Rabu, 25 November 2020

Hukum Talak Mu'allaq (Cerai Tergantung)


Demikianlah luapan emosi yang terkadang terungkap dari mulut sebagian wanita yang tidak kuasa menghadapi problematika dan pernik-pernik kehidupan rumah tangga.

Sebelum seorang wanita meminta untuk dicerai maka hendaknya ia merenungkan hal-hal berikut ini:

Pertama : Sesungguhnya pernikahan merupakan ibadah yang dicintai Allah dan mendatangkan begitu banyak faedah. 
Kedua : Syari'at berusaha menjauhkan pasangan suami istri dari perceraian sejauh mungkin

Oleh karenanya :

Pertama : Allah telah mensifati pernikahan dengan perjanjian yang kuat, Allah berfirman
 
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. (QS An-Nisaa :21)

Hal ini tentunya mendorong kita agar memuliakan perjanjian tersebut dan berusaha untuk tidak melepaskan perjanjian tersebut.

Kedua : Syariat menjadikan perceraian dalam beberapa tingkatan agar menjadi perenungan bagi sang suami, dan syari'at tidak langsung menjadikan perceraian sebagai bentuk perpisahan abadi antara suami dan istri.

Karenanya suami yang menjathuhkan talak satu (menceraikan istrinya sekali) maka ia berhak untuk kembali lagi kepada istrinya selama istrinya masih dalam masa iddah. Demikian juga jika ia menjatuhkan talak kedua. Sehingga sang suami dan istri -setelah terjadi talak satu ataupun talak dua- akan lebih berpikir ke depan memandang kemaslahatan yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangganya. Karena betapa banyak suami yang menyesal setelah menjatuhkan talak kepada istrinya. Dan betapa banyak pula istri yang tadinya membangkang dan berakhlak buruk kepada suami akhirnya bisa berubah dan membaik setelah dicerai.

Adapun jika telah jatuh talak yang ketiga maka sang lelaki tidak boleh kembali kepada sang wanita kecuali jika sang wanita telah menikah dengan lelaki yang lain. Allah berfirman

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (QS Al-Baqoroh 229-230

Ketiga : Syari'at menganjurkan agar seorang suami tidak menceraikan istrinya dan bersabar dengan kondisi istrinya yang ia benci. Allah berfirman

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS An-Nisaa : 19)

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

"Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang wanita mukminah (istrinya), jika ia membenci sebuah perangai dari istrinya maka hendaknya ia ridho dengan perangai yang lain dari istrinya" (HR Muslim no 1469)

Keempat :  Allah memerintahkan agar suami bisa menahan diri dan tidak tergesa-gesa dalam mendidik istrinya. Allah berfirman

وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (yaitu tidak melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri-pen), maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (QS An-Nisaa :34)

Kelima : Jika ternyata pasangan suami istri tidak bisa mengatasi permasalahan rumah tangga mereka sendiri maka syari'at menganjurkan untuk menjadikan pihak ketiga menjadi penengah dalam menyelesaikan permasalahan pasutri tersebut. Allah berfirman

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam (juru damai-pen) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS An-Nisaa : 35)

Keenam : Suami yang menceraikan istrinya dalam keadaan dipaksa atau dalam keadaan tidak sadar atau gila maka talaknya tersebut tidak sah.

Ketujuh : Talak yang hanya terbetik dalam hati dan tidak terlafalkan (tidak terucapkan) maka tidak sah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لأُمَّتِى عَمَّا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسُهَا مَا لَمْ تَتَكَلَّمْ أَوْ تَعْمَلْ بِهِ

"Sesungguhnya Allah memaafkan kepada umatku apa yang terbetik dalam jiwa mereka selama belum diucapkan atau diamalkan" (HR Al-Bukhari no 6664 dan Muslim no 127)

Kedelapan : Haram bagi seorang wanita meminta kepada suaminya untuk menceraikan madunya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

ولا تسأل المرأة طلاق أختها لتكفأ ما في إنائها

"Jangalah seorang wanita meminta (kepada suaminya) untuk menceraikan madunya agar ia bisa menumpahkan apa yang ada di bejana madunya tersebut" (HR Al-Bukhari no 2140 dan Muslim no 1408)

Kesembilan :  Syariat menjadikan perceraian (talak) di tangan suami, karena suamilah yang telah membayar mahar dan yang menanggung nafkah keluarga, dan suami lebih bisa menjaga emosinya dan lebih memandang ke depan.

Kendati perceraian merupakan perkara yang buruk akan tetapi terkadang kondisi memang mengharuskan terjadinya perceraian.

Ibnu Taimiyyah berkata:

الأَصْلُ فِي الطَّلاَقِ الْحَظْرُ وَإِنَّمَا أُبِيْحَ مِنْهُ قَدْرُ الْحَاجَةِ

"Hukum asal talak adalah terlarang, dan hanyalah diperbolehkan sesuai kebutuhan"(Majmuu' Al-Fataawaa 33/81)

Dan tindakan ini –perceraian- hendaknya tidaklah ditempuh kecuali jika memang dalam kondisi terpaksa. Karenanya perceraian tidaklah ditempuh kecuali :

1.      Jika setelah menjalani pernikahan ternyata tujuan dari pernikahan –seperti kasih sayang diantara pasutri, menjaga kehormatan, memperoleh keturunan- tidak bisa diraih.

2.      Sudah menempuh berbagai jalan untuk memperbaiki kondisi rumah tangga yang buruk, seperti masuknya pihak ketiga agar memperbaiki kondisi, akan tetapi tidak menghasilkan buah yang baik

3.      Usaha memperbaiki problematika rumah tangga hendaknya dilakukan berulang-ulang.

4.      Ingat bahwa perceraian merupakan jalan keluar yang terakhir…!!!


Ketiga : Sebaliknya perceraian merupakan perkara yang sangat dicintai oleh Iblis.

Para prajurit Iblis dari kalangan para syaitan selalu berlomba-lomba untuk bisa memisahkan dan menghancurkan rumah tangga pasangan suami istri. Iblis raja para syaitan sangat berbangga dengan prajuritnya yang berhasil menceraikan pasangan suami istri.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ إِبْلِيْسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الماءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ : فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا، فَيَقُوْلُ : مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قال ثُمَّ يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ : فَيُدْنِيْهِ مِنْهُ وَيَقُوْلُ : نعم أنت

"Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air (laut), kemudian ia mengutus para prajuritnya. Maka prajurit yang paling dekat dengan Iblis adalah yang paling besar fitnahnya (penyesatannya). Maka datanglah salah satu prajuritnya dan melapor : "Aku telah melakukan ini dan itu", maka Iblis berkata, "Engkau belum melakukan apa-apa", kemudian datanglah prajurit yang lain dan melapor, "Aku telah menggodanya hingga akhirnya aku menceraikannya dengan istrinya". Maka Iblispun mendekatkan prajurit syaitan ini di sisinya lalu berkata, "Engkau prajurit terbaik" (HR Muslim no 2813)

Hadits yang agung ini menunjukan bahwa prajurit Iblis berlomba-lomba mendekatkan diri mereka kepada Iblis, dan yang paling dekat dengan Iblis dan mendapatkan kedudukan tinggi di sisi Iblis adalah yang paling banyak menimbulkan kerusakan kepada manusia. Ternyata prajurit syaitan kesayangan Iblis adalah syaitan yang berhasil menceraikan pasangan suami istri. Iblis tahu bahwasanya dengan bercerainya dua pasangan suami istri maka akan menimbulkan banyak  kerusakan. Diantaranya kedua-duanya bisa jadi terjerumus dalam berbagai model kemaksiatan hingga akhirnya bisa menjerumuskan mereka berdua dalam perzinahan…, hancurnya masa depan anak-anak mereka…, dendam dan kesedihan yang berkepanjangan… dan dampak-dampak buruk yang lain yang merupakan akibat negatif dari perceraian.

Karenanya diantara perkara yang dilakukan oleh para penyihir adalah memisahkan dan menceraikan pasangan suami istri. Allah berfirman :

فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ

Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. (QS Al-Baqoroh : 102)

Karenanya janganlah sampai salah seorang dari pasangan suami istri –disadari atau tanpa disadari- ikut membantu mewujudkan cita-cita dan angan-angan Iblis yaitu menceraikan pasangan suami istri.


Keempat: Wanita yang meminta cerai tanpa ada alasan syar'i yang kuat merupakan perbuatan dosa

Seorang wanita yang meminta cerai dari suaminya tanpa adanya sebab yang syar'i maka terancam ancaman yang keras. Nabi shallallahu 'alaiahi wa sallam bersabda:

أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَْيِر مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ

"Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga" (HR Abu Dawud no 1928, At-Thirmidzi dan Ibnu Maajah, dan dihahihkan oleh Syaikh Albani)

Hadits ini menunjukan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang meminta perceraian tanpa ada sebab yang syar'i yang kuat yang membolehkannya untuk meminta cerai. Berkata Abu At-Toyyib Al'Adziim Aabaadi, "Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta cerai…((Maka haram baginya bau surga)) yaitu ia terhalang dari mencium harumnya surga, dan ini merupakan bentuk ancaman dan bahkan bentuk mubaalaghoh (berlebih-lebihan) dalam ancaman, atau terjadinya hal tersebut pada satu kondisi tertentu yaitu artinya ia tidak mencium wanginya surga tatkala tercium oleh orang-orang yang bertakwa yang pertama kali mencium wanginya surga, atau memang sama sekali ia tidak mencium wanginya surga. dan ini merupakan bentuk berlebih-lebihan dalam ancaman" ('Aunul Ma'buud 6/308)

Akan tetapi wanita boleh saja meminta cerai jika memang kondisinya memaksa demikian.

Talak Mu'allaq

Berikut ini postingan seputar hukum talak, agar kita sebagai muslim dapat mengetahui perkataan-perkataan apa saja yang dapat membuat jatuh talak terhadap Istri. Sebab talak adalah perkara yang dapat membuat status seorang suami tidak lagi berhak (halal) atas istrinya, demikian juga sebaliknya. Oleh sebab itu baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah wajib mengetahui perkara ini. agar saat suami mengatakan perkataan yang mengandung makna talak, istri dapat memberi peringatan bahwa hal itu bukanlah main-main di mata Allah, demikian pula suami tidak dengan mudahnya mengatakan hal-hal yang dapat bermakna jatuh talak terhadap istri (meskipun dilakukan dalam gurauan).

Sebab masalah tersebut sangat berbahaya yang bisa merusak akad nikah, sedangkan akad nikah termasuk akad yang sangat sakral. Tidak ada akad yang paling mendapat perhatian besar dari syariat Islam kecuali akad nikah, karena akad nikah mempunyai konsekwensi hukum yang sangat banyak seperti warisan, nasab, berbesan dan masalah-masalah kemasyrakatan besar lainnya. Sehingga seseorang dianggap tidak berakal sehat apabilah harus menjatuhkan talak kepada istrinya hanya dikarenakan masalah kecil. Berapa banyak orang yang mentalak istrinya setelah itu berkeliling mendatangi para ulama meminta pendapat untuk mencari jalan keluar dan akhirnya menyesal. Nasehat saya kepada setiap kaum laki-laki agar tidak tergesa-gesa menjatuhkan talak.

Talak atau cerai adalah suatu permasalahan rumah tangga yang saat ini banyak menimpa suami istri. Kadang karena ketidak tahuan akan talak yang menyebabkan dengan sendirinya talak itu jatuh. Ada ucapan yang secara tegas walau tanpa disertai niat, membuat talak itu sah. Ada pula talak berupa kata kiasan yang butuh akan niat.  

‎Adapun talak mu’allaq, yaitu seorang suami menjadikan jatuhnya talak bergantung pada syarat. Misalnya, ia berkata kepada isterinya: Jika engkau pergi ke tempat, maka engkau ditalak. 

Hukum talak mu’allaq ini apabila dia bermaksud hendak menjatuhkan talak ketika terpenuhinya syarat. Maka jatuh talaknya sebagaimana yang diinginkannya. 

Adapun manakala yang dimaksud oleh sang suami dengan talak mu’allaq, adalah untuk menganjurkan (agar sang isteri) melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu atau yang semisalnya, maka ucapan itu adalah sumpah. Jika apa yang dijadikan bahan sumpah itu tidak terjadi, maka sang suami tidak terkena kewajiban apa-apa, dan jika terjadi, maka ia wajib membayar kafarah sumpah.

Talak tersebut telah jatuh, sehingga jatuhlah talak yang ketiga yang berkonsekuensi tidak halalnya istri kembali kepada suami  sampai istri menikah lagi dengan pria lain dengan pernikahan wajar (bukan pura-pura/sandiwara/perkomplotan), kemudian diceraikan.

Menjatuhkan talak dengan cara mengaitkan dengan terjadinya hal lain disebut para Fuqoha’ dengan istilah الطَّلاَقُ الْمُعَلَّقُ (Suspended Divorce/ Talak Tergantung). Kasus talak yang ditanyakan penanya termasuk jenis ini, karena mengancam jatuhnya talak kepada istri, jika istri tidak melakukan perbuatan yang diperintahkan suami. Ketentuan Fikih dalam hal ini, talak dihukumi jatuh jika syarat yang disebutkan pada ancaman talak tersebut terealisasi.  Maka, seandainya seorang suami berkata kepada istrinya; “Jika matahari telah tenggelam hari ini, maka jatuhlah talakku kepadamu” atau “jika engkau menerima tamu tanpa seizinku, maka jatuhlah talakku kepadamu”, atau “jika engkau berhutang lagi tanpa sepengetahuanku, maka jatuhlah talakku kepadamu”, kemudian tiba waktu tenggelamnya matahari, atau istri menerima tamu tanpa seizin suami, atau istri berhutang tanpa sepengetahuan suami, dalam kondisi ini semuanya dihukumi jatuh talak tanpa bisa diralat lagi. Pada kasus yang ditanyakan penanya, suami mengancam istri jika tidak ikut hadir pada acara di ibu kandung maka jatuh talak. Ternyata istri tidak ikut hadir bersama suami. Dengan demikian syarat jatuhnya Tholaq Mu’allaq telah terealisasi sehingga hukum talak tiga telah jatuh dan berlaku konsekuensi-konsekuensi talak tiga dalam Syariat.  Hukum jatuhnya talak ini tidak membedakan apakah ancaman talak bersyarat itu benar-benar dimaksudkan mentalak atau sekedar “mengancam/menakut-nakuti/mendorong melakukan suatu perbuatan” dan semisalnya. Niat apapun dari suami yang mengucapkan ancaman talak tidak diperhatikan, dan ketentuan jatuhnya talak tetap berlaku.

Dalil yang menunjukkan Tholaq Mu’allaq dihukumi jatuh talak jika syarat yang diancamkan telah terealisasi adalah sejumlah nash berikut;

Pertama; membuat syarat yang tidak bertentangan dengan hukum Syara’ hukumnya Mubah, dan kaum Muslimin terikat oleh syarat yang dibuatnya. Ad-Daruquthni meriwayatkan;

سنن الدارقطنى – مكنز (7/ 194، بترقيم الشاملة آليا)

عَنْ كَثِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِىِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا ».

“Dari Katsir bin Abdillah bin ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzany dari ayahnya dari kakeknya dai Nabi SAW, beliau bersabda ” Kaum Muslimin terikat syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (H.R.Ad-Daruquthni)

Membuat syarat jatuhnya talak termasuk keumuman bolehnya membuat syarat dalam Hadis ini. Oleh karena itu, hukum jatuhnya talak berlaku ketika syarat tersebut terealisasi sebagaimana talak dijatuhkan tanpa ada syarat.

Kedua; Talak dihukumi tetap jatuh baik diucapkan dengan serius maupun bercanda. Abu dawud meriwayatkan;

سنن أبى داود – م (2/ 225)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ ».

“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tiga perkara, seriusnyadihukumi serius dan candanya (tetap) dihukumiserius, yaitu; nikah, perceraian, dan Rujuk (H.R.Abu Dawud).”

Tholaq Mu’allaq jelas menyebut lafadz talak sebagai ancaman, karena itu apapun motivasi mengucapkan ancaman tersebut, entah serius, main-main, atau sekedar menakut-nakuti termasuk cakupan makna Hadis ini. Karena itu, talak dihukumi jatuh ketika syarat ancaman talak tersebut telah terealisasi.

Ketiga; Ibnu Umar berfatwa jatuhnya talak pada kasus Tholaq Mu’allaq. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (16/ 315)

قَالَ نَافِعٌ طَلَّقَ رَجُلٌ امْرَأَتَهُ الْبَتَّةَ إِنْ خَرَجَتْ فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ إِنْ خَرَجَتْ فَقَدْ بُتَّتْ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ تَخْرُجْ فَلَيْسَ بِشَيْءٍ

“Nafi’ berkata: Seorang lelaki mentalak istrinya dengan talak Battah (talak tiga/Bainunah Kubro) jika sang istri keluar (dari rumah suaminya). Maka Ibnu Umar berkomentar; Jika wanita itu keluar, maka dia tertalak oleh lelaki itu. Jika dia tidak keluar maka tidak ada konsekuensi apapun” (H.R.Bukhari)

Adanya fatwa dari Ibnu Umar ini menunjukkan bahwa ketentuan jatuhnya talak pada kasus Tholaq Mu’allaq sudah diketahui semenjak zaman Shahabat. Fatwa Ibnu Umar ini dikuatkan oleh riwayat fatwa senada dari Ibnu Mas’ud. Al-Baihaqi meriwayatkan;

السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (7/ 356)

 عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فِى رَجُلٍ قَالَ لاِمْرَأَتِهِ : إِنْ فَعَلَتْ كَذَا وَكَذَا فَهِىَ طَالِقٌ فَتَفْعَلُهُ قَالَ : هِىَ وَاحِدَةٌ وَهُوَ أَحَقُّ بِهَا.

“Dari Abdullah bin Mas’ud, tentang seorang lelaki yang berkata kepada istrinya; Jika dia (sang istri) melakukan ini  dan itu maka dia tertalak. (ternyata) wanita itu melakukannya. Maka Ibnu Mas’ud berkomentar; itu (sudah jatuh talak) satu, dan dia (lelaki itu) lebih berhak kepadanya -untuk Rujuk kembali- (H.R.Al-Baihaqi)

Adapula riwayat yang menunjukkan bahwa para Fuqoha’ Madinah berfatwa dengan fatwa ini. Al-Baihaqi meriwayatkan;

السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (7/ 356)

عن ابْنِ أَبِى الزِّنَادِ عَنْ أَبِيهِ عَنِ الْفُقَهَاءِ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ كَانُوا يَقُولُونَ : أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لاِمْرَأَتِهِ أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ خَرَجْتِ حَتَّى اللَّيْلِ فَخَرَجَتِ امْرَأَتُهُ أَوْ قَالَ ذَلِكَ فِى غُلاَمِهِ فَخَرَجَ غُلاَمُهُ قَبْلَ اللَّيْلِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ طَلَقَتِ امْرَأَتُهُ وَعَتَقَ غُلاَمُهُ لأَنَّهُ تَرَكَ أَنْ يَسْتَثْنِىَ لَوْ شَاءَ قَالَ بِإِذْنِى وَلَكِنَّهُ فَرَّطَ فِى الاِسْتِثْنَاءِ فَإِنَّمَا يُجْعَلُ تَفْرِيطُهُ عَلَيْهِ.

“Dari Ibnu Abi Az-Zinad dari ayahnya dari para Fuqoha’ penduduk Madinah, mereka memfatwakan; lelaki manapun yang berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak jika engkau keluar hingga malam hari, kemudian ternyata istrinya keluar, atau dia mengatakan ucapan itu kepada budaknya, lalu budaknya keluar sebelum malam tiba tanpa sepengetahuannya, maka istrinya tertalak dan budaknya menjadi bebas. Hal itu dikarenakan dia tidak melakukan Istitsna’ (pengecualian). Kalau dia mau, dia bisa mengatakan “dengan izinku”, tetapi dia melalaikan Istitsna’, sehingga beban kealaian itu ditimpakan kepadanya (H.R.Al-Baihaqi)

Tidak bisa mengatakan bahwa riwayat fatwa Ibnu Umar adalah riwayat yang lemah. Klaim ini tertolak karena Hadis tersebut diriwayatkan Bukhari dalam Shahihnya. Meskipun Bukhari meriwayatkannya secara Mu’allaq, namun beliau menyebutkannya dengan Sighat Jazm (tegas) sehingga riwayatnya terhitung Shahih. Lagipula Ibnu hajar telah menyebutkan sanad lengkapnya dalam kitab Taghliqu At-Ta’liq. Justru riwayat fatwa shahabat yang bertentangan dengan riwayat fatwa Ibnu Umarlah yang lebih layak dipertanyakan keshahihannya, sekaligus diperiksa ulang redaksinya karena riwayat-riwayat yang ada seringkali difahami tidak tepat sebagai Tholaq Mu’allaq  padahal sebenarnya adalah terkait sumpah.

Tidak bisa pula memahami bahwa riwayat fatwa Ibnu Umar itu adalah dalam kondisi suami memang berniat talak sehingga dihukumi talak. Tidak bisa diklaim demikian, karena tidak ada perincian apapun dalam lafadz riwayat yang memberi isyarat niat suami. Karena itu, lafadz riwayat tersebut harus difahami umum dan mutlak yang mencakup niat talak maupun hanya niat menakut-nakuti. Lagipula Ibnu Umar dalam berfatwa sama sekali tidak menyinggung niat suami dalam membangun fatwa.

Keempat; Suami dalam kondisi memegang hak talak dan mentalak berdasarkan pilihannya tanpa dipaksa. At-Tirmidzi meriwayatkan;

سنن الترمذى (4/ 421)

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ لِابْنِ آدَمَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا عِتْقَ لَهُ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا طَلَاقَ لَهُ فِيمَا لَا يَمْلِكُ

“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada nadzar bagi anak Adam terhadap sesuatu yang tidak dimilikinya, tidak ada (hak) memerdekakan pada sesuatu yang tidak dimilikinya dan tidak ada (hak) talaq pada sesuatu yang tidak dimilikinya (H.R.At-Tirmidzi).”

Hadis diatas menerangkan bahwa tidak ada  talak bagi orang yang tidak memiliki hak talak. Artinya, orang yang tidak memiliki hak talak jika menjatuhkan talak maka talaknya tidak jatuh. Mafhumnya; orang yang memiliki hak talak, dan mentalak berdasarkan pilihannya tanpa dipaksa berarti talaknya jatuh. Suami yang mentalak dengan cara Tholaq Mu’allaq termasuk keumuman Mafhum Hadis ini, oleh karena itu Tholaq Mu’allaq juga jatuh berdasarkan Hadis ini.

Itulah dalil-dalil utama yang menunjukkan jatuhnya Tholaq Mu’allaq.

Adapun pendapat yang menyatakan bahwa Tholaq Mu’allaq dihukumi berdasarkan niatnya; jika berniat talak maka jatuh talak, jika berniat hanya menakut-nakuti maka tidak dianggap talak tetapi hanya dianggap sumpah yang cukup ditebus dengan Kaffaroh dalam kondisi terealisasi syarat, yang mana pendapat ini mendasarkan hujjahnya pada Hadis Nabi yang berbunyi;

صحيح البخاري (1/ 3)

 إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Amal-amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya (H.R.Bukhari)

Maka argumen ini tidak bisa diterima. Alasannya; Perlakuan dan konsekuensi hukum Syara’ memperhatikan yang Dhohir bukan niat pelaku. Niat pelaku adalah urusan hamba dengan Allah, bukan hamba dengan sesama hamba. Seorang munafik yang bersyahadat, meskipun tidak ada niat masuk Islam sama sekali, tetapi karena Dhohirnya dia telah bersyahadat maka diterapkan hukum-hukum sebagai seorang Muslim. Urusan batin dan niat dia bukan wilayah tanggungjawab manusia. Allahlah yang akan menghisab dia pada hari pembalasan terkait niat jahatnya. Umar pernah berpidato menegaskan kaidah ini. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (9/ 118)

عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُتْبَةَ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ

إِنَّ أُنَاسًا كَانُوا يُؤْخَذُونَ بِالْوَحْيِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّ الْوَحْيَ قَدْ انْقَطَعَ وَإِنَّمَا نَأْخُذُكُمْ الْآنَ بِمَا ظَهَرَ لَنَا مِنْ أَعْمَالِكُمْ فَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا خَيْرًا أَمِنَّاهُ وَقَرَّبْنَاهُ وَلَيْسَ إِلَيْنَا مِنْ سَرِيرَتِهِ شَيْءٌ اللَّهُ يُحَاسِبُهُ فِي سَرِيرَتِهِ وَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا سُوءًا لَمْ نَأْمَنْهُ وَلَمْ نُصَدِّقْهُ وَإِنْ قَالَ إِنَّ سَرِيرَتَهُ حَسَنَةٌ

“Dari Az Zuhriy berkata, telah menceritakan kepadaku Humaid bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa ‘Abdullah bin ‘Utbah berkata, aku mendengar ‘Umar bin Al Khaththob radliallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnyasejumlah orang dihukum berdasarakan (pemberitahuan) wahyu  pada masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan hari ini wahyu sudah terputus. Dan hari ini kita menilai kalian berdasarkan amal amal yang nampak (zhahir). Maka siapa yang secara zhahir menampakkan perbuatan baik kepada kita, kita percaya kepadanya dan kita dekat dengannya dan bukan urusan kita apa yang tersembunyi darinya karena hal itu sesuatu yang menjadi urusan Allah dan Dia yang akan menghitungnya. Dan siapa yang menampakkan perbuatan yang jelek kepada kita, maka kita tidak percaya kepadanya dan tidak membenarkannya sekalipun batinnya baik (H.R.Bukhari)” .

Syariat Li’an juga menunjukkan bahwa konsekuensi hukum itu hanya melihat Dhohirnya, bukan maksud dan niat pelaku Li’an. Allah berfirman;

{وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (6) وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (7) وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (8) وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ } [النور: 6 – 9]

6. dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.

7. dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta.

8. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta.

9. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur; 6-9)

Dalam kasus  Li’an, pasti ada salah satu yang berdusta. Namun jika dua pihak yang berli’an semuanya berani bersumpah sebanyak lima kali untuk mendustakan lawannya, maka kedua-duanya selamat dari konsekuensi hukum (cambuk atau rajam) karena Dhohirnya mereka memang tidak bersalah. Namun diakhirat, kedustaan salah satu diantara mereka pasti terbukti dan akan dibalas. Dan ini berada diwilayah wewenang Allah karena terkait dengan maksud dan niat batin manusia yang tidak ada yang tahu kecuali Allah.

Hadis;
صحيح البخاري (1/ 3)

 إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Amal-amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya (H.R.Bukhari)

juga tidak tepat dipakai disini, karena topik Hadis tersebut adalah membahas keikhlasan amal seorang hamba. Bukan konsekuensi hukum syara yang diterapkan kepada orang yang berniat. Orang yang berhijrah karena menikahi wanita, tetap dihukumi Muhajirin secara dhohir, namun dari aspek keikhlasan tercela karena tidak murni berhijrah karena Allah.

Lagipula, Hadis riwayat Abu Dawud menegaskan bahwa talak itu termasuk perkara yang dihukumi jatuh, baik dilakukan dengan serius maupun canda. Hal ini menunjukkan bahwa niat suami yang mentalak sama sekali tidak diperhatikan. Hikmahnya; orang tidak akan bisa beralasan bercanda ketika mentalak demi menganulir ucapan talak yang telah diucapkannya. Anulir-anulir talak dengan alasan canda secara otomatis akan membuat syariat talak menjadi sia-sia, karena orang akan selalu bisa beralasan canda untuk mengingkari pernah mentalak.  Dengan adanya ketentuan jatuhnya talak yang diucapkan serius maupun canda, maka orang akan lebih berhati-hati mengucapkan kata-kata talak.

Adapun alasan bahwa Tholaq Mu’allaq dianggap tidak berlaku dengan mengqiyaskan tidak bolehnya ada Zawaj Mu’allaq (pernikahan digantung), maka alasan ini tidak bisa diterima. Karena talak berbeda dengan akad Nikah. Akad nikah adalah akad antara dua pihak, semnatara talak hanya menjadi hak suami dan tidak perlu ridha istri. Oleh karena dua hal ini berbeda, maka keduanya tidak bisa diqiyaskan/dianalogikan.

Adapun argumen bahwa Nabi pernah mengharamkan minum madu zainab lalu ditegur Allah dengan turunnya surat At-Tahrim dan diperintahkan membatalkan sumpahnya, kemudian hal ini difahami bahwa sumpah tidak selalu memakai lafadz sumpah sehingga boleh saja Tholaq Mu’allaq difahami sumpah (yang konsekuensinya hanya wajib ditebus dengan Kaffaroh), bukan difahami jatuhnya talak, maka argumentasi ini tidak dapat diterima karena dua alasan. Pertama; ucapan Nabi saat bertekad tidak mau minum madu Zainab itu sama sekali tidak mengandung unsur Ta’liq (mengaitkan) dengan terealisasinya sesuatu sebagaimana dalam Tholaq Mu’allaq. Kedua; riwayat Bukhari jelas sekali menunjukkan bahwa Nabi memakai lafadz “Halafa” (bersumpah) sebelum bertekad tidak minum madu. Hal ini menunjukkan sumpah yang diperintahkan Allah untuk dibatalkan itu adalah sumpah yang memang diucapkan nabi, bukan tekad untuk tidak minum madu yang difahami sebagai sumpah. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (20/ 391)

عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ زَعَمَ عَطَاءٌ أَنَّهُ سَمِعَ عُبَيْدَ بْنَ عُمَيْرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَزْعُمُ

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَمْكُثُ عِنْدَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ وَيَشْرَبُ عِنْدَهَا عَسَلًا فَتَوَاصَيْتُ أَنَا وَحَفْصَةُ أَنَّ أَيَّتَنَا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْتَقُلْ إِنِّي أَجِدُ مِنْكَ رِيحَ مَغَافِيرَ أَكَلْتَ مَغَافِيرَ فَدَخَلَ عَلَى إِحْدَاهُمَا فَقَالَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَا بَلْ شَرِبْتُ عَسَلًا عِنْدَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ وَلَنْ أَعُودَ لَهُ فَنَزَلَتْ

{ يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ }

{ إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ }

لِعَائِشَةَ وَحَفْصَةَ

{ وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا }

لِقَوْلِهِ بَلْ شَرِبْتُ عَسَلًا

و قَالَ لِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى عَنْ هِشَامٍ وَلَنْ أَعُودَ لَهُ وَقَدْ حَلَفْتُ فَلَا تُخْبِرِي بِذَلِكِ أَحَدًا

“Dari Ibnu Juraij menuturkan; ‘Atha` mengataka bahwa dirinya pernah mendengar Ubaid bin Umair mengatakan; aku pernah mendengar ‘Aisyah menuturkan; bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di rumah Zainab binti Jahsy dan meminum madu dirumahnya, maka aku dan Hafshah salingberpesan bahwa siapa saja diantara kami berdua yang didatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,hendaknya kami mengatakan; ‘Aku mencium bau pohon mighfar dimulutmu, apakah engkau telah makan buah mighfar? ‘ Nabi kemudian menemui salah satu dari keduanya dan dia mengatakan ucapan yang telah disepakati keduanya, namun Nabi justeru menjawab: “Tidak, tetapi aku minum madu di tempat Zainab binti Jahsy, dan sekali-kali aku tidak akan mengulanginya.” Maka turunlah ayat yang menegur Nabi; “Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan sesuatu yang telah Allah halalkan kepadamu’ dan ayat, ‘jika kalian berdua bertaubat kepada Allah, ‘ ditujukan kepada Aisyah dan Hafshah. Dan firman-Nya; ‘Ingatlah ketika Nabi merahasiakan sebuah pembicaraan kepada sebagian isterinya, ‘ petikan ayat ini untuk ucapan Nabi yang mengatakan: ‘Namun aku minum madu.’ Ibrahim bin Musa berkata kepadaku; dari Hisyam dengan tambahan redaksi: “Saya sekali-kali tak akan mengulanginya selama-lamanya, saya telah bersumpah, maka janganlah kalian kabarkan kepada seorang pun.”(H.R.Bukhari)

Adapun ketentuan syariat bahwa sumpah Laghwun (sumpah main-main) tidak dihukum, dan hanya sumpah serius saja yang dihukum (ada konsekuensi syariat), berdasarkan ayat;

{لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ } [المائدة: 89]

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja (Al-Maidah; 89)

maka ketentuan ini tidak bisa menjadi dalil  bahwa niat diperhatikan dalam kasus Tholaq Mu’allaq. Alasannya;  Tholaq Mu’allaq  tidak bisa dihukumi sebagai sumpah dan belum bisa disamakan dengan sumpah. Lagipula hukum sumpah berbeda dengan hukum talak dan tidak bisa diqiyaskan. Sumpah main-main memang tidak dihukumi jatuh, tetapi talak main-main dihukumi jatuh berdasarakan nash.

Kisah Maulat (majikan wanita) Abu Rofi’ juga tidak bisa dijadikan dasar bahwa Thalaq Mu’allaq dihukumi sumpah. Dengan meneliti redaksinya kita akan bisa memahami bahwa riwayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan bahwa Tholaq Mu’allaq dihukumi sebagai sumpah.

سنن الدارقطنى – مكنز (10/ 167، بترقيم الشاملة آليا)

عَنْ أَبِى رَافِعٍ قَالَ قَالَتْ مَوْلاَتِى لأُفَرِّقَنَّ بَيْنَكَ وَبَيْنَ امْرَأَتِكَ وَكُلُّ مَالٍ لَهَا فِى رِتَاجِ الْكَعْبَةِ وَهِىَ يَوْمًا يَهُودِيَّةٌ وَيَوْمًا نَصْرَانِيَّةٌ وَيَوْمًا مَجُوسِيَّةٌ إِنْ لَمْ تُفَرِّقْ بَيْنَكَ وَبَيْنَ امْرَأَتِكَ قَالَ فَانْطَلَقْتُ إِلَى أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أُمِّ سَلَمَةَ فَقُلْتُ إِنَّ مَوْلاَتِى تُرِيدُ أَنْ تُفَرِّقَ بَيْنِى وَبَيْنَ امْرَأَتِى فَقَالَتِ انْطَلِقْ إِلَى مَوْلاَتِكَ فَقُلْ لَهَا إِنَّ هَذَا لاَ يَحِلُّ لَكِ. فَرَجَعْتُ إِلَيْهَا – قَالَ – ثُمَّ أَتَيْتُ ابْنَ عُمَرَ فَأَخْبَرْتُهُ فَجَاءَ حَتَّى انْتَهَى إِلَى الْبَابِ فَقَالَ هَا هُنَا هَارُوتُ وَمَارُوتُ فَقَالَتْ إِنِّى جَعَلْتُ كُلَّ مَالٍ لِى فِى رِتَاجِ الْكَعْبَةِ قَالَ فَمَا تَأْكُلِينَ قَالَتْ وَقُلْتُ وَأَنَا يَوْمًا يَهُودِيَّةٌ وَيَوْمًا نَصْرَانِيَّةٌ وَيَوْمًا مَجُوسِيَّةٌ. فَقَالَ إِنْ تَهَوَّدْتِ قُتِلْتِ وَإِنْ تَنَصَّرْتِ قُتِلْتِ وَإِنْ تَمَجَّسْتِ قُتِلْتِ . فَقَالَتْ فَمَا تَأْمُرُنِى قَالَ تُكَفِّرِينَ يَمِينَكِ وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ فَتَاكِ وَفَتَاتِكِ .

“Dari Abu Rofi’ beliau berkata; Maulat (tuan wanita)ku  berkata: “Aku benar-benar akan memisahkanmu (menceraikanmu) dengan istrimu (dan dia bersumpah) semua hartanya (dishodaqohkan) digerbang pintu Ka’bah, dan dia akan sehari menjadi Yahudi, sehari menjadi Nasrani, dan sehari menjadi Majusi “jika kamu tidak berpisah dengan istrimu” (ancamnya). Maka aku pergi menuju Ummul Mukminin Ummu Salamah dan aku berkata : “Sesungguhnya Maulatku ingin memisahkan aku dengan istriku”. Ummu Salamah berkata; “Pergilah kepada Maulatmu dan katakan bahwa hal ini tidak halal baginya”. Maka aku kembali kepadanya. Lalu aku mendatangi Ibnu Umar, lalu aku memberitahunya. Maka Ibnu Umar datang, hingga ketika sampai di pintu beliau berkata; “Di sini ada Harut dan Marut”. Maulatku berkata: “Sesungguhnya aku telah menjadikan semua hartaku (dishodaqohkan) digerbang Ka’bah”. Ibnu Umar bertanya; “lalu apa yang kamu makan”? dia melanjutkan: “Dan aku berkata; Aku akan sehari menjadi Yahudi, sehari menjadi Nasrani, dan sehari menjadi Majusi”. Ibnu Umar berkomentar; “Jika engkau menjadi Yahudi maka engkau akan dibunuh, jika engkau menjadai Nasrani maka engkau akan dibunuh, dan jika engkau menjadi Majusi maka engkau akan dibunuh. Dia berkata; “Kalau begitu apa yang kau perintahkan kepadaku”?Ibnu Umar menjawab: “Tebuslah sumpahmu dan kumpulkan antara pemuda dan pemudimu –jangan berusaha menceraikan-” (H.R.Ad-Daruquthni)

Jelas sekali bahwa yang melakukan Ta’liq adalah Maulat Abu Rofi’ bukan Abu Rofi’ sendiri. Tentu saja yang punya hak talak yang berkonsekuensi jatuh talak hanya Abu Rofi’  bukan Maulatnya. Maulat Abu Rofi’ adalah pihak luar, bukan suami dan bukan pula istri. Karena itu Ta’liq yang ia ucapkan sebagai Ta’kid keinginannya bisa difahami secara Urfi sebagai sumpah, sehingga dia diperintahkan menebus sumpahnya dengan Kaffaroh.

Dengan demikian, berdasarkan uraian dalil-dalil di atas, serta bantahan terhadap sejumlah kebaratan bisa difahami bahwa Tholaq Mu’allaq dihukumi jatuh talak ketika syaratnya yang disebutkan dalam ancaman terealisasi. Pendapat ini adalah pendapat seluruh Imam empat madzhab; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As-Syafi’I, dan Imam Ahmad.  Bahkan disebut telah menjadi Ijma’ oleh Imam Mujtahid Abu Ubaid, Abu Tsaur, At-Thobary, Abu Bakr bin Al-Mundzir, Muhammad bin Nashr Al-Marwazy, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Rusyd, dan Al-Baji.

Ralat dalam Tholaq Mu’alaq tidak berguna, karena Talak bersifat Luzum (mengikat), begitu diucapkan maka jatuhlah konsekuensi sebagaimana lafadz Ijab Qobul dalam akad nikah yang tidak membedakan serius ataupun main-main.

Konsekuensi jatuhnya talak  yang ketiga adalah tidak halalnya menikah lagi sampai istri menikah lagi dengan lelaki lain kemudian diceraikan. Allah berfirman;

{فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ } [البقرة: 230]

kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain(Al-Baqoroh; 230)

Konsekuensi hukum ini meskipun pahit tetap harus dijelaskan dan dijalankan sebagai realisasi ketakwaan kepad Allah SWT.

Memang benar, saran dari ulama kerabat penanya, bahwa dalam mengucapkan talak hendaknya tidak diobral. Seyogyanya para lelaki berhati-hati sekali dalam mengucapkan lafadz talak, karena konsekuensinya berat dan tidak bisa dibatalkan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah memarahi seorang lelaki yang mentalak istrinya tiga kali sekaligus karena dianggap mempermainkan Kitabullah. An-Nasa’I meriwayatkan;

سنن النسائي (11/ 79)

 مَحْمُودَ بْنَ لَبِيدٍ قَالَ

أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثَ تَطْلِيقَاتٍ جَمِيعًا فَقَامَ غَضْبَانًا ثُمَّ قَالَ أَيُلْعَبُ بِكِتَابِ اللَّهِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ حَتَّى قَامَ رَجُلٌ وَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا أَقْتُلُهُ

“Mahmud bin Labid berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diberi kabar mengenai seseorang yang menceraikan istrinya dengan tiga kali cerai sekaligus. Maka beliau berdiri dalam keadaan marah, kemudian bersabda: “Apakah ia mempermainkan Kitab Allah sedangkan aku berada diantara kalian, ” hingga seseorang berdiri dan berkata; ya Rasulullah bolehkan aku membunuhnya?” (H.R.An-Nasai)

Diriwayatkan pula bahwa Allah sendiri memubahkan Talak, tetapi talak adalah perkara mubah yang paling dibenciNya. Abu Dawud meriwayatkan;

سنن أبى داود (6/ 91)

عَنْ ابْنِ عُمَرَ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ

Dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Perkara halal yang paling Allah benci adalah perceraian.”(H.R.Abu Dawud)

Jika dalam rumah tangga terjadi persoalan, seyogyanya jangan langsung mengancam dengan talak, tetapi mengikuti cara yang diajarkan dalam Al-Quran. Cara tersebut bisa difahami dari ayat berikut ini;

{وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ} [النساء: 34]

wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz(pembangkangan)nya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka (An-Nisa:34)

Dari ayat di atas bisa difahami bahwa solusi awal terhadap istri yang bermasalah adalah dinasehati. Nasehat ini jika tidak mempan dari suami bisa meminta tolong kepada ulama atau orang yang disegani istri. Jika nasehat masih tidak mempan, bisa membuat aksi pisah ranjang sebagai hukuman mental yang bisa disertai tidak mengajak berbicara sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada istri-istrinya selama satu bulan. Jika pisah ranjang masih tidak mempan maka suami boleh memukul, namun pukulan yang mendidik, bukan pukulan yang menyakitkan. Saat istri membangkang (Nusyuz) maka dia kehilangan hak nafkah. Jadi, jika suami tidak menafkahi istri karena istri yang membangkang, maka suami tidak berdosa.

Jika dipukul belum juga berubah, berarti persoalannya lebih  dalam lagi sehingga perlu keterlibatan pihak luar. Dalam kondisi ini, untuk mencari penyelesaian, pihak lelaki mengutus salah satu keluarganya yang dipercaya dan pihak wanita juga mengutus salah satu keluarganya yang dipercaya. Kedua utusan ini bertemu untuk membahas dan mencari solusi bersama. Allah menjamin, jika semua memang berniat baik maka Dia akan memberikan taufiq kebaikan. Allah berfirman;

{وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا} [النساء: 35]

dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.(An-Nisa: 35)

Jika pelibatan dua keluarga ternyata masih juga belum memberikan solusi dan titik terang, berarti persoalan rumah tangga keduanya sudah mencapai puncaknya, sehingga dalam hal ini talaklah yang menjadi  solusi terakhir.

Atas dasar ini, bisa disimpulkan kembali bahwa kasus talak yang dibawa penanya adalah termasuk Tholaq Mu’allaq yang dihukumi jatuh talak jika syarat yang diancamkan terealisasi. Oleh karena syarat yang diancamkan, yaitu pembangkangan istri untuk pergi bersama suami telah terealisasi, maka jatuhlah talak tersebut dan berlaku konsekuensi-konsekuensi jatuhnya talak tiga.

Menjadi pelajaran pula bagi para Muslim-Muslimah yang hendak melangsungkan pernikahan, bahwa dalam menikah hendaknya bukan hanya pembahasan romantisme pernikahan saja yang dikedepankan. Namun yang lebih penting dari itu adalah mengkaji hukum-hukum Fikih baik terkait Fikih lelaki maupun Fikih wanita (seperti topik Tholaq Mu’allaq ini) agar tidak terjatuh pada pelanggaran-pelanggaran syariat yang berkonsekuensi berat. Wallahua’alam.

 

Hukum Talak Lewat Tulisan (SMS,Email,surat)


Isu bercerai melalui khidmat pesanan ringkas (SMS) sememangnya menjadi polemik dalam masyarakat. Ada yang berjuang mendesak supaya cerai secara SMS dianggap tidak sah kerana tindakan itu tidak bermaruah, memalukan serta mempersendakan keutuhan institusi keluarga yang menjadi inti pati kekuatan ummah.

Dalam hukum Islam, seorang suami dapat menceraikan istrinya dengan cara mengucapkan talak, tetapi kini dengan teknologi yang makin berkembang, talak tersebut nampaknya tidak perlu disampaikan secara lisan.

Secara umumnya kuasa menjatuhkan talak berada di tangan suami. Apabila suami menjatuhkan talak. Para fuqaha sepakat mengatakan bahwa perhubungan perkawinan tamat dengan talak sama ada dengan bahasa Arab atau lain-lain, sama ada dengan lafaz atau dengan tulisan ataupun dengan isyarat.

Satu hal tentang masalah talak yang perlu dikaji secara khusus adalah talak lewat tulisan baik lewat SMS, email, atau surat karena seringnya talak seperti ini terjadi. Semisal suami mengirim SMS, “Sekarang, kamu saya talak.” Kata-kata seperti ini tegas menunjukkan cerai, tetapi masalahnya hanya lewat SMS. Apakah sah talak semacam itu?

Talak dengan tulisan dihukumi jatuh sebagaimana talak dengan ucapan.

Talak, dalam syariat Islam adalah sesuatu yang harus mendapatkan perhatian lebih dan harus hati-hati dalam menerapkan hukumnya. Hal itu dikarenakan talak termasuk perkara yang tidak membedakan antara keseriusan dan gurauan. Maksudnya: talak dihukumi jatuh, baik serius maupun canda. Demikian pula nikah dan rujuk, semuanya jatuh baik serius maupun canda. Abu Dawud meriwayatkan;

سنن أبى داود – م (2/ 225)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ ».

dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tiga perkara, seriusnya adalah serius dan candanya adalah serius, yaitu; nikah, perceraian, dan Rujuk.” (H.R.Abu Dawud)

Selama keinginan talak masih belum diekspresikan, maka tidak ada konsekuensi hukum. Namun jika  keinginan talak tersebut telah diekspresikan baik dengan ucapan maupun tulisan, maka jatuhlah talak dan berlaku hukum-hukum seputar talak. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (16/ 316)

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah memaafkan apa yang dikatakan oleh hati mereka, selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya.” (H.R.Bukhari)

Talak yang ditulis dihukumi seperti ucapan karena tulisan hakekatnya adalah simbolisasi bunyi-bunyi bahasa yang memiliki makna dan bisa difahami oleh orang yang membacanya. Sebagaimana ucapan ketika diucapkan yang bisa difahami oleh pendengar, maka tulisan yang dibaca juga bisa difahami oleh orang yang membaca. Karena itu secara fakta, tulisan mewakili ucapan sehingga hukum tulisan sama dengan hukum ucapan.

Adapun dalil dari Nash, sesungguhnya Allah memerintahkan Rasulullah صلى الله عليه وسلم untuk berdakwah kepada seluruh umat manusia. Allah berfirman;

{وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا} [سبأ: 28]

28. dan Aku tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan (As-Saba’;28)


Rasulullah صلى الله عليه وسلم melaksanakan perintah ini dengan dakwah lisan sebagaimana beliau juga berdakwah melalui tulisan. Bukhari meriwayatkan hadis yang menceritakan bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengirim surat kepada Heraklius untuk mengajaknya memeluk islam. Isi surat Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang diriwayatkan Bukhari adalah sebagai berikut;
 
صحيح البخاري (1/ 8)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ سَلَامٌ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ وَ{ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لَا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ }

“Bismillahir rahmanir rahim. Dari Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya untuk Heraclius. Penguasa Romawi, Keselamatan bagi siapa yang mengikuti petunjuk. Kemudian daripada itu, aku mengajakmu dengan seruan Islam; masuk Islamlah kamu, maka kamu akan selamat, Allah akan memberi pahala kepadamu dua kali. Namun jika kamu berpaling, maka kamu menanggung dosa rakyat kamu, dan: Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb selain Allah”. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (H.R.Bukhari)

Aktivitas tabligh Rasulullah صلى الله عليه وسلم melalui tulisan ini menunjukkan bahwa tulisan sama dengan ucapan dan dihukumi sama dengan ucapan. Oleh karena itu, talak dengan tulisan sah sebagaimana talak dengan ucapan.

Hanya saja, disyaratkan tulisan yang sah sebagai talak haruslah berupa الكتابة المستبينة (tulisan yang jelas). Maksud tulisan yang jelas adalah tulisan yang meninggalkan jejak yang terindra, seperti tulisan pada kertas, kayu,kulit, batu, dinding, tanah, dll. Termasuk pula seluruh tulisan elektronik seperti SMS, email, facebook,twitter, dll. Jika tulisanya termasuk yang tidak jelas, maksudnya tidak meninggalkan jejak terindra seperti tulisan pada udara atau air, atau tulisan yang tidak terbaca, maka talak tersebut tidak sah.

Pendapat Ulama

Sebagian Fuqoha berpendapat jika talak ditulis, maka harus ada niat. Jika tidak ada niat talak, misalnya menulis lafadz talak sebagai latihan menulis indah, atau menulis kutipan ucapan orang lain dan niat-niat lain yang semisal, maka tulisan yang demikian tidak membuat jatuh talak. Ibnu Qudamah mengatakan;

المغني (16/ 480)

إذَا كَتَبَ الطَّلَاقَ ، فَإِنْ نَوَاهُ طَلُقَتْ زَوْجَتُهُ وَبِهَذَا قَالَ الشَّعْبِيُّ ، وَالنَّخَعِيُّ ، وَالزُّهْرِيُّ ، وَالْحَكَمُ ، وَأَبُو حَنِيفَةَ ، وَمَالِكٌ وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَنْ الشَّافِعِيِّ

Jika suami menulis talak, jika dia meniatkan talak tersebut maka istrinya tertalak. Ini adalah pendapat Asy-Sya’by, An-Nakho’iy, Az-Zuhry, Al-Hakam, Abu Hanifah, Malik, dan statemen yang dikutip dari Asy-Syafi’I (Al-Mughni, vol. 16 hlm 480)

Ulama empat madzhab sepakat bahwa kalimat talak yang sharih (disampaikan secara tegas), statusnya sah tanpa melihat niat suami yang mengucapkannya, sebagaimana keterangan Ibnu Qudamah.

Ibnul Mundzir menegaskan,

أجمع كل من أحفظ عنه من أهل العلم على أن جد الطلاق وهزله سواء

Ulama yang saya ketahui sepakat bahwa serius dan tidak serius dalam talak, statusnya sama (al-Ijma’, hlm. 24).

Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmuk 17/349 menyatakan

إذا كتب طلاق امرأته بلفظ صريح ولم ينو لم يقع الطلاق، لأن الكتابة تحتمل ايقاع الطلاق وتحتمل امتحان الخط، فلم يقع الطلاق بمجردها، وإن نوى بها الطلاق ففيه قولان، قال في الإملاء: لا يقع به الطلاق لأنه فعل ممن يقدر على القول فلم يقع به الطلاق كالإشارة، وقال في الأم هو طلاق وهو الصحيح

Artinya: Apabila suami menulis kata talak pada istrinya dengan lafadz yang sharih (eksplisit) tapi tidak berniat talak maka perceraian tidak terjadi. Karena tulisan itu ada kemungkinan untuk bercerai dan hanya berlatih menulis, maka talak tidak terjadi hanya karena tulisan saja. Apabila niat talak, maka ada dua pendapat. Pendapat yang sahih adalah terjadi talak seperti dinyatakan Imam Syafi'i dalam kitab Al-Umm.

Sebagaimana Imam Nawawi mengatakan :

الإشارة والكتب يدلان على الطلاق

Isyarat dan tulisan menunjukan akan terjadinya talak
Raudoh 8/40

Sedangkan talak dengan siyarat menurut qaul yg sohih hanya sah jika suami tersebut cadel, sedangkan orang yang mampu berbicara, talak dengan isyarat menurut qaul sohih tidak sah

القادر على النطق إشارته بالطلاق ليست صريحة وإن أفهم بها كل أحد ، وليست كناية أيضا على الأصح

Raudoh 8/41
Adapun tentang suami yang menceraikan atau mentalak istrinya lewat sms atau surat atau tulisan lainya.

Didalam kitab Raudoh dijelaskan rincianya sebagai berikut :
Apabila ia mentalak istrinya lewat sms, surat ataupun tulisan lainya, maka :
1. Apabila ia membaca apa yg ditulisnya, dan juga melapalkanya baik ketika atau setelah menulis, maka jatuh talaknya
2. Jika ia tidak melapalkan apa yang ia tulis, maka :
- apabila ia ketika atau setelah menulis dan membaca tidak niat talak, maka tdk jatuh talaknya.
- apabila ia ketika atau setelah menulis dan membaca niat talak, maka ada beberapa pendapat, pandangan, dan jalan :
# yg paling dzohir mutlak terjadi talak
# pendapat yg kedua, tdk terjadi talak
# yg ketiga, apabila istri tdk ditempat suami berada, maka jatuh talaknya, namun jika ada ditempat maka tidak.

Dan perbedaan pendapt ini, berlaku juga dalam setiap mu'amalah yang tdk membutuhkan qobul dari lawan bicara, seperti i'tikaf, membebaskan, memafkan dari qisos, dan yang lainya, tanpa adanya perbedaan

إذا كتب القادر بطلاق زوجته نظر إن قرأ ما كتبه وتلفظ به في حال الكتابة أو بعدها طلقت وإن لم يتلفظ نظر إن لم ينو إيقاع الطلاقلم تطلق على الصحيح وقيل : تطلق وتكون الكتابة صريحا وليس بشيء . وإن نوى ففيه أقوال وأوجه وطرق مختصرها ثلاثة أقوال . أظهرها : تطلق مطلقا والثاني : لا والثالث : تطلق إن كانت غائبة عن المجلس وإلا فلا . وهذا الخلاف جار في سائر التصرفات التي لا تفتقر إلى قبول كالإعتاق والإبراء والعفو عن القصاص وغيرها بلا فرق

Raudoh Atthoolibin 8/41

Dalam kitab I'anah juga dijelaskan :

لو كتب صريح طلاق أو كنايته ولم ينو ايقاع الطلاق فلغو مالم يتلفظ حالالكتابة و بعدها بصريح ما كتبه

Apabila suami menulis talak sorih, atau talak kinayah, namun tdk niat menjatuhkan talak, maka sia-sia jika tidak dilapalkan ketika saat ia menulis atau setelahnya, dengan ucapan jelas sesuai apa yg ditulisnya

ان التلفظ بالمكتوب من غير نية يقع به الطلاق اذا كان صريحا فان كان كناية فلا بد مع التلفظ به من النية

Apabila ia melaplkan apa yg ditulisnya tanpa disertai niat, tetap jatuh talaknya, apabila tulisan talaknya sorih, apabila tulisanya kinayah, maka harus disertai niat ketika ia melapalkanya
I'anah 4/16

Talak Tidak Harus Dilakukan di Hadapan Istri

Ini berdasarkan hadis dari Fatimah bintu Qois, ketika beliau dicerai oleh suaminya Abu Amr bin Hafs. Fatimah menceritakan,

أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ , وَهُوَ غَائِبٌ، فَأَرْسَلَ إلَيْهَا وَكِيلَهُ بِشَعِيرٍ

Bahwa Abu Amr bin Hafs menceraikan Fathimah dengan talak 3, ketika Abu Amr tidak ada bersamanya. Kemudian Abu Amr mengutus seseorang untuk memberikan gandum ke Fathimah.. (HR. Bukhari dan Muslim).

SMS dihukumi sebagaimana layaknya surat. Sementara para ulama menegaskan bahwa tulisan semakna dengan ucapan. Mengingat satu kaidah baku,

الكتابة تنزل منزلة القول
“Tulisan statusnya sama dengan ucapan.”

Karena itulah para ulama sepakat bahwa talak dengan tulisan hukumnya sah. Sebagaimana dinyatakan dalam Ensiklopedi Fikih:

اتفق الفقهاء على وقوع الطلاق بالكتابة , لأن الكتابة حروف يفهم منها الطلاق, فأشبهت النطق; ولأن الكتابة تقوم مقام قول الكاتب , بدليل أن النبي صلى الله عليه وسلم كان مأمورا بتبليغ الرسالة , فبلغ بالقول مرة , وبالكتابة أخرى

Ulama sepakat, talak dengan tulisan hukumnya sah. Karena tulisan terdiri dari banyak huruf yang bisa dipahami maknanya sebagai talak. Sehingga nilainya sama dengan ucapan. Disamping itu, tulisan mewakili ucapan orang yang menulis. Dengan dalil, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk menyebarkan risalah. Dan itu terkadang beliau sampaikan dengan ucapan dan terkadang dengan tulisan surat (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 12:216).

Mengingat SMS statusnya sama dengan surat, maka talak melalui SMS dihukumi sama dengan talak melalui surat. Artinya statusnya sah, dan berlaku hukum talak. Syaikh Abdurrahman al-Barrak pernah ditanya tentang keabsahan talak melalui sms, jawaban beliau,

الحمد لله؛ نعم يقع، هذا الطلاق يقع. فإن رسالة الجوال وسيلة من وسائل إبلاغ الطلاق، والله أعلم.

Alhamdulillah, ya sah. Talak semacam ini sah. Karena SMS termasuk cara menyampaikan talak. Wallahu a’lam.

 

Hukum Senam Menurut Islam


Islam adalah agama sempurna dan menyeluruh, tidak pernah melupakan satu sisi saja dari kehidupan dan kebutuhan manusia. Islam tidak meridhai ketidak seimbangan bagi umatnya, memikirkan satu hal namun melalaikan yang lain. Memikirkan agama, dan melupakan dunia secara total. Memikirkan jiwa, dan melupakan tubuh. Itu bukan dari Islam.
Allah Ta’ala berfirman:
مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ

“Kamu sekali-kali tidak akan melihat pada ciptaan Allah Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.” (QS. Al Mulk: 3)

Termasuk tema ini, bahwa memperhatikan kesehatan tubuh dan perawatannya, baik bagi laki-laki dan wanita, adalah bagian dari keseimbangan Islam. Islam tidak menghendaki umatnya menjadi lemah dan inferior, baik lemah akal, jiwa, fisik, ekonomi, politik, dan militer.
Allah Ta’ala berfirman:

 وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ

Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (QS. Ali Imran (3): 146)

Dalam ayat lain:

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar. (QS. An Nisa’ (4): 9)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ

Dari Abu Hurairah, Dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Mu’min yang kuat adalah lebih baik dan lebih Allah cintai dibanding mu’min yang lemah, dalam segala kebaikannya.” (HR. Muslim No. 2664, Ibnu Majah No. 79, Ibnu Hibban No. 5721, An Nasa’i No. 623, 624. Ahmad No. 8791. Al Baihaqi dalam As Sunannya No. 19960, Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 6251)

Demikianlah, Islam sangat memperhatikan bahkan mengunggulkan kekuatan. Bahkan Imam Ahmad ketika diminta untuk memilih, mana yang lebih utama, calon pemimpin yang shalih tapi lemah atau yang kuat walau tidak shalih? Dia lebih memilih pemimpin yang kuat. Sebab kekuatan bagi seorang pemimpin bermanfaat bagi diri sendiri dan rakyatnya, sedangkan kemaksiatannya ditanggung oleh dirinya sendiri. Sebaliknya keshalihan pemimpin hanya bermanfaat bagi diri sendiri, namun kelemahannya justru membawa bahaya bagi keamanan rakyat dan negaranya.

Maka, apa saja yang bisa menghantarkan kepada kekuatan, seperti makanan yang sehat dan halal, berolahraga (senam), dan menghindari segala perusak kesehatan, adalah sesuatu yang masyru’ (disyariatkan) dalam Islam, baik muslim dan muslimah.‎

Menciptakan dan melakukan senam untuk kesehatan dengan berbagai macam dan variasinya, hukumnya Mubah baik dilakukan Muslim maupun Muslimah, ditempat yang bersifat privat maupun umum selama terikat dengan ketentuan-ketentuan Syara’ ketika menjalankannya.
Senam (Gymnastics/ Calisthenics), yang disebut dalam bahasa Arab dengan istilah Jumbaz (الْجُمْبَازُ) dalam kamus besar bahasa Indonesia didefinisikan secara sederhana dengan statemen berikut;

“se·nam = n gerak badan dengan gerakan tertentu, seperti menggeliat, menggerakkan, dan meregangkan anggota badan; gimnastik:“

Wikipedia, mendefinisikan senam dengan pernyataan berikut;

“Gymnastics is a sport involving the performance of exercises requiring physical strength, flexibility, agility, coordination, and balance“

Dari definisi di atas dan juga praktek senam di lapangan, bisa difahami bahwa esensi senam sebenarnya adalah kreasi gerakan-gerakan tubuh yang teratur untuk mencapai tujuan tertentu. Umumnya orang melakukan senam untuk meraih target-target kebugaran, kesehatan, atau penyembuhan. Pada perkembangannya, senam juga dilakukan sekedar utuk membentuk tubuh yang indah, hiburan, pertunjukan, kesenangan, dsb. Namun semuanya secara alami tidak lepas dari aktivitas mengolah tubuh yang juga memberikan efek dalam kesehatan. Wikipedia menegaskan bahwa senam adalah jenis Sport (olah raga), karena senam memang tidak mungkin lepas dari  aktivitas mengolah tubuh secara fisik.

Jika senam dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang lebih sehat, lebih bugar, tidak mudah sakit, tahan terhadap perubahan cuaca yang ekstrim, mengobati jenis-jenis penyakit tertentu, dan target-target yang semakna dengan ini, maka senam hukumnya Mubah karena senam tidak lebih hanyalah salah satu uslub (tehnik) diantara sekian cara untuk melaksanakan perintah Syara’ agar memiliki tubuh yang kuat. Meskipun Islam tidak mencela penganutnya  yang  bertubuh lemah, namun Islam menganjurkan agar seorang mukmin memiliki tubuh yang kuat. Imam Muslim meriwayatkan;
صحيح مسلم (13/ 142

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ

Dari Abu Hurairah dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta ‘ala daripada orang mukmin yang lemah. (tapi) Pada masing-masing memang terdapat kebaikan. Bersemangatlah memperolah apa yang berguna bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla dan janganlah kamu menjadi orang yang lemah (H.R.Muslim)

Dalam salah satu doa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam, beliau berlindung dari kelemahan. Imam An-Nasa-i meriwayatkan;
سنن النسائي بشرح السيوطي وحاشية السندي (8/ 680)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ

كَانَ إِذَا قِيلَ لِزَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ حَدِّثْنَا مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا أُحَدِّثُكُمْ إِلَّا مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا بِهِ وَيَأْمُرُنَا أَنْ نَقُولَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ

Dari Abdullah Ibnul Harits ia berkata; Jika dikatakan kepada Zaid bin Arqam; “Ceritakanlah kepada kami hadits yang engkau dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam!.” Maka ia berkata; “Aku tidak akan menceritakan kepada kalian kecuali sesuatu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ceritakan dan beliau memerintahkan kepada kami (untuk mengucapkan): Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan…(H.R.An-Nasai)

Kelemahan dalam hadis di atas bersifat umum, mencakup kelemahan secara fisik juga.

Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam juga menegaskan bahwa tubuh punya hak yang harus ditunaikan. Beliau melarang seseorang terus shalat malam tanpa tidur karena hal itu akan merusak kesehatan tubuh dan bermakna tidak memberikan hak tubuh. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (16/ 205)

حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَلَا تَفْعَلْ صُمْ وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Amru bin Ash ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai Abdullah, bukankah telah diberitakan bahwa kamu berpuasa sepanjang hari dan qiyamullail semalan suntuk?” aku menjawab, “Benar wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Janganlah kamu melakukan hal itu. Berpuasalah dan juga berbukalah. Tunaikanlah qiyamullail namun sisihkan pula waktu untuk tidur. Sebab bagi jasadmu juga punya hak atas dirimu, kedua matamu juga punya hak atasmu dan bagi isterimu juga punya hak atas dirimu.” (H.R.Bukhari)

Di dalam Al-Quran sendiri Allah memuji sifat-sifat hambaNya yang Shalih yang tidak lemah. Mereka adalah para pengikut Nabi dan yang berjuang bersama Nabi. Allah berfirman;

{وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِوَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ} [آل عمران: 146]‎

Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang Tabah. (Ali Imran; 146)

Allah juga mengingatkan orang-orang beriman agar tidak meninggalkan keturunannya dalam keadaan lemah. Allah berfirman;

{وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ} [النساء: 9]

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah (An-Nisa;9)

Terkait Jihad melawan musuh-musuh Islam,  secara khusus Allah memerintahkan kaum Muslimin agar menyiapkan kekuatan yang menggentarkan mereka. Allah berfirman;

{وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ } [الأنفال: 60]

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi  (Al-Anfal; 60)

Kesehatan sendiri adalah salah satu nikmat Allah yang besar. Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam pernah merekomendasikan kepada orang yang sakit agar meminta ‘Afiyah. Kesehatan adalah diantara makna ‘Afiyah yang utama. At-Tirmidzi meriwayatkan;
سنن الترمذى (11/ 392)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَادَ رَجُلًا قَدْ جُهِدَ حَتَّى صَارَ مِثْلَ الْفَرْخِ فَقَالَ لَهُ أَمَا كُنْتَ تَدْعُو أَمَا كُنْتَ تَسْأَلُ رَبَّكَ الْعَافِيَةَ قَالَ كُنْتُ أَقُولُ اللَّهُمَّ مَا كُنْتَ مُعَاقِبِي بِهِ فِي الْآخِرَةِ فَعَجِّلْهُ لِي فِي الدُّنْيَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّكَ لَا تُطِيقُهُ أَوْ لَا تَسْتَطِيعُهُ أَفَلَا كُنْتَ تَقُولُ اللَّهُمَّ آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Dari Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguk seseorang sangat menderita hingga menjadi seperti anak ayam kemudian beliau berkata kepadanya: “Tidakkah engkau pernah berdoa? Tidakkah engkau pernah memohon ‘Afiyah?” Orang tersebut berkata; dahulu saya pernah berkata; ya Allah, apa yang hendak Engkau hukum aku dengannya di akhirat maka segerakanlah untukku di dunia! Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Subhanallah, sesungguhnya engkau tidak akan mampu untuk menanggungnya, tidakkah engkau berdoa; ALLAAHUMMA AATINAA FID DUNYAA HASANAH WA FIL AAKHIRATI HASANAH, WA QINAA ‘ADZAABANNAAR (Ya Allah, berilah aku di dunia kebaikan, dan di akhirat kebaikan serta lindungilah aku dari adzab Neraka) (H.R.At-Tirmidzi)

Oleh karena itu, menjaga kesehatan tubuh dan mengusahakannya menjadi kuat adalah bagian dari memenuhi hak tubuh yang merupakan perintah Syara’. Senam adalah salah satu uslub (tehnik) untuk mencapainya. Dari sisi ini, senam hukumnya Mubah karena seluruh uslub hukumnya Mubah. Kreasi apapun dari gerakan senam, selama merealisasikan tujuan menyehatkan tubuh dan menguatkannya dan tidak bertentangan dengan hukum syara juga diizinkan.

Berdasarkan hal ini, macam-macam senam sebagaimana yang dirumuskan oleh FIG (Federation Internationale de Gymnastique) seperti senam artistik, senam aerobik, senam ritmik/irama,  senam akrobatik, senam trampolin, dan senam umum semuanya hukumnya Mubah dari segi senam itu sendiri selama maksud dilakukannya senam adalah untuk memperoleh tujuan sehat dan kuat yang diperintahkan Syara’.

Demikan pula variasi-variasi senam yang dikenal dimasyarakat yang telah diketahui memang dilakukan untuk mencapai kebugaran, kesehatan, dan kekuatan tubuh seperti senam pramuka, senam pilates, senam tauhid, senam kesegaran jasmani, senam ketangkasan, senam lansia, senam lantai, senam rematik, senam pernafasan, senam keselamatan, senam jantung sehat, senam hamil, senam air, senam nifas,  senam kegel, senam otak, senam mata, senam jari, senam wajah, senam pantat, senam bayi, dan sebagainya. semuanya juga dihukumi Mubah dari segi senam itu sendiri selama maksud dilakukannya senam adalah untuk memperoleh tujuan sehat dan kuat yang diperintahkan Syara’.

Adapun senam Yoga yang terkait dengan  konsep spiritual untuk mencapai target-target spiritual tertentu, bukan semata-mata mengolah tubuh untuk kesehatan, maka  senam jenis ini terlarang, karena sudah menjadi bagian dari sistem ibadah dan kepercayaan di luar Islam yang tidak boleh diikuti kaum Muslimin. Hukum ini juga berlaku bagi semua jenis senam yang terkait dengan aqidah, kepercayaan, dan upacara Kufur seperti jenis senam yang konon secara khusus diciptakan untuk upacara penyembahan kepada Dewa Zeus. Ikut senam-senam jenis ini haram dan tanda kekufuran dari Dienul islam.

Untuk senam yang diiringi musik, maka perlu dirinci. Jika musik yang mengiringi adalah musik yang bertentangan dengan syariat, seperti musik yang mengiringi senam poco-poco mengingat  isinya yang merayu wanita, maka senam seperti ini terlarang. Bukan dari gerakan senam itu sendiri, tetapi dari musik yang mengiringinya. Jika musik yang mengiringi selamat dari larangan syariat, misalnya hanya sekedar suara instrumen yang membimbing irama senam, maka  hal itu dikaitkan dengan Tabanni hukum musik yang diambil Mukallaf. Jika dia berpendapat musik haram secara mutlak, maka senam yang demikian juga haram, tetapi jika dia berpendapat bahwa musik yang tidak menabrak syaariat hukumnya Mubah, maka senam yang demikian juga Mubah hukumnya.

Kemubahan senam berlaku bagi Muslim maupun Muslimah, karena  perintah memenuhi hak tubuh dan menjadi kuat bersifat umum tanpa membedakan lelaki maupun wanita, sehingga kebolehan Uslub melaksanakan perintah tersebut juga berlaku bagi Muslim dan Muslimah. Lagipula, ada riwayat yang menunjukkan bahwa Aisyah diajak lomba lari oleh Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam. Berlari termasuk olah raga. Izin Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam, bahkan ajakan beliau kepada  Aisyah menunjukkan oleh raga hukumnya Mubah. Dengan demikian, senam juga Mubah bagi wanita sebagaimana Mubah bagi lelaki.

Senam boleh dilakukan di tempat privat maupun ditempat umum karena tidak ada Nash yang menunjukkan pembatasan di tempat tertentu. Hanya saja, jika yang melakukan senam ditempat umum adalah wanita, maka wanita wajib menjaga kehormatannya dengan mengusahakan agar tidak dilihat kecuali oleh orang yang halal baginya. Wanita tidak sama dengan laki-laki. Dalam pandangan islam, wanita adalah kehormatan yang wajib dijaga. Pada saat Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam mengajak Aisyah berlomba lari, beliau memerintahkan para shahabatnya agar berjalan  mendahului. Hal ini bermakna, Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam tidak ingin lomba lari yang beliau lakukan dengan Aisyah dilihat para lelaki yang lain. Ahmad meriwayatkan;
مسند أحمد (40/ 145)

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ أَخْبَرَتْنِي عَائِشَةُ أَنَّهَا كَانَتْ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ وَهِيَ جَارِيَةٌ فَقَالَ لِأَصْحَابِهِ تَقَدَّمُوا فَتَقَدَّمُوا ثُمَّ قَالَ لَهَا تَعَالَيْ أُسَابِقْكِ

Dari Abi Salamah bin Abdur Rahman ia berkata: Aisyah telah mengabarkan kepadaku bahwa dia pernah bersama Nabi dalam sebuah perjalanan, sedang ketika itu (Aisyah) adalah seorang gadis. Lalu beliau bersabda kepada para sahabatnya: “Majulah kalian.” Mereka lalu bergegas maju. Kemudian Rasulullah bersabda kepada Aisyah: “Kesinilah, saya mengajakmu berlomba lari. (H.R.Ahmad)‎

Nabi mengancam dengan neraka wanita yang sengaja mempertontonkan keindahan tubuhnya di depan lelaki dengan cara berlenggak-lenggok, menggoyang-goyang tubuh memicu hasrat, berpakaian merangsang dan semisalnya. Imam Muslim meriwayatkan;
صحيح مسلم (11/ 59)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat; kaum membawa cambuk seperti ekor sapi, dengannya ia memukuli orang dan wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, mereka berlenggak-lenggok dan miring, rambut mereka seperti punuk unta yang miring, mereka tidak masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan sejauh ini dan ini.” (HR. Muslim No. 2128. Ahmad No. 8665. Ibnu Hibban No. 7461, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No.5357, Al Baghawi No. 2578, Abu Ya’la No. 6690)

Ancaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini adalah haq (benar) dan tidak main-main. Maka, bagi para muslimah yang pernah melakukannya, bahkan justru menikmati dan memerintahkannya, maka hendaknya memperbaiki keadaan dirinya dan bertobat kepada Allah Ta’ala, menyesali perbuatan tersebut, membencinya, dan berjanji untuk tidak mengulanginya.
Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

 وَالْإِخْبَارُ بِأَنَّ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَأَنَّهُ لَا يَجِدُ رِيحَ الْجَنَّةِ مَعَ أَنَّ رِيحَهَا يُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ وَعِيدٌ شَدِيدٌ يَدُلُّ عَلَى تَحْرِيمِ مَا اشْتَمَلَ عَلَيْهِ الْحَدِيثُ مِنْ صِفَاتِ هَذَيْنِ الصِّنْفَيْنِ

“Dan keterangan ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan hal tersebut termasuk golongan ahli neraka, bahkan tidak mendapatkan aroma surga, padahal aroma surga dapat dicium sejak lima ratus tahun perjalanan, itu merupakan ancaman keras yang menunjukkan haramnya perbuatan yang terkandung dalam hadits tersebut yang merupakan sifat-sifat dua kelompok tersebut.” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/117, Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Maka jika senam tersebut dilakukan dalam ruangan tertutup yang terjamin dari pandangan mata laki-laki asing, jelaslah kebolehannya. Namun, jika dilakukan di tempat terbuka, di mana laki-laki bisa melihatnya dengan bebas, maka tidak ragu lagi, perbuatan tersebut termasuk keumuman hadits di atas, sebagai perbuatan tercela, dengan ancaman yang sangat keras dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Siapa pun manusia, apapun jabatannya, setinggi apapun kedudukannya, tidaklah pantas menentang ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya. Ada pun bagi para kader, dia harus berpikir kritis, tidak taklid buta, tanpa didasari oleh ilmu. Hendaknya menanyakan berbagai masalah dan aktivitasnya kepada para asatidz, dan tidak jalan sendiri.
Senam secara otomatis akan menggerak-gerakkan anggota tubuh dan menggoyang-goyangkannya. Jika hal ini dilakukan di depan lelaki yang tidak halal melihatnya, maka hal tersebut lebih dekat pada ciri wanita celaka yang disebutkan dalam hadis di atas.

Meskipun senam Mubah bagi Muslim maupun Muslimah, namun dalam pelaksanaan mereka tetap terikat ketentuan-ketentuan  syara yang lain. Tidak boleh ada pelanggaran dalam ketentuan-ketentuan tersebut. Jika dilanggar,maka senam menjadi haram. Batas-batas yang harus ditaati tersebut misalnya keharusan menutup aurot jika ditempat umum, tidak ada unsur melalaikan kewajiban, tidak ada unsur judi, tidak ada unsur menyakiti hewan, tidak membahayakan tubuh dengan pasti, tidak menimbulkan ashobiyyah Jahiliyyah , tidak menimbulkan  loyalitas kepada orang kafir, dan lain-lain.

Atas dasar ini senam kesehatan hukumnya Mubah bagi kaum Muslimin maupun Muslimat, di tempat khusus maupun di tempat umum  selama dalm pelaksanaannya terikat dengan seluruh ketentuan ‎Syariat Islam baik terkait pengaturan interaksi lelaki-wanita maupun yang lainnya. ‎‎

Wallahua’alam ‎

 

Hukum Berkabung Bagi Muslimah


Manakala musibah ini menimpa, banyak orang mengungkapkan perasaan berkabungnya dengan berbagai cara. Di antaranya, ada yang berkabung dengan menaikkan bendera setengah tiang karena wafatnya seorang pemimpin atau tokoh besar. Atau kaum laki-laki berkabung atas kematian salah seorang keluarga atau kerabatnya. Ada yang mengungkapkannya dengan mengenakan pakaian serba hitam sebagai simbol duka. Bagaimanakah dengan Islam?

Islam telah menetapkan, bahwa berkabung hanyalah untuk wanita jika suaminya atau salah satu keluarganya meninggal dunia, dengan cara-cara yang telah ditetapkan syari’at. 

MAKNA BERKABUNG DALAM ISLAM

Berkabung, dalam bahasa Arabnya adalah al hadaad ( الْحَدَادُ ). Maknanya, tidak mengenakan perhiasan baik berupa pakaian yang menarik, minyak wangi atau lainnya yang dapat menarik orang lain untuk menikahinya. Pendapat lain menyatakan, al hadaad adalah sikap wanita yang tidak mengenakan segala sesuatu yang dapat menarik orang lain untuk menikahinya seperti minyak wangi, celak mata dan pakaian yang menarik dan tidak keluar rumah tanpa keperluan mendesak, setelah kematian suaminya.

JENIS BERKABUNG

Al hadaad, terbagi menjadi dua. Pertama, berkabung dari kematian suami selama empat bulan sepuluh hari. Kedua, berkabung dari kematian salah satu anggota keluarganya, selain suami selama tiga hari.

Pembagian ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salllam : 

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجِهَا رواه مسلم

"Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung atas kematian melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya" 

Dan dalam riwayat Bukhari terdapat tambahan lafazh :

فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

"Maka ia berkabung atas hal tersebut selama empat bulan sepuluh hari"


HUKUM BERKABUNG ATAS KEMATIAN SUAMI

Ulama ahlu sunnah sepakat, kecuali Al Hasan Al Bashri, Al Hakam bin Utaibah dan Asy Sya’bi, menyatakan bahwa hukum berkabung dari kematian suami selama empat bulan sepuluh hari adalah wajib.

Wanita muslimah yang ditinggal wafat suaminya wajib melakuakan tiga hal; pertama: Menjalani masa Iddah  yaitu masa menunggu dalam waktu tertentu sebelum boleh menikah lagi, kedua; Menjalani Ihdad yaitu masa berkabung dengan cara tidak berhias selama masa Iddah, ketiga; Tinggal di rumah peninggalan suami selama masa Iddah.

Untuk kewajiban yang pertama, yaitu menjalani masa Iddah, maka hal tersebut dilakukan selama empat bulan ditambah sepuluh hari terhitung semenjak tanggal wafatnya suami. Dalilnya adalah Firman Allah;

{وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ } [البقرة: 234]

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’Iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘Iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut (Al-Baqoroh; 234)

Ayat di atas cukup jelas menjelaskan bahwa wanita yang ditinggal wafat suaminya wajib menunggu selama empat bulan lebih sepuluh hari, artinya menjalani masa Iddah selama masa tersebut. Selama masa Iddah ini wanita haram dilamar secara terang-terangan, diberi janji untuk dinikahi, apalagi menjalankan Akad nikah. Allah berfirman;

{وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا} [البقرة: 235]

Tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma’ruf.(Al-Baqoroh;235)

Dalam ayat di atas, Allah mengizinkan mengkhitbah/melamar wanita yang sedang di masa Iddah karena ditinggal wafat suaminya secara sindiran. Mafhumnya (makna implisitnya), melamar secara terang-terangan hukumnya haram. Memberi janji untuk menikahi juga dilarang secara tegas dalam ayat ini. Oleh karena itu, ayat ini menunjukkan wanita yang sedang dalam masa Iddah karena ditinggal wafat suaminya haram dipinang terang-terangan, diberi janji dinikahi, apalagi melangsungkan Akad Nikah. Semua Akad Khitbah dan Akad nikah yang dilakukan dalam masa Iddah adalah Akad fasid (rusak) yang harus difasakh (dibatalkan).

Jika wanita yang ditinggal wafat itu hamil, maka masa Iddahnya adalah sampai dia melahirkan. Allah berfirman;
{وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق: 4]

Perempuan-perempuan yang hamil, waktu Iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya (At-Tholaq;4)

Untuk kewajiban kedua, yakni kewajiban Ihdad maka yang dimaksud  Ihdad adalah  berkabung dengan cara menghindari semua hal yang terkategori aktifitas berhias. Hal itu dikarenakan makna Ihdad secara bahasa adalah Al-Man’u (hal mencegah), maksudnya mencegah diri dari semua perhiasan. An Nawawi berkata dalam kitabnya “Tahriru Alfadhi At-Tanbih”

تحرير ألفاظ التنبيه (ص: 285)

الإحداد من الحد وهو المنع لأنها تمنع الزينة

“Ihdad berasal dari kata Haddun maknanya mencegah/menghalangi karena wanita yang berIhdad mencegah (dirinya) untuk berhias” (Tahriru Alfadhi At-Tanbih, hlm;285)

Hukum menjalani Ihdad bagi wanita yang ditinggal wafat suaminya adalah wajib, sementara jika yang wafat selain suami, Ihdad hukumnya mubah saja tidak sampai wajib. Ihdad bagi wanita yang ditinggal wafat suami dilakukan selama waktu Iddah yaitu selama empat bulan ditambah sepuluh hari, sementara jika yang wafat selain suami Ihdad maksimal dilakukan selama tiga hari.

Dalil yang menunjukkan Ihdad bagi wanita yang ditinggal suami hukumnya wajib adalah hadis berikut;

صحيح البخاري (16/ 406)

قَالَتْ زَيْنَبُ وَسَمِعْتُ أُمَّ سَلَمَةَ

تَقُولُ جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا وَقَدْ اشْتَكَتْ عَيْنَهَا أَفَتَكْحُلُهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا كُلَّ ذَلِكَ يَقُولُ لَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ وَقَدْ كَانَتْ إِحْدَاكُنَّ فِي الْجَاهِلِيَّةِ تَرْمِي بِالْبَعْرَةِ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ

قَالَ حُمَيْدٌ فَقُلْتُ لِزَيْنَبَ وَمَا تَرْمِي بِالْبَعْرَةِ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ فَقَالَتْ زَيْنَبُ كَانَتْ الْمَرْأَةُ إِذَا تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا دَخَلَتْ حِفْشًا وَلَبِسَتْ شَرَّ ثِيَابِهَا وَلَمْ تَمَسَّ طِيبًا حَتَّى تَمُرَّ بِهَا سَنَةٌ ثُمَّ تُؤْتَى بِدَابَّةٍ حِمَارٍ أَوْ شَاةٍ أَوْ طَائِرٍ فَتَفْتَضُّ بِهِ فَقَلَّمَا تَفْتَضُّ بِشَيْءٍ إِلَّا مَاتَ ثُمَّ تَخْرُجُ فَتُعْطَى بَعَرَةً فَتَرْمِي ثُمَّ تُرَاجِعُ بَعْدُ مَا شَاءَتْ مِنْ طِيبٍ أَوْ غَيْرِهِ سُئِلَ مَالِكٌ مَا تَفْتَضُّ بِهِ قَالَ تَمْسَحُ بِهِ جِلْدَهَا

Zainab berkata; Aku mendengar Ummu Salamah berkata; Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sementara ia mengeluhkan matanya.  Bolehkah ia bercelak?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Tidak.” Beliau mengulanginya dua atau tiga kali. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Masa berkabungnya hanyalah empat bulan sepuluh hari (kenapa tidak sanggup bersabar?). Sesungguhnya pada masa jahiliyah dulu, salah seorang dari kalian melempar kotoran setelah satu tahun.” Humaid berkata; Aku bertanya kepada Zainab, “Apa maksud dari pernyataan bahwa, ia melempar kotoran setelah setahun?” Zainab menjawab, “Maksudnya, bila seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya, ia masuk ke dalam gubuk, dan memakai pakaian yang paling lusuh miliknya. Ia tidak boleh menyentuh wewangian hingga berlalu satu tahun. Kemudian keledai, kambing atau sebangsa burung didatangkan kepada wanita itu agar ia Tanfadldlu bihi. Dan amat jarang ia mengusap suatu pun kecuali sesuatu itu akan mati. Setelah itu, ia keluar lalu diberi kotoran hewan dan ia lemparkan, setelah itu ia bebas menyentuh kembali sekehendaknya berupa wewangian atau pun yang lainnya.” Malik ditanya, “Apa makna Tanfadldlu bihi?” Ia menjawab, “Yaitu, mengusap kulitnya dengannya.” (H.R.Bukhari)

Bersikukuhnya Nabi melarang wanita yang ditinggal wafat suaminya untuk memakai celak padahal alasan wanita tersebut bukan untuk berhias tetapi sekedar meringankan sakit pada matanya menunjukkan bahwa Ihdad hukumnya wajib. Seandainya tidak wajib seharusnya Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam mengizinkan wanita itu untuk memakai celak.

Adapun dalil bahwa Ihdad karena wafatnya kerabat (yang bukan suami)  hukumnya Mubah saja tidak sampai wajib adalah hadis berikut;

صحيح البخاري (16/ 404)

عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ هَذِهِ الْأَحَادِيثَ الثَّلَاثَةَ قَالَتْ زَيْنَبُ دَخَلْتُ عَلَى أُمِّ حَبِيبَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

حِينَ تُوُفِّيَ أَبُوهَا أَبُو سُفْيَانَ بْنُ حَرْبٍ فَدَعَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ بِطِيبٍ فِيهِ صُفْرَةٌ خَلُوقٌ أَوْ غَيْرُهُ فَدَهَنَتْ مِنْهُ جَارِيَةً ثُمَّ مَسَّتْ بِعَارِضَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ وَاللَّهِ مَا لِي بِالطِّيبِ مِنْ حَاجَةٍ غَيْرَ أَنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

dari Zainab binti Abu Salamah bahwa ia telah mengabarkan tiga hadits ini kepadanya. Zainab berkata; Aku menemui Ummu Habibah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat bapaknya, Abu Sufyan bin Harb, wafat. Lalu Ummu Habibah meminta wewangian yang di dalamnya terdapat minyak wangi kuning yang sudah usang. Kemudian dari wewangian itu, ia meminyaki seorang budak wanita lalu memegang kedua belah pipinya seraya berkata, “Demi Allah, aku tidak berhajat sedikitpun terhadap wewangian, hanya saja aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, untuk berkabung lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.'” (H.R.Bukhari)

Izin Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam kepada wanita untuk melakukan Ihdad karena wafatnya kerabat selain suami dengan lama maksimal tiga hari menunjukkan Ihdad tersebut bukan kewajiban. Seandainya Ihdad wajib seharusnya ada lafadz yang menunjukkan perintah Ihdad atau Qorinah lain yang bisa difahami perintah wajib. Pengecualian dari sesuatu yang dilarang hukum asalnya bermakna Mubah kecuali ada qorinah lain yang menujukkan makna lain. Dalam hadis ini, Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam mengecualikan dua hal dari keharaman Ihdad, pertama; wanita yang ditinggal wafat kerabat dan berIhdad selama tiga hari, kedua; wanita yang ditinggal wafat suami dan berIhdadempat bulan sepuluh hari. Pemaknaan asalnya, karena dua macam wanita ini keduanya dikecualikan dari sebuah pengharaman,  berarti Ihdad mereka hukumnya mubah saja. Namun terkait Ihdad wanita yang ditinggal wafat suami ada Nash lain yang menunjukkan Ihdad itu bukan sekedar mubah, tetapi wajib. Oleh karena itu bisa disimpulkan berdasarkan hadis ini, Ihdad wanita yang ditinggal wafat kerabat hukumnya mubah, sementara Ihdad wanita yang ditinggal wafat suami hukumnya wajib karena ada qorinah kewajiban dari hadis yang lain.

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجِهَا رواه مسلم

"Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung atas kematian melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya.

Adapun dalil durasi Ihdad wanita yang ditinggal wafat suami yaitu empat bulan ditambah sepuluh hari, maka dalilnya adalah hadis Ummu Habibah di atas, yaitu lafadz;

إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

kecuali karena kematian suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari

Lafadz ini cukup lugas menjelaskan masa durasiIddah wanita yang ditinggal wafat suami, yaitu empat bulan ditambah sepuluh hari. Perbedaan lafadz dalam hadis ini dengan lafadz yang ada dalam Al-Qur’an; Lafadz empat bulan sepuluh hari dalam Al-Quran mengatur batasan waktu masa Iddah, sementara lafadz dalam hadis mengatur batasan waktu masaIhdad. Hadis ini sekaligus memberi petunjuk bahwa masa Iddah empat bulan ditambah sepuluh hari bagi wanita yang ditinggal wafat suami itu bermakna sekaligus menjadi batasan waktu masa Ihdad.

Untuk batasan berhias yang dilarang selama masaIddah, prinsipnya secara umum adalah semua hal yang biasa digunakan untuk berhias bagi wanita yang memicu hasrat lelaki. Hal-hal yang menjadi perhiasan dalam satu negeri bisa berbeda dengan negeri yang lain. Kebiasaan tersebut diikuti selama merealisasikan sifat perhiasan, yaitu membuat wanita menjadi lebih cantik dan menarik yang memicu hasrat lelaki secara alami. Diantara berhias yang dilarang syariat ketika wanita dalam masa Ihdad adalah;

1.Memakai pakaian menarik. Misalnya sutra, warna merah menyala atau warna-warna lain yang diketahui secara kebiasaan mempercantik dan membuat wanita kelihatan lebih menarik. Namun tidak ada keharusan memakai warna hitam atau warna gelap bagi wanita yang berIhdad. Warna apapun asalkan tidak menarik hukumnya mubah dipakai

2.Memakai perhiasan. Misalnya gelang, cincin dan sebagainya dari apapun bahannya baik emas,perak, permata,  intan,dsb . Namun perhiasan-perhiasan yang tersembunyi, seperti kalung, anting-anting, dan semisalnya boleh dipakai. Jam tangan juga boleh dipakai jika memang diperlukan untuk mengontrol waktu

3.Mewarnai tubuh. Misalnya memakai Hinna’/pacar pada jari, melukis tangan dengan pacar dll.

4.Merias wajah misalnya memakai celak, lipstik (meski tipis-tipis), bedak,perona pipi, dan sebagainya

Dalil larangan empat hal ini adalah hadis berikut;

سنن أبى داود – م (2/ 261)

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا لاَ تَلْبَسُ الْمُعَصْفَرَ مِنَ الثِّيَابِ وَلاَ الْمُمَشَّقَةَ وَلاَ الْحُلِىَّ وَلاَ تَخْتَضِبُ وَلاَ تَكْتَحِلُ ».

Dari Ummu Salamah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau berkata: “Seorang wanita yang ditinggal mati suaminya tidak boleh memakai pakaian yang diwarnai dengan warna kuning kemerahan, pakaian yang diberi parfum merah, perhiasan, serta tidak tidak boleh memakai pewarna dan celak.”(H.R.Abu Dawud)

صحيح البخاري (16/ 413)

 عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ

قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا لَا تَكْتَحِلُ وَلَا تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوغًا إِلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ

Dari Ummu ‘Athiyah ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepadaku: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung lebih dari tiga hari kecuali terhadap suaminya. Maka ia tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai pakaian yang berwarna (bercorak) kecuali pakaian buatan Yaman.”(H.R.Bukhari)

Larangan memakai pakaian yang dicelup dengan Ushfur (tumbuhan berwarna merah) dan pakaian yang dilumuri Misyq (parfum berwarna merah) menunjukkan wanita yang berIhdad tidak boleh memakai pakaian yang menarik. Larangan memakai perhiasan menunjukkan tidak boleh memakai perhiasan apapun secara mutlak. Larangan memakai pewarna menunjukkan larangan melukis tangan dan memakai pacar. Larangan memakai celak menunjukkan larangan merias wajah. Riwayat Bukhari menguatkan larangan yang tercantum dalam riwayat Abu Dawud.

5.Memakai parfum. Parfum apapun tidak boleh dipakai, kecuali sedikit sekedar menghilangkan bau sisa haid ketika wanita selesai berhaid dan hendak bersuci. Parfum tetap tidak diizinkan meski dengan alasan menghilangkan bau badan. Untuk menghilangkan bau badan hendaknya wanita cukup rajin mandi. Penggunaan Shampo dan sabun mandi yang mengandung bau wangi diizinkan karena Shampo dan sabun dibuat bukan untuk parfum, dan tidak bisa digolongkan ke dalam parfum. Demikian pula wanita yang berprofesi menjual parfum. Profesinya tetap bisa dilakukan karena parfum yang mengenainya terjadi secara tidak sengaja. Namun hendaknya sedapat mungkin dihindari dan dicuci bagian yang terkena parfum setelah selesai berjualan.

Dalil larangan memakai parfum adalah hadis berikut;
صحيح البخاري (16/ 413)

 عن أُمُّ عَطِيَّةَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا تَمَسَّ طِيبًا إِلَّا أَدْنَى طُهْرِهَا إِذَا طَهُرَتْ نُبْذَةً مِنْ قُسْطٍ وَأَظْفَارٍ

Ummu ‘Athiyyah ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang: “Dan janganlah ia memakai wewangian kecuali pada akhir masa sucinya. Dan jika ia telah suci, ia boleh memakai potongan kecil dari dahan yang dibuat kemenyan dan obat yang sering disebut qusth atau minyak wangi azhfar.”.(H.R.Bukhari)

Berhias yang dilarang disini hanyalah berhias pada tubuh wanita yang berkabung. Hiasan pada rumah, perabot, asesoris tidak termasuk di sini sehingga hukumnya mubah.

Adapun larangan-larangan seperti tidak boleh bersisir, menjahit, melihat bulan, keluar ke loteng rumah, melihat dan dilihat orang lain, berbicara dengan lelaki, memotong daging merah, keluar rumah karena suatu keperluan, menjawab telephon, melihat mayat suami, melihat foto almarhum suami, termasuk keyakinan seperti jika almarhum suami punya dua istri maka masa Iddah dibagi menjadi dua, jika ada dua istri sementara salah satu istri hamil lalu melahirkan anak lelaki maka anak lelaki itu menggugurkan masa Iddah istri yang tidak hamil…dst maka kami katakan, larangan-larangan dan keyakinan-kayakinan ini adalah sesuatu yang tidak berdasar. Karenanya,  aturan tersebut tidak boleh dituruti dan keyakinan-keyakinan tersebut tidak boleh dipercayai.

Untuk kewajiban yang ketiga, yaitu tinggal di rumah almarhum suami selama masa Iddah  maka yang dimaksud adalah rumah tempat pasangan suami istri tersebut tinggal saat suami masih hidup. Baik rumah tersebut milik suami sendiri maupun bukan dimiliki tetapi diperoleh dengan cara syar’I seperti mengontrak, Hibah Intifa’ (hibah pemanfaatan) dll. Dalil wajibnya tinggal di rumah almarhum suami adalah hadis berikut;

سنن أبى داود – م (2/ 259)

عَنْ سَعْدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ عَنْ عَمَّتِهِ زَيْنَبَ بِنْتِ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ أَنَّ الْفُرَيْعَةَ بِنْتَ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ – وَهِىَ أُخْتُ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ – أَخْبَرَتْهَا أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَسْأَلُهُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهَا فِى بَنِى خُدْرَةَ فَإِنَّ زَوْجَهَا خَرَجَ فِى طَلَبِ أَعْبُدٍ لَهُ أَبَقُوا حَتَّى إِذَا كَانُوا بِطَرَفِ الْقَدُّومِ لَحِقَهُمْ فَقَتَلُوهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِى فَإِنِّى لَمْ يَتْرُكْنِى فِى مَسْكَنٍ يَمْلِكُهُ وَلاَ نَفَقَةٍ. قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ ». قَالَتْ فَخَرَجْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِى الْحُجْرَةِ أَوْ فِى الْمَسْجِدِ دَعَانِى أَوْ أَمَرَ بِى فَدُعِيتُ لَهُ فَقَالَ « كَيْفَ قُلْتِ ». فَرَدَدْتُ عَلَيْهِ الْقِصَّةَ الَّتِى ذَكَرْتُ مِنْ شَأْنِ زَوْجِى قَالَتْ فَقَالَ « امْكُثِى فِى بَيْتِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ». قَالَتْ فَاعْتَدَدْتُ فِيهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا. قَالَتْ فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ أَرْسَلَ إِلَىَّ فَسَأَلَنِى عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرْتُهُ فَاتَّبَعَهُ وَقَضَى بِهِ.

Dari Sa’d bin Ishaq bin Ka’bin bin ‘Ajrah dari bibinya yaitu Zainab binti Ka’bin bin ‘Ajrah bahwa Al Furai’ah binti Malik bin Sinan yang merupakan saudari Abu Sa’id Al Kudri telah mengabarkan kepadanya bahwa ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta izin kepada beliau untuk kembali kepada keluarganya di antara Bani Khudrah, karena suaminya keluar mencari beberapa budaknya yang melarikan diri hingga setelah mereka berada di Tharaf Al Qadum ia bertemu dengan mereka lalu mereka membunuhnya. Aku meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk kembali kepada keluargaku, karena suamiku  tidak meninggalkanku tinggal di tempat tinggal yang ia miliki dan tidak memberikan nafkah. Ia berkata; kemudian aku keluar hingga setelah sampai di sebuah ruangan atau di masjid, beliau memanggilku dan memerintahkan agar aku datang. Kemudian aku beliau berkata: “Apa yang engkau katakan?” kemudian aku kembali menyebutkan kisah yang telah saya sebutkan, mengenai keadaan suamiku. Ia berkata; lalu beliau berkata: “Tinggallah di rumahmu hingga selesai masa ‘Iddahmu.” Ia berkata; kemudian aku ber’Iddah di tempat tersebut selama empat puluh bulan sepuluh hari. Ia berkata; kemudian tatkala Utsman mengirimkan surat kepadaku, ia bertanya mengenai hal tersebut, lalu aku khabarkan kepadanya, lalu ia mengikutinya dan memberikan keputusan dengannya. (H.R.Abu Dawud)

Perintah Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam kepada Furoi’ah agar tetap tinggal dirumah suami padahal rumah yang selama ini ditinggali bukan rumah milik almarhum suami menunjukkan tinggal dirumah suami selama masa Iddah hukumnya wajib bagi wanita yang ditinggal wafat suaminya. Namun, jika ada udzur untuk tinggal di rumah almarhum suami, seperti rumah terbakar, berbahaya bagi keamanan, masa kontrak habis, diminta keluar oleh ahli waris suami dan semisalnya, maka wanita tersebut boleh berpindah ke tempat tinggal manapun yang dikehendakinya. Namun rumah keluarganya yang paling afdhol.

Atas dasar ini, wanita yang ditinggal wafat suaminya wajib melakukan tiga hal; menjalani masa Iddah yaitu selama empat bulan ditambah sepuluh hari terhitung dari hari wafatnya suami, menjalani Ihdad yaitu tidak berhias selama masa Iddah, dan tinggal di rumah suami selama masa Iddah. Di masa Iddah tersebut, wanita tidak boleh dilamar/dipinang secara terang-terangan, diberi janji untuk dinikahi, apalagi melakukan Akad Nikah. 

Perkataan Ulama Dalam Hal Ini :

Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan: Kami tidak mengetahui perbedaan pendapat di antara para ulama tentang kewajiban Al hadaad (berkabung) atas wanita yang suaminya meninggal kecuali dari Al Hasan, beliau menyatakan tidak wajib. Namun pendapat ini adalah pendapat yang syadz (aneh, menyelisihi) pendapat para ulama dan menyelisihi sunnah sehingga pendapat tersebut tidak signifikan.

Ibnu Al Qayyim (wafat tahun 751H) berkata : Umat telah berijma’ tentang kewajiban Ahdaad bagi wanita yag ditinggal mati suaminya, kecuali yang diriwayatkan dari Al Hasan dan Al Hakam bin Utaibah.

HUKUM BERKABUNG ATAS KEMATIAN SALAH SATU KELUARGA SELAIN SUAMI

Bekabung atas kematian salah seorang kerabat atau keluarga selain suami diperbolehkan selama tiga hari saja dan tidak boleh lebih. Walaupun diperbolehkan, namun bila suami mengajak berhubungan intim, maka wanita tersebut tidak boleh menolaknya.

Ibnu Hajar (wafat tahun 852 H) menegaskan: Syari’at memperbolehkan seorang wanita untuk berkabung atas kematian selain suaminya selama tiga hari, karena kesedihan yang mendalam dan penderitaan yang mendera karena kematian orang tersebut. Hal itu tidak wajib menurut kesepakatan para ulama. Namun seandainya suami mengajaknya berhubungan intim (jima’) maka ia tidak boleh menolaknya.

Ibnu Hazm (wafat tahun 456 H) menyatakan: Seandainya seorang wanita berkabung selama tiga hari atas kematian bapak, saudara, anak, ibu atau kerabat lainnya, maka hal itu mubah.

Ibnu Al Qayyim (wafat tahun 751 H) juga menyatakan: Berkabung atas kematian suami hukumnya wajib dan atas kematian selainnya boleh saja.

SYARAT-SYARAT DIWAJIBKANNYA AL-HADAAD

1). Wanita tersebut berakal dan baligh. Para ulama telah bersepakat bahwa wanita yang baligh dan berakal diwajibkan melewati masa al hadaad. Namun mereka masih berselisih pendapat tentang wanita yang belum memasuki masa baligh atau gila. Pendapat yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama yang mewajibkannya‎
2). Beragama Islam. Syarat ini juga telah disepakati para ulama. Perbedaan pendapat terjadi pada wanita ahli kitab apakah dikenakan kewajiban ini atau tidak ? Pendapat yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama yang menyatakan hal itu diwajibkan atas wanita ahli kitab yang menikah dengan muslim, lalu suaminya meninggal dunia.
3). Menikah dengan akad yang shahih.

MASA WAKTU BERKABUNG DAN CARA MENGHITUNG HARINYA

Masa berkabung bagi wanita adalah empat bulan sepuluh hari. Ini berlaku pada semua wanita, kecuali yang hamil. Wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, berkabung sampai melahirkan, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya" [Ath Thalaaq :)

Juga hadits Subai’ah yang berbunyi:

كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَرْقَمِ الزُّهْرِيِّ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ يُخْبِرُهُ أَنَّ سُبَيْعَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ سَعْدِ بْنِ خَوْلَةَ وَهُوَ فِي بَنِي عَامِرِ بْنِ لُؤَيٍّ وَكَانَ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا فَتُوُفِّيَ عَنْهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهِيَ حَامِلٌ فَلَمْ تَنْشَبْ أَنْ وَضَعَتْ حَمْلَهَا بَعْدَ وَفَاتِهِ فَلَمَّا تَعَلَّتْ مِنْ نِفَاسِهَا تَجَمَّلَتْ لِلْخُطَّابِ فَدَخَلَ عَلَيْهَا أَبُو السَّنَابِلِ بْنُ بَعْكَكٍ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ فَقَالَ لَهَا مَا لِي أَرَاكِ مُتَجَمِّلَةً لَعَلَّكِ تَرْجِينَ النِّكَاحَ إِنَّكِ وَاللَّهِ مَا أَنْتِ بِنَاكِحٍ حَتَّى تَمُرَّ عَلَيْكِ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ قَالَتْ سُبَيْعَةُ فَلَمَّا قَالَ لِي ذَلِكَ جَمَعْتُ عَلَيَّ ثِيَابِي حِينَ أَمْسَيْتُ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ فَأَفْتَانِي بِأَنِّي قَدْ حَلَلْتُ حِينَ وَضَعْتُ حَمْلِي وَأَمَرَنِي بِالتَّزَوُّجِ إِنْ بَدَا لِي 

"Umar bin Abdillah bin Al Arqam Az Zuhri menulis surat kepada Abdullah bin ‘Utbah memberitahukan kepadanya, bahwa Subai’ah telah menceritakan kepadanya bahwa ia (Subai’ah) adalah istri Sa’ad bin Khaulah yang berasal dari Bani ‘Amir bin Lu’ai dan dia ini termasuk orang yang ikut perang Badr. Lalu Sa’ad meninggal dunia pada haji wada’ sedangkan Subai’ah dalam keadaan hamil. Tidak lama kemudian setelah suaminya wafat, ia melahirkan. Ketika selesai nifasnya, maka Subai’ah berhias untuk dinikahi. Abu Sanaabil bin Ba’kak seorang dari Bani Abduddar menemuinya sembari berkata: “Mengapa saya lihat kamu berhias, tampaknya kamu ingin menikah? Tidak demi Allah! Kamu tidak boleh menikah sampai selesai empat bulan sepuluh hari.” Subai’ah berkata: “Ketika ia bicara demikian kepadaku, maka aku memakai pakaianku pada sore harinya, lalu aku mendatangi Rasulullah dan menanyakan hal tersebut. Kemudian Rasulullah memberikan fatwa kepadaku, bahwa aku telah halal dengan melahirkan dan memerintahkanku menikah bila kuinginkan.”

Oleh karena itu Imam Ibnu Al Qayyim menyatakan: ‘Adapun orang yang hamil, jika telah melahirkan, maka gugurlah kewajiban berkabungnya tersebut menurut kesepakatan mereka (para ulama), sehingga ia boleh menikah, berhias dan memakai wangi-wangian untuk suaminya (yang baru) dan berhias sesukanya.

Sedangkan Ibnu Hajar menyatakan: Mayoritas ulama dari para salaf dan imam fatwa di berbagai egeri berpendapat bahwa orang yang hamil jika wafat suaminya menjadi halal (boleh menikah) dan selesai masa iddahnya dengan melahirkan.

Masa berkabung ini dimulai dari hari kematian suami, walaupun berita kematiannya terlambat ia dengar. Demikianlah pendapat mayoritas para sahabat, para imam empat madzhab, Ishaq bin Rahuyah, Abu Ubaid dan Abu Tsaur.

Perhitungannya dengan menggunakan bulan Hijriyah. Sebagai contoh, seorang wanita ditinggal mati suaminya pada lima hari sebelum bulan Dzulhijjah, maka ia hitung sisa Dzulhijah tersebut dan melihat hilal Muharram, Shafar, Rabi’ul awal dan Robi’u Al Tsani, bila telah genap empat bulan, maka ia gabungkan sisa hari dalam bulan Dzulhijah yang telah dilewati sebelumnya dengan menambahinya sampai genap sepuluh hari empat bulan. Setelah itu, ia boleh berhias sebagaimana wanita lainnya. 

HAL-HAL YANG DILARANG DALAM MASA BERKABUNG

Secara ringkas, wanita yang sedang menjalani masa berkabung, tidak boleh melakukan segala sesuatu yang diharamkan pada wanita yang sedang menunggu masa iddah seperti berhias atau hal-hal lain yang dapat menarik perhatian lelaki untuk menikahinya. 

Diharamkan pada wanita yang berkabung ini semua yang diharamkan pada orang yang menunggu masa iddah dari berhias atau yang lainnya yang dapat menarik untuk menikahinya. ‎
Wallahua’lam

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...