Rabu, 25 November 2020

Hukum Senam Menurut Islam


Islam adalah agama sempurna dan menyeluruh, tidak pernah melupakan satu sisi saja dari kehidupan dan kebutuhan manusia. Islam tidak meridhai ketidak seimbangan bagi umatnya, memikirkan satu hal namun melalaikan yang lain. Memikirkan agama, dan melupakan dunia secara total. Memikirkan jiwa, dan melupakan tubuh. Itu bukan dari Islam.
Allah Ta’ala berfirman:
مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ

“Kamu sekali-kali tidak akan melihat pada ciptaan Allah Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.” (QS. Al Mulk: 3)

Termasuk tema ini, bahwa memperhatikan kesehatan tubuh dan perawatannya, baik bagi laki-laki dan wanita, adalah bagian dari keseimbangan Islam. Islam tidak menghendaki umatnya menjadi lemah dan inferior, baik lemah akal, jiwa, fisik, ekonomi, politik, dan militer.
Allah Ta’ala berfirman:

 وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ

Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (QS. Ali Imran (3): 146)

Dalam ayat lain:

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar. (QS. An Nisa’ (4): 9)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ

Dari Abu Hurairah, Dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Mu’min yang kuat adalah lebih baik dan lebih Allah cintai dibanding mu’min yang lemah, dalam segala kebaikannya.” (HR. Muslim No. 2664, Ibnu Majah No. 79, Ibnu Hibban No. 5721, An Nasa’i No. 623, 624. Ahmad No. 8791. Al Baihaqi dalam As Sunannya No. 19960, Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 6251)

Demikianlah, Islam sangat memperhatikan bahkan mengunggulkan kekuatan. Bahkan Imam Ahmad ketika diminta untuk memilih, mana yang lebih utama, calon pemimpin yang shalih tapi lemah atau yang kuat walau tidak shalih? Dia lebih memilih pemimpin yang kuat. Sebab kekuatan bagi seorang pemimpin bermanfaat bagi diri sendiri dan rakyatnya, sedangkan kemaksiatannya ditanggung oleh dirinya sendiri. Sebaliknya keshalihan pemimpin hanya bermanfaat bagi diri sendiri, namun kelemahannya justru membawa bahaya bagi keamanan rakyat dan negaranya.

Maka, apa saja yang bisa menghantarkan kepada kekuatan, seperti makanan yang sehat dan halal, berolahraga (senam), dan menghindari segala perusak kesehatan, adalah sesuatu yang masyru’ (disyariatkan) dalam Islam, baik muslim dan muslimah.‎

Menciptakan dan melakukan senam untuk kesehatan dengan berbagai macam dan variasinya, hukumnya Mubah baik dilakukan Muslim maupun Muslimah, ditempat yang bersifat privat maupun umum selama terikat dengan ketentuan-ketentuan Syara’ ketika menjalankannya.
Senam (Gymnastics/ Calisthenics), yang disebut dalam bahasa Arab dengan istilah Jumbaz (الْجُمْبَازُ) dalam kamus besar bahasa Indonesia didefinisikan secara sederhana dengan statemen berikut;

“se·nam = n gerak badan dengan gerakan tertentu, seperti menggeliat, menggerakkan, dan meregangkan anggota badan; gimnastik:“

Wikipedia, mendefinisikan senam dengan pernyataan berikut;

“Gymnastics is a sport involving the performance of exercises requiring physical strength, flexibility, agility, coordination, and balance“

Dari definisi di atas dan juga praktek senam di lapangan, bisa difahami bahwa esensi senam sebenarnya adalah kreasi gerakan-gerakan tubuh yang teratur untuk mencapai tujuan tertentu. Umumnya orang melakukan senam untuk meraih target-target kebugaran, kesehatan, atau penyembuhan. Pada perkembangannya, senam juga dilakukan sekedar utuk membentuk tubuh yang indah, hiburan, pertunjukan, kesenangan, dsb. Namun semuanya secara alami tidak lepas dari aktivitas mengolah tubuh yang juga memberikan efek dalam kesehatan. Wikipedia menegaskan bahwa senam adalah jenis Sport (olah raga), karena senam memang tidak mungkin lepas dari  aktivitas mengolah tubuh secara fisik.

Jika senam dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang lebih sehat, lebih bugar, tidak mudah sakit, tahan terhadap perubahan cuaca yang ekstrim, mengobati jenis-jenis penyakit tertentu, dan target-target yang semakna dengan ini, maka senam hukumnya Mubah karena senam tidak lebih hanyalah salah satu uslub (tehnik) diantara sekian cara untuk melaksanakan perintah Syara’ agar memiliki tubuh yang kuat. Meskipun Islam tidak mencela penganutnya  yang  bertubuh lemah, namun Islam menganjurkan agar seorang mukmin memiliki tubuh yang kuat. Imam Muslim meriwayatkan;
صحيح مسلم (13/ 142

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ

Dari Abu Hurairah dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta ‘ala daripada orang mukmin yang lemah. (tapi) Pada masing-masing memang terdapat kebaikan. Bersemangatlah memperolah apa yang berguna bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla dan janganlah kamu menjadi orang yang lemah (H.R.Muslim)

Dalam salah satu doa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam, beliau berlindung dari kelemahan. Imam An-Nasa-i meriwayatkan;
سنن النسائي بشرح السيوطي وحاشية السندي (8/ 680)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ

كَانَ إِذَا قِيلَ لِزَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ حَدِّثْنَا مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا أُحَدِّثُكُمْ إِلَّا مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا بِهِ وَيَأْمُرُنَا أَنْ نَقُولَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ

Dari Abdullah Ibnul Harits ia berkata; Jika dikatakan kepada Zaid bin Arqam; “Ceritakanlah kepada kami hadits yang engkau dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam!.” Maka ia berkata; “Aku tidak akan menceritakan kepada kalian kecuali sesuatu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ceritakan dan beliau memerintahkan kepada kami (untuk mengucapkan): Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan…(H.R.An-Nasai)

Kelemahan dalam hadis di atas bersifat umum, mencakup kelemahan secara fisik juga.

Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam juga menegaskan bahwa tubuh punya hak yang harus ditunaikan. Beliau melarang seseorang terus shalat malam tanpa tidur karena hal itu akan merusak kesehatan tubuh dan bermakna tidak memberikan hak tubuh. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (16/ 205)

حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَلَا تَفْعَلْ صُمْ وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Amru bin Ash ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai Abdullah, bukankah telah diberitakan bahwa kamu berpuasa sepanjang hari dan qiyamullail semalan suntuk?” aku menjawab, “Benar wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Janganlah kamu melakukan hal itu. Berpuasalah dan juga berbukalah. Tunaikanlah qiyamullail namun sisihkan pula waktu untuk tidur. Sebab bagi jasadmu juga punya hak atas dirimu, kedua matamu juga punya hak atasmu dan bagi isterimu juga punya hak atas dirimu.” (H.R.Bukhari)

Di dalam Al-Quran sendiri Allah memuji sifat-sifat hambaNya yang Shalih yang tidak lemah. Mereka adalah para pengikut Nabi dan yang berjuang bersama Nabi. Allah berfirman;

{وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِوَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ} [آل عمران: 146]‎

Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang Tabah. (Ali Imran; 146)

Allah juga mengingatkan orang-orang beriman agar tidak meninggalkan keturunannya dalam keadaan lemah. Allah berfirman;

{وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ} [النساء: 9]

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah (An-Nisa;9)

Terkait Jihad melawan musuh-musuh Islam,  secara khusus Allah memerintahkan kaum Muslimin agar menyiapkan kekuatan yang menggentarkan mereka. Allah berfirman;

{وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ } [الأنفال: 60]

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi  (Al-Anfal; 60)

Kesehatan sendiri adalah salah satu nikmat Allah yang besar. Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam pernah merekomendasikan kepada orang yang sakit agar meminta ‘Afiyah. Kesehatan adalah diantara makna ‘Afiyah yang utama. At-Tirmidzi meriwayatkan;
سنن الترمذى (11/ 392)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَادَ رَجُلًا قَدْ جُهِدَ حَتَّى صَارَ مِثْلَ الْفَرْخِ فَقَالَ لَهُ أَمَا كُنْتَ تَدْعُو أَمَا كُنْتَ تَسْأَلُ رَبَّكَ الْعَافِيَةَ قَالَ كُنْتُ أَقُولُ اللَّهُمَّ مَا كُنْتَ مُعَاقِبِي بِهِ فِي الْآخِرَةِ فَعَجِّلْهُ لِي فِي الدُّنْيَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّكَ لَا تُطِيقُهُ أَوْ لَا تَسْتَطِيعُهُ أَفَلَا كُنْتَ تَقُولُ اللَّهُمَّ آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Dari Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguk seseorang sangat menderita hingga menjadi seperti anak ayam kemudian beliau berkata kepadanya: “Tidakkah engkau pernah berdoa? Tidakkah engkau pernah memohon ‘Afiyah?” Orang tersebut berkata; dahulu saya pernah berkata; ya Allah, apa yang hendak Engkau hukum aku dengannya di akhirat maka segerakanlah untukku di dunia! Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Subhanallah, sesungguhnya engkau tidak akan mampu untuk menanggungnya, tidakkah engkau berdoa; ALLAAHUMMA AATINAA FID DUNYAA HASANAH WA FIL AAKHIRATI HASANAH, WA QINAA ‘ADZAABANNAAR (Ya Allah, berilah aku di dunia kebaikan, dan di akhirat kebaikan serta lindungilah aku dari adzab Neraka) (H.R.At-Tirmidzi)

Oleh karena itu, menjaga kesehatan tubuh dan mengusahakannya menjadi kuat adalah bagian dari memenuhi hak tubuh yang merupakan perintah Syara’. Senam adalah salah satu uslub (tehnik) untuk mencapainya. Dari sisi ini, senam hukumnya Mubah karena seluruh uslub hukumnya Mubah. Kreasi apapun dari gerakan senam, selama merealisasikan tujuan menyehatkan tubuh dan menguatkannya dan tidak bertentangan dengan hukum syara juga diizinkan.

Berdasarkan hal ini, macam-macam senam sebagaimana yang dirumuskan oleh FIG (Federation Internationale de Gymnastique) seperti senam artistik, senam aerobik, senam ritmik/irama,  senam akrobatik, senam trampolin, dan senam umum semuanya hukumnya Mubah dari segi senam itu sendiri selama maksud dilakukannya senam adalah untuk memperoleh tujuan sehat dan kuat yang diperintahkan Syara’.

Demikan pula variasi-variasi senam yang dikenal dimasyarakat yang telah diketahui memang dilakukan untuk mencapai kebugaran, kesehatan, dan kekuatan tubuh seperti senam pramuka, senam pilates, senam tauhid, senam kesegaran jasmani, senam ketangkasan, senam lansia, senam lantai, senam rematik, senam pernafasan, senam keselamatan, senam jantung sehat, senam hamil, senam air, senam nifas,  senam kegel, senam otak, senam mata, senam jari, senam wajah, senam pantat, senam bayi, dan sebagainya. semuanya juga dihukumi Mubah dari segi senam itu sendiri selama maksud dilakukannya senam adalah untuk memperoleh tujuan sehat dan kuat yang diperintahkan Syara’.

Adapun senam Yoga yang terkait dengan  konsep spiritual untuk mencapai target-target spiritual tertentu, bukan semata-mata mengolah tubuh untuk kesehatan, maka  senam jenis ini terlarang, karena sudah menjadi bagian dari sistem ibadah dan kepercayaan di luar Islam yang tidak boleh diikuti kaum Muslimin. Hukum ini juga berlaku bagi semua jenis senam yang terkait dengan aqidah, kepercayaan, dan upacara Kufur seperti jenis senam yang konon secara khusus diciptakan untuk upacara penyembahan kepada Dewa Zeus. Ikut senam-senam jenis ini haram dan tanda kekufuran dari Dienul islam.

Untuk senam yang diiringi musik, maka perlu dirinci. Jika musik yang mengiringi adalah musik yang bertentangan dengan syariat, seperti musik yang mengiringi senam poco-poco mengingat  isinya yang merayu wanita, maka senam seperti ini terlarang. Bukan dari gerakan senam itu sendiri, tetapi dari musik yang mengiringinya. Jika musik yang mengiringi selamat dari larangan syariat, misalnya hanya sekedar suara instrumen yang membimbing irama senam, maka  hal itu dikaitkan dengan Tabanni hukum musik yang diambil Mukallaf. Jika dia berpendapat musik haram secara mutlak, maka senam yang demikian juga haram, tetapi jika dia berpendapat bahwa musik yang tidak menabrak syaariat hukumnya Mubah, maka senam yang demikian juga Mubah hukumnya.

Kemubahan senam berlaku bagi Muslim maupun Muslimah, karena  perintah memenuhi hak tubuh dan menjadi kuat bersifat umum tanpa membedakan lelaki maupun wanita, sehingga kebolehan Uslub melaksanakan perintah tersebut juga berlaku bagi Muslim dan Muslimah. Lagipula, ada riwayat yang menunjukkan bahwa Aisyah diajak lomba lari oleh Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam. Berlari termasuk olah raga. Izin Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam, bahkan ajakan beliau kepada  Aisyah menunjukkan oleh raga hukumnya Mubah. Dengan demikian, senam juga Mubah bagi wanita sebagaimana Mubah bagi lelaki.

Senam boleh dilakukan di tempat privat maupun ditempat umum karena tidak ada Nash yang menunjukkan pembatasan di tempat tertentu. Hanya saja, jika yang melakukan senam ditempat umum adalah wanita, maka wanita wajib menjaga kehormatannya dengan mengusahakan agar tidak dilihat kecuali oleh orang yang halal baginya. Wanita tidak sama dengan laki-laki. Dalam pandangan islam, wanita adalah kehormatan yang wajib dijaga. Pada saat Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam mengajak Aisyah berlomba lari, beliau memerintahkan para shahabatnya agar berjalan  mendahului. Hal ini bermakna, Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam tidak ingin lomba lari yang beliau lakukan dengan Aisyah dilihat para lelaki yang lain. Ahmad meriwayatkan;
مسند أحمد (40/ 145)

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ أَخْبَرَتْنِي عَائِشَةُ أَنَّهَا كَانَتْ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ وَهِيَ جَارِيَةٌ فَقَالَ لِأَصْحَابِهِ تَقَدَّمُوا فَتَقَدَّمُوا ثُمَّ قَالَ لَهَا تَعَالَيْ أُسَابِقْكِ

Dari Abi Salamah bin Abdur Rahman ia berkata: Aisyah telah mengabarkan kepadaku bahwa dia pernah bersama Nabi dalam sebuah perjalanan, sedang ketika itu (Aisyah) adalah seorang gadis. Lalu beliau bersabda kepada para sahabatnya: “Majulah kalian.” Mereka lalu bergegas maju. Kemudian Rasulullah bersabda kepada Aisyah: “Kesinilah, saya mengajakmu berlomba lari. (H.R.Ahmad)‎

Nabi mengancam dengan neraka wanita yang sengaja mempertontonkan keindahan tubuhnya di depan lelaki dengan cara berlenggak-lenggok, menggoyang-goyang tubuh memicu hasrat, berpakaian merangsang dan semisalnya. Imam Muslim meriwayatkan;
صحيح مسلم (11/ 59)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat; kaum membawa cambuk seperti ekor sapi, dengannya ia memukuli orang dan wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, mereka berlenggak-lenggok dan miring, rambut mereka seperti punuk unta yang miring, mereka tidak masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan sejauh ini dan ini.” (HR. Muslim No. 2128. Ahmad No. 8665. Ibnu Hibban No. 7461, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No.5357, Al Baghawi No. 2578, Abu Ya’la No. 6690)

Ancaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini adalah haq (benar) dan tidak main-main. Maka, bagi para muslimah yang pernah melakukannya, bahkan justru menikmati dan memerintahkannya, maka hendaknya memperbaiki keadaan dirinya dan bertobat kepada Allah Ta’ala, menyesali perbuatan tersebut, membencinya, dan berjanji untuk tidak mengulanginya.
Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

 وَالْإِخْبَارُ بِأَنَّ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَأَنَّهُ لَا يَجِدُ رِيحَ الْجَنَّةِ مَعَ أَنَّ رِيحَهَا يُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ وَعِيدٌ شَدِيدٌ يَدُلُّ عَلَى تَحْرِيمِ مَا اشْتَمَلَ عَلَيْهِ الْحَدِيثُ مِنْ صِفَاتِ هَذَيْنِ الصِّنْفَيْنِ

“Dan keterangan ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan hal tersebut termasuk golongan ahli neraka, bahkan tidak mendapatkan aroma surga, padahal aroma surga dapat dicium sejak lima ratus tahun perjalanan, itu merupakan ancaman keras yang menunjukkan haramnya perbuatan yang terkandung dalam hadits tersebut yang merupakan sifat-sifat dua kelompok tersebut.” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/117, Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Maka jika senam tersebut dilakukan dalam ruangan tertutup yang terjamin dari pandangan mata laki-laki asing, jelaslah kebolehannya. Namun, jika dilakukan di tempat terbuka, di mana laki-laki bisa melihatnya dengan bebas, maka tidak ragu lagi, perbuatan tersebut termasuk keumuman hadits di atas, sebagai perbuatan tercela, dengan ancaman yang sangat keras dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Siapa pun manusia, apapun jabatannya, setinggi apapun kedudukannya, tidaklah pantas menentang ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya. Ada pun bagi para kader, dia harus berpikir kritis, tidak taklid buta, tanpa didasari oleh ilmu. Hendaknya menanyakan berbagai masalah dan aktivitasnya kepada para asatidz, dan tidak jalan sendiri.
Senam secara otomatis akan menggerak-gerakkan anggota tubuh dan menggoyang-goyangkannya. Jika hal ini dilakukan di depan lelaki yang tidak halal melihatnya, maka hal tersebut lebih dekat pada ciri wanita celaka yang disebutkan dalam hadis di atas.

Meskipun senam Mubah bagi Muslim maupun Muslimah, namun dalam pelaksanaan mereka tetap terikat ketentuan-ketentuan  syara yang lain. Tidak boleh ada pelanggaran dalam ketentuan-ketentuan tersebut. Jika dilanggar,maka senam menjadi haram. Batas-batas yang harus ditaati tersebut misalnya keharusan menutup aurot jika ditempat umum, tidak ada unsur melalaikan kewajiban, tidak ada unsur judi, tidak ada unsur menyakiti hewan, tidak membahayakan tubuh dengan pasti, tidak menimbulkan ashobiyyah Jahiliyyah , tidak menimbulkan  loyalitas kepada orang kafir, dan lain-lain.

Atas dasar ini senam kesehatan hukumnya Mubah bagi kaum Muslimin maupun Muslimat, di tempat khusus maupun di tempat umum  selama dalm pelaksanaannya terikat dengan seluruh ketentuan ‎Syariat Islam baik terkait pengaturan interaksi lelaki-wanita maupun yang lainnya. ‎‎

Wallahua’alam ‎

 

Hukum Berkabung Bagi Muslimah


Manakala musibah ini menimpa, banyak orang mengungkapkan perasaan berkabungnya dengan berbagai cara. Di antaranya, ada yang berkabung dengan menaikkan bendera setengah tiang karena wafatnya seorang pemimpin atau tokoh besar. Atau kaum laki-laki berkabung atas kematian salah seorang keluarga atau kerabatnya. Ada yang mengungkapkannya dengan mengenakan pakaian serba hitam sebagai simbol duka. Bagaimanakah dengan Islam?

Islam telah menetapkan, bahwa berkabung hanyalah untuk wanita jika suaminya atau salah satu keluarganya meninggal dunia, dengan cara-cara yang telah ditetapkan syari’at. 

MAKNA BERKABUNG DALAM ISLAM

Berkabung, dalam bahasa Arabnya adalah al hadaad ( الْحَدَادُ ). Maknanya, tidak mengenakan perhiasan baik berupa pakaian yang menarik, minyak wangi atau lainnya yang dapat menarik orang lain untuk menikahinya. Pendapat lain menyatakan, al hadaad adalah sikap wanita yang tidak mengenakan segala sesuatu yang dapat menarik orang lain untuk menikahinya seperti minyak wangi, celak mata dan pakaian yang menarik dan tidak keluar rumah tanpa keperluan mendesak, setelah kematian suaminya.

JENIS BERKABUNG

Al hadaad, terbagi menjadi dua. Pertama, berkabung dari kematian suami selama empat bulan sepuluh hari. Kedua, berkabung dari kematian salah satu anggota keluarganya, selain suami selama tiga hari.

Pembagian ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salllam : 

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجِهَا رواه مسلم

"Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung atas kematian melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya" 

Dan dalam riwayat Bukhari terdapat tambahan lafazh :

فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

"Maka ia berkabung atas hal tersebut selama empat bulan sepuluh hari"


HUKUM BERKABUNG ATAS KEMATIAN SUAMI

Ulama ahlu sunnah sepakat, kecuali Al Hasan Al Bashri, Al Hakam bin Utaibah dan Asy Sya’bi, menyatakan bahwa hukum berkabung dari kematian suami selama empat bulan sepuluh hari adalah wajib.

Wanita muslimah yang ditinggal wafat suaminya wajib melakuakan tiga hal; pertama: Menjalani masa Iddah  yaitu masa menunggu dalam waktu tertentu sebelum boleh menikah lagi, kedua; Menjalani Ihdad yaitu masa berkabung dengan cara tidak berhias selama masa Iddah, ketiga; Tinggal di rumah peninggalan suami selama masa Iddah.

Untuk kewajiban yang pertama, yaitu menjalani masa Iddah, maka hal tersebut dilakukan selama empat bulan ditambah sepuluh hari terhitung semenjak tanggal wafatnya suami. Dalilnya adalah Firman Allah;

{وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ } [البقرة: 234]

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’Iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘Iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut (Al-Baqoroh; 234)

Ayat di atas cukup jelas menjelaskan bahwa wanita yang ditinggal wafat suaminya wajib menunggu selama empat bulan lebih sepuluh hari, artinya menjalani masa Iddah selama masa tersebut. Selama masa Iddah ini wanita haram dilamar secara terang-terangan, diberi janji untuk dinikahi, apalagi menjalankan Akad nikah. Allah berfirman;

{وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا} [البقرة: 235]

Tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma’ruf.(Al-Baqoroh;235)

Dalam ayat di atas, Allah mengizinkan mengkhitbah/melamar wanita yang sedang di masa Iddah karena ditinggal wafat suaminya secara sindiran. Mafhumnya (makna implisitnya), melamar secara terang-terangan hukumnya haram. Memberi janji untuk menikahi juga dilarang secara tegas dalam ayat ini. Oleh karena itu, ayat ini menunjukkan wanita yang sedang dalam masa Iddah karena ditinggal wafat suaminya haram dipinang terang-terangan, diberi janji dinikahi, apalagi melangsungkan Akad Nikah. Semua Akad Khitbah dan Akad nikah yang dilakukan dalam masa Iddah adalah Akad fasid (rusak) yang harus difasakh (dibatalkan).

Jika wanita yang ditinggal wafat itu hamil, maka masa Iddahnya adalah sampai dia melahirkan. Allah berfirman;
{وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق: 4]

Perempuan-perempuan yang hamil, waktu Iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya (At-Tholaq;4)

Untuk kewajiban kedua, yakni kewajiban Ihdad maka yang dimaksud  Ihdad adalah  berkabung dengan cara menghindari semua hal yang terkategori aktifitas berhias. Hal itu dikarenakan makna Ihdad secara bahasa adalah Al-Man’u (hal mencegah), maksudnya mencegah diri dari semua perhiasan. An Nawawi berkata dalam kitabnya “Tahriru Alfadhi At-Tanbih”

تحرير ألفاظ التنبيه (ص: 285)

الإحداد من الحد وهو المنع لأنها تمنع الزينة

“Ihdad berasal dari kata Haddun maknanya mencegah/menghalangi karena wanita yang berIhdad mencegah (dirinya) untuk berhias” (Tahriru Alfadhi At-Tanbih, hlm;285)

Hukum menjalani Ihdad bagi wanita yang ditinggal wafat suaminya adalah wajib, sementara jika yang wafat selain suami, Ihdad hukumnya mubah saja tidak sampai wajib. Ihdad bagi wanita yang ditinggal wafat suami dilakukan selama waktu Iddah yaitu selama empat bulan ditambah sepuluh hari, sementara jika yang wafat selain suami Ihdad maksimal dilakukan selama tiga hari.

Dalil yang menunjukkan Ihdad bagi wanita yang ditinggal suami hukumnya wajib adalah hadis berikut;

صحيح البخاري (16/ 406)

قَالَتْ زَيْنَبُ وَسَمِعْتُ أُمَّ سَلَمَةَ

تَقُولُ جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا وَقَدْ اشْتَكَتْ عَيْنَهَا أَفَتَكْحُلُهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا كُلَّ ذَلِكَ يَقُولُ لَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ وَقَدْ كَانَتْ إِحْدَاكُنَّ فِي الْجَاهِلِيَّةِ تَرْمِي بِالْبَعْرَةِ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ

قَالَ حُمَيْدٌ فَقُلْتُ لِزَيْنَبَ وَمَا تَرْمِي بِالْبَعْرَةِ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ فَقَالَتْ زَيْنَبُ كَانَتْ الْمَرْأَةُ إِذَا تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا دَخَلَتْ حِفْشًا وَلَبِسَتْ شَرَّ ثِيَابِهَا وَلَمْ تَمَسَّ طِيبًا حَتَّى تَمُرَّ بِهَا سَنَةٌ ثُمَّ تُؤْتَى بِدَابَّةٍ حِمَارٍ أَوْ شَاةٍ أَوْ طَائِرٍ فَتَفْتَضُّ بِهِ فَقَلَّمَا تَفْتَضُّ بِشَيْءٍ إِلَّا مَاتَ ثُمَّ تَخْرُجُ فَتُعْطَى بَعَرَةً فَتَرْمِي ثُمَّ تُرَاجِعُ بَعْدُ مَا شَاءَتْ مِنْ طِيبٍ أَوْ غَيْرِهِ سُئِلَ مَالِكٌ مَا تَفْتَضُّ بِهِ قَالَ تَمْسَحُ بِهِ جِلْدَهَا

Zainab berkata; Aku mendengar Ummu Salamah berkata; Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sementara ia mengeluhkan matanya.  Bolehkah ia bercelak?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Tidak.” Beliau mengulanginya dua atau tiga kali. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Masa berkabungnya hanyalah empat bulan sepuluh hari (kenapa tidak sanggup bersabar?). Sesungguhnya pada masa jahiliyah dulu, salah seorang dari kalian melempar kotoran setelah satu tahun.” Humaid berkata; Aku bertanya kepada Zainab, “Apa maksud dari pernyataan bahwa, ia melempar kotoran setelah setahun?” Zainab menjawab, “Maksudnya, bila seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya, ia masuk ke dalam gubuk, dan memakai pakaian yang paling lusuh miliknya. Ia tidak boleh menyentuh wewangian hingga berlalu satu tahun. Kemudian keledai, kambing atau sebangsa burung didatangkan kepada wanita itu agar ia Tanfadldlu bihi. Dan amat jarang ia mengusap suatu pun kecuali sesuatu itu akan mati. Setelah itu, ia keluar lalu diberi kotoran hewan dan ia lemparkan, setelah itu ia bebas menyentuh kembali sekehendaknya berupa wewangian atau pun yang lainnya.” Malik ditanya, “Apa makna Tanfadldlu bihi?” Ia menjawab, “Yaitu, mengusap kulitnya dengannya.” (H.R.Bukhari)

Bersikukuhnya Nabi melarang wanita yang ditinggal wafat suaminya untuk memakai celak padahal alasan wanita tersebut bukan untuk berhias tetapi sekedar meringankan sakit pada matanya menunjukkan bahwa Ihdad hukumnya wajib. Seandainya tidak wajib seharusnya Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam mengizinkan wanita itu untuk memakai celak.

Adapun dalil bahwa Ihdad karena wafatnya kerabat (yang bukan suami)  hukumnya Mubah saja tidak sampai wajib adalah hadis berikut;

صحيح البخاري (16/ 404)

عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ هَذِهِ الْأَحَادِيثَ الثَّلَاثَةَ قَالَتْ زَيْنَبُ دَخَلْتُ عَلَى أُمِّ حَبِيبَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

حِينَ تُوُفِّيَ أَبُوهَا أَبُو سُفْيَانَ بْنُ حَرْبٍ فَدَعَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ بِطِيبٍ فِيهِ صُفْرَةٌ خَلُوقٌ أَوْ غَيْرُهُ فَدَهَنَتْ مِنْهُ جَارِيَةً ثُمَّ مَسَّتْ بِعَارِضَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ وَاللَّهِ مَا لِي بِالطِّيبِ مِنْ حَاجَةٍ غَيْرَ أَنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

dari Zainab binti Abu Salamah bahwa ia telah mengabarkan tiga hadits ini kepadanya. Zainab berkata; Aku menemui Ummu Habibah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat bapaknya, Abu Sufyan bin Harb, wafat. Lalu Ummu Habibah meminta wewangian yang di dalamnya terdapat minyak wangi kuning yang sudah usang. Kemudian dari wewangian itu, ia meminyaki seorang budak wanita lalu memegang kedua belah pipinya seraya berkata, “Demi Allah, aku tidak berhajat sedikitpun terhadap wewangian, hanya saja aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, untuk berkabung lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.'” (H.R.Bukhari)

Izin Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam kepada wanita untuk melakukan Ihdad karena wafatnya kerabat selain suami dengan lama maksimal tiga hari menunjukkan Ihdad tersebut bukan kewajiban. Seandainya Ihdad wajib seharusnya ada lafadz yang menunjukkan perintah Ihdad atau Qorinah lain yang bisa difahami perintah wajib. Pengecualian dari sesuatu yang dilarang hukum asalnya bermakna Mubah kecuali ada qorinah lain yang menujukkan makna lain. Dalam hadis ini, Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam mengecualikan dua hal dari keharaman Ihdad, pertama; wanita yang ditinggal wafat kerabat dan berIhdad selama tiga hari, kedua; wanita yang ditinggal wafat suami dan berIhdadempat bulan sepuluh hari. Pemaknaan asalnya, karena dua macam wanita ini keduanya dikecualikan dari sebuah pengharaman,  berarti Ihdad mereka hukumnya mubah saja. Namun terkait Ihdad wanita yang ditinggal wafat suami ada Nash lain yang menunjukkan Ihdad itu bukan sekedar mubah, tetapi wajib. Oleh karena itu bisa disimpulkan berdasarkan hadis ini, Ihdad wanita yang ditinggal wafat kerabat hukumnya mubah, sementara Ihdad wanita yang ditinggal wafat suami hukumnya wajib karena ada qorinah kewajiban dari hadis yang lain.

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجِهَا رواه مسلم

"Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung atas kematian melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya.

Adapun dalil durasi Ihdad wanita yang ditinggal wafat suami yaitu empat bulan ditambah sepuluh hari, maka dalilnya adalah hadis Ummu Habibah di atas, yaitu lafadz;

إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

kecuali karena kematian suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari

Lafadz ini cukup lugas menjelaskan masa durasiIddah wanita yang ditinggal wafat suami, yaitu empat bulan ditambah sepuluh hari. Perbedaan lafadz dalam hadis ini dengan lafadz yang ada dalam Al-Qur’an; Lafadz empat bulan sepuluh hari dalam Al-Quran mengatur batasan waktu masa Iddah, sementara lafadz dalam hadis mengatur batasan waktu masaIhdad. Hadis ini sekaligus memberi petunjuk bahwa masa Iddah empat bulan ditambah sepuluh hari bagi wanita yang ditinggal wafat suami itu bermakna sekaligus menjadi batasan waktu masa Ihdad.

Untuk batasan berhias yang dilarang selama masaIddah, prinsipnya secara umum adalah semua hal yang biasa digunakan untuk berhias bagi wanita yang memicu hasrat lelaki. Hal-hal yang menjadi perhiasan dalam satu negeri bisa berbeda dengan negeri yang lain. Kebiasaan tersebut diikuti selama merealisasikan sifat perhiasan, yaitu membuat wanita menjadi lebih cantik dan menarik yang memicu hasrat lelaki secara alami. Diantara berhias yang dilarang syariat ketika wanita dalam masa Ihdad adalah;

1.Memakai pakaian menarik. Misalnya sutra, warna merah menyala atau warna-warna lain yang diketahui secara kebiasaan mempercantik dan membuat wanita kelihatan lebih menarik. Namun tidak ada keharusan memakai warna hitam atau warna gelap bagi wanita yang berIhdad. Warna apapun asalkan tidak menarik hukumnya mubah dipakai

2.Memakai perhiasan. Misalnya gelang, cincin dan sebagainya dari apapun bahannya baik emas,perak, permata,  intan,dsb . Namun perhiasan-perhiasan yang tersembunyi, seperti kalung, anting-anting, dan semisalnya boleh dipakai. Jam tangan juga boleh dipakai jika memang diperlukan untuk mengontrol waktu

3.Mewarnai tubuh. Misalnya memakai Hinna’/pacar pada jari, melukis tangan dengan pacar dll.

4.Merias wajah misalnya memakai celak, lipstik (meski tipis-tipis), bedak,perona pipi, dan sebagainya

Dalil larangan empat hal ini adalah hadis berikut;

سنن أبى داود – م (2/ 261)

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا لاَ تَلْبَسُ الْمُعَصْفَرَ مِنَ الثِّيَابِ وَلاَ الْمُمَشَّقَةَ وَلاَ الْحُلِىَّ وَلاَ تَخْتَضِبُ وَلاَ تَكْتَحِلُ ».

Dari Ummu Salamah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau berkata: “Seorang wanita yang ditinggal mati suaminya tidak boleh memakai pakaian yang diwarnai dengan warna kuning kemerahan, pakaian yang diberi parfum merah, perhiasan, serta tidak tidak boleh memakai pewarna dan celak.”(H.R.Abu Dawud)

صحيح البخاري (16/ 413)

 عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ

قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا لَا تَكْتَحِلُ وَلَا تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوغًا إِلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ

Dari Ummu ‘Athiyah ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepadaku: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung lebih dari tiga hari kecuali terhadap suaminya. Maka ia tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai pakaian yang berwarna (bercorak) kecuali pakaian buatan Yaman.”(H.R.Bukhari)

Larangan memakai pakaian yang dicelup dengan Ushfur (tumbuhan berwarna merah) dan pakaian yang dilumuri Misyq (parfum berwarna merah) menunjukkan wanita yang berIhdad tidak boleh memakai pakaian yang menarik. Larangan memakai perhiasan menunjukkan tidak boleh memakai perhiasan apapun secara mutlak. Larangan memakai pewarna menunjukkan larangan melukis tangan dan memakai pacar. Larangan memakai celak menunjukkan larangan merias wajah. Riwayat Bukhari menguatkan larangan yang tercantum dalam riwayat Abu Dawud.

5.Memakai parfum. Parfum apapun tidak boleh dipakai, kecuali sedikit sekedar menghilangkan bau sisa haid ketika wanita selesai berhaid dan hendak bersuci. Parfum tetap tidak diizinkan meski dengan alasan menghilangkan bau badan. Untuk menghilangkan bau badan hendaknya wanita cukup rajin mandi. Penggunaan Shampo dan sabun mandi yang mengandung bau wangi diizinkan karena Shampo dan sabun dibuat bukan untuk parfum, dan tidak bisa digolongkan ke dalam parfum. Demikian pula wanita yang berprofesi menjual parfum. Profesinya tetap bisa dilakukan karena parfum yang mengenainya terjadi secara tidak sengaja. Namun hendaknya sedapat mungkin dihindari dan dicuci bagian yang terkena parfum setelah selesai berjualan.

Dalil larangan memakai parfum adalah hadis berikut;
صحيح البخاري (16/ 413)

 عن أُمُّ عَطِيَّةَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا تَمَسَّ طِيبًا إِلَّا أَدْنَى طُهْرِهَا إِذَا طَهُرَتْ نُبْذَةً مِنْ قُسْطٍ وَأَظْفَارٍ

Ummu ‘Athiyyah ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang: “Dan janganlah ia memakai wewangian kecuali pada akhir masa sucinya. Dan jika ia telah suci, ia boleh memakai potongan kecil dari dahan yang dibuat kemenyan dan obat yang sering disebut qusth atau minyak wangi azhfar.”.(H.R.Bukhari)

Berhias yang dilarang disini hanyalah berhias pada tubuh wanita yang berkabung. Hiasan pada rumah, perabot, asesoris tidak termasuk di sini sehingga hukumnya mubah.

Adapun larangan-larangan seperti tidak boleh bersisir, menjahit, melihat bulan, keluar ke loteng rumah, melihat dan dilihat orang lain, berbicara dengan lelaki, memotong daging merah, keluar rumah karena suatu keperluan, menjawab telephon, melihat mayat suami, melihat foto almarhum suami, termasuk keyakinan seperti jika almarhum suami punya dua istri maka masa Iddah dibagi menjadi dua, jika ada dua istri sementara salah satu istri hamil lalu melahirkan anak lelaki maka anak lelaki itu menggugurkan masa Iddah istri yang tidak hamil…dst maka kami katakan, larangan-larangan dan keyakinan-kayakinan ini adalah sesuatu yang tidak berdasar. Karenanya,  aturan tersebut tidak boleh dituruti dan keyakinan-keyakinan tersebut tidak boleh dipercayai.

Untuk kewajiban yang ketiga, yaitu tinggal di rumah almarhum suami selama masa Iddah  maka yang dimaksud adalah rumah tempat pasangan suami istri tersebut tinggal saat suami masih hidup. Baik rumah tersebut milik suami sendiri maupun bukan dimiliki tetapi diperoleh dengan cara syar’I seperti mengontrak, Hibah Intifa’ (hibah pemanfaatan) dll. Dalil wajibnya tinggal di rumah almarhum suami adalah hadis berikut;

سنن أبى داود – م (2/ 259)

عَنْ سَعْدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ عَنْ عَمَّتِهِ زَيْنَبَ بِنْتِ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ أَنَّ الْفُرَيْعَةَ بِنْتَ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ – وَهِىَ أُخْتُ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ – أَخْبَرَتْهَا أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَسْأَلُهُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهَا فِى بَنِى خُدْرَةَ فَإِنَّ زَوْجَهَا خَرَجَ فِى طَلَبِ أَعْبُدٍ لَهُ أَبَقُوا حَتَّى إِذَا كَانُوا بِطَرَفِ الْقَدُّومِ لَحِقَهُمْ فَقَتَلُوهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِى فَإِنِّى لَمْ يَتْرُكْنِى فِى مَسْكَنٍ يَمْلِكُهُ وَلاَ نَفَقَةٍ. قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ ». قَالَتْ فَخَرَجْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِى الْحُجْرَةِ أَوْ فِى الْمَسْجِدِ دَعَانِى أَوْ أَمَرَ بِى فَدُعِيتُ لَهُ فَقَالَ « كَيْفَ قُلْتِ ». فَرَدَدْتُ عَلَيْهِ الْقِصَّةَ الَّتِى ذَكَرْتُ مِنْ شَأْنِ زَوْجِى قَالَتْ فَقَالَ « امْكُثِى فِى بَيْتِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ». قَالَتْ فَاعْتَدَدْتُ فِيهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا. قَالَتْ فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ أَرْسَلَ إِلَىَّ فَسَأَلَنِى عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرْتُهُ فَاتَّبَعَهُ وَقَضَى بِهِ.

Dari Sa’d bin Ishaq bin Ka’bin bin ‘Ajrah dari bibinya yaitu Zainab binti Ka’bin bin ‘Ajrah bahwa Al Furai’ah binti Malik bin Sinan yang merupakan saudari Abu Sa’id Al Kudri telah mengabarkan kepadanya bahwa ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta izin kepada beliau untuk kembali kepada keluarganya di antara Bani Khudrah, karena suaminya keluar mencari beberapa budaknya yang melarikan diri hingga setelah mereka berada di Tharaf Al Qadum ia bertemu dengan mereka lalu mereka membunuhnya. Aku meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk kembali kepada keluargaku, karena suamiku  tidak meninggalkanku tinggal di tempat tinggal yang ia miliki dan tidak memberikan nafkah. Ia berkata; kemudian aku keluar hingga setelah sampai di sebuah ruangan atau di masjid, beliau memanggilku dan memerintahkan agar aku datang. Kemudian aku beliau berkata: “Apa yang engkau katakan?” kemudian aku kembali menyebutkan kisah yang telah saya sebutkan, mengenai keadaan suamiku. Ia berkata; lalu beliau berkata: “Tinggallah di rumahmu hingga selesai masa ‘Iddahmu.” Ia berkata; kemudian aku ber’Iddah di tempat tersebut selama empat puluh bulan sepuluh hari. Ia berkata; kemudian tatkala Utsman mengirimkan surat kepadaku, ia bertanya mengenai hal tersebut, lalu aku khabarkan kepadanya, lalu ia mengikutinya dan memberikan keputusan dengannya. (H.R.Abu Dawud)

Perintah Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam kepada Furoi’ah agar tetap tinggal dirumah suami padahal rumah yang selama ini ditinggali bukan rumah milik almarhum suami menunjukkan tinggal dirumah suami selama masa Iddah hukumnya wajib bagi wanita yang ditinggal wafat suaminya. Namun, jika ada udzur untuk tinggal di rumah almarhum suami, seperti rumah terbakar, berbahaya bagi keamanan, masa kontrak habis, diminta keluar oleh ahli waris suami dan semisalnya, maka wanita tersebut boleh berpindah ke tempat tinggal manapun yang dikehendakinya. Namun rumah keluarganya yang paling afdhol.

Atas dasar ini, wanita yang ditinggal wafat suaminya wajib melakukan tiga hal; menjalani masa Iddah yaitu selama empat bulan ditambah sepuluh hari terhitung dari hari wafatnya suami, menjalani Ihdad yaitu tidak berhias selama masa Iddah, dan tinggal di rumah suami selama masa Iddah. Di masa Iddah tersebut, wanita tidak boleh dilamar/dipinang secara terang-terangan, diberi janji untuk dinikahi, apalagi melakukan Akad Nikah. 

Perkataan Ulama Dalam Hal Ini :

Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan: Kami tidak mengetahui perbedaan pendapat di antara para ulama tentang kewajiban Al hadaad (berkabung) atas wanita yang suaminya meninggal kecuali dari Al Hasan, beliau menyatakan tidak wajib. Namun pendapat ini adalah pendapat yang syadz (aneh, menyelisihi) pendapat para ulama dan menyelisihi sunnah sehingga pendapat tersebut tidak signifikan.

Ibnu Al Qayyim (wafat tahun 751H) berkata : Umat telah berijma’ tentang kewajiban Ahdaad bagi wanita yag ditinggal mati suaminya, kecuali yang diriwayatkan dari Al Hasan dan Al Hakam bin Utaibah.

HUKUM BERKABUNG ATAS KEMATIAN SALAH SATU KELUARGA SELAIN SUAMI

Bekabung atas kematian salah seorang kerabat atau keluarga selain suami diperbolehkan selama tiga hari saja dan tidak boleh lebih. Walaupun diperbolehkan, namun bila suami mengajak berhubungan intim, maka wanita tersebut tidak boleh menolaknya.

Ibnu Hajar (wafat tahun 852 H) menegaskan: Syari’at memperbolehkan seorang wanita untuk berkabung atas kematian selain suaminya selama tiga hari, karena kesedihan yang mendalam dan penderitaan yang mendera karena kematian orang tersebut. Hal itu tidak wajib menurut kesepakatan para ulama. Namun seandainya suami mengajaknya berhubungan intim (jima’) maka ia tidak boleh menolaknya.

Ibnu Hazm (wafat tahun 456 H) menyatakan: Seandainya seorang wanita berkabung selama tiga hari atas kematian bapak, saudara, anak, ibu atau kerabat lainnya, maka hal itu mubah.

Ibnu Al Qayyim (wafat tahun 751 H) juga menyatakan: Berkabung atas kematian suami hukumnya wajib dan atas kematian selainnya boleh saja.

SYARAT-SYARAT DIWAJIBKANNYA AL-HADAAD

1). Wanita tersebut berakal dan baligh. Para ulama telah bersepakat bahwa wanita yang baligh dan berakal diwajibkan melewati masa al hadaad. Namun mereka masih berselisih pendapat tentang wanita yang belum memasuki masa baligh atau gila. Pendapat yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama yang mewajibkannya‎
2). Beragama Islam. Syarat ini juga telah disepakati para ulama. Perbedaan pendapat terjadi pada wanita ahli kitab apakah dikenakan kewajiban ini atau tidak ? Pendapat yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama yang menyatakan hal itu diwajibkan atas wanita ahli kitab yang menikah dengan muslim, lalu suaminya meninggal dunia.
3). Menikah dengan akad yang shahih.

MASA WAKTU BERKABUNG DAN CARA MENGHITUNG HARINYA

Masa berkabung bagi wanita adalah empat bulan sepuluh hari. Ini berlaku pada semua wanita, kecuali yang hamil. Wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, berkabung sampai melahirkan, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya" [Ath Thalaaq :)

Juga hadits Subai’ah yang berbunyi:

كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَرْقَمِ الزُّهْرِيِّ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ يُخْبِرُهُ أَنَّ سُبَيْعَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ سَعْدِ بْنِ خَوْلَةَ وَهُوَ فِي بَنِي عَامِرِ بْنِ لُؤَيٍّ وَكَانَ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا فَتُوُفِّيَ عَنْهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهِيَ حَامِلٌ فَلَمْ تَنْشَبْ أَنْ وَضَعَتْ حَمْلَهَا بَعْدَ وَفَاتِهِ فَلَمَّا تَعَلَّتْ مِنْ نِفَاسِهَا تَجَمَّلَتْ لِلْخُطَّابِ فَدَخَلَ عَلَيْهَا أَبُو السَّنَابِلِ بْنُ بَعْكَكٍ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ فَقَالَ لَهَا مَا لِي أَرَاكِ مُتَجَمِّلَةً لَعَلَّكِ تَرْجِينَ النِّكَاحَ إِنَّكِ وَاللَّهِ مَا أَنْتِ بِنَاكِحٍ حَتَّى تَمُرَّ عَلَيْكِ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ قَالَتْ سُبَيْعَةُ فَلَمَّا قَالَ لِي ذَلِكَ جَمَعْتُ عَلَيَّ ثِيَابِي حِينَ أَمْسَيْتُ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ فَأَفْتَانِي بِأَنِّي قَدْ حَلَلْتُ حِينَ وَضَعْتُ حَمْلِي وَأَمَرَنِي بِالتَّزَوُّجِ إِنْ بَدَا لِي 

"Umar bin Abdillah bin Al Arqam Az Zuhri menulis surat kepada Abdullah bin ‘Utbah memberitahukan kepadanya, bahwa Subai’ah telah menceritakan kepadanya bahwa ia (Subai’ah) adalah istri Sa’ad bin Khaulah yang berasal dari Bani ‘Amir bin Lu’ai dan dia ini termasuk orang yang ikut perang Badr. Lalu Sa’ad meninggal dunia pada haji wada’ sedangkan Subai’ah dalam keadaan hamil. Tidak lama kemudian setelah suaminya wafat, ia melahirkan. Ketika selesai nifasnya, maka Subai’ah berhias untuk dinikahi. Abu Sanaabil bin Ba’kak seorang dari Bani Abduddar menemuinya sembari berkata: “Mengapa saya lihat kamu berhias, tampaknya kamu ingin menikah? Tidak demi Allah! Kamu tidak boleh menikah sampai selesai empat bulan sepuluh hari.” Subai’ah berkata: “Ketika ia bicara demikian kepadaku, maka aku memakai pakaianku pada sore harinya, lalu aku mendatangi Rasulullah dan menanyakan hal tersebut. Kemudian Rasulullah memberikan fatwa kepadaku, bahwa aku telah halal dengan melahirkan dan memerintahkanku menikah bila kuinginkan.”

Oleh karena itu Imam Ibnu Al Qayyim menyatakan: ‘Adapun orang yang hamil, jika telah melahirkan, maka gugurlah kewajiban berkabungnya tersebut menurut kesepakatan mereka (para ulama), sehingga ia boleh menikah, berhias dan memakai wangi-wangian untuk suaminya (yang baru) dan berhias sesukanya.

Sedangkan Ibnu Hajar menyatakan: Mayoritas ulama dari para salaf dan imam fatwa di berbagai egeri berpendapat bahwa orang yang hamil jika wafat suaminya menjadi halal (boleh menikah) dan selesai masa iddahnya dengan melahirkan.

Masa berkabung ini dimulai dari hari kematian suami, walaupun berita kematiannya terlambat ia dengar. Demikianlah pendapat mayoritas para sahabat, para imam empat madzhab, Ishaq bin Rahuyah, Abu Ubaid dan Abu Tsaur.

Perhitungannya dengan menggunakan bulan Hijriyah. Sebagai contoh, seorang wanita ditinggal mati suaminya pada lima hari sebelum bulan Dzulhijjah, maka ia hitung sisa Dzulhijah tersebut dan melihat hilal Muharram, Shafar, Rabi’ul awal dan Robi’u Al Tsani, bila telah genap empat bulan, maka ia gabungkan sisa hari dalam bulan Dzulhijah yang telah dilewati sebelumnya dengan menambahinya sampai genap sepuluh hari empat bulan. Setelah itu, ia boleh berhias sebagaimana wanita lainnya. 

HAL-HAL YANG DILARANG DALAM MASA BERKABUNG

Secara ringkas, wanita yang sedang menjalani masa berkabung, tidak boleh melakukan segala sesuatu yang diharamkan pada wanita yang sedang menunggu masa iddah seperti berhias atau hal-hal lain yang dapat menarik perhatian lelaki untuk menikahinya. 

Diharamkan pada wanita yang berkabung ini semua yang diharamkan pada orang yang menunggu masa iddah dari berhias atau yang lainnya yang dapat menarik untuk menikahinya. ‎
Wallahua’lam

 

Hukum Menghutang Harta Zakat


Salah satu syarat harta yang wajib dizakati adalah kepemilikan secara penuh. Artinya bahwa seseorang memiliki harta tersebut secara penuh, tidak ada pihak lain yang bersyarikat di dalam hartanya, dan dia secara bebas menggunakan harta tersebut tanpa ada seorangpun yang menghalanginya.

Oleh karena itu, harta yang tidak ada kepemilikan secara khusus, tidak wajib dizakati, seperti : uang negara yang diambil dari zakat atau pajak, harta rampasan perang dan fa'I, harta wakaf untuk kepentingan umum, seperti wakaf untuk anak – anak yatim, masjid dan sekolah.

Harta yang tidak ada kepemilikan secara khusus, maka tidak wajib dizakati, seperti : uang negara hasil zakat atau pajak, harta rampasan perang dan fa'I, harta wakaf untuk umum seperti untuk anak yatim, masjid dan sekolah.

  Dalil dalam masalah ini adalah :

Pertama : Firman Allah  :

 وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُومٌ

" Dalam harta mereka ada hak bagian tertentu ( untuk dizakati ) “ (Qs Al Ma'arij : 24 )

Kedua : Firman Allah :   

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً

" Ambillah dari sebagian harta mereka sebagai pembayaran zakat  “ ( Qs At Taubah : 103)        

Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa harta yang wajib dizakati adalah harta yang dimiliki secara penuh.

Yang berhak mendapatkan harta Zakat, tanpa membedakan apakah Zakat Mal (Zakat harta) maupun Zakat Fithri (Zakat yang dikeluarkan khusus di bulan Ramadhan) adalah delapan golongan ( 8 Ashnaf) yang disebutkan Allah dalam Al-Quran, yaitu; 1.Fakir 2.Miskin  3.Amil  4.Mu-allaf 5. Untuk Pembebasan budak 6. Ghorim 7.untuk Jihad Fisabilillah, dan 8.Ibnu Sabil. Dalil delapan golongan ini adalah Firman Allah;

{ إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ} [التوبة: 60]

Sesungguhnya Zakat-Zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, Amil (pengurus-pengurus Zakat), Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk Jihad di jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (At-Taubah;60)

Jika seseorang diamanahi menyalurkan Zakat Mal, maka penyaluran Zakat tersebut tidak boleh ditangguhkan baik dengan alasan dihutangkan, diinvestasikan, maupun semata-mata ditunda. Tidak dibedakan apakah hal tersebut dilakukan untuk kepentingan pribadi, lembaga, maupun negara. Semuanya terlarang berdasarkan alasan-alasan berikut;

Pertama; Allah menjelaskan bahwa harta Zakat hanya menjadi hak delapan Ashnaf. Lafadz إِنَّمَا memberi makna “Hashr” (pembatasan). Harf Lam pada kata لِلْفُقَرَاءِ adalah Harf yng bermakna “Lam Al-Milki” (Harf lam yang menunjukkan kepemilikan). Adanya  إِنَّمَا Lafadz dan إِنَّمَا menunjukkan bahwa harta Zakat dibatasi pemanfaatan dan pemberiannya kepada delapan Ashnaf yang berhak atas harta Zakat itu.  Menghutangkan harta Zakat atau menginvestasikannya bermakna memberikan manfaat harta tersebut kepada orang yang tidak berhak. Hal ini bermakna tidak melaksanakan surat At-Taubah ayat; 60 dan itu terlarang. Jika yang berhutang termasuk delapan Ashnaf, maka dia justru diberi bagian harta Zakat, bukan dihutangi.

Kedua; membagikan  harta Zakat kepada delapan Ashnaf hukumnya wajib, dan hukum asal pelaksanaan kewajiban adalah dilakukan langsung tanpa ditunda-tunda selama tidak ada udzur Syar’i. Pelaksanaan kewajiban tanpa menunda-nunda adalah sifat hamba-hamaba yang shalih sebagaiamana para Malaikat di langit langsung melaksanakan perintah bersujud kepada Adam ketika diperintahkan bersujud.

Ketiga; Sunnah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah membagikan harta Zakat dengan segera tanpa menunda-nunda. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (5/ 252)

عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ أَنَّ عُقْبَةَ بْنَ الْحَارِثِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ قَالَ

صَلَّى بِنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَصْرَ فَأَسْرَعَ ثُمَّ دَخَلَ الْبَيْتَ فَلَمْ يَلْبَثْ أَنْ خَرَجَ فَقُلْتُ أَوْ قِيلَ لَهُ فَقَالَ كُنْتُ خَلَّفْتُ فِي الْبَيْتِ تِبْرًا مِنْ الصَّدَقَةِ فَكَرِهْتُ أَنْ أُبَيِّتَهُ فَقَسَمْتُهُ

Dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa ‘Uqbah bin Al Harits radliallahu ‘anhu menceritakan kepadanya, katanya: “Nabi Shallallahu’alaihiwasallam shalat ‘Ashar berjama’ah bersama kami. Tiba-tiba Beliau dengan tergesa-gesa memasuki rumah. Tidak lama kemudian Beliau keluar, dan aku bertanya atau dikatakan kepada Beliau tentang ketergesaannya itu. Maka Beliau berkata,: “Aku tinggalkan dalam rumah sebatang emas dari harta Zakat. Aku tidak mau bila sampai bermalam, maka aku membagi-bagikannya”. (H.R.Bukhari)

Keempat; Penundaan penyerahan harta kepada orang yang berhak memilikinya padahal orang yang menyerahkan itu mampu untuk tidak menundanya adalah kezaliman sebagaimana orang kaya yang menunda membayar hutang padahal mampu. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda;

صحيح البخاري (8/ 238)

عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَخِي وَهْبِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ

Dari Hammam bin Munabbih, saudaranya Wahb bin Munabbih bahwa dia mendengar Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menunda pembayaran hutang bagi orang kaya adalah kezhaliman”. (H.R.Bukhari)

Orang-orang fakir dan miskin misalnya,  jelas membutuhkan harta untuk memenuhi kebutuhan mereka. Boleh jadi mereka akan kelaparan sehari atau berhari-hari jika tidak mendapatkan harta. Seandainya harta Zakat langsung dibagikan, maka mereka akan mampu memenuhi seluruh kebutuhan mereka. Namun akibat penundaan penyaluran Zakat, boleh jadi penderitaan mereka bertambah dan semakin parah. Hal ini adalah kezaliman, dan tidak boleh terjadi. Islam mengharamkan semua bentuk kezaliman baik dalam hal harta, darah maupun kehormatan.

Kelima; kepercayaan Muzakki (orang yang berzakat) kepada Wakil yang diserahi menyalurkan Zakat kepada orang-orang yang berhak adalah amanah. Menunaikan amanah adalah wajib, dan mengkhianatinya hukumnya haram. Allah berfirman;

{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا} [النساء: 58]

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,. (An-Nisa; 58)

Allah melarang orang-orang beriman mengkhianati amanah. Allah berfirman;

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ} [الأنفال: 27]

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (Al-Anfal;27)

Dalam ayat yang lain dinyatakan bahwa Allah tidak akan memberi petunjuk makar orang-orang yang berkhianat. Allah berfirman;

{وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي كَيْدَ الْخَائِنِينَ } [يوسف: 52]

dan bahwasanya Allah tidak memberi petunjuk tipu daya orang-orang yang berkhianat. (Yusuf; 52)

Nabi mensifati khianat terhadap amanah adalah sifat orang Munafik. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (1/ 58)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat”. (H.R.Bukhari)

Nabi juga mensifati orang yang tidak punya sifat amanah, berarti dia tidak punya iman. Imam Ahmad meriwayatkan;

مسند أحمد (20/ 423)

عَنْ أَنَسٍ قَالَ مَا خَطَبَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا قَالَ لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ

Dari Anas beliau  berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam sangat jarang menyampaikan kepada kami kecuali perkataan ‘tidak ada iman bagi orang yang tidak menunaikan amanah, dan tidak ada agama bagi yang tidak menepati janji. (H.R.Ahmad)

Nabi memerintahkan agar menunaikan amanah, dan jangan membalas mengkhianati terhadap orang yang mengkhianati. Abu Dawud meriwayatkan;

سنن أبى داود – م (3/ 313)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayaimu dan jangan engkau mengkhianati orang yang mengkhianatimu!” (H.R.Abu Dawud)

Seandainyapun Muzakki (orang yang berzakat) mengizinkan kepada wakil yang dipercayainya menyalurkan Zakat untuk mengelolanya baik dihutangkan maupun diinvestasikan, maka hal ini juga tetap terlarang. Hal itu dikarenakan Zakat adalah hak Allah bukan hak hamba. 

Perbedaan hak Allah dengan hak hamba adalah; hak Allah tidak dapat digugurkan sementara hak hamba bisa digugurkan. Zakat termasuk hak Allah karena tidak dapat digugurkan meski delapan Ashnaf semuanya tidak ada. Tapi piutang adalah hak hamba karena bisa digugurkan, yakni ketika diputihkan. Berbeda halnya jika harta yang disalurkan adalah harta shodaqoh. Dalam kondisi ini harta bisa dihutangkan atau diinvestasikan dengan seizin orang yang bershodaqoh. Sebab, shodaqoh hukumnya Sunnah, tidak wajib sehingga bisa dibatalkan kapanpun diinginkan.

Atas dasar ini, haram menunda penyaluran Zakat termasuk mengelolanya sebelum disalurkan dengan alasan apapun selama tidak ada udzur Syar’i.

Wallahua’lam

 

Hukum Mengedit Foto


Sebelumnya perlu diterangkan dulu hukum memotret (mengambil foto dengan kamera). Para ulama kontemporer berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama mengharamkannya, karena dianggap sama dengan aktivitas mengambar dengan tangan, kecuali untuk foto yang sangat diperlukan (dharurah), seperti foto untuk identitas diri (KTP/paspor), untuk keperluan pendidikan, untuk mengungkap kejahatan, dan semisalnya. Yang berpendapat semacam ini misalnya Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aal Syaikh, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Syaikh M. Ali Ash-Shabuni, dan Syaikh Nashiruddin Al-Albani.

Namun sebagian ulama lain membolehkannya, dengan alasan hadits yang mengharamkan menggambar tak dapat diterapkan pada aktivitas memotret. Mereka ini misalnya Rasyid Ridha, Syaikh Ahmad Al-Khathib, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Najib Al-Muthi’i, Syaikh Mutawalli Sya’rawi, Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, dan Syaikh Taqiyuddin Nabhani.

Pendapat yang rajih menurut kami adalah yang membolehkan, sebab pendapat ini lebih cermat memahami fakta yang menjadi objek hukum (manath). Menurut Syaikh An-Nabhani, hadits yang melarang menggambar makhluk bernyawa tak dapat diterapkan untuk fakta memotret. Sebab orang yang memotret hanya sekedar memindahkan citra/bayangan dari fakta yang sudah ada ke dalam film melalui kamera, bukan menggambar suatu bentuk makhluk bernyawa dari ketiadaan.

Sesungguhnya Islam mengharamkan aktivitas menggambar (التَّصْوِيْرُ). Dalil yang menunjukkan haramnya menggambar adalah sebagai berikut;

صحيح مسلم (11/ 23)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
 

“Dari Abdullah; Rasulullah SAW bersabda; Sesungguhnya manusia yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah para pelukis” (H.R.Muslim)

صحيح مسلم (11/ 9)

عَنْ أَبِي طَلْحَةَ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ

“Dari Abu Thalhah, dari Nabi SAW beliau bersabda; Malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing dan lukisan” (H.R.Muslim)

Hadis-Hadis yang maknanya senada jumlahnya cukup banyak. Semuanya menegaskan keharaman Tashwir/ التَّصْوِيْرُ (menggambar). Islam memang mengharamkan Tashwir dengan segala bentuknya, termasuk membuat patung (صُنْعُ التَّمَاثِيْلِ) atau memahat patung (النَّحْتُ). Namun keharaman  Tashwir ini hanya berlaku pada sesuatu yang memiliki ruh seperti manusia dan hewan. Jika obyeknya tidak mememiliki ruh seperti pohon, gunung, rerumputan, sungai, laut, danau dan sebagainya maka menggambarnya hukumnya mubah. Dalil yang menunjukkan mubahnya menggambar obyek yang tidak memiliki ruh adalah Hadis berikut;

صحيح مسلم (11/ 25)

عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي الْحَسَنِ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ إِنِّي رَجُلٌ أُصَوِّرُ هَذِهِ الصُّوَرَ فَأَفْتِنِي فِيهَا فَقَالَ لَهُ ادْنُ مِنِّي فَدَنَا مِنْهُ ثُمَّ قَالَ ادْنُ مِنِّي فَدَنَا حَتَّى وَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ قَالَ أُنَبِّئُكَ بِمَا

سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُورَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ

و قَالَ إِنْ كُنْتَ لَا بُدَّ فَاعِلًا فَاصْنَعْ الشَّجَرَ وَمَا لَا نَفْسَ لَهُ

“Dari Sa’id bin Abi Al-Hasan beliau berkata; seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas lalu berkata; Sesungguhnya aku adalah orang yang melukis lukisan-lukisan ini, berilah aku fatwa tentangnya. Maka Ibnu Abbas berkata; mendekatlah kepadaku. Maka dia mendekat kepadanya. Lalu Ibnu Abbas berkata lagi; mendekatlah kepadaku. Maka dia mendekat hingga Ibnu Abbas meletakkan tangannya di atas kepalanya dan berkata; Aku beritahu engkau sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah SAW. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda; Semua pelukis di dalam Neraka. Setiap lukisan yang dia buat diberi jiwa, lalu makhluk itu menyiksanya di Neraka Jahannam.” Ibnu Abbas berkata; Jika engkau harus melukis, maka lukislah pepohonan dan benda yang tidak berjiwa” (H.R.Muslim)

Adapun foto (الصُّوْرَةُ الضَّوْئِيَّةُ/ الصُّوْرَةُ الشَّمْسِيَّةُ), maka ini tidak termasuk dalam cakupan pengertian Tashwir. Alasannya, fakta foto adalah نَقْلُ الظِّلِّ إلى اْلفِلْمِ (memindahkan bayangan ke film) bukan Tashwir, karena Tashwir adalah رَسْمُ صُوْرَةِ الشَّيْءِ (melukiskan gambaran sesuatu). Seorang Fotografer tidak pernah menggambar sesuatu, tetapi dia hanya memindahkan bayangan sesuatu ke dalam film untuk dicetak dengan memanfaatkan hukum-hukum cahaya, refleksi, dan hukum fisika lainnya. Fotografer hanya menggerakkan kamera untuk memindahkan bayangan tanpa melakukan aktivitas Tashwir apapun. Lagipula, fakta Tashwir adalah mengandung unsur إِبْدَاعٌ (kreatifitas), yaitu menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Hal ini berbeda dengan foto yang hanya sekedar mencetak bayangan. Bayangan segala sesuatu di alam ini secara alami sudah ada, namun bayangan-bayangan tersebut ada yang ditangkap dan dicetak, adapula yang tidak ditangkap dan dicetak. Yang ditangkap dan dicetak itulah yang menjadi fakta foto.

Dengan demikian, memfoto hukumnya mubah tanpa membedakan apakah obyeknya memiliki nyawa ataukah tidak. Memfoto dihukumi mubah karena tidak termasuk  Tashwir dan tidak tercakup dalam pengertian Tashwir. Pembahasan tentang hukum foto adalah pembahasan Tahqiqul Manath (penelitian obyek hukum), bukan pembahasan hukum itu sendiri. Memfoto hukumnya mubah karena fakta memfoto bukanlah fakta Tashwir yang diharamkan Syara’. Hal ini mirip dengan pembahasan haramnya Ghibah (menggunjing). Keharaman menggunjing sudah disepakati, namun apakah suatu perbuatan sudah tepat disebut menggunjing ataukah tidak, maka ini masuk pembahasan Tahqiqul Manath. Sesuatu yang disangka menggunjing bisa saja bukan, misalnya aktivitas menasehati, mengambil pelajaran (i’tibar), mengkritik perawi (Jarh dan Ta’dil) dll.

Adapun hukum mengedit foto ( تَعْدِيْلُ الصُّوْرَةِ الضَّوْئِيَّةِ/ الصُّوْرَةِ الشَّمْسِيَّةِ) makhluk bernyawa, maka hal itu perlu diperinci.

Pertama; Jika aktifitas mengedit tersebut mengubah gambar bernyawa yang ada pada foto menjadi sesuatu yang tidak bernyawa, misalnya memenggal kepala manusia dalam foto sehingga tubuhnya menjadi seperti pohon, mengubah foto ayam menjadi seperti guci, membuat foto ular menajdi seperti aliran sungai dan semisalnya, maka aktivitas mengedit seperti ini hukumnya mubah. Hal itu dikarenakan aktivitas mengedit seprti ini tidak bisa dimasukkan dalam pengertian menggambar (التَّصْوِيْرُ) sebagaimana tidak bisa dimasukkan dalam cakupan makna menggambar yang dilarang oleh syariat. Mengedit jenis ini lebih mendekati memotong kepala patung untuk mengubahnya menjadi sesuatu yang tidak mirip dengan manusia yang bernyawa. Memotong kepala patung bukan hal yang dilarang dan justru diperintahkan syariat. Abu Dawud meriwayatkan;

سنن أبى داود – مكنز (12/ 237، بترقيم الشاملة آليا)

 عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَتَانِى جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ لِى أَتَيْتُكَ الْبَارِحَةَ فَلَمْ يَمْنَعْنِى أَنْ أَكُونَ دَخَلْتُ إِلاَّ أَنَّهُ كَانَ عَلَى الْبَابِ تَمَاثِيلُ وَكَانَ فِى الْبَيْتِ قِرَامُ سِتْرٍ فِيهِ تَمَاثِيلُ وَكَانَ فِى الْبَيْتِ كَلْبٌ فَمُرْ بِرَأْسِ التِّمْثَالِ الَّذِى فِى الْبَيْتِ يُقْطَعُ فَيَصِيرُ كَهَيْئَةِ الشَّجَرَةِ وَمُرْ بِالسِّتْرِ فَلْيُقْطَعْ فَلْيُجْعَلْ مِنْهُ وِسَادَتَيْنِ مَنْبُوذَتَيْنِ تُوطَآنِ وَمُرْ بِالْكَلْبِ فَلْيُخْرَجْ ». فَفَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَإِذَا الْكَلْبُ لِحَسَنٍ أَوْ حُسَيْنٍ كَانَ تَحْتَ نَضَدٍ لَهُمْ فَأَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ

Dari Mujahid ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jibril Alaihis Salam datang menemuiku dan berkata, “Tadi malam aku datang untuk menemuimu, dan tidak ada yang menghalangiku untuk masuk kecuali patung yang ada di atas pintu. Di dalam rumah juga ada kain satir tipis yang bergambar patung, serta terdapat anjing, makaperintahkanlah memotong kepala patung yang berada di rumah hingga berbentuk pohon, dan perintahkanlah memotong tirai untuk dijadikan dua bantal yang diduduki, dan perintahkanlah untuk mengeluarkan anjing.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukan saran Jibril, namun tiba-tiba anjing milik Hasan atau Husain berada di bawah ranjang (rak), maka beliau memerintahkan untuk mengeluarkan hingga ia pun dikeluarkan. (H.R.Abu Dawud)

Hadis ini bermakna, mengubah gambar atau patung terlarang menjadi benda lain yang tidak bernyawa tidak dilarang syariat, dan justru malah diperintahkan.

Lagipula islam membolehkan menggambar sesuatu yang tidak bernyawa seperti pohon, batu, sungai, gunung dan semisalnya. Imam Muslim meriwayatkan;

صحيح مسلم (11/ 25)

عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي الْحَسَنِ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ إِنِّي رَجُلٌ أُصَوِّرُ هَذِهِ الصُّوَرَ فَأَفْتِنِي فِيهَا فَقَالَ لَهُ ادْنُ مِنِّي فَدَنَا مِنْهُ ثُمَّ قَالَ ادْنُ مِنِّي فَدَنَا حَتَّى وَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ قَالَ أُنَبِّئُكَ بِمَا

سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُورَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ

و قَالَ إِنْ كُنْتَ لَا بُدَّ فَاعِلًا فَاصْنَعْ الشَّجَرَ وَمَا لَا نَفْسَ لَه

“Dari Sa’id bin Abi Al-Hasan beliau berkata; seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas lalu berkata; Sesungguhnya aku adalah orang yang melukis lukisan-lukisan ini, berilah aku fatwa tentangnya. Maka Ibnu Abbas berkata; mendekatlah kepadaku. Maka dia mendekat kepadanya. Lalu Ibnu Abbas berkata lagi; mendekatlah kepadaku. Maka dia mendekat hingga Ibnu Abbas meletakkan tangannya di atas kepalanya dan berkata; Aku beritahu engkau sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah SAW. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda; Semua pelukis di dalam Neraka. Setiap lukisan yang dia buat diberi jiwa, lalu makhluk itu menyiksanya di Neraka Jahannam.” Ibnu Abbas berkata; Jika engkau harus melukis, maka lukislah pepohonan dan benda yang tidak berjiwa” (H.R.Muslim)

 Mengedit foto yang menampilkan makhluk bernyawa menjadi benda yang tidak bernyawa bermakna menggambar sesuatu yang tidak bernyawa. Oleh karena mengambar sesuatu yang tidak bernyawa hukumnya mubah, maka Mengedit foto yang menampilkan makhluk bernyawa menjadi benda yang tidak bernyawa hukumnya mubah.

Kedua; Jika aktifitas mengedit foto itu tidak mengubah makhluk bernyawa yang ada dalam foto, namun hanya mengubah warnanya,atau mengatur pencahayaannya, atau menambah bayangan, atau menghilangkan kerutan-kerutannya, atau menghilangkan/menambah tahi lalat, menambahi topi, menambahi baju, menambahi kerudung dan yang semakna dengan ini maka aktifitas mengedit seperti ini juga masih mubah. Hal itu dikarenakan aktivitas edit jenis ini tidak bisa dimasukkan dalam definisi menggambar dan tidak termasuk cakupan makna menggambar. Tidak ada rupa baru yang diciptakan dan tidak ada pengubahan gambar menjadi makhluk lain. Hal ini mirip seperti orang yang menyapukan warna hitam pada kanvas, atau menyapukan warna cahaya, atau menggamabar titik, menggambar garis, menggambar bulatan, dan sebagainya yang hukumnya mubah karena termasuk menggambar sesuatu yang tidak bernyawa.

Ketiga; Jika aktivitas mengedit foto itu dilakukan dengan mengubah makhluk yang ada dalam foto menjadi makhluk bernyawa yang lain, seperti manusia diedit menjadi kera atau yang mirip dengannya, ular diedit menjadi jerapah, gajah diedit menjadi tikus dan yang semakna dengan ini, maka aktivitas mengedit jenis inilah yang lebih dekat pada larangan menggambar. Hal itu dikarenakan, mengedit jenis ini bermakna melakukan aktivitas menggambar suatu  makhluk bernyawa dengan memanfaatkan citra yang tercetak pada foto. Fakta seperti ini lebih dekat pada fakta menggambar makhluk bernyawa daripada fakta menggambar sesuatu yang tidak bernyawa. Dengan demikian mengedit jenis ini terlarang. Larangannya tidak membedakan apakah aktivitas mengedit tersebut dilakukan secara manual dengan tangan maupun dengan komputer melalui perantaraan mouse dan keyboard. Semuanya dihukumi menggambar yang terlarang secara syar’i.

Jika ada diantara kaum muslimin yang berpendapatmengedit foto haram secara mutlak, tetapi masih melakukannya untuk kepentingan dakwah misalnya, maka kemungkinan beliau tidak tahu atau lupa. Jadi sebaiknya diingatkan larangan tersebut. Perlu diingat pula bahwa Islam tidak mengenal prinsip “tujuan menghalalkan segala cara”. 

Wallahua’lam.

 

Hukum Membatalkan Pernikahan


Dalam proses menuju pernikahan, kadang salah satu pihak membatalkan  Khitbah/pinangan/lamaran setelah Khitbah tersebut diterima. Dalam beberapa kasus, keputusan ini bisa menimbulkan  kekecewaan yang mendalam atau bahkan  berakhir dengan permusuhan. Bagi seorang muslim, menyikapi masalah ini tentu saja  harus distandarisasi dengan hukum Syara. Berikut tulisan seputar hukummembatalkan  pinangan. Mudah-mudahan bisa memberikan manfaat adanya.‎‎

Kesepakatan antara peminang dengan yang dipinang untuk menerima Khitbah/pinangan/lamaran, baik yang menerima pinangan tersebuk pihak wanita secara langsung ataupun Walinya termasuk Akad Jaiz sebagaimana Akad Wakalah (perwakilan), Wadi’ah (titipan), Syirkah (perseroan)  dan semisalnya bukan Akad Lazim seperti akad jual beli,akad Ijaroh (perkontrakan), akad Salam (pembelian uang dimuka) dan semisalnya. Akad Jaiz  boleh difasakh (dibatalkan) secara sepihak (dengan tidak ada konsekuensi dosa apapun) tanpa persetujuan pihak yang lain, semantara akad Lazim tidak bisa difasakh tanpa persetujuan kedua belah pihak yang berakad.

Dalil yang menunjukkan mubahnya membatalkan pinangan adalah hadis berikut;

صحيح البخاري (16/ 110)
عَنْ الْأَعْرَجِ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ
يَأْثُرُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا وَلَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ

Dari Al A’raj ia berkata; Abu Hurairah berkata; Satu warisan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jauhilah oleh kalian perasangka, sebab perasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara. Janganlah seorang laki-laki meminang atas pinangan saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya.”  (H.R.Bukhari)

Lafadz ” hingga ia menikahinya atau meninggalkannya ”  menunjukkan orang yang telah mengKhitbah (meminang) wanita punya dua pilihan sesudah pinangan tersebut diterima; melanjutkan dengan akad nikah atau meninggalkan pinangannya. Jika dia memilih meninggalkan pinangannya maka hal itu bermakna dia membatalkan  pinangan. Pembatalan pinangan dalam hadis ini tidak disertai lafadz dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang mengesankan ancaman dosa atau sekedar celaan. Oleh karena itu membatalkan  pinangan hukumnya mubah, bukan makruh apalagi haram.

Kebolehan membatalkan  bersifat mutlak, karena lafadz hadis di atas tidak diikat kondisi tertentu untuk menunjukkan kebolehan pembatalan tersebut. Jadi, pembatalan pinangan baik dengan alasan maupun tanpa alasan hukumnya tetap mubah tanpa ada celaan. Alasan pembatalan pinangan tidak mempengaruhi status hukum dan tidak dipertimbangkan.

Ali pernah melamar seorang wanita, kemudian membatalkan  pinangannya. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (12/ 69)
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ حُسَيْنٍ أَنَّ الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ قَالَ
إِنَّ عَلِيًّا خَطَبَ بِنْتَ أَبِي جَهْلٍ فَسَمِعَتْ بِذَلِكَ فَاطِمَةُ فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَزْعُمُ قَوْمُكَ أَنَّكَ لَا تَغْضَبُ لِبَنَاتِكَ وَهَذَا عَلِيٌّ نَاكِحٌ بِنْتَ أَبِي جَهْلٍ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعْتُهُ حِينَ تَشَهَّدَ يَقُولُ أَمَّا بَعْدُ أَنْكَحْتُ أَبَا الْعَاصِ بْنَ الرَّبِيعِ فَحَدَّثَنِي وَصَدَقَنِي وَإِنَّ فَاطِمَةَ بَضْعَةٌ مِنِّي وَإِنِّي أَكْرَهُ أَنْ يَسُوءَهَا وَاللَّهِ لَا تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللَّهِ عِنْدَ رَجُلٍ وَاحِدٍ فَتَرَكَ عَلِيٌّ الْخِطْبَةَ

Dari Az Zuhriy berkata, telah bercerita kepadaku ‘Ali bin Husain bahwa Al Miswar bin Makhramah berkata; “‘Ali pernah meminang putri Abu Jahal, lalu hal itu didengar oleh Fathimah. Maka Fathimah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata; “Kaummu berkata bahwa baginda tidak marah demi putri baginda. Sekarang ‘Ali hendak menikahi putri Abu Jahal”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan aku mendengar ketika beliau bersyahadat bersabda: “Hadirin, aku telah menikahkan Abu Al ‘Ash bin ar-Rabi’ lalu dia berkomitmen kepadaku dan konnsisten dengan komitmennya kepadaku. Dan sesungguhnya Fathimah adalah bagian dari diriku dan sungguh aku tidak suka bila ada orang yang menyusahkannya. Demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan putri dari musuh Allah pada satu orang laki-laki”. Maka ‘Ali membatalkan pinangannya. (H.R.Bukhari)

Adapun ayat dalam surat As-Shoff yang berbunyi;

{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ} [الصف: 2، 3]

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (As-Shoff;2-3)

Maka ayat ini tidak bisa dijadikan dalil untuk mencela pembatalan Khitbah/pinangan karena ayat ini sama sekali tidak berbicara topik pernikahan atau Khitbah. Ayat ini berbicara tentang Jihad dan mencela sebagian kaum muslimin yang mengucapkan statemen pengandaian yang berisi keinginan mereka melakukan amal yang paling dicintai Allah. Ternyata, setelah turun ayat yang memberitahu bahwa diantara amal yang paling dicintai Allah adalah berbaris rapi dalam rangka berjihad, sebagian kaum muslimin yang mengucapkan statemen pengandaian itu  merasa berat dengan kewajiban Jihad padahal sebelumnya mereka mengangan-angankannya. Sikap seperti inilah yang dicela oleh Allah dalm ayat ini. Yang menguatakan bahwa ayat ini turun berkaitan masalah Jihad adalah ayat sesudahnya yang berbunyi;

{نَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ} [الصف: 4]

Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (As-Shoff;4)

Adapun hadis tentang tanda-tanda orang munafik, misalnya hadis berikut;

صحيح البخاري (1/ 58)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat”. (H.R.Bukhari)

Maka hadis ini juga tidak bisa dijadikan dalil untuk mencela pembatalan pinangan. Hal itu dikarenakan, meskipun diakui bahwa Syariat mencela sifat mengingkari janji, namun pinangan bukanlah janji dan tidak bisa dimasukkan dalam janji. Pinangan adalah طلب نكاح (permintaan Nikah). dalam Mu’jam Lughati AL-Fuqoha dinyatakan;

معجم لغة الفقهاء (1/ 237)
الخطبة : بكسر الخاء ، طلب نكاح المرأة من نفسها أو من وليها

“Khithbah, dengan mengkasrohkan Kho’ adalah; permintaan menikahi wanita kepada wanita itu sendiri atau kepada walinya” (Mu’jam Lughati AL-Fuqoha, vol.1, hlm 237)

Janji untuk menikahi seorang wanita (secara diam-diam) sendiri dicela dalam Al-Quran, dan dilarang seorang Muslim melakukannya. Allah berfirman;

{لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا } [البقرة: 235]


Janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia (Al-Baqoroh; 235)

Jadi, keputusan membatalkan  pernikahan baik dari pihak lelaki maupun wanita dengan alasan apapun tidak bisa disalahkan secara hukum syara.

Wallohu A'lam.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...