

Jika pupuk tersebut dari binatang yang  tidak boleh dimakan dagingnya, seperti babi dan keledai, atau dari kotoran manusia, jika masih asli dan belum diolah oleh pabrik, maka hukumnya boleh digunakan dan haram untuk diperjual- belikan.

Tetapi jika sudah diolah oleh pabrik dan sudah berubah dzat dan kandungannya, maka boleh digunakan dan diperjual-belikan jika memang hal itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Tetapi jika pupuk yang tidak najis sudah cukup, maka sebaiknya tidak menggunakan pupuk yang lain,walaupun sudah diolah oleh pabrik.

Wallahua’lam.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...