Rabu, 25 November 2020

Hukum Berobat Dengan Sesuatu Yang Diharamkan


Sakit merupakan tabiat raga manusia yang diciptakan dalam keadaan lemah. Besi yang keras saja dapat termakan karat jika tak terawat. Oleh karena itu, bukanlah satu hal yang luar biasa sebenarnya apabila ada di antara kita terkena cobaan sakit, baik sakit ringan ataupun berat.
Allah ta’ala berfirman tentang sakit yang menimpa sebagian hamba-hamba-Nya yang shaalih :
 
وَلَقَدْ فَتَنَّا سُلَيْمَانَ وَأَلْقَيْنَا عَلَى كُرْسِيِّهِ جَسَدًا ثُمَّ أَنَابَ
 
“Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertaubat” [QS. Shaad : 34].

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ * فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ
 
“Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya : "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang". Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah” [QS. Al-Anbiyaa’ : 83-84].
فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا * فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ.....
 
“Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma” [QS. Maryam : 22-23].
Tidak terkecuali Nabi kita shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
 
عن عبيدالله بن عبدالله؛ قال: دخلت على عائشة فقلت لها: ألا تحدثيني عن مرض رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قالت: بلى. ثقل النبي صلى الله عليه وسلم. فقال "أصلى الناس؟" قلنا: لا. وهم ينتظرونك. يا رسول الله! قال "ضعوا لي ماء في المخضب" ففعلنا. فاغتسل. ثم ذهب لينوء فأغمي عليه
 
Dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah, ia berkata : Aku pernah masuk ke tempat ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, lalu aku bertanya kepadanya : “Tidakkah engkau sudi memberitahuku tentang sakit Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?”. Ia menjawab : “Tentu. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sakit berat. Beliau bertanya :‘Apakah orang-orang telah shalat ?’. Kami menjawab : ‘Belum, mereka menunggumu wahai Rasulullah’. Beliau bersabda : ‘Ambilkan aku air dalam bejana’. Kami pun mengambilkannya. Beliau mandi, lalu keluar hendak menuju pintu masjid, kemudian beliau pingsan [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 713 dan Muslim no. 418].

Orang yang sedang sakit, maka akan hinggap padanya derita dan rasa lemah. Aktifitasnya terhambat, dan amalnya pun berkurang dibandingkan di kala sehat. Oleh karena itu, Islam menganjurkan orang yang sakit untuk berobat.
 
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ شَرِيكٍ، قَالَ: قَالَتْ الْأَعْرَابُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا نَتَدَاوَى؟ قَالَ: " نَعَمْ يَا عِبَادَ اللَّهِ، تَدَاوَوْا، فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً، أَوْ قَالَ: دَوَاءً، إِلَّا دَاءً وَاحِدًا، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ "
 
Dari Usaamah bin Syariik, ia berkata : Seorang Arab Baduwi berkata : “Wahai Rasulullah, apakah kami boleh berobat ?”. Beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya, wahai hamba-hamba Allah. Berobatlah kalian. Sesungguhnya Allah tidaklah meletakkan satu penyakit kecuali Ia juga akan meletakkan padanya obat, kecuali satu penyakit saja (yang tidak ada obatnya)”. Mereka bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah itu ?”. Beliau menjawab :“Pikun” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2038, Ath-Thayaalisiy no. 1328, Al-Humaidiy no. 845, Ibnu Abi Syaibah 8/2, Ahmad 4/278, Al-Bukhaariy dalam Al-Abadul-Mufrad no. 291, Abu Daawud no. 3855, Ibnu Maajah no. 3436, Ibnu Hibbaan no. 6061 & 6064, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 463-467 & 469 & 471 & 474 & 477-480 & 482-484, Al-Haakim 1/121 & 4/198 & 399 & 400, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalamShahih Sunan At-Tirmidziy, 2/396-397, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1420].
Akan tetapi, tidak semua jalan berobat diperbolehkan dalam syari’at. Misalnya saja, berobat dengan mendatangi dukun yang meruqyah dengan ruqyah kesyirikan (mantera).
 
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ، قَال: كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: " يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟، فَقَالَ: اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا "
 
Dari ‘Auf bin Maalik, ia berkata : Dahulu kami melakukan ruqyah di jalan Jaahiliyyah. Lalu kami berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang hal itu ?”. Beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab :“Tunjukkan kepadaku riqyah kalian. Tidak mengapa meruqyah selama tidak mengandung kesyirikan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2200, Abu Daawud no. 3886, Al-Haakim, 4/209, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 2744, dan yang lainnya].
Begitu pula berobat dengan sesuatu yang diharamkan. Pernah satu ketika Thaariq bin Suwaid Al-Ju’fiy bertanya tentang khamr yang hendak ia pergunakan sebagai obat. Maka Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ
 
“Sesungguhnya khamr itu bukanlah obat, akan tetapi justru penyakit” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1984, ‘Abdurrazzaaq no. 17100, Ibnu Abi Syaibah 8/22, Ahmad 4/311 & 317 & 5/292 & 6/399, Abu Daawud no. 3873, At-Tirmidziy no. 2046, Ad-Daarimiy no. 2101, Ibnu Hibbaan no. 1389-1390 & 6065, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 8212, dan Al-Baihaqiy 10/4].
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الدَّوَاءِ الْخَبِيثِ
 
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang berobat dengan sesuatu yang kotor/haram” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3870, Ibnu Maajah no. 3459, At-Tirmidziy no. 2045, Ibnu Abi Syaibah 8/5, Ahmad 2/305 & 446 & 478, Al-Haakim 4/410, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 8/375, dan Al-Baihaqiy 10/5; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud, 2/465, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1419 H].
‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhuberkata :
 
إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حُرِّمَ عَلَيْكُمْ
 
“Sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan obat bagi kalian pada sesuatu yang diharamkan kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 8/23 & 130, ‘Abdurrazzaaq no. 17097 & 17102, Ahmad dalam Al-Asyrabahno. 130 & 133, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/108, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah 4/174, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. Thn. 1415 H].
Kaum muslimin hendaknya bertaqwa kepada Allah ta’ala dalam permasalahan ini. Janganlah sampai aduhan dan erangan membuatnya mengambil dzat yang diharamkan, sementara obat-obat yang halal berserakan di sekitarnya. Seandainya ikhtiyar syar’iy kita belum mewujudkan satu kesembuhan, yakinkan pada diri kita bahwa hal itu semata-mata dikarenakan Allah ta’ala belum menakdirkan kita bertemu obat yang sesuai, padahal sebenarnya ia telah ada.
 
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَِيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يُنْزِلْ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ، وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ "
Dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidaklah menurunkan satu penyakit kecuali Ia menurunkan juga obatnya, yang diketahui oleh orang yang mengetahui dan tidak diketahui oleh orang yang memang tidak mengetahuinya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/377 & 413 & 443 & 453, Al-Humaidiy no. 90, Abu Ya’laa no. 5183, Asy-Syaasyiy no. 752, Al-Haakim 4/192 & 393, Al-Baihaqiy 9/342, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 7036 dan dalam Al-Kabiir no. 10331, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah, 1/813-814 no. 451, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. Thn. 1415].
Sebagian ulama memasukkan hadits di atas dalam bahasan iman, sebagaimana Ibnu Mandah memasukkan hadits itu dalam Al-Iiimaan (dari jalan lain, yaitu hadits Abu Hudzaifah).

Ilustrasi yang mudah adalah : Dua orang menderita penyakit sama – misalnya batuk –, diberikan obat yang sama, namun kesembuhan keduanya berbeda. Yang satu mungkin sembuh lebih cepat dari yang lain, atau bahkan yang lain itu tidak sembuh sama sekali.

Ini menunjukkan bahwa kesembuhan hanyalah datang dari Allah ta’ala semata, bukan dari obat, karena ia hanyalah wasilah.
Betapa banyak obat herbal atau kimia yang dipromosikan mampu mengobati penyakit pada satu orang, namun tidak pada orang yang lain padahal penyakit keduanya sama ? Seandainya Allah ta’ala telah menghendaki kita sembuh pada satu obat, sembuhlah kita.
 
عَنْ جَابِرٍ، عن رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَِيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَال: " لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ "
 
Dari Jaabir, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Setiap penyakit itu pasti ada obatnya. Seandainya obat itu sudah mengenai penyakit, niscaya akan sembuh dengan ijin Allah ta’ala” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2204, Ahmad 3/335, Abu Ya’laa no. 2036, Ibnu Hibbaan no. 6063, Ibnu Mandah dalam At-Tauhiid no. 110, Al-Haakim 4/401, Al-Baihaqiy 9/343, dan yang lainnya].
Tidak perlu mencari-cari dan mencoba-coba barang haram sebagai obat. Inilah madzhab jumhur ulama. Sebagian ulama lain membolehkan berobat dengan yang haram (khamr) karena alasan darurat dengan mengqiyaskan masalah kebolehan makan darah dan daging babi dalam situasi yang sama (darurat). Jumhur menyanggah bahwa pengqiyasan itu tidak tepat, sebab makan daging babi atau yang semisalnya menyebabkan terangkatnya kondisi darurat (rasa lapar), sedangkan berobat dengan yang haram belum pasti (menyembuhkan penyakitnya).
Seandainya berobat (kuratif) dengan barang yang haram dalam kondisi yang (benar-benar) sakit saja menjadi larangan (menurut pendapat yang raajih), lantas bagaimana halnya tindakan yang hanya bersifat pencegahan (preventif) yang dilakukan pada orang yang sehat ? Seperti misalnya : tindakan vaksinasi. Qiyas aulanya, tentu lebih pantas untuk diharamkan dibanding jenis yang pertama. Sungguh musykil rasanya, ada seorang muslim sehat dan berakal, kemudian ia ber-effortuntuk mendapatkan vaksin yang ia ketahui berasal dari barang haram atau minimal diragukan kehalalannya, padahal ia mengetahui sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam larangan berobat dengan barang yang haram.
Kriteria Obat Haram

Obatan-obatan yang haram berkisar pada tiga kriteria utama saja. Pertama, bila obat itu mengandung benda-benda najis yang masih nyata ada. Kedua, bila obat-obatan itu memabukkan. Ketiga, bila obat-obatan itu membahayakan.

1. Mengandung Najis

Obat yang mengandung benda najis atau malah terbuat langsung dari benda najis hukumnya haram dikonseumsi. Meski boleh bersentuhan dengan benda-benda najis, namun seorang muslim haram hukumnya untuk memakan, meminum atau mengkonsumsi benda-benda yang jelas-jelas hukumnya najis, meski dengan alasan pengobatan. Keharaman mengkonsumsi benda-benda najis merupakan kriteria nomor satu dalam daftar urutan makanan haram.

Dalil yang menjadi dasarnya pengharamannya adalah firman Allah SWT :

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. (QS. Al-A'raf : 157)

Berikut benda-benda yang najis dan disepakati kenajisannya oleh para ulama.

a. Darah

Darah manusia dan darah hewan najis hukumnya, sebagaimana firman Allah SWT :

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai dan darah…. (QS. An-Nahl : 115).

Darah yang najis adalah yang mengalir keluar dari tubuh, sebagimana firman Allah SWT dalam Al-Quran.

أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا

atau darah yang mengalir. (QS. Al-An'am : 145)

Beberapa kepercayaan masyarakat beranggapan bahwa meminum darah ular bisa mengobati penyakit, seperti asma, rematik, asam urat. Darah ular juga dipercaya ampuh menjadi obat kuat.

Tidak ada penelitian yang bisa dipercaya atau ilmiah mengenai hal ini. Yang ada hanya pembicaraan dari mulut ke mulut.

Bagaimanapun, penjualnya memang ada. Ular yang masih hidup dipenggal kepalanya, lalu darah segarnya dikucurkan ke dalam gelas. Kadang darah itu dicampur dengan arak dan madu, yang konon untuk menghilangkan bau anyir darah sang ular.

Di daerah Mangga Besar Jakarta Barat, beberapa pedagang secara khusus menyediakan darah ular segar selain sate ular, daging biawak, dan otak monyet.

Hukum minum darah jelas haram, karena darah pada hakikatnya adalah benda najis. Apalagi ditambahi arak yang juga haram hukumnya. Keharamannya jadi berlipat.

b. Urine

Air kencing atau urine adalah benda yang najis menurut jumhur ulama. Dasarnya kenajisan kotoran atau tinja adalah sabda Rasulullah SAW :

إِنَّمَا يُغْسَل الثَّوْبُ مِنْ خَمْسٍ : مِنَ الْغَائِطِ وَالْبَوْل وَالْقَيْءِ وَالدَّمِ وَالْمَنِيِّ

Baju itu dicuci dari kotoran, kencing, muntah, darah, dan mani. (HR. Al-Baihaqi dan Ad-Daruquthny)

Urine adalah air seni atau air kencing, baik yang keluar dari tubuh manusia atau hewan, adalah cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal yang kemudian dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Para ahli mengatakan bahwa eksreksi urine diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang disaring oleh ginjal dan untuk menjaga homeostasis cairan tubuh.

Di beberapa tempat kita menemukan orang melakukan pengobatan dengan terapi urine. Orang yang berobat dengan cara ini diharuskan meminum urinenya sendiri.

Konon kabarnya, minum air kencing sebagai pengobatan sudah dilakukan di India sekitar 5000 tahun lalu.

Orang Eropa kabarnya juga mengenal terapi ini sejak 4000 tahun lalu. Di China, pengobatan ini baru dikenal sejak 1700 tahun lalu.

Sementara itu di Jepang, terapi ini baru dikenal pada 700 tahun lalu. Di Indonesia sendiri sebagian masyarakat kita menerapkan terapi ini.

Memang ada perbedaan pendapat tentang apakah air kencing itu mengandung racun penyakit atau tidak.

Pihak yang bilang urine tidak mengandung racun berpatokan pada laporan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) tahun 1992. Laporan itu menyatakan bahwa air urine bersifat steril jika tidak tercemari tinja.

Para pakar yang sudah lama mempraktikkan terapi ini mengatakan bahwa urine itu mengandung berbagai senyawa berharga, seperti mineral, vitamin, hormon, enzim, antibodi, antialergen, antigen, asam amino, serta bahan nutrien lain yang berguna bagi tubuh. Bahan-bahan senyawa yang ditemukan di dalam urine ini bersifat murni, bioaktif, dan mempunyai kemampuan menyembuhkan sendiri (bio-self healing power).

Lepas dari apakah terapi urine itu ilmiah dan dapat dipertanggung-jawabkan, juga lepas dari apakah terapi ini berhasil menyembuhkan penyakit, dalam syariat Islam air kencing hukumnya tetap najis. Dan karena kenajisannya, hukum berobat dengan terapi urine termasuk hal yang diharamkan apabila urine itu diminum. Hal ini tidak terbatas pada urine manusia saja, tapi juga urine hewan.

2. Terbuat Dari Hewan Yang Diharamkan

Ada cukup banyak jenis hewan yang diharamkan dalam syariat Islam. Di antaranya adalah :

a. Babi

Di antara hewan yang jelas-jelas diharamkan tanpa menyebutkan ‘illat-nya adalah babi. Setidaknya kitab suci Al-Quran empat kali menyebutkan ihwal keharaman babi di empat ayat yang terpisah.

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah dan daging babi(QS. Al-Baqarah : 173)

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ

Diharamkan bagimu bangkai, darah dan daging babi (QS. Al-Maidah : 3)

قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi (QS. Al-An'am : 145)

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِير

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah dan daging babi.(QS. An-Nahl : 115)

Seluruh ulama baik di kalangan mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah telah bersepakat atas haramnya daging babi untuk dimakan. Tidak ada khilaf sedikit pun tentang keharaman daging babi di antara para ulama.

Banyak orang mengira bahwa ketika Allah SWT mengharamkan babi, alasannya karena faktor-faktor kesehatan. Padahal keharamannya tidak ada kaitannya dengan hal-hal seperti itu. Sebab di dunia ini ada ratusan juta manusia yang mengkonsumsi daging babi secara rutin sepanjang hayat tanpa mengalami masalah kesehatan yang serius.

Bangsa Cina umumnya makan babi, tapi kita tahu ilmu kedokteran Cina luar biasa hebat. Teknologi bangsa Cina pun tidak kalah maju dengan teknologi bangsa lain. Kita juga tidak pernah mendapatkan angka bahwa bangsa Cina termasuk bangsa yang penyakitan gara-gara makan babi.

Keharaman babi semata-mata bersifat ketetapan langsung dari Allah SWT, bukan berdasarkan analisis ilmiah seperti yang disangka kebanyakan orang, atau yang yang dituntut oleh nonmuslim.

Dengan demikian, seorang muslim tidak makan babi bukan karena takut cacing pita, virus tertentu, atau karena babi itu hewan yang kotor. Alasan-alasan itu akan kehilangan sandaran manakala ditemukan teknologi yang bisa mengolah daging babi agar bebas cacing pita atau virus tertentu.

Kalau pun babi itu dikaitkan hewan yang hidupnya kotor dan bahkan sering dibilang suka memakan kotorannya sendiri, itu pun bukan alasan kenapa babi diharamkan.

Sebab bisa saja para penyayang binatang mengawinkan ras-ras tertentu dari babi sehingga lahir varian babi tertentu yang bisa dipelihara dengan higienis, dimandikan dengan air bersih sehari dua kali dengan shampo, berbulu putih mulus, wangi, bersih dan bebas kuman, sehingga menjadi hewan peliharaan dalam rumah, bukan di dalam kandang. Babi itu tidak diberi makan kecuali makanan yang baik, bergizi, steril dan mahal.

Toh semua itu tetap tidak menjadikan babi hewan yang halal dimakan dan suci.

b. Bangkai atau Yang Tidak Disembelih Sesuai Syar’iah

Dalam bahasa Arab, bangkai disebut dengan maitah (ميتة). Dan pengertian secara syar'i atas istilah bangkai adalah seperti yang didefinisikan oleh Al-Jashshash dalam kitab tafsirnya :‎

اسْمُ الْحَيَوَانِ الْمَيِّتِ غَيْرِ الْمُذَكَّى

Nama yang disematkan pada hewan yang mati di luar cara penyembelihan.

Matinya hewan tanpa penyembelihan itu bisa dengan dua cara. Pertama, hewan itu mati dengan sendirinya tanpa penyebab dari manusia. Kedua, hewan itu mati oleh sebab manusia, dengan tidak memenuhi aturan dalam ketentuan penyembelihan yang syar'i.

Para ulama juga menambahkan pengertian bangkai adalah potongan tubuh hewan yang terlepas dari badannya, seperti kaki, paha, telinga dan lainnya, sementara hewan itu masih dalam keadaan hidup. Karena hal itu secara khusus disebutkan oleh Rasulullah SAW :

مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ فَهِيَ مَيْتَةٌ

Semua yang terpotong dari hewan ternak yang masih hidup, maka potongan itu termasuk bangkai (HR. Abu Daud dan At-Tirmizy)

c. Hewan Buas

Hewan yang juga termasuk diharamkan untuk dimakan oleh seorang muslim adalah hewan buas, atau hewan pemakan hewan lain. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw berikut ini.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ r نَهَى عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ

Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW melarang memakan hewan yang punya taring dari binatang buas dan yang punya cakar dari unggas. (HR. Muslim)

أَكْل كُل ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ حَرَامٌ

Memakan semua hewan yang buas hukumnya haram (HR. Malik dan Muslim)

Para ulama menyebutkan bahwa ciri dari hewan buas adalah hewan yang mempunya taring dan cakar, dimana taring dan cakar itu digunakan untuk membunuh mangsanya dan mengoyak serta memakannya.

Meski secara biologis ada hewan yang punya gigi taring dan kuku, namun yang dimaksud dengan taring bukan sembarang gigi taring, melainkan taring dalam arti dia membunuh mangsanya yang merupakan hewan lain dengan menggunakan taringnya itu.

Dan tentunya bukan sekedar membunuh, tetapi juga mengoyak, menguliti dan memakannya. Sehingga inti dari sebutan hewan bertaring adalah hewan yang memakan hewan lain. Dalam istilah ilmiyah disebut carnivora.

Demikian juga dengan cakar, fungsinya adalah untuk membunuh mangsanya, mengoyak atau menguliti hewan lain yang jadi mangsanya. Cakar disini bukan sekedar kuku, tetapi lebih kepada fungsinya.

Ayam, itik, kambing dan kuda adalah hewan yang punya kuku, tapi kita tidak mengelompokkannya sebagai hewan buas. Sebab cakarnya ayam tidak digunakan untuk memangsa dan memakan mangsa. Kita menyebut cakar ayam itu sebagai ceker.

d. Hewan Harus Dibunuh

Termasuk jenis hewan yang haram dikonsumsi adalah hewan yang Allah perintahkan kita untuk membunuhnya dan hewan yang justru kita dilarang untuk membunuhnya.

Rasulullah SAW memerintahkan kita umatnya untuk membunuh beberapa jenis hewan tertentu. Tentu maksudnya bukan untuk membasmi atau membuat satwa itu menjadi punah. Perintah ini bersifat kasuistik, dimana salah stu hikmahnya adalah untuk menyelematkan diri dari kejahatan atau kecelakaan yang bisa ditimbulkan oleh satwa tersebut.

Penggunaan istilah bunuh (قتل) berbeda makna dan konotasinya dengan penyembelihan (ذبح). Membunuh hewan akan membuat hewan itu menjadi bangkai, dan hukum bangkai najis serta tidak boleh dimakan.

Sedangkan penyembelihan akan membuat hewan itu mati dalam keadaan suci, sehingga tubuh hewan itu tidak menjadi najis dan boleh dimakan.

Kelima hewan ini disebutkan secara bersamaan oleh Rasulullah SAW dalam satu hadits, yang intinya bila kita berhadapan atau terancam oleh hewan-hewan itu, maka kita diperintah untuk membunuhnya.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ r قَالَ خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْحُدَيَّا وَالْغُرَابُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ

Dari Aisyah radhiyallahuanha, Rasulullah SAW bersabda,"Lima macam hewan yang hendaklah kamu bunuh dalam masjid: Gagak, elang, kalajengking, tikus, dan anjing. (HR. Bukhari Muslim)

Dan oleh karena hewan itu mati dengan cara dibunuh dan tidak disembelih, maka hewan itu menjadi bangkai. Dan bangkai itu najis serta haram untuk dimakan.

Bagaimana hukumnya bila hewan-hewan itu tidak dibunuh tetapi disembelih, apakah hukumnya menjadi halal? Jawabnya tetap tidak halal, sebab perintah untuk membunuh hewan-hewan itu maknanya bahwa hewan itu kalau pun disembelih, hukumnya tidak sah juga.

Tokek

Perintah untuk membunuh tokek datang dari hadits yang levelnya shahih, yaitu diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam kitab beliau, Ash-Shahih.

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahuanhu berkata, “Nabi SAW memerintahkan untuk membunuh tokek dan menyebutnya fasiq kecil” (HR. Muslim)

Belakangan ini marak orang berjual-beli tokek, yang harganya selangit. Harga tokek mulai beranjak tinggi jika memiliki berat di atas 3 ons. Harga tokek dengan berat 3 ons sendiri, konon bisa berharga Rp. 30 juta hingga Rp. 100 juta-an, sedangkan tokek dengan berat 3,5 sampai 4 ons biasa dihargai dengan Rp. 100 juga hingga Rp. 800 juta. Lalu untuk apa tokek itu sehingga harganya bisa setinggi itu dan membuat banyak orang menjadi gila karena berburu tokek?

Konon tokek itu dipercaya bila menjadi obat berbagai penyakit termasuk HIV/AIDS. Tentu saja belum pernah ada penelitian tentang hal itu, apalagi pembuktian yang bersifat ilmiyah. Tetapi begitulah ciri masyarakat Indonesia, mudah terkena eforia.

Namun lepas dari kotroversi harga tokek dan khasiatnya sebagai obat, syariat Islam mengharamkan umatnya memakan tokek, dengan alasan karena tokek itu termasuk hewan yang diperintahkan kepada kita untuk membunuhnya.

Secara sekilas hadits di atas menyebutkan tentang nama-mana hewan dimana Rasulullah SAW perintahkan kita untuk membunuhnya itu adalah gagak, elang, kalajengking, tikus, anjing dan tokek.

Tentunya tidak boleh dipahami bahwa ada perintah khusus dalam syariat Islam untuk membasmi atau membunuh semua hewan itu di atas permukaan bumi ini.

Namun dalam hal ini, yang harus dipahami adalah bahwa seseorang berhadapan secara tidak sengaja dengan hewan-hewan buas yang bisa mencelakakan dirinya, termasuk bisa melukai dan barangkali memakan, maka kita diwajibkan untuk melawan dengan cara membunuhnya.

Tentu saja tidak perlu dilakukan proyek berburu secara sengaja untuk melenyapkan hewan-hewan itu secara masif.

Makanya disebutkan hewan itu liar dan merusak, bahkan merugikan kita, salah satunya karena hewan itu masuk ke dalam masjid, tempat ibadah yang seharusnya tenang.

Kalau hewan itu ketahuan masuk masjid dan lari menyelamatkan diri, tentu tidak perlu dikejar-kejar sampai tertangkap. Perintahnya tidak sampai kesana, tetapi hanya sebatas bila hewan itu mengganggu, maka kita tangkap dan kita bunuh.

Karena Rasulullah SAW memerintahkan untuk membunuhnya, oleh para ulama ditafsirkan sebagai hewan yang tidak baik untuk dimakan.

Beberapa hewan disebutkan di dalam hadits di atas, yaitu gagak, elang, kalajengking, tikus, dan anjing, adalah hewan yang kalau mengganggu keselamatan kita, wajib untuk dibunuh.

Perintah untuk membunuh ini berbeda dengan perintah untuk menyembelih. Membunuh sekedar melakukan perbuatan yang membuat hewan itu mati, entah dengan cara dipukuli, dilempar, diikat, dijebak, diracun, dan beragam cara lain yang dikenal manusia. Intinya dibunuh dan bukan disembelih.

Dan karena hanya dibunuh dan bukan disembelih, maka hewan itu kalau sudah mati menjadi bangkai. Dan bangkai itu adalah hewan itu haram dimakan.

e. Dilarang Membunuh

Di antara hewan yang secara langsung Rasulullah SAW larang atas kita untuk membunuhnya adalah semut, labah, hud-hud dan shurad. Selain itu Rasulullah juga melarang kita untuk membunuh kodok dan tokek.

Dalil yang mendasari larangan itu adalah sabda Rasulullah SAW dalam hadits berikut ini :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه أَنَّ النَّبِيَّ r نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِ : النَّمْلَةِ وَالنَحْلَةِ وَالهُدْهُد وَالصُّرَدِ

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, Rasulullah SAW melarang membunuh empat macam hewan: semut, lebah, hud-hud, dan shurad. (HR. Abu Daud)

Kodok

Hewan yang secara ekplisit diharamkan bagi kita untuk membunuhnya adalah kodok. Dasar haditsnya adalah sebagai berikut :

سَأَلَ طَبِيْبٌ النَّبِيَّ r عَنْ ضِفْدَعِ يَجْعَلُهَا فيِ دَوَاءٍ فَنَهَاهُ عَنْ قَتْلِهَا

“Dari Abdurrahman bin Utsman Al-Quraisy, bahwa seorang tabib (dokter) bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kodok yang dipergunakan dalam campuran obat. Maka Rasulullah SAW melarang membunuhnya.” (Ditakharijkan oleh Ahmad, Al-Hakim dan Nasa’i)

Keharaman kodok untuk dimakan bukan hanya karena hewan itu termasuk hidup di dua alam, sebagaimana yang disebutkan dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, melainkan juga karena adalah larangan dari Rasulullah SAW untuk membunuh kodok untuk dijadikan obat. Sehingga kalau pun alasan hidup di dua alam masih menjadi khilaf di kalangan ulama, kodok tetap hewan yang haram dimakan oleh sebab hadits di atas.

Kenapa hewan yang kita dilarang membunuhnya menjadi haram kita makan?

Logikanya adalah bahwa hewan yang tidak boleh dibunuh itu berarti mati dengan sendirinya. Dan hewan yang mati dengan sendirinya termasuk bangkai, sebab kalau mau dibilang halal, maka harus disembelih.

Padahal kita dilarang membunuhnya, tentu saja pengertiannya termasuk dilarang juga untuk menyembelihnya.

Maka kalau hewan-hewan yang kita dilarang untuk membunuhnya itu jadi haram, salah satu illatnya karena hewan itu menjadi bangkai juga

3. Memabukkan

Kriteria obat-obatan yang diharamkan adalah bila obat-obatan itu dapat membuat seseorang menjadi mabuk bila mengkonsumsinya. Dan segala apa yang dimakan atau diminum, bila membuat pelakunya menjadi mabuk, disebut dengan istilah khamar.

Khamar dalam bahasa Arab berasal dari akar kata “khamara” (خمر) yang bermakna sesuatu yang menutupi. Disebutkan (ما خمر العقل) yaitu sesuatu yang menutupi akal.

Sedangkan jumhur ulama memberikan definisi khamar yaitu segala sesuatu yang memabukkan, baik sedikit maupun banyak. Definisi ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW :

عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِى الدُّنْيَا فَمَاتَ وَهُوَ يُدْمِنُهَا لَمْ يَتُبْ لَمْ يَشْرَبْهَا فِى الآخِرَةِ

Dari Ibni Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Segala yang memabukkan itu adalah khamar dan semua jenis khamar itu haram. Siapa yang minum khamar di dunia dan mati terbiasanya meminumnya tanpa bertaubat, maka dia tidak akan meminumnya di akhirat ” (HR. Muslim dan Ad-Daruquthuny)

كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ.

”Segala minuman yang memabukkan adalah khamar.” (HR. Bukhari Muslim).

Namun para ulama berbeda pendapat tentang apakah Alkohol itu khamar atau bukan. Sebagian mengatakan Alkohol adalah khamar, sehingga semua hukum khamar juga berlaku pada Alkohol. Namun kebanyakan ulama tidak menganggapnya sebagai khamar, sehingga hukum Alkohol berbeda dengan hukum khamar.

a. Alkohol Adalah Khamar

Mereka yang mengatakan bahwa Alkohol adalah khamar menyandarkan pendapat mereka atas dasar bahwa minuman yang asalnya halal, akan menjadi khamar begitu tercampur Alkohol. Padahal sebelum dicampur Alkohol, makanan atau minuman itu tidak memabukkan, dan hukumnya tidak haram.

Karena keharaman itu datangnya setelah ada pencampuran dengan Alkohol, maka justru titik keharamannya terletak pada Alkohol itu sendiri.

Oleh karena itu menurut pendapat ini, titik keharaman khamar justru terletak pada keberadaan Alkoholnya. Sehingga Alkohol itulah sesungguhnya yang menjadi intisari dari khamar. Atau dalam bahasa lain, Alkohol adalah biangnya khamar.

Maka menurut pendapat ini, semua hukum yang berlaku pada khamar, otomatis juga berlaku pada Alkohol, bahkan lebih utama. Misalnya dalam urusan najis, karena jumhur ulama menajiskan khamar, maka otomatis Alkohol pun merupakan benda najis, bahkan biang najis.

Ketika para ulama mengatakan bahwa wudhu’ menjadi batal karena terkena najis, maka orang yang memakai parfum beralkohol pun dianggap terkena najis, sehingga wudhu’nya dianggap batal.

Di antara mereka yang berpendapat bahwa Alkohol adalah khamar dan najis adalah Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’qub, MA, yang menjelaskan dalam disertasinya. [6]

b. Alkohol Bukan Khamar

Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa Alkkohol bukan termasuk khamar, juga punya argumentasi yang sulit dibantah. Di antaranya :
Alkohol Terdapat Secara Alami Dalam Makanan

Alkohol itu terdapat pada banyak buah-buahan secara alami. Prof. Made Astawan, ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), mengatakan bahwa setiap buah dan sayuran mengandung ethanol (salah satu unsur alkohol). Unsur ini akan semakin dominan bila buah dan sayur mengalami pembusukan (fermentasi).

Dr. Handrawan Naedesul, redaktur ahli Tabloid SENIOR, mengatakan bahwa setiap buah diindikasikan memiliki kandungan alkohol. Contoh yang jelas adalah nangka dan durian, kadar alkohol buah tersebut di bawah lima persen.

Anggur segar diperkirakan mengandung Alkohol kira-kira 0,52 mg/Kg.

Kalau Alkohol itu khamar, lalu bagaimana dengan semua makanan sehat dan halal di atas? Kita tidak pernah mendengar ada fatwa ulama dimana pun yang mengharamkan semua makanan di atas, hanya semata-mata karena dianggap mengandung Alkohol.

Dan alasan dimaafkan tentu bukan alasan yang tepat, sebab kalau memang Alkohol itu khamar, tentunya banyak atau sedikit seharusnya tetap dianggap haram.

Alkohol Tidak Dikonsumsi

Di antara argumentasi bahwa Alkohol bukan khamar adalah pada kenyataannya, Alkohol tidak pernah dikonsumsi oleh manusia secara langsung. Dengan kata lain, pada dasarnya Alkohol itu memang bukan minuman yang lazim dikonsumsi, dan orang tidak mejadikan Alkohol murni sebagai minuman untuk bermabuk-mabukan.

Orang yang minum Alkohol murni, atau setidaknya yang kandungannya 70% seperti yang banyak dijual di apotek, dia tidak akan mengalami mabuk, tetapi langsung meninggal dunia.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa Alkohol bukan khamar, sebab pengertian khamar adalah makanan atau minuman yang kalau dikonsumsi tidak akan langsung membuat peminumnya meninggal dunia, melainkan akan membuat pelakunya mengalami mabuk.

Sedangkan Alkohol murni tidak membikin seseorang mabuk, tetapi langsung meninggal. Maka kesimpulannya, Alkohol bukan khamar melainkan racun. Sebagai racun, Alkohol memang haram dikonsumsi, karena memberi madharat atau membahayakan jiwa dan nyawa kita. Pembahasan tentang makanan yang membahayakan adalah kriteria ketiga dalam ketentuan makanan haram.

Memabukkan Tetapi Tidak Ber-Alkohol

Pendapat bahwa Alkohol itu bukan khamar juga dikuatkan dengan kenyataan bahwa begitu banyak benda-benda yang memabukkan, atau termasuk ke dalam kategori khamar, tetapi justru tidak mengandung Alkohol.

Misalnya daun ganja yang dibakar dan asapnya dihirup ke paru-paru, sebagaimana yang dilakukan oleh para penghisap ganja. Asap itu mengakibatkan mereka mabuk dalam arti yang sebenarnya. Namun kalau diteliti lebih seksama, baik daun ganja maupun asapnya, tidak mengandung Alkohol.

Pil dan obat-obatan terlarang yang sering digunakan oleh para pemabuk untuk teler, rata-rata justru tidak mengandung kandungan Alkohol. Demikian juga dengan opium, shabu-shabu, ekstasy dan lainnya, rata-rata tidak beralkohol. Tetapi semua orang yang mengkonsumsinya dipastikan akan mabuk.

Artinya, Alkohol belum tentu khamar. Dan sebaliknya, khamar belum tentu mengandung Alkohol.

Hukum Dasar : Semua Benda Suci

Kalau kita perhatikan lebih saksama, tidak ada satu pun ayat Al-Quran yang mengharamkan Alkohol. Bahkan kata alkohol itu tidak kita dapati dalam 6000-an lebih ayat Al-Quran.

Kita juga idak menemukan satu pun hadis Nabawi yang mengharamkan Alkohol, padahal jumlah hadis Nabawi bisa mencapai jutaan. Yang disebutkan keharamannya di dalam kedua sumber agama itu hanyalah khamar.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 90)

Dan sesuai dengan makna bahasa pada masa itu, khamar adalah minuman hasil perasan anggur atau kurma yang telah mengalami fermentasi pada tingkat tertentu sehingga menimbulkan gejala iskar (الإسكار) atau memabukkan.

Lalu, bagaimana bisa kita mengharamkan ganja, mariyuana, opium, narkotika, dan yang lainnya sementara nama-nama tersebut juga tidak disebutkan dalam kitabullah dan sunah Rasul-Nya? Apakah benda-benda itu halal dikonsumsi?

Jawabnya tentu tidak. Alasannya, benda-benda tersebut punya kesamaan sifat dan ‘illat dengan khamar, yaitu memabukkan orang yang mengonsumsinya. Karena daya memabukkannya itulah benda-benda tersebut diharamkan dan juga disebut khamar.

Banyak jenis makanan dan minuman yang diduga mengandung khamar, antara lain bahan-bahan yang disinyalir memiliki kandungan alkohol.

Meskipun demikian, bukan berarti semua bahan makanan yang mengandung alkohol secara otomatis dianggap khamar. Perlu diingat bahwa khamar tidak identik dengan alkohol sebagaimana alkohol juga tidak selalu menjadi khamar.

Adapun obat-obatan yang mengandung kadar tertentu Alkohol, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam keterangannya memberikan batasan bahwa obat-obatan masih ditolelir bila mengandung kadar Alkohol di bawah 1 persen.

4. Berbahaya

Kriteria obat yang diharamkan adalah yang mengandung zat-zat berbahaya yang tidak diremendasikan oleh ilmu kedoktran. Sebab, pada dasarnya tindakan yang berakibat madharat —termasuk membunuh diri sendiri— adalah haram. Maka, mengkonsumsi obat yang akan merusak diri sendiri tentu haram hukumnya.

Dalam Al-Quran Al-Karim, Allah SWT menegaskan keharaman setiap muslim untuk melakukan hal-hal yang membahayakan atau membunuh diri sendiri.

وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوَاْ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah: 195)

وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah sangat mengasihi kamu. (QS. An-Nisa: 29)

مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ فيِ نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيْهَا خَالِدًا مُخْلِدًا فِيْهَا أَبَدًا

Orang yang melempar tubuhnya dari atas gunung, berarti dia melempar dirinya masuk ke dalam neraka jahanam, kekal untuk selama-lamanya. (HR. Bukhari)

Di antara bentuk-bentuk obat yang berbahaya adalah obat racikan yang tidak memenuhi ketentuan stantar badan obat, seperti obat tradisional yang dicampurkan dengan bahan-bahan yang tidak diizinkan sebagai obat.

Di antara jenis obat yang berbahaya misalnya bila dicampur dengan bahan kimia obat keras seperi Sibutramin Hidroklorida, Sildenafil Sitrat, Siproheptadin, Fenilbutason, Asam Mafenamat, Prednison, Metampiron, Teofilin, serta obat Parasetamol.

Seharusnya obat-obat yang dibuat seperti ini hanya boleh dikonsumsi dengan resep dari dokter yang ahli dan telah melakukan penelitian atas penyakit yang diderita pasien

Termasuk obat berbahaya adalah mengkonsumsi obat palsu, yang ternyata peredarannya cukup banyak di tengah masyarakat. Disinyalir bahwa setidaknya sekitar 25% obat yang beredar di Indonesia adalah termasuk jenis obat palsu, dengan mutu yang tidak terjamin, selain juga berbahaya bagi kesehatan. Obat palsu dapat menyebabkan kematian layaknya obat berbahaya. Efek negatif lainnya adalah penyakit tidak kunjung sembuh walaupun pengobatan intensif telah dilakukan.

Obat tanpa mutu dan resep yang jelas dari dokter sangat berbahaya. Walaupun harganya murah, tetapi efeknya sangat berbahaya. Obat akan menjadi lebih berbahaya jika penggunaannya berbenturan dengan obat lain yang memiliki kandungan kimia berbeda dan bertentangan. Selain itu, kandungan dalam obat juga berdampak buruk bagi penyakit lain di dalam tubuh.

Umumnya orang yang mengkonsumsi obat yang dibeli di pasaran bebas tidak mengetahui hal ini. Sebagai contoh, mereka tahunya mengkonsumsi obat merek X penyakit batuk bisa sembuh. Padahal, obat tersebut justru berpengaruh buruk bagi penderita penyakit jantung.

Laporan dari World Health Organization (WHO), 10 persen obat yang beredar di seluruh dunia adalah obat palsu. Bahkan, laporan terakhir yang dirilis United Stated Trade Representatives (USTR) menyebutkan, 25 persen obat yang beredar di Indonesia adalah palsu. Keberadaan pasar gelap yang menjual obat-obat palsu, kian memperparah kesehatan masyarakat.

Yang juga sangat beresiko dari obat adalah obat-obat peningkat gairah seksual yang banyak dijajakan di pinggir jalan.

B. Pendapat yang Menghalalkan

Mereka yang menghalalkan berobat dengan obat-obatan haram berdalil bahwa berobat merupakan hal yang bersifat darurat. Dan kedaruratan itu membolehkan hal yang hukumnya terlarang, sebagaimana kaidah fiqhiyah:

الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ المَحْظُورَاتِ

Kedarutan membolehkan hal-hal yang terlarang

Namun, kebolehan mengonsumsi obat haram ini tidak berlaku mutlak. Mereka yang mendukung pendapat ini mensyaratkan beberapa hal penting :

1. Usahakan yang halal terlebih dulu

Selama masih ada obat halal, obat haram tidak boleh digunakan, sebab unsur kedaruratannya hilang. Dengan kata lain, kita harus terlebih dulu berusaha mendapatkan obat-obatan halal sebelum berpindah kepada yang hukumnya haram.

2. Tidak menikmati

Orang yang dengan terpaksa mengonsumsi makanan yang haram karena keadaan darurat pengobatan tidak boleh menikmati makanan haram itu. Kalau dinikmati, status kedaruratannya menjadi tidak ada nilainya.

3. Berobat secukupnya

Terpaksa berobat dengan makanan yang haram hanya dibenarkan jika terbatas pada dosis yang telah ditoleransi dokter. Berlebihan dalam mengonsumsi yang haram karena alasan pengobatan sama saja dengan melanggar ketentuan kedaruratan itu sendiri.

4. Terbukti manjur secara mutlak

Syarat yang paling penting dari semua itu adalah obat yang dianggap bisa menyembuhkan tetapi haram itu selama ini memang telah terbukti khasiatnya. Dengan kata lain, sifatnya bukan coba-coba atau sekadar bereksperimen. Sesuatu yang darurat tidak dilakukan dengan jalan coba-coba, sebab risikonya terlalu besar sementara belum ada kepastian apakah makanan haram itu benar-benar bisa mengobati. Jangan sampai kita hanya terjebak mitos.

C. Pendapat yang Mengharamkan

Pendapat yang kedua adalah pendapat yang tidak bisa menerima tidak adanya obat halal menjadi unsur kedaruratan. Dalam pandangan mereka, mengonsumsi makanan haram dengan alasan pengobatan adalah hal yang tidak bisa dibenarkan secara syariah. Secara umum, mereka ingin mengatakan bahwa pengobatan bukan bagian dari kedaruratan.

Dalil pendapat mereka adalah Rasulullah SAW berkali-kali dan secara tegas melarang berobat dengan meminum khamar. Dalam banyak hadis kita temukan larangan tegas itu.

عَنْ طاَرِقِ بْنِ سُوَيدٍ الجَعْفِي أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولُ اللهِ r عَنِ الخَمْرِ فَنَهَاهُ عَنْهَا فَقَالَ: إِنَّمَا أَصْنَعُهَا لِلدَّوَاءِ. فَقَالَ: إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ

Thariq bin Suwaid al-Ja'fi radhiyallahuanhu berkata bahwa dirinya bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hukum minum khamar dan Rasulullah saw. mengharamkannya. Dia bertanya,”Tetapi ini untuk pengobatan.” Maka Rasulullah saw. menjawab, “Khamar itu bukan obat, tetapi penyakit.” (HR. Muslim, Abu Daud, Ahmad, dan Tirmizy)

Dalam hadits ini Rasulullah Saw menegaskan bahwa khamar yang memabukkan itu memang banyak orang gunakan sebagai obat yang menyembuhkan. Namun dalam pandangan hukum Islam, meski kenyataanya memang ada penyakit yang bisa disembuhkan, tetapi pada hakikatnya khamar itu malah merupakan penyakit.Sehingga hukumnya tetap haram.

Selain hadits ini juga ada hadits lainnya,

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءَ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ: إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءُ فَتَدَاوُوا وَلاَ تَتَدَاوُوا بِحَرَامٍ

Dari Abi Ad-Darda' radhiyallahuanhu bahwa Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat. Dan Dia menjadikan buat tiap-tiap penyakit ada obatnya. Maka, makanlah obat, tapi janganlah makan obat dari yang haram. (HR. Abu Daud)

Dalam hadits ini Rasulullah SAW menegaskan bahwa berobat dengan barang yang haram itu hukumnya haram juga.

Di negeri sub tropis banyak orang memanfaatkan khamar untuk menghangatkan badan, bukan untuk mabuk. Bagaimana hukumnya dalam pandangan syariat Islam?

Jawabannya ditegaskan dalam hadits nabawi berikut ini :

أَنَّ دَيْلَمْ الحُمَيْرِي سَأَلَ النَّبِيَّ r فَقَالَ : يَا رَسُولَ الله إِنَّا بِأَرْضٍ بَارِدَةٍ نُعَالِجُ فِيْهَا عَمَلاً شَدِيْدًا وَإِنَّا نَتَّخِذُ شَرَابًا مِنْ هَذَا القَمْحِ نَتَقَوَّى بِهِ عَلَى أَعْمَالِنَا وَعَلىَ بَرْدِ بِلاَدِنَا. قَالَ رَسُولُ اللهِ : هَلْ يُسْكِر؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فاَجْتَنِبُوه، قَالَ: إِنَّ النَّاسَ غَيْرَ تَارِكِيْهِ. قاَلَ: فَإِنْ لَمْ يَتْرُكُوهُ فَقَاتِلُوهُمْ

Dailam Al-Humairi bertanya kepada Nabi saw.,”Ya Rasulullah, kami tinggal di negeri yang sangat dingin, tempat kami melawannya dengan perbuatan dahsyat, yaitu dengan cara meminum qamh ini. Khasiatnya bisa menguatkan tubuh kami dan melawan rasa dingin negeri kami.” Rasulullah saw. bertanya, ”Apakah minuman itu memabukkan?” “Ya, memabukkan,” jawabnya. "Tinggalkanlah,” kata Rasulullah saw. “Tapi orang-orang tidak mau meninggalkan minuman itu,” balasnya. Maka Nabi saw. bersabda,”Kalau mereka tidak mau meninggalkan minuman itu, perangilah mereka.” (HR. Abu Daud)

Berobat dengan barang yang haram itu hukumnya haram menurut sebagian ulama, namun bila dalam keadaan yang sangat mendesak demi menyelematkan nyawa, sebagian ulama mengatakan itu merupakan kedaruratan.‎
Pada dasarnya Islam telah mengatur apa saja yang boleh dikonsumsi ataupun dihindari oleh umatnya. Hal ini tentu saja berlaku pada makanan, minuman, obat-obatan serta berbagai penunjang kebutuhan manusia lainnya. Prinsip yang dikembangkan oleh Islam adalah menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk dampaknya bagi keberlangsungan kehidupan manusia secara keseluruhan. Hal ini sebagaimana tertuang dalam firman Allah surat al-A’raf ayat 157:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

Artinya: dan Nabi yang ummi serta didapati dalam kitab Taurat dan Injil tersebut (Rasulullah saw) menghalalkan segala yang baik dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka.

Ayat diatas kemudian dijabarkan oleh Rasulullah saw melalui hadis-hadis beliau yang cukup banyak dan kemudian ditafsiri oleh generasi setelahnya dengan berbagai macam penafsiran.‎

Semut, cacing, dan undur-undur dalam istilah biologi termasuk hewan yang tidak mempunyai tulang belakang atau tulang punggung (Avertebrata/invertebrata), sementara dalam bahasa Arab ketiga jenis hewan ini dimasukkan dalam kategori serangga (al-hasyarat). Khusus untuk Semut hampir mayoritas ulama mengatakan bahwa hewan ini haram dimakan karena termasuk salah satu hewan yang dilarang oleh Nabi untuk dibunuh. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud bersumber dari Ibnu Abbas Rasulullah saw bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ: النَّمْلَةُ، وَالنَّحْلَةُ، وَالْهُدْهُدُ، وَالصُّرَدُ

Artinya: Dari Ibnu Abbas, Ia berkata: “Sesungguhnya Nabi saw melarang untuk membunuh empat binatang: semut, lebah, burung Hudhud, dan burung Shurod.”

Hadis di atas kemudian dijadikan dasar oleh para ulama mengenai tidak diperbolehkannya semut untuk dikonsumsi sebagai makanan, meskipun masih banyak diantara mereka yang beranggapan bahwa jenis semut yang dilarang untuk dibunuh hanyalah satu jenis semut tertentu.

Sementara untuk kedua jenis binatang lainnya (cacing dan Undur-undur), para ulama terbagi dalam dua kelompok:

Kelompok pertama berpandangan bahwa kedua jenis hewan ini termasuk dalam kategori al-hasyarat ( serangga) dan hukumnya haram (tidak boleh dimakan) dengan alasan menjijikkan (al-khabaist). Ulama yang berpendapat demikian diantaranya adalah Imam Abu Hanifah dan asy- Syafi'i.

Kelompok kedua dipelopori oleh Imam Malik, Ibn Abi Laila, dan Auza'i berpendapat bahwa al-hasyarat hukumnya halal.

Selanjutnya mengenai tentang boleh tidaknya berobat dengan hal-hal yang haram, para ulama’ dengan berbagai argumentasi yang mereka kemukakan, berbeda pendapat menjadi empat:

1. Pendapat pertama menyatakan boleh berobat dengan yang haram dalam keadaan darurat (kritis) dan tidak ditemukan obat lain. 
2. Pendapat kedua menyatakan haram secara mutlak.
3. Pendapat ketiga menyatakan dalam kondisi darurat boleh berobat dengan yang haram/najis, kecuali khamar.
4. Pendapat keempat menyatakan tidak haram menggunakan obat dari jenis-jenis serangga meskipun menjijikkan.

Dari keempat pendapat ini tentunya akan berdampak pula pada jawaban atas pertanyaan berikutnya yakni hukum budidaya hewan-hewan tersebut dengan tujuan untuk diperjualbelikan. Di antara para ulama ada yang membolehkan disamping juga ada yang tidak memperbolehkan.
Wallohu a'lam‎

 

Hukum Talak Mu'allaq (Cerai Tergantung)


Demikianlah luapan emosi yang terkadang terungkap dari mulut sebagian wanita yang tidak kuasa menghadapi problematika dan pernik-pernik kehidupan rumah tangga.

Sebelum seorang wanita meminta untuk dicerai maka hendaknya ia merenungkan hal-hal berikut ini:

Pertama : Sesungguhnya pernikahan merupakan ibadah yang dicintai Allah dan mendatangkan begitu banyak faedah. 
Kedua : Syari'at berusaha menjauhkan pasangan suami istri dari perceraian sejauh mungkin

Oleh karenanya :

Pertama : Allah telah mensifati pernikahan dengan perjanjian yang kuat, Allah berfirman
 
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. (QS An-Nisaa :21)

Hal ini tentunya mendorong kita agar memuliakan perjanjian tersebut dan berusaha untuk tidak melepaskan perjanjian tersebut.

Kedua : Syariat menjadikan perceraian dalam beberapa tingkatan agar menjadi perenungan bagi sang suami, dan syari'at tidak langsung menjadikan perceraian sebagai bentuk perpisahan abadi antara suami dan istri.

Karenanya suami yang menjathuhkan talak satu (menceraikan istrinya sekali) maka ia berhak untuk kembali lagi kepada istrinya selama istrinya masih dalam masa iddah. Demikian juga jika ia menjatuhkan talak kedua. Sehingga sang suami dan istri -setelah terjadi talak satu ataupun talak dua- akan lebih berpikir ke depan memandang kemaslahatan yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangganya. Karena betapa banyak suami yang menyesal setelah menjatuhkan talak kepada istrinya. Dan betapa banyak pula istri yang tadinya membangkang dan berakhlak buruk kepada suami akhirnya bisa berubah dan membaik setelah dicerai.

Adapun jika telah jatuh talak yang ketiga maka sang lelaki tidak boleh kembali kepada sang wanita kecuali jika sang wanita telah menikah dengan lelaki yang lain. Allah berfirman

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (QS Al-Baqoroh 229-230

Ketiga : Syari'at menganjurkan agar seorang suami tidak menceraikan istrinya dan bersabar dengan kondisi istrinya yang ia benci. Allah berfirman

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS An-Nisaa : 19)

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

"Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang wanita mukminah (istrinya), jika ia membenci sebuah perangai dari istrinya maka hendaknya ia ridho dengan perangai yang lain dari istrinya" (HR Muslim no 1469)

Keempat :  Allah memerintahkan agar suami bisa menahan diri dan tidak tergesa-gesa dalam mendidik istrinya. Allah berfirman

وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (yaitu tidak melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri-pen), maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (QS An-Nisaa :34)

Kelima : Jika ternyata pasangan suami istri tidak bisa mengatasi permasalahan rumah tangga mereka sendiri maka syari'at menganjurkan untuk menjadikan pihak ketiga menjadi penengah dalam menyelesaikan permasalahan pasutri tersebut. Allah berfirman

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam (juru damai-pen) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS An-Nisaa : 35)

Keenam : Suami yang menceraikan istrinya dalam keadaan dipaksa atau dalam keadaan tidak sadar atau gila maka talaknya tersebut tidak sah.

Ketujuh : Talak yang hanya terbetik dalam hati dan tidak terlafalkan (tidak terucapkan) maka tidak sah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لأُمَّتِى عَمَّا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسُهَا مَا لَمْ تَتَكَلَّمْ أَوْ تَعْمَلْ بِهِ

"Sesungguhnya Allah memaafkan kepada umatku apa yang terbetik dalam jiwa mereka selama belum diucapkan atau diamalkan" (HR Al-Bukhari no 6664 dan Muslim no 127)

Kedelapan : Haram bagi seorang wanita meminta kepada suaminya untuk menceraikan madunya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

ولا تسأل المرأة طلاق أختها لتكفأ ما في إنائها

"Jangalah seorang wanita meminta (kepada suaminya) untuk menceraikan madunya agar ia bisa menumpahkan apa yang ada di bejana madunya tersebut" (HR Al-Bukhari no 2140 dan Muslim no 1408)

Kesembilan :  Syariat menjadikan perceraian (talak) di tangan suami, karena suamilah yang telah membayar mahar dan yang menanggung nafkah keluarga, dan suami lebih bisa menjaga emosinya dan lebih memandang ke depan.

Kendati perceraian merupakan perkara yang buruk akan tetapi terkadang kondisi memang mengharuskan terjadinya perceraian.

Ibnu Taimiyyah berkata:

الأَصْلُ فِي الطَّلاَقِ الْحَظْرُ وَإِنَّمَا أُبِيْحَ مِنْهُ قَدْرُ الْحَاجَةِ

"Hukum asal talak adalah terlarang, dan hanyalah diperbolehkan sesuai kebutuhan"(Majmuu' Al-Fataawaa 33/81)

Dan tindakan ini –perceraian- hendaknya tidaklah ditempuh kecuali jika memang dalam kondisi terpaksa. Karenanya perceraian tidaklah ditempuh kecuali :

1.      Jika setelah menjalani pernikahan ternyata tujuan dari pernikahan –seperti kasih sayang diantara pasutri, menjaga kehormatan, memperoleh keturunan- tidak bisa diraih.

2.      Sudah menempuh berbagai jalan untuk memperbaiki kondisi rumah tangga yang buruk, seperti masuknya pihak ketiga agar memperbaiki kondisi, akan tetapi tidak menghasilkan buah yang baik

3.      Usaha memperbaiki problematika rumah tangga hendaknya dilakukan berulang-ulang.

4.      Ingat bahwa perceraian merupakan jalan keluar yang terakhir…!!!


Ketiga : Sebaliknya perceraian merupakan perkara yang sangat dicintai oleh Iblis.

Para prajurit Iblis dari kalangan para syaitan selalu berlomba-lomba untuk bisa memisahkan dan menghancurkan rumah tangga pasangan suami istri. Iblis raja para syaitan sangat berbangga dengan prajuritnya yang berhasil menceraikan pasangan suami istri.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ إِبْلِيْسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الماءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ : فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا، فَيَقُوْلُ : مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قال ثُمَّ يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ : فَيُدْنِيْهِ مِنْهُ وَيَقُوْلُ : نعم أنت

"Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air (laut), kemudian ia mengutus para prajuritnya. Maka prajurit yang paling dekat dengan Iblis adalah yang paling besar fitnahnya (penyesatannya). Maka datanglah salah satu prajuritnya dan melapor : "Aku telah melakukan ini dan itu", maka Iblis berkata, "Engkau belum melakukan apa-apa", kemudian datanglah prajurit yang lain dan melapor, "Aku telah menggodanya hingga akhirnya aku menceraikannya dengan istrinya". Maka Iblispun mendekatkan prajurit syaitan ini di sisinya lalu berkata, "Engkau prajurit terbaik" (HR Muslim no 2813)

Hadits yang agung ini menunjukan bahwa prajurit Iblis berlomba-lomba mendekatkan diri mereka kepada Iblis, dan yang paling dekat dengan Iblis dan mendapatkan kedudukan tinggi di sisi Iblis adalah yang paling banyak menimbulkan kerusakan kepada manusia. Ternyata prajurit syaitan kesayangan Iblis adalah syaitan yang berhasil menceraikan pasangan suami istri. Iblis tahu bahwasanya dengan bercerainya dua pasangan suami istri maka akan menimbulkan banyak  kerusakan. Diantaranya kedua-duanya bisa jadi terjerumus dalam berbagai model kemaksiatan hingga akhirnya bisa menjerumuskan mereka berdua dalam perzinahan…, hancurnya masa depan anak-anak mereka…, dendam dan kesedihan yang berkepanjangan… dan dampak-dampak buruk yang lain yang merupakan akibat negatif dari perceraian.

Karenanya diantara perkara yang dilakukan oleh para penyihir adalah memisahkan dan menceraikan pasangan suami istri. Allah berfirman :

فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ

Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. (QS Al-Baqoroh : 102)

Karenanya janganlah sampai salah seorang dari pasangan suami istri –disadari atau tanpa disadari- ikut membantu mewujudkan cita-cita dan angan-angan Iblis yaitu menceraikan pasangan suami istri.


Keempat: Wanita yang meminta cerai tanpa ada alasan syar'i yang kuat merupakan perbuatan dosa

Seorang wanita yang meminta cerai dari suaminya tanpa adanya sebab yang syar'i maka terancam ancaman yang keras. Nabi shallallahu 'alaiahi wa sallam bersabda:

أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَْيِر مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ

"Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga" (HR Abu Dawud no 1928, At-Thirmidzi dan Ibnu Maajah, dan dihahihkan oleh Syaikh Albani)

Hadits ini menunjukan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang meminta perceraian tanpa ada sebab yang syar'i yang kuat yang membolehkannya untuk meminta cerai. Berkata Abu At-Toyyib Al'Adziim Aabaadi, "Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta cerai…((Maka haram baginya bau surga)) yaitu ia terhalang dari mencium harumnya surga, dan ini merupakan bentuk ancaman dan bahkan bentuk mubaalaghoh (berlebih-lebihan) dalam ancaman, atau terjadinya hal tersebut pada satu kondisi tertentu yaitu artinya ia tidak mencium wanginya surga tatkala tercium oleh orang-orang yang bertakwa yang pertama kali mencium wanginya surga, atau memang sama sekali ia tidak mencium wanginya surga. dan ini merupakan bentuk berlebih-lebihan dalam ancaman" ('Aunul Ma'buud 6/308)

Akan tetapi wanita boleh saja meminta cerai jika memang kondisinya memaksa demikian.

Talak Mu'allaq

Berikut ini postingan seputar hukum talak, agar kita sebagai muslim dapat mengetahui perkataan-perkataan apa saja yang dapat membuat jatuh talak terhadap Istri. Sebab talak adalah perkara yang dapat membuat status seorang suami tidak lagi berhak (halal) atas istrinya, demikian juga sebaliknya. Oleh sebab itu baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah wajib mengetahui perkara ini. agar saat suami mengatakan perkataan yang mengandung makna talak, istri dapat memberi peringatan bahwa hal itu bukanlah main-main di mata Allah, demikian pula suami tidak dengan mudahnya mengatakan hal-hal yang dapat bermakna jatuh talak terhadap istri (meskipun dilakukan dalam gurauan).

Sebab masalah tersebut sangat berbahaya yang bisa merusak akad nikah, sedangkan akad nikah termasuk akad yang sangat sakral. Tidak ada akad yang paling mendapat perhatian besar dari syariat Islam kecuali akad nikah, karena akad nikah mempunyai konsekwensi hukum yang sangat banyak seperti warisan, nasab, berbesan dan masalah-masalah kemasyrakatan besar lainnya. Sehingga seseorang dianggap tidak berakal sehat apabilah harus menjatuhkan talak kepada istrinya hanya dikarenakan masalah kecil. Berapa banyak orang yang mentalak istrinya setelah itu berkeliling mendatangi para ulama meminta pendapat untuk mencari jalan keluar dan akhirnya menyesal. Nasehat saya kepada setiap kaum laki-laki agar tidak tergesa-gesa menjatuhkan talak.

Talak atau cerai adalah suatu permasalahan rumah tangga yang saat ini banyak menimpa suami istri. Kadang karena ketidak tahuan akan talak yang menyebabkan dengan sendirinya talak itu jatuh. Ada ucapan yang secara tegas walau tanpa disertai niat, membuat talak itu sah. Ada pula talak berupa kata kiasan yang butuh akan niat.  

‎Adapun talak mu’allaq, yaitu seorang suami menjadikan jatuhnya talak bergantung pada syarat. Misalnya, ia berkata kepada isterinya: Jika engkau pergi ke tempat, maka engkau ditalak. 

Hukum talak mu’allaq ini apabila dia bermaksud hendak menjatuhkan talak ketika terpenuhinya syarat. Maka jatuh talaknya sebagaimana yang diinginkannya. 

Adapun manakala yang dimaksud oleh sang suami dengan talak mu’allaq, adalah untuk menganjurkan (agar sang isteri) melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu atau yang semisalnya, maka ucapan itu adalah sumpah. Jika apa yang dijadikan bahan sumpah itu tidak terjadi, maka sang suami tidak terkena kewajiban apa-apa, dan jika terjadi, maka ia wajib membayar kafarah sumpah.

Talak tersebut telah jatuh, sehingga jatuhlah talak yang ketiga yang berkonsekuensi tidak halalnya istri kembali kepada suami  sampai istri menikah lagi dengan pria lain dengan pernikahan wajar (bukan pura-pura/sandiwara/perkomplotan), kemudian diceraikan.

Menjatuhkan talak dengan cara mengaitkan dengan terjadinya hal lain disebut para Fuqoha’ dengan istilah الطَّلاَقُ الْمُعَلَّقُ (Suspended Divorce/ Talak Tergantung). Kasus talak yang ditanyakan penanya termasuk jenis ini, karena mengancam jatuhnya talak kepada istri, jika istri tidak melakukan perbuatan yang diperintahkan suami. Ketentuan Fikih dalam hal ini, talak dihukumi jatuh jika syarat yang disebutkan pada ancaman talak tersebut terealisasi.  Maka, seandainya seorang suami berkata kepada istrinya; “Jika matahari telah tenggelam hari ini, maka jatuhlah talakku kepadamu” atau “jika engkau menerima tamu tanpa seizinku, maka jatuhlah talakku kepadamu”, atau “jika engkau berhutang lagi tanpa sepengetahuanku, maka jatuhlah talakku kepadamu”, kemudian tiba waktu tenggelamnya matahari, atau istri menerima tamu tanpa seizin suami, atau istri berhutang tanpa sepengetahuan suami, dalam kondisi ini semuanya dihukumi jatuh talak tanpa bisa diralat lagi. Pada kasus yang ditanyakan penanya, suami mengancam istri jika tidak ikut hadir pada acara di ibu kandung maka jatuh talak. Ternyata istri tidak ikut hadir bersama suami. Dengan demikian syarat jatuhnya Tholaq Mu’allaq telah terealisasi sehingga hukum talak tiga telah jatuh dan berlaku konsekuensi-konsekuensi talak tiga dalam Syariat.  Hukum jatuhnya talak ini tidak membedakan apakah ancaman talak bersyarat itu benar-benar dimaksudkan mentalak atau sekedar “mengancam/menakut-nakuti/mendorong melakukan suatu perbuatan” dan semisalnya. Niat apapun dari suami yang mengucapkan ancaman talak tidak diperhatikan, dan ketentuan jatuhnya talak tetap berlaku.

Dalil yang menunjukkan Tholaq Mu’allaq dihukumi jatuh talak jika syarat yang diancamkan telah terealisasi adalah sejumlah nash berikut;

Pertama; membuat syarat yang tidak bertentangan dengan hukum Syara’ hukumnya Mubah, dan kaum Muslimin terikat oleh syarat yang dibuatnya. Ad-Daruquthni meriwayatkan;

سنن الدارقطنى – مكنز (7/ 194، بترقيم الشاملة آليا)

عَنْ كَثِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِىِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا ».

“Dari Katsir bin Abdillah bin ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzany dari ayahnya dari kakeknya dai Nabi SAW, beliau bersabda ” Kaum Muslimin terikat syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (H.R.Ad-Daruquthni)

Membuat syarat jatuhnya talak termasuk keumuman bolehnya membuat syarat dalam Hadis ini. Oleh karena itu, hukum jatuhnya talak berlaku ketika syarat tersebut terealisasi sebagaimana talak dijatuhkan tanpa ada syarat.

Kedua; Talak dihukumi tetap jatuh baik diucapkan dengan serius maupun bercanda. Abu dawud meriwayatkan;

سنن أبى داود – م (2/ 225)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ ».

“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tiga perkara, seriusnyadihukumi serius dan candanya (tetap) dihukumiserius, yaitu; nikah, perceraian, dan Rujuk (H.R.Abu Dawud).”

Tholaq Mu’allaq jelas menyebut lafadz talak sebagai ancaman, karena itu apapun motivasi mengucapkan ancaman tersebut, entah serius, main-main, atau sekedar menakut-nakuti termasuk cakupan makna Hadis ini. Karena itu, talak dihukumi jatuh ketika syarat ancaman talak tersebut telah terealisasi.

Ketiga; Ibnu Umar berfatwa jatuhnya talak pada kasus Tholaq Mu’allaq. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (16/ 315)

قَالَ نَافِعٌ طَلَّقَ رَجُلٌ امْرَأَتَهُ الْبَتَّةَ إِنْ خَرَجَتْ فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ إِنْ خَرَجَتْ فَقَدْ بُتَّتْ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ تَخْرُجْ فَلَيْسَ بِشَيْءٍ

“Nafi’ berkata: Seorang lelaki mentalak istrinya dengan talak Battah (talak tiga/Bainunah Kubro) jika sang istri keluar (dari rumah suaminya). Maka Ibnu Umar berkomentar; Jika wanita itu keluar, maka dia tertalak oleh lelaki itu. Jika dia tidak keluar maka tidak ada konsekuensi apapun” (H.R.Bukhari)

Adanya fatwa dari Ibnu Umar ini menunjukkan bahwa ketentuan jatuhnya talak pada kasus Tholaq Mu’allaq sudah diketahui semenjak zaman Shahabat. Fatwa Ibnu Umar ini dikuatkan oleh riwayat fatwa senada dari Ibnu Mas’ud. Al-Baihaqi meriwayatkan;

السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (7/ 356)

 عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فِى رَجُلٍ قَالَ لاِمْرَأَتِهِ : إِنْ فَعَلَتْ كَذَا وَكَذَا فَهِىَ طَالِقٌ فَتَفْعَلُهُ قَالَ : هِىَ وَاحِدَةٌ وَهُوَ أَحَقُّ بِهَا.

“Dari Abdullah bin Mas’ud, tentang seorang lelaki yang berkata kepada istrinya; Jika dia (sang istri) melakukan ini  dan itu maka dia tertalak. (ternyata) wanita itu melakukannya. Maka Ibnu Mas’ud berkomentar; itu (sudah jatuh talak) satu, dan dia (lelaki itu) lebih berhak kepadanya -untuk Rujuk kembali- (H.R.Al-Baihaqi)

Adapula riwayat yang menunjukkan bahwa para Fuqoha’ Madinah berfatwa dengan fatwa ini. Al-Baihaqi meriwayatkan;

السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (7/ 356)

عن ابْنِ أَبِى الزِّنَادِ عَنْ أَبِيهِ عَنِ الْفُقَهَاءِ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ كَانُوا يَقُولُونَ : أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لاِمْرَأَتِهِ أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ خَرَجْتِ حَتَّى اللَّيْلِ فَخَرَجَتِ امْرَأَتُهُ أَوْ قَالَ ذَلِكَ فِى غُلاَمِهِ فَخَرَجَ غُلاَمُهُ قَبْلَ اللَّيْلِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ طَلَقَتِ امْرَأَتُهُ وَعَتَقَ غُلاَمُهُ لأَنَّهُ تَرَكَ أَنْ يَسْتَثْنِىَ لَوْ شَاءَ قَالَ بِإِذْنِى وَلَكِنَّهُ فَرَّطَ فِى الاِسْتِثْنَاءِ فَإِنَّمَا يُجْعَلُ تَفْرِيطُهُ عَلَيْهِ.

“Dari Ibnu Abi Az-Zinad dari ayahnya dari para Fuqoha’ penduduk Madinah, mereka memfatwakan; lelaki manapun yang berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak jika engkau keluar hingga malam hari, kemudian ternyata istrinya keluar, atau dia mengatakan ucapan itu kepada budaknya, lalu budaknya keluar sebelum malam tiba tanpa sepengetahuannya, maka istrinya tertalak dan budaknya menjadi bebas. Hal itu dikarenakan dia tidak melakukan Istitsna’ (pengecualian). Kalau dia mau, dia bisa mengatakan “dengan izinku”, tetapi dia melalaikan Istitsna’, sehingga beban kealaian itu ditimpakan kepadanya (H.R.Al-Baihaqi)

Tidak bisa mengatakan bahwa riwayat fatwa Ibnu Umar adalah riwayat yang lemah. Klaim ini tertolak karena Hadis tersebut diriwayatkan Bukhari dalam Shahihnya. Meskipun Bukhari meriwayatkannya secara Mu’allaq, namun beliau menyebutkannya dengan Sighat Jazm (tegas) sehingga riwayatnya terhitung Shahih. Lagipula Ibnu hajar telah menyebutkan sanad lengkapnya dalam kitab Taghliqu At-Ta’liq. Justru riwayat fatwa shahabat yang bertentangan dengan riwayat fatwa Ibnu Umarlah yang lebih layak dipertanyakan keshahihannya, sekaligus diperiksa ulang redaksinya karena riwayat-riwayat yang ada seringkali difahami tidak tepat sebagai Tholaq Mu’allaq  padahal sebenarnya adalah terkait sumpah.

Tidak bisa pula memahami bahwa riwayat fatwa Ibnu Umar itu adalah dalam kondisi suami memang berniat talak sehingga dihukumi talak. Tidak bisa diklaim demikian, karena tidak ada perincian apapun dalam lafadz riwayat yang memberi isyarat niat suami. Karena itu, lafadz riwayat tersebut harus difahami umum dan mutlak yang mencakup niat talak maupun hanya niat menakut-nakuti. Lagipula Ibnu Umar dalam berfatwa sama sekali tidak menyinggung niat suami dalam membangun fatwa.

Keempat; Suami dalam kondisi memegang hak talak dan mentalak berdasarkan pilihannya tanpa dipaksa. At-Tirmidzi meriwayatkan;

سنن الترمذى (4/ 421)

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ لِابْنِ آدَمَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا عِتْقَ لَهُ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا طَلَاقَ لَهُ فِيمَا لَا يَمْلِكُ

“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada nadzar bagi anak Adam terhadap sesuatu yang tidak dimilikinya, tidak ada (hak) memerdekakan pada sesuatu yang tidak dimilikinya dan tidak ada (hak) talaq pada sesuatu yang tidak dimilikinya (H.R.At-Tirmidzi).”

Hadis diatas menerangkan bahwa tidak ada  talak bagi orang yang tidak memiliki hak talak. Artinya, orang yang tidak memiliki hak talak jika menjatuhkan talak maka talaknya tidak jatuh. Mafhumnya; orang yang memiliki hak talak, dan mentalak berdasarkan pilihannya tanpa dipaksa berarti talaknya jatuh. Suami yang mentalak dengan cara Tholaq Mu’allaq termasuk keumuman Mafhum Hadis ini, oleh karena itu Tholaq Mu’allaq juga jatuh berdasarkan Hadis ini.

Itulah dalil-dalil utama yang menunjukkan jatuhnya Tholaq Mu’allaq.

Adapun pendapat yang menyatakan bahwa Tholaq Mu’allaq dihukumi berdasarkan niatnya; jika berniat talak maka jatuh talak, jika berniat hanya menakut-nakuti maka tidak dianggap talak tetapi hanya dianggap sumpah yang cukup ditebus dengan Kaffaroh dalam kondisi terealisasi syarat, yang mana pendapat ini mendasarkan hujjahnya pada Hadis Nabi yang berbunyi;

صحيح البخاري (1/ 3)

 إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Amal-amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya (H.R.Bukhari)

Maka argumen ini tidak bisa diterima. Alasannya; Perlakuan dan konsekuensi hukum Syara’ memperhatikan yang Dhohir bukan niat pelaku. Niat pelaku adalah urusan hamba dengan Allah, bukan hamba dengan sesama hamba. Seorang munafik yang bersyahadat, meskipun tidak ada niat masuk Islam sama sekali, tetapi karena Dhohirnya dia telah bersyahadat maka diterapkan hukum-hukum sebagai seorang Muslim. Urusan batin dan niat dia bukan wilayah tanggungjawab manusia. Allahlah yang akan menghisab dia pada hari pembalasan terkait niat jahatnya. Umar pernah berpidato menegaskan kaidah ini. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (9/ 118)

عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُتْبَةَ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ

إِنَّ أُنَاسًا كَانُوا يُؤْخَذُونَ بِالْوَحْيِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّ الْوَحْيَ قَدْ انْقَطَعَ وَإِنَّمَا نَأْخُذُكُمْ الْآنَ بِمَا ظَهَرَ لَنَا مِنْ أَعْمَالِكُمْ فَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا خَيْرًا أَمِنَّاهُ وَقَرَّبْنَاهُ وَلَيْسَ إِلَيْنَا مِنْ سَرِيرَتِهِ شَيْءٌ اللَّهُ يُحَاسِبُهُ فِي سَرِيرَتِهِ وَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا سُوءًا لَمْ نَأْمَنْهُ وَلَمْ نُصَدِّقْهُ وَإِنْ قَالَ إِنَّ سَرِيرَتَهُ حَسَنَةٌ

“Dari Az Zuhriy berkata, telah menceritakan kepadaku Humaid bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa ‘Abdullah bin ‘Utbah berkata, aku mendengar ‘Umar bin Al Khaththob radliallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnyasejumlah orang dihukum berdasarakan (pemberitahuan) wahyu  pada masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan hari ini wahyu sudah terputus. Dan hari ini kita menilai kalian berdasarkan amal amal yang nampak (zhahir). Maka siapa yang secara zhahir menampakkan perbuatan baik kepada kita, kita percaya kepadanya dan kita dekat dengannya dan bukan urusan kita apa yang tersembunyi darinya karena hal itu sesuatu yang menjadi urusan Allah dan Dia yang akan menghitungnya. Dan siapa yang menampakkan perbuatan yang jelek kepada kita, maka kita tidak percaya kepadanya dan tidak membenarkannya sekalipun batinnya baik (H.R.Bukhari)” .

Syariat Li’an juga menunjukkan bahwa konsekuensi hukum itu hanya melihat Dhohirnya, bukan maksud dan niat pelaku Li’an. Allah berfirman;

{وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (6) وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (7) وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (8) وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ } [النور: 6 – 9]

6. dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.

7. dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta.

8. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta.

9. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur; 6-9)

Dalam kasus  Li’an, pasti ada salah satu yang berdusta. Namun jika dua pihak yang berli’an semuanya berani bersumpah sebanyak lima kali untuk mendustakan lawannya, maka kedua-duanya selamat dari konsekuensi hukum (cambuk atau rajam) karena Dhohirnya mereka memang tidak bersalah. Namun diakhirat, kedustaan salah satu diantara mereka pasti terbukti dan akan dibalas. Dan ini berada diwilayah wewenang Allah karena terkait dengan maksud dan niat batin manusia yang tidak ada yang tahu kecuali Allah.

Hadis;
صحيح البخاري (1/ 3)

 إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Amal-amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya (H.R.Bukhari)

juga tidak tepat dipakai disini, karena topik Hadis tersebut adalah membahas keikhlasan amal seorang hamba. Bukan konsekuensi hukum syara yang diterapkan kepada orang yang berniat. Orang yang berhijrah karena menikahi wanita, tetap dihukumi Muhajirin secara dhohir, namun dari aspek keikhlasan tercela karena tidak murni berhijrah karena Allah.

Lagipula, Hadis riwayat Abu Dawud menegaskan bahwa talak itu termasuk perkara yang dihukumi jatuh, baik dilakukan dengan serius maupun canda. Hal ini menunjukkan bahwa niat suami yang mentalak sama sekali tidak diperhatikan. Hikmahnya; orang tidak akan bisa beralasan bercanda ketika mentalak demi menganulir ucapan talak yang telah diucapkannya. Anulir-anulir talak dengan alasan canda secara otomatis akan membuat syariat talak menjadi sia-sia, karena orang akan selalu bisa beralasan canda untuk mengingkari pernah mentalak.  Dengan adanya ketentuan jatuhnya talak yang diucapkan serius maupun canda, maka orang akan lebih berhati-hati mengucapkan kata-kata talak.

Adapun alasan bahwa Tholaq Mu’allaq dianggap tidak berlaku dengan mengqiyaskan tidak bolehnya ada Zawaj Mu’allaq (pernikahan digantung), maka alasan ini tidak bisa diterima. Karena talak berbeda dengan akad Nikah. Akad nikah adalah akad antara dua pihak, semnatara talak hanya menjadi hak suami dan tidak perlu ridha istri. Oleh karena dua hal ini berbeda, maka keduanya tidak bisa diqiyaskan/dianalogikan.

Adapun argumen bahwa Nabi pernah mengharamkan minum madu zainab lalu ditegur Allah dengan turunnya surat At-Tahrim dan diperintahkan membatalkan sumpahnya, kemudian hal ini difahami bahwa sumpah tidak selalu memakai lafadz sumpah sehingga boleh saja Tholaq Mu’allaq difahami sumpah (yang konsekuensinya hanya wajib ditebus dengan Kaffaroh), bukan difahami jatuhnya talak, maka argumentasi ini tidak dapat diterima karena dua alasan. Pertama; ucapan Nabi saat bertekad tidak mau minum madu Zainab itu sama sekali tidak mengandung unsur Ta’liq (mengaitkan) dengan terealisasinya sesuatu sebagaimana dalam Tholaq Mu’allaq. Kedua; riwayat Bukhari jelas sekali menunjukkan bahwa Nabi memakai lafadz “Halafa” (bersumpah) sebelum bertekad tidak minum madu. Hal ini menunjukkan sumpah yang diperintahkan Allah untuk dibatalkan itu adalah sumpah yang memang diucapkan nabi, bukan tekad untuk tidak minum madu yang difahami sebagai sumpah. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (20/ 391)

عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ زَعَمَ عَطَاءٌ أَنَّهُ سَمِعَ عُبَيْدَ بْنَ عُمَيْرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَزْعُمُ

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَمْكُثُ عِنْدَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ وَيَشْرَبُ عِنْدَهَا عَسَلًا فَتَوَاصَيْتُ أَنَا وَحَفْصَةُ أَنَّ أَيَّتَنَا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْتَقُلْ إِنِّي أَجِدُ مِنْكَ رِيحَ مَغَافِيرَ أَكَلْتَ مَغَافِيرَ فَدَخَلَ عَلَى إِحْدَاهُمَا فَقَالَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَا بَلْ شَرِبْتُ عَسَلًا عِنْدَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ وَلَنْ أَعُودَ لَهُ فَنَزَلَتْ

{ يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ }

{ إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ }

لِعَائِشَةَ وَحَفْصَةَ

{ وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا }

لِقَوْلِهِ بَلْ شَرِبْتُ عَسَلًا

و قَالَ لِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى عَنْ هِشَامٍ وَلَنْ أَعُودَ لَهُ وَقَدْ حَلَفْتُ فَلَا تُخْبِرِي بِذَلِكِ أَحَدًا

“Dari Ibnu Juraij menuturkan; ‘Atha` mengataka bahwa dirinya pernah mendengar Ubaid bin Umair mengatakan; aku pernah mendengar ‘Aisyah menuturkan; bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di rumah Zainab binti Jahsy dan meminum madu dirumahnya, maka aku dan Hafshah salingberpesan bahwa siapa saja diantara kami berdua yang didatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,hendaknya kami mengatakan; ‘Aku mencium bau pohon mighfar dimulutmu, apakah engkau telah makan buah mighfar? ‘ Nabi kemudian menemui salah satu dari keduanya dan dia mengatakan ucapan yang telah disepakati keduanya, namun Nabi justeru menjawab: “Tidak, tetapi aku minum madu di tempat Zainab binti Jahsy, dan sekali-kali aku tidak akan mengulanginya.” Maka turunlah ayat yang menegur Nabi; “Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan sesuatu yang telah Allah halalkan kepadamu’ dan ayat, ‘jika kalian berdua bertaubat kepada Allah, ‘ ditujukan kepada Aisyah dan Hafshah. Dan firman-Nya; ‘Ingatlah ketika Nabi merahasiakan sebuah pembicaraan kepada sebagian isterinya, ‘ petikan ayat ini untuk ucapan Nabi yang mengatakan: ‘Namun aku minum madu.’ Ibrahim bin Musa berkata kepadaku; dari Hisyam dengan tambahan redaksi: “Saya sekali-kali tak akan mengulanginya selama-lamanya, saya telah bersumpah, maka janganlah kalian kabarkan kepada seorang pun.”(H.R.Bukhari)

Adapun ketentuan syariat bahwa sumpah Laghwun (sumpah main-main) tidak dihukum, dan hanya sumpah serius saja yang dihukum (ada konsekuensi syariat), berdasarkan ayat;

{لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ } [المائدة: 89]

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja (Al-Maidah; 89)

maka ketentuan ini tidak bisa menjadi dalil  bahwa niat diperhatikan dalam kasus Tholaq Mu’allaq. Alasannya;  Tholaq Mu’allaq  tidak bisa dihukumi sebagai sumpah dan belum bisa disamakan dengan sumpah. Lagipula hukum sumpah berbeda dengan hukum talak dan tidak bisa diqiyaskan. Sumpah main-main memang tidak dihukumi jatuh, tetapi talak main-main dihukumi jatuh berdasarakan nash.

Kisah Maulat (majikan wanita) Abu Rofi’ juga tidak bisa dijadikan dasar bahwa Thalaq Mu’allaq dihukumi sumpah. Dengan meneliti redaksinya kita akan bisa memahami bahwa riwayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan bahwa Tholaq Mu’allaq dihukumi sebagai sumpah.

سنن الدارقطنى – مكنز (10/ 167، بترقيم الشاملة آليا)

عَنْ أَبِى رَافِعٍ قَالَ قَالَتْ مَوْلاَتِى لأُفَرِّقَنَّ بَيْنَكَ وَبَيْنَ امْرَأَتِكَ وَكُلُّ مَالٍ لَهَا فِى رِتَاجِ الْكَعْبَةِ وَهِىَ يَوْمًا يَهُودِيَّةٌ وَيَوْمًا نَصْرَانِيَّةٌ وَيَوْمًا مَجُوسِيَّةٌ إِنْ لَمْ تُفَرِّقْ بَيْنَكَ وَبَيْنَ امْرَأَتِكَ قَالَ فَانْطَلَقْتُ إِلَى أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أُمِّ سَلَمَةَ فَقُلْتُ إِنَّ مَوْلاَتِى تُرِيدُ أَنْ تُفَرِّقَ بَيْنِى وَبَيْنَ امْرَأَتِى فَقَالَتِ انْطَلِقْ إِلَى مَوْلاَتِكَ فَقُلْ لَهَا إِنَّ هَذَا لاَ يَحِلُّ لَكِ. فَرَجَعْتُ إِلَيْهَا – قَالَ – ثُمَّ أَتَيْتُ ابْنَ عُمَرَ فَأَخْبَرْتُهُ فَجَاءَ حَتَّى انْتَهَى إِلَى الْبَابِ فَقَالَ هَا هُنَا هَارُوتُ وَمَارُوتُ فَقَالَتْ إِنِّى جَعَلْتُ كُلَّ مَالٍ لِى فِى رِتَاجِ الْكَعْبَةِ قَالَ فَمَا تَأْكُلِينَ قَالَتْ وَقُلْتُ وَأَنَا يَوْمًا يَهُودِيَّةٌ وَيَوْمًا نَصْرَانِيَّةٌ وَيَوْمًا مَجُوسِيَّةٌ. فَقَالَ إِنْ تَهَوَّدْتِ قُتِلْتِ وَإِنْ تَنَصَّرْتِ قُتِلْتِ وَإِنْ تَمَجَّسْتِ قُتِلْتِ . فَقَالَتْ فَمَا تَأْمُرُنِى قَالَ تُكَفِّرِينَ يَمِينَكِ وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ فَتَاكِ وَفَتَاتِكِ .

“Dari Abu Rofi’ beliau berkata; Maulat (tuan wanita)ku  berkata: “Aku benar-benar akan memisahkanmu (menceraikanmu) dengan istrimu (dan dia bersumpah) semua hartanya (dishodaqohkan) digerbang pintu Ka’bah, dan dia akan sehari menjadi Yahudi, sehari menjadi Nasrani, dan sehari menjadi Majusi “jika kamu tidak berpisah dengan istrimu” (ancamnya). Maka aku pergi menuju Ummul Mukminin Ummu Salamah dan aku berkata : “Sesungguhnya Maulatku ingin memisahkan aku dengan istriku”. Ummu Salamah berkata; “Pergilah kepada Maulatmu dan katakan bahwa hal ini tidak halal baginya”. Maka aku kembali kepadanya. Lalu aku mendatangi Ibnu Umar, lalu aku memberitahunya. Maka Ibnu Umar datang, hingga ketika sampai di pintu beliau berkata; “Di sini ada Harut dan Marut”. Maulatku berkata: “Sesungguhnya aku telah menjadikan semua hartaku (dishodaqohkan) digerbang Ka’bah”. Ibnu Umar bertanya; “lalu apa yang kamu makan”? dia melanjutkan: “Dan aku berkata; Aku akan sehari menjadi Yahudi, sehari menjadi Nasrani, dan sehari menjadi Majusi”. Ibnu Umar berkomentar; “Jika engkau menjadi Yahudi maka engkau akan dibunuh, jika engkau menjadai Nasrani maka engkau akan dibunuh, dan jika engkau menjadi Majusi maka engkau akan dibunuh. Dia berkata; “Kalau begitu apa yang kau perintahkan kepadaku”?Ibnu Umar menjawab: “Tebuslah sumpahmu dan kumpulkan antara pemuda dan pemudimu –jangan berusaha menceraikan-” (H.R.Ad-Daruquthni)

Jelas sekali bahwa yang melakukan Ta’liq adalah Maulat Abu Rofi’ bukan Abu Rofi’ sendiri. Tentu saja yang punya hak talak yang berkonsekuensi jatuh talak hanya Abu Rofi’  bukan Maulatnya. Maulat Abu Rofi’ adalah pihak luar, bukan suami dan bukan pula istri. Karena itu Ta’liq yang ia ucapkan sebagai Ta’kid keinginannya bisa difahami secara Urfi sebagai sumpah, sehingga dia diperintahkan menebus sumpahnya dengan Kaffaroh.

Dengan demikian, berdasarkan uraian dalil-dalil di atas, serta bantahan terhadap sejumlah kebaratan bisa difahami bahwa Tholaq Mu’allaq dihukumi jatuh talak ketika syaratnya yang disebutkan dalam ancaman terealisasi. Pendapat ini adalah pendapat seluruh Imam empat madzhab; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As-Syafi’I, dan Imam Ahmad.  Bahkan disebut telah menjadi Ijma’ oleh Imam Mujtahid Abu Ubaid, Abu Tsaur, At-Thobary, Abu Bakr bin Al-Mundzir, Muhammad bin Nashr Al-Marwazy, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Rusyd, dan Al-Baji.

Ralat dalam Tholaq Mu’alaq tidak berguna, karena Talak bersifat Luzum (mengikat), begitu diucapkan maka jatuhlah konsekuensi sebagaimana lafadz Ijab Qobul dalam akad nikah yang tidak membedakan serius ataupun main-main.

Konsekuensi jatuhnya talak  yang ketiga adalah tidak halalnya menikah lagi sampai istri menikah lagi dengan lelaki lain kemudian diceraikan. Allah berfirman;

{فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ } [البقرة: 230]

kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain(Al-Baqoroh; 230)

Konsekuensi hukum ini meskipun pahit tetap harus dijelaskan dan dijalankan sebagai realisasi ketakwaan kepad Allah SWT.

Memang benar, saran dari ulama kerabat penanya, bahwa dalam mengucapkan talak hendaknya tidak diobral. Seyogyanya para lelaki berhati-hati sekali dalam mengucapkan lafadz talak, karena konsekuensinya berat dan tidak bisa dibatalkan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah memarahi seorang lelaki yang mentalak istrinya tiga kali sekaligus karena dianggap mempermainkan Kitabullah. An-Nasa’I meriwayatkan;

سنن النسائي (11/ 79)

 مَحْمُودَ بْنَ لَبِيدٍ قَالَ

أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثَ تَطْلِيقَاتٍ جَمِيعًا فَقَامَ غَضْبَانًا ثُمَّ قَالَ أَيُلْعَبُ بِكِتَابِ اللَّهِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ حَتَّى قَامَ رَجُلٌ وَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا أَقْتُلُهُ

“Mahmud bin Labid berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diberi kabar mengenai seseorang yang menceraikan istrinya dengan tiga kali cerai sekaligus. Maka beliau berdiri dalam keadaan marah, kemudian bersabda: “Apakah ia mempermainkan Kitab Allah sedangkan aku berada diantara kalian, ” hingga seseorang berdiri dan berkata; ya Rasulullah bolehkan aku membunuhnya?” (H.R.An-Nasai)

Diriwayatkan pula bahwa Allah sendiri memubahkan Talak, tetapi talak adalah perkara mubah yang paling dibenciNya. Abu Dawud meriwayatkan;

سنن أبى داود (6/ 91)

عَنْ ابْنِ عُمَرَ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ

Dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Perkara halal yang paling Allah benci adalah perceraian.”(H.R.Abu Dawud)

Jika dalam rumah tangga terjadi persoalan, seyogyanya jangan langsung mengancam dengan talak, tetapi mengikuti cara yang diajarkan dalam Al-Quran. Cara tersebut bisa difahami dari ayat berikut ini;

{وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ} [النساء: 34]

wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz(pembangkangan)nya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka (An-Nisa:34)

Dari ayat di atas bisa difahami bahwa solusi awal terhadap istri yang bermasalah adalah dinasehati. Nasehat ini jika tidak mempan dari suami bisa meminta tolong kepada ulama atau orang yang disegani istri. Jika nasehat masih tidak mempan, bisa membuat aksi pisah ranjang sebagai hukuman mental yang bisa disertai tidak mengajak berbicara sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada istri-istrinya selama satu bulan. Jika pisah ranjang masih tidak mempan maka suami boleh memukul, namun pukulan yang mendidik, bukan pukulan yang menyakitkan. Saat istri membangkang (Nusyuz) maka dia kehilangan hak nafkah. Jadi, jika suami tidak menafkahi istri karena istri yang membangkang, maka suami tidak berdosa.

Jika dipukul belum juga berubah, berarti persoalannya lebih  dalam lagi sehingga perlu keterlibatan pihak luar. Dalam kondisi ini, untuk mencari penyelesaian, pihak lelaki mengutus salah satu keluarganya yang dipercaya dan pihak wanita juga mengutus salah satu keluarganya yang dipercaya. Kedua utusan ini bertemu untuk membahas dan mencari solusi bersama. Allah menjamin, jika semua memang berniat baik maka Dia akan memberikan taufiq kebaikan. Allah berfirman;

{وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا} [النساء: 35]

dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.(An-Nisa: 35)

Jika pelibatan dua keluarga ternyata masih juga belum memberikan solusi dan titik terang, berarti persoalan rumah tangga keduanya sudah mencapai puncaknya, sehingga dalam hal ini talaklah yang menjadi  solusi terakhir.

Atas dasar ini, bisa disimpulkan kembali bahwa kasus talak yang dibawa penanya adalah termasuk Tholaq Mu’allaq yang dihukumi jatuh talak jika syarat yang diancamkan terealisasi. Oleh karena syarat yang diancamkan, yaitu pembangkangan istri untuk pergi bersama suami telah terealisasi, maka jatuhlah talak tersebut dan berlaku konsekuensi-konsekuensi jatuhnya talak tiga.

Menjadi pelajaran pula bagi para Muslim-Muslimah yang hendak melangsungkan pernikahan, bahwa dalam menikah hendaknya bukan hanya pembahasan romantisme pernikahan saja yang dikedepankan. Namun yang lebih penting dari itu adalah mengkaji hukum-hukum Fikih baik terkait Fikih lelaki maupun Fikih wanita (seperti topik Tholaq Mu’allaq ini) agar tidak terjatuh pada pelanggaran-pelanggaran syariat yang berkonsekuensi berat. Wallahua’alam.

 

Hukum Talak Lewat Tulisan (SMS,Email,surat)


Isu bercerai melalui khidmat pesanan ringkas (SMS) sememangnya menjadi polemik dalam masyarakat. Ada yang berjuang mendesak supaya cerai secara SMS dianggap tidak sah kerana tindakan itu tidak bermaruah, memalukan serta mempersendakan keutuhan institusi keluarga yang menjadi inti pati kekuatan ummah.

Dalam hukum Islam, seorang suami dapat menceraikan istrinya dengan cara mengucapkan talak, tetapi kini dengan teknologi yang makin berkembang, talak tersebut nampaknya tidak perlu disampaikan secara lisan.

Secara umumnya kuasa menjatuhkan talak berada di tangan suami. Apabila suami menjatuhkan talak. Para fuqaha sepakat mengatakan bahwa perhubungan perkawinan tamat dengan talak sama ada dengan bahasa Arab atau lain-lain, sama ada dengan lafaz atau dengan tulisan ataupun dengan isyarat.

Satu hal tentang masalah talak yang perlu dikaji secara khusus adalah talak lewat tulisan baik lewat SMS, email, atau surat karena seringnya talak seperti ini terjadi. Semisal suami mengirim SMS, “Sekarang, kamu saya talak.” Kata-kata seperti ini tegas menunjukkan cerai, tetapi masalahnya hanya lewat SMS. Apakah sah talak semacam itu?

Talak dengan tulisan dihukumi jatuh sebagaimana talak dengan ucapan.

Talak, dalam syariat Islam adalah sesuatu yang harus mendapatkan perhatian lebih dan harus hati-hati dalam menerapkan hukumnya. Hal itu dikarenakan talak termasuk perkara yang tidak membedakan antara keseriusan dan gurauan. Maksudnya: talak dihukumi jatuh, baik serius maupun canda. Demikian pula nikah dan rujuk, semuanya jatuh baik serius maupun canda. Abu Dawud meriwayatkan;

سنن أبى داود – م (2/ 225)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ ».

dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tiga perkara, seriusnya adalah serius dan candanya adalah serius, yaitu; nikah, perceraian, dan Rujuk.” (H.R.Abu Dawud)

Selama keinginan talak masih belum diekspresikan, maka tidak ada konsekuensi hukum. Namun jika  keinginan talak tersebut telah diekspresikan baik dengan ucapan maupun tulisan, maka jatuhlah talak dan berlaku hukum-hukum seputar talak. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (16/ 316)

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah memaafkan apa yang dikatakan oleh hati mereka, selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya.” (H.R.Bukhari)

Talak yang ditulis dihukumi seperti ucapan karena tulisan hakekatnya adalah simbolisasi bunyi-bunyi bahasa yang memiliki makna dan bisa difahami oleh orang yang membacanya. Sebagaimana ucapan ketika diucapkan yang bisa difahami oleh pendengar, maka tulisan yang dibaca juga bisa difahami oleh orang yang membaca. Karena itu secara fakta, tulisan mewakili ucapan sehingga hukum tulisan sama dengan hukum ucapan.

Adapun dalil dari Nash, sesungguhnya Allah memerintahkan Rasulullah صلى الله عليه وسلم untuk berdakwah kepada seluruh umat manusia. Allah berfirman;

{وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا} [سبأ: 28]

28. dan Aku tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan (As-Saba’;28)


Rasulullah صلى الله عليه وسلم melaksanakan perintah ini dengan dakwah lisan sebagaimana beliau juga berdakwah melalui tulisan. Bukhari meriwayatkan hadis yang menceritakan bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengirim surat kepada Heraklius untuk mengajaknya memeluk islam. Isi surat Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang diriwayatkan Bukhari adalah sebagai berikut;
 
صحيح البخاري (1/ 8)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ سَلَامٌ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ وَ{ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لَا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ }

“Bismillahir rahmanir rahim. Dari Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya untuk Heraclius. Penguasa Romawi, Keselamatan bagi siapa yang mengikuti petunjuk. Kemudian daripada itu, aku mengajakmu dengan seruan Islam; masuk Islamlah kamu, maka kamu akan selamat, Allah akan memberi pahala kepadamu dua kali. Namun jika kamu berpaling, maka kamu menanggung dosa rakyat kamu, dan: Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb selain Allah”. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (H.R.Bukhari)

Aktivitas tabligh Rasulullah صلى الله عليه وسلم melalui tulisan ini menunjukkan bahwa tulisan sama dengan ucapan dan dihukumi sama dengan ucapan. Oleh karena itu, talak dengan tulisan sah sebagaimana talak dengan ucapan.

Hanya saja, disyaratkan tulisan yang sah sebagai talak haruslah berupa الكتابة المستبينة (tulisan yang jelas). Maksud tulisan yang jelas adalah tulisan yang meninggalkan jejak yang terindra, seperti tulisan pada kertas, kayu,kulit, batu, dinding, tanah, dll. Termasuk pula seluruh tulisan elektronik seperti SMS, email, facebook,twitter, dll. Jika tulisanya termasuk yang tidak jelas, maksudnya tidak meninggalkan jejak terindra seperti tulisan pada udara atau air, atau tulisan yang tidak terbaca, maka talak tersebut tidak sah.

Pendapat Ulama

Sebagian Fuqoha berpendapat jika talak ditulis, maka harus ada niat. Jika tidak ada niat talak, misalnya menulis lafadz talak sebagai latihan menulis indah, atau menulis kutipan ucapan orang lain dan niat-niat lain yang semisal, maka tulisan yang demikian tidak membuat jatuh talak. Ibnu Qudamah mengatakan;

المغني (16/ 480)

إذَا كَتَبَ الطَّلَاقَ ، فَإِنْ نَوَاهُ طَلُقَتْ زَوْجَتُهُ وَبِهَذَا قَالَ الشَّعْبِيُّ ، وَالنَّخَعِيُّ ، وَالزُّهْرِيُّ ، وَالْحَكَمُ ، وَأَبُو حَنِيفَةَ ، وَمَالِكٌ وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَنْ الشَّافِعِيِّ

Jika suami menulis talak, jika dia meniatkan talak tersebut maka istrinya tertalak. Ini adalah pendapat Asy-Sya’by, An-Nakho’iy, Az-Zuhry, Al-Hakam, Abu Hanifah, Malik, dan statemen yang dikutip dari Asy-Syafi’I (Al-Mughni, vol. 16 hlm 480)

Ulama empat madzhab sepakat bahwa kalimat talak yang sharih (disampaikan secara tegas), statusnya sah tanpa melihat niat suami yang mengucapkannya, sebagaimana keterangan Ibnu Qudamah.

Ibnul Mundzir menegaskan,

أجمع كل من أحفظ عنه من أهل العلم على أن جد الطلاق وهزله سواء

Ulama yang saya ketahui sepakat bahwa serius dan tidak serius dalam talak, statusnya sama (al-Ijma’, hlm. 24).

Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmuk 17/349 menyatakan

إذا كتب طلاق امرأته بلفظ صريح ولم ينو لم يقع الطلاق، لأن الكتابة تحتمل ايقاع الطلاق وتحتمل امتحان الخط، فلم يقع الطلاق بمجردها، وإن نوى بها الطلاق ففيه قولان، قال في الإملاء: لا يقع به الطلاق لأنه فعل ممن يقدر على القول فلم يقع به الطلاق كالإشارة، وقال في الأم هو طلاق وهو الصحيح

Artinya: Apabila suami menulis kata talak pada istrinya dengan lafadz yang sharih (eksplisit) tapi tidak berniat talak maka perceraian tidak terjadi. Karena tulisan itu ada kemungkinan untuk bercerai dan hanya berlatih menulis, maka talak tidak terjadi hanya karena tulisan saja. Apabila niat talak, maka ada dua pendapat. Pendapat yang sahih adalah terjadi talak seperti dinyatakan Imam Syafi'i dalam kitab Al-Umm.

Sebagaimana Imam Nawawi mengatakan :

الإشارة والكتب يدلان على الطلاق

Isyarat dan tulisan menunjukan akan terjadinya talak
Raudoh 8/40

Sedangkan talak dengan siyarat menurut qaul yg sohih hanya sah jika suami tersebut cadel, sedangkan orang yang mampu berbicara, talak dengan isyarat menurut qaul sohih tidak sah

القادر على النطق إشارته بالطلاق ليست صريحة وإن أفهم بها كل أحد ، وليست كناية أيضا على الأصح

Raudoh 8/41
Adapun tentang suami yang menceraikan atau mentalak istrinya lewat sms atau surat atau tulisan lainya.

Didalam kitab Raudoh dijelaskan rincianya sebagai berikut :
Apabila ia mentalak istrinya lewat sms, surat ataupun tulisan lainya, maka :
1. Apabila ia membaca apa yg ditulisnya, dan juga melapalkanya baik ketika atau setelah menulis, maka jatuh talaknya
2. Jika ia tidak melapalkan apa yang ia tulis, maka :
- apabila ia ketika atau setelah menulis dan membaca tidak niat talak, maka tdk jatuh talaknya.
- apabila ia ketika atau setelah menulis dan membaca niat talak, maka ada beberapa pendapat, pandangan, dan jalan :
# yg paling dzohir mutlak terjadi talak
# pendapat yg kedua, tdk terjadi talak
# yg ketiga, apabila istri tdk ditempat suami berada, maka jatuh talaknya, namun jika ada ditempat maka tidak.

Dan perbedaan pendapt ini, berlaku juga dalam setiap mu'amalah yang tdk membutuhkan qobul dari lawan bicara, seperti i'tikaf, membebaskan, memafkan dari qisos, dan yang lainya, tanpa adanya perbedaan

إذا كتب القادر بطلاق زوجته نظر إن قرأ ما كتبه وتلفظ به في حال الكتابة أو بعدها طلقت وإن لم يتلفظ نظر إن لم ينو إيقاع الطلاقلم تطلق على الصحيح وقيل : تطلق وتكون الكتابة صريحا وليس بشيء . وإن نوى ففيه أقوال وأوجه وطرق مختصرها ثلاثة أقوال . أظهرها : تطلق مطلقا والثاني : لا والثالث : تطلق إن كانت غائبة عن المجلس وإلا فلا . وهذا الخلاف جار في سائر التصرفات التي لا تفتقر إلى قبول كالإعتاق والإبراء والعفو عن القصاص وغيرها بلا فرق

Raudoh Atthoolibin 8/41

Dalam kitab I'anah juga dijelaskan :

لو كتب صريح طلاق أو كنايته ولم ينو ايقاع الطلاق فلغو مالم يتلفظ حالالكتابة و بعدها بصريح ما كتبه

Apabila suami menulis talak sorih, atau talak kinayah, namun tdk niat menjatuhkan talak, maka sia-sia jika tidak dilapalkan ketika saat ia menulis atau setelahnya, dengan ucapan jelas sesuai apa yg ditulisnya

ان التلفظ بالمكتوب من غير نية يقع به الطلاق اذا كان صريحا فان كان كناية فلا بد مع التلفظ به من النية

Apabila ia melaplkan apa yg ditulisnya tanpa disertai niat, tetap jatuh talaknya, apabila tulisan talaknya sorih, apabila tulisanya kinayah, maka harus disertai niat ketika ia melapalkanya
I'anah 4/16

Talak Tidak Harus Dilakukan di Hadapan Istri

Ini berdasarkan hadis dari Fatimah bintu Qois, ketika beliau dicerai oleh suaminya Abu Amr bin Hafs. Fatimah menceritakan,

أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ , وَهُوَ غَائِبٌ، فَأَرْسَلَ إلَيْهَا وَكِيلَهُ بِشَعِيرٍ

Bahwa Abu Amr bin Hafs menceraikan Fathimah dengan talak 3, ketika Abu Amr tidak ada bersamanya. Kemudian Abu Amr mengutus seseorang untuk memberikan gandum ke Fathimah.. (HR. Bukhari dan Muslim).

SMS dihukumi sebagaimana layaknya surat. Sementara para ulama menegaskan bahwa tulisan semakna dengan ucapan. Mengingat satu kaidah baku,

الكتابة تنزل منزلة القول
“Tulisan statusnya sama dengan ucapan.”

Karena itulah para ulama sepakat bahwa talak dengan tulisan hukumnya sah. Sebagaimana dinyatakan dalam Ensiklopedi Fikih:

اتفق الفقهاء على وقوع الطلاق بالكتابة , لأن الكتابة حروف يفهم منها الطلاق, فأشبهت النطق; ولأن الكتابة تقوم مقام قول الكاتب , بدليل أن النبي صلى الله عليه وسلم كان مأمورا بتبليغ الرسالة , فبلغ بالقول مرة , وبالكتابة أخرى

Ulama sepakat, talak dengan tulisan hukumnya sah. Karena tulisan terdiri dari banyak huruf yang bisa dipahami maknanya sebagai talak. Sehingga nilainya sama dengan ucapan. Disamping itu, tulisan mewakili ucapan orang yang menulis. Dengan dalil, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk menyebarkan risalah. Dan itu terkadang beliau sampaikan dengan ucapan dan terkadang dengan tulisan surat (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 12:216).

Mengingat SMS statusnya sama dengan surat, maka talak melalui SMS dihukumi sama dengan talak melalui surat. Artinya statusnya sah, dan berlaku hukum talak. Syaikh Abdurrahman al-Barrak pernah ditanya tentang keabsahan talak melalui sms, jawaban beliau,

الحمد لله؛ نعم يقع، هذا الطلاق يقع. فإن رسالة الجوال وسيلة من وسائل إبلاغ الطلاق، والله أعلم.

Alhamdulillah, ya sah. Talak semacam ini sah. Karena SMS termasuk cara menyampaikan talak. Wallahu a’lam.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...