Rabu, 25 November 2020

Hukum Membangun Pemakaman


Begitu banyak perilaku penyimpangan yang dilakukan umat hingga saat ini terkait masalah kubur ini. Ini jelas menyalahi petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bahkan merupakan perilaku penentangan. Padahal yang seharusnya umat sikapi adalah rasa syukur karena telah diperbolehkan berziarah kubur yang pada awalnya amalan tersebut terlarang, bukannya malah menghiasinya, mengkultuskannya, bahkan beribadah kepadanya, na’udzu billahi min dzaalika. Anjuran menziarahi tersebut sebagaimana sabda beliau ‎shalallahu ‘alaihi wa sallam dari Buraidah bin al-Hushaib radliyallahu ‘anhu,
 
إِنِّي نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرْكُمْ الاَخِرَةَ. وَ لَتَزِدْكُمْ زَيَارَةُهَا خَيْرًا. فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُورَ فَلْيَزُرْ وَ لاَ تَقُولُوا هُزُوَا.
 
“Sesungguhnya dahulu aku melarang kalian berziarah kubur. (Sekarang) berziarahlah kubur. Sesungguhnya akan mengingatkan kalian kepada akhirat. Dan mengunjungi kuburan akan menambah kebaikan kepada kalian. Barangsiapa ingin berziarah kubur, silahkan melakukannya, akan tetapi janganlah kalian mengatakan perkataan yang bathil.” (HR. Muslim dan Nasa’i)
Sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut merupakan anjuran yang ditekankan demi sebuah maslahat berupa ingatnya seorang muslim akan kematian, menyadarkan akan perkara kehidupan sesudah kematian, juga berfungsi untuk melembutkan hati yang keras akibat berjibaku dengan dunia beserta perhiasannya yang senantiasa melalaikan. 

Islam sebagai agama tidak hanya melulu mengajarkan berbagai hal yang bersifat ketuhanan (hablum minallah) yang menggambarkan relasi antara Allah sebagai Khaliq dan Manusia sebagai Makhluq. Tetapi juga masalah social (hablum minan nas), yang erat hubungannya dengan haqqul adami. Termasuk di dalamnya adalah tata cara merawat dan menggunakan tanah kuburan milik umum yang luasnya sangat terbatas sekali.

Hal ini sering kali di salah fahami oleh sebagian masyarakat. Mereka menganggap bahwa tanah kuburan milik umum yang di dalamnya terpendam jasad keluarganya, seringkali disalah artikan sebagai tanah milik keluarga. Entah karena merasa membayar ketika mengkuburkan atau karena tradisi yang berlaku di lingkungan masyarakat atau karena alasan lain. Oleh karena itu, seringkali ditemukan usaha untuk merenovasi (memperbaiki) batu nisan dan kijingnya ketika dianggap telah rusak atau usang. Seolah mereka lupa bahwa tanah kuburan itu adalah milik umum. Dan renovasi itu sebenarnya dapat menghalangi orang lain untuk menyemayamkan mayat di kuburan tersebut. Minimal mengurangi kesempatan orang lain memanfaatkan luas kuburan umum yang terbatas itu. Dengan kata lain, perwujudan batu nisan dan kijing yang permanen itu terlalu banyak memanfaatkan fasilitas umum.

Oleh karena itu wajar bila seorang kyai berwasiat pada anak cucunya, supaya kelak ketika mati dikubur di tempat umum tanpa menggunakan batu nisan apalagi kijing permanen. Baiknya kuburan itu ditandai saja dengan kayu supaya cepat rusak dan hilang di makan waktu. Agar kuburannya itu itu dapat digunakan untuk mengkubur orang lain lain lagi. Dengan demikian kyai itu tidak merasa mengambil atau menggunakan fasilitas umum dalam jangka waktu yang cukup lama. Pertanyaan yang muncul kemudian, babagaimana hukumnya memperbaharui nisan dan kijingnya dalam tanah kuburan umum?

Mengenai hal ini, Syamsudin ar-Ramli dalam Nihayatul Muhtaj dan juga Syikhul Islam Zakariya al-Anshari dalam Fathul Wahab menerangkan bahwa, segala upaya yang dianggap menghalangi pemanfaatan fasilitas umum di larang oleh agama. Dalam hal ini, haram hukumnya memperbarui ataupun membuat perangkat kuburan yang permanen, karena dapat menghalangi orang lain mengkuburkan jenazah. Dengan catatan mayat yang ada dalam kubur itu telah rusak.  Para ahli berpendapat bahwa sebuah mayat dapat bertahan hingga 15 tahun hingga 25 tahun. Ada pula yang bertahan hingga 70 tahun, perbedaan ini berdasarkan pada perbedaan iklim suatu daerah tertentu.
Adapun keterangan dalam kitab Nihyatul Muhtaj adalah sebagai beikut:

أَمَّا بَعْدَ الْبَلاَءِ عِنْدَ مَنْ مَرَّأَي مِنْ أَهْلِ الْخِبْرَةِ فَلاَ يَحْرُمُ النَّبْشُ بَلْ تَحْرُمُ أَمَارَتُهُ وَ تَسْوِيَةُ تُرَابٍ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ فِي مَقْبَرَةٍ مُسَبَّلَةٍ لإِمْتِنَاعِ النَّاسِ مِنَ الدَّفْنِ فِيْهِ لِظَنِّهِم بِهِ عَدَمَ الْبَلِى.
 
“Adapun jenazah yang sudah hancur sesuai dengan perkiraan para ahli yang sudah berpengalaman tidak diharamkan untuk digali kembali, bahkan diharamkan membangun bangunan dan meratakan (mengecor) tanah di atasnya jika berada di kuburan yang landai, karena itu bisa menghalangi orang lain untuk menguburkan (jenazah lain), karena mereka menyangka (jenazah yang pertama) belum hancur”. (Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj,  (Mesir: Matba’ah Musthafa al-Halabi, 1357 H/1938 M), Jilid III, h. 40)

Adapun ibaroh dalam Fathul Wahhab adalah sebagai berikut:

أَمَّا بَعْدَ الْبَلِى فَلاَ يَحْرُمُ نَبْشُهُ أَي الْمَيِّتِ بَلْ تَحْرُمُ عِمَارَتُهُ وَ تَسْوِيَةُ التُّرَابِ عَلَيْهِ لِئَلاَّ يَمْتَنِعَ النَّاسُ مِنَ الدَّفْنِ فِيْهِ لِظَنِّهِمْ عَدَمَ الْبَلِيِّ.

“Sedangkan jenazah yang telah hancur maka tidak haram digali, bahkan yang diharamkan adalah membangun, meratakan (mengecor) tanah di atasnya agar tidak menghalangi orang lain menguburkan (jenazah lain) karena menyangka (jenazah yang semula) belum hancur” (Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari, Fathul Wahhab,  (Beirut: Maktabah Darul Fikr,  1422 H/2002 M),  Juz I, h. 118.)

Kuburan tidak boleh dibangun, baik dengan semen (cor) ataupun yang lainnya, demikian juga tidak boleh menulisinya. Karena ada hadist yang shahih dari Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam yang melarang membangun kuburan dan menulisinya.

Dari Amir bin Sa’ad bahwa Sa’ad bin Abu Waqqash radliyallahu ‘anhuberkata ketika ia sakit menjelang ajalnya,
أَلْحِدُوا لِيْ لَحْدًا, وَانْصِبُوا عَلَيَّ اللبِنَ نَصْبًا, كَمَا صُنِعَ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم.
 
“Galilah lahad untuk kuburku dan dirikan/tancapkan batu bata dia atas kuburku sebagaimana yang diberlakukan pada kubur Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim)

 Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu berkata :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
 
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim no. 970, Abu Daawud no. 3225, At-Tirmidziy no. 1052, An-Nasaa’iy no. 2027-2028 dan dalam Al-Kubraa 2/463 no. 2166, ‘Abdurrazzaaq 3/504 no. 6488, Ahmad 3/295, ‘Abd bin Humaid 2/161 no. 1073, Ibnu Maajah no. 1562, Ibnu Hibbaan no. 3163-3165, Al-Haakim 1/370, Abu Nu’aim dalam Al-Musnad Al-Mustakhraj ‘alaa Shahiih Muslim no. 2173-2174, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/410 & 4/4, Ath-Thayaalisiy 3/341 no. 1905, Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin 3/191 no. 2057 dan dalam Al-Ausath 6/121 no. 5983 & 8/207 8413, Abu Bakr Asy-Syaafi’iy dalam Al-Fawaaaid no. 860, Abu Bakr Al-‘Anbariy dalam Hadiits-nya no. 68, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar1/515-516 no. 2945-2946, dan yang lainnya.

Asal dari larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan keharaman sebagaimana telah dimaklumi dalam ilmu ushul fiqh. Bahkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu – nenek moyang para habaaib – adalah salah seorang shahabat yang sangat bersemangat melaksanakan perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut sebagaimana terdapat dalam riwayat :
 
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ، قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: " أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ، وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ "
 
Dari Abul-Hayyaaj Al-Asadiy, ia berkata : ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah berkata kepadaku : “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku ? Hendaklah engkau tidak meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 969, Abu Daawud no. 3218, At-Tirmidziy no. 1049, An-Nasaa’iy no. 2031, dan yang lainnya].
Karena hal itu termasuk bentuk sikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga wajib mencegahnya.

Selain itu, menulis kuburan juga beresiko menimbulkan dampak atau konsekuensi berupa sikap ghuluwberlebihan dan sikap-sikap lain yang dilarang syar’iat. Yang dibolehkan adalah mengembalikan tanah galian lubang kubur ke tempatnya lalu ditinggikan sekitar satu jengkal sehingga orang-orang tahu bahwa di situ ada kuburan. Inilah yang sesuai sunnah dalam masalah kuburan yang dipraktekkan oleh Rasulullah ‎Shallallahu’alaihi Wasallam serta para sahabatnya radhiallahu’anhum.

Tidak boleh pula menjadikan kuburan sebagai masjid (tempat ibadah), tidak boleh pula menaunginya, ataupun membuat kubah di atasnya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :

لَعَنَ اللهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah)” (Muttafaqun ‘alaihi)

Juga berdasarkan hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya dari sahabat Jundub bin Abdillah Al Bajali ‎radhiallahu’anhu, beliau berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam ketika lima hari sebelum hari beliau meninggal, beliau bersabda :

إِنَّ اللهَ قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيْلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيْلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً، أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ، فَإِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ

“Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil (kekasih)-Nya sebagaimana Ia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Seandainya aku menjadikan seseorang dari umatku sebagai kekasihku, maka aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasihku. Ketahuilah bahwa orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan para Nabi dan orang shalih diantara mereka sebagai tempat ibadah. Ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid (tempat ibadah), karena sungguh aku melarang kalian melakukan hal itu”
Bukankah Makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dikijing?

Anda mungkin sering mendengar informasi ini. Dan info ini menjadi alasan utama untuk melegalkan praktek meninggikan kuburan, 

Ada beberapa jawaban untuk menegaskan bahwa kalimat ini adalah alasan yang salah,

Makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dikijing, tidak ditinggikan melebihi gundukan tanah normal. Itulah kondisi makam beliau yang ada di zaman sahabat. Saksi sejarah keterangan ini adalah riwayat dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُلْحِدَ وَنُصِبَ عَلَيْهِ اللَّبِنُ نَصَبًا، وَرُفِعَ قَبْرُهُ مِنَ الْأَرْضِ نَحْوًا مِنْ شِبْرٍ

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dimakamkan dalam liang lahat, diletakkan batu nisan di atasnya, dan kuburannya ditinggikan dari permukaan tanah setinggi satu jengkal.

Persaksian lain disampaikan oleh Sufyan bin Dinar at-Tammar – seorang ulama tabiin –,

أَنَّهُ رَأَى قَبْرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسَنَّمًا

”Bahwa beliau melihat makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk gundukan.” (HR. Bukhari 2/103).

Dalam riwayat lain, Sufyan at-Tammar mengatakan,

دخلت البيت الذي فيه قبر النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فرأيت قبر النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وقبر أبي بكر وعمر مُسنَّمةً

”Saya masuk ke rumah yang di dalamnya ada makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku lihat makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar dalam bentuk gundukan.” (HR. Ibn Abi Syaibah 11734).

Persaksian lain disampaikan oleh tiga ulama senior tabiin, Abu Ja’far, Salim murid Ibn Umar, dan al-Qosim bin Muhammad cucu Abu Bakr as-Shidiq. Mereka mengatakan,

كان قبر النبي صلى الله عليه وسلم وأبي بكر، وعمر جثى قبلة نصب لهم اللبن نصبا، ولحد لهم لحدا

Makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan Umar berupa gundukan menyerong kiblat, diberi batu nisan, dan dimakamkan dalam liang lahat. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushanaf 11634).

Semua riwayat ini menggambarkan keadaan awal makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat tidak membuat kijing untuk makam beliau, tidak pula memberikan kubah di atasnya. Sementara kita sepakat, tidak ada manusia yang lebih mencintai nabinya, melebihi para sahabat ‎radhiyallahu ‘anhum.

Namun rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah membuat mereka menyalahi aturan. Karena kecintaan mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka ekspresikan dalam bentuk ittiba’ (mengikuti aturan) yang ditetapkan oleh Rasulullah ‎shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itulah makna cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sesungguhnya.

Al-Qadhi Iyadh – seorang ulama syafiiyah – mengatakan,

فالصادق في حب النبي صلى الله عليه وسلم من تظهر علامة ذلك عليه وأولها: الاقتداء به واستعمال سنته واتباع أقواله وأفعاله وامتثال أوامره واجتناب نواهيه والتأدب بآدابه في عسره ويسره ومنشطه ومكرهه وشاهد

Orang yang jujur dalam mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang menampakkan ciri mengikuti jejak beliau, terutama adalah dengan meneladani beliau, mengamalkan sunahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab yang beliau contohkan, baik dalam keadaan susah maupun senang dan keadaan lapang maupun sempit. (asy-Syifa Bita’riifi Huquuqil Mushthafa, 2/24).

Larangan membangun kubur ini kemudian diteruskan oleh para ulama madzhab.
Madzhab Syaafi’iyyah, maka Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
 
وأحب أن لا يبنى ولا يجصص فإن ذلك يشبه الزينة والخيلاء وليس الموت موضع واحد منهما ولم أر قبور المهاجرين والانصار مجصصة ...... وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك
 
“Dan aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen, karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah melihat kubur orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar dikapur..... Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di Makkah, dan aku tidak melihat para fuqahaa’ mencela perbuatan tersebut” [Al-Umm, 1/316 – via Syamilah].
An-Nawawiy rahimahullah ketika mengomentari riwayat ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu di atas berkata :

فيه أن السنة أن القبر لا يرفع على الأرض رفعاً كثيراً ولا يسنم بل يرفع نحو شبر ويسطح وهذا مذهب الشافعي ومن وافقه،
 
“Pada hadits tersebut terdapat keterangan bahwa yang disunnahkan kubur tidak terlalu ditinggikan di atas permukaan tanah dan tidak dibentuk seperti punuk onta, akan tetapi hanya ditinggikan seukuran sejengkal dan meratakannya. Ini adalah madzhab Asy-Syaafi’iy dan orang-orang yang sepakat dengan beliau” [Syarh An-Nawawiy ‘alaa Shahih Muslim, 3/36].
Di tempat lain ia berkata :
 
وَاتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيِّ وَالْأَصْحَابِ عَلَى كَرَاهَةِ بِنَاءِ مَسْجِدٍ عَلَى الْقَبْرِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَيِّتُ مَشْهُورًا بِالصَّلَاحِ أَوْ غَيْرِهِ لِعُمُومِ الْأَحَادِيثِ
 
“Nash-nash dari Asy-Syaafi’iy dan para shahabatnya telah sepakat tentang dibencinya membangun masjid di atas kubur. Sama saja, apakah si mayit masyhur dengan keshalihannya ataupun tidak berdasarkan keumuman hadits-haditsnya” [Al-Majmuu’, 5/316].
Adapun madzhab Hanafiyyah, berikut perkataan Muhammad bin Al-Hasan rahimahullah :
 
أَخْبَرَنَا أَبُو حَنِيفَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا شَيْخٌ لَنَا يَرْفَعُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ تَرْبِيعِ الْقُبُورِ، وَتَجْصِيصِهَا ". قَالَ مُحَمَّدٌ: وَبِهِ نَأْخُذُ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
 
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Haniifah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami seorang syaikh kami yang memarfu’kan riwayat sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau melarang untuk membangun dan mengapur/menyemen kubur. Muhammad (bin Al-Hasan) berkata : Dengannya kami berpendapat, dan ia juga merupakan pendapat Abu Haniifah” [Al-Aatsaar no. 257].
Juga Ibnu ‘Aabidiin Al-Hanafiy rahimahullah yang berkata :
 
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ فَلَمْ أَرَ مَنْ اخْتَارَ جَوَازَهُ.... وَعَنْ أَبِي حَنِيفَةَ : يُكْرَهُ أَنْ يَبْنِيَ عَلَيْهِ بِنَاءً مِنْ بَيْتٍ أَوْ قُبَّةٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
 
“Adapun membangun di atas kubur, maka aku tidak melihat ada ulama yang memilih pendapat membolehkannya..... Dan dari Abu Haniifah : Dibenci membangun bangunan di atas kubur, baik berupa rumah, kubah, atau yang lainnya” [Raddul-Mukhtaar, 6/380 – via Syamilah].
Madzhab Maalikiyyah, maka Maalik bin Anas rahimahullah berkata :
أَكْرَهُ تَجْصِيصَ الْقُبُورِ وَالْبِنَاءَ عَلَيْهَا
“Aku membenci mengapur/menyemen kubur dan bangunan yang ada di atasnya” [Al-Mudawwanah, 1/189].
Juga Al-Qurthubiy rahimahullah yang berkata :
 
فاتخاذ المساجد على القبور والصلاة فيها والبناء عليها، إلى غير ذلك مما تضمنته السنة من النهي عنه ممنوع لا يجوز
 
“Membangun masjid-masjid di atas kubur, shalat di atasnya, membangun bangunan di atasnya, dan yang lainnya termasuk larangan dari sunnah, tidak diperbolehkan” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 10-379].
Madzhab Hanaabilah, maka Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
 
ويكره البناء على القبر وتجصيصه والكتابة عليه لما روى مسلم في صحيحه قال : [ نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يجصص القبر وأن يبنى عليه وأن يقعد عليه ] - زاد الترمذي - [ وأن يكتب عليه ] وقال : هذا حديث حسن صحيح ولأن ذلك من زينة الدنيا فلا حاجة بالميت إليه
 
“Dan dibenci bangunan yang ada di atas kubur, mengkapurnya, dan menulis tulisan di atasnya, berdasarkan riwayat Muslim dalam Shahiih-nya : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya’. At-Tirmidziy menambahkan : ‘Dan menulis di atasnya’, dan ia berkata : ‘Hadits hasan shahih’. Karena itu semua merupakan perhiasan dunia yang tidak diperlukan oleh si mayit” [Al-Mughniy, 2/382].
Juga Al-Bahuutiy Al-Hanbaliy rahimahullah yang berkata :
 
ويحرم اتخاذ المسجد عليها أي: القبور وبينها لحديث أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لعن الله اليهود اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد. متفق عليه 
 
“Dan diharamkan menjadikan masjid di atas kubur, dan membangunnya berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Allah melaknat orang Yahudi yang telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid-masjid’. Muttafaqun ‘alaih” [Kasysyaaful-Qinaa’, 3/774].
Juga Al-Mardawiy rahimahullah yang berkata :
 
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ : فَمَكْرُوهٌ ، عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ ، سَوَاءٌ لَاصَقَ الْبِنَاءُ الْأَرْضَ أَمْ لَا ، وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ قَالَ فِي الْفُرُوعِ : أَطْلَقَهُ أَحْمَدُ ، وَالْأَصْحَابُ
“Adapun bangunan di atas kubur, hukumnya makruh berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah), sama saja, apakah bangunan itu menempel tanah ataukah tidak. Pendapat itulah yang dipegang kebanyakan shahabat Ahmad. Dalam kitab Al-Furuu’dinyatakan : Ahmad dan shahabat-shahabatnya memutlakkan (kemakruhan)-nya” [Al-Inshaaf, 2/549].‎
Madzhab Dhaahiriyyah, maka Ibnu Hazm rahimahullah berkata :‎

مَسْأَلَةٌ: وَلاَ يَحِلُّ أَنْ يُبْنَى الْقَبْرُ, وَلاَ أَنْ يُجَصَّصَ, وَلاَ أَنْ يُزَادَ عَلَى تُرَابِهِ شَيْءٌ, وَيُهْدَمُ كُلُّ ذَلِكَ
 
“Permasalahan : Dan tidak dihalalkan kubur untuk dibangun, dikapur/disemen, dan ditambahi sesuatu pada tanahnya. Dan semuanya itu (bangunan, semenan, dan tanah tambahan) mesti dirobohkan” [Al-Muhallaa, 5/133].

Meletakkan batu nisan

‎Meskipun para ulama membenci penulisan di atas kubur secara mutlak, namun mereka membuat pengecualian (pembolehan) sebatas ada kebutuhan, misalkan hanya menuliskan nama orang yang wafat di atas kuburan agar kuburannya dikenali, bukan dalam kategori bermegah-megahan. Mengenai menuliskan sesuatu di makam, dimakruhkan kecuali jika dikarenakan luasnya kuburan atau banyaknya bebatuan di sekitar kuburan. Dimana dalam kondisi demikian dapatlah diterima untuk membuat tulisan nama di atas makam, sekedar mengenalinya. ‎

Pengambilan hukum ini diqiyaskan dari hadits berikut:

وَضْعِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ الحَجَرَ عَلَى قَبْرِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan batu di atas kuburan Utsman bin Mazh’un” [HR. Ibnu Majah dalam Al-Jana’iz no. 1561, dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu. Al-Albani berkata dalam Shahih Ibnu Majah: “hasan shahih”]

Hadits ini merupakan takhshiish bil qiyas dari keumuman larangan, kaidah ini dipakai oleh kebanyakan ulama. Hendaklah ia meminimalisir penulisan nama sebatas agar kuburan itu dikenali saja ketika dikhawatirkan kuburan itu hilang atau dilupakan. Mungkin dengan penulisan nama saja atau nomor makam tanpa penambahan bangunan dan semisalnya. Hal ini sesuai dengan kaidah,

مَا جَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بِزَوَالِه

“Hal-hal yang diperbolehkan karena udzur, menjadi terlarang apabila udzur itu hilang”.

Apabila memungkinkan dengan batu atau yang lain agar dapat dikenali, maka tidak apa-apa. Semua itu adalah upaya untuk mencapai tujuan yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap kuburan Utsman bin Mazh’un radhiyallahu ‘anhu dalam haditsnya:

أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي، وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي

“Apakah kuburan saudaraku ini diberi tanda? Aku akan menguburkan bersamanya orang-orang yang wafat dari keluargaku” [HR. Abu Daud dalam Al-Jana’iz no. 3206, Al-Baihaqi no. 6843, dari hadits Al-Muthalib bin Abdillah bin Hanthab radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dihasankan oleh Ibnul Mulaqqin dalam Al-Badr Al-Munir(2/29), Ibnu Hajar dalam Talkhis Al-Habiir (5/229) dan Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (7/161)]

Imam Nawawi -rohimahulloh- mengatakan:

ويستحب أن يجعل عند رأسه علامة من حجر أو غيره لأنالنبي صلى الله عليه وسلم دفن عثمان بن مظعون ووضع عندرأسه حجرا ولأنه يعرف به فيزار

Dianjurkan untuk menjadikan TANDA (nisan) DI POSISI KEPALA MAYIT, baik dari batu atau yg selainnya... Karena Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dahulu menguburkan Sahabatnya Utsman bin Mazh'un, dan meletakkan batu (nisan) DI POSISI KEPALANYA... Dan karena hal itu menjadikan kuburannya dikenal, sehingga bisa diziarahi. (Kitab Majmu', karya Imam Nawawi, 5/296)
Imam Nawawi -rohimahulloh- juga mengatakan:
السنة أن يجعل عند رأسه علامة شاخصة من حجر أو خشبة أوغيرهما هكذا قاله الشافعي... والمعروف في روايات حديثعثمان حجر واحد والله أعلم
Sunnahnya adalah menjadikan TANDA (nisan) yg jelas DI POSISI KEPALA MAYIT, baik terbuat dari batu, atau kayu, atau benda lainnya. Itulah yg dikatakan oleh IMAM SYAFI'I... Yang ma'ruf dalam beberapa riwayat hadits (yg menerangkan tentang kuburan) Sahabat Utsman bin Mazh'un adalah dengan SATU BATU NISAN. wallohu a'lam. (Kitab Majmu', Karya Imam Nawawi, 5/298)
Syaikh Al-Khathib Asy-Syarbini dalam kitab Mughni Al-Muhtaj

ويسن أيضا وضع الجريد الأخضر على القبر وكذا الريحان ونحوه من الشيء الرطب ولا يجوز للغير أخذه من على القبر قبل يبسه لأن صاحبه لم يعرض عنه إلا عند يبسه لزوال نفعه الذي كان فيه وقت رطوبته وهو الاستغفار ( و ) أن يوضع ( عند رأسه حجر أو خشبة ) أو نحو ذلك لأنه صلى الله عليه وسلم وضع عند رأس عثمان بن مظعون صخرة وقال أتعلم بها قبر أخي لأدفن إليه من مات من أهلي رواه أبو داود وعن الماوردي استحباب ذلك عند رجليه أيضا

“Disunnahkan menaruh pelepah kurma hijau (basah) di atas kuburan, begitu juga tumbuh-tumbuhan yang berbau harum dan semacamnya yang masih basah dan tidak boleh bagi orang lain mengambilnya dari atas kuburan sebelum masa keringnya karena pemiliknya tidak akan berpaling darinya kecuali setelah kering sebab telah hilangnya fungsi penaruhan benda-benda tersebut dimana selagi benda tersebut masih basah maka akan terus memohonkan ampunan padanya. Dan hendaknya ditaruh batu, atau sepotong kayu atau yang semacamnya dekat kepala kuburan mayat karena Nabi Muhammad SAW meletakkan sebuah batu besar didekat kepala ‘Utsman Bin madz’un seraya berkata : “Aku tandai dengan batu kuburan saudaraku agar aku kuburkan siapa saja yang meninggal dari keluargaku” (HR. Abu Daud) , menurut Imam mawardy kesunahan meletakkan tanda tersebut juga berlaku di dekat kedua kaki mayat”
( Mughni Almuhtaaj I/364 )

Imam kita asy-Syafi`i meriwayatkan daripada Ibraahiim bin Muhammad daripada Ja'far bin Muhammad daripada ayahandanyabahawasanya Junjungan Nabi s.a.w. telah menyiram (air) atas kubur anakanda baginda Ibrahim dan meletakkan atasnya batu-batu kerikil. Riwayat ini terkandung dalam "Musnad al-Imam al-Mu`adzhdzham wal Mujtahid al-Muqaddam Abi 'Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi`i r.a.", juzuk 1, halaman 215.

Maka perbuatan baginda inilah yang dijadikan dalil oleh para ulama kita untuk menghukumkan sunnat menjirus atau menyiram air ke atas pusara si mati diiringi doa agar Allah mencucurikan rahmat dan kasih sayangNya kepada almarhum/almarhumah. Amalan ini sudah sebati dengan masyarakat kita, walaupun sesekali ada yang mempertikaikannya. Pernah aku mendengar seseorang dalam ceramahnya yang berapi-api membid`ahkan amalan ini. Maaf maaf cakap, mungkin pengajiannya belum tamat agaknya, atau mungkin waktu tok guru sedang mengajar bab ini dia tertidur atau ponteng tak turun kuliyyah agaknya.

Pihak yang melakukannya pula ada yang hanya ikut-ikutan sahaja tanpa mengetahui hukumnya dalam mazhab yang kita pegangi. Ada yang melakukannya tetapi tidak kena caranya sehingga berubah hukumnya dari sunnat menjadi makruh. Untuk manfaat bersama, amalan menjirus air ke kubur dipandang SUNNAT dalam mazhab kita Syafi`i. Tetapi yang disunnatkan hanya dengan air semata-mata dan bukannya air mawar sebagaimana kelaziman sesetengah masyarakat kita. Menjirus air dengan air mawar dihukumkan MAKRUH kerana ianya merupakan satu pembaziran. Dan mutakhir ini, timbul tradisi yang tidak sihat, di mana penziarah, terutama dari kalangan berada, membuang duit untuk membeli jambangan bunga untuk diletakkan di atas pusara, persis kelakuan dan perlakuan penganut agama lain. Kalau dahulu, orang hanya memetik bunga-bungaan yang ditanamnya sendiri di sekeliling rumah seperti daun pandan, bunga narjis dan sebagainya yang diperolehi dengan mudah dan tanpa sebarang kos. Ini tidaklah menjadi masalah kerana boleh dikiaskan perbuatan Junjungan yang meletakkan pelepah tamar atas kubur. Tetapi menghias kubur dengan jambangan bunga yang dibeli dengan harga yang mahal, maka tidaklah digalakkan bahkan tidak lepas dari serendah-rendahnya dihukumkan makruh yakni dibenci Allah dan rasulNya dan diberi pahala pada meninggalkannya, seperti juga menjirus kubur dengan air mawar. Maka hendaklah dihentikan perbuatan menghias-hias kubur secara berlebihan, membazir dan membuangkan harta. Adalah lebih baik jika wang yang digunakan untuk tujuan tersebut disedekahkan kepada faqir dan miskin atas nama si mati, dan ketahuilah bahawa sampainya pahala sedekah harta kepada si mati telah disepakati oleh sekalian ulama tanpa ada khilaf.

Dalam "I`anatuth Tholibin" karya Sidi Syatha ad-Dimyathi, jilid 2, mukasurat 135 - 136 dinyatakan:-
 
و يسن أيضا وضع حجر أو خشبة عند رأس الميت،
لأنه صلى الله عليه و سلم وضع عند رأس عثمان بن مظعون
صخرة، و قال: أتعلم بها قبر أخي لأدفن فيه من مات من أهلي.
و رش القبر بالماء لئلا ينسفه الريح،
و لأنه صلى الله عليه و سلم فعل ذلك بقبر ابنه إبراهيم.
راوه الشافعي، و بقبر سعد رواه ابن ماجه،
و امر به في قبر عثمان بن مظعون راوه الترمذي.
و سعد هذا هو ابن معاذ.
و يستحب ان يكون الماء طاهر طهورا باردا،
تفاؤلا بأن الله تعالى يبرد مضجعه.
و يكره رشه بماء ورد و نحوه، لأنه إسراف و إضاعة مال

Dan disunnatkan meletakkan batu atau kayu (nisan) di sisi kepala mayyit, kerana bahawasanya Junjungan Nabi s.a.w. meletakkan sebiji batu besar (nisan) di sisi kepala (kubur) Sayyidina 'Utsman bin Madzh`uun, dan Junjungan bersabda: "Agar diketahui dengannya kubur saudaraku supaya aku boleh mengkebumikan padanya sesiapa yang mati daripada keluargaku". Dan (disunnatkan) menyiram (menjirus) kubur dengan air agar debu-debu tanah tidak ditiup angin dan kerana bahawasanya Junjungan Nabi s.a.w. melakukan sedemikian pada kubur anakanda baginda Sayyidina Ibrahim sebagaimana diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi`i; Dan juga pada kubur Sa`ad (yakni Sa`ad bin Mu`aadz) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, dan Junjungan s.a.w. telah memerintahkan dengannya (yakni dengan menjirus air) pada kubur Sayyidina 'Utsman bin Madzh`uun sebagaimana diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi. Dan yang mustahab adalah air tersebut suci lagi mensucikan dan sejuk (air mutlak biasa, jangan pulak disalahfaham dengan air sejuk peti ais plak), sebagai tafa`ul (mengambil sempena) mudah-mudahan Allah menyejukkan kubur si mati (yakni menyamankan keadaan si mati di tempat perbaringannya dalam kubur tersebut). Danmakruh menyiram atau menjirus dengan air mawar atau seumpamanya kerana perbuatan tersebut adalah satu pembaziran dan mensia-siakan harta.
Begitulah ketentuan hukum menjirus kubur dengan air biasa dalam mazhab  asy-Syafi`i. Diharap sesiapa yang telah beramal, tahu yang amalannya itu adalah sebagai menurut perbuatan Junjungan Nabi s.a.w. dan hendaklah diharap pahala atas amalannya tersebut dengan niat mencontohi amalan Baginda.
Khotimah

Dengan demikian, yang diajarkan oleh Islam tentang kuburan, adalah meninggikannya sekitar satu jengkal dan meletakkan batu nisan sebagai tanda bahwa di tempat itu ada kuburan, hingga tidak terjadi penghinaan kepada kuburan seperti diinjak, diduduki, dijadikan tempat untuk membuang kotoran dan sebagainya. Adapun menembok dan mendirikan bangunan di atasnya adalah hal yang dilarang. Rasulullah SAW bersabda, "Rasulullah SAW melarang menyemen kubur, duduk di atasnya dan membangunnya." (HR. Muslim)
Kalau kita perhatikan, memang kebanyakan makam para tokoh memang ditembok tinggi. seperti maqam Al-Imam Asy-Syafi''i di Mesir.demikian juga Kuburan Imam al-Bukhari  pun ditinggikan. ‎As-Subki dmenyatakan: “Adapun tentang tanah (kuburan), mereka telah meninggikan tanah kuburannya sehingga nampak menonjol.
Kuburan Imam Ahmad bin Hanbal (wafat tahun 241 H) juga dibuat menonjol dan masyhur menjadi tujuan ziarah para penziarah.‎
Dan demikian juga tokoh-tokoh islam lainnya, kubur mereka rata-rata dditinggikan dan  diberi tulisan. pengenal. Demikian juga kubur Abu Ayyub Al-Anshari, bahkan kubur Rasulullah SAW dan dua sahabat Abu Bakar dan Umar. 

Sebenarnya, tidaklah bijak kita terlalu meributkan masalah ini. Lagian, kan cuma makam, sama sekali tidak ada nilai ibadah ritualnya. Kalau pun ada nilainya, lebih kepada nilai sejarah dari perjuangan para ulama' yang telah dimakamkan tersebut. Jika memang kita menemui adanya praktik yang menyimpang dari ziarah kubur, praktik tersebutlah yang harus kita benahi.

Meskipun kita lebih cendrung memilih pendapat yang  membolehkan memberikan tanda kubur dengan adanya gundukan dan tulisan, tetapi kalau kita kembalikan kepada bentuk idealnya, mungkin yang paling ideal adalah seperti kubur para shahabat nabi di Makkah atau di Madinah. Semua makam jadi satu, tanpa nisan, tanpa tanda apapun. Yang ada cuma gundukan pasir dan tanah saja. 
Itu yang paling ideal, sebagai bentuk implementasi dari hadits-hadits yang tidak membolehkan adanya bangunan di atas kuburan. 
Wallahua’lam ‎

 

Hukum Membunuh Al Wazagh


Kali ini saya membahas tentang hadist yang sering dianggap konyol  oleh kaum kafir yaitu hadist tentang membunuh cicak, mereka mengejek Islam adalah agama yang aneh kenapa membunuh binatang kecil tidak bersalah itu.

Sering kita ketemui, terutama di tempat tinggal kita tidak akan lekang dengan hewan sejenis  ‎cicak. Makhluk ciptaan Allah ini selalu mengikuti di mana rumah itu berada maka ia pun akan menginap dan ‎berkembang biak disitu. Kita kadang dibuatnya naik pitam ketika melihat hewan yang pandai merayap ini. Jijik ‎dan geli kalau melihat hewan tersebut. 

Dalam pandangan Islam hewan ini salah satu hewan yang dianjurkan untuk di bunuh. Tidak hanya itu bagi ‎siapa yang dapat membunuhnya seketika sekali hempasan, maka bagi pelakunya akan medapatkan pahala ‎sebanyak 100 kebaikan. 

Tidak sedikit yang jijik dengan hewan kecil satu ini, ada juga yang bukan sekedar jijik tapi sampai ketakutan dengann hewan yang satu ini. Tahukah anda bahwa tarnyata ada sunnah dan perintah agar membunuh hewan ini.

Memang hewan ini ringan dan cepat bergerak tetapi bentuk dan struktur kulitnya menjijikan bagi sebagian orang sesuai dengan pengertiannya secara bahasa.

Memang benar bahwa ada nash-nash dari hadits nabawi yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAw memerintah kita untuk membunuh cecak. 

Hanya saja yang jadi masalah terkait dengan penerjemahan dari bahasa Arab aslinya. Nash aslinya bahwa Nabi SAW memerintahkan kita untuk membunuh hewan yang disebut sebagai wazagh. Ada dua masalah dalam hal ini :

Pertama : masalah cara penerjemahannya dari hewan wazagh ini, yang kadang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai cecak, dan kadang diterjemahkan sebagai tokek. Para ulama di Indonesia banyak berbeda pendapat ketika menterjemahkannya.

Kedua : apa 'illat di balik perintah untuk membunuh wazagh ini. Kenapa ujug-ujug Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk membunuh hewan ini? Sementara secara umum kita dilarang membunuh hewan tanpa alasan yang pasti. Disini para ulama memang berbeda pendapat.

Dalam kitab al-Qamus Al-Muhith dijelaskan,

الوَزَغَةُ ، مُحرَّكةً‏:‏ سامُّ ابْرَصَ ، سُمِّيَتْ بها لِخِفَّتِها وسُرْعَةِ حَرَكَتِها،

“Al Wazagh, (spesies  tokek) ,  dinamakan demikian karena ringannya dan cepat gerakannya”


Perintah agar membunuh Al Wazagh

Hadist terkait tentang ini adalah:

عن عامر بن سعد، عن أبيه؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بقتل الوزغ. وسماه فويسقا.

Dari ‘Aamir bin Sa’d, dari ayahnya : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan membunuh Al-wazagh, dan beliau menamakannya binatang fasiq” (HR.Muslim no. 2238, Abu Daawud no. 5262, Ibnu Hibbaan no. 5635, dan yang lainnya).

Membunuh Al-wazagh  mendapat 100 pahala kebaikan.

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا خَالِدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَتَلَ وَزَغَةً فِي أَوَّلِ ضَرْبَةٍ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةً وَمَنْ قَتَلَهَا فِي الضَّرْبَةِ الثَّانِيَةِ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةً لِدُونِ الْأُولَى وَإِنْ قَتَلَهَا فِي الضَّرْبَةِ الثَّالِثَةِ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةً لِدُونِ الثَّانِيَةِ حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ   حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنِي ابْنَ زَكَرِيَّاءَ حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ كُلُّهُمْ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَعْنَى حَدِيثِ خَالِدٍ عَنْ سُهَيْلٍ إِلَّا جَرِيرًا وَحْدَهُ فَإِنَّ فِي حَدِيثِهِ مَنْ قَتَلَ وَزَغًا فِي أَوَّلِ ضَرْبَةٍ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَفِي الثَّانِيَةِ دُونَ ذَلِكَ وَفِي الثَّالِثَةِ دُونَ ذَلِكَ و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنِي ابْنَ زَكَرِيَّاءَ عَنْ سُهَيْلٍ حَدَّثَتْنِي أُخْتِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ فِي أَوَّلِ ضَرْبَةٍ سَبْعِينَ حَسَنَةً

Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya; Telah mengkhabarkan kepada kami Khalid bin 'Abdullah dari Suhail dari Bapanya dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barang siapa yang membunuh wazagh (وَزَغَةً) satu kali pukul, maka dituliskan baginya pahala sebanyak begini dan begini kebaikan. Dan barang siapa yang membunuhnya dua kali pukul, maka dituliskan baginya pahala sebanyak begini dan begini kebaikan berkurang dari pukulan pertama. Dan siapa yang membunuhnya tiga kali pukul, maka pahalanya kurang lagi dari itu." Dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id; Telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb; Telah menceritakan kepada kami Jarir; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash Shabbah; Telah menceritakan kepada kami Isma'il iaitu Ibnu Zakaria; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib; Telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan seluruhnya dari Suhail dari Bapaknya dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang semakna dengan Hadis Khalid dari Suhail. Kecuali Jarir dia mengatakan di dalam Hadisnya; 'Barang siapa yang membunuh cicak sekali pukul, maka dituliskan baginya pahala seratus kebaikan, dan barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala yang kurang dari pahala pertama. Dan barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala lebih kurang dari yang kedua. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash Shabbah; Telah menceritakan kepada kami Isma'il iaitu Ibnu Zakaria dari Suhail; Telah menceritakan kepadaku Saudara perempuanku dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahawa beliau bersabda: 'Pada pukulan pertama terdapat tujuh puluh kebaikan.'(HR.Muslim)

Bahkan Imam an-Nawawi rahimahullah mengklaim adanya ijma’ ulama, beliau berkata,

واتفقوا على أن الوزغ من الحشرات المؤذيات

“Para ulama sepakat bahwa wazagh termasuk hewan kecil yang mengganggu.”

Al-Munawi mengatakan, “Allah memerintahkan untuk membunuh wazagh karena memiliki sifat yang jelek, sementara dulu, dia meniup api Ibrahim sehingga (api itu) menjadi besar.” (Faidhul Qadir, 6:193)

Dan ini contohkan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang juga ingin membunuh wazagh dengan tombak.

Dari saibah Maula Fakih bin Al-Mughirah ia menemui ‘Aisyah dan melihat beliau di rumahnya ada tombak yang diletakkan. Kemudia ia berkata:

يا أم المؤمنين ما تصنعون بهذا الرمح ؟ قالت هذا لهذه الأوزاغ نقتلهن به فإن رسول الله صلى الله عليه وسلم حدثنا أن إبراهيم صلى الله عليه وسلم حين ألقى في النار لم تكن في الأرض دابة إلا تطفىء النار عنه غير الوزغ فإنه كان ينفخ عليه فأمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بقتله ..

“Wahai Ummul Mukminin apa yang engkau perbuat dengan tombak tersebut?”

Beliau menjawab,

“Ini untuk para wazagh,kami membunuhnya karena Rasulullah shallallahu ’ala­ihi wasallam menceritkan kepada kami bahwa tatkala nabi Ibrahim dilemparkan ke api semua hewan melata dimuka bumi berusaha mematikan api kecuali wazagh, ia ikut meniupkan api maka Rasulullah shallallahu ’ala­ihi wasallam memerintahkan kita agar membunuh wazagh.”

Semakin cepat dibunuh semakin baik

Bahkan semakin cepat dibunuh semakin baik. Sebagaimana hadits membunuh sekali pukulan/serangan lebih banyak pahalanya dari pada dua kali.

Rasulullah shallallahu ’ala­ihi wasallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ وَزَغًا فِى أَوَّلِ ضَرْبَةٍ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَفِى الثَّانِيَةِ دُونَ ذَلِكَ وَفِى الثَّالِثَةِ دُونَ ذَلِكَ“

“Barangsiapa yang membunuh wazagh  pada pukulan pertama maka ditulis baginya seratus kebaikan, jika dia membunuhnya pada pukulan kedua maka dia mendapatkan pahala kurang dari itu, dan bila pada pukulan ketiga maka dia mendapatkan pahala yang kurang dari itu.”

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan

وأما سبب تكثير الثواب في قتله بأول ضربة ثم ما يليها فالمقصود به الحث على المبادرة بقتله ، والاعتناء به ، وتحريض قاتله على أن يقتله بأول ضربة ، فإنه إذا أراد أن يضربه ضربات ربما انفلت وفات قتله

“Adapun sebab banyaknya pahala pada pembunuhan wazagh  pada pukulan/serangan pertama maka maksudnya adalah motivasi agar bersegera membunuhnya ,perhatian (serius) membunuhnya serta memberikan semangat agar membunuh sekali pukulan saja. Jika dipukul dengan beberapa pukulan bisa jadi wazagh  terhindar dari kematian (bisa mengelak dan bersembunyi dengan cepat, ).”


Tentang kisah nabi Ibrahim:

عَنْ أُمِّ شَرِيكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَقَالَ كَانَ يَنْفُخُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام

Dari Ummu Syarik radiallahu 'anha bahawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk membunuh Al-wazagh. Dan Beliau bersabda: "Dahulu Al-wazagh ikut membantu meniup api (untuk membakar) Ibrahim 'Alaihissalam." (HR.Bukhari)

Saya tidak menemukan tentang wazagh  dalam Alqur’an yang ada hanya Qishashul Anbiya’ ibrahim yang dilontarkan ke dalam api:

قَالُوا۟ ٱبْنُوا۟ لَهُۥ بُنْيَٰنًۭا فَأَلْقُوهُ فِى ٱلْجَحِيمِ

Mereka berkata: "Dirikanlah suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim;lalu lemparkanlah dia ke dalam api yang menyala-nyala itu".
(QS.As-Shaffaat:97)

Lalu Allah menyelamatkannya:

فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِۦٓ إِلَّآ أَن قَالُوا۟ ٱقْتُلُوهُ أَوْ حَرِّقُوهُ فَأَنجَىٰهُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلنَّارِ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍۢ لِّقَوْمٍۢ يُؤْمِنُونَ

Maka tidak adalah jawaban kaum Ibrahim, selain mengatakan: "Bunuhlah atau bakarlah dia", lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman.
(QS.Al-Ankabuut:24)

Dalam HR.Bukhari, Nabi Ibrahim menyebut hasbunallahu wani’mal wakil sebelum dilontarkan ke dalam api. Kemudian beliau berdoa:


حَدَّثَنَا أَبُو هَاشِمٍ الرِّفَاعِيُّ ، ثنا إِسْحَاقُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، ثنا أَبُو جَعْفَرٍ الرَّازِيُّ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ بَهْدَلَةَ ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " لَمَّا أُلْقِيَ إِبْرَاهِيمُ فِي النَّارِ قَالَ : اللَّهُمَّ إِنَّكَ فِي السَّمَاءِ وَاحِدٌ ، وَأَنَا فِي الْأَرْضِ وَاحِدٌ أَعْبُدُكَ

Abu Ya’la mengatakan Abu Hasyim ar-Rifa’iy, meriwayatkan daripadanya dari Ishak bin Sulaiman, dari Abu Jaafar ar-Razi, dari ‘Asim bin Bahdalah Abu Najud, dari Abi Sholeh, dari Abi Hurairah radiallahuanhu, sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam; “Ketika Ibrahim dilemparkan ke dalam api, beliau berkata, “Ya Allah Sesungguhnya Engkau di langit sendirian dan aku di bumi sendirian menyembahMu” (HR.Abi Sa’id)

Tetapi mereka tetap ingin membakarnya

قَالُوا۟ حَرِّقُوهُ وَٱنصُرُوٓا۟ ءَالِهَتَكُمْ إِن كُنتُمْ فَٰعِلِينَ

Mereka berkata: "Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak".
(QS.Al-Anbiyaa’:68)

قُلْنَا يَٰنَارُ كُونِى بَرْدًۭا وَسَلَٰمًا عَلَىٰٓ إِبْرَٰهِيمَ

Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim",
(QS.Al-Anbiyaa’:69)

وَأَرَادُوا۟ بِهِۦ كَيْدًۭا فَجَعَلْنَٰهُمُ ٱلْأَخْسَرِينَ

mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi.
(QS.Al-Anbiyaa’:70)

Manhal bin Amru berkata melalui kisah Israiliat bahwa Nabi Ibrahim berada di dalam api selama 40 -50 hari. Diceritakan dari Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ikrimah bahwa ibu nabi Ibrahim pada kejadian itu, tidak henti-henti memandang anak kesayangannya itu dan dia memanggilnya, “Wahai Ibrahim anakku, aku ingin bersamamu. Doalah pada Allah agar aku dapat bersamamu dan menyelamatkan aku dari panasnya api di sekelilingmu”. Lalu ibunya masuk ke dalam api dan memeluk anaknya dan mencium anaknya. Setelah itu, ibunya keluar kembali, anaknya selamat.

Dalil tentang wazagh

 1.      Hadist dari Aisyah radiallahu 'anha 
Ummul Mukminin Aisyah radiallahu 'anha tidak menyuruh kita membunuh wazagh

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْوَزَغِ فُوَيْسِقٌ وَلَمْ أَسْمَعْهُ أَمَرَ بِقَتْلِهِ

Dari 'Aisyah radiallahu 'anha isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "wazagh itu kecil bahayanya". Dan aku tidak mendengar Beliau memerintahkan untuk membunuhnya". (HR. Bukhari dan Ahmad)

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْوَزَغِ الْفُوَيْسِقُ وَلَمْ أَسْمَعْهُ أَمَرَ بِقَتْلِهِ وَزَعَمَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِهِ

Dari 'Aisyah radiallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah menggelar wazagh dengan istilah fuwaisiq (binatang durhaka) dan aku tidak mendengar Beliau memerintahkan untuk membunuhnya sedangkan Sa'ad bin Abi Waqash beranggapan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah memerintahkan untuk membunuhnya".(HR. Bukhari dan Ahmad)

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْوَزَغِ الْفُوَيْسِقُ زَادَ حَرْمَلَةُ قَالَتْ وَلَمْ أَسْمَعْهُ أَمَرَ بِقَتْلِهِ
 
Dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menamai Al-wazagh dengan Fuwaisiq. Harmalah menambahkan; 'Dan aku belum mendengar beliau menyuruh untuk membunuhnya.' (Hadis Sahih Riwayat Muslim dan Ahmad)

2. Hadist dari Ummu Syarik

Dalil hadist yang dibawa Ummu Syarik, kebanyakan menyuruh membunuh wazagh

أُمَّ شَرِيكٍ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهَا بِقَتْلِ الْأَوْزَاغِ

Ummu Syarik mengkhabarkan kepadanya bahawa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk membunuh Al-wazagh (HR.Bukhari, Ahmad dan Ibnu Majah)

عَنْ أُمِّ شَرِيكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهَا بِقَتْلِ الْأَوْزَاغِ وَفِي حَدِيثِ ابْنِ أَبِي شَيْبَةَ أَمَرَ

Dari Ummu Syarik bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyuruhnya supaya membunuh semua Al-wazagh. Sedangkan di dalam Hadis Ibnu Abu Syaibah menggunakan lafazh 'Amara' (menyuruh) saja. (HR. Muslim)

أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ أَخْبَرَهُ أَنَّ أُمَّ شَرِيكٍ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا اسْتَأْمَرَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَتْلِ الْوِزْغَانِ فَأَمَرَ بِقَتْلِهَا وَأُمُّ شَرِيكٍ إِحْدَى نِسَاءِ بَنِي عَامِرِ بْنِ لُؤَيٍّ اتَّفَقَ لَفْظُ حَدِيثِ ابْنِ أَبِي خَلَفٍ وَعَبْدِ بْنِ حُمَيْدٍ وَحَدِيثُ ابْنِ وَهْبٍ قَرِيبٌ مِنْهُ

Bahawa Sa'id bin Al Musayyab telah mengkhabarkan kepadanya, Ummu Syarik Telah mengkhabarkan kepadanya, bahwa dia bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang membunuh wazagh. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyuruhnya agar dibunuh saja. Ummu Syarik adalah salah seorang wanita dari Bani Amir bin Luay. Lafaz Hadis Ibnu Abu Khalaf sama dengan lafaz Hadis Abad bin Humaid demikian juga Hadis Ibnu Wahab mirip dengan Hadis tersebut. (HR.Muslim)

3. Hadist dari Amr bin Sa’d 

Selain itu, terdapat perawi lain yang menyebut tentang membunuh wazagh

عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا


Dari 'Amir bin Sa'd dari Bapaknya bahawa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar membunuh Al Wazagh dan beliau memberi nama Fuwaisiq (si fasik kecil)."  (HR. Muslim, Abu Daud dan Ahmad)

أَنَّ نَافِعًا مَوْلَى ابْنِ عُمَرَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اقْتُلُوا الْوَزَغَ فَإِنَّهُ كَانَ يَنْفُخُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام النَّارَ قَالَ وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَقْتُلُهُنَّ

Bahwasanya Nafi' budak Ibnu Umar mengkhabarkan kepadanya bahwasanya Aisyah telah mengkhabarkan kepadanya bahwasanya Nabi shallaallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Bunuhlah Al-Wazagh, karena sesungguhnya ia meniupkan api kepada Nabi Ibrahim 'Alaihis salam." Dia berkata; "Sesungguhnya Aisyah membunuhAl-Wazagh tersebut." (HR. Ahmad)

5. Hadist dari Abu Hurairah 

مَنْ قَتَلَ وَزَغَةً فِيْ أَوَّلِ ضَرْبَةٍ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةٌ وَمَنْ قَتَلَهَا فِيْ الضَّرْبَةِ الثَّانِيَةِ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةٌ لِدُوْنِ الْأُوْلَى وَإِنْ قَتَلَهَا فِيْ الضَّرْبَةِ الثَّالِثَةِ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةٌ لِدُوْنِ الثَّانِيَةِ
 
Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barang siapa yang membunuh Al-Wazagh satu kali pukulan, maka dituliskan baginya pahala sebanyak begini dan begini kebaikan. Dan barang siapa yang membunuhnya dua kali pukulan, maka dituliskan baginya pahala sebanyak begini dan begini kebaikan berkurang dari pukulan pertama. Dan siapa yang membunuhnya tiga kali pukulan, maka pahalanya kurang lagi dari itu (HR.Muslim)

Jadi hadis membunuh Al-Wazagh adalah hadist mutawatir karena diriwayatkan oleh perawi yang banyak,  umumnya dari Ummu Syarik dan hadist yang tidak menyebut membunuh Al-wazagh adalah hadist masyhur yang umumnya dari Ummul Mukminin Aisyah radiallahu’anha. 

Ibnu Hajar Al-Asqolani melabelkan Ummu Syarik sebagai  sahabiyah dari kalangan Al-Ansar. Menurut Ibn Abd Al-Bar, pandangannya banyak berbeda dari isteri nabi sendiri dan kebanyakan darinya memberi pandangan bahwa pandangannya tidak sahih. 

Ini merujuk kepada hadist yang diriwayatkan mengenai Al-wazagh. Hadist Ummu Syarik mengenai Al-wazagh banyak diriwayatkan melalui hadist di dalam Musnad Imam Ahmad berjumlah 10 hadist.

Sahabiyah yang meriwayatkan Hadist dan ditulis dalam Al-Kutub At-Tis’ah (Kitab hadist yang menepati ahlu sunah wal jamaah) berjumlah 132 orang. Periwayat terbanyak adalah ‘Aisyah binti Abu Bakar, kemudian Hindun binti Abi Umayyah (Ummu Salamah). Keduanya merupakan istri Nabi shalallahu’alaihi wassalam. Kemudian berturut-turut Asma’ binti Abu Bakar, Zainab binti Abu Salamah, Maimunah binti al-Harits, Hafshah binti Umar, Ramlah binti Abi Sufyan (disebut ketiga terakhir ini semua adalah para isteri Nabi). Disusul Ummu ‘Athiyah, Shafiyyah binti Syaibah, dan Fahitah binti Abi Thalib. Dari sepuluh periwayat perempuan yang meriwayatkan Hadist terbanyak di antaranya adalah para isteri Nabi, satu orang lainnya adalah anak tiri Nabi (Zainab binti Abu Salamah), satu orang sepupu Nabi (Fahitah binti Abu Thalib), dan satu orang kakak ipar Nabi (Asma’ binti Abu Bakar). Hanya dua orang di antaranya yang tidak ada hubungan keluarga dengan Nabi, yaitu Nasibah binti Ka’ab (Ummu ‘Athiyah) dan Shafiyyah binti Syaibah.

Hadist dari Aisyah mengatakan Al-Wazagh itu berbahaya sedangkan hadist dari Ummu Syarik menyuruh membunuhnya. Dalam hadis Abu Hurairah, membunuh wazagh (وَزَغَةً) mendapat pahala dan disepakati jumhur ulama tentang kelebihan membunuh wazagh. Tetapi ulama masih tidak sepakat mengenai bolehnya membunuh Al-wazagh karena ia meniup api pada saat nabi Ibrahim dibakar lantaran tidak ada dalam nash Al-Quran yang menjelaskan itu. Pendapat yang lebih rojih adalah karena Al-wazagh itu menimbulkan mudarat dan berbahaya seperti dalam hadist dari Aisyah.

Anda mungkin berpikir dari tadi kok saya bahas Al-Wazagh bukan cicak ya??
dalam semua hadist yang dituduh sebagai hadist nyeleneh menyuruh membunuh cicak ternyata menggunakan kata Al-Wazagh (الوزغ), sedangkan cicak dalam bahasa arab disebut dengan sahliat (سحلية),  sedangkan tokek yang di dalam bahasa Arab disebut wazaghat (وَزَغَةً), binatang ini berbeda dengan cicak atau tokek.

Cicak nama latinnya adalah Cosymbotus platyurus, sedangkan Wazagh nama latinnya adalah Cyrtopodion scabrum.Cicak bertemu dengan Al-wazagh pada tingkat Famili (Gekkonidae). Wazagh juga bukan tokek, karena tokek punya nama latin Gekko sp. Saya sendiri tidak tahu kira-kira apa nama bahasa Indonesia dari Al-wazagh ini, bagaimana bisa membunuhnya? jenis binatang ini saja tidak tahu harus dicari kemana kalau di Indonesia.

Jadi sangat tidak cocok jika perintah membunuh Al-wazagh diqiyaskan dengan perintah membunuh cicak atau tokek ? wong beda binatang kok -_-

Ini satu lagi kecerobohan dan kesoktahuan umat tentang hewan yang dianjurkan untuk dibunuh dalam hadist tersebut, jenis hewannya aja dia udah salah.

Rasulullah menyebut wazagh sebagai fuwasiqa ( الْوَزَغُ فُوَيْسِقٌ), fuwaisiq ditakrif dengan makna bahaya dan bahaya jenis kecil atau “si fasik kecil”.  fasik  yaitu menyimpang dari ajaran Islam atau mendurhakai Allah.
Perhatikan juga hadist ini

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَمْسٌ مِنْ الدَّوَابِّ كُلُّهُنَّ فَاسِقٌ يَقْتُلُهُنَّ فِي الْحَرَمِ الْغُرَابُ وَالْحِدَأَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaiman berkata, telah menceritakan kepada saya Ibnu Wahb berkata, telah menceritakan kepada saya Yunus dari Ibnu Syihab dari 'Urwah dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam bersabda: "Ada lima jenis hewan yang kesemuanya berbahayasehingga boleh dibunuh saat ihram, yaitu: burung gagak, burung rajawali, tikus, kala jengking dan anjing galak". (HR.Bukhari)

Dari hadist di atas dijelaskan adanya anjuran untuk membunuh binatang jika menimbulkan bahaya atau mudharat.

Imam Suyuthi menyebutkan didalam “Al Asbah an Nazhoir” bahwa Binatang-binatang itu terbagi menjadi empat macam :
1. Binatang yang didalamnya terdapat manfaat dan tidak berbahaya maka ia tidak boleh dibunuh.
2. Binatang yang mengandung bahaya didalamnya dan tidak bermanfaat maka dianjurkan untuk dibunuh seperti : ular dan binatang-binatang yang berbahaya.
3. Binatang yang mengandung manfaat didalamnya dari satu sisi namun berbahaya dari sisi lainnya, seperti : burung elang maka tidak dianjurkan dan tidak pula dimakruhkan untuk membunuhnya.
4. Binatang yang tidak mengandung manfaat didalamnya dan tidak pula berbahaya, seperti : ulat, serangga sejenis kumbang maka tidaklah diharamkan dan tidak pula dianjurkan untuk membunuhnya. (Al Asbah an Nazoir juz II hal 336)

Jadi  Al-Wazagh bukanlah cicak rumah yang sering kita temui setiap hari, jika memang hewan ini membahayakan manusia atau meracuni makanan maka dibolehkan bagi kita untuk membunuhnya, hukumnya hanya sunah tidaklah wajib, jadi sama sekali tidak ada yang aneh atau nyeleneh dari hadist ini toh memang ada alasan yang jelas untuk membunuhnya bukan tanpa sebab. Lagian kapan kita bisa sering-sering mau membunuh binatang ini jika ketemu aja susah, banyak amalan sunah lainnya yang bisa kita lakukan selain membunuh wazagh toh.

Kesimpulan 

Semua riwayat di atas menunjukkan bahwa membunuh Al Wazagh hukumnya sunnah, tanpa pengecualian.

Sikap yang tepat dalam memahami perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sikap “sami’na wa atha’na” (tunduk dan patuh sepenuhnya) dengan berusaha mengamalkan sebisanya. Demikianlah yang dicontohkan oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum, padahal mereka adalah manusia yang jauh lebih bertakwa dan lebih berkasih sayang terhadap binatang, daripada kita. Di antara bagian dari sikap tunduk dan patuh sepenuhnya adalah menerima setiap perintah tanpa menanyakan hikmahnya. Dalam riwayat-riwayat di atas, tidak kita jumpai pertanyaan sahabat tentang hikmah diperintahkannya membunuh Wazagh. Mereka juga tidak mempertanyakan status Wazagh zaman Ibrahim jika dibandingkan dengan Wazagh  sekarang. Jika dibandingkan antara mereka dengan kita, siapakah yang lebih menyayangi binatang?

Penjelasan di atas tidaklah menunjukkan bahwa perintah membunuh Wazagh tersebut tidak ada hikmahnya. Semua perintah dan larangan Allah ada hikmahnya. Hanya saja, ada hikmah yang zahir, sehingga bisa diketahui banyak orang, dan ada hikmah yang tidak diketahui banyak orang. Adapun terkait hikmah membunuh Wazagh, disebutkan oleh beberapa ulama sebagai berikut:

Imam An-Nawawi menjelaskan, “Para ulama sepakat bahwa Wazagh  termasuk hewan kecil yang mengganggu.” (Syarh Shahih Muslim, 14:236)
Al-Munawi mengatakan, “Allah memerintahkan untuk membunuh Wazagh karena memiliki sifat yang jelek, sementara dulu, dia meniup api Ibrahim sehingga (api itu) menjadi besar.” (Faidhul Qadir, 6:193)

Hikmah yang disebutkan di atas, hanya sebatas untuk semakin memotivasi kita dalam beramal, bukan sebagai dasar beramal, karena dasar kita beramal adalah perintah yang ada pada dalil dan bukan hikmah perintah tersebut. Baik kita tahu hikmahnya maupun tidak.

Segala sesuatu memiliki manfaat dan madarat. Kita–yang pandangannya terbatas– akan menganggap bahwa Wazagh memiliki beberapa manfaat yang lebih besar daripada madaratnya. Namun bagi Allah–Dzat yang pandangan-Nya sempurna–hal tersebut menjadi lain. Allah menganggap madarat Wazagh  lebih besar dibandingkan manfaatnya. Karena itu, Allah memerintahkan untuk membunuhnya. Siapa yang bisa dijadikan acuan: pandangan manusia yang serba kurang dan terbatas ataukah pandangan Allah yang sempurna?

Manakah yang lebih penting, antara mengamalkan perintah syariat atau melestarikan hewan namun tidak sesuai dengan perintah syariat? Orang yang kenal agama akan mengatakan, “Mengamalkan perintah syariat itu lebih penting. Jangankan, hanya sebatas Wazagh, bila perlu, harta, tenaga, dan jiwa kita korbankan demi melaksanakan perintah jihad, meskipun itu adalah jihad yang sunnah.”

Semoga perenungan ini bisa menjadi acuan bagi kita untuk tunduk dan patuh pada aturan syariat Allah. Allahu a’lam.

 

Hukum Tidak Boleh Membunuh Hewan Dengan Di Siksa


Bagaimana hukum membunuh semut dan kecoak jika mengganggu? Padahal dalam hadits disebutkan bahwa semut tidaklah boleh dibunuh. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
 
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ النَّمْلَةُ وَالنَّحْلَةُ وَالْهُدْهُدُ وَالصُّرَدُ.
 
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh empat hewan: semut, lebah, burung Hudhud dan burung Shurad.” (HR. Abu Daud no. 5267, Ibnu Majah no. 3224 dan Ahmad 1: 332. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Sedangkan dalam hadits lain ada keterangan mengenai hewan fasik yang boleh untuk dibunuh karena sifatnya mengganggu. Dari ‘Aisyah, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِى الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ ، وَالْعَقْرَبُ ، وَالْحُدَيَّا ، وَالْغُرَابُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
 
“Ada lima jenis hewan fasik yang boleh dibunuh ketika sedang ihram, yaitu tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak dan kalb aqur (anjing galak).” (HR. Bukhari no. 3314 dan Muslim no. 1198)
Apa yang dimaksud hewan yang fasik? Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim (8: 114) menjelaskan bahwa makna fasik dalam bahasa Arab adalah al khuruj (keluar). Seseorang disebut fasik apabila ia keluar dari perintah dan ketaatan pada Allah Ta’ala. Lantas hewan-hewan ini disebut fasik karena keluarnya mereka hanya untuk mengganggu dan membuat kerusakan di jalan yang biasa dilalui hewan-hewan tunggangan. Ada pula ulama yang menerangkan bahwa hewan-hewan ini disebut fasik karena mereka keluar dari hewan-hewan yang diharamkan untuk dibunuh di tanah haram dan ketika ihram.
Kita lihat yang dimaksud dengan hewan fasik adalah hewan yang mengganggu sebagaimana keterangan dari ulama besar Syafi’iyah yaitu Imam Nawawi rahimahullah di atas.

Hukum membunuh binatang “secara sengaja” terbagi menjadi empat macam:
Pertama: Binatang yang boleh dibunuh dan tidak boleh dimakan, yaitu setiap hewan yang memiliki tabiat yang membahayakan atau menyakiti manusia maka boleh dibunuh, baik di tanah suci maupun di tempat lain. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

خَمْسٌ مِنَ الدَّوَابِّ كُلُّهَا فَوَاسِقُ تُقْتَلُ فِى الْحَرَمِ الْغُرَابُ وَالْحِدَأَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ وَالْعَقْرَبُ وَالْفَارَةُ

“Lima hewan yang semuanya jahat, boleh dibunuh walau di tanah suci; burung gagak, burung rajawali, anjing yang suka melukai, kalajengking dan tikus.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha]
Dalam riwayat yang lain: “juga ular.” Dan dikiaskan semua binatang yang berbahaya seperti harimau, singa dan lain-lain, termasuk yang ditanyakan yaitu nyamuk, hukumnya boleh dibunuh.
Dan dibolehkan membunuh hewan-hewan tersebut dengan cara apa saja selama tidak mengandung penyiksaan seperti dibakar, sehingga dibolehkan insya Allah denganmenyemprotkan insektisida.
Kedua: Binatang yang boleh dibunuh dan boleh dimakan, seperti unta, sapi, kambing, ayam dan lain-lain, hukumnya boleh dibunuh untuk dimakan dengan disembelih atau dibunuh dengan cara yang sesuai syari’at.

Ketiga: Binatang yang tidak boleh dibunuh, yaitu hewan yang tidak memiliki tabiat yang jelek dan tidak pula dibolehkan memakannya. Diantaranya yang disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata,

إِنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ النَّمْلَةُ وَالنَّحْلَةُ وَالْهُدْهُدُ وَالصُّرَدُ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melarang dari membunuh empat jenis hewan; semut, lebah, burung hud-hud dan burung shurod.” [HR. Abu Daud, Al-Irwa’: 2490]

Juga dalam hadits Abdur Rahman bin Utsman radhiyallahu’anhu, beliau berkata

أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِى دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ قَتْلِهَا

“Bahwasannya seorang dokter bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tentang katak untuk dijadikan obat, maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melarang dari membunuh katak.” [HR. Abu Daud, Shahihut Targhib: 2991]
Keempat: Hewan yang tidak boleh dibunuh namun menyakiti, seperti semut atau lebah yang menyakiti, hendaklah diusir, ditakut-takuti, dijauhkan dan semisalnya. Kalau terpaksa harus membunuh maka boleh dibunuh tanpa menyiksa.
Islam melarang kita untuk membunuh sesuatu dengan membakar, karena yang berhak membakar adalah Allah Ta'alaa saja sebagaimana sabda Rasulullah shallawahu 'alaihi wasallam:

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ :بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْثٍ فَقَالَ إِنْ وَجَدْتُمْ فُلَانًا وَفُلَانًا فَأَحْرِقُوهُمَا بِالنَّارِ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَرَدْنَا الْخُرُوجَ إِنِّي أَمَرْتُكُمْ أَنْ تُحْرِقُوا فُلَانًا وَفُلَانًا وَإِنَّ النَّارَ لَا يُعَذِّبُ بِهَا إِلَّا اللَّهُ فَإِنْ وَجَدْتُمُوهُمَا فَاقْتُلُوهُمَا‎

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu beliau berkata : Rasulullah shallawahu  'alaihi wasallam mengutus kami dalam satu sariyah lalu Beliau berkata : " jika kalian menemukan fulan dan fulan maka bakarlah keduanya dengan api, kemudian ketika kami hendak berangkat Rasulullah shallawahu 'alaihi wasallam berkat : "sesungguhnya aku telah memerintahkan kalian untuk membakar fulan dan fulan, sesungguhnya api tidak pantas untuk menyiksa dengannya kecuali Allah, maka jika kalian menemukan mereka bunuhlah mereka berdua" HR Bukhari.

Demikian pula hadis dari Hamzah bin Amr Al-Aslami, beliau bercerita:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّرَهُ عَلَى سَرِيَّةٍ قَالَ: فَخَرَجْتُ فِيهَا، وَقَالَ: «إِنْ وَجَدْتُمْ فُلَانًا فَأَحْرِقُوهُ بِالنَّارِ». فَوَلَّيْتُ فَنَادَانِي فَرَجَعْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ: «إِنْ وَجَدْتُمْ فُلَانًا فَاقْتُلُوهُ وَلَا تُحْرِقُوهُ، فَإِنَّهُ لَا يُعَذِّبُ بِالنَّارِ إِلَّا رَبُّ النَّارِ ».

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampernah mengutusnya bersama pasukan perang, ketika hendak berangkat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan, “Jika kalian menjumpai si A, bakarlah dia dengan api.” Kemudian aku berangkat. Lalu beliau memanggilku dan aku kembali dan beliau berpesan, “Jika kalian menangkap si A, bunuhlah dan jangan kalian bakar. Karena tidak boleh menyiksa dengan api kecuali Tuhannya api (yaitu Allah).” (HR. Abu Daud 2673 dan dishahihkan Al-Albani)‎‎

- عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ أُتِيَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِزَنَادِقَةٍ فَأَحْرَقَهُمْ فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أُحْرِقْهُمْ لِنَهْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ وَلَقَتَلْتُهُمْ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

Dari Ikrimah berkata : telah dihadapkan kepada Ali radhallahu anhu orang-orang zindiq lalu beliau membakar mereka, namun berita tersebut sampai kepada Ibnu Abbas radhiallahu anhu lalu beliau berkata : " seandainya aku, tentu aku tidak akan membakar mereka karena Rasulullah shallawahu 'alaihi wasallam melarangnya dalam sabda beliau : "janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah" tapi tentulah aku akan membunuh mereka berdasarkan sabda Rasulullah shallawahu 'alaihi wasallam : " barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah".

ما أخرج البزّار في مسنده عن عثمان بن حبّان قال : " كنت عند أمّ الدّرداء رضي الله عنها ، فأخذت برغوثاً فألقيته في النّار ، فقالت : سمعت أبا الدّرداء يقول : قال رسول اللّه صلى الله عليه وسلم : لا يعذّب بالنّار إلاّ ربّ النّار ".

Dikeluarkan oleh Al-Bazzar dalam musnadnya dari Utsman bin Hibban berkata: ketika itu aku ditempat Ummu Darda' radhiallahu anha, lalu aku mengambil seekor kutu lalu aku melemparkannya kedalam api, maka beliau berkata : aku mendengar Abu Darda' berkata: Rasulullah shallawahu  'alaihi wasallam bersabda : " tidak boleh menyiksa dengan api kecuali Robbnya api".

Riwayat- riwayat diatas menunjukkan dilarangnya membunuh atau menyiksa dengan api, dalam hal ini para sahabat berbeda pendapat:

1- Sebagian ada yang melarangnya termasuk Ibnu Abbas dan Umar bin Khatthab radhiallahu anhum berdasarkan riwayat-riwayat diatas.

2- Sebagian lain ada yang membolehkannya termasuk Ali bin Abi Thalib dan Khalid bin Walid radhallahu anhum berdasarkan beberapa riwayat :

- Diantaranya ketika ada golongan Saba'iyyah yang menganggap Ali sebagai Robb beliau membakar mereka.

عن عَبْد اللَّه بْن شَرِيك الْعَامِرِيّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : قِيلَ لِعَلِيٍّ إِنَّ هُنَا قَوْمًا عَلَى بَاب الْمَسْجِد يَدَّعُونَ أَنَّك رَبّهمْ ، فَدَعَاهُمْ فَقَالَ لَهُمْ وَيْلكُمْ مَا تَقُولُونَ ؟ قَالُوا : أَنْتَ رَبُّنَا وَخَالِقنَا وَرَازِقنَا . فَقَالَ : وَيْلكُمْ إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ مِثْلُكُمْ آكُلُ الطَّعَام كَمَا تَأْكُلُونَ وَأَشْرَبُ كَمَا تَشْرَبُونَ .... ، وَجَاءَ بِالْحَطَبِ فَطَرَحَهُ بِالنَّارِ فِي الْأُخْدُود وَقَالَ : إِنِّي طَارِحكُمْ فِيهَا أَوْ تَرْجِعُوا ، فَأَبَوْا أَنْ يَرْجِعُوا فَقَذَفَ بِهِمْ فِيهَا حَتَّى إِذَا اِحْتَرَقُوا قَالَ : إِنِّي إِذَا رَأَيْت أَمْرًا مُنْكَرًا أَوْقَدْت نَارِي وَدَعَوْت قَنْبَرَا
وَهَذَا سَنَد حَسَن

Dari Abdullah bin Syarik Al-'amiriy dari ayahnya berkata : diberitakan kepada Ali bahwa ada satu kaum di depan pintu masjid mendakwa dirimu sebagai Robb mereka, lalu beliau memanggil mereka dan berkata : celaka kalian apa yang kalian katakan ? mereka berkata : Engkau adalah Robb kami dan Pencipta kami dan Pemberi kami, lalu beliau berkata : celaka kalian, aku hanyalah hamba seperti kalian makan sebagaimana kalian makan dan minum sebagaimana kalian minum,.....lalu beliau memerintah seseorang untuk membawa kayu bakar dan dilemparkan kedalam parit dalam keadaan menyala, lalu beliau berkata: sesungguhnya aku akan melempar kalian kedalamnya atau kalian bertaubat, namun mereka enggan bertaubat dan Alipun melempar mereka kedalam api sampai terbakar.

2- Begitu pula riwayat yang menceritakan ketika Rasulullah shallawahu alaihi wasallam menusuk mata orang-orang 'Urainiyyin dengan besi yang dibakar.

3- Begitu pula ketika Abu Bakar membakar golongan murtaddin.

4- Begitu juga Khalid bin Walid yang membakar golongan murtaddin, ini semuanya menunjukkan bolehnya membunuh dengan api.

Berkata Muhallab :  larangan dalam hadits tidak menunjukkan pengharamannya tetapi sebagai bentuk sikap tawadhu', yang menunjukkan bolehnya membakar adalah perbuatan para sahabat. Dan sebagian ulama Madinah membolehkan membakar benteng-benteng dan kapal-kapal seperti yang dikatakan Imam nawawi dan 'Auzai.

Adapun membunuh nyamuk dengan raket nyamuk, maka sepengetahuan kami, nyamuk tidak mati karena terbakar, tapi karena kesetrum, lalu terbakar dalam keadaan sudah mati, jadi tidak termasuk dalam hal menganiaya nyamuk

Namun pendapat yang kuat adalah dilarang membunuh dengan membakar berdasarkan hadits Nabi diatas, adapun riwayat dari sebagian sahabat mansukh dengan larangan Nabi shallawahu 'alaihi wasallam, dan riwayat membakar benteng dan kapal itu karena darurat,demikian juga sebagian sahabat mengingkarinya, seperti Ibnu Abbas ketika mengingkari perbuatan Ali radhiallahu anhu.

Adapun membunuh nyamuk dengan raket nyamuk, maka sepengetahuan kami, nyamuk tidak mati karena terbakar, tapi karena kesetrum, lalu terbakar dalam keadaan sudah mati, jadi tidak termasuk dalam hal menganiaya nyamuk, oleh karenanya hukumnya diperbolehkan, apalagi nyamuk termasuk serangga yang mengganggu dan juga menyebabkan beberapa penyakit yang berbahaya, jadi syariat mengizinkan kita untuk membunuhnya dengan cara apapun yang memudahkan, apalagi kalau jumlahnya banyak.

Syeikh Hamid bin Abdullah Al-'Ali  ketika ditanya apakah boleh membunuh nyamuk dengan alat yang ada arus listriknya? Lalu beliau menjawab: tidak mengapa karena nyamuk mati sebelum terbakar.

Pendapat ini juga kami rujuk kepada fatwa yang dikeluarkan oleh website Thariqul Islam dari Syeikh Hamid bin Abdullah Al-'Ali  ketika ditanya apakah boleh membunuh nyamuk dengan alat yang ada arus listriknya? Lalu beliau menjawab: tidak mengapa karena nyamuk mati sebelum terbakar.

Akan tetapi ada perbedaan antara penyiksaan dengan setruman yang menyebabkan kematian yang dilakukan alat ini dengan sebab masuknya serangga ke dalamnya sebagaimana ia masuk ke dalam api saat ia menyala. Sebagaimana masuknya serangga-serangga itu ke dalam api tidak mengharamkan penyalaan api dan mengambil manfaat darinya, maka begitu juga masuknya serangga-serangga itu ke dalam alat setrum dengan sendirinya membolehkan penggunaannya untuk melepaskan diri dari gangguan nyamuk dan lalat yang bila banyak maka sangat susah melepaskan diri dari gangguannya dengan selain cara ini.

Bahkan dalil telah menunjukan akan kebolehan membakar hewan yang menyakiti untuk menolak gangguannya bila ia tidak tertolak kecuali dengan cara itu, sebagaimana dalam kisah seorang nabi yang digigit seekor semut, maka ia memerintahkan agar membakar kampung semut itu semuanya, maka Allah mewahyukan kepadanya:

هلا نملة واحدة
“Kenapa tidak seekor semut saja”.

Maksudnya kenapa engkau tidak membakar seekor semut saja yang menggigitmu… ini adalah dalil yang menunjukan bahwa bial tidak mungkin melepaskan diri dair gangguan sebagian hewan kecuali dengan api, maka sesungguhnya hal itu adalah tidak apa-apa namun tanpa melampaui batas, sedangkan alat ini tidak menyetrum kecuali lalat atau nyamuk yang menerobosnya, persis seperti api yang dinyalakan untuk penerangan dan penghangatan badan atau untuk memasak dan yang lainnya…

Dan juga penyiksaan itu adalah dengan melakukan hal itu secara langsung oleh orang, sedangkan alat ini hanyalah dimasuki oleh nyamuk yang mengganggu manusia dan bukan manusia yang sengaja melemparkan nyamuk ke dalamnya untuk mereka siksa…

Dan dalam bab ini sangat berfaedah mengingat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membakar pohon-pohon kurma Bani An Nadlir, sedangkan pohon kurma itu biasanya tidak kosong dari burung atau serangga atau hal serupa itu, dan sangat sulit menghindari dari keterbakarannya dalam kondisi ini. Dan ini masuk dalam apa yang dikatakan olehh fuqoha “sah atau terbukti secara keterikutan apa yang tidak terbukti (sah) secara menyendiri”…. Di mana dalam pembakaran pohon-pohon kurma itu tidak aada maksud dan penyengajaan membakar hewan-hewan yang ada di pohon-pohon itu, akan tetapi tatkala sulit menghindari hal itu maka ada rukhsahah di dalamnya, sebagaii bagian dari kaidah (Bila kondisi menyempit maka urusan jadi lapang). Dan An Nawawi menghikayatkan ijma prihal kebolehan membunuh hal-hal yang menyakiti…

Adapun sikap mempersulit dan fatwa pengharaman dari sebagian mufti resmi (pemerintah) dalam hal ini dengan klaim bahwa itu adalah penyiksaan, maka ia adalah tergolong hal aneh yang paliing mengherankan terutama bahwa mayoritas mereka itu berpura-pura buta dari penyiksaan kaum muslimin, para duat dan mujahidin di sel-sel penjara ulil amri mereka dan pembakaran mereka dengan rokok-rokok mereka yang mereka padamkan di badan-badan bahkan di aurat-aurat kaum mu’minin yang disiksa. Sikap tasyaddud (terlalu mempersulit) dalam membakar dan menyiksa nyamuk ini beserta sikap tasahul (terlalu memperenteng) dan berpura-pura buta dari pembakaran muwahhidin dan mujahidin ini mengingatkan saya dan sangat pas dengannya apa yang dikatakan ibnu Umar radliyallahu ‘anhu di tengah mereka, maka ia berkata kepada mereka:

تسألون عن دم البعوضة وقد قتلتم الحسين بن علي ؟! وقد سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول عن الحسن والحسين:  هما ريحانتاي في الدنيا

“Kalian bertanya tentang darah seekor nyamuk sedangkan kalian telah membunuh Al Husen ibnu Ali?! Sungguh saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang Al Hasan dan Al Husen: (Keduanya adalah buah hatiku di dunia).” Dikeluarkan oleh Al Bukhari.

Dan saya katakan: Mereka itu mengharamkan penyiksaan dan pembakaran nyamuk dan mereka tasyaddud di dalamnya; namun mereka tidak menoleh kepda penyiksaan dan pembakaran Ansharuddien yang dilakukan siang malam oleh wali-wali mereka, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata:
لا يبغض الأنصار رجل يؤمن بالله واليوم الآخر

“Tidak membenci anshar (pembela agama Allah) seorang pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (HR Muslim)

   Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

لَوْ أَنَّ أَهْلَ السَّمَاءِ وَأَهْلَ الأَرْضِ، اشْتَرَكُوا فِي دَمِ مُؤْمِنٍ، لأَكَبَّهُمُ اللَّهُ فِي النَّارِ

“Seandainya penduduk langit dan penduduk bumi semua mengambil bagian dalam menumpahkan darah seorang mukmin, maka Allah akan menelungkupkan mereka (semua) dalam neraka.” (HR At Tirmidzi)

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

لَزَوَالُ الدُّنْيَا، أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

(Sungguh lenyapnya dunia adalah lebih ringan di sisi Allah dari pembunuhan seorang muslim). (HR Muslim)

Dari Abdullah ibnu ‘Umar radliyallahu ‘anhuma berkata: (Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam thawaf di Ka’bah dan berkata:

مَا أَطْيَبَكِ وَأَطْيَبَ رِيحَكِ، مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَحُرْمَةُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ حُرْمَةً مِنْكِ، مَالِهِ وَدَمِهِ، وَأَنْ نَظُنَّ بِهِ إِلاَّ خَيْراً

Alangkah wanginya engkau dan alangkah wanginya aromamu, alangkah agungnya engkau dan alangkah agungnya kehormatanmu. Demi Dzat Yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya sungguh kehormatan orang mu’min itu lebih agung di sisi Allah dari kehormatanmu, hartanya dan darahnya, dan kami tidak mengira padanya kecuali kebaikan). (HR Ibnu Majah).

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

سباب المسلم فسوق وقتاله كفر

(Mencerca orang muslim adalah kefasiqan dan memeranginya adalah kekafiran). (Muttafaq ‘alaih)
Wallohu A'lam.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...