Rabu, 25 November 2020

Pentingnya Belajar


Seperti yang kita ketahui bahwa menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim. hukum wajib disini berlaku untuk ilmu agama mencakup ilmu fiqih seperti tata cara shalat, tata cara wudhu dan lain sebagainya. tanpa ilmu agama, maka dikhawatirkan seorang muslim melakukan keasalahan dalam ibadahnya sehingga amal ibadahnya tidak diterima oleh ALLAH SWT. ilmu agama tentu sangat berguna dalam menimbang segala sesuatu yang kita alami selama hidup di dunia yang singkat ini. seseorang yang berpegang kepada Al-Qur'an dan Assunnah maka dia akan menjalani segala aktifitasnya berdasarkan dasar dasar islam, sehingga hidupnya akan berkah dan senantiasa mendapat limpahan rahmat dan pahala dari ALLAH SWT.

Dengan ilmu kita bisa mengetahui mana yang hala dan mana yang haram, denga ilmu kita bisa mengerjakan shalat dengan benar, menjalankan puasa dengan benar serta mampu menyikapi berbagai macam persoalan hidup sesuai syariat islam yang benar. karena seperti yang kita ketahui ditengah perkembangan zaman yang semakin jahiliyah seperti saat ini, ilmu agama sangat penting untuk menimbang segala sesuatu yang muncul dihadapan kita. mereka yang tidak berilmu malah akan berlaku sebaliknya, yaitu menyelesaikan berbagai macam persoalan dengan hawa nafsunya.

Pentingnya belajar dan menuntut ilmu sudah sangat jelas diterangkan ALLAH SWT dan telah dituangkan dalam Al-Quran surat Al Mujadalah sebagai berikut


يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Q.s. al-Mujadalah : 11)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa ALLAH SWT ridho dan senang dengan mereka yang berjihad dalam menuntut ilmu sehingga ALLAH SWT akan mengangkat derajatnya. sehingga sudah jelaslah bahwa seorang muslim yang ikhlas dalam menuntut ilmu akan mendapatkan manfaat dan keutamaan yang besar. ia akan senantiasa hidup dengan cara cara yang islami dan sesuai dengan syariat Nabi Muhammad SAW.

Nah, kali ini muslim fiqih akan menyajikan info mengenai kumpulan dalil dari mahfudzot dan hadist hadist Nabi Muhammad SAW yang membahas tentang fadhilah, keutamaan dan kewajiban seorang muslim dalam menuntut ilmu. 

Menuntut ilmu agama adalah kewajiban setiap Muslim
 
عن أنس بن مالك , قال : قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم : طلب العلم فريضة على كلّ مسلم

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Menuntut ilmu itu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” [Shahih : Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah rahimahullah didalam Sunan nya, hadits no 223. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]‎

Keutamaan Orang yang Paham didalam Masalah Agama

قال حميد بن عبد الرّحمن سمعت معاوية خطيبا يقول , سمعت النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم يقول : ” من يرد الله به خيرا يفقّهه في الدّين , وإنّما أنا قاسم , والله يعطي , ولن تزال هذه الأمّة قائمة على أمر الله لا يضرّهم من خالفهم حتّى يأتي أمر الله

Humaid bin Abdurrahman berkata : “Aku mendengar Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu’anhu dalam khutbahnya dia berkata : “Aku mendengar Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya niscaya Allah akan berikan ia pemahaman dalam (masalah) agama. Sesungguhnya aku hanyalah pembagi dan Allah yang memberi. Umat ini senantiasa tegak diatas agama Allah, dan tidak merugikan mereka orang – orang yang menyelisihi mereka hingga datang ketentuan Allah.” [Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah didalam Shahih nya, hadits no 71 dan Imam Muslim rahimahullah juga meriwayatkan didalam Shahihnya, hadits semisalnya, hadits no 2392/100/1037]

Keutamaan Berjalan Menuntut Ilmu, Ahli Ilmu dan Ilmu adalah Warisan Para Nabi

عن كثير بن قيس قال : كنت جالسا عند أبي الدّرداء في مسجد دمشق , فأتاه رجل , فقال : يا أبا الدّرداء , أتيتك من المدينة – مدينة رسول الله صلّى الله عليه وسلّم – لحديث بلغني أنّك تـحدّث به عن النّبـيّ . قال : فما جاء بك تـجارة ؟ . قال : لا . قال : ولا جاء بك غيره ؟ . قال : لا . قال : فإنّي سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول : ” من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهّل الله له طريقا إلى الجنّة , وأنّ الـملائكة لتضع أجنحتها رضا لطالب العلم , وإنّ طالب العلم يستغفر له من في السّماء والأرض حتّى الحيتان في الـماء , وإنّ فضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر الكواكب , إنّ العلماء هو ورثة الأنبياء , إنّ الأنبياء لم يورّثوا ولا درهما , إنّما ورّثوا العلم , فمن أخذه , أخذ بـحظّ وافر

Dari Katsir bin Qais Radhiyallahu’anhu, dia berkata : “Ketika aku sedang duduk disebelah Abu Darda’ di Masjid Damaskus. Tiba – tiba datang seorang laki – laki kepadanya, lalu laki – laki itu berkata : “Wahai Abu Darda’, Aku datang kepada mu dari kota Madinah –kota Madinah Rasulullah- untuk keperluan sebuah hadits yang sampai kepada ku bahwa engkau pernah meriwayatkan nya dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Abu Darda’ berkata : “Apakah kamu datang (sekalian) untuk berdagang?” Dia menjawab : “Tidak” Abu Darda’ berkata lagi : “Apakah kamu datang (sekalian) untuk keperluan selain itu?” Dia (laki – laki itu) menjawab : “Tidak” Abu Darda’ berkata : “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap – sayap nya. Karena ridha kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang menuntut ilmu akan dimintakan ampunan oleh makhluk yang ada di langit dan di bumi hingga ikan yang ada didalam air. Sesungguhnya keutamaan seorang alim (ulama) dibandingkan seorang ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para Ulama adalah pewaris para Nabi. Dan Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham. Tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah mengambil bagian yang banyak.”

[Hasan Shahih : Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah rahimahullah dalam Sunan nya hadits no 223, Imam Abu Daud rahimahullah dalam Sunan nya, hadits no 3641. Imam Ibnu Hibban rahimahullah didalam Shahih nya hadits no 88. Imam At-Tirmidzi rahimahullah didalam Sunan nya hadits no 2682, Imam Ad-Darimi rahimahullah didalam sunan nya, hadits no 342, Imam Ahmad rahimahullah didalam Musnad nya, hadits no 21612 (tahqiq Ahmad Syakir) atau no 21715 (tahqiq Syuaib dkk). Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah, dan dihasankan oleh Syaikh Syu’aib, Syaikh Fawwaz, Syaikh Khalid, Syaikh Hamzah]

Berlindung kepada Allah dari malas menuntut ilmu dan ilmu yang tidak bermanfaat

عن عبد الله بن الحارث قال : كان إدا قل لزيد بن أرقم : حدّثنا ماسمعت من رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول : لا أحدّثكم إلاّ ماكن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم حدّثنابه . ويأمرنا أن نقول : اَللهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ . اَلْلهُمَّ آتِ نَفْسِيْ تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا , أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا , أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا . اَلْلهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنْ نَفْسٍ لاَتَشْبَعُ , وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ , وَمِنْ عِلْمٍ لاَيَنْفَعُ , وَدَعْوَةٍ لاَ تُسْتَجَابُ

Dari Abdullah bin Al-Harits Rahimahullah, ia berkata : Kebiasaan Zaid bin Arqam Radhiyallahu’anhu ketika dikatakan kepadanya : Ceritakanlah kepada kami sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam..! maka ia (Zaid) menjawab : “Aku tidak akan menceritakan kepada mu kecuali sesuatu yang Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam ceritakan kepada kami dan beliau memerintahkan kami untuk membaca doa : “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat kikir, sifat pengecut serta dari adzab kubur.” “Ya Allah karuniakanlah kepada jiwa ku ketakwaan, serta bersihkanlah, karena Engkau sebaik – baik pembersihnya. Engkau adalah pengaturnya serta pemiliknya.” “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Mu dari hati yang tidak khusyu’, nafsu yang tidak pernah puas, ilmu yang tidak bermanfaat, serta doa yang tidak dikabulkan.” [Shahih : Diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i rahimahullah dalam sunan nya, hadits no 5553. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani didalam Shahih Sunan An-Nasa’i]

Doa agar diberi keberkahan pada ilmu yang sudah dipelajari dan meminta ditambahkan ilmu yang bermanfaat.

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : كان رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول :

اَللَّهُمَّ انْفَعْنِيْ بِمَا عَلَّمْتَنِيْ , وَعَلِّمْنِيْ مَايَنْفَعُنِيْ , وَزِدْنِيْ عِلْمًا , وَالْحَمْدُ لِلّهِ عَلَى كُلِّ حَالِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, dia berkata : “Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Ya Allah berilah aku manfaat dari apa yang Engkau ajarkan kepada ku. Ajarilah aku akan apa yang bermanfaat untuk ku dan tambahkanlah ilmu ku. Segalapuji bagi Mu yang Allah, pada segala keadaan.” [Shahih dengan penguat : Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah rahimahullah dalam sunan nya, hadits no 251, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani didalam Shahih Sunan Ibnu Majah no 205]

Didalam riwayat yang lain, juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam berdoa :

اَللَّهُمَّ انْفَعْنِيْ بِمَا عَلَّمْتَنِيْ , وَعَلِّمْنِيْ مَايَنْفَعُنِيْ , وَزِدْنِيْ عِلْمًا , وَالْحَمْدُ لِلّهِ عَلَى كُلِّ حَالِ , وَأَعُوْذُ باِللهِ مِنْ عَذَابِ النَّارِ

“Ya Allah berilah aku manfaat dari apa yang Engkau ajarkan kepada ku. Dan ajarilah aku akan apa yang bermanfaat untuk ku dan tambahkanlah ilmu ku. Segalapuji bagi Mu yang Allah pada segala keadaan. Dan aku berlindung kepada mu ya Allah dari azab Neraka” [Shahih dengan penguat : Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah rahimahullah didalam Sunan nya, hadits no 3833. Dan Diriwayatkan juga oleh Imam at-Tirmidzi rahimahullah didalam Sunan nya, hadits no 3599. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]

Mengikat Ilmu dengan mencatatan, memahami dan menghafalnya.

عن عبد الله بن عمرو قال : كنت أكتب كل شيء أسمعه من رسول الله صلى الله عليه وسلم أريد حفظه , فنعتنى قريش وقالوا : تكتب كلّ شيء سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم , ورسول الله صلى الله عليه وسلم بشر يتكلّم في الغضب والرّضا؟ فأمسكت عن الكتب فذكرت ذلك لرسول الله صلى الله عليه وسلم , فأومأ بأصبعه إلى فيه وقال : ” أُكْتُبْ فَوَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ , مَاخَرَجَ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ “

Dari Abdullah bin Umar –Radhiyallahu’anhu- ia berkata : “Aku menulis segala apapun yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dan aku bermaksud menghafalnya. Kemudian masyarakat Quraisy melarangku. Mereka mengatakan : “Kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, sementara Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam adalah manusia yang terkadang ia berbicara dalam keadaan marah dan terkadang ridha?” Kemudian aku berhenti menulis. Kemudian hal tersebut aku ceritakan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Saat itu beliau menujuk mulutnya dan beliau bersabda : “Tulislah, Sesungguhnya Demi Dzat yang jiwa ku berada didalam genggaman tangan-Nya. Tidak ada yang keluar dari ku melainkan kebenaran.”

[Diriwayatkan oleh Imam ad-Darimi rahimahullah didalam Sunan nya, hadits no 501. Dishahihkan oleh Husain Salim dalam takhrij Sunan ad-Darimi hal 429. Dalam sebagian cet hadits ini no 484. Diriwayatkan juga oleh Imam Abu Daud rahimahullah didalam Sunan nya, hadits no 3646. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Daud 2/408. Dishahihkan juga oleh Syaikh Syuaib hafizhahullah didalam Takhrij Sunan Abu Daud 4/489-490. Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah didalam Musnad nya, hadits no 6510. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib dan kawan – kawan dalam Takhrij Musnad 11/57-58]‎

Hilangnya ilmu dan Bahayanya Berfatwa Tanpa Ilmu

عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه يقل : سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول : إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمِ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ , وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاء , حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا , اِتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًاجُهَّالاً , فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ , فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

Dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash Radhiyallahu’anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu dengan cara mencabutnya langsung dari (dada) manusia. Akan tetapi diangkatnya ilmu dengan cara mewafatkan para Ulama. Sehingga apabila tidak tersisa lagi orang alim (ulama), maka manusia akan menjadikan orang – orang bodoh menjadi pemimpin (ulama) mereka. Ketika mereka (orang bodoh yang diangkat menjadi ulama) ditanya, maka mereka berfatwa tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan.”

[Shahih : Diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah didalam shahihnya hadits no 6796:2673 dan Imam At-Tirmidzi rahimahullah didalam sunan nya hadits no 2652]

Keutamaan Mempelajari al-Qur’an dan Mengajarkan nya

عن عثمان رضي الله عنه عن النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم قال : ” خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

Dari Utsman Radhiyallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Sebaik – baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkan nya.” [Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah dalam shahih nya, hadits no 5027. Diriwayatkan juga oleh Imam At-Tirmidzi rahimahullah dalam sunan nya, hadits no 2907. Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud rahimahullah dalam sunan nya, hadits no 1402]

Dalam riwayat yang lain juga

عن عثمان بن عفان رضي الله عنه قال : قال النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم : ” إِنَّ أَفْضَلَكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

dari Utsman bin Affan Radhiyallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling utama diantara kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkan nya.” [Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah dalam shahih nya, hadits no 5028. Diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi rahimahullah dalam shahih nya, hadits no 2908 dan Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah rahimahullah dalam shahih nya, hadits no 211]

Keutamaan Mempelajari Hadits dan Mengajarkan nya

عن عبد الرّحمن بن عبد الله بن مسعود يُحَدِّثُ , عَنْ أَبِيْهِ , عَنْ النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم قَالَ : ” نَضَّرَ اللهُ امْرَأَ , سَمعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبلَّغَهَا , فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ , ثَلاَثُ لاَ يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلمٍ : إِخْلاَصُ الْعَمَلِ لِلّهِ , وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ , وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ , فَإنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهمْ ”

Dari Abdurrahman bin Abdullah bin Masud yang bercerita dari ayahnya dari Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Semoga Allah memperindah wajah orang yang mendengar ucapan ku, kemudian dia menyadarinya, menjaga nya dan menyampaikan nya. Berapa banyak orang yang menyampaikan ilmu kepada orang yang lebih berilmu daripadanya. Ada tiga hal yang tidak akan mengkhianati hati seorang muslim yakni mengikhlaskan amala perbuatan karena Allah, menasehati para pemimpin kaum muslimin dan terus berada pada barisan jamaah kaum muslimin. Sesungguhnya dakwah (kebaikan) akan mengelilingi mereka dari arah belakang mereka.” [Shahih : Diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi rahimahullah dalam sunan nya, hadits no 2658. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi (3/61) dan Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no 404]
Memperbanyak Istighfar Dalam Majelis Ilmu

عن ابن عمر رضي الله عنه قال : كاَنَ يُعَدُّ لِرَسُولِ الله صلّى الله عليه وسلّم فِي الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَقُوْمَ : ” رَبِّ اغْفِرْلِيْ , وَتُبْ عَلَيَّ , إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَابُ الْغَفُوْرُ ”

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu, dia berkata : “Dahulu Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bisa dihitung dalam satu majelis sebelum berdiri pergi, beliau mengucapkan sebanyak seratus kali : “Wahai Rabbku, ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Menerima Taubat lagi Maha Pengampun.” [Shahih : Diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi rahimahullah didalam Sunan nya, hadits no 3434. Diriwayatkan juga oleh Imam Abu Daud rahimahullah didalam Sunan nya, hadits no 1516. Diriwayatkan juga oleh Imam Ibnu Majah rahimahullah didalam Sunan nya, hadits no 3814. Diriwayatkan juga oleh Imam An-Nasa’i rahimahullah didalam Sunan al-Kubra, hadits no 10219. Diriwayatkan juga oleh Imam Ibnu Hibban rahimahullah didalam Shahih nya, hadits no 927 dan Imam Ahmad rahimahullh didalam Musnad nya, hadits no 4726. Juga diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah didalam Adabul Mufrad hadits no 618. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah didalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 3/414-415 dan Shahih Ibnu Majah no 3814 dan Dishahihkan juga oleh Syaikh Syuaib dalam banyak tempat, diantaranya dalam Takhrij Sunan Abu Daud juz 2 hal 627 dan Takhrij Sunan Ibnu Majah juz 2 hal 719]‎

Berkeinginan Kuat Menjadi Seperti Orang lain yang Memiliki Ilmu

عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال : قال النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلّم : ” لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ الله مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ , وَرَجُلٌ آتَاهُ الله الحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِيْ بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’anhu berkata : bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Tidak boleh Hasad kecuali dalam dua perkara. 1.Terhadap orang yang diberi harta oleh Allah, lalu dia menghabiskan nya dijalan yang benar. 2.Dan terhadap orang yang diberi hikmah (ilmu) oleh Allah lalu dia mengamalkan dan mengajarkan nya kepada orang lain.” [Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah didalam Shahih nya, hadits no 73, juga dalam hadits no 1409, 7141 dan 7316]

Malu dan Berpaling Dari Menuntut Ilmu

عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم بَيْنَمَا هُوَ جَالِسُ فِي الْمَسْجِدِ وَالنَّاسُ مَعَهُ إِذْ أَقْبَلَ ثَلاَثَةُ نَفَرِ , فَأَقْبَلَ اثْنَانِ إِلَى رَسُوْلِ الله صلّى الله عليه وسلّم وَذَهَبَ وَاحِدٌ , قَالَ : فَوَقَفَا عَلَى رَسُوْلِ الله صلّى الله عليه وسلّم فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَرَأَى فُرْجَةً فِي الْحَلْقَةِ فَجَلَسَ فِيْهَا , وَأَمَّا الآخَرُ فَجَلَسَ خَلْفَهُمْ , وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَدْبَرَ ذَاهَبَا . فَلَمَّا فَرَغَ رَسُوْلُ الله صلّى الله عليه وسلّم قَالَ : ” أَلاَ أَخْبِرُكُمْ عَنِ الْنَّفَرِ الثَّلاَثَةِ ؟ أَمَّا أَحَدُهُمْ فَأَوَى إِلَى اللهِ فَآوَاهُ الله , وَأَمَّا الآخَرُ فَاسْتَحْيَا فَسْتَحْيَا اللهُ مِنْهُ , وَأَمَّا الآخَرُ فَأَعْرَضَ فَأَعْرَضَ اللهُ عَنْهُ ”

Dari Abu Waqid al-Laitsi bahwa ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam sedang duduk dalam majelis di masjid dikelilingi oleh para sahabat, tiba – tiba datanglah tiga orang. Dua orang mendatangi Rasulullah dan yang satunya lagi pergi. Kedua orang itu berdiri dihadapan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, salah seorang dari mereka melihat celah di sela majelis lalu dia duduk disitu. Dan satu lagi duduk dibagian belakang majelis. Sementara yang ketiga pergi meninggalkan majelis. Sesudah menyampaikan nasehat (ceramah) beliau bersabda : “Maukah kalian aku beritahukan tentang tiga orang tadi? Adapun orang yang pertama, ia mendekati Allah, maka Allah pun mendekatinya. Orang yang kedua, ia malu – malu, maka Allah pun malu terhadapnya. Adapun orang yang ketiga, ia berpaling, maka Allah pun berpaling darinya.” [Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah dalam shahih nya, hadits no 66 dan hadits no 474]‎

Diantara Tanda – Tanda Hari Kiamat adalah Diangkatnya Ilmu dan Tersebarnya Kebodohan Terhadap Agama.

أنس بن مالك رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم : مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ , وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ , وَيُشْرَبَ الْخَمْرُ , وَيَظْهَرَ الزِّنَى

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Diantara tanda – tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, tersebarnya kebodohan, banyaknya orang minum khamar dan perzinaan dilakukan dengan terang – terangan.” [Diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah didalam shahih nya, hadits no 6785 : 2671]

Kesalahan Didalam Menuntut Ilmu yang Harus Dihindari

حَدَّثَنِي ابْنُ كَعْبِ بْنِ مَالِك عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله صلّى الله عليه وسلّم يَقُوْلُ : ” مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ , أَوْلِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ , أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوْهَ النَّاسِ إِلَيْهِ , أَدْخَلَهُ اللهُ النَّارَ

Dari Ibnu Ka’ab bin Malik, dari ayahnya, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang menuntut ilmu agar dia dianggap sebagai ulama, atau untuk berdebat dengan orang bodoh, atau untuk memalingkan wajah orang lain kepadanya. Maka Allah akan memasukkan nya kedalam neraka.” [Hasan : Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi rahimahullah didalam sunan nya, hadits no 2654. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah didalam Sunan Suanan At-Tirmidzi jilid 3 hal 59-60 no hadits sama]‎

Bahaya Menuntut Ilmu Untuk Mencari Dunia

عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلّى الله عليه وسلم : ” مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ , لاَيَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا , لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ”

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa menuntut ilmu, yang seharusnya ia tuntut semata-mata mencari wajah Allah Azza wa Jalla, namun ternyata ia menuntutnya semata-mata mencari keuntungan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan aroma wanginya surga pada hari kiamat”. [Hadits Shahih : Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah rahimahullah dalam sunan nya, hadits no 252. Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud rahimahullah dalam sunan nya, hadits no 3664. Diriwayatkan juga oleh Imam Ibnu Hibban rahimahullah dalam shahih nya, hadits no 78. Diriwayatkan juga oleh Imam Al-Hakim rahimahullah dalam Al-Mustadrak nya, hadits no 288. Dishahihkan oleh Imam al-Hakim, disepakati oleh Adz-Dzahabi rahimahullah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan Syaikh Syu’aib hafizhahullah dalam beberapa kitab takhrij nya.]

Ilmu itu adalah kenikmatan dari Allah, maka hendaklah selalu menjaga keikhlasan.

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ ، قَالَ : تَفَرَّقَ النَّاسُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، فَقَالَ لَهُ نَاتِلُ أَهْلِ الشَّامِ : أَيُّهَا الشَّيْخُ ، حَدِّثْنَا حَدِيثًا سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : نَعَمْ ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا ، قَالَ : فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا ؟ ، قَالَ : قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ ، قَالَ : كَذَبْتَ ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ ، فَقَدْ قِيلَ , ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ ، وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا ، قَالَ : فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا ؟ ، قَالَ : تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ ، قَالَ : كَذَبْتَ ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ , وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ ، فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ ، وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا ، قَالَ : فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا ؟ ، قَالَ : مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ ، قَالَ : كَذَبْتَ ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ ، فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ .”

Dari Sulaiman bin Yasar, dia berkata : “Ketika orang – orang telah beranjak pergi dari hadapan Abu Hurairah, berkatalah Natil seorang penduduk Syam, dia bertanya : “Wahai Syaikh, sampaikanlah kepada ku sebuah hadits yang pernah engkau dengar dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.!” Abu Hurairah menjawab : “Baiklah, aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya orang yang pertama kali dihisab pada hari kiamat kelak adalah orang yang mati syahid (dimedan perang). Kemudian dia diperlihatkan semua kenikmatan yang pernah Allah berikan kepada nya, dan dia mengakui semua nikmat itu. Lalu Allah bertanya : “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat tersebut?” Dia (orang mati syahid) menjawab : “Aku telah berperang karena-Mu, sehingga aku mati syahid.” Allah berfirman : “Engkau Dusta (Bohong), sebenarnya engkau berperang hanya karena ingin disebut sebagai pemberani, dan engkau telah dipanggil demikian.” Kemudian Allah memerintahkan para malaikat untuk menyeret dengan wajahnya dan melemparkan nya kedalam neraka. Dan setelah itu, didatangkan seseorang yang belajar ilmu dan mengajarkan ilmu dan membaca al-Qur’an, dia akan dihisab dan diperlihatkan semua kenikmatan yang pernah Allah berikan kepadanya, dan dia mengetahui semua nikmat itu. Lalu Allah bertanya kepadanya : “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat tersebut?” Dia menjawab : “Aku mempelajari ilmu dan mengajarkan ilmu, dan aku membaca al-Qur’an karena Mu.” Allah berfirman : “Engkau Dusta (Bohong), sebenarnya engkau belajar ilmu agar disebut Ulama, dan membaca al-Qur’an agar engkau disebut sebagai Qari’, dan engkau telah dipanggil demikian.” Kemudian Allah memerintahkan para malaikat untuk menyeret dengan wajahnya dan melemparnya kedalam neraka. Dan setelah itu didatangkan pula seseorang laki – laki yang mendapatkan keluasan rezeki dari Allah. Dia akan dihisab dan diperlihatkanlah semua kenikmatan yang pernah Allah berikan kepadanya, dan dia pun mengetahui semua nikmat itu. Lalu Allah bertanya kepada nya : “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat tersebut?” Dia menjawab : “Aku tidak meninggalkan sedikitpun jalan yang Engkau cintai melainkan aku berinfaq padanya karena Mu.” Allah Berfirman : “Engkau Dusta (Bohong), sebenarnya engkau melakukan semua itu hanya ingin disebut sebagai seorang darmawan dan engkau telah dipanggil demikian.” Kemudian Allah memerintahkan para malaikat untuk menyeret dengan wajahnya dan melemparnya kedalam neraka.” [Diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah didalam Shahih nya, hadits no 4923 : 1905]

Ilmu yang bermanfaat, pahalanya akan mengalir terus walaupun pemilik nya sudah mati.

عن أبي هريرة أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال :
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ , أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ , أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَهُ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Apabila anak Adam (seorang manusia) meninggal dunia, maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga : 1. Shadaqah Jariyah, 2. atau Ilmu yang Bermanfaat, 3.atau Anak Shaleh yang mendoakan nya.” [Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahih nya no 1631, dishahihkan oleh Imam Muslim rahimahullah]‎

 

Hukum Istinja' (Bersuci Dari Kotoran)


Islam merupakan agama yang komprehensif yakni menjelaskan semua aspek kehidupan manusia, mulai dari hal yang bertalian dengan hubungan antara manusia dengan Rabbnya (Hablum min Alloh) dan juga yang bertalian dengan hubungan antara manusia dengan sesamanya (Hablum min an Nas), salah satu hal yang mendapat perhatian tinggi dari islam ialah masalah istinja’.
Jika kita perhatikan dan amati dalam semua kitab – kitab fiqh hampir seluruhnya diawali dengan Bab Thoharoh, ini menendakan bahwa agama islam sangat menjunjung tinggi mengenai masalah kesucian, salah satu hal yang urgen dan pokok dalam hal bersuci adalah bersuci dari kotoran (Istinja’). 
Merupakan Fitrah manusia bahwasanya buang hajat merupakan hal yang urgent dalam kehidupan sehari hari ,hal tersebut merupakan salah satu dari banyaknya nikmat Allah swt , karena tidak bisa kita dibayangkan jika Allah swt tidak menyediakan tempat keluarnya kotoran dari dalam tubuh manusia . Maka Alhamdulillah atas segala nikmatnya kepada Manusia .

Satu hal yang perlu kita catat sebelum masuk ke pembahasan kali ini bahwa Agama Islam merupakan agama yang sempurna , salah satu contoh kesempurnaanya ialah bahwa dalam agama Islam dijelaskan berbagai hal hingga tata cara membersihkan diri setelah buang hajat .

Istinja' dari air kencing dan kotoran (tahi) hukumnya wajib. Dan yang lebih diutamakan adalah beristinja' dengan batu kemudian mengikutinya dengan air. Boleh juga hanya (beristinja') dengan air atau dengan tiga buah batu yang dapat membersihkan tempat najis. Jika ingin (beristinja) hanya dengan salah satu dari keduanya maka dengan air lebih utama.

والاستنجاء واجب من البول والغائط والأفضل أن يستنجي بالأحجار ثم يتبعها بالماء ويجوز أن يقتصر على الماء أو على ثلاثة أحجار ينقي بهن المحل فإذا أراد الاقتصار على أحدهما فالماء أفضل
Syarah

Istinja' adalah menghilangkan atau menyucikan najis yang keluar dari kemaluan (qubul dan dubur) dengan menggunakan air atau batu.

Maka barangsiapa yang buang air kecil (misalnya), berarti telah keluar dari kemaluannya suatu najis. Jika kemudian ia mencuci kemaluaannya dengan air atau mengusapnya dengan 3 batu, maka ini disebut istinja.

Hukum istinja adalah wajib. Maka, shalat tidak sah jika tidak disertai istinja'. Jika seseorang buang air kecil kemudian ia tidak beristinja, lalu berwudhu dan melaksanakan shalat, maka shalatnya tidak sah. Sebab, shalat tidak akan sah jika pada badan, pakaian atau tempat shalat terdapat najis.
Teknik Bersuci

Adapun teknik untuk bersuci dari buang hajat di dalam syariat Islam tidak terbatas hanya pada air saja. Selain air, juga dikenal benda-benda lain yang sah untuk digunakan untuk bersuci. Di dalam literatur fiqih, dikenal 2 teknik bersuci dari buang hajat, yaitu isitnja' dan istijmar.

1. Istinja`
Secara bahasa, istinja` bermakna menghilangkan kotoran. Sedangkan secara istilah bermakna menghilangkan najis dengan air. Atau menguranginya dengan semacam batu. Atau bisa dikatakan sebagai penggunaan air atau batu. Atau menghilangkan najis yang keluar dari qubul (kemaluan) dan dubur (pantat).

2. Istijmar
Istijmar adalah menghilangkan sisa buang air dengan menggunakan batu atau benda-benda yang semisalnya.

Muslim (237) meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 وَمَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوْتِرْ 

Dan barangsiapa beristijmar, maka ganjilkanlah. Istijmara: beristijmar, yakni mengusapkan al-jimar (batu bata kecil).

PENGERTIAN ISTINJA
Menurut bahasa istinja adalah meminta memotong ganggunan. Sedangkan menurut istilah menghilangkan/membersihkan najis cair (air seni, mazdi,wadi, tai dll) yang keluar dari kemaluan atau anus dengan menggunakan air atau batu ( At Ta’liku ala’ Tanwiiril qulub lil imami kurdi, hal :130)
HUKUM ISTINJA
Apabila telah selesai membuang kotoran/ hajat baik kencing maupun berak, maka wajib beristinja dengan air saja atau dengan 3 batu atau lebih saja atau dengan keduanya pertama-tama dengan 3 batu lalu dengan air. Hal ini didasarkan atas firman Allah dan sabda Rosulallah SAW :
 
والرجز فاهجر (المزمل :4)

‘…….Dan akan kotoran, maka hindarilah ( QS : Al Mujammil :4)

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:إِذَا ذَهَبَ اَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ، فَلْيَذْهَبْ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ، فَاِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ - (رواه أبو داود)

“ Dari A’isyah RA telah berkata : Bahwa Rosulallah SAW telah bersabda : “Apabila salah seorang dari kalian ada yang buang air besar (ghoit), maka hendaklah ia menghilangkannya dengan 3 batu. Sesungguhnya ia sudah mencukupkan”.HR Abu Daud
Tuntutan beristinja dalam Islam sangat keras.Oleh karena itu setiapa muslim dan muslimat harus selalu memperhatikan dan sangat memelihara tatakrama atau adab-adab yang telah ditetapkan oleh syariat agama. Menurut Nabi Muhammad SAW; kebanyakan azab kubur disebabkan oleh tidak beristinja ;

عن انس رضي الله عنه قَالَ:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَنَـزَّهُوْا مِنَ الْبَوْلِ فَاِنَّ عَامَةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنْهُ- (رواه الدارقطنى )

‘ Dari Anas RA telah berkata: Rosullallah SAW telah bersabda ; Bersucilah kamu dari air kencing. Karena sesungguhnya kebanyakan siksa kubur disebabkan darinya”. HR Daruquthni.
Dalam hadist ini ada kata perintah yaitu “tanazzahu “ artinya bersucilah. Menurut kaidah usul fiqh jika ada suatu kata perintah asal kata itu menunjukan akan wajibnya suatu perintah. Jadi bersuci/ cebok itu hukumnya jelas wajib. Tidak cebok setelah buang air itu dosa.
 
SYARAT-SYARAT BERISTINJA DENGAN SELAIN AIR
 
Apabila kita akan beristinja dengan selain air, maka harus memenuhi syarat-syarat berikut :
1. Dengan 3 batu atau 1 batu persegi 3. Jika belum bersih, maka harus menambah 2, 4, 6 supaya tetap ganjil;
2. Dengan sesuatu yang keras, maka tidak cukup dengan sesuatu yang lunak seperti kopi, teh dll;
3. Tidak menggunakan sesuatu yang muhtarom (yang dihormati) hingga menjadi konsumsi manusia seperti roti ataupun jin seperti tulang;
4. Najis yang akan dibersihkan tidak kering. Jika sudah kering, maka harus menggunakan air;
5. Najis tidak melewati tempatnya. Jika air seni melewati hasyafah (kemaluan) atau melewati anus, maka mesti menggunakan air;
6. Najis tersebut tidak kedatangan najis yang lain seperti darah. Jika tercampuri najis yang lain, maka harus memakai air;
7. Najis tersebut keluar dari tempat biasanya. Jika keluar bukan dari tempat biasanya, maka mesti menggunakan air (Mugni muhtaj I/44, al-muhajjab I/28, Kasysyaful qina’ I/77)

Adapun dalam pembahasan kali ini kita akan membahas perkataan Para Ulama Madzhab terkait hukum Istinja. Karena para Ulama sendiri berbeda pendapat terkait hukum Istinja itu sendiri , Berikut penjelasannya :

Mazhab Hanafi

Imam Al Kasaani (587 H) dari kalangan Hanafiah menyebutkan dalam Kitabnya Bada’i As-Shana’i Fi Tartib As-Syarai’ bahwasanya :

فَالِاسْتِنْجَاءُ سُنَّةٌ عِنْدَنَا، وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ فَرْضٌ، حَتَّى لَوْ تَرَكَ الِاسْتِنْجَاءَ أَصْلًا جَازَتْ صَلَاتُهُ عِنْدَنَا، وَلَكِنْ مَعَ الْكَرَاهَةِ، وَعِنْدَهُ لَا يَجُوزُ .

Adapun masalah Istinja’ maka hal itu merupakan Sunah dalam mazhab kami , dan merupakan Fardhu dalam mazhab Syafi’i , bahkan jika seseorang meninggalkan/melupakan Istinja’ maka ia tetap boleh melaksanakan shalat , tetapi hal tersebut makruh , adapun dalam mazhab Syafi’i maka hal itu tidak boleh .‎

Imam Ibnu Al-Humam (861 H) dari kalangan Hanafiah menyebutkan dalam KitabnyaFath Al-Qadir terkait Istinja bahwasanya :

(فَصْلٌ فِي الِاسْتِنْجَاءِ هُوَ إزَالَةُ مَا عَلَى السَّبِيلِ مِنْ النَّجَاسَةِ، فَإِنْ كَانَ لِلْمُزَالِ بِهِ حُرْمَةٌ أَوْ قِيمَةٌ كُرِهَ كَقِرْطَاسٍ وَخِرْقَةٍ وَقُطْنَةٍ وَخَلٍّ قِيلَ يُورِثُ ذَلِكَ الْفَقْرَ (قَوْلُهُ وَاظَبَ عَلَيْهِ) وَلِذَا كَانَ كَمَا ذَكَرَ فِي الْأَصْلِ سُنَّةً مُؤَكَّدَةً وَلَوْ تَرَكَهُ صَحَّتْ صَلَاتُهُ.

Bab Istinja : Ialah metode/tata cara membersihkan diri dari kotoran/najis , jika yang digunakan ialah hal yang berharga seperti kertas , kain dan sejenisnya maka hal tersebut ialah makruh , dan merupakan pendapat asal bahwa istinja merupakan sunnah Muakkadah dan apabila ditinggalkan maka shalatnya tetap sah . 

Mazhab Maliki

Ibnu Abdil Barr (463 H) dari kalangan Malikiyah menyebutkan dalam kitabnya Al-KaafiFi Fiqhi Ahli Al-Madinah bahwasanya :

إزالة النجاسة من الأبدان والثياب سنة مؤكدة عند مالك وأصحابه ووعند غيرهم فرض وهو قول أبى الفرج ولا يجوز تطهيرها بغير الماء إلا من مخرج الغائط والبول خاصة فإن المخرجين مخصوصان بالأحجار، والاستنجاء بالأحجار رخصة والماء أطهر وأطيب وأحب

Menghilangkan Najasah dari badan dan pakaian merupaka Sunnah Muakkadah dalam mazhab Imam Malik danpegikutnya , adapun yang lain berpendapat bahwa hal tersebut merupakan fardhu , sebagaimana dikatakanb oleh Abi Al-faraj . Dan tidak boleh membersihkannya selain dengan air kecuali dua tempat keluarnya kotoran manusia , karena dua tempat tersebut khusus dan boleh dengan menggunakan batu , dan Istinja dengan batu merupakan Rukhshoh (Keringanan) tapi tetap menggunakan air merupakan hal yang lebih suci dan baik .

Al-Mazari (536 H) dari kalangan Malikiyah menyebutkan dalam kitabnya Syarh At-Talqin bahwasanya :

الاستنجاء على قسمين: استنجاء بالماء، واستنجاء بالحجر وما سد مسدهما. فأما الاستنجاء بالماء فجائز عند الجمهور. وحكي عن بعض السلف كراهته.

وأما الاستنجاء بالأحجار فالدليل على صحته قوله عليه السلام: ولا يكفي أحدكم أن يستنجي بدون ثلاثة أحجار ) رواه مسلم وأبو داود والترمذي وابن ماجة وأحمد وغيرهم 

Istinja itu terbagi dua : Istinja dengan air dan Istinja dengan batu atau hal yang bisa menjadi penggantinya , Adapun Istinja dengan air maka hal tersebut hukumnya boleh menurut Jumhur Ulama , meskipun ada beberapa ulama salaf yang menyebutkan bahwa hal tersebut makruh . Adapun dalil tentang keabsahan Istinja dengan batu ialah hadits yang diriwayatkan oleh Imam muslim bahwasanya : Tidaklah cukup seseorang diantara kalian beristinja kecuali dengan tiga batu (Hr Muslim , Abu Daud , Tirmdzi , Ibnu Majah , Ahmad dan yang lain) . 

Mazhab Asy-Syafi’iyah

Imam An-Nawawi (676 H) dari kalangan Syafi’iyah menyebutkan dalam kitabnya Raudhoh At-Tholibin wa Umdah Al-Muftiin bahwasanya :

الِاسْتِنْجَاءُ وَاجِبٌ. وَلِقَضَاءِ الْحَاجَةِ آدَابٌ.

Istinja itu merupakan hal yang Wajib , adapun dalam membuang hajat maka ada beberapa adab . 

Ibnu Hajar Al-Haytami (974 H) dari kalangan Syafi’iyah menuliskan dalam kitabnya Al-Minhaj Al-qowim bahwasanya :

"يجب" لا على الفور بل عند خشية تنجس غير محله وعند إرادة نحو الصلاة "

Diwajibkan istinja namun hal tersebut tidak wajib secara langsung (seketika) tetapi wajib ketika ditakutkan najis tersebut tersebar , dan juga ketika ingin melaksanakan shalat .

Maka dari kedua Ulama diatas dapat kita simpulkan bahwa hukum Istinja dalam mazhab Syafi’i adalah Wajib .

Mazhab Hanbali

Ibnu Qudamah (620 H) dari kalangan Hanabilah menyebutkan dalam kitabnya Al-Mughni bahwasanya :

مسألة: قال: والاستنجاء لما خرج من السبيلين هذا فيه إضمار، وتقديره: والاستنجاء واجب .

Permasalahan Istinja : dalam pembahasan Istinja (Mensucikan) diri dari kedua tempat keluarnya kotoran di sini terdapat hal yang tersirat , dan hasilnya : Istinja itu wajib .

Al-Mardawi (885 H) dari kalangan Hanabilah menyebutkan dalam kitabnya Al-Inshaf Fi Ma’rifati Ar-Rajih Minal Khilaf bahwasanya : 

قَوْلُهُ (وَيَجِبُ الِاسْتِنْجَاءُ مِنْ كُلِّ خَارِجٍ إلَّا الرِّيحَ) . شَمِلَ كَلَامُهُ الْمُلَوَّثَ وَغَيْرَهُ، وَالطَّاهِرَ وَالنَّجِسَ. أَمَّا النَّجِسُ الْمُلَوَّثُ: فَلَا نِزَاعَ فِي وُجُوبِ الِاسْتِنْجَاءِ مِنْهُ. وَأَمَّا النَّجِسُ غَيْرُ الْمُلَوَّثِ وَالطَّاهِرِ: فَالصَّحِيحُ مِنْ الْمَذْهَبِ، وَعَلَيْهِ جَمَاهِيرُ الْأَصْحَابِ: وُجُوبُ الِاسْتِنْجَاءِ مِنْهُ.

Diwajibkan Istinja dari segala hal yang keluar kecuali kentut . Kalimat ini bersifat umum baik yang kotor , suci ataupun yang najis , adapun jika yang keluar adalah yang najis lagi kotor maka tak khilaf akan wajibnya Istinja (membersihkan diri) dari hal tersebut . Dan jika yang keluar bukan hal yang kotor dan suci maka pendapat yang shahih dalam mazhab hanafi ialah : Wajibnya Istinja dari itu juga . 

Mazhab Adz-Dzhahiri

Ibnu Hazm Al-Andalusi (456 H) yang merupakan pembaharu mazhab tersebut menyebutkan dalam kitabnya Al-Muhalla Bi Al-Atsar bahwsanya :
 
مَسْأَلَةٌ: وَتَطْهِيرُ الْقُبُلِ وَالدُّبُرِ مِنْ الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَالدَّمِ مِنْ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ لَا يَكُونُ إلَّا بِالْمَاءِ حَتَّى يَزُولَ الْأَثَرُ أَوْ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ مُتَغَايِرَةٍ

Membersihkan qubul dan dubur bagi laki laki dan wanita dari yang keluar dari kedua tempat harus dengan menggunaka air hingga hilang bekas nya atau denga tiga batu berbeda .

Dalam penjelasan Ibnu Hazm diatas beliau antara wajib atau sunah , tetapi beliau hanya menyebutkan bahwa membersihkan kedua tempat tersebut dengan menggunakan air atau tiga batu. Seperti itulah penjelasan beberapa Ulama terkait hukum Istinja apakah wajib atau sunnah.

Wallahu A’lam Bi Sshowab .
 
TATA CARA MASUK WC
 
Apabila kita akan buang air besar atau kecil, maka sudah seharusnya kita menjaga tatakrama/adab-adab menurut ajaran Islam. Adab-adab tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tidak membawa sesuatu yang tertulis nama Allah atau nama lain yang diagungkan seperti ; nama malaikat, para nabi dan rosul;
 
عن أنس رضي الله عنه قَالَ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلم كَانَ إِذَا دَخَلَ اْلخَلاَءَ وَضَعَ خَاتَمَهُ (رواه ابن ماجه وأبو داود)

Dari Anas RA : Adalah baginda Rosulallah SAW; “Apabila beliau masuk ke WC, suka melatakan cincinnya”. HR Ibnu Majah dan Abu daud.
Menurut perowi hadist, bahwa pada cincin beliau tertulis :
رسول الله dan الله

2. Memakai kedua sandal atau apa saja yang termasuk dalam terumpah agar tidak menginjak najis. Jadi makruh masuk ke WC tanpa alas kaki [Sunda ; nyeker]. Hal ini sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan dari Abi Abbas bin saribii RA oleh Imam Baihaqi :

عن أَبِي عَبَّاسِ بْنِ السَرِبِي أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ. إِذَا دَخَلَ اْلاَخْلاَءَ لَبِسَ خِذَائَهُ (رواه البيهقي)

Dari Abi Abbas bin saribii RA bahwa Rosulallah SAW;jika akan masuk ke kamar mandi atau WC, beliau selalu memakai terompahnya/sandal HR. Baihaqii
3. Menutup kepala baik dengan handuk ataupun saputangan

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَانَ النَِّبيُّ صَلَى اللهُ عليه وَسَلَّمَ. إِذَا دَخَلَ اْلخَلاَءَ غَطَى رَأْسَهُ (رواه البيهقى)

Dari Aisah RA: Adalah Baginda Rosulallah SAW, apabila Beliau masuk ke WC, beliau menutup kepalanya . HR Baihaqii.
4. Mendahulukan kaki kiri ketika masuk WC dan mendahulukan kaki kanan ketika keluar darinya;
5. Berdo’a ketika akan masuk dan keluar darinya;
 
 Do’a ketika masuk :
اََللَّهُمَّ اِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ 
 
Do’a ketika keluar :
 غَفْرَانَكَ الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِى أَذْهَبَ عَنِّي اْلاَذَى وَعَافَانِي

TATA CARA BUANG AIR BESAR
 
Dalam Agama Islam setiap pemeluknya ketika sedang bauang air besar ataupun kecil sangat dianjurkan untuk memperhatikan sekali adab atau tatakrama. Hal ini akan sangat berfaedah sekali bagi pemeluknya. Dalam hal ini ada beberapa hadist yang menerangkan tetntang adab/tatakrama diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Tidak menghadap kiblat atau membelakanginya, kecuali tempat yang sudah disediakan untuknya atau ada sutroh (penghalang) yang jaraknya tidak lebih dari 3 hasta (150 CM). Jika hal ini tidak terpenuhi hukumnya haram, jika dilakukan ditempat terbuka. Hal ini didasarkan akan hadist :

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ عَلَى حَاجَةٍ فَلاَ يَسْتَقْبِلَنَّ الْقِبْلَةَ وَلاَ يَسْتَدْبِرَنَّهَا)) رواه مسلم

Dari Abi Hurairoh RA berkata : Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah bersabda : Apabila salah seorang dari kalian buang hajat (kencing atau berak), maka janganlah kalian menghadap kiblat dan membelakanginya (HR : Muslim)
2. Tidak buang air di lubang-lubang, kecuali lubang yang disediakan untuknya, karena lubang itu tempat tinggal semut, bahkan ada sebuah hadist yang menerangkan bahwa lubang itu tempat tinggal jin :

عن عبد الله بن سرجس اَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى اَنْ يُبَالَ فِي الْحِجْرِ. قَالُوْا لِقَتَادَةَ :مَا يَكْرَهُ مِنَ الْبَوْلِ فِى الْحِجْرِ ؟ قَالَ : كَانَ يُقَالُ أَنَّهَا مَسَاكِنُ الْجِنِّ (رواه النساء وأبو داود)

Dari Abdullah bin Sarjas” Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW pernah melarang buang air kecil di lubang-lubang. Berkatalah mereka kepada Qotadah. Apa yang menyebabkan Rosul melarang buang air di lubang-lubang ?,”. Ia menjawab,”: pernah diceritakan bahwa lubang itu tempat tinggal jin, “.( HR Nasa’i dan Abu Daud)
3. Tidak buang air besar atau kecil di air yang tidak mengalir, pinggir jalan, tempat berteduh, di bawah pohon berbuah tatkala berbuah, tempat perhentian, karena hal itu akan merugikan dengan mengganggu orang lain, sedangkan kita dilarang merugikan dan menggganggu. Hal ini didasarkan pada hadist Nabi Muhammad SAW 

عن معاذ بن جبل رضي الله عنهما : أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِتَُّقُوْا الْمَلا عَنِ الثَّلاثَةِ : البَرَّارِ فِى الْمَوَارِدِ وَقَارِعَةِ الطَّرِيْقِ وَالظِلِّ (رواه أبو داود وأبن ماجه)

Dari Muaz bin Jabal RA berkata : Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah bersabda: hati-hatilah datangnya kutukan dari tiga macam, yaitu buang air di saluran (tempat mandi dll), pinggir jalan dan ditempat manusia berlindung ( HR : Abu Daud dan Ibnu Majah )
4. Tidak berkata-kata, dengan menyebut nama Allah atau sifat-sifat-Nya ketika mengeluarkan kotorannya atau tidak sedang mengeluarkannya dan berkata-kata – selain nama Allah dan Rosul-Nya -ketika sedang mengeluarkan kotoran kecuali dalam keadaan darurat. Hal ini telah dijelaskan dalam sebuah hadist :

عن جابر رضى الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :(( إِذَا تَغَوَّطَ الرَّجُلانِ فَلْيَتِوَارِكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَنْ صَاحِبِهِ وَلا يَتَحَدَّثَا فَأِنَّ اللهَ يَمْقُتُ عَلَى ذَاِلكَ)) رواه أحمد

Dari Jabir RA telah berkata : Telah bersabda Rosulallah SAW : Apabila dua orang laki-laki buang air besar maka hendaklah masing-masing harus menutup diri dari rekannya dan tidak bercakap-cakap. Karena sesungguhnya Allah membenci atas itu [HR : Ahmad] 

‎Kesimpulan
1. Mayoritas Ulama’ sepakat bahwa Istinjak hukumnya wajib, berdasarkan beberapa Hadits berikut ini.
- Riwayat Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik ra. Ia berkata :
 
“كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يدخل الخلاء فأحمل أنا وغلام إداوة من ماء وعنزة يستنجي بالماء”
 
- Riwayat Bukhori dan lainnya dari Ibnu Mas’ud ra. Ia berkata :
 
أتى النبي صلى الله عليه وسلم الغائط فأمرني ان آتيه بثلاثة أحجار .
 
- Riwayat Abu Dawud dan lainnya dari ‘Aisyah rah. Bahwa Rosululloh saw. Bersabda :
 
إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ يَسْتَطِيبُ بِهِنَّ فَإِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ
 
- Riwayat Muslim dari Salman ra. Nabi saw bersabda :
 
لاَ يَسْتَنْجِى أَحَدُكُمْ بِدُونِ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ

2. Secara harfiyah istinja’ diambil dari kata an naja’ artinya bersih dari kotoran, sedangkan dalam literature kitab Fiqh arti istinja’ menurut syara’ ialah menghilangkan atau meringankan najis dari qubul atau dubur. Mayoritas ‘ulama sepakat bahwa istinja’ hukumnya wajib, 
3. Ada beberapa tata karma dalam istinja’ yang sudah sepantasnya bagi muslim untuk menjaganya ketika ia istinja’, seperti menjauhi jalan yang sering dilewati orang atau tempat-tempat yang sering dipakai duduk orang, dan menghindari lubang karena ada larangan langsung dari Rosululloh saw.

Semoga bermanfaat. ‎

 

Hukum Bersuci Dengan Air Hangat


Mandi atau wudhu dengan menggunakan air hangat bagi sebagian besar orang dianggap sebagai cara yang paling cepat untuk mengusir rasa dingin yang menusuk tubuh. Selain itu, mandi atau wudhu dengan air hangat seolah menjadi terapi tersendiri bagi mereka yang sering diserang nyeri rematik atau sekadar untuk melepas rasa penat setelah menjalankan aktifitas seharian penuh. Hangatnya air yang membasuh tubuh juga dapat membantu melancarkan sirkulasi darah dan memberikan efek rileks pada otot-otot maupun persendian manusia.

Mayoritas ulama', termasuk madzhab syafi'i berpendapat bahwa bersuci dengan menggunakan air yang dipanaskan dengan selain menggunakan sinar matahari, seperti dengan api itu diperbolehkan dan tidak makruh, pendapat berbeda diriwayatkan dari Imam Mujahid yang menyatakan hukum penggunaannya adalah makruh.

Alasan yang dikemukakan oleh mayoritas ulama' diantaranya adalah tidak adanya dalil yang melarang penggunaan air yang dipanaskan dengan api dan dikarenakan panas yang ditimbulkan oleh api mampu menghilangkan unsur unsur dari perabot yang terbuat dari tembaga yang katanya menguap apabila terkena panas. Dua hal ini yang membedakan air yang dipanaskan dengan api dan air yang dipanaskan dengan panas sinar matahari yang menurut sebagian ulama' makruh untuk digunakan karena adanya riwayat yang melarang penggunaannya dan karena panas yang ditimbulkan oleh sinar matahari akan menguapkan unsur-unsur yang berasal dari perabot yang terbuat dari logam yang membahayakan kulit.

Diantara dalil yang menguatkan diperbolehkannya menggunakan air yang dipanaskan dengan selain menggunakan sinar matahari adalah beberapa riwayat yang menjelaskan penggunaan air yang direbus oleh para sahabat dan tabi'in. Antara lain :

1. Aslam  Al-Qurasyiy Al-‘Adawy,mantan‎  budak sayyidina Umar, meriwayatkan ;

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يُسَخَّنُ لَهُ مَاءٌ فِي قُمْقُمَةٍ وَيَغْتَسِلُ بِهِ

"Sesungguhnya Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu 'anhu direbuskan air didalam qumqumah (wadah untuk merebus air), lalu beliau mandi dengan menggunakan air tersebut." (Sunan Kubro lil-Baihaqi, no.11 dan Sunan Daruquthni, no.85)

2. Diriwayatkan dari Ayyub, ia berkata ;

سَأَلْتُ نَافِعًا، عَنِ الْمَاءِ الْمُسَخَّنِ، فَقَالَ: كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَتَوَضَّأُ بِالْحَمِيمِ

"Aku bertanya pada Nafi' mengenai (penggunaan) air yang dipanaskan, beliau menjawab : "Ibnu Umar berwudhu dengan menggunakan air panas." (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, no.256)

3. Diriwayatkan dari Abu Salamah, ia berkata ;

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّا نَدَّهِنُ بِالدُّهْنِ وَقَدْ طُبِخَ عَلَى النَّارِ، وَنَتَوَضَّأُ بِالْحَمِيمِ وَقَدْ أُغْلِيَ عَلَى النَّارِ

"Ibnu Abbas berkata : "Kami (para sahabat) menggunakan minyak wangi yang dimasak diatas api, dan kami juga wudhu dengan air panas yang direbus diatas api" (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, no.258)

4. Diriwayatkan dari Qurroh, ia berkata ;

سَأَلْتُ الْحَسَنَ عَنِ الْوُضُوءِ بِالْمَاءِ السَّاخِنِ، فَقَالَ: لَا بَأْسَ بِه

"Aku bertanya pada Al-Hasan, mengenai wudhu dengan air yang direbus, beliau menjawab : "Tidak apa apa". (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, no.259)

Sebagai tambahan, diperbolehkannya menggunakan air yang direbus untuk bersuci  tersebut selama tidak digunakan pada saat airnya masih terlalu panas, apabila digunakan saat masih terlalu panas hukumnya makruh, sebab bersuci dengan menggunakan air yang terlalu panas dikhawatirkan membahayakan kulit dan akan menyebabkan bersucinya tidak sempurna. 

Adapun hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, yang mengatakan,

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ سَخَّنْتُ مَاءً فِي الشَّمْسِ ، فَقَالَ : لَا تَفْعَلِي يَا حُمَيْرَاءُ فَإِنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ

Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- masuk menemuiku sementara saya telah menghangatkan air dengan sinar matahari. Maka beliau bersabda, “Jangan kamu lakukan itu wahai Humaira (Aisyah) karena itu bisa menyebabkan penyakit sopak.”

Hadis ini disebutkan oleh Ad-Daraquthni (1:38), Ibnu Adi dalam Al-Kamil 3:912, dan Al-Baihaqi 1:6 dari jalan Khalid bin Ismail dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah.

Tentang Khalid bin Ismail, Ibnu Adi berkomentar:

كَانَ يَضَعُ الْحَدِيثَ

“Dia telah memalsukan hadis”

Dalam sanad yang lain, hadis ini juga diriwayatkan dari jalur Wahb bin Wahb Abul Bukhtari dari Hisyam bin Urwah. Ibnu Adi mengatakan: “Wahb lebih buruk dari pada Khalid.”

Hadis diatas memang tidak dikategorikan oleh para ulama hadis dalam tingkatan shahih, namun hadis ini dapat digunakan sebagai acuan untuk meraih kesempurnaan dalam beramal (fadhail al-a’mal). Oleh karena itulah imam ar-Rafi’i menjadikan hadis ini sebagai acuan penetapan hukum bersuci dengan menggunakan air panas karena terik matahari hukumnya makruh. Pandangan ini tentu berbeda dengan ketiga madzhab lain (selain madzhab Syafi’i) yang tidak menghukumi makruh atas penggunaan air panas karena terik matahari untuk bersuci. 

Pendapat dari salah seorang imam besar dalam madzhab Syafi’i ini adalah bentuk kehati-hatian dalam menjalankan syariat dan ternyata selaras dengan pandangan para dokter yang menyebutkan adanya efek samping penggunaan air panas seperti munculnya penyakit kulit dan penyakit-penyakit lain. Sejatinya hukum kemakruhan dalam madzhab Syafii ini tidak serta merta disepakati secara bulat, diantara mereka masih terdapat perbedaan pendapat. Imam Nawawi tidak sepakat dengan pendapat yang menganggap bahwa bersuci dengan air panas akibat terik matahari hukumnya makruh. Beliau berpendapat bahwa menggunakan air panas karena terik matahari hukumnya boleh. Begitu juga dengan air panas atau hangat karena alat pemanas listrik atau kompor gas.

Para ulama yang berpandangan mengenai kemakruhan penggunaan air panas atau hangat tersebut juga memberikan banyak catatan sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih madzhab Syafi’i seperti Al-Bujairaimi, Kifayat al-Ahyar, Al-Bajuri dan lain-lain.

Diantara catatan yang menjadi titik tekan adalah apabila dalam penggunaan air tersebut berdampak negatif atau berpotensi negatif bagi penggunanya, seperti penderita jenis penyakit tertentu yang tidak diperkenankan menggunakan air panas atau akan bertambah sakit jika menggunakan air hangat atau perubahan suhu tubuh yang begitu drastis pasca mandi maupun wudhu. Hukum kemakruhan ini juga berlaku pula pada air yang sangat panas dan air yang sangat dingin meskipun dengan perantara selain matahari sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bujairimi ‘Ala al-Khatib:

فَالْجُمْلَةُ ثَمَانِيَةٌ كَمَا فِي شَرْحِ م ر. وَهِيَ الْمُشَمَّسُ وَشَدِيدُ الْحَرَارَةِ وَشَدِيدُ الْبُرُودَةِ، وَمَاءُ دِيَارِ ثَمُودَ إلَّا بِئْرَ النَّاقَةِ، وَمَاءُ دِيَارِ قَوْمِ لُوطٍ، وَمَاءُ بِئْرِ بَرَهُوتَ، وَمَاءُ أَرْضِ بَابِلَ، وَمَاءُ بِئْرِ ذَرْوَانَ. اهـ

Artinya: “Jumlah air yang makruh digunakan ada delapan sebagaimana terdapat dalam penjelasan Muhammad Ar-Ramli yaitu air musyammas (panas karena terik matahari), air sangat panas, air sangat dingin, air kaum tsamud, air kaum Luth, air sumur Barahut, air Babilonia, dan air sumur Dzarwan.”

Inti sari dari jawaban adalah apabila dalam penggunaan air hangat tersebut berpotensi menimbulkan penyakit atau berdampak semakin berat penyakit yang diderita maka hukumnya haram, namun apabila masih diperkirakan akan datangnya penyakit, hukumnya makruh, apabila tidak ada efek samping dalam penggunaan air hangat maka hukumnya mubah, bahkan bisa menjadi wajib seperti dalam kondisi sempitnya waktu shalat dan tidak ditemukan alat berwudhu selain air hangat tersebut.

Mudah-mudahan penjelasan ini dapat diterima  dan bermanfaat bagi kita semua. Saran kami dalam kondisi tertentu, misalnya ketika udara terasa sangat dingin, tidak masalah bersuci atau mandi menggunakan air hangat. Namun dalam kondisi normal lebih baik memakai air biasa saja, agar anggota badan yang terkena wudlu maupun air mandi terasa segar dan tentunya menyehatkan. Ketika badan kita segar dan sehat, maka kita bisa menjalankan ibadah dan aktifitas dengan penuh semangat. Wallahu a’lam .‎

 

Hukum Pernikahan Menurut Islam


Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria calon calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Melalui makalah yang singkat ini insyaallah kami akan membahas perkawinan menurut hukum islam. 
       
Perkahwinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di dalam al-Quran bermaksud pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud perkahwinan Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkahwinan dan mengharamkan zina.
       
Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral. Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. ‘Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci.

Perkawinan adalah Fitrah Kemanusiaan
Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta’ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fithrahnya. Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). 

Allah Ta’ala berfirman:

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. An Nur: 32).

Dalam ayat ini terdapat perintah untuk menikah. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai apakah menikah itu wajib ataukah sunnah menjadi 3 pendapat:‎

Pengertian Nikah

Nikah secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung. Dikatakan : nakahat al-asyjar, yaitu pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat. ‎Berkata Imam Nawawi : “Nikah secara bahasa adalah bergabung, kadang digunakan untuk menyebut “akad nikah” , kadang digunakan untuk menyebut hubungan seksual.”

Al-Fara’ seorang ahli bahasa Arab mengatakan bahwa orang Arab menyebutkan kata “Nukah al Mar-atu”  artinya adalah organ kewanitaan. Jika mereka mengatakan “nakaha al-mar-ata”  artinya telah menggauli di organ kewanitaannya..‎

Adapun “Nikah” secara istilah adalah : “Akad yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang dengannya dihalalkan baginya untuk melakukan hubungan seksual” .

Kata Nikah Dalam Al Qur’an

Dalam al-Qur’an dan as-Sunah kata “Nikah” kadang digunakan untuk menyebut akad nikah, tetapi kadang juga dipakai untuk menyebut suatu hubungan seksual.

Contoh menikah yang artinya akad nikah adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala  :

÷ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

 “Maka lakukanlah akad nikah dengan wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”‎

Contoh lain adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala  :

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا

 “Dan janganlah kamu lakukan akad nikah dengan wanita-wanita yang telah melakukan ‎akad nikah dengan ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”

Adapun contoh menikah yang artinya melakukan hubungan seksual adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala  :

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“ Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia melakukan hubungan seksual dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” ‎

 Arti nikah pada ayat di atas adalah al-wath-u atau al-jima’u (melakukan hubungan seksual), bukan akad nikah. ‎Karena seseorang tidak disebut suami, kecuali kalau sudah melakukan akad nikah.

Seorang istri yang telah diceraikan suaminya yang pertama sebanyak tiga kali, dan sudah menikah dengan suami yang kedua, maka dia harus melakukan “ nikah “ dengan suaminya yang kedua tersebut, kemudian diceraikannya, sebelum kembali kepada suaminya yang pertama. Melakukan “ nikah “ dengan suami yang kedua, maksudnya adalah melakukan “ hubungan seksual “.

Nikah dalam arti melakukan hubungan seksual pada ayat di atas dikuatkan oleh hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ - يَعْنِى ثَلاَثًا - فَتَزَوَّجَتْ زَوْجًا غَيْرَهُ فَدَخَلَ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يُوَاقِعَهَا أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الأَوَّلِ قَالَتْ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- لاَ تَحِلُّ لِلأَوَّلِ حَتَّى تَذُوقَ عُسَيْلَةَ الآخَرِ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا 

“ Dari Aisyah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya mengenai seorang laki-laki yang mencerai isterinya tiga kali, kemudian wanita tersebut menikah dengan laki-laki yang lain dan bertemu muka dengannya kemudian ia mencerainya sebelum mencampuri, maka apakah ia halal bagi suaminya yang pertama? Aisyah berkata; tidak. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama hingga ia merasakan manisnya (hubungan seksua) dengan suaminya yang lain, dan ia (sang suami) juga merasakan manisnya (hubungan seksual) dengannya." 

Contoh dari hadits yang menunjukan bahwa arti nikah adalah melakukan hubungan seksual adalah sabda Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam :

اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إلَّا النِّكَاح

“ Lakukanlah segala sesuatu (dengan istrimu yang sedang haid) kecuali nikah, yaitu jima’”

Dalam riwayat lain disebutkan :

اصْنَعُوْا كُلّ شَيْءٍ إلّا الجِمَاع

“ Lakukanlah segala sesuatu (d engan istrimu yang sedang haid) kecuali  jima’”

Setelah kita mengetahui bahwa nikah mempunyai dua arti, yaitu akad nikah dan melakukan hubungan seksual, maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita membedakan antara dua arti tersebut di dalam suatu pembicaraan ? Para ulama membedakan antara keduanya dengan keterangan sebagai berikut : Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan lain, yaitu fulanah binti fulan, maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan akad  nikah dengannya. Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki  menikah dengan istrinya, maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan hubungan seksual dengannya.

Dari kedua makna nikah di atas, mana yang hakikat dan mana yang majaz ? Para ulama berbeda pendapat :

Pendapat Pertama : bahwa nikah pada hakikatnya digunakan untuk menyebut akad nikah, dan kadang dipakai secara majaz untuk menyebutkan hubungan seksual. Ini adalah pendapat shahih dari madzhab Syafi’iyah, dishahihkan oleh Abu Thoyib, Mutawali dan Qadhi Husain.‎

Pendapat kedua : bahwa nikah pada hakikatnya dipakai untuk menyebut hubungan  seksual. Tetapi kadang dipakai secara majaz untuk menyebut akad nikah. Ini adalah pendapat al-Azhari, al-Jauhari dan az-Zamakhsari, ketiga orang tersebut adalah pakar dalam bahasa Arab.‎

 Hukum Menikah

Hukum menikah dibagi menjadi dua ; pertama : hukum asal dari pernikahan, kedua : hukum menikah dilihat dari kondisi pelakunya.
Hukum Asal Dari Pernikahan
Adapun hukum asal dari pernikahan, para ulama berbeda pendapat :

Pendapat Pertama : bahwa hukum asal pernikahan adalah wajib. Ini adalah pendapat sebagian ulama.‎

“Banyak dari ulama mengatakan bahwa seseorang yang mampu (secara fisik dan ekonomi) untuk menikah, maka wajib baginya untuk menikah, karena pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban, dan di dalam pernikahan tersebut terdapat maslahat yang agung.“ ‎

Dalil-dalil pendapat ini adalah sebagai berikut :

Pertama : Hadist Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata :

قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم  يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ  

 Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mempunyai kemampuan (secara fisik dan harta), hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam (syahwat) .” ‎

Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam dalam hadist di atas memerintahkan para pemuda untuk menikah dengan sabdanya “falyatazawaj” (segeralah dia menikah),  kalimat tersebut mengandung perintah. Di dalam kaidah ushul fiqh disebutkan  bahwa : “al ashlu fi al amr  lil wujub “ (Pada dasarnya perintah itu mengandung arti kewajiban).

Kedua : bahwa menikah itu merupakan perilaku para utusan Allah subhanahu wa ta’ala  , sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala    :

ô وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ

 “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”

Ketiga : hadist Anas bin Malik radhiyallahu ta’ala :  

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا آكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“ Dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengenai amalan beliau yang tersembunyi. Maka sebagian dari mereka pun berkata, “Saya tidak akan menikah.” Kemudian sebagian lagi berkata, “Aku tidak akan makan daging.” Dan sebagian lain lagi berkata, “Aku tidak akan tidur di atas kasurku.” Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: “Ada apa dengan mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku.” ‎‎

Keempat : karena tidak menikah itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang Nashara, sedang menyerupai mereka di dalam masalah ibadat adalah haram.‎

“ …dan karena dengan meninggalkan nikah padahal ia mampu, merupakan bentuk penyerupaan dengan orang-orang Nashara yang meninggalkan nikah sebagai bentuk peribadatan mereka. Sedangkan menyerupai ibadat non muslim hukumnya adalah haram.

Karena menyerupai mereka haram, maka wajib meninggalkan penyerupaan tersebut dengan cara menikah, sehingga menikah hukumnya wajib.

 Pendapat Kedua :  bahwa hukum asal dari pernikahan adalah sunnah, bukan wajib. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam Nawawi : “Ini adalah madzhab kita (Syafi’iyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa perintah menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban… dan tidak diketahui seseorang mewajibkan nikah kecuali Daud dan orang-orang yang setuju dengannya dari pengikut Ahlu Dhahir (Dhahiriyah), dan riwayat dari Imam Ahmad. “‎

Dalil-dalil mereka adalah :

Pertama : Firman Allah subhanahu wa ta’ala     :

÷ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

 “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Berkata Imam al-Maziri : “Ayat di atas merupakan dalil mayoritas ulama (bahwa menikah hukumnya sunnah), karena Allah subhanahu wa ta’ala    memberikan pilihan antara menikah atau mengambil budak secara sepakat. Seandainya menikah itu wajib, maka Allah tidaklah memberikan pilhan antara menikah atau mengambil budak. Karena menurut ulama ushul fiqh bahwa memberikan pilihan antara yang wajib dan yang tidak wajib, akan menyebabkan hilangnya hakikat wajib itu sendiri, dan akan menyebabkan orang yang  meninggalkan kewajiban tidak berdosa. “

Perintah yang terdapat dalam hadist Abdullah bin Mas’ud di atas bukan menunjukkan kewajiban, tetapi menunjukan “al-istihbab “(sesuatu yang dianjurkan).

Kedua : Bahwa menikah maslahatnya kembali kepada orang yang melakukannya terutama yang berhubungan dengan pelampiasan syahwat, sehingga dikatakan bahwa perintah di atas sebagai bentuk pengarahan saja.

Hukum Menikah Menurut Kondisi Pelakunya

Adapun hukum nikah jika dilihat dari kondisi orang yang melakukannya adalah sebagai berikut :

Pertama : Nikah hukumnya wajib, bagi orang yang mempunyai hasrat yang tinggi untuk menikah karena syahwatnya bergejolak sedangkan dia mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup. Dia merasa terganggu dengan gejolak syahwatnya, sehingga dikawatirkan akan terjerumus di dalam perzinaan.

Begitu juga seorang mahasiswa  atau pelajar, jika dia merasa tidak bisa konsentrasi di dalam belajar, karena memikirkan pernikahan, atau seandainya dia terlihat sedang belajar atau membaca buku, tapi ternyata dia hanya pura-pura, pada hakekatnya dia sedang melamun tentang menikah dan selalu memandang foto-foto perempuan yang diselipkan di dalam bukunya, maka orang seperti ini wajib baginya untuk menikah jika memang dia mampu untuk itu secara materi dan fisik, serta bisa bertanggung jawab, atau menurut perkiraannya pernikahannya akan menambah semangat dan konsentrasi dalam belajar.

Kedua : Nikah hukumnya sunah  bagi orang yang mempunyai syahwat, dan mempunyai harta, tetapi tidak khawatir terjerumus dalam maksiat dan perzinaan. Imam Nawawi di dalam Syareh Shahih Muslim menyebutkan judul dalam Kitab Nikah sebagai berikut : “Bab Dianjurkannya Menikah Bagi Orang Yang Kepingin Sedangkan Dia Mempunyai Harta “.‎

 Ketiga : Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai syahwat, tetapi tidak mempunyai harta. Atau bagi orang yang mempunyai harta tetapi tidak mempunyai syahwat.‎

 Keempat : Nikah hukumnya makruh bagi orang yang tidak punya harta dan tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat). Dikatakan makruh, karena dia tidak membutuhkan perempuan untuk dinikahi, tetapi dia harus mencari harta untuk menafkahi istri yang sebenarnya tidak dibutuhkan olehnya. Tentu akan lebih baik, kalau dia mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu. Selain itu, istrinya akan sedikit tidak terurus, dan kemungkinan tidak akan mendapatkan nafkah batin, kecuali sedikit sekali, karena sebenarnya suaminya tidak membutuhkannya dan tidak terlalu tertarik dengan wanita. 

Begitu juga seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah,  tetapi tidak punya harta yang cukup, maka baginya, menikah adalah makruh.

Adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat :

Pendapat Pertama : Dia tidak dimakruhkan menikah tetapi lebih baik baginya untuk konsentrasi dalam ibadah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’I dan mayoritas ulama Syafi’iyah.‎

Pendapat Kedua : Menikah baginya lebih baik. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan sebagian dari ulama Syafi’iyah serta sebagian dari ulama Malikiyah. Kenapa? karena barangkali istrinya bisa membantunya dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, seperti memasak, menyediakan makanan dan minuman, menyuci dan menyetrika bajunya, menemaninya ngobrol, berdiskusi dan lain-lainnya. Menikah sendiri tidak mesti melulu melakukan hubungan seks saja, tetapi ada hal-hal lain yang didapat sepasang suami selama menikah, seperti kebersamaan, kerjasama, keakraban, menjalin hubungan keluarga, ketenangan dan ketentraman.   

Kelima : Nikah hukumnya haram, bagi yang merasa dirinya tidak mampu bertanggung jawab dan akan menelantarkan istri dan anak. 

Dijelaskan pernikahan yang haram adalah  pernikahan yang dilakukan di Darul Harbi ( Negara Yang Memusuhi Umat Islam ), karena dikhawatirkan musuh akan mengalahkan umat Islam dan anak-anaknya akan dijadikan budak. Tetapi jika dilakukan dalam keadaan darurat, maka dibolehkan.

Demikian penjelasan singkat tentang pengertian nikah dan hukumnya yang disarikan dari pernyataan para ulama, mudah-mudahan bermanfaat.‎

Hadis pokok yang menjadi acuan perintah nikah adalah hadis dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu, hendaknya dia berpuasa. Karena itu bisa menjadi tameng syahwat baginya.” (HR. Bukhari 5065 dan Muslim 1400).

Ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah, memahami hadis di atas,

Pertama, nikah hukumnya wajib bagi yang mampu hubungan badan.

Ibnu Hazm mengatakan,

مسألة: وفرض على كل قادر على الوطء إن وجد من أين يتزوج أو يتسرى أن يفعل أحدهما ولا بد، فإن عجز عن ذلك فليكثر من الصوم

“Wajib bagi lelaki yang mampu hubungan badan, jika dia memiliki dana untuk menikah, atau membeli budak wanita, untuk melakukan salah satunya (menikah atau memiliki budak wanita), dan itu harus. Jika dia tidak mampu secara dana, maka hendaknya dia memperbanyak puasa. Kemudian Ibnu Hazm menyebutkan hadis di atas. (al-Muhalla, 9/3).

Kedua, anjuran bagi yang mampu menikah dan dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam maksiat jika tidak menikah. Sehingga latar belakang perintah nikah adalah karena dalam rangka menghindari yang haram. Inilah pendapat mayoritas ulama.

An-Nawawi mengatakan,

وفي هذا الحديث الأمر بالنكاح لمن استطاعه وتاقت إليه نفسه وهذا مجمع عليه لكنه عندنا وعند العلماء كافة أمر ندب لا إيجاب فلا يلزم التزوج ولا التسري سواء خاف العنت أم لا هذا مذهب العلماء كافة ولا يعلم أحد أوجبه إلا داود ومن وافقه من أهل الظاهر ورواية عن أحمد فإنهم قالوا يلزمه إذا خاف العنت أن يتزوج أو يتسرى قالوا وإنما يلزمه في العمر مرة واحدة ولم يشرط بعضهم خوف العنت

Dalam hadis ini terdapat perintah untuk menikah bagi orang yang mampu dan jiwanya sangat bernafsu. Ini disepakati ulama. Namun menurut kami dan banyak ulama, perintah ini sifatnya anjuran, dan bukan wajib. Karena itu, tidak wajib harus menikah atau memiliki budak wanita, baik khawatir zina atau tidak. Inilah madzhab umumnya ulama, dan saya tidak mengetahui seorangpun yang mengatakan wajib nikah kecuali Daud az-Zahiri dan orang yang mengikuti madzhab Zahiriyah, serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka berpendapat, seorang lelaki wajib nikah atau memiliki budak wanita jika khawatir terjerumus ke dalam zina.

Para ulama itu mengatakan bahwa kewajiban nikah hanya wajib seumur hidup sekali, dan sebagian mereka tidak mempersyaratkan kekhawatiran terjadi zina. (Syarh Shahih Muslim, 9/173).

As-Syaukani mengatakan,

وأما وجوبه على من خشي الوقوع في المعصية فلأن اجنتاب الحرام واجب وإذا لم يتم الاجنتاب إلا بالنكاح كان واجبا وعلى ذلك تحمل الأحاديث المقتضية لوجوب النكاح …

Tentang hukum wajibnya nikah bagi yang takut terjerumus ke dalam maksiat, karena menjauhi yang haram hukumnya wajib. Jika menjauhi yang haram tidak bisa dilakukan kecuali melalui nikah, maka nikah hukumnya wajib. Hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya menikah, dipahami demikian. (ad-Darari al-Mudhiah, 1/177).

Karena itu, jika ada orang yang meninggal sebelum menikah, insyaaAllah dia tidak menjadi berdosa. Sementara wanita, hukum asal nikah adalah mubah. 

Maka yang rajih adalah pendapat jumhur ulama, bahwa menikah hukumnya adalah sunnah dan tidak sampai wajib, wallahu a’lam.

Namun perlu digaris-bawahi, khilafiyahyang di bahas di atas adalah jika seseorang dalam kondisi yang aman dari fitnah dan aman dari resiko terjerumus dalam hal-hal yang diharamkan oleh Allah terkait syahwat kepada wanita. Adapun jika seseorang khawatir terjerumus ke dalam fitnah semisal zina dan lainnya, tidak ada khilaf di antara para ulama bahwa nikah dalam keadaan ini adalah wajib. Karena membentengi dan menjaga diri dari perkara haram itu wajib, sehingga dalam kondisi ini menikah hukumnya wajib. Al Qurthubi berkata:

قال علماؤنا: يختلف الحكم في ذلك باختلاف حال المؤمن من خوف العنت الزنى، ومن عدم صبره، ومن قوته على الصبر، وزوال خشية العنت عنه وإذا خاف الهلاك في الدين أو الدنيا فالنكاح حتم ومن تاقت نفسه إلى النكاح فإن وجد الطَّوْل فالمستحب له أن يتزوج. وإن لم يجد الطول فعليه بالاستعفاف ما أمكن ولو بالصوم لأن الصوم له وِجاءٌ كما جاء في الخبر الصحيح

“Para ulama kita berkata, hukum nikah itu berbeda-beda tergantun keadaan masing-masing orang dalam tingkat kesulitannya menghindari zina dan juga tingkat kesulitannya untuk bersabar. Dan juga tergantung kekuatankesabaran masing-masing orang serta kemampuan menghilangkan kegelisahan terhadap hal tersebut. Jika seseorang khawatir jatuh dalam kebinasaan dalam agamanya atau dalam perkara dunianya, maka nikah ketika itu hukumnya wajib. Dan orang yang sangat ingin menikah dan ia memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar untuk menikah hukumnya mustahab baginya. Jika ia tidak memiliki sesuatu yang tidak bisa dijadikan mahar, maka ia wajib untuk isti’faf (menjaga kehormatannya) sebisa mungkin. Misalnya dengan cara berpuasa, karena dalam puasa itu terdapat perisai sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih”.

Demikian semoga bermanfaat.‎

Bolehkah Wanita Melajang??

Allah berfirman,

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ

Dan para wanita tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin menikah, tidaklah berdosa menanggalkan pakaian luar mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan aurat, dan menjaga kehormatan adalah lebih baik bagi mereka(QS. An-Nur: 60)

Kemudian, dalam sebuah hadis, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan daftar orang yang mati syahid, di luar medan jihad. Diantaranya,

وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهَادَةٌ

”Wanita yang mati dalam keadaan jum’in, termasuk mati syahid.” (HR. Ibnu Majah 2803, dan dishahihkan al-Albani).

Diantara makna ’mati dalam keadaan jum’in’ mati dalam keadaan masih gadis. Sebagaimana keterangan al-Hafidz Ibnu Hajar (w. 852 H) dalam Fathul Bari (6/43).

Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam kitabnya al-Muhalla menegaskan bahwa menikah hukumnya wajib bagi para pemuda. Akan tetapi beliau mengecualikan kewajiban itu bagi wanita. beliau menegaskan bahwa wanita tidak wajib menikah. Dua dalil di atas, menjadi alasan beliau untuk mendukung pendapatnya. Setelah membahas hukum nikah bagi pemuda, Beliau menegaskan,

وليس ذلك فرضا على النساء، لقول الله تعالى عز وجل: {والقواعد من النساء اللاتي لا يرجون نكاحا}، وللخبر الثابت عن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم… فيها: والمرأة تموت بجمع شهيدة» . قال أبو محمد: وهي التي تموت في نفاسها، والتي تموت بكرا لم تطمث.

“Menikah tidak wajib bagi wanita. berdasarkan firman Allah ta’ala, ‘Dan para wanita tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin menikah’ dan berdasarkan hadis shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan, ‘Wanita yang mati dalam keadaan jum’in, dia mati syahid’. Abu Muhammad (Ibnu Hazm) mengatakan, Yaitu wanita yang mati ketika nifas atau yang mati ketika masih gadis, yang belum digauli.” (al-Muhalla, 9/5).

Pendapat Ibnu Hazm ini dikuatkan oleh Syaikh Mustofa al-Adawi – seorang ulama ahli hadis d Mesir –. Dalam buku beliau, Jami’ Ahkam an-Nisa (kumpulan hukum tentang wanita), beliau menegaskan,

لا يجب على النساء أن يتزوجن، وذلك لأنني لا أعلم دليلا صريحا يوجب عليها ذلك

“Tidak wajib bagi wanita untuk menikah, karena saya tidak menjumpai adanya dalil tegas yang menunjukkan kesimpulan wajibnya menikah bagi mereka.” (Jami’ Ahkam an-Nisa, 5/287).

Kemudian Syaikh Musthofa menyebutkan dalil yang menguatkan pendapat beliau, sebuah hadis dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِابْنَةٍ لَهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ ابْنَتِي قَدْ أَبَتْ أَنْ تَتَزَوَّجَ، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أَطِيعِي أَبَاكِ” فَقَالَتْ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَتَزَوَّجُ حَتَّى تُخْبِرَنِي مَا حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ أَنْ لَوْ كَانَتْ قَرْحَةٌ فَلَحَسَتْهَا مَا أَدَّتْ حَقَّهُ”. قَالَتْ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَا تَنْكِحُوهُنَّ إِلَّا بإذنهن”

Ada seorang sahabat yang datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama putrinya. ‘Putriku ini menolak untuk menikah.’ Kata orang itu.

Nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ’Taati bapakmu.’

‎Demi Dzat yang mengutus anda dengan membawa kebenaran, saya tidak akan menikah sampai anda sampaikan kepadaku, apa hak suami yang menjadi kewajiban istrinya?” tanya si wanita.

Si wanita itupun mengulang-ulang pertanyaannya.

Sabda beliau, ”Hak suami yang menjadi kewajiban istrinya, bahwa andaikan ada luka di badan suami, kemudian dia jilati luka itu, dia belum memenuhi seluruh haknya.”

” Demi Dzat yang mengutus anda dengan membawa kebenaran, saya tidak akan menikah selamanya.”

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Janganlah kalian menikahkan putri kalian, kecuali dengan izin mereka.” (HR. Ibnu Hibban 4164, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 17122, al-Hakim dalam Mustadrak 2767, ad-Darimi dalam Sunannya 3571. Hadis ini dinilai hasan Syuaib al-Arnauth)

Anda bisa perhatikan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyalahkan perkataan wanita tersebut, yang bersumpah tidak akan menikah selamanya. Menunjukkan bahwa prinsip itu tidaklah bertentangan dengan syariat.

Boleh bukan Berarti Dianjurkan

Boleh bukan berarti dianjurkan. Karena secara umum, bagi seluruh kaum muslimin, menikah jauh lebih baik dari pada melajang. Ada sejuta manfaat dan kebaikan yang didapatkan seseorang melalui jalan menikah. Manfaat dunia dan akhirat. Dalam al-Quran menceritakan tentan para rasul-Nya, bahwa diantara ciri mereka adalah memiliki istri dan keluarga,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً

Sungguh Aku telah mengutus banyak rasul sebelum kamu, dan Aku jadikan untuk mereka, istri dan keluarga…(QS. Ar-Ra’du: 38).

Kita memahami, sifat terpuji yang dimiliki para rasul sangat banyak. Karena mereka adalah manusia pilihan yang Allah tunjuk sebagai utusannya. Segala kelebihan dzahir dan batin ada pada mereka. Baik yang diceritakan dalam al-Quran maupun yang tidak diceritakan. Terlebih ciri dan sifat yang diceritakan yang disebutkan dalam al-Quran, umumnya memiliki nilai yang lebih istimewa, atau setidaknya bisa dijadikan panutan bagi manusia lainnya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, bahwa Sa’d bin Hisyam pernah menemui Aisyah radhiyallahu ‘anha dan berkata, “Saya ingin melajang sampai mati.” Seketika itu, Aisyah langsung menyanggah,

لَا تَفْعَلْ، أَمَا سَمِعْتَ اللَّهَ يَقُولُ: وَلَقَدْ أَرْسَلْنا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنا لَهُمْ أَزْواجاً وَذُرِّيَّةً

“Jangan kau lakukan. Tidakkah kau mendengar firman Allah (yang artinya), ‘Sungguh Aku telah mengutus banyak rasul sebelum kamu, dan Aku jadikan untuk mereka, istri dan keluarga…’.” (Fathul Qadir, 3/106).

Meskipun semuanya akan memberikan konsekuensi, yang manis maupun pahit. Karena semua pilihan dalam hidup pasti mengandung manfaat sekaligus resiko. Namun bagi muslim yang sabar, segala bentuk resiko itu, justru akan menjadi sumber pahala baginya.

Repotnya istri melayani suami, menjadi sumber pahala baginya.
Muncul konflik keluarga, bisa menjadi penghapus dosa jika disikapi dengan benar.
Repotnya sang ibu ketika hamil dan melahirkan, menjadi sumber pahala baginya.
Repotnya sang ibu mengurus anak, menjadi sumber pahala baginya.
Karena semua kesedihan yang dialami muslim, tidak akan disia-siakan oleh Allah,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidak ada satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung, sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di badannya, kecuali Allah jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari 5641).

Allahu a’lam.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...